Bukan ADBM

buku-iv-97>>| buku-iv-99>>

Api di Bukit Menoreh
Seri IV-98
Membangun Armada Laut Yang kuat bagi Mataram
Oleh Ki Agus S. Soerono

–KAKANG jangan terkejut ya—kata Sekar Mirah kepada suaminya. Justru nada percakapan yang dimulai dengan larangan supaya jangan terkejut, membuat wajah Ki Rangga menjadi bertanya-tanya.
–Ada apa Mirah?—tanya Ki Rangga Agung Sedayu.
–Tetapi kakang berjanji dulu untuk tidak terkejut—kata Sekar Mirah, yang justru membuat dahi suaminya berkerut-kerut.
–Baik-baik. Aku berjanji untuk tidak terkejut—kata Ki Rangga Agung Sedayu. Namun dari raut wajahnya nampak penuh tanda tanya.
Meskipun Ki Rangga sudah berjanji untuk tidak terkejut, namun Sekar Mirah belum juga mengatakan sesuatu kepada suaminya. –Katakan Mirah, apa yang terjadi padamu—
–Coba kakang tebak, apa yang terjadi padaku—kata Sekar Mirah sambil tersenyum-senyum.
–Nyi Soma sudah mengembalikan uang yang dipinjamnya—kata Ki Rangga menebak sekenanya.
–Bukan. Kakang salah tebak—kata Sekar Mirah yang membuat Ki Rangga menjadi penasaran.
–Coba tebak lagi—
–Hasil panen sawah kita hasilnya memuaskan dan melebihi hasil panen kita pada musim yang lalu.—
–Bukan juga—kata Sekar Mirah.—Kakang masih mempunyai kesempatan untuk menebak sekali lagi.—
–Wah aku menyerah. Masak salah tebak terus—kata Ki Rangga yang mulai merasa semakin penasaran bahwa istrinya sengaja menggodanya.
–Kakang boleh menebak sekali lagi—kata Sekar Mirah.
–Kalung emas yang kau pesan dari pedagang di pasar sudah jadi—kata Ki Rangga.
–Bukan. Bukan itu kakang—kata Sekar Mirah.
–Baiklah aku menyerah. Coba katakan apakah yang membuatmu begitu gembira malam ini?—
–Tetapi kakang harus berjanji tidak akan menjadi pingsan kalau aku katakan apa yang terjadi— kata Sekar Mirah sambil meraba dada suaminya, seolah-olah ia memegang agar jantung Ki Rangga tidak copot.
–Baiklah. Aku sekali lagi berjanji. Belum sepenginang aku sudah harus dua kali berjanji. Jadi katakanlah—
–Baik kakang. Ini ada berita gembira. Aku sudah terlambat kedatangan bulan. Aku mulai isi—
–Apa? Jadi kau sudah mengandung Mirah. Syukurlah—kata Ki Rangga Agung Sedayu sambil membungkukkan punggungnya, menekuk lututnya lalu meletakkan dahinya di atas lantai. Ki Rangga mengucapkan puji syukur kepada yang Maha Agung atas karunia yang ternilai yang diterima keluarganya.
Setelah mengucap puji syukur ke hadirat Yang Maha Agung, Sekar Mirah menggandeng tangan suaminya ke pendapa. Di sana ada Kiai Jayaraga dan Sukra.
Kiai Jayaraga dan Sukra yang sedang duduk di atas tikar pandan, menoleh ketika melihat suami istri itu keluar dari ruang dalam. Keduanya tersenyum-senyum gembira. Tidak biasanya keduanya keluar ruangan sambil bergandengan tangan dan tersenyum-senyum gembira seperti itu.
–Nampaknya kalian gembira sekali malam ini—kata Kiai Jayaraga. Sukra juga bertanya-tanya dalam hati—Ada apa gerangan dengan Ki Rangga Agung Sedayu.—
–Iya. Kiai Jayaraga sudah dapat menebak delapan per sepuluh bagian—kata Ki Rangga Agung Sedayu.
–Ada berita gembira Kiai Jayaraga dan Sukra—kata Sekar Mirah yang masih menggandeng lengan Ki Rangga Agung Sedayu.
–Apakah itu?—tanya Kiai Jayaraga dan Sukra hampir berbareng.
–Kami akan mendapat keturunan. Sekar Mirah mulai isi—kata Ki Rangga Agung Sedayu. Sekar Mirah pun kemudian menceritakan apa yang dialaminya selama sepekan ini.
–Syukurlah bahwa Yang Maha Agung mendengar dan mengabulkan apa yang menjadi keinginan kalian—kata Kiai Jayaraga.
–Wah aku akan punya adik kecil—kata Sukra sambil tertawa gembira.
–Ya. Kau akan punya adik kecil Sukra—kata Sekar Mirah.
–Mulai sekarang Nyi Rangga harus mengurangi kegiatan yang berat-berat, agar tidak mengganggu isi kandungan Nyi Rangga—kata Kiai Jayaraga pula.
–Terima kasih Kiai. Dengan demikian pekerjaan yang memerlukan tenaga berat akan aku kurangi termasuk untuk tidak masuk untuk berlatih di sanggar—kata Sekar Mirah.
–Biarlah tugas yang akan terasa memberatkan bagi Nyi Rangga akan kami bagi berdua. Aku dan Sukra—
–Ya. Nyi Rangga harus banyak menjaga kesehatan dan makanan serta minuman agar janin dalam kandungan Nyi Rangga bisa tumbuh sehat dan pada waktunya bisa lahir dengan selamat—kata Sukra yang sudah mulai beranjak dewasa.
Demikianlah mereka berempat, terutama pasangan suami istri itu selalu mengucapkan syukur ke hadiran yang Maha Agung, bahwa penantian mereka yang panjang untuk mendapat keturunan pada akhirnya dikabulkan-Nya.
Dengan demikian irama kehidupan di antara keluarga kecil itu pun terasa sedikit berubah. Betapapun sibuknya Ki Rangga Agung Sedayu dalam pekerjaan di baraknya karena pembangunan barak itu sedang pada puncak-puncaknya, namun Ki Rangga tidak lagi pulang terlalu larut malam seperti biasanya.
Biasanya Ki Rangga pulang pada wayah sepi bocah, maka sejak kehamilan istrinya, kalau tidak ada kesibukan atau kesibukan itu bisa dilimpahkan kepada para senapati, maka Ki Rangga sudah berada di rumahnya pada wayah surup.
Ki Rangga lebih banyak tirakat dengan puji-pujian yang dipanjatkan kepada Yang Maha Agung. Ia memanjatkan puji syukur kepada Yang Maha Memberi Hidup, bahwa garis keturunannya tidak terputus dan akan berlanjut dengan lahirnya jabang bayi dari dalam kandungan istrinya. Ki Rangga merasa bersyukur pula bahwa ujian kesabaran yang dihadapinya benar-benar bisa dijalaninya dengan sungguh-sungguh. Tidak ada sedikit pun rasa kecewa atau gundah dan gelisah dalam waktu sekian lama menanti kehadiran janin pelanjut keturunannya selama ini.
Namun karena waktunya kini sengaja diluangkan untuk lebih banyak berada di rumahnya, maka waktu itupun terasa begitu panjang. Oleh karena itu Ki Rangga Agung Sedayu berusaha memanfaatkan waktu yang ada untuk mempertajam ilmunya sesuai dengan petunjuk yang diperolehnya dari Kitab Perguruan Windujati yang diperolehnya dari Kiai Geringsing.
Ki Rangga Agung Sedayu mulai mesu diri untuk meningkatkan ilmunya sesuai dengan kitab peninggalan Kiai Gringsing tersebut. Ia pun sekali-sekali membuka-buka kitab rontal yang berisi inti ilmu peninggalan Kiai Geringsing yang masih disimpannya di Tanah Perdikan Menoreh, karena Ki Swandaru Geni lebih merelakan kitab itu berada di tangannya.
Dengan membuka-buka lagi kitab itu, Ki Rangga Agung Sedayu menyegarkan kembali ingatannya atas guratan huruf demi huruf, gambar demi gambar, bait demi bait yang sudah terpateri di balik lipatan ingatannya. Ternyata Ki Rangga mempunyai daya ingat yang tajam atas sesuatu yang pernah dilihat dan diamatinya secara teliti.
Ki Rangga Agung Sedayu pun kemudian mulai menekuni salah satu puncak ilmu yang pernah dipergunakan oleh Kiai Geringsing. Ilmu Panglimunan. Suatu ilmu yang bisa membangkitkan selembar demi selembar kabut tipis di sekitar tubuhnya.
Jika Ki Rangga sudah memusatkan nalar budinya, maka kabut tipis itu selapis demi selapis turun. Semakin lama kabut itu semakin tebal dan pada akhirnya benar-benar menutupi pandangan. Karena Ki Rangga Agung Sedayu sudah pernah menjalani laku yang berat-berat, ketika ia merapal ilmu Panglimunan, Ki Rangga sudah tidak perlu lagi menjalani laku yang berat.
Betapa pun tebal kabut yang berhasil dihadirkannya, namun dengan Aji Sapta Pandulu, Ki Rangga tetap bisa melihat segala benda yang terdapat di sanggarnya dengan jelas. Ki Rangga Agung Sedayu tidak mau tanggung-tanggung dalam mesu diri untuk meningkatkan ilmunya.
Setelah menguasai dengan baik Aji Panglimunan, ia melanjutkan dengan Aji Angin Puyuh. Seperti halnya pada waktu Ki Rangga Agung Sedayu mulai menguasai Aji Panglimunan, ketika ia mempelajari Aji Angin Puyuh ini pun Ki Rangga dengan mudah merapal Aji ini.
Dengan memusatkan nalar budinya, maka Ki Rangga bisa membangkitkan putaran angin yang mula-mula kecil saja. Garis tengahnya tidak lebih dari sejengkal. Pusaran angin yang kecil itu seolah-olah muncul dari salah satu sudut sanggar. Kemudian memutar ke tengah, ke pinggir, ke tengah lagi sesuai dengan keinginan Ki Rangga Agung Sedayu. Ketika Ki Rangga memerintahkan melalui batinnya agar pusaran angin kecil itu menari berputar-putar, maka berputarlah pusaran angin kecil itu mengitari ruangan sanggar.
Ketika Ki Rangga Agung Sedayu melalui keinginannya di dalam pikirannya memerintahkan pusaran angin kecil itu menari-nari, maka angin itu pun berputar meliuk-liuk ke kanan ke kiri dengan lucunya.
Pusaran angin itu bergerak ke salah satu sudut ketika Ki Rangga Agung Sedayu melalui batinnya memerintahkan agar angin itu bergerak mendekati sebuah batu sebesar kambing dewasa. Ki Rangga Agung Sedayu kemudian berusaha mengangkat batu itu dengan kekuatan batinnya. Perlahan-lahan batu hitam itu terangkat setinggi satu depa dan bergeser menuju ke sudut di seberang sudut di mana batu itu berasal. Batu yang cukup berat itupun kemudian dengan irama yang aneh bergerak ke sudut yang ditujunya. Perlahan-lahan batu hitam itu kemudian diturunkannya di sudut itu.
Karena masih dalam tahap mengenali watak dan sifat dari Aji Angin Puyuh itu, maka Ki Rangga Agung Sedayu tidak menjadi terburu-buru untuk menguasainya. Hal itu berulang-ulang dilakukannya, sehingga pada akhirnya Ki Rangga Agung Sedayu tidak memerlukan waktu yang panjang untuk membangkitkan pusaran angin kecil itu. Kekuatannya pun kian bertambah sejalan dengan kian dikuasainya Aji Angin Puyuh itu.
Ki Rangga Agung Sedayu pun mulai mengadakan percobaan-percobaan dengan ilmunya yang baru itu. Belum puas dengan penguasaan ilmu itu dengan satu pusaran, ia pun membelah pusaran angin kecil itu menjadi tiga, seiring dengan ilmunya Kakang Kawah Adi Ari-ari yang juga mampu menciptakan wujud semu dirinya.
Mula-mula pusaran angin kecil itu bergemerasak berputar-putar seolah-olah saling berkejaran. Ketiga pusaran angin itu saling silang di antara ketiganya, lalu bergabung menjadi satu dengan garis tengah yang lebih besar. Setelah bergabung menjadi besar, Ki Rangga pun memperkecilnya kembali seperti semula. Pusaran angin itu pun berjoged seolah-olah orang yang mempunyai jiwa, mengikuti kemauan Ki Rangga Agung Sedayu. Ketika melintasi sebuah oncor jarak yang menyala, maka apinya pun mati tersambar oleh pusaran angin kecil itu. Namun karena penguasaan ilmunya yang sudah mulai semakin mantap, maka oncor buah jarak itu sama sekali tidak bergeser barang senyari pun.
Namun Ki Rangga Agung Sedang belum puas dengan latihan-latihan di dalam sanggar tertutup itu. Karena sifatnya yang tertutup, maka garis tengah angin yang bisa dibangkitkannya pun tidak terlalu besar. Kalau Ki Rangga membangkitkan angin yang lebih besar, ia khawatir akan memorakporandakan sanggarnya.
Karena itu, Ki Rangga Agung Sedayu ingin melihat hasilnya jika pusaran angin itu dibangkitkan di tempat terbuka di tepian kali kecil yang jarang dirambah orang. Agar bisa mendapat bahan pertimbangan, maka Ki Rangga Agung Sedayu sengaja mengajak Kiai Jayaraga ke tepian sungai itu. Sukra tidak diajaknya, karena anak yang baru menanjak dewasa itu mendapat tugas meronda sebagai anggota pasukan pengawal Tanah Perdikan.
Ketika malam itu bulan bersinar dengan terangnya namun belum mencapai bulatannya yang penuh, maka Ki Rangga Agung Sedayu duduk di atas sebuah batu kali yang rata di tepian. Tak lama kemudian selembar-selembar kabut tipis turun di tepian sungai itu. Semakin lama semakin banyak kabut tipis yang turun di tepian itu.
Kiai Jayaraga yang menyaksikan tingkat pencapaian Ki Rangga Agung Sedayu itu pun menjadi berdebar-debar. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya.
–Semakin lengkap saja ilmu Ki Rangga—katanya di dalam hati.
Ketika kabut yang semula tipis itu semakin menebal, maka jarak pandang Ki Jayaraga pun semakin terhalang. Tetapi Ki Jayaraga adalah seorang yang juga linuwih, meskipun pandangan matanya terhalang kabut, ia masih bisa melihat dengan mata batinnya Ki Rangga Agung Sedayu yang masih duduk di atas batu hitam itu.
Tak berselang lama tepian sungai yang tadinya disinari oleh rembulan menjadi gelap. Kiai Jayaraga menengadah melihat bulan di puncak langit. Cahaya bulan nampak berpendar-pendar di balik kabut yang semakin tebal. Pada akhirnya sinar sang candra tidak mampu menembus kabut yang sangat tebal itu. Bahkan wujud rembulan itupun tidak nampak lagi.
Kiai Jayaraga tiba-tiba terkejut ketika dari gerumbul pepohonan di dekatnya berdiri, terdengar suara gemerasak dari tiga arah. Dengan panggraitanya yang tajam Kiai Jayaraga akhirnya mengetahui bahwa suara gemerasak tadi ditimbulkan oleh tiga pusaran angin kecil yang saling bersilang. Pusaran angin kecil yang dibangkitkan dengan Aji Angin Puyuh itupun berputar mengitari Ki Jayaraga dan meliuk-liuk ke sana kemari. Karena sudah demikian lulutnya angin itu dengan kemauan Ki Rangga, maka angin itu sama sekali tidak menyentuh Ki Jayaraga. Hal itu benar-benar membuat KI Jayaraga semakin kagum. Karena dari balik kabut itu Ki Rangga masih bisa mengendalikan pusaran angin itu.
Beberapa saat kemudian angin itu bergabung menjadi satu, lalu membesar, semakin besar dan semakin besar lagi berputar dengan cepatnya. Angin itu berpusar dengan garis tengah setinggi dua kali tinggi orang dewasa, bahkan semakin lama semakin besar.
Tak lama kemudian pusaran angin itu pun menghembus sekaligus menghisap kabut tebal yang tadi menyelimuti sinar rembulan. Dalam sekejap kabut tebal itu terpilin oleh kekuatan pusaran angin itu lalu diterbangkan jauh-jauh. Dalam sekejap pandangan Ki Jayaraga menjadi terang kembali dan rembulan kembali menyinari tepian kali berbatu itu.
Ki Rangga sendiri yang membangkitkan Aji Angin Puyuh itu sempat termangu-mangu sejenak mengamati kekuatan angin yang luar biasa itu. Apapun yang dilaluinya segera diangkat dan dihembuskan dengan ganasnya. Sebatang pohon pucang yang cukup besar tercerabut akar-akarnya dan jatuh berderak.
Namun waktu yang sesaat itu ternyata dapat menimbulkan suatu bencana. Ki Rangga Agung Sedayu agaknya sempat lepas kendali atas angin yang kian membesar dan kian menjauh itu. Ia tersentak kaget, karena jika angin itu sempat melintas menuju rumah penduduk di pedukuhan terdekat, tentu akan terjadi bencana. Rumah penduduk akan porak poranda dan bahkan bukan tidak mungkin akan menelan korban jiwa penduduk yang tidak berdosa.
Ki Rangga Agung Sedayu tentu tidak mau hal itu terjadi. Karena jika terjadi musibah, tentu ia akan merasa sangat bersalah dan menyesal. Sekali lagi Ki Rangga memusatkan nalar budinya untuk membangkitkan satu lagi angin yang dengan cepatnya membesar. Angin yang meskipun tidak sebesar angin yang pertama itu pun dengan kecepatan lebih tinggi mengejar pendahulunya yang lepas dari kendali. Sesaat kemudian terjadi benturan antara angin yang pertama dengan angin kedua yang menyusulnya.
Terdengar suatu ledakan seperti suara guntur yang menggelegar di langit. Kedua angin itu pun kemudian pecah berhamburan kehilangan kekuatannya, kemudian lenyap.
–Luar biasa Ki Rangga—kata Kiai Jayaraga.
–Terima kasih Kiai—kata Ki Rangga Agung Sedayu.—Namun aku masih harus menyempurnakan penguasaanku atas angin yang timbul, agar jangan sampai lepas kendali seperti tadi lagi.—
Tanpa terasa kedua orang yang berilmu sangat tinggi itu berada di tepian sungai sampai menjelang fajar yang ditandai oleh suara kokok ayam untuk ketiga kalinya. Karena demikian penuhnya pemusatan nalar budi Ki Rangga Agung Sedayu, sehingga tidak terasa waktu bergeser demikian cepatnya.
–Hampir fajar—kata Ki Rangga Agung Sedayu.
–Ya. Hampir fajar—kata Kiai Jayaraga.
–Marilah kita kembali ke rumah Kiai—
–Mari. Mari ngger—
Demikianlah sambil berjalan ke rumahnya, mereka membahas pencapaian yang dapat diraih oleh Ki Rangga Agung Sedayu atas kedua ilmunya yang baru. Mereka berbincang sambil berjalan perlahan-lahan.
Namun dari caranya berbicara, Ki Rangga Agung Sedayu merasa bahwa Kiai Jayaraga tidak sesemangat seperti biasanya. Menurut pengamatan Ki Rangga, dalam beberapa hari terakhir ini Kiai Jayaraga nampak lesu, seolah-olah gairah hidupnya menjadi menurun. Ki Rangga merasa bahwa Kiai Jayaraga nampak lebih lemah dan wajahnya agak pucat.
–Apakah Kiai sakit—
–Tidak ngger. Aku tidak sakit. Aku hanya merasa tenagaku jauh susut. Yah begitulah kalau usia sudah lanjut seperti aku ini.—
Ki Rangga Agung Sedayu mengerutkan dahinya. Menurut penilaiannya, Kiai Jayaraga jauh lebih muda daripada Kiai Gringsing pada saat hari akhirnya. Namun nampak bahwa kebugaran Kiai Jayaraga itu memang telah nampak susut. Meskipun demikian, Ki Jayaraga masih berusaha tetap menjalankan tugasnya untuk ke sawah bersama Sukra dan para tetangganya untuk mengolah lahan yang merupakan sumber kehidupan mereka sekeluarga.
Kiai Jayaraga yang merasa diperhatikan oleh Ki Rangga Agung Sedayu pun kemudian menoleh.
–Sebenarnya ada yang hendak aku katakan Ki Rangga—
–Apakah itu Kiai? Apakah mengenai sawah kita?—tanya Ki Rangga.
–Bukan. Bukan itu ngger—
–Jangan ragu-ragu Kiai. Aku tentu dengan senang hati akan mendengarkannya.—
–Sebenarnyalah aku tidak ingin nggege mangsa atau sok tahu dengan bersikap seolah-olah weruh sakdurunge winarah. Tetapi aku merasa bahwa umurku sudah tidak panjang lagi. Rasanya ada panggilan dari alam gaib yang seakan-akan melambai-lambai memanggilku.—
–Apakah Kiai mempercayai perasaan Kiai itu? Bukankah saat-saat seperti itu adalah menjadi rahasia Yang Maha Agung?—
–Entahlah Ki Rangga. Sebenarnya aku tidak ingin. Sama sekali tidak ingin nggege mangsa. Tapi mungkin juga karena aku tidak punya sanak kadang, lalu timbul perasaan seperti itu.—
–Bukankah Kiai Jayaraga sudah kami anggap sebagai kadang sendiri?—tanya Ki Rangga Agung Sedayu pula.
–Iya. Aku berterima kasih bahwa keluarga Ki Rangga bahkan juga keluarga Ki Gde Menoreh telah menganggap aku sebagai kadangnya. Sehingga aku bisa ikut menumpang hidup dan makan di sini.—
–Ah hal itu jangan sampai memberatkan hati Kiai. Anggap saja aku dan Sekar Mirah seperti anak Kiai dan Sukra itu anggap pula sebagai cucu Kiai. Lalu anggap saja Ki Gde sebagai kakak Kiai. Bukankah tidak ada keberatannya?—
–Sebenarnya bukan itu yang ingin aku katakan, ngger—
–Maksud Kiai?—
–Aku merasa bahwa waktuku tidak panjang lagi. Namun aku ingin agar ilmuku berkembang. Aku juga tidak ingin ilmu yang menumpuk dalam diriku akan lenyap bersama tarikan nafasku yang terakhir. Jika itu terjadi, maka habislah riwayat perkembangan ilmu dari perguruanku—
–Sebenarnya kalau boleh aku ingin pula mengambil Sukra sebagai muridku. Namun aku melihat kematangan sikap jiwani Sukra itu belum begitu mantap untuk menerima puncak ilmuku. Karena itu aku ingin menitipkan puncak ilmuku kepada Ki Rangga. Kelak kalau Ki Rangga sudah menganggap bahwa sikap jiwani Sukra sudah mantap, tentu Ki Rangga dapat pula meneruskan ilmu itu kepada Sukra atau kepada Glagah Putih.—
–Bukankah Kiai sudah menurunkan Aji Sigar Bumi kepada Glagah Putih?—
–Ya ngger. Aku sudah menurunkan aji Sigar Bumi kepada Glagah Putih.—
–Lalu?—
–Sebenarnya masih ada ilmuku yang jarang sekali bahkan hampir tidak pernah aku pergunakan, namun belum sempat aku turunkan kepada Glagah Putih.—
–Ilmu apakah itu Kiai?—
–Ilmu itu bernama Aji Kendali Sukma.—
–Aji Kendali Sukma?—
–Ya ngger. Aji Kendali Sukma.–
–Ilmu macam apakah pula itu Kiai?—
–Aji Kendali Sukma ini sebenarnya mempunyai dasar yang hampir sama dengan ilmu yang angger dan juga angger Sabungsari miliki. Menurut guruku, dasar-dasar ilmu yang hampir sama sebenarnya pernah dimiliki oleh Pangeran Balaputra Dewa, seorang dari zaman Mataram Hindu yang menaklukkan negeri Swarnadwipa. Pada zaman itu, masih menurut guruku, ilmu itu disebut aji Netra Dahana. Netra berarti mata dan dahana berarti api. Netra Dahana berarti pancaran sinar atau api yang meluncur dari mata yang mempunyai kekuatan nggegirisi.—
–Netra Dahana?—
–Ya. Aji Netra Dahana.—
–Apakah aku boleh menyebut ilmuku dengan nama itu Kiai? Aji Netra Dahana?—
–Tentu tidak ada yang berkeberatan, jika angger menyebutnya demikian.—
–Ya. Aji Netra Dahana. Mulai sekarang aku mendapat nama untuk menyebut nama ilmuku. Aji Netra Dahana. Sebuah nama yang bagus. Terus terang, aku selama ini memang agak kesulitan untuk memberi nama pada ilmuku ini. Ilmu itu secara tidak sengaja aku dapatkan ketika mesu diri di dalam sebuah gua di atas tebing sungai. Terima kasih atas penjelasan Kiai, sehingga aku mengetahui nama yang cocok untuk ilmuku ini. —
–Terima kasih kembali, ngger—
–Kiai. Setahu Kiai, apakah di tanah ini masih ada yang memiliki ilmu itu selain aku dan Sabungsari?—
–Semasa mudaku aku adalah seorang pengembara yang sudah melintasi tanah ini dari ujung ke ujung, bahkan ke negeri seberang ketika aku mengejar murid-muridku yang berkhianat dan mencemari nama baik perguruanku. Tetapi belum pernah aku jumpai ilmu seperti ilmu angger dan ilmu angger Sabungsari miliki. Kalaupun ada itu tentu dari kalangan perguruan angger Sabungsari. Selebihnya, tidak ada.—
–Lalu kenapa dengan Aji Kendali Sukma, Kiai?—
–Kalau Ki Rangga menerapkan aji Netra Dahana, maka para musuh angger sudah hampir dapat dipastikan akan mati di tempat pada saat itu juga. Namun kalau angger menerapkan aji Kendali Sukma, dengan dasar penguasaan aji Netra Dahana yang sudah matang itu, angger akan dapat hanya melumpuhkan musuh yang angger hadapi.—
–Lumpuh? Hanya lumpuh?—
–Ya ngger. Hanya lumpuh. Bahkan kelumpuhan yang diderita oleh musuh angger itu akan terjadi seterusnya. Ilmu lawan yang berbenturan dengan ilmu angger akan punah pula, namun Kendali Sukma tidak akan membunuh lawan-lawan angger.—
–Apakah hal itu akan menguntungkan bagiku?—
–Tentu saja akan menguntungkan Ki Rangga. Bukankah selama ini setiap orang yang Ki Rangga hadapi seperti Ki Ajar Tal Pitu, Kakang Panji, Tumenggung Wanakerti dan tokoh-tokoh yang memberontak terhadap Mataram semuanya tewas di tangan Ki Rangga?—
–Padahal jikalau Ki Rangga dapat menangkapnya hidup-hidup, seharusnya dari mereka dapat diperoleh keterangan mengenai rencana gerakan serta siapa orang-orang yang terlibat di balik kegiatan pemberontakan mereka.—
–Alangkah dahsyat aji Kendali Sukma—
–Ya dahsyat. Sama dahsyatnya dengan Aji Netra Dahana. Namun akibatnya tidak mematikan lawan-lawan angger. Meskipun mereka menjadi lumpuh tetap dan bahkan ilmunya menjadi punah.—
Ki Rangga Agung Sedayu tiba-tiba teringat kembali akan sahabatnya Rudita. Anak Ki Waskita itu selalu berkelana mengikuti perjalanan pasukannya, kalau mendengar pasukan Mataram berangkat berperang. Di tengah malam yang sepi, ketika api peperangan di siang hari telah pudar, tiba-tiba terdengar sayup-sayup suara seruling yang ngelangut, menyentuh hati.
Suara seruling itu seperti mengingatkan Ki Rangga Agung Sedayu akan hati nuraninya. Kalau Ki Rangga dengan pasukannya memberantas suatu pemberontakan dan membunuh lawan-lawannya, maka yang tertinggal adalah tangis istri-istri yang kehilangan suami, ibu-ibu yang tidak bisa lagi menjumpai anaknya yang ketika kecil ditimang dan dibesarkan. Setelah besar anak itu berangkat berperang dan menjadi korban perang serta tidak pernah kembali. Bahkan si ibu tak tahu di mana gerangan anaknya dikuburkan. Yang paling menderita adalah anak-anak yang kehilangan ayahnya yang menjadi panutan, yang memberi nafkah dan mengayomi mereka sehingga mereka merasa tenteram tinggal di rumah.
Akibat perang tersebut sangat dirasakan oleh Rudita yang sengaja membuat sanggar kegiatan belajar sekaligus rumah yatim piatu bagi anak-anak korban perang. Rudita dengan tekun dan telaten mengumpulkan anak-anak korban perang itu di sanggar yang dibangunnya di lahan yang diperolehnya dari ayahnya. Ki Waskita.
Setiap selesai berperang melawan pemberontak, Ki Rangga Agung Sedayu pun menghadapi pergolakan batin. Apalagi kalau di tengah malam yang sepi terdengar seruling Rudita yang meliuk-liuk mewartakan kepedihan hati para anak yatim piatu, istri-istri yang ditinggal suami dan anak gadis yang kehilangan sang kekasih hati. Paling tidak, jika ia tidak membunuh lawan-lawannya maka pergolakan batin itu tidak menghantui dirinya.
Karena itu Ki Rangga Agung Sedayu pun menjadi tertarik dengan penjelasan Kiai Jayaraga mengenai rencananya menurunkan ilmu Kendali Sukma itu.
–Tetapi apakah aku tidak dianggap terlalu serakah jika dalam kondisi seperti ini aku masih menumpuk ilmu dalam diriku, Kiai?—
–Siapakah yang menganggap demikian ngger? Bukankah kita harus menuntut ilmu mulai dari dalam buaian sampai ke liang lahat? Selagi kita mampu, aku rasa tidak ada salahnya kita menuntut ilmu. Asal kita tidak mempergunakan ilmu itu untuk berbuat semena-mena dan menghancurkan peradaban manusia.—
–Jika demikian aku tidak berkeberatan untuk menerima ilmu dari Kiai. Aji Kendali Sukma.—
–Baiklah. Jika angger bersedia menerimanya, mulai besok lusa angger mulai menjalani laku puasa dan patigeni. Untuk tingkat ilmu setinggi yang angger miliki sekarang ini aku rasa angger cukup hanya menjalani laku selama tiga hari tiga malam. Berbeda dengan ketika aku harus mendapat ilmu ini, aku menjalani laku selama satu sasi, tiga hari terakhir aku jalani dengan patigeni.—
–Baiklah Kiai. Besok aku akan mempersiapkan diri, mandi keramas dengan abu merang padi. Selain itu aku juga akan menjelaskan kepada Sekar Mirah mengenai kesediaan Kiai untuk menurunkan aji Kendali Sukma kepadaku.—
Demikianlah sambil berbincang, tidak terasa mereka telah sampai di depan regol rumah Ki Rangga Agung Sedayu ketika terang tanah. Suara sapu lidi yang bergerak di tanga Sukra memecah keheningan pagi. Seperti halnya Ki Rangga Agung Sedayu dan Glagah Putih, Sukra pun kalau menyapu berjalan mundur.
Jejak-jejak sapu lidi yang ditinggalkan tidak membekaskan telapak kaki. Agaknya Sukra sebelum menyapu halaman telah pula mengisi jedhing di pakiwan hingga penuh. Sehingga Ki Rangga Agung Sedayu yang hendak membersihkan diri dan sesuci, tidak perlu menimba air dari sumur di sudut belakang.
Setelah sesuci, Ki Rangga pun menghadapkan dirinya kepada Yang Maha Agung. Ia memohonkan ampun atas segala kesalahan yang telah diperbuatnya. Sebagai seorang prajurit, ia telah banyak menghilangkan nyawa orang meskipun itu bukan atas kehendaknya. Itu semua dilakukannya demi menegakkan kepentingan yang lebih luas, bebrayan agung.
Setelah selesai dengan kewajibannya itu, Ki Rangga Agung Sedayu pun kemudian menemui Sekar Mirah yang sedang sibuk di dapur. Sambil duduk di atas amben bambu di sudut dapur, Ki Rangga pun menjelaskan perkembangan ilmunya. Ki Rangga juga menjelaskan rencana Kiai Jayaraga menitipkan ilmunya kepada dirinya.
–Apakah sifat kedua ilmu yang berlawanan itu tidak membahayakan, kakang?—tanya Nyi Rangga.
–Sebuah pertanyaan yang baik. Nanti coba aku tanyakan pula kepada Kiai Jayaraga.—
Demikianlah setelah hidangan sarapan pagi siap, Ki Rangga dan Nyi Rangga Agung Sedayu duduk bersama Kiai Jayaraga di pendapa rumah yang tidak terlalu luas itu. Mereka duduk di atas sebuah tikar pandan berwarna putih yang dianyam halus. Sambil menikmati sarapan pagi mereka berbincang. Sementara itu Sukra masih sibuk dengan tugasnya membersihkan kandang kuda.
–Apakah benar Kiai akan menambahi lagi ilmu kakang Rangga?—tanya Nyi Rangga.
–Benar Nyi Rangga. Aku khawatir ilmuku akan punah sejalan dengan kondisi tubuhku yang semakin lemah. Ilmuku akan hilang ditelan bumi kalau aku harus menghadap-Nya, tanpa mewariskan ilmu ini kepada seseorang pun.—
–Bukankah ilmu-ilmu yang kakang Rangga miliki sangat nggegirisi. Tidak akan ada orang yang mampu mengatasinya selain Ki Patih Mandaraka, mendiang Panembahan Senapati dan mendiang Pangeran Benawa? Mungkin masih bisa ditambah lagi dengan nama Kiai Jayaraga sendiri dan Ki Waskita–
–Benar Nyi Rangga. Namun sifat ilmu ini sangat berbeda dengan aji Netra Dahana yang dimiliki oleh Ki Rangga.—
–Aji Netra Dahana?—
–Ya. Ilmu yang memancar dari mata meluncurkan cahaya api seperti yang dimiliki Ki Rangga Agung Sedayu dan Sabungsari. Ilmu semacam ini dahulu kala menurut guruku disebut aji Netra Dahana. Ilmu sejenis itu pernah dimiliki oleh seorang Pangeran dari zaman Mataram Hindu untuk menyerbu ke pulau Swarnadwipa.
–Apakah bedanya?—
–Jika ilmu Ki Rangga yang kusebut dengan aji Netra Dahana itu mematikan seketika siapapun yang berani beradu dada dengan Ki Rangga, maka aji Kendali Sukma adalah ilmu yang bersifat sebaliknya. Ilmu ini hanya bersifat melumpuhkan lawan-lawannya dan memunahkan segala ilmunya. Dengan demikian, meskipun sudah tidak berdaya, Ki Rangga tidak harus membunuh lawannya dan bahkan bisa menangkapnya hidup-hidup.—
–Jika lawan bisa tertangkap hidup-hidup, bukankah Mataram akan mampu membongkar jaringan gerombolan yang memberontak itu?—tanya Nyi Rangga Agung Sedayu pula.
–Nyi Rangga benar. Selama ini Mataram selalu mengalami kesulitan untuk membongkar pemberontakan sampai ke akar-akarnya, karena pentolannya tewas jika harus berbenturan ilmu dengan Ki Rangga.–
–Tetapi karena sifatnya yang bertentangan, apakah tidak justru membahayakan bagi Ki Rangga?—tanya Sekar Mirah.
–Aku Rasa tidak akan membahayakan bagi Ki Rangga. Aku akan memberi petunjuk kepada Ki Rangga bagaimana caranya agar kedua ilmu itu tidak saling berbenturan. Ada laku khusus yang harus dilakukan Ki Rangga di dalam sanggar. Tentu saja dengan terus mendapat bimbingan dan penjelasan dariku. Sebagai langkah awal aku akan menyalurkan tenaga dari aji Kendali Sukma yang ada dalam diriku kepada Ki Rangga. Dengan demikian Ki Rangga sudah mendapat bibit ilmunya, tinggal mengembangkannya.—
–Apakah jika Kiai menyalurkan ilmu kepada Ki Rangga, tidak justru membahayakan bagi kesehatan dan keselamatan Kiai sendiri—tanya Nyi Rangga.
–Itu tidak masalah Nyi Rangga. Aku sudah mengecap pahit, asin dan getirnya segala segi kehidupan. Aku juga merasa perjalananku sudah hampir sampai ke ujung. Aku sudah berusaha bertobat dan membenahi kehidupanku yang keliru di masa lalu. Syukurlah di masa pencarianku yang panjang itu, aku bertemu dengan mendiang Kiai Gringsing yang memberiku jalan untuk menurunkan sebagian besar ilmuku kepada angger Glagah Putih.—kata Kiai Jayaraga sambil menarik nafas dalam-dalam.
–Tetapi sungguh sayang kalau ilmuku yang terakhir ini tidak sempat aku turunkan kepada angger Glagah Putih dan Ki Rangga tidak bersedia menerimanya sebagai titipan—kata Kiai Jayaraga melanjutkan.
–Baiklah Kiai. Aku tadi sudah sempat berbincang dengan Sekar Mirah. Istriku tidak berkeberatan bahwa Kiai menitipkan ilmu itu kepadaku. Tetapi sebagai barang titipan, tentu saja aku akan mengambil manfaat jika ilmu itu bertimbun dalam diriku.—
–Tentu. Tentu ngger. Tentu saja Ki Rangga boleh menggunakannya. Karena pada tataran Ki Rangga, aku rasa Ki Rangga tidak akan semena-mena menggunakannya.—
–Terima kasih atas kepercayaan Kiai untuk menitipkan aji Kendali Sukma kepadaku. Mulai lusa aku akan mulai menjalani laku seperti petunjuk Kiai.—
–Aku juga berterima kasih ngger. Bahwa melalui angger ilmuku tidak menjadi punah—
–Berapa lamakah aku harus menjalani laku untuk dapat menguasai aji Kendali Sukma, Kiai—
–Untuk tingkatan setinggi yang Ki Rangga miliki seperti sekarang ini, aku rasa Ki Rangga cukup menjalani patigeni selama tiga hari, lalu memulihkan tenaga dua hari sambil mulai melatih pengaturan pernafasan guna menguasai aji Kendali Sukma.—
–Apakah memang bisa demikian singkat?—
–Tentu Ki Rangga. Pada awalnya aku akan membuka simpul syaraf di punggung Ki Rangga, untuk menyalurkan kemampuan dariku. Jika kemampuanku sudah tersalur, maka akan lebih mudah bagi Ki Rangga untuk mempertajam dan meningkatkannya.—
Sebelum masuk ke dalam sanggar, Ki Rangga Agung Sedayu hari itu datang ke barak dan mengumpulkan para senapati yang berada di lingkungan pasukan khusus. Kepada para senapati itu Ki Rangga menjelaskan bahwa dalam sepekan ke depan ia tidak bertugas.
Ki Rangga pun telah membagi tugas-tugas yang diembannya kepada orang-orang kepercayaannya itu.
–Apakah Ki Rangga akan pergi ke Mataram—tanya seorang senapati yang baru ditempatkan di barak pasukan khusus itu.
–Tidak Ki Lurah. Aku tidak ke mana-mana. Namun aku berada di rumah saja untuk mesu diri—kata Ki Rangga.
Semua yang hadir mengangguk-angguk dan mereka tidak menanyakannya lebih lanjut. Memang sudah menjadi kebiasaan di lingkungan pasukan khusus itu, bahwa para prajurit bahkan senapati boleh meminta izin untuk meningkatkan ilmunya.
Jika yang minta izin tersebut seorang senapati, maka tugasnya segera dibagi di antara para senapati yang sedang bertugas. Begitu pula jika yang minta izin adalah seorang prajurit, maka tugasnya dialihkan kepada prajurit lain yang bertugas. Kebiasaan tersebut ditetapkan mengingat bahwa kemampuan perseorangan di dalam pasukan khusus sangat diperlukan dalam menghadapi tugas-tugas keprajuritan. Dengan demikian, kemampuan yang tinggi itu akan sangat bermanfaat jika pasukan khusus Mataram itu harus menghadapi pasukan lawan.
Namun pembicaraan kemudian beralih ke proses perluasan barak itu, yang kini sudah hampir jadi. Demikianlah keesokan harinya, Ki Rangga Agung Sedayu dengan ditemani Kiai Jayaraga mulai mesu diri untuk bisa menimba ilmu Kendali Sukma.
Pada hari pertama, Ki Rangga mulai proses patigeninya. Patigeni adalah suatu bentuk tirakat dengan melakukan puasa terus menerus. Jika patigeni tiga hari tiga malam, maka berarti yang melaksanakan laku itu berpuasa tiga hari tiga malam tanpa putus. Perutnya sama sekali tidak boleh disentuh makanan atau minuman.
Orang yang menjalani laku juga tidak boleh keluar dari ruangan yang sengaja dibuat gelap. Meskipun dibuat gelap, orang yang melaksanakan laku tidak boleh tidur selama waktu yang ditetapkan tanpa pernah putus. Namun yang lebih penting orang yang melaksanakan laku itu harus menjalani semadi untuk memusatkan nalar budinya dan mendekatkan diri kepada Yang Maha Agung.
Pada hari kedua, Kiai Jayaraga memasuki ruangan sanggar itu guna membuka syaraf-syaraf dan urat nadi yang memudahkan bagi Ki Rangga Agung Sedayu menguasai aji Kendali Sukma. Kiai Jayaraga kemudian duduk bersila di belakang Ki Rangga Agung Sedayu. Tangannya ditempelkan di punggung Ki Rangga yang sudah dibuka urat syaraf dan nadinya itu. Perlahan-lahan dari tangan Kiai Jayaraga mengalir gumpalan-gumpalan hawa murni yang hangat, lembut dan menerobos punggung Ki Rangga, masuk ke jantung, paru-paru turun ke bawah perut.
Gumpalan-gumpalan hawa murni itu berkumpul di bawah perut lalu memecah diri menjadi gumpalan-gumpalan kecil yang bergerak ke atas lagi, sampai ke kepala lalu menyebar ke seluruh organ tubuhnya sampai ke ujung jari tangan dan ujung jari kaki.
Ketika gumpalan-gumpalan hawa murni itu telah memecah diri dan tersebar merata ke seluruh tubuh Ki Rangga Agung Sedayu, maka Kiai Jayaraga menghentikan penyaluran gumpalan-gumpalan hawa murni itu. Pada saat ia menghentikan penyaluran gumpalan-gumpalan hawa murni itu, Kiai Jayaraga menjadi tersengal-sengal. Tubuhnya menjadi lemah. Iapun kemudian bersila dan bersedakep untuk mengendalikan hawa murni yang masih ada di dalam dirinya. Agar goncangan akibat berkurangnya gumpalan hawa murni di dalam dirinya tidak menimbulkan akibat yang tidak diinginkan.
Ki Rangga Agung Sedayu tetap memusatkan nalar budinya dengan mengendalikan gumpalan-gumpalan hawa murni yang masuk ke dalam tubuhnya. Ia juga tidak ingin gumpalan-gumpalan hawa murni yang menerobos tubuhnya tidak terkendali dan menjadi liar, sehingga membahayakan dirinya.
Setelah Kiai Jayaraga berhasil mengendalikan hawa murni yang tersisa dalam dirinya, ia pun keluar dari sanggar itu. Ki Rangga kembali melanjutkan mesu diri dengan menjalani laku patigeni. Pada hari ketiga, kembali Kiai Jayaraga memasuki ruangan sanggar dan mengulangi lagi usahanya untuk membuka syaraf-syaraf dan urat nadi yang memudahkan penguasaan atas aji Kendali Sukma tersebut.
Keesokan harinya, Ki Rangga pun menyelesaikan patigeninya. Sekar Mirah segera menyiapkan bubur cair untuk memulihkan tenaganya. Setelah beristirahat sehari, maka tenaga Ki Rangga Agung Sedayu mulai pulih tenaganya. Demikian pula Kiai Jayaraga pun telah mulai kembali kuat. Kiai Jayaraga pun kemudian mengajak Ki Rangga Agung Sedayu untuk masuk kembali ke sanggarnya.
Di dalam sanggar Kiai Jayaraga memberi petunjuk kepada Ki Rangga Agung Sedayu mengenai cara menerapkan aji Kendali Sukma itu. Namun Ki Rangga Agung Sedayu maupun Kiai Jayaraga tidak hendak menerapkan ilmu itu untuk dipergunakan sebagai kekuatan yang beradu dada di antara mereka. Sebab jika mereka mempergunakan berhadapan beradu dada, dapat berakibat fatal bagi salah satu di antara mereka.
–Ki Rangga harus mempergunakan aji Kendali Sukma dengan sangat hati-hati, karena ilmu ini jika salam dalam penerapannya akan sangat merugikan lawan Ki Rangga—katanya.
Kiai Jayaraga menjelaskan bahwa aji Kendali Sukma ini diterapkan terhadap lawan, maka lawan merasa badannya ditusuk oleh sejuta jarum dalam sekali hentakan.
–Karena serasa ditusuk jarum itulah yang membuat lawan Ki Rangga akan lumpuh, meskipun tidak membunuhnya—kata Kiai Jayaraga.
– Ki Rangga harus memahami, bahwa ilmu ini tidak akan menunjukkan pengaruhnya terhadap benda mati seperti batu atau kayu kering sesuai dengan namanya aji Kendali Sukma. Namun pepohonan kayu, binatang yang hidup serta manusia yang masih hidup akan kena pengaruhnya.—
Kiai Jayaraga mengatakan bahwa jika yang menjadi sasarannya adalah binatang, maka binatang itu akan lumpuh. Sedangkan kalau pepohonan yang masih hidup, sebagai akibat serangan aji Kendali Sukma yang seperti gempuran sejuta jarum, maka pepohonan itu akan hancur seperti debu.
–Apakah kita bisa mencobanya di tepian sungai yang berpasir dan berbatu itu Kiai—tanya Ki Rangga Agung Sedayu.
Sebenarnya Ki Rangga dan Kiai Jayaraga ingin hanya mereka berdua saja yang pergi ke sungai untuk melihat hasil mesu diri selama lima hari itu. Namun Nyi Rangga Agung Sedayu yang sedang hamil itu tidak mau ditinggal di rumah. Ia ingin melihat apa yang telah dicapai suaminya selama mesu diri di sanggar. Keinginannya yang sangat kuat telah mengalahkan berbagai alasan yang diajukan oleh Ki Rangga Agung Sedayu maupun Kiai Jayaraga.
–Bukankah tidak baik bagi wanita hamil pergi ke sungai di malam hari. Aku khawatir kalau Nyi Rangga akan masuk angin yang dapat mengganggu bayi dalam kandungan itu—tanya Kiai Jayaraga.
–Baiklah aku akan berkerudung selimut, agar tidak ada kesempatan angin itu masuk ke dalam tubuhku—kata Nyi Rangga sambil merengut
–Aku ikut ya kakang—kata Nyi Rangga merajuk.
Demikianlah pada malam harinya, Kiai Rangga Agung Sedayu, Kiai Jayaraga dan Sekar Mirah pun berjalan menyusur tepian sungai. Sekar Mirah menutupi sekujur tubuhnya dengan selimut sesuai dengan kata-katanya tadi.
Setelah sampai di tepian sungai yang berpasir dan berbatu, Ki Rangga Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga pun mulai memilih sasaran apa yang akan dibenturkan dengan aji Kendali Sukma.
Kiai Jayaraga pun lalu menunjuk sebuah batu sebesar kerbau dewasa yang ada di tengah sungai sebagai sasaran pertama yang harus diserang oleh Ki Rangga Agung Sedayu. Ki Rangga pun mulai mengambil ancang-ancang. Ia berdiri tegak dengan kaki direnggangkan. Kedua tangannya mengembang ke samping badannya seperti sayap burung garuda yang hendak terbang, lalu kedua tangan itu bersilang di depan dada, dan mendorong ke depan dengan telapak tangan terbuka lebar. Dua leret cahaya meluncur dari kedua telapak tangannya itu menerjang batu hitam di tengah sungai. Namun batu hitam itu bergeming. Tidak terjadi apapun atas batu itu.
Ki Rangga Agung Sedayu menjadi penasaran terhadap batu itu. Ia pun melenting tinggi dan turun di sebelah batu hitam di tengah sungai itu. Ternyata batu itu masih utuh.
–Sekarang pohon nyamplung itu yang menjadi sasaran Ki Rangga—kata Kiai Jayaraga sambil menunjuk pohon nyamplung setinggi pohon kelapa yang ada di tepi sungai. Pohon itu menghalangi sinar sang candra yang menggapai langit sepenggalah. Daunnya yang lebat membuat sinar bulan yang belum bulat benar itu terhalang sampai di tepian sungai.
Ki Rangga Agung Sedayu kembali menyiapkan aji Kendali Sukma. Ki Rangga pun mulai mengambil ancang-ancang. Ia berdiri tegak dengan kaki direnggangkan. Kedua tangannya mengembang ke samping badannya seperti sayap burung garuda yang hendak terbang, lalu kedua tangan itu bersilang di depan dada, dan mendorong ke depan dengan telapak tangan terbuka lebar. Dua leret cahaya meluncur dari kedua telapak tangannya itu menerjang pohon nyamplung yang tumbuh di tepi sungai. Pohon sebesar pemeluk orang dewasa itu pun bergoyang-goyang, ranting dan cabangnya menjadi lemas dan merunduk. Tidak berapa lama satu per satu daunnya berguguran, disusul oleh ranting dan cabangnya. Ketika angin bertiup kencang di tepian sungai, maka pohon itu pun berhamburan runtuh menjadi debu. Sinar rembulan yang tadinya terhalang oleh daun pohon nyamplung yang lebat itu, kini bisa langsung menerobos ke tepian, karena pohon itu kini sudah tiada.
–Luar biasa kakang—kata Nyi Rangga. Lalu ia bertanya kepada Kiai Jayaraga—Kiai, kalau menurut aku aji Kendali Sukma jauh lebih dahsyat daripada aji Netra Dahana. Apakah lawan-lawan Kakang Rangga, tidak justru hancur menjadi debu kalau berhadapan dengan Kakang Rangga?—
–Memang benar Nyi, aji Kendali Sukma lebih dahsyat daripada aji Kendali Sukma. Akan tetapi, bukankah lawan Ki Rangga adalah orang yang berilmu tinggi? Lawannya tentu tidak tinggal diam jika Ki Rangga membenturkan aji Kendali Sukma. Selain itu Ki Rangga juga bisa mengukur seberapa kuat tenaga yang harus dibenturkan terhadap lawan-lawannya, agar lawannya itu tidak hancur menjadi debu.—
–Jika sudah sering melatihnya, Ki Rangga akan bisa mengira-ngira dan menakar hawa murni yang harus disalurkan untuk menghadapi lawannya. Selain itu, dalam pertempuran sangat jarang terjadi bahwa dua orang yang bertarung dengan serta merta langsung menuju ilmu puncaknya. Biasanya mereka sudah melakukan penjajakan dan mengetahui besarnya kekuatan hawa murni lawannya.–
Demikianlah setelah beristirahat sehari lagi, maka Ki Rangga Agung Sedayu pada keesokan harinya telah berangkat ke barak pasukan khusus. Para senapatinya pun kemudian melaporkan segala perkembangan keadaan di barak pasukan khusus yang sudah hampir selesai pembangunannya itu.
Barak pasukan khusus setelah pembangunan barak tambahan selesai secara keseluruhan luasnya hampir tiga kali lipat luas barak semula. Hal itu karena para prajurit pasukan khusus berkuda yang ada di Ganjur akan ditarik ke barak pasukan khusus di Tanah Perdikan Menoreh. Keadaan alam Tanah Perdikan Menoreh yang berbatu-batu dan berbukit-bukit itu memang merupakan tempat yang baik untuk tempat latihan berkuda itu. Bahkan tanah lapang yang cukup luas di depan barak itu, menjadi arena yang baik untuk perang gelar pasukan berkuda.
Sedangkan lokasi pasukan khusus berkuda di Ganjur, menurut Ki Patih Mandaraka akan digunakan sebagai kawah candradimuka bagi pasukan Mataram secara keseluruhan. Lokasi di Ganjur akan dijadikan lokasi pendadaran dan penempaan para pemuda dari seluruh wilayah Mataram yang ingin menjadi prajurit.
Bahkan Ganjur dan juga barak pasukan khusus di Tanah Perdikan Menoreh yang terletak tidak jauh dari sungai Praga yang cukup lebar itu, kini memanfaatkan kali Praga sebagai lokasi penempaan prajurit. Para calon prajurit sekarang dipersyaratkan untuk bisa berenang dan menyelam.
Calon prajurit yang hendak maju dalam pendadaran, diharuskan berlomba berenang dan menyelam menyeberangi sungai Praga. Namun ada saja calon prajurit yang tidak kuat napasnya untuk menyeberangi sungai Praga, sehingga para senapati yang mengawasi calon prajurit dari atas rakit segera meloncat terjun ke air untuk menyelamatkan calon prajurit yang gagal itu.
Bagi calon prajurit yang bisa menempuh setengah lebar sungai Praga, mereka masih mendapat kesempatan untuk lulus percobaan dalam pendadaran selama tiga bulan. Dengan catatan bahwa ia harus berlatih berenang dan menyelam setiap pekan dua kali. Namun bagi calon prajurit yang tidak bisa mencapai setengah lebar sungai, maka mereka harus mengikuti pendadaran pada musim pendadaran berikutnya.
Sungai Praga yang cukup lebar dan berarus sangat deras di musim penghujan itu benar-benar menjadi arena pembajaan diri. Bahkan Ki Rangga secara khusus pula telah sering memanfaatkan sungai Praga sebagai tempat latihan bagi pasukannya.
Ki Rangga Agung Sedayu yang pada masa anak-anaknya adalah seorang penakut bahkan terhadap arus sungai pun tidak berani, telah menyempatkan diri untuk berlatih berenang dan menyelam di sungai Praga. Karena mempunyai tenaga dalam yang demikian besar maka Ki Rangga dapat berenang dengan cepat dan bahkan dapat menyelam paling lama.
Namun Ki Rangga bukan hanya berlatih berenang dan menyelam, melainkan dengan bekal ilmu meringankan tubuhnya ia mencoba melintasi sungai itu.
Dengan sebuah bakiak yang agak lebar dari kayu sengon yang ringan karena sudah kering, Ki Rangga dengan cepat bisa berjalan bahkan berlari seolah-olah menapak di atas tanah pada permukaan air.
Bersama beberapa orang senapatinya yang sudah mempunyai dasar-dasar ilmu meringankan tubuh, dua pekan sekali Ki Rangga mengajak mereka berkejaran di atas permukaan air. Ki Rangga mampu menyeberangi sungai yang sangat lebar itu dalam waktu kurang dari sepenginang. Namun tidak ada air setetes pun yang tepercik pada baju Ki Rangga, karena ilmunya yang sudah mendekati sempurna.
–Yang Maha Sempurna adalah Yang Maha Agung—kata Ki Rangga kepada seorang senapatinya yang terkagum-kagum dengan ilmu meringankan tubuhnya.
Dari pengalaman berlatih di atas permukaan air itulah timbul gagasan Ki Rangga Agung Sedayu untuk mengembangkan armada laut Mataram. Karena betapapun Mataram adalah terletak di bentangan kepulauan yang menyebar bak ratna mutu manikam di atas persada nusantara.
Ketika gagasan itu disampaikan kepada Ki Patih Mandaraka, maka Ki Patih yang sudah semakin tua dan sakit-sakitan itu pun menanggapinya dengan baik.
–Sungguh gagasan yang sangat baik Ki Rangga. Aku akan menyampaikannya kepada Pangeran Purbaya dan Panembahan Hanyakrawati—kata Ki Patih yang suatu ketika menerimanya di serambi kanan Istana Kepatihan.
Demikianlah setelah menerima Ki Rangga Agung Sedayu, Ki Patih Mandaraka pun menghadap ke paseban dalam meskipun hari itu tidak ada pisowanan. Ki Patih pun menjelaskan kepada Panembahan Hanyakrawati dan Pangeran Purbaya mengenai gagasan Ki Rangga Agung Sedayu untuk membangun armada laut Mataram yang kuat.
Mataram menurut Ki Rangga dapat membangun armada kapal perangnya di pantai Karang Tumaritis yang terletak di muara sungai Praga pada sisi selatan Mataram. Memang laut Selatan terkenal keganasannya, namun dengan mengambil tempat berlatih yang keras seperti itu akan bisa teruji ketangguhan armada laut Mataram.
Ternyata laporan Ki Patih Mandaraka itu mendapat sambutan yang baik dari Panembahan Hanyakrawati dan Pangeran Purbaya. Gagasan Ki Rangga yang disampaikan Ki Patih kepada kedua pemimpin tertinggi Mataram itu ternyata segera mendapat jawaban. Kesatuan dalam pasukan khusus itu pun kemudian ditambah dengan satu kesatuan lagi. Kesatuan armada laut.
Selain menyelesaikan perluasan dan pembangunan barak, Ki Rangga Agung Sedayu kini bahkan mendapat tugas tambahan untuk membangun lima puluh kapal jung untuk tahap pertama. Sedangkan prajurit pasukan khusus yang bisa berenang cepat dan memiliki ilmu meringankan tubuh mulai dipilah dan dipilih untuk ditempatkan dalam kesatuan armada laut.
Panembahan Hanyakrawati dan Pangeran Purbaya pun tidak tanggung-tanggung pula dalam menerima gagasan itu. Petinggi Mataram itupun segera menurunkan dana awal bagi pembangunan kekuatan armada laut Mataram.
Untuk memudahkan dalam pembuatan kapal armada laut Mataram, maka Ki Rangga Agung Sedayu yang mendapat tugas tambahan ketika baraknya hampir selesai, telah memilih satu tempat di tepi sungai Praga yang mudah dicapai dari Tanah Perdikan Menoreh sebagai bengkel kerja pembuatan kapal jung armada laut itu. Namun tempat itu sengaja dipilih yang tidak mengganggu jalur penyeberangan sungai dengan rakit antara Tanah Perdikan dan Mataram.
Namun Ki Rangga Agung Sedayu tidak secara langsung membuat lima puluh perahu tersebut. Sebagai langkah awal, maka Ki Rangga telah membuat gambar rencana perahu yang harus dibuat oleh para tukang kayu dan sungging itu. Sesuai dengan keahliannya untuk menggambar, maka Ki Rangga telah membuat gambar rencana itu sedemikian baiknya. Gambar perahu yang digambarnya nampak kokoh dengan sepasang cadik yang melengkung pada kedua sisinya.
Dengan adanya cadik itu, maka perahu itu tidak mudah oleng dalam pelayarannya melintasi laut dan samudera. Di tengah-tengah perahu itu dipasang tiang layar yang tinggi. Jika layar tersebut terkembang, maka kapal dari armada laut Mataram itu akan mampu menangkap kekuatan angin yang besar untuk mendorong perahu tersebut mengarungi lautan. Dengan permainan tali temali yang tidak begitu rumit, maka perahu tersebut dapat diarahkan bahkan melawan arus angin itu sendiri.
Jika angin bergerak ke Timur, maka dengan permainan tali temali layar, kapal tersebut dapat diarahkan bergerak ke Barat. Apalagi sebaliknya, jika searah dengan angin maka kecepatan kapal itu dalam meluncur di atas air kian cepat.
Di tengah-tengah lambung kapal di kiri-kanannya dibuat beberapa lubang untuk menurunkan dayung. Dayung itu berguna untuk mendorong perahu ketika baru siap keluar dari bengkelnya di tepian Sungai Praga menuju ke pangkalannya di pantai Tumaritis di tepian Laut Selatan.
Geladak kapal itu pun dibuat bertingkat dua, satu geladak sebagai ruang dayung bagi awak kapal, sedangkan geladak kedua sebagai tempat beristirahat bagi awak kapal yang tidak mendapat tugas mendayung atau mengawasi layar.
Sedangkan di atas geladak kedua ada lagi atap yang sekaligus sebagai tempat pemantauan situasi di sekitar perahu.
Di atas tiang layar disediakan pula semacam rumah monyet yang menjadi tempat bagi para pengawas yang bergantian naik melalui tangga untuk dapat melihat pada jarak pandang yang lebih jauh. Di atas puncak tiang layar itu, diikatkan bendera pertanda kebesaran pasukan armada laut Mataram.
Demikianlah, ketika Ki Rangga Agung Sedayu yang mempunyai keahlian menggambar itu telah menyelesaikan gambar rencananya, maka gambar rencana itupun ditunjukkannya kepada Sekar Mirah, Kiai Jayaraga dan Sukra. Mereka mengagumi gambar rencana yang dibuat oleh Ki Rangga Agung Sedayu.
Ki Rangga Agung Sedayu memang mempunyai keahlian khusus dalam menggambar. Ketika ia berseteru dengan Sidanti di Sangkal Putung pada waktu masih muda, Ki Rangga itu berlatih silat dengan cara yang aneh. Agung Sedayu ketika itu meminta lembaran-lembaran daun rontal dari pamannya Ki Widura yang menjadi Senapati Pajang di Sangkal Putung.
Di atas lembaran-lembaran daun rontal itulah Agung Sedayu menuangkan gagasannya berupa jurus-jurus silat yang rumit dan aneh. Ternyata keahliannya menggambar itu kembali berguna dalam merancang gambar kapal dari armada laut Mataram itu.
Kiai Jayaraga merasa heran juga, karena setahunya Ki Rangga Agung Sedayu belum pernah melintasi laut. Namun Ki Rangga mampu membayangkan gambar rencana perahu seperti yang pernah dilihatnya. Kiai Jayaraga memang telah berulangkali menumpang perahu untuk mengejar keempat anak muridnya yang menjadi perompak di lautan yang luas.
Pada beberapa bagiannya, Kiai Jayaraga sempat memberikan masukan kepada Ki Rangga Agung Sedayu agar antara geladak pertama dan geladak kedua dibuat jarak agak renggang, sehingga para awak kapal yang sedang beristirahat atau bertugas mendayung mendapat tempat yang lebih lega.
Kiai Jayaraga juga menyarankan agar di sekeliling tepi geladak paling atas yang bisa menjadi tempat berkumpul para awak kapal sebelum turun ke darat, diberi berpagar. Lalu sebagai tempat turun naik awak kapal dibuatkan tangga yang akan memudahkan para awak kapal itu dalam melintas.
Kiai Jayaraga menyarankan agar tangga dari kayu tersebut disiapkan pada kedua sisinya, sehingga akan lebih memudahkan untuk turun ketika kapal itu merapat ke darat.
Ketika kapal merapat ke darat dengan lambung kiri, maka para awak kapal tidak perlu lagi memindahkan tangga itu dari kanan ke kiri atau sebaliknya. Tetapi awak kapal tinggal menurunkan tangga dari sisi yang terdekat ke darat.
Sebelum kapal jung armada laut tersebut benar-benar mulai dibangun, Ki Rangga telah menghadap Ki Patih Mandaraka di Istana Kepatihan. Dengan diiringkan oleh dua orang lurah prajurit, sebelum matahari sepenggalah Ki Rangga telah sampai di regol Istana Kepatihan. Mereka pun segera turun dari kudanya yang tegar dan memasuki Istana itu setelah menyerahkan kendali kuda itu kepada prajurit yang sedang jaga di regol.
–Selamat pagi Ki Rangga. Pagi-pagi benar Ki Rangga telah sampai di Istana Kepatihan—kata seorang lurah prajurit jaga yang telah mengenal dengan baik Ki Rangga karena sering bertemu dalam berbagai perang besar.
–Selamat pagi Ki Lurah Wirasentanu—kata Ki Rangga pula sambil tersenyum.—Kami berangkat pagi-pagi benar dari Tanah Perdikan Menoreh—
–Silakan Ki Rangga masuk, biar aku antarkan kepada narpacundaka yang bertugas di dalam.—
–Terima kasih Ki Lurah—kata Ki Rangga Agung Sedayu mengikuti lurah prajurit itu masuk ke dalam Istana Kepatihan. Lurah prajurit itupun menyampaikan bahwa Ki Rangga Agung Sedayu hendak menghadap Ki Patih Mandaraka.
–Baiklah. Perintahkan Ki Rangga Agung Sedayu menunggu di serambi kanan—kata Ki Patih kepada narpacundaka itu. Setelah berbenah sejenak, maka Ki Patih yang sudah sangat lanjut usia, namun mendapat anugerah pikiran yang jernih itu pun segera datang ke serambi kanan.
Setelah saling menanyakan kesehatan dan keselamatan masing-masing, maka Ki Patih dengan sungguh-sungguh memperhatikan penjelasan Ki Rangga Agung Sedayu mengenai bentuk kapal dari armada laut Mataram yang sudah dirancangnya. Ki Patih Mandaraka terlihat mengangguk-angguk dan menjadi kagum melihat gambar rencana perahu yang dibuat Ki Rangga.
–Siapakah yang menggambar kapal ini Ki Rangga?—tanya Ki Patih Mandaraka sambil tersenyum gembira.
–Hamba sendiri Ki Patih—kata Ki Rangga sambil menundukkan kepalanya.
Ki Patih Mandaraka masih tersenyum, berkata—Seharusnya Ki Rangga menjadi pelukis Istana. Tentu Panembahan Hanyakrawati senang melihat lukisan Ki Rangga.—
–Hahaha. Ki Patih bisa saja. Kalau hamba menjadi pelukis Istana siapakah yang mengurus pasukan khusus Mataram di Tanah Perdikan dan siapakah yang akan merencanakan pembangunan armada laut Mataram?—
Ki Patih Mandaraka pun tertawa pula sambil mengangguk-angguk.
–Ternyata Ki Rangga mempunyai berbagai keahlian yang tidak dimiliki bahkan oleh para Tumenggung lainnya di Mataram—
Ki Rangga Agung Sedayu pun hanya menundukkan kepalanya. Namun ia tidak berani menanyakan kepada Ki Patih Mandaraka mengapa pangkatnya masih saja hanya sebatas seorang Rangga. Padahal prajurit yang sama-sama dengan dirinya memasuki dunia keprajuritan sudah menjadi Panji bahkan ada pula yang sudah menjadi Tumenggung. Ki Rangga sempat menyadari bahwa keragu-raguan hatinya untuk menjadi prajurit pada awal pembentukan Pasukan Khusus bersama Ki Lurah Branjangan dulu, yang menunda kesiapannya menjadi prajurit.
–Baiklah Ki Rangga. Marilah kita menghadap wayah Panembahan di Istana. Kebetulan tadi aku juga sudah mendapat laporan bahwa Pangeran Purbaya sedang berada di Istana—
Walaupun Istana Mataram dan Istana Kepatihan berjarak tidak terlalu jauh, namun mereka memilih berkuda untuk pergi ke Istana. Karena Ki Patih Mandaraka sudah terlalu sepuh, sehingga sudah tidak kuat lagi untuk berjalan kaki ke Istana. Bahkan untuk menaiki kudanya pun Ki Patih Mandaraka dibantu pula oleh Ki Rangga dan seorang prajurit di pendapa Istana Kepatihan. Setelah Ki Patih menaiki kudanya maka Ki Rangga Agung Sedayu mengambil kudanya sendiri di regol, lalu mengiringi Ki Patih Mandaraka menuju Istana Mataram.
Petugas jaga yang berada di regol itupun segera mempersilakan Ki Patih Mandaraka berkuda sampai pendapa istana. Dua orang prajurit yang sedang bertugas di pendapa segera membantu Ki Patih untuk turun dari kudanya yang sangat tinggi tegar itu. Ki Rangga Agung Sedayu segera meloncat turun ketika akan memasuki Istana dan menyerahkan kudanya kepada petugas jaga di regol.
–Silakan Ki Rangga—kata petugas itu yang sudah melihat bahwa Ki Rangga datang bersama Ki Patih Mandaraka. Ki Rangga Agung Sedayu pun segera berjalan menuju pendapa mendekati Ki Patih yang sedang menantinya.
–Marilah Ki Rangga. Aku sudah menyampaikan kepada narpacundaka bahwa kita akan menghadap Panembahan Hanyakrawati dan Pangeran Purbaya—
Demikianlah Ki Patih Mandaraka dan Ki Rangga Agung Sedayu pun diterima Panembahan Hanyakrawati yang didampingi oleh Pangeran Purbaya di paseban dalam. Hari itu memang tidak ada pisowanan. Panembahan Hanyakrawati pun kemudian menanyakan kesehatan dan keselamatan Ki Patih Mandaraka dan Ki Rangga Agung Sedayu serta keluarga di Tanah Perdikan Menoreh.
–Ampun Panembahan. Pangabekti kami sampaikan kepada Panembahan dan Pangeran. Berkat doa Panembahan dan Pangeran, keadaan kami di Tanah Perdikan Menoreh dalam lindungan yang Maha Agung. Semoga demikian pula hendaknya keadaan Istana Mataram dan seluruh wilayah yang dalam perlindungannya.—
–Pangabektimu aku terima Ki Rangga—ujar Panemabahan Hanyakrawati. –Apakah ada hal yang penting hendak kau laporkan kepadaku?—
–Ampun Panembahan, kehadiran hamba bersama Ki Patih Mandaraka adalah untuk melaporkan rencana persiapan pembangunan armada laut Mataram—kata Ki Rangga Agung Sedayu sambil mengeluarkan satu ikat rontal yang disimpan di dalam kampil yang dibawanya di pinggangnya. Ki Rangga pun kemudian membuka kampil dan mengeluarkan rontal-rontal itu.
–Kemarilah. Mendekatlah Ki Rangga—ujar Panembahan Hanyakrawati yang ingin melihat lebih jelas gambar rencana pembangunan kapal jung armada laut Mataram yang dilengkapi dengan pelabuhan di pantai Tumaritis dan dermaga di tepi sungai Praga yang terletak di dekat rencana bengkel pembuatan kapal itu.
Ki Rangga Agung Sedayu pun segera menjelaskan berbagai tahapan dalam pembangunan kapal armada laut Mataram. Sebelum pembangunan tahap pertama lima puluh kapal dimulai, maka Ki Rangga Agung Sedayu akan membuat satu kapal jung dulu sebagai contoh.
–Tentu Panembahan nanti dapat memberikan kritik dan saran-saran atas kapal contoh itu, sebelum pembangunan tahap pertama dimulai—
Ki Rangga Agung Sedayu menjelaskan bahwa untuk kapal contoh itu, ia telah memilih pohon jati yang bisa ditebang di alas Mentaok. Sedangkan untuk pembangunan kapal jung armada laut tahap pertama tentu membutuhkan pohon jati yang lebih banyak lagi.
–Ampun Panembahan, untuk pembangunan armada laut tahap pertama sebanyak lima puluh kapal jung nanti kami mohon izin untuk menebang pohon jati lebih banyak lagi. Pembuatan bengkel kerja tempat pembangunan kapal jung dan dermaga itu sudah siap. Kami sudah menebang satu pohon jati yang cukup besar untuk bahan pembuatan kapal jung contoh. Setelah izin kami peroleh kami segera menebang lima puluh pohon lainnya untuk kapal-kapal jung itu.—
–Baiklah Ki Rangga. Segera laksanakan pembangunan kapal jung armada laut itu. Segala sesuatu untuk keperluan pembangunan kapal jung itu, kau dapat menghubungi Pangeran Purbaya. Namun di bagian buritan kapal jung, aku minta disediakan tempat untuk tiga sampai lima ekor kuda beserta kelengkapannya. Ki Rangga dapat menggeser bilik pada gambar itu, atau memperbesar kapal jung sehingga selain memuat pasukan armada laut juga bisa membawa tiga sampai lima ekor kuda–
—Aku juga minta dibuatkan kapal sekoci yang cukup untuk menaikkan dan menurunkan awak kapal, kalau kapal jung tidak bisa merapat ke darat. Selain itu perlu pula dibuat kapal jung penunggahan yaitu kapal jung yang berfungsi sebagai dapur bagi kapal-kapal yang lain. Pada setiap empat kapal jung, akan dilayani oleh satu kapal jung penunggahan. Jadi pada setiap kelompok kapal jung yang terdiri dari lima kapal, maka empat di antaranya mengangkut pasukan dan satu kapal jung berfungsi sebagai kapal jung penunggahan.—
–Jika demikian hamba akan memperbesar ukuran kapal jung, agar bisa memuat selain pasukan juga tiga sampai lima ekor kuda beserta kelengkapannya. Kemudian merancang sekoci dan kapal jung penunggahan yang berfungsi sebagai dapur terapung dengan segala kelengkapannya—
–Baiklah Ki Rangga. Dalam laporan berikutnya, aku ingin mendengar bahwa kapal jung contoh dan kapal jung penunggahan itu sudah jadi–
–Sendika dawuh Gusti Panembahan. Amanat Gusti siap kami laksanakan.—
–Oh Ya Ki Rangga, satu hal lagi. Aku malu melihat kemampuan olah kanuraganmu yang sangat tinggi dalam peperangan yang terakhir di Demak, jasa-jasamu, kesetiaanmu serta pemikiranmu yang luar biasa mengenai pembangunan kapal jung untuk armada laut Mataram. Padahal kau masih saja berpangkat Rangga. Dalam pembicaraanku dengan Pangeran Purbaya, kami tadi sedang membicarakan segala pengabdianmu selama ini. Kebetulan sekali kau datang kemari sekarang—kata Panembahan sambil terdiam sejenak.
–Dalam perbincangan tadi kami telah memutuskan bahwa dalam Paseban Agung bulan berikutnya, aku akan mewisudamu menjadi Panji. Segala sesuatunya akan disiapkan oleh Ki Patih dan Pangeran Purbaya. Sambil menunggu serat kekancingan, maka kau sudah boleh mulai pembangunan kapal jung contoh itu. Aku sendiri yang akan meluncurkan kapal jung contoh itu setelah jadi nanti.—
–Sendika dawuh Gusti Panembahan. Segala amanat siap kami laksanakan. Hamba juga mengucapkan beribu terima kasih kepada Gusti Panembahan dan Gusti Pangeran yang telah memberi kepercayaan dan penghargaan kepada Hamba dan keluarga hamba—
–Oh ya. Karena Pantai Tumaritis mempunyai gelombang yang besar, sehingga kurang menguntungkan untuk kapal jung armada laut kita merapat, maka pelabuhan di Pantai Tumaritis itu hanya bersifat sementara. Mataram akan menempatkan armada laut itu di Kadipaten Demak. Karena gelombang di pantai Demak tidak begitu besar dan aku sering mendapat laporan bahwa perompak banyak yang merugikan dan meresahkan nelayan di pantai Utara. –
–Jika kapal itu sebagian sudah mulai jadi, maka tugas berikutnya adalah membangun pelabuhan di Kadipaten Demak. Pangeran Purbaya kelak akan mengirimkan penghubung ke Kadipaten Demak untuk menyampaikan perintahku untuk membangun pelabuhan itu.—
–Baik Angger Panembahan, segala perintah akan hamba laksanakan—kata Pangeran Purbaya.
–Jika kapal-kapal jung itu sudah jadi dan pelabuhan di Kadipaten Demak juga sudah jadi, maka tugas armada laut itu adalah memindahkan kapal jung dari pantai Tumaritis ke pelabuhan di kadipaten Demak dengan mengitari Bang Wetan, ke utara lalu ke Barat. Menuju Demak. Jika dalam perjalanan kapal jung itu nanti ditemukan perompak, maka malang-malang putung, rawe-rawe rantas. Adalah tugas armada laut itu untuk membersihkan para perompak yang merugikan para nelayan di wilayah kita.—
–Sendika dawuh Gusti. Segala amanat akan kami laksanakan—kata Ki Rangga Agung Sedayu.
Ki Patih Mandaraka dan Ki Rangga Agung Sedayu pun segera mohon diri kepada Panembahan Hanyakrawati dan Pangeran Purbaya untuk kembali ke Istana Kepatihan. Ketika Ki Patih Mandaraka dan Ki Rangga Agung Sedayu telah sampai di Istana Kepatihan, maka Ki Patih pun segera mempersilakan Ki Rangga dan dua orang lurah prajurit yang mendampinginya untuk beristirahat dan makan siang meskipun agak terlambat karena sang mentari sudah jauh condong ke Barat.
Ki Patih Mandaraka dan Ki Rangga Agung Sedayu pun sempat berbincang sejenak sambil menanti pelayan di Istana Kepatihan mempersiapkan makan siang.
–Aku mengucapkan selamat Ki Rangga, karena agaknya angger Panembahan dan Pangeran Purbaya agaknya tidak melupakan nasib Ki Rangga dan keluarga dalam bidang pengabdian sebagai prajurit Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan Menoreh—
–Hamba dan keluarga mengucapkan terima kasih kepada Ki Patih Mandaraka. Tanpa masukan dari Ki Patih, tentu para petinggi Mataram tidak akan pernah mengambil keputusan demikian.—
Ki Patih Mandaraka mengangguk-angguk.
–Aku juga berterima kasih atas jasa, pengabdian dan kesetiaanmu kepada Mataram. Kau, mendiang gurumu Kiai Gringsing, Tanah Perdikan Menoreh dan segala isinya serta Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan yang kau ikut pula membangunnya. Aku kira kenaikan pangkat itu wajar, meskipun masih agak terlambat—ujar Ki Patih Mandaraka sambil melanjutkan .
–Orang-orang terdekatmu seperti Ki Tumenggung Untara, Ki Swandaru yang anak Demang Sangkal Putung, Ki Widura yang pernah menjadi Senapati di Jati Anom dan kini memimpin Padepokan kecil peninggalan Kiai Gringsing merupakan saka guru pertama berdiri tegaknya Kerajaan Mataram bahkan sampai sekarang. Begitu pula Glagah Putih dan Rara Wulan, meskipun masih muda mereka telah ikut berperan menegakkan Kerajaan Mataram. Mereka bahu membahu membangun Mataram ini sejak membabat Alas Mentaok sampai berkembang pesat seperti sekarang. Semua ini tidak terlepas dari jasa-jasamu dan orang-orang terdekatmu—kata Ki Patih pula.
–Bahkan dalam saat-saat kritis seperti dalam perang dengan Madiun, Pajang dan Demak, justru kau menjadi penentu dalam perang itu. Rasanya tidak adil jika kau tidak mendapat anugerah atas segala jasa dan pengabdianmu.—ujarnya lagi.
Ki Rangga Agung Sedayu hanya menunduk dan termangu-mangu, ketika semua jasa dan pengabdian dirinya dan orang-orang terdekatnya disebut-sebut oleh Ki Patih Mandaraka.
Pembicaraan mereka pun terhenti sejenak ketika seorang pelayan dalam menyampaikan kepada mereka bahwa santap siang telah siap di ruang dalam.
–Marilah Ki Rangga—kata Ki Patih mempersilakan makan setelah pelayan itu menyampaikan kesiapan makanan di ruang dalam.
Ketika Ki Patih Mandaraka mulai menyendok nasi putih yang pulen, Ki Rangga Agung Sedayu pun memperhatikan Ki Patih hanya menyendok satu sendok nasi saja ke dalam piringnya. Ki Patih pun mengambil lauknya berupa tahu tempe, sayur daun lembayung dan sepotong ikan gurami.
–Ki Patih makan sedikit sekali—kata Ki Rangga Agung Sedayu.
–Orang-orang seumurku, sudah tidak banyak lagi bisa mengisi perutnya. Berbeda dengan ketika aku masih semudamu, atau bahkan waktu masih lebih muda lagi, aku bisa makan tiga piring nasi jagung—kata Ki Patih sambil tersenyum.
– Ki Patih ketika zaman susah bisa makan tiga piring, tapi setelah mukti menjadi Patih Mataram justru tidak bisa makan banyak lagi. Bahkan banyak pantangan—kata Ki Rangga Agung Sedayu sambil tersenyum menggoda.
–Yah itulah karena faktor usia. Apalagi kemampuan kewadaganku sudah tidak mendukung lagi. Aku senang melihat kau masih bisa makan dua-tiga piring nasi dan lauk pauknya—
–Hahaha. Ki Patih bisa saja. Kalau aku bisa makan dua tiga piring, tentu aku bisa segemuk adi Swandaru.—
Ki Patih pun tertawa.
–Oh ya Ki Patih. Hamba juga menyampaikan kabar gembira bahwa istri hamba Sekar Mirah sudah mulai isi dalam arti mengandung. Hamba mohon doa restu dari Ki Patih agar kandungan Sekar Mirah selamat dan kelak lahir jabang bayi yang sehat dan selamat dari rahimnya.—
–Oh ya. Kabar itu tentu saja sangat menggembirakan. Aku gembira bahwa kelak akan ada generasi penerusmu yang tentu saja aku harapkan akan bisa menjadi benteng-benteng Mataram di masa depan. Karena itu aku minta agar kau menjaga hati dan kesehatan istrimu. Karena dalam kondisi mengandung begitu biasanya ada saja permintaannya yang aneh-aneh. Orang sering menyebutnya sebagai wanita yang sedang ngidam. –
–Ketika istriku mengandung anakku yang pertama, ia minta ikan sembilang. Ikan yang bentuknya seperti belut itu hidup di laut, dan agak sulit diperoleh. Aku sampai mencarinya kepada nelayan yang baru turun melaut. Ketika itu aku masih bertugas di Pajang, sehingga tidak terlalu jauh dari pantai. Ikan itu rasanya gurih jika dibakar, lalu diberi bumbu pecel. Tetapi mendiang istriku lebih suka ikan itu disayur dan diberi bumbu rempah-rempah lengkap berupa bumbu kuning. Memang rasanya gurih sekali.–
–Alangkah enaknya ikan sembilang dibumbu kuning—gumam Ki Rangga Agung Sedayu.
–Enak. Enak. Gurih sekali. Aku yakin kau bisa makan nasi tiga piring nasi untuk menemani makan seekor ikan sembilang. Apalagi kalau diberi bumbu kuning yang pedas—
–Hahaha. Ki Patih bisa saja—
–Hahaha. Kalau kau malam ini bermalam di Kepatihan, aku akan menyuguhkan ikan sembilang bumbu kuning kepadamu. Aku akan memerintahkan pelayan dalam untuk mencari ikan sembilang sampai dapat dan memberinya bumbu kuning pedas. Sebagian kita makan di sini dan sebagian lagi bisa kau bawa pulang untuk istrimu di rumah.—
–Wah sungguh suatu tawaran yang sangat sulit untuk hamba tolak—kata Ki Rangga Agung Sedayu sambil meneguk liur di kerongkongannya. Ki Patih hanya tersenyum mendengar jawabannya.
–Nah kalau demikian, aku akan memerintahkan pelayan dalam untuk menyiapkan tempat tidurmu di gandok kiri.—
Demikianlah Ki Rangga Agung Sedayu dan pengiringnya pun malam itu menginap di Istana Kepatihan. Sebelum tidur Ki Rangga pergi ke pakiwan dan mengambil air untuk sesuci. Ia pun segera bersujud menghadap Yang Maha Agung dan mengucapkan puji syukur bahwa ia dan keluarganya mendapat anugerah kesehatan dan keselamatan serta anugerah lainnya yang berlimpah, termasuk kenaikan pangkatnya dari Panembahan Hanyakrawati. Setelah itu ia berbaring dan mulai terlelap ke dalam mimpinya. Selapis senyum tipis menyungging di bibirnya.
Keesokan harinya, Ki Rangga Agung Sedayu terbangun ketika fajar mulai menyingsing. Setelah ke pakiwan untuk mandi dan sesuci serta menunaikan kewajibannya kepada Yang Maha Agung, Ki Rangga berjalan-jalan ke halaman. Dilihatnya Ki Patih Mandaraka sudah berjalan-jalan dengan sebatang tongkat setinggi pinggangnya. Gagang tongkat itu menekuk siku pada ujungnya yang tidak lebih dari sejengkal panjangnya. Pada ujung tekukan siku itu, terukir seekor naga raja dengan sunggingan yang halus.
–Tongkat Ki Patih bagus sekali—kata Ki Rangga Agung Sedayu.
–Yah beginilah kalau kelak kau sudah setua aku. Ke mana-mana harus membawa tongkat. Kakiku sudah tidak dua lagi, tapi sudah bertambah menjadi tiga.—kata Ki Patih sambil tersenyum.
–Meskipun aku tidak memerlukannya, tongkat ini juga mempunyai fungsi yang lain—
–Apakah fungsi itu Ki Patih?—
–Ini—kata Ki Patih sambil menarik ujung dan pangkal tongkat itu. Tongkat itupun terpisah menjadi dua, satu berupa pedang tipis yang keluar dari wrangkanya dan satu lagi wrangkanya itu sendiri.
Pedang tipis itu pun ternyata bukan pedang sembarangan. Bilahnya yang lentur ternyata mempunyai pamor yang sangat baik.
–Pamor wos wutah—kata Ki Rangga Agung Sedayu.
–Ya. Pamor wos wutah—kata Ki Patih Mandaraka.
–Aku mempunyai sepasang tongkat yang berisi pedang tipis di dalamnya. Aku ingin memberikannya salah satu kepadamu. Tongkat yang satunya lagi dengan pedang di dalamnya memiliki pamor udan mas. Kau boleh memilih salah satunya.—
–Wah, wah. Kedatangan hamba ke Mataram kali ini agaknya penuh dengan berkah. Bermimpi apa hamba sebelumnya. Kemarin Gusti Panembahan Hanyakrawati menganugerahkan kenaikan pangkat hamba. Dan hari ini Ki Patih memberi sebuah tongkat dengan pedang tipis berpamor udan mas. Terima kasih. Terima kasih Ki Patih—
Perbincangan mereka terputus sejenak ketika seorang pelayan dalam memberitahukan bahwa sarapan dengan ikan sembilang dibumbu kuning telah siap.
–Marilah Ki Rangga—kata Ki Patih Mandaraka sambil berjalan tertatih-tatih dibantu dengan tongkatnya. Ki Rangga Agung Sedayu berjalan pula pelan-pelan di sampingnya.
Mereka pun segera masuk ke ruang dalam dan duduk di depan meja yang sudah digelar hidangan nasi putih pulen dan ikan sembilang dibumbu kuning. Selain air putih telah pula disediakan wedang jahe dan buah-buahan sebagai pencuci mulut.
Setelah selesai makan dan beristirahat sejenak di pendapa, Ki Rangga pun mohon pamit untuk kembali ke Tanah Perdikan.
–Tunggu sebentar—kata Ki Patih Mandaraka sambil berjalan menuju ke ruang tidurnya. Dari sebuah gapit di dinding, diraihnya sebuah tongkat yang serupa dengan tongkat yang dipakainya. Lalu Ki Patih Mandaraka berjalan keluar dengan membawa dua buah tongkat. Satu tongkat berwarna hitam yang dipakainya tadi dan sebuah lagi tongkat berwarna putih kekuning-kuningan di tangannya yang lain.
–Inilah tongkat yang aku katakan tadi—kata Ki Patih sambil meletakkan tongkat hitam di atas tikar pandan lalu menarik ujung dan pangkal tongkat yang berwarna putih kekuning-kuningan.
–Lihatlah pamornya. Udan mas—kata Ki Patih sambil mengangsurkan tongkat yang menjadi pedang tipis dan wrangkanya.
–Dari kayu cendana—desis Ki Rangga Agung Sedayu ketika menempelkan hidungnya pada wrangka pedang tipis itu. Sedangkan gagangnya terbuat dari gading berukir kepala nagaraja..
–Ya. Kayu cendana. Kayu itu aku peroleh dari seorang pedagang wesi aji yang berkelana sampai pulau yang jauh di timur tanah ini. Mereka menyebutnya Pulau Timor. Aku lalu teringat akan bilah pedang tipis yang belum ada wrangkanya. Maka aku perintahkan tukang sungging untuk membuat wrangka itu. Sedangkan tongkat yang berwarna hitam ini aku dapat lebih dulu kayunya dari pedagang yang sama ketika ia sebelumnya merantau ke Borneo. Pedagang itu menyebutnya dengan kayu eben—
–Nah kau boleh memilih yang mana kau suka, Ki Rangga—
–Terserah Ki Patih. Yang mana pun akan hamba terima dengan penuh rasa syukur—
–Aku suka yang berwarna hitam ini. Jadi kau aku beri yang berwarna putih kekuning-kuningan ini saja—
–Sekali lagi hamba mengucapkan terima kasih—
Ketika Ki Rangga Agung Sedayu sekali lagi meminta diri, Ki Patih Mandaraka memanggil pelayan dalam yang sudah menyiapkan bungkusan ikan sembilang untuk Sekar Mirah dan penghuni rumah Ki Rangga Agung Sedayu di Tanah Perdikan Menoreh. Ki Rangga menggantungkan bungkusan itu pada pelana kudanya.
Demikianlah Ki Rangga Agung Sedayu pun kemudian berkuda beriringan dengan pengikutnya menuju Sungai Praga, menyeberang dengan rakit dan mereka tiba di Tanah Perdikan ketika matahari berada di puncak langit.
Ki Rangga Agung Sedayu pun menyerahkan bungkusan daun pisang yang berisi ikan sembilang dibumbui dengan bumbu kuning itu kepada istrinya. Mereka pun mengajak Kiai Jayaraga dan Sukra yang sedang ada di rumah untuk makan dengan ikan sembilang itu selain masakan yang dibuat Sekar Mirah.
Setelah selesai makan Ki Rangga Agung Sedayu pun menunjukkan tongkat bergagang kepala nagaraja itu kepada istrinya, Kiai Jayaraga dan Sukra. Namun ia tidak menceriterakan tentang rencana wisuda kenaikan pangkatnya kepada mereka. Ia ingin membuat kejutan.
–Ikan sembilang dan tongkat ini pemberian Ki Patih Mandaraka—kata Ki Rangga Agung Sedayu.
–Wah pantas enak sekali masakannya. Semula aku kira kakang membelinya dari kedai di pinggir jalan. Tapi masakan di kedai tidak seenak masakan ini. Masakan Istana Kepatihan, mana ada lawan—kata Sekar Mirah. Ki Rangga Agung Sedayu hanya tersenyum menanggapinya.
Kiai Jayaraga tertarik kepada tongkat bergagang kepala nagaraja itu.
–Tongkat yang bagus—katanya.
Ki Rangga Agung Sedayu pun mengulurkannya kepada Kiai Jayaraga. Kiai Jayaraga menempelkan tongkat itu di depan hidungnya. Tercium bau harum dari batang tongkat itu.
–Tongkat kayu cendana—katanya.
–Iya. Kayu cendana Kiai.–
–Tongkat ini mempunyai kegunaan lain Kiai—kata Ki Rangga Agung Sedayu. Ki Rangga mengambil tongkat itu dari tangan Kiai Jayaraga, menarik ujung dan pangkalnya, sehingga keluarlah pedang tipis itu lalu menjulurkannya kepada Kiai Jayaraga.
–Pamor udan mas—kata Kiai Jayaraga.
–Ya Kiai. Pamor udan mas—
Ki Rangga Agung Sedayu pun kemudian secara singkat menceriterakan perjalanannya ke Mataram untuk bertemu Ki Patih Mandaraka, Panembahan Hanyakrawati dan Pangeran Purbaya. Pada dasarnya mereka menerima rencana gambar kapal armada laut Mataram yang dirancang oleh Ki Rangga Agung Sedayu, dengan mengadakan perubahan di sana sini, termasuk memperbesar ukuran kapal jung agar dapat memuat tiga sampai lima ekor kuda dan kelengkapannya.
Para blandong telah pula mulai dikerahkan untuk menebang sebatang pohon jati yang tumbuh di Alas Mentaok atau Tambak Baya sebagai bahan baku pembuatan kapal jung itu. Mereka menandai pohon-pohon jati mana yang bisa ditebang untuk pembangunan kapal-kapal jung itu.
Para tukang kayu dan tukang sungging terbaik pun dikumpulkan untuk mulai membuat lima puluh perahu jung berukuran besar yang mampu memuat satu regu prajurit yang terdiri dari dua puluh lima hingga tiga puluh orang beserta perlengkapan persenjataannya.
Sebatang pohon jati yang dipilih itu adalah pohon yang sudah sangat tua bahkan berusia ratusan tahun, sehingga garis tengahnya sudah sebesar pemeluk lima laki-laki dewasa. Pohon yang besar itu pun segera ditebang, lalu dibelah-belah menjadi balok-balok kayu yang besar serta papan-papan yang besar dan tebal. Balok besar dan papan tebal itu pun lalu digotong beramai-ramai ke bengkel kerja.
Setelah sampai di tempat yang digunakan sebagai bengkel kerja, maka para tukang kayu dan tukang sungging itu pun mulailah membentuk rangka perahu. Mereka mempergunakan sistem pasak dan tiang dalam merekatkan gelagar dengan gelagar, balok dengan balok, balok dengan papan dan dan papan dengan papan.
Sebagai tiang layar telah dipilih cabang pohon jati itu yang cukup besar dan batangnya lurus, sedangkan sebagai lembaran layarnya telah pula mulai ditenun kain terpal dari serat rami yang kuat dan diawetkan sehingga tidak mudah lapuk.
Sementara Ki Rangga Agung Sedayu semakin sibuk dengan penyelesaian perluasan dan pembangunan barak tertutup, dan dilanjutkan dengan rencana pembangunan armada laut Mataram, di Jati Anom Ki Tumenggung Untara semakin sibuk dengan tugasnya dan kesibukan mengawasi puteranya. Wira Sanjaya.
–Wira Sanjaya ke mana Nyi—tanyanya kepada istrinya.
–Tadi ia pamitan kepadaku untuk pergi ke padepokan paman Widura bersama seorang temannya yang putera Ki Demang Jati Anom—kata istrinya.
–Kalau begitu aku akan menyusulnya ke sana. Aku ingin menitipkan Wira Sanjaya kepada paman Widura, agar anak itu digembleng dalam bidang olah kanuragan dan widya sastra—
–Baiklah kakang. Mumpung masih sore. Aku ingin titip buah-buah ini kepada paman Widura—kata istrinya sambil memasukkan ke dalam keranjang kecil buah-buahan berupa jambu air, belimbing dan sawo.
–Di padepokan juga sudah banyak buah—kata Ki Tumenggung Untara.
–Bukankan pemberianku ini merupakan bentuk perhatian seorang kemenakan kepada pamannya—kata istrinya.
–Baiklah. Tapi jangan salahkan aku kalau paman Widura juga nanti menitipkan buah-buahan dari padepokan kepada kita.—
–Wah tentu aku dan paman Widura akan saling kirim-kiriman buah-buahan.—
Ki Tumenggung Untara tersenyum lalu keluar ke halaman depan, menggantungkan keranjang buah itu di pelana kudanya, melepas tali kendali lalu meloncat ke punggung kuda. Ia melambaikan tangannya dan menyentak tali kendali kudanya. Kuda tersebut pun berlari ke padepokan yang tidak terlalu jauh dari barak itu.
Ketika kudanya mencapai regol padepokan itu, maka Ki Tumenggung Untara turun dari kudanya. Seorang cantrik yang sedang berada di halaman depan segera menyambutnya.
–Apakah paman Widura ada di padepokan—tanya Ki Tumenggung Untara.
Belum lagi cantrik itu sempat menjawab, terdengar tertawa dari pendapa.
–Kemarilah angger Tumenggung. Pantaslah dari pagi burung perenjak tak putus-putusnya berbunyi di halaman padepokan ini. Agaknya ada tamu agung yang datang—kata Ki Widura sambil menyambut kemenakannya itu.
Di sanggar terbuka di bagian belakang padepokan, sekilas Ki Tumenggung Untara melihat anaknya Wira Sanjaya dan temannya itu sedang berlatih olah kanuragan dengan beberapa orang cantrik.
–Hahaha. Paman ada-ada saja. Mungkin burung prenjak itu sudah mencium bauku yang akan datang ke padepokan ini. Padahal aku datang kemari sama sekali tanpa rencana. Tiba-tiba saja aku ingin datang kemari dan langsung berangkat. —
– Aku senang sekali anakmas mau bertandang ke padepokan kecil ini—
–Bahkan istriku telah menitipkan sekeranjang buah-buahan untuk Paman Widura. Kalau pun dimakan bersama-sama oleh para cantrik, buah-buahan itu tidak cukup seorang mendapat satu buah—kata Ki Tumenggung sambil meminta seorang cantrik untuk membawa ke belakang sekeranjang buah yang tergantung di pelana kudanya.
–Hahaha. Nyi Tumenggung merepotkan diri saja. Baiklah. Nanti aku tugaskan cantrik untuk memetik buah yang ada di padepokan ini guna membalas titipan Nyi Tumenggung.—
Demikianlah mereka bersenda gurau sebagaimana layaknya dua orang kerabat yang telah lama tidak bertemu meskipun mereka dipisahkan oleh jarak yang tidak terlalu jauh.
Ki Tumenggung pun kemudian menjelaskan mengenai maksud kedatangannya guna menitipkan anaknya Wira Sanjaya untuk mereguk ilmu olah kanuragan di padepokan kecil itu dari kakeknya. Ki Widura.
Ki Widura pun dengan senang hati menerima penjelasan mengenai maksud kedatangan kemenakannya itu yang kini sudah menjadi seorang Tumenggung. Ki Widura pun kemudian menceriterakan perjalanan pengelolaan padepokan kecil itu sepeninggal Kiai Gringsing. Jumlah cantrik padepokan itu kian banyak, meskipun Ki Widura memilih dan meneliti dengan amat hati-hati orang yang akan diterima oleh padepokan itu.
Meskipun Ki Widura bukan dari aliran perguruan Windujati, namun karena murid utama perguruan Orang Bercambuk yang lain semuanya mempunyai kesibukan masing-masing maka Ki Widura yang telah ditetapkan sebagai murid utama oleh Kiai Gringsing mendapat tugas untuk menangani padepokan itu.
Ketika menjelaskan itu, tiba-tiba Ki Widura teringat kepada aliran perguruan Ki Sadewa yang juga dikuasainya seperti halnya juga dikuasai oleh Ki Tumenggung Untara. Karena itu Ki Widura pun menerangkan bahwa telah sejak lama sebenarnya ia ingin menyampaikan kepada Ki Tumenggung Untara bahwa ada warisan ilmu yang harus dimantapkan oleh Ki Tumenggung Untara sebagai penerus perguruan Ki Sadewa.
Ki Widura pun kemudian menjelaskan bahwa aliran ilmu olah kanuragan Ki Sadewa itu terdapat di dalam sebuah gua yang terletak di tebing sungai tidak jauh dari padepokan itu.
–Bukankah gua itu tempatku bermain-main dahulu waktu kecil? Ayah pernah mengajakku untuk masuk ke dalamnya—kata Ki Tumenggung Untara.
–Benar anakmas. Di sanalah ilmu itu tersimpan. Agaknya kakang Sadewa sengaja mengajakmu ke sana agar kau dapat mengetahui bahwa di sana ada gudang ilmu. Sebagai salah seorang penerus perguruan Ki Sadewa, akupun sudah pernah masuk ke gua itu setelah angger Agung Sedayu menemukan guratan jurus-jurus ilmu olah kanuragan perguruan kita. Kalau tidak berkeberatan, akupun ingin agar anakmas pergi ke sana dan mempelajarinya.—
–Aku sibuk sekali paman—kata Ki Tumenggung Untara.
–Aku rasa anakmas tidak perlu berlama-lama mempelajarinya, karena anakmas sudah menguasai dasar-dasarnya. Aku kira anakmas dapat meninggalkan tugas sekitar tujuh hari sampai dua pekan. Selebihnya anakmas bisa menuntaskannya di rumah atau di padepokan ini.—
KI Tumenggung Untara termangu-mangu sejenak. Alih-alih ia ingin menitipkan anaknya Wira Sanjaya, justru Ki Widura memintanya meningkatkan ilmu yang dikuasainya di dalam gua itu.
Meskipun ketika kecil sampai remaja Ki Tumenggung Untara berulangkali memasuki gua itu, baru sekarang ia mengetahui bahwa ilmu olah kanuragan aliran perguruan Ki Sadewa tergurat di dinding gua itu, meskipun puncak ilmunya secara tidak sengaja telah dihancurkan oleh Agung Sedayu.
–Baiklah paman. Aku akan menyampaikan rencana untuk melaksanakan kewajibanku guna meningkatkan ilmu olah kanuragan dari perguruan Ki Sadewa itu kepada istriku. Semoga ia dapat mengerti.—
–Semoga Nyi Untara bisa memakluminya pula—kata Ki Widura.
–Apakah aku bisa berbicara dengan Wira Sanjaya di depan paman?—
–Tentu. Tentu saja bisa.—jawab Ki Widura.
Kepada seorang cantrik, Ki Widura memerintahkan untuk memanggil Wira Sanjaya ke pendapa.
–Aku senang Ayah datang ke mari—kata Wira Sanjaya kepada ayahnya setelah ia duduk di pendapa.
–Ya ngger. Ayahmu kangen kepada pamannya ini—kata Ki Widura mendahului sebelum Ki Tumenggung Untara menjawab.
Ki Tumenggung Untara pun kemudian menjelaskan bahwa meskipun Wira Sanjaya dan temannya telah sering datang ke padepokan, namun Ki Tumenggung Untara ingin secara resmi menyerahkan Wira Sanjaya ke padepokan itu untuk mempelajari dengan tekun, baik ilmu olah kanuragan aliran perguruan Orang Bercambuk maupun aliran Ki Sadewa. Selain itu juga untuk mempelajari mengenai ilmu sastra, pertanian, pengetahuan mengenai musim dan ilmu perbintangan.
–Aku dengan senang hati akan mempelajarinya, ayah—kata Wira Sanjaya.
–Aku harapkan angger mau belajar dengan tekun di sini kepada kakekmu—kata Ki Tumenggung Untara.
–Baik ayah. Pesan ayah akan aku perhatikan—jawab Wira Sanjaya.
Setelah menyampaikan hal itu kepada Wira Sanjaya dan seorang kawannya, maka Ki Tumenggung Untara pun berkeliling melihat-lihat keadaan di padepokan itu.
Ki Widura pun menjelaskan bahwa padepokan itu semakin berkembang. Para cantrik terus bertambah sehingga satu bilik ditempati tiga sampai empat orang. Agaknya Ki Tumenggung Untara pun cepat tanggap terhadap ungkapan Ki Widura.
–Baiklah, paman. Aku akan menyumbang pembangunan beberapa bilik, termasuk untuk Wira Sanjaya dan kawannya, apabila mereka harus mondok di sini.—
–Terima kasih anakmas. Semoga padepokan ini semakin bertambah maju—kata Ki Widura sambil tersenyum gembira.
Ki Widura menjelaskan bahwa di sebelah sanggar terbuka di belakang masih tersedia lahan untuk pembangunan bilik-bilik itu.
Ketika berkeliling itu Ki Tumenggung Untara melihat beberapa orang cantrik sedang memetik buah-buahan untuk dibawa oleh Ki Tumenggung. Ia pun melihat ikan berwarna-warni berenang di dalam belumbang yang terdapat di halaman depan padepokan itu. Semuanya masih nampak asri seperti pada waktu masih dipimpin oleh mendiang Kiai Gringsing.
Di dalam kandang terdapat beberapa ekor kuda yang dipakai untuk keperluan yang mendadak jika mereka harus pergi ke Jati Anom atau ke Kademangan Sangkal Putung.
Di belakang padepokan itu terdapat pula sawah yang diolah oleh para cantrik sebagai sumber bahan makanan mereka.
–Sawah itu baru saja kami panen dan hasilnya cukup baik—kata Ki Widura yang mengantarkan Ki Tumenggung Untara melihat-lihat ke sawah milik padepokan itu.
Ki Tumenggung mengangguk-anggukkan kepalanya.
–Apakah hasil panen itu masih mencukupi untuk keperluan para cantrik—tanya Ki Tumenggung Untara.
–Masih. Hasilnya masih berlebih anakmas—kata Ki Widura.
Demikianlah setelah puas berkeliling melihat keadaan padepokan itu, Ki Tumenggung Untara pun kemudian berpamitan kepada Ki Widura dan para penghuni padepokan itu.
–Paman, nanti setelah aku memberitahukan kepada istriku, aku akan masuk ke dalam gua di tebing sungai itu untuk mesu diri menyadap ilmu yang merupakan peninggalan perguruan ayah. Ki Sadewa. Aku akan berangkat dari sini—kata Ki Tumenggung Untara.
–Baik anakmas. Semakin banyak yang menguasai ilmu dari perguruan Ki Sadewa akan semakin baik. Sehingga ilmu yang sangat jarang itu tidak lenyap dari muka bumi ini.—jawab KI Widura.
–Baiklah aku mohon pamit dulu paman.—
Ki Tumenggung Untara segera menerima kendali kudanya dan meloncat ke punggung kuda setelah seorang cantrik menggantungkan sekeranjang buah-buahan di pelana kudanya.
Tak berapa lama kudanya menyusuri jalanan lurus dan panjang yang sangat dihafalnya setiap sudutnya. Segalanya tidak berubah seperti ketika ia masih kecil. Di sudut tikungan Ki Tumenggung Untara berbelok ke kiri dan agak di tengah itulah rumahnya. Ia meloncat turun ketika kudanya memasuki regol. Lalu ia menuntun kudanya ke belakang, seorang prajurit yang tinggal di barak yang bersebelahan dengan rumahnya itupun menerima tali kendali dan membawa kuda itu ke kandangnya.
Tak lama prajurit tadi kembali ke rumah dan membawa sekeranjang buah-buahan yang dibawanya dari padepokan.
–Nyi. Nyi. Benar kan, paman Widura mengirim balik buah-buahan dari padepokan—kata Ki Tumenggung Untara. Istrinya yang muncul dari balik pintu tersenyum melihat sekeranjang besar buah-buahan yang dibawanya dari padepokan.
–Perasaanku tadi keranjangnya kecil, sekarang kenapa keranjangnya menjadi besar dan buahnya ranum-ranum?—tanyanya.
–Hahaha. Agaknya keranjang kecil itu senang hatinya berada di padepokan sehingga dalam waktu tidak lama sudah membesar. Biarlah kita ambil sebagian saja buah itu, selebihnya kita berikan kepada prajurit tadi biar dibagi di dalam barak—kata Ki Tumenggung Untara.
Demikianlah setelah makan malam dan beristirahat sejenak di pendapa, Ki Tumenggung Untara pun menyampaikan rencananya untuk menyadap ilmu dari perguruan Ki Sadewa secara tuntas sesuai petunjuk pamannya. Ki Widura.
–Apakah ilmu kakang masih kurang tinggi? Bukankah kakang adalah seorang Tumenggung yang mumpuni dan sangat disegani oleh kawan maupun lawan?—tanya Nyi Tumenggung Untara.
–Memang aku disegani oleh kawan maupun lawan dalam olah keprajuritan dan olah gelar perang. Namun aku belum mempelajari ilmu dari perguruan ayahku Ki Sadewa sampai tuntas, karena sejak berangkat dewasa aku dititipkan kepada paman Widura di Pajang dan oleh paman aku dimasukkannya menjadi seorang prajurit. Ketika aku bertugas di Pajang, paman Widura dipindahkan bertugas ke Sangkal Putung sebagai seorang Senapati untuk mengatasi Raden Tohpati dari Jipang yang bergelar Macan Kepatihan. Setelah aku kembali ke Jati Anom, ternyata ayah sudah tiada. Sehingga aku belum sempat menuntut ilmu dari perguruan Ki Sadewa sampai tuntas. Kalau pun aku menguasainya, hanya sepotong-sepotong sebagaimana diberikan oleh ayah kepadaku–katanya. Lalu ia melanjutkan.
–Ketika Adi Agung Sedayu mesu diri di dalam gua itu, ia menemukan goresan ilmu jalur perguruan ayahku. Ki Sadewa. Karena itu meskipun aku seorang Tumenggung, tetapi dari ketinggian ilmu secara perorangan mungkin aku masih berada jauh di bawah adi Swandaru, Glagah Putih bahkan dari Adi Agung Sedayu.—kata Ki Tumenggung Untara sambil berhenti sejenak.
–Memang aku perlu tidak menjadi iri atau dengki dengan kemajuan ilmu adi Agung Sedayu, tetapi aku ingin agar perbedaan ilmu itu tidak terlalu besar.—
–Berapa lamakah kakang akan mesu diri di dalam gua itu?—
–Tidak lama Nyi. Sekitar tujuh hari hari sampai dua pekan.—
–Jika kakang menganggapnya perlu, silakan. Aku sangat mendukung keinginan kakang itu. Semoga dengan semakin meningkatnya ilmu olah kanuragan kakang, kakang semakin mendapat kemuliaan dari pemimpin tertinggi Mataram—
–Iya Nyi. Terima kasih atas doamu, semoga Yang Maha Agung berkenan mendengarnya. Besok aku akan membagi tugas-tugasku kepada para senapati. Sehingga lusa aku akan mulai dengan perjalanan tirakatku ini.—
Demikianlah maka pada keesokan harinya, Ki Tumenggung Untara pun telah memanggil para senapati pasukan Mataram yang berada di barak Jati Anom. Kepada mereka Ki Tumenggung Untara menyampaikan niatnya untuk mesu diri di padepokan kecil peninggalan Kiai Gringsing selama paling lama dua pekan.
Oleh karena itu, Ki Tumenggung Untara pun kemudian membagikan tugas termasuk mengawasi rumahnya kepada para senapatinya selama ia tidak berada di barak.
Setelah menyampaikan rencana dan tugas-tugas kepada para senapatinya, Ki Tumenggung Untara pun pulang ke rumahnya. Ia minta agar istrinya untuk menyiapkan abu merang untuk mandi keramas guna menyucikan diri untuk bersiap-siap mesu diri di dalam gua di atas tebing sungai yang terjal itu.
Pada keesokan harinya, ketika matahari sudah naik lengser ke Barat maka Ki Tumenggung Untara pun berpamitan kepada istrinya dan para prajurit yang berjaga di rumahnya. Ia berangkat berkuda ke padepokan kecil peninggalan Kiai Gringsing yang tidak begitu jauh dari rumahnya itu.
Tidak beberapa lama Ki Tumenggung Untara telah sampai di padepokan dan berhenti di depan regol dan meloncat turun. Ia segera menyerahkan kendali kudanya kepada seorang cantrik yang tergopoh-gopoh menyambutnya.
–Apakah paman Widura ada di padepokan?—tanyanya kepada cantrik itu.
–Ada. Ada Ki Tumenggung. Silakan Ki Tumenggung naik ke pendapa—

(Bersambung ke Jilid 399)

buku-iv-97>>| buku-iv-99>>

Laman: 1 2 3 4 5 6

Telah Terbit on 7 Januari 2010 at 10:40  Comments (617)  

The URI to TrackBack this entry is: https://adbmcadangan.wordpress.com/bukan-adbm/trackback/

RSS feed for comments on this post.

617 KomentarTinggalkan komentar

  1. nuwun sewu, badhe nderek mampir….
    setelah sekian lama ndak mampir….akhirnya kangen juga…
    satu kejutan ketika ternyata ada “bukan ADBM”. Salut buat Ki Agus, satu karya yang harus diapresiasi…saya sudah baca sampai tulisan terakhir, walau saya merasa ada perbedaan gaya bahasa (justru yg menjadi gaya bahasa khas Ki SHM), tapi bagus sekali…
    Karena penasaran dengan lanjutan ceritannya…saya coba buka di matarambinangkit.com, ternyata harus bayar ya…..nglokro jadinya…
    memang segala jerih payah sdh seharusnya dihargai, entah itu berupa materi atau yg lain.
    jika memang pada akhirnya harus dikomersialkan, memang sudah seharusnya Ki gus harus mendapat ijin dari keluarga Ki SHM (ini menurut saya lho, mohon maaf yg sebesar-besarnya jk salah), sebab dalam tulisan Ki Agus ada mengandung properti milik Ki SHM.

    • Setuju kisanak,hak cipta ADBM sampai saat ini memang belum beralih ke tangan orang lain, sehingga secara hukum segala sesuatu yang berkaitan dengan lanjutan ceritera ADBM (mekipun menggunakan judul lainnya akan tetapi nama tokoh dan karakternya tidak bisa dipungkiri kalau itu merupakan kelanjutan dari ADBM)dalam bentuk cetakan yang diperjual-belikan tidak boleh sembarangan.

      Mohon maaf ki Agus, kami disini hanya sekedar mengingatkan tanpa mengurangi rasa hormat kami atas usaha ki Agus dalam melanjutkan ceritera ADBM. Apalagi seingat saya dulu di koran Kedaulatan Rakyat dalam wawancaranya Ki SH Mintardjo kalau gak salah pernah mengatakan kalau secara garis besar ceritera ADBM sudah diberikan ke penerusnya (keluarga) sehingga kalau sewaktu-waktu beliyau meninggal maka ada yang akan melanjutkan ceritera tersebut.

  2. Tidak ada lagikah cantrik yg dapat melanjutkan adbm di blok BUKAN ADBM, yg dapat dinikmati secara gratis ?

  3. Saya pekan lalu bertandang ke rumah Ki Agus untuk bertatap muka dengan Ki Agus S. Soerono dan hendak membeli Mataram Binangkit jilid 1.
    Saya terperangah, karena di depan rumahnya tertulis Kata-kata: Rumah ini dijual Hub. 021 93 3636 72. Menurut ceritanya, ternyata Ki Agus sedang dalam kesulitan keuangan karena harus menguliahkan anak sulungnya di fakultas kedokteran sebuah PTS. Sekarang anak kedua juga hendak kuliah di fakultas kedokteran. Aset tanah kosong dan mobilnya sudah melayang untuk membiayai anak pertama. Ia belum terpikir untuk mendapat uang dari mana untuk kuliah anaknya yang kedua. Belum lagi kebutuhan hidup sehari-hari. Ki Agus mempunyai empat putera yang semuanya masih sekolah. Gajinya di tempat kerja yang sekarang sama sekali tidak mencukupi untuk biaya sehari-hari. Oleh karena itu Ki Agus hanya bisa mengelus dada mendengar kata-kata pedas yang ditulis di Bukan ADBM. Menurut Ki Agus, para pembaca belum bisa menghargai karya tulisnya. Padahal zaman dulu, orang harus membeli komik karya KI SHM. Buku komik itu tidak didapat secara gratis. Memang para pendiri padepokan berhati sangatmulia dengan membuat padepokan itu secara gratis. Namun apakah Ki Agus bisa hidup apabila karyanya digratisin?
    Saya sebenarnya sering masuk ke Padepokan ADBMcadangan, cuman saya sangat jarang berkomentar. Namun melihat kondisi Ki Agus yang membuat saya trenyuh, saya memberanikan diri untuk menulis surat ini. Maaf Ki Agus, saya tanpa seizin Ki Agus menulis surat ini. Semata-mata karena keprihatinan melihat keadaan Ki Agus. Semoga para cantrik dan punggawa padepokan bisa ikut berbagi dengan Ki Agus. Semacam take and give gitu lho. Kalian bilang-bilang sakaw, sakaw, sakaw, tapi tidak ada perasaan melu handarbeni. Rasa turut memiliki kepedihan yang tengah dialami oleh Ki Agus.
    Sayang sungguh sayang… Kalau Ki Agus tidak bisa menyumbangkan kemampuannya di bidang tulis menulis, karena terbentur masalah ekonomi. Saya rasa Rp 30.000 sebulan tak ada artinya bagi Kisanak semua, apabila dibandingkan dengan kerinduan kita akan cerita-cerita yang dapat dihasilkannya.

    Maaf kalau kata-kata saya terlalu pedas. Bukan maksud saya membela Ki Agus. Tapi benar2 dari rasa keprihatin yang mendalam.
    Salam,

    Raden Panji Klantung

    Ruddy Wijanarko

    • Untuk melestarikan keberlanjutan SDBM karya Pak Agus saya kira iuran Rp 50rb perterbitan disini sangat bagus sebagaimana yang sudah dilakukan oleh almarhum Mbah Man Sidoarjo Surabaya

  4. Wah..wah ternyata ada polemik yang terjadi disini.
    kalau memang ketentuannya seperti itu ya diikuti aja bagi yang mau, yang ndak mau ya gak usah ikut..gitu aja kok repot.
    Salam untuk Ki AS.

    Selamat tinggal sakauw…….mungkin dengan berjalannya waktu kita semua bisa melupakan rasa sakauw, dulu nggak tahu, jadi tahu dan nggak tahu lagi, kayak roda yang berputar.

    • njih ki

  5. Zaman sudah berubah….. Materi atau uang menjadi kebutuhan yg tak dapat dipungkiri, sudah selayaknya kalau suatu karya dihargai dengan cukup. Bagaimana kalau Bukan ADBMnya Ki AS tak usah diterbitkan di ADBMcadangan, terbitkan saja dalam bentuk buku saja, yg mau baca beli saja bukunya. Sudah tentu itupun dgn pembagian Royalti yg pantas untuk keluarga SHM.

  6. Sebenarnyalah setiap karya harus dihargai . Salam kenal,
    Buat ki Agus , tetap semangat , Semangat sore, semangat siang dan semangat malam

    • Kalau mau jujur, setelah baca kelanjutan AdBM yang ditulis Ki Agus, nampaknya koq tidak bisa mengikuti jiwa AdBM-nya Bp. SHM. Banyak hal-hal yang menjadi terasa aneh. Mulai dari alur cerita, karakter tokoh, gaya bahasa, dsb tidak nyambung dengan karya SHM.
      Sehingga saran saya, sebaiknya koq nggak usah dilanjutkan saja, daripada merusak image tokoh-tokoh AdBM.
      Kalau dicermati AdBM karya SHM sarat dengan ajaran cinta kasih baik pada Tuhan, maupun pada segala ciptaannya (lingkungan hidup dan sesama manusia). Jadi daripada merusak kesan terhadap AdBM-nya SHM. sebaiknya jangan dilanjutkan.
      Maaf kalau komentar saya nggak enak,

      • Kelanjutan ceritera yang dibuat oleh bukan penulis aslinya sangat dimungkinkan akan terjadi perbedaan dari segi alur ceritera, gaya bahasa ataupun karakter tokohnya. Biarlah para pembaca ADBM berimajinasi sendiri terhadap kelanjutan ceriteranya.

        Namun demikian usaha Ki Agus untuk melanjutkan ceritera ADBM yang menggunakan istilah Bukan ADBM sangat patut untuk dihargai. Namun demikian jika kelanjutan ceritera tersebut dimaksudkan untuk “dijual” kepada masyarakat maka harus selalu berkoordinasi dengan pihak keluarga bapak SH Mintardja (alm) terutama mengenai alur ceriteranya agar tidak menyimpang dari alur ceritera yang “dikehendaki” oleh penulis aslinya dan juga mengenai perkembangan karakter tokoh-tokoh utamanya (dan juga sudah pasti berkaitan dengan royalty nantinya).

        Selamat berkarya buat Ki Agus atau Ki Agus-Ki Agus lainnya yang bermaksud melanjutkan ceritera ADBM dengan versinya masing-masing.

        Mohon maaf jika ada kata-kata yang tidak berkenan.

        • lhokan judulnya lain”mataram binangkit” jadi mengapa harus minta izin dan mengapa harus dicerca,terus saja mas agus,

  7. Walah sdh lama gak nengok padepokan….
    lha kok sepi banget….apakah ini gara2 Ki AS menerapkan pola bayar bagi yg ingin baca lanjutan ADBM ??

    Pesan silaturahminya hilang gara2 duit…..ternyata antara harapan dan kenyataan gak pernah beriringan.

    Sebenarnya yang bisa bikin rame lagi adalah Ki AS mengirimkan ceritanya lagi ke forum ini dan secara gratis dan ikhlas…mungkin balasannya bukan materi tapi non materi yang mungkin nilainya amat sangat tinggi.

    Salam hangat selalu
    –Rangga yg gak sakti—

  8. selamat sore rekan2, saya telah ikut ketentuan yang dibuat oleh ki agus, tetapi saya mengalami kesulitan untuk membuka lanjutan adbm dan mataram binangkit, apakah saya masuk bulan ini hanya bisa baca yang bulan ini saja jadi terbitan yang lalu-lalu saya tidak bisa baca, atau bisa semua.
    saya coba email ke ki agus belum dijawab.
    bagi rekan2 yang telah memahami cara bacanya tolong kami dikasih informasinya.

  9. Terima kasih Ki Heri,
    Kalau Ki Heri sudah mendaftar, maka Ki Heri bisa membuka semua tulisan yang ada di Mataram Binangkit.com secara lengkap.
    Terima kasih atas perhatiannya.
    Salam
    Agus

    • intinya saya coba cari2 yang ki agus sampaikan belum ketemu.

  10. ADBM memang sarat dengan pesan2 moral, saya baca buku ini dari waktu saya sekolah.walaupun sudah ada yang melanjutkan jalan cerita yang menggantung,namun rasa rasanya banyak kata kata yang kurang pas dan terkesan janggal.jadi seperti baca cerita cerita silat yang lain, memang gaya penulisan ki SHM sangat khas.salam sejahtera untuk semua… RAHAYU

  11. Sbgai dwija dari padepokan terpencil yg rajin baca adbm sejak 1968(msh Smp kls 3)saya salut n mengapresiasi karya ki agus.yg kurang tentu ada tapi tdak akan saya ulas.namun sya tetap menikmati n ikut mendoakan agar bukan adbm ini nti bsa selesai dgn wijang,selamat berkarya ki Agus

  12. Sebelumnya Kuucapkan Salam kepada para sederek2 sanak kadang cantrik Pedepokan ADBM,mudah2an kita Semuanya selalu dapat selalu menjaga silahturahmi dan kerukunan sesama cantrik.
    Mengenai masalah Kelanjutan cerita Sang Resi Ki SHM yg memang sebenarnya masih sangat sangat kita harapkan,dan selalu kita tunggu tunggu,DAN sekarang memang sudah ada yg melanjutkan cerita ini (Ki Agus S ,,Salam buat Ki Agus S)
    Sakbenere aku dhewe yo seneng banget yen iso nyimak kelanjutan kitab iki,walaupun terasa berat yen kudu mbayar,opo pancen aku pelit ora gelem mbayar… hmm…,tp pancen dasare aku ora duwe duit gawe mbayar,,(kondisi pas2an)maaf Ki agus S,mungkin benar pendapat para kadang Cantrik yang menyarankan agar Ki Agus S menjual buku ini dengan menerbitkan dalam sebuah buku,namun memang seyogyanya dengan izin dari keluarga Ki SHM,dan kalaupun Ki Sanak tidak membagikan kelanjutan kitab di Padepokan ini Juga tidak apa2,
    karena memang ini kepunyaan Padepokan ADBM (Ki SHM only).
    mengenai masalah Kisanak yg di ceritakan oleh Ki Branjangan diatas mudah mudahan Kisanak segera dapat mendapatkan jalan keluarnya… Amin..,

    ya…mudah mudahan para cantrik dapat bersabar dalam menghadapi keaadan ini,seperti halnya Kanjeng Sultan Hadiwijaya yang pada mudanya bernama “Mas Karebet” yang dengan pasrah dalam meghadapi jatuhnya Takhta Pajang ( Raja Tanah Jawa ) untuk kemudian berpindah tangan Putra Kinasihnya Raden Sutawijaya
    walaupun secara kewadagan memerangi Mataram,tetapi didalam hati merestuinya.

    Mohon maaf
    salam

  13. MAAF
    SAYA PENGGEMAR BERAT ADBM
    UNTUK KELANJUTAN ADBM SERI V GIMANA YA
    MOHON PENJELASANYA
    DIMANA SAYA BISA MENDAPATKAN TERUSANYA
    TERIMA KASIH

    • Bayar dulu ke ki Agus mas Nanang, sekarang ini gak ada yang gratis 🙂

      • Bener tuh. Susah cari yang gratis. So….. kemana adbmers saat ini?

  14. semoga semakin memahami sejarah bangsa, kearifan-kearifan lokal dari sejarah dan budayanya ….

  15. nyapu mundur dl ahhhhh biar halaman Padepokan bersih,sebelum masuk sanggar trus nanti mlm nengok pliridan……… monggo poro kadang ingkang ngersakaken unjukan,dateng pendopo sampun kasiapaken wedang sere kaliyan jenang alot……

  16. matarambinangkit.com udah expire ya?????

  17. Ada yang mau paste lanjutan mataram binangkit di sini kaga ya???? masalahnya matarambinangkit.com udah ga bisa diakses…. “Penasaran banget nich….”

  18. Mohon dong kiranya lanjutan Mataram Binangkit Buku 404 ke atas dilanjutkan di sini, soalnya matarambinangkit.com udah ga bisa diakses…. terimakasih

  19. matarambinangkit.com udah expire ya?????

    Mohon dong kiranya lanjutan Mataram Binangkit Buku 404 ke atas dilanjutkan di sini, soalnya matarambinangkit.com udah ga bisa diakses…. terimakasih

  20. Ada yg udah update mataram binangkit ga ya??? bagi dong

  21. bagi dong update mataram binangkitnya…

  22. matarambinangkit.com udah expire ya?????

    Mohon dong kiranya lanjutan Mataram Binangkit Buku 404 ke atas dilanjutkan di sini, soalnya matarambinangkit.com udah ga bisa diakses…. terimakasih

    bagi dong update mataram binangkitnya…

  23. matur suwun sampun kesiapaken wedang sere kaliyan jenang alotipun…habis nengok jendela sebelah mataram biangkit, koq sudah ga bisa diakses ya? kemana lagi kuharus mencari kelanjutan ADBM?

  24. Kalau adbmers beralih ke matraram binangkit, dari adbmers jadi mbers donk?

  25. MATARAM BINANGKIT Lanjutan Api Di Bukit Menoreh Karya Ki Agus S. Soerono Seri V Buku 403 Demikianlah mereka berbagi kegembiraan. Namun mereka juga menyadari bahwa kegembiraan mereka atas kenaikan pangkat Ki Agung Sedayu menjadi Ki Tumenggung Jaya Santika, juga menuntut tanggung jawab yang lebih besar. Mereka semua, seluruh pasukan khusus di Tanah Perdikan Menoreh, harus meningkatkan kemampuan ilmu olah kanuragan mereka. Mereka harus bisa mempertahankan kekuatan pasukan khusus Mataram, harus bisa memperluasnya bahkan kalau perlu menguasai sampai ke seberang lautan. Oleh karena itu segala yang ditanamkan oleh Ki Tumenggung Jaya Santika dalam diri mereka, mereka camkan dengan sungguh-sungguh. Mereka juga menyadari bahwa kesatuan dan persatuan Kerajaan Mataram, sesungguhnya hanya kelihatan seperti permukaan air danau yang tenang, bahkan sangat tenang. Namun di bawah permukaan itu, air itu bergolak dengan derasnya. Bahkan mempunyai beberapa pusaran yang kuat yang siap menenggelamkan kapal jung yang mereka tumpangi. Oleh karena itu, para prajurit terutama dari pasukan khusus di bawah Ki Tumenggung Jaya Santika, mempunyai tanggung jawab yang paling berat. Karena setiap waktu pergolakan yang berada di bawah permukaan itu mencuat ke atas, maka mereka harus siap setiap saat untuk mempertahankan kesatuan dan persatuan itu. Bahkan kalau perlu, mereka harus sudah tahu sebelum pergolakan dari pusaran air di bawah permukaan itu mencuat ke atas. Karena itu peranan pasukan telik sandi menjadi sangat penting. Oleh karena itu, kepada para senapati sehari dalam sepekan Ki Tumenggung Jaya Santika memberi arahan mengenai cara-cara peningkatan ilmu kanuragan mereka. Ia memberi bimbingan khusus bagi para senapati tersebut, dan bimbingan khusus itu tidak hanya untuk meningkatkan tenaga cadangan mereka, namun juga sudah merambah ke ilmu jaya kawijayan. Beberapa senapati yang menonjol seperti Ki Lurah Darma Samudra dan Ki Lurah Suprapta mendapat gemblengan khusus dari Ki Tumenggung Jaya Santika. Hal pertama yang dilakukan terhadap kedua lurahnya itu adalah meningkatkan kemampuan ilmu meringankan tubuh. Hal ini menjadi perhatiannya, karena sebagai senapati armada laut Kerajaan Mataram, mereka harus bisa berjalan di atas air. Dan untuk bisa berjalan di atas air, tentu saja mereka harus mempunyai kemampuan ilmu meringankan tubuh yang tinggi. Apabila kemampuan ilmu meringankan tubuh mereka sudah tinggi, maka mereka akan dapat menapak di atas air laut bahkan berlari, seperti saat mereka berjalan di atas tanah. Para senapati itu juga dilatihnya dengan ilmu jaya kawijayan. Ki Tumenggung Jaya Santika setelah mendapat izin dari Ki Jayaraga, juga menurunkan ilmu Sigar Bumi yang sempat dipelajarinya kepada para senapatinya itu. Bahkan Ki Tumenggung sempat mengenalkan para senapati itu dengan Ki Jayaraga, sebagai sumber ilmu yang akan diberikannya kepada para senapati itu. Memang setelah Ki Tumenggung Jaya Santika mempelajari ilmu aji Kendali Sukma dari Ki Jayaraga, ternyata orang tua itu tidak mau tanggung-tanggung dalam menurunkan segala ilmunya. Ki Jayaraga juga menurunkan aji Sigar Bumi yang telah dipelajari Glagah Putih kepada Ki Tumenggung Jaya Santika. “Inilah kakek guru kalian, yang menjadi asal muasal diturunkannya ilmu Sigar Bumi,” kata Ki Tumenggung Jaya Santika. Ki Jayaraga bahkan sempat memberikan petunjuk-petunjuk khusus kepada para senapati yang di bawah pimpinan Ki Tumenggung Jaya Santika. Sehingga dengan demikian para senapati itu pun semakin meningkat tenaga cadangannya, ilmu meringankan tubuhnya dan ilmu jaya kawijayannya. Untuk bisa mencapai tataran yang diinginkan, maka para senpati itu harus menjalani bebagai laku sebagaimana yang dilakukan oleh Ki Tumenggung Jaya Santika. Mereka menjalani tirakat berupa puasa, patigeni dan ngebleng. Ngebleng adalah suatu laku berupa puasa terus menerus dan tidak keluar dari bilik selama melakukan puasa itu. Sedangkan patigeni adalah laku tidak tidur selama menjalani laku tirakat itu. Sungguh suatu laku yang berat. Dalam pada itu, di Kadipaten Panaraga, prajurit telik sandi Glagah Putih dan Rara Wulan terus mengamat-amati Pangeran Ranapati. Namun setelah sekian lama tidak ada pergerakan yang nampak dari Istana Kadipaten, maka mereka bertemu kembali. Glagah Putih, Rara Wulan, Madyasta, Sumbaga, Sungkana dan Ki Darma Tanda bertemu di tempat persembunyiannya yang tidak diketahui oleh Pangeran Ranapati atau anak buahnya. Dalam pertemuan itu, Glagah Putih dan Rara Wulan menyampaikan bahwa sampai detik ini mereka belum mengetahui sampai sejauh mana pergerakan Pangeran Ranapati untuk menggosok Pangeran Jayaraga untuk memberontak kepada Mataram. “Saya rasa harus ada di antara kita yang melapor ke Mataram, dalam situasi yang sangat tidak menentu ini,” kata Glagah Putih. Mereka yang hadir di ruangan itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka setuju dengan pernyataan Glagah Putih bahwa ada di antara mereka yang harus pergi ke Mataram. Tetapi siapa? “Siapakah menurut kalian yang harus kembali ke Kotaraja Mataram untuk melaporkan situasi ini,” tanya Glagah Putih. Ki Madyasta yang paling dituakan di antara mereka pun kemudian berkata. “Kurasa adi Glagah Putih dan adi Rara Wulan saja yang kembali ke Mataram. Karena adi berdua sudah cukup lama berada di Panaraga. Kalian sudah cukup lama tidak kembali ke Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh,” kata Ki Madyasta. Mereka kemudian kembali manggut-manggut. Mereka semua setuju dengan pendapat Ki Madyasta itu. “Benar, kakang Madyasta. Kali ini biarlah kita tugaskan adi Glagah Putih dan adi Rara Wulan untuk kembali ke Kotaraja Mataram,” kata Ki Sungkana. “Aku setuju dengan pendapat kalian berdua. Bukankah sudah cukup lama adi Glagah Putih dan Rara Wulan tidak bertemu dengan Ki Patih Mandaraka,” kata Ki Sumbaga pula. Glagah Putih yang pertama melontarkan pendapat bahwa harus ada yang melapor ke Kotaraja Mataram menjadi terperangah. Ia tidak menyangka bahwa justru dia sendiri yang mendapat tugas untuk kembali ke Kotaraja Mataram. “Bagaimana Wulan? Apakah kau juga sudah rindu kepada ayah dan ibumu?” tanya Glagah Putih sambil menahan senyumnya. Rara Wulan tidak menjawab, ia hanya bergeser merapat dan tangannya menyambar pinggang Glagah Putih yang membuat Glagah Putih meringis kesakitan. “Biar kakang punya ilmu kebal, pinggangmu tidak akan aku lepaskan,” katanya. Dengan wajah yang dibuat memelas, Glagah Putih menghiba-hiba kepada Rara Wulan. “Ampun Wulan. Ilmu kebalku tidak mempan menghadapi ilmu cengkeraman mautmu,” katanya. Kata-kata Glagah Putih itu justru membuat Rara Wulan memperkeras cengkeramannya. Semua yang hadir di ruangan itu pun tertawa melihat ulah mereka berdua. “Sudahlah Wulan. Aku hanya bercanda,” kata Glagah Putih dengan nada bersungguh-sungguh sambil memegang tangan Rara Wulan dan membelainya. Hati Rara Wulan pun menjadi luruh karenanya. Namun pada akhirnya semua yang hadir di ruangan itu sepakat bahwa Glagah Putih dan Rara Wulan yang akan berangkat ke Kotaraja Mataram pada keesokan harinya. Glagah Putih dan Rara Wulan bangun pagi-pagi benar sebelum berangkat. Mereka menunaikan kewajibannya kepada Yang Maha Agung. Rara Wulan masih sempat menanak nasi, memasak sayur dan menghangatkan ayam goreng yang dipotong kemarin. Mereka pun kemudian menyantap sarapan bersama di pendapa. Sedangkan sebagian dari makanan itu dibungkusnya sebagai bekal mereka dalam perjalanan. Setelah selesai sarapan, Glagah Putih dan Rara Wulan pun segera berkemas-kemas. Mereka pun sudah siap untuk berangkat ketika mentari pagi menyembul di ufuk timur. Mereka berdua pun segera berpamitan kepada Ki Madyasta, Ki Sumbaga dan Ki Sungkana serta Ki Darma Tanda. Glagah Putih memilih untuk berjalan kaki untuk kembali ke Mataram. Sedangkan kuda mereka dititipkannya kepada Madyasta, dengan harapan kalau kelak kembali ke Kotaraja Mataram kuda itu dibawa serta. “Wah sekarang tidak ada lagi yang memasakkan sayur bagi kita,” kata Ki Madyasta. Yang lain merasa tergugu. Karena sekian lama mereka berada di Kadipaten Panaraga dalam waktu yang cukup lama. Mereka merasa seperti sudah menjadi saudara. “Wah jangan khawatir. Doakan saja aku selamat dan segera kembali. Nanti aku masakkan lagi sayur kacang panjang, sayur lodeh atau gudeg,” kata Rara Wulan. Namun tanpa terasa setitik air mengembun di pelupuk matanya. Air yang mengembun itu perlahan-lahan berubah menjadi air mata. Rara Wulan tidak tahan dan ia terisak. Betapa pun perkasanya Rara Wulan yang menghadapi para pengikut Pangeran Ranapati, ternyata hati perempuannya tersentuh. Ia menangis dalam isaknya. Akhirnya dengan menebalkan tekadnya, Rara Wulan dapat meredam tangisnya itu. Mereka lalu bersalaman. Lalu perlahan-lahan Glagah Putih dan Rara Wulan meninggalkan pemondokan mereka di tempat yang terpencil itu. Glagah Putih dan Rara Wulan pun melambaikan tangannya. Ki Madyasta, Ki Sumbaga, Ki Sungkana dan Ki Darma Tanda pun melambaikan tangannya. Mereka pun terus memperhatikan kedua sejoli itu yang semakin menjauh dan mengecil, akhirnya hilang di balik tikungan. Glagah Putih dan Rara Wulan terus berjalan. Mereka menapak tilas jalan-jalan yang mereka lalui dulu ketika mereka berangkat dari Kotaraja Mataram dan akhirnya sampai di Kadipaten Panaraga. Hanya saja kali ini mereka berjalan dalam arah yang berlawanan. Mereka pun sempat menengok rumah di tengah hutan, ketika mereka bertemu dan mereguk ilmu olah kanuragan dari Kiai Namaskara. Namun setelah sekian lama mereka tinggalkan jejak di tengah hutan itu tidak nampak sama sekali. Mereka berputar-putar mencari rumah di tengah hutan lebat itu, namun tidak menemukannya. “Aneh sekali kakang,” kata Rara Wulan yang masih penasaran dan berusaha mencari rumah yang dulu sudah mulai reyot. Ketika mereka memasuki hutan itu, masih nampak tanda-tanda yang bisa mengantar mereka ke rumah Kiai Namaskara, bahkan mereka bisa mengenali beberapa pohon yang menjulang tinggi. Namun begitu masuk dalam lindangan hutan yang pepat, mereka kehilangan jejak. “Iya. Perasaanku, kita memasuki lorong di bawah pohon ara ini, lalu berbelok ke kanan. Namun sekarang belokan ke kanan itu sudah hilang tertutup pohon,” kata Glagah Putih. Mereka pun mencoba melingkar ke belakang pohon ara itu, namun mereka tidak dapat menemukan jalan masuk menuju ke rumah itu. Semuanya pepat, gelap pekat, dan tidak ada rongga barang sedikit pun. Namun anehnya hutan itu terasa sunyi. Tidak ada suara cenggeret, monyet atau kampret yang terbang. Sepi. Di kejauhan masih terdengar auman suara harimau. Namun lamat-lamat. Akhirnya Glagah Putih memutuskan untuk tidak meneruskan mencari petilasan Kiai Namaskara itu. Ia pun mengajak Rara Wulan untuk berdoa bagi Kiai Namaskara, meskipun mereka tidak menemukan kembali rumahnya. Mereka berniat meneruskan perjalanan meskipun tidak menemukan rumah Kiai Namaskara di tengah hutan yang sudah berubah itu. Setelah berdoa dan mempunyai ketetapan hati demikian, maka Glagah Putih mengajak Rara Wulan untuk keluar dari hutan itu. Mereka pun kembali menelisik jalan yang mereka tempuh semula untuk memasuki hutan itu, untuk kembali keluar. Tidak berapa lama mereka sudah sampai di tepi hutan. Di tepi hutan itu ternyata ada sebuah sungai yang airnya sangat jernih, sehingga nampak ikan yang berenang di dasar sungai itu. Melihat air yang jernih dan kebetulan perut mereka sudah mulai terasa lapar, maka Rara Wulan mengajak suaminya untuk berhenti sejenak. Sambil berjuntai di atas sebuah batu hitam yang besar, mereka menikmati bekal yang mereka bawa. “Apakah aku boleh berenang di sungai ini, kakang?” tanya Rara Wulan. “Boleh. Apakah kau ingin berenang di siang yang panas ini? Bukankah kau tadi pagi sudah mandi di rumah?” tanya Glagah Putih. “Iya. Tadi aku ingin berenang. Sangat ingin. Tetapi setelah mendengar pertanyaanmu, aku membatalkan niatku,” kata Rara Wulan. “He? Kenapa?” “Tidak. Tidak kenapa-kenapa.” Mata Rara Wulan nampak mulai mengembun dan setitik air hampir menetes dari sudutnya. Tiba-tiba Rara Wulan meloncat dan berlari sekencang-kencangnya. Karuan saja Glagah Putih menjadi terkejut. Ia buru-buru membenahi kampil Rara Wulan yang ditinggalkan begitu saja. Kampil itu tadi dipakai untuk menyimpan bekal mereka. Setelah masuk dengan rapi, ia segera berlari mengejar Rara Wulan. Namun Rara Wulan sudah lenyap di tengah lebatnya hutan. Glagah Putih pun mulai berteriak-teriak memanggil. “Wulan. Wulan. Di mana kau? Maafkan kalau kata-kataku ada yang salah,” kata Glagah Putih. Glagah Putih merasa heran, kenapa belakangan ini Rara Wulan menjadi sedikit lebih perasa daripada biasanya. Ia pun mencari ke sana kemari, menubras-nubras di tengah lebatnya hutan itu. Setelah sekian lama Rara Wulan tidak ditemukan juga, maka Glagah Putih pun kini tidak mau kehilangan akal. Ia segera meloncat naik ke sebatang pohon, lalu diam pada salah satu cabangnya. Ditunggunya beberapa saat. Akhirnya dari bawah sebuah pohon ia melihat dedaunan yang bergerak-gerak. Lalu muncul Rara Wulan yang celingak-celinguk. Mencarinya. Glagah Putih diam dan membiarkan Rara Wulan mencarinya. “Kakang. Kakang Glagah Putih. Jangan tinggalkan aku,” teriak Rara Wulan. Glagah Putih bergeming. Kini giliran Rara Wulan yang mencari Glagah Putih di tengah hutan yang lebat itu. Tiba-tiba Glagah Putih melihat seekor harimau yang mengendap-endap mendekati Rara Wulan. Ia tidak sampai hati. Dengan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah tidak ada bandingannya itu, Glagah Putih turun di belakang harimau itu. Ia melempar harimau itu dengan sebuah batu yang mengenai pinggangnya. Harimau itu menggeram dan berbalik arah. Harimau itu merunduk dan mengambil ancang-ancang untuk menerkam Glagah Putih. Glagah Putih pun bersiap-siap menyambut terkaman harimau itu. Sang raja hutan itu melompat tinggi, kuku kedua kaki depannya terjulur lurus-lurus ke depan. Siap mencabik-cabik tubuh Glagah Putih dalam satu kali hentakan. Tentu saja Glagah Putih tidak mau tubuhnya menjadi sarang kuku harimau itu. Dengan cepat ia berkelit ke samping, sambil tangan kanannya menyodok ke dada sang penguasa hutan. Harimau itu kembali menggeram dengan kerasnya. Agaknya ia belum jera. Kembali ia merunduk. “Hati-hati kakang,” terdengar teriakan Rara Wulan yang merasa khawatir melihat suaminya diterkam harimau. Glagah Putih pun bersiaga kembali. Ia pun memasang kuda-kuda yang kuat. Harimau itu kembali merunduk, seperti seekor kucing yang sedang mengincar mangsanya. Kepalanya menempel di tanah dan ekornya mengibas-ngibas. Dengan sepenuh tenaga ia kembali meloncat. Glagah Putih kembali mengelak ke samping. Ketika cakar depan harimau itu sudah melintasi tubuhnya, tendangan yang sangat kuat mengenai kaki belakang harimau itu. Harimau itu kembali menggeram. Namun kali ini geraman ketakutan. Ia segera menyusup ke dalam semak-semak di sebelah Rara Wulan. Rara Wulan yang melihat harimau itu berlari ke arahnya segera bersiaga. Namun harimau itu tidak menghiraukannya dan justru menghindarinya lalu masuk ke dalam hutan. Dengan lincah meskipun terseok-seok karena kena tendangan Glagah Putih, harimau itu pun pergi jauh dan tidak terdengar lagi aumannya. Rara Wulan pun lari mendekat dan memeluk suaminya. “Aku takut kakang,” kata Rara Wulan. “Sudahlah Wulan, harimau itu sudah pergi,” kata Glagah Putih sambil mengelus-elus pundak istrinya. Tiba-tiba perut Rara Wulan terasa mual, dan ia pun menjauh dari suaminya lalu menumpahkan isi perutnya. Segala makanan yang dikunyahnya dalam makan siang di tepi sungai tadi terhambur ke luar. Beberapa kali ia memegangi pinggangnya lalu terbungkuk-bungkuk dan melontarkan kembali isi perutnya beberapa kali. Meskipun cairan yang keluar dari perutnya sudah habis, Rara Wulan masih terbungkuk-bungkuk kembali. “Kau kenapa Wulan? Kau masuk angin?” tanya Glagah Putih. “Tidak kakang. Aku sudah terlambat satu bulan,” kata Rara Wulan. “He? Kau sudah isi. Kau sudah mengandung Wulan? Pantaslah kau tadi mudah sekali tersinggung ketika aku tanya mengenai keinginanmu untuk berenang di sungai tadi,” kata Glagah Putih. “Iya kakang. Tiba-tiba saja aku merasa benci melihat kakang,” kata Rara Wulan. “He? Benci? Kenapa kau benci aku?” tanya Glagah Putih. “Iya. Aku benar-benar cinta, kakang,” kata Rara Wulan dengan senyum dikulum. Glagah Putih pun kemudian memeluk istrinya. “Terima kasih sayang. Kau akan memberikan keturunan padaku,” katanya. Lalu ia melanjutkan. “Kalau demikian kita berjalan lambat-lambat saja, agar kandunganmu yang masih sangat muda itu tidak terganggu karena kau kecapekan atau makanan dalam perutmu keluar semua, karena muntah,” kata Glagah Putih lagi. Demikianlah mereka berjalan dengan pelan-pelan, karena kondisi Rara Wulan yang sedang hamil. Perjalanan yang mereka tempuh selama empat hari ketika datang, kini mereka tempuh dalam waktu hampir dua kali lipatnya. Setiap sebentar mereka beristirahat. Bila senja sudah membayang, mereka pun segera mencari penginapan yang layak untuk bermalam. Di suatu desa sebelum sampai di Banyu Asri, mereka bermalam di sebuah penginapan yang terletak dekat pasar. Pagi-pagi sekali Rara Wulan sudah terbangun dan mandi, lalu berhias diri. Glagah Putih yang mendengar kesibukan Rara Wulan segera terbangun. “Hendak ke manakah engkau sepagi ini Wulan?” tanya Glagah Putih. “Aku ingin makan nasi gudeg dan ayam goreng di pasar,” kata Rara Wulan.”Apakah kau ikut?” “Tentu saja aku ikut. Tunggulah sebentar.” Glagah Putih pun segera mandi, menunaikan kewajibannya kepada Yang Maha Agung, lalu mengajak Rara Wulan ke pasar di sebelah penginapan mereka. Mereka pun berjalan pelan-pelan sambil menikmati kesegaran udara pagi, saat sang mentari baru muncul dari balik bukit di ufuk timur. Burung-burung berkicau gembira menyambut sang fajar. Mereka terbang kian kemari sambil berdendang dan menari. Mereka tidak pernah memikirkan, apakah makan yang mereka peroleh hari ini akan cukup hingga petang. Yang penting mereka terbang, menyanyi, menari dan mematuk ulat daun yang tersedia di mana-mana. Asal mereka mau terbang dan mencari, maka ulat dan makanan lainnya terasa berlimpah. Dalam kesejukan udara pagi itulah Glagah Putih dan Rara Wulan terus menapaki jalan menuju pasar yang sudah tidak jauh lagi. Mereka pun sampai di pasar, dan menemukan warung gudeg itu di sudut kiri depan pasar. Mereka masuk ke dalam warung gudeg itu dan memilih duduk di sudut dekat jendela. Udara semilir menyejukkan suasana di warung gudeg itu. Rara Wulan segera memesan nasi gudeg, telur, tempe orek dan tahu bacem cukup untuk dua orang. Rara Wulan memesan dua gelas jeruk hangat. Tidak berapa lama makanan yang mereka pesan pun datang, karena di pagi seperti itu warung gudeg itu belum begitu ramai. Orang-orang masih sibuk menjual dagangannya dan berbelanja kebutuhannya sehari-hari. Biasanya setelah barang dagangannya laku atau pembeli sudah memperoleh apa yang dicarinya, barulah mereka mampir ke warung gudeg itu untuk makan. Glagah Putih dan Rara Wulan pun dapat menikmati makanan yang mereka pesan sambil menikmati pemandangan orang-orang yang berjual beli di pasar. Ketika mereka sedang makan itu, beberapa orang yang kekar memasuki warung gudeg itu pula. Mereka duduk di arah yang berseberangan dengan sepasang suami istri itu di sudut yang lain warung gudeg. Setelah memesan makanan, mereka berceritera dengan riuhnya. Mereka tidak peduli betapa pembeli yang lain merasa terganggu atau tidak. “Kakang Sukarta, bagaimana pandangan kakang mengenai kekuatan dan kesiagaan pasukan khusus Kerajaan Mataram di Prambanan, Kotaraja, maupun di Tanah Perdikan Menoreh?” tanya salah seorang yang gemuk berjambang lebat dan berambut ikal. “Seperti kau lihat, adi Ragil. Ternyata pasukan Kerajaan Mataram semakin kuat saja. Mereka membangun kekuatan di mana-mana. Selain di ketiga tempat itu masih ada lagi tempat pemusatan barak mereka di Galur, khusus untuk prajurit pasukan armada laut mereka,” kata Ki Sukarta. Seperti halnya Ragil, Sukarta juga gemuk berjambang lebat dan berambut ikal. Agaknya mereka dua orang yang bersaudara dan berguru di padepokan yang sama. Ia menoleh ke kiri kanan sejenak. Namun ia tidak menaruh curiga kepada sepasang suami istri yang duduk di sudut dekat jendela. Mereka lihat Glagah Putih dan Rara Wulan makan dengan asyiknya, tidak menghiraukan mereka yang berceritera dengan riuhnya. “Apakah kita akan mencoba mengganggu dan mengacaukan prajurit pasukan khusus itu, kakang?” tanya orang yang disebut Ragil oleh temannya. Sukarta tercenung sejenak. Ia nampak berpikr keras, lalu menjawab. “Aku kira kita tidak usah membuat gara-gara, jangan sampai terulang kembali seperti Gerombolan Gagak Hitam yang ternyata bisa digulung oleh prajurit pasukan khusus Kerajaan Mataram. Padahal Gerombolan Gagak Hitam, termasuk di antara yang terkuat dalam kelompok padepokan yang mendukung gegayuhan Pangeran Jayaraga dari Kadipaten Panaraga,” kata Ki Sukarta. “Bukankah kemarin kita berpapasan dengan Ki Gondang Legi yang hendak kembali ke padepokannya? Ki Gondang Legi sudah menceriterakan secara singkat betapa kuatnya prajurit pasukan khusus Kerajaan Mataram yang ada di Tanah Perdikan Menoreh,” kata Ki Sukarta lagi. Lalu ia menambahkan. “Tugas kita adalah tugas telik sandi. Bukan untuk mengadakan pengacauan atau gangguan keamanan,” katanya tegas. Rekan-rekannya yang lain pun mengangguk-anggukkan kepalanya. “Benar Ki Ragil. Sebaiknya kita tidak membuat masalah dengan prajurit pasukan khusus, agar tidak mengganggu rencana kita secara keseluruhan,” kata rekannya yang lain. Ki Barong Landung. Sesuai dengan namanya orang ini berwajah seram, matanya juling dan badannya tinggi melebihi rekannya yang lain. Glagah Putih dan Rara Wulan yang mendengar pembicaraan mereka menjadi tertarik. Dengan berbisik-bisik mereka berbicara. Mereka berdua telah menyelesaikan makanan yang dipesannya. “Wulan apakah kau setuju apabila aku menangkap mereka semua?” tanya Glagah Putih kepada Rara Wulan. “Mereka berlima kakang. Sedangkan aku masih dalam keadaan lemah karena aku sedang isi, kakang,” kata Rara Wulan. “Tenang saja Wulan aku dapat mengatasi mereka,” kata Glagah Putih. “Setelah kakang berhasil menangkap mereka, apakah kakang akan membawa mereka ke Kotaraja Mataram?” tanya Rara Wulan. “Tentu Wulan. Namun kita akan membawanya sampai di Pajang. Di sana nanti kita serahkan kepada prajurit penghubung yang ada di sana untuk dibawa ke Kotaraja Mataram,” kata Glagah Putih. “Baiklah jika demikian, kakang. Berhati-hatilah,” kata Rara Wulan. Glagah Putih kemudian berdiri dan melangkah menuju meja para telik sandi Kadipaten Panaraga itu. Ia berjalan melingkar-lingkar di sekitar meja tempat duduk mereka. Glagah Putih memperhatikan mereka satu persatu. Ki Sukarta, Ki Ragil, Ki Barong Landung dan dua orang lagi yang disebut temannya bernama Ki Semprong serta Ki Slorog. Agaknya langkah Glagah Putih yang melingkar-lingkar di sekitar mereka membuat kelima orang itu tidak nyaman. “He? Apa yang kau lakukan di sini,” tanya Ki Sukarta. “Aku sedang mencari lima orang telik sandi dari Kadipaten Panaraga. Apakah kalian mengenalnya?” tanya Glagah Putih. “Telik sandi Kadipaten Panaraga?” tanya Ki Ragil. “Ya lima orang telik sandi Panaraga, namanya Ki Sukarta, Ki Ragil, Ki Barong Landung, Ki Semprong dan Ki Slorog,” kata Glagah Putih. “He? Kurang ajar. Kau siapa?” tanya Ki Sukarta. “Aku Glagah Putih. Aku petugas dari Mataram,” kata Glagah Putih sambil menunjukkan timang di pinggangnya yang bergambarkan pertanda petugas dari Mataram. “Kau datang sendiri?” “Ya.” “Kalau kelima telik sandi yang kau cari itu adalah kami, kau mau apa?” “Aku akan menangkap kalian.” “Apakah kau tidak salah, Glagah Putih?” tanya Ki Sukarta lagi.”Kau datang sendiri, kami berlima. Badanmu kecil, kami berlima kokoh kuat.” “Apakah kau memakai tubuhmu yang dempal itu sebagai ukuran?” tanya Glagah Putih. “Hahaha….Hebat. Berani juga kau menghadapi kami berlima. Baiklah kita semua keluar. Supaya warung gudeg ini tidak berantakan. Kita ke lapangan di depan pasar. Di sana tempatnya agak lapang,” kata Ki Sukarta. Mereka berenam pun segera menuju ke lapangan di depan pasar. Suasana di pasar itu pun gempar dan panik, ketika enam orang yang tidak mereka kenal sudah saling menyerang di tengah lapangan yang terletak di depan pasar. Para pedagang yang tidak ingin barang dagangannya menjadi korban, buru-buru menutup warungnya, mengemasi barang dagangannya dan membawanya pulang. Glagah Putih yang seorang diri mulai dikepung oleh kelima orang itu. Mereka masih menggunakan tangan kosong. Dengan mengendap-endap mereka maju menyerang, seperti lima ekor harimau yang mengepung seekor kerbau korbannya. Namun Glagah Putih ternyata bukan seperti seekor kerbau seperti anggapan mereka. Ketika sudah semakin dekat, maka tiba-tiba kelima orang itu maju menerjang. Ki Sukarta menendang, Ki Ragil meninju, Ki Barong Landung menyodok dengan tinjunya, Ki Semprong dan Ki Slorog juga menendang. Mereka merasa akan segera dapat meringkus lawannya itu. Namun kelima orang itu tiba-tiba menjerit kesakitan, ketika serangan mereka saling berbenturan dan Glagah Putih tidak ada di depan mereka. Mereka mengaduh-aduh tidak karuan. “Kenapa kalian saling berbenturan? Aku di sini,” kata Glagah Putih yang ternyata sudah hinggap bak merpati yang terbang ke sebatang cabang pohon randu yang terdapat di tepi lapangan dekat mereka bertarung. Kelima orang itu pun kemudian berusaha menggoyang-goyang pohon randu yang cukup besar itu. “Hahaha. Kalian tidak usah menggoyang-goyang pohon randu seperti itu. Aku segera turun,” kata Glagah Putih. Sementara itu, Rara Wulan yang melihat dari depan warung gudeg itu pun tersenyum melihat ulah kelima orang lawan suaminya. Glagah Putih pun segera meloncat turun dari pohon randu itu. Ia pun kembali bersiaga di tengah kepungan para telik sandi dari Kadipaten Panaraga. Glagah Putih pun sejak dini menyiapkan ilmu kebalnya, karena ia tidak mau menjadi kantong pasir sasaran kelima lawannya. Sebab kalau ia tidak melambari dirinya dengan ilmu kebal aji Tameng Waja, maka kemungkinan akan menjadi sasaran yang empuk bagi lawannya. Glagah Putih pun kemudian menyiapkan kembangan tata gerak ilmu olah kanuragan yang diresapinya dari perguruan Jati Laksana peninggalan Ki Sadewa yang dipadukannya dengan ilmu jaya kawijayan yang diwariskan oleh Ki Jayaraga. Setiap kali serangan lawannya menggempur dirinya, Glagah Putih menghadapinya dengan dada tengadah. Ia tidak lagi meloncat-loncat menghindar. Namun semua serangan lawannya itu dipapakinya. Ia sengaja membentur serangan lawannya. Mula-mula kelima lawannya merasa yakin akan dapat meringkus Glagah Putih dalam waktu singkat. Namun semakin lama mereka semakin heran. Setiap pukulan atau tendangan mereka mengenai bagian-bagian tubuh Glagah Putih, anak muda itu bergeming. Bahkan terasa tangan atau kaki mereka yang membentur bagian tubuh Glagah Putih menjadi nyeri atau ngilu. Bagaikan membentur dinding baja yang tebalnya sedepa. Sedangkan Glagah Putih seperti tidak mengalami apa-apa. Namun lama kelamaan, Glagah Putih juga tidak mau hanya menjadi sasaran. Sekali lagi ia meloncat di atas kepala kelima penyerangnya ketika mereka merandek hendak menyerang secara berbareng. Kini Glagah Putih sudah berada di luar kepungan kelima lawannya. Dengan sebuah sodokan ia menggempur punggung lawannya, Ki Sukarta, yang dianggapnya terkuat di antara mereka. Gempuran di punggung itu ternyata membuat Ki Sukarta terpelanting dan menimpa teman-temannya. Ki Semprong yang masih berdiri di sebelah Ki Sukarta, juga mendapat sebuah tendangan di dadanya, sehingga ia pun terbanting di atas tumpukan teman-temannya. Ki Sukarta segera bangun, meloncat dan menghunus pedangnya. Kawan-kawannya juga melakukan hal yang sama. Kini mereka semua bersenjata. Tentu saja Glagah Putih tidak mau ketinggalan. Ia melolos ikat pinggangnya dan memutar-mutar di atas kepalanya. “Apakah kau tidak membawa senjata selain ikat pinggangmu?” tanya Ki Sukarta dengan nada setengah mengejek. “Ikat pinggangku inilah senjata andalanku,” kata Glagah Putih dengan tenang. Ia tidak terpengaruh oleh ejekan lawannya. Ternyata ikat pinggang itu di tangan Glagah Putih bisa menjadi kaku dan bisa menjadi lentur. Sesekali ia memutar ikat pinggangnya yang menjadi kaku seperti tongkat. Tongkat dari ikat pinggang itu pun berputaran di tangannya, dan mematuk dengan ganasnya seperti seekor ular. Dalam benturan pertama dengan senjata Ki Semprong, terdengar dentingan yang keras. Menimbulkan rasa nyeri di tengan Ki Semprong. Ki Semprong meloncat surut dua langkah. Ia memperhatikan ikat pinggang glagah Putih yang sebentar-sebentar berubah bentuk. Sekali kaku dan sesaat kemudian menjadi lentur sebagaimana ikat pinggang pada umumnya. Ternyata kekuatan tenaga cadangan Glagah Putih mampu mengubah-ubah bentuk ikat pinggang itu. “Luar biasa,” katanya. “Apanya yang luar biasa?” tanya Glagah Putih. “Kau mampu mengubah ikat pinggangmu menjadi seperti benda yang kaku dan liat, sehingga bisa membentur pedangku, dan di saat lain kembali menjadi lentur seperti ikat pinggang pada umumnya,” katanya. “Apakah dengan pengakuanmu itu, berarti bahwa kalian hendak menyerah,” tanya Glagah Putih.. “Tidak. Sama sekali tidak,” kata Ki Sukarta buru-buru. Ki Sukarta tidak ingin menyerah dengan begitu mudah kepada seorang anak muda, meskipun ia memakai timang pertanda sebagai prajurit dari pasukan Kerajaan Mataram. Mereka kemudian mulai mengepung kembali Glagah Putih. Melihat kemampuan Glagah Putih yang demikian besar, mereka pun menjadi semakin berhati-hati. Para telik sandi dari Kadipaten Panaraga itu pun kemudian semakin meningkatkan kemampuan ilmu kanuragannya. Tata gerak mereka demikian gesit, bergerak memutar seperti hendak membuat bingung Glagah Putih. Namun Glagah Putih yang sudah berpengalaman tidak mau dibuat bingung oleh serangan lawannya yang bergerak memutar. Glagah Putih yang sudah menerapkan ilmu kebal aji Tameng Waja tidak perlu merasa khawatir bahwa serangan lawannya akan mampu melukai dirinya. Karena itu, Glagah Putih mulai memperhatikan tata gerak kelima lawannya. Setiap kali berhasil membentur senjata ikat pinggang Glagah Putih, mereka meloncat surut sambil dalam arah yang masih memutar. Sehingga dengan demikian, serangan mereka meliuk-liuk, sekali memukul atau membentur senjatanya, mereka bergerak surut dan kawannya yang lain lah yang maju. Setelah mengamati bentuk serangan mereka yang demikian, Glagah Putih pun kemudian menyerang dengan arah sebaliknya dari arah putaran serangan lawannnya. Dentang senjata semakin sering terjadi. Kembali serangan rasa nyeri menusuk ke tangan kelima lawannya, ketika terjadi benturan senjata. Setiap kali terjadi benturan senjata, mereka berusaha sekuat tenaga memegang pedangnya erat-erat agar senjata itu tidak terlepas dari tangan. Mereka meringis ketika terjadi benturan senjata. Akhirnya Glagah Putih mengambil kesimpulan, bahwa dari kelima orang telik sandi Kadipaten Panaraga hanya Ki Sukarta yang mempunyai kemampuan tenaga cadangan dan ilmu kanuragan yang mumpuni. Sedangkan empat orang kawannya, tidak setinggi ilmu kanuragan yang dimiliki oleh Ki Madyasta, Ki Sumbaga atau Ki Sungkana. Setelah mendapat kesimpulan demikian Glagah Putih ingin menjajaki lebih jauh perlawanan kelima orang lawannya, ia pun selapis demi selapis meningkatkan tataran ilmunya. Tata geraknya semakin ganas dan trengginas, menyerang kelima lawannya. Kalau tadi seakan-akan Glagah Putih yang menjadi kebingungan dengan tata gerak kelima lawannya, maka kini Glagah Putih yang bergerak semakin cepat, membuat kelima lawannyalah yang menjadi kebingungan. Glagah Putih pun meningkatkan tenaga cadangannya setiap kali membenturkan ikat pinggangnya ke senjata lawannya. Setiap kali terjadi benturan, gagang pedang mereka terasa panas. Sehingga rasa nyeri yang menyerang genggaman tangan mereka kini berubah menjadi terasa panas. Setiap kali pedang mereka berbenturan dengan ikat pinggang Glagah Putih, genggaman tangan atas pedang mereka menjadi kian panas. Satu dua kali sabetan ikat pinggang Glagah Putih mulai menimbulkan luka di tubuh para telik sandi Kadipaten Panaraga. Darah pun mulai menetes dari luka-luka yang timbul di tubuh mereka. Pakaian mereka pun mulai berubah warnanya, menjadi bersemu merah. Mereka tidak dapat lagi mempertahankan senjata mereka di tangannya. Akhirnya satu per satu senjata lawannya terlepas. Tinggallah kini Ki Sukarta saja yang masih menggenggam pedangnya. Ketika sebuah tendangan berantai yang dlancarkan kepada keempat kawan Ki Sukarta, maka keempat orang itu jatuh tersungkur. Pingsan. Tinggallah kini Ki Sukarta yang berhadapan dengan Glagah Putih. Ia ingin menangkap Ki Sukarta hidup-hidup sehingga bisa dikorek keterangan tentang jaringan telik sandi yang ada di dalam kelompok mereka. Glagah Putih kemudian terus mendesak Ki Sukarta. Segera saja terjadi pertarungan yang semakin sengit. Ki Sukarta memutarkan pedangnya bagaikan baling-baling. Ia menutup semua lubang pertahanannya, sehingga ujung ikat pinggang Glagah Putih tidak bisa menyentuhnya. Namun setiap kali terjadi benturan ia masih merasakan betapa rasa panasnya yang merembet ke gagang pedangnya. Glagah Putih terus berusaha mengimbangi kemampuan Ki Sukarta. Agaknya Ki Sukarta pun sudah mulai merambah ke lambaran ilmu kebalnya. Karena ia juga tidak mau ujung ikat pinggang Glagah Putih merobek kulitnya seperti yang terjadi pada kawan-kawannya. Demikianlah pertarungan itu semakin lama semakin seru. Glagah Putih yang telah dapat mengukur kemampuan Ki Sukarta pun kemudian mulai meningkatkan ilmu kanuragannya. Selapis demi selapis serangan Glagah Putih mampu menekan ilmu olah kanuragan Ki Sukarta. Hal itu mendorong Ki Sukarta untuk meningkatkan penggunaan tenaga cadangannya. Namun Glagah Putih masih tetap mampu mengatasinya. Hal itu membuat Ki Sukarta pun mulai merambah ilmu pamungkasnya. Aji Segara Mawut. Dari puncak ubun-ubun Ki Sukarta keluar asap putih tipis, Semakin lama semakin tebal dan dengan cepat menyelimuti udara di sekitar dirinya. Ki Sukarta pun nampak semakin pudar bayangannya. Antara ada dan tiada. Glagah Putih yang melihat perubahan keadaan lawannya, segera dapat membaca bahwa lawannya sudah mulai merambah ilmu pamungkasnya. Karena itu, ia pun segera secara perlahan-lahan mulai melambari dirinya dengan aji Sigar Bumi. Ki Sukarta yang sudah merambah ke aji Segara Mawut, membuat pandangan mata Glagah Putih terasa menjadi kabur, karena Ki Sukarta seolah-olah antara ada dan tiada ditutupi oleh selapis kabut tipis yang semakin tebal menghalangi. Menghadapi kenyataan demikian, Glagah Putih pun tidak mau ragu-ragu lagi menggunakan aji Sigar Bumi. Ketika Glagah Putih menghentakkan kedua kakinya ke permukaan tanah, maka terasa bahwa bumi ini berguncang dengan hebatnya. Meski pun Glagah Putih tidak dapat melihat dengan jelas di mana Ki Sukarta berada, namun ia masih dapat menangkap ujung bayangannya. Berdasarkan arah tangkapan ujung bayangan lawannya itulah Glagah Putih menerjangkan hentakan kakinya. Ki Sukarta berusaha berkelit ke samping. Namun Glagah Putih yang melalui ketajaman panggraitanya mampu merasakan di mana lawan berada, segera menghadang dengan hentakan berikutnya ke arah lawannya menghindar. Kembali bumi terasa seperti teraduk-aduk dan berguncang dengan kerasnya. Seperti gempa. Glagah Putih terus menggempur tempat kedudukan Ki Sukarta. Ke mana pun Ki Sukarta bergerak, ke sana arah gempuran Glagah Putih. Akibat gempuran glagah Putih itu, Ki Sukarta yang tidak mencermati arah serangan dari Glagah Putih, akhirnya tidak dapat bertahan. Ia jatuh terbanting. Namun ia masih dapat bergerak, meskipun lemah.. Orang-orang di pasar yang masih mempunyai keberanian, masih melihat meskipun dari kejauhan. Namun setelah kelima orang itu dapat ditaklukkan, maka mereka pun berjalan mendekat. Namun sebelum dekat benar, terdengar derap puluhan kuda yang mengarah ke pasar itu. Setelah sampai, seorang penunggang kuda yang paling depan dengan perawakan tegap, segera turun dari kuda itu. Ia menyibak orang-orang yang berkerumun di lapangan depan pasar. “Kakang Sabungsari?” teriak Glagah Putih lalu mendekati orang yang sudah dikenalnya dengan baik itu. “Oo. Kau rupanya adi Glagah Putih. Aku tengah meronda hingga daerah perbatasan, namun ada orang yang melaporkan bahwa telah terjadi pertarungan di pasar ini satu orang melawan lima orang. Ternyata aku sampai di sini sudah terlambat. Pertarungan ini sudah usai,” kata Sabungsari dengan nada penuh kecewa. “Hahaha….Kakang Sabungsari tidak terlambat. Aku justru ingin menitipkan kelima telik sandi dari Kadipaten Panaraga kepada kakang Sabungsari untuk dikirim ke Kotaraja Mataram. Terus terang aku tidak bisa untuk membawanya ke Kotaraja karena Rara Wulan sedang isi,” kata Glagah Putih. “He? Isi? Maksudmu sedang mengandung?” tanya Sabungsari. “Benar kakang. Rara Wulan sedang hamil, jadi aku menghadapi kelima orang itu sendiri. Aku tahu Rara Wulan sedang hamil, baru kemarin, padahal kami berangkat dari Panaraga sudah tiga hari yang lalu,” kata Glagah Putih. “Baiklah jika demikian. Biarlah aku mengambil alih masalah telik sandi dari Kadipaten Panaraga. Apakah adi sekalian akan tetap berjalan kaki untuk pulang ke Kotaraja Mataram? Kalau boleh aku menyarankan agar kalian pergi berkuda saja. Dua dari kuda yang kami bawa dapat kau pakai untuk kembali ke Kotaraja Mataram. Aku kasihan kalau dalam keadaan hamil, Rara Wulan mesti berjalan kaki sampai Kotaraja Mataram,” kata Sabungsari. “Baiklah aku terima dan sangat berterima kasih atas tawaran kakang itu,” kata Glagah Putih. “Kakang Sabungsari?” tiba-tiba seorang wanita menyeruak dari kerumunan orang yang berada di tepi lapangan itu. “Adi Rara Wulan. Apakah adi sehat-sehat saja,” tanya Sabungsari. “Berkat doa kakang dan perlindungan Yang Maha Agung, aku sehat-sehat saja,” kata Rara Wulan. Lalu ia melanjutkan. “Marilah kakang Sabungsari, mampir sejenak di warung gudeg di tepi pasar itu,” kata Rara Wulan. “Baiklah kita mengobrol di sana sambil minum kopi setelah tidak bertemu lama sekali,” kata Sabungsari. Sabungsari kemudian memerintahkan beberapa prajurit untuk meringkus para telik sandi dari Kadipaten Panaraga. Mereka pun kemudian mengikat kelima orang itu dengan menggunakan tali janget yang kuat sekali. Pemilik warung yang tadi menjadi panik dan ketakutan, karena terjadi perkelahian di tepi lapangan, segera membuka warung gudeg dan barang dagangannya kembali. Mereka semua memesan makanan dan minuman. Matahari sudah memanjat kaki langit semakin tinggi. Sambil menanti pesanan makanan dan minuman, Sabungsari bertanya kepada Glagah Putih dan Rara Wulan yang duduk di hadapannya. “Apakah kalian sudah tahu bahwa kakang Untara diangkat menjadi Panglima Pasukan Wiratamtama?” tanya Sabungsari. “He? Kakang Untara jadi Panglima?” tanya Glagah Putih dan Rara Wulan hampir berbarengan. “Benar. Kakang Untara sejak dua pekan lalu tidak lagi berada di Jati anom, melainkan sudah pindah ke Kotaraja Mataram,” kata Sabungsari. “Wah…wah. Syukurlah. Lalu siapakan yang menggantikan kakang Untara di wilayah Selatan Gunung Merapi?” tanya Glagah Putih. “Aku.” “He? Kau kakang? Kau jadi senapati di wilayah Selatan?” tanya Glagah Putih sambil menyodorkan tangannya. Sabungsari dengan segera menyambutnya dan mereka berjabatan tangan sangat erat. “Syukurlah. Aku mengucapkan selamat atas pengangkatan kakang Sabungsari sebagai seorang senapati di wilayah Selatan,” kata Glagah Putih. “Terima kasih adi. Semuanya berkat doa kalian berdua,” jawab Sabungsari. Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan. “Sekarang apakah rencana kalian? Apakah kalian akan kembali ke Kotaraja Mataram?” tanya Sabungsari. “Benar kakang. Kami akan kembali ke Kotaraja. Tetapi terlebih dahulu kami akan mampir ke Banyu Asri untuk menengok ayah dan ibu. Apakah mereka sehat-sehat saja?” kata Glagah Putih. “Mereka sehat-sehat saja adi.” “Syukurlah.” “Adi berdua, bukan maksudku untuk tidak ingin ngobrol lebih panjang dengan adi sekalian. Tetapi karena tugasku, aku harus meninggalkan kalian. Tawanan telik sandi Kadipaten Panaraga itu, biarlah aku yang mengurusnya. Nanti ada sepuluh orang yang akan mengawalnya sampai Kotaraja Mataram. Adi berdua gunakan saja dua kuda kami untuk kembali ke Banyu Asri. Nanti kuda itu kalian tinggal di Banyu Asri, dan nanti prajuritku akan mengambilnya. Kalian pakai kuda milik paman Widura untuk kembali ke Kotaraja Mataram,” kata Sabungsari. “Baik kakang. Terima kasih atas bantuan kakang,” kata Glagah Putih. Demikianlah setelah makan nasi gudeg dan minuman hangat wedang jahe mereka berpisah di warung gudeg yang terletak di pinggir pasar. Senapati Sabungsari melanjutkan meninjau situasi keamanan di wilayah yang menjadi wewenangnya, sedangkan sepuluh prajurit membawa lima orang telik sandi Kadipaten Panaraga ke Kotaraja Mataram dan Glagah Putih serta Rara Wulan melanjutkan perjalanan mereka ke Banyu Asri dengan berkuda pelan-pelan. Dalam pada itu, Pangeran Ranapati dan Ki Gondang Legi terus berjalan menuju Padepokan Cambuk Petir yang terletak di sebelah Barat Gunung Wilis. Mereka menyusuri persawahan, bulak-bulak panjang, gumuk dan lereng, lembah dan ngarai. Tidak jarang mereka harus melompati jurang sempit yang menghadang perjalanan mereka. Setelah melintasi hutan yang agak lebat, mereka akhirnya memasuki suatu wilayah yang terbuka. Di kiri kanan jalan terdapat persawahan yang cukup luas. Dan di sudut persawahan itu terdapat pategalan yang ditumbuhi beraneka warna tanaman keras seperti kelapa, mangga, jambu, duren, rambutan dan pohon buah-buahan. Di tengah pategalan itulah terdapat sebuah padepokan. Padepokan itu nampak asri, di sudut-sudut halaman ditanami dengan pepohonan bunga berwarna-warni. Di sebelah kiri pendapa terdapat sebuah belumbang yang dihuni oleh berbagai jenis ikan, yang berenang ke sana ke mari. Pada saat menjelang siang, mereka berdua pun kemudian memasuki halaman padepokan yang dibatasi oleh pagar setinggi dada orang dewasa. Mereka segera menuju ke pendapa. Di depan pendapa mereka disambut oleh seorang cantrik yang segera mengenali Ki Gondang Legi. “Kakang Gondang Legi,” sapa cantrik itu.”Silakan kakang duduk di pendapa, aku segera memberi tahu Kiai Cambuk Petir mengenai kedatangan kalian.” Mereka pun kemudian duduk di pendapa. Tidak beberapa lama kemudian Kiai Cambuk Petir keluar dari peringgitan ke pendapa. “He? Kau Gondang Legi? Mana saudaramu yang lain?” tanya Kiai Cambuk Petir tanpa sempat mengendalikan rasa herannya, karena dari empat muridnya yang dikirim ke Kotaraja Mataram, hanya satu yang kembali. Ia bahkan tidak sempat menanyai Ki Karaba Bodas yang menyebut dirinya sebagai Pangeran Ranapati. “Ampun guru. Ketika kami telah selesai menjajaki kekuatan Mataram, kami menyeberangi Kali Praga untuk melihat keadaan terakhir di Tanah Perdikan Menoreh sebelum kembali ke Panaraga. Kami bertemu dan bertempur dengan prajurit Mataram. Kami berhasil dikalahkan. Kakang Bargas dan Bergawa berhasil dilumpuhkan, kakang Tanda Rumpil tewas dan aku berhasil melarikan diri,” kata Ki Gondang Legi. Ki Gondang Legi bersiap-siap menerima tamparan gurunya. Apabila salah seorang murid gagal menjalankan tugasnya, maka dengan ringan tangan gurunya memberi hadiah tamparan, pukulan atau tendangan. Namun kali ini gurunya nampak menahan diri, mungkin karena di depannya ada Pangeran Ranapati. “Jadi kalian telah gagal menjalankan tugas yang aku berikan?” tanya Kiai Cambuk Petir. “Ampun guru. Kami tidak gagal sama sekali, karena kami sudah mendapat catatan yang kami perlukan mengenai kekuatan pasukan Kerajaan Mataram,” kata Ki Gondang Legi. “Manakah catatan itu?” tanya Kiai Cambuk Petir. Ki Gondang Legi mengeluarkan beberapa lembar rontal dari dalam kampilnya, lalu menyerahkan catatan itu kepada gurunya. Kiai Cambuk Petir menerima rontal itu dan membacanya sekilas. Ia mengangguk-angguk. “Apakabar Pangeran Ranapati? Mohon maaf aku telah mengabaikan kehadiran Pangeran? Hal itu justru karena rasa tanggung jawabku atas tugas mereka untuk menyelidiki kekuatan pasukan Mataram,” kata Kiai Cambuk Petir. “Tidak apa-apa Kiai Cambuk Petir,” kata Pangeran Ranapati singkat. Sebenarnya Pangeran Ranapati merasa sangat tersinggung diabaikan demikian oleh Kiai Cambuk Petir. Namun apabila rasa tersinggung itu yang ditonjolkannya, akan bisa mengacaukan segala rencana besarnya. Padahal Kiai Cambuk Petir adalah salah seorang yang sangat mendukung rencananya untuk memperkuat Kadipaten Panaraga dalam upaya mengguncang kekuatan Kerajaan Mataram. Oleh karena itu ia berusaha meredam rasa tersinggung yang membuncah amat sangat di dalam jantungnya. “He? Apa kau bilang tentang saudara-saudaramu?” tiba-tiba Kiai Cambuk Petir tersentak. “Kakang Bargas dan Bergawa berhasil dilumpuhkan, kakang Tanda Rumpil tewas,” kata Ki Gondang Legi. “Siapakah yang melumpuhkan Bargas dan Bergawa,” tanya Kiai Cambuk Petir. “Seorang prajurit pasukan khusus Mataram, guru. Ia juga mempergunakan senjata cambuk seperti cici-ciri perguruan kita,” kata Ki Gondang Legi. “He? Orang Bercambuk seperti kita, katamu?” “Benar guru.” “Di manakah kalian bertempur dengan orang yang bersenjatakan cambuk itu?” “Di tepian kali Praga, guru.” “Apakah ciri-ciri senjata cambuk yang dipakainya sama seperti yang kita pakai?” “Benar guru. Cambuknya berjuntai panjang seperti cambuk kita. Bahkan juga berkarah-karah baja berbentuk bintang bersegi sembilan.” “He? Sama persis dengan cambuk ciri-ciri perguruan kita,” kata Kiai Cambuk Petir. “Benar guru. Sama persis seperti ciri-ciri cambuk kita.” “Baik. Aku akan menanyakan hal itu kepada kakak seperguruanku Kiai Ajar Karangmaja. Mungkin ia tahu, siapakah sebenarnya guru prajurit dari pasukan Mataram yang mempunyai ciri-ciri Orang Bercambuk seperti yang kita miliki,” kata Kiai Cambuk Petir.Ia berhenti sejenak. Lalu meneruskan kata-katanya. “Sekarang apakah rencana anakmas Pangeran Ranapati?” tanya Kiai Cambuk Petir. “Begini Kiai. Sesuai dengan rencana yang telah kita sepakati, kita akan tetap bergabung dalam kekuatan yang kita sebut sebagai kekuatan pendukung Kadipaten Panaraga,” kata Pangeran Ranapati. Lalu ia melanjutkan. “Aku akan meneruskan perjalanan untuk mencari dukungan dari beberapa padepokan yang berada di wilayah Kadipaten Panaraga. Selain itu juga, mencari dukungan dari beberapa Kadipaten seperti Madiun, Demak, Kudus, Pacitan, Surabaya, Pajang atau Jipang. Kita gerakkan orang-orang yang tidak puas terhadap bangkitnya Kerajaan Mataram sehingga bisa menjadi kekuatan yang mampu mengguncang Mataram itu sendiri,” kata Pangeran Ranapati. Kiai Cambuk Petir mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia nampak setuju dengan pendapat Pangeran Ranapati. Namun Kiai Cambuk Petir sesungguhnya mempunyai kepentingannya sendiri. Ia justru hendak membelokkan arah perjuangan Pangeran Ranapati dengan membangkitkan kebesaran dari masa lalu, yaitu bangkitnya Kerajaan Majapahit yang mampu menguasai seluruh Nusantara. Akan tetapi hal itu, baru akan dilakukannya setelah perjuangan besar ini sudah separuh jalan. Lebih mudah membelokkan arah perjuangan itu, daripada mendorongnya sejak awal seperti sekarang ini. “Baiklah anakmas. Anakmas silakan menghubungi orang-orang dalam jalur perjuangan untuk mendukung Kadipaten Panaraga, seperti anakmas katakan tadi. Aku pun demikian. Namun terlebih dahulu aku akan menghubungi kakak seperguruanku. Apabila Kiai Ajar Karangmaja bisa ikut kita gerakkan, maka di belakangnya akan berbaris orang-orang dari kebesaran masa silam yaitu Kerajaan Majapahit yang siap mendukung perjuangan kita,” katanya. “Dengan berbekalkan keterangan yang berhasil dihimpun oleh Gondang Legi, maka kita membutuhkan pasukan sedikitnya dua puluh laksa untuk bisa menggempur Mataram,” kata Kiai Cambuk Sakti. Pangeran Ranapati pun setuju dengan pendapat Kiai Cambuk Sakti. Ia sependapat bahwa diperlukan pasukan sedikitnya dua puluh laksa untuk dapat menggulung Mataram.Apabila dapat terkumpul pasukan dengan anggota berjumlah dua puluh laksa, maka hal itu akan memudahkan pergerakan selanjutnya. Kiai Cambuk Sakti kemudian memerintahkan para cantrik untuk bersantap siang bagi mereka bertiga. Mereka makan seadanya sebagaimana yang biasa tersedia di padepokan. Nasi, sayur lodeh, goreng ikan dan sedikit kue ringan seperti nagasari atau juadah. Setelah selesai bersantap, maka mereka pun segera membagi tugas. Kiai Cambuk Petir akan mengunjungi kakak seperguruannya, Ki Gondang Legi mengawasi para cantrik selama Kiai Cambuk Petir pergi, Pangeran Ranapati menghimpun berbagai kekuatan yang mau dan mampu mendukung Kadipaten Panaraga. Demikianlah Kiai Cambuk Petir kemudian mengendarai kudanya menuju ke kaki sebelah utara Gunung Wilis. Di sanalah kakak seperguruannya Kiai Ajar Karangmaja membangun padepokan. Padepokan Ajar Karangmaja. Meskipun jalan yang ditempuhnya cukup rumit dan rumpil, namun karena Kiai Cambuk Petir sudah mengenal dengan baik jalan menuju ke sana, Ia melintasi bulak-bulak panjang, daerah persawahan, lalu masuk hutan yang agak lebat, jalanan yang berliku, lembah dan ngarai pun dilintasinya. Semakin dekat dengan padepokan kakak seperguruannya itu, semakin sulit jalan yang harus ditempuhnya. Ia sampai di Padepokan Ajar Karangmaja setelah menempuh perjalanan berkuda hampir sehari penuh. Sungguh suatu perjalanan yang melelahkan. Namun Kiai Cambuk Petir adalah termasuk orang yang mempunyai kekuatan yang luar biasa. Meskipun tubuhnya sudah mulai dimakan usia, namun ia tetap tegar menghadapi perjalanan yang sulit dan panjang seperti yang ditempuhnya sekarang ini. Kiai Cambuk Petir meloncat turun ketika kudanya mencapai regol halaman Padepokan Ajar Karangmaja. Ia segera disambut oleh seorang cantrik yang menerima tali kekang dan mengikatkannya pada tonggak-tonggak yang tersedia. “Apakah Kiai Ajar Karangmaja ada,” tanya Kiai Cambuk Petir. “Ada Kiai. Kiai Ajar Karangmaja sedang di sanggarnya. Silakan Kiai duduk di pendapa. Aku segera memberitahukan kepada Kiai Ajar Karangmaja mengenai kehadiran Kiai,” kata cantrik yang termasuk paling muda.. Demikianlah setelah menunggu sejenak, Kiai Ajar Karangmaja keluar dari sanggarnya setelah cantrik tadi memberitahukan bahwa adik seperguruannya Kiai Cambuk Petir datang berkunjung. “Selamat datang adi. Apakabar? Sudah lama sekali kau tidak datang ke mari,” kata Kiai Ajar Karangmaja menyambut tamunya. Adik seperguruannya. “Terima kasih kakang. Aku sehat-sehat saja. Semoga demikian hendaknya dengan keadaan kakang,” kata Kiai Cambuk Petir. “Syukurlah. Aku juga selalu dalam lindungan-Nya. Apakah ada hal yang penting dan mendesak, sehingga kau menyempatkan diri untuk menemuiku yang jauh di pucuk Gunung Wilis ini?” tanya Kiai Ajar Karangmaja, langsung ke inti masalah. Ia tidak mau bertele-tele untuk mengetahui keinginan adik seperguruannya, yang sering datang dan selalu mempunyai maksud-maksud tertentu di luar ukuran nalarnya. “Benar, kakang. Aku datang ke mari untuk kembali mengajak kakang guna bergabung dalam apa yang disebut sebagai barisan pendukung Kadipaten Panaraga untuk bisa menguasai tlatah ini. Apabila kita gabungkan dengan kekuatan yang berada di belakang kita, maka bukan tidak mungkin kita bisa membangkitkan kekuatan dari masa silam, yaitu membangun kembali Kerajaan Majapahit yang besar dan mampu menguasai Nusantara,” kata Kiai Cambuk Petir. “Sudah berulangkali aku katakan adi. Aku ini sudah sangat lanjut. Bahkan badanku sudah berbau tanah. Aku tidak mau lagi memikirkan masalah duniawi seperti itu. Apakah aku akan menjadi senapati atau tumenggung kalau bisa kau bujuk untuk bergabung? Untuk orang seumur aku, untuk apa lagi jabatan senapati atau tumenggung? Aku sudah tidak mempunyai gegayuhan seperti itu. Ketiga anakku juga sudah mentas dan aku sudah sudah mempunyai enam cucu. Kebahagiaanku sekarang adalah momong keenam cucuku itu. Itu saja,” kata Kiai Ajar Karangmaja. “Akan tetapi kakang, bukankah kita masih keturunan langsung dari trah Kerajaan Majapahit? Bukankah dengan demikian kita juga wajib menjunjung tinggi leluhur kita. Mikul dhuwur, mendem jero. Apakah kakang tidak merasa mempunyai kewajiban untuk membangun kembali kejayaan dari masa silam?“ tanya Kiai Cambuk Petir. “Adi jangan keliru. Yang mempunyai trah langsung kerajaan Majapahit adalah guru kita Mpu Windujati. Sedangkan kita hanyalah cantrik di padepokannya, yang kemudian mendapat kesempatan menjadi muridnya. Aku dan kau bukan trah langsung dari Kerajaan Majapahit. Kita hanyalah keturunan pidak pedarakan, yang tidak seorang pun bisa mengaitkannya dengan trah Majapahit,” tutur Kiai Ajar Karangmaja dengan nada yang mulai meninggi. Ia berhenti sejenak. Nafasnya agak tersengal-sengal, karena menahan hati mendengar ucapan adik seperguruannya yang sekan-akan baru datang sudah memanas-manasi suasana. “Sekarang tidak lagi, adi. Aku sedikit pun tidak mempunyai gegayuhan untuk membangkitkan kembali kejayaan Majapahit. Kerajaan Majapahit sudah mengukirkan dalam kitab sejarah negeri ini dengan tinta emas. Sekali terbilang, lalu hilang. Sekarang berilah kesempatan kepada kerajaan Mataram untuk kembali mengukirkan tinta emas dalam kitab sejarah itu. Sehingga pada saatnya nanti, anak cucu keturunan kita ratusan tahun mendatang akan melihat bahwa sejarah negeri kita ini penuh dengan warna-warni,” kata Kiai Ajar Karangmaja. Kembali ia terdiam sesaat. “Aku tidak lagi mempunyai gegayuhan seperti itu,” kata Kiai Ajar Karangmaja. “Kenapa, kakang?” “Karena yang ada sekarang ini sudah merupakan saluran yang tepat untuk meneruskan kerajaan Majapahit. Ketika Majapahit runtuh, bangkit Demak. Demak pun diteruskan oleh Pajang. Kemudian Pajang dilanjutkan oleh Mataram. Nah kurang apa lagi?” tanya Kiai Ajar Karangmaja. “Kekurangannya adalah karena tidak ada peran kita di dalamnya, kakang. Kalau kita ikut berperan dalam perubahan pemerintahan itu dengan menjadi sarana berpindahnya wahyu keraton, maka barulah merupakan saluran yang tepat. Akan tetapi di sini kita tidak dilibatkan sama sekali,” kata Kiai Cambuk Petir. “Lalu kalau dilibatkan, kita sebagai apa? Sebagai pengusung wahyu keraton, begitu?” tanya Kiai Ajar Karangmaja. “Benar kakang. Apabila kita dilibatkan sebagai pengusung wahyu keraton, maka paling tidak kita bisa memiliki kedudukan penting di dalam pemerintahan,” kata Kiai Cambuk Petir. “Kedudukan apa yang kau inginkan adi, dalam usiamu yang sudah jauh memanjat naik dan menjelang turun. Kalau usiamu masih tiga puluh tahunan, bolehlah apabila kau minta kedudukan. Pada saat menjelang purnatugas pada saat usiamu lima puluh tahun, kau sudah menjadi tumenggung. Akan tetapi dengan usiamu yang sudah enam puluhan tahun seperti sekarang ini apa lagi yang kau harapkan?” tanya Kiai Ajar Karangmaja. “Paling tidak kita akan bisa meletakkan dasar bagi lingkungan kita. Meletakkan dasar bagi anak cucu kita,” kata Kiai Cambuk Petir. “Akan tetapi apa yang bisa kita lakukan. Karena kita akan tetap berada di luar jalur kekuasaan yang bisa menentukan hitam putihnya keadaan,” tanya Kiai Ajar Karangmaja. “Tentu saja kita memberikan dukungan yang perlu bagi terwujudnya gegayuhan kita itu,” kata Kiai Cambuk Petir. “Sudahlah adi. Aku tidak ingin terlalu ikut campur dalam urusan yang sama sekali aku tidak mengerti. Aku juga tidak mempunyai wewenang untuk memasukkan keterangan yang berguna bagi perubahan kekuasaan itu. Seandainya terjadi perubahan kekuasaan pun, tentu saja kita akan tersingkir dan tidak akan bisa memperjuangkan kepentingan anak cucu kita. Karena kita sudah uzur,” kata Kiai Ajar Karangmaja. “Wah kakang terlalu berkecil hati sebelum berbuat sesuatu,” kata Kiai Cambuk Petir. “Yang jelas, aku tidak ingin melibatkan padepokanku dan keluarga besar perguruan Windujati dalam pertengkaran ini karena ingin memperebutkan kekuasaan,” kata Kiai Ajar Karangmaja. Kiai Cambuk Petir yang semasa mudanya bernama Kulantir sebenarnya adalah adik seperguruan dari Kiai Ajar Karangmaja. Ketika berguru kepada Mpu Windujati, mereka terpaut cukup jauh umurnya maupun tingkat ilmunya. Pada saat terjadi pergolakan terakhir di Demak Bintara mereka mendapat tugas untuk mengamati keadaan di Demak Bintara itu. Namun pada saat mereka kembali ke perguruan Windujati, mereka mendapati guru mereka ”Mpu Windujati” telah tiada. Kiai Ajar Karangmaja yang merupakan murid tertua Perguruan Windujati, kemudian mendapat kepercayaan untuk meneruskan padepokan itu. Sesuai dengan nama pemimpinnya, akhirnya orang lebih mengenal Padepokan Ajar Karangmaja, ketimbang Padepokan Windujati. Kiai Ajar Karangmaja yang kakak seperguruan Kulantir kemudian menurunkan ilmu yang telah diperolehnya hampir secara lengkap dari Mpu Windujati. Sehingga dengan demikian Kiai Ajar Karangmaja adalah kakak seperguruan sekaligus guru bagi Kulantir yang kemudian menyebut dirinya Kiai Cambuk Petir ketika telah berdiri sendiri dengan membangun padepokannya sendiri. Kiai Ajar Karangmaja mempunyai dua murid utama. Yang seorang bernama Putut Kalibata, dan seorang lagi Putut Jimbaran. “Kemanakah kedua muridmu kakang. Putut Kalibata dan Putut Jimbaran,” tanya Kiai Cambuk Petir. “Mereka berdua mulai kemarin minta izin untuk pulang ke kampung masing-masing selama dua bulan. Padi di sawah mereka sudah mulai panen dan mereka harus mengolah sawah untuk musim tanam berikutnya,” kata Kiai Ajar Karangmaja. “Wah sayang sekali. Sebenarnya aku juga ingin mengajak mereka untuk bergabung denganku untuk memperjuangkan gegayuhan membangkitkan kejayaan Kerajaan Majapahit,” kata Kiai Cambuk Petir. “Adi jangan melibatkan padepokanku, atau pun kedua muridku itu dalam mencapai gegayuhanmu,” kata Kiai Ajar Karangmaja dengan nada sengit. “Baiklah kakang. Kalau kau tidak mengizinkan, aku tidak akan memaksa,” kata Kiai Cambuk Petir dengan nada enteng. Betapapun ia masih tetap menghormati kakang seperguruan yang sekaligus menjadi guru tunggak semi-nya setelah Mpu Windujati tiada. Perbawa kakak seperguruannya itu demikian besar. “Oo ya, kakang. Aku ingin bertanya apakah di antara sanak kadang kita yang masih trah Keraton Majapahit ada yang tinggal di Mataram dan menjadi prajurit pasukan Mataram?” tanya Kiai Cambuk Petir. “Memangnya ada apa? Aku tidak tahu apakah di antara keluarga besar trah Majapahit atau sanak kadang kita yang berpihak atau berada di Mataram,” kata Kiai Ajar Karangmaja. “Begini kakang. Dua pekan lalu aku mengirim keempat muridku Bargas, Bergawa, Tanda Rumpil dan Gondang Legi untuk mengamat-amati kekuatan pasukan Kerajaan Mataram. Nah dalam suatu pertempuran dengan seorang prajurit Mataram, ternyata Bargas dan Bergawa berhasil dilumpuhkan, Tanda Rumpil tewas dan Gondang Legi berhasil melarikan diri kembali ke padepokanku di Panaraga,” kata Kiai Cambuk Petir. “Keempat muridmu kalah?” tanya Kiai Ajar Karangmaja. “Iya kakang. Yang membuatku heran, justru yang melumpuhkan kedua murid utamaku ”Bargas dan Bergawa” adalah orang yang mempunyai ciri-ciri seperti perguruan kita. Ciri-ciri perguruan Orang Bercambuk,” kata Kiai Cambuk Petir. “He? Ciri-ciri Orang Bercambuk? Apakah cambuknya berjuntai panjang dan berkarah-karah baja di ujungnya?” tanya Kiai Ajar Karangmaja lagi. “Benar kakang. Apakah kakang tahu bahwa ada sempalan dari ilmu Orang Bercambuk yang kini mengabdi sebagai prajurit di Mataram?” tanya Kiai Cambuk Petir. “Aku tidak tahu persis, adi. Tetapi setahuku tidak ada orang atau sempalan ilmu Orang Bercambuk yang kini mengabdi sebagai prajurit di Mataram,” kata Kiai Ajar Karangmaja. “Apakah orang itu murid dari Raden Timur yang sering juga disebut Pamungkas?” kata Kiai Ajar Karangmaja kepada dirinya sendiri. “Maksud kakang, Raden Timur cucu dari Mpu Windujati?” tanya Kiai Cambuk Petir. “Benar. Raden Timur yang selalu mengamati kalau kita sedang berlatih ilmu kanuragan,” kata Kiai Ajar Karangmaja. Ia terdiam sejenak, lalu melanjutkan. “Raden Timur adalah cucu sekaligus murid utama dari Mpu Windujati,” tutur Kiai Ajar Karangmaja. “He? Tetapi aku tidak pernah melihat Raden Timur berlatih ilmu kanuragan dengan kita, para murid perguruan Mpu Windujati,” kata Kiai Cambuk Petir. “Iya. Karena Mpu Windujati berkenan melatihnya secara langsung di dalam sanggar. Aku beberapa kali mendapat tugas untuk berlatih tanding dengan Raden Timur. Meskipun Raden Timur sedikit lebih muda daripada aku, namun ilmunya ngedab-ngedabi dan hampir sesempurna Mpu Windujati sendiri,” kata Kiai Ajar Karangmaja. “Selain itu, Raden Timur juga berguru kepada adik seperguruan Mpu Windujati yang merupakan sahabat dekat dengan seorang yang bernama Kebo Kanigara, putera sekaligus murid dari Ki Ageng Pengging Sepuh,” kata Kiai Ajar Karangmaja. Dengan demikian ilmu yang dikuasai Raden Timur adalah gabungan ilmu dari beberapa perguruan. Kiai Ajar Karangmaja terdiam lagi. Seakan-akan sedang mengenang kembali hubungannya dengan Raden Timur di Perguruan Windujati yang tersimpan dalam bilik ingatannya. Kejadian yang terjadi puluhan tahun yang lalu itu, seakan terputar kembali di dalam angan-angannya. Betapa Raden Timur yang masih muda itu, bertarung dengan dirinya di dalam sanggar. Meskipun ilmu yang diraihnya secara tuntas itu dikerahkannya untuk menyerang Raden Timur, namun cucu gurunya itu masih tetap bisa mengatasinya. Sebagai pertanda bahwa ilmu yang mereka pelajari di perguruan Windujati telah tuntas, maka mereka berdua menjalani suatu ritual khusus di dalam sanggar itu. Gurunya membakar sebatang baja yang pada ujungnya terdapat semacam cap stempel dari baja. Pada cap stempel itu tertera gambar semacam cambuk yang pada ujungnya terdapat karah-karah baja bersegi sembilan. Gurunya, Mpu Windujati yang masih merupakan trah Keraton Majapahit, meminta mereka berdua mengerahkan ilmu kebal yang telah mereka kuasai secara tuntas. Sebagai pertanda bahwa ilmu kebal mereka telah tuntas, maka ruangan sanggar Mpu Windujati terasa seperti panas membara. Sepanas cap stempel yang dipanaskan oleh gurunya. Karena agaknya, ilmu kebal mereka berdua telah berhasil membangkitkan sifat panas di dalam udara sekitar mereka. Ketika Mpu Windujati merasa pengerahan ilmu kebal kedua muridnya telah cukup, Mpu Windujati segera menempelkan cap stempel dari baja yang membara itu ke pergelangan tangan kiri kedua muridnya. Tercium bau seperti daging yang terbakar. Dengan sekuat tenaga kedua murid Mpu Windujati menahan nyeri yang mereka rasakan akibat diselomot dengan cap stempel membara itu. Gurunya segera memborehkan obat-obatan yang telah disiapkan untuk mengatasi luka bakar di tangan kedua muridnya itu. Ketika sembuh, sebuah cap bergambarkan cambuk menghiasi pergelangan tangan kiri kedua muridnya. Dalam kesempatan itu, gurunya mewariskan kitab perguruan Windujati kepada Raden Timur. Gurunya kemudian memberi wejangan kepada mereka berdua, bahwa hubungan mereka sebagai dua saudara seperguruan harus tetap mereka jaga hingga kapan pun. Selama hayat masih dikandung badan. Hubungan itu tidak hanya di antara mereka saja, namun juga hubungan di antara murid-murid mereka, apabila kelak mereka membangun padepokan sendiri. Gurunya berpesan agar mereka tidak mudah-mudahnya mempergunakan ilmu pamungkasnya. Ilmu Pamungkas Orang Bercambuk. Apabila mereka ragu-ragu, apakah sudah saatnya atau belum mempergunakan ilmu pamungkas mereka, maka Mpu Windujati meminta agar mereka mengelus-elus pergelangan tangan kiri mereka dan bertanya di dalam hati:”Guru apakah sudah saatnya aku pergunakan ilmu pamungkasku?” Kelak mereka akan tahu, bahwa gurunya akan memberikan jawaban atas pertanyaan mereka. Pesan wanti-wanti dari gurunya, Mpu Windujati, itulah yang selalu terngiang di dalam pendengaran Kiai Ajar Karangmaja yang semasa mudanya bernama Soma. Ketika Soma menurunkan ilmunya kepada Kulantir, pesan yang sama selalu ditekankannya kepada adik seperguruan sekaligus muridnya itu. Namun, meskipun ilmu yang diturunkannya kepada Kulantir telah tuntas, namun Soma tidak berani mengadakan ritual khusus memberi cap stempel cambuk kepada Kulantir. Hal itu karena ia mengamati perangai Kulantir yang sering tidak sesuai dengan keinginannya. Kulantir lebih sering mengetengahkan sifat tamaknya akan kekuasaan. Namun sifat tamaknya itu tidak disalurkan secara benar melalui jalur kekuasaan yang ada. Soma masih akan bisa memahami keinginan adik seperguruannya itu apabila Kulantir menyalurkan keinginannya untuk berkuasa misalnya dengan memasuki jenjang keprajuritan. Apabila Kulantir ketika masih muda memasuki jenjang keprajuritan mungkin ia sudah mengantongi pangkat tumenggung atau bahkan sudah purnawira. Namun hal itu tidak dilakukannya. Kul
    • kados pundi kelanjutanipun kang mas?

  26. wah kang asbud itu kan masih seri 402…

  27. lanjutan 404 mana ya?,kalo bayar gmn caranya utk mendapatkan seri 404 dst… tq

  28. iya nih… matarambinangkit.com ga bisa diakses….
    udah rinduuuuuuuuu banget……………

  29. ni blog masih ada penghuninya ndak sih

    • ngga ada ndul

      • sekedar berbagi berita saja:
        di Gagak Seta ada Terusan ADBM, bisa dinikmati dgn gratis
        monggo kalo mau mampir

        • maturnuwun kangmas.

  30. antara ada dan tiada sedang tiarap semua para pemimpin padepokan…………………….????????????

    # ada yang bisa dibantu Ki?

  31. Sugeng siang para Cantrik sedaya..
    Sebelumnya mohon maaf atas woro woro ini,
    dulu saya pernah ingin mencoba melanjutkan adbm yg terputus, namun karena kesibukan, ternyata Ki Agus yg telah meneruskan kisah adi luhung ini.
    namun demikian, di gandhok Gagak Seta, saya di “ogrok2” oleh beberapa cantrik disana untuk meneruskan Adbm dengan versi “mbah_man”
    Semoga kalau ada waktu silahkan mampir di gandhok “Terusan ADBM Gagak Seta”
    matur suwun
    Mbah-man

    • tak kiro woro-woro gandok anyar ‘terusan adbm mandarakan’

  32. Yang peting GRATIS kalo musti mbayar sepertinya menghianati cita2 awal kita,,,

  33. kok nggak bisa komen ya 😦

    • jangan-jangan

    • jangan terlalu cepat komennya Ki Syakuur .. nanti dikira SPAM oleh Aki Ismet 😀

      • rasanya bukan gitu deh, soale kemaren tu banyak keluhan wp nggak bisa komen (misalnya di cersilindonesia tu banyak keluhan) e nggak tahunya di sini juga ternyata komenku nggak masuk, nunggu ki nin 😛

  34. lanjutan ADBM 404 mana ya ki?
    bukanya di website apa ya?

  35. Alamat pastinya di link mana ya (Terusan ADBM Gagak Seto) ??
    Mohon dibantu dong….
    tks

    • cobi njenengan tingali wonten mriki ki nogoposo

      • kok di mriki nya sy kok gak bisa nemu ydm ya….
        bantuin doong…

        • wah berarti niku alamat palsu sing digoleki mbak ayu doong…

    • mbah_man berusaha meneruskan ADBM dengan versi lain (selain Bukan ADBM nya Ki Agus).
      sayang, baru sekitar separuh jilid beliaunya sakit sehingga harus rawat inap di rumah sakit.
      semoga beliau lakas sembuh dan meneruskan tulsiannya.
      silahan kunjungi disini: http://cersilindonesia.wordpress.com/terusan-adbm/2/

  36. Ma’af mau tanya, apa masih ada cerita lanjutan dari ADBM?

  37. Kalau mau bayar gimana caranya ya, nuwun sewu bagi dulur2 mbok ya empatinya dan nuraninya dikedepakkan, ayo kita menghargai imajinasi dan karya sastra penulis yang berusaha melanjutkan cerita epik kepahlawanan nuansa jawa tengah, apapun hasilnya kalau literasi ini sangat membantu mengenalkan adat istiadat unggah ungguh subosito masyarakat jawa mbok ya disokong, ini lebih berisi dari pada komik marvel atau DC yang dar der dor…
    Salam
    #bagaskoro manjer kawuryan

  38. Mataram Binangkit
    Buku 404
    Oleh Agus S. Soerono

    Telah terbit Ebook Mataram Binangkit Buku 404 oleh Agus S. Soerono. Jika anda berminat, silakan transfer Rp 100.000,- ke Norek BCA 288-1221-715 a/n Agus Suprihanto. Kirim bukti transfer dan sertakan alamat email ke no WA 0878-0856-1199. Kami akan segera mengirim Ebook dalam format PDF ke alamat email.

  39. Donasi tidak berkeberatan, asal tidak menjadi komersial.
    Yang lain versi mbah Man donasinya tidak ngarani.
    Saya juga berlangganan yang versi mbah MAN

  40. Kalajenganipum seri menika menapa wonten, menawi taksih saged kula panggihaken ing pundi? Mugi para kadang saged paring kabar, nuwun

  41. Saya bisa mengkuti karya Ki Agus dimana ya, lanjutannta

  42. Nyuwun pirsa, seri saklajengipun wonten pundi, kula kok dereng manggihaken, bok menawi ki agus rena paring sesuluh.

    • Kami tidak melanjutkan wedaran di sini, karena cerita selanjutnya “berbayar”.

      Ngapunten.

  43. Cukup baik, seperti pengantar kata di atas ; untuk memuaskan dahaga pembaca penggemar ADBM ( Api di bukit menoreh)

  44. saya mencari software abbyy finereader yang pernah dibagikan, adakah cantrik yang masih ingat link nya?


Tinggalkan komentar