Bukan ADBM

buku-iv-98>>| buku-iv-100>>

Api di Bukit Menoreh
Seri IV-99
Membangun Armada Laut Yang kuat bagi Mataram
Oleh Ki Agus S. Soerono

SEJENAK setelah Ki Tumenggung Untara naik ke pendapa dan duduk di atas tikar, muncul Ki Widura dari ruang dalam. Ki Widura pun tersenyum lebar dan menyambut kemanakannya itu dengan gembira.
–Kedatangan anakmas sungguh merupakan suatu kebahagiaan bagiku dan bagi semua penghuni padepokan bahwa anakmas bersedia meluangkan waktu sebagai penerus perguruan Ki Sadewa di tengah-tengah kesibukan anakmas—kata Ki Widura sambil masih tersenyum menyambut kemanakannya itu.
–Tentu saja aku datang, paman. Setelah kupikir-pikir secara lebih matang, ternyata aku memang harus meningkatkan kadar ilmuku. Aku menyadari, selama ini apabila terjadi peperangan dan aku menghadapi orang yang berilmu tinggi aku selalu dikelilingi oleh senapati pengapit yang cukup banyak. Semoga kalau hal itu terjadi lagi, aku bisa mengurangi jumlah senapati pengapitku. Atau bahkan aku bisa menghadapinya sendiri tanpa senapati pengapit—kata Ki Tumenggung Untara.
Ki Tumenggung Untara pun kemudian menyampaikan kepada Ki Widura bahwa ia akan pergi ke gua di atas tebing itu wayah sepi uwong, sehingga tidak ada seorang pun yang akan melihatnya ketika memasuki gua itu. Selama Ki Tumenggung Untara bertirakat di dalam gua itu, ia menitipkan kudanya di padepokan kecil tersebut.
Mereka pun berbincang sampai matahari tergelincir di balik bukit di sebelah Barat. Ki Tumenggung Untara pun kemudian pergi ke pakiwan untuk membersihkan dirinya dan sesuci. Ia bersujud memohon ampun kepada Yang Maha Agung, sekaligus berterima kasih bahwa ia dan keluarganya mendapat anugerah kesehatan dan keselamatan serta kemuliaan sebagai seorang prajurit di lingkungan pasukan Mataram.
Setelah itu ia pun kembali ke pendapa. Ternyata Ki Widura pun sudah selesai melaksanakan kewajibannya dan telah duduk pula di atas tikar putih yang dianyam halus dan diberi bergaris merah pada pinggirannya.
Mereka pun melanjutkan lagi ceriteranya ke sana ke mari, mengenang ketika Untara dan Agung Sedayu masih kecil. Betapa Untara yang mempunyai sikap lebih dewasa dan kekakakan, selalu berusaha melindungi adiknya. Adik yang cengeng dan sangat penakut itu. Hal itu karena sikap ibunya tidak mau kehilangan Agung Sedayu seperti anak keduanya, yang meninggal ketika anak itu masih kecil.
Agung Sedayu mendapat kasih sayang yang berlebihan dari ibunya, karena ibunya tidak ingin anak itu terluka barang segorespun dalam permainannya. Agar Agung Sedayu tidak meninggalkan rumah jauh-jauh seperti Untara yang sering dibawa mengembara oleh ayahnya—Ki Sadewa—maka ibunya membuat ceritera-ceritera yang menakutkan bagi Agung Sedayu, di antaranya mengenai genderuwo bermata satu yang sangat menghantuinya.
Mereka terbahak-bahak ketika mengenang masa kecil Untara dan Agung Sedayu.
–Untunglah ada Alap-alap Jalatunda, Sidanti dan Kiai Gringsing yang bisa memecahkan kungkungan rasa takut Agung Sedayu—kata Ki Tumenggung Untara.
–Ya. Karena peranan mereka dalam posisi masing-masing, membuat adikku itu terlepas dari kungkungan rasa takutnya.—
–Tetapi aku sempat repot ketika Agung Sedayu berada di Sangkal Putung dan harus bersaing untuk merebut hati Sekar Mirah di rumah Ki Demang Sangkal Putung—kata Ki Widura pula.
–Aku terpaksa harus bercerita kepada para prajurit Pajang ketika itu, bahwa Agung Sedayu telah menjadi dewa penyelamat, menjadi pahlawan bagi pasukan Pajang di Sangkal Putung. Tanpa kehadiran Agung Sedayu yang mengabarkan rencana kedatangan gerombolan pasukan Tohpati yang dikenal dengan nama Macan Kepatihan itu, tentu prajurit Pajang di Sangkal Putung sudah menjadi lumat. Namun dewa penyelamat itu justru bersembunyi ketika perang dengan pasukan Jipang di bawah pimpinan Macan Kepatihan itu benar-benar terjadi—ujar Ki Widura sambil tersenyum pula.
Ki Widura itu meneruskan pula, sebelum bertemu dengan Kiai Gringsing untuk kemudian diangkat sebagai murid utamanya, Agung Sedayu telah meningkatkan ilmunya dengan cara yang aneh.
—Aneh bagaimana paman?—tanya Ki Tumenggung Untara.
—Agung Sedayu meminta berlembar-lembar daun rontal dan alat tulis kepadaku. Ia menggambar berbagai jurus yang diingatnya dari Ki Sadewa. Ia pun memberi cara pemecahan yang rumit atas jurus-jurus itu. Semuanya digambarnya pada daun rontal tersebut.—
—Ketika kami kebingungan untuk mengarahkan Glagah Putih agar mendalami aliran ilmu murni dari perguruan Ki Sadewa, aku dan mendiang Kiai Gringsing kehilangan pegangan. Karena tidak ada seorang pun yang menguasainya secara tuntas.—
—Kami juga tidak ingin aliran ilmu dari perguruan Ki Sadewa punah, maka daun-daun rontal yang digambari oleh Agung Sedayu yang aku simpan itu ternyata sangat berguna untuk mengingat kembali berbagai jurus dari ilmu perguruan Ki Sadewa.—kata Ki Widura.
Ki Tumenggung Untara menjadi tertarik mendengar ceritera pamannya mengenai daun-daun rontal yang digambar oleh adiknya itu.
—Apakah daun rontal yang berisi gambar dan dibuat oleh Agung Sedayu itu masih ada paman?—tanyanya.
—Tentu. Tentu masih ada. Aku masih menyimpannya baik-baik—kata Ki Widura.—Tunggulah sebentar aku akan mengambilnya.—
Ki Widura pun kemudian masuk ke ruang dalam padepokan itu dan sejenak kemudian keluar lagi sambil membawa sebuah kampil yang berisi seikat daun rontal yang tersusun rapi.
—Inilah anakmas daun rontal yang digambari oleh Agung Sedayu—katanya.
Ki Tumenggung Untara pun kemudian membuka ikatan daun rontal itu dan membukanya satu per satu. Keningnya berkerut-kerut melihat gambar-gambar berbagai jurus ilmu perguruan Ki Sadewa yang sangat dikenalnya. Di bawah gambar-gambar itu, terdapat keterangan berbagai sikap yang harus dilakukan untuk melakukan jurus itu. Semuanya dijelaskan secara lengkap dan terperinci.
–Agung Sedayu mempunyai ingatan yang tajam atas setiap sesuatu yang dilihat dan diperhatikannya dengan sungguh-sungguh—kata Ki Widura.—Ia pun mempunyai bakat menggambar yang luar biasa, gambarnya sangat baik—
Ki Tumenggung Untara mengangguk-anggukkan kepalanya sambil terus membuka lembar demi lembar daun rontal itu. Semua yang digambar dan ditulis di bawahnya demikian runtut. Ki Tumenggung dapat memahami sampai lembar terakhir yang tergambar dan tertulis di atas daun rontal itu. Namun ada beberapa jurus-jurus yang ternyata merupakan pengembangan dari olah pikir Agung Sedayu sendiri.
Kesibukan mereka memperbincangkan gambar dan tulisan Agung Sedayu di atas daun-daun rontal itu pun terhenti sejenak, ketika seorang cantrik mengatakan bahwa hidangan makan malam telah tersedia di ruang dalam.
—Marilah anakmas. Sebelum anakmas berangkat wayah sepi uwong malam nanti, anakmas harus makan yang banyak lebih dulu.—
—Marilah paman. Namun aku juga sudah membawa perbekalan untukku selama berada di dalam gua itu.—
—Ya syukurlah anakmas. Namun ketika aku juga kemudian menuntut ilmu Ki Sadewa di dalam gua itu, aku masih meninggalkan peralatan masak-memasak di sana. Anakmas dapat mempergunakannya. Yang perlu anakmas bawa hanya bahan mentah saja. Di dalam gua itu juga terdapat aliran air yang tidak pernah putus sepanjang tahun, sehingga anakmas tidak perlu turun dari tebing itu jika memerlukan air—
Mereka pun kemudian bersantap malam di ruang dalam. Setelah selesai mereka kembali ke pendapa sambil menanti saat wayah sepi uwong. Mereka melanjutkan berceritera mengenai berbagai hal termasuk mengenai anak Ki Tumenggung Untara yang sudah menjelang dewasa. Wira Sanjaya.
–Anak itu perlu mendapat pengawasan yang sungguh-sungguh paman—kata Ki Tumenggung Untara.—Terus terang pengawasanku atas anak itu termasuk longgar karena kesibukan tugas menyita waktuku.—
Ki Widura mengangguk-anggukkan kepalanya.
–Percayakanlah anak itu kepadaku. Kakeknya. –
Ki Tumenggung Untara pun sekali lagi mengucapkan terima kasih kepada pamannya itu yang bersedia mengasuh Wira Sanjaya di padepokan.
—Pernyataan seperti itu aku rasa tidak perlu berlebih-lebihan anakmas. Bukankah anakmas juga termasuk pendiri padepokan ini. Tanpa bantuan anakmas, padepokan ini tentu tidak berdiri seperti sekarang—
–Ah paman bisa saja.—
Demikianlah ketika telah tiba wayah sepi uwong, Ki Tumenggung Untara pun berpamitan, setelah menyiapkan perbekalnnya, ia pun mulai menelusuri jalanan yang telah sangat sepi itu. Karena Ki Tumenggung tidak ingin seorang pun mengikuti perjalanannya, maka ia menempuh jalan setapak yang terdapat di petegalan-petegalan, ladang-ladang jagung, lalu menyusuri tepian sungai. Ki Tumenggung sangat mengenali berbagai jalan menuju ke tebing sungai itu, karena ketika kecil sampai menjelang dewasa ia telah berulangkali memasuki gua di tebing sungai itu. Ia memasuki gua itu baik bersama ayahnya –Ki Sadewa—maupun sendiri saja, tanpa seorang pun mengawaninya.
Ki Tumenggung terus berjalan menyusuri jalanan setapak yang sempit dan rumpil. Ia berjalan sambil kadang-kadang meloncati parit, merunduk di sela-sela akar pohon, atau menebas semak perdu yang menghalangi perjalanannya dengan pedang pendek yang sengaja dibawanya. Karena ia sudah berulang kali ke sana, meskipun kali ini ia melintasi jalan yang jarang dirambah orang, tidak membuatnya kehilangan arah.
Ki Tumenggung Untara tahu pasti di belakang parit kecil didepannya terdapat gumuk kecil, lalu menuruni tebing yang agak tinggi, terjal dan panjang. Di belakang tebing yang menurun panjang itulah terletak sebuah batu yang menjorok agak ke tengah sungai. Di atas batu yang menjorok ke tengah sungai itulah terdapat sebuah gua di tebing sungai. Gua yang terletak di tebing sungai itulah yang kini ditujunya.
Ketika bintang gubug penceng di langit sebelah selatan semakin bergeser miring ke Barat, ia telah sampai di tebing sungai itu. Ki Tumenggung Untara mendengar gemercik air yang terjun dari gerojogan tidak jauh dari tempatnya duduk di atas sebuah batu hitam. Ia meletakkan kampil yang berisi perbekalan di sebelahnya.
Ki Tumenggung Untara duduk beberapa saat di atas batu itu untuk beristirahat sejenak sambil mengamat-amati tepian sungai itu.
—Hm. Agaknya tidak banyak terjadi perubahan atas tebing sungai ini, selain hutannya menjadi lebih lebat, sehingga agak sukar dikenali pada malam hari.—
Setelah beristirahat sejenak Ki Tumenggung Untara pun mengeluarkan tambang dari tali ijuk yang dianyam kuat. Pada ujung tambang itu terdapat sebuah jangkar kecil yang dipergunakan untuk mengait bebatuan sebagai pancadannya untuk memasuki gua itu.
Ki Tumenggung Untara pun teringat ketika ayahnya pertama kali mengajaknya pergi ke dalam gua itu dan memintanya melemparkan tali ijuk berjangkar itu ke atas. Berulang kali ia melemparkan tali berjangkar itu, tetapi jangka terjatuh kembali karena tidak tepat menyangkut pada batu di atasnya.
—Begini caranya, Untara. Bergeserlah dan perhatikan cara ayah—kata ayahnya ketika itu. Ki Sadewa memutar-mutar tali yang pada ujungnya diikatkan jangkar itu dengan kencangnya. Pada saat yang tepat tali itu dilepaskannya, meluncur ke atas dan jangkar menyangkut pada batu di atas tebing gua itu. Sedangkan talinya berjuntai di depan gua dan ujungnya terhampar di batu tempat mereka berpijak.
–Naiklah. Ayah menjagamu di bawah—kata ayahnya.
Untara kecil itupun mulai merayap di depan tebing dan tangannya berpegangan pada simpul-simpul tali yang dibuat ayahnya pada jarak setiap dua jengkal, sehingga memudahkannya menaiki tebing itu.
Untara kecil itu pun merasa betapa pedih tangannya yang tergores oleh tali ijuk yang tajam itu. Namun tidak terdengar sepotong keluhan pun dari bibirnya. Ia terus merayap dengan berpegangan pada tali itu, simpul demi simpul dipanjatnya. Keringat bercucuran dari seluruh tubuhnya, sehingga bajunya basah seperti baru kena hujan lebat.
Untara terus merayap, sementara ayahnya memperhatikan di bawah, takut kalau-kalau Untara terpeleset atau lepas pegangan pada tali ijuk itu. Akhirnya Untara kecil itu sampai juga di bibir gua. Dengan hati-hati ia mengayun tubuhnya, dan dengan mudah ia meloncat ke dalam mulut gua serta berdiri dengan sigapnya seperti memasang kuda-kuda.
—Ayah aku sudah berada di dalam gua—katanya berteriak lantang. Untara pun menarik-narik ujung tali untuk memberi tanda bahwa ia sudah sampai di atas.
–-Baik. Tunggulah. Ayah segera menyusul—kata Ki Sadewa. Demikianlah dengan cepat dan cekatan Ki Sadewa memanjat tali itu, dan beberapa saat kemudian ia sudah sampai di mulut gua.
Setelah keduanya sampai di atas, sambil terengah-engah keduanya duduk di atas batu hitam yang terdapat di bibir gua itu. Setelah nafas mereka yang tadinya memburu normal kembali, maka Ki Sadewa itu mengajak Untara kecil masuk ke dalam gua. Mereka menyusuri gua yang sempit dan berkelok-kelok menanjak itu. Udara di dalam gua itu terasa lembab dan sedikit berbau. Di langit-langit gua itu, bergelayutan ratusan kelelawar yang berbunyi dengan suara yang riuh. Agaknya di dalam hutan di dekat tebing gua itu banyak terdapat pohon buah-buahan, sehingga kelelawar itu senang tinggal di dalam gua itu dan beranak pinak di sana.
Di bagian gua yang sempit dan menanjak tajam, kakinya sempat tergores batu-batu tajam yang seolah ditanam di tanjakan dinding gua itu. Kakinya terasa pedih dan ketika dipegangnya, dari kaki yang pedih itu mengalir cairan merah. Darah.
Pada ujung gua itu terdapat sebuah tikungan yang dari celah-celahnya terdengar gemercik air yang mengalir deras. Di atas bebatuan itu terdapat batu ceper yang berbentuk seperti mangkuk. Air yang meluber dari mangkuk batu itulah yang terdengar gemrojog ketika jatuh di atas batu di bawahnya.
Di sebelah tikungan itulah terdapat ruangan yang luas. Ruangan yang luas itu sedikit lebih terang, karena di kubahnya terdapat sebuah lubang kecil yang meloloskan cahaya matahari ke dalam gua itu. Dari lubang itu pulalah mengalir udara dari mulut gua di tebing sungai ke dalam gua dan keluar dari lubang di atas kubah itu.
Di tempat itulah ayahnya—Ki Sadewa—menempa dirinya dengan ilmu olah kanuragan berulangkali, bahkan berhari-hari mereka berdua berada di dalamnya. Namun tidak sepatah kata pun ayahnya menyebut tentang goresan-goresan gambar atau petunjuk tentang ilmu aliran perguruan Ki Sadewa yang terlukis di dinding gua itu kepadanya.
Yang ia rasakan adalah ayahnya dengan keras melatihnya untuk membajakan diri di sana. Setingkat demi setingkat, selapis demi selapis ilmunya mencapai tataran yang lebih tinggi. Dengan berbagai peralatan sederhana yang ada di sana Ki Sadewa melatih Untara kecil dengan tekun dan telaten serta penuh dengan kesabaran. Untara kecilpun mengikuti segala petunjuk ayahnya dengan tabah dan tidak terdengar keluhan barang sedikit pun dari bibirnya.
Ki Tumenggung Untara beberapa saat masih termangu-mangu mengenang pembajaan diri yang diperolehnya dari ayahnya. Ia masih dapat mengingat dengan baik, semua gerakan yang harus dilakukan sesuai dengan petunjuk ayahnya. Semua gerakan, jurus, gerak tipu dan berbagai kembangannya, masih terpateri dengan baik di dalam bilik ingatannya. Semua itu dicapainya dengan kerja keras dan dengan upaya yang bersungguh-sungguh.
Agaknya segala jerih payahnya itu tidak sia-sia. Dengan bekal yang diperolehnya dari latihan pembajaan diri di dalam gua itu dan beberapa kali pengembaraan bersama ayahnya ke wilayah Bang Wetan, sangat bermanfaat baginya ketika ia mengikuti pendadaran sebagai seorang prajurit di Pajang.
Ia diterima sebagai prajurit dengan sebutan terbaik. Jenjang kepangkatannya pun semakin bersinar dan menanjak dengan cepat. Dari seorang prajurit, lalu menjadi lurah prajurit dan naik menjadi seorang rangga. Ketika Ki Untara mendapat penugasan menjadi seorang senapati di Kademangan Sangkal Putung, pangkatnya telah pula dinaikkan menjadi seorang panji oleh Panglima Pasukan Wiratamtama ketika itu. Ki Gede Pemanahan atau yang lebih dikenal dengan nama Ki Gede Mataram. Meskipun Ki Untara telah mencapai pangkat panji, namun sangat jarang ia mempergunakan pangkat resminya itu sebagai sebutan bagi dirinya.
—Panggil saja aku Untara. Kalau kau tidak ingin merasa deksura karena langsung menyebut namaku, sebut saja aku Senapati Untara—katanya kepada seorang lurah prajurit yang baru ditempatkan di bawah wewenangnya ketika ia masih di Kademangan Sangkal Putung. Karena itu sangat jarang orang yang tahu, kecuali orang-orang yang berkaitan langsung dengan kenaikan pangkatnya bahwa pangkatnya telah dinaikkan menjadi pandega setelah Ki Untara berhasil mengalahkan Macan Kepatihan dan pasukannya di Sangkal Putung. Oleh karena itu, banyak pihak yang merasa sangat terkejut ketika Ki Untara yang tidak pernah disebut-sebut tingkat kepangkatannya, tiba-tiba menjadi seorang Tumenggung membawahi Pasukan Mataram di wilayah Selatan.
Namun kenaikan jenjang kepangkatannya itu harus ditebusnya dengan keterlambatannya dalam berumah tangga. Karena kesibukannya yang tenggelam dalam tugas-tugas, ia seakan-akan tidak mempunyai waktu untuk melirik seorang gadis pun.
Memang pernah seorang kawannya yang juga seorang prajurit memperkenalkannya dengan seorang gadis. Meskipun gadis itu cukup cantik, namun Untara yang mulai menanjak bintangnya kurang tertarik karena ia merasa sikap manis yang ditunjukkan kepadanya sekadar pulasan belaka. Karena tanpa sengaja Untara melihat sikap gadis itu yang kasar, ketika untuk kedua kalinya ia datang ke rumah gadis itu. Gadis itu yang tidak mengetahui kedatangan Untara, juga tidak tahu ketika Untara mengendap-endap pergi meninggalkan rumah gadis itu.
Sejak itu, Untara tidak pernah lagi berusaha untuk terpaut hatinya terhadap seorang gadis pun. Ia pun semakin tenggelam ke dalam olah keprajuritan dan latihan-latihan dalam perang gelar serta berbagai paugeran yang berlaku. Semuanya itu ditekuninya, sehingga hampir menyita seluruh waktunya.
Memang untuk mencapai sesuatu ada harga yang harus dibayar untuk mencapai gegayuhan tersebut. Karena kesibukan dalam olah keprajuritan itu membuatnya terlambat menikah, sehingga salah seorang atasan tidak langsungnya telah mengambil prakarsa untuk mencarikan jodoh baginya. Untunglah ia tidak tergelincir karena calon mertuanya ketika itu ternyata sempat terseret arus pemberontakan terhadap Pajang, meskipun pada akhirnya ia menyadari dan kembali pada garis perjuangannya yang benar.
Ki Untara tiba-tiba terlepas dari lamunannya. Suara gemrojog air terjun yang terletak tidak jauh dari tempatnya duduk itu, membuyarkan angan-angannya akan masa lalu. Suara air terjun itu ditingkahi pula dengan suara burung bence dan burung kedasih yang ngelangut di tengah hutan yang hening di malam hari. Ia sadar bahwa ia harus segera memanjat tebing sungai itu untuk masuk ke dalam gua.
Kalau puluhan tahun yang lalu ia naik ke atas tebing itu bersama ayahnya—Ki Sadewa—maka kini Ki Tumenggung Untara harus naik sendiri ke dalam gua itu.
Perlahan-lahan Ki Tumenggung Untara memutar-mutar tali ijuk yang pada ujungnya diikatkan jangkar dari besi itu. Semakin lama putaran tali berjangkar itu semakin cepat. Dengan sebuah hentakan tali berjangkar itu meluncur ke atas melewati gua di atas tebing sungai itu, melewati sebuah batu besar di atas tebing dan ternyata jangkar itu langsung menyangkut di batu itu.
Seakan-akan menguji kekuatan tali jangkar dan batu tempatnya bergantung, Ki Tumenggung Untara pun mencoba menariknya dengan beban berat tubuhnya. Ternyata batu itu bergeming. Setelah merasa yakin akan kekuatan tali, jangkar dan batu di atasnya, Ki Tumenggung Untara pun mengambil kampilnya dan menyangkutkannya di leher dan meletakkan di bagian punggung agar tidak mengganggu gerakannya.
Ki Tumenggung Untara pun mulai memanjat simpul demi simpul tali yang dibuatnya. Dengan bantuan simpul-simpul tali pada jarak setiap dua jengkal, ternyata tidak terlalu sulit baginya untuk mencapai lubang gua itu. Hal itu karena pada masa kecilnya telah berulang kali Untara memasuki gua itu dengan cara yang sama dan mendapat bimbingan dari ayahnya.
Sebelum Ki Tumenggung Untara masuk ke dalam gua itu, di kejauhan ia mendengar kokok ayam hutan untuk terakhir kalinya.
—Hampir fajar—desisnya di dalam hati. Ia pun melihat di ufuk timur, cahaya merah mulai membayang di ujung cakrawala. Tentu sebentar lagi sang surya segera menampakkan dirinya. Menerangi permukaan bumi ini, seperti pada hari-hari sebelumnya, seperti pekan-pekan sebelumnya, seperti pada bulan-bulan sebelumnya dan seperti pada tahun-tahun sebelumnya.
Semuanya itu terjadi dengan ajeg, berulang, berulang dan berulang kembali. Bumi berputar zaman pun beredar. Alam berputar mengikuti kodrat-Nya. Tidak bergeser barang sedikit pun. Namun perubahan itu terjadi pada manusia yang mengisi alam dunia ini.
Kalau dulu Untara datang ke dalam gua itu dengan diantar dan dibimbing ayahnya, maka kini ayahnya itu telah tiada. Kalau dulu ia masih terhitung kanak-kanak ketika pertama kali memasuki gua itu, kini ia telah mempunyai anak. Wira Sanjaya. ]
–Suatu saat aku akan mengajak Wira Sanjaya ke mari—katanya di dalam hati pula.
Ki Tumenggung Untara pun segera mengamankan ujung tali dengan menggulungnya dan meletakkan gulungan tali itu di mulut gua. Ujung tali yang berisi jangkar dibiarkannya tetap menyangkut pada batu di atas tebing sungai.
Perlahan-lahan ia masuk ke dalam gua. Makin lama gua yang menanjak itu semakin sempit. Ketika tanjakan itu semakin terjal, di dasar lorong itu terdapat batu-batu tajam, namun kakinya tidak tergores seperti ketika pertama kali ia memasuki gua itu bersama ayahnya. Ia terus memasuki lorong sempit dan panjang itu dengan berhati-hati. Acapkali ia harus menunduk dan merayap, ketika lubang gua itu semakin menyempit. Seperti ketika dahulu ia memasuki gua itu bersama ayahnya, di bagian gua yang agak lega setelah tanjakan itu, masih juga terdapat ratusan bahkan mungkin sudah berkembang menjadi ribuan kelelawar yang mencicit dengan berisiknya.
Selain berisik, ribuan kelelawar itu juga meninggalkan bau yang pesing karena kotorannya yang jatuh di lantai gua.
Ketika sampai di cucuran air yang meluncur dari mangkuk batu itu, Ki Tumenggung Untara pun meletakkan kampilnya lalu mengambil air sesuci. Setelah itu ia memanjat lagi, ke bagian gua yang agak terang karena ada lubang pada kubahnya. Agaknya kelelawar itu kurang suka tinggal di bagian gua yang agak terang, sehingga pada bagian gua itu tidak terdapat kotoran kelelawar.
Ia pun melakukan kewajibannya untuk menghadap Yang Maha Agung, sambil berdoa untuk meneguhkan niatnya untuk memetik ilmu dari peninggalan orang tuanya. Ki Sadewa.
Di ruangan yang paling luas itulah, menurut pamannya Widura digoreskan tuntunan ilmu sesuai jalur perguruan Ki Sadewa. Ki Tumenggung Untara pun kemudian menyalakan oncor biji jarak yang ditusuk dengan sunduk bambu yang sudah diraut halus. Dengan menggunakan batu titikan dan dimik belerang Ki Tumenggung Untara pun menyalakan oncor itu.
Sambil memegang oncor biji jarak itu, Ki Tumenggung Untara pun mulai memperhatikan dinding gua itu. Ternyata di sekeliling dinding gua itu terdapat goresan gerakan olah kanuragan seperti diceriterakan oleh pamannya Widura yang mendapat keterangan itu dari Agung Sedayu. Ternyata sebagian besar dari goresan gambar yang terdapat di dinding itu terdapat dalam gambar rontal yang dibuat oleh Agung Sedayu ketika berada di Sangkal Putung.
Setelah mengamati semuanya, Ki Tumenggung Untara pun meletakkan oncor biji jarak itu di sebelah batu hitam pipih seperti tempat duduk yang terletak di tengah gua. Di atas batu pipih itulah biasanya Untara melihat ayahnya duduk bersila sambil bersedakep. Ayahnya bersemadi di sana.
Ia pun mulai mengikuti semua gerakan yang tergores pada dinding gua itu. Bahkan pada gerakan-gerakan yang terasa agak rumit, ternyata di sebelahnya ada penjelasannya yang tertulis dengan huruf-huruf kecil dan rapi. Tulisan itu adalah tulisan ayahnya. Ki Sadewa.
Demikianlah Ki Tumenggung Untara itupun tenggelam dalam kesibukannya menempa diri sambil mengamat-amati lukisan di dinding yang berisi jurus-jurus perguruan Ki Sadewa yang sebagian sudah dikuasainya. Namun sebagian lagi belum dikuasainya. Ia mengagumi ketajaman pikiran adiknya Agung Sedayu, karena sebagian yang tergores di daun rontal buatannya, justru terdapat pada lukisan di dinding gua itu.
—Anak itu memang luar biasa—katanya di dalam hati.
Dalam pada itu, ketika Ki Tumenggung Untara semakin membenamkan dirinya dalam pembajaan diri meraih puncak ilmu perguruan Ki Sadewa, ternyata Swandaru Geni dan istrinya Pandan Wangi juga tidak tinggal diam. Ketika anaknya yang sudah bisa berjalan ke sana kemari di halaman rumah dengan lincahnya diawasi Ki Demang, maka mereka pun punya kesempatan lebih banyak untuk masuk ke dalam sanggar.
Ki Swandaru Geni dan istrinya Pandan Wangi pun semakin sering mengasah ketajaman ilmunya. Setelah Ki Swandaru Geni terbentur pada kenyataan bahwa ilmunya bukan apa-apa dibandingkan kakak seperguruannya Ki Rangga Agung Sedayu, barulah ia mau menerima kenyataan akan kedalaman ilmu pedang istrinya. Pandan Wangi.
Ilmu pedang Pandan Wangi semakin tajam dan berbobot. Kalau semula jarak jangkau pedangnya mampu mendahului bentuk wadag pedang itu satu dua jengkal lebih panjang, maka dengan latihan mesu diri yang terus menerus dan bersungguh-sungguh, maka penambahan ilmu pedangnya telah mampu mendahului bentuk wadagnya sepanjang pedang itu sendiri. Atau dengan perkataan lain boleh dikatakan, bahwa panjang pedang Pandan Wangi daya jangkaunya telah menjadi dua kali lipat.
Dalam latihan di dalam sanggar, Ki Swandaru telah terpukau melihat kenyataan bahwa dalam jarak dua kali panjang pedangnya, istrinya mampu merobek karung pasir yang tergantung di sudut ruangan. Brettt, brett, maka sebuah lubang menyilang telah timbul pada sebuah karung yang tergantung itu. Pasir yang terdapat di dalamnya pun berhamburan keluar dari karung itu. Namun Pandan Wangi belum selesai, dengan sebuah sabetan mendatar maka karung itu terputus pada tali penggantungnya dan jatuh berhamburan di bawah.
—Kau mencapai kemajuan yang pesat, Wangi—kata Ki Swandaru Geni mengakui kemajuan istrinya.
–Kakang pun dapat mencapainya, kalau kakang mau mesu diri dan mau berlatih dengan sungguh-sungguh—jawab Pandan Wangi membesarkan hati suaminya.
–Baiklah aku akan mencobanya—kata Ki Swandaru Geni. Iapun kemudian mulai menjalani laku sebagaimana tertulis dalam petunjuk yang terdapat di dalam kitab perguruan Windujati yang diperolehnya dari Kiai Gringsing. Meskipun kitab perguruan Windujati itu tidak sedang berada di tangannya, namun Ki Swandaru telah mencatat beberapa hal penting tentang berbagai laku yang tidak dapat dihapalnya seketika, pada beberapa daun rontal. Ternyata catatan kecilnya itu berguna ketika ia membutuhkan, namun kitab itu tidak sedang berada di tangannya.
Ki Swandaru Geni itu pun tidak segan-segan lagi bertanya kepada istrinya jika ada hal-hal yang kurang dipahaminya. Karena itu, Ki Swandaru pun mulai merambah ke kedalaman ilmunya, suatu pekerjaan yang selama ini dianggapnya sia-sia dan tidak disukainya jika hal itu dilakukan oleh Pandan Wangi.
Untuk tahap pertama Ki Swandaru pun harus melakukan puasa selama empat puluh hari dan patigeni selama tiga hari tiga malam. Pandan Wangi yang telah lebih dahulu merambah ke kedalaman ilmunya itu pun mendukung niat suaminya.
–Kakang harus berada di dalam sanggar selama empat puluh tiga hari. Setelah itu kakang akan mencapai suatu titik lemah secara kewadagan dan untuk memulihkannya paling tidak memerlukan waktu selama sepekan—kata Pandan Wangi.
—Jadi aku selama itu harus berada di dalam sanggar, Wangi?—tanyanya pula.
–Iya kakang. Itu kalau kakang ingin segera mencapai peningkatan yang berarti dalam ilmu kakang. Kalau kakang hanya puasa sepekan dan patigeni satu hari satu malam, memang kakang akan bisa mulai merambah ke kedalaman ilmu kakang. Namun peningkatan itu tentu akan kurang memuaskan hati kakang. Aku khawatir kakang akan kecewa nantinya—
–Baiklah jika demikian aku akan mulai memasuki sanggar tiga hari dari sekarang. Besok aku akan menugaskan beberapa orang anak muda untuk memanggil para pemimpin pengawal kademangan dan pemimpin pengawal padukuhan untuk datang ke kademangan pada keesokan harinya. Nanti aku akan memberi berbagai petunjuk kepada mereka, mengenai berbagai hal yang harus mereka lakukan selama aku berada di dalam sanggar.—
—Kakang terlebih dahulu juga harus memberi tahu kepada Ayah—Ki Demang Sangkal Putung—dan ibu, agar mereka dapat memakluminya.—
—Tentu. Tentu saja Wangi. Aku akan segera memberi tahu mereka dan sekaligus mohon doa restu.—
Ketika ayahnya Ki Demang Sangkal Putung tengah duduk-duduk di pendapa bersama cucunya, maka Ki Swandaru Geni pun kemudian menghampirinya dan menyatakan niatnya untuk menjalani laku selama sekitar lima puluh hari untuk meningkatkan ilmunya. Empat puluh hari berpuasa, tiga hari patigeni dan sekitar sepekan untuk memulihkan kekuatannya.
Ki Demang Sangkal Putung pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun ia sudah semakin sepuh, namun pemahamannya terhadap suatu masalah masih jernih. Hanya saja Ki Swandaru harus bersuara keras di dekat telinga ayahnya, karena sejalan dengan usia yang bertambah, pendengaran ayahnya itu sudah semakin berkurang.
Demikianlah, pada hari yang ditetapkan Ki Swandaru Geni telah menerima kehadiran para bebahu kademangan, para bebahu padukuhan dan para pemimpin pasukan pengawal dari seluruh kademangan dan padukuhan di banjar kademangan.
Ki Swandaru Geni itu pun mulai menjelaskan niatnya untuk memasuki sanggar selama sekitar lima puluh hari guna meningkatkan ilmunya. Untuk itu, selama ia berada di sanggar, maka segala beban tugasnya akan dibagi secara merata kepada para bebahu kademangan dan padukuhan serta para pemimpin pasukan pengawal kademangan dan padukuhan. Seluruh pemimpin kademangan dan pasukan pengawal itu pun mengangguk-angguk. Mereka sudah memahami apa yang harus mereka lakukan, karena Ki Swandaru telah sering melakukannya ketika ia harus berangkat berperang atau menengok mertuanya di Tanah Perdikan Menoreh.
—Kami siap melaksanakannya—kata seorang bebahu kademangan yang meyakini bahwa laku yang dijalani oleh Ki Swandaru Geni semata-mata untuk kemajuan kademangan itu dan semua padukuhan di dalamnya. Karena mereka yakin, jika Ki Swandaru semakin tinggi ilmunya, tidak akan ada penjahat atau perampok yang berani mengganggu wilayah mereka. Hal itu berarti akan semakin mempermudah tugas mereka dalam menjaga keamanan di wilayahnya.
—Terima kasih Ki Jagabaya dan para bebahu kademangan, bebahu padukuhan serta para pemimpin pasukan pengawal atas segala pengertian kalian. Untuk selanjutnya aku akan membagi tugas kepada kalian semua, selama aku berada di sanggar nanti—
Demikianlah Ki Swandaru Geni pun mulai membagi tugas kepada para bebahu kademangan, bebahu padukuhan dan para pemimpin pasukan pengawal agar mereka selalu waspada menjaga keamanan wilayahnya. Pada petang harinya, Ki Swandaru Geni telah mandi keramas dengan abu merang untuk membersihkan dirinya dan mengukuhkan niatnya untuk melaksanakan laku sebagaimana tertulis di dalam kitab perguruan Windujati peninggalan gurunya. Mendiang Kiai Gringsing.
Maka pada keesokan harinya Ki Swandaru Geni mulai memasuki sanggar. Pada hari pertama itu ia duduk bersila di tengah-tengah sanggar, bersedakep, mengatupkan matanya dan memusatkan nalar budinya. Dengan konsentrasi penuh, Ki Swandaru Geni mulai menutup seluruh indranya dan justru membangun komunikasi pikiran dengan Yang Maha Agung. Dengan niat yang sungguh-sungguh ia memohon petunjuk-Nya agar bisa meningkatkan kemampuannya dalam olah kanuragan itu.
Ketika cahaya senja telah membayang di cakrawala Barat, maka Pandan Wangi pun telah memasuki ruangan untuk menyediakan keperluan suaminya untuk berbuka puasa. Setelah berbuka, Swandaru keluar sejenak untuk pergi ke pakiwan, mandi, sesuci dan melaksanakan kewajibannya kepada Yang Maha Agung. Iapun segera tenggelam kembali ke dalam semadinya. Namun ia berusaha keras untuk tidak tergelincir ke alam tidur. Karena antara semadi dan alam tidur hanya dipisahkan oleh selapis tipis kesadaran. Jika Ki Swandaru Geni tergelincir dalam alam tidur, maka akan sia-sia lah upayanya untuk meningkatkan ilmunya. Ibarat ranting kayu yang patah, sebelum menjadi cabang. Karena itu, meskipun matanya menjadi sangat berat dan mengajaknya terpejam, namun dengan sekuat tenaga ia berhasil mengatasinya.
Demikianlah dari hari ke hari berikutnya Ki Swandaru Geni semakin dalam memasuki alam semadi dan memperkeras niatnya, sehubungan dengan godaan dalam dirinya yang semakin besar untuk ngudhari semadinya. Namun niat Ki Swandaru ternyata lebih besar dari godaan dalam dirinya, sehingga ia bisa tetap bertahan melanjutkan semadinya.
Setiap cahaya senja muncul di ufuk Barat, kembali Ki Swandaru mengakhiri semadinya untuk hari itu ketika Pandan Wangi memasuki sanggar dan membawakan makanan untuk berbuka sampai hari ketujuh. Setelah makan, ia pun ke pakiwan dan sesuci serta melaksanakan kewajibannya kepada Yang Maha Agung.
Namun setelah hari ketujuh, Ki Swandaru mulai mengubah lakunya. Kalau pada hari sebelumnya, sehabis melaksanakan kewajibannya kepada Yang Maha Agung ia tenggelam kembali ke dalam semadi, maka mulai hari itu ia mulai mendalami ciri-ciri dan watak dari ilmunya. Sebab ia ingin menguasai dengan lebih mapan segala jurus, pukulan, tendangan, sabitan kaki, pukulan sisi telapak tangan, gerak tipu dan segala macam kembangannya.
Semula Ki Swandaru Geni melatih semua gerakan dan jurus-jurus yang tersimpan dalam kitab Windujati dengan tangan kosong. Ia melakukannya berulang-ulang dan menghayati setiap gerakan itu. Tanpa terasa ternyata gerakannya itu semakin bertenaga dan menimbulkan kesiur angin yang tajam menyusul pukulan tangan atau tendangan kakinya.
Ia pun mulai melatih pukulan dan tendangannya ke arah kantong pasir yang telah diganti setelah dibabat putus oleh Pandan Wangi dengan pedangnya yang mempunyai daya jangkauan dua kali lipat. Swandaru memukul ke arah kantong pasir itu pada jarak sejengkal. Mula-mula kantong pasir itu hanya bergetar sedikit. Ia pun mengulanginya berkali-kali, bahkan sampai berpuluh kali dan beratus kali. Makin lama getaran dan dorongan atas kantong pasir itu pun semakin keras.
Ketika getaran itu sudah semakin keras pada jarak sejengkal, ia pun mengulanginya lagi pada jarak dua jengkal. Dalam pukulan pertama pada jarak dua jengkal, kantong pasir itu tidak bergetar sama sekali. Ki Swandaru pun mengulang-ulangnya terus sampai pada akhirnya kantong pasir itu pun mulai bergetar sehingga pada akhirnya terayun-ayun pada pukulannya yang ke seratus kali.
Demikianlah pada setiap kemajuan dalam pencapaiannya, Ki Swandaru menambah jarak jangkauannya dari kantong pasir itu. Sehingga pada akhirnya ia bisa menggetarkan kantong pasir itu pada jarak jangkauan satu depa. Namun ia masih belum puas, karena itu pukulan dan tendangan itupun terus dihayatinya, sehingga pada akhirnya ia bukan saja bisa menggetarkan kantong pasir itu. Kantong pasir itu bergoyang-goyang dengan kerasnya. Ke depan ke belakang. Ketika ia mengubah arah pukulan dan tendangannya, maka gerakan karung pasir itu pun berubah ke kiri ke kanan.
Ki Swandaru kemudian mengubah pukulannya dengan tusukan keempat jarinya yang dirapatkan dengan jempolnya menekuk ke dalam. Pada tusukan pertama, karung pasir itu hanya terdorong sedikit. Karena itu ia terus mengulang-ulang gerakannya, sehingga pada akhirnya karung pasir itu pun mulai robek sedikit, pada tusukan berikutnya robek makin lebar dan pada tusukan selanjutnya kantong pasir itu robek lebar dan pasir pun berhamburan keluar.
Pada serangan berikutnya Ki Swandaru memukul dengan sisi telapak tangannya, yang membuat tali pengikat kantong pasir itu pun putus dan pasir berhamburan di lantai sanggar.
Ki Swandaru masih tetap belum puas atas pencapaiannya. Pada hari-hari selanjutnya kemampuannya itu semakin diperdalam dan dipertajam. Ia pun kemudian mempergunakan sebuah pedang besar yang pada gagangnya masih berjuntai pita kuning keemasan pemberian Raden Sutawijaya yang kemudian bergelar Panembahan Senapati. Pedang itu diambilnya dari gantungan pada dinding. Dikeluarkannya pedang itu dari sarungnya. Ia mengamat-amati sejenak pada bagiannya yang tajam. Pedang itu masih tetap bersih dan mengkilat, meskipun sudah cukup lama ia tidak mempergunakannya.
Sejak Ki Swandaru Geni semakin menekuni ilmu cambuk dari perguruan Orang Bercambuk, maka pedang itu sudah jarang disentuhnya. Namun ia masih menghayati betapa berat pedang itu dan betapa kemampuan yang bisa dibangkitkannya dengan pedang itu.
Ia pun kemudian melatih gerakan-gerakan seperti dilakukan sehari sebelumnya dengan tangan kosong. Ia mulai melihat ada kemajuan dalam gerakan ilmu pedangnya. Seperti yang dapat dilakukan oleh Pandan Wangi, maka jangkauan ujung pedangnya pun mampu mendahului bentuk wadagnya. Mula-mula ia melatih jarak jangkauan pedangnya pada jarak sejengkal, lalu dua jengkal dan begitu seterusnya sehingga pada waktunya jarak jangkauan serangan pedangnya itu telah berkembang menjadi satu depa.
Ki Swandaru Geni masih belum puas atas pencapaiannya itu. Ia kemudian memperhatikan api oncor yang bergerak-gerak liar tersambar gerakan pedangnya. Ia meletakkan ujung pedangnya di atas nyala api oncor yang bergerak ke kiri ke kanan. Ia memusatkan nalar budinya, untuk menyerap inti kekuatan api dari nyala oncor itu. Tak beberapa lama ujung pedang itu membara. Hal itu menarik perhatiannya. Ia mengamati ujung pedang yang tadinya membara itu kini telah hilang baranya.
Ia lalu mengulanginya dengan menunjuk lurus ke arah api pada oncor biji jarak itu dengan ujung pedangnya pada jarak sejengkal. Ia pun mulai menyerap inti api yang tersebar dari oncor jarak itu dan menariknya ke ujung pedangnya.
Ki Swandaru pun kemudian memusatkan nalar budinya. Dengan mendasarkan pengetahuannya bahwa ujung pedangnya mampu menyerap inti kekuatan api, maka ia mencoba menerapkan kemampuannnya itu pada jarak sejengkal.
Ternyata ia mampu menyerap inti panasnya api dari oncor biji jarak itu, seperti besi sembrani yang menarik butiran-butiran besi ke ujungnya. Semakin lama inti panas itu terkumpul semakin banyak sehingga membuat ujung pedang itu membara.
Ketika panas yang terserap sampai ke gagangnya makin tinggi, maka buru-buru ia melepas pita berwarna kuning keemasan pemberian Raden Sutawijaya itu. Sungguh sayang kalau pita itu harus terbakar, padahal itu pemberian Raden Sutawijaya yang kemudian bergelar Panembahan Senapati ketika ia memimpin Mataram. Kini pemimpin Mataram itu telah tiada.
Setelah melepaskan pita kuning itu, ia pun mengulangi lagi pencapaiannya tadi. Demikian seterusnya diulang-ulangnya. Setiap kali panas itu sudah sampai ke gagangnya, maka ia membuat jaraknya semakin jauh dan semakin jauh dari oncor biji jarak itu.
Pada hari berikutnya, setelah jarak jangkauannya mencapai satu depa, Ki Swandaru kemudian membalik caranya menyerap panas itu. Ia memusatkan nalar budinya dan mulai membangkitkan panas dari udara di sekitarnya. Ia tidak lagi menyerap panas itu dari oncor biji jarak di sudut ruangan sanggar. Ketika ujung pedang itu sudah membara, maka ditoreh-torehnya potongan sebatang kayu glugu yang tertancap di sanggar itu.
Hal itu diulanginya kembali dari awal pada jarak satu jengkal. Ketika pedang itu telah membara kembali ia melatihnya pada potongan kayu glugu yang tertancap di sanggar itu. Ditoreh-torehnya kayu dari batang pohon kelapa itu menyilang, semakin lama semakin banyak. Bekas torehan pedang Ki Swandaru dari jarak yang semakin lama semakin jauh itu pun menimbulkan bekas terbakar. Hangus.
Ketika jarak jangkauannya telah mencapai sedepa, ia pun mulai melatih kecepatan dalam membangkitkan panas dari pedangnya. Kalau pada awalnya Ki Swandaru membutuhkan waktu dua kali waktu penginang untuk membangkitkan panas pada pedangnya itu, maka ia terus melatihnya. Pada keesokan harinya, ia hanya membutuhkan waktu sepenginang untuk memanaskan pedangnya dari ujung ke ujung. Karena panas itu dibangkitkan dari dalam dirinya, maka ia tidak merasakan panas itu menyengat kulit tangannya. Demikianlah terus dilatihnya, sehingga dalam waktu sepekan berikutnya ia telah mampu membangkitkan inti panas dari udara dalam waktu hanya sekejap.
Dalam latihan pada pekan berikutnya, Ki Swandaru mulai berlatih dengan cambuknya. Semula ia merasa ragu-ragu untuk menyalurkan lambaran ilmunya pada kulit janget yang dianyam tinatelon tersebut.
Dalam keraguannya itu ternyata timbul tekadnya untuk menyalurkan kekuatan inti panas itu ke dalam cambuknya. Kalaupun cambuk itu menjadi rusak atau hangus, maka ia dapat minta tolong kepada Ki Widura di padepokan kecil Kiai Gringsing untuk membuatkannya lagi. Ki Widura telah mendapat keahlian khusus dari Kiai Gringsing mengenai cara membuat cambuk sebelum orang tua yang aneh itu pergi untuk selamanya.
Ki Swandaru pun mulai mencoba menyerap inti panas dan menyalurkannya ke cambuk kulit janget pemberian gurunya. Ia memegang gagang cambuk itu di tangan kanannya dan ujungnya di tangan kirinya. Sejenak sempat tercium bau kulit terbakar. Namun hanya sejenak. Agaknya, karena ia memeganginya pada ujung dan pangkalnya, maka cambuk itu sama sekali tidak terbakar. Selain itu, cambuk kulit janget yang dianyam tiga rangkap ganda itu ternyata dibuat dengan ramuan khusus dari perguruan Orang Bercambuk, sehingga tidak hangus oleh panas betapapun tingginya.
Tak lama kemudian cambuk itu pun nampak membara tetapi tidak hancur karena hangus. Ki Swandaru pun mulai menggerak-gerakkan cambuknya yang membara itu dengan gerakan sendal pancing. Kali ini yang menjadi sasarannya adalah tonggak glugu yang tertancap di dalam ruangan sanggar itu. Batang pohon kelapa itu pun menjadi hangus dan membekas goresan menyilang mengikuti bekas tarikan sendal pancing cambuknya yang tidak menimbulkan suara ledakan yang keras.
Ki Swandaru Geni mengulang-ulangnya dengan pengerahan tenaga yang semakin lama semakin cepat dan semakin besar. Akibatnya pun menjadi semakin luar biasa. Batang glugu itu pun pada benturan ke seratus, terpotong menjadi dua. Ia masih belum puas. Glugu di sebelahnya yang masih utuh pun diincarnya dengan gerakan sendal pancing. Glugu itu pun seperti glugu sebelumnya, terpotong menjadi dua dengan meninggalkan bekas hangus pada tempat kena benturan.
Akhirnya sampailah Ki Swandaru Geni ke hari yang keempat puluh. Seperti biasanya, setelah makan, ia ke pakiwan dan sesuci. Ia lalu melaksanakan kewajibannya kepada yang Maha Agung dan bersyukur bahwa sampai hari keempat puluh ia masih mendapat perlindungan-Nya dan dianugerahi kesehatan serta keselamatan.
Selanjutnya Ki Swandaru Geni mulai memasuki patigeni selama tiga hari tiga malam berturut-turut. Dalam menjalani patigeni ini, selain tidak menyalakan lampu di dalam ruangan sanggar, iapun tidak melakukan aktivitas apapun selain tenggelam dalam semadi.
Seperti halnya pada waktu berpuasa maka dalam patigeni ini pun godaan untuk ngudhari semakin besar. Ia seolah-olah mendengar bisikan di dalam hatinya, agar ia menghentikan saja kegiatannya itu.
—Bukankah kau sudah berhasil mencapai kemajuan pesat dalam ilmumu—kata bisikan hatinya yang penuh godaan.
Namun niatnya jauh lebih besar lagi untuk mengakhiri laku yang harus dijalaninya sampai tuntas.
Ki Swandaru Geni pun yang kemudian semakin larut dalam semadinya merenungkan segala yang telah dilakukannya seperti lintasan peristiwa yang bergerak demikian cepat dalam alam pikirannya. Semua itu silih berganti melintas dan semakin membulatkan tekadnya untuk tetap teguh berpegang kepada Yang Maha Agung. Yang memberikan segala kemampuan dan pencapaiannya yang nggegirisi itu.
Ia menyadari bahwa semua itu harus diabdikan bagi kepentingan peradaban manusia dan mengingat hubungan bebrayan secara keseluruhan. Semua pencapaian itu pun semakin merendahkan hatinya, bahwa semua itu tidak dapat terjadi tanpa kehendak-Nya.
Ki Swandaru Geni pun dalam semadinya itu mengungkapkan ikrar dalam hatinya, bahwa semua pencapaiannya itu tidak akan membuatnya pongah, sombong atau bahkan congkak.
Ia teringat ucapan gurunya—mendiang Kiai Gringsing—yang suatu ketika pernah memintanya untuk selalu rendah hati dan bersabar dalam menghadapi segala sesuatu dalam hidup ini.
—Kau harus selalu rendah hati, bersabar dan selalu berusaha mengendalikan diri dalam setiap persoalan, ngger Swandaru—kata mendiang gurunya dengan nada sareh.
Ia akan mereguk ilmu padi yang semakin berisi akan semakin merunduk. Sebab Ki Swandaru menyadari bahwa ilmu yang demikian nggegirisi itu jika dipergunakan dengan semena-mena, dengan semau-maunya, akan menimbulkan kegoncangan dalam hubungan antar manusia, dan hubungan dengan alam sekitarnya.
Hal seperti itu pun agak disesalinya, ketika ia beberapa tahun sebelumnya pernah tergelincir oleh godaan manis yang membenturkan dirinya dengan Mataram. Ketika itu, Ki Saba Lintang melalui seorang gadis terlah mendorongnya untuk meningkatkan kedudukan kademangan Sangkal Putung menjadi Tanah Perdikan. Untunglah nawala yang dikirimnya kepada pemimpin tertinggi Mataram, sempat dihentikan oleh Ki Patih Mandaraka, atas permintaan kakak seperguruannya. Ki Rangga Agung Sedayu.
Pada akhirnya Ki Swandaru Geni dapat mengakhiri semadinya dalam laku patigeni itu dengan perasaan yang semakin mantap. Ia pun ngudhar patigeninya ketika Pandan Wangi membuka selarak pintu dari luar dan menyediakan bubur cair untuknya. Badannya terasa lemah dan letih ketika semadinya selesai. Ia membuka matanya dan bangkit perlahan-lahan. Badannya agak limbung namun ia tetap berusaha berdiri perlahan-lahan. Ki Swandaru kemudian berjalan ke amben bambu yang terdapat di sudut ruang an sanggar dipapah oleh Pandan Wangi.
–Aku lemah dan letih sekali, Wangi. Tetapi aku berhasil memperdalam ilmuku—katanya sambil tersenyum.
–Syukurlah kakang. Sebaiknya kakang makan bubur cair ini sebelum pergi ke pakiwan, agar tenaga kakang bisa pulih kembali—kata Pandan Wangi. Ki Swandaru pun pelan-pelan menyuapi mulutnya dengan bubur cair dengan suru dari daun pisang. Meskipun agak lama, bubur cair itu pun habis masuk ke dalam kerongkongannya. Ia meneguk air dari kendi. Kini terasa tenaganya mulai pulih kembali, meskipun belum sepenuhnya.
Setelah tenaganya lebih besar lagi, Ki Swandaru pun pergi ke pakiwan untuk mandi, sesuci dan selanjutnya menghadap Yang Maha Agung. Ia pun semakin mantap dalam pencapaian ilmunya itu dan memanjatkan puji syukur atas segala karunia yang diterimanya.
Untuk melemaskan ototnya, maka Ki Swandaru pun berjalan pelan-pelan di rumahnya. Dari ruang dalam, ke ruang belakang, lalu berbalik ke pendapa. Di pendapa dilihatnya anaknya yang lincah mulai bermain ke sana ke mari diikuti oleh kakeknya. Ki Demang Sangkal Putung. Ketika anak kecil itu melihat ayahnya, segera ia merangkul kakinya lalu berusaha memanjat badan ayahnya. Dengan gembira Ki Swandaru merangkul anaknya itu.
–Hahaha. Swantara. Kau sudah kuat sekarang memanjat badan ayah—katanya. Anak itu pun tidak bisa tinggal diam, dari gendongan ayahnya, ia naik ke pundak dan memeluk kepala ayahnya dari belakang. Ditariknya ikat kepala Ki Swandaru dan dilemparkannya ke kakeknya. Sambil tertawa lebar, Swantara yang juga gemuk seperti ayahnya itu mengacak-acak rambut ayahnya. Ki Swandaru pun tertawa semakin lebar mendapat perlakuan yang demikian dari anaknya. Swantara.
–Agaknya kau kangen dengan ayah, Swantara—kata Ki Swandaru Geni sambil masih tertawa.
Ki Demang Sangkal Putung juga tidak tahan melihat tingkah polah Swantara, dan tertawa terpingkal-pingkal sambil memegangi perutnya yang terasa menjadi sakit karena menahan tawa.
Ketika tenaganya menjadi pulih benar pada hari kelima setelah ia menjalani patigeni, maka Ki Swandaru Geni mengajak Pandan Wangi ke suatu tempat di tepian sungai yang berpasir dan berbatu-batu yang jarang dirambah orang. Ia ingin menunjukkan pencapaian ilmunya kepada istrinya, setelah ia puasa selama empat puluh hari ditambah dengan patigeni selama tiga hari tiga malam. Pandan Wangi pun menyambut gembira ajakan suaminya itu dan mereka pun pergi ke tepian sungai itu.
Seperti ketika ia meningkatkan ilmunya di dalam sanggar, maka Ki Swandaru pun mulai menunjukkan kemampuannya dengan tangan kosong. Setahap demi setahap ilmunya itu ditingkatkan, sehingga menimbulkan kesiur angin. Semakin lama kesiur angin itu pun semakin tajam dan terasa semakin jauh jarak jangkaunya. Ketika jarak jangkauan angin pukulannya pada jarak sedepa, maka ia meloncat mendekati sebuah batu hitam sebesar kerbau dewasa yang tergolek di tepian sungai.
Ia memusatkan nalar budinya lalu memukulkan tangannya ke arah batu itu. Akibatnya sungguh dahsyat. Batu itu pecah berkeping-keping menjadi sebesar kepalan.
–Bagus kakang—kata Pandan Wangi yang melihat betapa pukulan berjarak itu mampu memecahkan batu hitam sebesar kerbau dewasa itu menjadi hancur berkeping-keping.
Ki Swandaru merasa belum selesai. Ia pun mencabut pedang besarnya dan mengayunnya berputar-putar dengan menerapkan jurus perguruan Orang Bercambuk. Ketika telah merasa cukup, ia pun mulai melambarinya dengan penyerapan panas dari udara seperti yang dilakukannya di dalam sanggar.
Tidak beberapa lama pedang besar itu pun mulai membara, namun ia tetap mengayun-ayunkan pedang yang besar dan berat itu seakan-akan tanpa bobot. Dengan lincahnya ia meloncat ke sana kemari. Kadang-kadang ia berjumpalitan, lalu menebas mendatar. Di saat yang lain, Ki Swandaru Geni meloncat tinggi. Badannya terasa ringan, seakan ia terbang seperti burung sikatan yang menyambar bilalang.
Seperti pada pukulannya, maka pedangnya pun mempunyai jarak jangkauan seolah-olah pedang yang membara itu menjadi tombak yang panjangnya sedepa lebih panjang. Batang-batang perdu dan pepohonan yang berada di tepian sungai itu pun ditebasnya dengan ilmu pedangnya yang nggegirisi itu. Ketika pukulan pedang itu menerjang sebuah batu, maka batu itu pun pecah berantakan meskipun batu itu berada pada jarak sedepa lebih jauh dari ujung pedangnya.
—Hebat kakang.—terdengar teriakan Pandan Wangi yang disambung dengan tepuk tangan dari tempatnya mengamati yang agak jauh.
Namun Ki Swandaru belum selesai dengan latihannya setelah menjalani laku puasa empat puluh hari dan patigeni tiga hari tiga malam. Ia masih ingin menunjukkan sampai tuntas ilmu yang telah dicapainya setelah mesu diri selama hampir dua bulan itu. Ia pun mengurai cambuk dari balik baju di pinggangnya. Seperti pada latihan dengan tangan kosong dan dengan pedang tadi, maka Ki Swandaru pun mulai menggerakkan cambuk berjuntai panjang itu dengan jurus-jurus ilmu perguruan Orang Bercambuk.
Mula-mula gerakannya pelan tapi bertenaga, lalu semakin lama semakin cepat, dan semakin cepat lagi. Terdengar beberapa kali cambuknya meledak dengan suara keras seakan-akan memekakkan telinga istrinya Pandan Wangi. Namun makin lama suara ledakan cambuknya seakan-akan teredam dan sama sekali tidak berbunyi keras. Namun akibatnya sungguh luar biasa. Udara pada arah ke mana cambuk itu ditujukan, terasa bergetar keras. Bahkan Pandan Wangi yang duduk berjuntai di atas batu, sempat terkejut. Karena getaran cambuk Ki Swandaru yang tidak menimbulkan suara keras itu seakan-akan mengguncang jantungnya. Ketika ujung juntai cambuk yang terdapat karah-karah baja bersegi sembilan di ujungnya itu diarahkan ke sebuah batu, maka batu itu pun meledak. Batu hitam itu hancur berkeping-keping, debu pun berhamburan dari pusat ledakan.
Tiba-tiba Ki Swandaru berhenti dengan gerakannya. Ia memperhatikan akibat dari benturan ilmunya dengan batu hitam itu.
Ia berdiri kokoh seolah-olah kakinya menghunjam ke dasar bumi, yang tidak akan goyah oleh kekuatan serangan hujan atau badai yang menerjang. Gagang cambuknya terpegang erat dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya memegang juntainya.
Perlahan-lahan Ki Swandaru menyerap inti panas dari udara dan cambuk kulitnya yang dianyam tiga ganda dan berjuntai panjang itu terlihat membara dari gagangnya lalu bergerak ke ujung, sehingga pada akhirnya seluruh cambuk itu terlihat membara.
Pandan Wangi yang mengambil jarak agak jauh, melihat betapa cambuk suaminya itu menjadi merah membara. Seolah-olah suaminya memegang bara di tangannya, dan beberapa saat kemudian suaminya mulai bermain-main dengan bara api yang lentur itu. Bara api itu pun diputar-putarkannya. Sebuah batang pohon yang agak tinggi berada di dekatnya seperti tertebas oleh golok yang tajam ketika cambuk membara itu menderanya. Suaranya berderak ketika roboh dan dedaunan yang masih melekat di batang itu pun segera layu lalu berguguran satu demi satu. Sedangkan batang pohonnya yang langsung tersambar cambuk membara itu menjadi hangus terbakar.
Ki Swandaru belum selesai. Ia pun melompat menjauhi istrinya Pandan Wangi dan mendekati batang perdu yang agak jauh dari tepian sungai yang cukup luas itu. Ki Swandaru memutar-mutar kembali cambuknya yang membara seperti baling-baling, makin lama makin cepat. Wilayah pengaruh putarannya pun makin lama makin luas ketika ia menerapkan ilmu cambuknya yang membara itu dengan jarak jangkauan melebihi bentuk wadagnya.
Semua pepohonan, perdu dan kayu kering yang berada di dekatnya, segera tumbang kena sambaran cambuk yang membara itu. Bahkan termasuk pepohonan yang berada di dalam jangkauan di luar bentuk wadag dari cambuknya itu yang seolah-olah panjangnya menjadi dua kali lipat panjang cambuknya semula.
Ki Swandaru yang semula merasa sudah cukup dengan permainan cambuknya, segera meloncat mendekati sebuah batu, namun masih di luar panjang cambuknya. Juntai cambuk yang pada ujungnya terdapat karah-karah baja bersegi sembilan dan secara khusus ditambahinya dengan gelang-gelang itu pun meledak menyambar ke arah batu itu. Terdengar dentuman dahsyat.
Pandan Wangi merasa seolah-olah bumi tempatnya berpijak bergetar bak diguncang gempa. Dari arah batu hitam yang dihajar juntai cambuk Ki Swandaru, meskipun ujung cambuk itu belum menyentuhnya secara wadag, nampak batu hitam itu mengepul seperti serpihan pasir dan kerikil terlempar ke udara berserak ke segala arah. Pandan Wangi pun memalingkan dan menutupi wajahnya dengan kedua tangannya agar percikan pasir itu tidak memasuki matanya.
Ki Swandaru masih berdiri tegak di depan batu yang hancur tersambar cambuk yang memanjang di luar jangkauannya. Tangan kanannya memegangi gagang cambuk itu dan tangan kirinya memegang juntainya. Perlahan-lahan ia meredakan nafasnya, dan bara api itu meredup pada ujungnya, kemudian bergerak ke arah pangkalnya, akhirnya bara itu lenyap sama sekali. Ternyata cambuknya itu masih utuh. Tidak terbakar atau hangus karena dilewati panas, sepanas bara api. Ketika cambuk telah dingin kembali, Ki Swandaru pun membelitkannya di bawah baju di lambungnya.
–Luar biasa kakang. Apakah nama ilmu cambuk kakang itu?—tanya Pandan Wangi.
–Apa ya? Aku akan memberinya nama aji Cambuk Geni atau aji Bara Cambuk, atau aji Cambuk Bara. Manakah yang menurutmu pantas untuk nama ilmu cambukku yang baru ini, Wangi—tanya Ki Swandaru Geni.
–Aku rasa lebih tepat kakang menyebutnya aji Cambuk Bara. Karena dalam aji itu cambuk kakang tidak mengeluarkan api atau geni, melainkan cambuk itu berubah menjadi bara.—
–Ya. Mulai sekarang aku akan menyebutnya aji Cambuk Bara, Wangi. Aku—Swandaru Geni—dengan aji Cambuk Bara—katanya.
Demikianlah kedua suami istri itupun segera mengakhiri pengamatan mereka atas ilmu yang dicapai oleh Swandaru di tepian sungai yang berpasir dan berbatu itu dan kembali ke rumahnya di kademangan Sangkal Putung. Untunglah tempat itu jarang diambah orang, sehingga tidak seorang pun yang melihat tempat itu menjadi porak poranda dan pepohonan terbakar hangus serta batu hitam yang hancur berantakan menjadi pasir dan kerikil ketika dihantam oleh aji Cambuk Bara.
Dalam pada itu, di dalam gua di atas tebing sungai Ki Tumenggung Untara mulai mengenali goresan lukisan di dinding gua itu satu persatu, seperti halnya ia mengenali lukisan di atas daun rontal yang dibuat adiknya Agung Sedayu. Ki Tumenggung pun mengenali berbagai jurus yang terpahat melingkar di dinding gua itu. Semakin tinggi tingkatan ilmu dari aliran perguruan Ki Sadewa itu, maka letaknya di dinding gua itu pun semakin tinggi. Ternyata ia hanya mengenali ilmu yang terpahat sebanyak tiga perempat dari tinggi gua itu. Selebihnya masih asing baginya.
Sebelum Ki Tumenggung Untara memulai mesu diri untuk meningkatkan ilmunya, maka ia mulai dengan meneguhkan niat untuk mempelajari ilmu olah kanuragan peninggalan ayahnya itu.
–Niyat ingsun untuk mempelajari ilmu olah kanuragan peninggalan Ki Sadewa dalam gua ini—katanya di dalam hati. Setelah itu mulailah Ki Tumenggung Untara dengan langkah awalnya untuk menguasai ilmu dari peninggalan Ki Sadewa yang terpahat di dinding gua itu.
Oleh karena itu Ki Tumenggung Untara ingin mengamati dan menghapalkan urutan gerak dari ilmu aliran Ki Sadewa dari awal sampai akhir secara runtut dalam sehari. Selebihnya ia akan mendalami ilmu itu dari awal sampai akhir dalam waktu yang tersisa. Seperti halnya Ki Rangga Agung Sedayu, Ki Tumenggung Untara pun dikaruniai oleh Yang Maha Agung mempunyai ingatan yang tajam atas sesuatu benda atau suatu hal yang dengan penuh perhatian dilihat atau ditelitinya. Pada beberapa hal ia pun mengoreksi gerakannya yang masih belum sesuai dengan pahatan di dinding gua itu.
Setelah menghapalkan semua goresan yang terpahat di dinding gua itu pada hari pertama, pada hari berikutnya Ki Tumenggung Untara pun mulai memperagakan semua gerakan yang sudah terpateri di dalam bilik ingatannya. Dalam waktu singkat ia sudah bisa memperagakan semua gerakan dari awal sampai akhir, namun terhenti pada puncak kubah, karena puncak ilmu yang terpahat di sana tanpa sengaja telah dihancurkan oleh Agung Sedayu.
Setelah lancar memperagakan semua gerakan itu, Ki Tumenggung Untara pun mengulanginya kembali dari tingkat paling dasar, namun dengan pengerahan nalar budi dan dengan diberi tenaga yang semakin besar. Ia pun meloncat-loncat lincah dan setiap jurus mendapat lambaran tenaga nirwadag yang menimbulkan kesiur angin yang tajam.
Semakin lama desau angin yang terdorong oleh pukulannya pun semakin keras dan semakin keras. Ki Tumenggung Untara pun kemudian memperhatikan dan mempertajam tekanan angin pukulannya itu. Makin lama tekanan angin nirwadag itu pun berubah menjadi mempunyai kekuatan yang bersifat kewadagan. Ketika ia bergerak dengan lincahnya, dari sudut ruangan gua ia mengarahkan dorongan pukulannya ke sebuah batu hitam pipih yang berada di tengah gua. Namun Ki Tumenggung Untara tidak ingin menghancurkan batu pipih itu, karena ia teringat di sanalah ayahnya bersemadi setelah menjalankan latihan seharian.
Oleh karena itu Ki Tumenggung hanya ingin mendorong batu itu beberapa jengkal dari tempatnya tanpa harus merusakkannya. Terdengar batu itu berderit bergeser karena dorongan ilmunya. Ki Untara terkejut ketika mendengar derit batu yang bergeser karena dorongan ilmunya. Ia pun melangkah mendekati batu pipih itu.
Ternyata di bawah batu itu terdapat sebuah rongga. Ia pun teringat ketika beberapa kali ayahnya mengajak memasuki gua itu, ayahnya pernah mengangkat batu hitam itu dan menaruh sesuatu di dalam rongga tersebut.
Ki Tumenggung Untara pun mendekati batu hitam yang tergeser tadi. Matanya terbelalak. Di dalam rongga di bawah batu hitam ternyata terdapat sebuah kotak kayu yang sudah mulai lapuk di sudut-sudutnya, meskipun masih membekaskan sunggingan halus yang sangat indah. Di sebelah kotak kayu itu teronggok sebuah pedang mustika. Sebuah pedang yang wrangkanya berwarna putih disalut kuning keemasan. Ki Tumenggung Untara teringat bahwa pedang mustika itu selalu dibawa oleh ayahnya kalau mengembara.
Ki Tumenggung Untara pun mengangkat pedang mustika itu dari tempatnya di bawah batu hitam pipih yang terletak di tengah gua itu. Pedang itu meskipun berukuran sedang, namun beratnya dua kali pedang pada umumnya.
Ia pun menarik pedang itu dari wrangkanya, ternyata pedang itu bukan pedang biasa. Hal itu terlihat dari bilahnya yang berat itu ternyata terukir pamor yang sangat jelas. Ayahnya mengatakan bahwa pedang itu ditempa seperti para empu membuat sebilah keris, sehingga pada bilahnya itu mempunyai pamor seperti pada keris.
—Pamor Bimakroda—katanya di dalam hati. Agaknya pedang itu berjodoh dengan dirinya. Meskipun Agung Sedayu berada di dalam gua itu lebih lama, namun adiknya itu tidak menemukan pedang mustika itu. Ki Tumenggung lalu memasukkan kembali pedang itu ke dalam wrangkanya.
Ki Tumenggung Untara pun kemudian mengangkat peti kayu yang terletak di sebelah pedang itu. Perlahan-lahan ia membuka tutup peti itu dengan menggeser bagian atasnya. Peti itu pun terbuka, ternyata di dalamnya terdapat sebuah kitab dan selembar rontal yang terletak di atas kitab itu. Di dalam rontal itu ternyata tertulis rangkaian huruf yang telah ditulis puluhan tahun yang lalu. Meskipun telah lama ditulis, namun bentuk dan warna tulisan itu masih tetap jelas dapat terbaca. Ia pun mengamati bentuk-bentuk huruf dalam tulisan itu, ternyata itu adalah bentuk tulisan ayahnya. Ia lalu mulai membaca tulisan pada rontal itu.
—Anakku Untara, jika kelak di suatu ketika kau menemukan surat ayah ini, maka tentu kau sudah tidak bertemu dengan ayah lagi. Aku menyadari saat-saat akhir hayatku sudah mendekat. Namun pada saat aku merasa masih kuat ini aku telah menyempatkan menyimpan pedang mustika yang selalu kubawa dalam pengembaraanku. Aku ingin mewariskan pedang mustika ini kepadamu. Sedangkan di bawah rontal ini adalah kitab dari Perguruan Jati Kencana, yang merupakan aliran dari perguruanku. Selain ilmu silat tangan kosong yang sudah aku pahatkan di dinding gua ini, yang juga berasal dari kitab ini, di dalam kitab ini juga terdapat ilmu pedang dari Perguruan Jati Kencana—Ki Tumenggung Untara menahan nafas setelah membaca sebait tulisan dalam rontal itu. Ia lalu melanjutkan membaca.
—Angger anakku Untara, cikal bakal pendiri dari perguruan Jati Kencana adalah kakek buyutku. Berarti kalau kau beruntung bisa meneruskan perguruan Jati Kencana, maka kau adalah keturunan kelima dari perguruan Jati Kencana. Nah di dalam kitab ini, selain ilmu silat tangan kosong yang terpahat di dinding, juga terdapat ilmu pedang yang merupakan padanan bagi pedang mustika yang kau temukan di dalam gua ini.—
—Pelajarilah ilmu pedang itu untuk menegakkan keadilan dan menghilangkan sikap angkara murka dari muka bumi ini. Aku rasa kau bisa memilah dan memilih, manakah yang bernama keadilan dan manakah sikap angkara murka itu. Karena aku mempunyai anak dua, yaitu kau Untara dan adikmu Agung Sedayu, maka kau hendaknya berbagi pula dengannya untuk mempelajari ilmu dari perguruan Jati Kencana.—
—Karena perguruan Jati Kencana bersifat tertutup, maka yang hanya boleh menguasai ilmu dari perguruan kita ini adalah hanya sebatas anak keturunan kakek buyutku. Tentu saja, pamanmu Widura termasuk orang yang boleh mempelajari kitab ini.—
—Nah anakku, selamat mempelajari ilmu pedang dan berbagai puncak ilmu yang terdapat di dalam kitab perguruan Jati Kencana. Aku yakin kau bisa mempelajarinya, meskipun kelak aku sudah tidak bisa membimbingmu seperti saat kau kecil sampai beranjak dewasa. Aku harapkan ilmu perguruan Jati Kencana peninggalan kakek buyutmu tidak terputus sampai di sini. Ayahmu. Sadewa—
Ki Tumenggung Untara trenyuh membaca rontal yang ditulis ayahnya puluhan tahun yang lalu itu. Ia sama sekali tidak menduga bahwa ayahnya mempunyai perhatian yang demikian besar kepada dirinya dan adiknya. Ia pun kemudian menyimpan rontal yang ditulis ayahnya itu dengan hati-hati ke dalam peti kecil itu, setelah mengambil kitab perguruan Jati Kencana itu untuk dipelajarinya. Ia lalu memasukkan kotak kayu itu ke dalam kampilnya.
Ki Tumenggung Untara pun kemudian membuka-buka kitab perguruan Jati Kencana itu. Ia kemudian membandingkan semua yang tertuang dalam pahatan di dinding gua dengan yang terdapat di dalam kitab itu. Semuanya sama, kecuali puncak ilmunya yang telah dirusak secara tidak sengaja oleh Agung Sedayu, ternyata terdapat lengkap di dalam kitab itu.
Ki Tumenggung Untara pun kemudian segera menghafal dan mematerikan ke dalam blik ingatannya semua laku yang harus dilaksanakan untuk menguasai ilmu puncak tangan kosong perguruan Jati Kencana. Ternyata untuk menguasai puncak ilmu silat tangan kosong perguruan Jati Kencana itu, pada tataran ilmu yang sudah dikuasainya sekarang, hanya membutuhkan patigeni tiga hari tiga malam. Selain itu dengan menjalani patig
Ki Tumenggung Untara pun kemudian segera menghafal dan mematerikan ke dalam bilik ingatannya semua laku yang harus dilaksanakan untuk menguasai ilmu puncak tangan kosong perguruan Jati Kencana. Ternyata untuk menguasai puncak ilmu silat tangan kosong perguruan Jati Kencana itu, pada tataran ilmu yang sudah dikuasainya sekarang, hanya membutuhkan patigeni tiga hari tiga malam. Selain itu dengan menjalani patigeni, akan meningkatkan ilmu meringankan tubuhnya.
Dalam kitab itu Ki Tumenggung Untara juga membaca bahwa di dekat grojogan dekat tikungan gua di sebelah ruangan itu, di balik sebuah batu besar terdapat sebuah belumbang yang cukup untuk satu orang untuk berendam. Jika orang itu berendam dalam gua itu maka ia bisa mendapat ilmu kebal sekaligus kebal terhadap segala bisa dan racun yang paling tajam sekalipun.
Hal itu karena di atas gua itu terdapat pohon mahkota dewa yang mempunyai sifat kebal terhadap berbagai jenis racun. Pohon mahkota dewa adalah sejenis pohon yang mempunyai getah yang sangat pahit dan sifat menawarkan segala macam racun dan bisa.
Oleh karena itu, Ki Tumenggung Untara berniat melaksanakan kedua laku itu menjadi satu. Patigeni tiga hari tiga malam sekaligus berendam di dalam belumbang yang ada di dalam gua itu. Sejalan dengan niatnya itu ia pun merapikan barang bawaannya di dalam kampil dan menyimpannya bersama dengan pedang dan kotak kayu yang berisi kitab perguruan Jati Kencana peninggalan kakek buyut dari ayahnya di dalam rongga yang ada di bawah meja batu pipih di tengah gua itu.
Setelah merapikan semuanya Ki Tumenggung Untara pun mulai melaksanakan patigeni dan berendam di dalam belumbang itu. Ketika hendak masuk ke dalam belumbang itu, di celah-celah batu itu terlihat akar pohon mahkota dewa itu yang menjalar ke sana ke mari. Dari sela-sela akar itu mengalir air yang cukup deras dan jernih.
Demikianlah mulai hari itu Ki Tumenggung Untara meningkatkan mesu dirinya dengan patigeni selama tiga hari tiga malam sekaligus berendam di dalam belumbang kecil di dalam gua itu. Ia melepas bajunya dan berendam sebatas leher. Ketika tanpa sengaja sepercik air masuk membasahi bibirnya, terasa air itu sangat pahit.
Mula-mula Ki Tumenggung merasakan air yang sejuk di dalam belumbang itu. Sejalan dengan udara yang berubah menjadi dingin karena matahari tenggelam di balik bukit pada wayah surup, maka air di dalam belumbang itu pun berubah menjadi dingin. Air itu menjadi semakin dingin dan akhirnya menjadi sangat dingin pada waktu menjelang terbit matahari.
Karena dinginnya air itu, membuat seakan-akan tubuh Ki Tumenggung Untara menjadi membeku dan ia pun menggigil di dalam air. Namun Ki Tumenggung Untara yang sudah mempunyai ketahanan tubuh luar biasa itu pun juga berusaha menyerap inti dinginnya air tersebut sebagai dasar bagi lambaran ilmunya. Karena ia menyesuaikan diri dengan air yang dingin itu, maka yang terjadi adalah bahwa inti dingin air itu justru membuat tubuhnya hangat. Perlahan-lahan tubuhnya tidak lagi menggigil, dan akhirnya terbiasa dengan air dingin tersebut.
Air di belumbang itu pun mulai menghangat ketika matahari mulai memanjat ke atas cakrawala. Air itu mulai panas, dan sangat panas seperti air yang mendidih ketika matahari berada di puncak langit. Badannya seolah-olah berkeringat di dalam air, karena air yang panas itu seperti merebus dirinya.
Seperti ketika menghadapi air yang dingin di pagi hari, maka pada puncak panas itu, tubuh Ki Tumenggung Untara pun kemudian perlahan-lahan menyesuaikan diri dengan air yang seakan-akan mendidih itu. Karena tubuhnya juga menjadi panas, maka serangan panas dari air itu seolah-olah tidak dirasakannya lagi dan berubah menjadi tidak sepanas sebelumnya. Justru inti panas dari air itu pun diserapnya sebagai lambaran dari ilmunya.
Hal itu terulang kembali di hari berikutnya. Pada saat malam menjelang, maka air itu bergerak menjadi dingin. Puncak dingin itu pun tercapai ketika menjelang matahari terbit di ufuk timur. Ia melihat pergerakan matahari itu dari cahaya yang memantul dari lubang pada kubah gua itu. Meskipun seberkas tipis, pantulan cahaya itu sudah cukup memberikan isyarat kepada Ki Tumenggung wayah apa ketika itu.
Tidak seperti pada hari sebelumnya, di mana air yang dingin bahkan sangat dingin itu membuat tubuhnya seolah-olah menggigil. Maka pada hari kedua Ki Tumenggung sudah tidak terlalu merasakan serangan air yang dingin itu. Begitu pula pada siang harinya, serangan panas air itu tidak terlalu dirasakannya seperti air mendidih. Air itu terasa hanya hangat saja, meskipun pada awalnya sempat menjadi panas yang meresap ke dalam dirinya.
Demikian pula pada pergantian hari yang ketiga, perubahan antara panas dan dingin itu sudah tidak lagi terdapat perbedaan yang besar. Kalau pada hari pertama tubuhnya terasa menjadi menggigil di pagi hari dan menjadi terasa mendidih di siang hari, maka pada hari ketiga tubuhnya terasa menjadi segar. Setelah selesai patigeni dan berendam di belumbang itu, maka Ki Tumenggung Untara pun bangkit dan keluar dari belumbang tersebut.
Ki Tumenggung pun mengelap tubuhnya yang basah itu dengan kain pengering badan yang dibawanya. Setelah itu ia duduk bersila di atas batu pipih itu dengan posisi tangan bersedakep. Beberapa saat ia memusatkan nalar budinya. Setelah ia merasa mendapat ketenangan lahir dan batin, maka Ki Tumenggung Untara pun mulai bangkit dari atas batu itu.
Ki Tumenggung ingin mendapat keyakinan atas hasil patigeni dan berendam di dalam belumbang itu. Ketika ia mencoba meloncat dari atas batu pipih itu, tiba-tiba tubuhnya melayang sangat tinggi sehingga membuatnya sedikit terkesiap. Ternyata ia telah mendapat ilmu meringankan tubuh tanpa disadarinya. Untunglah ia segera dapat menguasai dirinya, sehingga pada loncatan pertama itu kepalanya tidak membentur kubah gua.
Untuk bisa mengukur kemampuan dirinya, maka Ki Tumenggung pun mencoba meloncat ke sana ke mari, sehingga ia menjadi terbiasa dengan daya lontar kakinya yang mendorongnya seperti seekor bilalang.
Ia pun mencoba berjumpalitan di udara, ternyata hal itu pun sangat mudah dilakukannya. Badannya menjadi seringan kapas, dan mudah digerakkan selincah bilalang. Satu jejak dorongan kaki, dapat menghantarkannya ke puncak kubah gua itu. Namun sebelum kepalanya membentur bagian atas gua itu, ia pun meliuk dan berputar berjumpaitan di atas, lalu turun dengan mudahnya. Ketika kakinya menapak ke lantai gua, kakinya tidak menimbulkan suara sama sekali. Kakinya seringan kaki kucing yang terjatuh dari atap dan tidak terdengar suara apa pun.
Ki Tumenggung Untara masih belum puas juga. Ia melakukan semua itu berulang-ulang, berulang dan berulang lagi. Kini ia mencoba gerakan lain. Ia meloncat ke satu sisi dinding gua, ketika kakinya menjejak dinding gua itu, ia melontarkan dirinya ke dinding gua yang lain di belakangnya. Lalu Ki Tumenggung Untara bergeser pula sedikit demi sedikit, sehingga pada akhirnya ia berputar dari sisi gua yang satu ke sisi gua yang lain. Ketika ia berada kembali di posisi awalnya, ketika ia menjejakkan kakinya untuk yang pertama kalinya, maka ia kemudian melenting dan berputar berjumpalitan lalu turun dengan posisi kaki yang tegak dan agak sedikit merenggang.
Setelah berulang-ulang menekuni kemampuannya yang baru dalam ilmu meringankan tubuh, maka Ki Tumenggung Untara pun kemudian beristirahat sejenak. Ia duduk bersila di atas batu pipih yang berbentuk seperti meja di tengah ruangan gua itu. Tangannya bersedakep.
Lalu ia memusatkan nalar budinya dan mengenali arus peredaran darahnya serta detak urat nadinya. Hal itu dilakukannya berulang-ulang, sehingga pada gilirannya terasa suatu hawa murni yang bergerak dari lubang hidungnya, mengalir ke bawah, ke paru-paru, ke jantung, ke bawah perut, bergerak ke atas ke kepala sampai ujung rambut. Kemudian turun lagi ke bawah sampai ke ujung jari kakinya. Semua pergerakan hawa murni itu terus diamati dan dikendalikanya.
Namun ia merasa seolah-olah pergerakan itu masih tersumbat dan memerlukan penyaluran. Kadang-kadang pergerakan hawa murni itu berputar tak terkendali dan lepas dari pengawasannya. Namun dengan bersusah payah akhirnya hawa murni dari tenaga cadangan itu perlahan-lahan bisa dikuasai dan dikendalikannya. Setelah berkutat hampir setengah hari, akhirnya Ki Tumenggung Untara menyelesaikan latihan olah pernapasannya itu.
Ki Tumenggung Untara pun membuka sila kakinya dan mengurai tangannya yang bersedakep. Ia lalu turun dari meja batu pipih itu, lalu pergi ke cucuran air yang terdapat di sudut ruangan gua itu. Ki Untara lalu sesuci dan melaksanakan kewajibannya kepada Yang Maha Agung.
Setelah selesai dengan kewajibannya, maka Ki Tumenggung Untara mengangkat batu pipih itu dan mengeluarkan kotak kecil, pedang mustika dan kampilnya. Ia lalu membuka kotak kecil itu dan mengeluarkan kitab yang berisi jalur ilmu perguruan Jati Kencana yang diperolehnya dari warisan ayahnya Ki Sadewa secara aneh itu.
Perlahan-lahan Ki Tumenggung Untara membuka dan mempelajarinya. Ternyata semua unsur gerakan dari perguruan Jati Kencana yang tertuang dalam kitab itu sudah dapat dikuasainya. Kitab itu terbagi dalam dua bagian. Yang pertama adalah dasar gerak ilmu olah kanuragan dan bagian kedua adalah bagian Jaya Kawijayan. Dalam bagian kedua kitab itu, ternyata terdapat beberapa macam ilmu Jaya Kawijayan berupa puncak ilmu Jati Kencana. Dalam kelompok ini terdapat Aji Jati Kencana sendiri, lalu ilmu kebal Lembu Sekilan, dan ilmu pengobatan. Namun yang tidak diduga oleh Ki Tumenggung Untara, ternyata dalam kitab ini juga terdapat beberapa ilmu yang bersifat halus seperti panglimunan, welut putih, dan aji begananda, suatu ilmu sirep yang bersifat sangat tajam.
Dalam kitab itu juga terdapat berbagai katuranggan seperti wanita, kuda, burung perkutut, burung gemak dan lainnya. Juga dijelaskan berbagai tanda-tanda zaman berupa pedut, lindu, pirasat mimpi dan sebagainya. Dalam buku itu juga terdapat ilmu saat. Dalam ilmu saat ini tercantum berbagai saat yang tepat untuk memulai sesuatu kegiatan seperti saat untuk menanam padi, saat untuk membuat sumur, saat untuk membangun rumah, saat untuk menikah dan sebagainya.
Meskipun cakupan ilmu dalam kitab itu begitu luas, namun Ki Tumenggung Untara lebih tertarik untuk menyimak ilmu yang berkaitan dengan puncak ilmunya yaitu Aji Jati Kencana. Ia pun kemudian semakin tenggelam dalam menyimak buku itu. Di dalam kitab itu dijelaskan bahwa ketika hawa murni dari tenaga cadangan itu sudah terkumpul sedikit di bawah perut, maka dengan menggerakkan tangan dan kakinya sesuai petunjuk kitab itu, tenaga itu akan dapat disalurkan menjadi kekuatan yang nggegirisi.
Demikianlah Ki Tumenggung Untara pun berlatih dan berlatih, mengikuti petunjuk yang terdapat di dalam kitab itu. Ketika dalam posisi berdiri dengan kaki direnggangkan, kedua tangan yang berada di sisi badannya, perlahan-lahan diangkat sampai setinggi dagu dengan telapak tangan menghadap ke atas.
Ketika sudah berada di depan dagu terasa hawa murni itu terdorong ke arah tangannya. Ia lalu memusatkan nalar budinya, yang membuat dorongan hawa murni dari tenaga cadangan itu semakin terkumpul di telapak tangannya.
Setelah ia merasa tenaga itu sudah terkumpul sepenuhnya di telapak tangannya, maka Ki Tumenggung Untara mendorongnya dengan sekuat tenaga ke arah sebuah batu besar yang berada di sudut ruangan gua itu. Sungguh dahsyat.
Batu yang berjarak beberapa depa dari Ki Tumenggung itu pun meledak berkeping-keping ketika sebuah cahaya putih kekuning-kuningan meluncur dari kedua telapak tangannya. Batu hitam itu pun seperti disambar petir dan meninggalkan kerikil dan pasir yang berhamburan.

(Bersambung ke Jilid ke-400)

buku-iv-98>>| buku-iv-100>>

Laman: 1 2 3 4 5 6

Telah Terbit on 7 Januari 2010 at 10:40  Comments (617)  

The URI to TrackBack this entry is: https://adbmcadangan.wordpress.com/bukan-adbm/trackback/

RSS feed for comments on this post.

617 KomentarTinggalkan komentar

  1. nuwun sewu, badhe nderek mampir….
    setelah sekian lama ndak mampir….akhirnya kangen juga…
    satu kejutan ketika ternyata ada “bukan ADBM”. Salut buat Ki Agus, satu karya yang harus diapresiasi…saya sudah baca sampai tulisan terakhir, walau saya merasa ada perbedaan gaya bahasa (justru yg menjadi gaya bahasa khas Ki SHM), tapi bagus sekali…
    Karena penasaran dengan lanjutan ceritannya…saya coba buka di matarambinangkit.com, ternyata harus bayar ya…..nglokro jadinya…
    memang segala jerih payah sdh seharusnya dihargai, entah itu berupa materi atau yg lain.
    jika memang pada akhirnya harus dikomersialkan, memang sudah seharusnya Ki gus harus mendapat ijin dari keluarga Ki SHM (ini menurut saya lho, mohon maaf yg sebesar-besarnya jk salah), sebab dalam tulisan Ki Agus ada mengandung properti milik Ki SHM.

    • Setuju kisanak,hak cipta ADBM sampai saat ini memang belum beralih ke tangan orang lain, sehingga secara hukum segala sesuatu yang berkaitan dengan lanjutan ceritera ADBM (mekipun menggunakan judul lainnya akan tetapi nama tokoh dan karakternya tidak bisa dipungkiri kalau itu merupakan kelanjutan dari ADBM)dalam bentuk cetakan yang diperjual-belikan tidak boleh sembarangan.

      Mohon maaf ki Agus, kami disini hanya sekedar mengingatkan tanpa mengurangi rasa hormat kami atas usaha ki Agus dalam melanjutkan ceritera ADBM. Apalagi seingat saya dulu di koran Kedaulatan Rakyat dalam wawancaranya Ki SH Mintardjo kalau gak salah pernah mengatakan kalau secara garis besar ceritera ADBM sudah diberikan ke penerusnya (keluarga) sehingga kalau sewaktu-waktu beliyau meninggal maka ada yang akan melanjutkan ceritera tersebut.

  2. Tidak ada lagikah cantrik yg dapat melanjutkan adbm di blok BUKAN ADBM, yg dapat dinikmati secara gratis ?

  3. Saya pekan lalu bertandang ke rumah Ki Agus untuk bertatap muka dengan Ki Agus S. Soerono dan hendak membeli Mataram Binangkit jilid 1.
    Saya terperangah, karena di depan rumahnya tertulis Kata-kata: Rumah ini dijual Hub. 021 93 3636 72. Menurut ceritanya, ternyata Ki Agus sedang dalam kesulitan keuangan karena harus menguliahkan anak sulungnya di fakultas kedokteran sebuah PTS. Sekarang anak kedua juga hendak kuliah di fakultas kedokteran. Aset tanah kosong dan mobilnya sudah melayang untuk membiayai anak pertama. Ia belum terpikir untuk mendapat uang dari mana untuk kuliah anaknya yang kedua. Belum lagi kebutuhan hidup sehari-hari. Ki Agus mempunyai empat putera yang semuanya masih sekolah. Gajinya di tempat kerja yang sekarang sama sekali tidak mencukupi untuk biaya sehari-hari. Oleh karena itu Ki Agus hanya bisa mengelus dada mendengar kata-kata pedas yang ditulis di Bukan ADBM. Menurut Ki Agus, para pembaca belum bisa menghargai karya tulisnya. Padahal zaman dulu, orang harus membeli komik karya KI SHM. Buku komik itu tidak didapat secara gratis. Memang para pendiri padepokan berhati sangatmulia dengan membuat padepokan itu secara gratis. Namun apakah Ki Agus bisa hidup apabila karyanya digratisin?
    Saya sebenarnya sering masuk ke Padepokan ADBMcadangan, cuman saya sangat jarang berkomentar. Namun melihat kondisi Ki Agus yang membuat saya trenyuh, saya memberanikan diri untuk menulis surat ini. Maaf Ki Agus, saya tanpa seizin Ki Agus menulis surat ini. Semata-mata karena keprihatinan melihat keadaan Ki Agus. Semoga para cantrik dan punggawa padepokan bisa ikut berbagi dengan Ki Agus. Semacam take and give gitu lho. Kalian bilang-bilang sakaw, sakaw, sakaw, tapi tidak ada perasaan melu handarbeni. Rasa turut memiliki kepedihan yang tengah dialami oleh Ki Agus.
    Sayang sungguh sayang… Kalau Ki Agus tidak bisa menyumbangkan kemampuannya di bidang tulis menulis, karena terbentur masalah ekonomi. Saya rasa Rp 30.000 sebulan tak ada artinya bagi Kisanak semua, apabila dibandingkan dengan kerinduan kita akan cerita-cerita yang dapat dihasilkannya.

    Maaf kalau kata-kata saya terlalu pedas. Bukan maksud saya membela Ki Agus. Tapi benar2 dari rasa keprihatin yang mendalam.
    Salam,

    Raden Panji Klantung

    Ruddy Wijanarko

    • Untuk melestarikan keberlanjutan SDBM karya Pak Agus saya kira iuran Rp 50rb perterbitan disini sangat bagus sebagaimana yang sudah dilakukan oleh almarhum Mbah Man Sidoarjo Surabaya

  4. Wah..wah ternyata ada polemik yang terjadi disini.
    kalau memang ketentuannya seperti itu ya diikuti aja bagi yang mau, yang ndak mau ya gak usah ikut..gitu aja kok repot.
    Salam untuk Ki AS.

    Selamat tinggal sakauw…….mungkin dengan berjalannya waktu kita semua bisa melupakan rasa sakauw, dulu nggak tahu, jadi tahu dan nggak tahu lagi, kayak roda yang berputar.

    • njih ki

  5. Zaman sudah berubah….. Materi atau uang menjadi kebutuhan yg tak dapat dipungkiri, sudah selayaknya kalau suatu karya dihargai dengan cukup. Bagaimana kalau Bukan ADBMnya Ki AS tak usah diterbitkan di ADBMcadangan, terbitkan saja dalam bentuk buku saja, yg mau baca beli saja bukunya. Sudah tentu itupun dgn pembagian Royalti yg pantas untuk keluarga SHM.

  6. Sebenarnyalah setiap karya harus dihargai . Salam kenal,
    Buat ki Agus , tetap semangat , Semangat sore, semangat siang dan semangat malam

    • Kalau mau jujur, setelah baca kelanjutan AdBM yang ditulis Ki Agus, nampaknya koq tidak bisa mengikuti jiwa AdBM-nya Bp. SHM. Banyak hal-hal yang menjadi terasa aneh. Mulai dari alur cerita, karakter tokoh, gaya bahasa, dsb tidak nyambung dengan karya SHM.
      Sehingga saran saya, sebaiknya koq nggak usah dilanjutkan saja, daripada merusak image tokoh-tokoh AdBM.
      Kalau dicermati AdBM karya SHM sarat dengan ajaran cinta kasih baik pada Tuhan, maupun pada segala ciptaannya (lingkungan hidup dan sesama manusia). Jadi daripada merusak kesan terhadap AdBM-nya SHM. sebaiknya jangan dilanjutkan.
      Maaf kalau komentar saya nggak enak,

      • Kelanjutan ceritera yang dibuat oleh bukan penulis aslinya sangat dimungkinkan akan terjadi perbedaan dari segi alur ceritera, gaya bahasa ataupun karakter tokohnya. Biarlah para pembaca ADBM berimajinasi sendiri terhadap kelanjutan ceriteranya.

        Namun demikian usaha Ki Agus untuk melanjutkan ceritera ADBM yang menggunakan istilah Bukan ADBM sangat patut untuk dihargai. Namun demikian jika kelanjutan ceritera tersebut dimaksudkan untuk “dijual” kepada masyarakat maka harus selalu berkoordinasi dengan pihak keluarga bapak SH Mintardja (alm) terutama mengenai alur ceriteranya agar tidak menyimpang dari alur ceritera yang “dikehendaki” oleh penulis aslinya dan juga mengenai perkembangan karakter tokoh-tokoh utamanya (dan juga sudah pasti berkaitan dengan royalty nantinya).

        Selamat berkarya buat Ki Agus atau Ki Agus-Ki Agus lainnya yang bermaksud melanjutkan ceritera ADBM dengan versinya masing-masing.

        Mohon maaf jika ada kata-kata yang tidak berkenan.

        • lhokan judulnya lain”mataram binangkit” jadi mengapa harus minta izin dan mengapa harus dicerca,terus saja mas agus,

  7. Walah sdh lama gak nengok padepokan….
    lha kok sepi banget….apakah ini gara2 Ki AS menerapkan pola bayar bagi yg ingin baca lanjutan ADBM ??

    Pesan silaturahminya hilang gara2 duit…..ternyata antara harapan dan kenyataan gak pernah beriringan.

    Sebenarnya yang bisa bikin rame lagi adalah Ki AS mengirimkan ceritanya lagi ke forum ini dan secara gratis dan ikhlas…mungkin balasannya bukan materi tapi non materi yang mungkin nilainya amat sangat tinggi.

    Salam hangat selalu
    –Rangga yg gak sakti—

  8. selamat sore rekan2, saya telah ikut ketentuan yang dibuat oleh ki agus, tetapi saya mengalami kesulitan untuk membuka lanjutan adbm dan mataram binangkit, apakah saya masuk bulan ini hanya bisa baca yang bulan ini saja jadi terbitan yang lalu-lalu saya tidak bisa baca, atau bisa semua.
    saya coba email ke ki agus belum dijawab.
    bagi rekan2 yang telah memahami cara bacanya tolong kami dikasih informasinya.

  9. Terima kasih Ki Heri,
    Kalau Ki Heri sudah mendaftar, maka Ki Heri bisa membuka semua tulisan yang ada di Mataram Binangkit.com secara lengkap.
    Terima kasih atas perhatiannya.
    Salam
    Agus

    • intinya saya coba cari2 yang ki agus sampaikan belum ketemu.

  10. ADBM memang sarat dengan pesan2 moral, saya baca buku ini dari waktu saya sekolah.walaupun sudah ada yang melanjutkan jalan cerita yang menggantung,namun rasa rasanya banyak kata kata yang kurang pas dan terkesan janggal.jadi seperti baca cerita cerita silat yang lain, memang gaya penulisan ki SHM sangat khas.salam sejahtera untuk semua… RAHAYU

  11. Sbgai dwija dari padepokan terpencil yg rajin baca adbm sejak 1968(msh Smp kls 3)saya salut n mengapresiasi karya ki agus.yg kurang tentu ada tapi tdak akan saya ulas.namun sya tetap menikmati n ikut mendoakan agar bukan adbm ini nti bsa selesai dgn wijang,selamat berkarya ki Agus

  12. Sebelumnya Kuucapkan Salam kepada para sederek2 sanak kadang cantrik Pedepokan ADBM,mudah2an kita Semuanya selalu dapat selalu menjaga silahturahmi dan kerukunan sesama cantrik.
    Mengenai masalah Kelanjutan cerita Sang Resi Ki SHM yg memang sebenarnya masih sangat sangat kita harapkan,dan selalu kita tunggu tunggu,DAN sekarang memang sudah ada yg melanjutkan cerita ini (Ki Agus S ,,Salam buat Ki Agus S)
    Sakbenere aku dhewe yo seneng banget yen iso nyimak kelanjutan kitab iki,walaupun terasa berat yen kudu mbayar,opo pancen aku pelit ora gelem mbayar… hmm…,tp pancen dasare aku ora duwe duit gawe mbayar,,(kondisi pas2an)maaf Ki agus S,mungkin benar pendapat para kadang Cantrik yang menyarankan agar Ki Agus S menjual buku ini dengan menerbitkan dalam sebuah buku,namun memang seyogyanya dengan izin dari keluarga Ki SHM,dan kalaupun Ki Sanak tidak membagikan kelanjutan kitab di Padepokan ini Juga tidak apa2,
    karena memang ini kepunyaan Padepokan ADBM (Ki SHM only).
    mengenai masalah Kisanak yg di ceritakan oleh Ki Branjangan diatas mudah mudahan Kisanak segera dapat mendapatkan jalan keluarnya… Amin..,

    ya…mudah mudahan para cantrik dapat bersabar dalam menghadapi keaadan ini,seperti halnya Kanjeng Sultan Hadiwijaya yang pada mudanya bernama “Mas Karebet” yang dengan pasrah dalam meghadapi jatuhnya Takhta Pajang ( Raja Tanah Jawa ) untuk kemudian berpindah tangan Putra Kinasihnya Raden Sutawijaya
    walaupun secara kewadagan memerangi Mataram,tetapi didalam hati merestuinya.

    Mohon maaf
    salam

  13. MAAF
    SAYA PENGGEMAR BERAT ADBM
    UNTUK KELANJUTAN ADBM SERI V GIMANA YA
    MOHON PENJELASANYA
    DIMANA SAYA BISA MENDAPATKAN TERUSANYA
    TERIMA KASIH

    • Bayar dulu ke ki Agus mas Nanang, sekarang ini gak ada yang gratis 🙂

      • Bener tuh. Susah cari yang gratis. So….. kemana adbmers saat ini?

  14. semoga semakin memahami sejarah bangsa, kearifan-kearifan lokal dari sejarah dan budayanya ….

  15. nyapu mundur dl ahhhhh biar halaman Padepokan bersih,sebelum masuk sanggar trus nanti mlm nengok pliridan……… monggo poro kadang ingkang ngersakaken unjukan,dateng pendopo sampun kasiapaken wedang sere kaliyan jenang alot……

  16. matarambinangkit.com udah expire ya?????

  17. Ada yang mau paste lanjutan mataram binangkit di sini kaga ya???? masalahnya matarambinangkit.com udah ga bisa diakses…. “Penasaran banget nich….”

  18. Mohon dong kiranya lanjutan Mataram Binangkit Buku 404 ke atas dilanjutkan di sini, soalnya matarambinangkit.com udah ga bisa diakses…. terimakasih

  19. matarambinangkit.com udah expire ya?????

    Mohon dong kiranya lanjutan Mataram Binangkit Buku 404 ke atas dilanjutkan di sini, soalnya matarambinangkit.com udah ga bisa diakses…. terimakasih

  20. Ada yg udah update mataram binangkit ga ya??? bagi dong

  21. bagi dong update mataram binangkitnya…

  22. matarambinangkit.com udah expire ya?????

    Mohon dong kiranya lanjutan Mataram Binangkit Buku 404 ke atas dilanjutkan di sini, soalnya matarambinangkit.com udah ga bisa diakses…. terimakasih

    bagi dong update mataram binangkitnya…

  23. matur suwun sampun kesiapaken wedang sere kaliyan jenang alotipun…habis nengok jendela sebelah mataram biangkit, koq sudah ga bisa diakses ya? kemana lagi kuharus mencari kelanjutan ADBM?

  24. Kalau adbmers beralih ke matraram binangkit, dari adbmers jadi mbers donk?

  25. MATARAM BINANGKIT Lanjutan Api Di Bukit Menoreh Karya Ki Agus S. Soerono Seri V Buku 403 Demikianlah mereka berbagi kegembiraan. Namun mereka juga menyadari bahwa kegembiraan mereka atas kenaikan pangkat Ki Agung Sedayu menjadi Ki Tumenggung Jaya Santika, juga menuntut tanggung jawab yang lebih besar. Mereka semua, seluruh pasukan khusus di Tanah Perdikan Menoreh, harus meningkatkan kemampuan ilmu olah kanuragan mereka. Mereka harus bisa mempertahankan kekuatan pasukan khusus Mataram, harus bisa memperluasnya bahkan kalau perlu menguasai sampai ke seberang lautan. Oleh karena itu segala yang ditanamkan oleh Ki Tumenggung Jaya Santika dalam diri mereka, mereka camkan dengan sungguh-sungguh. Mereka juga menyadari bahwa kesatuan dan persatuan Kerajaan Mataram, sesungguhnya hanya kelihatan seperti permukaan air danau yang tenang, bahkan sangat tenang. Namun di bawah permukaan itu, air itu bergolak dengan derasnya. Bahkan mempunyai beberapa pusaran yang kuat yang siap menenggelamkan kapal jung yang mereka tumpangi. Oleh karena itu, para prajurit terutama dari pasukan khusus di bawah Ki Tumenggung Jaya Santika, mempunyai tanggung jawab yang paling berat. Karena setiap waktu pergolakan yang berada di bawah permukaan itu mencuat ke atas, maka mereka harus siap setiap saat untuk mempertahankan kesatuan dan persatuan itu. Bahkan kalau perlu, mereka harus sudah tahu sebelum pergolakan dari pusaran air di bawah permukaan itu mencuat ke atas. Karena itu peranan pasukan telik sandi menjadi sangat penting. Oleh karena itu, kepada para senapati sehari dalam sepekan Ki Tumenggung Jaya Santika memberi arahan mengenai cara-cara peningkatan ilmu kanuragan mereka. Ia memberi bimbingan khusus bagi para senapati tersebut, dan bimbingan khusus itu tidak hanya untuk meningkatkan tenaga cadangan mereka, namun juga sudah merambah ke ilmu jaya kawijayan. Beberapa senapati yang menonjol seperti Ki Lurah Darma Samudra dan Ki Lurah Suprapta mendapat gemblengan khusus dari Ki Tumenggung Jaya Santika. Hal pertama yang dilakukan terhadap kedua lurahnya itu adalah meningkatkan kemampuan ilmu meringankan tubuh. Hal ini menjadi perhatiannya, karena sebagai senapati armada laut Kerajaan Mataram, mereka harus bisa berjalan di atas air. Dan untuk bisa berjalan di atas air, tentu saja mereka harus mempunyai kemampuan ilmu meringankan tubuh yang tinggi. Apabila kemampuan ilmu meringankan tubuh mereka sudah tinggi, maka mereka akan dapat menapak di atas air laut bahkan berlari, seperti saat mereka berjalan di atas tanah. Para senapati itu juga dilatihnya dengan ilmu jaya kawijayan. Ki Tumenggung Jaya Santika setelah mendapat izin dari Ki Jayaraga, juga menurunkan ilmu Sigar Bumi yang sempat dipelajarinya kepada para senapatinya itu. Bahkan Ki Tumenggung sempat mengenalkan para senapati itu dengan Ki Jayaraga, sebagai sumber ilmu yang akan diberikannya kepada para senapati itu. Memang setelah Ki Tumenggung Jaya Santika mempelajari ilmu aji Kendali Sukma dari Ki Jayaraga, ternyata orang tua itu tidak mau tanggung-tanggung dalam menurunkan segala ilmunya. Ki Jayaraga juga menurunkan aji Sigar Bumi yang telah dipelajari Glagah Putih kepada Ki Tumenggung Jaya Santika. “Inilah kakek guru kalian, yang menjadi asal muasal diturunkannya ilmu Sigar Bumi,” kata Ki Tumenggung Jaya Santika. Ki Jayaraga bahkan sempat memberikan petunjuk-petunjuk khusus kepada para senapati yang di bawah pimpinan Ki Tumenggung Jaya Santika. Sehingga dengan demikian para senapati itu pun semakin meningkat tenaga cadangannya, ilmu meringankan tubuhnya dan ilmu jaya kawijayannya. Untuk bisa mencapai tataran yang diinginkan, maka para senpati itu harus menjalani bebagai laku sebagaimana yang dilakukan oleh Ki Tumenggung Jaya Santika. Mereka menjalani tirakat berupa puasa, patigeni dan ngebleng. Ngebleng adalah suatu laku berupa puasa terus menerus dan tidak keluar dari bilik selama melakukan puasa itu. Sedangkan patigeni adalah laku tidak tidur selama menjalani laku tirakat itu. Sungguh suatu laku yang berat. Dalam pada itu, di Kadipaten Panaraga, prajurit telik sandi Glagah Putih dan Rara Wulan terus mengamat-amati Pangeran Ranapati. Namun setelah sekian lama tidak ada pergerakan yang nampak dari Istana Kadipaten, maka mereka bertemu kembali. Glagah Putih, Rara Wulan, Madyasta, Sumbaga, Sungkana dan Ki Darma Tanda bertemu di tempat persembunyiannya yang tidak diketahui oleh Pangeran Ranapati atau anak buahnya. Dalam pertemuan itu, Glagah Putih dan Rara Wulan menyampaikan bahwa sampai detik ini mereka belum mengetahui sampai sejauh mana pergerakan Pangeran Ranapati untuk menggosok Pangeran Jayaraga untuk memberontak kepada Mataram. “Saya rasa harus ada di antara kita yang melapor ke Mataram, dalam situasi yang sangat tidak menentu ini,” kata Glagah Putih. Mereka yang hadir di ruangan itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka setuju dengan pernyataan Glagah Putih bahwa ada di antara mereka yang harus pergi ke Mataram. Tetapi siapa? “Siapakah menurut kalian yang harus kembali ke Kotaraja Mataram untuk melaporkan situasi ini,” tanya Glagah Putih. Ki Madyasta yang paling dituakan di antara mereka pun kemudian berkata. “Kurasa adi Glagah Putih dan adi Rara Wulan saja yang kembali ke Mataram. Karena adi berdua sudah cukup lama berada di Panaraga. Kalian sudah cukup lama tidak kembali ke Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh,” kata Ki Madyasta. Mereka kemudian kembali manggut-manggut. Mereka semua setuju dengan pendapat Ki Madyasta itu. “Benar, kakang Madyasta. Kali ini biarlah kita tugaskan adi Glagah Putih dan adi Rara Wulan untuk kembali ke Kotaraja Mataram,” kata Ki Sungkana. “Aku setuju dengan pendapat kalian berdua. Bukankah sudah cukup lama adi Glagah Putih dan Rara Wulan tidak bertemu dengan Ki Patih Mandaraka,” kata Ki Sumbaga pula. Glagah Putih yang pertama melontarkan pendapat bahwa harus ada yang melapor ke Kotaraja Mataram menjadi terperangah. Ia tidak menyangka bahwa justru dia sendiri yang mendapat tugas untuk kembali ke Kotaraja Mataram. “Bagaimana Wulan? Apakah kau juga sudah rindu kepada ayah dan ibumu?” tanya Glagah Putih sambil menahan senyumnya. Rara Wulan tidak menjawab, ia hanya bergeser merapat dan tangannya menyambar pinggang Glagah Putih yang membuat Glagah Putih meringis kesakitan. “Biar kakang punya ilmu kebal, pinggangmu tidak akan aku lepaskan,” katanya. Dengan wajah yang dibuat memelas, Glagah Putih menghiba-hiba kepada Rara Wulan. “Ampun Wulan. Ilmu kebalku tidak mempan menghadapi ilmu cengkeraman mautmu,” katanya. Kata-kata Glagah Putih itu justru membuat Rara Wulan memperkeras cengkeramannya. Semua yang hadir di ruangan itu pun tertawa melihat ulah mereka berdua. “Sudahlah Wulan. Aku hanya bercanda,” kata Glagah Putih dengan nada bersungguh-sungguh sambil memegang tangan Rara Wulan dan membelainya. Hati Rara Wulan pun menjadi luruh karenanya. Namun pada akhirnya semua yang hadir di ruangan itu sepakat bahwa Glagah Putih dan Rara Wulan yang akan berangkat ke Kotaraja Mataram pada keesokan harinya. Glagah Putih dan Rara Wulan bangun pagi-pagi benar sebelum berangkat. Mereka menunaikan kewajibannya kepada Yang Maha Agung. Rara Wulan masih sempat menanak nasi, memasak sayur dan menghangatkan ayam goreng yang dipotong kemarin. Mereka pun kemudian menyantap sarapan bersama di pendapa. Sedangkan sebagian dari makanan itu dibungkusnya sebagai bekal mereka dalam perjalanan. Setelah selesai sarapan, Glagah Putih dan Rara Wulan pun segera berkemas-kemas. Mereka pun sudah siap untuk berangkat ketika mentari pagi menyembul di ufuk timur. Mereka berdua pun segera berpamitan kepada Ki Madyasta, Ki Sumbaga dan Ki Sungkana serta Ki Darma Tanda. Glagah Putih memilih untuk berjalan kaki untuk kembali ke Mataram. Sedangkan kuda mereka dititipkannya kepada Madyasta, dengan harapan kalau kelak kembali ke Kotaraja Mataram kuda itu dibawa serta. “Wah sekarang tidak ada lagi yang memasakkan sayur bagi kita,” kata Ki Madyasta. Yang lain merasa tergugu. Karena sekian lama mereka berada di Kadipaten Panaraga dalam waktu yang cukup lama. Mereka merasa seperti sudah menjadi saudara. “Wah jangan khawatir. Doakan saja aku selamat dan segera kembali. Nanti aku masakkan lagi sayur kacang panjang, sayur lodeh atau gudeg,” kata Rara Wulan. Namun tanpa terasa setitik air mengembun di pelupuk matanya. Air yang mengembun itu perlahan-lahan berubah menjadi air mata. Rara Wulan tidak tahan dan ia terisak. Betapa pun perkasanya Rara Wulan yang menghadapi para pengikut Pangeran Ranapati, ternyata hati perempuannya tersentuh. Ia menangis dalam isaknya. Akhirnya dengan menebalkan tekadnya, Rara Wulan dapat meredam tangisnya itu. Mereka lalu bersalaman. Lalu perlahan-lahan Glagah Putih dan Rara Wulan meninggalkan pemondokan mereka di tempat yang terpencil itu. Glagah Putih dan Rara Wulan pun melambaikan tangannya. Ki Madyasta, Ki Sumbaga, Ki Sungkana dan Ki Darma Tanda pun melambaikan tangannya. Mereka pun terus memperhatikan kedua sejoli itu yang semakin menjauh dan mengecil, akhirnya hilang di balik tikungan. Glagah Putih dan Rara Wulan terus berjalan. Mereka menapak tilas jalan-jalan yang mereka lalui dulu ketika mereka berangkat dari Kotaraja Mataram dan akhirnya sampai di Kadipaten Panaraga. Hanya saja kali ini mereka berjalan dalam arah yang berlawanan. Mereka pun sempat menengok rumah di tengah hutan, ketika mereka bertemu dan mereguk ilmu olah kanuragan dari Kiai Namaskara. Namun setelah sekian lama mereka tinggalkan jejak di tengah hutan itu tidak nampak sama sekali. Mereka berputar-putar mencari rumah di tengah hutan lebat itu, namun tidak menemukannya. “Aneh sekali kakang,” kata Rara Wulan yang masih penasaran dan berusaha mencari rumah yang dulu sudah mulai reyot. Ketika mereka memasuki hutan itu, masih nampak tanda-tanda yang bisa mengantar mereka ke rumah Kiai Namaskara, bahkan mereka bisa mengenali beberapa pohon yang menjulang tinggi. Namun begitu masuk dalam lindangan hutan yang pepat, mereka kehilangan jejak. “Iya. Perasaanku, kita memasuki lorong di bawah pohon ara ini, lalu berbelok ke kanan. Namun sekarang belokan ke kanan itu sudah hilang tertutup pohon,” kata Glagah Putih. Mereka pun mencoba melingkar ke belakang pohon ara itu, namun mereka tidak dapat menemukan jalan masuk menuju ke rumah itu. Semuanya pepat, gelap pekat, dan tidak ada rongga barang sedikit pun. Namun anehnya hutan itu terasa sunyi. Tidak ada suara cenggeret, monyet atau kampret yang terbang. Sepi. Di kejauhan masih terdengar auman suara harimau. Namun lamat-lamat. Akhirnya Glagah Putih memutuskan untuk tidak meneruskan mencari petilasan Kiai Namaskara itu. Ia pun mengajak Rara Wulan untuk berdoa bagi Kiai Namaskara, meskipun mereka tidak menemukan kembali rumahnya. Mereka berniat meneruskan perjalanan meskipun tidak menemukan rumah Kiai Namaskara di tengah hutan yang sudah berubah itu. Setelah berdoa dan mempunyai ketetapan hati demikian, maka Glagah Putih mengajak Rara Wulan untuk keluar dari hutan itu. Mereka pun kembali menelisik jalan yang mereka tempuh semula untuk memasuki hutan itu, untuk kembali keluar. Tidak berapa lama mereka sudah sampai di tepi hutan. Di tepi hutan itu ternyata ada sebuah sungai yang airnya sangat jernih, sehingga nampak ikan yang berenang di dasar sungai itu. Melihat air yang jernih dan kebetulan perut mereka sudah mulai terasa lapar, maka Rara Wulan mengajak suaminya untuk berhenti sejenak. Sambil berjuntai di atas sebuah batu hitam yang besar, mereka menikmati bekal yang mereka bawa. “Apakah aku boleh berenang di sungai ini, kakang?” tanya Rara Wulan. “Boleh. Apakah kau ingin berenang di siang yang panas ini? Bukankah kau tadi pagi sudah mandi di rumah?” tanya Glagah Putih. “Iya. Tadi aku ingin berenang. Sangat ingin. Tetapi setelah mendengar pertanyaanmu, aku membatalkan niatku,” kata Rara Wulan. “He? Kenapa?” “Tidak. Tidak kenapa-kenapa.” Mata Rara Wulan nampak mulai mengembun dan setitik air hampir menetes dari sudutnya. Tiba-tiba Rara Wulan meloncat dan berlari sekencang-kencangnya. Karuan saja Glagah Putih menjadi terkejut. Ia buru-buru membenahi kampil Rara Wulan yang ditinggalkan begitu saja. Kampil itu tadi dipakai untuk menyimpan bekal mereka. Setelah masuk dengan rapi, ia segera berlari mengejar Rara Wulan. Namun Rara Wulan sudah lenyap di tengah lebatnya hutan. Glagah Putih pun mulai berteriak-teriak memanggil. “Wulan. Wulan. Di mana kau? Maafkan kalau kata-kataku ada yang salah,” kata Glagah Putih. Glagah Putih merasa heran, kenapa belakangan ini Rara Wulan menjadi sedikit lebih perasa daripada biasanya. Ia pun mencari ke sana kemari, menubras-nubras di tengah lebatnya hutan itu. Setelah sekian lama Rara Wulan tidak ditemukan juga, maka Glagah Putih pun kini tidak mau kehilangan akal. Ia segera meloncat naik ke sebatang pohon, lalu diam pada salah satu cabangnya. Ditunggunya beberapa saat. Akhirnya dari bawah sebuah pohon ia melihat dedaunan yang bergerak-gerak. Lalu muncul Rara Wulan yang celingak-celinguk. Mencarinya. Glagah Putih diam dan membiarkan Rara Wulan mencarinya. “Kakang. Kakang Glagah Putih. Jangan tinggalkan aku,” teriak Rara Wulan. Glagah Putih bergeming. Kini giliran Rara Wulan yang mencari Glagah Putih di tengah hutan yang lebat itu. Tiba-tiba Glagah Putih melihat seekor harimau yang mengendap-endap mendekati Rara Wulan. Ia tidak sampai hati. Dengan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah tidak ada bandingannya itu, Glagah Putih turun di belakang harimau itu. Ia melempar harimau itu dengan sebuah batu yang mengenai pinggangnya. Harimau itu menggeram dan berbalik arah. Harimau itu merunduk dan mengambil ancang-ancang untuk menerkam Glagah Putih. Glagah Putih pun bersiap-siap menyambut terkaman harimau itu. Sang raja hutan itu melompat tinggi, kuku kedua kaki depannya terjulur lurus-lurus ke depan. Siap mencabik-cabik tubuh Glagah Putih dalam satu kali hentakan. Tentu saja Glagah Putih tidak mau tubuhnya menjadi sarang kuku harimau itu. Dengan cepat ia berkelit ke samping, sambil tangan kanannya menyodok ke dada sang penguasa hutan. Harimau itu kembali menggeram dengan kerasnya. Agaknya ia belum jera. Kembali ia merunduk. “Hati-hati kakang,” terdengar teriakan Rara Wulan yang merasa khawatir melihat suaminya diterkam harimau. Glagah Putih pun bersiaga kembali. Ia pun memasang kuda-kuda yang kuat. Harimau itu kembali merunduk, seperti seekor kucing yang sedang mengincar mangsanya. Kepalanya menempel di tanah dan ekornya mengibas-ngibas. Dengan sepenuh tenaga ia kembali meloncat. Glagah Putih kembali mengelak ke samping. Ketika cakar depan harimau itu sudah melintasi tubuhnya, tendangan yang sangat kuat mengenai kaki belakang harimau itu. Harimau itu kembali menggeram. Namun kali ini geraman ketakutan. Ia segera menyusup ke dalam semak-semak di sebelah Rara Wulan. Rara Wulan yang melihat harimau itu berlari ke arahnya segera bersiaga. Namun harimau itu tidak menghiraukannya dan justru menghindarinya lalu masuk ke dalam hutan. Dengan lincah meskipun terseok-seok karena kena tendangan Glagah Putih, harimau itu pun pergi jauh dan tidak terdengar lagi aumannya. Rara Wulan pun lari mendekat dan memeluk suaminya. “Aku takut kakang,” kata Rara Wulan. “Sudahlah Wulan, harimau itu sudah pergi,” kata Glagah Putih sambil mengelus-elus pundak istrinya. Tiba-tiba perut Rara Wulan terasa mual, dan ia pun menjauh dari suaminya lalu menumpahkan isi perutnya. Segala makanan yang dikunyahnya dalam makan siang di tepi sungai tadi terhambur ke luar. Beberapa kali ia memegangi pinggangnya lalu terbungkuk-bungkuk dan melontarkan kembali isi perutnya beberapa kali. Meskipun cairan yang keluar dari perutnya sudah habis, Rara Wulan masih terbungkuk-bungkuk kembali. “Kau kenapa Wulan? Kau masuk angin?” tanya Glagah Putih. “Tidak kakang. Aku sudah terlambat satu bulan,” kata Rara Wulan. “He? Kau sudah isi. Kau sudah mengandung Wulan? Pantaslah kau tadi mudah sekali tersinggung ketika aku tanya mengenai keinginanmu untuk berenang di sungai tadi,” kata Glagah Putih. “Iya kakang. Tiba-tiba saja aku merasa benci melihat kakang,” kata Rara Wulan. “He? Benci? Kenapa kau benci aku?” tanya Glagah Putih. “Iya. Aku benar-benar cinta, kakang,” kata Rara Wulan dengan senyum dikulum. Glagah Putih pun kemudian memeluk istrinya. “Terima kasih sayang. Kau akan memberikan keturunan padaku,” katanya. Lalu ia melanjutkan. “Kalau demikian kita berjalan lambat-lambat saja, agar kandunganmu yang masih sangat muda itu tidak terganggu karena kau kecapekan atau makanan dalam perutmu keluar semua, karena muntah,” kata Glagah Putih lagi. Demikianlah mereka berjalan dengan pelan-pelan, karena kondisi Rara Wulan yang sedang hamil. Perjalanan yang mereka tempuh selama empat hari ketika datang, kini mereka tempuh dalam waktu hampir dua kali lipatnya. Setiap sebentar mereka beristirahat. Bila senja sudah membayang, mereka pun segera mencari penginapan yang layak untuk bermalam. Di suatu desa sebelum sampai di Banyu Asri, mereka bermalam di sebuah penginapan yang terletak dekat pasar. Pagi-pagi sekali Rara Wulan sudah terbangun dan mandi, lalu berhias diri. Glagah Putih yang mendengar kesibukan Rara Wulan segera terbangun. “Hendak ke manakah engkau sepagi ini Wulan?” tanya Glagah Putih. “Aku ingin makan nasi gudeg dan ayam goreng di pasar,” kata Rara Wulan.”Apakah kau ikut?” “Tentu saja aku ikut. Tunggulah sebentar.” Glagah Putih pun segera mandi, menunaikan kewajibannya kepada Yang Maha Agung, lalu mengajak Rara Wulan ke pasar di sebelah penginapan mereka. Mereka pun berjalan pelan-pelan sambil menikmati kesegaran udara pagi, saat sang mentari baru muncul dari balik bukit di ufuk timur. Burung-burung berkicau gembira menyambut sang fajar. Mereka terbang kian kemari sambil berdendang dan menari. Mereka tidak pernah memikirkan, apakah makan yang mereka peroleh hari ini akan cukup hingga petang. Yang penting mereka terbang, menyanyi, menari dan mematuk ulat daun yang tersedia di mana-mana. Asal mereka mau terbang dan mencari, maka ulat dan makanan lainnya terasa berlimpah. Dalam kesejukan udara pagi itulah Glagah Putih dan Rara Wulan terus menapaki jalan menuju pasar yang sudah tidak jauh lagi. Mereka pun sampai di pasar, dan menemukan warung gudeg itu di sudut kiri depan pasar. Mereka masuk ke dalam warung gudeg itu dan memilih duduk di sudut dekat jendela. Udara semilir menyejukkan suasana di warung gudeg itu. Rara Wulan segera memesan nasi gudeg, telur, tempe orek dan tahu bacem cukup untuk dua orang. Rara Wulan memesan dua gelas jeruk hangat. Tidak berapa lama makanan yang mereka pesan pun datang, karena di pagi seperti itu warung gudeg itu belum begitu ramai. Orang-orang masih sibuk menjual dagangannya dan berbelanja kebutuhannya sehari-hari. Biasanya setelah barang dagangannya laku atau pembeli sudah memperoleh apa yang dicarinya, barulah mereka mampir ke warung gudeg itu untuk makan. Glagah Putih dan Rara Wulan pun dapat menikmati makanan yang mereka pesan sambil menikmati pemandangan orang-orang yang berjual beli di pasar. Ketika mereka sedang makan itu, beberapa orang yang kekar memasuki warung gudeg itu pula. Mereka duduk di arah yang berseberangan dengan sepasang suami istri itu di sudut yang lain warung gudeg. Setelah memesan makanan, mereka berceritera dengan riuhnya. Mereka tidak peduli betapa pembeli yang lain merasa terganggu atau tidak. “Kakang Sukarta, bagaimana pandangan kakang mengenai kekuatan dan kesiagaan pasukan khusus Kerajaan Mataram di Prambanan, Kotaraja, maupun di Tanah Perdikan Menoreh?” tanya salah seorang yang gemuk berjambang lebat dan berambut ikal. “Seperti kau lihat, adi Ragil. Ternyata pasukan Kerajaan Mataram semakin kuat saja. Mereka membangun kekuatan di mana-mana. Selain di ketiga tempat itu masih ada lagi tempat pemusatan barak mereka di Galur, khusus untuk prajurit pasukan armada laut mereka,” kata Ki Sukarta. Seperti halnya Ragil, Sukarta juga gemuk berjambang lebat dan berambut ikal. Agaknya mereka dua orang yang bersaudara dan berguru di padepokan yang sama. Ia menoleh ke kiri kanan sejenak. Namun ia tidak menaruh curiga kepada sepasang suami istri yang duduk di sudut dekat jendela. Mereka lihat Glagah Putih dan Rara Wulan makan dengan asyiknya, tidak menghiraukan mereka yang berceritera dengan riuhnya. “Apakah kita akan mencoba mengganggu dan mengacaukan prajurit pasukan khusus itu, kakang?” tanya orang yang disebut Ragil oleh temannya. Sukarta tercenung sejenak. Ia nampak berpikr keras, lalu menjawab. “Aku kira kita tidak usah membuat gara-gara, jangan sampai terulang kembali seperti Gerombolan Gagak Hitam yang ternyata bisa digulung oleh prajurit pasukan khusus Kerajaan Mataram. Padahal Gerombolan Gagak Hitam, termasuk di antara yang terkuat dalam kelompok padepokan yang mendukung gegayuhan Pangeran Jayaraga dari Kadipaten Panaraga,” kata Ki Sukarta. “Bukankah kemarin kita berpapasan dengan Ki Gondang Legi yang hendak kembali ke padepokannya? Ki Gondang Legi sudah menceriterakan secara singkat betapa kuatnya prajurit pasukan khusus Kerajaan Mataram yang ada di Tanah Perdikan Menoreh,” kata Ki Sukarta lagi. Lalu ia menambahkan. “Tugas kita adalah tugas telik sandi. Bukan untuk mengadakan pengacauan atau gangguan keamanan,” katanya tegas. Rekan-rekannya yang lain pun mengangguk-anggukkan kepalanya. “Benar Ki Ragil. Sebaiknya kita tidak membuat masalah dengan prajurit pasukan khusus, agar tidak mengganggu rencana kita secara keseluruhan,” kata rekannya yang lain. Ki Barong Landung. Sesuai dengan namanya orang ini berwajah seram, matanya juling dan badannya tinggi melebihi rekannya yang lain. Glagah Putih dan Rara Wulan yang mendengar pembicaraan mereka menjadi tertarik. Dengan berbisik-bisik mereka berbicara. Mereka berdua telah menyelesaikan makanan yang dipesannya. “Wulan apakah kau setuju apabila aku menangkap mereka semua?” tanya Glagah Putih kepada Rara Wulan. “Mereka berlima kakang. Sedangkan aku masih dalam keadaan lemah karena aku sedang isi, kakang,” kata Rara Wulan. “Tenang saja Wulan aku dapat mengatasi mereka,” kata Glagah Putih. “Setelah kakang berhasil menangkap mereka, apakah kakang akan membawa mereka ke Kotaraja Mataram?” tanya Rara Wulan. “Tentu Wulan. Namun kita akan membawanya sampai di Pajang. Di sana nanti kita serahkan kepada prajurit penghubung yang ada di sana untuk dibawa ke Kotaraja Mataram,” kata Glagah Putih. “Baiklah jika demikian, kakang. Berhati-hatilah,” kata Rara Wulan. Glagah Putih kemudian berdiri dan melangkah menuju meja para telik sandi Kadipaten Panaraga itu. Ia berjalan melingkar-lingkar di sekitar meja tempat duduk mereka. Glagah Putih memperhatikan mereka satu persatu. Ki Sukarta, Ki Ragil, Ki Barong Landung dan dua orang lagi yang disebut temannya bernama Ki Semprong serta Ki Slorog. Agaknya langkah Glagah Putih yang melingkar-lingkar di sekitar mereka membuat kelima orang itu tidak nyaman. “He? Apa yang kau lakukan di sini,” tanya Ki Sukarta. “Aku sedang mencari lima orang telik sandi dari Kadipaten Panaraga. Apakah kalian mengenalnya?” tanya Glagah Putih. “Telik sandi Kadipaten Panaraga?” tanya Ki Ragil. “Ya lima orang telik sandi Panaraga, namanya Ki Sukarta, Ki Ragil, Ki Barong Landung, Ki Semprong dan Ki Slorog,” kata Glagah Putih. “He? Kurang ajar. Kau siapa?” tanya Ki Sukarta. “Aku Glagah Putih. Aku petugas dari Mataram,” kata Glagah Putih sambil menunjukkan timang di pinggangnya yang bergambarkan pertanda petugas dari Mataram. “Kau datang sendiri?” “Ya.” “Kalau kelima telik sandi yang kau cari itu adalah kami, kau mau apa?” “Aku akan menangkap kalian.” “Apakah kau tidak salah, Glagah Putih?” tanya Ki Sukarta lagi.”Kau datang sendiri, kami berlima. Badanmu kecil, kami berlima kokoh kuat.” “Apakah kau memakai tubuhmu yang dempal itu sebagai ukuran?” tanya Glagah Putih. “Hahaha….Hebat. Berani juga kau menghadapi kami berlima. Baiklah kita semua keluar. Supaya warung gudeg ini tidak berantakan. Kita ke lapangan di depan pasar. Di sana tempatnya agak lapang,” kata Ki Sukarta. Mereka berenam pun segera menuju ke lapangan di depan pasar. Suasana di pasar itu pun gempar dan panik, ketika enam orang yang tidak mereka kenal sudah saling menyerang di tengah lapangan yang terletak di depan pasar. Para pedagang yang tidak ingin barang dagangannya menjadi korban, buru-buru menutup warungnya, mengemasi barang dagangannya dan membawanya pulang. Glagah Putih yang seorang diri mulai dikepung oleh kelima orang itu. Mereka masih menggunakan tangan kosong. Dengan mengendap-endap mereka maju menyerang, seperti lima ekor harimau yang mengepung seekor kerbau korbannya. Namun Glagah Putih ternyata bukan seperti seekor kerbau seperti anggapan mereka. Ketika sudah semakin dekat, maka tiba-tiba kelima orang itu maju menerjang. Ki Sukarta menendang, Ki Ragil meninju, Ki Barong Landung menyodok dengan tinjunya, Ki Semprong dan Ki Slorog juga menendang. Mereka merasa akan segera dapat meringkus lawannya itu. Namun kelima orang itu tiba-tiba menjerit kesakitan, ketika serangan mereka saling berbenturan dan Glagah Putih tidak ada di depan mereka. Mereka mengaduh-aduh tidak karuan. “Kenapa kalian saling berbenturan? Aku di sini,” kata Glagah Putih yang ternyata sudah hinggap bak merpati yang terbang ke sebatang cabang pohon randu yang terdapat di tepi lapangan dekat mereka bertarung. Kelima orang itu pun kemudian berusaha menggoyang-goyang pohon randu yang cukup besar itu. “Hahaha. Kalian tidak usah menggoyang-goyang pohon randu seperti itu. Aku segera turun,” kata Glagah Putih. Sementara itu, Rara Wulan yang melihat dari depan warung gudeg itu pun tersenyum melihat ulah kelima orang lawan suaminya. Glagah Putih pun segera meloncat turun dari pohon randu itu. Ia pun kembali bersiaga di tengah kepungan para telik sandi dari Kadipaten Panaraga. Glagah Putih pun sejak dini menyiapkan ilmu kebalnya, karena ia tidak mau menjadi kantong pasir sasaran kelima lawannya. Sebab kalau ia tidak melambari dirinya dengan ilmu kebal aji Tameng Waja, maka kemungkinan akan menjadi sasaran yang empuk bagi lawannya. Glagah Putih pun kemudian menyiapkan kembangan tata gerak ilmu olah kanuragan yang diresapinya dari perguruan Jati Laksana peninggalan Ki Sadewa yang dipadukannya dengan ilmu jaya kawijayan yang diwariskan oleh Ki Jayaraga. Setiap kali serangan lawannya menggempur dirinya, Glagah Putih menghadapinya dengan dada tengadah. Ia tidak lagi meloncat-loncat menghindar. Namun semua serangan lawannya itu dipapakinya. Ia sengaja membentur serangan lawannya. Mula-mula kelima lawannya merasa yakin akan dapat meringkus Glagah Putih dalam waktu singkat. Namun semakin lama mereka semakin heran. Setiap pukulan atau tendangan mereka mengenai bagian-bagian tubuh Glagah Putih, anak muda itu bergeming. Bahkan terasa tangan atau kaki mereka yang membentur bagian tubuh Glagah Putih menjadi nyeri atau ngilu. Bagaikan membentur dinding baja yang tebalnya sedepa. Sedangkan Glagah Putih seperti tidak mengalami apa-apa. Namun lama kelamaan, Glagah Putih juga tidak mau hanya menjadi sasaran. Sekali lagi ia meloncat di atas kepala kelima penyerangnya ketika mereka merandek hendak menyerang secara berbareng. Kini Glagah Putih sudah berada di luar kepungan kelima lawannya. Dengan sebuah sodokan ia menggempur punggung lawannya, Ki Sukarta, yang dianggapnya terkuat di antara mereka. Gempuran di punggung itu ternyata membuat Ki Sukarta terpelanting dan menimpa teman-temannya. Ki Semprong yang masih berdiri di sebelah Ki Sukarta, juga mendapat sebuah tendangan di dadanya, sehingga ia pun terbanting di atas tumpukan teman-temannya. Ki Sukarta segera bangun, meloncat dan menghunus pedangnya. Kawan-kawannya juga melakukan hal yang sama. Kini mereka semua bersenjata. Tentu saja Glagah Putih tidak mau ketinggalan. Ia melolos ikat pinggangnya dan memutar-mutar di atas kepalanya. “Apakah kau tidak membawa senjata selain ikat pinggangmu?” tanya Ki Sukarta dengan nada setengah mengejek. “Ikat pinggangku inilah senjata andalanku,” kata Glagah Putih dengan tenang. Ia tidak terpengaruh oleh ejekan lawannya. Ternyata ikat pinggang itu di tangan Glagah Putih bisa menjadi kaku dan bisa menjadi lentur. Sesekali ia memutar ikat pinggangnya yang menjadi kaku seperti tongkat. Tongkat dari ikat pinggang itu pun berputaran di tangannya, dan mematuk dengan ganasnya seperti seekor ular. Dalam benturan pertama dengan senjata Ki Semprong, terdengar dentingan yang keras. Menimbulkan rasa nyeri di tengan Ki Semprong. Ki Semprong meloncat surut dua langkah. Ia memperhatikan ikat pinggang glagah Putih yang sebentar-sebentar berubah bentuk. Sekali kaku dan sesaat kemudian menjadi lentur sebagaimana ikat pinggang pada umumnya. Ternyata kekuatan tenaga cadangan Glagah Putih mampu mengubah-ubah bentuk ikat pinggang itu. “Luar biasa,” katanya. “Apanya yang luar biasa?” tanya Glagah Putih. “Kau mampu mengubah ikat pinggangmu menjadi seperti benda yang kaku dan liat, sehingga bisa membentur pedangku, dan di saat lain kembali menjadi lentur seperti ikat pinggang pada umumnya,” katanya. “Apakah dengan pengakuanmu itu, berarti bahwa kalian hendak menyerah,” tanya Glagah Putih.. “Tidak. Sama sekali tidak,” kata Ki Sukarta buru-buru. Ki Sukarta tidak ingin menyerah dengan begitu mudah kepada seorang anak muda, meskipun ia memakai timang pertanda sebagai prajurit dari pasukan Kerajaan Mataram. Mereka kemudian mulai mengepung kembali Glagah Putih. Melihat kemampuan Glagah Putih yang demikian besar, mereka pun menjadi semakin berhati-hati. Para telik sandi dari Kadipaten Panaraga itu pun kemudian semakin meningkatkan kemampuan ilmu kanuragannya. Tata gerak mereka demikian gesit, bergerak memutar seperti hendak membuat bingung Glagah Putih. Namun Glagah Putih yang sudah berpengalaman tidak mau dibuat bingung oleh serangan lawannya yang bergerak memutar. Glagah Putih yang sudah menerapkan ilmu kebal aji Tameng Waja tidak perlu merasa khawatir bahwa serangan lawannya akan mampu melukai dirinya. Karena itu, Glagah Putih mulai memperhatikan tata gerak kelima lawannya. Setiap kali berhasil membentur senjata ikat pinggang Glagah Putih, mereka meloncat surut sambil dalam arah yang masih memutar. Sehingga dengan demikian, serangan mereka meliuk-liuk, sekali memukul atau membentur senjatanya, mereka bergerak surut dan kawannya yang lain lah yang maju. Setelah mengamati bentuk serangan mereka yang demikian, Glagah Putih pun kemudian menyerang dengan arah sebaliknya dari arah putaran serangan lawannnya. Dentang senjata semakin sering terjadi. Kembali serangan rasa nyeri menusuk ke tangan kelima lawannya, ketika terjadi benturan senjata. Setiap kali terjadi benturan senjata, mereka berusaha sekuat tenaga memegang pedangnya erat-erat agar senjata itu tidak terlepas dari tangan. Mereka meringis ketika terjadi benturan senjata. Akhirnya Glagah Putih mengambil kesimpulan, bahwa dari kelima orang telik sandi Kadipaten Panaraga hanya Ki Sukarta yang mempunyai kemampuan tenaga cadangan dan ilmu kanuragan yang mumpuni. Sedangkan empat orang kawannya, tidak setinggi ilmu kanuragan yang dimiliki oleh Ki Madyasta, Ki Sumbaga atau Ki Sungkana. Setelah mendapat kesimpulan demikian Glagah Putih ingin menjajaki lebih jauh perlawanan kelima orang lawannya, ia pun selapis demi selapis meningkatkan tataran ilmunya. Tata geraknya semakin ganas dan trengginas, menyerang kelima lawannya. Kalau tadi seakan-akan Glagah Putih yang menjadi kebingungan dengan tata gerak kelima lawannya, maka kini Glagah Putih yang bergerak semakin cepat, membuat kelima lawannyalah yang menjadi kebingungan. Glagah Putih pun meningkatkan tenaga cadangannya setiap kali membenturkan ikat pinggangnya ke senjata lawannya. Setiap kali terjadi benturan, gagang pedang mereka terasa panas. Sehingga rasa nyeri yang menyerang genggaman tangan mereka kini berubah menjadi terasa panas. Setiap kali pedang mereka berbenturan dengan ikat pinggang Glagah Putih, genggaman tangan atas pedang mereka menjadi kian panas. Satu dua kali sabetan ikat pinggang Glagah Putih mulai menimbulkan luka di tubuh para telik sandi Kadipaten Panaraga. Darah pun mulai menetes dari luka-luka yang timbul di tubuh mereka. Pakaian mereka pun mulai berubah warnanya, menjadi bersemu merah. Mereka tidak dapat lagi mempertahankan senjata mereka di tangannya. Akhirnya satu per satu senjata lawannya terlepas. Tinggallah kini Ki Sukarta saja yang masih menggenggam pedangnya. Ketika sebuah tendangan berantai yang dlancarkan kepada keempat kawan Ki Sukarta, maka keempat orang itu jatuh tersungkur. Pingsan. Tinggallah kini Ki Sukarta yang berhadapan dengan Glagah Putih. Ia ingin menangkap Ki Sukarta hidup-hidup sehingga bisa dikorek keterangan tentang jaringan telik sandi yang ada di dalam kelompok mereka. Glagah Putih kemudian terus mendesak Ki Sukarta. Segera saja terjadi pertarungan yang semakin sengit. Ki Sukarta memutarkan pedangnya bagaikan baling-baling. Ia menutup semua lubang pertahanannya, sehingga ujung ikat pinggang Glagah Putih tidak bisa menyentuhnya. Namun setiap kali terjadi benturan ia masih merasakan betapa rasa panasnya yang merembet ke gagang pedangnya. Glagah Putih terus berusaha mengimbangi kemampuan Ki Sukarta. Agaknya Ki Sukarta pun sudah mulai merambah ke lambaran ilmu kebalnya. Karena ia juga tidak mau ujung ikat pinggang Glagah Putih merobek kulitnya seperti yang terjadi pada kawan-kawannya. Demikianlah pertarungan itu semakin lama semakin seru. Glagah Putih yang telah dapat mengukur kemampuan Ki Sukarta pun kemudian mulai meningkatkan ilmu kanuragannya. Selapis demi selapis serangan Glagah Putih mampu menekan ilmu olah kanuragan Ki Sukarta. Hal itu mendorong Ki Sukarta untuk meningkatkan penggunaan tenaga cadangannya. Namun Glagah Putih masih tetap mampu mengatasinya. Hal itu membuat Ki Sukarta pun mulai merambah ilmu pamungkasnya. Aji Segara Mawut. Dari puncak ubun-ubun Ki Sukarta keluar asap putih tipis, Semakin lama semakin tebal dan dengan cepat menyelimuti udara di sekitar dirinya. Ki Sukarta pun nampak semakin pudar bayangannya. Antara ada dan tiada. Glagah Putih yang melihat perubahan keadaan lawannya, segera dapat membaca bahwa lawannya sudah mulai merambah ilmu pamungkasnya. Karena itu, ia pun segera secara perlahan-lahan mulai melambari dirinya dengan aji Sigar Bumi. Ki Sukarta yang sudah merambah ke aji Segara Mawut, membuat pandangan mata Glagah Putih terasa menjadi kabur, karena Ki Sukarta seolah-olah antara ada dan tiada ditutupi oleh selapis kabut tipis yang semakin tebal menghalangi. Menghadapi kenyataan demikian, Glagah Putih pun tidak mau ragu-ragu lagi menggunakan aji Sigar Bumi. Ketika Glagah Putih menghentakkan kedua kakinya ke permukaan tanah, maka terasa bahwa bumi ini berguncang dengan hebatnya. Meski pun Glagah Putih tidak dapat melihat dengan jelas di mana Ki Sukarta berada, namun ia masih dapat menangkap ujung bayangannya. Berdasarkan arah tangkapan ujung bayangan lawannya itulah Glagah Putih menerjangkan hentakan kakinya. Ki Sukarta berusaha berkelit ke samping. Namun Glagah Putih yang melalui ketajaman panggraitanya mampu merasakan di mana lawan berada, segera menghadang dengan hentakan berikutnya ke arah lawannya menghindar. Kembali bumi terasa seperti teraduk-aduk dan berguncang dengan kerasnya. Seperti gempa. Glagah Putih terus menggempur tempat kedudukan Ki Sukarta. Ke mana pun Ki Sukarta bergerak, ke sana arah gempuran Glagah Putih. Akibat gempuran glagah Putih itu, Ki Sukarta yang tidak mencermati arah serangan dari Glagah Putih, akhirnya tidak dapat bertahan. Ia jatuh terbanting. Namun ia masih dapat bergerak, meskipun lemah.. Orang-orang di pasar yang masih mempunyai keberanian, masih melihat meskipun dari kejauhan. Namun setelah kelima orang itu dapat ditaklukkan, maka mereka pun berjalan mendekat. Namun sebelum dekat benar, terdengar derap puluhan kuda yang mengarah ke pasar itu. Setelah sampai, seorang penunggang kuda yang paling depan dengan perawakan tegap, segera turun dari kuda itu. Ia menyibak orang-orang yang berkerumun di lapangan depan pasar. “Kakang Sabungsari?” teriak Glagah Putih lalu mendekati orang yang sudah dikenalnya dengan baik itu. “Oo. Kau rupanya adi Glagah Putih. Aku tengah meronda hingga daerah perbatasan, namun ada orang yang melaporkan bahwa telah terjadi pertarungan di pasar ini satu orang melawan lima orang. Ternyata aku sampai di sini sudah terlambat. Pertarungan ini sudah usai,” kata Sabungsari dengan nada penuh kecewa. “Hahaha….Kakang Sabungsari tidak terlambat. Aku justru ingin menitipkan kelima telik sandi dari Kadipaten Panaraga kepada kakang Sabungsari untuk dikirim ke Kotaraja Mataram. Terus terang aku tidak bisa untuk membawanya ke Kotaraja karena Rara Wulan sedang isi,” kata Glagah Putih. “He? Isi? Maksudmu sedang mengandung?” tanya Sabungsari. “Benar kakang. Rara Wulan sedang hamil, jadi aku menghadapi kelima orang itu sendiri. Aku tahu Rara Wulan sedang hamil, baru kemarin, padahal kami berangkat dari Panaraga sudah tiga hari yang lalu,” kata Glagah Putih. “Baiklah jika demikian. Biarlah aku mengambil alih masalah telik sandi dari Kadipaten Panaraga. Apakah adi sekalian akan tetap berjalan kaki untuk pulang ke Kotaraja Mataram? Kalau boleh aku menyarankan agar kalian pergi berkuda saja. Dua dari kuda yang kami bawa dapat kau pakai untuk kembali ke Kotaraja Mataram. Aku kasihan kalau dalam keadaan hamil, Rara Wulan mesti berjalan kaki sampai Kotaraja Mataram,” kata Sabungsari. “Baiklah aku terima dan sangat berterima kasih atas tawaran kakang itu,” kata Glagah Putih. “Kakang Sabungsari?” tiba-tiba seorang wanita menyeruak dari kerumunan orang yang berada di tepi lapangan itu. “Adi Rara Wulan. Apakah adi sehat-sehat saja,” tanya Sabungsari. “Berkat doa kakang dan perlindungan Yang Maha Agung, aku sehat-sehat saja,” kata Rara Wulan. Lalu ia melanjutkan. “Marilah kakang Sabungsari, mampir sejenak di warung gudeg di tepi pasar itu,” kata Rara Wulan. “Baiklah kita mengobrol di sana sambil minum kopi setelah tidak bertemu lama sekali,” kata Sabungsari. Sabungsari kemudian memerintahkan beberapa prajurit untuk meringkus para telik sandi dari Kadipaten Panaraga. Mereka pun kemudian mengikat kelima orang itu dengan menggunakan tali janget yang kuat sekali. Pemilik warung yang tadi menjadi panik dan ketakutan, karena terjadi perkelahian di tepi lapangan, segera membuka warung gudeg dan barang dagangannya kembali. Mereka semua memesan makanan dan minuman. Matahari sudah memanjat kaki langit semakin tinggi. Sambil menanti pesanan makanan dan minuman, Sabungsari bertanya kepada Glagah Putih dan Rara Wulan yang duduk di hadapannya. “Apakah kalian sudah tahu bahwa kakang Untara diangkat menjadi Panglima Pasukan Wiratamtama?” tanya Sabungsari. “He? Kakang Untara jadi Panglima?” tanya Glagah Putih dan Rara Wulan hampir berbarengan. “Benar. Kakang Untara sejak dua pekan lalu tidak lagi berada di Jati anom, melainkan sudah pindah ke Kotaraja Mataram,” kata Sabungsari. “Wah…wah. Syukurlah. Lalu siapakan yang menggantikan kakang Untara di wilayah Selatan Gunung Merapi?” tanya Glagah Putih. “Aku.” “He? Kau kakang? Kau jadi senapati di wilayah Selatan?” tanya Glagah Putih sambil menyodorkan tangannya. Sabungsari dengan segera menyambutnya dan mereka berjabatan tangan sangat erat. “Syukurlah. Aku mengucapkan selamat atas pengangkatan kakang Sabungsari sebagai seorang senapati di wilayah Selatan,” kata Glagah Putih. “Terima kasih adi. Semuanya berkat doa kalian berdua,” jawab Sabungsari. Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan. “Sekarang apakah rencana kalian? Apakah kalian akan kembali ke Kotaraja Mataram?” tanya Sabungsari. “Benar kakang. Kami akan kembali ke Kotaraja. Tetapi terlebih dahulu kami akan mampir ke Banyu Asri untuk menengok ayah dan ibu. Apakah mereka sehat-sehat saja?” kata Glagah Putih. “Mereka sehat-sehat saja adi.” “Syukurlah.” “Adi berdua, bukan maksudku untuk tidak ingin ngobrol lebih panjang dengan adi sekalian. Tetapi karena tugasku, aku harus meninggalkan kalian. Tawanan telik sandi Kadipaten Panaraga itu, biarlah aku yang mengurusnya. Nanti ada sepuluh orang yang akan mengawalnya sampai Kotaraja Mataram. Adi berdua gunakan saja dua kuda kami untuk kembali ke Banyu Asri. Nanti kuda itu kalian tinggal di Banyu Asri, dan nanti prajuritku akan mengambilnya. Kalian pakai kuda milik paman Widura untuk kembali ke Kotaraja Mataram,” kata Sabungsari. “Baik kakang. Terima kasih atas bantuan kakang,” kata Glagah Putih. Demikianlah setelah makan nasi gudeg dan minuman hangat wedang jahe mereka berpisah di warung gudeg yang terletak di pinggir pasar. Senapati Sabungsari melanjutkan meninjau situasi keamanan di wilayah yang menjadi wewenangnya, sedangkan sepuluh prajurit membawa lima orang telik sandi Kadipaten Panaraga ke Kotaraja Mataram dan Glagah Putih serta Rara Wulan melanjutkan perjalanan mereka ke Banyu Asri dengan berkuda pelan-pelan. Dalam pada itu, Pangeran Ranapati dan Ki Gondang Legi terus berjalan menuju Padepokan Cambuk Petir yang terletak di sebelah Barat Gunung Wilis. Mereka menyusuri persawahan, bulak-bulak panjang, gumuk dan lereng, lembah dan ngarai. Tidak jarang mereka harus melompati jurang sempit yang menghadang perjalanan mereka. Setelah melintasi hutan yang agak lebat, mereka akhirnya memasuki suatu wilayah yang terbuka. Di kiri kanan jalan terdapat persawahan yang cukup luas. Dan di sudut persawahan itu terdapat pategalan yang ditumbuhi beraneka warna tanaman keras seperti kelapa, mangga, jambu, duren, rambutan dan pohon buah-buahan. Di tengah pategalan itulah terdapat sebuah padepokan. Padepokan itu nampak asri, di sudut-sudut halaman ditanami dengan pepohonan bunga berwarna-warni. Di sebelah kiri pendapa terdapat sebuah belumbang yang dihuni oleh berbagai jenis ikan, yang berenang ke sana ke mari. Pada saat menjelang siang, mereka berdua pun kemudian memasuki halaman padepokan yang dibatasi oleh pagar setinggi dada orang dewasa. Mereka segera menuju ke pendapa. Di depan pendapa mereka disambut oleh seorang cantrik yang segera mengenali Ki Gondang Legi. “Kakang Gondang Legi,” sapa cantrik itu.”Silakan kakang duduk di pendapa, aku segera memberi tahu Kiai Cambuk Petir mengenai kedatangan kalian.” Mereka pun kemudian duduk di pendapa. Tidak beberapa lama kemudian Kiai Cambuk Petir keluar dari peringgitan ke pendapa. “He? Kau Gondang Legi? Mana saudaramu yang lain?” tanya Kiai Cambuk Petir tanpa sempat mengendalikan rasa herannya, karena dari empat muridnya yang dikirim ke Kotaraja Mataram, hanya satu yang kembali. Ia bahkan tidak sempat menanyai Ki Karaba Bodas yang menyebut dirinya sebagai Pangeran Ranapati. “Ampun guru. Ketika kami telah selesai menjajaki kekuatan Mataram, kami menyeberangi Kali Praga untuk melihat keadaan terakhir di Tanah Perdikan Menoreh sebelum kembali ke Panaraga. Kami bertemu dan bertempur dengan prajurit Mataram. Kami berhasil dikalahkan. Kakang Bargas dan Bergawa berhasil dilumpuhkan, kakang Tanda Rumpil tewas dan aku berhasil melarikan diri,” kata Ki Gondang Legi. Ki Gondang Legi bersiap-siap menerima tamparan gurunya. Apabila salah seorang murid gagal menjalankan tugasnya, maka dengan ringan tangan gurunya memberi hadiah tamparan, pukulan atau tendangan. Namun kali ini gurunya nampak menahan diri, mungkin karena di depannya ada Pangeran Ranapati. “Jadi kalian telah gagal menjalankan tugas yang aku berikan?” tanya Kiai Cambuk Petir. “Ampun guru. Kami tidak gagal sama sekali, karena kami sudah mendapat catatan yang kami perlukan mengenai kekuatan pasukan Kerajaan Mataram,” kata Ki Gondang Legi. “Manakah catatan itu?” tanya Kiai Cambuk Petir. Ki Gondang Legi mengeluarkan beberapa lembar rontal dari dalam kampilnya, lalu menyerahkan catatan itu kepada gurunya. Kiai Cambuk Petir menerima rontal itu dan membacanya sekilas. Ia mengangguk-angguk. “Apakabar Pangeran Ranapati? Mohon maaf aku telah mengabaikan kehadiran Pangeran? Hal itu justru karena rasa tanggung jawabku atas tugas mereka untuk menyelidiki kekuatan pasukan Mataram,” kata Kiai Cambuk Petir. “Tidak apa-apa Kiai Cambuk Petir,” kata Pangeran Ranapati singkat. Sebenarnya Pangeran Ranapati merasa sangat tersinggung diabaikan demikian oleh Kiai Cambuk Petir. Namun apabila rasa tersinggung itu yang ditonjolkannya, akan bisa mengacaukan segala rencana besarnya. Padahal Kiai Cambuk Petir adalah salah seorang yang sangat mendukung rencananya untuk memperkuat Kadipaten Panaraga dalam upaya mengguncang kekuatan Kerajaan Mataram. Oleh karena itu ia berusaha meredam rasa tersinggung yang membuncah amat sangat di dalam jantungnya. “He? Apa kau bilang tentang saudara-saudaramu?” tiba-tiba Kiai Cambuk Petir tersentak. “Kakang Bargas dan Bergawa berhasil dilumpuhkan, kakang Tanda Rumpil tewas,” kata Ki Gondang Legi. “Siapakah yang melumpuhkan Bargas dan Bergawa,” tanya Kiai Cambuk Petir. “Seorang prajurit pasukan khusus Mataram, guru. Ia juga mempergunakan senjata cambuk seperti cici-ciri perguruan kita,” kata Ki Gondang Legi. “He? Orang Bercambuk seperti kita, katamu?” “Benar guru.” “Di manakah kalian bertempur dengan orang yang bersenjatakan cambuk itu?” “Di tepian kali Praga, guru.” “Apakah ciri-ciri senjata cambuk yang dipakainya sama seperti yang kita pakai?” “Benar guru. Cambuknya berjuntai panjang seperti cambuk kita. Bahkan juga berkarah-karah baja berbentuk bintang bersegi sembilan.” “He? Sama persis dengan cambuk ciri-ciri perguruan kita,” kata Kiai Cambuk Petir. “Benar guru. Sama persis seperti ciri-ciri cambuk kita.” “Baik. Aku akan menanyakan hal itu kepada kakak seperguruanku Kiai Ajar Karangmaja. Mungkin ia tahu, siapakah sebenarnya guru prajurit dari pasukan Mataram yang mempunyai ciri-ciri Orang Bercambuk seperti yang kita miliki,” kata Kiai Cambuk Petir.Ia berhenti sejenak. Lalu meneruskan kata-katanya. “Sekarang apakah rencana anakmas Pangeran Ranapati?” tanya Kiai Cambuk Petir. “Begini Kiai. Sesuai dengan rencana yang telah kita sepakati, kita akan tetap bergabung dalam kekuatan yang kita sebut sebagai kekuatan pendukung Kadipaten Panaraga,” kata Pangeran Ranapati. Lalu ia melanjutkan. “Aku akan meneruskan perjalanan untuk mencari dukungan dari beberapa padepokan yang berada di wilayah Kadipaten Panaraga. Selain itu juga, mencari dukungan dari beberapa Kadipaten seperti Madiun, Demak, Kudus, Pacitan, Surabaya, Pajang atau Jipang. Kita gerakkan orang-orang yang tidak puas terhadap bangkitnya Kerajaan Mataram sehingga bisa menjadi kekuatan yang mampu mengguncang Mataram itu sendiri,” kata Pangeran Ranapati. Kiai Cambuk Petir mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia nampak setuju dengan pendapat Pangeran Ranapati. Namun Kiai Cambuk Petir sesungguhnya mempunyai kepentingannya sendiri. Ia justru hendak membelokkan arah perjuangan Pangeran Ranapati dengan membangkitkan kebesaran dari masa lalu, yaitu bangkitnya Kerajaan Majapahit yang mampu menguasai seluruh Nusantara. Akan tetapi hal itu, baru akan dilakukannya setelah perjuangan besar ini sudah separuh jalan. Lebih mudah membelokkan arah perjuangan itu, daripada mendorongnya sejak awal seperti sekarang ini. “Baiklah anakmas. Anakmas silakan menghubungi orang-orang dalam jalur perjuangan untuk mendukung Kadipaten Panaraga, seperti anakmas katakan tadi. Aku pun demikian. Namun terlebih dahulu aku akan menghubungi kakak seperguruanku. Apabila Kiai Ajar Karangmaja bisa ikut kita gerakkan, maka di belakangnya akan berbaris orang-orang dari kebesaran masa silam yaitu Kerajaan Majapahit yang siap mendukung perjuangan kita,” katanya. “Dengan berbekalkan keterangan yang berhasil dihimpun oleh Gondang Legi, maka kita membutuhkan pasukan sedikitnya dua puluh laksa untuk bisa menggempur Mataram,” kata Kiai Cambuk Sakti. Pangeran Ranapati pun setuju dengan pendapat Kiai Cambuk Sakti. Ia sependapat bahwa diperlukan pasukan sedikitnya dua puluh laksa untuk dapat menggulung Mataram.Apabila dapat terkumpul pasukan dengan anggota berjumlah dua puluh laksa, maka hal itu akan memudahkan pergerakan selanjutnya. Kiai Cambuk Sakti kemudian memerintahkan para cantrik untuk bersantap siang bagi mereka bertiga. Mereka makan seadanya sebagaimana yang biasa tersedia di padepokan. Nasi, sayur lodeh, goreng ikan dan sedikit kue ringan seperti nagasari atau juadah. Setelah selesai bersantap, maka mereka pun segera membagi tugas. Kiai Cambuk Petir akan mengunjungi kakak seperguruannya, Ki Gondang Legi mengawasi para cantrik selama Kiai Cambuk Petir pergi, Pangeran Ranapati menghimpun berbagai kekuatan yang mau dan mampu mendukung Kadipaten Panaraga. Demikianlah Kiai Cambuk Petir kemudian mengendarai kudanya menuju ke kaki sebelah utara Gunung Wilis. Di sanalah kakak seperguruannya Kiai Ajar Karangmaja membangun padepokan. Padepokan Ajar Karangmaja. Meskipun jalan yang ditempuhnya cukup rumit dan rumpil, namun karena Kiai Cambuk Petir sudah mengenal dengan baik jalan menuju ke sana, Ia melintasi bulak-bulak panjang, daerah persawahan, lalu masuk hutan yang agak lebat, jalanan yang berliku, lembah dan ngarai pun dilintasinya. Semakin dekat dengan padepokan kakak seperguruannya itu, semakin sulit jalan yang harus ditempuhnya. Ia sampai di Padepokan Ajar Karangmaja setelah menempuh perjalanan berkuda hampir sehari penuh. Sungguh suatu perjalanan yang melelahkan. Namun Kiai Cambuk Petir adalah termasuk orang yang mempunyai kekuatan yang luar biasa. Meskipun tubuhnya sudah mulai dimakan usia, namun ia tetap tegar menghadapi perjalanan yang sulit dan panjang seperti yang ditempuhnya sekarang ini. Kiai Cambuk Petir meloncat turun ketika kudanya mencapai regol halaman Padepokan Ajar Karangmaja. Ia segera disambut oleh seorang cantrik yang menerima tali kekang dan mengikatkannya pada tonggak-tonggak yang tersedia. “Apakah Kiai Ajar Karangmaja ada,” tanya Kiai Cambuk Petir. “Ada Kiai. Kiai Ajar Karangmaja sedang di sanggarnya. Silakan Kiai duduk di pendapa. Aku segera memberitahukan kepada Kiai Ajar Karangmaja mengenai kehadiran Kiai,” kata cantrik yang termasuk paling muda.. Demikianlah setelah menunggu sejenak, Kiai Ajar Karangmaja keluar dari sanggarnya setelah cantrik tadi memberitahukan bahwa adik seperguruannya Kiai Cambuk Petir datang berkunjung. “Selamat datang adi. Apakabar? Sudah lama sekali kau tidak datang ke mari,” kata Kiai Ajar Karangmaja menyambut tamunya. Adik seperguruannya. “Terima kasih kakang. Aku sehat-sehat saja. Semoga demikian hendaknya dengan keadaan kakang,” kata Kiai Cambuk Petir. “Syukurlah. Aku juga selalu dalam lindungan-Nya. Apakah ada hal yang penting dan mendesak, sehingga kau menyempatkan diri untuk menemuiku yang jauh di pucuk Gunung Wilis ini?” tanya Kiai Ajar Karangmaja, langsung ke inti masalah. Ia tidak mau bertele-tele untuk mengetahui keinginan adik seperguruannya, yang sering datang dan selalu mempunyai maksud-maksud tertentu di luar ukuran nalarnya. “Benar, kakang. Aku datang ke mari untuk kembali mengajak kakang guna bergabung dalam apa yang disebut sebagai barisan pendukung Kadipaten Panaraga untuk bisa menguasai tlatah ini. Apabila kita gabungkan dengan kekuatan yang berada di belakang kita, maka bukan tidak mungkin kita bisa membangkitkan kekuatan dari masa silam, yaitu membangun kembali Kerajaan Majapahit yang besar dan mampu menguasai Nusantara,” kata Kiai Cambuk Petir. “Sudah berulangkali aku katakan adi. Aku ini sudah sangat lanjut. Bahkan badanku sudah berbau tanah. Aku tidak mau lagi memikirkan masalah duniawi seperti itu. Apakah aku akan menjadi senapati atau tumenggung kalau bisa kau bujuk untuk bergabung? Untuk orang seumur aku, untuk apa lagi jabatan senapati atau tumenggung? Aku sudah tidak mempunyai gegayuhan seperti itu. Ketiga anakku juga sudah mentas dan aku sudah sudah mempunyai enam cucu. Kebahagiaanku sekarang adalah momong keenam cucuku itu. Itu saja,” kata Kiai Ajar Karangmaja. “Akan tetapi kakang, bukankah kita masih keturunan langsung dari trah Kerajaan Majapahit? Bukankah dengan demikian kita juga wajib menjunjung tinggi leluhur kita. Mikul dhuwur, mendem jero. Apakah kakang tidak merasa mempunyai kewajiban untuk membangun kembali kejayaan dari masa silam?“ tanya Kiai Cambuk Petir. “Adi jangan keliru. Yang mempunyai trah langsung kerajaan Majapahit adalah guru kita Mpu Windujati. Sedangkan kita hanyalah cantrik di padepokannya, yang kemudian mendapat kesempatan menjadi muridnya. Aku dan kau bukan trah langsung dari Kerajaan Majapahit. Kita hanyalah keturunan pidak pedarakan, yang tidak seorang pun bisa mengaitkannya dengan trah Majapahit,” tutur Kiai Ajar Karangmaja dengan nada yang mulai meninggi. Ia berhenti sejenak. Nafasnya agak tersengal-sengal, karena menahan hati mendengar ucapan adik seperguruannya yang sekan-akan baru datang sudah memanas-manasi suasana. “Sekarang tidak lagi, adi. Aku sedikit pun tidak mempunyai gegayuhan untuk membangkitkan kembali kejayaan Majapahit. Kerajaan Majapahit sudah mengukirkan dalam kitab sejarah negeri ini dengan tinta emas. Sekali terbilang, lalu hilang. Sekarang berilah kesempatan kepada kerajaan Mataram untuk kembali mengukirkan tinta emas dalam kitab sejarah itu. Sehingga pada saatnya nanti, anak cucu keturunan kita ratusan tahun mendatang akan melihat bahwa sejarah negeri kita ini penuh dengan warna-warni,” kata Kiai Ajar Karangmaja. Kembali ia terdiam sesaat. “Aku tidak lagi mempunyai gegayuhan seperti itu,” kata Kiai Ajar Karangmaja. “Kenapa, kakang?” “Karena yang ada sekarang ini sudah merupakan saluran yang tepat untuk meneruskan kerajaan Majapahit. Ketika Majapahit runtuh, bangkit Demak. Demak pun diteruskan oleh Pajang. Kemudian Pajang dilanjutkan oleh Mataram. Nah kurang apa lagi?” tanya Kiai Ajar Karangmaja. “Kekurangannya adalah karena tidak ada peran kita di dalamnya, kakang. Kalau kita ikut berperan dalam perubahan pemerintahan itu dengan menjadi sarana berpindahnya wahyu keraton, maka barulah merupakan saluran yang tepat. Akan tetapi di sini kita tidak dilibatkan sama sekali,” kata Kiai Cambuk Petir. “Lalu kalau dilibatkan, kita sebagai apa? Sebagai pengusung wahyu keraton, begitu?” tanya Kiai Ajar Karangmaja. “Benar kakang. Apabila kita dilibatkan sebagai pengusung wahyu keraton, maka paling tidak kita bisa memiliki kedudukan penting di dalam pemerintahan,” kata Kiai Cambuk Petir. “Kedudukan apa yang kau inginkan adi, dalam usiamu yang sudah jauh memanjat naik dan menjelang turun. Kalau usiamu masih tiga puluh tahunan, bolehlah apabila kau minta kedudukan. Pada saat menjelang purnatugas pada saat usiamu lima puluh tahun, kau sudah menjadi tumenggung. Akan tetapi dengan usiamu yang sudah enam puluhan tahun seperti sekarang ini apa lagi yang kau harapkan?” tanya Kiai Ajar Karangmaja. “Paling tidak kita akan bisa meletakkan dasar bagi lingkungan kita. Meletakkan dasar bagi anak cucu kita,” kata Kiai Cambuk Petir. “Akan tetapi apa yang bisa kita lakukan. Karena kita akan tetap berada di luar jalur kekuasaan yang bisa menentukan hitam putihnya keadaan,” tanya Kiai Ajar Karangmaja. “Tentu saja kita memberikan dukungan yang perlu bagi terwujudnya gegayuhan kita itu,” kata Kiai Cambuk Petir. “Sudahlah adi. Aku tidak ingin terlalu ikut campur dalam urusan yang sama sekali aku tidak mengerti. Aku juga tidak mempunyai wewenang untuk memasukkan keterangan yang berguna bagi perubahan kekuasaan itu. Seandainya terjadi perubahan kekuasaan pun, tentu saja kita akan tersingkir dan tidak akan bisa memperjuangkan kepentingan anak cucu kita. Karena kita sudah uzur,” kata Kiai Ajar Karangmaja. “Wah kakang terlalu berkecil hati sebelum berbuat sesuatu,” kata Kiai Cambuk Petir. “Yang jelas, aku tidak ingin melibatkan padepokanku dan keluarga besar perguruan Windujati dalam pertengkaran ini karena ingin memperebutkan kekuasaan,” kata Kiai Ajar Karangmaja. Kiai Cambuk Petir yang semasa mudanya bernama Kulantir sebenarnya adalah adik seperguruan dari Kiai Ajar Karangmaja. Ketika berguru kepada Mpu Windujati, mereka terpaut cukup jauh umurnya maupun tingkat ilmunya. Pada saat terjadi pergolakan terakhir di Demak Bintara mereka mendapat tugas untuk mengamati keadaan di Demak Bintara itu. Namun pada saat mereka kembali ke perguruan Windujati, mereka mendapati guru mereka ”Mpu Windujati” telah tiada. Kiai Ajar Karangmaja yang merupakan murid tertua Perguruan Windujati, kemudian mendapat kepercayaan untuk meneruskan padepokan itu. Sesuai dengan nama pemimpinnya, akhirnya orang lebih mengenal Padepokan Ajar Karangmaja, ketimbang Padepokan Windujati. Kiai Ajar Karangmaja yang kakak seperguruan Kulantir kemudian menurunkan ilmu yang telah diperolehnya hampir secara lengkap dari Mpu Windujati. Sehingga dengan demikian Kiai Ajar Karangmaja adalah kakak seperguruan sekaligus guru bagi Kulantir yang kemudian menyebut dirinya Kiai Cambuk Petir ketika telah berdiri sendiri dengan membangun padepokannya sendiri. Kiai Ajar Karangmaja mempunyai dua murid utama. Yang seorang bernama Putut Kalibata, dan seorang lagi Putut Jimbaran. “Kemanakah kedua muridmu kakang. Putut Kalibata dan Putut Jimbaran,” tanya Kiai Cambuk Petir. “Mereka berdua mulai kemarin minta izin untuk pulang ke kampung masing-masing selama dua bulan. Padi di sawah mereka sudah mulai panen dan mereka harus mengolah sawah untuk musim tanam berikutnya,” kata Kiai Ajar Karangmaja. “Wah sayang sekali. Sebenarnya aku juga ingin mengajak mereka untuk bergabung denganku untuk memperjuangkan gegayuhan membangkitkan kejayaan Kerajaan Majapahit,” kata Kiai Cambuk Petir. “Adi jangan melibatkan padepokanku, atau pun kedua muridku itu dalam mencapai gegayuhanmu,” kata Kiai Ajar Karangmaja dengan nada sengit. “Baiklah kakang. Kalau kau tidak mengizinkan, aku tidak akan memaksa,” kata Kiai Cambuk Petir dengan nada enteng. Betapapun ia masih tetap menghormati kakang seperguruan yang sekaligus menjadi guru tunggak semi-nya setelah Mpu Windujati tiada. Perbawa kakak seperguruannya itu demikian besar. “Oo ya, kakang. Aku ingin bertanya apakah di antara sanak kadang kita yang masih trah Keraton Majapahit ada yang tinggal di Mataram dan menjadi prajurit pasukan Mataram?” tanya Kiai Cambuk Petir. “Memangnya ada apa? Aku tidak tahu apakah di antara keluarga besar trah Majapahit atau sanak kadang kita yang berpihak atau berada di Mataram,” kata Kiai Ajar Karangmaja. “Begini kakang. Dua pekan lalu aku mengirim keempat muridku Bargas, Bergawa, Tanda Rumpil dan Gondang Legi untuk mengamat-amati kekuatan pasukan Kerajaan Mataram. Nah dalam suatu pertempuran dengan seorang prajurit Mataram, ternyata Bargas dan Bergawa berhasil dilumpuhkan, Tanda Rumpil tewas dan Gondang Legi berhasil melarikan diri kembali ke padepokanku di Panaraga,” kata Kiai Cambuk Petir. “Keempat muridmu kalah?” tanya Kiai Ajar Karangmaja. “Iya kakang. Yang membuatku heran, justru yang melumpuhkan kedua murid utamaku ”Bargas dan Bergawa” adalah orang yang mempunyai ciri-ciri seperti perguruan kita. Ciri-ciri perguruan Orang Bercambuk,” kata Kiai Cambuk Petir. “He? Ciri-ciri Orang Bercambuk? Apakah cambuknya berjuntai panjang dan berkarah-karah baja di ujungnya?” tanya Kiai Ajar Karangmaja lagi. “Benar kakang. Apakah kakang tahu bahwa ada sempalan dari ilmu Orang Bercambuk yang kini mengabdi sebagai prajurit di Mataram?” tanya Kiai Cambuk Petir. “Aku tidak tahu persis, adi. Tetapi setahuku tidak ada orang atau sempalan ilmu Orang Bercambuk yang kini mengabdi sebagai prajurit di Mataram,” kata Kiai Ajar Karangmaja. “Apakah orang itu murid dari Raden Timur yang sering juga disebut Pamungkas?” kata Kiai Ajar Karangmaja kepada dirinya sendiri. “Maksud kakang, Raden Timur cucu dari Mpu Windujati?” tanya Kiai Cambuk Petir. “Benar. Raden Timur yang selalu mengamati kalau kita sedang berlatih ilmu kanuragan,” kata Kiai Ajar Karangmaja. Ia terdiam sejenak, lalu melanjutkan. “Raden Timur adalah cucu sekaligus murid utama dari Mpu Windujati,” tutur Kiai Ajar Karangmaja. “He? Tetapi aku tidak pernah melihat Raden Timur berlatih ilmu kanuragan dengan kita, para murid perguruan Mpu Windujati,” kata Kiai Cambuk Petir. “Iya. Karena Mpu Windujati berkenan melatihnya secara langsung di dalam sanggar. Aku beberapa kali mendapat tugas untuk berlatih tanding dengan Raden Timur. Meskipun Raden Timur sedikit lebih muda daripada aku, namun ilmunya ngedab-ngedabi dan hampir sesempurna Mpu Windujati sendiri,” kata Kiai Ajar Karangmaja. “Selain itu, Raden Timur juga berguru kepada adik seperguruan Mpu Windujati yang merupakan sahabat dekat dengan seorang yang bernama Kebo Kanigara, putera sekaligus murid dari Ki Ageng Pengging Sepuh,” kata Kiai Ajar Karangmaja. Dengan demikian ilmu yang dikuasai Raden Timur adalah gabungan ilmu dari beberapa perguruan. Kiai Ajar Karangmaja terdiam lagi. Seakan-akan sedang mengenang kembali hubungannya dengan Raden Timur di Perguruan Windujati yang tersimpan dalam bilik ingatannya. Kejadian yang terjadi puluhan tahun yang lalu itu, seakan terputar kembali di dalam angan-angannya. Betapa Raden Timur yang masih muda itu, bertarung dengan dirinya di dalam sanggar. Meskipun ilmu yang diraihnya secara tuntas itu dikerahkannya untuk menyerang Raden Timur, namun cucu gurunya itu masih tetap bisa mengatasinya. Sebagai pertanda bahwa ilmu yang mereka pelajari di perguruan Windujati telah tuntas, maka mereka berdua menjalani suatu ritual khusus di dalam sanggar itu. Gurunya membakar sebatang baja yang pada ujungnya terdapat semacam cap stempel dari baja. Pada cap stempel itu tertera gambar semacam cambuk yang pada ujungnya terdapat karah-karah baja bersegi sembilan. Gurunya, Mpu Windujati yang masih merupakan trah Keraton Majapahit, meminta mereka berdua mengerahkan ilmu kebal yang telah mereka kuasai secara tuntas. Sebagai pertanda bahwa ilmu kebal mereka telah tuntas, maka ruangan sanggar Mpu Windujati terasa seperti panas membara. Sepanas cap stempel yang dipanaskan oleh gurunya. Karena agaknya, ilmu kebal mereka berdua telah berhasil membangkitkan sifat panas di dalam udara sekitar mereka. Ketika Mpu Windujati merasa pengerahan ilmu kebal kedua muridnya telah cukup, Mpu Windujati segera menempelkan cap stempel dari baja yang membara itu ke pergelangan tangan kiri kedua muridnya. Tercium bau seperti daging yang terbakar. Dengan sekuat tenaga kedua murid Mpu Windujati menahan nyeri yang mereka rasakan akibat diselomot dengan cap stempel membara itu. Gurunya segera memborehkan obat-obatan yang telah disiapkan untuk mengatasi luka bakar di tangan kedua muridnya itu. Ketika sembuh, sebuah cap bergambarkan cambuk menghiasi pergelangan tangan kiri kedua muridnya. Dalam kesempatan itu, gurunya mewariskan kitab perguruan Windujati kepada Raden Timur. Gurunya kemudian memberi wejangan kepada mereka berdua, bahwa hubungan mereka sebagai dua saudara seperguruan harus tetap mereka jaga hingga kapan pun. Selama hayat masih dikandung badan. Hubungan itu tidak hanya di antara mereka saja, namun juga hubungan di antara murid-murid mereka, apabila kelak mereka membangun padepokan sendiri. Gurunya berpesan agar mereka tidak mudah-mudahnya mempergunakan ilmu pamungkasnya. Ilmu Pamungkas Orang Bercambuk. Apabila mereka ragu-ragu, apakah sudah saatnya atau belum mempergunakan ilmu pamungkas mereka, maka Mpu Windujati meminta agar mereka mengelus-elus pergelangan tangan kiri mereka dan bertanya di dalam hati:”Guru apakah sudah saatnya aku pergunakan ilmu pamungkasku?” Kelak mereka akan tahu, bahwa gurunya akan memberikan jawaban atas pertanyaan mereka. Pesan wanti-wanti dari gurunya, Mpu Windujati, itulah yang selalu terngiang di dalam pendengaran Kiai Ajar Karangmaja yang semasa mudanya bernama Soma. Ketika Soma menurunkan ilmunya kepada Kulantir, pesan yang sama selalu ditekankannya kepada adik seperguruan sekaligus muridnya itu. Namun, meskipun ilmu yang diturunkannya kepada Kulantir telah tuntas, namun Soma tidak berani mengadakan ritual khusus memberi cap stempel cambuk kepada Kulantir. Hal itu karena ia mengamati perangai Kulantir yang sering tidak sesuai dengan keinginannya. Kulantir lebih sering mengetengahkan sifat tamaknya akan kekuasaan. Namun sifat tamaknya itu tidak disalurkan secara benar melalui jalur kekuasaan yang ada. Soma masih akan bisa memahami keinginan adik seperguruannya itu apabila Kulantir menyalurkan keinginannya untuk berkuasa misalnya dengan memasuki jenjang keprajuritan. Apabila Kulantir ketika masih muda memasuki jenjang keprajuritan mungkin ia sudah mengantongi pangkat tumenggung atau bahkan sudah purnawira. Namun hal itu tidak dilakukannya. Kul
    • kados pundi kelanjutanipun kang mas?

  26. wah kang asbud itu kan masih seri 402…

  27. lanjutan 404 mana ya?,kalo bayar gmn caranya utk mendapatkan seri 404 dst… tq

  28. iya nih… matarambinangkit.com ga bisa diakses….
    udah rinduuuuuuuuu banget……………

  29. ni blog masih ada penghuninya ndak sih

    • ngga ada ndul

      • sekedar berbagi berita saja:
        di Gagak Seta ada Terusan ADBM, bisa dinikmati dgn gratis
        monggo kalo mau mampir

        • maturnuwun kangmas.

  30. antara ada dan tiada sedang tiarap semua para pemimpin padepokan…………………….????????????

    # ada yang bisa dibantu Ki?

  31. Sugeng siang para Cantrik sedaya..
    Sebelumnya mohon maaf atas woro woro ini,
    dulu saya pernah ingin mencoba melanjutkan adbm yg terputus, namun karena kesibukan, ternyata Ki Agus yg telah meneruskan kisah adi luhung ini.
    namun demikian, di gandhok Gagak Seta, saya di “ogrok2” oleh beberapa cantrik disana untuk meneruskan Adbm dengan versi “mbah_man”
    Semoga kalau ada waktu silahkan mampir di gandhok “Terusan ADBM Gagak Seta”
    matur suwun
    Mbah-man

    • tak kiro woro-woro gandok anyar ‘terusan adbm mandarakan’

  32. Yang peting GRATIS kalo musti mbayar sepertinya menghianati cita2 awal kita,,,

  33. kok nggak bisa komen ya 😦

    • jangan-jangan

    • jangan terlalu cepat komennya Ki Syakuur .. nanti dikira SPAM oleh Aki Ismet 😀

      • rasanya bukan gitu deh, soale kemaren tu banyak keluhan wp nggak bisa komen (misalnya di cersilindonesia tu banyak keluhan) e nggak tahunya di sini juga ternyata komenku nggak masuk, nunggu ki nin 😛

  34. lanjutan ADBM 404 mana ya ki?
    bukanya di website apa ya?

  35. Alamat pastinya di link mana ya (Terusan ADBM Gagak Seto) ??
    Mohon dibantu dong….
    tks

    • cobi njenengan tingali wonten mriki ki nogoposo

      • kok di mriki nya sy kok gak bisa nemu ydm ya….
        bantuin doong…

        • wah berarti niku alamat palsu sing digoleki mbak ayu doong…

    • mbah_man berusaha meneruskan ADBM dengan versi lain (selain Bukan ADBM nya Ki Agus).
      sayang, baru sekitar separuh jilid beliaunya sakit sehingga harus rawat inap di rumah sakit.
      semoga beliau lakas sembuh dan meneruskan tulsiannya.
      silahan kunjungi disini: http://cersilindonesia.wordpress.com/terusan-adbm/2/

  36. Ma’af mau tanya, apa masih ada cerita lanjutan dari ADBM?

  37. Kalau mau bayar gimana caranya ya, nuwun sewu bagi dulur2 mbok ya empatinya dan nuraninya dikedepakkan, ayo kita menghargai imajinasi dan karya sastra penulis yang berusaha melanjutkan cerita epik kepahlawanan nuansa jawa tengah, apapun hasilnya kalau literasi ini sangat membantu mengenalkan adat istiadat unggah ungguh subosito masyarakat jawa mbok ya disokong, ini lebih berisi dari pada komik marvel atau DC yang dar der dor…
    Salam
    #bagaskoro manjer kawuryan

  38. Mataram Binangkit
    Buku 404
    Oleh Agus S. Soerono

    Telah terbit Ebook Mataram Binangkit Buku 404 oleh Agus S. Soerono. Jika anda berminat, silakan transfer Rp 100.000,- ke Norek BCA 288-1221-715 a/n Agus Suprihanto. Kirim bukti transfer dan sertakan alamat email ke no WA 0878-0856-1199. Kami akan segera mengirim Ebook dalam format PDF ke alamat email.

  39. Donasi tidak berkeberatan, asal tidak menjadi komersial.
    Yang lain versi mbah Man donasinya tidak ngarani.
    Saya juga berlangganan yang versi mbah MAN

  40. Kalajenganipum seri menika menapa wonten, menawi taksih saged kula panggihaken ing pundi? Mugi para kadang saged paring kabar, nuwun

  41. Saya bisa mengkuti karya Ki Agus dimana ya, lanjutannta

  42. Nyuwun pirsa, seri saklajengipun wonten pundi, kula kok dereng manggihaken, bok menawi ki agus rena paring sesuluh.

    • Kami tidak melanjutkan wedaran di sini, karena cerita selanjutnya “berbayar”.

      Ngapunten.

  43. Cukup baik, seperti pengantar kata di atas ; untuk memuaskan dahaga pembaca penggemar ADBM ( Api di bukit menoreh)

  44. saya mencari software abbyy finereader yang pernah dibagikan, adakah cantrik yang masih ingat link nya?


Tinggalkan komentar