Buku II-19

Glagah Putih kemudian duduk dibibir pembaringannya sambil meraba kaki Agung Sedayu. Katanya, ”Kakimu sangat dingin Kakang.”
Agung Sedayu menggerakkan kakinya. Dipandangnya wajah Glagah Putih yang cerah bersih tanpa pulasan apapun juga.
“Ia berada ditempatnya dengan mantap. Ia tidak dibayangi oleh sikap Rudita yang dapat membuatnya bingung atas pilihannya,” desis Agung Sedayu didalam hatinya.
Namun demikian, ia tidak dapat melepaskan diri dari suatu pengakuan, bahwa sikap dan pandangan hidup Rudita memiliki nilai yang lebih tinggi dari padanya.
Dalam pada itu Glagah Putih masih saja memijit-mijit kaki Agung Sedayu. Dibasahinya jari-jarinya dengan minyak yang terdapat dimangkuk kecil dekat pembaringan itu dan mengusapkannya dikaki Agung Sedayu yang dingin.
“Badanku sudah terasa jauh lebih baik, Glagah Putih,” berkata Agung Sedayu kemudian.
“Tapi kakimu masih sangat dingin.”
“Tetapi aku sudah dapat makan lebih banyak. Badan¬ku sudah tidak terlalu lemah. Jika aku masih berbaring, aku ingin tubuhku segera pulih kembali,” Agung Sedayu berhenti sejenak, lalu, ”mudah-mudahan besok aku sudah dapat pergi ke sawah.”
Glagah Putih memandang wajah Agung Sedayu yang memang sudah menjadi lebih segar. Ia tidak lagi sangat pucat seperti orang yang sudah terlalu lama sakit.
Dalam pada itu, berita tentang sakitnya Agung Sedayu itu pun telah diketahui oleh hampir setiap orang sampai di Tanah Perdikan Menoreh. Anak-anak muda yang berada disawah, di gardu-gardu dan mereka yang bertugas sebagai pengawal. Tidak seorangpun yang dapat mengatakan, apakah sakit Agung Sedayu. Yang mereka ketahui, Agung Sedayu tiba-tiba saja pingsan ditengah malam.
“Agung Sedayu adalah orang yang luar biasa. Ia memiliki ketahanan tubuh melampaui kebanyakan orang. Tetapi ia pada suatu saat dapat menjadi sakit pula,” berkata salah seorang dari anak-anak muda di Tanah Per¬dikan Menoreh ketika ia sedang berada disebuah kedai dipinggir pasar.
Kata-katanya itu pun segera disambut oleh beberapa orang kawannya yang kebetulan ada didalam kedai itu juga.
Dalam pada itu, seorang yang tidak dikenal oleh anak-anak muda itu mendengar pembicaraan mereka dengan saksama. Nampaknya, ia seorang yang sedang menempuh perjalanan, atau seorang tamu dari salah seorang penghuni Tanah Perdikan Menoreh.
Tetapi anak-anak muda itu tidak begitu menghiraukannya. Mereka berbicara saja dengan asyiknya sam¬bil menyumbati mulut mereka dengan sepotong makanan.
Namun tiba-tiba orang itu bertanya, ”Ki Sanak, siapakah yang kalian katakan sedang sakit itu?”
“Agung Sedayu,” jawab salah seorang dari anak-anak muda itu.
Orang itu termangu-mangu. Kemudian iapun ber¬tanya pula, “Jadi Anakmas Agung Sedayu masih berada disini?”
“Ya. Ia sedang sakit. Penyakitnya sangat aneh. Tetapi ia sudah berangsur sembuh. Ki Waskita telah mengobatinya.”
“Apakah Ki Waskita ada disini?”
“Dirumahnya. Agung Sedayu berada dirumah Ki Waskita,” jawab anak muda itu.
Orang itu mengangguk-angguk. Sementara anak muda itu berkata lebih lanjut, ”Ki Gede Menoreh telah mendengar pula berita tentang Agung Sedayu. Jika dalam waktu satu dua hari ini Agung Sedayu belum berangsur sembuh, Ki Gede akan menengoknya ke rumah Ki Waskita.”
Orang itu hanya mengangguk-angguk saja. tetapi ia tidak bertanya lebih jauh lagi.
Dalam pada itu, ketika orang itu sudah cukup makan dan minum, dan telah membayar harganya pula, maka ia pun meninggalkan warung itu. Demikian ia lepas dari pengamatan anak-anak muda yang berada didalam warungitu, maka ia pun dengan tergesa-gesa berbelok dan melintasi pategalan. ternyata orang itu menyimpan seekor kuda dibalik gerumbul-gerumbul disebuah pate¬galan yang sepi, ditunggui oleh seorang kawannya.
“Apa kau mendapat kabar tentang Agung sedayu?” bertanya kawannya.
“Ya. Ia memang sakit dirumah Ki Waskita. Ia tidak datang ke Tanah Perdikan Menoreh meskipun orang-orang Tanah Perdikan Menoreh sudah mengetahui bahwa ia sedang sakit.”
Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, ”Aku sudah cemas, bahwa kita akan kehilangan jejak. Sokurlah bahwa ia belum terlepas dari pengawasan kita. Jika demikian, kita akan kembali kepada kawan-kawan dan melakukan pengawasan yang lebih baik dipadukuhan Ki Waskita. Sejak ia tidak nampak disawah lagi, aku menjadi cemas, bahwa ia dengan diam-diam meninggalkan rumah Ki Waskita, karena ia sudah menci¬um usaha kita mengawasinya.”
“Ternyata ia masih berada dirumah Ki waskita,” desis kawannya, ”kitalah yang mudah menjadi cemas dan gelisah.”
“Tetapi kau mendapat keterangan yang sebenar¬nya?”
“Aku berbicara dengan beberapa orang anak muda didalam sebuah kedai. Mereka semuanya mengatakan bahwa Agung Sedayu sedang sakit. Bahkan mereka mengatakan, jika sakit Agung Sedayu tidak segera sem-buh, Ki Gede akan pergi ke rumah Ki Waskita.”
Kawannya mengangguk-angguk. Katanya, ”Baiklah. Kita kembali ke pinggir hutan itu. Tetapi Sabungsari tentu sudah gelisah menunggu. Kita sudah berada disini lebih dari sepekan.”
“Apa boleh buat. Ia sedang sakit. Kita tidak dapat berbuat apa-apa. Kita tidak akan dapat memancingnya dan memisahkannya dari Ki Waskita dan orang-orangnya jika ada. Bahkan jika ternyata Ki Gede benar-benar datang menengoknya.”
“Kita dihadapkan pada keadaan yang tidak dapat kita atasi. Kita akan menunggu satu dua hari lagi. Jika benar Agung sedayu sakit keras sehingga Ki Gede Meno¬reh justru datang kepadanya, salah seorang dari kita harus melaporkannya kepada Sabungsari.”
Kawannya tidak menjawab. Tetapi ia mengangguk kecil.
Keduanyapun kemudian meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh kembali ke tempat persembunyian mereka. Dugaan mereka, bahwa agung Sedayu dengan diam-diam pergi ke Menoreh, ternyata tidak benar.
Dengan demikian, maka orang-orang yang telah dikirim oleh Sabungsari itu pun mengadakan penga¬wasan yang lebih seksama lagi atas rumah Ki Waskita. Mereka tidak mau kehilangan Agung Sedayu. Mereka sadar, jika Agung Sedayu terlepas dari pengawasan mere¬ka, maka mereka akan mendapat hukuman yang berat dari Sabungsari.
Dalam pada itu, keadaan Agung Sedayu pun manjadi berangsur baik. Karena sebenarnya ia tidak sakit, maka dengan istirahat, penenangan dan mengatur pernafasan, maka dengan cepat ia dapat memulihkan keadaan badan¬nya. Apalagi ketika ia sudah mau makan seperti sewajarnya.
Glagah Putih pun menjadi heran. Kesembuhan yang cepat sekali itu menumbuhkan beberapa pertanyaan dihatinya Glagah Putih. Namun ia mencoba mencari jawab pada jenis obat yg dipergunakan oleh Agung Sedayu.
“Ternyata Ki Waskita juga pandai meramu obat seperti Kiai Gringsing,” katanya didalam hati.
Dihari ke delapan, Agung Sedayu sudah berjalan-jalan dihalaman. Badannya justru nampak segar dan sehat. Tidak lagi ada tanda-tanda bahwa ia baru saja mengalami sakit keras menurut penilaian Glagah Putih dan kebanyakan penghuni rumah Ki Waskita dan beberapa orang tetangganya.
Sebenarnyalah, Agung Sedayu merasakan tubuhnya bertambah baik. Meskipun ia baru membaca isi kitab yang diberikan Ki Waskita dan belum memahami mak¬nanya, namun pengaruhnya sudah mulai terasa. Satu dua kalimat dalam bab tertentu yang dibacanya, telah mem¬berikan sentuhan pada ilmu yang memang sudah ada pada dirinya. Dalam hubungan yang mapan, maka ilmu yang sudah ada itu, seolah-olah telah mendapat unsur-un¬sur yang memberikan warna semakin tegas dan tajam, diluar usaha pencernakan maknanya yang baru akan dilakukan kemudian.
Bahkan ada firasat didalam dirinya, bahwa kekuatan yang terlontar lewat kekuatan dan tenaga cadangan yang ada didalam dirinyapun rasa-rasanya menjadi bertam¬bah masak.
Diluar sadarnya, bahwa diantara orang-orang yang lewat di jalan didepan rumah Ki Waskita, adalah orang yang dikirim oleh Sabungsari untuk mengawasinya. Ketika nampak oleh orang itu Agung Sedayu berdiri dihalaman, maka orang itu pun menarik nafas panjang. Dengan demikian mereka benar-benar tidak kehilangan Agung Sedayu. Yang terjadi hanyalah waktu yang agak lebih panjang. Dan ia akan dapat melaporkan kelak, bah¬wa Agung Sedayu menderita sakit di rumah Ki Waskita.
Dihari berikutnya Agung Sedayu telah ikut pula pergi ke sawah bersama Rudita dan Glagah Putih. Badan Agung Sedayu telah benar-benar pulih kembali, bahkan ada sesuatu yang ternyata telah berkembang didalam dirinya.
Jika Glagah Putih menjadi kagum bahwa keadaan Agung Sedayu demikian cepat pulih kembali, maka Rudita sama sekali tidak heran. Ia tahu pasti, apakah yang menyebabkan Agung Sedayu nampak seperti orang sakit, sehingga ia pun tahu pasti, bahwa anak muda itu akan ce¬pat sembuh, pulih dan bahkan berkembang.
Tetapi Rudita tidak pernah mengatakan kepada Gla¬gah Putih. Yang diketahuinya itu disimpannya saja dida¬lam hatinya yang bertambah pahit, bahwa didunia ini, kekerasan telah berkembang, semakin pesat. Seti¬dak-tidaknya pada satu orang yang dikenalnya dengan baik. Agung Sedayu.
Ketika mereka berada disawah, maka maka mereka tidak terlepas dari pengawasan orang-orang yang diperin¬tahkan oleh Sabungsari mengikutinya. Dua orang dian¬tara mereka, yang berjalan lewat pematang disebelah gubug kecil disudut kotak sawah Ki Waskita, memandang saja ke arah gubug itu tanpa berkedip.
“Apakah kita dapat bertindak sekarang,” berkata salah seorang dari mereka.
“Menangkap Agung Sedayu?” bertanya yang lain.
“Ya. Ia berada digubug bersama Glagah Putih dan anak Ki Waskita. Aku kira, kedua anak muda itu sama sekali tidak akan berpengaruh.”
“Tetapi disini banyak orang yang sedang bekerja disawah,” berkata yang lain.
“Apa yang dapat mereka lakukan? Dengan sekali sentuh mereka akan pingsan.”
“Tetapi salah seorang dari mereka akan memukul isyarat, atau berlari memanggil Ki Waskita.”
Kawannya mengangguk-angguk. Jika demikian, maka mereka tentu akan gagal, dan barangkali mereka akan mengalami kesulitan meskipun mereka berlima akan bertindak bersama-sama.
“Jadi kapan kita dapat berbuat sesuatu. Kita akan banyak kehilangan waktu. Pada suatu saat, Sabungsari tidak akan sabar lagi, sehingga ia akan menyusul kita dan menganggap kita tidak mampu melakukan tugas yang diberikannya kepada kita.”
“Kita mempunyai mulut untuk menjelaskan. Aku kira Sabungsari agak lebih mudah diajak berbicara dari Ki Gede Telengan yang garang itu. Anak muda itu dapat melihat persoalan dengan lebih baik dan mapan.”
Kawannya tidak menyahut. Tetapi ia mengang¬guk-angguk kecil. Sementara kakinya melangkah sema¬kin cepat.
Dalam pada itu, Agung Sedayu yang duduk diatas gubug sambil memegangi beberapa ujung tali yang dapat menggerakkan orang-orangan disawwh telah melihat kedua orang itu. Tiba-tiba saja dadanya bergetar, seolah-olah kedua orang itu langsung menyentuh firasatnya, bahwa keduanya akan berbuat kurang baik terhadap¬nya.
Agung Sedayu justru menjadi berdebar-debar. Pera¬saan itu merupakan gejala baru dalam ungkapan pengenalnya atas keadaan disekitarnya. Suatu hubungan baru dari getar alam yang besar dengan getar alam kecil didalam dirinya.
Dengan demikian Agung Sedayu menjadi termangu-mangu. Ia merasakan pengaruh yang langsung pada dirinya, meskipun ia belum dengan sengaja menang¬kap maknanya. Seolah-olah perasaannya menjadi sema¬kin tajam dan firasatnya menjadi semakin cerah mene¬rangi perasaannya itu.
Tetapi Agung Sedayu masih diliputi oleh kekaburan arti dari firasatnya itu, karena yang terjadi adalah sesuatu yang baru baginya. Ia masih memerlukan waktu untuk mencernakannya.
Dengan demikian, Agung Sedayu sama sekali tidak berbuat sesuatu. Ia masih harus meyakinkan diri, bahwa yang terasa itu bukannya sekedar prasangka.
Namun perasaan itu seakan-akan telah memperingat¬kannya, agar ia menjadi lebih berhati-hati. Agaknya orang-orang yang mendendamnya itu terdapat di-mana-mana. Setiap saat mereka dapat menyerangnya dan bahkan membunuhnya.
Ada diantara mereka yang dengan jantan menantang¬nya perang tanding. Tetapi tentu ada diantara mereka yang merunduknya dengan diam-diam dan menyerang¬nya dari belakang.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia berpaling, dilihatnya Rudita berjalan menyusuri pema¬tang dengan goprak ditangan. Nampaknya anak itu tidak pernah dibebani perasaan seperti yang sedang mem¬bebani dirinya. Tidak ada rasa permusuhan dengan siapapun juga. Tidak ada dendam dan tidak ada kebencian.
Sejenak Agung Sedayu termangu-mangu. Disampingnya Glagah Putih juga sedang sibuk dengan tali-tali penarik orang-orangan disawah. Kadang-kadang anak muda itu berteriak nyaring mengusir burung-burung yang menukik dalam kelompok yang besar.
Sambil menarik tali-tali itu tiba-tiba saja Glagah Putih berkata, “He, Kakang. Apakah aku pernah mengatakan kepadamu, bahwa dua orang telah mencarimu?”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Pertanyaan itu sangat menarik perhatiannya. Sambil menggeleng ia menjawab, ”Seingatku, kau belum mengatakannya Glagah Putih.”
“Ah. Kau tentu lupa Kakang. Aku tentu sudah menga¬takan bahwa ketika kau sakit, dua orang datang ke gubug ini dan bertanya tentang kau. Mereka mengaku dua orang sahabatmu.”
“Apakah Rudita mengenal mereka?” bertanya Agung Sedayu.
“Rudita tidak, tidak mengenal mereka. Aku kira keduanya adalah orang-orang dari Tanah Perdikan Meno¬reh yang kebetulan sedang lewat.”
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Diluar sadarnya dilayangkan pandangan matanya kekejauhan, melayang diatas batang-batang padi yang sedang mengu¬ning.
Dikejauhan ia masih melihat bintik-bintik kecil yang bergerak-gerak. Dua orang yang dilihatnya lewat dan menimbulkan firasat yang kurang baik dihatinya. Tetapi ia tidak dapat bertanya kepada Glagah Putih, apakah dua orang yang dimaksud adalah kedua orang yang lewat itu, karena agaknya Glagah Putih tidak sedang memperhatikannya.
Diluar sadarnya, Agung Sedayu mengerutkan kening¬nya, seolah-olah ia sedang memaksa diri dengan memusatkan perhatiannya kepada kedua bintik yang sedang bergerak itu.
Sekali lagi Agung Sedayu menjadi heran terhadap dirinya sendiri. Meskipun kedua bintik itu tetap meru¬pakan dua bintik kecil, namun seakan-akan ia melihat segenap bagian dari bentuk yang kecil itu dengan jelas. Seolah-olah ia melihat setiap garis tubuh dan pakaiannya meskipun dari belakang.
“Aku melihatnya dengan jelas sekali,” Agung Sedayu bergumam didalam hatinya.
Glagah Putih yang sibuk memperhatikan kelompok-kelompok burung gelatik tidak mengetahui, betapa Agung Sedayu justru menjadi gelisah. Ketika ia se¬akan-akan melepaskan pemusatan indrianya atas kedua bintik itu, maka yang nampak padanya tidak lebih dari dua bintik hitam yang semakin kabur.
Sejenak Agung Sedayu merenungi dirinya sendiri. Dengan dasar pengetahuan yang ada padanya, ia men¬coba menelusuri dirinya. Meskipun baru permukaannya saja, tetapi ia sudah mengalami akibat dari isi kitab yang dibacanya.
Agung Sedayu kemudian menundukkan kepalanya. Kini ia dengan sengaja memusatkan perhatiannya pada indera pendengarannya.
Ternyata seperti pada penglihatannya, maka pendengarannyapun rasa-rasanya menjadi semakin tajam. Ia mendengar dengung diudara, seolah-olah ia berada didalam lingkungan ribuan burung gelatik yang sedang berterbangan. Bahkan angin yang lembutpun terdengar berdesir ditelinganya, bagaikan arus yang dapat dikenal¬nya dengan pasti, laju sentuhannya pada daun-daun padi yang sedang menguning itu.
Agung Sedayu kemudian menjadi yakin. Dasar-dasar pengenalannya atas ilmu yang tertulis dalam kitab Ki Waskita itu telah memberikan pengaruh atas ilmunya sen¬diri. Nampaknya ada sentuhan timbal balik, sehingga yang sudah ada itu menjadi semakin jelas nampak war¬nanya. Namun Agung Sedayu pun sadar, bahwa ia masih belum menemukan yang baru sebelum ia dengan tekun menangkap makna dari isi kitab itu, bab demi bab. Dan ia pun sadar, bahwa tidak semua bab dapat dipahami mak¬nanya dengan sebaik-baiknya, karena pada dasarnya, wadah yang ada hanya dapat diisi dengan yang paling sesuai.
“Yang aku perlukan kemudian adalah waktu yang panjang,” desis Agung Sedayu didalam hatinya. Namun yang sudah dirasakannya itu pun merupakan kurnia yang akan sangat berguna baginya menghadapi kesulitan-kesu¬litan yang nampaknya masih akan berkepanjangan.
Perasaan terima kasihnya itulah yang justru mem¬perteguh niat Agung Sedayu untuk memilih jalan yang paling baik yang dapat dilakukannya, meskipun yang paling baik itu masih belum mencapai nilai setingkat dengan yang dapat dicapai oleh Rudita. Namun Agung Sedayu pun mengerti, bahwa jika ia bersungguh-sungguh, maka yang ada padanya itu pun akan berguna bagi sesama.
Yang terjadi itu, ternyata telah mendorong Agung Sedayu untuk mengenal dirinya lebih banyak lagi. Tetapi ia sadar, bahwa ia tidak dapat melakukannya pada saat itu. Apalagi ketika kemudian Rudita yang menghalau burung dengan goprak dipematang, telah naik pula ke gubug kecil itu, sehingga Agung Sedayu harus menyesuaikan dirinya dengan kehadiran Rudita.
Ketika anak muda itu pun kemudian berbicara tentang jenis-jenis burung yang sering merusak tanaman. Selain burung gelatik, juga burung emprit dari berma¬cam-macam jenis.
Pembicaraan itu baru terhenti ketika seseorang datang sambil membawa gendi dan bakul makanan bagi mereka.
Sejenak kemudian ketiganya telah disibukkan dengan kiriman yang diantar untuk mereka. Alangkah sejuknya minum air kendi dan alangkah nikmatnya makan dengan kuluban diantara batang-batang padi yang sudah mulai menguning
Setelah makan, mereka masih berada disawah untuk beberapa lamanya. Ketika langit menjadi merah dan burung-burung telah terbang kembali ke sarangnya, maka ketiga anak muda itu pun turun dari gubugnya dan berja¬lan menyusuri pematang.
Ternyata bahwa dari gubug-gubug yang lain, kawan-kawan Rudita juga sudah meninggalkan sawah¬nya. Bahkan ada diantara mereka kanak-kanak yang berlari-lari kecil menyusuri pematang langsung pulang ke rumah masing-masing.
Tetapi Rudita, Agung Sedayu dan Glagah Putih tidak langsung pulang kerumah. Bersama beberapa orang kawan yang sebaya mereka singgah disungai untuk mem¬bersihkan badan yang berkeringat.
Alangkah gembiranya anak-anak muda yang sedang mandi disungai. Sebagian dari mereka naik kebendungan dan berenang berkejar-kejaran. Yang lain sempat mencuci kain panjangnya yang kotor di gerojogan dibawah bendungan.
Rudita sendiri tidak ikut kejar-kejaran bersama kawan-kawannya. Tetapi ia pun nampak gembira. Bahkan sekali-sekali ia ikut berteriak memanggil kawannya yang sedang berenang kian kemari.
Namun bagaimanapun juga, Rudita nampak jauh lebih dewasa dari kawan-kawan yang umurnya sebaya. Meskipun ia terlibat juga dalam gurau yang segar itu, namun ia nampak menguasai seluruh kesadarannya dalam kegembiraannya.
Dalam pada itu, Agung Sedayu yang merasa sangat canggung. Glagah Putih dengan segera dapat menye¬suaikan diri. Ia masih sempat ikut berenang diantara anak-anak muda yang lain dibendungan. Sekali-sekali ia melambai-lambaikan tangannya memanggil Agung Seda¬yu dan Rudita yang berdiri di tanggul.
Dalam keadaan yang demikian itulah, Agung Sedayu merasa, bahwa ia telah kehilangan sebagian dari masa-masa hidupnya yang paling menggembirakan. Jika anak-anak muda itu sempat bergurau tanpa kecemasan apapun juga, maka ia setiap kali harus berhadapan dengan keadaan yang sama sekali tidak diinginkannya. Perkelahian dan pertempuran.
Masa mudanya ternyata telah dirampas oleh dendam dan kebencian, sehingga seakan-akan masa-masa muda baginya adalah masa yang penuh dengan bahaya dan kesulitan. Dimana-mana dijumpainya kekerasan dan benturan kekuatan. Dimana-mana ditemuinya darah dan kematian.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat Glagah Putih bergurau diantara kawan-kawannya yang belum lama dikenalnya.
“Anak itu harus mengalami masa-masa yang berbe¬da dengan masa-masa yang pernah aku jalani. Biarlah ia menempuh dua jalur bersama-sama. Meningkatkan ilmu¬nya, tetapi juga masa-masa yang gembira itu tidak akan terlampaui. Ia harus terhindar dari permusuhan yang menentukan seperti yang pernah aku alami.” Berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri.
Sekilas dikenangnya Swandaru yang memutuskan masa mudanya dengan jalan yang dipilihnya sendiri. Sejak sebelum kawin Swandaru telah menyerahkan seba¬gian besar dari waktunya untuk membangun Sangkal Putung, sehingga Kedemangan itu menjadi sebuah Kademangan yang bukan saja subur, tetapi juga mengalami banyak perubahan-perubahan yang memberikan arti yang besar.
Meskipun Swandaru tidak mempergunakan masa-masa mudanya untuk bergembira dan bergurau bersama alam sekitarnya, namun ia telah menemukan kepuasan tersendiri didalam hidupnya.
Agung Sedayu bagaikan tersadar dari angan-angan¬nya ketika ia merasa sepercik air mengenai kakinya. Agaknya mereka yang sedang berkejaran tanpa sengaja telah memercikkan air ke tanggul dan mengenai Agung Sedayu.
“Marilah,” anak itu justru tertawa, ”terjunlah.”
Agung Sedayu memaksa dirinya untuk tersenyum. Tetapi ia menggeleng lemah.
Yang dilakukan oleh Agung Sedayu kemudian hanya¬lah mencuci kaki, wajah dan tangannya dibawah ben¬dungan diantara kawan-kawannya yang sedang mencuci pakaiannya yang kotor oleh lumpur.
“Kau juga akan mencuci?” bertanya seorang kawannya.
“Tidak,” sahut Agung Sedayu. ”Dimalam hari, pakaian itu tidak dapat dijemur.”
“Tapi besok pagi tentu sudah hampir kering. Dengan panas matahari pagi, sebentar saja pakaian itu sudah akan dapat dipakai ke sawah lagi.”
Agung Sedayu tidak menjawab. Ia hanya mengang¬guk saja sambil menggosok tangan dan kakinya.
Namun dalam pada itu, ternyata Agung Sedayu benar-benar telah pulih kembali. Tidak ada lagi yang tera¬sa mengganggunya. Bahkan badannya terasa menjadi semakin ringan. Apalagi Agung Sedayu pun telah menya¬dari, bahwa pengaruh kitab yang baru dibacanya tanpa menelah maknanya itu, membuat segala ilmunya menja¬di semakin meningkat.
Bahkan Agung Sedayu pun merasa bukan saja keta¬jaman inderanya, kedalaman firasatnya dan penga¬matannya. Tetapi juga ilmu yang bersangkut paut dengan kanuragan.
“Pengaruh itulah yang harus aku mengerti,” berkata Agung Sedayu didalam hatinya, “pemanfaatannya akan lebih cepat daripada aku harus mendalami maknanya dan menemukan unsur-unsur bagi kesempurnaan ilmuku.”
Dimalam hari, rasa-rasanya Agung Sedayu selalu dibayangi oleh perkembangan didalam dirinya, sehingga ketika Glagah Putih telah tertidur nyenyak, ia justru bangkit dan duduk dibibir pembaringan.
Sejenak Agung Sedayu merenung. Dicobanya untuk mengerti, bahwa benar-benar telah terjadi peningkatan didalam dirinya.
Ketika Agung Sedayu memandang berkeliling, dan terpandang olehnya gledeg bambu,maka tiba-tiba saja ia ingin melakukan sesuatu.
Namun Agung Sedayu menjadi ragu-ragu. Disampingnya Glagah Putih tidur nyenyak. Jika ia terbangun, maka usahanya untuk mengetahui tentang ilmunya yang terpancar pada sorot matanya tentu akan terganggu.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya pintu yang meskipun tertutup, tetapi belum diselarak.
“Aku akan keluar saja,” katanya didalam hati.
Dengan hati-hati, Agung Sedayu pun keluar dari bilik¬nya. Kemudian turun ke serambi dan menyeberangi longkangan samping. Sejenak ia berdiri termangu-mangu. Namun kemudian ia yakin, bahwa tidak seorangpun yang terbangun. Bahkan seandainya ada seseorang yang meli¬hatnya keluar, maka ia dapat saja mengatakan pergi ke pakiwan.
Untuk beberapa saat Agung Sedayu berdiri tegak dibayangan perdu disebelah longkangan. Dipandanginya keadaan disekelilingnya yang gelap. Dari kejauhan nam¬pak cahaya lampu yang memancar dari pendapa menerangi halaman samping.
“Aku harus segera mulai,” katanya didalam hati, ”sebelum Glagah Putih terbangun dan mencari aku.”
Menelusuri bayangan yang gelap, Agung Sedayu pergi ke halaman belakang rumah. Sejenak ia meyakinkan diri, bahwa tidak ada seorangpun yang ada disekitarnya.
Baru kemudian Agung Sedayu mencari sasaran. Diletakkannya sebuah batu padas dibawah sebatang po¬hon. Kemudian ia mengambil jarak beberapa langkah, sambil menyilangkan tangannya ia duduk dengan tenang memandang batu padas sebesar kepala kerbau itu.
Didalam goa yang dindingnya dilukisi gambar-gam¬bar yang menunjukkan urutan jenjang ilmu yang diwarisi oleh ayahnya, ia telah berhasil menguasai kekuatan yang terpancar dari sorot matanya dengan sentuhan wadag. Dengan tidak sengaja ia telah merusakkan sebagian dari lukisan yang ada didinding goa, terpahat pada batu padas. Tatapan matanya seakan-akan telah berhasil memecah¬kan lapisan-lapisan batu padas dinding goa itu.
Tetapi kini Agung Sedayu menghadapi sebongkah batu padas. Ia tentu dapat memecahkan lapisan-lapisan luar dari batu padas itu. Meskipun perlahan-lahan dan lama, ia akan dapat sampai pada suatu ketika, batu padas itu hancur.
Namun kini Agung Sedayu ingin melihat, perkem¬bangan dari kemampuan rabaan wadag dari sorot mata¬nya. Dengan alas yang kurang dipahami, yang tumbuh oleh pengaruh isi kitab yang belum ditekuni maknanya, namun yang sudah meresapi dasar-dasar ilmu yang sudah ada padanya, ia merasakan perubahan-perubahan pada dirinya.
Sejenak Agung Sedayu memusatkan segenap kekuatan jiwanya dalam pemusatan pikiran. Dipandangi¬nya batu padas dalam kegelapan, namun yang dapat dili¬hatnya dengan jelas.
Pada tahap pertama, tiba-tiba saja Agung Sedayu merasakan jenis kemampuan yang dapat dipisahkannya. Ia dapat menekan dengan sorot matanya. Namun dengan kekuatan niat dan kehendaknya, ia dapat mengangkat batu itu dan memindahkannya.
Yang pertama-tama dilakukan oleh Agung Sedayu adalah mengangkat batu itu sehingga batu itu seolah-olah mengapung diudara. Kemudian dengan kekuatan hen¬takkan pada sorot matanya yang mempunyai sentuhan wadag itu, maka ia telah meremas batu padas itu.
Sejenak AgungSedayu duduk diam seperti patung. Da¬lam pengerahan kekuatannya, maka keringat mulai mengaliri tubuhnya. Giginya terkatup rapat sementara darahnya seolah-olah mengalir lebih cepat.
Untuk beberapa saat lamanya, batu padas itu tetap mengapung diudara. Namun kemudian telah terjadi sesuatu karena kekuatan remas sorot mata Agung Sedayu.
Seperti batu padas didinding goa itu, maka telah terja¬di pecahan-pecahan kecil pada kulitnya. Beberapa bagian menjadi retak. Bahkan kemudian bukan saja pada kulit¬nya, tetapi retak pada batu padas itu menyusup menghun¬jam sampai ke pusatnya.
Agung Sedayu yang mengerahkan kekuatan matanya pada daya angkat dan daya tekan itu tiba-tiba mengendorkan tenaganya. Perlahan-lahan. Kemudian melepaskan¬nya sama sekali.
Batu padas itu pun turun perlahan-lahan. Namun ketika Agung Sedayu melepaskannya, maka batu padas itu tiba-tiba bagaikan terurai menjadi debu, berhamburan diatas tanah.
Dada Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Sejenak ia masih duduk diam. Diaturnya jalan pernafasannya yang memburu.
Perlahan-lahan Agung Sedayu berdiri. Ia merasa kelelahan mencengkamnya, sehingga rasa-rasanya untuk melangkah beberapa langkah, tubuhnya tidak lagi terang¬kat.
Sejenak ia berdiri termangu-mangu. Ia sadar, bahwa ia benar-benar telah menemukan peningkatan pada ilmu¬nya, seperti pada penglihatan dan pendengarannya.
Beberapa kali ia telah membenturkan kekuatan tata¬pan matanya dengan ilmu yang tinggi pula. Ia berhasil mengalahkan beberapa orang yang dianggap tidak terka¬lahkan. Yang terakhir dengan kekuatan tatapan matanya ia berhasil menekan dan menghimpit lawannya yang telah melepaskan ilmu yang kurang dimengerti, seolah-olah ia dapat mengguncang bumi dan merontokkan isi dada. Bahkan rasa-rasanya Agung Sedayu dapat melontarkan udara yang panas dengan sorot matanya itu.
Agung Sedayu masih berdiri ditempatnya. Sekilas ia mencoba membaca pahatan ingatannya pada bagian-ba¬gian kitab yang dibacanya. Didalam bab yang tidak ter¬lalu panjang, ia memang menemukan lambaran ilmu seperti yang telah berhasil dikuasai dasar-dasarnya itu, meskipun isyarat, laku dan penguasaannya agak berbeda dengan yang dilakukannya.
Tetapi karena Agung Sedayu belum mempelajarinya, maka ia tidak berani merenunginya terlalu lama, agar tidak mengganggu dasar kekuatan yang sudah ada didalam dirinya. Ia memerlukan waktu untuk mencari hubungan, kesamaan dan mungkin saling menyelip, melengkapi yang satu dengan yang lain, sehingga akhirnya dapat luluh menjadi satu, bukan sekedar saling bersambung tanpa ikatan.
“Biarlah yang terjadi sekedar penegasan warna,” berkata Agung Sedayu didalam hatinya, ”justru seharus¬nya memang demikian sebelum terjadi perubahan apapun pada warna itu.”
Sesaat kemudian, maka Agung Sedayu pun meninggal¬kan batu padas yang telah menjadi debu itu. Ia sudah ya¬kin, bahwa meskipun hanya selapis tipis, tetapi ilmunya memang sudah terpengaruh dan meningkat.
Seperti saat ia keluar dari rumah, maka ia pun ma¬suk kembali dengan sangat hati-hati. Perlahan-lahan ia membuka pintu dan melangkah masuk. Kakinya seolah-olah menjadi semakin ringan, sehingga sama sekali tidak menimbulkan suara apapun juga. Selarak pin¬tu yang dipasangnyapun bagaikan tidak saling bersentu¬han dengan uger-uger, karena sama sekali tidak ter¬dengar desir yang paling halus sekalipun.
Demikian pula ketika Agung Sedayu membuka pintu biliknya. Ketika pintu itu terbuka, dilihatnya Glagah Putih masih tidur dengan nyenyaknya.
Dengan hati-hati Agung Sedayu duduk dibibir pem¬baringannya. Terbersit kebanggaan didasar hatinya yang paling dalam. Dengan peningkatan ilmunya, maka ia akan menjadi seorang anak muda yang pilih tanding. Jarang sekali terdapat diseluruh Pajang, seorang anak muda yang seusia dengan dirinya, telah berhasil menguasai ilmu seperti yang dikuasainya.
Tetapi ketika Agung Sedayu memandang pintu bilik¬nya, dan menyadari bahwa ia berada dirumah seorang anak muda bernama Rudita, maka tiba-tiba saja kepalanyamenunduk dalam-dalam. Ia merasa malu kepada dirinya sendiri, bahwa ia sempat berbangga atas ilmu yang telah dimilikinya.
“Kebanggaan yang tidak terkendali, akan dapat menyesatkan jalan,” berkata Agung Sedayu didalam hatinya, ”seharusnya aku tidak berbangga, tetapi ber¬sukur dan selalu melihat ke dalam diri, apakah aku masih tetap berada dijalan yang lurus.”
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dalam keadaan yang demikian, terasa dirinya menjadi semakin dekat dengan penciptanya. Ia merasa bersukur berlipat ganda, bukan saja karena ia telah menerima kesempatan untuk mempelajari ilmu dan memahaminya, tetapi yang lebih penting, bahwa seolah-olah ia selalu disertai oleh sentuhan tangan-Nya, untuk selalu meluruskan jalannya.
Dan hubungan dengan Yang Maha Tinggi itu menjadi semakin akrab jika Agung Sedayu merasa, bahwa meski¬pun ia tidak dapat lagi berada dibawah naungan sayap orang tuanya, namun ia seakan-akan selalu berada dibawah kasih yang tidak terhingga besarnya, yang melihat dan memenuhi segala keinginannya yang sesuai dengan kepentingannya.
Sejenak kemudian, Agung Sedayu pun membaringkan dirinya disisi Glagah Putih. Sesaat ia masih sempat mengenang tentang banyak hal. Namun kemudian, matanyapun segera terpejam oleh letih dan kantuk.
Ketika matahari terbit, terasa betapa cerahnya langit. Seperti biasa Agung Sedayu mempersiapkan diri¬nya untuk pergi bersama dengan Rudita kesawah. Mes¬kipun ada orang-orang lain yang dapat melakukan peker¬jaan itu disawah, tetapi agaknya anak-anak muda itu lebih senang mengisi waktunya dengan duduk didalam gubug kecil sambil menarik tali yang dapat menggerakkan orang-orangan disawah untuk menakut-nakuti burung. Jika mereka jemu menarik tali-tali itu, maka mereka ber¬jalan menyusuri pematang, sambil menghentak-hen¬takkan goprak ditangan mereka. Bunyinya yang meme¬kakkan telinga mengusir burung-burung yang akan hinggap dibatang padi yang sedang menguning.
Namun nampaknya, ada sesuatu yang sedang dipikir¬kan oleh Agung Sedayu, sehingga sikapnya agak berbeda dengan hari-hari sebelumnya.
“Apakah kau sakit lagi Kakang?” bertanya Glagah Putih.
Agung Sedayu terkejut mendengar pertanyaan itu. Dengan serta merta ia pun menjawab, ”Tidak. Kenapa?”
“Kakang nampak banyak merenung.”
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Ketika ter¬nyata tidak ada orang lain, maka ia pun berkata, ”Kita sudah terlalu lama pergi.”
“He?” Glagah Putih mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, ”Ya. Kita sudah lebih dari sepekan berada disini. Tetapi, apakah kita akan segera kembali?”
“Rasa-rasanya aku sudah rindu pada padepokan ke¬cil itu.”
Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi se¬olah-olah diluar kehendaknya, maka ia pun berkata, ”Tetapi, apakah yang telah kita lakukan selama kita disini”
Pertanyaan itu memang tidak terduga-duga. Sejenak Agung Sedayu justru terdiam. Bagi dirinya sendiri, waktu yang diperlukan telah dipergunakan sebaik-baiknya. Ia telah berhasil menyelesaikan seluruh isi kitab rontal yang dipinjamnya dari Ki Waskita. Ia tinggal memilih, mana-kah yang sesuai dengan pribadinya, dengan ilmu yang sudah ada padanya lebih dahulu dari isi kitab rontal itu, dan yang memungkinkan akan dapat luluh didalam diri¬nya. Sehingga dengan demikian, waktu yang berikutnya, dengan sekedar berada disawah menghalau burung, adalah waktu yang tersia-sia. Meskipun dengan demikian, ia menjadi semakin akrab dengan alam dan semakin mengenal hubungan kasih Penciptanya dengan menga¬gumi ciptaan-Nya, namun rasa-rasanya ia ingin cepat berada kembali dipadepokannya.
Namun, apakah yang sebenarnya telah diperoleh Glagah Putih? Anak itu tentu mengharap untuk menda¬patkan suatu pengalaman dari perjalanannya. Tetapi yang didapatkannya, hanyalah sekedar menunggui bu¬rung disawah.
“Apa boleh buat,” berkata Agung Sedayu, ”seti¬dak-tidaknya ia sudah melihat padukuhan-padukuhan yang dilaluinya pada jarak Jati Anom, Tanah Perdikan Menoreh dan padukuhan ini. Selanjutnya, demikian ia sampai dipadepokan, maka ia akan mendapat latihan-la¬tihan berikutnya yang barangkali cukup berat baginya.”
Glagah Putih masih termangu-mangu karena Agung Sedayu tidak segera menjawab. Bahkan kemudian ia mendesaknya, ”Kenapa kau termenung saja Kakang.”
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, ”Glagah Putih. Mungkin pengalaman yang kau dapatkan dengan perjalanan ini memang terlampau sedikit. Tetapi sudah barang tentu, kau akan melakukan perjalanan yang lebih panjang di saat-saat yang lain. Karena itu, maka yang kau peroleh dari perjalanan ini hanyalah sekedar permulaan dari pengalaman-pengalaman yang masih akan panjang. Selebih¬nya, kau sudah terlalu lama tidak melakukan latihan-lati-han khusus untuk meningkatkan ilmumu.”
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, ”Terse¬rahlah kepada Kakang. Bagiku, agaknya merupakan pilihan yang sama beratnya. Tetapi apakah lati¬han-latihan itu harus dilakukan didalam sanggar pade¬pokan?”
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.
Agaknya Glagah Putih ingin untuk mendapat pengalaman lebih banyak lagi dari sebuah perjalanan. Mungkin ia ingin melihat padukuhan-padukuhan kecil yang terpencil. Mungkin ia masih ingin mendaki lereng Gunung, melihat sesamanya berjuang melawan alam didaerah rawan,atau pengenalan-pengenalan yang lain.
Karena itu, hampir diluar sadarnya Agung Sedayu berkata, ”Kita masih akan menempuh perjalanan kem¬bali. Mungkin diperjalanan pulang, kita akan melihat lebih banyak dari saat kita berangkat. Kita tidak akan lagi bersama Ki Waskita, sehingga kita dapat memilih jalan kita sendiri.”
Glagah Putih agaknya tertarik pada kata-kata Agung Sedayu itu. Dengan kening yang berkerut ia berkata, ”Apakah kita akan melingkari Gunung Merapi dan Mer¬babu?”
“Ah, tentu tidak Glagah Putih. Kita akan kembali ke Jati Anom melalui jalan yang tidak terlalu jauh meskipun bukan yang paling dekat. Mungkin kita akan menerobos hutan yang lebat, melalui padukuhan-padukuhan terpen¬cil dilereng Gunung Merapi sebelah Selatan.”
“Kenapa kita tidak memilih jalan lain? Kita menyelusuri kali Progo. Kemudian kita meyeberang ham¬pir di ujungnya. Melintasi daerah disebelah Barat Gunung Merbabu. Kakang, kita dapat melalui Banyu Biru. Kita akan sampai di Jati Anom dari arah Utara.”
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Ia menyadari, bahwa perjalanan itu tentu akan merupakan perjalanan yang berat bagi Glagah Putih, dan baginya akan merampas waktu terlalu banyak. Keinginannya untuk mulai melihat makna dari kalimat-kalimat yang terpahat diingatannya rasa-rasanya sangat mende¬saknya.
Karena itu, maka jawabnya, “Glagah Putih, dikesempatan lain, aku akan membawamu ke Banyu Biru. Ke Rawa Pening dan daerah-daerah disekitamya yang aku pun belum pernah melihatnya. Tetapi kali ini kita akan menempuh perjalanan yang lebih dekat. Kita akan menelusup daerah-daerah yang belum pernah kita lihat. Tapi sudah barang tentu, daerah-daerah yang tidak begitu jauh. Mungkin kita akan muncul didaerah yang disebut memiliki sebatang pohon Mancawarna. Sebatang pohon yang besar dan mempunyai beberapa jenis bunga. Kita dapat memilih jalan memintas, atau kita dapat mengulur perjalanan kita beberapa ribu tonggak.”
Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi jawabnya, ”Kita akan berada diperjalanan tidak lebih dari dua hari satu malam.”
“Apakah kita akan menyusuri jalan yang lebih pan¬jang? Kita akan meninggalkan kuda-kuda kita disini, sehingga kita akan menempuh perjalanan lebih lama.”
“Ah, Kakang aneh. Nanti Ayah dan Kyai Gringsing akan bertanya, kenapa kita tidak membawa kuda-kuda kita kembali. Mungkin kuda-kuda itu diperlukan setiap saat.”
Agung Sedayu tersenyum. Katanya, ”Jika demikian, kita akan berkuda. Tetapi mungkin kita akan menuntun kuda kita disepanjang jalan. Kita akan melalui jalan-jalan sempit. Mengenal daerah-daerah terpencil.”
“Apa yang dapat kita lihat dilereng Gunung Merapi? Disaat kita berangkat, kita sudah banyak melihatnya.”
“Lalu, apakah kau mempunyai keinginan lain kecuali melingkari Gunung Merbabu dan Merapi?”
“Jika Kakang tidak setuju, aku tidak akan memaksa untuk melalui Banyu Biru dan Rawa Pening. Tetapi bagai¬mana jika kita kembali ke Jati Anom dengan menyusuri Pantai Selatan? Kita akan mengikuti Kali Progo sampai ke batas muaranya. Kemudian kita akan menuju ke Timur menyusuri Pantai.”
“Kau kira kita akan dapat lewat daerah Pandan Segegek, daerah berbatu-batu padas diseberang Kali Opak.”
“Kita tidak akan menyeberangi Kali Opak. Kita akan berbelok ke Utara disebelah Barat Kali Opak, kemudian menyeberang ditempat yang memungkinkan, disebelah Utara Pegunungan Sewu.”
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Hatinya menjadi tidak tenang karena permintaan Glagah Putih itu. Tetapi ia pun tidak sampai hati untuk selalu menolak¬nya saja.
Menyelusuri Pantai Selatan, telah mengingatkannya kepada orang-orang dari Pesisir Endut yang meskipun letaknya tidak terlalu dekat. Apalagi mereka sedang dibebani oleh perasaan dendam tiada taranya. Bukan karena Agung Sedayu ketakutan menghadapi perang tan¬ding, tetapi ia masih selalu dibayangi oleh keseganan untuk menumbuhkan akibat yang justru dapat memper¬dalam dendam itu.

Laman: 1 2 3 4 5 6

Telah Terbit on 10 Januari 2009 at 19:05  Comments (169)  

The URI to TrackBack this entry is: https://adbmcadangan.wordpress.com/buku-ii-19/trackback/

RSS feed for comments on this post.

169 KomentarTinggalkan komentar

  1. SIAPA BILANG HANYA SATU HALAMAN SAJA ……………………… ITU SATU KITAB RONTAL UTUH…TUH.

    THANKS KI GD

  2. Terimakasih Ki GD RoNtal 119 wis RampuNg ta UndUH …

  3. Soal ngunduh, Ki Widura tidak pernah keduluan yang lain… karena saya selalu memata-matai penghuni padepokan ….

    Aku tahu kapan Ki Gede nagun dan tidur ..
    Aku tahu dimana Ki Gede makan siang dan malam
    Aku tahu dengan siapa Ki Gede nonton layar
    Aku tahu jam berapa KI GEDE MENURUNKAN ILMUNYA ..

    Hee hee hee

    Thanks Ki Gede sekali.

  4. Wah….ketipu aku, tak kiro isih sunyi…senyap…sepi….jebule wis ramai….pantes sunyi jebule wis podo entuk kitab dan sudah pada mempelajari ….pantes sunyi…..

    Teng yu Ki GeDe….

  5. Maturnuwun Ki Gede….sampun kulo sedot 119…mantab..

  6. bener pitutur’e kangmas iga bakar kuwi mas sidanti,

    jumlah cantrik iku bahasa obamane ‘page view’, saben page di load/reload karo aji rog-rog IE utowo karo jurus firefox lan sakpanunggalane, dus diitung sak cantrik.

    dadine jumlah cantrik kuwi luwih podho karo ping piro ae poro cantrik mlebu metu padepokan admb iki,

    istilahe,
    trayek mataram – sangkal putung sayah suwe saya akeh sing ngliwati, sayah alus dalane, sayah ilang wingite.

    nek wes ilang wingite, dus sak wayah-wayah iso ngadep nang blog of the day’ne paseban wordpress.


    luukir

  7. Wis jan.
    Mau esuk isih jpg awan iki wis dadi ppt.

  8. Wah adpis ki Gede memang muanjur, siang ini kesepian itu sudah sirna… terimakasih ki Gede.. obat sepinya sudah diunduh…

  9. matur nuwun ki….

  10. Matur nuwun, sedot menyedot sedang berlangsung.

  11. Walah, kok cuma sampe halamana 13 aja rontal 119 ini.
    Tolong Ki GD, kekurangannya dimana? Please … opo poro cantrik bisa nulungi saya?

    Matur nuwun

  12. Alhamdulillah, setelah saya re-sedot, muncul semua.

    Hmmm, tambag semangat lagi. Tadi saya sudah nglokro jeh.

  13. pancen Ki Gede Kreatif. Apa tiap hari minum “………..” (sori ndhak diarani iklan)

  14. Oh…….ngono to…..?????
    Jebul Ki Waskita sadar yen tau kleru soal Kiai Gringsing, njur diralat ana episode iki.
    Ya wis…..mudheng aku….!!!
    ora sah takon Ki Menggung maneh.

    • wah ki mbleh nembe tumbas udheng to 😀

      • Udheng bathik .

        • Kripik uceng saking mBlitar,
          uenak tenan lho…..!!!!

          • mBlitar sak napane Sumber Udel ki Mbleh ???


Tinggalkan komentar