Buku 19

Baginya setiap hidung akan dapat mengucapkan sebutan-sebutan itu. Dengan demikian, maka apabila ia terpengaruh olehnya, berarti kegagalan pula baginya.

Namun prajurit itu pun tidak lagi dapat bertindak segarang semula. Di dalam hati kecilnya tersimpan pula pengakuan, bahwa anak-anak muda itu pasti bukan anak kebanyakan. Tetapi apabila mereka benar-benar adik Untara, apalagi putera Ki Gede Pemanahan, apakah pula kerjanya menyelusuri hutan sampai ke Kademangan Prambanan tanpa pengawalan seorang prajurit pun.

Tetapi kini prajurit itulah yang terkejut, ketika Swandaru membentaknya, “He, apakah kau tidak percaya?”

“Tidak,” sahutnya dengan serta merta.

Swandaru menggeleng-gelengkan kepalanya, “Bagaimana Tuan. Apakah kita berkelahi saja.”

“Jangan,” cegah Sutawijaya. Ia kini tinggal mempunyai satu cara untuk mencoba meyakinkan dirinya. Sejenak ia terdiam. Dipandanginya wajah pemimpin prajurit yang datang bersamanya. Tiba-tiba ia berkata, “Kemarilah. Lihat landean tombak pendekku ini. Bukankah kau pandai membaca?”

Prajurit yang dipanggil oleh Sutawijaya itu memandanginya dengan penuh pertanyaan. Ia sama sekali tidak tahu maksud anak muda itu.

“Kemarilah,” panggil Sutawijaya, “mendekatlah.”

Yang terdengar adalah suara pemimpin prajurit yang mengepungnya, “Jangan banyak tingkah. Menyerahlah.”

Tetapi Sutawijaya seakan-akan sama sekali tidak mendengarkannya. Sekali lagi ia berkata, “Kemarilah. Lihat landean tombakku ini.”

Seperti kena pesona pemimpin prajurit yang memihak kepada Sutawijaya itu pun berjalan mendekatinya.

“Kau pandai membaca bukan?” bertanya Sutawijaya.

Prajurit itu menganggukkan kepalanya.

Pada landean itu ternyata tercoreng beberapa huruf yang dipahatkan agak dalam. Sambil menunjuk kepada huruf-huruf itu Sutawijaya berkata, “Baca. Bacalah huruf-huruf ini.”

Prajurit itu masih belum tahu maksud Sutawijaya. Tetapi ia membacanya juga. Diamatinya huruf-huruf yang berjejer-jejer membentuk kata-kata itu. Pa-nglegena, sa-wulu-layar, sa-nglegena, wa-suku dan ka-wulu-layar. “Pasir Sawukir,” gumam prajurit itu.

“Apakah kau pernah mendengar nama itu?” bertanya Sutawijaya.

Prajurit itu menggeleng. Dan pemimpin yang lain berteriak, “He. Apakah kau sedang bermain gila-gilaan?”

“Kau juga belum pernah mendengar nama itu?” bertanya Sutawijaya kepada prajurit di luar lingkaran.

“Nama itu sama sekali tak berarti bagi kami.”

“Baik,” sahut Sutawijaya. Diputarnya landean tombaknya. Di sisi yang lain ternyata tertera beberapa huruf pula. Sambil menunjuk huruf yang tertera itu, maka Sutawijaya berkata, “Sekarang bacalah huruf-huruf ini. Huruf-huruf ini akan menyebut sebuah nama. Nama itu adalah namaku. Kalian dapat percaya atau tidak. Tetapi itu adalah namaku. Seandainya kalian tidak percaya, dan kalian tetap dalam pendirian kalian, maka kalian pagi ini juga pasti akan menjadi bangkai. Burung-burung gagak pasti akan kekucah di pinggir Kali Opak ini. Nama yang akan dibaca oleh pemimpin kalian ini adalah usahaku yang terakhir untuk mencegah perkelahian.”

Kata-kata Sutawijaya itu menyusup ke dalam setiap dada seperti tajamnya tombak yang menyusup ke jantung mereka. Beberapa anak muda menjadi cemas dan ketakutan. Beberapa yang lain setapak demi setapak surut ke belakang.

Tetapi para prajurit yang mengepungnya masih saja tegak di tempatnya. Meskipun ke ragu-raguan semakin besar melanda jantungnya, tetapi mereka masih belum dapat mempercayai sesuatu.

Pemimpin prajurit yang berdiri di samping Sutawijaya itu mengamat-amati huruf demi huruf. Beberapa kali ia mencoba membacanya di dalam hatinya. Nama itu pernah didengarnya. Ya, nama itu telah pernah menggemparkan dada setiap prajurit Pajang. Karena itu, tiba-tiba keringat dingin mengalir melalui segenap lubang-lubang kulitnya. Sejenak ia diam mematung. Diawasinya huruf-huruf itu, dan kemudian diucapkannya nama itu kembali di dalam hatinya.

“Jadi………,” kata-katanya serasa terhenti di kerongkongan.

“Baca,” minta Sutawijaya.

Prajurit itu memandang wajah Sutawijaya. Tiba-tiba prajurit itu melihat seakan-akan wajah itu memancarkan sinar yang menyilaukan. Dengan serta-merta ia menundukkan kepalanya sambil berkata gemetar, “Ampun, Tuan. Ampun. Aku tidak mengenal Tuan sebelumnya. Kalau benar Tuan yang datang di sini, maka sepantasnyalah Tuan yang menghukum kami.”

Orang-orang yang berdiri di sekelilingnya menjadi heran dan terperanjat. Kenapa tiba-tiba pemimpin prajurit itu menjadi pucat pasi seperti mayat.

Pemimpin prajurit yang sedang mengepungnya melihat peristiwa itu dengan dada yang berdebar-debar. Tetapi tanpa disadarinya ia berteriak, “He, kenapa kau menjadi takut seperti melihat hantu. Apakah pada landean tombak itu tertera nama hantu-hantu, atau penjaga hutan dan lereng Merapi? Atau sebuah nama perguruan yang menakutkan, atau sebuah gerombolan penjahat yang mengerikan?”

Tetapi prajurit yang sedang gemetar itu seakan-akan tidak mendengarnya. Ia masih saja berkata, “Tuan. Kami sama sekali tidak mengetahui, dengan siapa kami berhadapan. Kalau kami mengenal Tuan sebelumnya, maka kami tidak akan bersikap seperti ini. Juga kawan-kawan kami dan pasti juga tamu-tamu kami akan bersikap lain. Apalagi anak-anak muda Prambanan ini.”

“He, siapa dia?” teriak beberapa orang prajurit yang tidak sabar menunggu. Sebut namanya, supaya kami segera bersikap.”

Yang terdengar justru suara tertawa Swandaru. Meskipun ia berusaha untuk menahannya, tetapi suara itu meluncur juga dari sela-sela bibirnya.

Agung Sedayu memandanginya dengan kerut-merut di dahinya. Kali ini mereka tidak sedang bergurau. Kalau bukti terakhir ini tidak juga dipercaya, berarti darah akan mengalir di pinggir Kali Opak ini.

Tetapi suara tertawa Swandaru itu segera dapat dihentikannya, seakan-akan ditelannya kembali, meskipun perutnya terasa sakit.

Prajurit-prajurit yang mengepung mereka itu kini sudah menjadi tidak bersabar lagi. Hampir bersamaan mereka berteriak, “Sebut, sebutlah namanya. Apakah kalian sedang bermain-main untuk menakut-nakuti kami. Kalau benar nama itu menggetarkan hatimu. Sebutlah.”

Sutawijaya mengangkat dagunya. Dipandanginya orang-orang di sekelilingnya. Wajah-wajah yang tegang dan penuh pertanyaan. Haspada, Trapsila dan kawan-kawannya seakan-akan membeku di tempatnya. Namun pancaran wajahnya terasa menjadi terlampau tegang.

“Bacalah,” desis Sutawijaya kemudian.

Pemimpin prajurit itu memandanginya dengan ragu-ragu. Tetapi sekali lagi Sutawijaya berkata, “Bacalah.”

Dengan suara bergetar maka prajurit itu pun membaca nama itu, “Sutawijaya yang bergelar Ngabehi Loring Pasar.”

Suara prajurit yang gemetar itu terdengar seperti ledakan Gunung Merapi di telinga orang-orang yang berdiri di sekitarnya. Baik yang berdiri di dalam lingkaran, maupun yang berada di luar kepungan. Sejenak mereka dicengkam oleh suasana yang aneh, sehingga tak seorang pun yang segera dapat menentukan sikapnya. Prajurit yang pemimpin pengepungan itu pun berdiri dengan mulut menganga. Pedang yang di tangannya itu tiba-tiba menjadi bergetar dan hampir-hampir jatuh dari genggamannya.

Sekali lagi dicobanya untuk menatap wajah anak muda yang menggenggam tombak itu. Kemudian beralih kepada anak muda yang disebutnya adik Untara, seterusnya kepada anak muda yang gemuk bulat yang seakan-akan selalu tertawa dalam segala keadaan.

Sutawijaya melihat ketegangan dalam setiap hati. Ia ingin mempergunakan kesempatan itu untuk meyakinkan orang-orang Prambanan tentang dirinya. Bukan karena ia ingin bersombong diri, tetapi dengan demikian ia mengharap para prajurit dan orang-orang Prambanan mengurungkan niatnya untuk menangkapnya. Dengan demikian maka perkelahian pun akan terhindar, dan pertumpahan darah pun dapat disingkiri.

Dengan wajah tengadah anak muda itu pun berkata, “Nah, siapa yang tidak percaya pada tulisan itu? Aku tidak berkeberatan seandainya masih ada yang berkata, bahwa setiap orang dapat saja menulis apa saja pada landean tombaknya. Dapat saja menulis dirinya dengan sebutan aneh-aneh. Mungkin kalian dapat berkata bahwa setiap orang dapat menulis namanya dan menyebutnya sebagai putera Dewa Brahma seperti tersebut di dalam dongeng-dongeng. Atau dapat menyebut dirinya sebagai titisan Wishnu seperti Kresna atau Kekasih Syiwa. Tetapi aku masih mempunyai satu bukti lagi yang akan meyakinkan kalian apabila kalian kehendaki. Aku adalah Sutawijaya putera Ki Gede Pemanahan. Akulah yang pernah membenamkan ujung tombakku ke lambung Arya Penangsang, meskipun tombak itu bukan tombak yang aku pergunakan sekarang. Tombak itu adalah tombak pusaka sipat kandel Kadipaten Pajang, yang bernama Kiai Pleret, dan berlandean panjang, jauh lebih panjang dari tombakku ini. Meskipun demikian, meskipun aku kali ini tidak membawa Kiai Pleret, tetapi apabila kalian tetap dalam pendirian kalian ingin menangkap Sutawijaya, maka sebelum kalian sempat menyentuh pakaianku, maka kalian pasti telah menjadi mayat. Apalagi kalau kedua kawan-kawanku itu ikut serta. Pedangnya tidak kalah dahsyatnya dari sepuluh pasang pedang di dalam genggaman tangan kalian. Aku berkata sebenarnya bahwa yang seorang itu adalah adik Untara. Ya, adik Kakang Untara, senapati yang mendapat kepercayaan di seluruh daerah di seputar Gunung Merapi. Sedang yang seorang lagi, yang gemuk itu adalah putera Ki Demang Sangkal Putung, pemimpin anak-anak muda pengawal Kademangan Sangkal Putung. Apalagi seperti yang kalian lihat di sini berdiri pemimpin prajurit Pajang di Prambanan yang syah dan di sini berdiri pula beberapa anak muda yang masih dapat berpikir jernih. Yang masih sempat melihat keruntuhan yang dengan perlahan-lahan menerkam kademangan kalian. Keruntuhan pribadi satu-satu dari kalian adalah pertanda yang paling jelas bahwa kademangan ini kini telah berada di pinggir jurang kehancuran,” Sutawijaya berhenti sejenak. Dipandanginya setiap wajah yang ada di sekitarnya. Wajah-wajah anak-anak muda yang berada di dalam lingkaran dan wajah-wajah yang sedang mengepungnya rapat-rapat, juga wajah-wajah yang berada di luar kepungan. Pada wajah-wajah itu Sutawijaya dapat membaca bahwa kata-katanya telah bergolak di setiap dada.

Pinggir Kali Opak itu kini dicengkam oleh kesenyapan. Tak seorang pun yang mengucapkan kata-kata. Mulut mereka terbuka, tetapi serasa kerongkongan mereka tersumbat oleh sebuah perasaan yang aneh.

Sejenak kemudian kembali Sutawijaya berkata, “Nah, sekarang apa yang akan kalian lakukan? Apakah kalian percaya kepada kata-kataku ataukah kalian masih saja menganggap bahwa aku hanya sekedar menakut-nakuti?”

Tak ada jawaban.

Dan Sutawijaya pun berkata pula, “Meskipun aku baru semalam melihat wajah Kademangan kalian, tetapi aku sudah mendapat gambaran yang jelas, apa yang sebenarnya terjadi di sini. Kemunduran watak dan tabiat, kehilangan pegangan karena mabuk kemenangan-kemenangan kecil yang sebenarnya tidak berarti apa-apa, dan yang terpenting kemudian, pengingkaran atas nilai-nilai kebaktian kalian kepada sumber hidup kalian. Kemaksiatan bukan saja pelanggaran atas nilai-nilai hidup duniawi, tetapi lebih-lebih daripada itu, kemaksiatan adalah jalan yang menuju kepada Bebendu Abadi. Mungkin bagi mereka yang memegang pedang di tangan, dapat menghindari setiap tanggung jawab duniawi dengan kekuasaan yang terpancar dari tajam pedangnya. Tetapi apakah pedang itu akan bermanfaat untuk melawan pengadilan tertinggi, pengadilan dari Sumber Hidup kalian?”

Orang-orang yang berdiri di tepian Kali Opak itu benar-benar seperti cengkerik terinjak kaki. Diam membeku.

Namun tiba-tiba mereka seperti tersentak bangun ketika Sutawijaya berkata, “Ayo, siapa yang akan menangkap Sutawijaya?”

Prajurit-prajurit yang berdiri memagari Sutawijaya dan kawan-kawannya itu pun tiba-tiba terlemnpar pada kesadaran mereka tentang diri mereka.

Kata-kata Sutawijaya itu seakan-akan ujung-ujung tombak yang menghujani beribu kali ke pusat jantung mereka. Pedih dan nyeri. Tubuh mereka itu pun kemudian bergetaran. Meskipun ada juga perasaan ingkar atas segala tuduhan yang tidak langsung ditimpakan kepada diri mereka, tetapi ketika terpandang wajah Sutawijaya itu, maka wajah-wajah mereka pun tertunduk lesu. Bahkan kemudian terbayang di rongga mata mereka, Panglima Wira Tamtama yang mereka segani, akan datang sendiri menghakimi mereka. Menunjuk ke wajah-wajah mereka sambil menjatuhkan hukuman yang paling berat.

Demang Prambanan pun berdiri dengan pucatnya. Lututnya beradu seperti orang melihat hantu. Dadanya serasa diguncang-guncang oleh perasaan yang mengerikan. Seakan-akan ia sedang berada di dalam dunia mimpi yang menakutkan.

Orang-orang yang berdiri di pinggir kali Opak itu kini serasa di kejar oleh perasaan bersalah dan ketakutan. Para prajurit yang mengepung Sutawijaya itu pun merasa betapa mereka menyesal atas kelakuan mereka. Kenapa ia harus berhadapan dengan putera Ki Gede Pemanahan tanpa mereka ketahui.

Kini ternyata mereka telah mengancam putera panglimanya. Bukan saja karena anak muda itu putera Panglima Wira Tamtama, tetapi anak muda itu adalah putera angkat yang kinasih dari Adipati Pajang sendiri.

Dengan demikian maka setiap orang dipinggir sungai Opak itu kini justru terbungkam. Yang memecah kesenyapan adalah suara Sutawijaya kembali, “Bagaimana? Apakah kalian masih tetap pada pendirian kalian?”

Tiba-tiba pemimpin prajurit yang mengepungnya itu melangkah selangkah maju. Tubuhnya yang gemetar hampir-hampir tidak dapat lagi berdiri tegak di atas kedua kakinya. Ketika ia kemudian membungkukkan badannya maka pedangnya pun terjatuh dari tangannya, katanya maka, “Aku dan kawan-kawanku memohon seribu ampun”

“Apakah kau masih ragu-ragu?” bertanya Sutawijaya lantang.

“Tidak. Tidak, Tuan,” sahut prajurit itu dengan serta merta.

“Kau melihat aku berkelahi melawan Argajaya?”

“Ya, Tuan.”

“Ketahuilah, bahwa dengan dua tiga unsur gerak aku dapat membunuhnya. Tetapi aku masih menghormatinya dan membiarkan ia melawan sampai beberapa saat. Meskipun demikian aku tidak akan membunuhnya. Bukan karena ia paman Sidanti, sebab Sidanti itu pun sama sekali tidak berarti bagiku.” Sutawijaya itu berhenti sejenak. Dipandanginya para prajurit yang menundukkan kepalanya dengan lutut gemetar, “Ketahuilah,” katanya kemudian, “Sidanti kini memang sudah tidak berada di Sangkal Putung lagi. Sidanti telah melarikan dirinya karena ia melawan kepada pimpinannya. Sidanti telah mencoba membunuh Kakang Untara untuk dapat menggantikannya. Tetapi Untara tidak terbunuh, sehingga dengan demikian Sidanti harus melarikan diri. Anak muda yang bernama Sidanti dan dibangga-banggakan itu sama sekali tidak mampu melawan anak muda yang berdiri di sini itu. Adik Kakang Untara. Karena itu, seandainya datang tiga Sidanti di pinggir Kali Opak saat ini, maka kami bertiga tidak akan menjadi cemas sama sekali, apalagi tiga orang Argajaya yang sombong itu.”

Prajurit-prajurit Pajang itu masih berdiri dengan wajah yang tertunduk. Tak seorang pun kini yang berani mengangkat wajahnya memandangi wajah putera Ki Gede Pemanahan itu.

Dalam pada itu Ki Demang Prambanan yang masih muda itu berkata dengan nada yang datar gemetar, “Tuan, kami benar-benar tidak tahu siapakah Tuan. Bukan kebiasaan kami tidak menghormati tamu-tamu, tetapi hanya karena kami tidak tahu, maka mungkin sikap kami, orang-orang kademangan ini, tidak berkenan di hati Tuan. Terhadap Argajaya itu pun kami bersikap hormat pula, meskipun kami tahu, betapa orang itu sangat memuakkan karena kesombongannya. Apalagi terhadap Tuan apabila kami tahu sebelumnya.”

Sutawijaya mengerutkan keningnya mendengar kata-kata Ki Demang Prambanan itu. Sedang Ki Demang itu berkata pula, “Karena itu, Tuan, aku mengharap Tuan sudi bermalam di Kademangan kami. Kami akan menjamu Tuan dengan kemeriahan dua tiga kali lipat dari jamuan yang pernah kami adakan untuk Argajaya.”

Sutawijaya memandangi wajah Demang itu dengan tajamnya. Tetapi anak muda itu tidak segera menjawab.

Ki Demang itu masih juga berkata, “Kami akan mengadakan pertunjukan menurut kesenangan Tuan tiga hari tiga malam dan akan menjamu Tuan menurut kehendak Tuan. Kami akan menyembelih lembu dan kambing sebagai tanda hormat kami atas kesudian Tuan hadir di Kademangan ini.”

Ketika terpandang oleh Sutawijaya wajah Swandaru, maka Sutawijaya itu pun segera mengetahui, bahwa di dalam dada anak muda itu pun bergejolak perasaan seperti yang bergolak di dalam dadanya sendiri. Tetapi ketika ia memandangi wajah Agung Sedayu, maka sukarlah baginya untuk menjajagi perasaan anak muda itu. Wajahnya hampir tidak berubah. Kesannya tenang dan dalam.

Tetapi dalam ketenangan itu, sebenarnya bergelombanglah perasaan di dalam hatinya. Bahkan tiba-tiba ia menjadi kecewa melihat wajah Ki Demang Prambanan itu. Kecewa akan sikapnya yang miyur, tanpa berpegangan kepada suatu sikap yang terpuji. Baru saja mereka melihat, bagaimanakah sikapnya terhadap Argajaya, kini mereka melihat sikap yang tiba-tiba berubah. Tetapi Agung Sedayu berusaha untuk menekan perasaannya. Ia tidak mau merusak suasana yang sudah hampir mereda.

“Marilah, Tuan,” berkata Ki Demang, yang kemudian kepada para prajurit dan orang-orangnya ia berkata, “Marilah kita sambut tamu-tamu kita ini dengan kegembiraan di hati. Tidak terpaksa karena sopan santun saja seperti kita menyambut Argajaya kemarin. Tetapi kali ini kita akan merayakannya dengan ikhlas. Bahwa kademangan kita telah mendapat kesempatan dikunjungi oleh priyagung dari Pajang.”

Belum lagi Ki Demang itu selesai, terdengar Sutawijaya berkata, “Terima kasih Ki Demang. Kami bukan orang-orang yang dapat dimabukkan oleh sambutan-sambutan dan kemeriahan lahiriah. Kami bukan Argajaya. Mungkin ada beberapa perbedaan di antara kami dan Argajaya itu.” Sutawijaya berhenti sejenak. Dilihatnya wajah Ki Demang yang pucat menjadi semakin pucat. Apalagi ketika sejenak kemudian Sutawijaya berkata, “Jangan mencoba mencuci tanganmu dengan darah lembu dan kambing yang akan kau sembelih. Tak ada gunanya Ki Demang. Yang dapat mencuci namamu yang agaknya selama ini menjadi buram adalah sebuah pengakuan. Pengakuan atas kesalahan-kesalahan yang pernah kau lakukan. Dengan janji di dalam hati bahwa kesalahan itu tidak akan terulang kembali.”

Mulut Ki Demang kini benar-benar terbungkam. Seluruh tubuhnya telah basah karena keringat dingin yang mengalir seperti terperas dari dalam tubuhnya. Dengan lutut yang beradu ia mencoba untuk dapat tegak berdiri.

Ki Demang itu hampir terjatuh ketika ia terkejut mendengar Sutawijaya membentaknya, “Bagaimana Ki Demang. Apakah kau dengar kata-kataku?”

“Ya, ya, Tuan. Aku mendengar.”

“Dan Mengerti pula?”

“Ya, aku mengerti, Tuan.”

“Apa?”

Jantung Ki Demang Prambanan itu serasa dihentak-hentak oleh guruh yang meledak di dalam dadanya. Hampir-hampir ia menjadi pingsan karena ketakutan.

“Apa yang kau ketahui he Ki Demang?”

Ki Demang tidak segera dapat menjawab. Mulutnya benar-benar serasa tersumbat.

“Kenapa kau diam, he? Kau sangka aku bermain-main?” desak Sutawijaya agak keras. “Aku tidak bermain-main Ki Demang. Aku juga tidak menakut-nakuti kalian. Aku akan dapat membuktikannya apa yang aku katakan. Bukan karena aku putera Panglima Wira Tamtama. Tetapi seandainya bukan, maka aku sanggup menghadapi kalian dengan ujung tombakku ini, kau dengar?”

“Ya, ya, Tuan,” suara Ki Demang hampir tidak kedengaran.

“Apakah kau menyesal?”

“Ya, Tuan.”

Sutawijaya menarik nafas. Ia tahu, bahwa Ki Demang itu memang sudah tidak mungkin lagi diajaknya berbicara. Tetapi dengan demikian, maka semua kata-katanya besok atau lusa pasti akan dipertimbangkannya. Karena itu maka katanya, “Aku malam nanti tidak akan bermalam lagi di Kademangan ini. Aku sudah tahu gambaran yang pasti tentang Kademangan ini. Beruntunglah bahwa di sini masih ada seorang prajurit yang menyadari kesalahannya pada saat-saat terakhir. Kepadanya aku percayakan prajurit-prajurit yang lain. Apabila masih juga terjadi, mereka menentang perintah pemimpinnya yang syah, yang diangkat dan bertanggung jawab kepada Kakang Untara, maka mereka akan ditindak seperti orang-orang yang sampai saat ini masih membangkang di bawah pimpinan Sanakeling. Sedang Kademangan Prambanan harus merasa berterima kasih bahwa mereka masih memiliki anak-anak muda seperti Haspada, Trapsila dan beberapa orang yang lain. Merekalah yang seterusnya harus tampil ke depan, membimbing kawan-kawannya. Mungkin satu dua ada juga yang tidak ingin melepaskan cara hidupnya kini. Berkeliaran, berbuat aneh-aneh dan tidak menghiraukan lagi adat dan tata-cara. Adalah menjadi tugas anak-anak muda sendirilah untuk menghentikannya. Bahkan orang-orang tua yang memberi banyak contoh-contoh yang sesat itu pun harus dihentikan. Sekarang juga. Jangan menunggu sampai gunung Merapi meledak dan menimbuni daerah ini dengan pasir dan batu.”

Ketika Sutawijaya terdiam, maka tak ada suara yang berderik, selain gemericik air Kali Opak dan desir angin di dedaunan. Semaunya terdiam beku. Wajah-wajah yang menunduk dan hati yang pepat dan kecut. Ternyata mereka berhadapan dengan seorang anak muda yang luar biasa. Tidak saja menggerakkan tombaknya, tetapi juga menggerakkan lidahnya.

Kesepian itu kemudian terpecahkan ketika Sutawijaya tiba-tiba berkata, “Aku akan pergi.”

Kata-kata itu pun sangat mengejutkan. Semua wajah yang tunduk itu terangkat, dan semua mata memandang kepadanya. Tetapi ia berkata sekali lagi, “Aku akan pergi. Marilah Agung Sedayu dan Swandaru. Kita lanjutkan perjalanan kita.”

“Tuan,” pemimpin prajurit itu berusaha untuk mencegahnya, “Sebaiknya Tuan bermalam di sini. Bukan maksud kami untuk mencoba menyenang-nyenangkan hati tuan karena kesalahan-kesalahan kami, dengan harapan supaya Tuan sudi memaafkannya, tetapi sebenarnyalah kami ingin Tuan bermalam di sini untuk memberikan beberapa petunjuk yang mungkin akan sangat penting bagi kami.”

“Cukup,” sahut Sutawijaya. “Aku sudah cukup banyak berbicara. Mungkin besok atau lusa atau seminggu dua minggu lagi ada orang lain yang berkepentingan datang kemari. Mungkin kawan-kawanmu para prajurit yang berada di sini harus ditarik dan diganti oleh yang lain, mungkin keputusan-keputusan lain yang akan diambil oleh kakang Untara, tetapi mungkin kalian masih akan dibiarkannya saja seperti sekarang, karena kesibukannya yang terlampau banyak. Aku tidak tahu. Itu ukan urusanku. Tetapi aku mempunyai kepentingan sendiri dan aku akan pergi.”

“Tuan,” potong prajurit itu, tetapi Sutawijaya seperti tidak mendengarnya. Bahkan ia berkata kepada Swandaru, “Berikan busurku itu.”

Swandaru pun kemudian memungut busur itu dan memberikannya sambil bertanya, “Apakah kita akan meneruskan perjalanan kita?”

“Ya,” sahut Sutawijaya

Swandaru tidak bertanya lagi. Yang berbicara kemudian adalah Sutawijaya kedapa Haspada dan Trapsila, “Selamat kepada kalian. Mudah-mudahan kalian akan tampil kembali dalam kepemimpinan anak-anak muda. Jangan patah hati. Kalau perlu kalian dapat berlaku agak keras. Bukankah kalian mempunyai bekal yang cukup untuk melakukannya?”

“Mudah-mudahan kami dapat melakukannya, Tuan,” jawab mereka hampir bersamaan.

“Bagus. Sekarang aku akan meninggalkan kademangan ini. Aku mengharap di saat lain aku akan kembali mengunjungi daerah ini. Bukankah menurut cerita yang pernah aku dengar, kademangan ini pernah mendapat seorang demang yang sangat baik? Cobalah ulangi nama yang baik itu. Jauhkan segala macam kericuhan dan kemaksiatan.”

Orang-orang yang berdiri di pinggir Kali Opak itu kemudian hanya

Laman: 1 2 3 4 5 6 7

Telah Terbit on 9 Oktober 2008 at 05:27  Comments (76)  

The URI to TrackBack this entry is: https://adbmcadangan.wordpress.com/buku-19/trackback/

RSS feed for comments on this post.

76 KomentarTinggalkan komentar

  1. Wah piye ki, program opo maneh dejavu iku mas, bedo ra karo microsof reader, iso gawat ki rek ra iso neruske moco ADBM, kadung kedanan je. Rodo kuatir ki aku mas. Soale aku ra nduwe program iku. Piye yo…maklum gaptek.

    D2: Jangan khawatir. Hampir sama dengan Adobe Reader koq.

  2. D, aku gak bisa buka adbm-jilid-019.pdf; baik pake djvu atau pun reader yang lain. ada yang gak beres di file-nya?

    D2: Ubah ekstensinya ke .djvu dulu.

  3. CARA BUKA FILE:

    Karena blog kita tidak memberi kesempatan kita untuk aplod file djvu, maka file itu saya ubah ekstensinya dengan pdf (ekstensi lain spt jpg, tiff, dll juga bisa aja), hanya semata2 agar file itu bisa diaplod.

    File harus disave dulu ke komputer Anda. Lalu ubah ekstensi .pdf menjadi .djvu. Jadi adbm-jilid-019.pdf diubah menjadi adbm-jilid-019.djvu dengan cara mengganti .pdf menjadi .djvu

    Lalu buka deh dengan djvu reader.

    O ya, pastikan Anda menginstal djvu reader yang bisa diperoleh di blog ini (check di halaman Download)

    DD

  4. D, makasih. akhirnya aku bisa buka buku 19. aku bersedia retype hal 1-10 dulu. salam

    D2: Thanks juga. Siapa halaman berikutnya?

  5. kasian deh gue…,selama ini hanya bs bc lewat hp,,sekarang gak bisa baca2 lg….

    D2: Tentu masih bisa baca, Mas. Karena konversi ke teks tetap dikerjakan. Tetapi ya itu, tidak secepat penayangan image. Jadi, yang mau baca teks silakan bersabar.

  6. Lha … rak tenen to..??? Aku dah nduga-nduga ..wah kok enuakk tenan gratis menikmati ajo-ojo….. eee lah kok tenan…

    D2: Ojo2 piye Mas Panji? Jangan bikin orang salah tafsir lho.

  7. Mas, aku kok gk bisa download file pdf nya itu ya..
    link yg “adbm-jilid-019”, kalau di klik gk keluar pilihan save… malah pengumuman file not found..
    Gimana ya Mas, untuk ngesavenya?

    • untuk mengklik sebaiknya cemeti dipegang dengan cara terbalik dan gagangnya yang digunakan untuk ndudul link yang bersangkutan, lebih jelasnya bisa menghubungi ki ndul

  8. Sudah ketemu Mas caranya.. harus klik kanan dulu terus save link as…
    btw… ini hasil scanenan tooh Mas.. apakah tidak akan di retipe lg seperti sebelumnya… kok sepertinya lebih enak baca lewat blok ini, dari pada model dejavu gini..

    D2: Proses retype tetap berjalan. Silakan saja yang mau berpartisipasi. Sehalaman2 gak apa2. Hasilnya langsung aja dishout di boks komentar ini. Nanti admin akan mengumpulkannya untuk ditayangkan sebagaimana sebelumnya. Asal jelas aja Jilid berapa halaman berapa.

  9. DD… kalo udah langsun tampil gini rasanya kurang semangat retypenya. sebaiknya hanya pasukan retype saja yg di kasih bahan mentah, seperti kemarin.
    saya rasa kalo pake cara yg sekarang pasukan retypenya lambat laun akan berkurang.
    sebab yg mau ditampilin udah dibaca orang-orang dulu..

    saya daptar retype 10 halaman.
    halaman mana yg belum ada petugasnya ?

    D2: Saya yakin yang ikut retype justru makin banyak. Silakan pilih halaman mana saja. Saya berharap ke depan ada cara yg efisien, semacam wiki yg bisa diedit. Ada usul?

    trim’s

  10. iya ni ms DD…,klo boleh usul mbok kembali sj ke prosedur semula,, sy ko kuatir ni mengarah ke aborsi seperti yg pernah mas sampaikan…,btw ngapunten sing katah,,cm bs kasih comment thok gak bs bantu,,dan smoga aja si tetep langgeng…

    • justru yang penting tu commentnya, masalah mbantu kan sudah ada ki ndul

  11. iya ni ms DD…,klo boleh usul mbok kembali sj ke prosedur semula,, sy ko kuatir ni mengarah ke aborsi seperti yg pernah mas sampaikan…,btw ngapunten sing katah,,cm bs kasih comment thok gak bs bantu,,dan smoga aja si tetep langgeng..
    maturnuwun

  12. Sedikit urun informasi nggih…,
    berdasarkan pengalam pribadi (karena gaptek nih), setelah download adbm-jilid-019.pdf, windows otomatis mengenali sebagai file adobe, setelah diubah extention menjadi djvu tetap tidak bisa dibuka. Setelah dicheck ternyata filenya menjadi adbm-jilid-019.djvu.pdf..weleh..weleh..
    mengubahnya melalui windows explorer>tools>Folders Option>View>HIdes extention for know file types (tanda thick nya dihilangkan)…
    Jika belum jelas silakan buka di http://www.mediacollege.com/microsoft/windows/extension-change.html

    selamat menikmati adbm…salam buat pecinta adbm dari Melbourne…(yang sempat kebat kebit saat membaca ..perlu nunggu 8 tahun untuk baca seluruh jilid adbm dg format retype..)

  13. cara ubah pdf ke djvu gimana??

    • dikasih pewarna aja kan langsung brubah

  14. udah bisa, thx ABDMnya

  15. He eh mas D2, kembali seperti semula saja lah, biar aku bisa langsung baca he…he….tapi ya monggo kerso soalnya saya kan cuma numpang baca, ngapunten sing katah ugi.

  16. DD ini halaman terakhir buku 19

    Jangan di bagian belakang ini berada di samping regol yang telah ditutup mati hanya malam hari apabila keadaan mengkhawatirkan. Sedang penjagaan yang biasa terdapat di tikungan, di gardu, peronda. Sekarang di tempat itu ternyata ada sebuah penjagaan sehingga dengan demikian mereka dapat menduga sesuatu benar-benar telah terjadi.

    Tiba-tiba Swandaru menjadi tidak bersabar lagi. Dengan terbata-bata ia berbisik, ”Kiai, aku akan melihat apakah yang telah terjadi.”
    ”Tunggu.” Cegah Kiai Gringsing. ”Jangan mengejutkan para penjaga yang sedang dalam kesiapsiagaan penuh. Kalau mereka melihat kita berempat, maka meka pasti menyangka bahwa mereka menghadapi bahaya. Dengan demikian, maka kegaduhan pasti akan timbul. Karena itu, biarlah aku sendiri menemui mereka dan mengatakan bahwa kalian telah kembali.”

    ”Baik Kiai..” sahut Swandaru tidak sabar.

    Kiai Gringsingpun kemudian melangkah maju. Perlahan-lahan dan hati-hati. Ternyata para penjaga itupun belum melihatnya.

    Untuk menghindari kesalah pahaman, maka Kiai Grinsing itupun terbatuk-batuk kecil. Sehingga dari tempat yang terlindung ia mendengar seseorang menyapanya, ”He, Siapakah itu ?”

    ”Ah..Aku Tanu Metir”

    ”Oh.” terdengar seseorang berdesah, ”Kenapa Kiai bearda di situ?”

    Kiai Grinsing tidak segera menjawab. Bahkan ia masih juga terbatuk-batuk

    • pergantian musim rawan flu ..

  17. wah sedih rasanya ndak bisa mbaca kelanjutannya, aku dah coba buka pakai adobe reader tetep aja ndak bisa, padahal aku juga sudah coba download tapi hasilnya ya tetep.
    Hik…hiks say good bay.

    D2: Kasihan… Jangan buka pake adobe, Sen. Ini adalah file djvu, jadi buka pake djvu reader. Udah instal, kan? (ambil tuh di halaman download). Sebelum dibuka, ubah ekstensinya menjadi djvu. Caranya lihat komentar orang lain di bawah.

  18. kok berubah… kenapa ga seperti yang dulu2, tinggal buka langsung baca ato di blog-nya bos rizal yang sekarang entah kemana ….

    D2: Sekarang kan tinggal simpan, baca… beda dikit doang.

  19. usul mas dd
    saya cocok jg cara ini krn emang cepet dan gampang klo ikutan retype. Tapi gimana kalo ditaruh di halaman download aja , jadi yang di halaman utama tetep yang hasil retype.

  20. Halaman 78 jilid 19
    —–
    Semakin dekat dengan mereka Kademangan Sangkal Putung, maka hati merekapun menjadi berdebar-debar. Mereka tidak melihat sesuatu yang aneh dan mencurigakan. Mereka tidak melihat kelainan daripada biasanya. Kalau terjadi sesuatu atas Kademangan itu, maka mereka pasti melihat suatu perubahan apapun. Mereka masih melihat lampu-lampu yang sinarnya kadang-kadang meloncat dari celah-celah dinding rumah. Di mulut lorong mereka masih melihat sebuah pelita yang menyala.

    Tiba-tiba Swandaru memperlambat jalannya sambil menarik nafas dalam-dalam. “Hem, Ternyata Sangkal Putung tidak mengalami sesuatu”.

    Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menjawab “Begitulah agaknya”.

    “Kalau begitu, sejak kini aku akan berjalan lambat-lambat. Bukankah kita tidak perlu tergesa-gesa”.

    “Ah kau”, sahut Agung Sedayu, “akulah kini yang tergesa-gesa. Bukankah kau masih ingin berburu?”

    Swandaru tertawa. Tetapi tiba-tiba ia menguap. “Aku tidak terlalu lelah tetapi aku mengantuk”.

    Namun mereka tidak lagi merasa gelisah. Apalagi ketika mereka sudah memasuki padesan. Namun agaknya Swandaru ingin mengejutkan orang-orang di Kademangan, karena itu katanya, “Marilah kita tidak melalui jalan. Kita membuat kejutan bagi orang-orang Kademangan”.

    Kedua kawan-kawannya tidak membantah. Kiai Gringsingpun menuruti saja kemauan muridnya yang aneh itu. Tetapi ketika mereka memasuki halaman Kademangan lewat belakang, mereka benar-benar terperanjat. Ternyata Kademangan itu benar-benar tidak seperti biasanya. Bahkan lamat-lamat Swandaru mendengar tangis perempuan. Tangis ibunya.

    Mereka berempat itupun tertegun sejenak. Suara tangis yang lamat-lamat itu masih mereka dengar. Sejenak mereka saling berpandangan. Namun tak seorangpun yang tahu, apakah sebenarnya yang telah terjadi.

    Menilik tanda-tanda yang mereka jumpai disepanjang jalan, mereka sama sekali tidak melihat bekas-bekas keributan. Dari tempat mereka menyelinap di antara pepohonan sambil meloncat-loncat di antara dinding-dinding halaman, mereka melihat gardu-gardu peronda masih juga seperti biasanya. Memang mereka melihat kesiapsiagaan yang agak lebih ketat dari kebiasaan. Tetapi mereka menyangka bahwa keadaan sekedar meningkat menjadi lebih genting, tetapi belum

  21. ini buku 19 halaman 79

    (dari halaman 78)…Terlambat.

    Swandaru menjadi bertambah cemas ketika tangis itu tidak juga berkurang. Ibunya tidak pernah menangis karena hal-hal yang tidak terlampau penting. Betapapun ibunya sedang sakit, tetapi ia hanya berbaring diam. Hanya apabila ia sedang sakit gigi, maka ibunya itu menangis. Tetapi tangisnya tidak sekeras kali ini ….. (dst. Udah diambil Ki Demang)

  22. Halaman 79 jilid 19
    —————-

    terlambat.

    Swandaru menjadi bertambah cemas ketika tangis itu tidak juga berkurang. Ibunya tidak pernah menangis karena hal-hal yang tidak terlampau penting. Betapapun ibunya sedang sakit, tetapi ia hanya berbaring diam. Hanya apabila ia sedang sakit gigi, maka ibunya itu menangis. Tetapi tangisnya tidak sekeras kali ini.

    “Agaknya memang telah terjadi sesuatu” bisik Swandaru.

    Agung Sedayu mengangguk, “Ya”.

    “Tetapi tidak ada tanda-tanda yang kita temui” sahut Sutawijaya.

    Merekapun kemudian terdiam. Ketika mereka berpaling kepada Kiai Gringsing, orang tua itupun sedang termenung.

    “Bagaimana Kiai?”

    Kiai Gringsing menggeleng, “Aku tidak tahu. Marilah kita lihat.”

    “Sebenarnya aku ingin bermain-main. Aku ingin mengejutkan orang-orang di Kademangan. Diam-diam aku ingin tidur, sehingga besok page mereka pasti terkejut melihat kami di pendapa atau di gandok wetan. Tetapi agaknya kita harus berbuat lain.”

    “Agaknya kita tidak sedang menghadapi persoalan yang dapat dibawa untuk bergurau” gumam Kiai Gringsing, “marilah jangan terlampau lama.”

    Ketiga anak-anak muda itupun kemudian mengikuti langkah Kiai Gringsing. Mereka tidak agi berkata apapun. Kiai Gringsing benar-benar sedang berpikir. Kalau saja Kiai Gringsing menjadi gelisah, maka persoalan yang mereka hadapi pasti bukan sekedar persoalan yang ringan.

    Memang sekali-sekali Swandaru hanya menganggap bahwa ibunya pasti sedang sakit gigi. Sebab baik di setiap sudut penjagaan maupun di halaman itu sendiri mereka tidak melihat kekhususan yang menyolok. Tetapi anggapan itu tidak diyakininya sendiri. Setiap kali dadanya terasa berdesir, semakin lama menjadi semakin tajam.

    Mereka terhenti ketika mereka melihat dua orang berjalan di bagian belakang halaman itu. Supaya tidak menimbulkan kegaduhan maka merekapun berhenti dan menyelinap di balik pepohonan. Tetapi mereka tidak dapat berbuat begitu terlalu lama, sebab kedua orang itu ternyata menuju ke tempat yang agak terlindung. Pada saat itulah baru mereka mengetahui, bahwa yang di sudut yang gelap itu ternyata telah diadakan suatu penjagaan.

    Penjagaan di tempat itu tidak pernah ada sebelumnya. Penjagaan …

  23. nyuwun ngapunten..
    mau usul nyeleneh nih (untuk mempercepat retype)..

    gimana kalo situs ini dijadikan situs berbayar 😦
    maksudnya bayarnya pake retype. jadi siapa yg mau akses situs secara penuh harus retype dulu.
    Tapi untuk memberikan kesempatan yg luas bagi semua orang untuk dapat mengagumi karya besar ini, dibuka akses terbatas.
    Kamsudnya begini.. misalnya yg udah di retype jilid 1-20, maka yg tidak retype hanya bisa akses jilid 1-15. kalo retype nambah jadi 1-30, maka yg tidak retype hanya bisa buka 1-23.
    trus untuk mengapresiasi peran serta pasukan retype, juga diberikan hak akses pada image.

    nyuwun ngapunten lho

    D2: Gimana kalau kolaborasi retyping, dimana bahan yg sedng diretype bisa diedit oleh pengunjung dan yg sudah kelar diboyong ke halaman buku? Cuma belum tahu teknisnya. Ada usul?

  24. wah.. wah.. seru jg nih.. selalu ada pro n kontra.. tp gk apa-apa, malah bagus, bebas berpendapat, semua punya hak yang sama, yg penting tetep jaga semangat tepa selira ya Mas-mas..
    Aku sendiri setuju dg usulannya Mas DD,.. lebih enak begini, n selajutnya klo sudah di retipe baru di tayangkan online…
    Aku jg salut sama Mas DD, saya pikir Mas sudah pikirkan matang-matang bgimana bagus nya… jadi apapun hasilnya ya nanti kita liat aja gimana.. namanya jg rencana..
    Mengenai klo dibikin kya wiki.. semua orang bisa urun rembuk itu mesti hati-hati lho Mas.. soalnya kita kan tetep mau jaga keorisinilan karya SH.M ini…
    sepertinya tetap harus Mas DD tau team Master untuk finalisasinya.

  25. hmm… aku sih nangkep idenya Mas DD.. aku usul… gimana kalo ada 2 sesi utama di blok ini… satu yg sudah final.. dan satu lagi yang untuk gotong royong ngolah.. n bisa dibuat kya wiki gitu…
    masalahnya aku sendiri sebenernya jg gk ngerti teknisnya blog…

  26. sepertinya di wp bisa deh dibuat hak akses beda-beda. bahan image di upload, (dg terpisah-pisah 5 halaman) trus yg bagian retype bisa edit bahan tersebut dibawah image. begitu kelar, bagian si admin utk nge”publish” sehingga bisa dibaca umum. (menangkap ide mas yuwana said ttg 2 sesi)
    jadi kolaborasinya tetap di sini aja..
    piye mas dd dan mas nindityo?

    D2: Aku setuju. Bagaimana kalau Mas Mbodo buatkan halaman contoh (Misal untuk buku 19). Nanti halaman image bisa aku siapkan.

  27. wah…,nampaknya sdh pd berbulat tekad untuk ganti djvu ni….,iyalah…smoga tambah sukses aja wis…, cm sayang ya…sekarang hanya bs diakses melalui komputer…,da yg tau gak gmn caranya agar bs di bc pakai hp…,hiiks…atau cm sy aja x ya yg bcnya pakai hp…jelek lg….

    • saya malah pake kalkulator 😀 tapi cakep loh

  28. aku pakai linux. bisa nggak ya djvu ini di download.

    • bisa, pake aja evince (jika pake gnome biasanya evince dah terpasang, jika belum ya install dulu dong), bisa juga pake djview ato jika mau yang bisa buat ngedit djvu pake aja djvusmooth

  29. Wah.. paling banyak respon di halaman 19 dst.. matur nuwun, kebetulan aku coba sekali dan OK.. eh tapi dipandu sm anakku nding.. Mumet..!
    Salut, memang hrs belajar terus meski estewe..
    Salam

  30. oops sorry,
    moderator saya dah setor tuh buku 19 halaman 52-56, tapi tak kirim ke “RETYPE (IN PROGRESS)”

    D2: Gpp. Tx

  31. tolong dibantu, setelah di dowmload stdu viewer tetap tidak bisa buka https://adbmcadangan.files.wordpress.com/2008/10/adbm-jilid-019.djvu. mau save file apanya yang harus disave. terima kasih

    D2: Klik kanan, save as. Untuk membukanya, ganti ekstensi pdf menjadi djvu.

  32. terima kasih mas dhe dhe, btw setelah diganti sekarang muncul perngatan kesalahan dipilih don’t send eh malah hilang kenapa ya ?
    terima kasih

  33. Maaf lahir batin buat semua adbm’ers. Sorry telat ngucapinnya, baru sempat setelah mudik dan jauh dari koneksi internet.

    to bro DD: bisa ngga kalo file djvu-nya juga di upload di tempat lain selain di file section-nya wordpress? misal di rapidshare, megaupload or 4shared? sepertinya bandwidth dowload dari WP terlalu kecil, jadi agak lama downloadnya. cuma usul aja lho.

    thanks.

  34. Saya berharap bisa baca lagi seperti model yg dulu karena bacanya pakai hp. Saya dikampung untuk ke warnet jauh dan mahal klo pakai hp murah dan efisien, jadhi tolong kembali ke format awal 😥

  35. Wah mas, sy blm bisa jg buka yg “adbm-jilid-019”
    Coba klik (https://adbmcadangan.files.wordpress.com/2008/10/adbm-jilid-019.pdf) ditunggu lama gak ada penampakan apa2.
    Trus diganti (https://adbmcadangan.files.wordpress.com/2008/10/adbm-jilid-019.djvu) metu tulisan ngene “404 — File not found”
    Padahal wis donlod DJView.
    Opone sing salah mas

    D2: Yang model konvensional kan udah lengkap diaplod…

  36. Mas DD, sekedar info, Buku 19 kayaknya kurang di halaman depan, belum masuk tuw disini…(hal 7-10 di buku asli)… mungkin udah ada yg ngeproof tapi kelewat n belum ditayangin….trims

  37. tambahan juga: hal 32 – 34 buku asli juga kelewat… thanks

  38. nuwun sewu keparenga kulo matur menawi cariosipun sajakipun kapunggel ing bab tarungipun Danang Sutowijoyo mangsah Daruko nyuwun priso sababipun
    Matur sembah sewu nuwun
    Ki Ageng Penataran .

  39. Lega, bisa baca cerita Jawa lagi. Thank to ALL

  40. Gimana nih cara download versi djvu-nya? Aku cari2 yang ketemu kok cuman versi retype. Aku suka format djvu karena bisa nostalgia seakan-akan pegang buku aslinya yg dulu pernah aku baca. Aku sendiri masih menyimpan buku aslinya cuman sudah ada yang ilang lumayan banyak. Saran: Kalau bisa download versi djvu-nya ada yang dibikin 100 buku perbundel. Jadi dengan 4 kali download bisa kesedot semua. Thanks…!

    • Versi DJVU clue-nya bisa didapat via poro cantrik.

  41. Clue-nya bisa didapat via komentar poro cantrik.

    • Mampir njihh Ki Truno……Sugeng enjing !

  42. aku gak bisa donlot DjVu reader. padahal dah ngeklik dari forum download di blog ini. tapi koq yo ra gelem mbuka. piye iki?????

  43. Hikksss,
    mau nemu lading, neng gagange ana tulisan :
    Ya-suku, Da-nglegena
    Pa- pepet layar, Ma-nglegena, Na-nglegena.

    Apa kagungane Ki Menggung ya….????

    • nemu nang endi ki, tak melu leles 😀

      • ndek pinggiran lendhut benter Ki.

        • Ki Gembleh kados pundi kabaripun?
          Kula nggih saking tlatah lendut benter lho.
          menawi badhe tilik gandhok gagak seta, kula sampun nyobi nglanjutakaen ADBM wonten ing “terusan ADBM” gagak seta.
          monggo Ki, menawi badhe mampir, kula tenggo.
          matur suwun
          mbah_man

          • sugeng ndalu mbah mandaraka,
            nuwun sewu (seket ewu nggeh mboten nolak) nderek tangled, tindak terusan adbm nika nitih andong jurusan pundi ?
            mbok diparingi edres lengkap rt/rw-ne to mbah

  44. matur nuwun Ki Patih
    mbah_man_daraka
    tak nyusul numpak bison……werrrrrr…..

    • waduuuh ditinggal ijen ngeneki piye jal

      • sugeng enjing Ki Abdus Syakuur.
        badhe tindak gandhok terusan adbm saking mriki nggih saget, klik mawon Gandhok Gagak Seta, mangke sampun saget pinanggih gandhok terusan adbm.
        menawi saking daleme mbah google, diketik mawon terusan adbm, mange muncul “terusan Adbm gagak seta” langsung mawon mlebet, mentrik ipun ayu2 lan kenes2 hehehe

  45. Test…..

    .Ji.Nem.Ji.Nem .Mo.Lu… 😐

    • wis isok ki 😀

      • tes…..tes-teeeeeeessss,

        nuwun sewu, cantrik dherek tes-tes……teeeeesssss

        • hep,

          lancar…..ra no rintangan……!!!!

          • tumut

            mo nem ji ro ro nem ro , ji ji ro ji ji ro ji

            siip lah …..

            • iling pak raden …
              sol do iwak kebo …
              re mi fa sol iwak …

              • botol …..

                • kwkwkwkkkk temanggung udane deres

                  • wah mesakke sing dho diudani niku , maksude sing ra nggowo payung ….

  46. raiso…. jadi males nih ! (mutung mode ON)

    • Lho..lho..kenapa nih… 🙂
      anak macan koq lutung..eh..mutung 😀

      • Ra nganggo sarung ayake ??


Tinggalkan komentar