Api di Bukit Menoreh
Seri IV-100
Membangun Armada Laut Yang Kuat bagi Mataram
Oleh Ki Agus S. Soerono
KETIKA menyadari semua yang terjadi itu, Ki Tumenggung Untara pun kemudian bersyukur dan terus berusaha mendalami ilmunya yang baru terungkap. Ki Tumenggung Untara melatihnya berulang-ulang.
Ternyata di dalam gua itu terdapat cukup banyak batu besar yang teronggok di sudut-sudut ruangan yang dapat menjadi sasaran ilmunya.
Karena mengetahui di dinding gua itu banyak terdapat pahatan gambar yang dibuat oleh ayahnya Ki Sadewa mengenai berbagai tata gerak dasar olah kanuragan perguruan Jati Kencana, maka Ki Untara tidak berani mengarahkan pukulannya ke dinding gua.
Ia khawatir seperti yang dialami Agung Sedayu, yang secara tidak sengaja telah menghancurkan goresan puncak ilmu Jati Kencana. Meskipun secara tidak sengaja pula ia berhasil menemukannnya, ketika membuka batu pipih yang terdapat di tengah ruangan gua itu.
Demikianlah dengan tidak mengenal lelah Ki Untara, berlatih dan berlatih dengan ilmunya yang baru. Aji Jati Kencana. Ketika bayangan sinar mentari di kubah gua yang berlubang itu semakin redup barulah ia mengakhiri latihannya.
Ia pun kemudian membersihkan dirinya dengan air yang muncul dari celah-celah batu dan jatuh gemercik di bawahnya. Ketika suasana di dalam gua itu semakin gelap, maka Ki Untara pun menyalakan oncor dari biji jarak dengan batu titikan dan dimik belerang.
Ruangan gua yang tadinya gelap, menjadi sedikit terang. Ia meletakkan oncor dari biji jarak itu di atas meja batu pipih.
Ki Untara duduk di lantai, sementara itu kitab Jati Kencana peninggalan ayahnya—Ki Sadewa—digelarnya di sebelah oncor itu.
Ia pun membalik-balik lembaran demi lembaran rontal itu dan matanya tertarik pada tata gerak ilmu pedang –Aji Jati Laksana— yang terdapat di dalam rontal itu.
Dengan teliti ia mengingat dan mengguratkan gambar demi gambar, kata demi kata dan segala petunjuk dalam pelaksanaan ilmu pedang Jati Laksana tersebut terpateri ke dalam bilik ingatannya.
Seperti halnya adiknya Ki Agung Sedayu, Ki Untara pun mempunyai ingatan yang kuat atas tiap sesuatu yang diamati dan diperhatikannya dengan teliti. Dalam waktu yang tidak terlalu lama semua guratan di atas rontal itu sudah dipindahkannya ke dalam bilik ingatannya.
Ketika malam semakin mencapai ke puncaknya, maka Ki Untara sempat beristirahat sejenak. Namun tidak lama kemudian, ketika sinar kemerahan mulai memantul dari lubang kecil di atas kubah gua itu, maka Ki Untara bangkit kembali.
Setelah melaksanakan kewajibannya, ia bertekad ingin segera berlatih dengan ilmu pedang aji Jati Laksana yang tadi malam dipelajarinya dari lembaran rontal-rontal itu.
Demikianlah Ki Untara pun mulai bergerak dengan lincahnya memutar, memukul, membabat, menyabet, menepis, menghentak dan mengguncang dinding gua itu dibarengi dengan teriakan yang keras guna mendalami ilmu pedang mustika peninggalan ayahnya.
Pedang yang jauh lebih berat dari pedang rata-rata itu, dengan ringannya berputar di tangan Ki Untara. Seperti halnya ketika ia mengerahkan aji Kencana Jati, maka dalam ilmu pedang Jati Laksana ini pun Ki Untara merasakan pada akhirnya golakan hawa murni tenaga cadangannya yang terkumpul di dadanya.
Karena itu, Ki Untara pun segera melakukan petunjuk tata gerak dari puncak ilmu pedang Jati Laksana. Ia pun memusatkan nalar budinya. Tangan kanannya yang memegang pedang mustika itu perlahan-lahan diangkatnya menyilang di depan dada, sedangkan tangan kirinya juga perlahan-lahan terangkat ke dada menakup ke kanan.
Ketika semua hawa murni dari tenaga cadangannya sudah terkumpul di dada, maka dihentakkannya pedang mustika yang berat itu ke arah sebuah batu besar di sudut ruangan. Akibatnya sungguh dahsyat.
Seperti halnya ketika batu-batu yang tergolek di sudut itu kena gempuran tata gerak dasar aji Jati Kencana, maka batu hitam itu pun hancur berantakan ketika kena gempuran dari jarak cukup jauh oleh tata gerak dasar ilmu pedangnya. Aji Jati Laksana.
Demikianlah, Ki Untara terus melatih tata gerak ilmu pedangnya semakin mempertajam dan semakin memperdalamnya. Ia pun setiap kali menambah jarak jangkauan aji Jati Laksana. Ketika semua sudah dirasakannya cukup, maka Ki Tumenggung Untara pun hendak menyelesaikan tugas dan kewajibannya untuk mempelajari ilmu tata gerak dari olah kanuragan peninggalan ayahnya, yang ternyata bernama perguruan Jati Kencana.
Setelah membersihkan diri, Ki Untara pun menanti saat turunnya matahari senja di balik selimut bukit di sebelah Barat. Sinar mentari yang tadinya menerobos dari lubang kubah itu berwarna terang, lama kelamaan berubah menjadi merah kekuning-kuningan dan pada akhirnya menjadi redup.
Pada gilirannya warna redup itu berubah menjadi gelap dan tidak nampak apa-apa lagi. Namun mata Ki Untara yang sudah terbiasa dengan gelapnya gua itu bisa melihat dengan jelas setiap titik yang berada di dalam gua itu, seperti ia melihat di siang hari di luar gua.
Ketika tiba saatnya sepi bocah, Ki Untara pun mulai menyiapkan kampil perbekalannya. Bahan makanan mentah yang dibawanya, sesuai perhitungannya ternyata telah habis. Namun tempat bahan makanan mentah itu kini digantikan oleh kotak kayu kecil yang berisi kunci tata gerak ilmu olah kanuragan perguruan Jati Kencana.
Sementara di pinggangnya kini terselip dua bilah pedang, yaitu pedang pendek yang dibawanya dan pedang mustika pemberian ayahnya yang ditemukannya di bawah meja batu pipih di dalam gua itu.
Setelah selesai dengan persiapannya kembali ke padepokan kecil Orang Bercambuk, perlahan-lahan Ki Untara berjalan menuju mulut gua.
Namun terasa ada sesuatu yang menahannya untuk segera meninggalkan gua itu. Selama sekian hari berada di dalam gua itu, ia merasa ayahnya—Ki Sadewa—seolah-olah berada di sebelahnya memperhatikan dan memberinya petunjuk, seperti ketika ia masih kecil dulu berlatih tata gerak ilmu olah kanuragan di dalam gua itu.
Ki Untara merasa ayahnya itu selalu memberinya petunjuk yang diperlukannya, ketika ia merasa salah melakukan tata gerak yang diguratkan di dinding gua maupun di dalam kitab Perguruan Jati Laksana. Karena itu ia merasa berat untuk meninggalkan gua itu.
Namun seperti ketika ia berangkat untuk mesu diri ke dalam gua itu, ia merasa berat untuk berangkat, maka kini ia pun merasa berat untuk meninggalkannya. Tetapi dengan tekad yang kuat, dikeraskannya hatinya.
–Terima kasih ayah—katanya dalam hati—semoga ilmu tata gerak dari ilmu olah kanuragan yang ayah tinggalkan dapat bermanfaat bagi sesama—
Ki Untara pun kemudian bergerak menuruni lorong-lorong gelap dan berbatu-batu tajam itu serta menurun menuju mulut gua. Ketika memasuki kubah pertama dari arah mulut gua, hidungnya yang tajam itu pun mencium bau pesing yang ditinggalkan oleh ribuan kelelawar yang bersarang di dinding gua. Namun agaknya sebagian kelelawar itu baru keluar dari mulut gua, sehingga suaranya tidak begitu berisik seperti saat ia baru masuk ke dalam gua itu.
Akhirnya Ki Untara pun sampai di mulut gua di atas tebing sungai itu. Di sudut mulut gua masih dilihatnya onggokan gulungan tali ijuk yang diberinya simpul-simpul. Ia lalu mengambil gulungan tali itu. Sebelum melemparkannya ke bawah, ia mencoba menarik-narik tali yang tersangkut pada jangkarnya di bebatuan di atas tebing.
Ketika Ki Untara menarik-narik tali itu untuk menguji kekuatannya, suatu benda tiba-tiba terjatuh di sisinya. Benda yang semula melingkar itu kemudian mengurai lingkarannya sambil berdesis-desis dan kepalanya bergerak-gerak. Ular bandotan. Tidak hanya satu, tapi tiga ekor.
Ular bandotan yang cukup besar—sebesar lengannya— itu mendesis-desis sambil meliuk-liuk menghampiri Ki Untara dari satu arah. Sekali-sekali kepalanya diangkat. Mulutnya menganga dan dari celah-celah taringnya keluar lidah yang bercabang dua.
Ketika ular-ular itu merasa sudah sampai pada jarak pagutannya, maka ketiga ular itu secara bersamaan meluncur seperti anak panah yang terlepas dari busurnya.
Sebelum ketiga ular itu sempat mencapainya, Ki Untara segera mencabut pedang pendek di lambung kirinya. Crash. Crash. Dua ekor ular berhasil dibabatnya dengan pedang itu. Ular itu terpotong menjadi dua bagian. Serangan ular yang ketiga berhasil dihindarinya.
Ketika ia berpaling ke ular yang ketiga, ternyata bagian kepala ular yang berada di dekatnya masih sempat menggeliat dan menyambar kakinya. Ular itu ternyata tidak mati. Meskipun terpotong dua, kepala ular itu masih hidup dan taringnya yang tajam menikam betisnya.
Terasa pedih di betisnya itu. Di babatnya sekali lagi potongan ular itu. Namun sisa potongan kepala ular yang hanya sejengkal itu, masih menempel dengan kuatnya mencengkeram daging di betisnya.
Ki Untara sambil menahan pedih di betisnya kemudian memperhatikan ular ketiga yang bersiap-siap untuk menerkamnya. Ternyata kepala ular yang berhasil menggigitnya itu telah mulai membenamkan biang racun yang ada di langit-langit mulutnya ke betis Ki Untara.
Rasa nyeri tiba-tiba terasa merayap dari luka gigitan ular itu ke seluruh bagian-bagian tubuhnya dan bergolak menuju ke jantung. Ia sempat menyeringai sesaat. Namun ia kemudian meneguhkan hatinya.
Ki Untara yang sudah menjalani mesu diri dengan berendam di dalam belumbang gua itu, tiba-tiba merasakan hawa yang hangat menggumpal dan mendorong rasa nyeri yang mulai mencengkeramnya tadi. Perlahan-lahan hawa hangat itu terus mendorong rasa nyeri itu sampai ke titik lukanya.
Ketika Ki Untara sedang menghayati hawa hangat yang mendorong rasa nyerinya itu, ia sempat terlena sesaat. Waktu yang sesaat itu dipergunakan oleh ular ketiga untuk menyambar betis yang lain. Tetapi Ki Untara tidak mau ular bandotan yang cukup besar itu juga menempel lagi di kakinya.
Dengan tangkas ia membabat lagi ular itu. Crash. Crash. Crash. Crash. Ular itu terpotong menjadi empat bagian dan tergeletak di sisinya. Ki Untara masih melihat kepala ular yang sepotong itu mencoba menerkamnya. Sekali lagi pedangnya menikam kepala ular itu. Dan kepala ular itu terbelah menjadi dua dan tidak bergerak lagi. Mati.
Perlahan-lahan Ki Untara menurunkan pandangannya, dan dilihatnya kepala ular yang kedua masih menempel di betisnya. Ditikamnya kepala ular itu sekali lagi. Kepala ular itu pun terlepas dari gigitannya pada betis Ki Untara. Gigitan itu meninggalkan empat buah lubang bekas taring di betisnya. Dari luka itu mengalir cairan berwarna biru kehitam-hitaman. Racun.
Ki Untara pun sambil menyeringai berusaha memeras darahnya dari luka di betisnya. Cairan biru kehitam-hitaman itu pun keluar semakin lama semakin banyak. Namun perlahan-lahan cairan yang keluar warnanya berubah menjadi kemerah-merahan dan akhirnya merah sama sekali. Tidak ada lagi bekas racun yang berwarna biru kehitam-hitaman.
Ki Untara kemudian mengambil sebuah bumbung kecil yang terselip di ikat pinggangnya. Ia mengeluarkan serbuk obat luka yang ada di dalam bumbung kecil lalu menaburkannya ke bekas luka gigitan ular bandotan. Tak lama kemudian darah yang keluar dari lukanya mampat dan tidak mengalir lagi.
Ki Untara lalu duduk bersemadi di atas batu yang terdapat di mulut gua. Ternyata gelombang arus hawa hangat yang mendorong rasa nyerinya tadi terus bergerak. Segala sisa-sisa racun ular bandotan yang ada di dalam tubuhnya didorong keluar.
Kini Ki Untara menyadari bahwa ketiga laku yang dijalaninya di dalam gua itu—puasa, patigeni dan berendam di dalam belumbang—membuat dirinya kebal dari segala racun, termasuk dari bisa ular bandotan yang sangat tajam. Ia kini telah kebal terhadap segala jenis racun.
Karena darahnya cukup banyak keluar, maka Ki Untara beristirahat sejenak untuk memulihkan tenaga setelah darahnya terkuras akibat gigitan ular tersebut.
Ternyata ia membutuhkan waktu agak lama untuk memulihkan tenaganya akibat darahnya terperah dari luka gigitan ular bandotan itu. Perlahan-lahan tenaganya pulih kembali. Sedikit demi sedikit tenaga cadangan yang dikerahkannya mampu mendorong sisa racun itu. Pada akhirnya Ki Untara merasa tenaganya telah pulih kembali.
Setelah Ki Untara merasa segar kembali, ia menuruni tebing sungai itu dengan mempergunakan tali yang digulungnya di mulut gua. Gulungan tali itu diurainya, lalu dilepaskannya ujungnya berjuntai ke bawah. Ia pun menuruni tebing sungai itu dengan berpegangan pada simpul-simpul tali.
Tidak seperti ketika naik, di mana ia merasa bobot badannya yang agak gemuk telah memberati tangannya ketika berpegangan pada simpul-simpul tali, maka ketika turun ini Ki Untara merasa lebih ringan. Hal itu karena perasaannya yang lega karena telah berhasil meningkatkan ilmunya dan juga karena kemampuannya yang baru yang dicapainya dalam masa mesu diri di dalam gua. Ilmu Meringankan tubuh.
Ketika telah tiba di batu yang menjorok di tebing sungai itu, tiba-tiba timbul keinginan Ki Untara untuk mengetahui tingkat kemampuan ilmunya yang sebenarnya. Karena ketika berada di dalam gua, ia merasa terhalang oleh ketinggian kubah gua itu. Namun di atas batu yang menonjol di atas tebing sungai, ia bisa bergerak bebas. Ia merasa tidak ada yang menghalangi ketinggian loncatannya. Keadaan alam yang sepi dan tidak ada penghalang di atasnya, akan dipergunakannya sekali lagi untuk mengetahui tingkat kemampuannya.
Setelah meletakkan kampilnya, Ki Untara bersiap-siap. Ia lalu meloncat tinggi dengan mengerahkan tekanan kakinya pada pijakannya. Begitu ia menjejakkan kakinya, tubuhnya serasa seperti bilalang yang meloncat tinggi menghindari sambaran burung sikatan.
Ternyata Ia mampu meloncat setinggi separuh ketinggian gua. Ketika meluncur turun ia menjejak sebuah batu yang menonjol di tebing sungai dan badannya serasa terbang menuju mulut gua.
Ki Untara kemudian meluncur turun. Ia mendarat di atas batu yang menonjol di tebing sungai itu, seperti seekor kucing yang terjatuh dari atas atap rumah. Tidak menimbulkan suara apapun.
Ia pun mencoba meloncat sekali lagi. Pada lompatan kedua ini, ternyata ia mampu meloncat setinggi tiga perempat dari panjang tali ijuk yang menjuntai di mulut gua.
Dengan sigap ia menyambar tali itu ketika badannya meluncur turun. Hal itu diulanginya beberapa kali dengan kekuatan yang semakin bertambah. Sehingga pada suatu ketika Ki Untara mampu mencapai mulut gua itu dengan satu kali loncatan dari batu yang menonjol di tebing sungai itu.
Begitu juga sebaliknya, ketika ia turun, Ki Untara terjun saja dari batu di mulut gua itu. Dengan mengendalikan gerak tubuhnya melalui pikirannya, ternyata Ki Untara seolah-olah bisa mengerem kecepatannya meluncur itu. Sehingga ketika sampai di bawah, ia bisa melayang turun seperti seekor elang yang mendarat di tanah.
Ia bisa mendarat dengan ringan tanpa menimbulkan sedikitpun desiran suara.
Ki Untara pun melatihnya beberapa kali untuk naik ke mulut gua dan terjun ke batu yang menonjol itu. Memang pada awalnya ia merasa gamang dengan naik turun seperti itu. Namun lama kelamaan iapun menjadi terbiasa.
Ia teringat akan kegamangannya ketika masih remaja dulu, pada saat ayahnya melatihnya mengendarai kuda. Ketika ia sudah berada di atas punggung kuda, keringat dingin serasa membasahi punggungnya dan kedua telapak tangannya. Namun dengan memberanikan diri, ia menghentak tali kekang kuda itu dan kudanya mulai berjalan. Lama kelamaan keringat dingin itu pun hilang, ketika ia telah terbiasa.
Ia bisa mengendalikan kaki kuda itu sesuai keinginannya, maju, lari, lari lebih cepat, meloncat tinggi, mundur, belok ke kiri, belok ke kanan. Semua gerakan kuda itu bisa dilakukan dengan menarik tali kendali atau menjepit perut kuda itu dengan lututnya. Kalau ia ingin lari kuda itu lebih cepat, ia memberi perintah kuda itu melalui tendangan kakinya pada perut kuda itu. Akhirnya ia merasa pikirannya sudah menyatu dengan pikiran kuda itu. Kudanya memahami apayang diperintahkannya.
Begitu pula kali ini, setelah berlatih meloncat-loncat dari atas ke bawah dan sebaliknya, keringat dingin yang membasahi punggung dan kedua telapak tangannya itu terasa hilang. Pada akhirnya ia menjadi terbiasa.
Sehingga pada kesempatan lain kalau ia hendak memasuki gua itu, ia tidak memerlukan lagi tali ijuk yang diberinya simpul-simpul setiap dua jengkal.
Setelah mencoba dua tiga kali dan ia berhasil mendarat di atas mulut gua, dan turun kembali ke batu kali yang menjorok di tebing sungai, maka Ki Untara merasa telah cukup. Ia pun kembali mengemasi kampilnya dan segera berjalan meuju ke padepokan kecil yang dipimpin oleh pamannya. Ki Widura.
Berbeda dengan saat ia datang, perjalanan kembali ke padepokan itu terasa lebih cepat dan lebih ringan. Dengan tangkasnya Ki Untara meloncat-loncat dari satu dahan ke dahan yang lain, dari akar pohon satu bergelayutan ke akar pohon yang lain.
Badannya terasa menjadi ringan seringan kapas. Ia merasa seperti terbang karena ayunan kakinya yang kuat. Seandainya ada orang yang melihat gerakan Ki Untara, tentu orang itu mengira bahwa ia bersayap dan bisa terbang seperti seekor elang yang menyambar anak ayam. Gerakannya demikian lincah.
Setelah lewat sedikit dari wayah sepi uwong, Ki Untara telah sampai di padepokan itu yang terasa sepi. Lamat-lamat dari luar pagar halaman padepokan itu masih didengarnya suara pamannya yang membawakan tembang di malam yang hening.
Ki Untara segera membuka pintu regol dan memasuki halaman padepokan. Ia naik ke pendapa dan mengetuk pintu peringgitan.
–Siapa—terdengar suara pamannya dari dalam.
—Aku paman.—jawab Ki Untara. Tak lama kemudian terdengar desir langkah dan selarak pintu dibuka.
—O. Kau ngger. Kau sudah kembali. Syukurlah—kata Ki Widura sambil mempersilakan Ki Untara duduk di atas sehelai tikar di pendapa.
—Ya paman. Berkat doa paman, aku sudah dapat menyelesaikan niyatku untuk memperdalam ilmu perguruan Jati Kencana.
—Perguruan Jati Kencana?—
—Iya Paman. Ternyata dalam nawala yang ayah tulis dan ditinggalkan di dalam gua itu, perguruan kita ini bernama Jati Kencana.—jawab Ki Untara.
—Di manakah kau temukan nawala itu, ngger?—
—Aku menemukannya di dalam rongga di bawah meja batu pipih di tengah ruangan, yang secara tak sengaja aku membukanya. Ternyata selain nawala itu, ayah juga meninggalkan kotak kayu kecil berisi kitab rontal ilmu olah kanuragan dari perguruan yang menurut ayah bernama Jati Kencana yang didirikan oleh kakek buyut dari ayah—kata Ki Untara.
—O. Syukurlah, bahwa nasib perguruan kita tidak terputus. Bahkan angger mendapat kitab rontal yang berisi ilmu murni dari perguruan Jati Kencana ini.
—Iya paman. Bahkan bukan hanya itu. Ayah bahkan mewariskan pedang mustika ini dan tata gerak ilmu pedang mustika yang terdapat di dalam rontal kitab Jati Kencana.
—Alangkah beruntungnya kau ngger. Aku telah berulang kali masuk ke dalam gua itu, namun tidak aku ketahui bahwa kitab itu tersimpan di sana.—
—Secara kebetulan dulu aku pernah melihat ayah mengangkat batu pipih itu dan memasukkan sesuatu ke dalam rongga di dalamnya. Dan kebetulan pula ketika aku berlatih ilmu tata gerak sebagaimana termuat dalam rontal itu, batu pipih tersebut terangkat dan kulihat ada kotak kecil berisi rontal dan pedang mustika di dalamnya.
—Dalam nawala itu, ayah berpesan agar ilmu dari perguruan Jati Kencana ini diturunkan ke dalam lingkungan keluarga kita saja. Sehingga dengan demikian Paman Widura dan Glagah Putih serta Wira Sanjaya termasuk orang-orang yang boleh mempelajarinya.—
—Baiklah. Jika demikian kita bisa semakin memantapkan keberadaan perguruan Jati Kencana ini dalam kiprah perjuangan Mataram di masa depan—ujarnya dengan nada gembira.
—Bolehkah aku melihat pedang mustika yang ditinggalkan Kakang Sadewa di dalam gua itu?—tanya Ki Widura.
–Silakan paman—jawab Ki Untara sambil menarik sebilah pedang dan wrangkanya dari pinggangnya.
Ki Widura kemudian menerima pedang dalam wrangkanya itu dan ia segera teringat bahwa pedang itu adalah milik kakaknya Ki Sadewa yang selalu dibawanya jika sedang mengembara. Ia teringat ketika sebelum menjadi prajurit kakaknya itu pernah mengajaknya merantau.
Dalam pengembaraan itu, dengan ilmu dan pedang mustika itu, kakaknya Ki Sadewa mampu mengalahkan perampok yang sangat disegani di Alas Roban. Namun setelah pengembaraan itu, ia memasuki dunia keprajuritan dan sangat jarang bertemu kembali dengan kakaknya. Ki Sadewa.
Namun yang masih lekat dalam ingatannya adalah kakaknya itulah yang melatihnya dalam olah kanuragan yang menjadi bekalnya dalam memasuki pendadaran dan olah keprajuritan.
Dengan bekal ilmu yang baru diketahuinya bernama perguruan Jati Kencana, dengan cepat pula Ki Widura menapaki jenjang keprajuritan. Terakhir ia ditempatkan sebagai seorang senapati Pasukan Pajang di Sangkal Putung ketika menghadapi gerombolan pasukan Macan Kepatihan dari Jipang.
Semua pengalaman itu melintas dengan cepat dalam ingatannya, peristiwa demi peristiwa.
—Apakah anakmas sudah ingin beristirahat? Jika anakmas ingin beristirahat, anakmas dapat tidur di gandok kanan yang selalu dibersihkan oleh para cantrik—kata Ki Widura sambil menyerahkan pedang mustika itu kepada Ki Untara.
—Sebenarnya aku masih ingin berbincang dengan paman mengenai kemungkinan pengembangan padepokan ini. Tapi baiklah kita membicarakannya besok saja. Paman juga nampaknya sudah letih—kata Ki Untara.
—Tidak ada yang berat untuk kukerjakan, anakmas.Tetapi memang sebaiknya anakmas beristirahat dulu, mengendorkan otot-otot yang kaku setelah mesu diri sekian lama di dalam gua—
Demikianlah Ki Tumenggung Untara pun kemudian beristirahat di gandok kanan padepokan itu. Ia pun sejenak kemudian tertidur pulas. Setelah meningkatkan kemampuan olah kanuragannya di dalam sebuah gua yang terletak di tebing sungai selama hampir dua pekan.
Keesokan harinya Ki Tumenggung Untara terbangun ketika terdengar kokok ayam untuk ketiga kalinya. Ia pun lalu pergi ke pakiwan untuk mandi dan sesuci.
Kemudian ia melaksanakan kewajibannya kepada Yang Maha Agung. Setelah selesai, ia lalu turun ke halaman dan menikmati udara pagi di padepokan.
Suasana yang hijau asri dan sejuk, diwarnai dengan kicau suara burung yang berkejaran di pepohonan, menambah kedamaian dalam alam pedesaan.
Ketika berputar ke halaman belakang, Ki Untara bertemu dengan Ki Widura yang juga sudah berjalan-jalan di pagi hari.
—Sepagi ini paman sudah terbangun—kata Ki Untara.
—Aku memang terbiasa bangun di pagi hari sebelum sang mentari muncul di ufuk Timur, anakmas—katanya. Ki Widura pun kemudian mengantarkan Ki Untara berkeliling melihat-lihat keadaan padepokan kecil itu. Ki Untara sempat mengagumi belumbang yang berisi ikan berwarna-warni.
Ikan-ikan itu berkejaran dengan lincahnya ke sana kemari, terlebih lagi ketika Ki Widura melemparkan umpan ikan itu berupa potongan kecil-kecil ketela pohon yang sudah direbus. Ikan itu juga melahap daun kangkung dirajang kecil-kecil yang dilemparkan ke tengah belumbang itu.
Di sekitar belumbang itu terdapat berbagai jenis tanaman buah-buahan yang sudah berbuah ranum. Pepohonan yang terdapat di halaman itu antara lain jambu air, jambu biji, belimbing, rambutan, sawo dan sebagainya.
Pepohonan itu pun ditanam oleh ayahnya Ki Sadewa ketika Untara masih kecil. Mendiang Kiai Gringsing sama sekali tidak menebang pohon buah-buahan itu, ketika membangun padepokan. Mendiang bisa menempatkan tata letak bangunan padepokan dengan serasi tanpa mengorbankan sebatang pohon pun.
–Aku tidak melihat Wira Sanjaya, paman. Ke manakah anak itu?—tanya Ki Untara.
—Wira Sanjaya sejak kemarin sore pamitan untuk menginap di rumah kawannya yang putera Ki Demang Jati Anom—jawab Ki Widura.
—Semoga anak itu tidak merepotkan kakeknya—kata Ki Untara.
—Tentu tidak, anakmas—kata Ki Widura.
—Apakah Wira Sanjaya rajin berlatih, paman?—tanya Ki Untara.
—Ya. Wira Sanjaya rajin berlatih bersama kawannya itu. Dalam waktu singkat Wira sudah menguasai tata gerak dari perguruan kita, meskipun belum sempurna benar.—
—Syukurlah, jika ia tekun berlatih. Aku khawatir kalau-kalau ia kurang rajin. Anak itu terlalu manja.—
—Sejauh ini aku mengamati bahwa kemajuannya cukup cepat.—
—Meskipun demikian paman perlu meningkatkan disiplin anak itu, agar ia tidak berlatih dengan semaunya saja.
—Tentu. Tentu anakmas. Aku akan meningkatkan disiplinnya—ujar Ki Widura sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sebagaimana halnya Ki Untara, Ki Widura pun pernah mengalami menjadi prajurit bahkan senapati yang disegani di wilayah Selatan. Soal kedisiplinan adalah menu sehari-hari yang selalu digelutinya dalam olah keprajuritan. Oleh karena itu ia tidak asing lagi dengan pendapat kemanakannya yang merasa kedisiplinan Wira Sanjaya terlalu longgar.
Setelah berkeliling di halaman padepokan, Ki Widura membawa kemanakannya itu melihat-lihat persawahan mereka yang terletak tidak jauh dari padepokan.
Sawah yang baru saja dipanen itu sudah mulai dibajak dan dicangkul tanahnya. Pada salah satu sudut petakan sawah itu, para cantrik sudah mulai menebar benih yang sudah mulai tumbuh.
Setelah benih padi itu tumbuh sepanjang sejengkal, maka pada gilirannya akan ditanam di sawah mereka yang cukup luas itu dengan jarak sejengkal-sejengkal. Dengan berbekal ketekunan dan kedisiplinan, para cantrik padepokan kecil peninggalan mendiang Kiai Gringsing itu mampu menghasilkan pangan yang cukup bagi warga padepokan. Meskipun jumlah cantrik di padepokan itu terus bertambah, namun mereka tidak perlu merasa khawatir bahwa mereka akan kekurangan bahan pangan. Selain padi yang menghasilkan beras, di musim kemarau sawah itu ditanami dengan ketela pohon dan jagung.
Bahkan hasil yang berlebih itu sempat pula dibawa oleh cantrik untuk dijual dan uangnya dibelikan sejumput garam sebagai penyedap rasa agar makanan tidak terasa hambar.
Sedangkan untuk teman minum wedang jahe atau wedang sere, para cantrik itu cakap pula memanjat pohon kelapa untuk menderes legen yang kemudian diolah menjadi gula kelapa.
Dalam pada itu, di Tanah Perdikan Menoreh Ki Rangga Agung Sedayu pun semakin sibuk dengan kegiatannya menyelesaikan perluasan barak pasukan khusus di Tanah Perdikan Menoreh dan pembangunan armada laut pasukan khusus Mataram di tepian Kali Praga.
Tempat yang dipilihnya sebagai sanggar terbuka untuk pembangunan kapal jung armada laut itu, terletak di sisi sebelah hilir dari tempat penyeberangan rakit paling selatan yang ada di tepian Kali Praga itu.
Tempat yang dipilihnya itu terdapat di tepian Kali yang rata, berpasir dan tidak banyak berbatu-batu. Sehingga apabila pada saatnya kapal jung itu siap diluncurkan, maka tidak diperlukan terlalu banyak orang untuk mendorongnya ke tengah sungai.
Setiap hari Ki Rangga hilir mudik dari rumahnya di Tanah perdikan Menoreh ke barak, lalu ke tepian Kali Praga.
Sementara itu Nyi Sekar Mirah semakin sibuk sejalan dengan semakin besarnya jabang bayi di dalam kandungannya. Ia sudah mulai merasakan gerakan yang sangat lincah calon bayi itu di dalam perutnya. Sekali-sekali sang jabang bayi itu menendang ke kanan, di saat yang lain menendang ke kiri.
Kalau Ki Rangga sedang pulang lebih awal, maka Nyi Sekar Mirah menunjukkan kepada calon ayah bayinya itu betapa si jabang bayi bergerak dengan lasak di dalam perut. Diletakkannya tangan suaminya di atas perutnya yang semakin membesar.
Anehnya ketika tangan Ki Rangga diletakkan di atas perutnya, sang jabang bayi seolah-olah menikmati kehangatan tangan ayahnya. Ia tidak bergerak. Diam di tempatnya. Begitu tangan itu diangkat, jabang bayi itu kembali bergerak-gerak lincah seolah-olah mencari-cari tangan Ki Rangga.
Nyi Sekar Mirah juga sudah mulai menyiapkan pakaian bayi yang dibuatnya sendiri. Ia membeli beberapa lembar kain yang dipotong dan dijahitnya sendiri menjadi pakaian bayi. Popok, gurita, baju kecil, selimut dan bedong bayi.
Kalau di pasar ada baju jadi yang bagus, maka dibelinya baju atau kelengkapan bayi itu. Nyi Sekar Mirah sesekali juga mulai memeriksakan keadaan kandungannya kepada dukun beranak yang ada di Tanah Perdikan Menoreh. Nyi Saniscara.
Semula Nyi Saniscara terkejut atas kedatangan Nyi Sekar Mirah ke rumahnya. Setelah melihat keadaan perut Nyi Sekar Mirah yang mulai membesar, dukun beranak yang sudah berusia lanjut itu pun mengangguk-angguk dan berkata.
—Biarlah besok-besok aku yang datang ke rumahmu ngger. Jangan angger yang datang kemari. Syukurlah kondisi kandunganmu sehat—kata Nyi Saniscara setelah memeriksa keadaan kandungan Nyi Sekar Mirah.
—Terima kasih Nyi—
—Tetapi bukankah akan lebih baik aku berjalan-jalan kemari sambil melemaskan otot. Menurut orang tua-tua, kalau perempuan sedang hamil harus banyak berjalan agar posisi kepala bayi bisa di bawah menjelang saat kelahirannya—
—Angger benar, ngger. Terserah angger lah, aku yang datang ke rumahmu atau angger yang datang ke mari. Sama saja bagiku—
Demikianlah Nyi Saniscara setiap pekan memeriksa kondisi jabang bayi dalam kandungan Nyi Sekar Mirah. Ia pun membawakan jamu kunyit dan jamu godogan lainnya yang harus diminum oleh Nyi Sekar Mirah agar mempunyai kekuatan yang cukup jika pada saatnya harus melahirkan jabang bayi itu.
Dalam pada itu, Ki Rangga Agung Sedayu pun semakin tenggelam dalam kesibukannya. Setiap hari ia mengawasi pembangunan kapal jung pertama yang akan menjadi contoh bagi armada laut pasukan khusus Mataram.
Ia dengan tekun setiap hari mengawasi pembangunan kapal itu, karena Kangjeng Panembahan Hanyakrawati ingin menyaksikan langsung hasilnya sebelum diluncurkan ke laut lepas.
Demikianlah setelah mengubah rancangan bangun kapal sesuai dengan perintah Kangjeng Panembahan Hanyakrawati, di mana ditambahkan istal pada bagian buritannya yang bisa menampung tiga sampai lima ekor kuda dan penambahan empat buah sekoci pada sisi badan kapal. Masing-masing sekoci tersebut dirancang untuk bisa memuat delapan hingga sepuluh orang. Semula memang Kangjeng Panembahan Hanyakrawati meminta agar ditambahkan dua sekoci saja di kiri-kanan lambung kapal.
Namun setelah Ki Rangga Agung Sedayu memikirkannya lebih dalam, ternyata jika terjadi keadaan darurat, seluruh awak kapal harus dapat termuat oleh semua sekoci yang ada. Karena itu, Ki Rangga menambahkan jumlahnya menjadi empat sekoci.
Untuk melaksanakan pembangunan kapal tersebut Ki Rangga dibantu seorang lurah prajurit yang mendapat kepercayaannya. Ki Lurah Darma Samudra.
Setiap pagi mereka berangkat bersama dari barak pasukan khusus prajurit Mataram di Tanah Perdikan Menoreh dan pada sore harinya kembali ke barak. Setelah kembali ke barak, Ki Rangga Agung Sedayu kembali tenggelam dalam kesibukannya di barak.
Ia memanggil lurah yang mendapat kepercayaannya untuk menyelesaikan pembangunan barak itu. Dari lurah itu, Ki Rangga mendapat laporan kemajuan pekerjaan yang telah dilaksanakan.
—Pembangunan barak sudah mencapai sembilan dari sepuluh bagian, Ki Rangga. Pekerjaan yang tinggal hanyalah mengaci, melabur, dan pembuatan amben-amben dan gledek di bangsal tidur prajurit, menyungging pilar-pilar balai pertemuan prajurit serta memperbesar regol utama agar barak pasukan khusus ini nampak berwibawa—
—Apakah Ki Lurah dapat menyelesaikannya dalam waktu kurang dari satu bulan?—tanya Ki Agung Sedayu.
—Siyaga Ki Rangga—kata Ki Lurah Suprapta yang menjadi kepercayaannya.
—Baiklah, segera selesaikan segala kekurangannya, dalam waktu kurang dari satu bulan. Kalau perlu dikerjakan siang dan malam, agar pekerjaan cepat selesai—
—Siyaga Ki Rangga—jawab Ki Suprapta.
Demikianlah Ki Rangga Agung Sedayu semakin mempercepat pekerjaannya, sejalan dengan rencana Kangjeng Panembahan Hanyakrawati yang hendak meninjau pekerjaan pembangunan barak pasukan khusus dan kapal jung armada laut pasukan khusus di dermaga yang terletak di tepian Kali Praga.
Ketika ia tengah tenggelam dalam kesibukannya itu, tanpa disangka-sangka datanglah dua orang utusan Ki Patih Mandaraka ke barak pasukan khusus di Tanah Perdikan Menoreh.
Kedua utusan Ki Patih Mandaraka itu pun memperlambat lari kudanya ketika telah sampai di regol barak pasukan khusus yang sudah mulai dibongkar untuk diperbesar. Mereka lalu mengikatkan kudanya di patok-patok tambatan tali kendali kuda, lalu berjalan menuju gardu perondan.
Setelah menyampaikan maksudnya untuk bertemu dengan Ki Rangga Agung Sedayu, maka mereka dipersilakan menanti di gardu perondan, sementara seorang prajurit jaga menyampaikan kepada Ki lurah. Ki Lurah itu pun segera menyampaikan kepada Ki Rangga Agung Sedayu bahwa dua orang utusan Ki Patih Mandaraka telah datang ke barak pasukan khusus itu.
Ki Rangga Agung Sedayu pun kemudian menerima dua orang utusan Ki Patih Mandaraka itu di ruang khusus tempat Senapati Pasukan khusus itu menerima tamu.
—Silakan Ki Lurah, masuklah—ujar Ki Rangga yang telah mengenal Ki Lurah itu dalam berbagai medan pertempuran.
—Terima kasih Ki Rangga—jawab Ki Lurah itu.
—Selamat datang di barak pasukan khusus Mataram di Tanah Perdikan Menoreh—lanjut Ki Rangga Agung Sedayu pula. Sebagaimana kebiasaan yang berlaku, maka Ki Rangga kemudian menanyakan keselamatan tamu-tamunya, keadaan Mataram, kesehatan Ki Patih Mandaraka, serta para petinggi Mataram yang dikenalnya.
—Berkat doa Ki Rangga, maka semuanya dalam keadaan sehat walafiat, kecuali keadaan Ki Patih Mandaraka yang semakin sepuh dan sering-sakit-sakitan. Namun meskipun sakit Ki Patih masih tetap berusaha menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya, termasuk mengutus aku untuk menemui Ki Rangga sekarang ini—
Ki Rangga Agung Sedayu mengerutkan keningnya.—Adakah sesuatu hal yang sangat penting, sehingga Ki Patih mengutus Ki Lurah datang ke mari?—
—Tentu Ki Rangga. Ki Patih memerintahkan Ki Rangga untuk datang ke Paseban Agung yang akan diadakan dua hari lagi. Ki Rangga diminta hadir dengan pakaian lengkap keprajuritan.—
Ki Rangga Agung Sedayu pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia pun lalu bertanya—Apakah Ki Lurah mengetahui yang akan terjadi dalam paseban nanti, sehingga aku harus hadir?—
—Aku tidak tahu Ki Rangga. Aku hanya mendapat tugas untuk menyampaikan perintah agar Ki Rangga hadir dalam Paseban Agung itu.—
—Baiklah Ki Lurah. Besok aku datang ke Mataram. Bukankah Ki Lurah akan menginap malam ini di barak pasukan khusus?—tanya Ki Agung Sedayu.
—Tidak Ki Rangga. Setelah menyampaikan pesan ini aku akan segera kembali ke Mataram, karena masih banyak yang harus aku kerjakan untuk mempersiapkan Paseban Agung itu—
Ki Rangga Agung Sedayu kembali mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya—Tetapi sekarang waktunya makan siang. Sebaiknya Ki Lurah berdua menikmati makanan pasukan khusus di Tanah Perdikan Menoreh ini, baru setelah beristirahat sejenak, Ki Lurah dapat melanjutkan perjalanan kembali ke Mataram—
—Dengan senang hati Ki Rangga—jawab Ki Lurah itu
Demikianlah setelah kedua tamunya dijamu dengan masakan sehari-hari yang dimakan oleh prajurit pasukan khusus, dan beristirahat sejenak, maka kedua utusan Ki Patih itu pun kemudian berpamitan.
—Baiklah Ki Lurah. Terima kasih atas pesan yang disampaikan kepadaku. Aku menjunjung tinggi perintah Ki Patih—
Setelah kedua tamunya meninggalkan barak pasukan khusus itu, Ki Rangga Agung Sedayu memanggil semua senapati yang berada di bawah wewenangnya untuk datang ke ruang khusus untuk mengadakan pertemuan.
Ki Rangga lalu menceriterakan bahwa Ki Patih telah memanggilnya untuk ikut hadir dalam Paseban Agung yang akan diadakan dua hari lagi. Karena itu, agar ia tidak terlambat, maka Ki Rangga Agung Sedayu dan dua orang lurah yaitu Ki Lurah Darma Samudra dan Ki Lurah Suprapta akan datang besok ke Mataram.
Sedangkan senapati-senapati yang lain tetap bertugas di pasukan khusus dan di dermaga pembangunan kapal jung di tepian Kali Praga.
—Hari ini aku akan pulang lebih awal, karena aku akan menyampaikan kepada Ki Gde Menoreh dan kepala pengawal Tanah Perdikan Menoreh, Prastawa, mengenai kepergianku ke Mataram esok hari—
Para senapati yang hadir dalam ruangan khusus itu pun kemudian mulai mendapat pembagian tugas dari Ki Rangga selama ia pergi ke Mataram. Namun Ki Rangga masih tetap merahasiakan apa sebabnya ia dipanggil ke Paseban Agung. Ki Rangga mengatakan bahwa jika Paseban Agung itu berlangsung hingga petang, maka ia akan bermalam dua malam di Mataram.
Setelah membagi tugas sesuai dengan wewenang masing-masing, maka Ki Rangga pun kemudian berpamitan dan memacu kudanya pulang ke rumah. Nyi Sekar Mirah yang sedang berada di dapur terkejut ketika mendengar derap kaki kuda memasuki regol halaman dan ia segera melongok ke pintu. Ternyata suaminya, Ki Rangga Agung Sedayu yang pulang.
—Kakang pulang lebih cepat hari ini?—tanyanya.
—Iya Mirah. Tadi dua orang utusan Ki Patih datang ke Barak dan memintaku besok datang ke Mataram—
—Ada apa gerangan Kakang?—tanya Nyi Sekar Mirah yang perutnya semakin bulat dan pipinya nampak lebih montok. Nyi Sekar Mirah pun menuntun suaminya ke pendapa dan mereka kemudian duduk di atas selembar tikar yang digelar di tengah ruangan.
—Kedua utusan Ki Patih tidak mengatakan apa-apa. Mereka hanya memintaku untuk hadir dalam Paseban Agung—jawab Ki Rangga.
—Tumben kakang diminta hadir dalam Paseban Agung—tanya Nyi Sekar Mirah dengan wajah penuh tanda tanya dan perasaan waswas.
—Entahlah Mirah. Mungkin ada kaitannya dengan perluasan barak pasukan khusus dan pembangunan kapal jung itu—jawab Ki Rangga. Ia masih menyimpan keterangan Kangjeng Panembahan Hanyakrawati, Pangeran Purbaya dan Ki Patih Mandaraka yang akan menaikkan pangkatnya setingkat lagi menjadi panji.
—Ke manakah Ki Jayaraga dan Sukra, Mirah?—tanya Ki Rangga lagi.
—Ki Jayaraga tadi pagi ke sawah. Siang tadi Sukra membawakan makanan dan minuman untuk Ki Jayaraga. Sampai saat ini Sukra belum kembali. Mungkin ia langsung pergi ke kademangan induk untuk berkumpul dengan anggota pasukan pengawal lainnya.—jawab Nyi Sekar Mirah.
—Malam nanti aku akan menghadap ke Ki Gde Menoreh untuk menyampaikan rencana kepergianku ke Mataram besok—ujar Ki Rangga.
—Baiklah kakang—jawab Nyi Sekar Mirah.—Agaknya anakmu dalam kandungan ini sudah dapat firasat akan kedatangan kakang. Dari tadi ia menendang ke kiri ke kanan. Sampai aku mengatakan, Le, tole, jangan terlalu lasak. Ada apa to Le, kok meloncat ke sana ke mari?—
Ki Rangga Agung Sedayu pun tertawa mendengar ucapan istrinya itu. Ia pun kemudian bersenandung Tak Lelo-lelo, sambil memegang perut istrinya. Nyi Sekar Mirah pun heran, begitu terdengar senandung suaminya dan disentuh tangannya, jabang bayi dalam kandungan itu pun terdiam seolah-olah menyimak suara senandung ayahnya.
Ketika Ki Rangga berhenti bersenandung dan mengangkat tangannya dari perut Nyi Sekar Mirah, maka jabang bayi itu pun kembali bergerak ke sana ke mari.
—Lihat kakang, anakmu meloncat-loncat lagi—kata Nyi Sekar Mirah.
—Baiklah aku akan menyanyi lagi Le—kata Ki Rangga.
Demikian setelah bercengkrama beberapa lama dengan jabang bayi di dalam perut istrinya, Ki Rangga pun kemudian pergi ke pakiwan untuk mandi dan sesuci. Setelah itu ia melaksanakan kewajibannya kepada Yang Maha Agung.
Matahari yang sudah jauh melewati titik puncaknya semakin terpeleset di cakrawala Barat. Semakin lama sinarnya semakin kemerah-merahan dan semakin pudar ketika bersembunyi di balik bukit. Apalagi awan yang kelabu yang bertengger di atas bukit ikut menutupi cahayanya.
Awan kelabu yang bergerak selapis demi selapis, pada akhirnya menumpuk di atas bukit sehingga menjadi semakin pekat dan mulai mengembunkan uap-uap air menjadi gerimis.
Gerimis itu pun pada akhirnya kemudian berubah menjadi hujan yang semakin lebat. Sebelum hujan itu menjadi kian lebat Ki Jayaraga dan Sukra telah kembali ke rumah Ki Rangga Agung Sedayu. Sambil memikul cangkulnya Ki Jayaraga memasuki regol halaman rumah itu disusul oleh Sukra.
Mereka pun kemudian menuju ke longkangan dan meletakkan cangkul dan peralatan lainnya di sana lalu terus ke pakiwan untuk membersihkan diri. Setelah sesuci dan melaksanakan kewajibannya kepada Yang Maha Agung, mereka pun berkumpul di pendapa.
Ternyata di pendapa itu telah hadir pula Ki Rangga Agung Sedayu dan tak lama kemudian Nyi Sekar Mirah mengeluarkan singkong rebus yang masih mengepulkan asap dan beberapa mangkuk wedang jahe serta beberapa potong gula kelapa.
—Silakan Ki Jayaraga dan Sukra, kita menikmati singkong rebus yang masih hangat—kata Nyi Sekar Mirah.
—Wah hujan-hujan begini nikmat sekali makan singkong rebus ditemani wedang jahe. Badan yang mulai kedinginan kena hujan bisa menjadi hangat kembali—ujar Ki Jayaraga.
Demikianlah mereka menikmati udara sore yang mulai dingin itu sambil melahap singkong rebus. Sambil makan singkong rebus itu Ki Rangga Agung Sedayu pun kemudian menceriterakan kepada KI Jayaraga dan Sukra bahwa besok ia akan menghadap ke Mataram atas perintah Ki Patih Mandaraka. Ia akan hadir dalam Paseban Agung yang akan digelar lusa.
—Sungguh merupakan suatu kehormatan, bahwa Ki Rangga diundang dalam Paseban Agung—ujar Ki Jayaraga sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
Ki Rangga Agung Sedayu pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Seperti halnya kepada Nyi Sekar Mirah, ia pun tidak menceriterakan bahwa dirinya akan dinaikkan pangkatnya menjadi panji. Nanti setelah serat kekancingan dipegangnya, barulah ia menceriterakan kenaikan pangkatnya itu.
—Iya. Ki Jayaraga benar. Undangan untuk datang ke Paseban Agung sungguh merupakan suatu kehormatan yang luar biasa bagiku. Aku tidak tahu apakah kehadiranku itu ada kaitannnya dengan perluasan barak pasukan khusus di Tanah Perdikan Menoreh dan dermaga di tepian Kali Praga itu—jawab Ki Rangga.
—Bisa jadi Ki Rangga. Ki Rangga diperintahkan hadir mungkin saja karena Kangjeng Panembahan Hanyakrawati ingin mendengar perkembangan perluasan barak pasukan khusus dan pembangunan kapal jung itu di dermaga —kata Ki Jayaraga pula.
Karena kepergian Ki Rangga Agung Sedayu ke Mataram selama tiga hari, maka kepada Ki Jayaragan dan Sukra dimintanya untuk bergantian berada di rumah mengingat usia kandungan Nyi Sekar Mirah yang sudah semakin membesar. Ki Jayaraga dan Sukra pun mengangguk-anggukkan kepalanya.
Mereka telah mengenal Nyi Saniscara, dukun beranak yang merawat kandungan Nyi Sekar Mirah. Jika terjadi sesuatu atas Nyi Sekar Mirah selama Ki Rangga pergi ke Mataram, maka mereka diminta segera menghubungi Nyi Saniscara yang rumahnya tidak begitu jauh dari rumah Ki Rangga.
—Setelah matahari surup, aku akan menghadap Ki Gde Menoreh. Mudah-mudahan hujan sudah reda—kata Ki Rangga sambil melihat cucuran air di teritisan yang sudah mulai berkurang lebatnya.
Dan benar saja, tidak lama kemudian hujan yang tadinya lebat, meskipun tidak disertai petir dan guntur, kini telah berkurang menjadi gerimis. Langit yang tadinya gelap sempat terang sejenak, ketika sang mentari sempat mengintip dengan sinarnya yang jingga di ufuk Barat.
Awan hitam yang masih menggantung di langit Timur mendapat sorotan sinarnya sehingga menimbulkan lingkaran besar cahaya berwarna-warni di langit. Pelangi. Lengkungan cahaya itu berwarna merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu. Cahaya pelangi yang berwarna-warni itu memberi inspirasi bagi orang tua yang kreatif untuk menciptakan lagu dolanan anak-anak.
Pelangi yang sejenak itu pun perlahan-lahan menjadi semakin pudar ketika sang mentari berkewajiban mengikuti garis edarnya untuk bersembunyi di balik bukit. Sang dewa malam pun mulai berkuasa dalam kegelapan.
Namun yang lebih berkuasa adalah sang mendung yang menutupi kehadiran bintang gemintang di langit. Tak satu pun bintang yang hadir di langit.
Namun angin Barat yang kencang tidak membiarkan gelap malam berkuasa terlalu lama. Angin kencang itu pun mendorong awan yang mengandung titik-titik air itu terbang ke langit Timur. Satu persatu bintang dengan malu-malu mulai menampakkan dirinya.
Mereka berpendaran satu dengan lainnya, seolah bersahut-sahutan dengan cahayanya menerangi langit. Meskipun sinarnya itu tidak seterang rembulan, namun bintang waluku di langit Selatan bisa menjadi petunjuk jalan orang yang tersesat atau nelayan yang kehilangan arah di tengah samudera.
Setelah hujan gerimis pun usai, maka Ki Rangga Agung Sedayu pun kemudian berpamitan untuk pergi ke rumah Ki Gde Menoreh. Karena jalanan becek, Ki Rangga memilih untuk berjalan kaki saja.
Selain karena jaraknya tidak terlalu jauh, kalau dalam keadaan becek seperti itu ia berkuda, tentu sepakan kaki kuda akan melontarkan tanah yang becek itu ke punggungnya, sehingga pakaian di bagian punggungnya akan kotor.
Dengan hati-hati Ki Rangga menapaki jalanan yang becek itu. Gemericik air di selokan terdengar cukup jelas ditingkahi oleh suara bilalang dan kodok ngorek yang bersahut-sahutan dengan irama alam yang merdu.
Kodok enggung yang suaranya besar dan berwibawa seolah-olah menjadi pemimpin konser alam itu. Ketika kodok enggung mulai bersuara, kodok bangkong segera menyahuti dengan suaranya yang melengking, lalu disusul oleh katak pohon dan katak hijau. Dengan riangnya mereka saling bercandetan, satu dengan yang lain saling mengisi keheningan malam itu.
Ketika kodok enggung diam beberapa saat, maka para kodok dan katak itu pun berhenti bersuara. Tidak terdengar suara apa pun. Persawahan itu menjadi sunyi. Setelah kodok enggung membuka suara, maka yang lain pun mulai menimpalinya. Begitu seterusnya. Seolah-olah mereka menjadi gembira menyambut kebahagiaan yang datang bersama turunnya sang hujan.
Ki Rangga Agung Sedayu terus melangkah sambil menikmati kebesaran malam di tengah persawahan itu. Di balik kegelapan malam ia masih dapat melihat gerumbul-gerumbul padi yang sudah mulai tumbuh membesar, setelah pekan sebelumnya mulai ditanam dengan jarak tanam sejengkal-sejengkal.
Ki Rangga terus berjalan, sehingga tanpa terasa ia sudah dekat dengan rumah Ki Gde Menoreh. Beberapa langkah lagi ia sampai di tikungan, lalu membelok ke kiri, lalu beberapa ratus langkah lagi sampailah di rumah paling besar di Tanah Perdikan itu.
Ketika sampai di rumah Ki Gde Menoreh, regol halaman itu masih terbuka lebar. Ia pun memasukinya dan mendekati pendapa. Dari jauh Ki Gde Menoreh yang sudah melihat kedatangan Ki Rangga Agung Sedayu, segera menghampiri.
—Marilah anakmas. Silakan naik ke pendapa—ujarnya sambil tersenyum gembira.—Pantaslah kupu-kupu tarung dari pagi berseliweran di pendapa ini. Agaknya anakmas yang datang.—
Ki Rangga Agung Sedayu pun tertawa panjang menimpali canda Ki Gde Menoreh.
—Ki Gde bisa saja. Bukankah kupu-kupu tarung itu terbang ke mari, karena di halaman rumah Ki Gde banyak bunga yang sedang mekar?—jawab Ki Rangga.
Demikianlah mereka saling bertegur sapa sebagaimana layaknya dua orang yang sudah lama tidak bertemu meskipun jarak rumah mereka tidak terlalu berjauhan. Namun karena kesibukan masing-masing mereka tidak bisa saling beranjangsana. Apalagi Ki Gde kaki kirinya agak terganggu akibat luka di punggung yang dideritanya.
Ki Rangga pun kemudian menceriterakan keadaan keluarga kecilnya yang dalam keadaan sehat sejahtera dan ia juga menceriterakan keadaan istrinya yang sedang mengandung dan kini semakin membesar.
Ia mohon doa restu dari Ki Gde agar pada saatnya anak dalam kandungan itu bisa lahir dengan lancar, sehat dan selamat tidak kekurangan sesuatu apapun juga. Begitu pula ibunya.
—Syukurlah angger akan segera mendapat keturunan—kata Ki Gde Menoreh dengan nada gembira.
Ki Gde Menoreh pun kemudian mendoakan agar kelak Nyi Sekar Mirah bisa melahirkan dengan lancar.dan selamat.
—Apakah kandungan Nyi Rangga sudah diperiksa oleh dukun beranak?—tanya Ki Gde Menoreh.
—Sudah Ki Gde. Setiap pekan Nyi Saniscara memeriksa kondisi kandungan istriku—jawabnya. Ki Gde Menoreh mengangguk-angguk.
Ki Rangga Agung Sedayu pun kemudian menceriterakan kepada Ki Gde Menoreh bahwa besok ia mendapat perintah untuk datang ke Mataram guna hadir dalam Paseban Agung pada keesokan harinya. Ki Gde Menoreh mengangguk-anggukkan kepalanya.
—Agaknya kehadiran Ki Rangga di Paseban Agung ada kaitannya dengan perluasan barak pasukan khusus dan rencana pembangunan armada laut pasukan khusus Mataram di tepian Kali Praga—kata Ki Gde Menoreh menduga-duga.
—Saya kira memang demikian Ki Gde—kata Ki Rangga Agung Sedayu.—Sehubungan dengan hal tersebut, aku hendak berpamitan kepada Ki Gde dan Prastawa sebagai kepala pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh serta para bebahu yang hadir di sini—
—Biarlah seseorang memanggil Prastawa di rumahnya—ujar Ki Gde Menoreh. Ia lalu menugaskan seorang anggota pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh memanggilnya. Tidak beberapa lama kemudian, Prastawa pun hadir di rumah Ki Gde Menoreh. Lalu Ki Gde menceriterakan kembali maksud kedatangan Agung Sedayu malam itu ke rumah Ki Gde. Prastawa pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan nada tulus ia mengucapkan selamat atas kepercayaan yang diterima oleh Agung Sedayu. Sebab baru sekali ini, Ki Rangga mendapat kehormatan untuk hadir dalam Paseban Agung.
—Kehadiran Kakang Agung Sedayu dalam Pisowanan Agung, juga merupakan kepercayaan bagi Tanah Perdikan Menoreh—tuturnya.—Kami turut gembira atas kepercayaan yang kakang terima.—
Seperti halnya kepada Ki Gde Menoreh, Agung Sedayu juga menceriterakan kepada Prastawa bahwa Nyi Sekar Mirah sudah mulai mengandung.
—Wah aku agaknya akan segera mendapat kemanakan—katanya dengan gembira.
—Aku mohon doa restumu adi—kata Agung Sedayu kepada Prastawa.
—Tentu. Tentu saja aku mendoakan agar mbokayu Sekar Mirah dan bayi dalam kandungannya sehat, kelak lahir dengan lancar dan selamat—jawab Prastawa.
Demikianlah setelah berbincang-bincang mengenai berbagai hal, Ki Rangga Agung Sedayu berpamitan kepada Ki Gde Menoreh, Prastawa dan para bebahu Tanah Perdikan Menoreh yang kebetulan hadir di rumah Ki Gde Menoreh.
Ki Gde Menoreh dan Prastawa pun lalu mengantarkan Ki Rangga Agung Sedayu sampai regol halaman. Seperti pada waktu datang, pada waktu pulang pun Ki Rangga Agung Sedayu pun berjalan kaki ke rumahnya yang tidak begitu jauh itu di tengah gelapnya malam.
Agung Sedayu pun tersenyum sendiri ketika mengenang masa kecil sampai remajanya yang menjadi ketakutan ketika disuruh kakaknya pergi dari Jati Anom ke Sangkal Putung di tengah malam.
Karena saking takutnya ia tidak juga mau pergi ke Sangkal Putung untuk memberitahu Ki Widura mengenai rencana penyerbuan Macan Kepatihan, sampai-sampai kakaknya Untara sempat mengancamnya dengan kerisnya.
Tanpa terasa, Ki Rangga Agung Sedayu telah sampai di rumahnya. Ia segera masuk ke dalam rumah setelah istrinya membukakan pintu.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Ki Rangga Agung Sedayu telah siap pergi ke barak pasukan khusus. Setelah mengisi perutnya dengan makanan kecil, Ki Rangga pun berpamitan untuk pergi ke barak untuk kemudian berangkat ke Mataram.
Sesampainya di barak Ki Lurah Darma Samudra dan Ki Lurah Suprapta sudah siap pula untuk berangkat ke Mataram. Setelah memeriksa kesiapan para senapati yang akan ditinggalkannya, maka mereka bertiga pun segera memacu kudanya ke Timur. Menuju ke tempat penyeberangan di Kali Praga.
Ketika mereka sampai di tepian Kali Praga, ternyata rakit-rakit bambu yang ada di sisi barat sudah bergerak ke seberang, sehingga mereka harus menunggu beberapa saat sampai rakit itu kembali.
Pada saat menanti kedatangan rakit-rakit itu dari seberang, tiba-tiba datanglah empat orang berkuda yang juga ingin menyeberang. Dengan wajah-wajahnya yang sangat orang-orang tersebut maju mendahului deretan orang yang menunggu rakit. Dengan kasarnya mereka mendorong deretan orang yang menunggu rakit itu, termasuk Ki Rangga Agung Sedayu, Ki Lurah Darma Samudra dan Ki Lurah Suprapta.
Ki Rangga Agung Sedayu yang mempunyai kesabaran luar biasa itu sama sekali tidak terganggu oleh penyerobotan yang dilakukan keempat orang berkuda yang berwajah kasar. Tetapi tidak demikian halnya dengan Ki Lurah Darma Samudra dan Ki Lurah Suprapta. Mereka mereka haknya sebagai pengantre yang terlebih dahulu datang dilanggar oleh keempat orang berkuda itu.
—KiSanak harus menunggu giliran, tidak boleh menyerobot begitu saja—kata Ki Lurah Suprapta.
—Kau mau apa. Kami sedang terburu-buru. Jangan mencari perkara dengan kami kalau mau selamat—kata salah seorang di antara mereka yang berwajah kasar, mata juling dan berambut keriting.
—Kisanak, meskipun kami tidak mengatakannya, tapi kami juga terburu-buru. Meskipun demikian kami tetap sabar menunggu giliran—kata Ki Lurah pula. Keempat orang berkuda itu tidak mengetahui dengan siapa mereka berhadapan, karena Ki Rangga dan kedua lurahnya tidak mengenakan pakaian keprajuritan.
—Apakah kalian berkeberatan jika kami naik ke rakit lebih dahulu—bentak kawannya yang juga berwajah kasar dan terdapat bekas luka menyilang di pipinya.
—Kalau semua mau menyeberang lebih dahulu tanpa memperhatikan kepentingan orang yang terlebih dahulu datang, maka hal itu akan merusak tatanan—kata Ki Lurah.
—Tatanan apa. Tatanan apa yang aku rusak?—kata orang yang berwajah kasar, bermata juling dan berambut keriting.
—Kalau Kisanak mau mengatakan apa alasan Kisanak harus terburu-buru, maka mungkin kami dapat mengerti dan bisa memberi kesempatan kepada Kisanak untuk menyeberang terlebih dahulu—kata Ki Lurah pula.
—Kau tidak perlu tahu, minggir—kata orang yang berwajah kasar, bermata juling dan berambut keriting.
—Eh, nanti dulu—kata ki lurah. Namun orang yang berwajah kasar, bermata juling dan berambut kriting itu agaknya sudah tidak sabar lagi.
Tiba-tiba saja tangannya menyambar pipi Ki Lurah Suprapta. Ki Lurah Suprapta yang tidak bersiaga, menjadi terkesiap dan sempat melangkah surut sehingga tangan orang berwajah kasar dan bermata juling itu hanya lewat senyari di depan hidungnya. Belum lagi Ki Lurah bersiaga sebuah tendangan melayang ke arah dadanya. Ki Lurah yang tidak mau menjadi sasaran tendangan lawannya yang berwajah kasar dan bermata juling itu, terpaksa harus berbuat sesuatu untuk mengatasi tendangan itu. Ki Lurah pun merendahkan badannya, sehingga tendangan itu lewat sejengkal di atas kepalanya.
Ki Lurah Suprapta yang masih berjiwa muda itu tentu saja tidak mau menjadi sasaran serangan tiga kali berturut-turut. Ki Lurah pun segera membalas serangan itu dengan kepalan tangannya mengarah ke dada.
Orang yang berwajah kasar, bermata juling dan berambut keriting itu ternyata cukup tangkas. Ia melangkah surut selangkah sehingga kepalan tangan Ki Lurah itu tidak menyodok dadanya. Orang berwajah kasar itu pun kembali melontarkan serangan dengan sisi telapak tangannya menyambar lambung, lalu disusul dengan serangan beruntun dengan kakinya yang mengarah ke dada.
Ki Lurah masih sempat menghindar ketika tangan orang berwajah kasar itu menyerang lambungnya dengan melangkah surut, tapi serangan beruntun dengan kakinya itu tidak lagi sempat dihindarinya. Dengan sigap Ki Lurah menyilangkan tangannya di depan dada untuk membentur tendangan menyilang dari lawannya. Akibatnya, Ki Lurah terdorong surut selangkah dan berusaha menguasai keseimbangannya. Sementara orang yang berwajah kasar, bermata juling dan berambut kriting itu terdorong surut dua langkah lalu jatuh terguling-guling.
Ki Rangga Agung Sedayu dan Ki Lurah Darma Samudra yang sedari tadi memperhatikan kedua orang itu bertarung, segera bersiap-siap ketika mereka melihat ketiga kawan orang yang berwajah kasar itu bersiaga untuk melibatkan diri.
—Ki Lurah, kau hadapi orang yang tinggi kurus dan luka di pipinya itu. Aku menghadapi dua orang lainnya—kata Ki Rangga.
—Baik Ki Rangga—jawab Ki Lurah Darma Samudra.
Demikianlah di tepian berpasir itu pun terjadi tiga lingkaran pertempuran. Ki Lurah Suprapta menghadapi orang yang bermata juling dan berambut keriting, Ki Lurah Darma Samudra menghadapi orang yang tinggi kurus dan luka di pipinya, sedangkan Ki Rangga menghadapi sisanya dua orang yang juga berwajah kasar, namun yang satu agak gemuk dan yang satu lagi agar kurus dan berkumis tebal.
Bersambung ke Jilid ke-401
nuwun sewu, badhe nderek mampir….
setelah sekian lama ndak mampir….akhirnya kangen juga…
satu kejutan ketika ternyata ada “bukan ADBM”. Salut buat Ki Agus, satu karya yang harus diapresiasi…saya sudah baca sampai tulisan terakhir, walau saya merasa ada perbedaan gaya bahasa (justru yg menjadi gaya bahasa khas Ki SHM), tapi bagus sekali…
Karena penasaran dengan lanjutan ceritannya…saya coba buka di matarambinangkit.com, ternyata harus bayar ya…..nglokro jadinya…
memang segala jerih payah sdh seharusnya dihargai, entah itu berupa materi atau yg lain.
jika memang pada akhirnya harus dikomersialkan, memang sudah seharusnya Ki gus harus mendapat ijin dari keluarga Ki SHM (ini menurut saya lho, mohon maaf yg sebesar-besarnya jk salah), sebab dalam tulisan Ki Agus ada mengandung properti milik Ki SHM.
Setuju kisanak,hak cipta ADBM sampai saat ini memang belum beralih ke tangan orang lain, sehingga secara hukum segala sesuatu yang berkaitan dengan lanjutan ceritera ADBM (mekipun menggunakan judul lainnya akan tetapi nama tokoh dan karakternya tidak bisa dipungkiri kalau itu merupakan kelanjutan dari ADBM)dalam bentuk cetakan yang diperjual-belikan tidak boleh sembarangan.
Mohon maaf ki Agus, kami disini hanya sekedar mengingatkan tanpa mengurangi rasa hormat kami atas usaha ki Agus dalam melanjutkan ceritera ADBM. Apalagi seingat saya dulu di koran Kedaulatan Rakyat dalam wawancaranya Ki SH Mintardjo kalau gak salah pernah mengatakan kalau secara garis besar ceritera ADBM sudah diberikan ke penerusnya (keluarga) sehingga kalau sewaktu-waktu beliyau meninggal maka ada yang akan melanjutkan ceritera tersebut.
Tidak ada lagikah cantrik yg dapat melanjutkan adbm di blok BUKAN ADBM, yg dapat dinikmati secara gratis ?
Saya pekan lalu bertandang ke rumah Ki Agus untuk bertatap muka dengan Ki Agus S. Soerono dan hendak membeli Mataram Binangkit jilid 1.
Saya terperangah, karena di depan rumahnya tertulis Kata-kata: Rumah ini dijual Hub. 021 93 3636 72. Menurut ceritanya, ternyata Ki Agus sedang dalam kesulitan keuangan karena harus menguliahkan anak sulungnya di fakultas kedokteran sebuah PTS. Sekarang anak kedua juga hendak kuliah di fakultas kedokteran. Aset tanah kosong dan mobilnya sudah melayang untuk membiayai anak pertama. Ia belum terpikir untuk mendapat uang dari mana untuk kuliah anaknya yang kedua. Belum lagi kebutuhan hidup sehari-hari. Ki Agus mempunyai empat putera yang semuanya masih sekolah. Gajinya di tempat kerja yang sekarang sama sekali tidak mencukupi untuk biaya sehari-hari. Oleh karena itu Ki Agus hanya bisa mengelus dada mendengar kata-kata pedas yang ditulis di Bukan ADBM. Menurut Ki Agus, para pembaca belum bisa menghargai karya tulisnya. Padahal zaman dulu, orang harus membeli komik karya KI SHM. Buku komik itu tidak didapat secara gratis. Memang para pendiri padepokan berhati sangatmulia dengan membuat padepokan itu secara gratis. Namun apakah Ki Agus bisa hidup apabila karyanya digratisin?
Saya sebenarnya sering masuk ke Padepokan ADBMcadangan, cuman saya sangat jarang berkomentar. Namun melihat kondisi Ki Agus yang membuat saya trenyuh, saya memberanikan diri untuk menulis surat ini. Maaf Ki Agus, saya tanpa seizin Ki Agus menulis surat ini. Semata-mata karena keprihatinan melihat keadaan Ki Agus. Semoga para cantrik dan punggawa padepokan bisa ikut berbagi dengan Ki Agus. Semacam take and give gitu lho. Kalian bilang-bilang sakaw, sakaw, sakaw, tapi tidak ada perasaan melu handarbeni. Rasa turut memiliki kepedihan yang tengah dialami oleh Ki Agus.
Sayang sungguh sayang… Kalau Ki Agus tidak bisa menyumbangkan kemampuannya di bidang tulis menulis, karena terbentur masalah ekonomi. Saya rasa Rp 30.000 sebulan tak ada artinya bagi Kisanak semua, apabila dibandingkan dengan kerinduan kita akan cerita-cerita yang dapat dihasilkannya.
Maaf kalau kata-kata saya terlalu pedas. Bukan maksud saya membela Ki Agus. Tapi benar2 dari rasa keprihatin yang mendalam.
Salam,
Raden Panji Klantung
Ruddy Wijanarko
Untuk melestarikan keberlanjutan SDBM karya Pak Agus saya kira iuran Rp 50rb perterbitan disini sangat bagus sebagaimana yang sudah dilakukan oleh almarhum Mbah Man Sidoarjo Surabaya
Wah..wah ternyata ada polemik yang terjadi disini.
kalau memang ketentuannya seperti itu ya diikuti aja bagi yang mau, yang ndak mau ya gak usah ikut..gitu aja kok repot.
Salam untuk Ki AS.
Selamat tinggal sakauw…….mungkin dengan berjalannya waktu kita semua bisa melupakan rasa sakauw, dulu nggak tahu, jadi tahu dan nggak tahu lagi, kayak roda yang berputar.
njih ki
Zaman sudah berubah….. Materi atau uang menjadi kebutuhan yg tak dapat dipungkiri, sudah selayaknya kalau suatu karya dihargai dengan cukup. Bagaimana kalau Bukan ADBMnya Ki AS tak usah diterbitkan di ADBMcadangan, terbitkan saja dalam bentuk buku saja, yg mau baca beli saja bukunya. Sudah tentu itupun dgn pembagian Royalti yg pantas untuk keluarga SHM.
Sebenarnyalah setiap karya harus dihargai . Salam kenal,
Buat ki Agus , tetap semangat , Semangat sore, semangat siang dan semangat malam
Kalau mau jujur, setelah baca kelanjutan AdBM yang ditulis Ki Agus, nampaknya koq tidak bisa mengikuti jiwa AdBM-nya Bp. SHM. Banyak hal-hal yang menjadi terasa aneh. Mulai dari alur cerita, karakter tokoh, gaya bahasa, dsb tidak nyambung dengan karya SHM.
Sehingga saran saya, sebaiknya koq nggak usah dilanjutkan saja, daripada merusak image tokoh-tokoh AdBM.
Kalau dicermati AdBM karya SHM sarat dengan ajaran cinta kasih baik pada Tuhan, maupun pada segala ciptaannya (lingkungan hidup dan sesama manusia). Jadi daripada merusak kesan terhadap AdBM-nya SHM. sebaiknya jangan dilanjutkan.
Maaf kalau komentar saya nggak enak,
Kelanjutan ceritera yang dibuat oleh bukan penulis aslinya sangat dimungkinkan akan terjadi perbedaan dari segi alur ceritera, gaya bahasa ataupun karakter tokohnya. Biarlah para pembaca ADBM berimajinasi sendiri terhadap kelanjutan ceriteranya.
Namun demikian usaha Ki Agus untuk melanjutkan ceritera ADBM yang menggunakan istilah Bukan ADBM sangat patut untuk dihargai. Namun demikian jika kelanjutan ceritera tersebut dimaksudkan untuk “dijual” kepada masyarakat maka harus selalu berkoordinasi dengan pihak keluarga bapak SH Mintardja (alm) terutama mengenai alur ceriteranya agar tidak menyimpang dari alur ceritera yang “dikehendaki” oleh penulis aslinya dan juga mengenai perkembangan karakter tokoh-tokoh utamanya (dan juga sudah pasti berkaitan dengan royalty nantinya).
Selamat berkarya buat Ki Agus atau Ki Agus-Ki Agus lainnya yang bermaksud melanjutkan ceritera ADBM dengan versinya masing-masing.
Mohon maaf jika ada kata-kata yang tidak berkenan.
lhokan judulnya lain”mataram binangkit” jadi mengapa harus minta izin dan mengapa harus dicerca,terus saja mas agus,
Walah sdh lama gak nengok padepokan….
lha kok sepi banget….apakah ini gara2 Ki AS menerapkan pola bayar bagi yg ingin baca lanjutan ADBM ??
Pesan silaturahminya hilang gara2 duit…..ternyata antara harapan dan kenyataan gak pernah beriringan.
Sebenarnya yang bisa bikin rame lagi adalah Ki AS mengirimkan ceritanya lagi ke forum ini dan secara gratis dan ikhlas…mungkin balasannya bukan materi tapi non materi yang mungkin nilainya amat sangat tinggi.
Salam hangat selalu
–Rangga yg gak sakti—
selamat sore rekan2, saya telah ikut ketentuan yang dibuat oleh ki agus, tetapi saya mengalami kesulitan untuk membuka lanjutan adbm dan mataram binangkit, apakah saya masuk bulan ini hanya bisa baca yang bulan ini saja jadi terbitan yang lalu-lalu saya tidak bisa baca, atau bisa semua.
saya coba email ke ki agus belum dijawab.
bagi rekan2 yang telah memahami cara bacanya tolong kami dikasih informasinya.
Terima kasih Ki Heri,
Kalau Ki Heri sudah mendaftar, maka Ki Heri bisa membuka semua tulisan yang ada di Mataram Binangkit.com secara lengkap.
Terima kasih atas perhatiannya.
Salam
Agus
intinya saya coba cari2 yang ki agus sampaikan belum ketemu.
ADBM memang sarat dengan pesan2 moral, saya baca buku ini dari waktu saya sekolah.walaupun sudah ada yang melanjutkan jalan cerita yang menggantung,namun rasa rasanya banyak kata kata yang kurang pas dan terkesan janggal.jadi seperti baca cerita cerita silat yang lain, memang gaya penulisan ki SHM sangat khas.salam sejahtera untuk semua… RAHAYU
Sbgai dwija dari padepokan terpencil yg rajin baca adbm sejak 1968(msh Smp kls 3)saya salut n mengapresiasi karya ki agus.yg kurang tentu ada tapi tdak akan saya ulas.namun sya tetap menikmati n ikut mendoakan agar bukan adbm ini nti bsa selesai dgn wijang,selamat berkarya ki Agus
Sebelumnya Kuucapkan Salam kepada para sederek2 sanak kadang cantrik Pedepokan ADBM,mudah2an kita Semuanya selalu dapat selalu menjaga silahturahmi dan kerukunan sesama cantrik.
Mengenai masalah Kelanjutan cerita Sang Resi Ki SHM yg memang sebenarnya masih sangat sangat kita harapkan,dan selalu kita tunggu tunggu,DAN sekarang memang sudah ada yg melanjutkan cerita ini (Ki Agus S ,,Salam buat Ki Agus S)
Sakbenere aku dhewe yo seneng banget yen iso nyimak kelanjutan kitab iki,walaupun terasa berat yen kudu mbayar,opo pancen aku pelit ora gelem mbayar… hmm…,tp pancen dasare aku ora duwe duit gawe mbayar,,(kondisi pas2an)maaf Ki agus S,mungkin benar pendapat para kadang Cantrik yang menyarankan agar Ki Agus S menjual buku ini dengan menerbitkan dalam sebuah buku,namun memang seyogyanya dengan izin dari keluarga Ki SHM,dan kalaupun Ki Sanak tidak membagikan kelanjutan kitab di Padepokan ini Juga tidak apa2,
karena memang ini kepunyaan Padepokan ADBM (Ki SHM only).
mengenai masalah Kisanak yg di ceritakan oleh Ki Branjangan diatas mudah mudahan Kisanak segera dapat mendapatkan jalan keluarnya… Amin..,
ya…mudah mudahan para cantrik dapat bersabar dalam menghadapi keaadan ini,seperti halnya Kanjeng Sultan Hadiwijaya yang pada mudanya bernama “Mas Karebet” yang dengan pasrah dalam meghadapi jatuhnya Takhta Pajang ( Raja Tanah Jawa ) untuk kemudian berpindah tangan Putra Kinasihnya Raden Sutawijaya
walaupun secara kewadagan memerangi Mataram,tetapi didalam hati merestuinya.
Mohon maaf
salam
MAAF
SAYA PENGGEMAR BERAT ADBM
UNTUK KELANJUTAN ADBM SERI V GIMANA YA
MOHON PENJELASANYA
DIMANA SAYA BISA MENDAPATKAN TERUSANYA
TERIMA KASIH
Bayar dulu ke ki Agus mas Nanang, sekarang ini gak ada yang gratis 🙂
Bener tuh. Susah cari yang gratis. So….. kemana adbmers saat ini?
semoga semakin memahami sejarah bangsa, kearifan-kearifan lokal dari sejarah dan budayanya ….
nyapu mundur dl ahhhhh biar halaman Padepokan bersih,sebelum masuk sanggar trus nanti mlm nengok pliridan……… monggo poro kadang ingkang ngersakaken unjukan,dateng pendopo sampun kasiapaken wedang sere kaliyan jenang alot……
matarambinangkit.com udah expire ya?????
Ada yang mau paste lanjutan mataram binangkit di sini kaga ya???? masalahnya matarambinangkit.com udah ga bisa diakses…. “Penasaran banget nich….”
Mohon dong kiranya lanjutan Mataram Binangkit Buku 404 ke atas dilanjutkan di sini, soalnya matarambinangkit.com udah ga bisa diakses…. terimakasih
matarambinangkit.com udah expire ya?????
Mohon dong kiranya lanjutan Mataram Binangkit Buku 404 ke atas dilanjutkan di sini, soalnya matarambinangkit.com udah ga bisa diakses…. terimakasih
Ada yg udah update mataram binangkit ga ya??? bagi dong
bagi dong update mataram binangkitnya…
matarambinangkit.com udah expire ya?????
Mohon dong kiranya lanjutan Mataram Binangkit Buku 404 ke atas dilanjutkan di sini, soalnya matarambinangkit.com udah ga bisa diakses…. terimakasih
bagi dong update mataram binangkitnya…
matur suwun sampun kesiapaken wedang sere kaliyan jenang alotipun…habis nengok jendela sebelah mataram biangkit, koq sudah ga bisa diakses ya? kemana lagi kuharus mencari kelanjutan ADBM?
Kalau adbmers beralih ke matraram binangkit, dari adbmers jadi mbers donk?
kados pundi kelanjutanipun kang mas?
wah kang asbud itu kan masih seri 402…
lanjutan 404 mana ya?,kalo bayar gmn caranya utk mendapatkan seri 404 dst… tq
iya nih… matarambinangkit.com ga bisa diakses….
udah rinduuuuuuuuu banget……………
ni blog masih ada penghuninya ndak sih
ngga ada ndul
sekedar berbagi berita saja:
di Gagak Seta ada Terusan ADBM, bisa dinikmati dgn gratis
monggo kalo mau mampir
maturnuwun kangmas.
antara ada dan tiada sedang tiarap semua para pemimpin padepokan…………………….????????????
Sugeng siang para Cantrik sedaya..
Sebelumnya mohon maaf atas woro woro ini,
dulu saya pernah ingin mencoba melanjutkan adbm yg terputus, namun karena kesibukan, ternyata Ki Agus yg telah meneruskan kisah adi luhung ini.
namun demikian, di gandhok Gagak Seta, saya di “ogrok2” oleh beberapa cantrik disana untuk meneruskan Adbm dengan versi “mbah_man”
Semoga kalau ada waktu silahkan mampir di gandhok “Terusan ADBM Gagak Seta”
matur suwun
Mbah-man
tak kiro woro-woro gandok anyar ‘terusan adbm mandarakan’
Yang peting GRATIS kalo musti mbayar sepertinya menghianati cita2 awal kita,,,
kok nggak bisa komen ya 😦
jangan-jangan
jangan terlalu cepat komennya Ki Syakuur .. nanti dikira SPAM oleh Aki Ismet 😀
rasanya bukan gitu deh, soale kemaren tu banyak keluhan wp nggak bisa komen (misalnya di cersilindonesia tu banyak keluhan) e nggak tahunya di sini juga ternyata komenku nggak masuk, nunggu ki nin 😛
lanjutan ADBM 404 mana ya ki?
bukanya di website apa ya?
lanjutannya 404 ya 405 to …
Alamat pastinya di link mana ya (Terusan ADBM Gagak Seto) ??
Mohon dibantu dong….
tks
cobi njenengan tingali wonten mriki ki nogoposo
kok di mriki nya sy kok gak bisa nemu ydm ya….
bantuin doong…
wah berarti niku alamat palsu sing digoleki mbak ayu doong…
mbah_man berusaha meneruskan ADBM dengan versi lain (selain Bukan ADBM nya Ki Agus).
sayang, baru sekitar separuh jilid beliaunya sakit sehingga harus rawat inap di rumah sakit.
semoga beliau lakas sembuh dan meneruskan tulsiannya.
silahan kunjungi disini: http://cersilindonesia.wordpress.com/terusan-adbm/2/
Ma’af mau tanya, apa masih ada cerita lanjutan dari ADBM?
Kalau mau bayar gimana caranya ya, nuwun sewu bagi dulur2 mbok ya empatinya dan nuraninya dikedepakkan, ayo kita menghargai imajinasi dan karya sastra penulis yang berusaha melanjutkan cerita epik kepahlawanan nuansa jawa tengah, apapun hasilnya kalau literasi ini sangat membantu mengenalkan adat istiadat unggah ungguh subosito masyarakat jawa mbok ya disokong, ini lebih berisi dari pada komik marvel atau DC yang dar der dor…
Salam
#bagaskoro manjer kawuryan
Mataram Binangkit
Buku 404
Oleh Agus S. Soerono
Telah terbit Ebook Mataram Binangkit Buku 404 oleh Agus S. Soerono. Jika anda berminat, silakan transfer Rp 100.000,- ke Norek BCA 288-1221-715 a/n Agus Suprihanto. Kirim bukti transfer dan sertakan alamat email ke no WA 0878-0856-1199. Kami akan segera mengirim Ebook dalam format PDF ke alamat email.
Donasi tidak berkeberatan, asal tidak menjadi komersial.
Yang lain versi mbah Man donasinya tidak ngarani.
Saya juga berlangganan yang versi mbah MAN
Kalajenganipum seri menika menapa wonten, menawi taksih saged kula panggihaken ing pundi? Mugi para kadang saged paring kabar, nuwun
Saya bisa mengkuti karya Ki Agus dimana ya, lanjutannta
Nyuwun pirsa, seri saklajengipun wonten pundi, kula kok dereng manggihaken, bok menawi ki agus rena paring sesuluh.
Kami tidak melanjutkan wedaran di sini, karena cerita selanjutnya “berbayar”.
Ngapunten.
Cukup baik, seperti pengantar kata di atas ; untuk memuaskan dahaga pembaca penggemar ADBM ( Api di bukit menoreh)
saya mencari software abbyy finereader yang pernah dibagikan, adakah cantrik yang masih ingat link nya?