Maaf, tidak ada tulisan yang memenuhi kriteria Anda.
Buku III-31
The URI to TrackBack this entry is: https://adbmcadangan.wordpress.com/buku-iii-31/trackback/
Maaf, tidak ada tulisan yang memenuhi kriteria Anda.
The URI to TrackBack this entry is: https://adbmcadangan.wordpress.com/buku-iii-31/trackback/
Alhamdulillah
akhirnya
ada harapan…..
Mana ya kitabnya?
Tak pikir ada 5 titik
iki tak paringi 5 titik
. . . . .
tengkiu nyi seno…
sy jg punya 5 Titik :
1. Titik Puspa
2. Titik sandora
3. Titik Qadarsih
4. Titik Dwi Jayanti
5. Titik Prabowo
Urusan antri mengantri dan berebut jatah, Ki Gonas yang paling top.
enggak juga kok ki…
buktinya di gandok 31-36….
absenku nggak ada, soalnya sudah ada kitabnya, jadi gak usah absen langsung download aja hehehehehe…., nanti tak tulisi maturnuwun di gandok 236.
gimana sih cara donlot? ada yang bisa ada yg gak bisa? tolonooo….ng
saya bisa keluar lagi.
Lega rasanya (menarik nafas panjang), dua hari saya terkunci di dalam gandok 231.
Rupanya Nyi Seno lupa kalau saya masih di dalam gandok, pintu diselorok dari luar.
Selamat malam Ki sanak semua
Lha, rak tenan to. Alhamdulillah, jebule pancen ora ono opo2 karo nyi Seno, matur nuwun nyi
Kulo tututi kulo tenggo kok yo njenengan ‘igak’ medhal-2. kulo pun nggada pikiran macem-2, lho ki
ahirnya
Terima kasih Nyi Senopati sudah mengabulkan permintaan kami
Kawulo ikut senang
ternyata sebagian besar para cantrik sekarang sudah menguasai ilmu sabar 😀
nuwun,
Ki KontosWedul
Hueeekkkkkkk….hemmmmm…..marem tenan leh aku glegeken.
akhirnya datang juga
terima kasih Nyi
obat kangen tenan iki…
Syukurlah,..
Akhirnya padepokan udah bisa beroperaisi lagi
Terima Kasih Nyai Senopati…
akhirnya geber sudah dibuka
terima kasih Nyi Seno
Terima kAsih Nyai, sudah hampir semaput nunggu kabar baik dari Nyai.
sabar , tapi sambil minta jatah rapelan
Terima Kasih Nyi
Mak nyes atine
Alhamdulillah, akhirnya dibuka lagi ……
Legaaaaa
Akhir dari sebuah Penantian
Terima kasih nyi
awal sebuah harapan
maturnuwun
ochhh…….
dah buka toh
syukuuuuuuuuur….
salut Nyi
dan matur nuwun juga Nyi
kitab 231 sudah saya unduh
sekali lagi matur nuwun
ono opo iki koq ora ono sanderan ….
gerak pasukan gak pake rontek, umbul-umbul
juga gak pake panah sanderan Ki,
pasukan bergerak secara diam-diam
kaya prajurit sandi……
he…he..he.. pada lupa kalau ki pandan masih bisa menerima sinyal ps…
akhirnya….
Yang ngantri kok cuma 21 orang, yang lain pada kemana tuh. Ki Gonas sduah, Ki Pandanalas sudah, Ki SAS sudah, mana cantrik lawasa lainnya: Ki Widura, Ki Probo, Ki Jogoboyo dan yang lain” Hayo,segera isi absen dan ambil jatahnya.
inyong ora disebut Ki ?
Wah…, ngapunten Ki (sambil menjura)
Kuman di seberang laut tampak, gajah di depan mata tidak tampak.
Ngapunten nggih.
duh rodo ngantuk nok ndi yo kitabe kok rung weruh
Nggawe kopi sik Ki, ben padhang pandulune.
Iku lho, gemlethek neng pojok.
wis,wengi iki aku arep ronda, sopo sing ndaftar?
Gak melu ronda Ki.
Iki sik ngrampungno gaweyan kanggo sesuk.
Nanging monitor terus kok.
Syukur nJenengan bisa keluar dari gandok 231. 🙂
duh ngantuke tenanan iki wis ngombe kopi rung gelas mripate rung melek, pojok wis diinceng ning tetep rung ketok, nomor piro yo kamare sing ono pojoke
wah nuwun ki wis entuk
Syukur …. Gandok sudah dibuka ..
dan akhirnya Kitab BELUM keluar ….
yang BELUM diharapkan keluar, Ki Arema, malah keluar dulu. 🙂
nuwun nyi seno kitabipun
Hore… gandok wis dibuka… Kitab diwedar….
Matur nuwun sanget Kang mBokayu Ati…..
Matur nuwun Nyi Seno … moga-moga data2nya bisa direcover kembali …
waduh tak pikir aku sing paling ngikuti terus kapan metune kitab, ternyata antri oleh nomer buncit dewe, bener2 para cantrik semangat 45 iki
Matur tengkyu Nyi Senopati
Terima kasih Nyai Seno. Aku bisa no 30 jooooooooooooo. huahahahaa. Prestasi hebat
terima kasih nyi.. moga2 niat rapelnya jadi dilaksanakan 😀
Weleh pesen ku gak diterima moderator. Opo o yo? Yo wis, aku melu absen.
Sudah diunduh Nyi Seno, Terima kasih!
Apa ku bilang dulu? Sudah ada TITIKnya, tho!
Kae lho sing pengin glegeken ndang pindah gandok sebelah
akhilnya bisa antli lagi
Alhamdulillah ….
Bisa berkumpul lagi …
Melu Nyai
telima kasih
Alhamdulillah,..sudah dibuka kembali gandoknya,..
Terimakasih Ki GD & Nyi Seno,..
Akhirnya, setelah penantian yg panjang.
Matur suwun Nyi …..
makasih Nyi,sebab titik sebuah bahagia semuanya
Akhirnya … nuhun bude n ki Gd. titik
trims nyai…
Ahkir Penantian….Nuwun
Dalem madosi Mbak “titik” kok mboten kepanggih. Wonten ingkang saged mbiyantu ? Matur nuwun
Di hal pertama Ki.
Maaf tidak….
Ternyata senopati masih “bernafas”, sehingga bisa memimpin pertempuran lagi. Jadi isu senopati telah gugur di pertempuran tidak akurat. Selamat bertugas kembali senopati. Gusti Allah sik mbales. Suwun.
Horeee..
Makasih Nyi..
Glegek…glegek
Beberapa hari.. ga nongol..
Ternyata sudah ramai…
Walaupun terlambat yang penting absen hadir Nyi..
Trim’s…
Terima kasih, matur nuhun,
uenak tenan
matur kesu’un kak……
akhitnya jogoboyo sudah bisa muncul lagi dari tanah air……
kekekekeke…..
jebulnya kitab dereng di wedhar….
apa sudah ya ???
selamat menikmati kemacetan jakarta lagi dimas, en met berbahagia jumpa belahan jiwa.. kekekekeke
thanks bulek …..Seno
Weh akhirnya masih bisa diwedhar kitabnya…soale kemarin kan Gedong pusaka tiba tiba tidak bisa dibuka dan terakhir malah Padepokan libur….weh deg-degan tenan
Matur Nuwun Nyi Seno….anda memang juara
alhamdulillah. sabar itu luhur wekasane..
dilanjutkan ………
Tetapi menurut pengamatan para prajurit dari Jati Anom itu bahwa para prajurit yang datang dengan Jaka Rampan dan Gondang Bangah ternyata telah terpukau oleh pertempuran diarena antara pemimpinnya yang mereka anggap melampaui kemampuan orang-orang berilmu melawan anak muda Sangkal Putung.
Namun ternyata murid Kiai Gringsing itu benar-benar tidak mengecewakan. Untara yang tegang itu kadang-kadang sempat juga mengangguk-angguk melihat kemampuan Swandaru yang mendebarkan.
Beberapa kali telah terjadi benturan antara kedua orang yang sedang bertempur itu. Namun Swandaru yang telah meningkatkan kemampuannya itu membuat lawannya semakin heran.
Tetapi Jaka Rampan adalah seorang perwira muda yang tangguh. Dalam keadaan yang gawat, ia masih sempat melenting surut. Namun dengan kecepatan yang sangat tinggi, ia telah meloncat menyerang lawannya. Kedua tangannya terjulur kedepan dengan telapak tangan yang mengembang, tetapi dengan jari-jari yang merapat. Kedua telapak tangannya bersusun menelungkup. Namun dengan cepat bergerak mengembang, demikian kakinya menyentuh tanah selangkah di depan Swandaru.
Swandaru yang melihat gerak lawannya, justru telah menyilangkan kedua tangannya didadanya. Namun ternyata kedua tangan Jaka Rampan yang mengembang itu telah menyerang kening Swandaru dari dua arah.
Tetapi Swandaru tidak menjadi bingung karenanya. Dengan cepat ia merendahkan dirinya. Kedua tangannyalah yang kemudian menyerang dada orang yang berdiri diha-dapannya itu, sementara kedua tangan orang itu tidak menyentuh sasarannya.
Namun orang itupun cukup tangkas. Dengan cepat Jaka Rampan bergeser surut, sehingga tangan Swandaru tidak mencapainya.
Demikian pertempuran itupun semakin lama menjadi semakin cepat. Baik Jaka Rampan maupun Swandaru telah meningkatkan ilmu mereka. Mereka mengerahkan tenaga cadangan mereka sampai ke batas kemampuannya.
Sebagai seorang perwira yang sedang dengan cepat meningkat, maka Jaka Rampan merasa sudah terlalu lama bertempur melawan anak Demang Sangkal Putung itu. Seharusnya ia lebih cepat mengalahkannya, sehingga ia akan tetap dianggap seorang yang berilmu tinggi. Seorang yang pantas disebut putera terbaik dari Mataram.
Tetapi betapa ia mengerahkan kemampuannya, ternyata ia masih belum dapat menjatuhkan anak Ki Demang Sangkal Putung itu. Bahkan justru anak Ki Demang Sangkal Putung itu rasa-rasanya semakin lama menjadi semakin kokoh.
Gondang Bangah memang menjadi sangat gelisah menyaksikan pertempuran itu. Apakah seorang perwira seperti Jaka Rampan itu akan dapat diimbangi ilmunya oleh seorang anak Demang.
Namun sebenarnyalah Jaka Rampan justru mulai mengalami kesulitan. Swandaru yang dengan sungguh-sungguh menekuni ilmunya itu, semakin lama justru menjadi semakin kuat. Tenaganya sama sekali tidak menjadi susut, meskipun keringat telah terperas dari tubuhnya.
Pada setiap benturan yang terjadi terasa bahwa kekuatan Swandaru tidak menjadi susut, tetapi justru rasa rasanya menjadi semakin meningkat. Tubuhnya menjadi semakin keras dan gerakannyapun menjadi semakin tang kas.
Jaka Rampan mengumpat didalam hati. Sebagai seorang perwira yang berpengalaman, maka iapun segera berusaha mengatasi kemampuan Swandaru. Jaka Rampan mulai dengan segenap kemampuannya berusaha menyerang titik-titik kelemahan Swandaru. Menurut pengetahuan Jaka Rampan betapapun kemampuan seseorang, namun mereka tetap memiliki kelemahan itu. Kelemahan yang terdapat pada bagian-bagian tertentu tubuhnya.
Tetapi Swandarupun mengerti, bahwa Jaka Rampan -itu telah membidik tempat-tempat yang lemah sebagaimana telah dipelajarinya dari gurunya. Kiai Gringsing sebagai seorang yang memiliki kemampuan pengobatan telah memberitahukan kepadanya dalam latihan-latihan olah kanuragan, bahwa ada delapan kelemahan pokok terdapat pada tubuhnya. Kemudian dua belas tempat lainnya pada tataran kedua, dan lebih banyak lagi pada tataran ketiga.
Dengan demikian maka Swandarupun telah memperhitungkan hal itu pula. Bahkan sebagaimana dilakukan oleh lawannya, maka Swandarupun telah melakukan hal yang serupa.
— Agaknya orang ini benar-benar akan mengakhiri pertempuran tanpa memikirkan akibatnya — berkata Swandaru didalam hatinya, karena serangan-serangan pada tempat-tempat yang paling lemah akan dapat berakibat gawat. Bahkan titik-titik kelemahan itu akan benar-benar dapat membunuh seseorang atau membuatnya cacat.
Sementara itu, Untara mulai menjadi tenang ketika ia melihat bahwa Jaka Rampan memang tidak dapat dengan segera mengalahkan Swandaru dan menepuk dada sebagai putera terbaik dari Mataram, sehingga wajarlah jika ia berusaha untuk berbuat sesuatu bagi kebaikan Mataram atas rencananya sendiri.
Pandan Wangi yang semula merasa cemas, menjadi lebih tenang pula. Kemampuannya mengamati ilmu seseorang telah menunjukkan kepadanya. Meskipun banyak kemungkinan dapat terjadi, seandainya Swandaru berbuat kesalahan oleh kelengahannya atau oleh sebab-sebab lain, namun dalam keadaan wajar, ia tidak akan mudah dikalahkan.
Sekar Mirahpun kemudian hampir menjadi yakin bahwa kakaknya akan mampu bertahan sampai akhir pertempuran.
Ditempat lain Glagah Putih yang pernah menilai latihan-latihan yang dilakukan oleh Swandaru didalam sanggar padepokan di Jati Anom justru masih berharap Swandaru meningkatkan ilmunya selapis lagi.
Sebenarnyalah, bahwa ketika kedua belah pihak telah merasa bahwa pertempuran itu sudah berlangsung terlalu lama tanpa ada yang dapat menunjukkan kemenangannya, sementara langitpun mulai menjadi terang, maka Jaka Rampan benar-benar telah mengerahkan tenaganya, justru pada saat-saat tenaganya sudah mendekati batas susut.
Namun Swandaru telah siap menghadapi kemungkinan itu. Apalagi karena Swandarupun tahu bahwa sebenarnya Jaka Rampan telah sampai pada batas.
Karena itulah, maka Swandarulah yang kemudian lebih banyak menguasai arena. Ia masih tetap tegar dan kuat. Bahkan seakan-akan tenaganya justru masih akan dapat bertambah. Tubuhnya masih mungkin mengeras dan ketahanan tubuhnya masih lebih baik dari Jaka Rampan.
Gondang Bangah yang berada diluar arena, ternyata mampu menilai kenyataan yang telah terjadi. Sebenarnyalah ia merasa sedih bahwa seorang perwira prajurit Mataram yang namanya mulai menanjak, ternyata tidak lebih baik dari anak seorang Demang di Sangkal Putung.
Tetapi jika kenyataan itu yang terjadi, maka Gondang Bangah itu memang tidak dapat berbuat apa-apa.
Sementara itu dalam keadaan terakhir, Swandarulah yang bertempur dengan dada tengadah. Ia telah membuktikan, bahwa ia memiliki kemampuan yang lebih baik dari seorang perwira prajurit yang dianggap sebagai seorang perwira yang berilmu tinggi.
— Kakang Agung Sedayu tidak akan dapat menuduhku hanya sekedar berbicara — berkata Swandaru didalam hatinya.
Pada saat-saat berikutnya, Jaka Rampan menjadi semakin terdesak. Sementara itu Swandaru justru menjadi semakin cepat bergerak. Beberapa kali serangannya ber hasil menyusup pertahanan Jaka Rampan sehingga sekali-sekali tangannya telah mengenai tubuh perwira prajurit Mataram itu.
Jaka Rampan yang mengerahkan tenaganya disaat-saat yang gawat itu sekali-sekali memang juga berhasil mengenai tubuh Swandaru, tetapi dalam perbandingan yang lebih jarang. Iapun tidak sempat mengenai tepat pada sasaran yang dibidiknya, pada bagian-bagian yang sangat
lemah ditubuh Swandaru.
Ketika tubuhnya menjadi semakin lemah, sementara serangan Swandaru datang semakin deras, maka sekali-sekali Jaka Rampan itu seakan-akan hampir kehilangan keseimbangannya. Bahkan ketika tangan Swandaru yang terayun kesamping mendatar berhasil mengenai dadanya, maka Jaka Rampan itu telah terhuyung-huyung beberapa langkah surut. Swandaru yang tidak mau kehilangan kesempatan telah memburunya. Satu tendangan kakinya kemudian telah mengenai sekali lagi dadanya itu yang bagaikan menjadi retak.
Jaka Rampan benar-benar tidak dapat bertahan untuk tetap tegak. Karena itu, maka iapun telah terdorong beberapa langkah lagi surut dan kemudian jatuh terguling di tanah.
Namun oleh pengalaman dan kemampuan yang ada didalam dirinya, maka Jaka Rampan itupun telah melenting berdiri. Betapapun kekuatannya telah semakin surut, namun ia masih juga mampu tegak dan bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Tetapi Swandaru ternyata tidak memburunya lagi. Ia berdiri sambil bertolak pinggang memandang lawannya yang nampak menjadi semakin lemah.
Sementara itu langit memang sudah menjadi terang. Untarapun kemudian maju beberapa langkah. Ia berdiri diantara Jaka Rampan dan Swandaru yang tegak dengan dada tengadah.
— Aku kira permainan ini sudah cukup — berkata Untara — kita sudah tahu, siapakah yang kalah dan siapakan yang menang. —
— Siapa yang kalah menurut pendapat Ki Untara? — bertanya Jaka Rampan dengan wajah yang tegang.
Untara mengerutkan keningnya. Dengan nada tinggi ia justru ganti bertanya — Jadi kau merasa belum kalah? —
— Aku belum kalah — berkata Jaka Rampan — aku tan-
tang anak Demang Sangkal Putung itu bertempur dengan senjata. Seorang prajurit baru dapat dinilai dengan lengkap jjka ia sudah mempergunakan senjatanya. Tanpa senjata ia masih belum seorang prajurit yang utuh. —
— Tidak perlu — berkata Untara.
Namun Swandaru berteriak — Jika ia ingin kita bermain senjata, maka aku tidak berkeberatan.
— Nah, Ki Untara mendengar sendiri. Betapa ia menjadi sangat sombong. Seolah-olah ia berhasil meruntuhkan nilai dan harga diri seorang prajurit, — berkata Jaka Rampan.
— Kenapa? — justru Untara bertanya — apakah salahnya jika seseorang yang bukan prajurit mempunyai kemampuan melampaui seorang prajurit seperti kau yang justru telah merusak citra keprajuritan. —
— Aku akan membuktikan bahwa aku adalah seorang prajurit yang baik. — berkata Jaka Rampan — karena itu beri aku kesempatan bertempur dengan senjata.
— Kau dengar jawabku? Tidak. Kau tidak dapat memaksaku. — berkata Untara.
— Sebaiknya biarlah aku menyelesaikan persoalanku sendiri. Kau tidak perlu turut campur — bentak Jaka Rampan.
Wajah Untara menjadi merah. Dengan nada berat ia bertanya kepada Jaka Rampan — Kau berhadapan dengan siapa? —
Betapapun perasaannya bergejolak, maka naluri keprajuritannya telah mengekangnya. Karena itu, suaranyapun telah menyusut ketika ia kemudian menjawab — Senapati Besar di Jati Anom. —
— Lakukan perintahku — geram Untara.
Jaka Rampan tidak menjawab. Namun Swandarulah yang hampir berteriak — Beri kesempatan kepadanya ber-
main senjata. Aku akan menerima tantangannya.
— Tidak — suara Untara masih tetap tegas — aku perintahkan, pertarungan ini dianggap selesai. Semua kembali ketempatnya masing-masing. —
— Tetapi aku bukan seorang prajurit yang harus tunduk kepada perintah Senapati yang manapun — Swandaru ternyata masih juga berusaha mendesak.
Tetapi Ki Demanglah yang datang kepadanya. Katanya — Dalam keadaan yang gawat, Senapati akan dapat bertugas menangani semua persoalan yang berhubungan dengan pengamanan satu lingkungan. Seandainya kau dapat tidak tunduk pada perintah seorang Senapati sekarang ini, lalu kau akan berkelahi melawan siapa? Nah, sekarang kau dengar. Aku ayahmu. Aku perintahkan kau keluar dari arena ini. —
Swandaru memandang ayahnya dengan ungkapan kekecewaannya. Ketika ia kemudian memandang Agung Sedayu dan Glagah Putih, maka agaknya merekapun sependapat dengan Ki Demang. Namun dalam keragu-raguan itu Pandan Wangi telah mendekatinya. Tanpa berkata apapun juga Pandan Wangi telah membimbing Swandaru keluar dari arena seperti membimbing seorang anak yang kebingungan. Mengambil cambuk Swandaru yang dilepas dan kemudian membawanya masuk lewat seketheng.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sejenak kemudian, maka Ki Demangpun telah mempersilahkan tamu-tamunya untuk kembali naik ke pendapa.
Tetapi agaknya mereka tidak terlalu lama duduk di pringgitan. Untara segera mempersiapkan diri untuk langsung pergi ke Mataram. Ia tidak boleh menunda persoalan itu terlalu lama. Persoalan Jaka Rampan dan Gondang Bangah harus segera ditangani. Mereka tentu sudah meninggalkan kesatuan mereka tanpa diketahui oleh Senapati yang membawahinya langsung, atau dengan cara yang tidak wajar mendapat ijin justru membawa pasukan meski-
pun jumlahnya terlalu kecil, sehingga Jaka Rampan harus menambah pasukannya dalam perjalanan.
Tetapi Untara cukup bijaksana. Ia tidak melucuti senjata pasukan Jaka Rampan dan Gondang Bangah, kecuali kedua perwira itu sehingga mereka tidak menjadi sangat tersinggung. Tetapi Untara telah memberikan penjelasan apa yang sebenarnya terjadi serta kesalahan yang telah mereka lakukan.
Seorang pemimpin kelompok telah menjawab ketika Untara bertanya — Aku tidak tahu yang sebenarnya dari perjalanan ke Timur ini. Aku hanya menerima perintah. Aku kira yang dilakukan oleh pemimpin kami adalah wajar.
— Kalian akan dapat menyampaikan kepada yang bertugas untuk memeriksa kalian di Mataram — berkata Untara.
Demikianlah, ketika segala persiapan telah selesai, maka Untara dan pasukan berkudanya telah membawa Jaka Rampan dan Gondang Bangah bersama pasukannya pula menuju ke Mataram. Kuda-kuda dari pasukan Untara yang ditinggalkan diluar padukuhan induk Kademangan Sangkal Putung telah diambil dan dibawa ke halaman Kademangan.
— Semakin cepat persoalan ini selesai, semakin baik — berkata Untara.
Demikianlah maka sejenak kemudian iring-iringan prajurit Mataram telah meninggalkan Kademangan Sangkal Putung. Untara menolak ketika Ki Demang mempersilah-kannya menunggu agar disediakan makan bagi para prajurit seluruhnya.
— Seorang Senapati yang berdiri tegak pada hak dan kewajibannya — desis Ki Demang.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Bagaimanapun juga ada kebanggaan yang bergetar didalam dada Agung Sedayu, bahwa kakaknya dalam keadaan yang
bagaimanapun juga tetap tegak pada paugeran seorang prajurit.
Sejenak kemudian maka halaman Kademangan Sangkal Putung itupun telah menjadi lengang. Beberapa pengawal masih tetap berjaga-jaga. Sementara Ki Demang telah mempersilahkan para bebahu yang ingin beristirahat untuk pulang. Kecuali Ki Jagabaya yang masih akan berada di Kademangan bersama beberapa orang pengawal.
Agung Sedayu, Glagah Putih dan Sekar Mirahpun telah meninggalkan pringgitan pula. Sementara diruang dalam Swandaru duduk bersama Pandan Wangi. Ketika Ki Demang telah meninggalkan pringgitan, maka iapun telah duduk bersama Swandaru pula.
— Aku menyesal bahwa aku tidak diperkenankan untuk bertempur dengan senjata — geram Swandaru.
— Sudahlah kakang — potong Pandan Wangi.
— Ki Untara telah memerintahkan menghentikan pertandingan itu. Untara telah memerintahkan kepada Jaka Rampan untuk berhenti. Jika kau nekad ingin berkelahi, kau tidak akan mempunyai lawan. – berkata Ki Demang.
— Jaka Rampan tentu akan memaksa juga — jawab Swandaru.
Tetapi kau tahu sikap Untara — sahut Ki Demang.
Swandaru menundukkan kepalanya. Tetapi kekecewaannya masih membayang diwajahnya. Dengan nada rendah ia berkata — Jika perkelahian dengan senjataitu berlangsung, maka aku dapat melakukan untuk beberapa sasaran sekaligus. Kecuali memenuhi keinginan kakang Untara, akupun dapat menunjukkan kepada kakang Agung Sedayu, tataran yang dapat aku capai, sehingga akan dapat mendorongnya untuk sedikit memberikan perhatian kepada ilmunya. —
— Agung Sedayu sudah bukan anak-anak — berkata Ki Demang — ia tentu dapat menempatkan dalam dunianya. Sudah bertimbun pengalaman didalam dirinya. —
— Justru karena itu, ia terlalu yakin akan kemampuan yang sudah dimilikinya. Berkali-kali kakang Agung Sedayu mengalami luka parah jika ia berhadapan dengan lawan yang berilmu tinggi. Tetapi pengalaman yang pahit itu tidak menderanya untuk meningkatkan ilmunya. — desis Swandaru.
— Jangan berprasangka begitu — berkata Ki Demang — jika kau menilai seseorang yang terluka di pertempuran, maka kau harus menilai kedua-duanya. Jika lawannya berkemampuan jauh lebih rendah, maka seseorang tidak akan mengalami sesuatu. Jika keduanya ilmunya seimbang, maka kemungkinan yang buruk akan dapat terjadi pada kedua-duanya. Hal itu berlaku untuk segala tataran. Yang berilmu rendahpun akan dapat terjadi seperti itu. Apalagi yang berilmu tinggi. —
— Apakah ayah menilai ilmu Jaka Rampan terlalu rendah? — bertanya Swandaru.
— Aku tidak mengatakan pertempuran yang baru saja terjadi. Aku mengatakan sesuatu yang berlaku umum. Seandainya ilmu Jaka Rampan dan ilmumu seimbang, maka keadaannya tentu berbeda. — berkata Ki Demang.
— Pengakuan seperti itulah yang ingin aku pancing dari kakang Agung Sedayu — berkata Swandaru — jika ia mengakui bahwa ilmu Jaka Rampan cukup tinggi, maka ia akan menilai kemampuanku yang berada diatas kemampuan Jaka Rampan yang dibuktikan oleh keputusan kakang Untara.
Ki Demang mengangguk-angguk. Sebenarnya ia kurang pendapat dengan Swandaru. Tetapi sulit bagi Ki Demang untuk menyusun pendapatnya itu dalam kalimat yang dapat diucapkan. Sedangkan Pandan Wangi merasa lebih baik untuk berdiam diri dan tidak mencampuri pembicaraan antara ayah dan anak laki-lakinya itu meskipun terasa hatinya juga tergelitik karenanya.
Namun dalam pada itu, Ki Demangpun kemudian
berkata — Sudahlah. Beristirahatlah. Mungkin kau letih. —
— Ya ayah — jawab Swandaru — tetapi sebenarnya aku tidak terlalu letih. —
Ki Demangpun kemudian telah meninggalkan Swandaru di ruang tengah. Namun Swandarupun kemudian telah bangkit pula untuk pergi ke pakiwan.
— Aku akan menyediakan ganti pakaianmu kakang — berkata Pandan Wangi.
Dipintu samping Pandan Wangi bertemu dengan Sekar Mirah. Dengan nada rendah Sekar Mirah bertanya — Bagaimana dengan kakang Swandaru? —
— Kakang Swandaru baru mandi — jawab Pandan Wangi.
— Kakang tidak apa-apa? — bertanya Sekar Mirah pula.
Adalah diluar kehendaknya ketika seolah-olah yang ditekan didalam dadanya telah terungkat — Kakang Swandaru menjadi sangat kecewa. Ia ingin membuktikan bahwa ia mampu mengalahkan seorang perwira Mataram dalam olah senjata. —
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Dengan ragu-ragu ia bertanya — Bagaimana dengan ayah? —
— Ki Demang sudah banyak memberikan pesan kepada kakang Swandaru. — jawab Pandan Wangi.
Sekar Mirah mengangguk-angguk. Ia tahu benar sifat kakaknya yang agak gemuk itu. Namun agaknya Pandan Wangi masih juga menahan diri untuk tidak melepaskan semua yang terasa menyesak didadanya.
— Sekarang kau akan kemana? — bertanya Sekar Mirah.
— Menyediakan pakaian kakang Swandaru. Pakaian yang dipakainya basah oleh keringat dan kotor oleh debu. — jawab Pandan Wangi.
Sekar Mirah mengangguk-angguk. Tetapi ia masih bertanya — Dimana ayah sekarang? —
— Ki Demang pergi ke biliknya mungkin. Ki Demang nampak letih — jawab Pandan Wangi.
Sekar Mirah mengangguk-angguk. Katanya — Jika demikian, nanti saja aku menemuinya.
Namun tiba-tiba saja Ki Demang muncul dari pintu yang lain. Sambil mengusap keningnya ia bertanya — Kau mencari aku? Apakah ada hal yang penting? —
— Tidak ayah. Tidak ada apa-apa — jawab Sekar Mirah. Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Sementara
Pandan Wangipun telah meninggalkan ruangan itu untuk menyiapkan pakaian suaminya.
Ki Demang perlahan-lahan telah mendekati anak perempuannya. Dengan nada rendah ia berkata — Kakakmu memang menjadi sangat kecewa. Tetapi aku tidak dapat berbuat lain. —
Sekar Mirah mengangguk. Sementara Ki Demangpun berkata — Disamping niatnya untuk menunjukkan kepada para prajurit Mataram dibawah pimpinan Jaka Rampan bahwa anak muda Sangkal Putungpun memiliki kemampuan seorang perwira, ada juga niatnya yang baik. —
— Apa ayah? — bertanya Sekar Mirah.
— Swandaru ingin menunjukkan kepada kakak seperguruannya, bahwa kemungkinan untuk meningkatkan ilmu masih terbuka — berkata Ki Demang, lalu — Swandaru menganggap bahwa suamimu tidak cukup banyak menyediakan waktu bagi peningkatan ilmunya. —
— Ayah — berkata Sekar Mirah — kakang Swandaru telah salah menilai kemampuan kakang Agung Sedayu. Aku sudah mencoba untuk memberitahukan hal itu. Tetapi kakang Swandaru menganggap bahwa aku terlalu mengagumi suamiku, sehingga tidak lagi dapat membuat pertimbangan sewajarnya. —
— Aku sudah mengira. — berkata Ki Demang — Agung Sedayu bersikap lebih dewasa dari Swandaru. Tetapi Swandaru menganggap bahwa karena Agung Sedayu beberapa kali mengalami luka-luka parah dalam pertempuran-pertempuran yang pernah dilakukannya, maka Swandaru menganggap bahwa alas kemampuan ilmu Agung Sedayu masih belum cukup tinggi. —
— Bukankah hal itu juga tergantung pada lawannya bertempur? — desis Sekar Mirah.
— Aku mengerti — jawab Ki Demang.
— Kakang Agung Sedayu mendalami ilmunya tidak sekedar pada permukaannya. Tetapi jauh menusuk ke kedalamannya — berkata Sekar Mirah. Lalu katanya — Lawannya yang terakhir ternyata memiliki ilmu kebal dari jenis Aji Tameng Waja. Kakang Agung Sedayu harus mengerahkan segenap ilmunya untuk dapat mengalahkannya. Namun kakang Agung Sedayu sendiri mengalami luka parah. —
Ki Demang mengangguk-angguk. Tetapi kemudian katanya — Dimana suamimu sekarang? —
— Didalam bilik bersama Glagah Putih. — berkata Sekar Mirah — nampaknya mereka mulai mencemaskan keadaan di Tanah Perdikan Menoreh. —
— Bukankah masih ada orang lain yang pantas diketengahkan di Tanah Perdikan selain Ki Gede? — bertanya Ki Demang.
— Memang Tanah Perdikan tidak terlalu mencemaskan. Masih ada Ki Jayaraga, yang juga dianggap guru oleh Glagah Putih. Namun disanapun ada barak pasukan khusus Mataram yang ditempatkan di Tanah Perdikan itu. —
Ki Demang mengangguk-angguk. Katanya kemudian — Bukankah kau dan suamimu tidak akan tergesa-gesa kembali ke Tanah Perdikan? —
— Tetapi kami tidak akan dapat terlalu lama disini.
Meskipun rinduku kepada kampung halaman ini rasa-rasanya masih belum hilang, namun aku tidak dapat mencegahnya, jika kakang Agung Sedayu menghendaki kami kembali — jawab Sekar Mirah.
Ki Demang mengangguk-angguk. Katanya — Terserahlah kepada kalian. Keadaan memang sedang kalut. Ternyata bukan orang-orang Madiun saja yang ingin memanfaatkan keadaan ini. Mungkin untuk keuntungan pribadi atas dasar ketamakan akan harta benda, sedangkan mungkin dilakukan karena menginginkan pujian, drajad dan pangkat. Agaknya ada juga orang-orang Mataram yang melakukannya. —
Sekar Mirah mengangguk-angguk. Katanya — Kita memang harus berhati-hati ayah. —
— Baiklah. Usahakan agar suamimu merasa tenang disini. Jika kau memerlukan sesuatu, katakan kepadaku, — berkata ayahnya — aku memang akan beristirahat setelah semalam suntuk mengurusi Jaka Rampan dengan orang-orangnya. —
Ki Demangpun kemudian meninggalkan Sekar Mirah yang kemudian telah pergi ke dapur. Ternyata Pandan Wangi setelah menyediakan ganti pakaian suaminya juga telah berada di dapur pula.
Hari itu, orang-orang di Kademangan Sangkal Putung masih saja membicarakan tentang sikap Jaka Rampan. Merekapun merasa bangga, bahwa anak Ki Demang telah menunjukkan harga diri anak-anak muda Sangkal Putung pada umumnya.
— Ternyata Swandaru benar-benar seorang yang berilmu tinggi. Ia tidak hanya sekedar membual, berteriak-teriak dan marah-marah kepada anak-anak muda di Kademangan ini. Tetapi ia benar-benar seorang yang berilmu tinggi, — berkata seorang pemimpin kelompok pengawal Kademangan Sangkal Putung.
— Agaknya Ki Demang memang beruntung. Anaknya yang perempuan itupun berilmu tinggi pula. Agung Sedayu dan Pandan Wangi, menantu-menantunya, juga orang-orang yang berilmu tinggi. Seandainya mereka berkumpul di Kademangan Sangkal Putung, maka Sangkal Putung akan menjadi Kademangan terkuat di seluruh tlatah Mataram. — sahut kawannya.
Beberapa orang yang mendengarnya menganguk-angguk. Hampir berbareng dua orang berkata — Ya. Kita akan menjadi terkuat. —
Tetapi seorang yang sudah lebih tua dari mereka berkata — Jika kita terkuat, lalu mau apa? —
Anak-anak muda itu termangu-mangu. Tetapi seorang diantara mereka menjawab — setidak-tidaknya kita dapat berbangga. —
— Dan menyombongkan diri? — bertanya orang yang lebih tua itu.
Sekali lagi mereka termangu-mangu. Namun beberapa orang diantara mereka menjawab — Tentu tidak. —
Sementara seorang anak muda yang lain berkata — Aku kira memang ada perbedaan antara kebanggaan dan kesombongan. —
— Kau benar — jawab orang yang lebih tua itu — tetapi jarak itu terlalu pendek, sehingga jika kita tenggelam dalam kebanggaan diri, maka kita akan terlalu mudah untuk tergelincir dalam sikap yang sombong. —
Kawan-kawannya tidak membantah lagi. Bahkan beberapa
orang yang lain mengangguk-angguk.
Di rumah Ki Demang, suasana masih nampak lesu. Orang-orang di rumah Ki Demang pada umumnya merasa letih. Namun setelah lewat tengah hari, maka mereka telah menjadi segar kembali. Swandarupun telah berada di pendapa bersama Agung Sedayu dan Glagah Putih. Sambil
membawa minuman dan makanan, maka Pandan Wangi dan Sekar Mirahpun telah ikut pula duduk-duduk di pendapa.
Pembicaraan merekapun masih juga berkisar pada sikap Jaka Rampan yang telah menodai wajah prajurit Mataram sendiri.
Namun akhirnya pembicaraan merekapun telah merambat sampai ke Tanah Perdikan Menoreh. Agung Sedayu memang sedikit mencemaskan perkembangan keadaan. Namun seperti yang pernah dikatakan oleh Sekar Mirah, bahwa kehadiran Ki Jayaraga dan adanya barak pasukan khusus di Mataram, akan dapat membantu mengatasi persoalan jika itu timbul di Tanah Perdikan.
— Karena itu, kakang tidak usah tergesa-gesa — berkata Swandaru — jika kakang sempat berada di Kademangan ini barang sebulan, maka kita akan mendapat kesempatan untuk berlatih bersama sebagaimana dahulu sering kita lakukan, disaat-saat kita mulai menapakkan kaki di perguruan kita. —
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian menjawab — Sebenarnya memang menarik sekali. Tetapi rasa-rasanya kami tidak akan dapat berada disini terlalu lama. Jika tubuh dan kesehatanku pulih kembali sepenuhnya, maka kami terpaksa minta diri. —
— Tetapi bukankah seperti kakang katakan, bahwa Tanah Perdikan tidak perlu terlalu dicemaskan? — bertanya Swandaru.
— Sebenarnya itu adalah pernyataan sekedar untuk menenangkan diri. Namun kegelisahan itu masih saja tetap bergejolak didalam hati — jawab Agung Sedayu.
— Jika demikian, kita pergunakan kesempatan yang ada betapapun sempitnya — berkata Swandaru — bukankah kita dapat memanfaatkannya untuk membuat perbandingan ilmu. Bukan dengan maksud apa-apa. Tetapi sewa-
jarnyalah bahwa sebagai saudara seperguruan kita sekali-sekali berlatih bersama. —
Agung Sedayu tersenyum. Namun jawabnya — Aku sebenarnya ingin sekali melakukannya. Tetapi agaknya keadaan tubuhku masih terlalu lemah.
Swandaru mengerutkan keningnya. Dipandanginya Agung Sedayu sejenak. Lalu katanya — Bukankah keadaan kakang sudah baik? Biasakan bergerak kembali agar kau benar-benar segera pulih. Tetapi jika kau masih saja merasa dirimu sakit dan lemah, maka kau benar-benar memerlukan waktu yang lebih lama lagi untuk merasa pulih kembali. —
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Bagaimanapun juga hatinya mulai terasa tergelitik oleh sikap Swandaru. Tetapi Sekar Mirah mencoba untuk menengahi. — Kakang Agung Sedayu akan menilai dirinya sendiri. Jika ia sudah merasa benar-benar pulih, aku kira kakang Agung Sedayu tidak akan berkeberatan. —
Swandaru memandang adiknya sekilas. Tetapi ia menahan kata-kata yang hampir saja terloncat dari bibirnya — Jangan terlalu kau manjakan suamimu. —
— Tetapi untunglah bahwa dalam keadaan tertentu, Swandaru dapat juga menahan diri.
Yang mereka bicarakan kemudian adalah persoalan-persoalan lain meskipun masih juga menyangkut perkembangan Kademangan Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh. Ternyata bahwa kehadiran Sekar Mirah untuk melihat rumah serta kampung halamannya telah membuat Pandan Wangi menjadi rindu pula pada Tanah Perdikan-nya. Tetapi menyadari keadaannya, maka Pandan Wangi memang tidak ingin dalam waktu dekat pergi ke Tanah Perdikan.
— Aku tidak ingin melakukan perjalanan dalam keadaan seperti ini — berkata Pandan Wangi.
— Sokurlah jika Ki Gede sempat menengokmu — desis
Swandaru sambil tersenyum.
— Jika Ki Gede mengetahui, maka Ki Gede tentu akan mencari kesempatan datang ke Kademangan ini — berkata Agung Sedayu.
— Setidak-tidaknya menjelang selapan — desis Sekar Mirah sambil tersenyum.
— Terlalu lama — sahut Pandan Wangi.
Tetapi Swandaru menyahut — Kau kira Ki Gede dapat begitu saja meninggalkan Tanah Perdikan dalam suasana seperti ini? Ada dua hal yang harus diperhatikan. Tanah Perdikan yang ditinggalkannya dan keselamatan Ki Gede sendiri dalam perjalanan. Tetapi tentu tidak demikian dengan seorang Kepala Tanah Perdikan. —
Pandan Wangi mengangguk-angguk. Iapun mengerti sebagaimana dikatakan oleh suaminya.
Pembicaraan merekapun terputus ketika seorang pelayan memberitahukan bahwa mereka telah mempersiapkan makan siang di ruang dalam.
— O — desis Pandan Wangi — ternyata aku terlalu asik disini sehingga aku tidak melihat, bagaimana makan siang itu dipersiapkan. Tunggulah sebentar. Aku akan membenahinya. —
Adalah menjadi kebiasaan Pandan Wangi untuk mengatur sendiri makan terutama jika sedang ada tamu. Karena itu, maka iapun segera meninggalkan pendapa menuju keruang dalam. Namun Sekar Mirahpun telah mengikutinya pula keruang dalam.
Baru sejenak kemudian, Pandan Wangi mempersilah-kan mereka yang ada di pendapa masuk ke ruang dalam untuk makan.
Demikianlah, Agung Sedayu dan Sekar Mirah tinggal beberapa hari di Sangkal Putung. Yang sering menjadi pening adalah Glagah Putih jika ia mendengar Swandaru
memberikan beberapa pesan kepada Agung Sedayu. Ia tidak mengerti, bagaimana Agung Sedayu dapat dengan sabar mendengarkannya.
Dalam pada itu, pada satu kesempatan, selagi Untara sedang melakukan tugas meronda bersama beberapa orang prajuritnya, telah singgah di Sangkal Putung. Untara sekedar ingin memberitahukan kepada Ki Demang bahwa Jaka Rampan dan Gondang Bangah telah diserahkan kepada seorang Senapati yang ditunjuk untuk menanganinya.
— Aku sempat menghadap langsung Panembahan Senapati — berkata Untara. Lalu — ternyata Panembahan Senapati menjadi sangat prihatin. Tetapi Panembahan Senapati belum dapat dengan cepat memecahkan hubungannya dengan Madiun. Bahkan nampaknya persoalan Pajang justru akan dapat menambah jarak itu. —
— Persoalan Pajang yang mana? — bertanya Agung Sedayu yang ikut mendengarkan pula.
— Pengganti Pangeran Benawa — jawab Untara.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia memang sudah menduga, bahwa hal itu akan dapat menjadi persoalan baru bagi Mataram dan Madiun. Sementara di kedua belah pihak terdapat orang-orang yang tamak dan ingin memanfaatkan keadaan itu. Atau mereka yang kurang dapat mengendalikan diri dan ingin bertindak sendiri-sendiri.
Dalam pada itu Untarapun telah menceriterakan pula, bagaimana mungkin Jaka Rampan dan Gondang Bangah meninggalkan kesatuannya dengan membawa prajurit.
— Ternyata bahwa perintah bagi keduanya adalah menangkap sekelompok penjahat yang mengganggu ketenangan satu lingkungan. Jaka Rampan seharusnya mendapat tugas ke Dlingo karena di daerah itu telah timbul keributan. Sekelompok orang telah berusaha menguasai kehidupan beberapa Kademangan di Dlingo. Sedangkan Gondang Bangah harus pergi ke daerah pesisir Selatan, karena keadaan
yang hampir sama. Tetapi keduanya telah bersepakat untuk melakukan tindakan sendiri. Sudah tentu pada keduanya terdapat pamrih pribadi yang baru akan diketahui setelah keduanya menjalani pemeriksaan. —
Yang mendengarkan keterangan Untara itu mengangguk-angguk. Sementara itu Untarapun berpesan pula — Hati-hatilah untuk seterusnya. —
Ki Demang dan mereka yang mendengarkan keterangan Untara itu mengangguk-angguk. Mereka memang harus berhati-hati. Banyak hal yang dapat terjadi. Bahkan kadang-kadang diluar dugaan mereka sama sekali.
Dalam pada itu, ketika Untara meninggalkan Sangkal Putung, maka Agung Sedayupun sekaligus minta diri, bahwa dalam waktu dekat, ia akan langsung kembali ke Tanah Perdikan Menoreh.
— Tolong kakang. Mohon dalam saat-saat tertentu kakang menyempatkan diri menengok guru dan paman Wi-dura di padepokan kecil itu. — berkata Agung Sedayu.
Untara tersenyum. Katanya — Rasa-rasanya aku juga ingin sering berada di padepokan itu bersama paman Wi-dura. Ilmu yang membekali kami berdua bersumber dari mata air yang sama. Meskipun rasa-rasanya aku sudah terlalu tua, apalagi paman Widura, tetapi tidak ada salahnya jika kami berusaha untuk menyegarkan ilmu kami. —
Agung Sedayupun tersenyum pula. Sementara Swandaru menyahut — Tidak ada salahnya kakang. Waktu untuk meningkatkan ilmu tidak dibatasi oleh umur seseorang.
Untara tertawa. Namun sejenak kemudian, ia telah meninggalkan rumah Ki Demang Sangkal Putung.
Adalah diluar dugaan ketika tiba-tiba saja Swandaru berkata hampir berbisik ditelinga Agung Sedayu — Nah, kau dengar kakang. Sementara kakang Untarapun merasa perlu untuk meningkatkan ilmunya. Apalagi kakang Agung Sedayu yang lebih muda. Seharusnya kakang menyediakan
waktu lebih banyak lagi untuk menekuni ilmu. Besok, jika kakang kembali ke Tanah Perdikan, silahkan membawa kitab yang dipinjamkan oleh Guru kepada kita. Kakang tidak perlu tergesa-gesa mengembalikan. Maksudku, kita tidak perlu terikat pada batas waktu tiga bulan di tempat masing-masing. —
Telinga Glagah Putih yang ikut mendengar meskipun perlahan-lahan sekali, terasa menjadi panas. Sementara itu Agung Sedayu menjawab lirih — Terima kasih adi Swandaru. —
Sebenarnyalah, Swandaru telah menyiapkan kitab yang dipinjamkan oleh Kiai Gringsing kepada dua muridnya. Kiai Gringsing memang menyerahkan perkembangan ilmu murid-muridnya kepada kedua muridnya itu sendiri. Menurut penilaian Kiai Gringsing, ilmu Agung Sedayulah yang maju lebih cepat dari ilmu Swandaru.
Dalam pada itu, pada hari yang telah disepakati oleh Agung Sedayu dan Sekar Mirah, maka keduanya bersama Glagah Putih telah minta diri kepada Ki Demang dan seluruh keluarga Kademangan Sangkal Putung.
Sebenarnya mereka memang masih ingin menahan Agung Sedayu suami isteri dan Glagah Putih, tetapi agaknya keadaan yang gawat telah membuat ketiganya tidak dapat terlalu lama meninggalkan Tanah Perdikan.
— Waktuku terlalu lama habis dirampas oleh luka-luka di Jati Anom — desis Agung Sedayu.
— Baiklah — berkata Ki Demang. — Lain kali, sokurlah jika suasana menjadi cepat cerah, kalian akan datang lagi untuk waktu yang lebih lama di Kademangan Sangkal Putung ini. —
Sekar Mirah ternyata harus berjuang melawan air matanya yang mengembang dipelupuk. Apalagi ketika ia minta diri kepada Pandan Wangi. Betapapun ia berusaha, namun setitik air memang telah menetas dari matanya yang
basah. Sehingga Pandan Wangipun harus mengusap matanya sendiri yang menjadi panas.
— Kurnia itu akan datang pada waktunya — bisik Pandan Wangi. Sekar Mirah mengangguk.
Demikianlah, maka beberapa saat kemudian, selagi matahari mulai naik, mereka telah meninggalkan Sangka! Putung. Keluarga Ki Demang telah mengantar mereka sampai kepintu gerbang. Swandaru memang menawarkan beberapa orang pegawai untuk mengantar mereka, tetapi sambil tersenyum Agung Sedayu berkata — Terima kasih adi. Agaknya kami akan tidak terganggu di perjalanan, –
Sejenak kemudian, maka ketiga orang itu telah berpacu di bulak-bulak persawahan Kademangan Sangkal Putung. Beberapa orang yang melihat mereka telah menyapa dan bertanya, apakah mereka akan kembali ke Tanah Perdikan.
Seorang perempuan yang sedang menyiangi sawahnya telah naik kepematang sambil bertanya — Kau tidak menunggu mbokayumu sampai melahirkan? —
Sekar Mirah tersenyum, berapapun hatinya tersentuh. Jawabnya — Kami akan segera kembali lagi bibi. —
Selama mereka masih berada di daerah Kademangan, maka mereka tidak dapat berpacu lebih cepat. Apalagi jika mereka memasuki padukuhan-padukuhan. Maka mereka masih harus menjawab pertanyaan-pertanyaan orang-orang yang bertemu di sepanjang jalan.
Baru ketika mereka telah keluar dari Kademangan Sangkal Putung, maka mereka bertiga dapat mempercepat derak kuda mereka.
— Apakah kita akan singgah di Mataram? — bertanya Glagah Putih.
Agung Sedayu berpaling kepada Sekar Mirah. Jawabnya — Aku kira tidak perlu. Tidak ada persoalan penting yang perlu kita laporkan, karena kakang Untara telah
menghadap langsung untuk memberikan laporan tentang Jaka Rampan dan prajurit-prajuritnya. —
Glagah Putih tidak bertanya lagi. Nampaknya Agung Sedayu memang ingin segera kembali ke Tanah Perdikan. Rasa-rasanya mereka bertiga memang sudah terlalu lama meninggalkan Tanah Perdikan itu. Peristiwa-peristiwa yang terjadi selama mereka berada di Jati Anom dan Sangkal Putung rasa-rasanya telah mendorong Agung Sedayu untuk semakin cepat kembali.
Glagah Putih memang tidak mempunyai kepentingan khusus di Mataram sehingga iapun tidak berkeberatan untuk langsung kembali ke Tanah Perdikan.
— Jika ada persoalan yang harus diselesaikan dengan Mataram, pada kesempatan lain kita akan dapat menghadap — berkata Agung Sedayu pula.
Meskipun tidak mengatakannya, namun Glagah Putih mengetahui bahwa Agung Sedayu bermaksud mengatakan — Sekarang kita kembali dahulu ke Tanah Perdikan. —
Meskipun mereka tidak ingin singgah di Mataram, namun mereka telah menempuh perjalanan melalui jalan yang paling ramai. Jalan yang meskipun melalui hutan di Tambak Baya, tetapi jalan itu merupakan jalan yang sibuk. Meskipun hutan Tambak Baya masih merupakan hutan yang pepat dan besar, tetapi disebelah menyebelah jalan, rasa-rasanya hutan itu tidak lebih dari sebuah taman. Justru karena jalan itu cukup ramai, maka binatang buas telah pergi semakin jauh masuk kedalam hutan yang masih jarang disentuh kaki manusia. Bahkan di beberapa tempat telah sekelompok-sekelompok rumah yang bukan saja dihuni, tetapi telah dibuka pula beberapa buah kedai makanan dan minuman. Orang-orang yang tinggal di rumah-rumah itu sama sekali tidak cemas terhadap binatang-binatang buas yang akan dapat mereka lawan bersama-sama. Jika satu kali seekor harimau tersebut masuk ke lingkungan mereka, maka beberapa orang laki-laki telah
menghadapinya dengan tombak-tombak panjang.
Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih yang berpacu dipunggung kuda meskipun tidak terlalu kencang, telah menyeberangi sungai Opak dan beberapa saat kemudian mereka mendekati lingkungan hutan Tambak Baya. Tetapi karena jalan yang banyak dilewati orang yang hilir mudik, maka mereka sama sekali tidak memikirkan hambatan yang akan dapat mengganggu perjalanan mereka.
Sebenarnya tidak ada niat ketiganya untuk berhenti di sebuah kedai yang terdapat di pinggir jalan itu. Tetapi rasa-rasanya mereka ingin memberi kesempatan kuda-kuda mereka beristirahat.
Karena itu, ketika mereka sampai di sebuah tanjakan yang tidak begitu tinggi, maka mereka telah berhenti di sebuah kedai diantara sekelompok kedai yang lain. Kedai yang cukup besar dan agaknya banyak dikunjungi orang. Beberapa ekor kuda nampak ditambatkan disebelah kedai itu. Sementara seorang laki-laki telah sibuk memberikan air dan makan bagi kuda-kuda itu.
— Kita berhenti sebentar — berkata Agung Sedayu — kuda-kuda kita akan mendapat pelayanan sebagaimana kita sendiri. —
Sekar Mirah yang berpakaian seperti seorang laki-laki itu tersenyum. Katanya — Baiklah. Agaknya Glagah Putih juga sudah haus. Terik matahari dipunggung kita telah memeras keringat kita di perjalanan yang cukup panjang ini. —
— Tetapi aku masih harus bertanya, apakah Glagah Putih bersedia minum atau tidak — desis Agung Sedayu.
Glagah Putih tertawa kecil. Katanya — Aku memang tidak ingin minum bersama kuda-kuda itu. —
Sekar Mirahpun tertawa. Tetapi ia tidak berkata apa-apa lagi.
Demikianlah maka mereka bertigapun telah singgah di sebuah kedai di pinggir Alas Tambak Baya. Sementara itu
kuda-kuda merekapun telah sempat beristirahat. Seperti kuda-kuda yang lain, maka kuda-kuda merekapun telah mendapat minum dan makan. Nampaknya kedai itu telah mengadakan tambahan pelayanan khusus bagi kuda-kuda p,ara tamu yang singgah di kedai itu, sehingga dengan demikian maka orang-orang berkuda yang memang sering lewat jalan itu akan memilih tempat itu untuk singgah.
Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih yang kemudian memasuki kedai itu telah memilih tempat disudut. Tempat yang agak kedalam sehingga tidak banyak mendapat perhatian orang lain. Mereka duduk di sebuah lincak panjang. Di depan lincak itu terdapat sebuah geledeg bambu rendah untuk menempatkan berbagai macam makanan.
Beberapa saat kemudian, maka minuman yang mereka pesan telah dihidangkan. Sebagaimana orang lain didalam kedai itu, maka merekapun kemudian telah meneguk minuman yang masih hangat, meskipun sebenarnya mereka belum terlalu haus. Tetapi perjalanan yang mereka tempuh memang sudah cukup jauh.
Namun beberapa saat kemudian, telah masuk pula empat orang kedalam kedai itu. Seorang diantara mereka telah lewat separo baya. Rambutnya selembar-selembar yang berjuntai dibawah ikat kepalanya telah nampak keputih-putihan, sebagaimana kumis dan janggutnya yang lebat tetapi tidak terlalu panjang. Sedangkan tiga orang lainnya masih nampak agak lebih muda. Bahkan seorang diantaranya nampaknya masih seumur dengan Agung Sedayu.
Ternyata keempat orang itu telah memperhatikan Agung Sedayu sejenak. Merekapun kemudian melangkah dan duduk di lincak panjang di hadapannya.
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Sekar Mirah dan Glagah Putihpun sempat memperhatikan mereka sekilas. Namun mereka tidak lagi menghiraukan keempat orang itu, kecuali Agung Sedayu yang sempat berkata kepada orang yang tertawa itu — Marilah minum Ki Sanak. —
Orang itu mengangguk ramah. Dengan nada rendah ia menjawab — Silahkan Ki Sanak. Kami baru akan memesan. —
Ketika kemudian Agung Sedayu meneguk minumannya, maka orang-orang itupun telah memesan minuman pula.
Beberapa saat mereka saling berdiam diri. Namun kemudian orang yang rambutnya telah memutih itu tiba-tiba saja bertanya sambil mengunyah jenang alot — Bukankah Ki Sanak yang bernama Agung Sedayu? —
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. lapun sedang makan sepotong pondoh beras.
— Ya Ki Sanak — jawab Agung Sedayu setelah menelan makanan di kerongkongannya — aku minta maaf, bahwa agaknya aku agak lupa kepada Ki Sanak seandainya kami sudah pernah berkenalan sebelumnya. —
Orang itu tersenyum. Sementara Sekar Mirah dan Glagah Putih pun nampaknya tertarik kepada pertanyaan itu.
Tetapi jawab orang itu — Kita memang belum pernah berkenalan, Ki Sanak. —
— O — Agung Sedayu mengangguk-angguk.
— Kami hanya mengenal Ki Sanak karena kemasyuran nama Ki Sanak. Meskipun beberapa saat yang lalu, Ki Sanak mengalami luka berat dalam satu pertempuran di Jati Anom — berkata orang itu pula.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada datar ia bertanya — Darimana Ki Sanak mengetahui? –
— Orang-orang terkenal sebagaimana murid-murid Kiai Gringsing tentu lebih banyak diketahui orang tentang keadaannya — jawab orang itu.
— Siapa sebenarnya Ki Sanak? Mungkin sahabat Kiai
Gringsing atau orang yang dekat dengannya? — bertanya Agung Sedayu.
Orang itu tersenyum. Potongan terakhir dari jenang alotnya telah ditelannya. Katanya — Ki Sanak. Kami memang harus kagum terhadap murid-murid Kiai Gringsing yang perkasa. Ki Sanak adalah murid yang tertua. Sementara Swandaru, murid mudapun memiliki kemampuan yang luar biasa. Aku tidak yakin, bahwa kemampuan Swandaru memang berada diatas kemampuan Agung Sedayu. —
— Aku tidak tahu apa yang Ki Sanak katakan — desis Agung Sedayu.
— Beberapa orang sering mendengar Swandaru mengeluh, bahwa kakak seperguruannya agak kurang menyediakan waktunya untuk berada didalam sanggar karena kesibukannya. Agung Sedayu lebih senang berada di bendungan daripada berada didalam sanggar. Karena itu, menurut Swandaru, kemampuan Agung Sedayu lambat sekali berkembang. Tidak sebagaimana terjadi pada Swandaru — berkata orang itu.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya — Agaknya saudara banyak mengetahui tentang keadaan kami. —
— Aku telah berusaha untuk mengetahuinya — berkata orang itu — beberapa hari terakhir aku mencoba untuk mengenal dari dekat murid-murid Kiai Gringsing yang terkenal itu. —
— Ki Sanak — sahut Agung Sedayu — nampaknya Ki Sanak telah membuang waktu untuk kepentingan itu. Apa sebenarnya yang Ki Sanak kehendaki? —
Orang itu tertawa. Katanya — Swandaru adalah seorang anak muda yang perkasa. Ia dikelilingi oleh sepasukan Kademangan yang memiliki kemampuan seorang prajurit. Karena itu, sulit bagiku untuk berurusan dengan
anak muda itu. —
Agung Sedayu mulai menjadi berdebar-debar, Sementara orang itu berkata selanjutnya — Jika aku memaksa diri, maka aku akan berhadapan dengan sepasukan pengawal yang kuat. Betapapun tinggi ilmu seseorang, tetapi jumlah yang banyak akan ikut menentukan kekuatan salah satu pihak. —
— Aku tidak mengerti Ki Sanak — berkata Agung Sedayu.
— Agung Sedayu — berkata orang itu dengan kesan wajah yang tidak berubah. Lalu katanya — Aku adalah guru Jaka Rampan. —
— O — Agung Sedayu mengangguk-angguk.
— Karena aku tidak dapat dengan serta merta membalas sakit hati muridku terhadap Swandaru yang selain mampu menjebaknya, juga mengalahkannya dalam perang tanding yang tidak tuntas, maka aku telah memilih sasaran yang lain. Menurut pendengaranku, kaulah yang telah merencanakan mengirimkan penghubung ke Jati Anom untuk menjebak muridku — berkata orang itu.
Agung Sedayu masih saja mengangguk-angguk. Katanya — Aku menangkap maksud Ki Sanak, jadi Ki Sanak merasa sakit hati karena Jaka Rampan ditangkap oleh Senapati Besar di Jati Anom? —
— Ya. Dan Senapati itu adalah kakak kakandungmu. Jadi ada beberapa alasan jika aku menemuimu setelah Jaka Rampan ditangkap — berkata orang itu.
— Lalu maksud Ki Sanak? — bertanya Agung Sedayu.
— Maaf Agung Sedayu — berkata orang itu dengan sikap yang tidak berubah — kami ingin mempersilahkanmu singgah di padepokanku. —
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya — Maaf Ki Sanak. Aku mempunyai tugas yang harus aku selesaikan di Tanah Perdikan. —
— Aku tahu Agung Sedayu — jawab orang itu — agaknya kau ingin segera kembali ke Tanah Perdikan. Aku memang mengambil kesempatan ini untuk mengikutimu dan mempersilahkanmu singgah di padepokan. —
— Maaf Ki Sanak — jawab Agung Sedayu — sudah aku katakan, aku tidak mempunyai banyak waktu. —
Orang itu tersenyum. Namun sementara itu Glagah Putih dan Sekar Mirahpun menjadi tegang.
Tetapi sikap orang itu tidak berubah. Ia masih saja berbicara perlahan sambil tersenyum-senyum, sehingga orang-orang yang ada di kedai itu sama sekali tidak tertarik pada pembicaraan mereka. Sedangkan Agung Sedayupun menanggapinya dengan cara yang sama pula.
— Agung Sedayu — berkata orang itu — aku menawarkan satu pemecahan yang baik. Kau sajalah yang singgah di padepokanku. Biarlah kedua orang yang bersamamu, isteri dan adik sepupumu itu kembali ke Sangkal Putung dan mengabarkan kepada Untara, bahwa kau telah singgah di padepokanku. Kau akan aku persilahkan meninggalkan padepokan tanpa luka seujung duripun jika Jaka Rampan-pun kembali dengan selamat. Aku tidak peduli apa yang akan terjadi dengan Gondang Bangah dan prajurit-prajurit yang lain. Yang penting bagiku adalah Jaka Rampan, Untara tentu dapat mengusahakan agar Jaka Rampan dibebaskan demi keselamatan adiknya. Tetapi jika Jaka Rampan tidak dibebaskan, maka kaupun tidak akan aku persilahkan meninggalkan padepokanku sepanjang waktu yang diperlukan oleh Jaka Rampan menjalani hukumannya. Sedangkan jika ternyata kemudian bahwa Jaka Rampan dihukum mati, dengan menyesal hukuman yang serupa akan kau alami. Nah, bukankah itu satu penyelesaian yang adil? –
Agung Sedayu masih meneguk minuman hangatnya. Bahkan ia masih juga memungut sepotong tasik yang liat. Tanpa kegelisahan pada nada suaranya, Agung Sedayu mempersilahkan — Tasikan ini manis sekali Ki Sanak. —
Guru Jaka Rampan itu mengerutkan keningnya. Ia memang menjadi berdebar-debar melihat sikap Agung Sedayu. Orang yang disebut saudara tua seperguruan anak Demang Sangkal Putung ini bersikap tenang sekali menghadapi kesulitan.
— Ki Sanak — berkata guru Jaka Rampan itu — nampaknya kau tidak menyadari apa yang dapat terjadi dengan dirimu. Kau agaknya masih terpengaruh perkelahian yang terjadi di halaman Kademangan Sangkal Putung. Ingat Agung Sedayu, aku adalah guru Jaka Rampan. Kau jangan mengukur ilmuku dengan ilmu Jaka Rampan yang ternyata dapat dikalahkan oleh adik seperguruanmu itu.
— Ki Sanak — berkata Agung Sedayu — aku tidak pernah merendahkan ilmu seseorang. Juga ilmu Jaka Rampan. Apalagi gurunya. Tetapi bagiku lebih baik bersikap wajah daripada aku harus berteriak-teriak marah dan mengumpatmu sekarang ini. Karena dengan demikian maka kita akan dapat mengganggu ketenangan kedai ini. Bukankah Ki Sanak sudah bersikap demikian? —
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya — Nah. Kau tidak menjumpai pilihan lain Agung Sedayu. —
— Kenapa tidak? — jawab Agung Sedayu — aku berhak menentukan apakah aku akan singgah atau tidak. —
— Agung Sedayu. Kau kira aku tidak akan dapat memaksamu? — bertanya guru Jaka Rampan itu.
— Ki Sanak — berkata Agung Sedayu — seharusnya kau menyadari, bahwa muridmu telah melakukan kesalahan. Sebagai seorang guru kau justru harus menunjukkan kepada murid-muridmu, manakah yang benar dan baik dilakukan dan manakah yang tidak. Jika kau memanjakan muridmu seperti ini, maka Jaka Rampan tidak akan pernah merasa bersalah. Sementara itu, Mataram adalah sebuah negara yang mempunyai paugeran. Sudah sewajarnyalah
bahwa setiap orang, termasuk para prajurit di Mataram, harus mentaati paugeran-paugeran yang berlaku di Mataram. Nah, sebaiknya kau temui muridmu itu dan kau nase-hati agar Jaka Rampan menerima hukuman yang akan diletakkan dipundaknya dengan penuh penyesalan. Dengan demikian, maka Jaka Rampan tidak akan jatuh kedalam kesalahan lagi dikemudian hari. —
Orang itu mengangguk-angguk. Katanya — Agaknya Untara sempat juga memberimu beberapa petunjuk. Tetapi ingat Agung Sedayu. Aku bukan prajurit Mataram yang tunduk pada paugeran seorang prajurit. Ketahuilah, kesalahan yang sebenarnya tidak terletak pada Jaka Rampan. Ia hanya menjalankan perintahku. Ada dendamku kepada saudara seperguruanku yang tinggal dibelakang garis pertahanan Madiun. Jika Jaka Rampan sempat mempergunakan pasukannya, maka aku akan dapat menuntut balas, sementara gerakan Jaka Rampan itu akan dapat memberikan keuntungan yang besar bagi Mataram. Tetapi ternyata Senapati Untara itu berjiwa kerdil yang hanya berpegang pada paugeran yang mati tanpa kebijaksanaan. —
— Apakah yang kau maksud kebijaksanaan dari satu paugeran? — bertanya Agung Sedayu — apakah bedanya kebijaksanaan atas satu paugeran dengan penyimpangan? —
***
lanjut kitab 232
Kerjasama Ki Mahesa dengan Ki Kuncung memang mooyy…. :))