GENDUK DUKU

Episode 8

Anggun cantik Dewi Umayi, sanggul keong bersahaja seperti biduk di sungai rambut yang sebagian terurai panjang tergerai; pinggang bagai lebah kemit, gerak lenggang elegan rusa santai. Betari Durga kasar bermuka serigala bermata buah dondong pecah, sanggul gaya putri Keling berhantu lidah melelet membelakang serba mengancam, bibir sobek bertaring cerongat di atas sosok kayak kentongan bongkot gelugu, inilah istri Batara Kala, juru kunci maut. Tetapi setiap anak tahu, Umayi dan Durga adalah satu sama. Seperti siang dan malam adalah satu. Cuaca Durga itulah vang sedang dialami Genduk Duku sekarang. Bukan lagi laut biru lazuardi yang indah secantik Umayi yang mengharu hati, akan tetapi laut dalam bentuk buas yang liar terhasut angin barat prahara menderu-deru. Duku dan suaminya semula berusaha menuju ke Nusa Kambangan, untuk mendarat di salah satu kuala Segara Anakan, muara Bengawan Serayu. Akan tetapi tak berdaya perahu dihembus dilempar dan dihempaskan semakin ke timur.

Betapa pilu hati Duku ketika mereka melewati muara Sungai Opak, tempat Rara Mendut dan Pranacitra diterima haribaan bahari, pulang ke Samudra Sangkan-Paran[1]). Untunglah, sesudah dua hari, angin dan badai mereda, dan serba pasrah kedua insan itu hanya dapat menghanyut melewati karang-karang kapur pegunungan selatan. Ujung Layang tahu-tahu telah terlampaui. Betapa berat dan menakutkan lautan macam yang dialami Duku untuk pertama kali ini. Ujian yang dapat menghentikan denyut jantung ternyata dirasakan indah sesudahnya, karena dialami bersama suami yang dapat diandalkan. Manis rasanya menempuh bahaya dan kepahitan bila dibagi bersama dengan manusia tercinta.

Selama prahara mengamuk barulah Genduk Duku melihat dengan segala indrianya, betapa perkasa Mas Slamet, nelayan Telukcikal pilihannya itu. Di darat tampaknya ia hanya biasa-biasa saja, bahkan kadang-kadang seperti kurang trampil. Akan tetapi di atas gelombang-gelombang angkara murka bahari, ya, di atas badai buas, tampaklah sang Slamet yang sesungguhnya. Manusia laut, putra penantang Betari Durga dan Betara Kala, pemenang atas ancaman Setragandamayit. Dua sejoli itu lega mendarat di pantai pedukuhan kecil yang bernama Nyamikan, sedikit di sebelah barat Pacitan. Penduduk pantai menjadi ramah setelah Slamet menerangkan mereka berasal dari Pantai Utara, sebab seumumnya orang sana yang masih merasa anak-cucu laskar-laskar Pangeran Jayaraga, yang dulu pernah dihabisi oleh Panembahan Seda Krapyak,[2]) tidak suka pada Pusat Mataram. Maka menetaplah kedua pengungsi itu di Nyamikan dengan damai dan penuh syukur.

Sedikit demi sedikit Slamet dapat membuat sebuah gubuk sendiri untuk pangkalan mencari nafkah sehari-hari. Sedangkan Genduk Duku? Apa lagi, selain mencoba keuntungan dalam wilayah yang sangat ia kenal; menjadi blantik jaran.[3]) Ini berhasil. Segera Duku terkenal sebagai pengenal kuda, ahli dalam ngelmu katuranggan,[4]) suatu seni yang tidak sembarang orang bisa. Tetapi Genduk Duku bukan pengagum Rara Mendut sejati, apabila mulai sekarang tidak belajar juga seni nelayan. Dengan Slamet sebagai guru, mengarungi laut bagi Duku yang sudah terbiasa mengombak di atas kuda membalap, sekarang bukanlah lagi usaha yang teramat sulit. Dengan jaring ataupun pancing, Duku belajar memperdaya ikan-ikan kakap merah bang-bangan yang dapat dijual mahal di pasar. Ke padang batu-batu koral mereka berdua pergi juga, menangkap ikan-ikan tutning, buntut kuning dengan kepala dan tubuhnya yang biru belawu dan ekor serta sirip kuning elok yang amat disukai salah seorang demang panewu[5]) di dekat Pacitan.

Dan bila laut teramat tenang dan saatnya tepat untuk melepas lelah, Duku basah kuyup menidurkan diri di dasar perahu, geli mendengarkan bunyi-bunyi sahut-menyahut dalam air seperti suara segerombolan sapi beraneka nada atau penjual-penjual ywg sedang menawarkan dagangan di pasar. Maka tertawa gelilah selalu Duku. Itu ikan-ikan tetet dan kerong-kerong. Maka mengombak pula dalam aneka nada rasa bahagia Duku, berkerong-kerong puas.

“Mas, sini. ”

Slamet memandang insan berkain basah di mukanya, dengan dua anak duyung di dada terbuka serta senyum damba yang menghimbau.

“Ada apa?”

“Sini.”

Slamet melawak dengan membelalakkan matanya.

“Nanti saja.” Lalu dengan batok kelapa mengeluarkan air dari perahu.

Slamet ini gagah indah kalau sedang bekerja di tengah laut, pikir Duku sambil menikmati pengamatan pada suaminya yang masih sibuk itu. Barangkali lautlah istri pertamanya, dan Genduk Duku istri mudanya. Biarlah tak mengapa.

“Awas!” teriak Slamet, sambil menundukkan kepalanya.

Seekor ikan cendra bermulut sepanjang lengan, seperti bangau tetapi bergigi, terbang dan nyaris menjatuhi Duku. Untung dia mencebur diri pas lewat lambung sampan.

“Hampir,” seru Slamet lega.

“Biarlah. Tak mengapa.”

Setelah musim angin barat pergi, Slamet berangkat dalam sampannya untuk pelayaran khusus menuju ke barat. Sudah lebih dari waktunya ia atas nama istrinya akan mencari berita dari Puri Pahitmadu tentang Putri Arumardi, pelindung besar Duku kala itu di Puri Wiragunan. Istrinya dipercayakan kepada tetangga tua, seorang nenek ketus di Nyamikan yang sudah menerima mereka selaku sahabat dan saudara. Maka berangkatlah Slamet di suatu siang kencana sesudah air pasang turun, melawan ombak pantai, kemudian ke barat,

Ada pun di dekat Pranaraga seorang warok diam-diam menaruh perhatian yang terlalu bernafsu kepada si Blantik Jaran baru dari Nyamikan yang begitu ahli tentang kuda, lagi rupawan. Maka pulanglah pula di siang kencana yang sama dari warung nasi Nyamikan si Palanggedog menuju tuannya. Ia pesuruh Warok Badogbadig yang sudah beberapa pekan memata-matai suami-istri nelayan baru itu dengan pura-pura berkulak ikan.

“Hahaha, suaminya pergi? Hahaha helok helok, hayu hayu tenan, heh? Hiyoh, hapa jare. Cabut nama Habadog-habadig dari haku, kalau tidak mampu mendekap dan mendenyuti si Genduk hayu itu, hei! Huahahaaaa, hinilah saatnya, hai!” Dan dipelintirlah ujung-ujung kumis lebatnya yang meniru gaya mutakhir orang-orang Kumpeni.

Badogbadig kekar walaupun pendek tubuhnya, dan menggelembung perutnya. Kedua kakinya agak bengkong ke luar seolah-olah sejak lahir ia selalu bertugas mengukur penampang perut kerbau dengan sepasang kakinya itu sehingga bengkok. Ia sudah punya tujuh istri dan dua belas gemblak,[6]) anak lelaki piaraan yang tampan. Tetapi tikus-wirog nafsu sang Warok melebihi panjang kumisnya. Tambah lagi, suatu Rebo Legi, hari pasaran di Pacitan ia merasa sangat dipermalukan oleh – ya si Blantik perempuan satu ini.

Ketika itu Badogbadig sedang memerlukan uang karena gemblak yang paling ia sayangi merengek-rengek minta cincin emas dengan mata zamrud yang pernah digodakan kepadanya oleh seorang pedagang emas Banjar di Pranaraga. Tetapi kalau dia diberi cincin, gemblak-gemblak lainnya pun terpaksa harus ia beri juga sesuatu yang mirip. Apa boleh buat, satu kuda mungkin sudah cukup. Dia masih punya seekor kuda berwarna plangka-bang yang pancal panggung[7]) dengan dada kekar kuat dan rusuk-rusuk dada yang panjang, wulu-nguler-serit buntut andangu aren.[8]) Hanya sayang batu kepalanya tidak begitu menonjol dan kelihatan agak menyatu dengan bagian kepala di belakangnya; kurang berbentuk batu asah cekung. Warok Tantangpati dari Sleko punya kuda dengan kepala ngungkal-gerang[9]) yang tidak dipunyai oleh si plangka-bang-nya. [10]) Pernah saingan keparat itu berpongah mengejeknya, “Si Badogbadig itu kan seperti kepala kudanya, utege tepos.”[11])

“Babo! Siaplah!” Nama si penghina sudah jelas: Tantangpati, bukan? Jadi jelas juga tak ada kesimpulan lain: suatu malam tanpa bulan, ketika Warok keparat itu sedang berkonyolan dengan gemblak-nya, oleh sepasukan jago-kepruk yang dipimpin oleh penerima cap uteg tepos tadi, pintu rumahnya dijebol dan habislah riwayatnya. Tidak sia-sia nama Badogbadig, bukan? Tidak ada penghinaan di negeri ini yang tidak harus dibayar Jengan nyawa. Itu kalau masih ingin disebut wong Jawa, keturunan Raden Wijaya atau Ken Arok.

Nah, dengan si Blantik Bawuk dari Nyamikan itu soalnya agak lain. Seandainya dia lelaki, nah tahulah apa artinya carok warok. Tetapi ia perempuan, manis lagi. Matanya seperti akik Tingal-Narayana, mblalak-mblalak meleng-meleng,[12]) dan kalau sedang merasa tidak senang memandang sesuatu, justru mempesona roman mukanya. Bikin gemas nafsu memberangas.

Kuda yang ingin dijual Kang Badogbadig ditawarkan oleh si Palanggedog, pembantu serta mata-matanya tadi yang memang setia, tetapi sayang otaknya terbuat dari usus ayam. Nah, ketika itu si plangka-bang ditawarkan kepada Demang Untara dari Blitar untuk anaknya. Tetapi entahlah siapa yang menasihatinya, pengemban tugas Ki Demang, Raden Conte yang malas seperti penyu, minta tolong pada wanita muda dari Nyamikan itu. Dalam perundingan jual beli, ternyata kedudukan si dungu Palanggedog sangat lemah. Sampai sang warok pribadi, meski kurang gengsi, terpaksa ikut campur tangan langsung di dalam gelanggang perundingan. Mosok Warok tenar bermartabat kok ikut tawar-menawar harga jual-beli kuda. Lain kalau perlu membeli topeng atau perangkat bulu merak untuk pakaian kebesaran tari warok. Nah, ini soal mistik yang menentukan hidup-mati warok.

Tawar-menawar tadi selalu kembali ke titik lemah yang sudah dikhawatirkan sebelumnya, soal batu kepala si kuda yang kurang ngungkal gerang tadi. Dengan segala kemahiran bicaranya, Palanggedog memuji kuda yang memeragakan gaya larinya. “Lihat, betapa luwes kakinya dan jauh langkahnya, tapak kaki belakang menyinggung bekas kaki muka. Sama jarak majunya kaki muka dan belakang, bukan? Perhatikan, betapa lebar juga jarak antara kaki kiri dan kaki kanan. Coba lihat, jauh kan dari gerak ayam jago bila berjalan pelan-pelan? Lain bukan, dibanding dengan kuda sembarangan yang langkahnya seperti sapi? Nah, lihat bregas[13]) bergelora kalau sedang berlari, tegak kepala dan ekornya. Ini baru kuda. Dan tahu berapa umurnya? Dewasa, tetapi muda; baru saja meningkat umur rampas,[14]) jadi masih dapat dilatih apa pun dan masih dapat dinikmati banyak tahun. Berapa harganya? Tidak banyak. Apalagi bagi orang demang. Seratus dan tiga puluh real. (Ah, dagelan, kata si Blantik Bawuk. Lima puluh real, itu pun nanti kalau soal unyeng-unyeng[15]) sudah diteliti.) Hah? Lima puluh? Mau tahu, apa yang disebut badig? Carok, kalau tak kenal nama badig. Arit, tahu? Jangan menghina. Ini kuda kekasih seorang warok yang paling tenar di seluruh wilayah Pranaraga. Pernah ziarah ke makam Sunan Tembayat di Wedi beliau, kalau mau tahu. Artinya sakti. Jadi kuda ini pilihan, bukan kuda lumping, hah! (Enam puluh!) Gila. Dicoba dulu kalau mau menaksir harga. Jangan asal ngomong tong mbetotong.[16]) Perempuan tahunya apa! Kami hanya berurusan dengan abdi Ki Demang. Berapa, Raden? Terserah blantik blang gentak[17] ini? Nah, siapa yang punya duit, Raden Mas Demang Untara atau si istri nelayan dari Nyamikan? Ini perkara kehormatan. Bukan cuma soal jual-beli kuda. Kuda sih di mana-mana ada, tetapi kuda berwarna plangka bang yang pancal-panggung seperti ini jarang ada di seluruh Jawa. Coba? Mau mencoba? Silakan, nanti kan terasa kuda ini pantas untuk ikut main setonan di kadipaten. Sungguh, hah? Simbok Blantik yang mau menaiki? Aduh, memalukan. Maaf, kalau jatuh kami tidak tanggung. Nanti dulu, hei, ini mau apa? Bukan… uatho….” Tetapi sudah berlarilah Genduk Duku dengan kudanya. Tahu-tahu sanggul rambutnya terurai, disusul tepuk tangan orang-orang pengerumun. Dari belakang tampak menggairahkan sekali rambut Duku dan rambut ekor kuda mengombak menggelombang satu irama di atas awan debu yang membuat pemandangan seram seru. Orang-orang di pasar bersorak dan bertepuk melihat Srikandi muda yang gesit itu mempermalukan si Palanggedog yang terkenal pongah itu.

“Mau lari ke mana perempuan itu?” teriak Palanggedog kesal. “Awas, kau dari kademangan, kalian harus menanggung semua akibat apabila dia melarikan kuda yang termasyhur itu.”

Tetapi Raden Mas Conte hanya tersenyum. “Mungkin sesekali kau berminat untuk berpacu kuda dengan si Blantik Nyamikan itu?” tanya abdi demang dengan nada agak mengejek.

“Berpacu? Dengan perempuan? Seumur hidupku tidak akan. Mana mungkin bertarung dengan istri nelayan, melarat lagi. (Eh, kau tahu, dia berasal dari puri Mataram?) Mataram, persetan Mataram. Lho, katanya dari Pantai Utara. Bohong kalau begitu. Tetapi kalau memang putri dari puri, mengapa cuma dinikahi nelayan dungu? Pasti nggak beres dia. (Siapa tahu lho! Kalau dia perempuan biasa, mana mungkin dapat naik kuda begitu mahir, lagi luas pengetahuannya tentang ngelmu katuranggan.) Calo selamanya calo. Musti tahu dia. Tetapi tidak berarti dia raden ayu apa-apa itu. Tawaran Raden tidak bisa naik? Kurang ajar perempuan itu. Mosok, menawar kok lebih rendah dari pada separuh harga yang diminta. Kan menghina itu namanya. (Enam puluh kalau mau. Tetapi nanti dulu. Itu kalau beres nanti pemeriksaan unyeng-unyengnya.) Enam puluh? Bisa dibuat apa dengan enam puluh real. (Beli lima pasang kerbau, Kang). Kerbau? Apa-apaan kerbau untuk seorang warok tenar? Sudahlah, seratus dan dua puluh lima: Hanya karena ini untuk Ki Demang Untara, junjungan Pranaraga yang telah berjasa memberantas maling di daerah sini. (Seratus dan dua puluh lima? Unyeng-unyengnya dulu diperiksa.) Nah, dia sudah kembali. Gila dia! Begitu hebat wanita satu ini terbang di atas kuda. Nah, maka itu! Karena memang terbukti kuda tumpangannya hebat, mengapa menawar begitu rendah? Siapa pun bisa naik kuda. Tetapi kuda seperti apa, nah, itu rahasianya. Heih, Perempuan, siapa namamu? Sudah cukup. Punggung kuda milik warok tenar sebetulnya tidak boleh ditunggangi pantat perempuan. Khiyihihiihiik!” Dan tertawalah Palanggedog -ya, mirip kuda juga. “Kalau nanti kau merasa hamil, ya tahu sendiri!”

“Mulut trocoh!”[18])> desis Duku dengan mata menghalilintar.

“Tutup congor-mu!”[19] seru marah Raden Conte pula. “Saya disini diutus Ki Demang Untara untuk beli kuda. Tidak untuk mendengarkan mulut buaya busuk.”

“Maaf, Den Mas. Bukan itu yang saya maksud. Sudahlah, seratus dan dua puluh sajalah, maaf tidak bisa kurang. Saya pun harus bertanggungjawab kepada tuan saya.”

“Minta maaf dulu kepada Ni Duku ini. Dia kami minta tolong mendampingi kami, karena terkenal dia tahu banyak tentang kuda. Menghina dia berarti menghina Raden Conte dan menghina Ki Demang Untara, tahu? Ayo, minta maaf.”

“Ya, sudah Raden, saya minta maaf.”

“Tidak pada saya. Pada dia.”

“Tidak mau.”

“Sudah? Tetap sombong tidak mau? Baik. Akan tahu akibatnya nanti.”

Pada saat itu, terpaksalah Kang Warok Badogbadig masuk ke dalam kalangan yang sudah menjadi kerumunan orang banyak.

“Hei, ada apa ini? Ada apa, Paldog? Ada apa, Raden?”

“Tanya dia sendiri.” Dan pergilah Raden Conte meninggalkan gelanggang. Dengan kepala tegak menantang, Duku tetap berdiri berkacak pinggang.

Sebetulnya amarah Raden Conte sebagian besar hanya sandiwara saja. Agar harga kuda dapat lebih turun lagi. Nah, bukankah ini kedudukan yang lumayan? Mendapat kuda dengan harga murah, dan nanti akan dipuji oleh tuannya. Lagi masih dapat berlagak selaku pihak yang penuh dermawan. Dan… ya, siapa tahu, si Blantik manis ini masih suka terus menjadi langganan. Langganan keahlian tentang jual-beli kuda dan langganan… hyahuuuu! Tapi Conte harus hati-hati dalam siasatnya. Perempuan ini menarik, tetapi galak juga. Paling tidak keras kepala. Harga dirinya perlu dikurangi sedikit. Untuk itu Raden Conte punya pengalaman.

Betul. Dengan muka menyesal atau pura-pura menyesal, yang jelas muka menjilat, si Warok minta pengertian. Nah, sudah kalah lebih dari separuh kedudukan si Warok itu bila ia pihak yang menyesal. Betul, Warok Badogbadig yang sangat membutuhkan uang selekas mungkin, meminta maaf kepada Raden Conte atas nama abdinya yang memang sudah diakuinya dungu, tolol, tidak berpendidikan, dan macam-macam alasan mohon maaf. Tetapi mohon, dia dan abdinya diperkenankan tidak perlu meminta maaf kepada blantik jaran itu, sebab itu akan mencoreng-moreng mukanya tanpa akhir di kalangan rakyat. Dan untuk menebus itu Kang Warok ikhlas untuk menurunkan harga kuda, asal jangan hanya enam puluh real.

Tidak! Raden Conte tegas. Dan terpaksalah si Palanggedog minta ampun kepada Ni Duku, walaupun dengan muka kunyuk disengat lebah.

Unyeng-unyeng! Tentang unyeng-unyeng, tanggung beres! Ini kuda silsilah mulia. Memang belum setingkat jenis bajakepranggul[20]) atau bujangga ngumbara,[21])> akan tetapi dia punya unyeng-unyeng pada kedua sisi punggung bagian muka. Jadi kuat dan tahan uji, lagi membawa rezeki. Selain itu Raden dapat periksa sendiri, lidahnya lebar dan bertepi membulat. Tadi lidah kok belum diperiksa perempuan pembantu Raden, padahal ini penting. Kuda begini srilaba namanya, pasti Raden Conte sudah mahfum; jadi tuannya nanti akan disenangi banyak wanita. Buktinya tak kurang tak lebih ialah Warok Badogbadig sendiri, bukan?

Apa betul? Duku memeriksa betul-tidaknya ujaran si Warok. Memang betul tentang unyeng­unyeng dan lidah. Tetapi kemudian langsung Duku memeriksa bagian perut kuda. Ah, ternyata si Bawuk menemukan satu unyengan, satu saja, pada sisi kiri perut. Brancah! Jenis brancah! Kuda pembawa malapetaka dan cekcok rumah tangga. Dengan mata berkilat-kilat jengkel, Warok Badogbadig memandang Duku. Ini bromocorah perempuan rupa-rupanya. Segala apa pun dia tahu. Dan lebih celaka lagi, si kuda tiba-tiba kencing. Mampus! Pancuran air kencingnya terbelah dalam dua pancuran. Padahal menurut sang Warok, biasanya tidak. Tanda jelek, kuda pembawa malapetakalah yang begitu caranya memancurkan curahan air kencingnya. Padahal sungguh, sumpah, sungguh belum pernah begitu, ujar Warok Badogbadig berkali-kali. Baru kali ini, sumpah Palanggedog, mendukung tuannya. Belum pernah. Terkena sihir si perempuan jahat itu pasti. Awas kau, awas! Dan alangkah jahatnya apa yang dikatakan dengan nada tawa oleh si Blantik Bawuk dukun itu, “Lho, jangan-jangan kuda ini kalau kumpul sekaligus dengan betina dua.” Kurang ajar!

Tertawalah seluruh kalangan penonton yang asyik ramai mengerumuni jual-beli. Siapa yang mulutnya trocoh?!. Celaka dua belas, ada yang berteriak dari belakang, entah siapa, “Gek-gekniru ndarane.[22] ) Naik pitam si Warok menoleh dan mengancam maut kepada siapa yang ngomong tak senonoh tadi. Tetapi tak ada seorang pun yang mengaku. Dan karena ia di hadapan kehadiran utusan-utusan pribadi Ki Demang Untara, Kang Badogbadig tak dapat berbuat apa-apa. Tak bisa lain, jual-beli tidak jadi. Akhirnya, hanya untuk menutupi malu, Kang Badogbadig terpaksa menjual murah kuda lainnya, seekor napas-madu[23]) yang sangat ia sayangi. Tetapi lebih menusuk hati rasanya, ketika sekali lagi sebelum pergi ia menoleh dan melihat si Blantik Jaran sialan itu tersenyum mengejek. Yah, Badogbadig nama si warok. Kalau ada soal carok-golok, dia tergolong jagoan. Tetapi melawan senyum perempuan? Memang prewangan sialan perempuan satu ini, pikir Warok Badogbadig dengan hati dog-dag-dig.

Ketika Badogbadig membunuh saingannya, Warok Tantangpati dulu, malam tanpa bulan. Tetapi ketika kali ini Badogbadig menuju ke Nyamikan, hanya diantar oleh si Teliksandi[24]) Palanggedog, malam terbatik nila bersulam perak oleh bulan purnama. Nyamikan hanya dihuni oleh tujuh delapan belas somah, kaum nelayan belaka. Maka baiklah pembalasan dendam kepada si Blantik Bawuk itu dilakukan dalam suasana suka-suka pirena sengsem sumarsana.[25]) Tidak ada yang dikhawatirkan. Bila Tantangpati saja tak berkutik melawannya, apalah cuma perempuan. Tinggal soalnya bagaimana memperoleh kenik­matan selaras mungkin. Sebab untuk karonsih[26]) dengan kerja terlalu keras, Warok Badogbadig malas juga. Bukan, bukan itu. Bukan karena ogah atau ogih, tetapi orang satu ini harus dihajar, bagaimana cara bersikap terhadap seorang warok besar.

Bersiul-siul kecil sang pembalas dendam bersama anteknya melewati pematang-pematang, lurus menuju ke padukuhan kecil di tepi pantai yang tampak penuh damai bermandikan cahaya redup bulan penuh darma. Tanpa menghiraukan anjing-anjing yang menggonggong, si Warok masuk kampung. Atas petunjuk teliksandinya, rumah tempat si Blantik Jaran segera ditemukan. Sementara Palanggedog menjaga dalam jarak selemparan batu dari rumah yang dituju, Badogbadig mendodok pintu.

“Buka pintu!” gemuruhnya dalam malam sepi. Lagi pintu digedor.

“Siapa itu?” tanya suatu suara nenek tua gemetar.

“Buka pintu, perintahku.”

“Oh, inggih, sebentar.” Lho, kok ramah sekali nadanya. Jangan-jangan keliru.

“Paldog! Tidak keliru kau?”

Dari semak-semak terdengar suara yang dibikin-bikin lirih,

Mboten.[27]) Ya itu, Kang.”

“Awas kau kalau menipu.”

“Tidak, Kang, sungguh itu.”

Sekali lagi Badogbadig menggedor pintu. Dari dalam terdengar bunyi ranjang bambu berkerengket-kerengket.

“Jangan lari! Awas kau, Perempuan Blantik Jaran, kalau lari,” teriak si Warok.

Tampak dari sela-sela dinding bambu, cahaya pelita bergerak.

“Hei! Bisik-bisik apa itu? Jangan main-main ya, lekas buka.” Bunyi orang beranjak, bunyi suatu benda digeser atau ditaruh entahlah, kemudian suara serak tenggorokan yang sudah tua tadi,

“Siapa sampeyan, kok malam-malam?”

“Eh, tanya-tanya. Tak usah tanya. Buka!” Tak ada jawaban. Hanya terdengar bunyi yang membuat Badogbadig curiga.

“Hei, tunggu apa?”

“Maaf,” jawab suara serak tadi. “Kami sedang berdandan.” Meledaklah ketawa si Warok. “Untuk apa berdandan? Telanjang sajalah, saya mau si Blantik Jaran itu bugil. Ayo lekas, ada apa ini? Ingin pintumu hancur kutendang?”

“Jangan, Kang, jangan.” Nadanya sudah tidak gemetar lagi. “Kami hanya orang miskin, maaf sedang bingung.”

“Untuk apa bingung? Bukan kau yang kucari. Mana si perempuan istri nelayan dari Mataram itu? Ayo buka!”

“Sebentar, Kang. Kau, Badogbadig?”

Bermuntahanlah umpatan-umpatan. “Konyol! Tolol! Siapa bilang aku Badogbadig? Si Blantik Jaran itu yang bilang? Mana dia. Ya, memang, saya Badogbadig, warok paling perkasa di daerah ini. Jangan dibikin main-main, awas. Baa-dog-baa-digg! Tahu?” Terdengarlah dari dalam bunyi palang pintu digerakkan secara agak ribut dan ramai. Tetapi belum terbuka juga pintu.

“Sudah?”

“Sudah apa! Dari tadi kau permainkan Badogbadig. Awas! Ayo lekas!”

Bunyi lagi palang pintu digeser kian kemari, tanpa hasil.

“Maaf, Kang, agak macet.”

“Yang macet otakmu dan lubang istri nelayanmu itu. Ayo cepat, mampus nanti kalian.”

“Sebentaaar, Kang. Sebentaaar!”

“Jangan banyak merengek. Kura-kuraku sudah marah nih, keras nongol ingin berantem. Brengsek, mana perempuan mudamu itu, kok diam. Hei, itu bunyi apa, awas, jangan lari ke pintu belakang. Di sana ada antekku menunggu.”

Tiba-tiba pintu terbuka dan seorang nenek ompong gigi berdiri di pintu dengan pelita tanah liat di tangan.

“Hei, Mbah! Jangan dekat-dekat apimu itu di muka hidungku. Kau ingin membakar mukaku? Mana si Blantik J aran. Sudah kaku dari tadi belutku.”

“Siapa?”

“Si Blantik Jaran. Itu sundal dari Mataram. Mosok tidak tahu. Yang biasanya jadi blantik jaran. Kan di sini rumahnya.”

“O Allaaaah. Yang kaumaksud…. (bisik-bisik) si Duku?”

Embuh Duku atau Duwet! (ssssst!) Tak peduli. Pokoknya perempuan kurang ajar yang suaminya nelayan dari Mataram. Dia bohong. Dari Mataram. Tidak dari Pantai Utara.”

“Oya ya, Nenek sudah tahu. Orangnya agak lindri langsing semampai tetapi kuat trampil trengginas?[28])

“Trengginas atau trenggiling, ya embuh. Mana orangnya si… si Duku busuk itu.”

“Ssyyyyyt!… Jangan keras-keras. Nanti kita terkena sihir. ”

“Sihir apa-apaan? Ayo jangan disembunyikan si Duku itu!”

“Sssyyyyyt! Nenek sudah bilang. Hati-hati. Jangan ucapkan namanya. Nanti dia datang, kita kena sihir. Kalau kausebut si Blantik J aran bahkan boleh. Tetapi jangan (bisik-bisik lirih sekali di telinga Warok yang keheran-heranan atas sambutan yang tak keruan itu) Genduk Du-kuuuuu. Nanti dia datang, kita disambar, masuk jaratan.[29])

“Mbah, ini ada apa? Saya mencari si Duku. (Ssyyyyyt! Ssyyyyt!).” Terpengaruh juga Kang Warok dan dia mulai ikut omong lirih,

“Saya cari orangnya, mana?”

Nenek tua itu agak ke luar rumah sambil menarik baju si penggedor. “Sini, sini dulu, Nak. Nanti saya katakan. Sini, duduk di lincak dulu sini. Nanti kalau kau sebut namanya dan dia mendengar, wah kita bisa jadi bekakrak kedua-duanya.”

“Bekakrak?”(Sysssst!)

“Sini, Nak.” Dan dihelanya tamu yang terbengong-bengong itu untuk duduk di balai-balai bambu kecil di emperan rumah. Berbisiklah Nenek itu, “Nak, Nenek senang kau kemari. Senaaaaaang sekali. Sebab Nenek butuh pertolongan. Begini ya ceritanya, dua orang itu, ya si Anu dengan suaminya, ya, entah suami atau bukan Nenek juga tidak tahu, pokoknya mereka itu datang dari laut, malam-malam pas Jumat Kliwon. Basah kuyup, dan yang perempuan rambutnya terurai seperti… seperti sssst… ! Lalu ya, mereka minta naungan, katanya, katanya. Nah, Pak Dukuh sini juga baik-baik saja. Habis, kami ketika itu lupa, pas itu Jumat Kliwon. Mereka ditolong, gotong-royong dibuatkan gubuk atap klaras yang cukuplah. Kalau siang hari, ya biasa-biasa saja, mereka bekerja. Yang lelaki cari ikan… katanya. Dan yang perempuan cari nafkah dengan mblantik kuda… itu katanya lagi. (Itu betul. Dia blantik kuda. Saya lihat sendiri dan sangat dirugikan oleh dia.) Nanti dulu, Nak. Belum selesai cerita Nenek.

“Nah… apa tadi… nah, kalau siang seolah-olah mereka begitu. Seolah-olah! Tetapi kami di desa sini tidak tahu, yang lelaki itu berbuat apa kalau malam hari, cari ikan katanya, tetapi ya embuh. Ya, cari ikan sih cari ikan. Tetapi anehnya, kalau orang-orang Nyamikan sini semalam hanya mendapat dua tenggok ikan, dia mendapat empat tenggok. Kalau sial hanya satu tenggok, eee… dia dua tenggok. Kalau mujur sekali kami dapat lima tenggok, si nelayan yang katanya nelayan tadi kok memperoleh sepuluh tenggok. Begitu terus. Ini kan aneh, mencurigakan.

“Naah, yang perempuan… yang perempuaaaaaaan, waaaa ini gawat. Gawat. (Pelacur?) Oooooh melebihi. Dia ini… (Nenek memutarkan kepalanya ke segala arah, lalu berbisik ke dalam telinga si Warok.) Dia ternyata bukan manusia (Heh, apa, Mbah?) Bukan manusia. Dia sundel bolong.[30]) (Omong kosong!) Eeeeh, jangan diambil gampang. Nenek melihat sendiri. Dia tidak pernah mau tidur bersama Nenek di amben di balik bilik sini. Selalu di tikar sana, di tanah di sudut dalam sana. (Dan pelan-pelan dua pasang mata memutar mengarah ke pintu yang masih ternganga yang sekarang tampak mengerikan di mata Badogbadig.)

“Nah, sekarang dia tidak kelihatan. Sedang di kuburan dia sekarang. (Kuburan? Masya Allah!) Ya, kuburan yang ada kijing-kijing-nya dan punthuk punthuk-nya itu. Pohon kemboja, tahu? Kuburan, ya di kuburan dia sekarang. Apa ya hari ini… nah, jelas Kamis Wage. Mesti selalu begitu. (Kok tidak Selasa atau Jumat Kliwon?) Tidak. Kamis Wage. Selalu begitu dia. (Apa betul ta, Mbah?) Nah, tidak percaya. Warok begitu gagah kok tidak percaya. Nenek melihat sendiri. Kalau dia sedang tidur, dia selalu telentang, tidak pernah telungkup kalau tidur. Tetapi Nenek pintar. Dia sedang tidur, di samping dia Nenek kasihsebungkus tai lencung.[31]) Tahu tai lencung? Aduhai semerbak baunya. Nah, karena mencium bau lencung yang aduhai itu, dia kan lalu agak miring tidurnya. Nah, konangan! Apa yang Nenek lihat? Bolong! Jan bolong plong-mblegendong-gulu-tekan-bokong![32]> (Nenek tidak takut?) Ya takut tentu saja, Nak. Tapi Nenek kan sudah tua. Perempuan lagi. Nenek pikir, ah toh sundel bolong itu sukanya cuma lelaki, apa lagi yang timus-ketelanya besar dan cepat panas. Maka Nenek memperhatikan. Aduh, dalam bolongannya yang serba mblotong mbluwer[33]) itu… (Sudah Mbah, sudah. Saya mau pergi. Lain kali saja…) Lho, gimana ta Nak, ini.

“Tadi Nenek sudah gembira sekali kau datang, padahal Warok, jadi orang kuat. Dibutuhkan pertolongan kok malah lekas-lekas mau pergi. Siapa yang melindungi Nenek kalau ada apa-apa. Memang sundel bolong sukanya lelaki, lelaki yang jantan, bukan yang cuma ingah-ingih[34]) banci, bukan durian bukan gori, lha kok…. Mbok menunggu sampai esok pagi saja, Nak Warok. Soalnya ya, dari bolongnya itu selalu saja keluar semacam blotong blonyoh.[35]) Padahal Nenek sudah tua, kadang-kadang rasanya saraf sengkring-sengkring kalau membongkok. Padahal kalau blotongnya itu tidak dibersihkan cepat-cepat, sering keluar kelelawar-kelelawar hitam yang sakit sekali kalau menggigit. Nah, Nenek sendiri belum pernah merasakan, seba yang digigit kelelawar itu cuma orang lelaki. Tetapi tolong ya, Nak, kasihan tetangga, apalagi anak-anak lelaki di Nyamikan sini.”

“Maaf, Mbah. Malam ini saya masih ada undangan jagong bayi[36]) di desa kami. Jadi….”

“Ah, tolong, Nak, Nenek cuma janda tua, sendirian. Bagaimana kalau terus-menerus begini. Apa Nak Warok tidak dapat mengusir si Sundel Bolong itu? Dan itu suaminya, yang belum tentu suaminya itu, barangkali salah satu budak Nyai Blorong dia, siapa tahu… tolong, Nak. Mosok lelaki -dan warok lagi- kok takut. Mana ada warok takut. Nenek cuma minta sedikit. Tikarnya diambil lalu dibakar di bawah pohon pisang. Hanya itu.”

“Mengapa Nenek tidak membakarnya sendiri?”

“Ooo… yang membakar harus orang lelaki. Begitu pamali-nya. Mosok hanya membakar tikar saja seorang warok perkasa takut? Kalau orang-orang kampung sini takut, nah, itu bisa dimengerti. Ayo, Kang.”

Sangat sulitlah situasi Badogbadig. Bila ia menunjukkan rasa takutnya, keesokan hari seluruh wilayah Pacitan akan diberi angin berita, betapa pengecut si Warok Badogbadig menghadapi perempuan Duku. Bagaimana nanti ia akan menyelamatkan mukanya! Tetapi untuk menanggapi permintaan Nenek keparat ini, sungguh kecut juga hatinya. Tidak mengira dia, bahwa si Blantik Kuda yang… persetan, asal bersama dengan Nenek itu, kan hanya mengambil tikar dan membakarnya, tidaklah berbahaya, bukan? Gedebog bosok![37]) Sesudah menghela napas dalam-dalam berdirilah si Warok. “Mana pelitanya?”

Nenek itu menyerahkan pelitanya kepada tamu berangasan itu.

“Mana perempuan itu? Ayo, Sundel Bolong, aku punya hadiah ketela-pendam untukmu.” Dan serba menggagahkan diri si Warok masuk pintu yang sudah terbuka tadi. Tiba-tiba terdengarlah teriak si Warok mengerikan, “Haduh! Hadoooh, mati aku!” Dan menangis kesakitanlah Badogbadig memeras-meras matanya yang baru saja diguyur air lombok pedas sekali oleh Duku yang sudah gigih menanti dari balik daun pintu, dan yang tidak dapat dilihat oleh Badogbadig karena silau pelita di dekat mukanya. Si Warok lupa, bahwa di bawah setiap ranjang kaum perempuan selalu tersedia sebatok air cabe yang sangat pedas, selaku senjata muslihat ampuh melawan pencuri yang lena. Maki dan teriak kotor si Warok hanya sesaat, sebab langsung ia tersungkur di tanah, pingsan karena begitu sakitnya ketela-belut-kura-kuranya ditendang sangat keras oleh kaki si Blantik perempuan desa. Si Nenek cepat-cepat pergi ke sudut ranjang dan dengan sekeras-kerasnya ia memukul kentongan. “Tak perlu lama menunggu, para tetangga sudah datang, dan langsung tubuh si Warok ditarik ke luar. Pak Dukuh Kepala Desa, seorang kakek berambut dan berjenggot putih dengan pentungnya tanpa ampun menghantamkan senjatanya pada kepala si pengacau malam yang sial itu, dan habislah riwayat sang Badogbadig. Tak lama kemudian datanglah beberapa nelayan petani yang malam itu sedang mendapat giliran menjaga ladang, melaporkan penangkapan seorang asing yang mencoba melarikan diri, dan yang karena melawan langsung dihabisi nyawanya. Atas keputusan bersama, disepakati agar jejak-jejak peristiwa segera dihapus sebelum rekan-rekan nelayan yang malam itu sedang mencari ikan dan esok harinya pulang, tidak mendarat dengan mayat orang asing dibawa ke kampung. Itu pantangan yang dianggap berakibat buruk bila dilanggar. Maka ditariklah kedua mayat itu, seperti pohon pisang, diikat di belakang sebuah perahu dan ditarik ke laut. Dipersembahkan kepada ikan-ikan hiu. Selanjutnya seluruh kampung akan bungkam mulut.

Ni Duku tidak menyaksikan segala kelanjutan perlawanannya terhadap si Warok. Pucat ia, hanya termenung di tepi ranjang. Dulu si Jibus, sekarang warok tenar. Dalam lubuk hatinya, Duku telah tahu, bahwa hari-hari pengungsiannya di Nyamikan telah usai. Walaupun Nenek yang baik hati itu mengatakan, bahwa seluruh kampung akan bungkam mulut, dan tidak akan membiarkan diri terkena akibat dendam dari pihak keluarga si Warok, akan tetapi Duku sudah merasa, ia dan Slamet harus mengungsi lagi. Sebab betul, orang-orang Nyamikan baik hati, tetapi pada suatu saat naas, bila ada sesuatu yang kebetulan sulit mereka atasi atau pahami, seorang anak jatuh sakit aneh sampai mati misalnya, atau seorang perempuan dua kali gugur kandungan berturut-turut, seorang nelayan mati jatuh dari pohon kelapa dan sebagainya, maka Duku-lah yang akan ditunjuk sebagai sumber malapetaka dan semacamnya. Maka akan lebih sedihlah nasibnya dan suaminya. Ya, Allah, semoga lekaslah Slamet pulang. Tetapi mengungsi ke mana?

Apakah seumur hidup Genduk Duku harus dibedol dan mengungsi dari tempat satu ke tempat lain? Sepanjang umur tak henti diperlakukan sebagai semacam wanita rampasan? Perempuan yang selalu harus takut diperkosa? Lunglai Duku merebahkan diri dan menangis. Kali ini menangisi gua-garba-nya yang belum mau berhenti bergetah, belum mau didiami seorang anak Slamet. Selama masih serba gelisah dan khawatir menghadapi bahaya, tentulah rahimnya tak berselera mengandung janji. Slamet, Slamet, lekaslah pulang, ke Telukcikal pun maulah. Asal perut diperbolehkan menjadi biduk kecil dari si Kecil-mu.

Dalam peti-peti kayu waru yang digetahi kedap air, Slamet membawa oleh-oleh dari Kutanegara. Tepatnya dari Bendara Eyang Pahitmadu dan Putri Arumardi. Yang akhir ini, istri selir Tumenggung Wiraguna meneteskan air mata ketika menerima warta dari si nelayan dari Nyamikan, bahwa sahabat kecilnya nun di kala gara-gara Rara Mendut dulu sudah menemukan seorang teman hidup. Ya teman hidup yang dipilihnya sendiri; suatu anugerah yang tak pernah beliau terima; dan yang sangat beliau irikan pada sang Adik-emas Mendut almarhumah itu. Iri dalam arti kagum sayang. Kakangmas Tumenggung tahu peran istri selir adik-emasnya, Arumardi, dalam usaha pelarian si Harimau-Padang-Ilalang-dari-Utara itu, tetapi kekhasan khusus istri saleh dan arif yang berpadu dengan kecantikan yang sangat dibutuhkan jiwa besi Panglima Besar tangan berdarah, menyebabkan hati sang patih utama tua itu lunak terhadapnya. Mungkin juga karena menghadapi seorang istri anak begawan, Wiraguna takut terkena kutukan gaib dari ayahnya.

Ya, mengapa begitu bernafsu ia dulu terhadap gadis pantai nelayan yang jelas tidak akan mungkin selaras dengan pranatan dan unggah-ungguh[38]) iklim istana? Nafsu kekuasaan! Begitu penilaian Putri Arumardi. Dan bukan dambaan dari hasrat daya hidup kama.[39]) Memang seorang panglima diangkat untuk pada saatnya merenggut kehidupan lawan. Tetapi itu hanya demi penyelamatan kehidupan kaum kerabat yang terancam. Dan demi kebesaran Susuhunan serta negara yang ia abdi. Sebab wahyu dari Narendran[40]) ada pada raja sesembahan praja. Begitulah keyakinan prajurit seharusnya, apalagi seorang patih panglima besar keturunan rakyat biasa yang berhasil terbang sampai ke jenjang tertinggi Kerajaan Mataram. Berani demi daya guna Raja dan Negara.

Arumardi-lah, si Harum Gunung, yang ia petik dulu dari pondok seorang begawan di lereng Gunung Merapi, dia yang halus menyadarkannya, betapa semua, termasuk pengabdian kepada setiap penguasa, punya batas-batas juga. Inilah kelezatan cabai pedas kemranyas, mempersunting anak begawan yang tak gentar membenahi perilaku seorang suami yang ditakuti orang. Namun ini pula ruginya, hambatan untuk ber-kiprah sesuka hati. Ternyata Panglima Besar Mataram pun terkerangka oleh pakem,[41]) terjalin dalam ikatan laras pelog sendro[42]) semesta raya. Hanya berkat ikatan, keselarasan dapat berkumandang dalam gending-gending kehidupan. Setua Wiraguna, masih sangguplah dia belajar dari istrinya yang sangat ia hargai. Dan bukankah seorang resi besar, Bisma sekalipun, harus belajar terpanah oleh seorang wanita, Srikandi? Hanya melewati itulah benar-benar jaya binangun sumambirat[43]) memancar dari setiap Bharata-Yuda.

Terkaca-kaca Duku mendengar berita dari suaminya tentang putri terpuji ini. Juga bergejolak menari dalam hatinya ketika ia baca baris-baris surat Putri Arumardi yang diselipi tiga daun bunga putih mawar gunung. Huruf-huruf tulisan harus diakui tidak luwes bahkan kaku minggrang-minggring[44]) goresannya, akan tetapi justru lebih asli, lebih bercap pribadi sang Arumardi.

Oleh-oleh bawaan Slamet sangat menggembirakan penduduk kecil Nyamikan. Mori dan selendang-selendang dari Koromandel, parang bendo buatan Mataram, dan satu blencong perunggu untuk digunakan bila ada pesta wayang. Sungguh luar biasa untuk penduduk miskin pantai terpencil itu.

Tetapi selekas mungkin Duku dan suaminya harus pulang ke ibu kota. Pulang? tanya Duku dalam hati. Di ibu kotakah rumahku? Tak mengapalah. Kelak akan dia katakan halus kepada beliau, bahwa Mataram bukan rumahnya. Yang penting, Susuhunan-ing-Ngalaga Mataram sedang berkehendak memeriksa –cukup lama– pembangunan makam beliau beserta putra-putri keturunannya, di Imogiri. Jadi Panglima Wiraguna yang lazimnya berwajib mendampingi Raja, akan lama tak hadir di Wiragunan. Maka lekaslah, lekaslah menemui sang Arumardi. Dan memang, dari alasan lain, kepergian tak dapat ditunda. Mendengar riwayat “sundel bolong” yang telah terjadi, sebagai siasat ampuh yang dijiplak dari gagasan “ngeri” Bendara Pahitmadu dulu itu –untuk menyandiwarakan lakon gila prewangan kuburan, Slamet mengernyitkan dahinya. Berhasil memang menangkis si warok berbahaya itu. Tetapi hanya pada jangka pendek. Dalam jangka jauh, Duku dapat terbunuh bila penipuan yang memalukan itu tersiar luas. Atau sebaliknya, justru orang percaya, Duku betul-betul sundel bolong. Segala malang serta malapetaka yang terjadi dalam wilayah Pacitan sampai Pranaraga akan dibebankan pada Duku. Akibatnya, seperti biasanya, suatu saat masyarakat akan merasa lega, apabila mayat Duku “tanpa ada yang membunuh” tertelentang di tepi jalan. Maka, lagi-lagi bersiap-siaplah suami-istri malang itu untuk mengarungi ombak-ombak Laut Selatan menuju ke barat. Setiap saat pantai dan pintu-pintu kami terbuka! begitu pesan para sahabat Nyamikan. Dan lihatlah pada pemberangkatan sang Blantik Bawuk dan suaminya itu, Nenek pintar penipu si Warok secara khusus mengenakan kain baru yang dioleh-olehkan Slamet kepadanya dari Mataram.

Laut! Laut lazuardi, lenggara langgam laras, laju perahu kemerdekaan! Bersama Slamet. Seperti kesepian, tetapi tak kurang kawan di tengah jaladri.[45]) Sendirian, tetapi teriring oleh ratusan burung-burung belibis laut yang mengajak hati muda untuk terbang tanpa takut.

————-

[1]     samudra tempat asal dan tujuan

[2]     ayah Sultan Agung Hanyakrakusuma

[3]     calo jual-beli kuda

[4]     ilmu tentang kuda

[5]     pejabat yang mendapat seribu unit luas lahan dari raja

[6]    pemuda kekasih homosexual

[7]    kuda cokelat dengan bulu-bulu putih pada keempat pergelangan kaki

[8]    sebutan untuk kuda bagus; rambut halus seperti ulat serit, ekor seperti gugusan bunga enau

[9]    seperti batu pengasah (pisau) yang sudah lama terpakai (melekuk)

[10]   coklat dengan noda-noda putih

[11]   otaknya keropos

[12]   mata seperti kepunyaan Narayana: besar mengkilau

[13]   gagah tampan

[14]   kuda berumur kira-kira enam tahun, semua giginya sudah serba baru

[15]   Susunan bulu yang tumbuh seperti spiral kecil

[16]   Omong kosong

[17]   Calo serba hura-hura

[18]   porno

[19]   kata kasar untuk mulut

[20]   jenis kuda dengan dua unyeng-unyeng di batu kepala pada garis vertikal

[21]   unyeng-unyeng hitam pada lidah atas. Kedua jenis tersebut dianggap kuda-kuda perang yang unggul

[22]   Jangan-jangan dia meniru tuannya

[23]   kuda kelabu coklat

[24]   Mata-mata

[25]   sukaria asmara seharum bunga cempaka

[26]   bersetubuh

[27]   tidak

[28]   sangat trampil gesit

[29]   kuburan

[30]   hantu perempuan yang punggungnya berlubang

[31]    serangga yang tinjanva berbau sangat busuk

[32]   Sungguh berlubang keterlaluan, leher sampai pantat.

[33]   berlubang menjijikkan

[34]   berwatak lemah memalukan

[35]   zat bubur busuk

[36]   perayaan bayi lahir

[37]   batang pisang busuk

[38]   skala sopan-santun

[39]   benih lelaki

[40]   Surga para dewata

[41]    alur cerita yang sudah tertentu pasti

[42]   jenis laras nada tertentu dari gamelan

[43]   kejayaan terbangun serba memancar

[44]   ragu-ragu

[45]   lautan

—————–

 Naskah djvu ada disini
Naskah PDF disimpan Dewa  yang jelek, he he he ……

Laman: 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28

Telah Terbit on 16 Mei 2015 at 01:13  Comments (103)  

The URI to TrackBack this entry is: https://adbmcadangan.wordpress.com/trilogi-yb-mangunwijaya/genduk-duku/trackback/

RSS feed for comments on this post.

103 KomentarTinggalkan komentar

  1. Episode pertama Genduk Duku telah diwedar

    silahkan berburu rontal dan bergojeg dan berburu rontal sebagaimana bertahun yang lalu, ketika masih menjadi cantrik aktif di padepokan ini.

  2. test…..
    kenapa komen saya tidak bisa masuk daftar komen?

    Hadu….
    kenapa ya?

  3. Grotal-gratul, grayah-grayah

  4. Serasa seperti nyantrik pertama kali, lupa cara nyarinya

  5. ToPan Siap Hadiiirŕ Pakde Satpam. Apa kabar Pakde Satpam dan Eyang Arema ?. Semoga Selalu Sehat dan Banyak Rezekinya Amiiiin.

  6. Pakde Satpam. Kalau pake android apa bisa dicari dan download ya. Sudah berkali kali di plototi di ubek ubek kok ra ketemu ya hahahhhhhh

    • Sugeng enjang . . . Selamat pagi, Ki Adji.

      Saya tadi sudah mencoba di hp dan tidak bisa Ki, kecuali kalo di hp Ki Adji ada djvu nya, baru bisa dibaca, karena formatnya djvu, bukan pdf bukan pula ms-word.

      Kalo soal rontal diumpetin dimana sama Anakmas Risang, Ki Adji saya kira sudah pengalaman tahunan . . . he he he, tlateni ae suwe-suwe rak ketemu . . . gampang kok, gak susah.

  7. Assalamu’alaikum wr wb
    Salam sejahtera buat kita semua.
    Alkhamdulillah telah kita mulai lagi mengangkat kisah cerita anak bangsa berupa Novel Serial Roro Mendut.
    Serial karya budayawan YB Mangunwijaya ini berkisah tentang kejatuhan martabat seorang ksatria perang, seorang Tumenggung di Zaman Pemerintahan Kesultanan Mataram Era Sultan Agung Hanyokrokusumo.
    Seorang Panglima Perang yang sangat disegani oleh teman dan lawan ini yaitu TUMENGGUNG WIROGUNO, tergelincir hanya karena kecantikan seorang wanita rakyat biasa, RORO MENDUT.
    Sayangnya sang perawan jelita tidak bersedia disunting oleh Ki Tumenggung dengan tawaran hidup kamukten. Ia lebih memili mati bersama kekasihnya PRONOCITRO, seorang nelayan dari pantai utara.
    Kisah tragis di atas berlanjut dengan sebab dan akibat dari peristiwa tersebut di buku kedua dan ketiganya yg sudah dapat diikuti disini.
    Tapi yang justru menarik adalah latar belakang sejarahnya. Banyak yang sangat awam dengan sejarah Mataram di Era akhir Sultan Agung yang digantikan oleh putra mahkota Sunan Amangkurat I, yang dikenal brutal demi menuruti ambisinya yg gemar melahap betis indah. sampe demi menutupi kebobrokannya, dia tercatat telah membantai ratusan Kiai dan Santri di jamanya. Bagaimana jalan ceritanya, temukan di serial novel ini.
    Hanya sayang sekali, Genduk Duku ini sudah Seri II. Buku Seri I berjudul Roro Mendut, belum ditemukan dalam koleksi. Sedangkan mencarinya di luar sangat jarang diketemukan.
    Apabila diantara sidang pembaca ada yg memiliki, atau kebetulan menemukan di toko buku. mohon perkenan untuk di informasikan di sini.
    Mohon judul di atas bukan APDM, tapi RORO MENDUT, novel serial sejarah YB Mangun Wijaya.
    Monggo.

  8. Assalamu’alaikum Wr Wb,
    Salam sejahtera untuk kita semua,
    Selamat pagi . . . Sugeng enjang,
    Sanak kadang adbm semua . . . .

    Anakmas Risang kok teganya-teganya menyanyi . . . he he he.
    Sementara kadang yang gak sabaran maunya cepet membaca, ingak-inguk rana-rene, nang endi leh ndekek rontal.

    • kok komentare menunggu moderasi,
      ra entuk mlebu po ya . . . . . hiks.

  9. Pasti bisa…hik..megkuh titik noda itu…

  10. mantappppp….. tinggal cari roro mendutnya…

  11. Nunut ngiyup Ki ….

  12. Roro mendutnya di bawa lari pronocitro Ki … Salam buat poro Empuh2 Adbm/Pdls …

  13. Wis di ubek2 ora ketemu .. Klau PC cepat klau Hp apa bisa ya … PakLik Satpam mohon bantuannya ..

  14. Ho android juga bisa ki….titik bernoda kata mas satpam…hikkk tidak boleh menyerah

  15. Sugeng sonten Anakmas Risang

    Lha wong episode 2 sudah wedar dari tadi, po ya belum ada yang ngunduh . . . he he he.
    Mungkin sanak kadang perlu bahasa sasmita dari P. Satpam, memang diperlukan ketelitian dan kejelian.

    Sanak kadang sedaya . . . mangga episode 2 sudah gogrok, tinggal ngunduh saja.

    • Sugeng sonten Panembahan
      he he he …., kala wau kesupen terus buru-curu wedaran, lan terus nglanjutaken tugas malih.
      ngapunten…

  16. Hiks…..mas Satpam

    • kata bang haji mas Satpam…terLALU

      • he he he …..
        gandok dimanapun kalau tidak ada Ki Menggung Gembleh dan Ki YP, kayaknya bagaimana…. gitu.

        Monggo Ki

        • Betul Lik Satpam… seperti lontong balap tanpa lontongnya…

          • Betul ki AM….
            Seperti motor balap tanpa motornya

  17. Pusing…
    bagaimana memunculkan komentar terakhir dalam daftar

    mohon pencerahan

    • Lho….mas satpam kePUsingan toh

      Cantrik kira memang sengaja tidak
      mas Satpam tampilkan

      • Gampang mas Satpam…hiks

        Kirim panah sanderan nti cantrik
        bantu dari ujung wetan

  18. Alhamdulillah lagi bisa mlebu senthong sebelah sini…

    lampune masih mati, sehingga harus meraba-raba mencari rontal ala genderuwo picek… semoga pas ‘meraba’nya…

    • Ketemu ki AM….bukan hanya diRABa
      zoom juga perlu ki, saestu

  19. nakmas satpam apa eps.3 siap digrayah ?

    • likmas Satpam apa eps.4 siap diwedar?

      • dereng, mbenjang enjing

    • sampun …..

  20. Alhamdulillah wis gak usum duku nanging iso moco Genduk Duku semudah memijit wohing ranti.

    • Selamat malam mas Satpam… 🙂

      Selamat menyiapkan wedaran rontal
      lanjutan.

      • di padepokan sini….cantrik siap
        bertanding lawan mas Satpam

        Kuat mana yang baca apa mas Satpam
        yg nyiapkan rontal

        • hayoo,,,,,,,,,

          • Priit…format text mas Satpam

            • yg kalah angkat
              tangan kanan.
              tanda kiri cukup
              masukan saku
              belakang 🙂 🙂

            • Kudu sesuai jadwal no Ki Menggung.

              • Jadwal ber-
                kunjung

                • J
                  A
                  D
                  W
                  A
                  L

                  A
                  M
                  B
                  I
                  L

                  J
                  A
                  T
                  A
                  H

                  R
                  A
                  N
                  G
                  S
                  U
                  M

              • Monggo
                lha wong wis ket mau kok
                he he he …..

  21. Episode 5….belum ada cantolan
    Episode 6….masih dalam penggorengan

    Episode 7….belum diracik mas Satpam
    Episode 8….nunggu antrian wedar

    • Usul mas Satpam,

      Wedaran rontal nunggu pasukan OGrog
      pada ngumpul ng padepokan.
      Tahan dulu wedaran sp cantrik mentrik
      kemringet ngiler rontal lanjutan.

      Ini tadi usulan ki Trupod sesepuh
      padepokan….ki gundul sakdermo
      menyebar luaskan

      Saestu…TENAN

    • 5 wis kok

      • 5 wes nyantol….tinggal srondol

        • Matur nuwun mas Satpam

          • Nti malam cantrik kancani
            Melek-an

  22. Absen dulu aahh…..

    Baru kali ini mbuka gandok Genduk Duku, karena berbagai hal..
    matur nuwun sanget Pak Satpam, Bopo Panembahan, dll atas peluncuran rontal yang baru

  23. selamat siang

  24. Episode 5 : djvu dan pdf

    teks belum dimunculken

    • pelan2 mas Satpam…ga usah terburu
      buru pasang “teks”

      yg penting wektu cantrik sambang lgi
      nanti “teks” sudah dicantolkan…hehe20x

      • Malam mas Satpam

        • Hadir…sambang padepokan

          • he he he …, monggo…..

            • Hehehe…matur
              nuwun mas Satpam

              • Sugeng
                Dalu

  25. Hadir….mas Satpam

    • Sugeng dalu kadang genduk DUKU

      • Otw padepokan sebelah sengkaling

        • loh…, padepokan sebelah Sengkaling yang mana? UMM, UIN, Polres?

  26. HADIR…..mas Satpam

    • monggo….
      penghuninya di sini hany Ki menggung sendiri
      satpam juga jadi males piket disini
      he he he he he he he he he he (lama lama tidak terdengar)

      • Males….pertanda belom makan
        mas Satpam…kleru Mules ding.

        AYO SEMANGAT…mumpung yg
        laen pada belom datang.

        • berDUA…..sapa takut 🙂 🙂

          • AYO mas SATPAM….kita buat padepokan megah.

            Megah : menawan gagah
            tur bikin betah para wanita
            seluruh tlatah jawa 🙂 🙂

  27. HADIR….sugeng dalu

    • mas Satpam….kemana kah panjenengan

      • cantrik dewean….ENAK tenan

        • urun saran….kenapa komen di genduk duku tidak nampak pd

          KOMENTAR terakhir padepokan
          ini mungkin yg bikin gandok jarang ada yang singgah padepokan

          • masa sih mas Satpam ga
            bisa otak atik membetulkan

            • Sampe judeg Ki, tidak berhasil.
              Masih dicoba otak atik lagi.

  28. Alhamdulillah, terima kasih mas
    Risang, tau tau sdh episode 8.
    Apa mas Risang sdh baca ceritanya?
    Latar belakang sejarahnya menarik, yaitu awal mula kita bersentuhan dengan barat secara langsung, dan juga kedzoliman Amangkurat 1yg jarang diangkat ke permukaan.

    • Sambil konversi dan edit teks Ki, satpam sempat baca.

  29. Njlekethek,
    setelah hampir putus asa, akhirnya ketemu penyebab tidak munculnya komen terakhir.
    Hadu…..
    Bobo ah….

  30. Wah…jebul saya ketinggalan….padahal yang cepat dapat yang lambat ketinggalan….Sugeng sonten sedoyo…!

    • benul ki Karto….yg cepat dapat duluan
      yg lambat sabar nunggu dum2an

      • Benur..Ki Tmg.YP..ngantri..

        • Ngantri sebentar….pas dibelokan cantrik serobot antrian,

          • Ati2 Ki Menggung….keseringan nyrobot ntar…bengkong lho 😀

            • Bengkong sekali kali asik ki Menggung

              BengkongAN…he 50x

              • Selamat malam…..sepi banget

                • S
                  E
                  R
                  E
                  M

                  Hi
                  Hi
                  Hi
                  Hi

              • hem….serem deh 😦

                • Se
                  Re
                  M

                  Me
                  Le
                  K

                  Me
                  Re
                  M

              • Serem…..seneng merem 😀

  31. tes…..masuk komen, komen masuk

    • tes…..yang keluar masuk 😀

      • Sugeng dalu ki Kartojudo

        • Kecipir mrambat kawat…wes suwe ki Karto ora liwat

          • Sugeng manuk..eh..masuk Ki Gundal gandul 😀

            • Hiks…matur nuwun ki Kartojudo

              Suwe ora jamu…jamu pisan godhong kates
              Suwe ora ketemu…ketemu pisan tes testes

              • Hehehe…dak kiro ketemu pisan ketemu….kates 😀

              • Sanes
                kates
                ki….

                kutes
                kusuka
                kates

  32. HADIR…. mendhisiki diri sendiri

  33. he he he ….

    gandok ini sepertinya rumahnya Ki Menggung berdua (KiGundul dan Ki Kartoyudo sendiri)

    • Bener mas Satpam…terkadang kita perlu menyendiri buat mengendapkan serta menenangkan diri dari hiruk pikuk ramainya hohohihi

      • Bener mas Satpam…terkadang kita …merasa sedih

        • Sedih dipagi hari…seneng disore hari

          • Sedih disiang hari….sueneng dimalam hari

            • Sugeng Riyadin Ji Gundul,mas Satpam…..
              maaf lahir batin……..

              • Njih Ki Menggung
                sami-sami nggih.


Tinggalkan komentar