Bukan ADBM

buku-iv-96>>| buku-iv-97>>

Api di Bukit Menoreh
Seri IV-97
Melawat ke Arah Matahari Terbit
Oleh Ki Agus S. Soerono

ORANG yang berdesis luar biasa itu, masih belum berbuat apa-apa. Ia masih berlindung di kegelapan di balik pepohonan. Lelaki itu dengan seksama masih memperhatikan betapa Ranti yang bergerak dengan gesit di tengah kepungan keempat pengikut Pangeran Ranapati itu. Ranti meskipun dikepung oleh empat orang pengawal Pangeran Ranapati, namun tidak membuatnya kebingungan. Justru keempat lawannyalah yang menjadi gelisah menghadapi kecepatan gerak Ranti yang sulit diduga.
Lelaki itu hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya ketika Ranti yang diserang lambungnya dengan sebuah tendangan memutar oleh orang yang rambutnya ubanan, dengan tangkasnya berkelit ke samping sambil merendahkan badannya. Orang yang rambutnya ubanan itu mengumpat kasar ketika serangannya tidak mengenai sasaran. Sebaliknya secepat kilat siku kanan Ranti menyodok pinggangnya, sehingga serasa seolah-olah tulang rusuknya retak semua. Namun sebagai pengikut Pangeran Ranapati yang setia, orang yang berambut ubanan itupun ternyata sudah mendapat bekal ilmu yang cukup dan sudah termasuk yang paling tinggi tatarannya.
Dengan geram ia menyerang kembali dengan bertubi-tubi. Tendangan yang mematikan disusul dengan tusukan keempat jarinya dirapatkan, namun ibu jarinya menekuk ke dalam. Ketika serangan beruntun itu masih juga gagal, orang yang berambut ubanan itupun menyusulnya dengan pukulan dengan tinjunya yang mengarah ke kening. Tentu saja Ranti tidak mau keningnya menjadi sasaran tinju lawannya. Ranti merendah sedikit, lalu dengan cepat kakinya menyerang ke arah pinggang lawannya. Lawannya tidak menduga akan mendapat serangan balik yang demikian deras. Ia tidak bisa lagi menghindar. Yang dapat dilakukannya adalah buru-buru menyilangkan kedua tangannya di depan pinggangnya. Sehingga terjadi benturan yang keras sekali.
Orang yang berambut ubanan itu terdorong dua langkah lalu terpelanting ke belakang. Pinggangnya terasa nyeri sekali. Ternyata kedua tangannya yang disilangkan di depan pinggangnya itu tidak mampu menahan tendangan kaki yang menyerang pinggangnya. Justru kedua tangan yang disilangkan itu membentur pinggangnya dengan keras. Kedua tangannya kesakitan, pinggangnya juga menjadi nyeri. Ia meringis kesakitan sambil mengumpat-umpat.
Namun orang yang berambut ubanan itu sebenarnyalah tidak ingin bertempur terlalu lama lagi dengan Ranti. Mereka ingin segera menyelesaikan Ranti yang bertempur sendiri itu lalu mereka ingin segera meninggalkan sanggar itu. Mereka sudah jemu dengan para pengikut Pangeran Ranapati yang lain, yang bersikap mendua. Mereka tidak ikut membantu bertempur, justru kini dalam keadaan sulit seperti sekarang mereka tidak membantu. Mereka hanya menonton.
Setelah nanti Ranti bisa diselesaikan mereka ingin segera menyusul Pangeran Ranapati. Siapa tahu dengan demikian Pangeran itu bisa memasukkan mereka ke lingkungan pasukan keprajuritan. Seperti telah dikatakan oleh Pangeran Ranapati, begitu Pangeran Ranapati diangkat menjadi Senapati di Panaraga maka mereka akan segera disusupkan kedalam lingkungan keprajuritan. Namun mereka tidak ingin menunda keberangkatan mereka ke Istana Kadipaten Panaraga. Karena mereka pun ingin melihat saat-saat Pengeran Ranapati diwisuda menjadi Senapati pinilih.
–Jika aku bisa diangkat menjadi prajurit, maka aku bisa mengakhiri cara hidupku yang kelam dengan mencuri, merampok dan menyamun—kata orang yang berambut ubanan itu dalam hatinya.
Orang itu menyadari, kalau tidak ada orang berpengaruh yang membawanya, tentu akan sulit baginya memasuki lingkungan keprajuritan. Apalagi usianya sudah merambat cukup jauh dan terlihat dari ciri kewadagannya dari rambutnya yang sudah menjadi berwarna dua.
Namun orang yang berambut ubanan itu tidak ingin berangan-angan terlalu jauh. Di depannya Ranti masih berdiri tegak siap menghadapinya. Namun Ranti tidak segera menyerangnya. Ia sengaja memberi kesempatan kepada keempat orang itu untuk segera menyadari keadaannya.
–Sudahlah. Menyerahlah. Sebagian pengikut Pangeran Ranapati kecuali kalian sudah mengambil keputusan yang tepat dengan tidak ikut mengepungku—
–Ah mereka para lelaki pengecut. Mereka hanya berani di depan Pangeran Ranapati. Tetapi begitu Pangeran pergi mereka nyalinya menjadi ciut sebesar menir.—
–Tetapi mereka agak lebih mempunyai nalar daripada kalian—
–Perempuan binal, kubunuh kau—kata orang yang ubanan itu sambil mencabut belati panjang dari ikat pinggangnya.
Ketiga orang kawannya yang lain, ketika melihat orang yang ubanan itu mencabut senjatanya, segera mengikutinya.
Ranti menjawab—Kau dari tadi hanya bisa berteriak-teriak saja. Kalau kau mampu, tentu sudah kau lakukan.—
–Genderuwo betina. Kukoyak mulutmu dengan belatiku ini. Belatiku ini sudah menghirup darah puluhan orang sampai nyawanya lepas dari raga mereka—
–O ya. Aku justru ingin melihat ujung belatimu menghirup darahmu sendiri atau darah kawan kalian sendiri.–
Dengan belati panjang di tangannya, mereka secara serentak menyerang Ranti. Ranti yang tidak mau menjadi sasaran senjata keempat lawannya, segera bergeser surut. Dalam sekejap di tangannya telah terpegang selembar selendang berwarna merah muda yang selama ini membelit pinggangnya.
–Apa yang dapat kau lakukan dengan ikat pinggangmu itu. Apakah kau akan menari serimpi di sini—tanya orang yang berambut ubanan dengan nada mengejek.
–Baik. Aku akan mengajakmu menari di tengah halaman ini—kata Ranti sambil memutar selendangnya.
Belum selesai kalimat Ranti itu, selendangnya—yang pada ujung-ujungnya diberi butiran timah pemberat itu—sudah menyodok bahu orang yang berambut ubanan itu. Pukulan selendang itu terasa seperti pukulan alugora dari baja yang mengguncang bahunya. Pedih sekali rasanya, sehingga dadanya terasa sesak. Napasnya menjadi tersengal-sengal. Belum lagi orang yang rambutnya ubanan itu memperbaiki kedudukannya, selendang itu sudah menyambar belati panjang di tangannya.
Dengan kuatnya selendang membelit belati itu, lalu dengan hentakan sendal pancing yang sangat kuat, belati itu terlepas dan meluncur deras ke arah kawannya yang bertubuh tinggi besar dan menusuk lambungnya. Orang itu mengaduh sambil mengumpat-umpat kawannya yang ubanan. Tapi umpatannya tidak berlangsung lama, karena darah segar segera memancar deras dari luka di lambungnya.
Orang bertubuh tinggi besar itu segera tersungkur. Sedangkan orang yang rambutnya ubanan merasa bersalah karena senjata belatinya, meskipun tidak sengaja, telah melukai kawannya sendiri.
Selendang Ranti masih menari-nari dengan lincahnya, menarikan irama kematian. Ketiga lawannya yang masih tinggal, dengan sisa-sisa tenaganya berusaha berloncatan menghindar. Selendang itu meledak-ledak mengejar kaki ketiga lawan Ranti.
–Nah begitukah cara kalian menari serimpi?—kata Ranti mengejek ketiga lawannya. Ketiga lawannya hanya bisa mengumpat-umpat sambil meloncat-loncat menghindari belitan selendang Ranti itu. Malang seorang yang terlambat meloncat, tersambar oleh selendang pada betisnya. Sebuah luka menganga di betisnya itu, seperti tersambar sebuah pedang tipis. Ketika Lelaki yang kurus dan berambut keriting itu meraba betisnya, terasa pedih dan tangannya basah. Darah. Ia mengaduh kesakitan dan bergerak menepi dari arena.
Kini tinggal dua orang yang mengeroyok Ranti, yaitu orang yang berambut ubanan dan seorang kawannya yang gemuk bulat dan berbadan kekar, tapi tidak begitu tinggi.
Namun tenaga kedua orang itu sudah semakin lemah. Orang yang berambut ubanan yang sudah tidak bersenjata belati panjang lagi itu, lebih banyak meloncat menghindar daripada menyerang. Sedangkan kawannya karena masih bersenjata, satu dua kali masih sempat menyerang. Tetapi kedua orang itu tetap masih di bawah tekanan senjata selendang Ranti yang meluncur meledak-ledak, meskipun suaranya tidak keras seperti suara cambuk. Betapa pun lembutnya selendang itu, namun di tangan Ranti selendang yang biasanya menjadi kelengkapan pakaian perempuan itu menjadi sangat berbahaya.
Mereka terus menyerang sekuat tenaga. Orang yang berambut ubanan itu masih berusaha mengerahkan tenaganya, meskipun ia sudah tidak bersenjata lagi. Namun betapapun Ranti yang bersenjata sebuah selendang itu, jauh lebih panjang daripada kaki atau tangannya. Orang yang berambut ubanan itupun menjadi semakin kesulitan.
Seorang lagi kawannya yang gemuk bulat dan berbadan kekar, tapi tidak begitu tinggi itupun, meskipun bersenjata sebilah belati panjang tetap saja bukan lawan Ranti. Meskipun Ranti dikeroyok yang kini tinggal dua orang, kedua orang itu tetap saja terdesak.
Mereka pada akhirnya kehabisan tenaga dan nafas mereka menjadi terengah-engah. Sebaliknya Ranti tidak kelihatan terlalu letih. Mukanya masih cerah seperti pada waktu baru mulai memasuki arena itu dan tenaganya masih utuh.
–Cukup. Cukup—tiba-tiba terdengar teriakan seorang lelaki yang berlindung dan muncul dari balik kegelapan pepohonan perdu di sudut halaman. Ia ternyata tidak lain adalah Pangeran Ranapati yang membentak dengan suara menggelegar.—Tidak kusangka kau juga memiliki sedikit ilmu olah kanuragan, Ranti. Ternyata aku bisa kau kelabui. Siapa kau sebenarnya?—
Ranti tersentak kaget, ketika mengetahui bahwa Pangeran Ranapati sudah ada pula di halaman sanggarnya yang tidak jauh dari tempat petilasan batu pipihnya itu. Memang panggraita Pangeran Ranapati cukup tajam. Ketika melangkah meninggalkan halaman sanggarnya, setelah berjalan beberapa ratus langkah hatinya merasa tidak enak.
Ternyata panggraitanya itu tidak salah. Ketika ia berbalik ke sanggarnya dan ternyata ia mendapati empat orang pengikutnya sedang bertempur menghadapi Ranti. Sedangkan sebagian besair lainnya dari pengikutnya memilih menjauh dari arena. Ternyata mereka berempat tidak bisa mengatasi keganasan ilmu olah kanuragan Ranti yang dikiranya gadis desa yang lugu. Bahkan sebaliknya, Ranti-lah yang mengendalikan jalannya perkelahian itu.
Ia sempat memperhatikan beberapa saat sampai kedua orang pengikutnya tersingkir dari arena. Pada akhirnya ia tidak tahan lagi bersembunyi di kegelapan.
–Aku adalah Ranti, Pangeran gadungan—kata Ranti.
–Apa kau bilang? Pangeran gadungan? Kusobek-sobek bibirmu. Kanjeng Adipati Panaraga, Pangeran Jayaraga, saja
mengakui aku adalah Pangeran. Kau perempuan pidak pedarakan berani mengatai aku Pangeran gadungan.—
Ranti hanya tertawa. Sebenarnyalah dua lurah telik sandi yang menyamar dengan nama Sungkana dan Sumbaga yang kembali ke Panaraga dari Mataram, telah mendapat keterangan dari Ki Patih Mandaraka bahwa petugas sandi yang dikirim ke lereng Merapi sudah melaporkan tentang asal-usul Pangeran Ranapati itu.
Petugas sandi itu telah mendapat keterangan dari penduduk bahwa ibu dari orang yang mengaku Pangeran Ranapati itu masih hidup, meskipun sudah tua sekali.
Perempuan tua itu meskipun wadagnya sudah renta, tapi masih mempunyai ingatan yang tajam. Dari perempuan tua itulah diperoleh keterangan bahwa orang yang mengaku seorang Pangeran dan menyebut dirinya Pangeran Ranapati, sama sekali tidak mempunyai sangkut paut dengan Panembahan Senapati.
Menurut keterangan yang berhasil dihimpun petugas sandi yang mendapat petunjuk dari keluarga Punta yang seorang cantrik di Padepokan kecil peninggalan Kiai Gringsing, diketahui bahwa Pangeran Ranapati sebenarnya bernama Karaba Bodas. Karaba Bodas adalah anak seorang saudagar kain yang menjajakan dagangannya dari kota ke kota di tanah ini. Setelah ayahnya yang pedagang kain itu meninggal karena sakit yang menahun ketika Karaba Bodas menanjak dewasa, Karaba Bodas lalu mengembara dan berguru di berbagai padepokan.
Merasa ilmunya sudah cukup, Karaba Bodas di masa dewasanya ternyata telah salah bergaul dan memilih berkawan dengan pencuri, perampok, kecu, gegedug dan penyamun.
–Ah Ken Arok saja dari Padang Karautan bisa menjadi Raja besar di tanah ini—kata Ki Karaba Bodas di dalam hatinya. Atas dasar pemikiran itulah Karaba Bodas mulai menganyam cita-citanya. Dengan cerdik Ki Karaba Bodas mulai menggalang kawan-kawannya untuk mewujudkan keinginannya. Ki Karaba Bodas mulai membangun padepokan yang sering disebutnya sebagai pertapaan, yang tidak jauh dari tempat tinggal ibunya.
–Kau jangan terlalu berangan-angan, ngger. Sungguh tidak pantas kalau kau mengaku-aku sebagai seorang Pangeran—kata ibunya suatu ketika. Ibunya ternyata mempunyai penalaran yang wajar atas segala tindak tanduk anaknya. Ibunya melihat bahwa keinginan anaknya yang berusaha meraih jabatan dengan mengaku-aku sebagai Pangeran, sungguh suatu tindakan yang sangat deksura. Sebelum anaknya menjadi telanjur melangkah, ibunya masih berusaha mengingatkannya. Namun tidak selalu nasihat yang baik dari seorang orang tua mendapat tanggapan yang baik dari seorang anak. Apalagi nasihat itu datang dari seorang ibu. Ibunya sangat khawatir atas jalan salah yang ditempuh anaknya dalam menggapai gegayuhannya itu.
–Ibu jangan menghalang-halangi gegayuhanku—kata Ki Karaba Bodas.
–Ngger, kalau kau ingin menjadi pemimpin, jangan mulai dengan menipu dirimu sendiri. Ibu tidak suka itu—
–Sudah. Sudah. Ibu jangan mencampuri dan menghambat gegayuhanku. Gegayuhanku itu harus dicapai dengan segala pengorbanan, termasuk dengan mengelabui diri sendiri. Apa salahnya? Bukankah aku tidak merugikan orang lain?—
–Ngger, ngger. Sing eling ngger, becik ketitik, ala ketara. Kalau ngger mau jadi prajurit, lalu menjadi senapati atau tumenggung, itu wajar. Tetapi kalau kau menipu diri sendiri dan menipu asal-usulmu, itu sungguh tidak wajar. Aku sama sekali tidak pernah kenal dengan Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati ing Ngalaga dan kemudian menjadi Panembahan Senapati. Apalagi jika kau akan mengaku sebagai putera lembu peteng Panembahan Senapati, itu sungguh sudah kebablasan, ngger. Berarti kau hendak mengatakan bahwa aku pernah berselingkuh dengan Raden Sutawijaya—
–Lalu akan kau kemanakan ceritera tentang mendiang ayahmu? Aku rasa ayahmu di alam yang abadi, yang menurunkan kau, akan tidak ikhlas jika kau tidak mengakuinya—kata ibunya sambil mengelus dada.—Aku rasa ayahmu tidak pernah mengajarimu berbuat culas dan licik seperti itu.—
–Sudahlah Ibu. Jika aku mukti, ibu akan ikut menikmati—kata Ki Karaba Bodas.
Ibunya hanya bisa menangis dalam hati dan mengelus-elus dadanya menanggapi anaknya yang telah deksura dan dinilainya salah langkah.
Keterangan bahwa putera Panembahan Senapati yang bernama Pangeran Jayaraga mendapat jabatan menjadi Kangjeng Adipati di Panaraga rupanya merupakan kesempatan bagi Ki Karaba Bodas untuk menumpang mukti pada Pangeran yang akan diakunya sebagai adiknya lain Ibu.
Ki Karaba Bodas segera meninggalkan padepokannya, lalu pergi ke Panaraga. Ia berhasil mendekati seorang Senapati kepercayaan Kangjeng Adipati Jayaraga. Mas Panji Wangsadrana. Senapati ini termasuk pengiring yang dibawa Kangjeng Adipati Jayaraga dari Mataram.
Pertemuan dengan Senapati Mas Panji Wangsadrana terjadi secara kebetulan saja. Ketika Mas Panji Wangsadrana sedang berkeliling melihat-lihat wilayah Kadipaten Panaraga, setelah seharian berputar mengelilingi wilayah itu dengan menunggang kuda Mas Panji Wangsadrana beristirahat sejenak di sebuah kedai.
Karena ia tidak ingin dikenal oleh banyak orang, maka Mas Panji Wangsadrana tidak mempergunakan pakaian keprajuritannya. Dengan diiringkan oleh dua orang pengikutnya mereka memasuki kedai yang terletak di dekat pasar itu.
Mas Panji Wangsadrana mengambil tempat duduk sebuah lincak panjang di sudut ruangan. Tak lama kemudian pelayan kedai itu mendatanginya dan mereka masing-masing memesan nasi megana dan sepotong ayam serta wedang sere hangat.
Baru saja mereka mulai menyantap makanan yang mereka pesan, lima orang lelaki yang berwajah garang memasuki kedai itu. Dengan membentak-bentak mereka memanggil pemilik kedai. Mereka meminta Mas Panji Wangsadrana berpindah tempat, karena setiap mereka datang kekedai itu para lelaki berwajah garang itu selalu duduk di sudut itu. Sudut itu terasa sejuk karena pada sudut itu terdapat jendela yang mengalirkan udara segar. Agaknya di belakang jendela itu terdapat belumbang yang berisi ikan berwarna-warni. Rupanya tempat duduk di sudut itu merupakan tempat yang paling disukai oleh para pedagang yang mampir untuk makan di kedai itu.
Ketika kelima orang yang berwajah garang itu hendak mengusir rombongan Mas Panji Wangsadrana ke tempat duduk yang lain, tiba-tiba seorang lelaki yang duduk di tengah ruangan itu bangkit dari duduknya.
–Kalian tidak bisa mengusir orang yang sudah duduk dan makan di tempatnya seenak hati kalian—kata lelaki yang duduk di tengah ruangan itu.—Kita sama-sama punya hak untuk duduk di mana saja, selama tempat itu kosong.—
–Kau jangan mencari perkara. Jangan ikut campur. Siapa kau?—tanya seorang setengah baya dengan muka garang, berkumis tebal dan sebuah bekas luka melintang di pipinya.
–Aku Pangeran Ranapati. Kau siapa?—tanya seorang lelaki yang duduk di tengah ruangan tersebut.
–Kami gegedug di pasar ini. Kalau mau selamat jangan mencari perkara dengan kami—kata orang setengah baya itu.
–Kalian keluar semua. Jangan mengganggu orang yang sedang makan di kedai ini—kata orang yang mengaku bernama Pangeran Ranapati itu.
Dengan geram kelima orang itu menantang orang yang bernama Pangeran Ranapati itu. –Kami tunggu kau di halaman kedai ini—katanya.
Demikianlah, dalam sekejap di halaman kedai yang cukup luas itu terjadi pertarungan yang sengit, namun tidak seimbang. Semua orang termasuk Mas Panji Wangsadrana keluar menyaksikan pertarungan yang tidak imbang itu. Satu orang dikerubuti oleh lima orang yang berwajah garang.
Namun orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati ternyata bukan lawan yang sepadan bagi kelima orang yang berwajah garang itu. Dalam satu gebrakan tiga orang di antaranya jatuh terguling-guling kena sambaran kaki dan tangan orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu.
Kedua orang yang tersisa segera menyadari kemampuan diri mereka.
–Ampun Pangeran. Ampun. Kami minta ampun—kata mereka.
–Nah kalau kau minta ampun, cepat tinggalkan tempat ini dan jangan lagi berbuat seperti itu lagi di tempat ini atau tempat lainnya. Jika aku mendengar kalian berbuat lagi demikian, aku tidak segan-segan untuk membunuh kalian.—
–Terima kasih Pangeran. Kami mohon diri—
–Cepat tinggalkan tempat ini, sebelum aku mengubah pendirianku—kata orang yang mengaku Pangeran Ranapati itu.
Para pembeli makanan di kedai itupun kembali memasuki kedai. Mulai dari sanalah orang yang mengaku Pangeran Ranapati itu berkenalan dengan Mas Panji Wangsadrana dengan akrab. Setelah beberapa kali mengadakan pertemuan yang semakin akrab, orang yang mengaku bernama Pangeran Ranapati itupun kemudian mengusulkan kepada Mas Panji Wangsadrana untuk mengadakan adon-adon di Panaraga untuk memilih senapati untuk memperkuat pasukan Kadipaten Panaraga.
Kepada Mas Panji Wangsadrana, orang yang mengaku bernama Pangeran Ranapati itu menyatakan kalau Kadipaten Panaraga mengadakan adon-adon, ia menyatakan siap untuk turun ke gelanggang. Namun sebelum terpilih sebagai senapati dalam adon-adon, dengan pesan wanti-wanti orang yang mengaku sebagai Pangeran Ranapati tidak menyebutkan kepada siapapun bahwa dirinya bernama Pangeran Ranapati.
–Dalam adon-adon nanti sebut saja namaku Ki Laksana—kata orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati. Ia menjelaskan meskipun sejatinya ia seorang Pangeran, namun ia tidak diakui oleh Panembahan Senapati. Ia mengaku sebagai putera lembu peteng Panembahan Senapati, namun hidupnya terlunta-lunta karena harus menyepi di padepokannya di lereng Merapi. Orang yang mengaku bernama Pangeran Ranapati dan dalam adon-adon itu menyebut namanya Ki Laksana itu pun ternyata berhasil menyingkirkan semua lawan-lawannya. Bahkan Kangjeng Adipati Jayaraga sudah menetapkannya sebagai senapati terpilih dan memintanya tinggal dalam kompleks keraton Kadipaten Panaraga, sambil menunggu saatnya diwisuda dan wisma baginya selesai dibangun.
Ceritera yang diperoleh petugas Sandi itulah yang disampaikan oleh Sungkana dan Sumbaga kepada Glagah Putih. Secara beranting keterangan itu sudah disampaikan kepada Ranti melalui Aji Pameling.
–Bukankah namamu sebenarnya Karaba Bodas. Nah sekarang kau mau apa Karaba Bodas?—tanya Rara Wulan yang dalam penyamarannya itu bernama Ranti.
Ki Karaba Bodas yang mengaku bernama Pangeran Ranapati itu terperanjat dan menjadi pucat pasi mukanya.
–Siapa yang memberi tahumu?—tanya Ki Karaba Bodas.
–Bukankah namamu sebenarnya Karaba Bodas? Kau tidak bisa ingkar lagi , pangeran gadungan—tanya Ranti.
–Keterangan itu aku peroleh dari Ki Patih Mandaraka—kata Ranti.
–Bohong. Bohong—kata Ki Karaba Bodas.
–Kedokmu sudah terbuka Pangeran gadungan. Kau tidak bisa ingkar lagi Karaba Bodas. Petugas sandi dari Mataram sudah melacak keterangan dari ibumu di lereng Merapi, tak jauh dari padepokanmu—kata seorang laki-laki muda yang tiba-tiba muncul dari balik kegelapan pohon di sudut lain halaman itu. Laki-laki itu adalah Glagah Putih.
–Kami mendapat tugas dari Ki Patih untuk membayangi dan menangkapmu—kata Glagah Putih sambil menunjukkan timang sebagai pertanda petugas sandinya kepada Ki Karaba Bodas yang mengaku bernama Pangeran Ranapati dan juga mengaku sebagai putera lembu peteng dari Panembahan Senapati itu.
–Kau sudah menghancurkan jerih payahku membangun angan-anganku menjadi kenyataan. Gegayuhanku itu sudah hampir tercapai, tetapi kalian sudah menghancurkannya. Karena itu kalian harus ditumpas habis—kata Ki Karaba Bodas geram.
Tiba-tiba Ki Karaba Bodas tertawa terbahak-bahak. Mula-mula suaranya rendah, berputar-putar, bergaung dan semakin lama semakin menggeletar. Suara tertawanya semakin lama semakin mengguncangkan udara sekitarnya, dedaunan, ranting pohon. Bahkan dedaunan yang sudah menguning menjadi berguguran diterpa gelombang tertawanya.
–Aji Gelap Ngampar—desis Glagah Putih dan Rara Wulan hampir berbarengan.
Glagah Putih dan Rara Wulan yang sudah mempunyai kemampuan ilmu yang bertimbun dalam dirinya, terutama setelah mereka mendapat petunjuk yang aneh dari Kiai Namaskara dari alam tiada menjadi ada, dan menjalani laku Tapa Ngidang sebagaimana termuat dalam kitab yang ditemukannya, sama sekali tidak terguncang oleh Aji Gelap Ngampar itu.
Apalagi selama dalam perjalanan dari Mataram ke Panaraga, Glagah Putih dan Rara Wulan sudah mulai menjalani laku untuk mendapat ilmu kebal Tameng Waja sebagaimana petunjuk yang diberikan oleh Ki Patih Mandaraka sebelum mereka berangkat ke Panaraga. Karena dasar ilmu Glagah Putih yang sudah tinggi berkat bimbingan kakak sepupunya yang sekaligus gurunya Ki Rangga Agung Sedayu, kemudian dari Kiai Jayaraga yang merasa kecewa dengan keempat muridnya terdahulu karena mereka menjadi perompak di laut. Kiai Jayaraga serasa mendapat mutiara yang bersinar terang ketika mendapat kesempatan dari Ki Rangga Agung Sedayu yang mengijinkan Kiai Jayaraga menurunkan ilmunya kepada Glagah Putih.
Ilmu Glagah Putih kian bertimbun ketika dalam petualangannya dengan Raden Rangga memperdalam ilmunya dengan berbagai laku yang aneh dan berat di tepian kali yang berbatu dekat Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan di saat-saat terakhirnya sebelum meninggal, Raden Rangga sempat mewariskan ilmunya secara aneh kepada Glagah Putih melalui genggaman kedua tangan mereka yang berpegangan erat.
Namun akibat Aji Gelap Ngampar itu justru membentur dada para pengikut Ki Karaba Bodas yang mengaku bernama Pangeran Ranapati. Para pengikut Ki Karaba Bodas itu terguncang-guncang sambil menekan dadanya seakan-akan jantungnya terasa mau lepas dari pangkalnya.
Kantil yang diambil selir oleh Ki Karaba Bodas yang mengaku bernama Pangeran Ranapati dan kemudian dicampakkan seperti bunga yang layu, bahkan jatuh terkapar terkena guncangan Aji Gelap Ngampar. Begitu pula orang yang berambut ubanan.
Meskipun orang yang berambut ubanan itu merupakan pengikut yang tertua dan memiliki ilmu paling tinggi dibandingkan dengan pengikutnya yang lain dari Ki Karaba Bodas, orang yang berambut ubanan itu terguncang-guncang dibentur oleh kekuatan Aji Gelap Ngampar yang dilontarkan Ki Karaba Bodas.
Ki Karaba Bodas yang kecewa karena merasa kedoknya sudah terbongkar itu tidak peduli dan melampiaskan kekecewaannya melalui gelak tawanya yang dilambari Aji Gelap Ngampar. Sesungguhnya tertawa Ki Karaba Bodas itu tertawa yang pahit dan penuh dengan muatan rasa geram, kecewa, pedih dan marah bercampur menjadi satu. Ki Karaba Bodas tidak peduli bahwa justru serangannya itu mengguncang dada para pengikutnya.
Suara tertawanya semakin lama semakin tinggi dan lambaran ilmu yang mengiringinya pun semakin meningkat, sejalan dengan kepedihan hatinya.
Glagah Putih yang iba melihat kondisi Kantil yang terguncang akibat Aji Gelap Ngampar, tidak tega hatinya. Ia merogoh sakunya dan mengambil sebuah benda kecil dari dalamnya serta menempelkannya ke bibir. Segera saja terdengar suara yang rendah dari rinding yang memecah udara. Suara rinding yang rendah itu bergulung-gulung, menerkam, menindih dan akhirnya melibas suara yang dipantulkan tawa Ki Karaba Bodas yang dilontarkan dengan Aji Gelap Ngampar.
Suara rinding itu seolah-olah menari-nari di celah-celah suara tawa Ki Karaba Bodas yang masygul dan kecewa. Semakin lama suara rinding itu menindih, memutar dan menggulung suara tawa Ki Karaba Bodas. Akhirnya, karena tenaga dalam dan ilmu yang dimiliki oleh Glagah Putih lebih tinggi, maka suara rinding itu bisa melipat suara tawa Ki Karaba Bodas yang dilambari Aji Gelap Ngampar. Akhirnya suara tawa Ki Karaba Bodas itu terasa hampa, tidak bertenaga lagi.
–Anak setan, iblis, genderuwo—Ki Karaba Bodas akhirnya memaki-maki ketika suara tawanya sudah tidak menggetarkan udara dan tertekan habis oleh suara rinding itu.
–Nah kau mau apalagi—kata Glagah Putih sambil memasukkan rinding itu ke saku bajunya.
–Aku mau mengirimmu ke neraka, anak setan—kata Karaba.
–Neraka? Kau tahu pula neraka?—kata Glagah Putih.—Kalau kau tahu neraka yang gelap tapi panasnya mampu membakar jiwa-jiwa yang kotor, mengapa pula tingkahmu aneh-aneh dengan mengaku-aku sebagai putera lembu peteng Panembahan Senapati.—
–Kalian sudah merusakkan gegayuhanku yang kurancang bertahun-tahun. Kalian benar-benar telah memorakporandakan semuanya.—
–Majulah kalian berdua, biar cepat aku menghabisimu—kata Ki Karaba Bodas.
–Biarlah aku yang menyelesaikannya Rara. Kau awasi Kantil agar tidak diterkam oleh para pengikut KI Karaba Bodas yang mengaku Pangeran Ranapati ini—kata Glagah Putih kepada Rara Wulan.
–Baik kakang—
Glagah Putih pun mulai mempersiapkan diri menghadapi Ki Karaba Bodas yang mengaku bernama Pangeran Ranapati dan mengaku pula sebagai putera lembu peteng dari Panembahan Senapati.
Ki Karaba Bodas yang merasa terbongkar kedoknya mulai mengambil ancang-ancang. Sorot matanya yang licik dan culas itu mengawasi gerakan Glagah Putih. Mereka berputar saling mengincar kelemahan lawannya. Tak lama kemudian mereka segera terlibat dalam perkelahian yang sengit. Ki Karaba Bodas meloncat cepat lalu menendang ke arah dada sambil tangannya memukul ke arah kening dengan kecepatan yang sulit diikuti mata. Glagah Putih yang tidak ingin dada dan keningnya menjadi sasaran serangan Ki Karaba Bodas bergeser surut sambil merendahkan badannya.
Glagah Putih segera membalas serangan beruntun Ki Karaba Bodas itu dengan sisi telapak tangannya mengarah ke dagu. Dengan cekatan Ki Karaba Bodas yang tidak mau dagunya ditimpa sisi telapak tangan Glagah Putih menghindar. Ki Karaba Bodas tidak mau tulang dagunya retak tersambar tangan lawannya.
Demikianlah dalam waktu singkat terjadi pertarungan yang sangat seru. Silih berganti mereka menyerang dan menghindar. Ki Karaba Bodas pun semakin lama semakin meningkatkan serangannya dengan jurus-jurus olah kanuragannya yang sudah mapan. Namun setiap kali Ki Karaba Bodas meningkatkan tahapan ilmunya, Glagah Putih pun selalu mampu mengimbanginya. Semakin lama ilmu mereka semakin tinggi dan gerakan mereka semakin cepat.
Kantil dan para pengikut Ki Karaba Bodas yang selama ini mereka kenal sebagai Pangeran Ranapati itu, melihat kedua orang yang bertarung itu seperti dua bayangan yang saling melibat, saling berputar, bergulung-gulung. Karena demikian cepatnya gerakan kedua orang yang bertempur itu, Kantil dan pengikut Ki Karaba Bodas sudah tidak bisa membedakan mana Ki Karaba Bodas dan mana Glagah Putih.
Mereka bertarung dengan sengitnya. Saling serang dengan serunya. Glagah Putih pun semakin meningkatkan ilmunya setiap kali Ki Karaba Bodas menggapai tingkat ilmu yang lebih tinggi. Ki Karaba Bodas tiba-tiba melenting tinggi seperti belalang, lalu menyerang dengan tangan terkepal ke arah punggung. Glagah Putih merasa kesiur angin yang tajam menyambar punggungnya.
Secara spontan Glagah Putih mengikuti dorongan akibat pukulan yang tajam itu sambil berguling menghindar. Setelah tiga kali berguling, Glagah Putih melenting tinggi dan ketika kakinya mencapai permukaan tanah segera mengambil ancang-ancang. Glagah Putih pun mulai menerapkan ilmu meringankan tubuhnya serta mulai melapisi dirinya dengan ilmu Tameng Waja yang diperoleh petunjuknya dari Ki Patih Mandaraka.
Meskipun Ki Patih Mandaraka hanya memberi petunjuk secara garis besarnya saja, namun karena dasar-dasar ilmu Glagah Putih dan Rara Wulan yang sudah tinggi, maka tidak ada kesulitan bagi mereka untuk menerapkannya. Terlebih lagi ketika menjalani laku Tapa Ngidang setelah mereka mendapat kitab secara aneh dari Kiai Namaskara, ilmu Kebal Tameng Waja seolah-olah dengan mudahnya masuk dalam perbendaharaan ilmu mereka.
Kalau seseorang harus menjalani laku untuk meraih ilmu Kebal Tameng Waja secara khusus sampai berbilang ratusan hari, maka Glagah Putih dan Rara Wulan dapat mencapainya tidak sampai sepersepuluh waktu yang diperlukan itu.
Karena itu, dapat dipahami jika Ki Karaba Bodas yang sudah menerapkan puncak ilmunya, tidak dapat menyentuh kulit Glagah Putih.
Namun Glagah Putih yang belum pernah mempergunakan Aji Tameng Waja itupun merasa mendapat kesempatan untuk mengamalkan ilmunya dengan membenturkannya kepada Ki Karaba Bodas. Ketika Ki Karaba Bodas dengan serangan berganda menyerang kaki dan lambung Glagah Putih, maka Glagah Putih sengaja telah membenturnya. Ia tidak menghindar. Ki Karaba Bodas merasa kaki dan tangannya telah membentur sebuah gunung baja di depannya. Glagah Putih bergeming ketika benturan itu menerpanya.
–Ilmu Kebal Tameng Waja—desis Ki Karaba Bodas. –Meskipun kau memiliki Aji Tameng Waja, bukan berarti aku tidak dapat menembus ilmu kebalmu dengan Aji Gundala Geni, anak setan.—
–Memang tidak ada ilmu kebal yang tidak mempunyai kelemahan, Ki Karaba Bodas. Tetapi aku selalu memohon perlindungan dan petunjuk kepada Yang Maha Agung dalam setiap langkahku. Sehingga pada akhirnya Yang Maha Agung-lah yang menentukan apakah usaha kita memberantas kemungkaran akan direstui-Nya atau tidak.—
–Sebaik-baik perlindungan adalah berlindung kepada Yang Maha Agung. Aji Tameng Waja atau Gundala Geni hanya lantaran saja bagi kita dalam berbakti kepada-Nya.—
–Aku tidak memerlukan sesorahmu, anak setan—
Mereka pun kembali bertempur dengan dilambari Aji Tameng Waja, ilmu meringankan tubuh dan Aji Gundala Geni.
Ki Karaba Bodas pun mulai menerapkan Aji Gundala Geni. Pukulan-pukulannya menimbulkan hawa panas yang menyengat dan memanaskan udara di sekitarnya. Namun karena Glagah Putih baru merambah ke ilmu Kebal Tameng Waja, maka sengatan ilmu Gundala Geni itupun mulai menembus ilmu kebalnya yang baru mulai dibangunkannya pada tahap awal, meskipun ia telah meloncat pesat karena dukungan ilmu yang telah dimilikinya dan berbagai laku yang berat yang telah dijalaninya.
Karenanya, Glagah Putih pun mulai terdesak oleh ilmu Gundala Geni yang menimbulkan hawa panas di sekitar arena pertarungan kedua orang itu. Sementara itu, suara ayam yang berkokok untuk ketiga kalinya terdengar dari perkampungan.
–Hampir fajar—desis Ki Karaba Bodas.
Akibat ilmu Gundala Geni memang dahsyat. Gempuran-gempuran tangan dan kaki Karaba menimbulkan hawa panas yang terasa sampai jarak yang cukup jauh. Tanpa sadar Rara Wulan, Kantil dan pengikut Ki Karaba Bodas semakin menjauh dari arena, karena mereka tidak tahan kena panasnya. Meskipun semakin menjauh, Rara Wulan tetap tidak meninggalkan kewaspadaannya. Karena bisa saja orang yang rambutnya beruban itu atau pengikut Ki Karaba Bodas yang lain, tiba-tiba menyergap Rara Wulan atau Kantil.
Pada akhirnya Glagah Putih mulai merasa pengap akibat panas yang ditimbulkan oleh aji Gundala Geni. Namun Glagah Putih adalah selain murid Ki Rangga Agung Sedayu, adalah juga murid dari Kiai Jayaraga yang menguasai inti ilmu yang menyerap kekuatan unsur api, air, angin dan bumi. Untuk mengatasi Aji Gundala Geni, Glagah Putih mulai menyerap inti kekuatan air. Air sendiri bersifat mengikuti keinginan penggunanya. Jika penggunanya menginginkan panas, maka panaslah jadinya, namun jika penggunanya menginginkan dingin sedingin udara di musim bediding, maka dinginlah jadinya.
Karena Ki Karaba Bodas menyerap inti kekuatan udara panas dengan Aji Gundala Geni, maka Glagah Putih mengambil sifat yang sebaliknya. Dingin. Perlahan-lahan pengaruh udara panas yang dilontarkan Ki Karaba Bodas berkurang panasnya. Lama kelamaan, udara panas itu menjadi hambar dan bahkan mulai terasa dingin. Kembali Ki Karaba Bodas mengumpat-umpat.
Ki Karaba Bodas sudah mulai terkuras tenaganya. Karena untuk mengerahkan ilmu puncaknya Aji Gundala Geni, Ki Karaba Bodas harus memeras tenaga dan keringatnya. Ki Karaba Bodas tidak mau kehabisan tenaga sebelum berhasil menyelesaikan perlawanan musuhnya.
–Aku harus menggunakan Aji Cakra Birawa—katanya dalam hati.
Ketika Glagah Putih menyerang dengan kaki kanan disusul dengan tangan kanan mengarah ke dahi, Ki Karaba Bodas melenting beberapa langkah surut. Kesempatan yang sesaat itu dipergunakan oleh Ki Karaba Bodas untuk membangkitkan ilmunya yang lebih dahsyat. Aji Cakra Birawa.
Ki Karaba Bodas menyilangkan kedua tangannya di depan dada, lalu menakupkan tangannya itu dan menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya sambil memusatkan nalar budinya. Sekejap kemudian telapak tangannya segera mengeluarkan asap berwarna hijau kemerah-merahan.
–Aji Cakrabirawa—desis Glagah Putih. Memang gurunya Kiai Jayaraga membekalinya dengan pengetahuan tentang ciri-ciri berbagai ilmu-ilmu pamungkas yang dahsyat di tanah ini.
Kiai Jayaraga yang disegani kawan dan lawan dalam dunia olah kanuragan telah menjelajahi dari pesisir utara sampai pesisir selatan, bahkan sampai Bang Wetan dan Bang Kulon. Aji Cakrabirawa sebenarnya merupakan pengembangan dari Aji Sasra Birawa yang sudah sangat jarang, dan justru berkembang pada zaman Demak lama.
Ilmu itu adalah senjata andalan yang dipergunakan oleh seorang abdi keraton Demak, Mahesa Jenar, yang mendapat tugas dari Sultan Demak untuk mencari dua senjata sipat kandel yang dianggap sebagai sarang wahyu keraton yang hilang dari gedung perbendaharaan senjata. Kiai Nagasasra dan Kiai Sabuk Inten.
Dengan berbekal ilmu pamungkas itulah Mahesa Jenar dapat menyelesaikan tugasnya itu. Namun seiring dengan perputaran zaman, ilmu itu semakin jarang dipergunakan. Namun pada saat-saat terakhir, ternyata ilmu pamungkas yang dahsyat itu jatuh ke kalangan dunia olah kanuragan yang hidupnya buram. Termasuk Ki Karaba Bodas. Karena sudah berubah dari bentuk asalnya, kemudian ilmu itu disebut Aji Cakrabirawa.
Aji Cakrabirawa sendiri sebenarnya merupakan penghalusan dari Aji Sasra Birawa yang menjadi andalan Mahesa Jenar dan dipadukan dengan ilmu yang dimiliki oleh tokoh pewayangan Prabu Drestarata. Prabu Drestarata adalah Raja Negeri Hastina Pura yang menurunkan Korawa. Ketika Korawa yang keturunan Prabu Drestarata tumpas tapis oleh Satria Pandawa keturunan Raden Pandu, maka pada saatnya Satria Pandawa Lima yang terdiri dari Raden Yudistira, Raden Bima, Raden Arjuna dan Raden Nakula serta Raden Sahadewa, menghadap kepada Prabu Drestarata meminta agar kekuasaan atas Negeri Hastina Pura diserahkan kepada Pandawa Lima.
Sebelum penyerahan Negeri Hastina Pura, dengan dituntun oleh abdinya Prabu Drestarata meminta bersalaman terlebih dahulu dengan Pandawa Lima. Ketika bersalaman dengan Raden Yudistira, Prabu Drestarata tidak mempunyai dendam barang secuil pun, karena Raden Yudistira dalam Perang Bharata Yudha tidak turun ke medan perang di Kurusetra. Raden Yudistira dengan demikian tidak membunuh seorang pun dari seratus orang Korawa yang adalah putera dari Raja Drestarata.
Namun ketika abdinya mengatakan bahwa yang bersalaman berikutnya adalah Raden Bima, timbullah amarahnya. Karena dalam Perang Bharata Yudha, Raden Bima lah yang membunuh anak sulungnya bernama Duryudana di Kurusetra. Padahal kalau perang selesai dan Pandawa Lima bisa dikalahkan, maka Duryudana adalah calon ahli waris yang akan menjadi raja di Hastina Pura sesuai dengan rencana Prabu Drestarata. Tetapi yang terjadi adalah sebaliknya. Seratus orang Korawa bisa dibabat habis oleh Pandawa yang hanya lima orang saja. Karena itu bisa dimaklumi betapa dendam Prabu Drestarata yang menderita tunanetra seja kecilnya itu menjadi dendam setinggi gunung, terutama kepada Raden Bimasena.
Ketika dituntun mendekati Raden Bima, Prabu Drestarata yang sejak kecil tunanetra itu menggosok-gosokkan tangannya. Dari kedua tangannya mengepul asap tipis dan tangan itu mulai kelihatan merah membara. Raden Bima yang sudah siap bersalaman dengan Prabu Drestarata terkejut melihat tangan Sang Prabu. Raden Bima pun melangkah surut. Karena kebetulan di sebelah Raden Bima berdiri terdapat sebuah patung Dwarapala yang besar setinggi Raden Bima sendiri, maka patung Dwarapala yang memegang gada itu hancur berkeping-keping menjadi debu ketika tersentuh tangannya.
Glagah Putih yang menyadari betapa berbahayanya Aji Cakrabirawa, sempat terhenyak sesaat. Tetapi Glagah Putih tidak mau terlambat. Segera saja Glagah Putih memusatkan nalar budinya untuk membangkitkan Aji Namaskara. Glagah putih tidak mau mengambil risiko untuk menghadapi Aji Cakrabirawa dengan Aji Sigar Bumi. Apalagi Glagah Putih tidak tahu secara pasti ketinggian ilmu Ki Karaba Bodas, maka dalam waktu yang sekejap ia membangkitkan Aji Namaskara.
Ketika dalam waktu yang sekejap itu dari tangan Ki Karaba Bodas meloncat seleret cahaya hijau kemerah-merahan, dalam waktu yang hampir bersamaan dari tangan Glagah Putih juga meluncur seberkas cahaya putih kebiru-biruan seperti tatit menyambar di langit.
Akibatnya sungguh hebat. Terdengar ledakan hebat, disusul guncangan dahsyat. Sanggar Ki Karaba Bodas yang berjarak beberapa depa dari kedua orang yang bertarung itu berguncang. Atap genteng yang bertengger di atas rangka atap berguguran dan jatuh berantakan seperti dilanda gempa. Sementara itu atap regol yang terbuat dari sirap mengepulkan asap dan ternyata terbakar akibat tersambar benturan kedua ilmu yang nggegirisi itu.
Untunglah Rara Wulan, Kantil dan para pengikut Ki Karaba Bodas sudah semakin menjauh dari arena pertarungan akibat panas yang timbul dari Aji Gundala Geni, sehingga tidak terlalu terpengaruh akibat guncangan itu. Namun betapapun, pengaruh yang sedikit itu telah menggoyang posisi mereka. Mereka semua kecuali Rara Wulan, terdorong jatuh ke tanah akibat guncangan bak gempa itu. Mereka terbatuk-batuk karena menghirup debu yang menghambur akibat benturan kedua aji pamungkas itu.
Namun yang paling merasakan akibat benturan ilmu itu adalah mereka berdua. Glagah Putih dan Ki Karaba Bodas. Glagah Putih terdorong surut tiga langkah dan hampir jatuh terkapar ke belakang. Namun untunglah Glagah Putih mempunyai ketahanan tubuh yang luar biasa dan tenaga dalam yang selapis lebih tinggi dari lawannya. Sehingga tidak membuatnya jatuh terbanting. Glagah Putih segera duduk bersila dan memusatkan nalar budinya untuk memperbaiki jalan pernapasan dan memperbaiki bagian dalam tubuhnya yang terguncang akibat benturan ilmu itu. Perlahan-lahan hawa murni yang dihirup dari hidung, mengalir melalui tenggorokan, menjalar ke perut dan terkumpul sedikit di bawah perut. Hawa hangat itu kemudian bergerak ke jantung dan mengalir ke seluruh bagian-bagian tubuh. Hawa hangat itu segera membenahi segenap bagian renik tubuh yang rusak akibat benturan itu.
Rara Wulan segera berlari mendekati Glagah Putih yang dalam kondisi lemah setelah terjadi benturan itu. Ia ingin melindungi Glagah Putih. Karena kondisi Glagah Putih yang lemah dan sedang memusatkan nalar budinya untuk memulihkan kondisi dari luka dalam yang dideritanya, sangat rawan terhadap serangan dari pengikut Ki Karaba Bodas yang setia. Kantil yang merasa mendapat perlindungan Rara Wulan dari tindakan pengikut Ki Karaba Bodas yang hendak melecehkannya, segera pula berlari mendekati Glagah Putih.
Akibat benturan yang agak parah dirasakan oleh Ki Karaba Bodas. Karena tenaga dalamnya selapis sedikit di bawah tenaga dalam dan ilmu Glagah Putih, maka ia mendapat dorongan yang lebih keras daripada yang dirasakan oleh Glagah Putih. Tubuhnya terdorong surut lima langkah lalu terguling-guling pula beberapa kali. Namun daya tahan Ki Karaba Bodas sungguh luar biasa. Meskipun mendapat guncangan yang demikian keras, Ki Karaba Bodas masih bisa bergerak bangun.
Perlahan dengan bertelekan pada kedua tangannya Ki Karaba Bodas akhirnya bisa duduk bersila dan memusatkan nalar budinya seperti dilakukan oleh Glagah Putih. Beberapa saat ia bersidakep menghirup hawa segar dari hidungnya lalu menyalurkannya ke jantung, ke paru-paru, kemudian ke seluruh organ tubuhnya. Namun Ki Karaba Bodas yang melihat kedahsyatan Aji Namaskara menjadi gentar. Hatinya tergetar. Ia melihat kenyataan bahwa ilmunya selapis tipis berada di bawah ilmu Glagah Putih. Karena itu, konsentrasinya terpecah dan pada akhirnya buyar.
Apalagi Rara Wulan yang dikenalnya sebagai Ranti yang mempunyai ilmu yang juga sangat tinggi masih utuh kondisinya. Ki Karaba Bodas tidak mau ditangkap, dibawa ke Mataram dan dimasukkan ke penjara atau dijadikan pengewan-ewan.
Sebelum pulih benar, Ki Karaba Bodas sudah menghentikan pemusatan nalar budinya, meskipun dari sela-sela bibirnya mengalir cairan merah kental. Darah. Tiba-tiba Ki Karaba Bodas bersuit nyaring.
Tiga pengikutnya yang setia dipimpin orang yang berambut ubanan segera paham maksudnya. Sejenak mereka menghambur menuju Ki Karaba Bodas, mengangkatnya berdiri lalu memapahnya pergi. Rara Wulan dan Kantil termangu-mangu. Rara Wulan tidak dapat meninggalkan Kantil dan Glagah Putih yang berada dalam kondisi lemah.
–Pangeran. Pangeran—Teriak Kantil.
–Ssst dia bukan Pangeran. Dia Pangeran Gadungan—kata Rara Wulan.
–Tapi aku bagaimana? Orang tuaku tahunya aku diambil oleh Pangeran.—lirih Kantil.
–Sudahlah. Lupakan saja Pangeran Gadungan itu. Nanti kami antarkan kau pulang dan kami akan jelaskan kepada kedua orang tuamu.
–Kalau aku mengandung bagaimana?—kata Kantil lagi dengan nada cemas.
–Nanti kedua orang tuamu dan bebahu kedemangan dan pedukuhan tentu bisa mencarikan jalan keluar bagimu—kata Rara Wulan.
Rara Wulan teringat kepada seorang gadis yang juga menjadi korban Ki Karaba Bodas yang mengaku bernama Pangeran Ranapati ketika mereka dalam perjalanan menuju Panaraga. Gadis yang malang itu juga ditinggalkan begitu saja oleh Ki Karaba Bodas, seperti tebu yang habis manisnya dan tinggal ampasnya.
Rupanya pengikut Ki Karaba Bodas terbelah pendapatnya. Hanya pengikut setianya yang tiga orang saja yang mengikuti pemimpin mereka, sedangkan sisanya tetap berada di tempat itu.
Glagah Putih dan Rara Wulan lalu memerintahkan kepada mereka yang tetap tinggal di sanggar itu untuk menyelenggarakan mayat seorang kawannya yang tinggi besar akibat lambungnya kena belati panjang, sedangkan yang terluka ringan dan parah segera dipanggilkan tabib yang baik yang ada di kedemangan itu.
Glagah Putih dan Rara Wulan juga memerintahkan bahwa jika mereka telah sembuh dari lukanya untuk segera kembali ke kampung asalnya dan menghentikan kegiatan yang selama ini merugikan orang lain.
–Lebih baik kalian makan dari hasil keringat sendiri daripada mencuri, menyamun atau merampok hak milik orang lain—kata Rara Wulan.
–Tetapi kami tidak punya sawah di kampung—
–Kalau kalian berniat insyaf, tentu bebahu kedemangan dengan sukacita bersedia memberikan beberapa petak lahan hutan dekat kampung kalian untuk digarap menjadi sawah atau ladang yang mencukupi untuk keperluan keluarga kalian—kata Glagah Putih.
Ternyata pendapat Glagah Putih telah membuka cakrawala pikiran mereka untuk bisa mendapat nafkah dari rezeki yang mendapat restu-Nya. –Kami akan kembali ke kampung halaman kami untuk mulai ikut membangun tempat kelahiran.—
Para bekas pencuri, perampok dan penyamun yang bergabung dengan Ki Karaba Bodas yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itupun seakan mendapat secercah cahaya terang ke dalam pikiran mereka.
–Walaupun hasilnya tidak sebanyak yang kami peroleh dari mencuri, menyamun atau merampok, tetapi rasanya akan menjadi darah daging yang baik bagi anak-istri di rumah.—
Setelah memberikan berbagai petunjuk kepada bekas pencuri, penyamun dan perampok itu, meskipun mereka lebih tua daripada Glagah Putih dan Rara Wulan, maka suami istri itu bersama Kantil pergi ke rumah gadis itu yang tidak jauh dari sanggar Ki Karaba Bodas.
Mereka melintasi beberapa bulak dan gumuk kecil serta padang perdu yang tidak begitu luas. Setelah itu di depan pandangan mereka terhampar sawah luas yang menghijau. Di balik hamparan sawah itu terdapat sekelompok pepohonan kayu keras seperti jati, meranti, gamal dan sengon lainnya itulah terdapat kedemangan tempat Kantil tinggal.
Ketika mentari sudah sepenggalah mereka memasuki bulak persawahan dan bertemu dengan beberapa tetangganya yang hendak ke sawah untuk sekedar melihat apakah aliran air berjalan wajar menuju petak sawah mereka yang sebentar lagi bunting. Bahkan seorang petani yang tinggal tidak jauh dari rumah Kantil, sempat terkejut melihat Kantil muncul di pedukuhannya setelah sebelumnya sempat dibawa pergi oleh seorang Pangeran. Tetangganya itupun berbalik arah dan mengantarkan Kantil ke rumahnya.
Mereka lalu melintasi jalan utama, berbelok ke kanan masuk ke jalan yang lebih sempit dan di tengah jalan yang lebih sempit itulah rumah Kantil. Rumah Kantil yang berhalaman tidak begitu luas itu terlihat bersih meskipun tidak begitu baik. Namun pekarangannya terlihat asri dan ditanami berbagai tanaman bunga dan daun perdu berwarna-warni.
Kantil, Rara Wulan dan Glagah Putih memasuki regol dan melintasi halaman depan yang tidak begitu luas itu. Rumah itu kelihatan sepi dan tidak ada terlihat seorang pun. Mereka lalu naik ke pendapa.
Kantil mendekati pintu peringgitan, lalu mengetuknya.
–Ibu. Ibu. Bapak. Bapak—katanya berteriak memanggil.
Di dalam peringgitan terdengar langkah mendekati pintu.
–Siapa? Kaukah itu ngger?—terdengar suara seorang wanita dengan nada serak dari dalam sambil terbatuk-batuk.
Pintu itu selaraknya dibuka dari dalam dan daun pintu pun terbuka.
–Kantil. Kaukah itu Kantil—kata wanita yang keluar dari pintu sambil menggeser mendekatinya dengan perlahan-lahan.
–Ibu. Ini aku Ibu–kata Kantil sambil menghambur memeluk kaki ibunya.
Ibunya yang terbatuk-batuk itu berusaha mengangkat Kantil agar berdiri, lalu dipeluknya erat-erat. Tangis mereka memecah ketenangan pagi hari itu. Mereka menangis sesenggukan.
–Maafkan Kantil, Ibu—kata Kantil. Sesaat kemudian dari dalam rumah muncul seorang lelaki tua yang juga kurus. Orang itu adalah ayah Kantil.
–Kenapa kau kembali—kata lelaki tua itu. –Bukankah hidupmu sudah senang dengan menjadi istri Pangeran itu?—
–Ampun ayah. Kantil minta ampun.—
–Kenapa kau minta ampun? Hidupmu sudah mukti dengan menjadi istri Pangeran itu. Kenapa pula kau kembali ke gubug reyot ini.—kata ayah Kantil dengan nada tajam.
–Ampunilah Kantil ayah—
–Kau sejak kecil kutimang-timang, kukudang-kudang agar menjadi orang yang berbakti kepada orang tua, ternyata telah membuat malu aku Kantil. Sejak pandangan pertama, perasaan hatiku sudah tidak ikhlas kau diperistri oleh orang yang mengaku Pangeran itu. Apakah ia memang benar seorang Pangeran?—
–Tidak ayah. Ternyata dia bukan seorang Pangeran. Dia Pangeran gadungan.–
–Ternyata kata hati pertamaku tidak bisa dibohongi. Kau jangan hanya silau dengan bentuk-bentuk kewadagan dari luar saja. Ibarat buah mangga, dari luar kelihatan cantik, manis, tapi isinya busuk dan bisa menyakiti perutmu. Tapi buah Manggis yang hitam, mempunyai isi yang putih dan rasanya manis.—
–Iya Kantil telah mengaku bersalah ayah. Maafkan Kantil.—
–Nasi sudah menjadi bubur, sekarang baru kau menyesal—kata ayahnya.
–Sudahlah ayah. Yang penting bukankah Kantil sudah kembali dengan selamat dan kita bisa berkumpul kembali.—
–Iya Kantil selamat, tapi ia sudah mempermalukan kita di mata calon besan kita. Ki Waranggana sebelumnya telah setuju untuk mengawinkan Kantil dengan anak sulungnya, tapi kau pergi begitu saja dengan Pangeran itu. Mau ditaruh di mana mukaku. Ha?—
–Ayah dan Ibu, kenalkan ini Ranti dan Wira yang menyelamatkan aku dari cengkeraman orang yang mengaku bernama Pangeran Ranapati itu.—
–Mengaku katamu? Jadi orang itu hanya mengaku-aku bernama Pangeran, kau lalu percaya begitu saja? Ha.—
–Maaf Kisanak, aku Wira dan ini istriku Ranti, memang benar kami yang menyelamatkan Kantil dari cengkeraman orang yang mengaku Pangeran Ranapati, padahal namanya yang sebenarnya adalah Ki Karaba Bodas.—
–Sekarang kau mau apa?—
–Maaf Kisanak, kami hanya mengantarkan Kantil pulang. Jika tidak ada keperluan lain tentu kami minta diri.—
–Apakah semudah itu kalian melepaskan diri atas tanggung jawab kalian?—
–Tanggung jawab? Tanggung jawab apa? Bukan kami yang melarikan Kantil, kenapa pula kami harus bertanggung jawab? Kalau Pengeran itu ada di sini, Kisanak bisa minta pertanggungjawabannya. Kalau Kisanak minta pertanggungjawaban kami, Kisanak aneh.—
–Ayah ini aneh. Kenapa pula ayah meminta pertanggungjawaban angger berdua yang sudah menolong anak kami—kata Nyi Palagan kepada suaminya.
Ayah Kantil itu pun tiba-tiba menyadari segala kesalahannya. Alih-alih kedua suami istri itu telah menolong anaknya, ia dan keluarganya bukannya ia berterima kasih kepada mereka justru meminta pertanggungjawabannya.
–Maafkan aku ngger. Aku hanya terbawa arus perasaanku saja, tanpa memajukan nalarku.—
–Tidak apa-apa Kisanak. Memang seseorang bisa saja khilaf karena mengikuti arus perasaan saja. Apalagi jika menyangkut anak yang semata wayang. Yang penting Kantil telah kembali dengan selamat dan kini kita carikan jalan pemecahannya, agar hidupnya tidak menjadi kelara-lara.—
–Terima kasih ngger. Panggil saja aku Palagan. Namaku Palagan. Aku memang selama ini terlalu memanjakan Kantil, sehingga ia bisa berbuat semaunya tanpa dapat terkendali.—
–Baik Ki Palagan. Jika Ki Palagan tidak berkeberatan, ada baiknya Ki Palagan memanggil calon besan Ki Palagan yang bernama Ki Waranggana itu kemari bersama anaknya, agar bisa dicarikan jalan penyelesaian yang sebaik-baiknya bagi masa depan Kantil ini. Apakah anak Ki Waranggana yang sebenarnya calon suami Kantil itu sudah menikah setelah ditinggalkan Kantil?—
–Belum. Belum ngger. Anak Ki Waranggana yang bernama Werda sudah berniat untuk tidak menikah jika tidak dengan Kantil.—
–Jika demikian, cobalah panggil Ki Waranggana dan anaknya yang bernama Werda itu kemari. Siapa tahu mereka masih bisa direkatkan kembali.—
–Biarlah aku yang memanggil Ki Waranggana dan anaknya itu kemari—kata tetangga Kantil yang bertemu di bulak persawahan dan ikut naik ke pendapa.—
–Maafkan kami tuan rumah yang deksura ini ngger. Silakan kalian duduk di atas pendapa itu. Nyi, sediakanlah hidangan bagi kedua tamu kita ini.—
Nyi Palagan bersama Kantil kemudian masuk ke dapur untuk menyediakan makanan dan minuman seadanya bagi kedua tamunya. Ki Palagan yang sudah mulai turun arus perasaannya yang tadi sempat memuncak, mulai bertanya-tanya kepada Glagah Putih dan Rara Wulan yang dalam pengembaraannya bernama Wira dan Ranti.
–Dari manakah angger berdua ini?—
–Kami dari Jati Anom, Ki Palagan. Kami sedang dalam pengembaraan mengikuti ke mana arah kaki kami membawa kami berjalan. Kini kami sampai di Kadipaten Panaraga dan akhirnya sampai di Pedukuhan ini. Apakah nama Pedukuhan ini.—
–Pedukuhan kami ini bernama Pedukuhan Sawo Jajar. Pedukuhan ini disebut demikian karena di sepanjang jalan pedukuhan kami ditanami pohon sawo yang berjajar di kiri kanan jalan. Jika sedang musim berbuah, kami bisa menikmati buah sawo itu. Sayang sekali sekarang sedang tidak banyak buahnya. Meskipun demikian, pohon sawo adalah pohon yang berbuah tidak mengenal musim. Boleh dibilang buahnya hadir tidak ada hentinya. Memang yang ditanam oleh Ki Buyut Sawo Jajar adalah jenis sawo unggul, sehingga berbuah terus menerus.—
Pembicaraan mereka pun terhenti sejenak ketika Kantil keluar menyuguhkan makanan dan minuman kepada mereka. Bahkan di sebelah piring makanan ringan itu terdapat pula piring lainnya yang berisi buah sawo yang besar-besar dan nampaknya sudah masak.
–Marilah ngger kita nikmati hidangan ala kadarnya ini.—
–Terima kasih Ki Palagan.—
Ternyata buah sawo yang dihasilkan dari pinggir jalan itu memang manis. Ki Palagan menceriterakan bahwa jika musim panen sawo itu mencapai puncaknya, mereka bisa mengirim buah sawo itu ke berbagai pasar di Kadipaten Panaraga. Sehingga warga bisa mendapat penghasilan tambahan dari buah sawo itu. Setiap warga Kadipaten Panaraga mengetahui bahwa jika banyak terdapat buah sawo di pasar-pasar yang ada di wilayah itu, tentu merupakan hasil tanaman dari Pedukuhan Sawo Jajar. Warga Pedukuhan Sawo Jajar ternyata termasuk penduduk yang rajin. Setiap kali ada pohon sawo yang tua dan sudah tidak lebat lagi buahnya, maka mereka menyelipkan pohon yang baru. Dengan demikian pohon sawo itu tetap berbuah di sepanjang musim.
Pepohonan sawo yang berdaun lebat itu juga bisa menjadi tempat berteduh bagi orang yang melintas di siang hari, sehingga mereka tidak menjadi kepanasan disengat sinar matahari.
Pada waktu bulan purnama membelah langit di ufuk timur, anak-anak remaja pun bermain sembunyi-sembunyian di balik pohon-pohon sawo itu.
Dalam pada itu, tak berapa lama kemudian tetangga Ki Palagan yang menjemput Ki Waranggana, telah datang bersama Ki Waranggana, Nyi Waranggana dan anaknya Werda.
Sebenarnyalah Ki Waranggana itu adalah sahabat Ki Palagan, oleh karena itu ia ingin mempererat hubungan persahabatan itu menjadi hubungan kekerabatan.
–Mari. Mari silakan naik Kakang Waranggana.—
–Terima kasih adi.—
Ki Waranggana, Nyi Waranggana dan Werda pun duduk melingkar di atas tikar pandan yang berwarna putih halus itu bersama Ki Palagan, Glagah Putih, Rara Wulan dan tetangganya. Werda nampak menundukkan kepala. Nyi Palagan yang mendengar suara tamunya yang bertambah, segera menyiapkan makanan dan minuman tambahan serta buah sawo. Kantil-lah yang bertugas membawanya ke pendapa. Kantil tersirap darahnya ketika matanya bertatapan dengan Werda. Keduanya lalu menundukkan kepalanya dalam-dalam. Setelah menghidangkan suguhan untuk tamunya, Kantil pun beringsut ke ruang dalam.
Kemudian Ki Palagan pun mulai menceriterakan segala yang terjadi menyangkut anaknya Kantil kepada Ki Waranggana sekeluarga. Karena Ki Waranggana memang sahabat Ki Palagan, mereka sekeluarga meskipun kecewa namun dapat mengerti apa yang telah terjadi. Namun mereka sekeluarga telah berketetapan hati untuk meneruskan hubungan persahabatan mereka bahkan meningkatkannya menjadi hubungan kekerabatan. Terlebih lagi bagi Werda yang sejak kecil sudah mengenal Kantil, tidak mudah baginya untuk melupakan Kantil apalagi untuk meninggalkannya.
–Jika demikian kita carikan saja saat yang tepat bagi mereka untuk meningkatkan hubungan yang telah terjalin selama ini—ujar Ki Waranggana. Ki Waranggana pun tidak ingin karena noda yang setitik itu, anaknya menjadi patah hati dan tidak mau menjalin kehidupan berumah tangga. Namun Ki Waranggana yang bijaksana itu pun telah meminta kepada anaknya Werda untuk bisa menerima Kantil apa adanya. Agar jangan sampai di kemudian hari mereka menjadi bertengkar karena mengenangkan masa lalu Kantil yang ternoda.
–Werda, kau harus bisa menerima Kantil apa adanya. Jangan sampai karena suatu masalah yang kecil lalu kau bangkit-bangkitkan masa lalu Kantil.—
–Baik ayah.—
Demikianlah setelah tercapai kesepakatan di antara kedua keluarga yang bersahabat itu, Glagah Putih dan Rara Wulan pun meminta pamit kepada Ki Waranggana sekeluarga dan Ki Palagan sekeluarga serta kepada tetangganya yang menjemput Ki Waranggana tadi.
–Kenapa kalian tidak bermalam di sini saja ngger. Hari sudah mulai senja. Tentu kalian akan sulit mencari penginapan jika malam sudah turun.—
–Terima kasih Ki Palagan, Ki Waranggana. Kami adalah pengembara yang sekadar mengikuti arah kaki kami berjalan. Tentu bukan masalah di mana kami harus bermalam. Kami mohon diri—
–Jika demikian baiklah kalian makan malam dulu di sini. Nanti setelah makan tentu kalian akan mengantuk karena perut sudah penuh. Nah jika demikian tentu kalian tidak berkeberatan lagi untuk bermalam di sini.—
Glagah Putih dan Rara Wulan pun tertawa bersama. Begitu pula keluarga Ki Waranggana dan Ki Palagan.
–Baik. Baik. Jika demikian tentu tidak ada lagi keberatan kami. Makan enak, tidurpun nyenyak.—
Nyi Palagan dengan dibantu Nyi Waranggana dan beberapa tetangganya pun segera sibuk di dapur. Beberapa ekor ayam yang berada di kandang pun segera ditangkap dan suaranya berkeok-keok ketika disembelih.
Sementara itu Werda pun sempat bertemu dengan Kantil di longkangan, di bawah sebatang pohon sawo yang berbuah lebat.
–Maafkan aku kakang—kata Kantil sambil terisak-isak.
–Sudahlah Kantil. Kita lupakan masa yang buram itu. Kita mulai melangkah dengan langkah yang baru. Semoga kita bisa merajut bahtera rumah tangga yang sejak lama kita impi-impikan.—
–Terima kasih kakang.—kata Kantil. Dalam hatinya ia berjanji untuk mengabdikan dirinya bagi calon suaminya yang sempat dikhianatinya itu. Untunglah ia sempat diselamatkan oleh suami istri pengembara itu.
Sementara menunggu hidangan itu matang, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun bergantian ke pakiwan untuk mandi. Mereka bersalin baju dengan pakaian yang mereka bawa, sehingga mereka bisa menjadi segar kembali setelah tubuh mereka diguyur air padesan yang terasa sejuk. Malam itu, mereka berdua ternyata memang harus menginap di rumah Ki Palagan. Keesokan harinya, sebelum fajar mereka telah ke pakiwan untuk mandi dan mengambil air sesuci. Setelah menunaikan kewajibannya kepada Yang Maha Agung, mereka pun berpamitan kembali kepada keluarga Ki Palagan dan keluarga Ki Waranggana yang juga bermalam di rumah itu.
–Pagi-pagi benar kalian sudah siap—kata Ki Palagan dan Ki Waranggana.
–Iya Ki Palagan dan Ki Waranggana. Kalau kemarin kami tertahan oleh ayam yang disembelih, maka kini kami tidak bisa dihalangi lagi—kata Glagah Putih sambil tertawa.
–Haha…Di kandang kami masih banyak ayam yang siap disembelih—kata Ki Palagan yang tertawa diikuti oleh Ki Waranggana dan Werda yang juga tertawa.
–Haha…Kalau demikian kami menyerah. Biarlah ayam-ayam itu bisa menjadi persiapan jika upacara untuk Werda dan Kantil jadi terlaksana.—
–Baiklah. Tapi sebelum kalian berangkat kalian sarapan dulu. Ayam yang kemarin masih tersisa banyak dan sudah dihangatkan, sehingga cukup untuk kita sarapan bersama.—
Demikianlah, setelah mereka sarapan Glagah Putih dan Rara Wulan sekali lagi berpamitan kepada kedua keluarga itu. Sebelum berangkat Rara Wulan sempat menyelipkan beberapa keping uang perak kepada Nyi Palagan.
–Terimalah ini Nyi. Mungkin nanti diperlukan pada saat acara kedua anak muda itu ke pelaminan.—
–Aduh. Aduh. Apa pula ini. Terima kasih. Terima kasih.—kata Nyi Palagan sambil memasukkan beberapa keping uang perak itu ke dalam lipatan stagennya.
Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian berjalan kembali menuju ke pusat kota Kadipaten Panaraga. Perjalanan mereka tidak terasa panas, karena terlindung oleh jajaran pohon sawo yang berdaun lebat dan berbuah banyak.
Glagah Putih dan Rara Wulan memang melihat bahwa pohon sawo yang berjajar itu, daunnya hampir bergabung satu pohon dengan pohon lainnya. Di sela-sela dedaunan mereka melihat burung-burung pemakan buah bertengger di dahan yang berbuah lebat. Ketika melintas di bawah pohon, mereka sempat terkejut karena seekor tupai yang sedang memakan buah sawo yang masak di pohon meloncat dan menerjang sederet kelelawar yang bergelayutan dengan kepala terbalik. Kelelawar yang kekenyangan makan buah sawo semalaman, itu pun beterbangan dibangunkan oleh tupai yang meloncat tadi. Namun kelelawar itupun menjadi silau ketika mereka terbang keluar dari kerimbunan pohon sawo yang berjajar sepanjang jalan.
Dalam pada itu, Ki Karaba Bodas yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu, yang dalam keadaan terluka melarikan diri dari hadapan Glagah Putih dan dipapah oleh ketiga pengikut setianya. Mereka pun pergi ke rumah seorang pengikut Ki Karaba Bodas yang tidak jauh dari pusat Kadipaten Panaraga. Begitu sampai di rumah pengikutnya itu, orang yang berambut ubanan segera menggedor pintu peringgitan.
Sementara itu Ki Karaba Bodas yang masih dalam keadaan lemah karena luka dalamnya belum pulih, segera dituntun ke atas tikar di pendapa. Setelah duduk kembali Ki Karaba Bodas menyilangkan kedua tangannya di depan dadanya, sambil memusatkan nalar budinya untuk memulihkan diri dari luka dalam yang dialaminya.
Tidak lama terdengar selarak pintu dibuka dan dari balik pintu keluar seorang laki-laki gundul, perut buncit, berkumis. Dia keluar sambil mengucak-ucak matanya yang masih silau karena baru terbangun dari tidur.
–Sesiang begini kau masih tertidur, pemalas—kata orang yang berambut ubanan itu.
Ketika matanya sudah melihat dengan jelas, barulah laki-laki gundul, perut buncit, dan berkumis itu terperanjat.
–Pangeran kenapa?—tanyanya dengan nada berbisik berbisik kepada orang yang berambut ubanan itu.
–Pangeran terluka—
–Siapa yang melukai?—
–Seorang telik sandi dari Mataram—
–He? Telik sandi dari Mataram.—
–Sudahlah jangan ribut. Biarkan Pangeran memulihkan luka dalamnya. Nanti aku ceriterakan apa yang terjadi. Sekarang siapkan makanan dan minuman. Kami lapar dan haus. Apakah air di pakiwan sudah penuh?—
–Baik. Baik aku akan segera ngangsu—
Sementara temannya laki-laki yang gundul, perut buncit, dan berkumis itu menimba air, maka orang yang berambut ubanan itu segera membersihkan badannya. Badannya terasa sedikit segar ketika air yang sejuk mengguyur badannya. Namun luka-luka akibat juntai di ujung selendang Rara Wulan terasa pedih ketika air dingin itu menyentuh lukanya. Demikianlah bergantian mereka mandi ke pakiwan.
Ki Karaba Bodas yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu agak lama memulihkan dirinya dari luka dalam yang dideritanya. Meskipun di beberapa anggota tubuhnya ada bekas luka dalam yang melepuh, namun secara sepintas orang yang bertemu dengannya tidak dapat mengenali lukanya itu. Ketika matahari sudah bergeser ke Barat, barulah Ki Karaba Bodas menyelesaikan semedinya. Meskipun demikian terasa bahwa tenaganya masih sangat lemah.
–Air. Aku minta air.—katanya lirih. Laki-laki gundul, perut buncit dan berkumis, yang sedari tadi menunggu di sebelah Ki Karaba Bodas segera berlari ke dapur dan mengambil sebuah kendi yang berisi air yang sejuk. Kendi itu segera diserahkannya kepada Ki Karaba Bodas. Ki Karaba Bodas segera mereguk beberapa teguk air dari kendi itu. Ia lalu menselunjurkan badannya di atas tikar. Tenaganya terasa masih sangat lemah.
–Pangeran. Pangeran makan dulu baru tidur—kata orang yang berambut ubanan.
–Terima kasih. Nanti saja.—
–Jika Pangeran makan beberapa suap, tentu tenaga Pangeran akan cepat pulih—katanya.
–Nanti saja. Aku masih belum ingin makan. Nanti kalau aku sudah ingin makan tentu akan aku makan nasi itu.—
–Baik. Baik Pangeran. Silakan beristirahat. Kalau Pangeran perlu sesuatu jangan segan-segan memerintahkan kepadaku.—
Ki Karaba Bodas itupun sempat tidur terlelap beberapa saat. Namun kegelisahannya akibat pertemuannya dengan Glagah Putih membuatnya terbangun. Kembali ia mencoba memicingkan matanya, namun karena pikirannya menerawang ke mana-mana, matanya sulit terpejam. Ki Karaba Bodas tidak habis pikir, anak semuda Glagah Putih yang mengaku sebagai telik sandi dari Mataram itu mampu mengalahkan ilmunya meskipun selapis tipis.
Ki Karaba Bodas merasa bahwa untuk memulihkan luka dalamnya ia membutuhkan waktu sedikitnya dua tiga hari. Padahal ia minta izin kepada Kangjeng Adipati Jayaraga untuk berpamitan dengan kawan-kawannya hanya sehari. Kalau belum pulih benar kesehatan dan kekuatannya, tentu ia belum bisa menghadap Kangjeng Adipati. Namun di rumah laki-laki gundul, perut buncit dan berkumis itu Ki Karaba Bodas merasa aman. Ia bisa bersemadi untuk secepatnya memulihkan kesehatan dan tenaganya. Baru setelah tenaganya pulih barulah ia bisa bergerak meneruskan rencana-rencananya.
–Semoga keterangan tentang diriku belum sampai ke Kangjeng Adipati—katanya dalam hati. –Kalau keterangan itu sudah masuk tentu akan mengganggu jalannya rencana wisudaku sebagai Senapati.—
–Bahkan bukan hanya mengganggu rencana wisuda itu saja. Bukan tidak mungkin Kangjeng Adipati memerintahkan untuk menangkapku karena merasa tertipu.—
Demikianlah pergolakan batin masih terjadi dalam diri Ki Karaba Bodas. Ia merasa menghadapi buah simalakama. Di makan ayah mati, tidak dimakan ibu mati. Ingin rasanya ia menjual saja buah simalakama itu. Tapi siapa yang mau membelinya, kalau pembelinya juga nanti harus mati.
Kalau Kangjeng Adipati Jayaraga belum mengetahui bahwa ia adalah Pangeran gadungan, tentu sebutannya masih akan tetap semesra pada saat ia meninggalkan Istana Kadipaten.
–Sampai bertemu kembali kakangmas.—kata Kangjeng Adipati kepadanya, yang dijawabnya—Baik adimas.—
Tapi Ki Karaba Bodas sudah sampai ke titik dia tidak bisa kembali lagi. Mukti atau mati. Jika ia tidak datang ke Istana Kadipaten, tentu Kangjeng Adipati akan menganggapnya tinggal gelanggang, colong pelayu. Seorang pilih tanding yang memenangkan adon-adon di lapangan depan Istana, tapi tidak datang-datang pada saatnya diwisuda menjadi Senapati.
Sebaliknya, kalau ia datang ke Istana dan Kangjeng Adipati sudah mendapat keterangan tentang dirinya, maka Ki Karaba Bodas merasa seperti harimau masuk kampung. Ia bisa menjadi bahan rampogan yang menarik bagi para prajurit dan Senapati di Kadipaten Panaraga. Betapapun tinggi ilmunya, betapapun kuat tenaganya tentu ia tidak akan sanggup mengalahkan semua orang berilmu tinggi di Kadipaten Panaraga. Bahkan hanya menghadapi seorang telik sandi yang sangat muda itu seorang diripun, ia tidak dapat mengalahkannya apalagi membunuhnya. Yang tidak boleh dilupakannya adalah bahwa Kangjeng Adipati Jayaraga pun tidak dapat dianggapnya dengan sebelah mata. Kangjeng Adipati Jayaraga tentu mempunyai banyak guru pinilih di Istana Mataram, sehingga ia mempunyai ilmu yang tinggi dan mendapat kepercayaan untuk mengendalikan Kadipaten Panaraga dari Panembahan Hanyakrawati.
Ki Karaba Bodas membayangkan dirinya dikepung berlapis-lapis prajurit dan Senapati kadipaten Panaraga.
–O. Inikah rupanya yang dicemaskan oleh ibu—katanya dalam hati.
–Rupanya panggraita seorang ibu, demikian tajamnya. Dia weruh sadurunge winarah.—katanya lagi masih di dalam hati.
Memang ada sedikit rasa penyesalan di dalam hati Ki Karaba Bodas, bahwa ia tidak mengikuti nasihat-nasihat ibunya. Ia bahkan cenderung menyepelekan segala petunjuk ibunya itu. Sebenarnya kalau ia tidak usah menyebut dirinya sebagai putera lembu peteng Panembahan Senapati, jabatan Senapati pinilih itupun sudah dapat diraihnya. Tetapi kini karena ia ingin meloncat terlalu tinggi, kepalanya telah terantuk para-para.
–Ngger, ngger. Sing eling ngger, becik ketitik, ala ketara. Kalau angger mau jadi prajurit, lalu menjadi senapati atau tumenggung, itu wajar. Tetapi kalau kau menipu diri sendiri dan menipu asal-usulmu, itu sungguh tidak wajar. Aku sama sekali tidak pernah kenal dengan Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati ing Ngalaga dan kemudian menjadi Panembahan Senapati. Apalagi jika kau akan mengaku sebagai putera lembu peteng Panembahan Senapati, itu sungguh sudah kebablasan, ngger. Berarti kau hendak mengatakan bahwa aku pernah berselingkuh dengan Raden Sutawijaya—
Kata-kata penuh nasihat dari ibunya dan berbau tudingan itu kembali terngiang di telinganya. Tetapi penyesalan itu datangnya selalu terlambat.
–Ah belum. Belum terlambat–Bantahnya pula dalam hati. –Tentu Kangjeng Adipati belum mendengar bahwa aku adalah bukan Pangeran yang sebenarnya. Tetapi apakah telik sandi yang sangat muda dan berilmu tinggi dari Mataram itu begitu bodoh, sehingga tidak berusaha menagkap aku?—
Berbagai gejolak batin itu terus berkecamuk di dalam pikiran Ki Karaba Bodas. Memang ada sedikit rasa sesal di hatinya. Kalau ia tidak nggege mangsa dengan menyebut dirinya sebagai seorang Pangeran, tentu perjalanannya sebagai Senapati berlangsung mulus. Namun karena ulahnya itulah ia harus mendapat perhatian dari pejabat tinggi Mataram. Bahkan dari Ki Patih Mandaraka. Benar-benar seperti ular mencari gitik. Ia seperti sengaja mengumpankan kepalanya untuk digebug dengan sebuah pentungan.
Karena pikirannya yang berkelana ke mana-mana membuat proses pemulihannya pun menjadi lamban. Ki Karaba Bodas tidak bisa berkonsentrasi penuh untuk menyembuhkan dirinya dari luka dalam itu. Setelah menyuapkan nasi ke dalam mulutnya untuk menambah tenaga, iapun segera duduk bersila sambil bersedakep. Tapi setiap ia memusatkan pikiran, pemusatannya itu segera buyar.
Ternyata pikiran yang berkelana ke mana-mana itu membuat wadagnya juga letih. Karena ia belum juga berhasil mengonsentrasikan pikirannya, maka Ki Karaba Bodas itupun menyelesaikan semadinya. Ia lebih baik beristirahat dengan meluruskan badannya di atas tikar pandan.
–Niyat ingsun tidur. Pergi semua pikiran yang mengganggu. Pergi. Pergi. Pergi.—katanya di dalam hati. Rupanya niat yang begitu kuat untuk tidur itu, akhirnya tidak menggoyahkan lagi pikirannya. Perlahan-lahan rasa kantuk menyerangnya. Ketika udara malam yang dingin menyusup ke pendapa yang separuh terbuka itu membelai kedua matanya, akhirnya Ki Karaba Bodas itupun terlelap ke dalam pelukan Dewi Mimpi.
Buaian Dewi Mimpi itu ternyata demikian kuatnya mencekam Ki Karaba Bodas. Namun Dewi Mimpi itu seakan-akan berubah menjadi Kantil, Kenari, Suli, Mawar, Melati dan belasan gadis-gadis yang dipetiknya dan ditinggalkan setelah menjadi layu. Belasan gadis itu mengejarnya terus ke mana pun ia berlari di sudut-sudut ruang mimpinya. Ia menjadi letih, terengah-engah, tersengal-sengal dan menjadi pepat dadanya. Ia serasa melayang di awang-awang. Tetapi gadis-gadis yang mengepungnya berubah wajahnya menjadi menyeramkan. Mereka tumbuh taring dan siap menggigit lehernya dari berbagai arah. Ada pula yang menempelkan taringnya di kakinya, di badannya, di bahunya, di tangannya, di keningnya, di bahunya, di dadanya. Bahkan ada pula yang menempelkan mulutnya yang bertaring ke bibirnya.
–Tidak. Tidak. Tidaaak.—tiba-tiba Ki Karaba Bodas berteriak-teriak.
–Pangeran. Pangeran. Bangun Pangeran—tiba-tiba pengikutnya yang gundul, perut buncit, dan berkumis itu menggoyang-goyang badannya untuk membangunkannya. Terpegang oleh pengikutnya itu, betapa tubuh Ki Karaba Bodas itu menjadi panas, sepanas bara. Agaknya Ki Karaba Bodas mengigau dalam tidurnya. Kemungkinan hal itu terjadi karena setelah benturan dengan Glagah Putih, Ki Karaba Bodas terlalu memaksakan diri untuk melarikan diri dari hadapan Glagah Putih dan Rara Wulan. Selain itu, ia tidak menelan obat untuk mengatasi luka dalam seperti yang selalu dilakukan oleh Glagah Putih bila menderita luka dalam akibat benturan ilmu dengan lawan-lawannya.
Glagah Putih selalu membawa obat berupa pil kecil yang selalu disimpan di dalam bumbung kecil di bawah ikat pinggangnya. Oleh karena itu, meskipun sering beradu ilmu dengan orang yang tinggi ilmunya seperti Ki Karaba Bodas, setelah itu Glagah Putih selalu menelan dua butir pil pemberian Ki Rangga Agung Sedayu. Ki Rangga meracik obat-obatan itu sesuai dengan pengetahuan yang diperolehnya tentang obat-obatan dari kitab peninggalan Kiai Gringsing.
Sebelum mengenalnya sebagai Kiai Gringsing, orang tua itu dikenal oleh Ki Rangga Agung Sedayu sebagai Ki Tanu Metir, seorang dukun pengobatan dari pedukuhan Pakuwon di dekat Jati Anom. Karena itu sebagai murid Orang Bercambuk yang juga ahli obat-obatan, maka Ki Rangga Agung Sedayu juga semakin ahli dalam meracik berbagai jenis obat-obatan. Ibaratnya dengan dunia olah kanuragan Ki Rangga Agung Sedayu siap menyakiti orang, tapi dengan ilmu pengobatan Ki Rangga siap mengobati orang yang sakit. Sungguh suatu dunia yang berlawanan kutub, tapi saling membutuhkan.
Tidak demikian halnya dengan Ki Karaba Bodas. Agaknya ia hanya mengandalkan ilmunya yang tinggi dalam dunia olah kanuragan saja. Ilmu pengobatan hanya dianggapnya dengan sebelah mata dan menjadi pekerjaan para tabib, dukun pengobatan atau dukun beranak.
Karena Ki Karaba Bodas menderita demam tinggi, maka pengikutnya yang selau setia menungguinya itu meminta kawannya untuk menggantikannya. Pengikutnya yang gundul, perut buncit, dan berkumis itu akan memanggil seorang tetangganya yang kebetulan menjadi tabib yang dikenal di kedemangannya.
Tak lama kemudian, tabib yang sudah dikenalnya dengan baik itu datang, dan memeriksa Ki Karaba Bodas sebentar. Tabib itu lalu meminta semangkuk air untuk mengencerkan beberapa jenis pil yang diaduknya menjadi satu. Perlahan-lahan tabib itu meneteskannya di bibir Ki Karaba Bodas.
Berangsur-angsur panas Ki Karaba Bodas itu mulai turun, sehingga nafasnya yang tadinya tersengal-sengal karena demam tinggi perlahan-lahan pula mulai normal kembali. Sehingga pada akhirnya Ki Karaba Bodas terlelap tidur. Pengikutnya yang setia itu pun secara bergantian menungguinya. Mereka terkantuk-kantuk bergantian menjaganya. Namun sampai fajar Ki Karaba Bodas belum terbangun, bahkan sampai matahari memanjat langit sepenggalah barulah ia terbangun.
–Uh. Aku lapar—katanya sambil mencoba bangkit. Namun matanya terasa berkunang-kunang sehingga ia urung untuk bangkit.
–Pangeran tidak usah bangkit—kata orang yang berambut ubanan yang pada saat itu mendapat giliran untuk menjaganya. –Biarlah aku suapi dengan bubur encer agar mudah masuk ke dalam perut.—
Dengan telaten orang yang berambut ubanan itu menyuapi Ki Karaba Bodas dengan bubur encer setetes demi setetes. Setelah merasa cukup, Ki Karaba Bodas lalu minta diminumkan obat pemberian tabib tadi malam. Obat itu pun ditelannya perlahan-lahan. Secara berangsur pula Ki Karaba Bodas mulai merasa segar. Namun ia belum berani bangkit. Sambil berbaring ia bersedakep dan mulai memusatkan nalar budinya. Karena dorongan obat dan kondisi badannya yang sudah tidak demam lagi, maka iapun mulai bisa menghimpun hawa murni ke dalam rongga dadanya lalu menyebarkan ke seluruh anggota tubuhnya.
Berulang-ulang hal itu dilakukannya, sehingga kekuatannya mulai terkumpul. Ketika matahari sudah mencdapai puncak langit, Ki Karaba Bodas itu mulai merasa bahwa ia sudah lebih kuat daripada sebelumnya. Ia pun sudah bisa menelan bubur lunak dan mulai bisa bangkit bersila sambil bersedakep. Dalam posisi bersila sambil bersedakep ternyata dia bisa lebih berkonsentrasi dibandingkan dengan dalam posisi berbaring. Sejalan dengan kondisi yang semakin membaik, maka proses pemulihan luka dalamnya pun semakin cepat.
Ketika memasuki hari ketiga, Ki Karaba Bodas pun sudah semakin kuat. Ketika fajar menyingsing di ufuk timur, ia sudah bisa bangkit, berdiri, lalu berjalan-jalan di halaman. Namun ia belum berani berjalan terlalu jauh dari rumah itu. Ia pun merasa semakin baik di siang harinya, lalu mulai menggerak-gerakkan anggota tubuhnya dengan jurus-jurus ringan dari dasar olah kanuragannya.
Pada hari keempat ia sudah benar-benar merasa pulih tenaganya. Ia sudah mulai mengamati secara seksama semua unsur-unsur ilmunya sampai tataran yang paling tinggi. Ternyata tidak terjadi sesuatu. Ki Karaba Bodas pun akhirnya mengambil keputusan pada esok hari akan menghadap Kangjeng Adipati Jayaraga walaupun apa yang akan terjadi. Ia telah siap. Kegelisahannya yang terjadi ketika demam tinggi sepekan yang lalu, sudah tidak dihiraukannya lagi. Ia berprinsip mukti atau mati.
Yang masih menjadi bahan pemikirannya adalah bagaimana agar bisa berkilah jika Kangjeng Adipati Jayaraga menanyainya ke mana saja ia jika pada esok hari ketika ia harus menghadap. Karena pekan lalu ia hanya minta izin untuk sehari saja guna mempersiapkan diri sebelum dia diwisuda menjadi senapati. Berarti ia empat hari lebih lama melewati batas waktunya untuk menghadap kembali.
Dalam pada itu, Glagah Putih sudah bertemu dengan Madyasta. Madyasta mengatakan bahwa ia telah mengadakan pendekatan dengan orang dalam yang selama ini memberikan keterangan kepadanya mengenai perkembangan di seputar kekuasaan di Kadipaten Panaraga.
Madyasta mendapat keterangan bahwa seharusnya empat hari yang lalu Ki Karaba Bodas sudah menghadap Kangjeng Adipati Jayaraga. Namun sampai hari kelima setelah adon-adon, Ki Karaba Bodas yang mengaku bernama Pangeran Ranapati itu belum juga menghadap guna persiapan wisudanya sebagai Senapati.
–Mungkin Ki Karaba Bodas terluka parah dalam benturan ilmu denganku—kata Glagah Putih. Madyasta hanya mengangguk-angguk.
–Mungkin sekali—katanya lirih.—Untuk sementara baru itu keterangan yang aku peroleh dari lingkungan Istana. Jika nanti ada perkembangan terbaru tentu aku segera menghubungimu.—
Meskipun telah mempunyai dugaan yang hampir tepat, namun Glagah Putih maupun Madyasta masih tetap bertanya-tanya dalam hatinya. Ke mana gerangan calon Senapati terpilih tersebut pergi?
Meskipun belum mendapat kepastian yang meyakinkan, Madyasta dan sekelompok anggota telik sandi yang sudah ditanamkan di Istana Kadipaten Panaraga selalu mengawasi lingkungan sekitar Istana tersebut.
Baik Glagah Putih, Sungkana, Sumbaga maupun Madyasta belum bisa mengambil sikap apakah mereka akan mengambil Ki Karaba Bodas sebelum wisuda ataukah setelah wisuda. Kedua pilihan itu cenderung sama sulitnya. Sebab Ki Karaba Bodas yang menghilang sekian lama tetap menjadi teka-teki. Ternyata Ki Karaba Bodas sangat licin begitu diketahui bahwa kepalsuan jati dirinya mulai tercium petugas dari Mataram. Jejaknya yang menghilang selama lima hari telah menimbulkan tanda tanya bagi para petugas dari Mataram itu. Bahkan tidak kurang dari Ki Patih Mandaraka memberikan perhatian yang sangat besar atas kehadirannya di Panaraga.
Agaknya ketidakhadiran Ki Karaba Bodas yang mengaku dirinya adalah Pangeran Ranapati, juga membuat Kangjeng Adipati Jayaraga menjadi bertanya-tanya. Sekali dua kali secara tidak langsung hal itu ditanyakannya kepada senapati kepercayaannya Mas Panji Wangsadrana.
–Ampun Kangjeng Adipati, sampai saat ini Pangeran Ranapati yang pada saat adon-adon memakai nama Ki Laksana itu belum memberi isyarat atau pertanda kehadirannya kepada hamba.—
–Apakah kau tahu ke mana ia pergi?—
–Ampun Kangjeng Adipati, hamba tidak mendapat keterangan ke mana Pangeran Ranapati pergi. –
Kangjeng Adipati pun kemudian terdiam. Ia termangu-mangu dan sedikit merasa masygul. Namun Kangjeng Adipati belum mendapat keterangan dari penghubung dari Mataram bahwa sebenarnya Pangeran Ranapati adalah Pangeran gadungan. Petugas penghubung tersebut memang sengaja menyimpan rahasia tersebut, sehingga pada saatnya nanti Ki Karaba Bodas bisa ditangkap dan diselesaikan masalahnya secara tuntas.
Petugas penghubung itu pun sependapat dengan Glagah Putih, Rara Wulan dan para telik sandi lainnya, bahwa sebaiknya Ki Karaba Bodas itu ditangkap sebelum saat wisudanya. Sebab jika ditangkap setelah wisuda, tentu akan mempertaruhkan pamor Kangjeng Adipati Jayaraga. Kangjeng Adipati dapat merasa sangat tersinggung, sehingga bisa menimbulkan akibat yang tidak diinginkan dalam hubungan antara Mataram dan Panaraga.
Oleh karena itu, para telik sandi dan petugas penghubung itu sepakat bahwa mereka akan mengawasi terus pintu gerbang Istana Panaraga, untuk mengetahui jika Pangeran Ranapati memasuki Istana itu.
Dalam pada itu, di malam keesokan harinya, Pangeran Ranapati sudah mengambil keputusan bulat untuk menghadap Kangjeng Adipati Jayaraga. Oleh karena itu, dengan hati mantap ia telah berbenah diri dan mengatakan kepada para pengikutnya bahwa ia akan menghadap Kangjeng Adipati Jayaraga.
–Apakah Pangeran akan menghadap Kangjeng Adipati malam-malam begini.–
–Iya. Aku ingin menghadap pada wayah sepi bocah ini, agar aku bisa terlepas dari pengamatan telik sandi Mataram.–
–Baik Pangeran. Semoga Pangeran berhasil dan tidak ada halangan apapun di jalan.—
Demikianlah, Pangeran Ranapati yang sebenarnya bernama Ki Karaba Bodas itu pun meninggalkan regol halaman rumah pengikutnya, lalu melangkah menyusuri jalan-jalan menuju Istana Panaraga. Namun ia tidak meninggalkan kewaspadaannya. Ia sadar bahwa telik sandi Mataram pastilah selalu mengawasi Istana Panaraga. Karena itu, dengan berhati-hati Pangeran Ranapati memasuki pintu gerbang Istana Panaraga.
Namun agaknya saat Pangeran Ranapati memasuki Istana Panaraga itu luput dari pengamatan telik sandi Mataram. Sehingga dengan bebasnya Pangeran Ranapati menuju ke gardu penjagaan.
–Siapakah Kisanak dan hendak bertemu siapa—tanya penjaga di gardu penjagaan.
–Aku Pangeran Ranapati dan hendak bertemu dengan Senapati Mas Panji Wangsadrana—
–O. Silakan tunggu Pangeran. Akan aku sampaikan ke petugas di dalam—
Demikianlah Pangeran Ranapati itu menunggu di pos penjagaan. Tak berapa lama Mas Panji Wangsadrana keluar dari gedung Istana dan menjemput Pangeran Ranapati.
–Marilah masuk Pangeran—kata Mas Panji Wangsadrana.
–Pangeran ke mana saja. Lama nian Pangeran tidak muncul—tanya Mas Panji Wangsadrana dengan wajah yang ceria.—Kangjeng Adipati berulangkali menanyakannya kepadaku.–
–Maaf Mas Panji Wangsadrana, aku kemarin kedatangan guruku dan memerintahkanku untuk menjalani laku sebelum aku diwisuda menjadi Senapati. Agar ilmuku menjadi semakin meningkat. Menurut guruku, aku harus menguasai sampai tuntas ilmu pamungkasku. Bukankan perbedaan waktu yang hanya sepekan tidak mengubah keputusan Kangjeng Adipati.—
–Tentu saja tidak Pangeran. Apalagi Pangeran terpilih menjadi Senapati melalui adon-adon dan terlebih lagi Pangeran sebenarnya masih kerabat Kangjeng Adipati.—
Mas Panji Wangsadrana pun kemudian menyampaikan kepada seorang narpacundaka, bahwa ia dan Pangeran Ranapati mohon menghadap.
Kangjeng Adipati yang malam itu sedang tidak ada kesibukan, segera memerintahkan agar kedua tamu itu menemuinya di serambi kanan.
–Kakangmas ke mana saja?—tanya Kangjeng Adipati.
–Maafkan adimas, karena suatu keperluan aku baru bisa menghadap malam ini—kata Pangeran Ranapati. Demikianlah Pangeran Ranapati kemudian bercerita kepada Kangjeng Adipati sebagaimana diceritakannya kepada Mas Panji Wangsadrana. Bahwa ia telah kedatangan gurunya yang memintanya untuk menjalani laku guna meningkatkan ilmunya agar tuntas menguasai aji pamungkas perguruannya sebelum diwisuda menjadi senapati.
Kangjeng Adipati mengangguk-angguk. Namun ia tidak bertanya tentang siapa guru Pangeran Ranapati itu dan di mana Pangeran Ranapati menjalani laku itu.
–Kakangmas sebaiknya malam ini tidak usah kembali. Aku sudah menyediakan gandok kanan untuk kakangmas. Esok lusa pagi aku akan mengadakan paseban rutin setiap bulan sekaligus pada saat itu aku akan mewisuda Kakangmas sebagai Senapati di Kadipaten Panaraga.—
–Kenapa tergesa-gesa Adimas?—
–Tidak ada apa-apa Kakangmas. Aku hanya ingin agar pasukan Kadipaten Panaraga menjadi lebih kuat. Dengan bergabungnya Kakangmas dalam pasukan Kadipaten, tentu Kakangmas sudah mempunyai rencana-rencana selain rencanaku sendiri yang bisa kita laksanakan untuk memperkuat pasukan itu.—
–Apakah rencana adimas itu?—
–Tidak ada rencana khusus Kakangmas, tapi secara umum aku ingin bahwa pasukan Kadipaten bisa kuat. Itu saja.—
–Baiklah adimas. Jika itu keinginan adimas untuk mengadakan paseban sekaligus mewisudaku, tentu dengan senang hati aku akan menjalaninya.—
Demikianlah, maka Pangeran Ranapati menempati gandok kanan Istana Kadipaten Panaraga itu sambil menanti saat wisudanya. Namun rencana Kangjeng Adipati Jayaraga untuk mewisuda Pangeran Ranapati sama sekali tidak tercium oleh telik sandi dari Mataram. Yang mereka ketahui bahwa esok lusa Kadipaten Panaraga akan mengadakan paseban rutin setiap bulan.
Pangeran Ranapati yang mengetahui dirinya menjadi bahan pengamatan secara khusus oleh telik sandi dari Mataram, sama sekali tidak keluar dari gandoknya. Dua hari yang tersisa dipergunakannya untuk bersemadi guna mengamati kembali kemampuan tenaga dalam dan ilmunya, setelah mengalami penyembuhan setelah mengalami benturan ilmu dengan telik sandi dari Mataram. Glagah Putih. Ternyata waktu yang hanya dua hari itu benar-benar dimanfaatkan oleh Pangeran Ranapati untuk mesu diri guna memperdalam dan mempertajam ilmunya. Aji Gundala Geni dan Aji Cakrabirawa
Pangeran Ranpati menyilangkan kedua tangannya di depan dada, lalu menakupkan tangannya itu dan menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya sambil memusatkan nalar budinya. Sekejap kemudian telapak tangannya segera mengeluarkan asap berwarna hijau kemerah-merahan.
Hal itu berulang-ulang dilakukannya, sehingga Aji Cakrabirawa itupun semakin tajam dan lebih cepat diterapkannya. Kalau pada saat bertarung dengan Glagah Putih, Pangeran Ranapati masih memerlukan beberapa saat untuk menerapkan Aji Cakrabirawa, maka dengan latihan-latihan pernapasan, pemusatan nalar budi dan mesu diri yang terus menerus, maka ilmunya yang nggegirisi itu pun semakin dalam dan semakin tajam. Kalau semula asap yang keluar dari telapak tangannya berwarna hijau kemerah-merahan, maka dengan latihan yang terus menerus, warna hijau kemerahan itu sudah bergeser menjadi biru kemerahan. Berarti dalam waktu yang dua hari itu telah dimanfaatkan oleh Pangeran Ranapati untuk meningkatkan ilmunya selapis tipis lagi.
Sementara itu, Glagah Putih, Rara Wulan, Madyasta dan pasukan telik sandi dari Mataram, dari luar Istana Kadipaten tidak melihat ada gerakan apapun dalam waktu dua hari menjelang paseban. Begitu pula orang yang ditanamkan Madyasta di lingkungan dalam Istana Kadipaten, tidak menemukan suatu hal yang khusus atau aneh. Secara bergantian mereka mengadakan pengamatan. Jika Glagah Putih sedang tidak bertugas, maka kesempatan yang sempit itu masih sempat dimanfaatkannya untuk meningkatkan kemampuan olah kanuragan, tenaga dalam dan ilmunya.
Yang mendapat perhatian dari Glagah Putih secara khusus adalah Aji Sigar Bumi, Aji Tameng Waja, ilmu meringankan tubuh dan Aji Namaskara. Karena Glagah Putih tinggal di padukuhan yang banyak rumahnya, maka tentu akan kurang baik akibatnya kalau ia berlatih di rumah Madyasta atau Sungkana. Oleh sebab itu, Glagah Putih menyempatkan diri bersama Rara Wulan untuk pergi ke tebing sungai dekat rumahnya yang jarang diambah orang. Di sana mereka bisa dengan leluasa menerapkan ilmunya. Batu kali dan tebing sungai menjadi sasaran penerapan ilmu mereka.
Ternyata dengan latihan yang berulang-ulang, maka penguasaan mereka atas ilmu itu semakin meningkat dan semakin dalam.
Kalau dalam latihan-latihan sebelumnya mereka memerlukan waktu beberapa saat, maka saat yang diperlukan untuk membangkitkan Aji Namaskara setelah mengadakan latihan berulang-ulang, menjadi semakin cepat. Kalau semula Glagah Putih hanya mampu menyentuh batu kali pada jarak sepuluh depa, maka melalui latihan yang sungguh-sungguh, maka penguasaan ilmunya mampu menyentuh dan melumatkan batu itu dalam jarak yang berlipat dua. Dengan demikian kekuatannya pun menjadi semakin besar.
Demikian pula Rara Wulan, yang tingkat ilmu dan tenaga dalamnya hanya beda beberapa lapis dengan Glagah Putih, maka melalui latihan yang mereka adakan berdua telah meningkatkan ilmu Rara Wulan itu.
Bahkan dalam latihan itu, Glagah Putih bukan hanya mempertajam kemampuan Aji Namaskara-nya. Namun Glagah Putih juga meningkatkan ilmu Tameng Waja-nya. Dalam latihan itu Glagah Putih menerapkan Aji Tameng Waja sepenuhnya, sedangkan Rara Wulan mempergunakan Aji Tameng Waja selapis demi selapis. Dengan demikian kedua orang suami istri itu bisa menakar, seberapa besar akibat benturan kedua ilmu itu terhadap diri mereka masing-masing.
Ternyata dari latihan bersama tersebut bahwa ketika Glagah Putih menerapkan Aji Tameng Waja secara penuh ketika dibenturkan dengan Aji Namaskara yang dikuasai oleh Rara Wulan dengan tenaga sepenuhnya tidak menimbulkan akibat apapun bagi keduanya. Berarti posisi puncak kedua ilmu mereka merupakan takaran yang seimbang dan tidak saling membahayakan.
Dalam pada itu, di Tanah Perdikan Menoreh Ki Rangga Agung Sedayu yang sedang sibuk-sibuknya memperluas baraknya, mendapat sebuah kejutan yang tidak dinyana-nyana. Ketika Sekar Mirah sedang pergi ke pakiwan, tiba-tiba ia merasa perutnya mual dan muntah-muntah. Kebetulan saat itu Ki Rangga Agung Sedayu sudah berangkat ke baraknya, Kiai Jayaraga sedang ke sawah untuk membajak sawah mereka yang baru habis dipanen dan Sukra sedang ke banjar pedukuhan induk. Semula Sekar Mirah mengira ia hanya masuk angin biasa.
Sehingga Sekar Mirah tidak menanggapinya terlalu sungguh-sungguh, dan tidak menyampaikannya kepada suaminya. Ketika hal itu terjadi berulang kali dua tiga kali kemudian, maka Sekar Mirah baru merasa ada suatu yang tidak sewajarnya dalam dirinya.
Sekar Mirah berniat menyampaikannya ketika semua anggota keluarga mereka berkumpul pada malam harinya. Meskipun wajahnya nampak pucat karena muntah-muntah, namun Sekar Mirah nampak ceria menyambut Ki Rangga Agung Sedayu yang baru pulang. Setelah Ki Rangga berganti pakaian dan kemudian pergi ke pakiwan untuk mandi, maka ditariknya tangan suaminya ke kamar.

(Bersambung ke jilid 398)

buku-iv-96>>| buku-iv-97>>

Laman: 1 2 3 4 5 6

Telah Terbit on 7 Januari 2010 at 10:40  Comments (617)  

The URI to TrackBack this entry is: https://adbmcadangan.wordpress.com/bukan-adbm/trackback/

RSS feed for comments on this post.

617 KomentarTinggalkan komentar

  1. nuwun sewu, badhe nderek mampir….
    setelah sekian lama ndak mampir….akhirnya kangen juga…
    satu kejutan ketika ternyata ada “bukan ADBM”. Salut buat Ki Agus, satu karya yang harus diapresiasi…saya sudah baca sampai tulisan terakhir, walau saya merasa ada perbedaan gaya bahasa (justru yg menjadi gaya bahasa khas Ki SHM), tapi bagus sekali…
    Karena penasaran dengan lanjutan ceritannya…saya coba buka di matarambinangkit.com, ternyata harus bayar ya…..nglokro jadinya…
    memang segala jerih payah sdh seharusnya dihargai, entah itu berupa materi atau yg lain.
    jika memang pada akhirnya harus dikomersialkan, memang sudah seharusnya Ki gus harus mendapat ijin dari keluarga Ki SHM (ini menurut saya lho, mohon maaf yg sebesar-besarnya jk salah), sebab dalam tulisan Ki Agus ada mengandung properti milik Ki SHM.

    • Setuju kisanak,hak cipta ADBM sampai saat ini memang belum beralih ke tangan orang lain, sehingga secara hukum segala sesuatu yang berkaitan dengan lanjutan ceritera ADBM (mekipun menggunakan judul lainnya akan tetapi nama tokoh dan karakternya tidak bisa dipungkiri kalau itu merupakan kelanjutan dari ADBM)dalam bentuk cetakan yang diperjual-belikan tidak boleh sembarangan.

      Mohon maaf ki Agus, kami disini hanya sekedar mengingatkan tanpa mengurangi rasa hormat kami atas usaha ki Agus dalam melanjutkan ceritera ADBM. Apalagi seingat saya dulu di koran Kedaulatan Rakyat dalam wawancaranya Ki SH Mintardjo kalau gak salah pernah mengatakan kalau secara garis besar ceritera ADBM sudah diberikan ke penerusnya (keluarga) sehingga kalau sewaktu-waktu beliyau meninggal maka ada yang akan melanjutkan ceritera tersebut.

  2. Tidak ada lagikah cantrik yg dapat melanjutkan adbm di blok BUKAN ADBM, yg dapat dinikmati secara gratis ?

  3. Saya pekan lalu bertandang ke rumah Ki Agus untuk bertatap muka dengan Ki Agus S. Soerono dan hendak membeli Mataram Binangkit jilid 1.
    Saya terperangah, karena di depan rumahnya tertulis Kata-kata: Rumah ini dijual Hub. 021 93 3636 72. Menurut ceritanya, ternyata Ki Agus sedang dalam kesulitan keuangan karena harus menguliahkan anak sulungnya di fakultas kedokteran sebuah PTS. Sekarang anak kedua juga hendak kuliah di fakultas kedokteran. Aset tanah kosong dan mobilnya sudah melayang untuk membiayai anak pertama. Ia belum terpikir untuk mendapat uang dari mana untuk kuliah anaknya yang kedua. Belum lagi kebutuhan hidup sehari-hari. Ki Agus mempunyai empat putera yang semuanya masih sekolah. Gajinya di tempat kerja yang sekarang sama sekali tidak mencukupi untuk biaya sehari-hari. Oleh karena itu Ki Agus hanya bisa mengelus dada mendengar kata-kata pedas yang ditulis di Bukan ADBM. Menurut Ki Agus, para pembaca belum bisa menghargai karya tulisnya. Padahal zaman dulu, orang harus membeli komik karya KI SHM. Buku komik itu tidak didapat secara gratis. Memang para pendiri padepokan berhati sangatmulia dengan membuat padepokan itu secara gratis. Namun apakah Ki Agus bisa hidup apabila karyanya digratisin?
    Saya sebenarnya sering masuk ke Padepokan ADBMcadangan, cuman saya sangat jarang berkomentar. Namun melihat kondisi Ki Agus yang membuat saya trenyuh, saya memberanikan diri untuk menulis surat ini. Maaf Ki Agus, saya tanpa seizin Ki Agus menulis surat ini. Semata-mata karena keprihatinan melihat keadaan Ki Agus. Semoga para cantrik dan punggawa padepokan bisa ikut berbagi dengan Ki Agus. Semacam take and give gitu lho. Kalian bilang-bilang sakaw, sakaw, sakaw, tapi tidak ada perasaan melu handarbeni. Rasa turut memiliki kepedihan yang tengah dialami oleh Ki Agus.
    Sayang sungguh sayang… Kalau Ki Agus tidak bisa menyumbangkan kemampuannya di bidang tulis menulis, karena terbentur masalah ekonomi. Saya rasa Rp 30.000 sebulan tak ada artinya bagi Kisanak semua, apabila dibandingkan dengan kerinduan kita akan cerita-cerita yang dapat dihasilkannya.

    Maaf kalau kata-kata saya terlalu pedas. Bukan maksud saya membela Ki Agus. Tapi benar2 dari rasa keprihatin yang mendalam.
    Salam,

    Raden Panji Klantung

    Ruddy Wijanarko

    • Untuk melestarikan keberlanjutan SDBM karya Pak Agus saya kira iuran Rp 50rb perterbitan disini sangat bagus sebagaimana yang sudah dilakukan oleh almarhum Mbah Man Sidoarjo Surabaya

  4. Wah..wah ternyata ada polemik yang terjadi disini.
    kalau memang ketentuannya seperti itu ya diikuti aja bagi yang mau, yang ndak mau ya gak usah ikut..gitu aja kok repot.
    Salam untuk Ki AS.

    Selamat tinggal sakauw…….mungkin dengan berjalannya waktu kita semua bisa melupakan rasa sakauw, dulu nggak tahu, jadi tahu dan nggak tahu lagi, kayak roda yang berputar.

    • njih ki

  5. Zaman sudah berubah….. Materi atau uang menjadi kebutuhan yg tak dapat dipungkiri, sudah selayaknya kalau suatu karya dihargai dengan cukup. Bagaimana kalau Bukan ADBMnya Ki AS tak usah diterbitkan di ADBMcadangan, terbitkan saja dalam bentuk buku saja, yg mau baca beli saja bukunya. Sudah tentu itupun dgn pembagian Royalti yg pantas untuk keluarga SHM.

  6. Sebenarnyalah setiap karya harus dihargai . Salam kenal,
    Buat ki Agus , tetap semangat , Semangat sore, semangat siang dan semangat malam

    • Kalau mau jujur, setelah baca kelanjutan AdBM yang ditulis Ki Agus, nampaknya koq tidak bisa mengikuti jiwa AdBM-nya Bp. SHM. Banyak hal-hal yang menjadi terasa aneh. Mulai dari alur cerita, karakter tokoh, gaya bahasa, dsb tidak nyambung dengan karya SHM.
      Sehingga saran saya, sebaiknya koq nggak usah dilanjutkan saja, daripada merusak image tokoh-tokoh AdBM.
      Kalau dicermati AdBM karya SHM sarat dengan ajaran cinta kasih baik pada Tuhan, maupun pada segala ciptaannya (lingkungan hidup dan sesama manusia). Jadi daripada merusak kesan terhadap AdBM-nya SHM. sebaiknya jangan dilanjutkan.
      Maaf kalau komentar saya nggak enak,

      • Kelanjutan ceritera yang dibuat oleh bukan penulis aslinya sangat dimungkinkan akan terjadi perbedaan dari segi alur ceritera, gaya bahasa ataupun karakter tokohnya. Biarlah para pembaca ADBM berimajinasi sendiri terhadap kelanjutan ceriteranya.

        Namun demikian usaha Ki Agus untuk melanjutkan ceritera ADBM yang menggunakan istilah Bukan ADBM sangat patut untuk dihargai. Namun demikian jika kelanjutan ceritera tersebut dimaksudkan untuk “dijual” kepada masyarakat maka harus selalu berkoordinasi dengan pihak keluarga bapak SH Mintardja (alm) terutama mengenai alur ceriteranya agar tidak menyimpang dari alur ceritera yang “dikehendaki” oleh penulis aslinya dan juga mengenai perkembangan karakter tokoh-tokoh utamanya (dan juga sudah pasti berkaitan dengan royalty nantinya).

        Selamat berkarya buat Ki Agus atau Ki Agus-Ki Agus lainnya yang bermaksud melanjutkan ceritera ADBM dengan versinya masing-masing.

        Mohon maaf jika ada kata-kata yang tidak berkenan.

        • lhokan judulnya lain”mataram binangkit” jadi mengapa harus minta izin dan mengapa harus dicerca,terus saja mas agus,

  7. Walah sdh lama gak nengok padepokan….
    lha kok sepi banget….apakah ini gara2 Ki AS menerapkan pola bayar bagi yg ingin baca lanjutan ADBM ??

    Pesan silaturahminya hilang gara2 duit…..ternyata antara harapan dan kenyataan gak pernah beriringan.

    Sebenarnya yang bisa bikin rame lagi adalah Ki AS mengirimkan ceritanya lagi ke forum ini dan secara gratis dan ikhlas…mungkin balasannya bukan materi tapi non materi yang mungkin nilainya amat sangat tinggi.

    Salam hangat selalu
    –Rangga yg gak sakti—

  8. selamat sore rekan2, saya telah ikut ketentuan yang dibuat oleh ki agus, tetapi saya mengalami kesulitan untuk membuka lanjutan adbm dan mataram binangkit, apakah saya masuk bulan ini hanya bisa baca yang bulan ini saja jadi terbitan yang lalu-lalu saya tidak bisa baca, atau bisa semua.
    saya coba email ke ki agus belum dijawab.
    bagi rekan2 yang telah memahami cara bacanya tolong kami dikasih informasinya.

  9. Terima kasih Ki Heri,
    Kalau Ki Heri sudah mendaftar, maka Ki Heri bisa membuka semua tulisan yang ada di Mataram Binangkit.com secara lengkap.
    Terima kasih atas perhatiannya.
    Salam
    Agus

    • intinya saya coba cari2 yang ki agus sampaikan belum ketemu.

  10. ADBM memang sarat dengan pesan2 moral, saya baca buku ini dari waktu saya sekolah.walaupun sudah ada yang melanjutkan jalan cerita yang menggantung,namun rasa rasanya banyak kata kata yang kurang pas dan terkesan janggal.jadi seperti baca cerita cerita silat yang lain, memang gaya penulisan ki SHM sangat khas.salam sejahtera untuk semua… RAHAYU

  11. Sbgai dwija dari padepokan terpencil yg rajin baca adbm sejak 1968(msh Smp kls 3)saya salut n mengapresiasi karya ki agus.yg kurang tentu ada tapi tdak akan saya ulas.namun sya tetap menikmati n ikut mendoakan agar bukan adbm ini nti bsa selesai dgn wijang,selamat berkarya ki Agus

  12. Sebelumnya Kuucapkan Salam kepada para sederek2 sanak kadang cantrik Pedepokan ADBM,mudah2an kita Semuanya selalu dapat selalu menjaga silahturahmi dan kerukunan sesama cantrik.
    Mengenai masalah Kelanjutan cerita Sang Resi Ki SHM yg memang sebenarnya masih sangat sangat kita harapkan,dan selalu kita tunggu tunggu,DAN sekarang memang sudah ada yg melanjutkan cerita ini (Ki Agus S ,,Salam buat Ki Agus S)
    Sakbenere aku dhewe yo seneng banget yen iso nyimak kelanjutan kitab iki,walaupun terasa berat yen kudu mbayar,opo pancen aku pelit ora gelem mbayar… hmm…,tp pancen dasare aku ora duwe duit gawe mbayar,,(kondisi pas2an)maaf Ki agus S,mungkin benar pendapat para kadang Cantrik yang menyarankan agar Ki Agus S menjual buku ini dengan menerbitkan dalam sebuah buku,namun memang seyogyanya dengan izin dari keluarga Ki SHM,dan kalaupun Ki Sanak tidak membagikan kelanjutan kitab di Padepokan ini Juga tidak apa2,
    karena memang ini kepunyaan Padepokan ADBM (Ki SHM only).
    mengenai masalah Kisanak yg di ceritakan oleh Ki Branjangan diatas mudah mudahan Kisanak segera dapat mendapatkan jalan keluarnya… Amin..,

    ya…mudah mudahan para cantrik dapat bersabar dalam menghadapi keaadan ini,seperti halnya Kanjeng Sultan Hadiwijaya yang pada mudanya bernama “Mas Karebet” yang dengan pasrah dalam meghadapi jatuhnya Takhta Pajang ( Raja Tanah Jawa ) untuk kemudian berpindah tangan Putra Kinasihnya Raden Sutawijaya
    walaupun secara kewadagan memerangi Mataram,tetapi didalam hati merestuinya.

    Mohon maaf
    salam

  13. MAAF
    SAYA PENGGEMAR BERAT ADBM
    UNTUK KELANJUTAN ADBM SERI V GIMANA YA
    MOHON PENJELASANYA
    DIMANA SAYA BISA MENDAPATKAN TERUSANYA
    TERIMA KASIH

    • Bayar dulu ke ki Agus mas Nanang, sekarang ini gak ada yang gratis 🙂

      • Bener tuh. Susah cari yang gratis. So….. kemana adbmers saat ini?

  14. semoga semakin memahami sejarah bangsa, kearifan-kearifan lokal dari sejarah dan budayanya ….

  15. nyapu mundur dl ahhhhh biar halaman Padepokan bersih,sebelum masuk sanggar trus nanti mlm nengok pliridan……… monggo poro kadang ingkang ngersakaken unjukan,dateng pendopo sampun kasiapaken wedang sere kaliyan jenang alot……

  16. matarambinangkit.com udah expire ya?????

  17. Ada yang mau paste lanjutan mataram binangkit di sini kaga ya???? masalahnya matarambinangkit.com udah ga bisa diakses…. “Penasaran banget nich….”

  18. Mohon dong kiranya lanjutan Mataram Binangkit Buku 404 ke atas dilanjutkan di sini, soalnya matarambinangkit.com udah ga bisa diakses…. terimakasih

  19. matarambinangkit.com udah expire ya?????

    Mohon dong kiranya lanjutan Mataram Binangkit Buku 404 ke atas dilanjutkan di sini, soalnya matarambinangkit.com udah ga bisa diakses…. terimakasih

  20. Ada yg udah update mataram binangkit ga ya??? bagi dong

  21. bagi dong update mataram binangkitnya…

  22. matarambinangkit.com udah expire ya?????

    Mohon dong kiranya lanjutan Mataram Binangkit Buku 404 ke atas dilanjutkan di sini, soalnya matarambinangkit.com udah ga bisa diakses…. terimakasih

    bagi dong update mataram binangkitnya…

  23. matur suwun sampun kesiapaken wedang sere kaliyan jenang alotipun…habis nengok jendela sebelah mataram biangkit, koq sudah ga bisa diakses ya? kemana lagi kuharus mencari kelanjutan ADBM?

  24. Kalau adbmers beralih ke matraram binangkit, dari adbmers jadi mbers donk?

  25. MATARAM BINANGKIT Lanjutan Api Di Bukit Menoreh Karya Ki Agus S. Soerono Seri V Buku 403 Demikianlah mereka berbagi kegembiraan. Namun mereka juga menyadari bahwa kegembiraan mereka atas kenaikan pangkat Ki Agung Sedayu menjadi Ki Tumenggung Jaya Santika, juga menuntut tanggung jawab yang lebih besar. Mereka semua, seluruh pasukan khusus di Tanah Perdikan Menoreh, harus meningkatkan kemampuan ilmu olah kanuragan mereka. Mereka harus bisa mempertahankan kekuatan pasukan khusus Mataram, harus bisa memperluasnya bahkan kalau perlu menguasai sampai ke seberang lautan. Oleh karena itu segala yang ditanamkan oleh Ki Tumenggung Jaya Santika dalam diri mereka, mereka camkan dengan sungguh-sungguh. Mereka juga menyadari bahwa kesatuan dan persatuan Kerajaan Mataram, sesungguhnya hanya kelihatan seperti permukaan air danau yang tenang, bahkan sangat tenang. Namun di bawah permukaan itu, air itu bergolak dengan derasnya. Bahkan mempunyai beberapa pusaran yang kuat yang siap menenggelamkan kapal jung yang mereka tumpangi. Oleh karena itu, para prajurit terutama dari pasukan khusus di bawah Ki Tumenggung Jaya Santika, mempunyai tanggung jawab yang paling berat. Karena setiap waktu pergolakan yang berada di bawah permukaan itu mencuat ke atas, maka mereka harus siap setiap saat untuk mempertahankan kesatuan dan persatuan itu. Bahkan kalau perlu, mereka harus sudah tahu sebelum pergolakan dari pusaran air di bawah permukaan itu mencuat ke atas. Karena itu peranan pasukan telik sandi menjadi sangat penting. Oleh karena itu, kepada para senapati sehari dalam sepekan Ki Tumenggung Jaya Santika memberi arahan mengenai cara-cara peningkatan ilmu kanuragan mereka. Ia memberi bimbingan khusus bagi para senapati tersebut, dan bimbingan khusus itu tidak hanya untuk meningkatkan tenaga cadangan mereka, namun juga sudah merambah ke ilmu jaya kawijayan. Beberapa senapati yang menonjol seperti Ki Lurah Darma Samudra dan Ki Lurah Suprapta mendapat gemblengan khusus dari Ki Tumenggung Jaya Santika. Hal pertama yang dilakukan terhadap kedua lurahnya itu adalah meningkatkan kemampuan ilmu meringankan tubuh. Hal ini menjadi perhatiannya, karena sebagai senapati armada laut Kerajaan Mataram, mereka harus bisa berjalan di atas air. Dan untuk bisa berjalan di atas air, tentu saja mereka harus mempunyai kemampuan ilmu meringankan tubuh yang tinggi. Apabila kemampuan ilmu meringankan tubuh mereka sudah tinggi, maka mereka akan dapat menapak di atas air laut bahkan berlari, seperti saat mereka berjalan di atas tanah. Para senapati itu juga dilatihnya dengan ilmu jaya kawijayan. Ki Tumenggung Jaya Santika setelah mendapat izin dari Ki Jayaraga, juga menurunkan ilmu Sigar Bumi yang sempat dipelajarinya kepada para senapatinya itu. Bahkan Ki Tumenggung sempat mengenalkan para senapati itu dengan Ki Jayaraga, sebagai sumber ilmu yang akan diberikannya kepada para senapati itu. Memang setelah Ki Tumenggung Jaya Santika mempelajari ilmu aji Kendali Sukma dari Ki Jayaraga, ternyata orang tua itu tidak mau tanggung-tanggung dalam menurunkan segala ilmunya. Ki Jayaraga juga menurunkan aji Sigar Bumi yang telah dipelajari Glagah Putih kepada Ki Tumenggung Jaya Santika. “Inilah kakek guru kalian, yang menjadi asal muasal diturunkannya ilmu Sigar Bumi,” kata Ki Tumenggung Jaya Santika. Ki Jayaraga bahkan sempat memberikan petunjuk-petunjuk khusus kepada para senapati yang di bawah pimpinan Ki Tumenggung Jaya Santika. Sehingga dengan demikian para senapati itu pun semakin meningkat tenaga cadangannya, ilmu meringankan tubuhnya dan ilmu jaya kawijayannya. Untuk bisa mencapai tataran yang diinginkan, maka para senpati itu harus menjalani bebagai laku sebagaimana yang dilakukan oleh Ki Tumenggung Jaya Santika. Mereka menjalani tirakat berupa puasa, patigeni dan ngebleng. Ngebleng adalah suatu laku berupa puasa terus menerus dan tidak keluar dari bilik selama melakukan puasa itu. Sedangkan patigeni adalah laku tidak tidur selama menjalani laku tirakat itu. Sungguh suatu laku yang berat. Dalam pada itu, di Kadipaten Panaraga, prajurit telik sandi Glagah Putih dan Rara Wulan terus mengamat-amati Pangeran Ranapati. Namun setelah sekian lama tidak ada pergerakan yang nampak dari Istana Kadipaten, maka mereka bertemu kembali. Glagah Putih, Rara Wulan, Madyasta, Sumbaga, Sungkana dan Ki Darma Tanda bertemu di tempat persembunyiannya yang tidak diketahui oleh Pangeran Ranapati atau anak buahnya. Dalam pertemuan itu, Glagah Putih dan Rara Wulan menyampaikan bahwa sampai detik ini mereka belum mengetahui sampai sejauh mana pergerakan Pangeran Ranapati untuk menggosok Pangeran Jayaraga untuk memberontak kepada Mataram. “Saya rasa harus ada di antara kita yang melapor ke Mataram, dalam situasi yang sangat tidak menentu ini,” kata Glagah Putih. Mereka yang hadir di ruangan itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka setuju dengan pernyataan Glagah Putih bahwa ada di antara mereka yang harus pergi ke Mataram. Tetapi siapa? “Siapakah menurut kalian yang harus kembali ke Kotaraja Mataram untuk melaporkan situasi ini,” tanya Glagah Putih. Ki Madyasta yang paling dituakan di antara mereka pun kemudian berkata. “Kurasa adi Glagah Putih dan adi Rara Wulan saja yang kembali ke Mataram. Karena adi berdua sudah cukup lama berada di Panaraga. Kalian sudah cukup lama tidak kembali ke Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh,” kata Ki Madyasta. Mereka kemudian kembali manggut-manggut. Mereka semua setuju dengan pendapat Ki Madyasta itu. “Benar, kakang Madyasta. Kali ini biarlah kita tugaskan adi Glagah Putih dan adi Rara Wulan untuk kembali ke Kotaraja Mataram,” kata Ki Sungkana. “Aku setuju dengan pendapat kalian berdua. Bukankah sudah cukup lama adi Glagah Putih dan Rara Wulan tidak bertemu dengan Ki Patih Mandaraka,” kata Ki Sumbaga pula. Glagah Putih yang pertama melontarkan pendapat bahwa harus ada yang melapor ke Kotaraja Mataram menjadi terperangah. Ia tidak menyangka bahwa justru dia sendiri yang mendapat tugas untuk kembali ke Kotaraja Mataram. “Bagaimana Wulan? Apakah kau juga sudah rindu kepada ayah dan ibumu?” tanya Glagah Putih sambil menahan senyumnya. Rara Wulan tidak menjawab, ia hanya bergeser merapat dan tangannya menyambar pinggang Glagah Putih yang membuat Glagah Putih meringis kesakitan. “Biar kakang punya ilmu kebal, pinggangmu tidak akan aku lepaskan,” katanya. Dengan wajah yang dibuat memelas, Glagah Putih menghiba-hiba kepada Rara Wulan. “Ampun Wulan. Ilmu kebalku tidak mempan menghadapi ilmu cengkeraman mautmu,” katanya. Kata-kata Glagah Putih itu justru membuat Rara Wulan memperkeras cengkeramannya. Semua yang hadir di ruangan itu pun tertawa melihat ulah mereka berdua. “Sudahlah Wulan. Aku hanya bercanda,” kata Glagah Putih dengan nada bersungguh-sungguh sambil memegang tangan Rara Wulan dan membelainya. Hati Rara Wulan pun menjadi luruh karenanya. Namun pada akhirnya semua yang hadir di ruangan itu sepakat bahwa Glagah Putih dan Rara Wulan yang akan berangkat ke Kotaraja Mataram pada keesokan harinya. Glagah Putih dan Rara Wulan bangun pagi-pagi benar sebelum berangkat. Mereka menunaikan kewajibannya kepada Yang Maha Agung. Rara Wulan masih sempat menanak nasi, memasak sayur dan menghangatkan ayam goreng yang dipotong kemarin. Mereka pun kemudian menyantap sarapan bersama di pendapa. Sedangkan sebagian dari makanan itu dibungkusnya sebagai bekal mereka dalam perjalanan. Setelah selesai sarapan, Glagah Putih dan Rara Wulan pun segera berkemas-kemas. Mereka pun sudah siap untuk berangkat ketika mentari pagi menyembul di ufuk timur. Mereka berdua pun segera berpamitan kepada Ki Madyasta, Ki Sumbaga dan Ki Sungkana serta Ki Darma Tanda. Glagah Putih memilih untuk berjalan kaki untuk kembali ke Mataram. Sedangkan kuda mereka dititipkannya kepada Madyasta, dengan harapan kalau kelak kembali ke Kotaraja Mataram kuda itu dibawa serta. “Wah sekarang tidak ada lagi yang memasakkan sayur bagi kita,” kata Ki Madyasta. Yang lain merasa tergugu. Karena sekian lama mereka berada di Kadipaten Panaraga dalam waktu yang cukup lama. Mereka merasa seperti sudah menjadi saudara. “Wah jangan khawatir. Doakan saja aku selamat dan segera kembali. Nanti aku masakkan lagi sayur kacang panjang, sayur lodeh atau gudeg,” kata Rara Wulan. Namun tanpa terasa setitik air mengembun di pelupuk matanya. Air yang mengembun itu perlahan-lahan berubah menjadi air mata. Rara Wulan tidak tahan dan ia terisak. Betapa pun perkasanya Rara Wulan yang menghadapi para pengikut Pangeran Ranapati, ternyata hati perempuannya tersentuh. Ia menangis dalam isaknya. Akhirnya dengan menebalkan tekadnya, Rara Wulan dapat meredam tangisnya itu. Mereka lalu bersalaman. Lalu perlahan-lahan Glagah Putih dan Rara Wulan meninggalkan pemondokan mereka di tempat yang terpencil itu. Glagah Putih dan Rara Wulan pun melambaikan tangannya. Ki Madyasta, Ki Sumbaga, Ki Sungkana dan Ki Darma Tanda pun melambaikan tangannya. Mereka pun terus memperhatikan kedua sejoli itu yang semakin menjauh dan mengecil, akhirnya hilang di balik tikungan. Glagah Putih dan Rara Wulan terus berjalan. Mereka menapak tilas jalan-jalan yang mereka lalui dulu ketika mereka berangkat dari Kotaraja Mataram dan akhirnya sampai di Kadipaten Panaraga. Hanya saja kali ini mereka berjalan dalam arah yang berlawanan. Mereka pun sempat menengok rumah di tengah hutan, ketika mereka bertemu dan mereguk ilmu olah kanuragan dari Kiai Namaskara. Namun setelah sekian lama mereka tinggalkan jejak di tengah hutan itu tidak nampak sama sekali. Mereka berputar-putar mencari rumah di tengah hutan lebat itu, namun tidak menemukannya. “Aneh sekali kakang,” kata Rara Wulan yang masih penasaran dan berusaha mencari rumah yang dulu sudah mulai reyot. Ketika mereka memasuki hutan itu, masih nampak tanda-tanda yang bisa mengantar mereka ke rumah Kiai Namaskara, bahkan mereka bisa mengenali beberapa pohon yang menjulang tinggi. Namun begitu masuk dalam lindangan hutan yang pepat, mereka kehilangan jejak. “Iya. Perasaanku, kita memasuki lorong di bawah pohon ara ini, lalu berbelok ke kanan. Namun sekarang belokan ke kanan itu sudah hilang tertutup pohon,” kata Glagah Putih. Mereka pun mencoba melingkar ke belakang pohon ara itu, namun mereka tidak dapat menemukan jalan masuk menuju ke rumah itu. Semuanya pepat, gelap pekat, dan tidak ada rongga barang sedikit pun. Namun anehnya hutan itu terasa sunyi. Tidak ada suara cenggeret, monyet atau kampret yang terbang. Sepi. Di kejauhan masih terdengar auman suara harimau. Namun lamat-lamat. Akhirnya Glagah Putih memutuskan untuk tidak meneruskan mencari petilasan Kiai Namaskara itu. Ia pun mengajak Rara Wulan untuk berdoa bagi Kiai Namaskara, meskipun mereka tidak menemukan kembali rumahnya. Mereka berniat meneruskan perjalanan meskipun tidak menemukan rumah Kiai Namaskara di tengah hutan yang sudah berubah itu. Setelah berdoa dan mempunyai ketetapan hati demikian, maka Glagah Putih mengajak Rara Wulan untuk keluar dari hutan itu. Mereka pun kembali menelisik jalan yang mereka tempuh semula untuk memasuki hutan itu, untuk kembali keluar. Tidak berapa lama mereka sudah sampai di tepi hutan. Di tepi hutan itu ternyata ada sebuah sungai yang airnya sangat jernih, sehingga nampak ikan yang berenang di dasar sungai itu. Melihat air yang jernih dan kebetulan perut mereka sudah mulai terasa lapar, maka Rara Wulan mengajak suaminya untuk berhenti sejenak. Sambil berjuntai di atas sebuah batu hitam yang besar, mereka menikmati bekal yang mereka bawa. “Apakah aku boleh berenang di sungai ini, kakang?” tanya Rara Wulan. “Boleh. Apakah kau ingin berenang di siang yang panas ini? Bukankah kau tadi pagi sudah mandi di rumah?” tanya Glagah Putih. “Iya. Tadi aku ingin berenang. Sangat ingin. Tetapi setelah mendengar pertanyaanmu, aku membatalkan niatku,” kata Rara Wulan. “He? Kenapa?” “Tidak. Tidak kenapa-kenapa.” Mata Rara Wulan nampak mulai mengembun dan setitik air hampir menetes dari sudutnya. Tiba-tiba Rara Wulan meloncat dan berlari sekencang-kencangnya. Karuan saja Glagah Putih menjadi terkejut. Ia buru-buru membenahi kampil Rara Wulan yang ditinggalkan begitu saja. Kampil itu tadi dipakai untuk menyimpan bekal mereka. Setelah masuk dengan rapi, ia segera berlari mengejar Rara Wulan. Namun Rara Wulan sudah lenyap di tengah lebatnya hutan. Glagah Putih pun mulai berteriak-teriak memanggil. “Wulan. Wulan. Di mana kau? Maafkan kalau kata-kataku ada yang salah,” kata Glagah Putih. Glagah Putih merasa heran, kenapa belakangan ini Rara Wulan menjadi sedikit lebih perasa daripada biasanya. Ia pun mencari ke sana kemari, menubras-nubras di tengah lebatnya hutan itu. Setelah sekian lama Rara Wulan tidak ditemukan juga, maka Glagah Putih pun kini tidak mau kehilangan akal. Ia segera meloncat naik ke sebatang pohon, lalu diam pada salah satu cabangnya. Ditunggunya beberapa saat. Akhirnya dari bawah sebuah pohon ia melihat dedaunan yang bergerak-gerak. Lalu muncul Rara Wulan yang celingak-celinguk. Mencarinya. Glagah Putih diam dan membiarkan Rara Wulan mencarinya. “Kakang. Kakang Glagah Putih. Jangan tinggalkan aku,” teriak Rara Wulan. Glagah Putih bergeming. Kini giliran Rara Wulan yang mencari Glagah Putih di tengah hutan yang lebat itu. Tiba-tiba Glagah Putih melihat seekor harimau yang mengendap-endap mendekati Rara Wulan. Ia tidak sampai hati. Dengan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah tidak ada bandingannya itu, Glagah Putih turun di belakang harimau itu. Ia melempar harimau itu dengan sebuah batu yang mengenai pinggangnya. Harimau itu menggeram dan berbalik arah. Harimau itu merunduk dan mengambil ancang-ancang untuk menerkam Glagah Putih. Glagah Putih pun bersiap-siap menyambut terkaman harimau itu. Sang raja hutan itu melompat tinggi, kuku kedua kaki depannya terjulur lurus-lurus ke depan. Siap mencabik-cabik tubuh Glagah Putih dalam satu kali hentakan. Tentu saja Glagah Putih tidak mau tubuhnya menjadi sarang kuku harimau itu. Dengan cepat ia berkelit ke samping, sambil tangan kanannya menyodok ke dada sang penguasa hutan. Harimau itu kembali menggeram dengan kerasnya. Agaknya ia belum jera. Kembali ia merunduk. “Hati-hati kakang,” terdengar teriakan Rara Wulan yang merasa khawatir melihat suaminya diterkam harimau. Glagah Putih pun bersiaga kembali. Ia pun memasang kuda-kuda yang kuat. Harimau itu kembali merunduk, seperti seekor kucing yang sedang mengincar mangsanya. Kepalanya menempel di tanah dan ekornya mengibas-ngibas. Dengan sepenuh tenaga ia kembali meloncat. Glagah Putih kembali mengelak ke samping. Ketika cakar depan harimau itu sudah melintasi tubuhnya, tendangan yang sangat kuat mengenai kaki belakang harimau itu. Harimau itu kembali menggeram. Namun kali ini geraman ketakutan. Ia segera menyusup ke dalam semak-semak di sebelah Rara Wulan. Rara Wulan yang melihat harimau itu berlari ke arahnya segera bersiaga. Namun harimau itu tidak menghiraukannya dan justru menghindarinya lalu masuk ke dalam hutan. Dengan lincah meskipun terseok-seok karena kena tendangan Glagah Putih, harimau itu pun pergi jauh dan tidak terdengar lagi aumannya. Rara Wulan pun lari mendekat dan memeluk suaminya. “Aku takut kakang,” kata Rara Wulan. “Sudahlah Wulan, harimau itu sudah pergi,” kata Glagah Putih sambil mengelus-elus pundak istrinya. Tiba-tiba perut Rara Wulan terasa mual, dan ia pun menjauh dari suaminya lalu menumpahkan isi perutnya. Segala makanan yang dikunyahnya dalam makan siang di tepi sungai tadi terhambur ke luar. Beberapa kali ia memegangi pinggangnya lalu terbungkuk-bungkuk dan melontarkan kembali isi perutnya beberapa kali. Meskipun cairan yang keluar dari perutnya sudah habis, Rara Wulan masih terbungkuk-bungkuk kembali. “Kau kenapa Wulan? Kau masuk angin?” tanya Glagah Putih. “Tidak kakang. Aku sudah terlambat satu bulan,” kata Rara Wulan. “He? Kau sudah isi. Kau sudah mengandung Wulan? Pantaslah kau tadi mudah sekali tersinggung ketika aku tanya mengenai keinginanmu untuk berenang di sungai tadi,” kata Glagah Putih. “Iya kakang. Tiba-tiba saja aku merasa benci melihat kakang,” kata Rara Wulan. “He? Benci? Kenapa kau benci aku?” tanya Glagah Putih. “Iya. Aku benar-benar cinta, kakang,” kata Rara Wulan dengan senyum dikulum. Glagah Putih pun kemudian memeluk istrinya. “Terima kasih sayang. Kau akan memberikan keturunan padaku,” katanya. Lalu ia melanjutkan. “Kalau demikian kita berjalan lambat-lambat saja, agar kandunganmu yang masih sangat muda itu tidak terganggu karena kau kecapekan atau makanan dalam perutmu keluar semua, karena muntah,” kata Glagah Putih lagi. Demikianlah mereka berjalan dengan pelan-pelan, karena kondisi Rara Wulan yang sedang hamil. Perjalanan yang mereka tempuh selama empat hari ketika datang, kini mereka tempuh dalam waktu hampir dua kali lipatnya. Setiap sebentar mereka beristirahat. Bila senja sudah membayang, mereka pun segera mencari penginapan yang layak untuk bermalam. Di suatu desa sebelum sampai di Banyu Asri, mereka bermalam di sebuah penginapan yang terletak dekat pasar. Pagi-pagi sekali Rara Wulan sudah terbangun dan mandi, lalu berhias diri. Glagah Putih yang mendengar kesibukan Rara Wulan segera terbangun. “Hendak ke manakah engkau sepagi ini Wulan?” tanya Glagah Putih. “Aku ingin makan nasi gudeg dan ayam goreng di pasar,” kata Rara Wulan.”Apakah kau ikut?” “Tentu saja aku ikut. Tunggulah sebentar.” Glagah Putih pun segera mandi, menunaikan kewajibannya kepada Yang Maha Agung, lalu mengajak Rara Wulan ke pasar di sebelah penginapan mereka. Mereka pun berjalan pelan-pelan sambil menikmati kesegaran udara pagi, saat sang mentari baru muncul dari balik bukit di ufuk timur. Burung-burung berkicau gembira menyambut sang fajar. Mereka terbang kian kemari sambil berdendang dan menari. Mereka tidak pernah memikirkan, apakah makan yang mereka peroleh hari ini akan cukup hingga petang. Yang penting mereka terbang, menyanyi, menari dan mematuk ulat daun yang tersedia di mana-mana. Asal mereka mau terbang dan mencari, maka ulat dan makanan lainnya terasa berlimpah. Dalam kesejukan udara pagi itulah Glagah Putih dan Rara Wulan terus menapaki jalan menuju pasar yang sudah tidak jauh lagi. Mereka pun sampai di pasar, dan menemukan warung gudeg itu di sudut kiri depan pasar. Mereka masuk ke dalam warung gudeg itu dan memilih duduk di sudut dekat jendela. Udara semilir menyejukkan suasana di warung gudeg itu. Rara Wulan segera memesan nasi gudeg, telur, tempe orek dan tahu bacem cukup untuk dua orang. Rara Wulan memesan dua gelas jeruk hangat. Tidak berapa lama makanan yang mereka pesan pun datang, karena di pagi seperti itu warung gudeg itu belum begitu ramai. Orang-orang masih sibuk menjual dagangannya dan berbelanja kebutuhannya sehari-hari. Biasanya setelah barang dagangannya laku atau pembeli sudah memperoleh apa yang dicarinya, barulah mereka mampir ke warung gudeg itu untuk makan. Glagah Putih dan Rara Wulan pun dapat menikmati makanan yang mereka pesan sambil menikmati pemandangan orang-orang yang berjual beli di pasar. Ketika mereka sedang makan itu, beberapa orang yang kekar memasuki warung gudeg itu pula. Mereka duduk di arah yang berseberangan dengan sepasang suami istri itu di sudut yang lain warung gudeg. Setelah memesan makanan, mereka berceritera dengan riuhnya. Mereka tidak peduli betapa pembeli yang lain merasa terganggu atau tidak. “Kakang Sukarta, bagaimana pandangan kakang mengenai kekuatan dan kesiagaan pasukan khusus Kerajaan Mataram di Prambanan, Kotaraja, maupun di Tanah Perdikan Menoreh?” tanya salah seorang yang gemuk berjambang lebat dan berambut ikal. “Seperti kau lihat, adi Ragil. Ternyata pasukan Kerajaan Mataram semakin kuat saja. Mereka membangun kekuatan di mana-mana. Selain di ketiga tempat itu masih ada lagi tempat pemusatan barak mereka di Galur, khusus untuk prajurit pasukan armada laut mereka,” kata Ki Sukarta. Seperti halnya Ragil, Sukarta juga gemuk berjambang lebat dan berambut ikal. Agaknya mereka dua orang yang bersaudara dan berguru di padepokan yang sama. Ia menoleh ke kiri kanan sejenak. Namun ia tidak menaruh curiga kepada sepasang suami istri yang duduk di sudut dekat jendela. Mereka lihat Glagah Putih dan Rara Wulan makan dengan asyiknya, tidak menghiraukan mereka yang berceritera dengan riuhnya. “Apakah kita akan mencoba mengganggu dan mengacaukan prajurit pasukan khusus itu, kakang?” tanya orang yang disebut Ragil oleh temannya. Sukarta tercenung sejenak. Ia nampak berpikr keras, lalu menjawab. “Aku kira kita tidak usah membuat gara-gara, jangan sampai terulang kembali seperti Gerombolan Gagak Hitam yang ternyata bisa digulung oleh prajurit pasukan khusus Kerajaan Mataram. Padahal Gerombolan Gagak Hitam, termasuk di antara yang terkuat dalam kelompok padepokan yang mendukung gegayuhan Pangeran Jayaraga dari Kadipaten Panaraga,” kata Ki Sukarta. “Bukankah kemarin kita berpapasan dengan Ki Gondang Legi yang hendak kembali ke padepokannya? Ki Gondang Legi sudah menceriterakan secara singkat betapa kuatnya prajurit pasukan khusus Kerajaan Mataram yang ada di Tanah Perdikan Menoreh,” kata Ki Sukarta lagi. Lalu ia menambahkan. “Tugas kita adalah tugas telik sandi. Bukan untuk mengadakan pengacauan atau gangguan keamanan,” katanya tegas. Rekan-rekannya yang lain pun mengangguk-anggukkan kepalanya. “Benar Ki Ragil. Sebaiknya kita tidak membuat masalah dengan prajurit pasukan khusus, agar tidak mengganggu rencana kita secara keseluruhan,” kata rekannya yang lain. Ki Barong Landung. Sesuai dengan namanya orang ini berwajah seram, matanya juling dan badannya tinggi melebihi rekannya yang lain. Glagah Putih dan Rara Wulan yang mendengar pembicaraan mereka menjadi tertarik. Dengan berbisik-bisik mereka berbicara. Mereka berdua telah menyelesaikan makanan yang dipesannya. “Wulan apakah kau setuju apabila aku menangkap mereka semua?” tanya Glagah Putih kepada Rara Wulan. “Mereka berlima kakang. Sedangkan aku masih dalam keadaan lemah karena aku sedang isi, kakang,” kata Rara Wulan. “Tenang saja Wulan aku dapat mengatasi mereka,” kata Glagah Putih. “Setelah kakang berhasil menangkap mereka, apakah kakang akan membawa mereka ke Kotaraja Mataram?” tanya Rara Wulan. “Tentu Wulan. Namun kita akan membawanya sampai di Pajang. Di sana nanti kita serahkan kepada prajurit penghubung yang ada di sana untuk dibawa ke Kotaraja Mataram,” kata Glagah Putih. “Baiklah jika demikian, kakang. Berhati-hatilah,” kata Rara Wulan. Glagah Putih kemudian berdiri dan melangkah menuju meja para telik sandi Kadipaten Panaraga itu. Ia berjalan melingkar-lingkar di sekitar meja tempat duduk mereka. Glagah Putih memperhatikan mereka satu persatu. Ki Sukarta, Ki Ragil, Ki Barong Landung dan dua orang lagi yang disebut temannya bernama Ki Semprong serta Ki Slorog. Agaknya langkah Glagah Putih yang melingkar-lingkar di sekitar mereka membuat kelima orang itu tidak nyaman. “He? Apa yang kau lakukan di sini,” tanya Ki Sukarta. “Aku sedang mencari lima orang telik sandi dari Kadipaten Panaraga. Apakah kalian mengenalnya?” tanya Glagah Putih. “Telik sandi Kadipaten Panaraga?” tanya Ki Ragil. “Ya lima orang telik sandi Panaraga, namanya Ki Sukarta, Ki Ragil, Ki Barong Landung, Ki Semprong dan Ki Slorog,” kata Glagah Putih. “He? Kurang ajar. Kau siapa?” tanya Ki Sukarta. “Aku Glagah Putih. Aku petugas dari Mataram,” kata Glagah Putih sambil menunjukkan timang di pinggangnya yang bergambarkan pertanda petugas dari Mataram. “Kau datang sendiri?” “Ya.” “Kalau kelima telik sandi yang kau cari itu adalah kami, kau mau apa?” “Aku akan menangkap kalian.” “Apakah kau tidak salah, Glagah Putih?” tanya Ki Sukarta lagi.”Kau datang sendiri, kami berlima. Badanmu kecil, kami berlima kokoh kuat.” “Apakah kau memakai tubuhmu yang dempal itu sebagai ukuran?” tanya Glagah Putih. “Hahaha….Hebat. Berani juga kau menghadapi kami berlima. Baiklah kita semua keluar. Supaya warung gudeg ini tidak berantakan. Kita ke lapangan di depan pasar. Di sana tempatnya agak lapang,” kata Ki Sukarta. Mereka berenam pun segera menuju ke lapangan di depan pasar. Suasana di pasar itu pun gempar dan panik, ketika enam orang yang tidak mereka kenal sudah saling menyerang di tengah lapangan yang terletak di depan pasar. Para pedagang yang tidak ingin barang dagangannya menjadi korban, buru-buru menutup warungnya, mengemasi barang dagangannya dan membawanya pulang. Glagah Putih yang seorang diri mulai dikepung oleh kelima orang itu. Mereka masih menggunakan tangan kosong. Dengan mengendap-endap mereka maju menyerang, seperti lima ekor harimau yang mengepung seekor kerbau korbannya. Namun Glagah Putih ternyata bukan seperti seekor kerbau seperti anggapan mereka. Ketika sudah semakin dekat, maka tiba-tiba kelima orang itu maju menerjang. Ki Sukarta menendang, Ki Ragil meninju, Ki Barong Landung menyodok dengan tinjunya, Ki Semprong dan Ki Slorog juga menendang. Mereka merasa akan segera dapat meringkus lawannya itu. Namun kelima orang itu tiba-tiba menjerit kesakitan, ketika serangan mereka saling berbenturan dan Glagah Putih tidak ada di depan mereka. Mereka mengaduh-aduh tidak karuan. “Kenapa kalian saling berbenturan? Aku di sini,” kata Glagah Putih yang ternyata sudah hinggap bak merpati yang terbang ke sebatang cabang pohon randu yang terdapat di tepi lapangan dekat mereka bertarung. Kelima orang itu pun kemudian berusaha menggoyang-goyang pohon randu yang cukup besar itu. “Hahaha. Kalian tidak usah menggoyang-goyang pohon randu seperti itu. Aku segera turun,” kata Glagah Putih. Sementara itu, Rara Wulan yang melihat dari depan warung gudeg itu pun tersenyum melihat ulah kelima orang lawan suaminya. Glagah Putih pun segera meloncat turun dari pohon randu itu. Ia pun kembali bersiaga di tengah kepungan para telik sandi dari Kadipaten Panaraga. Glagah Putih pun sejak dini menyiapkan ilmu kebalnya, karena ia tidak mau menjadi kantong pasir sasaran kelima lawannya. Sebab kalau ia tidak melambari dirinya dengan ilmu kebal aji Tameng Waja, maka kemungkinan akan menjadi sasaran yang empuk bagi lawannya. Glagah Putih pun kemudian menyiapkan kembangan tata gerak ilmu olah kanuragan yang diresapinya dari perguruan Jati Laksana peninggalan Ki Sadewa yang dipadukannya dengan ilmu jaya kawijayan yang diwariskan oleh Ki Jayaraga. Setiap kali serangan lawannya menggempur dirinya, Glagah Putih menghadapinya dengan dada tengadah. Ia tidak lagi meloncat-loncat menghindar. Namun semua serangan lawannya itu dipapakinya. Ia sengaja membentur serangan lawannya. Mula-mula kelima lawannya merasa yakin akan dapat meringkus Glagah Putih dalam waktu singkat. Namun semakin lama mereka semakin heran. Setiap pukulan atau tendangan mereka mengenai bagian-bagian tubuh Glagah Putih, anak muda itu bergeming. Bahkan terasa tangan atau kaki mereka yang membentur bagian tubuh Glagah Putih menjadi nyeri atau ngilu. Bagaikan membentur dinding baja yang tebalnya sedepa. Sedangkan Glagah Putih seperti tidak mengalami apa-apa. Namun lama kelamaan, Glagah Putih juga tidak mau hanya menjadi sasaran. Sekali lagi ia meloncat di atas kepala kelima penyerangnya ketika mereka merandek hendak menyerang secara berbareng. Kini Glagah Putih sudah berada di luar kepungan kelima lawannya. Dengan sebuah sodokan ia menggempur punggung lawannya, Ki Sukarta, yang dianggapnya terkuat di antara mereka. Gempuran di punggung itu ternyata membuat Ki Sukarta terpelanting dan menimpa teman-temannya. Ki Semprong yang masih berdiri di sebelah Ki Sukarta, juga mendapat sebuah tendangan di dadanya, sehingga ia pun terbanting di atas tumpukan teman-temannya. Ki Sukarta segera bangun, meloncat dan menghunus pedangnya. Kawan-kawannya juga melakukan hal yang sama. Kini mereka semua bersenjata. Tentu saja Glagah Putih tidak mau ketinggalan. Ia melolos ikat pinggangnya dan memutar-mutar di atas kepalanya. “Apakah kau tidak membawa senjata selain ikat pinggangmu?” tanya Ki Sukarta dengan nada setengah mengejek. “Ikat pinggangku inilah senjata andalanku,” kata Glagah Putih dengan tenang. Ia tidak terpengaruh oleh ejekan lawannya. Ternyata ikat pinggang itu di tangan Glagah Putih bisa menjadi kaku dan bisa menjadi lentur. Sesekali ia memutar ikat pinggangnya yang menjadi kaku seperti tongkat. Tongkat dari ikat pinggang itu pun berputaran di tangannya, dan mematuk dengan ganasnya seperti seekor ular. Dalam benturan pertama dengan senjata Ki Semprong, terdengar dentingan yang keras. Menimbulkan rasa nyeri di tengan Ki Semprong. Ki Semprong meloncat surut dua langkah. Ia memperhatikan ikat pinggang glagah Putih yang sebentar-sebentar berubah bentuk. Sekali kaku dan sesaat kemudian menjadi lentur sebagaimana ikat pinggang pada umumnya. Ternyata kekuatan tenaga cadangan Glagah Putih mampu mengubah-ubah bentuk ikat pinggang itu. “Luar biasa,” katanya. “Apanya yang luar biasa?” tanya Glagah Putih. “Kau mampu mengubah ikat pinggangmu menjadi seperti benda yang kaku dan liat, sehingga bisa membentur pedangku, dan di saat lain kembali menjadi lentur seperti ikat pinggang pada umumnya,” katanya. “Apakah dengan pengakuanmu itu, berarti bahwa kalian hendak menyerah,” tanya Glagah Putih.. “Tidak. Sama sekali tidak,” kata Ki Sukarta buru-buru. Ki Sukarta tidak ingin menyerah dengan begitu mudah kepada seorang anak muda, meskipun ia memakai timang pertanda sebagai prajurit dari pasukan Kerajaan Mataram. Mereka kemudian mulai mengepung kembali Glagah Putih. Melihat kemampuan Glagah Putih yang demikian besar, mereka pun menjadi semakin berhati-hati. Para telik sandi dari Kadipaten Panaraga itu pun kemudian semakin meningkatkan kemampuan ilmu kanuragannya. Tata gerak mereka demikian gesit, bergerak memutar seperti hendak membuat bingung Glagah Putih. Namun Glagah Putih yang sudah berpengalaman tidak mau dibuat bingung oleh serangan lawannya yang bergerak memutar. Glagah Putih yang sudah menerapkan ilmu kebal aji Tameng Waja tidak perlu merasa khawatir bahwa serangan lawannya akan mampu melukai dirinya. Karena itu, Glagah Putih mulai memperhatikan tata gerak kelima lawannya. Setiap kali berhasil membentur senjata ikat pinggang Glagah Putih, mereka meloncat surut sambil dalam arah yang masih memutar. Sehingga dengan demikian, serangan mereka meliuk-liuk, sekali memukul atau membentur senjatanya, mereka bergerak surut dan kawannya yang lain lah yang maju. Setelah mengamati bentuk serangan mereka yang demikian, Glagah Putih pun kemudian menyerang dengan arah sebaliknya dari arah putaran serangan lawannnya. Dentang senjata semakin sering terjadi. Kembali serangan rasa nyeri menusuk ke tangan kelima lawannya, ketika terjadi benturan senjata. Setiap kali terjadi benturan senjata, mereka berusaha sekuat tenaga memegang pedangnya erat-erat agar senjata itu tidak terlepas dari tangan. Mereka meringis ketika terjadi benturan senjata. Akhirnya Glagah Putih mengambil kesimpulan, bahwa dari kelima orang telik sandi Kadipaten Panaraga hanya Ki Sukarta yang mempunyai kemampuan tenaga cadangan dan ilmu kanuragan yang mumpuni. Sedangkan empat orang kawannya, tidak setinggi ilmu kanuragan yang dimiliki oleh Ki Madyasta, Ki Sumbaga atau Ki Sungkana. Setelah mendapat kesimpulan demikian Glagah Putih ingin menjajaki lebih jauh perlawanan kelima orang lawannya, ia pun selapis demi selapis meningkatkan tataran ilmunya. Tata geraknya semakin ganas dan trengginas, menyerang kelima lawannya. Kalau tadi seakan-akan Glagah Putih yang menjadi kebingungan dengan tata gerak kelima lawannya, maka kini Glagah Putih yang bergerak semakin cepat, membuat kelima lawannyalah yang menjadi kebingungan. Glagah Putih pun meningkatkan tenaga cadangannya setiap kali membenturkan ikat pinggangnya ke senjata lawannya. Setiap kali terjadi benturan, gagang pedang mereka terasa panas. Sehingga rasa nyeri yang menyerang genggaman tangan mereka kini berubah menjadi terasa panas. Setiap kali pedang mereka berbenturan dengan ikat pinggang Glagah Putih, genggaman tangan atas pedang mereka menjadi kian panas. Satu dua kali sabetan ikat pinggang Glagah Putih mulai menimbulkan luka di tubuh para telik sandi Kadipaten Panaraga. Darah pun mulai menetes dari luka-luka yang timbul di tubuh mereka. Pakaian mereka pun mulai berubah warnanya, menjadi bersemu merah. Mereka tidak dapat lagi mempertahankan senjata mereka di tangannya. Akhirnya satu per satu senjata lawannya terlepas. Tinggallah kini Ki Sukarta saja yang masih menggenggam pedangnya. Ketika sebuah tendangan berantai yang dlancarkan kepada keempat kawan Ki Sukarta, maka keempat orang itu jatuh tersungkur. Pingsan. Tinggallah kini Ki Sukarta yang berhadapan dengan Glagah Putih. Ia ingin menangkap Ki Sukarta hidup-hidup sehingga bisa dikorek keterangan tentang jaringan telik sandi yang ada di dalam kelompok mereka. Glagah Putih kemudian terus mendesak Ki Sukarta. Segera saja terjadi pertarungan yang semakin sengit. Ki Sukarta memutarkan pedangnya bagaikan baling-baling. Ia menutup semua lubang pertahanannya, sehingga ujung ikat pinggang Glagah Putih tidak bisa menyentuhnya. Namun setiap kali terjadi benturan ia masih merasakan betapa rasa panasnya yang merembet ke gagang pedangnya. Glagah Putih terus berusaha mengimbangi kemampuan Ki Sukarta. Agaknya Ki Sukarta pun sudah mulai merambah ke lambaran ilmu kebalnya. Karena ia juga tidak mau ujung ikat pinggang Glagah Putih merobek kulitnya seperti yang terjadi pada kawan-kawannya. Demikianlah pertarungan itu semakin lama semakin seru. Glagah Putih yang telah dapat mengukur kemampuan Ki Sukarta pun kemudian mulai meningkatkan ilmu kanuragannya. Selapis demi selapis serangan Glagah Putih mampu menekan ilmu olah kanuragan Ki Sukarta. Hal itu mendorong Ki Sukarta untuk meningkatkan penggunaan tenaga cadangannya. Namun Glagah Putih masih tetap mampu mengatasinya. Hal itu membuat Ki Sukarta pun mulai merambah ilmu pamungkasnya. Aji Segara Mawut. Dari puncak ubun-ubun Ki Sukarta keluar asap putih tipis, Semakin lama semakin tebal dan dengan cepat menyelimuti udara di sekitar dirinya. Ki Sukarta pun nampak semakin pudar bayangannya. Antara ada dan tiada. Glagah Putih yang melihat perubahan keadaan lawannya, segera dapat membaca bahwa lawannya sudah mulai merambah ilmu pamungkasnya. Karena itu, ia pun segera secara perlahan-lahan mulai melambari dirinya dengan aji Sigar Bumi. Ki Sukarta yang sudah merambah ke aji Segara Mawut, membuat pandangan mata Glagah Putih terasa menjadi kabur, karena Ki Sukarta seolah-olah antara ada dan tiada ditutupi oleh selapis kabut tipis yang semakin tebal menghalangi. Menghadapi kenyataan demikian, Glagah Putih pun tidak mau ragu-ragu lagi menggunakan aji Sigar Bumi. Ketika Glagah Putih menghentakkan kedua kakinya ke permukaan tanah, maka terasa bahwa bumi ini berguncang dengan hebatnya. Meski pun Glagah Putih tidak dapat melihat dengan jelas di mana Ki Sukarta berada, namun ia masih dapat menangkap ujung bayangannya. Berdasarkan arah tangkapan ujung bayangan lawannya itulah Glagah Putih menerjangkan hentakan kakinya. Ki Sukarta berusaha berkelit ke samping. Namun Glagah Putih yang melalui ketajaman panggraitanya mampu merasakan di mana lawan berada, segera menghadang dengan hentakan berikutnya ke arah lawannya menghindar. Kembali bumi terasa seperti teraduk-aduk dan berguncang dengan kerasnya. Seperti gempa. Glagah Putih terus menggempur tempat kedudukan Ki Sukarta. Ke mana pun Ki Sukarta bergerak, ke sana arah gempuran Glagah Putih. Akibat gempuran glagah Putih itu, Ki Sukarta yang tidak mencermati arah serangan dari Glagah Putih, akhirnya tidak dapat bertahan. Ia jatuh terbanting. Namun ia masih dapat bergerak, meskipun lemah.. Orang-orang di pasar yang masih mempunyai keberanian, masih melihat meskipun dari kejauhan. Namun setelah kelima orang itu dapat ditaklukkan, maka mereka pun berjalan mendekat. Namun sebelum dekat benar, terdengar derap puluhan kuda yang mengarah ke pasar itu. Setelah sampai, seorang penunggang kuda yang paling depan dengan perawakan tegap, segera turun dari kuda itu. Ia menyibak orang-orang yang berkerumun di lapangan depan pasar. “Kakang Sabungsari?” teriak Glagah Putih lalu mendekati orang yang sudah dikenalnya dengan baik itu. “Oo. Kau rupanya adi Glagah Putih. Aku tengah meronda hingga daerah perbatasan, namun ada orang yang melaporkan bahwa telah terjadi pertarungan di pasar ini satu orang melawan lima orang. Ternyata aku sampai di sini sudah terlambat. Pertarungan ini sudah usai,” kata Sabungsari dengan nada penuh kecewa. “Hahaha….Kakang Sabungsari tidak terlambat. Aku justru ingin menitipkan kelima telik sandi dari Kadipaten Panaraga kepada kakang Sabungsari untuk dikirim ke Kotaraja Mataram. Terus terang aku tidak bisa untuk membawanya ke Kotaraja karena Rara Wulan sedang isi,” kata Glagah Putih. “He? Isi? Maksudmu sedang mengandung?” tanya Sabungsari. “Benar kakang. Rara Wulan sedang hamil, jadi aku menghadapi kelima orang itu sendiri. Aku tahu Rara Wulan sedang hamil, baru kemarin, padahal kami berangkat dari Panaraga sudah tiga hari yang lalu,” kata Glagah Putih. “Baiklah jika demikian. Biarlah aku mengambil alih masalah telik sandi dari Kadipaten Panaraga. Apakah adi sekalian akan tetap berjalan kaki untuk pulang ke Kotaraja Mataram? Kalau boleh aku menyarankan agar kalian pergi berkuda saja. Dua dari kuda yang kami bawa dapat kau pakai untuk kembali ke Kotaraja Mataram. Aku kasihan kalau dalam keadaan hamil, Rara Wulan mesti berjalan kaki sampai Kotaraja Mataram,” kata Sabungsari. “Baiklah aku terima dan sangat berterima kasih atas tawaran kakang itu,” kata Glagah Putih. “Kakang Sabungsari?” tiba-tiba seorang wanita menyeruak dari kerumunan orang yang berada di tepi lapangan itu. “Adi Rara Wulan. Apakah adi sehat-sehat saja,” tanya Sabungsari. “Berkat doa kakang dan perlindungan Yang Maha Agung, aku sehat-sehat saja,” kata Rara Wulan. Lalu ia melanjutkan. “Marilah kakang Sabungsari, mampir sejenak di warung gudeg di tepi pasar itu,” kata Rara Wulan. “Baiklah kita mengobrol di sana sambil minum kopi setelah tidak bertemu lama sekali,” kata Sabungsari. Sabungsari kemudian memerintahkan beberapa prajurit untuk meringkus para telik sandi dari Kadipaten Panaraga. Mereka pun kemudian mengikat kelima orang itu dengan menggunakan tali janget yang kuat sekali. Pemilik warung yang tadi menjadi panik dan ketakutan, karena terjadi perkelahian di tepi lapangan, segera membuka warung gudeg dan barang dagangannya kembali. Mereka semua memesan makanan dan minuman. Matahari sudah memanjat kaki langit semakin tinggi. Sambil menanti pesanan makanan dan minuman, Sabungsari bertanya kepada Glagah Putih dan Rara Wulan yang duduk di hadapannya. “Apakah kalian sudah tahu bahwa kakang Untara diangkat menjadi Panglima Pasukan Wiratamtama?” tanya Sabungsari. “He? Kakang Untara jadi Panglima?” tanya Glagah Putih dan Rara Wulan hampir berbarengan. “Benar. Kakang Untara sejak dua pekan lalu tidak lagi berada di Jati anom, melainkan sudah pindah ke Kotaraja Mataram,” kata Sabungsari. “Wah…wah. Syukurlah. Lalu siapakan yang menggantikan kakang Untara di wilayah Selatan Gunung Merapi?” tanya Glagah Putih. “Aku.” “He? Kau kakang? Kau jadi senapati di wilayah Selatan?” tanya Glagah Putih sambil menyodorkan tangannya. Sabungsari dengan segera menyambutnya dan mereka berjabatan tangan sangat erat. “Syukurlah. Aku mengucapkan selamat atas pengangkatan kakang Sabungsari sebagai seorang senapati di wilayah Selatan,” kata Glagah Putih. “Terima kasih adi. Semuanya berkat doa kalian berdua,” jawab Sabungsari. Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan. “Sekarang apakah rencana kalian? Apakah kalian akan kembali ke Kotaraja Mataram?” tanya Sabungsari. “Benar kakang. Kami akan kembali ke Kotaraja. Tetapi terlebih dahulu kami akan mampir ke Banyu Asri untuk menengok ayah dan ibu. Apakah mereka sehat-sehat saja?” kata Glagah Putih. “Mereka sehat-sehat saja adi.” “Syukurlah.” “Adi berdua, bukan maksudku untuk tidak ingin ngobrol lebih panjang dengan adi sekalian. Tetapi karena tugasku, aku harus meninggalkan kalian. Tawanan telik sandi Kadipaten Panaraga itu, biarlah aku yang mengurusnya. Nanti ada sepuluh orang yang akan mengawalnya sampai Kotaraja Mataram. Adi berdua gunakan saja dua kuda kami untuk kembali ke Banyu Asri. Nanti kuda itu kalian tinggal di Banyu Asri, dan nanti prajuritku akan mengambilnya. Kalian pakai kuda milik paman Widura untuk kembali ke Kotaraja Mataram,” kata Sabungsari. “Baik kakang. Terima kasih atas bantuan kakang,” kata Glagah Putih. Demikianlah setelah makan nasi gudeg dan minuman hangat wedang jahe mereka berpisah di warung gudeg yang terletak di pinggir pasar. Senapati Sabungsari melanjutkan meninjau situasi keamanan di wilayah yang menjadi wewenangnya, sedangkan sepuluh prajurit membawa lima orang telik sandi Kadipaten Panaraga ke Kotaraja Mataram dan Glagah Putih serta Rara Wulan melanjutkan perjalanan mereka ke Banyu Asri dengan berkuda pelan-pelan. Dalam pada itu, Pangeran Ranapati dan Ki Gondang Legi terus berjalan menuju Padepokan Cambuk Petir yang terletak di sebelah Barat Gunung Wilis. Mereka menyusuri persawahan, bulak-bulak panjang, gumuk dan lereng, lembah dan ngarai. Tidak jarang mereka harus melompati jurang sempit yang menghadang perjalanan mereka. Setelah melintasi hutan yang agak lebat, mereka akhirnya memasuki suatu wilayah yang terbuka. Di kiri kanan jalan terdapat persawahan yang cukup luas. Dan di sudut persawahan itu terdapat pategalan yang ditumbuhi beraneka warna tanaman keras seperti kelapa, mangga, jambu, duren, rambutan dan pohon buah-buahan. Di tengah pategalan itulah terdapat sebuah padepokan. Padepokan itu nampak asri, di sudut-sudut halaman ditanami dengan pepohonan bunga berwarna-warni. Di sebelah kiri pendapa terdapat sebuah belumbang yang dihuni oleh berbagai jenis ikan, yang berenang ke sana ke mari. Pada saat menjelang siang, mereka berdua pun kemudian memasuki halaman padepokan yang dibatasi oleh pagar setinggi dada orang dewasa. Mereka segera menuju ke pendapa. Di depan pendapa mereka disambut oleh seorang cantrik yang segera mengenali Ki Gondang Legi. “Kakang Gondang Legi,” sapa cantrik itu.”Silakan kakang duduk di pendapa, aku segera memberi tahu Kiai Cambuk Petir mengenai kedatangan kalian.” Mereka pun kemudian duduk di pendapa. Tidak beberapa lama kemudian Kiai Cambuk Petir keluar dari peringgitan ke pendapa. “He? Kau Gondang Legi? Mana saudaramu yang lain?” tanya Kiai Cambuk Petir tanpa sempat mengendalikan rasa herannya, karena dari empat muridnya yang dikirim ke Kotaraja Mataram, hanya satu yang kembali. Ia bahkan tidak sempat menanyai Ki Karaba Bodas yang menyebut dirinya sebagai Pangeran Ranapati. “Ampun guru. Ketika kami telah selesai menjajaki kekuatan Mataram, kami menyeberangi Kali Praga untuk melihat keadaan terakhir di Tanah Perdikan Menoreh sebelum kembali ke Panaraga. Kami bertemu dan bertempur dengan prajurit Mataram. Kami berhasil dikalahkan. Kakang Bargas dan Bergawa berhasil dilumpuhkan, kakang Tanda Rumpil tewas dan aku berhasil melarikan diri,” kata Ki Gondang Legi. Ki Gondang Legi bersiap-siap menerima tamparan gurunya. Apabila salah seorang murid gagal menjalankan tugasnya, maka dengan ringan tangan gurunya memberi hadiah tamparan, pukulan atau tendangan. Namun kali ini gurunya nampak menahan diri, mungkin karena di depannya ada Pangeran Ranapati. “Jadi kalian telah gagal menjalankan tugas yang aku berikan?” tanya Kiai Cambuk Petir. “Ampun guru. Kami tidak gagal sama sekali, karena kami sudah mendapat catatan yang kami perlukan mengenai kekuatan pasukan Kerajaan Mataram,” kata Ki Gondang Legi. “Manakah catatan itu?” tanya Kiai Cambuk Petir. Ki Gondang Legi mengeluarkan beberapa lembar rontal dari dalam kampilnya, lalu menyerahkan catatan itu kepada gurunya. Kiai Cambuk Petir menerima rontal itu dan membacanya sekilas. Ia mengangguk-angguk. “Apakabar Pangeran Ranapati? Mohon maaf aku telah mengabaikan kehadiran Pangeran? Hal itu justru karena rasa tanggung jawabku atas tugas mereka untuk menyelidiki kekuatan pasukan Mataram,” kata Kiai Cambuk Petir. “Tidak apa-apa Kiai Cambuk Petir,” kata Pangeran Ranapati singkat. Sebenarnya Pangeran Ranapati merasa sangat tersinggung diabaikan demikian oleh Kiai Cambuk Petir. Namun apabila rasa tersinggung itu yang ditonjolkannya, akan bisa mengacaukan segala rencana besarnya. Padahal Kiai Cambuk Petir adalah salah seorang yang sangat mendukung rencananya untuk memperkuat Kadipaten Panaraga dalam upaya mengguncang kekuatan Kerajaan Mataram. Oleh karena itu ia berusaha meredam rasa tersinggung yang membuncah amat sangat di dalam jantungnya. “He? Apa kau bilang tentang saudara-saudaramu?” tiba-tiba Kiai Cambuk Petir tersentak. “Kakang Bargas dan Bergawa berhasil dilumpuhkan, kakang Tanda Rumpil tewas,” kata Ki Gondang Legi. “Siapakah yang melumpuhkan Bargas dan Bergawa,” tanya Kiai Cambuk Petir. “Seorang prajurit pasukan khusus Mataram, guru. Ia juga mempergunakan senjata cambuk seperti cici-ciri perguruan kita,” kata Ki Gondang Legi. “He? Orang Bercambuk seperti kita, katamu?” “Benar guru.” “Di manakah kalian bertempur dengan orang yang bersenjatakan cambuk itu?” “Di tepian kali Praga, guru.” “Apakah ciri-ciri senjata cambuk yang dipakainya sama seperti yang kita pakai?” “Benar guru. Cambuknya berjuntai panjang seperti cambuk kita. Bahkan juga berkarah-karah baja berbentuk bintang bersegi sembilan.” “He? Sama persis dengan cambuk ciri-ciri perguruan kita,” kata Kiai Cambuk Petir. “Benar guru. Sama persis seperti ciri-ciri cambuk kita.” “Baik. Aku akan menanyakan hal itu kepada kakak seperguruanku Kiai Ajar Karangmaja. Mungkin ia tahu, siapakah sebenarnya guru prajurit dari pasukan Mataram yang mempunyai ciri-ciri Orang Bercambuk seperti yang kita miliki,” kata Kiai Cambuk Petir.Ia berhenti sejenak. Lalu meneruskan kata-katanya. “Sekarang apakah rencana anakmas Pangeran Ranapati?” tanya Kiai Cambuk Petir. “Begini Kiai. Sesuai dengan rencana yang telah kita sepakati, kita akan tetap bergabung dalam kekuatan yang kita sebut sebagai kekuatan pendukung Kadipaten Panaraga,” kata Pangeran Ranapati. Lalu ia melanjutkan. “Aku akan meneruskan perjalanan untuk mencari dukungan dari beberapa padepokan yang berada di wilayah Kadipaten Panaraga. Selain itu juga, mencari dukungan dari beberapa Kadipaten seperti Madiun, Demak, Kudus, Pacitan, Surabaya, Pajang atau Jipang. Kita gerakkan orang-orang yang tidak puas terhadap bangkitnya Kerajaan Mataram sehingga bisa menjadi kekuatan yang mampu mengguncang Mataram itu sendiri,” kata Pangeran Ranapati. Kiai Cambuk Petir mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia nampak setuju dengan pendapat Pangeran Ranapati. Namun Kiai Cambuk Petir sesungguhnya mempunyai kepentingannya sendiri. Ia justru hendak membelokkan arah perjuangan Pangeran Ranapati dengan membangkitkan kebesaran dari masa lalu, yaitu bangkitnya Kerajaan Majapahit yang mampu menguasai seluruh Nusantara. Akan tetapi hal itu, baru akan dilakukannya setelah perjuangan besar ini sudah separuh jalan. Lebih mudah membelokkan arah perjuangan itu, daripada mendorongnya sejak awal seperti sekarang ini. “Baiklah anakmas. Anakmas silakan menghubungi orang-orang dalam jalur perjuangan untuk mendukung Kadipaten Panaraga, seperti anakmas katakan tadi. Aku pun demikian. Namun terlebih dahulu aku akan menghubungi kakak seperguruanku. Apabila Kiai Ajar Karangmaja bisa ikut kita gerakkan, maka di belakangnya akan berbaris orang-orang dari kebesaran masa silam yaitu Kerajaan Majapahit yang siap mendukung perjuangan kita,” katanya. “Dengan berbekalkan keterangan yang berhasil dihimpun oleh Gondang Legi, maka kita membutuhkan pasukan sedikitnya dua puluh laksa untuk bisa menggempur Mataram,” kata Kiai Cambuk Sakti. Pangeran Ranapati pun setuju dengan pendapat Kiai Cambuk Sakti. Ia sependapat bahwa diperlukan pasukan sedikitnya dua puluh laksa untuk dapat menggulung Mataram.Apabila dapat terkumpul pasukan dengan anggota berjumlah dua puluh laksa, maka hal itu akan memudahkan pergerakan selanjutnya. Kiai Cambuk Sakti kemudian memerintahkan para cantrik untuk bersantap siang bagi mereka bertiga. Mereka makan seadanya sebagaimana yang biasa tersedia di padepokan. Nasi, sayur lodeh, goreng ikan dan sedikit kue ringan seperti nagasari atau juadah. Setelah selesai bersantap, maka mereka pun segera membagi tugas. Kiai Cambuk Petir akan mengunjungi kakak seperguruannya, Ki Gondang Legi mengawasi para cantrik selama Kiai Cambuk Petir pergi, Pangeran Ranapati menghimpun berbagai kekuatan yang mau dan mampu mendukung Kadipaten Panaraga. Demikianlah Kiai Cambuk Petir kemudian mengendarai kudanya menuju ke kaki sebelah utara Gunung Wilis. Di sanalah kakak seperguruannya Kiai Ajar Karangmaja membangun padepokan. Padepokan Ajar Karangmaja. Meskipun jalan yang ditempuhnya cukup rumit dan rumpil, namun karena Kiai Cambuk Petir sudah mengenal dengan baik jalan menuju ke sana, Ia melintasi bulak-bulak panjang, daerah persawahan, lalu masuk hutan yang agak lebat, jalanan yang berliku, lembah dan ngarai pun dilintasinya. Semakin dekat dengan padepokan kakak seperguruannya itu, semakin sulit jalan yang harus ditempuhnya. Ia sampai di Padepokan Ajar Karangmaja setelah menempuh perjalanan berkuda hampir sehari penuh. Sungguh suatu perjalanan yang melelahkan. Namun Kiai Cambuk Petir adalah termasuk orang yang mempunyai kekuatan yang luar biasa. Meskipun tubuhnya sudah mulai dimakan usia, namun ia tetap tegar menghadapi perjalanan yang sulit dan panjang seperti yang ditempuhnya sekarang ini. Kiai Cambuk Petir meloncat turun ketika kudanya mencapai regol halaman Padepokan Ajar Karangmaja. Ia segera disambut oleh seorang cantrik yang menerima tali kekang dan mengikatkannya pada tonggak-tonggak yang tersedia. “Apakah Kiai Ajar Karangmaja ada,” tanya Kiai Cambuk Petir. “Ada Kiai. Kiai Ajar Karangmaja sedang di sanggarnya. Silakan Kiai duduk di pendapa. Aku segera memberitahukan kepada Kiai Ajar Karangmaja mengenai kehadiran Kiai,” kata cantrik yang termasuk paling muda.. Demikianlah setelah menunggu sejenak, Kiai Ajar Karangmaja keluar dari sanggarnya setelah cantrik tadi memberitahukan bahwa adik seperguruannya Kiai Cambuk Petir datang berkunjung. “Selamat datang adi. Apakabar? Sudah lama sekali kau tidak datang ke mari,” kata Kiai Ajar Karangmaja menyambut tamunya. Adik seperguruannya. “Terima kasih kakang. Aku sehat-sehat saja. Semoga demikian hendaknya dengan keadaan kakang,” kata Kiai Cambuk Petir. “Syukurlah. Aku juga selalu dalam lindungan-Nya. Apakah ada hal yang penting dan mendesak, sehingga kau menyempatkan diri untuk menemuiku yang jauh di pucuk Gunung Wilis ini?” tanya Kiai Ajar Karangmaja, langsung ke inti masalah. Ia tidak mau bertele-tele untuk mengetahui keinginan adik seperguruannya, yang sering datang dan selalu mempunyai maksud-maksud tertentu di luar ukuran nalarnya. “Benar, kakang. Aku datang ke mari untuk kembali mengajak kakang guna bergabung dalam apa yang disebut sebagai barisan pendukung Kadipaten Panaraga untuk bisa menguasai tlatah ini. Apabila kita gabungkan dengan kekuatan yang berada di belakang kita, maka bukan tidak mungkin kita bisa membangkitkan kekuatan dari masa silam, yaitu membangun kembali Kerajaan Majapahit yang besar dan mampu menguasai Nusantara,” kata Kiai Cambuk Petir. “Sudah berulangkali aku katakan adi. Aku ini sudah sangat lanjut. Bahkan badanku sudah berbau tanah. Aku tidak mau lagi memikirkan masalah duniawi seperti itu. Apakah aku akan menjadi senapati atau tumenggung kalau bisa kau bujuk untuk bergabung? Untuk orang seumur aku, untuk apa lagi jabatan senapati atau tumenggung? Aku sudah tidak mempunyai gegayuhan seperti itu. Ketiga anakku juga sudah mentas dan aku sudah sudah mempunyai enam cucu. Kebahagiaanku sekarang adalah momong keenam cucuku itu. Itu saja,” kata Kiai Ajar Karangmaja. “Akan tetapi kakang, bukankah kita masih keturunan langsung dari trah Kerajaan Majapahit? Bukankah dengan demikian kita juga wajib menjunjung tinggi leluhur kita. Mikul dhuwur, mendem jero. Apakah kakang tidak merasa mempunyai kewajiban untuk membangun kembali kejayaan dari masa silam?“ tanya Kiai Cambuk Petir. “Adi jangan keliru. Yang mempunyai trah langsung kerajaan Majapahit adalah guru kita Mpu Windujati. Sedangkan kita hanyalah cantrik di padepokannya, yang kemudian mendapat kesempatan menjadi muridnya. Aku dan kau bukan trah langsung dari Kerajaan Majapahit. Kita hanyalah keturunan pidak pedarakan, yang tidak seorang pun bisa mengaitkannya dengan trah Majapahit,” tutur Kiai Ajar Karangmaja dengan nada yang mulai meninggi. Ia berhenti sejenak. Nafasnya agak tersengal-sengal, karena menahan hati mendengar ucapan adik seperguruannya yang sekan-akan baru datang sudah memanas-manasi suasana. “Sekarang tidak lagi, adi. Aku sedikit pun tidak mempunyai gegayuhan untuk membangkitkan kembali kejayaan Majapahit. Kerajaan Majapahit sudah mengukirkan dalam kitab sejarah negeri ini dengan tinta emas. Sekali terbilang, lalu hilang. Sekarang berilah kesempatan kepada kerajaan Mataram untuk kembali mengukirkan tinta emas dalam kitab sejarah itu. Sehingga pada saatnya nanti, anak cucu keturunan kita ratusan tahun mendatang akan melihat bahwa sejarah negeri kita ini penuh dengan warna-warni,” kata Kiai Ajar Karangmaja. Kembali ia terdiam sesaat. “Aku tidak lagi mempunyai gegayuhan seperti itu,” kata Kiai Ajar Karangmaja. “Kenapa, kakang?” “Karena yang ada sekarang ini sudah merupakan saluran yang tepat untuk meneruskan kerajaan Majapahit. Ketika Majapahit runtuh, bangkit Demak. Demak pun diteruskan oleh Pajang. Kemudian Pajang dilanjutkan oleh Mataram. Nah kurang apa lagi?” tanya Kiai Ajar Karangmaja. “Kekurangannya adalah karena tidak ada peran kita di dalamnya, kakang. Kalau kita ikut berperan dalam perubahan pemerintahan itu dengan menjadi sarana berpindahnya wahyu keraton, maka barulah merupakan saluran yang tepat. Akan tetapi di sini kita tidak dilibatkan sama sekali,” kata Kiai Cambuk Petir. “Lalu kalau dilibatkan, kita sebagai apa? Sebagai pengusung wahyu keraton, begitu?” tanya Kiai Ajar Karangmaja. “Benar kakang. Apabila kita dilibatkan sebagai pengusung wahyu keraton, maka paling tidak kita bisa memiliki kedudukan penting di dalam pemerintahan,” kata Kiai Cambuk Petir. “Kedudukan apa yang kau inginkan adi, dalam usiamu yang sudah jauh memanjat naik dan menjelang turun. Kalau usiamu masih tiga puluh tahunan, bolehlah apabila kau minta kedudukan. Pada saat menjelang purnatugas pada saat usiamu lima puluh tahun, kau sudah menjadi tumenggung. Akan tetapi dengan usiamu yang sudah enam puluhan tahun seperti sekarang ini apa lagi yang kau harapkan?” tanya Kiai Ajar Karangmaja. “Paling tidak kita akan bisa meletakkan dasar bagi lingkungan kita. Meletakkan dasar bagi anak cucu kita,” kata Kiai Cambuk Petir. “Akan tetapi apa yang bisa kita lakukan. Karena kita akan tetap berada di luar jalur kekuasaan yang bisa menentukan hitam putihnya keadaan,” tanya Kiai Ajar Karangmaja. “Tentu saja kita memberikan dukungan yang perlu bagi terwujudnya gegayuhan kita itu,” kata Kiai Cambuk Petir. “Sudahlah adi. Aku tidak ingin terlalu ikut campur dalam urusan yang sama sekali aku tidak mengerti. Aku juga tidak mempunyai wewenang untuk memasukkan keterangan yang berguna bagi perubahan kekuasaan itu. Seandainya terjadi perubahan kekuasaan pun, tentu saja kita akan tersingkir dan tidak akan bisa memperjuangkan kepentingan anak cucu kita. Karena kita sudah uzur,” kata Kiai Ajar Karangmaja. “Wah kakang terlalu berkecil hati sebelum berbuat sesuatu,” kata Kiai Cambuk Petir. “Yang jelas, aku tidak ingin melibatkan padepokanku dan keluarga besar perguruan Windujati dalam pertengkaran ini karena ingin memperebutkan kekuasaan,” kata Kiai Ajar Karangmaja. Kiai Cambuk Petir yang semasa mudanya bernama Kulantir sebenarnya adalah adik seperguruan dari Kiai Ajar Karangmaja. Ketika berguru kepada Mpu Windujati, mereka terpaut cukup jauh umurnya maupun tingkat ilmunya. Pada saat terjadi pergolakan terakhir di Demak Bintara mereka mendapat tugas untuk mengamati keadaan di Demak Bintara itu. Namun pada saat mereka kembali ke perguruan Windujati, mereka mendapati guru mereka ”Mpu Windujati” telah tiada. Kiai Ajar Karangmaja yang merupakan murid tertua Perguruan Windujati, kemudian mendapat kepercayaan untuk meneruskan padepokan itu. Sesuai dengan nama pemimpinnya, akhirnya orang lebih mengenal Padepokan Ajar Karangmaja, ketimbang Padepokan Windujati. Kiai Ajar Karangmaja yang kakak seperguruan Kulantir kemudian menurunkan ilmu yang telah diperolehnya hampir secara lengkap dari Mpu Windujati. Sehingga dengan demikian Kiai Ajar Karangmaja adalah kakak seperguruan sekaligus guru bagi Kulantir yang kemudian menyebut dirinya Kiai Cambuk Petir ketika telah berdiri sendiri dengan membangun padepokannya sendiri. Kiai Ajar Karangmaja mempunyai dua murid utama. Yang seorang bernama Putut Kalibata, dan seorang lagi Putut Jimbaran. “Kemanakah kedua muridmu kakang. Putut Kalibata dan Putut Jimbaran,” tanya Kiai Cambuk Petir. “Mereka berdua mulai kemarin minta izin untuk pulang ke kampung masing-masing selama dua bulan. Padi di sawah mereka sudah mulai panen dan mereka harus mengolah sawah untuk musim tanam berikutnya,” kata Kiai Ajar Karangmaja. “Wah sayang sekali. Sebenarnya aku juga ingin mengajak mereka untuk bergabung denganku untuk memperjuangkan gegayuhan membangkitkan kejayaan Kerajaan Majapahit,” kata Kiai Cambuk Petir. “Adi jangan melibatkan padepokanku, atau pun kedua muridku itu dalam mencapai gegayuhanmu,” kata Kiai Ajar Karangmaja dengan nada sengit. “Baiklah kakang. Kalau kau tidak mengizinkan, aku tidak akan memaksa,” kata Kiai Cambuk Petir dengan nada enteng. Betapapun ia masih tetap menghormati kakang seperguruan yang sekaligus menjadi guru tunggak semi-nya setelah Mpu Windujati tiada. Perbawa kakak seperguruannya itu demikian besar. “Oo ya, kakang. Aku ingin bertanya apakah di antara sanak kadang kita yang masih trah Keraton Majapahit ada yang tinggal di Mataram dan menjadi prajurit pasukan Mataram?” tanya Kiai Cambuk Petir. “Memangnya ada apa? Aku tidak tahu apakah di antara keluarga besar trah Majapahit atau sanak kadang kita yang berpihak atau berada di Mataram,” kata Kiai Ajar Karangmaja. “Begini kakang. Dua pekan lalu aku mengirim keempat muridku Bargas, Bergawa, Tanda Rumpil dan Gondang Legi untuk mengamat-amati kekuatan pasukan Kerajaan Mataram. Nah dalam suatu pertempuran dengan seorang prajurit Mataram, ternyata Bargas dan Bergawa berhasil dilumpuhkan, Tanda Rumpil tewas dan Gondang Legi berhasil melarikan diri kembali ke padepokanku di Panaraga,” kata Kiai Cambuk Petir. “Keempat muridmu kalah?” tanya Kiai Ajar Karangmaja. “Iya kakang. Yang membuatku heran, justru yang melumpuhkan kedua murid utamaku ”Bargas dan Bergawa” adalah orang yang mempunyai ciri-ciri seperti perguruan kita. Ciri-ciri perguruan Orang Bercambuk,” kata Kiai Cambuk Petir. “He? Ciri-ciri Orang Bercambuk? Apakah cambuknya berjuntai panjang dan berkarah-karah baja di ujungnya?” tanya Kiai Ajar Karangmaja lagi. “Benar kakang. Apakah kakang tahu bahwa ada sempalan dari ilmu Orang Bercambuk yang kini mengabdi sebagai prajurit di Mataram?” tanya Kiai Cambuk Petir. “Aku tidak tahu persis, adi. Tetapi setahuku tidak ada orang atau sempalan ilmu Orang Bercambuk yang kini mengabdi sebagai prajurit di Mataram,” kata Kiai Ajar Karangmaja. “Apakah orang itu murid dari Raden Timur yang sering juga disebut Pamungkas?” kata Kiai Ajar Karangmaja kepada dirinya sendiri. “Maksud kakang, Raden Timur cucu dari Mpu Windujati?” tanya Kiai Cambuk Petir. “Benar. Raden Timur yang selalu mengamati kalau kita sedang berlatih ilmu kanuragan,” kata Kiai Ajar Karangmaja. Ia terdiam sejenak, lalu melanjutkan. “Raden Timur adalah cucu sekaligus murid utama dari Mpu Windujati,” tutur Kiai Ajar Karangmaja. “He? Tetapi aku tidak pernah melihat Raden Timur berlatih ilmu kanuragan dengan kita, para murid perguruan Mpu Windujati,” kata Kiai Cambuk Petir. “Iya. Karena Mpu Windujati berkenan melatihnya secara langsung di dalam sanggar. Aku beberapa kali mendapat tugas untuk berlatih tanding dengan Raden Timur. Meskipun Raden Timur sedikit lebih muda daripada aku, namun ilmunya ngedab-ngedabi dan hampir sesempurna Mpu Windujati sendiri,” kata Kiai Ajar Karangmaja. “Selain itu, Raden Timur juga berguru kepada adik seperguruan Mpu Windujati yang merupakan sahabat dekat dengan seorang yang bernama Kebo Kanigara, putera sekaligus murid dari Ki Ageng Pengging Sepuh,” kata Kiai Ajar Karangmaja. Dengan demikian ilmu yang dikuasai Raden Timur adalah gabungan ilmu dari beberapa perguruan. Kiai Ajar Karangmaja terdiam lagi. Seakan-akan sedang mengenang kembali hubungannya dengan Raden Timur di Perguruan Windujati yang tersimpan dalam bilik ingatannya. Kejadian yang terjadi puluhan tahun yang lalu itu, seakan terputar kembali di dalam angan-angannya. Betapa Raden Timur yang masih muda itu, bertarung dengan dirinya di dalam sanggar. Meskipun ilmu yang diraihnya secara tuntas itu dikerahkannya untuk menyerang Raden Timur, namun cucu gurunya itu masih tetap bisa mengatasinya. Sebagai pertanda bahwa ilmu yang mereka pelajari di perguruan Windujati telah tuntas, maka mereka berdua menjalani suatu ritual khusus di dalam sanggar itu. Gurunya membakar sebatang baja yang pada ujungnya terdapat semacam cap stempel dari baja. Pada cap stempel itu tertera gambar semacam cambuk yang pada ujungnya terdapat karah-karah baja bersegi sembilan. Gurunya, Mpu Windujati yang masih merupakan trah Keraton Majapahit, meminta mereka berdua mengerahkan ilmu kebal yang telah mereka kuasai secara tuntas. Sebagai pertanda bahwa ilmu kebal mereka telah tuntas, maka ruangan sanggar Mpu Windujati terasa seperti panas membara. Sepanas cap stempel yang dipanaskan oleh gurunya. Karena agaknya, ilmu kebal mereka berdua telah berhasil membangkitkan sifat panas di dalam udara sekitar mereka. Ketika Mpu Windujati merasa pengerahan ilmu kebal kedua muridnya telah cukup, Mpu Windujati segera menempelkan cap stempel dari baja yang membara itu ke pergelangan tangan kiri kedua muridnya. Tercium bau seperti daging yang terbakar. Dengan sekuat tenaga kedua murid Mpu Windujati menahan nyeri yang mereka rasakan akibat diselomot dengan cap stempel membara itu. Gurunya segera memborehkan obat-obatan yang telah disiapkan untuk mengatasi luka bakar di tangan kedua muridnya itu. Ketika sembuh, sebuah cap bergambarkan cambuk menghiasi pergelangan tangan kiri kedua muridnya. Dalam kesempatan itu, gurunya mewariskan kitab perguruan Windujati kepada Raden Timur. Gurunya kemudian memberi wejangan kepada mereka berdua, bahwa hubungan mereka sebagai dua saudara seperguruan harus tetap mereka jaga hingga kapan pun. Selama hayat masih dikandung badan. Hubungan itu tidak hanya di antara mereka saja, namun juga hubungan di antara murid-murid mereka, apabila kelak mereka membangun padepokan sendiri. Gurunya berpesan agar mereka tidak mudah-mudahnya mempergunakan ilmu pamungkasnya. Ilmu Pamungkas Orang Bercambuk. Apabila mereka ragu-ragu, apakah sudah saatnya atau belum mempergunakan ilmu pamungkas mereka, maka Mpu Windujati meminta agar mereka mengelus-elus pergelangan tangan kiri mereka dan bertanya di dalam hati:”Guru apakah sudah saatnya aku pergunakan ilmu pamungkasku?” Kelak mereka akan tahu, bahwa gurunya akan memberikan jawaban atas pertanyaan mereka. Pesan wanti-wanti dari gurunya, Mpu Windujati, itulah yang selalu terngiang di dalam pendengaran Kiai Ajar Karangmaja yang semasa mudanya bernama Soma. Ketika Soma menurunkan ilmunya kepada Kulantir, pesan yang sama selalu ditekankannya kepada adik seperguruan sekaligus muridnya itu. Namun, meskipun ilmu yang diturunkannya kepada Kulantir telah tuntas, namun Soma tidak berani mengadakan ritual khusus memberi cap stempel cambuk kepada Kulantir. Hal itu karena ia mengamati perangai Kulantir yang sering tidak sesuai dengan keinginannya. Kulantir lebih sering mengetengahkan sifat tamaknya akan kekuasaan. Namun sifat tamaknya itu tidak disalurkan secara benar melalui jalur kekuasaan yang ada. Soma masih akan bisa memahami keinginan adik seperguruannya itu apabila Kulantir menyalurkan keinginannya untuk berkuasa misalnya dengan memasuki jenjang keprajuritan. Apabila Kulantir ketika masih muda memasuki jenjang keprajuritan mungkin ia sudah mengantongi pangkat tumenggung atau bahkan sudah purnawira. Namun hal itu tidak dilakukannya. Kul
    • kados pundi kelanjutanipun kang mas?

  26. wah kang asbud itu kan masih seri 402…

  27. lanjutan 404 mana ya?,kalo bayar gmn caranya utk mendapatkan seri 404 dst… tq

  28. iya nih… matarambinangkit.com ga bisa diakses….
    udah rinduuuuuuuuu banget……………

  29. ni blog masih ada penghuninya ndak sih

    • ngga ada ndul

      • sekedar berbagi berita saja:
        di Gagak Seta ada Terusan ADBM, bisa dinikmati dgn gratis
        monggo kalo mau mampir

        • maturnuwun kangmas.

  30. antara ada dan tiada sedang tiarap semua para pemimpin padepokan…………………….????????????

    # ada yang bisa dibantu Ki?

  31. Sugeng siang para Cantrik sedaya..
    Sebelumnya mohon maaf atas woro woro ini,
    dulu saya pernah ingin mencoba melanjutkan adbm yg terputus, namun karena kesibukan, ternyata Ki Agus yg telah meneruskan kisah adi luhung ini.
    namun demikian, di gandhok Gagak Seta, saya di “ogrok2” oleh beberapa cantrik disana untuk meneruskan Adbm dengan versi “mbah_man”
    Semoga kalau ada waktu silahkan mampir di gandhok “Terusan ADBM Gagak Seta”
    matur suwun
    Mbah-man

    • tak kiro woro-woro gandok anyar ‘terusan adbm mandarakan’

  32. Yang peting GRATIS kalo musti mbayar sepertinya menghianati cita2 awal kita,,,

  33. kok nggak bisa komen ya 😦

    • jangan-jangan

    • jangan terlalu cepat komennya Ki Syakuur .. nanti dikira SPAM oleh Aki Ismet 😀

      • rasanya bukan gitu deh, soale kemaren tu banyak keluhan wp nggak bisa komen (misalnya di cersilindonesia tu banyak keluhan) e nggak tahunya di sini juga ternyata komenku nggak masuk, nunggu ki nin 😛

  34. lanjutan ADBM 404 mana ya ki?
    bukanya di website apa ya?

  35. Alamat pastinya di link mana ya (Terusan ADBM Gagak Seto) ??
    Mohon dibantu dong….
    tks

    • cobi njenengan tingali wonten mriki ki nogoposo

      • kok di mriki nya sy kok gak bisa nemu ydm ya….
        bantuin doong…

        • wah berarti niku alamat palsu sing digoleki mbak ayu doong…

    • mbah_man berusaha meneruskan ADBM dengan versi lain (selain Bukan ADBM nya Ki Agus).
      sayang, baru sekitar separuh jilid beliaunya sakit sehingga harus rawat inap di rumah sakit.
      semoga beliau lakas sembuh dan meneruskan tulsiannya.
      silahan kunjungi disini: http://cersilindonesia.wordpress.com/terusan-adbm/2/

  36. Ma’af mau tanya, apa masih ada cerita lanjutan dari ADBM?

  37. Kalau mau bayar gimana caranya ya, nuwun sewu bagi dulur2 mbok ya empatinya dan nuraninya dikedepakkan, ayo kita menghargai imajinasi dan karya sastra penulis yang berusaha melanjutkan cerita epik kepahlawanan nuansa jawa tengah, apapun hasilnya kalau literasi ini sangat membantu mengenalkan adat istiadat unggah ungguh subosito masyarakat jawa mbok ya disokong, ini lebih berisi dari pada komik marvel atau DC yang dar der dor…
    Salam
    #bagaskoro manjer kawuryan

  38. Mataram Binangkit
    Buku 404
    Oleh Agus S. Soerono

    Telah terbit Ebook Mataram Binangkit Buku 404 oleh Agus S. Soerono. Jika anda berminat, silakan transfer Rp 100.000,- ke Norek BCA 288-1221-715 a/n Agus Suprihanto. Kirim bukti transfer dan sertakan alamat email ke no WA 0878-0856-1199. Kami akan segera mengirim Ebook dalam format PDF ke alamat email.

  39. Donasi tidak berkeberatan, asal tidak menjadi komersial.
    Yang lain versi mbah Man donasinya tidak ngarani.
    Saya juga berlangganan yang versi mbah MAN

  40. Kalajenganipum seri menika menapa wonten, menawi taksih saged kula panggihaken ing pundi? Mugi para kadang saged paring kabar, nuwun

  41. Saya bisa mengkuti karya Ki Agus dimana ya, lanjutannta

  42. Nyuwun pirsa, seri saklajengipun wonten pundi, kula kok dereng manggihaken, bok menawi ki agus rena paring sesuluh.

    • Kami tidak melanjutkan wedaran di sini, karena cerita selanjutnya “berbayar”.

      Ngapunten.

  43. Cukup baik, seperti pengantar kata di atas ; untuk memuaskan dahaga pembaca penggemar ADBM ( Api di bukit menoreh)

  44. saya mencari software abbyy finereader yang pernah dibagikan, adakah cantrik yang masih ingat link nya?


Tinggalkan komentar