Halaman: 1 2
Buku III-30
The URI to TrackBack this entry is: https://adbmcadangan.wordpress.com/buku-iii-30/trackback/
The URI to TrackBack this entry is: https://adbmcadangan.wordpress.com/buku-iii-30/trackback/
Gambar Kulit :
Herry Wibowo
Ilustrasi :
Sudyono
Penerbit :
Kedaulatan Rakyat,
Yogyakarta
nengok padepokan…eh masih belum selesai juga perbaikannya….semoga masalahnya segera dapat diatasi sehingga para cantrik dapat kiriman rontal berikutnya….salam….
Cek suwene gandok 231 urung dibuka opo perlu direwangi bongkar lawang gandok?
Sebenernya ada modus apa yaa… kok para cantrik dibikin geger gini…
tidak ada modus apa-2 Ki .. manusia berencana, Yang Maha Kuasa yg menentukan.
Toh Diajeng Senopati baru bilang – direncanakan – 🙂
ada modus gembel dari merapi, kena rontalnya nyi seno, jadi harus dibersihkan dulu…
Dalam aku berkelana, tiada yang tau. Apa yang kucari, tiada yang tau …. (Bang Oma) 🙂 🙂
absen ajalah…
masih hadiiirr …
Sehubungan dengan adanya masalah di hardisk Nyi Senopati, tentunya problem tsb mengakibatkan update Web site kita menjadi terbengkalai.
Sehingga usul saya, agar diberikan admin alternatif, yang dapat membackup Nyi Senopati. Apabila sumber olahannya berasal dari beberapa pemirsa/pengurus maka dapat dikirimkan ccnya sehingga saat proses up load bisa berjalan bergantian.
Tentunya Sistem Admin Alternatif akan membantu membagi tugas lebih ringan, misalnya jadwal minggu pertama oleh admin 1, lalu minggu ke 2 oleh Admin 2, jadi sesama admin memiliki waktu istirahat 1 minggu.
Demikian saran saya, semoga dapat diterima semua pihak
Salam
Mahesa Reiki
Usul bagus, tapi opo gelem? nanti terganggu monopoli-ne.
monopoli opo bas-basan ki?…he..he…he…guyon lho
Hal itu diserahkan, ke pengurus/pengelola Web Site ini, Karena merekalah yg paling sibuk meluangkan waktunya untuk selalu update. Kita sifatnya hanya menyarankan. Kalau bisa juga bantu sharing kitab, sehingga tidak kehabisan pelurunya. Sayang dulu saya pernah punya kitab tsb, tapi karena nyimpannya diloteng jadi rusak semuanya
Nyimpen kitab di loteng, dipangan tixoes tho.
Ya kita cuma nebeng di sini, tapi kalo mau mursal yo iso kok.
Tertulis di gandok 231:
Satu komentar
On 12 Mei 2009 at 05:52 Arema Said:
Alhamdulillah
akhirnya
Comments are closed.
___
jan ono-ono wae Ki Arema iku 😀
Mungkin gandhok 231 ditutup mergo Ki Arema mlebu dhisek dewekan yo….hehe
Alhamdulillah
akhirnya kitab
tidak diwedar juga
@ ki Arema, njenengan mau mbengi pamitan nek isuk mau arep tangi isuk2 kuwi opo arep sowan nang nggone nyi Seno? Syukurlah, mugo2 iso melu mbiyantu masalahe nyi Seno
mohon maaf 1
mohon maaf 2
mohon maaf 3
mohon maaf 4
mohon maaf 5
mohon maaf 6
mohon maaf 7
cukup 7X saja
kitab belum diwedar. sabar ya cantrik….
wua..kak..kak
kumaha ieu teh??.. udahan bukan??..
manghanjakalkeun nya.., ngan rame mimitina wungkul..
teu beres2 atuh hanca teh,,
susugunan we engke di tukang loak aya.. hehe
parabot si ambu nu aya di tukang loak mah Ki … 🙂
Hmmh sepertinya Nyai Senopati gugur di medan tugas melawan orang-orang-nya Panembahan Madiun.
Saya berharap Ki Gd segera menunjuk Senopati-nya yang telah gugur untuk segera menggantikan tugas-tugasnya.
Kedua bola mata AS menatap tajam, gerahamnya terkatup rapat, dengan gigi yang gemeretak. dadanya yang bidang terangkat naik, dengan kedua tangan terkepal. Tidak nampak lagi di mata SWa sifat AS yang peragu, yang ada dihadapannya adalah sosok yang begitu tegas, sangat jauh dengan bayangan AS yang selama ini Swa kenal. Tidak ada lagi yang dapat Swa perbuat, selain menunduk dan bersimpuh…
sopoiler….
kae lho wis wedar, ndang cepetan
Glegeken tenan, wedar nganti 236, suwun nyi Seno, lek-lekan tenan
dilanjutkan ……..
Karena para cantrik itu tidak segera menjawab, maka Untarapun kemudian berkata, — Baiklah. Aku akan segera ke padepokan itu.—
Glagah Putihpun tertawa pula. Dimana-mana dalam kumpulan sekelompok anak-anak muda, tentu ada juga yang nakal.
Ketika Glagah Putih kemudian berbaring dipemba-ringannya sambil sekali-sekali berdesah menahan sakit, cantrik itu telah menyelarak pintu dan ikut pula berbaring. Bahkan sejenak kemudian, telah terdengar dengkur perlahan-lahan yang agaknya memang letih itu.
Tetapi Glagah Putih sendiri justru masih saja gelisah. Perasaan sakit masih saja terasa menggigit dilukanya. Agaknya perasaan sakit itu timbul karena obat yang justru mulai bekerja.
Dihari yang kemudian menjadi semakin cerah. Kiai Gring-sing telah memberikan beberapa perintah. Beberapa orang cantrik telah mendapat tugasnya masing-masing. Dua orang akan menghadap Ki Untara untuk melaporkan apa yang terjadi di padepokan itu, serta mohon beberapa orang prajurit untuk mengambil orang-orang yang tertawan. Dua orang agar menghubungi Ki Widura, dan atas persetujuan Agung Sedayu dan Sekar Mirah, dua orang akan pergi ke Sangkal Putung untuk memberitahukan bahwa Agung Sedayu dan Sekar Mirah tidak dapat datang pada hari itu.
— Kalian dapat melaporkan apa yang telah terjadi apa adanya. — pesan Kiai Gringsing — jangan mengarang ceritera sendiri, atau menyembunyikan kenyataan dengan sengaja. —
Demikianlah sejenak kemudian para cantrik itupun telah berangkat ketujuan masing-masing. Tetapi karena jarak yang mereka tempuh tidak sama, maka merekapun tidak bersamaan sampai ketujuan.
Yang paling cepat sampai adalah dua orang cantrik yang harus menghadap Ki Untara. Untunglah bahwa Ki Untara masih ada dirumahnya, sehingga keduanya langsung sempat menghadap.
Laporan kedua orang cantrik itu memang mengejutkan. Dengan serta merta Untara bertanya — Kenapa kalian tidak memberikan isyarat kepada kami? —
Kedua orang cantrik itu saling berpandangan. Kemudian seorang diantaranya menjawab — Kami tidak tahu pasti, apakah sebabnya Kiai Gringsing tidak memerintahkan untuk memberikan isyarat. Namun semula menurut perhitungan kami, kami dapat mengatasi sendiri atas orang-orang yang datang itu. —
— Tetapi kalian harus memberikan korban terlalu banyak. Jika kalian memberikan isyarat, maka kami akan dapat datang dengan kekuatan yang lebih besar, sehingga kalian tidak perlu mengorbankan seorangpun — berkata Untara.
Kedua cantrik itu tidak menjawab. Mereka memang tidak mendapat pesan untuk menyampaikan alasan, kenapa padepokan itu tidak memberikan isyarat.
Karena para cantrik itu tidak segera menjawab, maka Untarapun kemudian berkata — Baiklah. Aku akan segera ke padepokan itu. —
Dalam waktu singkat, maka Untarapun telah menyiapkan sekelompok prajurit dari pasukan berkuda yang dapat bergerak cepat. Selain padepokan yang berada dalam lingkungan pengawasannya, Untara juga ingin melihat keadaan adiknya, Agung Sedayu yang menurut kedua cantrik itu justru telah terluka.
Karena itu, maka sejenak kemudian maka sekelompok pasukan berkuda telah meninggalkan baraknya menuju ke padepokan kecil yang tidak terlalu jauh letaknya.
Sementara itu, Ki Widura yang mendapat laporan tentang padepokan Kiai Gringsing serta keadaan Glagah Putihpun telah dengan tergesa-gesa pula pergi ke padepokan itu. Apalagi ia telah pernah menyatakan kesediaannya untuk berada dalam . padepokan itu pula. Sehingga karena itu, selain anaknya telah terluka, maka iapun merasa berkepentingan pula.
Yang sampai ketujuannya yang terakhir adalah dua orang cantrik yang pergi ke Sangkal Putung. Kedua cantrik itu berganti-ganti telah menceritakan apa yang telah terjadi di padepokan, sehingga Agung Sedayu dan Sekar Mirah masih belum
dapat datang ke Sangkal Putung pada hari itu.
— Kakang Agung Sedayu menyampaikan pesan ini, agar tidak menimbulkan kegelisahan di Sangkal Putung — berkata salah seorang dari kedua orang cantrik itu.
— Jadi kakang Agung Sedayu telah terluka? — berkata Swandaru.
— Ya. Bahkan agak parah. Glagah Putih juga terluka, tetapi tidak begitu parah — jawab cantrik ita.
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun menggeram — Sayang. Aku tidak ada di padepokan itu. Jika saja aku tahu, siapa yang telah melukai kakang Agung Sedayu. — –
— Yang melukai kakang Agung Sedayu telah mati terbunuh — jawab cantrik itu — juga oleh kakang Agung Sedayu. —
— Maksudku dari kelompok atau perguruan yang mana. Adalah leakku, sehingga saudara seperguruan kakang Agung Sedayu untuk menuntut balas. Apalagi orang-orang itu telah berani memasuki padepokan guruku. Itu berarti bahwa perguruan itu telah menyatakan perang terhadap kami. Bukan salah kami jika kami datang dengan kekuatan untuk menghancurkan mereka. Bukan hanya yang datang di padepokan guru, ^ tetapi kami berhak memasuki padepokan mereka dan menghancurkannya. —
Kedua cantrik itupun hanya dapat saling berpandangan. Mereka tidak tahu, bagaimana harus menjawab. Namun mereka tidak pernah mendengar rencana itu, baik dari gurunya atau pernyataan sepatah kata saja dari Agung Sedayu, keinginan untuk membalas dendam.
Sementara itu, maka Swandarupun kemudian berkata kepada Pandan Wangi — Aku akan pergi ke Jati Anom. Aku ingin melihat keadaan kakang Agung Sedayu. —
— Apakah aku diperkenankan ikut? — bertanya Pandan Wangi.
— Sebaiknya kau tinggal dirumah. Jangan terlalu banyak bepergian, apalagi berkuda — jawab Swandaru.
Pandan Wangi mengangguk. Ia mengerti keberatan suaminya, sehingga karena itu, maka katanya — Baiklah kakang. Tetapi berhati-hatilah. Jangan pergi seorang diri, —
— Aku akan pergi bersama kedua orang cantrik ini — jawab Swandaru.
— Jika kakang kembali kelak? — bertanya Pandan Wangi. Swandaru mengangguk-angguk. Katanya — Baiklah. Aku
akan membawa dua pengawal bersamaku. —
— Berhati-hatilah — pesan Pandan Wangi — agaknya yang terjadi adalah pertentangan antara dua perguruan. Atau bahkan lebih luas lagi. Karena perguruan di Jati Anom itu adalah perguruan yang berdiri dipihak Mataram, kemudian perguruan lainnya telah memusuhi Mataram. —
Swandaru tersenyum. Katanya — Aku akan berhati-hati.
Demikianlah setelah minta ijin kepada Ki Demang, maka Swandarupun telah berangkat bersama dua orang pengawal terpilih dari Sangkal Putung.
Ternyata bahwa Swandaru memang sampai ke padepokan gurunya yang terakhir. Justru pada saat Untara telah bersiap untuk membawa para tawanan kembali ke baraknya.
— Marilah, silahkan — para cantrikpun telah memper-silahkan.
Swandaru sempat bertemu dan berbicara dengan Untara beberapa saat. Sementara Widurapun telah ikut menemuinya pula.
— Agung Sedayu telah terluka didalam — berkata Untara.
Swandaru mengangguk-angguk. Katanya — Aku telah memperingatkan, agar kakang Agung Sedayu bersedia mempergunakan waktunya cukup untuk meningkatkan ilmunya. Pada saat-saat seperti ini, barulah terasa bahwa meningkatkan ilmu
akan sangat berarti bagi seseorang yang dengan sengaja menempatkan dirinya pada jajaran olah kanuragan, dimanapun ia berpihak. —
Untara mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berkata — Padepokan ini juga tidak memberikan isyarat apa-apa. —
Untara dan Widura masih juga sempat bersama-sama Swandaru menemui Kiai Gringsing dan kemudian melihat keadaan Agung Sedayu bersama gurunya yang sedang sakit itu.
Demikian Swandaru berdiri disisi pembaringannya, Agung Sedayu tersenyum sambil berdesis — Kau, adi Sandaru. —
Ya kakang — jawab Swandaru — aku telah mendengar tentang peristiwa yang terjadi di padepokan ini dari dua orang cantrik yang datang ke Sangkal Putung. —
— Itulah yang terjadi disini — desis Agung Sedayu.
Swandaru mengangguk-angguk. Kepada gurunya ia bertanya — Tetapi bukankah luka Kakang Agung Sedayu tidak sangat berbahaya? —
Kiai Gringsing menggeleng. Jawabnya — Luka Agung Sedayu tidak membahayakan jiwanya asal ia mendapat perawatan yang baik. —
Swandaru mengerutkan keningnya. Katanya — Jadi luka kakang Agung Sedayu benar-benar parah? —
Kiai Gringsing mengangguk kecil. Tetapi katanya — Tetapi aku yakin, bahwa ia akan dapat sembuh sebagaimana keadaannya sebelumnya. Sebaiknya kita selalu berdoa untuknya. —
Swandaru mengangguk-angguk. Ketika ia sempat memandang wajah adiknya, maka nampak bahwa matanya menjadi pengab. Agaknya Sekar Mirah telah menangis betapapun ia mencoba menahannya. —
Beberapa saat kemudian, Kiai Gringsingpun telah memper-silahkan tamu-tamunya meninggalkan bilik Agung Sedayu dan berkata — Biarlah ia beristirahat sebanyak-banyaknya. —
Merekapun kemudian telah duduk kembali di pendapa. Sementara Untarapun telah minta diri untuk membawa para tawanan ke baraknya di Jati Anom, termasuk mereka yang terluka.
Kepada Kiai Gringsing Untarapun berkata — Nanti sore , aku akan kembali, Kiai. —
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia menyahut — Terima kasih ngger. Jika angger sering menengok, Agung Sedayu akan berbesar hati. —
Sepeninggal Untara, maka padepokan itu mengkhususkan kesibukan mereka dengan persiapan penguburan orang-orang yang terbunuh. Sebagian besar dari orang-orang yang menyerang padepokan itu telah memilih mati atau tidak mampu lagi melawan daripada menyerah. Namun dalam pada itu, tiga orang cantrikpun telah gugur, sementara beberapa orang yang lain telah terluka.
Di pendapa Widura duduk bersama Swandaru, sementara Kiai Gringsing telah berada didalam biliknya kembali. Kiai Gringsing telah mengatur dirinya sendiri, untuk selalu mencari kesempatan beristirahat dalam kesibukan yang bagaimanapun juga.
— Paman — berkata Swandaru kepada Widura — nampaknya kakang Agung Sedayu bertempur dalam keadaan Seimbang dengan lawannya. Untunglah bahwa kakang Agung Sedayu masih dapat membunuh lawannya meskipun keadaannya sendiri menjadi parah. —
— Ya — Ki Widura mengangguk-angguk. Lalu — Kita wajib bersukur. —
— Satu pelajaran bagi kakang Agung Sedayu. — desis Swandaru — ia memang harus berusaha keras untuk meningkatkan ilmunya. —
— Menurut pendapatku, ditakar dari umurnya, kemampuan Agung Sedayu terhitung mencuat tinggi. Ia memiliki macam-macam kemampuan untuk melindungi dirinya — ber-
kata Ki Widura.
— Itulah justru kesalahan kakang Agung Sedayu — berkata Swandaru — ia terlalu ingin memiliki segala jenis ilmu. Namun sebagaimana biasa, jika perhatian kita terpecah-pecah, maka kita tidak mampu dapat mencapai kedalaman ilmu itu. Aku mempunyai sikap yang lain. Aku telah memperdalam ilmu yang aku terima dari guru. Tanpa menghiraukan yang lain. Namun dengan demikian, aku dapat mencapai kedalamannya, meskipun belum sempurna. Sekarang aku sedang berusaha untuk mencapai tingkat tertinggi dari jenis ilmu yang aku pelajari meskipun aku harus merambat setapak demi setapak. —
Ki Widura mengangguk-angguk. Ia memang sudah mendengar sikap Swandaru terhadap Agung Sedayu, yang menyangka bahwa kakak seperguruannya itu kurang bergairah untuk meningkatkan ilmunya, serta dianggapnya terlalu banyak mempelajari berjenis-jenis ilmu yang justru kurang penting bagi perkembangannya.
Karena itu, untuk selanjutnya Widura yang sudah semakin tua itupun lebih banyak mendengarkan apa yang dikatakan oleh Swandaru dari pada menyatakan pendapatnya. Sekali-sekali saja ia menjawab dan mencoba untuk mengurangi penilaian yang kurang sewajarnya dari Swandaru terhadap Agung Sedayu. Namun selebihnya ia hanya mengangguk-angguk saja.
Dalam pada itu, maka kesibukan di padepokan itupun kemudian memuncak ketika para cantrik membawa korban korban yang telah terbunuh di peperangan, khususnya mereka yang telah menyerang padepokan itu. Karena penguburan dari para cantrik yang gugur akan dilakukan tersendiri.
Untara yang telah sampai di baraknya ternyata telah mengirimkan pula sekelompok prajurit untuk membantu kesibukan di padepokan kecil itu, agar segala sesuatunya dapat berlangsung dengan cepat. Apalagi Untara mengerti, bahwa orang-orang terpenting dari padepokan itu justru terluka dan Kiai Gringsing sendiri sedang terganggu kesehatannya.
Bantuan Untara itu sangat berarti bagi padepokan kecil itu.
Dengan demikian maka kerja merekapun menjadi lebih cepat selesai, sementara sebagian dari para cantrik itu dapat membenahi halaman dan kebun dari padepokan yang rusak oleh mereka yang bertempur di padepokan itu.
Di pendapa Widurapun kemudian bertanya kepada Swandaru — Bukankah angger tidak tergesa-gesa kembali ke Sangkal Putung? —
Swandaru merenung sejenak. Kemudian iapun berkata dengan datar. — Ya. Aku akan tinggal satu dua hari di padepokan ini. Mungkin orang-orang yang merasa gagal menghancurkan padepokan ini akan kembali dengan orang-orang yang lebih tua tataran ilmunya sekaligus untuk membalas dendam. Karena itu, barangkali paman juga akan berada di padepokan ini? —
Ki Widura mengangguk-angguk. Katanya — Ya. Akupun akan berada di padepokan ini sampai keadaan menjadi baik dan meyakinkan. Ternyata luka Glagah Putih memerlukan waktu untuk menyembuhkannya, meskipun agaknya luka diluar itu akan lebih mudah dirawat daripada luka angger Agung Sedayu.
Swandarupun mengangguk-angguk pula. Katanya — Aku percaya bahwa guru akan dapat mengatasinya meskipun guru sendiri sedang sakit. —
— Agaknya memang demikian — sahut Ki Widura yang yakin pula akan kemampuan Kiai Gringsing dalam ilmu obat-obatan. Bahkan iapun kemudian bertanya kepada Swandaru — Apakah angger Swandaru tidak tertarik pada ilmu obat-obatan sebagaimana dimiliki oleh Kiai Gringsing? —
Swandaru tertawa kecil. Katanya — Aku tidak telaten paman. Tetapi entahlah dengan kakang Agung Sedayu. Mungkin kakang Agung Sedayu akan mampu mewarisi ilmu obat-obatan dari guru. —
Ki Widura mengangguk-angguk. Agaknya Swandaru memang tidak memiliki sifat seorang ahli dalam hal obat-obatan, karena wataknya. Ia tidak akan telaten memilih berjenis-jenis
dedaunan dan akar-akar pepohonan yang akan dapat diramu menjadi obat obatan. Sedangkan reramuannyapun berbeda-beda dari antara berbagai macam obat untuk kepentingan yang berbeda-beda pula.
Beberapa saat kemudian maka upacara penguburan para cantrik yang gugurpun akan segera dilakukan setelah para cantrik dan sekelompok prajurit yang dikirim oleh Untara selesai menguburkan orang-orang yang menyerang padepokan itu, yang terbunuh dipertempuran.
Karena itulah, maka seisi padepokan kecil itu, serta para prajurit yang ada di padepokan itupun telah memberikan penghormatan yang terakhir. Para cantrik yang terbunuh itu adalah korban dari langkah-langkah yang tidak bertanggung jawab dari orang-orang yang masih belum dikenal dengan pasti, siapakah mereka itu, selain pemimpinnya yang mengaku pewaris ilmu perguruan Worsukma. Para penghuni padepokan itu hanya dapat menduga-duga, apakah alasan orang-orang yang tidak dikenal itu menyerang padepokan Kiai Gringsing. Hal itu agaknya dilakukan dalam rangkaian kemelut antara Mataram dan Madiun.
Kiai Gringsing yang sakit itu memerlukan turun pula ke halaman. Memberikan sesorah singkat untuk mengantar tubuh para cantrik yang gugur itu ke makam. Sekar Mirah dan Glagah Putih ikut pula memberikan penghormatan yang penghabisan. Hanya Agung Sedayu sajalah yang terpaksa masih tetap berbaring di biliknya karena keadaannya yang tidak memungkinkan untuk ikut turun ke halaman padepokan itu, serta para cantrik yang terluka parah.
Ketika para keluarga cantrik yang gugur itu apalagi perempuan menyaksikan tubuh-ubuh yang beku itu dibawa keluar dari padepokan, maka bagaimanapun juga tabah hati mereka, namun air matapun telah menitik dari sela-sela pelupuk mereka.
Dengan lembut Kiai Gringsing berusaha untuk menghibur hati mereka. Walaupun Kiai Gringsing mengerti sepenuhnya bahwa perpisahan yang demikian itu tentu menimbulkan kepedihan di hati.
— Yang Maha Kuasa telah memanggil mereka — berkata Kiai Gringsing.
Keluarga para cantrik itu mencoba untuk mengerti.
— Sebab yang dipergunakan itupun merupakan sebab kematian yang terhormat, — berkata Kiai Gringsing selanjutnya.
Para keluarga itupun masih saja mengangguk-angguk.
— Nah, silahkan naik ke pendapa. — Kiai Gringsingpun kemudian mempersilahkan.
Sebagian dari mereka memang naik ke pendapa, tetapi ada yang ingin langsung kembali ke padukuhan. Karena pada umumnya mereka adalah orang-orang dari padukuhan-padu-kuhan disekitar Jati Anom yang telah memberikan kesempatan kepada anak-anaknya untuk tinggal di padepokan, mempelajari beberapa hal tentang kehidupan. Mengenal huruf, mengenal kerja keras dan sedikit mengenal olah kanuragan.
Namun pada suatu saat mereka mendapat pemberitahuan bahwa anak-anaknya itu telah gugur karena padepokan kecil itu telah diserang oleh orang-orang yang tidak dikenal.
Selain keluarga mereka yang gugur, maka keluarga mereka yang terlukapun telah datang untuk menengok para cantrik itu. Kepada mereka Kiai Gringsing berjanji akan berusaha sebaik-baiknya agar mereka yang terluka itu dapat sembuh secepatnya.
— Kita akan selalu berdoa — berkata Kiai Gringsing — mudah-mudahan mereka akan segera dapat pulih kembali seper-si sediakala. —
Padepokan kecil itu memang diliputi oleh suasana yang muram, Namun para penghuninya ternyata telah mendapatkan satu pengalaman yang sangat berharga. Pengalaman untuk mempertahankan hak mereka. Namun pengalaman itu harus dibeli dengan harga yang sangat mahal. Beberapa orang cantrik telah gugur. Agung Sedayu terluka cukup paran. Sedangkan Glagah Putihpun harus mengalami pengobatan yang cukup berat, karena sebuah biji besi yang bersarang didalam dagingnya.
Akhirnya upacara itupun telah selesai. Ketika para keluarga dan para prajurit telah meninggalkan padepokan itu, maka padepokan itupun telah menjadi lengang kembali. Para cantriklah yang kemudian sibuk membantu Kiai Gringsing merawat orang-orang yang terluka.
Dalam pada itu, Untara di barak khusus telah mulai memeriksa orang-orang yang tertawan. Tetapi karena pada umumnya mereka adalah pengikut-pengikut orang yang menyebut dirinya Singapati itu, maka mereka memang tidak dapat memberikan keterangan.
— Apakah Singapati. benar-benar orang dari perguruan Worsukma? — bertanya Untara kepada salah seorang tawanan.
— Ya — jawab tawanan itu — sebagian dari kami adalah orang-orang dari padepokan Worsukma. —
— Apa yang pernah dikatakan oleh Singapati tentang penyerbuan itu? — bertanya Untara pula.
— Mataram juga pernah menyerang salah satu padepokan dari sebuah perguruan sahabat kami — jawab orang itu. Lalu — Nagaraga telah dihancurkan. —
— Siapakah pemimpin padepokan Worsukma sekarang? — desak Untara.
— Singapati yang disebut Elang Baja. — jawab tawanan
itu.
— Gurunya, yang disebut sebagai orang yang telah mewaris kan ilmu dari perguruan Worsukma itu? — desak Untara pula.
Tawanan itu termangu-mangu. Tidak ada niat baginya untuk berbohong. Ia tahu, bahwa pemimpinnya yang bernama Singapati itu telah terbunuh, sehingga memang tidak ada lagi yang harus dirahasiakan. Jika ada satu dua orang kawannya yang melarikan diri dan kembali ke padepokan, maka padepokan itu tidak akan mampu bangkit lagi. Dua orang yang berilmu tinggi telah terbunuh di padepokan kecil di Jati Anom itu.
Beberapa pertanyaan lain memang dijawab dengan lancar.
Namun Untara tidak dapat menemukan jalur keterangan yang dapat menghubungkan serangan orang-orang Worsukma itu dengan langkah-langkah yang diambil oleh Panembahan Madiun, meskipun hubungan itu dapat dilihatnya dalam pembicaraan pembicaraan yang panjang. Tetapi tawanan itu tidak dapat mengatakan lebih banyak dari yang dikatakannya, bahwa Singapati memang pernah bertemu dan berbicara dengan Panembahan Madiun. Hanya itu.
Untarapun tidak memaksa dengan cara yang keras untuk mendapat keterangan lebih banyak lagi. Memang tidak ada yang dapat mereka katakan lebih banyak dari yang telah mereka katakan meskipun darah mereka diperas sampai habis sekalipun. Hal ini hanya akan menghabiskan waktu saja dan tidak akan berarti apa-apa.
Menjelang senja Utara diikuti oleh sekelompok prajurit telah mengadakan pengamanan keliling di daerah Jati Anom. Selain menilai keadaan, Untarapun ingin singgah barang sebentar untuk menengok adiknya yang terluka cukup parah.
Menurut perhitungan Untara yang mengakui bahwa adiknya memang berilmu tinggi, maka orang yang dibunuhnya itupun tentu pemimpin dari sebuah perguruan dan telah memiliki ilmu tinggi pula. Ternyata ia mampu melukai adiknya sehingga demikian parahnya.
Ketika hari mulai gelap, maka Untara yang mengelilingi daerah Jati Anom itu telah sampai di padepokan Kiai Gringsing. Iapun kemudian singgah bersama-sama prajuritnya yang menyertainya.
Ternyata bahwa keadaan Agung Sedayu sudah berangsur baik. Bahkan Agung Sedayu telah mau makan meskipun baru beberapa suap nasi hangat. Namun dengan demikian, ia tidak -menjadi terlalu lemah.
— Kau akan segera baik — berkata Untara ketika ia duduk di bibir pembaringan adiknya, sementara Sekar Mirah, Swandaru dan Glagah Putih duduk di sebelah lincak kecil.
— Kiai Gringsing berharap bahwa dalam waktu kurang
dari sepekan keadaannya sudah akan baik kembali kakang — berkata Sekar Mirah.
Untara mengangguk-angguk. Katanya — Kiai Gringsing yang sangat berpengalaman itu tentu dapat memperhitungkan kemungkinan itu. Seandainya belum sepenuhnya,maka keadaan nya tentu sudah menjadi jauh lebih baik. —
— Ya kakang — sahut Sekar Mirah. Lalu katanya — Menurut Kiai Gringsing, lawan kakang Agung Sedayu dari perguruan Worsukma itu memiliki kekuatan yang luar biasa besarnya. Sehingga karena itu, maka bagian dalam kakang Agung Sedayulah yang menjadi parah. Namun kekeliruan utama dari kekuatan itu telah dapat diatasi siang tadi menjelang sore hari. Demikian padepokan ini menjadi tenang kembali, maka kakang Agung Sedayu berada dalam goncangan-goncangan luka-lukanya. Tubuhnya menjadi panas dan detak jantungnya melemah.
Untara mengangguk-angguk. Sementara Sekar Mirah meneruskan — Untunglah bahwa obat yang diberikan oleh Kiai Gringsing dapat membantu kakang Agung Sedayu mengatasinya. —
— Kita wajib mengucapkan sokur — desis Untara.
— Ya. Kakang. Kita wajib mengucap sukur — desis Sekar Mirah sambil menundukkan kepalanya.
Untarapun kemudian berpaling kepada» Glagah Putih, Ia melihat wajah sepupunya itu masih juga pucat. Dengan nada rendah ia bertanya — Bagaimana keadaanmu? —
— Sudah baik, kakang — jawab Glagah Putih,
— Sokurlah. Satu pengalaman buatmu. Kaupun harus mampu menilai apa yang telah terjadi — pesan Untara.
Glagah Putih mengangguk kecil. Sementara itu, Untarapun kemudian bersama Swandaru telah keluar dari bilik itu dan duduk di ruang dalam bersama Kiai Gringsing dan Ki Widura. Beberapa lama ia masih berbincang tentang -keadaan Agung Sedayu yang lukanya memang parah. Namun masa yang paling sulit telah berhasil dilaluinya. Sebagaimana dikatakan oleh Sekar
Mirah, maka Kiai Gringsing pun mengatakan demikian pula.
Beberapa saat kemudian maka Untarapun telah minta diri. Kepada Kiai Gringsing ia mengulangi pesan yang pernah diberikan sebelumnya. Jika terjadi sesuatu di padepokan itu Kiai Gringsing dapat memerintahkan untuk membunyikan kentong-an dengan nada khusus. Pasukannya yang ditempatkan di tempat-tempat tertentu tidak jauh dari padepokan itu akan dapat dengan cepat datang membantu.
— Ya ngger — jawab Kiai Gringsing — kami mengucapkan terima kasih. —
— Kiai dapat menghindari korban lebih banyak lagi dari pada penghuni di padepokan ini. Para cantrik yang baru mulai pada tataran pertama dari olah kanuragan, tidak harus bertempur melawan orang-orang yang sudah berpengalaman, apalagi mereka yang memang memiliki dorongan untuk sekedar membunuh — berkata Untara.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk sambil menjawab — Baiklah ngger. Kami akan melakukannya. —
Demikianlah maka Untarapun telah minta diri. Kepada Swandaru ia sempat minta agar menyempatkan diri barang sejenak untuk singgah.
— Terima kasih — berkata -Swandaru — aku akan menyisihkan waktu untuk singgah. Besok atau lusa. Aku akan berada disini sampai keadaan pulih kembali dan kemungkinan-kemungkinan balas dendam atas kematian para penyerbu itu menjadi semakin kecil. Apalagi sejak paman Widura berada di padepokan ini, agaknya kami di padepokan ini akan menjadi semakin mantap. —
Untarapun mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun telah minta sekali lagi dan bersama dengan prajurit-prajuritnya meninggalkan padepokan itu, sementara malampun menjadi bertambah pekat.
Padepokan kecil yang baru saja mendapat serangan sehingga beberapa orang korban telah jatuh itupun telah mengadakan
penjagaan yang sebaik-baiknya. Pengawasan yang sungguh-sungguh dilakukan disemua sudut padepokan. Para cantrik yang bertugas tidak lagi seorang-seorang, tetapi selalu berpasangan.
Dalam pada itu, Swandaru dan Ki Widura telah menengok Agung Sedayu yang telah dapat tidur lelap. Meskipun kadang-kadang kegelisahan nampak juga di wajahnya, tetapi sejenak kemudian iapun telah menjadi tenang kembali.
Sementara itu Sekar Mirah menungguinya dengan penuh perhatian. Sekali-sekali diusirnya nyamuk yang berterbangan di sekitar wajah Agung Sedayu dengan tebah sapu lidi kecil.
— Glagah Putih tidak disini? — bertanya Widura.
— Ia berada di bilik para cantrik — jawab Sekar Mirah — Glagah Putihpun masih harus banyak beristirahat pula. —
Widura mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian berpesan — Selagi Agung Sedayu tidur nyenyak, kaupun dapat tidur pula. Jangan terlalu banyak berjaga-jaga. Kaupun tentu letih juga karena kaupun telah mengalami pertempuran yang keras dan memeras tenaga. —
— Ya Paman — jawab Sekar Mirah sambil menunduk. Namun keadaan Agung Sedayu memang tidak sangat menggelisahkan lagi.
Sepeninggal Ki Widura dan Swandaru maka Sekar Mirah-pun telah menyelarak pintu dan mencoba berbaring di lincak yang terdapat didalam ruang itu pula. Ternyata bahwa Sekar Mirah memang letih sekali. Karena itu, maka beberapa saat kemudian iapun telah tertidur, meskipun setiap kali ia telah terbangun untuk melihat keadaan Agung Sedayu. Tetapi Agung Sedayu tidak banyak terbangun dimalam hari. Ia hanya minta minum sekali lewat tengah malam. Kemudian iapun telah tidur lagi dengan tenang.
Widura dan Swandaru tidak segera masuk kedalam bilik mereka. Keduanya telah melihat-lihat kesiagaan para cantrik yang bertugas.
— Nampaknya para cantrik itu juga mempunyai ketabahan yang tinggi — berkata Swandaru.
— Mereka nampak bersungguh-sungguh dalam tugas — desis Widura.
— Agaknya memang lebih mudah untuk menuntun para cantrik dari pada para pengawal dan anak-anak muda di Kade-mangan. Seorang cantrik dengan tegas dan pasti telah menempatkan diri di sebuah padepokan siang dan malam. Jika mereka pergi kesawah atau pategalan, maka sawah dan pategalan yang mereka garap adalah sawah dan pategalan bagi padepokannya. Karena itu, maka mereka merupakan satu lingkungan yang sangat akrab. — berkata Swandaru.
— Ya. Namun mereka juga tidak akan dapat meninggalkan kodrat manusiawinya. Cantrik-cantrik muda itu pada satu saat akan meninggalkan padepokan ini meskipun tentu ada yang akan tetap tinggal. Mereka akan berumah tangga dan hidup dalam keluarga-keluarga mereka masing-masing. Disini mereka sekedar menuntut berbagai macam pengetahuan. — berkata Ki Widura. Tetapi iapun melanjutkan — Namun ada juga padepokan yang memberikan tempat bagi keluarga para cantrik. Tetapi ada padepokan yang membiarkan para cantriknya yang sudah berkeluarga tinggal di rumah masing-masing. Namun dalam keadaan tertentu para cantrik itu akan berada di padepokan. —
— Tetapi agaknya disini tidak ada seorang cantrikpun — berkata Swandaru.
Ki Widura menggeleng. Katanya — Biasanya hanya pada sebuah padepokan yang dipimpin oleh sepasang suami isteri terdapat dan mentrik sekaligus. Itupun dengan gawar yang memisahkan lingkungan mereka masing-masing. Bahkan para putut-pun kadang-kadang tinggal pula bersama keluarganya di padepokan itu. —
Swandaru mengangguk-angguk. Meskipun ia juga bergurau sebelumnya kepada seseorang yang memiliki ilmu yang tinggi, tetapi Swandaru tidak pernah tinggal di padepokan sebelum-
nya. Namun sambil tersenyum iapun kemudian berkata — Jika demikian seandainya kelak kakang Agung Sedayu dan Sekar Mirah akan menggantikan pimpinan di padepokan ini, maka padepokan ini tidak saja menerima anak-anak muda untuk menyadap berbagai macam pengetahuan, termasuk mengenal huruf, sedikit ilmu pengobatan dan olah kanuragan, tetapi akan diterima pula beberapa anak perempuan yang akan menjadi mentrik disini. –
Ki Widurapun tersenyum. Katanya — Bukannya tidak mungkin. Sekar Mirah akan dapat memimpin para mentrik sementara Agung Sedayu akan mengurusi para cantrik. —
Swandaru tertawa. Katanya — Bagus. Mungkin kakang Agung Sedayu sudah memikirkan pula. —
Ki Widurapun tertawa pula. —
— Paman — berkata Swandaru kemudian — agaknya di padukuhan akan dapat dilakukan hal yang serupa. Kelak, jika anak Pandan Wangi lahir, biarlah ia memilih beberapa orang anak perempuan yang akan dapat membantu anak-anak muda di Kademangan Sangkal Putung. Namun sebagaimana paman ketahui bahwa hidup di padukuhan itu masalahnya akan lebih rumif, karena orang-orang padukuhan menghadapi semua segi kehidupan. Mencari makan, mengurusi sawah dan ternak, kerukunan bertetangga dan saling membantu bagi setiap kebutuhan, apalagi kebutuhan bersama. Jika seseorang atau sebuah keluarga mempunyai niat untuk menyelenggarakan keramaian karena anaknya akan menjadi pengantin misalnya, maka hampir semua orang di padukuhan ikut terlibat. Hal yang tidak terjadi di padepokan. Karena jika seseorang akan kawin, justru ia akan meninggalkan padepokan ini dan kesibukan itu terjadi dirumah-nya, bersama tetangga-tetangganya. —
Ki Widura mengangguk-angguk. Katanya — Itulah agaknya sebab yang mendorong beberapa orang mengirimkan anaknya ke sebuah padepokan. Anak itu akan terbebas dari kesibukan-kesibukan lain dan dengan tekun dan bersungguh-sungguh menimba ilmu dan pengetahuan yang diperlukan,
sebagai bekal hidupnya kelak. Karena padepbkan yang baik bukannya sekedar sarang ilmu kekerasan. Tetapi juga kemampuan-kemampuan yang lain termasuk tata cara bertani dengan baik dan bagaimana harus berternak dengan benar. —
— Ya paman — Swandaru mengangguk-angguk.
— Juga bukan satu ikatan mati, bahwa orang-orang yang telah memasuki padepokan itu tidak akan pernah dapat keluar lagi. Bahkan sebuah padepokan dijadikan sebagai himpunan kekuatan sekelompok orang dengan kesetiaan yang mati pula, apapun yang diperintahkan oleh pemimpin padepokannya. Tetapi juga bukan berarti bahwa di padepokan tidak ada paugeran dan ketaatan pada paugeran itu. — berkata Ki Widura.
Swandaru mengangguk-angguk. Katanya — Paman telah mempelajari dengan saksama kehidupan sebuah padepokan. Agaknya paman adalah orang yang tepat untuk memimpin padepokan kecil ini. Namun tidak semua padepokan dipimpin oleh orang yang mempunyai penalaran seperti paman tentang sebuah padepokan. Kita mengenal padepokan sebagai satu kumpulan orang yang terlibat oleh satu paugeran orang-orang yang telah kehilangan pribadi masing-masing. Apapun yang diperintahkan oleh pemimpin padepokan, adalah paugeran dan kebenaran. Siapa yang menolak, apalagi menentang, maka tidak ada pilihan lain kecuali masuk keliang kubur. —
Ki Widura mengangguk-angguk. Katanya — Agaknya orang-orang yang demikian itu pulalah telah memasuki dan menyerang padepokan ini. —
Demikianlah, maka ketika mereka telah berbicara panjang, keduanyapun telah berada di regol padepokan. Untuk beberapa saat keduanya duduk di gardu kecil di sebelah regol yang tertutup rapat itu bersama para cantrik yang bertugas. Namun kemudian keduanyapun telah meninggalkan gardu itu pula sambil berpesan — Berhati-hatilah. —
Ki Widura dan Swandaru baru tertidur menjelang dini hari. Namun waktu yang singkat itu telah membuat tubuh mereka menjadi segar kembali. Karena itulah maka ketika matahari terbit, keduanya telah mandi dan berbenah diri.
Tidak ada sesuatu yang terjadi malam itu. Ketika Ki Widura dan Swandaru menengok keadaan Agung Sedayu, maka keadaan Agung Sedayupun sudah menjadi lebih baik. Sementara itu Glagah Putihpun telah berada dibilik itu pula. Lukanya sendiri juga sudah bertambah baik sehingga tidak lagi terasa sangat sakit.
— Kau akan segera sembuh kakang — berkata Swandaru. Lalu katanya — Jika kelak kau kembali ke Tanah Perdikan, kau dapat membawa kitab guru. Tidak hanya untuk tiga bulan. Tetapi kau dapat mempergunakannya lebih dari itu agar kitab itu dapat memberikan gairah kepadamu untuk meningkatkan ilmumu. —
Agung Sedayu tersenyum. Katanya — Terima kasih. Aku akan mencoba melakukannya. —
Sekar Mirah hanya menarik nafas dalam-dalam. Menurut penilaiannya, ilmu Agung Sedayu sudah terlalu tinggi dibandingkan dengan ilmu kakangnya yang agak gemuk itu. Tetapi ia memang tidak ingin membuat kakangnya kecewa, sebagaimana Agung Sedayu sendiri juga tidak mengatakan apa-apa, bahkan ia telah mengiakannya.
Tetapi memang ada juga pertimbangan dihati Sekar Mirah, bahwa apakah bijaksana jika ia tidak mengatakan yang sebenarnya dan membiarkan kakaknya mempunyai penilaian yang salah?
Namun ternyata bahwa Sekar Mirah hanya menundukkan kepalanya saja.
Dalam pada itu keadaan padepokan itupun seakan-akan telah menjadi tenang kembali. Tidak lagi nampak wajah-wajah para cantrik yang tegang dan langkah-langkah yang tergesa-gesa. Tidak pula nampak persiapan yang berlebih-lebihan, meskipun para cantrik itu tetap waspada. Di siang hari penjagaan memang dapat dikurangi jumlahnya, namun tetap dalam kesiagaan tertinggi. Yang bertugas di malam hari, mendapat kesempatan untuk beristirahat.
Namun beberapa orang cantrik tidak boleh melupakan
tugas-tugas mereka di sawah dan pategalan. Sedangkan beberapa orang yang lain bekerja di kebun dan belumbang.
Swandaru ternyata sempat memperhatikan belumbang yang-, dipelihara para cantrik. Satu hal yang belum dikembangkan di Kademangan Sangkal Putung. Meskipun ada juga orang membuat belumbang, tetapi belum memakai cara sebagaimana dipergunakan oleh para cantrik di padepokan itu, sehingga belumbang itu benar-benar mampu mencukupi kebutuhan ikan air bagi para cantrik di padepokan itu.
Karena itu, maka Swandaru nampaknya memang tertarik kepada belumbang yang berisi ikan, namun yang seakan-akan telah dibuat bersusun. Sedangkan air didalam belumbang itu nampaknya tetap bergerak.
Ternyata bahwa selama Swandaru berada di padepokan itu tidak terjadi sesuatu yang penting. Untara telah datang pula dihari berikutnya ke padepokan itu. Tetapi ia tidak mendapatkan banyak keterangan dari orang-orang yang tertawan, betapapun Untara berusaha.
— Pengetahuan mereka tentang perguruan Worsukma benar-benar terbatas — berkata Untara ketika ia menemui Kiai Gringsing.
— Ya. Kita mengerti — jawab Kiai Gringsing — Namun satu hal yang perlu kita perhatikan, bahwa Madiunpun telah mengambil langkah-langkah yang lebih maju lagi dibidang keprajuritan. Sementara sampai saat ini masih belum terdapat berita, kapan dan dimana Panembahan Senapati dapat bertemu dengan Panembahan Madiun untuk menyelesaikan persoalan diantara mereka. —
— Menurut pendengaranku, Panembahan Madiunlah yang masih berkeberatan — jawab Untara — tetapi agaknya di sekeliling Panembahan Madiun memang terdapat orang-orang yang menginginkan kekacauan terjadi di Mataram dan lingkungannya. Mereka akan dapat meneguk keuntungan dari peristiwa-peristiwa yang dapat terjadi kemudian. Bahkan baru kemarin aku menerima perintah dari Panembahan Senapati untuk
menyiapkan prajurit dalam kesiagaan tertinggi. —
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Sementara itu dipandanginya Untara dengan tajamnya. Suaranya menjadi berat — Jadi ada perintah baru dalam hubungannya dengan Madiun? —
— Ya, Kiai. — jawab Ki Untara.
— Jika demikian, maka kita semuanya memang harus bersiap. Tetapi apakah angger telah melaporkan apa terjadi di padepokan ini? — bertanya Kiai Gringsing.
— Belum — jawab Untara — mungkin aku memang agak lamban. Tetapi aku ingin keterangan yang cukup, sehingga laporanku tidak justru seperti sebuah teka-teki. —
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya — Jika demikian maka angger memang harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Bahkan mungkin petugas sandi dari Mataram telah mencium rencana gerakan yang lebih luas dari Madiun yang kurang disadari atau bahkan diluar pengetahuan dan kendali Panembahan Madiun sendiri. Atau satu dua orang telah berhasil membujuk Panembahan untuk melakukan gerakan itu. —
— Banyak kemungkinan dapat terjadi — berkata Untara — dua orang penghubung dari Mataram tidak memberikan perincian perintah itu. —
Kiai Gringsingpun kemudian telah berpaling kepada Swandaru yang ikut dalam pertemuan itu. Katanya — Kau dengar keterangan angger Untara itu? Nah, jika demikian maka Sangkal Putungpun harus bersiap-siap. Kau telah menyusun kekuatan para pengawal sebagaimana susunan sepasukan prajurit. Karena itu, maka dalam keadaan tertentu, para pengawal dari Kademangan Sangkal Putungpun akan dapat membantu. Setidak-tidaknya untuk mempertahankan dan mengamankan wilayah Kademangan itu sendiri, karena Sangkal Putung adalah satu Kademangan yang besar. —
Swandaru mengangguk-angguk. Katanya — Justru pada saat aku harus bekerja sendiri. Pandan Wangi tidak akan dapat
banyak membantu aku pada saat-saat terakhir ini. Namun aku merasa berbahagia oleh keadaannya itu. —
— Kau mempunyai beberapa orang pembantu pilihan — berkata Kiai Gringsing.
— Ya. Aku telah menempa sepuluh orang terbaik di padu-kuhan-padukuhan yang termasuk Kademangan Sangkal Pu-tung. — jawab Swandaru — mudah-mudahan keadaan itu akan cukup memadai. Dua orang yang menyertaiku kemari itu adalah dua orang diantara mereka yang mempunyai tataran terbaik di Sangkal Putung. —
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Lalu katanya — Agung Sedayupun harus segera sembuh dan kembali pula ke Tanah Perdikan Menoreh.
— Ya — sahut Untara — Jika ia sudah dapat berkuda pada jarak jauh, ia memang sebaiknya kembali. Tetapi harus diingat pula kemungkinan yang dapat terjadi di perjalanan —
— Ya — Kiai Gringsing mengangguk-angguk — kemungkinan yang tidak diinginkan memang dapat terjadi. — Agaknya, jalan ke Tanah Perdikan mengandung pula kemungkinan itu. —
Swandaru dan Ki Widura mengangguk-angguk pula. Namun kemudian Swandarupun berkata — Sebaiknya biarlah kakang Agung Sedayu menunggu sampai keadaannya pulih kembali. Meskipun ia akan menempuh perjalanan bersama Glagah Putih dan Sekar Mirah, yang kedua-duanya memiliki kemampuan olah kanuragan, namun agaknya suasana di Mataram baru berkabut. —
Kiai Gringsing tidak menolak pendapat itu. Bahkan iapun membenarkan, bahwa suasana di Mataram memang sedang gawat. Karena itu, maka iapun kemudian berkata — Aku akan minta kepadanya untuk berbuat demikian. Perjalanan ke Tanah Perdikan Menoreh memang tidak terlalu panjang, tetapi di sepanjang jalan mereka harus benar-benar bersiaga dalam kesiapan tertinggi. —
Dengan demikian maka agaknya Agung Sedayu masih
harus menunggu beberapa hari lagi. Karena itu maka Agung Sedayu dan Sekar Mirah tidak akan dapat tinggal di Sangkal Putung untuk waktu yang agak lama. Mereka justru berada di padepokan kecil di Jati Anom karena keadaan Agung Sedayu.
Swandaru yang bermalam satu malam lagi di padepokan itu, menganggap bahwa keadaan sudah menjadi semakin baik. Namun agaknya Swandarupun ingin melihat keadaan di sekitar padepokan itu untuk meyakinkan, apakah keadaan memang sudah menjadi tenang.
Karena itu, maka atas ijin Untara, maka Swandaru telah mengikuti sekelompok prajurit yang sedang meronda di leng-kungan di sekitar Jati Anom, termasuk padepokan kecil itu. –
Ternyata ia tidak melihat kegelisahan yang timbul di padukuhan di sekitar padepokan itu, sehingga Swandaru memang berkesimpulan bahwa untuk sementara masih belum ada tanda-tanda bahwa sekelompok orang akan mendekati padepokan itu lagi.
Dengan demikian, maka setelah bermalam dua malam, maka Swandaru minta diri untuk kembali ke Sangkal Putung. Dalam keadaan yang gawat dan bila masih ada kesempatan, Swandaru minta agar padepokan itu mengirimkan penghubung ke Kademangan Sangkal Putung.
— Jika ada tanda-tanda yang menggelisahkan, panggillah aku. Aku akan datang dengan sekelompok pengawal yang terbaik di Sangkal Putung. — berkata Swandaru kemudian.
Demikianlah maka Swandarupun telah minta diri pula kepada Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih. Dengan nada rendah ia berkata kepada Agung Sedayu — Bagaimanapun juga kami tetap mengharap kakang dapat singgah. Aku akan mempersilahkan kakang membawa kitab guru untuk kepentingan kakang, agar dalam keadaan yang memaksa, kakang dapat setidak-tidaknya melindungi diri sendiri. —
— Aku akan singgah adi — jawab Agung Sedayu — Sekar Mirahpun sebenarnya telah merasa sangat rindu untuk berada di
Sangkal Putung tidak hanya sesaat.
— Apakah Sekar Mirah akan pergi bersamaku sekarang?
— bertanya Swandaru.
Tetapi Sekar Mirah menggelengkan kepalanya. Jawabnya
— Aku menunggu sampai kakang Agung Sedayu sembuh. Kami berdua dan Glagah Putih kelak akan singgah di Sangkal Putung. —
— Baiklah — berkata Swandaru — sebaiknya kau memang menunggu suamimu — desis Swandaru.
Demikianlah, maka Swandarupun kemudian minta diri. Kiai Gringsing, Ki Widura, Sekar Mirah dan Glagah Putih mengantarnya sampai keregol padepokan.
Sejenak kemudian, maka tiga ekor kudapun telah berpacu meninggalkan padepokan itu menuju ke Sangkal Putung.
Sepeninggal Swandaru, maka dalam satu kesempatan, Kiai Gringsing telah berbicara khusus dengan Ki Widura. Sebagaimana sudah disanggupkan maka Widura akan beberapa lama di padepokan itu.
— Ki Widura — berkata Kiai Gringsing — bukan maksudku untuk tidak mengakui kemampuan dan bobot ilmu yang sudah Ki Widura miliki, Namun mengingat kedangkalan dasar yang dimiliki oleh para cantrik, maka aku mohon Ki Widura bersedia untuk menyesuaikan diri. Aku memang tidak dapat minta para cantriklah yang harus menyesuaikan diri, karena mereka memang tidak mempunyai kemampuan cukup untuk itu. —
— Aku mengerti Kiai — berkata Ki Widura — tetapi aku kurang sekali memiliki pengetahuan tentang ilmu yang ditelusuri oleh para cantrik, karena sumber ilmuku memang berbeda.
Aku mengerti Ki Widura — karena itu, selagi masih ada tenaga padaku, aku ingin memberikan beberapa landasan dasar dari ilmu perguruan ini. Aku yakin, bahwa Ki Widura yang telah memiliki kemampuan tinggi, akan dapat menuntun para
cantrik tanpa menggoyahkan sendi-sendi ilmu mereka. —
Ki Widura mengangguk-angguk. Ia mengerti sepenuhnya maksud Kiai Gringsing. Karena itu, maka iapun telah mempersiapkan diri untuk melakukannya.
Namun ternyata Kiai Gringsing tidak mengajaknya pergi ke sanggar. Dengan tongkatnya Kiai Gringsing berjalan menuju ke biliknya. Ketika ia kemudian keluar dari biliknya, orang tua itu telah membawa seberkas rontal.
Ketika rontal itu diberikan kepada Ki Widura, maka Ki Widurapun kemudian bertanya — Apakah rontal ini bagian dari kitab Kiai Gringsing itu? —
Kiai Gringsing menggeleng. Jawabnya — Bukan Ki Widura. Rontal ini aku buat sendiri, sementara kitab itu adalah warisan dari beberapa keturunan. Gambar didalam rontal itu sangat sederhana, tetapi mudah-mudahan akan dapat memadai bagi Ki Widura. —
Ki Widura yang memperhatikan rontal itu sekilas memang melihat garis-garis yang diketahuinya, merupakan bagian dari tata gerak ilmu kanuragan. —
Dengan nada rendah Kiai Gringsingpun kemudian berkata — Ki Widura, aku mohon Ki Widura melihat-lihatnya lebih dahulu. Besok kita akan berada di sanggar. Meskipun karena penyakitku, aku masih lemah, tetapi aku akan dapat memberikan beberapa keterangan tentang gambar yang aku buat dengan sederhana itu. —
Ki Widura mengangguk-angguk. Katanya — Baiklah Kiai. Aku akan mempelajarinya. Mudah-mudahan otakku belum terlalu tumpul untuk mengurai jenis ilmu selain ilmuku sendiri.
— Ah — Kiai Gringsing tersenyum — apa sulitnya? Kecuali jika Ki Widura harus memasuki kemampuan puncak ilmu ini. Tentu Ki Widura memerlukan banyak waktu. Tetapi yang aku harapkan, ilmu yang masih mendasar sekali. —
Ki Widura mengangguk-angguk. Katanya — Malam nanti
aku akan mengurainya dan sudah barang tentu mengingat unsur-unsurnya termasuk watak dan sifatnya. —
— Bukankah pada dasarnya ilmu kanuragan yang satu banyak mempunyai persamaan dengan yang lain? — desis Kiai Gringsing.
— Ya. Itulah sebabnya maka aku menyanggupinya — sahut Ki Widura.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya — Nah, silahkan Ki Widura. Besok kita dapat mulai berada di sanggar meskipun barangkali hanya sebentar. —
— Sebenarnyalah bahwa Kiai memang memerlukan waktu sebanyak-banyaknya untuk beristirahat, — sahut Widura kemudian.
Demikianlah, maka Kiai Gringsingpun kemudian telah minta diri untuk beristirahat, sementara Ki Widura akan mempelajari gambar-gambar yang diberikan oleh Kiai Gringsing kepadanya itu.
Untuk mengurai gambar-gambar yang memang sederhana itu, ternyata Ki Widura telah pergi ke sanggar seorang diri.
Ia telah mengamati gambar demi gambar. Bahkan iapun telah berada di tengah-tengah sanggar, mengurai dan melakukannya. Satu-satu unsur-unsur gerak itu dipahami. Kemudian di dalami sifat dan wataknya. Kemampuannya menghadapi tata gerak ilmu yang lain serta kemungkinan-kemungkinan pengembangannya.
Ki Widura memang bukan seorang yang masih muda Iapun sudah menjadi semakin tua. Namun dengan demikian justru ia memiliki pengalaman yang luas. Sebagai seorang Senapati ia memiliki pengetahuan olah kaprajuritan. Dan sebagai pewaris jalur ilmu Ki Sadewa, ia memiliki landasan yang kuat dalam olah kanuragan.
Karena itu, Ki Widura yang mengendap itu tidak banyak mengalami kesulitan. Dengan hati-hati ia memilahkan unsur-unsur gerak di gambar itu dengan unsur-unsur ilmunya sendiri.
Djtelitinya persamaan-persamaannya, tetapi juga perbedaan-perbedaannya.
Tidak terasa, ternyata Ki Widura berada di sanggar sampai sore hari, Glagah Putihlah yang mencarinya, karena ayahnya seakan-akan telah menghilang. Meskipun semula ia tidak mengira bahwa ayahnya berada didalam sanggar, namun akhirnya setelah dimana-mana ayahnya tidak diketemukannya, Glagah Putihpun telah menjenguk kedalam sanggar pula. Ternyata ia justru menemukan ayahnya disana.
Tetapi ketika Glagah Putih masuk kedalam sanggar, ayahnya sedang duduk merenungi beberapa lembar rontal dita-ngannya.
— Apa yang ayah perhatikan itu? — bertanya Glagah Putih ketika ayahnya berpaling kepadanya.
Widura menggeleng sambil tersenyum. Katanya — Bukan apa-apa. —
Glagah Putihpun kemudian mendekat ketika Ki Widura telah membenahi dan menutup rontalnya. Namun ketajaman panggraita Glagah Putih justru menangkap keringat yang membasahi tubuh ayahnya.
— Ayah sedang berlatih? — bertanya Glagah Putih.
Ki Widura masih tersenyum. Katanya. Sekedar melemaskan tubuh yang telah lama bagaikan membeku. —
Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak ber-tanya lagi. Bahkan iapun kemudian berkata —- Waktu makan siang telah lampau. Tetapi kami masih menunggu ayah. —
— Kami siapa maksudmu? — bertanya Ki Widura.
— Aku dan mbokayu Sekar Mirah — jawab Glagah Putih.
— Apakah mbokayumu tidak makan bersama Agung Sedayu? — bertanya Ki Widura pula.
— Mbokayu memang menunggui kakang Agung Sedayu makan. Tetapi mbokayu sendiri belum makan. — desis Glagah Putih.
Ki Widurapun kemudian keluar pula dari sanggar. Keringatnya memang membasahi bajunya. Karena itu, maka katanya — Aku ke pakiwan dulu. Udara memang panas sekali didalam sanggar, sehingga dengan bergerak sedikit saja, keringatku bagaikan terperas dari tubuhku. —
Glagah Putihpun kemudian menemui Sekar Mirah dan memberitahukan bahwa ayahnya diketemukannya di dalam sanggar.
— Agaknya ayah merasa sudah terlalu lama tidak mempergunakan tubuhnya. Katanya, ayah berusaha melemaskan tubuhnya yang sudah hampir membeku itu. — berkata Glagah Putih.
Beberapa saat kemudian Ki Widurapun telah datang setelah berganti pakaian. Merekapun kemudian makan diruang dalam. Kiai Gringsing sendiri biasanya dilayani didalam biliknya oleh beberapa orang cantrik dengan jenis makanan yang khusus yang ramuannya ditentukan oleh Kiai Gringsing sendiri. Kiai Gringsing hanya sedikit sekali makan nasi. Yang terbanyak justru adalah sayur-sayuran dan buah-buahan.
Dalam pada itu, Glagah Putih sempat bertanya pula tentang rontal yang dibawa oleh Ki Widura didalam sanggar itu. Apakah yang termuat didalam rontal itu ada hubungannya dengan latihan-latihan khusus yang dilakukan oleh Ki Widura.
Ki Widura tersenyum. Katanya — Memang ada, Glagah Putih. —
Glagah Putih mengerutkan dahinya. Sementara Sekar Mi-rahpun nampaknya menaruh perhatian pula atas pertanyaan Glagah Putih itu. Karena itu, agar mereka tidak justru dibayangi oleh keinginan tahu mereka, maka Ki Widurapun telah mengatakan apa yang sebenarnya tentang rontal itu serta rencana Kiai Gringsing untuk memberikan kesempatan kepadanya meningkatkan latihan-latihan bagi para cantrik.
Glagah Putih dan Sekar Mirah mengangguk-angguk. Namun dalam pada itu Glagah Putihpun justru berkata — Agak-
nya ayah sendiri akan dapat memanfaatkan-kesempatan itu Pula-
— Aku sudah terlalu tua untuk meningkatkan ilmuku — berkata Ki Widura — biarlah para cantrik itu saja yang tumbuh bagi masa depan. —
— Tetapi satu hal yang barangkali perlu mendapat perhatian ayah. Mereka yang ada di padepokan ini bukan prajurit. Ayah sudah terbiasa memimpin sepasukan prajurit sehingga mungkin ayah akan memperlakukan para cantrik seperti para prajurit — berkata Glagah Putih sambil tersenyum.
Sekar Mirahpun tersenyum. Namun Ki Widura menjawab – Tetapi para cantrikpun terikat oleh satu paugeran yang berlaku di padepokan ini, meskipun berbeda dengan paugeran bagi seorang prajurit. Paugeran di padepokan inipun harus ditaati sebagaimana para prajurit harus mentaati paugeran bagi mereka. —
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya — Ya. Sedangkan akupun harus menurut perintah dan petunjuk kakang Agung Sedayu dan Ki Jayaraga. —
— Tetapi ternyata hal itu berlaku dimana-mana — berkata Ki Widura kemudian — tatanan kehidupan itu ada di semua lingkungan. —
Glagah Putih dan Sekar Mirahpun mengangguk-angguk pula. Sementara itu tiba-tiba saja Ki Widurapun berkata — Glagah Putih. Jika lukamu tidak terasa sakit lagi, ikutlah aku ke Sanggar. Kita akan mengurai gambar-gambar yang dibuat oleh Kiai Gringsing. —
— Tetapi Glagah Putih belum dibenarkan terlalu banyak bergerak paman — sela Sekar Mirah.
— Kami hanya akan mengenali tata gerak dan unsur-unsurnya. Bukan untuk menilai dan memperagakannya — berkata Ki Widura kemudian.
Demikianlah setelah berbincang sejenak, maka Sekar Mi-
rah telah berada kembali didalam bilik Agung Sedayu, sementara Glagah Putih telah membantu ayahnya menterjemahkan gambar-gambar sederhana yang dibuat oleh Kiai Gringsing yang akan menjadi pegangan Ki Widura meningkatkan ilmu kanuragan para cantrik di padepokan kecil itu.
Setelah beberapa lama mereka mengurai, maka Ki Widurapun kemudian berkata — Besok Kiai Gringsing akan memberikan beberapa keterangan. Jika sebelumnya aku sudah mencoba memahaminya, maka aku kira besok rencana Kiai Gringsing akan berjalan lebih cepat. Agaknya Kiai Gringsing masih terlalu lemah untuk terlalu banyak bergerak. —
Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara sanggar itu telah menjadi gelap. Seorang cantrik telah menyalahkan lampu minyak didalam sanggar itu.
— Apakah obor-obor itu juga dinyalakan jika sanggar ini akan dipergunakan? — bertanya cantrik itu.
— Tidak — jawab Ki Widura — tidak perlu. Kami sudah selesai. —
Sebenarnyalah Ki Widura dan Glagah Putih telah mengakhiri pengenalan mereka atas gambar-gambar yang dibuat oleh Kiai Gringsing itu. Karena itu, maka keduanyapun kemudian telah keluar dari sanggar dan membenahi diri setelah mereka pergi ke pakiwan.
Namun Widura agaknya masih belum berhenti. Setelah makan malam, maka didalam biliknya Wirudapun telah melihat-lihat lagi gambar sederhana yang diberikan oleh Kiai Gringsing sehingga larut malam.
Seperti dijanjikan oleh Kiai Gringsing, maka di hari berikutnya, bersama Ki Widura, keduanya telah berada didalam sanggar. Kiai Gringsing yang masih lemah itu, memang tidak memberikan beberapa contoh gerak. Tetapi mempersilahkan Widura untuk melakukannya. Namun setiap kali Kiai Gringsing memberikan beberapa keterangan tentang maksud dari setiap unsur gerak yang dilakukan serta urut-urutannya.
— Ternyata semuanya berjalan sangat lancar — berkata Kiai Gringsing — aku memang sudah yakin bahwa Ki Widura akan dengan cepat menguasainya. Karena yang dilakukan oleh Ki Widura adalah tinggal mengingat-ingat urutan geraknya, sementara watak dan tujuan setiap gerak telah Ki Widura ketahui. —
Ki Widura mengangguk-angguk. Katanya — Aku sudah mempelajarinya dan mengenalinya bersama Glagah Putih kemarin Kiai. —
— O — Kiai Gringsing mengangguk-angguk.-— sokurlah. Dengan demikian, pekerjaanku akan menjadi sangat ringan.—
Namun demikian Kiai Gringsing telah memberikan batasan waktu kira-kira dua pekan bagi Ki Widura bersamanya untuk benar-benar mengenal dan mampu menuangkan kembali kepada para cantrik. Meskipun Kiai Gringsing juga berkata — Aku mengerti, jika pada suatu saat unsur-unsur gerak dari ilmu Ki Widura sendiri akan mempengaruhinya. Tetapi itu tidak apa-apa. Apalagi jika hal itu sudah disadarinya sejak semula sehingga yang terjadi adalah justru dengan sengaja memperkaya unsur-unsur gerak yang telah dimiliki oleh para cantrik itu. —
Meskipun keadaan Kiai Gringsing masih lemah, tetapi ia memang dapat memberikan banyak keterangan dan petunjuk kepada Ki Widura selama waktu yang diperlukan.
Dalam pada. itu, dari hari kehari keadaan Agung Sedayu-pun menjadi semakin baik. Ketika pekan pertama lewat, Agung Sedayu telah berjalan-jalan di halaman padepokan. Sementara. itu luka Glagah Putihpun telah sembuh pula meskipun masih membekas. Bahkan agaknya bekas itu akan tidak mudah dihilangkan dari wajah kulitnya.
Dalam keadaan yang demikian, maka Agung Sedayu sudah mulai memikirkan kemungkinan untuk pergi ke Sangkal Putung. Ia tidak ingin terlalu mengecewakan Sekar Mirah yang ingin berada di rumah tempat kelahirannya itu untuk beberapa hari. Jika mereka terlalu lama berada di Jati Anom, maka Sekar Mirah hanya akan mendapat ketempatan satu dua malam saja di Kademangan Sangkal Putung, karena jika mereka terlalu
lama pergi, yang menunggu di Tanah Perdikan Menoreh akan menjadi sangat gelisah pula.
Namun dalam pada itu Glagah Putih telah berkata kepada Agung Sedayu — Apakah sebaiknya aku mendahului pulang ke Tanah Perdikan, agar Ki Gede dan keluarga di Tanah Perdikan tidak menjadi cemas? —
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun iapun menggeleng sambil berdesis — Kau tunggu aku. Mudah-mudahan Ki Gede dan Ki Jayaraga menganggap bahwa kerinduan Sekar Mirah kepada kampung halamannya masih belum sembuh.—
Sekar Mirah hanya tersenyum saja. Sementara Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia sadar bahwa Agung Sedayu mencemaskan perjalanannya, karena suasana yang nampaknya memang menjadi kalut. Hubungan antara Mataram dan Madiun tidak segera dapat dijembatani.
Di hari berikutnya Agung Sedayu sudah berjalan-jalan dikebun padepokan melihat-lihat berbagai macam tanaman sayur-sayuran dan kolam ikan. Menghiriup segarnya udara di-antara hijaunya pepohonan dan heningnya air belumbang.
Selain obat yang tepat, daya tahan yang sangat besar didalam tubuh Agung Sedayu seakan-akan telah mempercepat perkembangan kesehatannya. Selapis demi selapis kekuatan tubuh Agung Sedayu merambat mendekati pulih kembali.
Dalam pada itu, maka Ki Widurapun telah menyelesaikan pengenalannya atas dasar ilmu dari perguruan kecil di Jati Anom itu. Dengan demikian, maka ia tidak akan membingungkan para cantrik dengan unsur-unsur gerak yang tidak mereka kenal. Sementara itu atas persetujuan Kiai Gringsing, Ki Widura dapat memperkaya pengenalan para cantrik atas unsur-unsur gerak yang akan dapat saling mendukung. Bukan yang dapat menghambat arti daripada setiap unsur gerak itu.
Demikianlah maka ternyata bahwa Agung Sedayu telah membutuhkan waktu lebih dari sepuluh hari untuk memulihkan keadaannya seperti semula. Bahkan ketika ia merasa cukup kuat untuk pergi ke Sangkal Putung, maka kekuatan dan kemam-
puannya masih belum utuh seperti sebelum terjadi pertempuran itu.
Namun agaknya Agung Sedayu sudah merasa cukup lama berada di padepokan kecil itu. Iapun telah mulai memikirkan kegelisahan orang-orang Tanah Perdikan. Bahkan mungkin dapat terjadi sesuatu pula di Tanah Perdikan itu. Namun di Tanah Perdikan itu masih ada Ki Gede sendiri dan Ki Jayaraga disamping pasukan khusus Mataram yang ditempatkan di Tanah Perdikan Menoreh.
Dengan demikian, maka Agung Sedayupun telah menemui gurunya untuk mohon diri meninggalkan padepokan kecil itu.
— Apakah kau sudah merasa cukup baik? — bertanya Kiai Gringsing.
— Ya Guru. Aku sudah merasa hampir pulih kembali. Agaknya selama perjalanan, aku akan justru mendapatkan kekuatanku sepenuhnya kembali. — berkata Agung Sedayu.
— Baiklah — berkata Kiai Gringsing — ternyata pamanmu Ki Widura telah berada di padepokan ini pula. Karena jarak antara padepokan ini dan Banyu Asri tidak terlalu jauh, maka Ki Widura akan dapat mondar-mandir setiap saat yang dikehendakinya.
Agung Sedayu mengangguk-angguk, sementara Ki Widura tersenyum sambil berkata — Aku akan berada di dua tempat. —
— Ya paman — Agung Sedayupun tersenyum — satu kepentingan tersendiri. —
Ki Widura justru tertawa karenanya.
Demikianlah Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih telah mohon diri. Mereka sama sekali tidak merasa menyesal bahwa mereka menjumpai kesulitan justru ketika me-reeka menengok gurunya di padepokan kecilnya. Bahkan mereka merasa bersukur, bahwa mereka mendapat kesempatan untuk ikut menyelamatkan padepokan itu, maka padepokan itu akan dapat menempuh cara yang lain untuk menyelamatkan
dirinya, karena Untara juga menaruh perhatian yang besar bagi padepokan itu.
Kiai Gringsing, Ki Widura dan hampir seisi padepokan itu telah melepas mereka di halaman. Bahkan Kiai Gringsing, Ki Widura dan beberapa orang lainnya mengantar mereka sampai keluar regol. Sehingga sejenak kemudian, maka kuda-kuda dari ketiga orang yang meninggalkan padepokan itu telah berlari meskipun tidak terlalu kencang, menuju Sangkal Putung. Tetapi mereka masih akan singgah sejenak untuk minta diri kepada Untara dan keluarganya.
Dalam kesempatan itu Untara telah memberikan beberapa keterangan tentang perkembangan terakhir. Yang datang justru perintah untuk bersiaga sepenuhnya dan semakin berhati-hati menghadapi orang-orang yang menyusup Ibu Kota Mataram dan sekitarnya.
***
lanjut kitab 231
Absen dulu ahh…