Buku III-31

Maaf, tidak ada tulisan yang memenuhi kriteria Anda.

Laman: 1 2 3

Telah Terbit on 12 Mei 2009 at 05:49  Comments (77)  

The URI to TrackBack this entry is: https://adbmcadangan.wordpress.com/buku-iii-31/trackback/

RSS feed for comments on this post.

77 KomentarTinggalkan komentar

  1. Alhamdulillah

    akhirnya

    • ada harapan…..

      • Mana ya kitabnya?

        • Tak pikir ada 5 titik

          • iki tak paringi 5 titik

            . . . . .

            • tengkiu nyi seno…
              sy jg punya 5 Titik :
              1. Titik Puspa
              2. Titik sandora
              3. Titik Qadarsih
              4. Titik Dwi Jayanti
              5. Titik Prabowo

        • Urusan antri mengantri dan berebut jatah, Ki Gonas yang paling top.

          • enggak juga kok ki…
            buktinya di gandok 31-36….
            absenku nggak ada, soalnya sudah ada kitabnya, jadi gak usah absen langsung download aja hehehehehe…., nanti tak tulisi maturnuwun di gandok 236.

        • gimana sih cara donlot? ada yang bisa ada yg gak bisa? tolonooo….ng

    • saya bisa keluar lagi.

      Lega rasanya (menarik nafas panjang), dua hari saya terkunci di dalam gandok 231.

      Rupanya Nyi Seno lupa kalau saya masih di dalam gandok, pintu diselorok dari luar.

      Selamat malam Ki sanak semua

      S maaf Ki.. 😆 😆 😆

      • Lha, rak tenan to. Alhamdulillah, jebule pancen ora ono opo2 karo nyi Seno, matur nuwun nyi

        • Kulo tututi kulo tenggo kok yo njenengan ‘igak’ medhal-2. kulo pun nggada pikiran macem-2, lho ki

  2. ahirnya

    • Terima kasih Nyi Senopati sudah mengabulkan permintaan kami

  3. Kawulo ikut senang

    ternyata sebagian besar para cantrik sekarang sudah menguasai ilmu sabar 😀

    nuwun,
    Ki KontosWedul

  4. Hueeekkkkkkk….hemmmmm…..marem tenan leh aku glegeken.

  5. akhirnya datang juga

    terima kasih Nyi

    obat kangen tenan iki…

  6. Syukurlah,..
    Akhirnya padepokan udah bisa beroperaisi lagi
    Terima Kasih Nyai Senopati…

  7. akhirnya geber sudah dibuka

    terima kasih Nyi Seno

  8. Terima kAsih Nyai, sudah hampir semaput nunggu kabar baik dari Nyai.

  9. sabar , tapi sambil minta jatah rapelan

  10. Terima Kasih Nyi
    Mak nyes atine

  11. Alhamdulillah, akhirnya dibuka lagi ……

    Legaaaaa

  12. Akhir dari sebuah Penantian

    Terima kasih nyi

    • awal sebuah harapan
      maturnuwun

  13. ochhh…….
    dah buka toh
    syukuuuuuuuuur….

    salut Nyi

    • dan matur nuwun juga Nyi
      kitab 231 sudah saya unduh

      sekali lagi matur nuwun

  14. ono opo iki koq ora ono sanderan ….

    • gerak pasukan gak pake rontek, umbul-umbul
      juga gak pake panah sanderan Ki,
      pasukan bergerak secara diam-diam
      kaya prajurit sandi……

      • he…he..he.. pada lupa kalau ki pandan masih bisa menerima sinyal ps…

  15. akhirnya….

  16. Yang ngantri kok cuma 21 orang, yang lain pada kemana tuh. Ki Gonas sduah, Ki Pandanalas sudah, Ki SAS sudah, mana cantrik lawasa lainnya: Ki Widura, Ki Probo, Ki Jogoboyo dan yang lain” Hayo,segera isi absen dan ambil jatahnya.

    • inyong ora disebut Ki ?

      • Wah…, ngapunten Ki (sambil menjura)

        Kuman di seberang laut tampak, gajah di depan mata tidak tampak.

        Ngapunten nggih.

        • duh rodo ngantuk nok ndi yo kitabe kok rung weruh

          • Nggawe kopi sik Ki, ben padhang pandulune.
            Iku lho, gemlethek neng pojok.

            • wis,wengi iki aku arep ronda, sopo sing ndaftar?

              • Gak melu ronda Ki.

                Iki sik ngrampungno gaweyan kanggo sesuk.

                Nanging monitor terus kok.

                • Syukur nJenengan bisa keluar dari gandok 231. 🙂

            • duh ngantuke tenanan iki wis ngombe kopi rung gelas mripate rung melek, pojok wis diinceng ning tetep rung ketok, nomor piro yo kamare sing ono pojoke

            • wah nuwun ki wis entuk

    • Syukur …. Gandok sudah dibuka ..
      dan akhirnya Kitab BELUM keluar ….
      yang BELUM diharapkan keluar, Ki Arema, malah keluar dulu. 🙂

  17. nuwun nyi seno kitabipun

  18. Hore… gandok wis dibuka… Kitab diwedar….
    Matur nuwun sanget Kang mBokayu Ati…..

  19. Matur nuwun Nyi Seno … moga-moga data2nya bisa direcover kembali …

  20. waduh tak pikir aku sing paling ngikuti terus kapan metune kitab, ternyata antri oleh nomer buncit dewe, bener2 para cantrik semangat 45 iki
    Matur tengkyu Nyi Senopati

  21. Terima kasih Nyai Seno. Aku bisa no 30 jooooooooooooo. huahahahaa. Prestasi hebat

  22. terima kasih nyi.. moga2 niat rapelnya jadi dilaksanakan 😀

  23. Weleh pesen ku gak diterima moderator. Opo o yo? Yo wis, aku melu absen.

  24. Sudah diunduh Nyi Seno, Terima kasih!
    Apa ku bilang dulu? Sudah ada TITIKnya, tho!

  25. Kae lho sing pengin glegeken ndang pindah gandok sebelah

  26. akhilnya bisa antli lagi

  27. Alhamdulillah ….
    Bisa berkumpul lagi …

  28. Melu Nyai

  29. telima kasih

  30. Alhamdulillah,..sudah dibuka kembali gandoknya,..

    Terimakasih Ki GD & Nyi Seno,..

  31. Akhirnya, setelah penantian yg panjang.

  32. Matur suwun Nyi …..

  33. makasih Nyi,sebab titik sebuah bahagia semuanya

  34. Akhirnya … nuhun bude n ki Gd. titik

  35. trims nyai…

  36. Ahkir Penantian….Nuwun

  37. Dalem madosi Mbak “titik” kok mboten kepanggih. Wonten ingkang saged mbiyantu ? Matur nuwun

    • Di hal pertama Ki.
      Maaf tidak….

  38. Ternyata senopati masih “bernafas”, sehingga bisa memimpin pertempuran lagi. Jadi isu senopati telah gugur di pertempuran tidak akurat. Selamat bertugas kembali senopati. Gusti Allah sik mbales. Suwun.

  39. Horeee..
    Makasih Nyi..
    Glegek…glegek

  40. Beberapa hari.. ga nongol..
    Ternyata sudah ramai…
    Walaupun terlambat yang penting absen hadir Nyi..
    Trim’s…

  41. Terima kasih, matur nuhun,
    uenak tenan

  42. matur kesu’un kak……

  43. akhitnya jogoboyo sudah bisa muncul lagi dari tanah air……
    kekekekeke…..

    jebulnya kitab dereng di wedhar….
    apa sudah ya ???

    • selamat menikmati kemacetan jakarta lagi dimas, en met berbahagia jumpa belahan jiwa.. kekekekeke

  44. thanks bulek …..Seno

  45. Weh akhirnya masih bisa diwedhar kitabnya…soale kemarin kan Gedong pusaka tiba tiba tidak bisa dibuka dan terakhir malah Padepokan libur….weh deg-degan tenan

    Matur Nuwun Nyi Seno….anda memang juara

  46. alhamdulillah. sabar itu luhur wekasane..

  47. DENGAN demikian maka Agung Sedayupun menyadari, bahwa persoalan antara Mataram dan Madiun masih belum mereda, dan justru menjadi semakin panas. “Agaknya beberapa orang mengambil sikap masing-masing.“ berkata Agung Sedayu. “Ya“ jawab Untara, “beberapa orang dari Mataram telah mengambil sikap sendiri tanpa menunggu perintah Panembahan Madiun. Sementara itu Panembahan Senapati telah memerintahkan Pangeran Singasari untuk berada di istana dan melepaskan kedudukannya diantara pasukannya.“ “Kenapa dengan Pangeran Singasari? Bukankah ia telah melakukan tugasnya dengan berhasil?“ bertanya Agung Sedayu. “Pangeran Singasari memang berhasil di Padepokan Nagaraga. Tetapi ternyata Pangeran Singasari telah mengambil langkah-langkah sendiri, sehingga Panembahan Senapati terpaksa menempatkan Pangeran Singasari didekatnya.“ jawab Untara. Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tentu bukan hanya Pangeran Singasari. Tentu masih ada orang-orang Mataram yang didorong oleh kepemimpinan pribadi telah melakukan langkah-langkah yang justru bertentangan dengan usaha yang ditempuh oleh Panembahan Senapati. Mungkin Pangeran Singasari telah bertindak dengan landasan kepentingan Mataram meskipun langkahnya tidak sesuai dengan kebijaksanaan Panembahan Senapati, sementara orang lain benar-benar tidak ada hubungannya dengan kepentingan Mataram. “Karena itu Agung Sedayu.“ berkata Untara selanjutnya, “hati-hatilah di setiap langkahmu. Jika kau sembuh benar, maka kaupun harus melakukan setiap perintah dengan baik. Aku kira perintah Panembahan Senapati telah disampaikan pula ke Tanah Perdikan Menoreh. Tanah Perdikan Menoreh jangan mengambil kebijaksanaan sendiri menghadapi Madiun.” “Aku mengerti kakang.“ jawab Agung Sedayu. Namun iapun bertanya, “Bagaimana dengan Sangkal Putung?“ “Sangkal Putung juga diperhitungkan oleh Mataram. Kekuatan Kademangan Sangkal Putung diperkirakan sama dengan kekuatan prajurit segelar-sepapan. Yang pantas diperhitungkan bukan saja para pengawalnya, tetapi hampir setiap laki-laki di Sangkal Putung, terutama anak-anak mudanya mempunyai kemampuan seorang prajurit. Namun seandainya perintah itu belum dianggap perlu disampaikan kepada Sangkal Putung oleh Panembahan Senapati, maka kau dapat mengatakannya meski¬pun bukan merupakan perintah resmi. Namun sikap itu perlu diketahui oleh Sangkal Putung. Bahkan pada saatnya panem¬bahan Senapati tentu akan memberikan pertanda kepadaku untuk menghimpun kekuatan dari lingkungan ini atas limpahan kuasanya, tanpa mencampuri pemerintahan di daerah masing-masing.“ Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sementara itu Untarapun berkata selanjutnya, “Aku juga sedang memberikan pesan kepada setiap Kademangan di sekitar Jati Anom, termasuk Kademangan Jati Anom sendiri, agar mereka mempersiapkan diri menghadapi keadaan yang mungkin akan menjadi gawat. Setidak-tidaknya disetiap Kademangan agar mempersiapkan sepasukan pengawal terpilih yang dapat bergerak setiap saat. Bukan saja di Kademangannya sendiri, tetapi mampu bergerak keluar dari Kademangannya. Aku juga sudah menganjurkan di¬setiap Kademangan untuk menghitung jumlah kuda yang dapat dipergunakan untuk kepentingan gerak cepat para pengawal itu.” Agung Sedayu masih mengangguk-angguk. Ia menyadari bahwa Mataram benar-benar telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya menghadapi keadaan yang nampaknya justru semakin kalut. Sepeninggal Pangeran Benawa, maka rasa-rasanya jarak antara Mataram dan Madiun menjadi sangat jauh. Demikianlah, maka setelah dihidangkan minuman dan makanan, maka Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih telah mohon diri untuk pergi ke Sangkal Putung dan seterusnya kembali ke Tanah Perdikan. “Kau juga harus berhati-hati Glagah Putih.“ desis Untara. “Ya, kakang.“ jawab Glagah Putih sambil mengangguk kecil. “Nah, semoga adi Sekar Mirah dapat memberikan peringatan kepada Glagah Putih jika anak itu masih saja nakal.“ berkata Untara. Sekar Mirah tersenyum. Jawabnya, “Aku masih harus menarik telinganya setiap kali Glagah Putih berendam di kali mencari ikan di pliridan, kakang.“ Untarapun tertawa. Sementara isterinya berkata, “Jika nakal jangan diberi makan sehari. Ia akan menjadi jera.“ Sekar Mirahpun tertawa pula, sementara Agung Sedayu menjawab, “Jika ia tidak diberi makan dirumah ia akan pergi kerumah Ki Gede untuk mencari makanan. “ Glagah Putih hanya tersenyum-senyum saja. Namun sebenarnya ia berkeberatan jika ia masih saja diperlakukan seperti anak-anak. Agung Sedayu dan Sekar Mirah memang tidak memperlakukannya demikian. Tetapi Untara yang jarang-jarang bertemu agaknya masih saja mengenang Glagah Putih dimasa kanak-kanaknya. Sebagai kanak-kanak Glagah Putih memang termasuk anak yang banyak berbuat dan selalu ingin tahu. Beberapa saat kemudian, maka Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih telah siap meninggalkan rumah Untara. Beberapa orang prajurit sempat mengamati kuda Glagah Putih yang besar dan tegar. Glagah Putih yang mengetahui kudanya menjadi perhatian, telah berdesis, “Peninggalan Raden Rangga.“ Para prajurit itu mengangguk-angguk. Memang Raden Rangga mempunyai kegemaran seperti ayahandanya, bermain-main dengan kuda. Ternyata bahwa Glagah Putih termasuk seorang anak muda yang beruntung mendapat hadiah seekor kuda yang tegar. Beberapa saat kemudian, maka Agung Sedayu, Sekar Mi¬rah dan Glagah Putih telah meninggalkan Jati Anom. Mereka berkuda dicerahnya matahari yang mulai menggalkan kulit. Randu Alas yang dianggap menjadi sarang Gendruwo Bermata Satu masih tetap berada ditempatnya. Sementara jalanpun telah menjadi semakin baik dan lebih terpelihara. Tidak lagi terdapat semak-semak liar dipinggir-pinggir jalan. Bahkan tanggul paritpun menjadi teratur rapi. Sedangkan airnya yang jernih mengalir tanpa henti disepanjang musim. Kedatangan ketiga orang itu di Sangkal Putung disambut dengan gembira. Bukan saja oleh keluarga Ki Demang. Tetapi sebelum mereka memasuki Kademangan, beberapa orang yang melihat mereka lewat sempat menyapa dengan ramah. Seorang perempuan yang sudah separo baya dengan ramah telah menyapa Sekar Mirah, “Mirah. Kau sekarang bertambah cantik.“ “Ah Bibi.“ sahut Sekar Mirah sambil tersenyum, “aku telah bertambah tua.“ Tanpa maksud apa-apa perempuan itu tiba-tiba saja bertanya, “Kapan kau menyusul isteri kakakmu, he?” Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Sementara itu perempuan itu meneruskan, “Sebentar lagi kakakmu akan memomang anak. Apakah kau juga?“ Wajah Sekar Mirah tiba-tiba saja bagaikan lampu yang kehabisan minyak. Tetapi segera ia berusaha untuk menghapus kesan itu. Bahkan ia sempat tersenyum sambil berkata, “Doakan saja Bibi.“ “Ya. Aku akan berdoa untukmu.“ sahut perempuan itu. Sekar Mirahpun kemudian telah melanjutkan perjalanan. Ia berusaha menghapuskan kesan itu dari dalam hatinya, karena ia tidak mau mempengaruhi perasaan Agung Sedayu. Sebagai isterinya Sekar Mirahpun mengerti, bahwa Agung Sedayu akan dapat merasa bersalah jika hal itu selalu dibicarakannya. Demikianlah, merekapun kemudian telah berada di Kade¬mangan Sangkal Putung, Keluarga Kademangan dengan akrab telah menyambut mereka. “Bagaimana keadaanmu?“ bertanya Ki Demang kepada Agung Sedayu, demikian Agung Sedayu naik kependapa. “Atas doa Ki Demang, keadaanku sudah menjadi baik.“ jawab Agung Sedayu. “Jadi kekuatanmu telah pulih kembali?“ bertanya Ki Demang pula. “Ya Ki Demang.“ Agung Sedayu mengangguk kecil, “agaknya memang demikian.“ Ki Demang mengangguk-angguk. Sementara itu Swandaru sempat pula bertanya kepada Glagah Putih, “Bagaimana dengan lukamu?“ “Sudah sembuh kakang.“ jawab Glagah Putih, “meskipun bekasnya masih sedikit basah. Tetapi sudah tidak berarti apa-apa lagi.“ “Bukankah kau masih mengobatinya terus?“ bertanya Swandaru. “Ya kakang. Aku masih mengolesnya dengan obat yang diberikan oleh Kiai Gringsing. Sementara itu, aku masih juga harus menelan reramuan obat pula.“ jawab Glagah Putih. “Syukurlah jika kalian benar-benar telah menjadi baik.“ desis Swandaru. Sementara itu Sekar Mirah tidak ikut naik kependapa bersama Agung Sedayu dan Glagah Putih. Tetapi sebagaimana ia berada dirumahnya sendiri, maka Sekar Mirahpun telah langsung masuk kedapur menemani Pandan Wangi dan pembantu-pembantu rumah itu menyediakan hidangan minuman dan makanan. Namun sambil bekerja Pandan Wangi dan Sekar Mi¬rah ternyata ramai berbincang tentang bermacam-macam hal. Bahkan Pandan Wangipun ingin tahu apa yang telah terjadi disatu malam, sehingga Agung Sedayu dan Glagah Putih telah terluka. “Kau tentu sibuk juga malam itu, Mirah?“ bertanya Pandan Wangi. “Aku berada di barak induk bersama Kiai Gringsing.“ jawab Sekar Mirah, “tetapi ternyata ada juga diantara mereka yang sempat menyusup sampai ke barak induk itu, sehingga akupun terpaksa mencegahnya masuk kedalam.“ “Tongkatmulah tentu yang berbicara.“ gumam Pandan Wangi. “Aku telah dipaksa untuk melakukannya.“ jawab Sekar Mirah. Pandan Wangi tersenyum. Sebagai seorang yang memiliki ilmu yang tinggi, maka peristiwa yang terjadi dipadepokan itu tidak dapat lepas begitu saja dari perhatiannya. Namun demikian, mereka tidak lupa akan tugas mereka. Sebentar kemudian maka hidanganpun telah siap. Sekar Mirah dan Pandan Wangi sendirilah yang kemudian membawanya kependapa. Bahkan keduanya tidak lagi segera kembali ke dapur, karena keduanyapun ikut pula berbincang dipendapa. “Luka kakang Agung Sedayu parah.“ berkata Swandaru kepada isterinya, “tetapi ternyata Guru benar-benar seorang yang memiliki pengetahuan tentang obat-obatan hampir sempurna. Dalam waktu dekat, kakang Agung Sedayu sudah sem¬buh sama sekali, meskipun barangkali segala sesuatunya masih belum sebagaimana semula.“ Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku memerlukan waktu sepuluh hari lebih.“ “Tetapi tanpa perawatan Guru, mungkin kakang memer¬lukan waktu satu bahkan mungkin dua bulan. Semula aku me¬mang mengira bahwa kakang akan berada di padepokan itu un¬tuk lebih dari satu bulan.“ berkata Swandaru. Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia mengakui kebenaran pendapat adik seperguruannya itu. Tanpa perawatan dan obat-obat yang baik, maka Agung Sedayu tentu memerlukan waktu yang lebih lama lagi untuk menyembuhkan luka-luka dibagian dalam tubuhnya meski¬pun hal itu juga tergantung pada ketahanan tubuh Agung Sedayu. Jika ketahanan tubuh Agung Sedayu tidak melampaui takaran, maka penyembuhannyapun akan menjadi sangat sulit dan lama. Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja terbersit didalam hati Agung Sedayu satu pertanyaan, karena Kiai Gringsing tidak mampu mengatasi kesulitan didalam dirinya sendiri. Tetapi sebagaimana ia sering mendengar dari gurunya itu pula, bahwa berapapun tinggi ilmu dan pengetahuan seseorang, namun ia tidak akan dapat keluar dari batasan-batasan yang telah ditetapkan bagi hidupnya. Demikianlah, maka sebagaimana diinginkan oleh Sekar Mirah, maka Agung Sedayu suami isteri dan Glagah Putih akan tinggal untuk beberapa hari di Sangkal Putung. Namun demikian, ternyata Sekar Mirahpun dapat menyesuaikan dirinya dengan keadaan. Meskipun ia ingin tinggal dirumah tempat ia bermain-main di masa kecilnya asal lama, namun karena mereka sudah lama terpaksa berada di padepokan Kiai Gringsing lebih dari sepuluh hari, maka Sekar Mirah tidak akan memaksakan keinginannya itu. Sekar Mirahpun tahu, bahwa orang-orang di Tanah Per¬dikan Menoreh tentu sudah gelisah menunggu mereka. Karena itu, maka Sekar Mirahpun telah berkata kepada Agung Sedayu pula satu kesempatan, “Aku kira kau tidak perlu terlalu lama disini kakang.“ “Bukankah kau ingin berada di rumah ini untuk waktu yang agak panjang?“ bertanya Agung Sedayu. “Hanya untuk mengenang masa kanak-kanak. Tetapi agaknya keadaan tidak mengijinkan kali ini. Mungkin pada kesempatan lain.“ berkata Sekar Mirah. Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Agaknya kita memang harus segera kembali ke Tanah Perdikan.“ “Ya. Suasana yang kurang menguntungkan. Kakang tentu sangat diperlukan di Tanah Perdikan.“ berkata Sekar Mirah pula. Tetapi kedua orang suami isteri itu juga tidak akan dengan serta merta minta diri. Mereka telah memutuskan untuk berada di Sangkal Putung selama tiga hari tiga malam. Selama itu, Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih sempat melihat kesiagaan para pengawal dan anak-anak muda Sangkal Putung. Swandaru memang telah membentuk kelompok khusus yang memiliki kemampuan bergerak dan berkemampuan lebih baik dari yang lain. Namun bukan berarti bahwa yang lain tidak mendapat perhatiannya. Di Sangkal Putung telah pula dipersiapkan beberapa ekor kuda yang dapat dipergunakan setiap saat untuk bergerak. “Kau dapat mencoba mengetrapkannya di Tanah Per¬dikan Menoreh. Kakang.“ berkata Swandaru kepada Agung Sedayu. Agung Sedayu mengangguk-angguk sambil menjawab, “Ya. Aku akan mencobanya.“ Glagahlah Putih yang mengerutkan keningnya.Menurut penglihatannya, apa yang berlaku di Sangkal Putung itu telah berlaku di Tanah Perdikan Menoreh. Di Tanah Per¬dikan Menoreh telah pula terbentuk sekelompok khusus pengawal yang dianggap paling baik di setiap padukuhan. Ketika Glagah Putih itu diluar sadarnya berpaling kepada Sekar Mirah, maka dilihatnya mbokayunya itu menarik nafas panjang. Dalam pada itu, sambil melihat-lihat perkembangan Sangkal Putung, Swandaru berkata, “Kami telah mengirimkan beberapa orang ke Kademangan-kademangan tetangga untuk memenuhi permintaan mereka. Sebagaimana dianjurkan oleh kakang Untara, maka setiap Kademangan harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya menghadapi perkembangan keadaan yang tidak menentu ini. Beberapa Kademangan yang lebih dekat dengan Jati Anom telah min¬ta para prajurit untuk memberikan latihan-latihan keprajuritan. Tetapi Kademangan-kademangan terdekat dengan Sangkal Putung, telah minta kepada Sangkal Putung untuk memberikan latihan-latihan bagi para pengawal dan anak-anak mudanya, atas persetujuan kakang Untara, karena kakang Untara pun tidak akan dapat mengabaikan kenyataan, bahwa para pengawal kami disini memiliki ke¬mampuan seorang prajurit.“ Agung Sedayu masih saja mengangguk-angguk. Sekali-sekali ia memuji keberhasilan Swandaru yang ternyata bergerak lebih cepat dan lebih berarti daripada ayahnya yang masih memangku jabatan Demang di Sangkal Putung. Sebagaimana ternyata para Demang tetangganya dalam pertemuan pertemuan yang sering diadakan telah menyatakan, bahwa mereka merasa iri bahwa di Sangkal Putung terdapat seorang anak muda seperti Swandaru. “Apa yang Ki Demang lakukan atas anak itu dimasa kecilnya?“ bertanya para Demang itu kepada Ki Demang Sangkal Putung. “Tidak apa-apa.“ jawab Ki Demang Sangkal Putung, “mungkin satu kebetulan bahwa dimasa remajanya, pasukan Pajang berada di Sangkal Putung untuk menghadapi sisa-sisa pasukan Jipang dibawah pimpinan Alap-alap Jalatunda dan Pande Besi, Sedang Gabus. Namun lebih dari itu, sisa-sisa pasukan Jipang itu berada dibawah kekuasaan langsung Macan Kepatihan yang memiliki kemampuan diatas kemampuan orang kebanyakan. He, kalian ingat itu?” “Ya.“ jawab para Demang itu, “Agaknya Ki De¬mang Sangkal Putung mampu mengambil keuntungan kehadiran Senapati Untara di Sangkal Putung untuk meng¬hadapi Tohpati pada waktu itu.“ Demikianlah untuk waktu-waktu yang sudah ditentukan, Agung Sedayu dan Sekar Mirah benar-benar telah melihat seluruh isi Kademangan Sangkal Putung. Sebagai anak Sangkal Putung, Sekar Mirah ingin melihat kembali dan mengenang apa yang pernah terjadi lebih-lebih yang menyangkut dirinya, di Sangkal Putung. Namun Sekar Mi¬rahpun ingin melihat pula apakah yang pernah dibanggakan oleh kakaknya. Namun pada hari yang terakhir, Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih berada di Sangkal Putung, menjelang malam yang ketiga, mereka telah dikejutkan oleh kehadiran sekelompok prajurit Mataram yang dipimpin oleh perwiramuda. Seorang perwira yang bernama Jaka Rampan. Seorang perwira muda yang memiliki nama yang dengan cepat menanjak di kalangan prajurit Mataram. Na¬mun karena untuk waktu yang agak lama ia bertugas di Ma¬taram, sebagaimana para perwira yang berada dibawah pimpinan Untara, maka Jaka Rampan belum mengenal secara pribadi para pemimpin di Sangkal Putung. Dengan hormat dan ramah Ki Demang telah menerima sekelompok pasukan Mataram itu di rumahnya. Dipersilahkannya beberapa orang perwira yang ada didalam pasukan itu untuk naik ke pendapa, sementara para prajurit yang bersamanya dipersilahkan duduk-duduk di sepanjang serambi gandok. Setelah mempertanyakan nama dan kesatuan para prajurit Mataram itu, maka Ki Demangpun telah bertanya tentang keperluan perwira yang masih muda itu. “Aku mengemban perintah Panembahan Senapati.“ berkata perwira muda itu. “Barangkali tugas yang dibebankan kepada Ki Sanak itu menyangkut Kademangan Sangkal Putung?“ bertanya Ki Demang. “Ya.“ jawab Jaka Rampan. “Apakah perintah itu?“ bertanya Ki Demang pula. “Ki Demang. Atas nama Panembahan Senapati di Mataram, aku mendapat perintah untuk membawa sepasukan pengawal dari Sangkal Putung bersamaku untuk memperkuat sekelompok prajuritku,“ berkata perwira muda itu. Ki Demang mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Untuk apa Ki Sanak?“ “Aku mengemban perintah untuk menusuk langsung ke belakang garis pertahanan yang sudah disusun oleh Ma¬diun.“ berkata perwira muda yang bernama Jaka Rampan itu. Ki Demang termangu-mangu. Ia belum pernah mengenal perwira muda itu. Karena itu, ia menjadi ragu-ragu. “Kenapa Ki Demang nampak bingung?“ suara Jaka Rampan menjadi lebih keras, “perintah ini harus kita laksanakan. Maksudku, kami dan Ki Demang.” “Ki Sanak. Bukan maksud kami meragukan kebijak¬sanaan Panembahan Senapati.“ berkata Ki Demang, “tetapi karena kami belum pernah mengenal Ki Sanak, apa kah Ki Sanak bersedia menunjukkan pertanda apapun yang diberikan oleh Panembahan Senapati?“ “Apakah perintah itu?” bertanya Ki Demang pula. “Ki De¬mang. Atas nama Panembahan Senapati di Mataram, aku mendapat perintah untuk membawa sepasukan pengawal dari Sangkal Putung bersamaku untuk memperkuat sekelompok” Wajah perwira muda itu menjadi merah. Namun iapun berusaha untuk menahan diri. Bahkan iapun kemudian ter¬senyum sambil berkata, “Mungkin Ki Demang memang belum mengenal aku, sebagaimana aku belum mengenal Ki Demang. Aku memang cukup lama bertugas di sekitar Ganjur. Memang bukan pasukan yang besar, tetapi pasukanku mempunyai tugas untuk mengawal pintu gerbang Mataram di bagian Selatan. Bukan tidak mustahil, bahwa ada kekekuatan yang sengaja ingin menusuk Mataram justru dari Selatan, satu arah yang dianggap tidak perlu diperhitungkan. Tetapi ternyata Panembahan Senapati cukup hati-hati sehingga menempatkan pasukan di Ganjur.“ Ki Demang mengangguk-angguk. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Apa sebenarnya perintah Panembahan Sena¬pati itu? Mengambil sepasukan pengawal untuk bertempur bersama Ki Sanak dibelakang garis batas Madiun?“ “Ya.“ jawab Jaka Rampan. Namun katanya kemudian, “Tetapi garis batas itu sebenarnya tidak ada. Mataram berkuasa atas Madiun, sehingga yang ada adalah garis batas kekuasaan Madiun yang dilimpahkan oleh Panembah¬an Senapati yang dapat dihapuskan setiap saat.“ Ki Demang menjadi termangu-mangu sejenak. Dalam pada itu, Swandaru, Agung Sedayu dan Glagah Putih yang ikut menerima kedatangan pasukan prajurit dari Mataram itu, mendengarkan pembicaraan Ki Demang itu dengan sungguh-sungguh. Bahkan pada saat Ki Demang masih ragu-ragu, maka Swandarupun berkata dengan mantab, “Jika hal itu dikehendaki oleh Panem¬bahan Senapati, kami sudah siap. Kami akan dapat memanggil pengawal Kademangan yang terbaik untuk melakukan tugas yang berat tetapi memberikan kebanggaan itu.” “Terima kasih.“ jawab Jaka Rampan. Namun iapun ternyata, “Siapakah kau?“ “Anakku.“ Ki Demanglah yang menjawab, “ialah yang sekarang ini lebih banyak berbuat bagi Kademangan ini daripada aku. Terutama dalam hubungannya dengan kekuatan di Sangkal Putung.“ “Bagus.“ jawab Jaka Rampan, “kesediaanmu tentu sangat dihargai oleh Panembahan Senapati. Jika demikian, maka besok kita akan segera mempersiapkan diri. Kita tidak boleh kehilangan waktu. Pada waktu satu bulan sejak perintah jatuh dari Panembahan Senapati, aku harus sudah menghadap untuk memberikan laporan.“ “Kapanpun dikehendaki, kami sudah siap.” berkata Swandaru pula. Namun dalam pada itu, Agung Sedayu telah menyela, “Tetapi Ki Sanak. Kau belum menunjukkan pertanda yang ditanyakan oleh Ki Demang.“ Perwira yang bernama Jaka Rampan itu memandang wajah Agung Sedayu dengan tajamnya. Sorot matanya bagaikan memancarkan penyesalan yang sangat atas pertanyaan Ki Demang yang telah disinggung lagi oleh Agung Sedayu itu. Dengan nada rendah ia bertanya, “Siapa lagi orang ini Ki Demang?“ “Anak menantuku.“ jawab Ki Demang. Jaka Rampan mengangguk-angguk. Katanya seakan-akan ditujukan kepada diri sendiri, “Yang seorang anak Ki Demang dan yang seorang menantunya. Jadi merekalah yang telah membentuk Kademangan Sangkal Putung ini menjadi Kademangan yang besar dan kuat. Tetapi sayang, bahwa sikap mereka agak berbeda.“ ”Ki Sanak.“ berkata Ki Demang kemudian, “bukankah pertanyaanku itu wajar?“ “Jadi Ki Demang tidak yakin melihat pakaian kami dan sikap kami?“ bertanya orang itu. “Maaf Ki Sanak.“ jawab Ki Demang, “bukan tidak yakin apalagi tidak percaya. Tetapi bukankah kita harus menjunjung martabat Panembahan Senapati sebagai pemimpin tertinggi Mataram?“ “Aku tidak mau mendengar pertanyaan itu. Aku hanya tahu mengemban perintah Panembahan Senapati.” jawab Jaka Rampan. “Apakah kita tidak dapat mempercayainya begitu sa¬ja, ayah?“ bertanya Swandaru yang ternyata juga mulai berpikir. “Bukan begitu. Segala sesuatunya agar kita dapat me¬lakukan tugas kita sebaik-baiknya, sebagaimana aku katakan tadi, justru untuk menjunjung kuasa Panembahan Senapati itu sendiri.“ jawab Ki Demang. “Aku tidak mau dipersulit dengan hal-hal yang tidak berarti seperti itu. Aku minta disiapkan tigapuluh orang terbaik yang senilai dengan prajurit. Aku telah membawa tigapuluh orang pula bersamaku. Kita akan menempuh perjalanan jauh. Kita tidak akan menuju ke Madiun lewat jalan raya yang menghubungkan Mataram, Pajang dan Madiun. Tetapi kita akan menempuh jalan simpang yang kecil dan barangkali jarang dilalui orang. Kita akan menembus kedalam wilayah Madiun dan mengejutkan mereka, agar mereka tidak menjadi terlalu sombong. Sikap mereka sudah keterlaluan sehingga Panembahan Senapati menjadi marah.“ berkata Jaka Rampan. “Ki Sanak.“ berkata Agung Sedayu kemudian, “Pa¬nembahan Senapati adalah orang yang sangat berhati-hati. Apalagi Panembahan Senapati telah berniat untuk mencari penyelesaian yang lebih baik daripada perang.“ “Omong kosong.“ wajah Jaka Rampan mulai berkerut, “Kau tidak tahu apa yang sebenarnya dipikirkan dan dirasakan oleh Panembahan Senapati menghadapi Madiun. Nah, jangan bertanya lagi. Aku minta disiapkan sejumlah pengawal.“ Tetapi Ki Demanglah yang menjawab, “Ki Sanak. Kami minta maaf, bahwa kami masih harus bertanya lagi tentang pertanda itu. Baru kemudian kami akan dapat menentukan sikap. Sebab terus terang, kami ragu-ragu bahwa Panembahan Senapati memerintahkan sepasukan prajurit dari Mataram untuk menyusup kebelakang garis batas Madiun dan Mataram.“ “Kenapa kau ragu-ragu? Pangeran Singasari juga mendapat tugas untuk menghancurkan padepokan Nagaraga. Bukankah kita semuanya tahu, bahwa padepokan Nagaraga adalah sebuah padepokan yang mengakui kuasa Ma¬diun. Bukan Mataram.“ Yang menjawab adalah Agung Sedayu, “Ki Sanak. Jika Panembahan Senapati memerintahkan untuk meng¬hancurkan Nagaraga, sebab sudah terbukti, bahwa Nagaraga telah berani menyerang langsung pribadi Panem¬bahan Senapati. Serangan secara pribadi itu telah membe¬rikan alasan yang kuat bagi Panembahan Senapati untuk menghukum Padepokan Nagaraga.“ “Darimana kau tahu hal itu?“ bertanya Jaka Ram¬pan. “Glagah Putih ikut dalam tugas penumpasan padepokan Nagaraga.“ Swandarulah yang menyahut. “Siapa Glagah Putih itu?“ bertanya Jaka Rampan. “Ia adalah kawan dekat Raden Rangga semasa hidupnya.“ jawab Swandaru. “Yang memimpin pasukan ke Nagaraga adalah Pa¬ngeran Singasari.“ geram Jaka Rampan. “Glagah Putih memang berangkat lebih dahulu ber¬sama Raden Rangga pada waktu itu.“ sahut Agung Sedayu. “Siapakah yang mengatakan hal itu kepadamu?“ bertanya Jaka Rampan. “Glagah Putih sendiri.“ jawab Agung Sedayu, “ia ada disini sekarang.“ Jaka Rampan langsung dapat menebak, yang manakah yang bernama Glagah Putih. Ketika ia kemudian memandanginya, maka iapun berdesis didalam hatinya, “Anak yang masih sangat muda ini.“ Namun Jaka Rampanpun tahu pula, bahwa Raden Rangga juga masih sangat muda. Bahkan barangkali lebih muda dari Glagah Putih itu. Untuk beberapa saat Jaka Rampan termangu-mangu. Agaknya di Sangkal Putung terdapat juga orang-orang yang sempat berpikir. Mereka tidak sekedar dengan kepala tunduk dan mata tertutup menjalankan perintah. “Nah Ki Sanak.“ berkata Agung Sedayu kemudian, “sebaiknya Ki Sanak tidak merasa bersalah, atau kurang berwibawa jika Ki Sanak menunjukkan pertanda perintah Panembahan Senapati itu. Karena kitapun tahu betapa besarnya kuasa Panembahan Senapati.“ Jaka Rampan menjadi semakin gelisah. Tetapi ia merasa paling tidak senang terhadap Agung Sedayu yang telah berani bersikap tegas itu. Namun Jaka Rampanpun merasa bahwa ia harus berhati-hati menghadapi para pemimpin di Kademangan Sangkal Putung itu. Meskipun demikian, ia masih juga berusaha untuk menekan Ki Demang. Katanya, “Ki Demang. Kaulah yang bertanggung jawab di sini. Keputusan itu harus kau pertanggung jawabkan kepada Panembahan Senapati. Jika aku gagal membawa orang-orangmu, maka kau akan dapat, dianggap dengan sengaja menghambat tugas keprajuritan Mataram. Apalagi dalam keadaan gawat seperti sekarang ini.“ Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Namun kemu¬dian katanya, “Ki Sanak. Sudah aku katakan, aku akan menjalankan segala perintahnya jika Ki Sanak sudi menun¬jukkan pertanda kuasa dari Panembahan Senapati.“ “Cukup.“ bentak Jaka Rampan, “aku adalah utusan yang membawa kuasa sepenuhnya dari Panembahan Sena¬pati. Jika kau tidak mendengar perintahku, berarti kau tidak mendengarkan perintah Panembahan Senapati. Dan kau tahu, apa artinya itu.“ “Jangan salah paham Ki Sanak.“ sahut Ki Demang. Tetapi sebelum ia meneruskan kata-katanya, Jaka Rampan telah memotongnya, “Aku tidak mau mendengar alasan apapun lagi. Jawab pertanyaanku. Kau mau menjalankan perintah Panembahan Senapati atau tidak.“ Ki Demang tidak segera menjawab. Ketika ia memandang Agung Sedayu, maka Agung Sedayupun berkata, “Tentu Ki Sanak. Ki Demang tentu akan menjalankan segala perintah Panembahan Senapati, karena Panembahan Sena¬pati itu memang junjungan kita semuanya.“ “Jika demikian, sediakan tigapuluh orang pengawal pilihan, yang akan pergi bersamaku besok pagi-pagi.“ ber¬kata Jaka Rampan. “Tetapi itu bukan perintah Panembahan Senapati. Atau katakan, belum meyakinkan bahwa perintah itu ada¬lah perintah Panembahan Senapati. Sebagaimana yang akan kau lakukan itu sendiri.“ jawab Agung Sedayu. Lalu, “ Ternyata bahwa orang-orang dari Madiun juga banyak yang telah melakukan tindakan diluar pengetahuan dan kendali Panembahan Madiun. Jika kau melakukannya juga, maka yang kau lakukan adalah sama seperti yang dilakukan oleh orang-orang Nagaraga. Bahkan yang kau lakukan justru lebih keras lagi. Apa artinya enam puluh orang bagi kekuatan Madiun. Aku tahu, bahwa dengan enam puluh orang kalian akan memotong ranting-ranting yang ada pada batang Kadipaten Madiun. Tetapi kau salah hitung. Enam puluh orangmu itu akan menjadi daun-daun kering yang masuk kedalam apinya kekuatan Madiun.“ “Omong kosong kau pengecut.“ bentak Jaka Rampan, “kau kira aku dengan ceroboh mengambil sikap seperti ini? Sudah cukup lama orang-orangku dalam tugas sandi menyelidiki kelemahan Madiun. Kelemahan-kelemahan itu kemudian aku sampaikan langsung kepada Panembahan Senapati yang kemudian memerintahkan aku membawa pa¬sukan menuju ke Belakang garis pertahanan Madiun serta mengambil tiga puluh orang pengawal dari Kademangan ini.“ “Ki Sanak.“ jawab Ki Demang, “sudahlah. Jika Ki Sanak bersedia menunjukkan pertanda perintah Panem¬bahan Senapati, semuanya akan dapat kau lakukan seba¬gaimana kau katakan.“ “Persetan.“ geram Jaka Rampan, “jika kau menolak. jangan menyesal. Kau tahu bahwa aku membawa pasukan. Kau tahu bahwa tugas setiap prajurit Mataram adalah menghancurkan pemberontakan.“ “Maksud Ki Sanak?“ bertanya Ki Demang. “Sangkal Putung telah memberontak terhadap Panembahan Senapati.“ geram Jaka Rampan. “Kau jangan asal saja bersikap Ki Sanak.“ Agung Sedayulah yang menyahut, sementara Swandaru memang menjadi bimbang. Ia kurang mengerti hubungan kuasa Panembahan Senapati dengan orang-orang yang mendapat perintahnya atau tidak. “Aku masih memberimu kesempatan“ berkata Jaka Rampan, “jika kesempatan ini tidak kau pergunakan, maka Sangkal Putung akan menjadi karang abang.“ Wajah Swandaru memang menjadi merah. Namun ter¬nyata Agung Sedayu masih sempat berpikir dengan baik. Karena itu, maka iapun berkata, “Baiklah. Tunggulah sampai lewat tengah malam. Kami akan membicarakannya dengan para bebahu yang akan segera kami panggil. De¬ngan demikian maka keputusan yang kami ambil akan dipertanggung jawabkan oleh seluruh pemimpin Kade¬mangan ini.” Ki Demang memang menjadi agak bingung karena sikap Agung Sedayu yang tiba-tiba menjadi lunak itu. Teta¬pi ia tidak membantah. Mungkin Agung Sedayu sekedar mencari kesempatan untuk bersiap-siap menghadapi me¬reka atau perhitungan-perhitungan lain untuk mengatasi persoalan yang dihadapi oleh Sangkal Putung itu. Dalam pada itu, maka Agung Sedayu telah minta kepa¬da Ki Demang untuk memerintahkan beberapa orang memberikan tempat kepada Jaka Rampan untuk beristirahat sambil menunggu keputusan orang-orang Sangkal Putung. Namun dalam pada itu, ketika Jaka Rampan itu telah berada di gandok, maka iapun telah memanggil beberapa orang pembantunya. Dengan singkat Jaka Rampan memberitahukan kemungkinan yang bakal terjadi. “Aku masih harus menunggu. Mereka akan membicarakan dengan para bebahu.“ berkata Jaka Rampan. Lalu, “namun yang agaknya paling cerdik adalah menantu Ki Demang itu.“ “Jadi apa yang harus kita lakukan sekarang?“ ber¬tanya seorang perwira bawahannya. “Menunggu dan bersiap-siap.“ berkata Jaka Rampan, “Tetapi aku yaki, bahwa menantu Ki Demang yang cer¬dik itu tidak cukup mempunyai keberanian untuk menolak.“ Para perwira bawahannya mengangguk-angguk. Namun seorang diantara mereka bertanya, “Apakah kita dapat yakin, bahwa menantu Ki Demang itu tidak akan berani menolak?“ “Mula-mula nampaknya ia dengan keras menolak. Te¬tapi ketika aku mulai mengancam, maka ia menjadi sedikit lunak, dan bersedia membicarakannya dengan para bebahu yang akan dipanggil sekarang juga.“ jawab Jaka Rampan. Sementara itu yang lainpun bertanya, “Jika mereka menolak, apakah kita akan benar-benar menghancurkan Kademangan itu.“ Jaka Rampan termangu-mangu. Katanya, “Kade¬mangan ini adalah Kademangan yang kuat. Jika mereka menolak, maka kita akan meninggalkan Kademangan ini dan mengancam, bahwa kita akan kembali lagi. Kita akan membawa kekuatan yang lebih besar. Kita akan menangkap orang-orang yang bertanggungjawab atas penolakan itu.“ “Darimana kita akan mendapat kekuatan yang lebih besar itu?“ bertanya salah seorang perwira yang lain. “Aku kira pasukan paman Gondang Bangah sudah ada di Semangkak. Sebelum mereka berangkat ke Madiun dan menyusup sebagaimana kita lakukan sesuai dengan rencana, melalui jalan kaki masing-masing, maka biarlah kita menghukum orang-orang Sangkal Putung. Mereka akan berpikir berulang kali untuk benar-benar melawan pra¬jurit Mataram dalam kesatuan yang utuh.“ jawab Jaka Rampan. “Jika demikian, apakah tidak sebaiknya satu dua orang diantara kita pergi ke Semangkak untuk meyakinkan apakah pasukan itu sudah ada disana?“ berkata salah se¬orang perwiranya. “Paman Gondang Bangah tidak pernah meleset dari rencana yang telah tersusun.“ berkata Jaka Rampan, “Jika benar-benar orang-orang Kademangan ini menolak, maka kita minta agar mereka menyiapkan pengawal segelar sepapan. Kita benar-benar akan datang dengan pasukan paman Gondang Bangah.“ Para perwiranya mengangguk-angguk. Seorang diantaranya berkata, “Aku kira orang-orang Kademangan ini tidak akan berani bertempur melawan prajurit Mataram dalam kelengkapannya sebagai prajurit. Bagaimanapun juga, mereka akan dibayangi oleh tuduhan telah memberontak terhadap Mataram karena telah melawan prajurit-prajuritnya.“ Jaka Rampan mengangguk-angguk. Sementara itu se¬orang prajuritnya telah memberitahukan bahwa pertemuan dengan para bebahu telah dimulai. Satu-satu para bebahu telah datang berkumpul dan berbincang di pringgitan, lang¬sung dipimpin oleh Ki Demang sendiri. “Bagaimana dengan anak dan menantunya?“ ber¬tanya Jaka Rampan. “Mereka ada juga diantara para bebahu. Tetapi aku tidak dapat mendengar apa yang telah mereka bicarakan.“ berkata prajurit itu. “Biarlah kita menunggu sampai tengah malam.“ ber¬kata Jaka Rampan, “jika kita tidak telaten, maka kita akan menentukan sikap.“ Beberapa saat, Jaka Rampan menunggu. Rasa-rasanya waktu berjalan sangat lamban. Ketika terdengar kentongan diregol dipukul dengan nada dara muluk, maka iapun ber¬tanya kepada seorang perwiranya, “Apakah bunyi ken¬tongan itu mengisyaratkan tengah malam?“ “Ya“ jawab perwira itu, “agaknya saat itu memang telah menginjak pada pertengahan malam.“ “Dan pembicaraan itu belum selesai?“ bertanya Jaka Rampan. “Agaknya belum.“ jawab prajurit itu. Jaka Rampan masih menyabarkan diri dan menunggu beberapa saat. Namun kemudian ia menjadi tidak sabar, ka¬rena pembicaraan dipringgitan nampaknya masih saja belum berkeputusan. Karena itu, maka Jaka Rampanpun kemudian berkata, “Aku akan pergi ke pringgitan.“ Dua orang perwira bawahannya mengikutinya. Dengan dada tengadah Jaka Rampan telah hadir di pringgitan. “Nah, katakan, apakah keputusan kalian?“ bertanya Jaka Rampan. Ki Demang memang menjadi agak bingung. Iapun kemudian memandang Agung Sedayu dengan agak gelisah. “Ki Sanak.“ berkata Agung Sedayu kemudian, “aku mohon Ki Sanak bersabar sebentar. Kita masih belum selesai. Ada beberapa persoalan yang masih harus kami pecahkan.“ “Jangan mengada-ada.“ geram Jaka Rampan, “sebenarnya kalian tidak mempunyai pilihan.” Sementara Agung Sedayu termangu-mangu, maka Glagah Putih telah keluar dari ruang dalam. Iapun kemu¬dian duduk dibelakang Agung Sedayu sambil menyeka peluhnya. “Sudah?“ bisik Agung Sedayu. “Ya“ jawab Glagah Putih pendek. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Iapun kemudian berkata, “Baiklah Ki Sanak. Jika kau memaksa untuk menjawab, biarlah aku mewakili Ki Demang. Kami dengan terpaksa sekali tidak dapat memeriuhi permintaan Ki Sanak, menyediakan tigapuluh orang pengawal terpilih.“ Wajah Jaka Rampan menjadi merah. Katanya dengan nada berat, “Apakah sudah kalian pertimbangkan masak-masak sikap kalian.“ “Sudah Ki Sanak.“ jawab Agung Sedayu. Tetapi Jaka Rampan berkata, “Aku ingin mendengar jawaban Ki Demang sendiri. Yang menjadi Demang disini bukan kau.“ Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Iapun kemu¬dian berkata kepada Ki Demang, “Silahkan menjawab Ki Demang.“ Ki Demang termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian berkata, “Jawabku sama dengan jawaban menantuku.“ Telinga Jaka Rampan bagaikan tersentuh api. Jawaban itu sama sekali tidak dikehendakinya. Karena itu, maka iapun membentak, “Jawab sesuai dengan pertanyaanku.“ Ki Demang mengerutkan keningnya, sementara Swan¬daru beringsut setapak maju. “Baiklah.“ berkata Ki Demang. Lalu katanya, “Ki Sanak. Jawabku tidak berubah. Setelah kami berbicara dengan para bebahu, maka kami berkesimpulan bahwa kami berkeberatan mengirimkan anak-anak kami bersama dengan Ki Sanak jika Ki Sanak tetap tidak mau menunjukkan pertanda dari Mataram bahwa Ki Sanak memang mem¬bawa kuasa Panembahan Senapati.“ “Persetan.“ geram Jaka Rampan, “dengan demikian maka kalian benar-benar memberontak terhadap Mataram. Kalian lebih percaya kepada sepotong benda apakah itu lencana atau tunggul kerajaan daripada kepada prajurit-pra-jurit Mataram.“ Jaka Rampan berhenti sejenak, lalu, “jika demikian tunggu sebentar. Kami benar-benar akan mengambil tindakan. Tidak seorangpun yang diperkenankan keluar dari kademangan ini.“ “Maksud Ki Sanak?“ bertanya Ki Demang. “Kalian kami jadikan tawanan kami.“ geram Jaka Rampan. “Tidak mungkin.“ geram Swandaru, “kalian tidak berhak menahan kami dirumah kami sendiri.“ Tetapi Agung Sedayu memberi isyarat kepada Swan¬daru untuk tenang, sementara ia berbisik kepada Glagah Putih, “Kau dengar pernyataan Jaka Rampan itu?“ Diam-diam Glagah Putihpun telah bergeser meninggal¬kan pringgitan itu. Dalam pada itu, seorang diantara perwira bawahan Jaka Rampan telah meninggalkan pringgitan itu pula. Ia tahu apa yang harus dikerjakan. Sejenak kemudian, maka para prajurit Mataram itupun telah menebar di halaman, sedangkan dua orang diantara mereka dengan tergesa-gesa telah pergi ke Semangkak. Jaka Rampan sendiri masih berada di pringgitan. Namun iapun kemudian berkata, “Aku masih memberi kesempatan kepada kalian. Aku akan menunggu dihalaman, diantara prajurit-prajuritku. Jika kalian benar-benar menolak, maka kalian akan berhadapan dengan prajurit Mataram yang sedang mengemban tugas. Aku tahu, bahwa Kademangan ini adalah Kademangan yang kuat. Tetapi kami adalah prajurit-prajurit.“ Jaka Rampan itupun kemudian telah bangkit dan meninggalkan pringgitan itu sambil berkata, “Semua orang tinggal ditempat masing-masing.“ Wajah Swandarulah yang menjadi merah. Tetapi setiap kali Agung Sedayu memberikan isyarat kepadanya untuk mematuhi perintah Jaka Rampan itu, agar mereka tetap tinggal ditempat masing-masing. Dalam pada itu, dengan sigap para prajurit Mataram telah menempatkan diri dalam kelompok-kelompok kecil ditempat-tempat terpenting di halaman. Mereka mengawasi setiap perkembangan keadaan dan setiap gerak para pengawal yang menjadi agak kebingungan karena mereka tidak mendapat perintah apapun juga. Namun para penga¬wal yang terlatih itupun segera bersiaga pula. Mereka tahu bahwa para pemimpin Kademangan ada dipringgitan. Dalam keadaan yang gawat, maka mereka yakin, perintah itu akan diberikan dari pringgitan. Mungkin oleh Ki Demang sendiri, atau oleh Swandaru atau Agung Sedayu. Sementara para pengawal yang ada digardupun telah siap untuk membunyikan kentongan jika memang diperlukan. Namun para pengawal Kademangan Sangkal Putung memang sama sekali tidak bermimpi untuk bertempur melawan prajurit Mataram. Selama ini justru mereka berusaha untuk mengabdikan diri mereka kepada Mataram. Ketika Jaka Rampan dan para perwira prajurit Mata¬ram telah turun dari pringgitan dan mengatur prajurit me¬reka, Agung Sedayupun berkata, “Kita akan menunggu perkembangan keadaan.“ “Aku tidak telaten.“ geram Swandaru. “Kita tidak dapat dengan serta merta bertempur me¬lawan prajurit Mataram dalam pakaian dan kelengkapan keprajuritan mereka. Apalagi kita tahu benar, bahwa Jaka Rampan memang seorang perwira yang namanya mulai menanjak. Namun kitapun tidak bersalah karena Jaka Rampan tidak mau dan bahkan mungkin memang tidak memiliki pertanda kuasa Panembahan Senapati. Mungkin Jaka Rampan telah kejangkitan nafsu yang membuatnya untuk mengambil keuntungan dari rencananya sendiri menyusup ke Madiun.“ berkata Agung Sedayu. Dalam pada itu, ternyata beberapa saat kemudian, sepasukan prajurit Mataram yang lain, yang dipimpin oleh seorang Senapati yang bernama Gondang Bangah telah memasuki halaman Kademangan. Sebagaimana pasukan Jaka Rampan, maka pasukan inipun memakai kelengkapan pertanda prajurit Mataram, sehingga dengan demikian, maka dua pasukan Mataram yang dipimpin oleh Jaka Ram¬pan dan Gondang Bangah telah berada di halaman Kade¬mangan dan menebar sampai ke halaman samping. Jaka Rampan yang menyambut kedatangan Gondang Bangah berkata sambil tersenyum, “Kita menghadapi sikap para pemimpin Sangkal Putung yang sombong.“ Gondang Bangah tertawa. Iapun kemudian bersama Jaka Rampan telah melangkah ke pringgitan. Namun tanpa naik ke pringgitan itu Gondang Bangah berteriak, “Apa¬kah kalian menolak perintah adi Jaka Rampan?“ Yang menjawab adalah Agung Sedayu sambil duduk, “Kami hanya ingin melihat pertanda perintah Panembahan Senapati. Apakah kau membawa Ki Sanak? Dan barangkali Ki Sanak merasa perlu untuk memperkenalkan diri kepada kami?“ Gondang Bangah mengerutkan keningnya. Dengan nada tinggi ia bertanya, “Siapakah kau? Apakah kau Demang disini?“ “Menantu Ki Demang.“ sahut Jaka Rampan, “ia adalah orang yang terlalu banyak berbicara disini. Melampaui Ki Demang sendiri. Bahkan anak laki-laki Ki Demang semula untuk setuju untuk mengumpulkan tigapuluh orang pengawal yang akan bersama-sama dengan pasukanku melakukan tugas yang berat dibelakang garis pertahanan Madiun. Tetapi menantu Ki Demang itu telah mencairkan kembali kesediaan itu karena ia terlalu banyak berbi¬cara.“ “Nah, jika demikian, atas nama adi Jaka Rampan se¬kali lagi aku bertanya, apakah kalian bersedia membantu pasukan Mataram atau tidak. Aku tidak mau mendengar jawaban siapapun selain Ki Demang.“ berkata Gondang Bangah. Ki Demang memandang Agung Sedayu dan Swandaru berganti-ganti. Namun iapun kemudian menjawab, “Maaf Ki Sanak. Dengan cara seperti ini kami tidak dapat mem¬bantu kalian. Sekali lagi aku jelaskan, bahwa Sangkal Putung akan tetap setia kepada Mataram sepanjang kami yakin bahwa kami benar-benar berhadapan dengan limpahan kuasa Panembahan Senapati dengan pertanda yang sah.“ “Baik. Kami tidak akan memberi keselamatan lagi. Karena itu, maka Ki Demang, anak dan menantunya akan menjadi tawanan kami. Kalian bertiga akan kami bawa menghadap Panembahan Senapati untuk diadili.“ berkata Gondang Bangah. “Persoalannya sama saja Ki Sanak.“ berkata Ki Demang, “apakah kalian berhak menangkap kami dan membawa kami menghadap Panembahan Senapati? Aku tidak yakin, bahwa Ki Sanak benar-benar akan membawa kami menghadap Panembahan Senapati. Ki Sanak dapat memperlakukan kami diluar batas paugeran dan untuk selama-lamanya kami tidak akan sampai kehadapan Panem¬bahan Senapati tetapi juga tidak kembali ke Sangkal Pu¬tung.“ “Ki Demang sudah berani merifitnah kami?“ bentak Gondang Bangah. “Aku menjadi tidak telaten, kakang Gondang.“ ber¬kata Jaka Rampan. Lalu katanya kepada Ki Demang, “Ki Demang. Apakah kita benar-benar harus beradu kekuatan? Apakah Kademangan Sangkal Putung benar-benar ingin bertempur melawan pasukan Mataram? Yang ada disini sekarang, bukan hanya pasukanku. Tetapi juga pasukan kakang Gondang Bangah. Nah, perhatikan keadaan ini.“ Ki Demang memang menjadi bingung. Tetapi Agung Sedayu telah memotong, setuju atau tidak disetujui oleh Gondang Bangah, katanya, “Kami tidak dapat tunduk kepada perintah siapapun yang tidak jelas bagi kami.“ “Bagus.“ teriak Gondang Bangah yang agaknya mempunyai darah yang lebih mudah mendidih daripada Jaka Rampan, “kita akan bertempur.“ Halaman rumah Ki Demang itu menjadi tegang. Para prajurit Mataram dibawah pimpinan Jaka Rampan dan Gondang Bangah itupun telah bersiap. Mereka telah berada ditempat-tempat yang mapan, yang dengan mudah dapat menyergap para pemimpin Kademangan yang berada di pringgitan. Sementara itu, para pengawalpun telah bersiap pula. Tetapi jumlah mereka sama sekali tidak memadai. Para pengawal tidak bersiap untuk membenturkan kekuatan melawan para prajurit Mataram. Merekapun tidak tahu apakah mereka harus melawan dan melindungi Kade¬mangan itu seandainya para prajurit Mataram benar-benar akan menangkap Ki Demang. Tetapi para pengawal melihat di pringgitan itu ada Ki Demang, Ki Jagabaya, Agung Sedayu dan Swandaru. Sementara itu merekapun tahu, bahwa didalam rumah itu masih ada Glagah Putih, Sekar Mirah dan barangkali juga Pandan Wangi meskipun keadaannya sedang tidak menguntungkan. Dalam puncak ketegangan itu terdengar suara Gondang Bangah, “Aku akan menghitung sampai tiga. Jika kalian tidak berubah sikap, maka aku akan menjatuhkan perintah untuk menangkap kalian dengan kekerasan. Jika pengawal-pengawal Kademangan ini berusaha melindungi kalian, atau ada diantara kalian yang melawan, maka kami benar-benar akan bertindak sesuai dengan tugas kami sebagai prajurit.“ Suasana menjadi semakin tegang, ketika Gondang Ba¬ngah itu mulai menghitung “Satu“ sementara para prajurit Matarampun mulai bergerak. Kemudian “ Dua” Dan yang mengejutkan itu terjadilah. Selagi para pra¬jurit dibawah pimpinan Jaka Rampan dan Gondang Bangah mulai melangkah mendekati pendapa dan pring¬gitan, sementara para pemimpin Kademangan Sangkal Putung itu masih saja duduk betapapun ketegangan mencekam jantung, terdengarlah suara di seketheng mendahului mulut Gondang Bangah? “Jangan ucapkan bilangan berikutnya.“ Semua orang telah berpaling kearah suara itu. Seseorang melangkah dalam kegelapan keluar dari seketheng di¬bawah cahaya lampu yang suram. Namun semua orang segera mengenalnya, bahwa orang itupun mengenakan pakaian seorang prajurit Mataram dengan pertanda se¬orang Senapati. Sebelum orang-orang itu sempat mengenali wajahnya, maka beberapa orang perwira yang lain telah muncul pula diikuti oleh dua orang yang membawa tunggul pertanda kesatuan serta kelebet kebesaran. Gondang Bangah dan Jaka Rampan bagaikan membeku melihat para perwira itu. Sementara dari seketheng itu pula serta seketheng disisi yang sebelah, telah muncul pa¬sukan yang berkelengkapan lengkap sebagai prajurit Ma¬taram pula. Merekapun menebar justru diluar tebaran para prajurit Mataram yang telah hadir lebih dahulu. Bahkan kemudian diregol halaman itupun telah muncul pula sekelompok pra¬jurit Mataram yang lain. Dalam ketegangan itu, maka seorang perwira dalam kedudukan sebagai Senapati Besar prajurit Mataram telah naik kependapa. Orang itu adalah Untara. Sedangkan para bebahu Kademangan itu bersama Agung Sedayu dan Swandarupun telah berdiri pula. “Atas nama kuasa Panembahan Senapati, aku perintahkan Jaka Rampan dan Gondang Bangah mengumpulkan prajurit-prajuritnya.“ terdengar suara Untara berat membelah keheningan yang mencekam. Sejenak Jaka Rampan dan Gondang Bangah berdiri bagaikan membeku. Mereka sama sekali tidak mengira, bahwa di Kademangan Sangkal Putung itu telah hadir pula Senapati Besar Untara dengan pasukannya. Demikian cepatnya Senapati itu mendengar apa yang terjadi di Sangkal Putung. Selagi Jaka Rampan dan Gondang Bangah termangu-mangu, maka Glagah Putih telah menyusupi lewat pintu pringgitan dan berdiri dibelakang Agung Sedayu. Agung Sedayu berpaling kepadanya sambil tersenyum, sementara Glagah Putihpun tersenyum pula. Jaka Rampanpun kemudian menyadari, bahwa orang¬orang Sangkal Putung itu telah memperdayainya. Mereka minta waktu untuk membicarakan dengan para bebahu sampai lewat tengah malam adalah sekedar usaha menunda waktu. Sementara itu, mereka telah mengirimkan utusan untuk menemui Untara di Jati Anom. “Yang datang tentu pasukan berkuda.“ berkata Jaka Rampan didalam hatinya. Tetapi tidak seorangpun diantara mereka yang mendengar derap kaki kuda. Namun jika yang datang itu bukan pasukan berkuda, tentu memerlukan waktu yang lebih panjang. Jaka Rampan menyadari, bahwa mereka berhadapan dengan Senapati Besar Untara yang telah mereka kenal sebagai seorang Senapati yang tegak pada paugeran dan tugas-tugas keprajuritan. Karena itu, maka Jaka Rampan dan Gondang Bangahpun telah mengumpulkan prajurit mereka masing-masing. Sementara prajurit Mataram dibawah pimpinan langsung Senapati Besar Untara mengamati mereka dengan seksama. Demikian para prajurit itu sudah berkumpul, maka Untarapun berkata, “Jaka Rampan dan Gondang Bangah, marilah, kita akan berbicara dengan para bebahu Kade¬mangan Sangkal Putung.“ Untara tidak menunggu keduanya. Iapun kemudian telah melangkah menuju kepringgitan. Bersama para bebahu dan orang-orang yang ada dipringgitan, maka iapun telah duduk pula. Sejenak kemudian, maka Jaka Rampan dan Gondang Bangahpun telah hadir pula diantara mereka. Sejenak suasana masih terasa tegang. Jaka Rampan dan Gondang Bangah duduk sambil menundukkan kepalanya. Mereka menyesali kebodohan mereka, sehingga me¬reka justru telah terjebak. “Siapakah yang memerintahkan kalian untuk pergi ke belakang garis pertahanan Madiun?“ tiba-tiba saja Untara itupun bertanya. Baik Jaka Rampan maupun Gondang Bangah tidak menjawab. Mereka justru menjadi semakin menundukkan kepala. “Aku tahu bahwa kalian telah mengambil kebijak¬sanaan sendiri.“ berkata Untara, “tetapi apa alasan kalian meninggalkan kesatuan kalian? Kalian tidak dapat begitu saja pergi untuk waktu yang lama tanpa alasan yang dapat diterima akal.“ Jaka Rampan dan Gondang Bangah tidak segera men¬jawab. Sementara Untarapun berkata, “Baiklah jika kalian berkeberatan untuk memberikan keterangan sekarang. Kalian akan kami bawa menghadap ke Mataram. Bahkan jika perlu, aku akan mohon untuk membawa kalian meng¬hadap langsung Panembahan Senapati.“ Gondang Bangah menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, “Memang ada niat untuk membantu mempercepat penyelesaian persoalan antara Mataram dan Madiun. Kami memang ingin memperlemah kedudukan Madiun di belakang garis pertahanan mereka.” “Satu rencana yang mustahil.“ berkata Untara, “kalian tidak mempelajari keadaan dengan sebaik-baiknya. Mungkin kalian dapat memasuki daerah dibelakang garis pertahanan. Namun sesudah itu apa yang dapat kalian lakukan? Kalian akan menyerang kesatuan-kesatuan pra¬jurit Madiun atau akan melakukan pengacauan dibelakang garis pertahanan? Atau dengan kekuatan yang kalian bawa, kalian akan berusaha langsung menyerang istana Panem¬bahan Madiun atau rencana yang lain?“ Gondang Bangah semakin menunduk. Dengan suara lemah ia berkata, “Kami belum mempunyai rencana terperinci.“ “Mungkin kalian ingin memanfaatkan keadaan ini untuk mendapat pujian atau bahkan kemudian mendapat¬kan kedudukan yang lebih tinggi. Aku tahu bahwa nama kalian, terutama Jaka Rampan justru mulai menanjak. Tetapi jalan pintas yang akan kalian tempuh bukan jalan yang baik.“ berkata Untara. Gondang Bangah menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Memang, mungkin kami telah mengambil langkah yang tidak wajar.“ Untara mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Kita akan membicarakannya kelak. Besok kita akan pergi ke Mataram.“ Berbeda dengan Gondang Bangah, justru Jaka Ram¬pan tiba-tiba berkata, “Jika saja kami mendapat kesem¬patan.“ “Kesempatan apa?“ bertanya Untara. “Melaksanakan rencana kami.“ jawab Jaka Rampan, “kami akan membuktikan, bahwa kami adalah putera-putera terbaik Mataram.“ “Kau yakin bahwa kau dapat berbuat sesuatu dibelakang garis pertahanan Madiun?“ bertanya Untara. Jaka Rampan termangu-mangu sejenak. Namun ia tidak menunduk lagi. Bahkan nampak wajahnya yang tengadah. Dengan nada tinggi ia berkata, “Ki Untara. Barangkali Ki Untara pernah mendengar serba sedikit tentang kemampuanku. Beberapa kali aku telah menyelesaikan tugas dengan baik. Kelompok demi kelompok kejahatan disekitar Ganjur, Panggang sampai kepesisir telah kami bersihkan.“ “Sudah aku katakan, bahwa aku mengerti. Namamu mulai menanjak sehingga dalam waktu singkat kau telah menduduki jabatanmu yang sekarang.“ berkata Untara. Lalu, “Tetapi justru karena itu kau mempunyai penilaian yang salah terhadap dirimu sendiri. Kau baru dapat menumpas kejahatan-kejahatan kecil dilingkungan tugasmu sampai ke pesisir, kau sudah merasa memiliki kelebihan yang jarang ada bandingnya. Tetapi sebenarnyalah bahwa ilmumu itu bukan apa-apa bagi Sangkal Putung. Sebenar¬nya tanpa aku dan pasukanku, Sangkal Putung akan dapat menahan pasukanmu dan pasukan Gondang Bangah. Te¬tapi karena kalian memakai kelengkapan prajurit Mataram yang utuh, maka Sangkal Putung menjadi ragu-ragu. Memang tidak bijaksana bagi Sangkal Putung untuk ber¬tempur langsung melawan prajurit Mataram meskipun me¬reka tahu, bahwa kalian justru telah melanggar paugeran prajurit Mataram. Karena itulah maka aku hadir disini.“ Jaka Rampan mengerutkan keningnya. Ditatapnya wajah Untara sekilas, namun ketika Untara kemudian menatap matanya, maka Jaka Rampan segera melemparkan pandangannya. Namun ia masih juga berkata, “Ki Untara. Kami memang tidak dapat berbuat apa-apa dihadapan Ki Untara dengan pasukan Mataram. Apalagi Ki Untara telah langsung menemukan kami disaat kami mengayunkan langkah yang bertentangan dengan paugeran se¬orang prajurit. Tetapi yang Ki Untara katakan, bahwa Sangkal Putung mempunyai kemampuan lebih besar dari kemampuan kami, itulah yang agak janggal ditelinga kami.“ “Jadi kau tidak percaya?“ bertanya Ki Untara. “Mungkin yang Ki Untara maksudkan, Sangkal Pu¬tung mempunyai jumlah pengawal yang jauh lebih banyak dari jumlah prajurit yang aku bawa sehingga akan dapat mengalahkan prajurit Mataram seandainya benar-benar terjadi pertempuran.“ berkata Jaka Rampan. “Salah satu pengertiannya memang demikian. Tetapi pengertian yang lain adalah, bahwa kau, pemimpin dari pa¬sukan Mataram yang akan menyusup kebelakang gardu pertahanan Madiun, tidak akan dapat melampaui kemam¬puan para pemimpin di Sangkal Putung.“ “Omong kosong.“ diluar sadarnya Jaka Rampan menyahut. Wajah Untara menjadi merah. Dengan nada keras ia berkata, “Dengan siapa kau berbicara?“ Jaka Rampan menundukkan kepalanya. Jawabnya, “Dengan Senapati Besar Mataram di Jati Anom.“ “Nah, jika demikian maka kau tidak pantas menuduhku omong kosong.“ berkata Untara, “meskipun demi-kian, jika kau ingin membuktikan, aku kira para pemimpin di Sangkal Putung tidak akan ingkar. Apalagi para pemim¬pin mudanya. Disini ada anak dan menantu Ki Demang. Salah seorang dari mereka dapat membuktikan, bahwa kau bukan putera terbaik dari Mataram.“ Terasa dada Jaka Rampan bagaikan meledak. Sebagai seorang perwira muda yang namanya sedang menanjak, maka pernyataan Untara itu serasa telah menghinanya. Apalagi ketika kemudian Untara berkata, “Nah, terserah kepadamu Jaka Rampan.“ Jaka Rampan memandang Untara sekilas. Kemudian katanya, “Jika Senapati menginginkan, aku bersedia membuktikan. Tetapi sudah tentu jangan dijadikan alasan untuk memperberat kesalahan seakan-akan aku menentang keputusan Senapati disini.“ “Bagus.“ berkata Untara, “aku tidak akan menyebutnya demikian. Tetapi hal ini akan aku tawarkan kepada para pemimpin muda di Sangkal Putung.“ Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun ter¬nyata Swandarulah yang berkata lantang, “Kakang Untara. Kakang Agung Sedayu masih belum sembuh benar. Jika memang kesempatan itu diberikan kepada para pemimpin muda di Sangkal Putung, biarlah aku yang membuktikannya, bahwa di Sangkal Putung terdapat orang-orang yang mampu mengimbangi kemampuan per¬wira prajurit Mataram.“ Untara mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Biarlah kita melihat. Jika Jaka Rampan tidak percaya, kita akan membuktikannya. Bukan maksudku memperkecil harga diri seorang perwira prajurit Mataram. Namun agar para prajuritpun menyadari, bahwa para pengawal di Kademangan ini merupakan bagian dari ke¬kuatan Mataram itu. Aku juga seorang prajurit. Tetapi justru karena tugasku, maka aku mengerti nilai dari pengabdian orang-orang Sangkal Putung dan Kademangan-kademangan lain, bahkan seluruh tlatah Mataram, seba¬gaimana merekapun mengerti arti seorang prajurit bagi me¬reka, tidak hanya di medan perang.“ Untara menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Sementara yang kau lakukan adalah justru menodai citra prajurit Mataram itu sendiri.“ Jaka Rampan termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian berkata, “Aku tidak ingkar Ki Untara. Tetapi secara pribadi aku ingin membuktikan, bahwa aku adalah putera Mataram terbaik yang akan dapat menyelesaikan tugas yang dibebankan dipundakku, atau yang telah aku angkat sendiri bagi kepentingan Mataram.“ “Baiklah.“ berkata Untara, “kita akan melihat dengan jujur apakah benar Jaka Rampan memiliki sebutan putera terbaik dari Mataram.“ Jaka Rampan memandang Swandaru dengan sorot mata yang menyala. Anak muda itu nampaknya tidak begitu menghiraukannya dengani sebutan putera Mataram terbaik. Bahkan anak muda yang semula telah menyetujui menyerahkan pengawal Sangkal Putung sebagaimana dimintanya itu, telah melangkah turun ke halaman sambil berkata, “Marilah. Kita akan bermain-main di halaman.“ Untaralah yang kemudian mengatur segala sesuatunya. Beberapa orang prajurit Mataram yang dibawanya berdiri memagari sebuah lingkaran. Untara dan Gondang Bangah akan menjadi saksi dari perkelahian itu. Namun selain mereka, Untara juga menunjuk Agung Sedayu dan Glagah Putih untuk mengawasinya. Sejenak kemudian, maka arenapun telah siap. Kedua belah pihak telah melepaskan senjata mereka. Jaka Ram¬pan telah meletakkan pedangnya, sementara Swandaru telah meletakkan pula cambuknya. Ki Demang yang berdiri diluar arena bersama Ki Jagabaya menjadi berdebar-debar. Ia sadar, bahwa orang yang menyebut dirinya Jaka Rampan dan yang sudah berani mengambil sikap sendiri, menerobos garis pertahanan Ma¬diun, tentu seorang yang yakin akan kemampuannya sen¬diri. Demikian setelah segala sesuatunya siap, maka Untarapun berkata, “Yang akan berhadapan di arena adalah Jaka Rampan pribadi dan Swandaru pribadi pula. Keduanya sekedar ingin membuat takaran tentang ilmu kanuragan. Karena itu, keduanya harus jujur terhadap diri sendiri. Kalah dan menang bukan persoalan.“ Jaka Rampan dan Swandaru mengangguk. Sementara itu Untarapun bertanya, “Apakah kalian sudah siap?“ “Ya.“ sahut Jaka Rampan dengan serta merta. Sedangkan Swandaru menjawab kemudian, “Ya. Aku sudah siap.“ Untara berdiri diantara kedua orang itu untuk beberapa saat. Kemudian iapun memberi isyarat kepada Gondang Bangah dan Agung Sedayu, bahwa perkelahian itu akan se¬gera dimulai. Sesaat kemudian, maka Untarapun bergeser menepi. Dengan demikian maka perkelahian antara Jaka Rampan, seorang perwira muda prajurit Mataram yang namanya sedang menanjak naik, melawan Swandaru, anak Ki Demang Sangkal Putung, murid Kiai Gringsing yang tinggal di padepokan kecil di Jati Anom. Demikian perkelahian itu dimulai, maka nampak kegembiraan di wajah Jaka Rampan. Ia merasa mendapat penyaluran dari kekecewaannya, bahwa ia telah gagal un¬tuk mendapatkan pujian atas langkah-langkah yang akan diambilnya, disamping untuk kepentingan pribadinya. Tetapi Swandaru menjadi gembira pula. Ia akan menunjukkan kepada Untara, kepada Agung Sedayu dan kepada banyak orang bahwa ia telah memiliki ilmu yang tinggi. Terutama ia ingin menunjukkan kepada saudara tua seperguruannya, betapa ia akan dapat membanggakan diri akan kemampuannya. “Agaknya orang-orang Mataram hanya mengenal kakang Agung Sedayu. Kini mereka akan melihat, bahwa adik seperguruannya justru memiliki kelebihan daripadanya.“ berkata Swandaru didalam hatinya. Jaka Rampan yang telah bersiap itupun mulai bergeser mendekati Swandaru. Sementara Swandarupun telah ber¬siap pula untuk menghadapinya. Namun tiba-tiba saja Jaka Rampan masih bertanya, “Kenapa kau begitu cepat berubah sikap tentang perminta-anku untuk menyiapkan pengawal dari Sangkal Putung ini?” “Agaknya aku termasuk orang yang terlalu jujur menanggapi keadaan. Aku sama sekali tidak berprasangka buruk terhadapmu. Tetapi ternyata dugaanku itu salah. Dan aku mengakui kesalahan itu, sehingga aku harus berubah sikap.“ jawab Swandaru. Jaka Rampan mengangguk-angguk. Ternyata Swan¬daru itu cukup cepat pula menanggapi keadaan. Namun Jaka Rampan tidak mengira kalau Swandaru itu justru bertanya, “Apakah kau sudah siap? Atau masih ada lagi yang ingin kau tanyakan kepadaku selagi kau masih sempat?“ “Persetan.“ geram Jaka Rampan. Namun tiba-tiba saja Jaka Rampan itu sudah melenting menyerang. Swandaru yang sudah siap itupun segera bergeser. Tetapi dengan tiba-tiba pula ia telah menyerang kembali dengan dahsyatnya. Satu loncatan panjang dengan kaki terayun menyamping. Ketika Jaka Rampan menghindari serangan itu dengan cepat pula, maka Swandarupun telah menyerangnya pula. Dengan memutar tubuhnya, maka kakinyapun telah terayun mendatar. Tetapi Jaka Rampan tidak menghindari serangan itu. Ia terlalu percaya akan kekuatannya. Karena itu, maka Jaka Rampan itu tidak berusaha menghindari serangan itu. Dengan kedua tangannya Jaka Rampan telah membentur putaran kaki Swandaru itu. Maka terjadilah satu benturan yang keras. Swandaru yang telah mempergunakan sebagian dari kekuatannya itu memang terkejut. Kakinya terasa bagaikan membentur dinding baja sehingga seakan-akan telah memental kembali. Dengan demikian maka iapun menjadi terhuyung-huyung sesaat. Namun dengan tangkasnya ia justru telah meloncat mengambil jarak dari lawannya. Ketika kedua kakinya menyentuh tanah, maka iapun telah tegak berdiri dan siap menghadapi segala kemungkinan. Tetapi ternyata bahwa lawannya tidak memburunya. Benturan yang terjadi agaknya terlalu keras baginya, se¬hingga Jaka Rampan telah terdorong beberapa langkah surut. Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa anak padukuhan Sangkal Putung itu memiliki kekuatan sedemikian besarnya. Bagaimanapun juga Untara menjadi berdebar-debar melihat benturan itu. Ia sudah mempercayakan kepada Swandaru untuk membuktikan bahwa Jaka Rampan telah menilai kekuatan di Sangkal Putung. Jika Swandaru tidak berhasil membuktikannya, maka Jaka Rampan akan men¬jadi semakin sombong akan kelebihannya. Meskipun ia akan tunduk kepada Untara untuk dibawa ke Mataram, ka¬rena kesalahannya telah bertindak sendiri, namun ia masih akan dapat menengadahkan wajahnya dan berkata bahwa dirinya adalah putera terbaik Mataram. Bahkan tidak mustahil bahwa Jaka Rampan itu menganggap bahwa secara pribadi ia tentu akan dapat melampaui kemampuan Untara. Hanya karena kedudukan Untara sajalah maka Jaka Ram¬pan tunduk kepadanya. Dalam pada itu, maka Jaka Rampan dan Swandaru telah bersiap pula. Sejenak kemudian, pertempuran diarena itupun telah mulai lagi. Justru semakin lama menjadi se¬makin cepat. Jaka Rampan yang merasa dirinya seorang perwira yang baru tumbuh dan dengan cepat memangku jabatan yang baik dalam susunan keprajuritan di Mataram, ber¬usaha untuk menunjukkan kelebihannya itu. Ia berusaha dengan cepat untuk mengalahkan Swandaru. Ia ingin segera berdiri disisi tubuh yang terbaring pingsan di arena sambil menghadap kepada Untara dan berkata, “Apakah ada orang lain yang lebih baik?“ Tetapi ternyata bahwa tidak semudah itu untuk menun¬dukkan Swandaru. Swandaru, saudara seperguruan Agung Sedayu yang perhatiannya lebih banyak tertuju kepada ke¬kuatan jasmaniah serta dukungan tenaga cadangannya itu, ternyata memang memiliki kekuatan yang mendebarkan. Ketrampilan gerak yang tinggi dan langkah-langkah yang kadang-kadang sulit untuk diperhitungkan. Meskipun setiap geraknya nampak mantap dan berat, tetapi kakinya yang kuat mampu melontarkan tubuhnya dengan cepat dan tangkas kesegala arah yang dikehendaki. Setelah bertempur beberapa saat, maka Jaka Rampan mulai melihat satu kenyataan tentang Kademangan Sang¬kal Putung. Anak laki-laki Ki Demang yang agak gemuk itu, benar-benar memerlukan segenap kesungguhannya, meskipun ia seorang prajurit Mataram yang terbaik. Agung Sedayu mengikuti setiap gerak dan langkah dari kedua orang yang bertempur itu dengan seksama. Karena Swandaru adalah saudara seperguruannya, maka iapun mengenal setiap tata geraknya dengan baik. Namun sekali-sekali Agung Sedayupun mengangguk-angguk melihat kemampuan Swandaru mengembangkan unsur-unsur gerak dari ilmunya, sehingga dengan demikian, maka ilmu itu pula Swandaru menjadi seakan-akan memiliki unsur gerak yang berlipat. Dalam pada itu, maka ternyata bahwa Sekar Mirah dan Pandan Wangipun telah hadir pula di halaman. Meskipun mereka tidak terlalu dekat, tetapi mereka dapat melihat dengan jelas, apa yang terjadi di arena. Demikianlah, maka ketegangan telah mencengkam halaman rumah Ki Demang Sangkal Putung. Para prajurit Mataram yang datang bersama Jaka Rampan dan Gondang Bangah melihat pertempuran itu dengan heran. Mereka menganggap bahwa Jaka Rampan adalah seorang perwira muda yang jarang ada duanya. Namun berhadapan dengan anak muda dari sebuah Kademangan, ternyata ia tidak segera dapat mengatasinya. Berbeda dengan penglihatan para prajurit, maka Gon¬dang Bangah justru menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia melihat kelebihan Swandaru yang memiliki kekuatan raksasa itu. Sementara itu, prajurit Mataram yang datang dari Jati Anom memang berusaha untuk dapat menyaksikan pertem¬puran di arena itu pula. Namun sebagian dari mereka harus mengamati keadaan halaman itu seluruhnya. Bahkan juga mengawasi prajurit yang datang bersama Jaka Rampan dan Gondang Bangah. Tetapi menurut pengamatan para prajurit dari Jati Anom itu bahwa para prajurit yang datang dengan Jaka Rampan dan Gondang Bangah ter¬nyata telah terpukau
    • dilanjutkan ………

      Tetapi menurut pengamatan para prajurit dari Jati Anom itu bahwa para prajurit yang datang dengan Jaka Rampan dan Gondang Bangah ternyata telah terpukau oleh pertempuran diarena antara pemimpinnya yang mereka anggap melampaui kemampuan orang-orang berilmu melawan anak muda Sangkal Putung.
      Namun ternyata murid Kiai Gringsing itu benar-benar tidak mengecewakan. Untara yang tegang itu kadang-kadang sempat juga mengangguk-angguk melihat kemampuan Swandaru yang mendebarkan.
      Beberapa kali telah terjadi benturan antara kedua orang yang sedang bertempur itu. Namun Swandaru yang telah meningkatkan kemampuannya itu membuat lawannya semakin heran.
      Tetapi Jaka Rampan adalah seorang perwira muda yang tangguh. Dalam keadaan yang gawat, ia masih sempat melenting surut. Namun dengan kecepatan yang sangat tinggi, ia telah meloncat menyerang lawannya. Kedua tangannya terjulur kedepan dengan telapak tangan yang mengembang, tetapi dengan jari-jari yang merapat. Kedua telapak tangannya bersusun menelungkup. Namun dengan cepat bergerak mengembang, demikian kakinya menyentuh tanah selangkah di depan Swandaru.
      Swandaru yang melihat gerak lawannya, justru telah menyilangkan kedua tangannya didadanya. Namun ternyata kedua tangan Jaka Rampan yang mengembang itu telah menyerang kening Swandaru dari dua arah.
      Tetapi Swandaru tidak menjadi bingung karenanya. Dengan cepat ia merendahkan dirinya. Kedua tangannyalah yang kemudian menyerang dada orang yang berdiri diha-dapannya itu, sementara kedua tangan orang itu tidak menyentuh sasarannya.
      Namun orang itupun cukup tangkas. Dengan cepat Jaka Rampan bergeser surut, sehingga tangan Swandaru tidak mencapainya.
      Demikian pertempuran itupun semakin lama menjadi semakin cepat. Baik Jaka Rampan maupun Swandaru telah meningkatkan ilmu mereka. Mereka mengerahkan tenaga cadangan mereka sampai ke batas kemampuannya.
      Sebagai seorang perwira yang sedang dengan cepat meningkat, maka Jaka Rampan merasa sudah terlalu lama bertempur melawan anak Demang Sangkal Putung itu. Seharusnya ia lebih cepat mengalahkannya, sehingga ia akan tetap dianggap seorang yang berilmu tinggi. Seorang yang pantas disebut putera terbaik dari Mataram.
      Tetapi betapa ia mengerahkan kemampuannya, ternyata ia masih belum dapat menjatuhkan anak Ki Demang Sangkal Putung itu. Bahkan justru anak Ki Demang Sangkal Putung itu rasa-rasanya semakin lama menjadi semakin kokoh.
      Gondang Bangah memang menjadi sangat gelisah menyaksikan pertempuran itu. Apakah seorang perwira seperti Jaka Rampan itu akan dapat diimbangi ilmunya oleh seorang anak Demang.
      Namun sebenarnyalah Jaka Rampan justru mulai mengalami kesulitan. Swandaru yang dengan sungguh-sungguh menekuni ilmunya itu, semakin lama justru menjadi semakin kuat. Tenaganya sama sekali tidak menjadi susut, meskipun keringat telah terperas dari tubuhnya.
      Pada setiap benturan yang terjadi terasa bahwa kekuatan Swandaru tidak menjadi susut, tetapi justru rasa rasanya menjadi semakin meningkat. Tubuhnya menjadi semakin keras dan gerakannyapun menjadi semakin tang kas.
      Jaka Rampan mengumpat didalam hati. Sebagai seorang perwira yang berpengalaman, maka iapun segera berusaha mengatasi kemampuan Swandaru. Jaka Rampan mulai dengan segenap kemampuannya berusaha menyerang titik-titik kelemahan Swandaru. Menurut pengetahuan Jaka Rampan betapapun kemampuan seseorang, namun mereka tetap memiliki kelemahan itu. Kelemahan yang terdapat pada bagian-bagian tertentu tubuhnya.
      Tetapi Swandarupun mengerti, bahwa Jaka Rampan -itu telah membidik tempat-tempat yang lemah sebagaimana telah dipelajarinya dari gurunya. Kiai Gringsing sebagai seorang yang memiliki kemampuan pengobatan telah memberitahukan kepadanya dalam latihan-latihan olah kanuragan, bahwa ada delapan kelemahan pokok terdapat pada tubuhnya. Kemudian dua belas tempat lainnya pada tataran kedua, dan lebih banyak lagi pada tataran ketiga.
      Dengan demikian maka Swandarupun telah memperhitungkan hal itu pula. Bahkan sebagaimana dilakukan oleh lawannya, maka Swandarupun telah melakukan hal yang serupa.
      — Agaknya orang ini benar-benar akan mengakhiri pertempuran tanpa memikirkan akibatnya — berkata Swandaru didalam hatinya, karena serangan-serangan pada tempat-tempat yang paling lemah akan dapat berakibat gawat. Bahkan titik-titik kelemahan itu akan benar-benar dapat membunuh seseorang atau membuatnya cacat.
      Sementara itu, Untara mulai menjadi tenang ketika ia melihat bahwa Jaka Rampan memang tidak dapat dengan segera mengalahkan Swandaru dan menepuk dada sebagai putera terbaik dari Mataram, sehingga wajarlah jika ia berusaha untuk berbuat sesuatu bagi kebaikan Mataram atas rencananya sendiri.
      Pandan Wangi yang semula merasa cemas, menjadi lebih tenang pula. Kemampuannya mengamati ilmu seseorang telah menunjukkan kepadanya. Meskipun banyak kemungkinan dapat terjadi, seandainya Swandaru berbuat kesalahan oleh kelengahannya atau oleh sebab-sebab lain, namun dalam keadaan wajar, ia tidak akan mudah dikalahkan.
      Sekar Mirahpun kemudian hampir menjadi yakin bahwa kakaknya akan mampu bertahan sampai akhir pertempuran.
      Ditempat lain Glagah Putih yang pernah menilai latihan-latihan yang dilakukan oleh Swandaru didalam sanggar padepokan di Jati Anom justru masih berharap Swandaru meningkatkan ilmunya selapis lagi.
      Sebenarnyalah, bahwa ketika kedua belah pihak telah merasa bahwa pertempuran itu sudah berlangsung terlalu lama tanpa ada yang dapat menunjukkan kemenangannya, sementara langitpun mulai menjadi terang, maka Jaka Rampan benar-benar telah mengerahkan tenaganya, justru pada saat-saat tenaganya sudah mendekati batas susut.
      Namun Swandaru telah siap menghadapi kemungkinan itu. Apalagi karena Swandarupun tahu bahwa sebenarnya Jaka Rampan telah sampai pada batas.
      Karena itulah, maka Swandarulah yang kemudian lebih banyak menguasai arena. Ia masih tetap tegar dan kuat. Bahkan seakan-akan tenaganya justru masih akan dapat bertambah. Tubuhnya masih mungkin mengeras dan ketahanan tubuhnya masih lebih baik dari Jaka Rampan.
      Gondang Bangah yang berada diluar arena, ternyata mampu menilai kenyataan yang telah terjadi. Sebenarnyalah ia merasa sedih bahwa seorang perwira prajurit Mataram yang namanya mulai menanjak, ternyata tidak lebih baik dari anak seorang Demang di Sangkal Putung.
      Tetapi jika kenyataan itu yang terjadi, maka Gondang Bangah itu memang tidak dapat berbuat apa-apa.
      Sementara itu dalam keadaan terakhir, Swandarulah yang bertempur dengan dada tengadah. Ia telah membuktikan, bahwa ia memiliki kemampuan yang lebih baik dari seorang perwira prajurit yang dianggap sebagai seorang perwira yang berilmu tinggi.
      — Kakang Agung Sedayu tidak akan dapat menuduhku hanya sekedar berbicara — berkata Swandaru didalam hatinya.
      Pada saat-saat berikutnya, Jaka Rampan menjadi semakin terdesak. Sementara itu Swandaru justru menjadi semakin cepat bergerak. Beberapa kali serangannya ber hasil menyusup pertahanan Jaka Rampan sehingga sekali-sekali tangannya telah mengenai tubuh perwira prajurit Mataram itu.
      Jaka Rampan yang mengerahkan tenaganya disaat-saat yang gawat itu sekali-sekali memang juga berhasil mengenai tubuh Swandaru, tetapi dalam perbandingan yang lebih jarang. Iapun tidak sempat mengenai tepat pada sasaran yang dibidiknya, pada bagian-bagian yang sangat
      lemah ditubuh Swandaru.
      Ketika tubuhnya menjadi semakin lemah, sementara serangan Swandaru datang semakin deras, maka sekali-sekali Jaka Rampan itu seakan-akan hampir kehilangan keseimbangannya. Bahkan ketika tangan Swandaru yang terayun kesamping mendatar berhasil mengenai dadanya, maka Jaka Rampan itu telah terhuyung-huyung beberapa langkah surut. Swandaru yang tidak mau kehilangan kesempatan telah memburunya. Satu tendangan kakinya kemudian telah mengenai sekali lagi dadanya itu yang bagaikan menjadi retak.
      Jaka Rampan benar-benar tidak dapat bertahan untuk tetap tegak. Karena itu, maka iapun telah terdorong beberapa langkah lagi surut dan kemudian jatuh terguling di tanah.
      Namun oleh pengalaman dan kemampuan yang ada didalam dirinya, maka Jaka Rampan itupun telah melenting berdiri. Betapapun kekuatannya telah semakin surut, namun ia masih juga mampu tegak dan bersiap menghadapi segala kemungkinan.
      Tetapi Swandaru ternyata tidak memburunya lagi. Ia berdiri sambil bertolak pinggang memandang lawannya yang nampak menjadi semakin lemah.
      Sementara itu langit memang sudah menjadi terang. Untarapun kemudian maju beberapa langkah. Ia berdiri diantara Jaka Rampan dan Swandaru yang tegak dengan dada tengadah.
      — Aku kira permainan ini sudah cukup — berkata Untara — kita sudah tahu, siapakah yang kalah dan siapakan yang menang. —
      — Siapa yang kalah menurut pendapat Ki Untara? — bertanya Jaka Rampan dengan wajah yang tegang.
      Untara mengerutkan keningnya. Dengan nada tinggi ia justru ganti bertanya — Jadi kau merasa belum kalah? —
      — Aku belum kalah — berkata Jaka Rampan — aku tan-
      tang anak Demang Sangkal Putung itu bertempur dengan senjata. Seorang prajurit baru dapat dinilai dengan lengkap jjka ia sudah mempergunakan senjatanya. Tanpa senjata ia masih belum seorang prajurit yang utuh. —
      — Tidak perlu — berkata Untara.
      Namun Swandaru berteriak — Jika ia ingin kita bermain senjata, maka aku tidak berkeberatan.
      — Nah, Ki Untara mendengar sendiri. Betapa ia menjadi sangat sombong. Seolah-olah ia berhasil meruntuhkan nilai dan harga diri seorang prajurit, — berkata Jaka Rampan.
      — Kenapa? — justru Untara bertanya — apakah salahnya jika seseorang yang bukan prajurit mempunyai kemampuan melampaui seorang prajurit seperti kau yang justru telah merusak citra keprajuritan. —
      — Aku akan membuktikan bahwa aku adalah seorang prajurit yang baik. — berkata Jaka Rampan — karena itu beri aku kesempatan bertempur dengan senjata.
      — Kau dengar jawabku? Tidak. Kau tidak dapat memaksaku. — berkata Untara.
      — Sebaiknya biarlah aku menyelesaikan persoalanku sendiri. Kau tidak perlu turut campur — bentak Jaka Rampan.
      Wajah Untara menjadi merah. Dengan nada berat ia bertanya kepada Jaka Rampan — Kau berhadapan dengan siapa? —
      Betapapun perasaannya bergejolak, maka naluri keprajuritannya telah mengekangnya. Karena itu, suaranyapun telah menyusut ketika ia kemudian menjawab — Senapati Besar di Jati Anom. —
      — Lakukan perintahku — geram Untara.
      Jaka Rampan tidak menjawab. Namun Swandarulah yang hampir berteriak — Beri kesempatan kepadanya ber-
      main senjata. Aku akan menerima tantangannya.
      — Tidak — suara Untara masih tetap tegas — aku perintahkan, pertarungan ini dianggap selesai. Semua kembali ketempatnya masing-masing. —
      — Tetapi aku bukan seorang prajurit yang harus tunduk kepada perintah Senapati yang manapun — Swandaru ternyata masih juga berusaha mendesak.
      Tetapi Ki Demanglah yang datang kepadanya. Katanya — Dalam keadaan yang gawat, Senapati akan dapat bertugas menangani semua persoalan yang berhubungan dengan pengamanan satu lingkungan. Seandainya kau dapat tidak tunduk pada perintah seorang Senapati sekarang ini, lalu kau akan berkelahi melawan siapa? Nah, sekarang kau dengar. Aku ayahmu. Aku perintahkan kau keluar dari arena ini. —
      Swandaru memandang ayahnya dengan ungkapan kekecewaannya. Ketika ia kemudian memandang Agung Sedayu dan Glagah Putih, maka agaknya merekapun sependapat dengan Ki Demang. Namun dalam keragu-raguan itu Pandan Wangi telah mendekatinya. Tanpa berkata apapun juga Pandan Wangi telah membimbing Swandaru keluar dari arena seperti membimbing seorang anak yang kebingungan. Mengambil cambuk Swandaru yang dilepas dan kemudian membawanya masuk lewat seketheng.
      Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sejenak kemudian, maka Ki Demangpun telah mempersilahkan tamu-tamunya untuk kembali naik ke pendapa.
      Tetapi agaknya mereka tidak terlalu lama duduk di pringgitan. Untara segera mempersiapkan diri untuk langsung pergi ke Mataram. Ia tidak boleh menunda persoalan itu terlalu lama. Persoalan Jaka Rampan dan Gondang Bangah harus segera ditangani. Mereka tentu sudah meninggalkan kesatuan mereka tanpa diketahui oleh Senapati yang membawahinya langsung, atau dengan cara yang tidak wajar mendapat ijin justru membawa pasukan meski-
      pun jumlahnya terlalu kecil, sehingga Jaka Rampan harus menambah pasukannya dalam perjalanan.
      Tetapi Untara cukup bijaksana. Ia tidak melucuti senjata pasukan Jaka Rampan dan Gondang Bangah, kecuali kedua perwira itu sehingga mereka tidak menjadi sangat tersinggung. Tetapi Untara telah memberikan penjelasan apa yang sebenarnya terjadi serta kesalahan yang telah mereka lakukan.
      Seorang pemimpin kelompok telah menjawab ketika Untara bertanya — Aku tidak tahu yang sebenarnya dari perjalanan ke Timur ini. Aku hanya menerima perintah. Aku kira yang dilakukan oleh pemimpin kami adalah wajar.
      — Kalian akan dapat menyampaikan kepada yang bertugas untuk memeriksa kalian di Mataram — berkata Untara.
      Demikianlah, ketika segala persiapan telah selesai, maka Untara dan pasukan berkudanya telah membawa Jaka Rampan dan Gondang Bangah bersama pasukannya pula menuju ke Mataram. Kuda-kuda dari pasukan Untara yang ditinggalkan diluar padukuhan induk Kademangan Sangkal Putung telah diambil dan dibawa ke halaman Kademangan.
      — Semakin cepat persoalan ini selesai, semakin baik — berkata Untara.
      Demikianlah maka sejenak kemudian iring-iringan prajurit Mataram telah meninggalkan Kademangan Sangkal Putung. Untara menolak ketika Ki Demang mempersilah-kannya menunggu agar disediakan makan bagi para prajurit seluruhnya.
      — Seorang Senapati yang berdiri tegak pada hak dan kewajibannya — desis Ki Demang.
      Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Bagaimanapun juga ada kebanggaan yang bergetar didalam dada Agung Sedayu, bahwa kakaknya dalam keadaan yang
      bagaimanapun juga tetap tegak pada paugeran seorang prajurit.
      Sejenak kemudian maka halaman Kademangan Sangkal Putung itupun telah menjadi lengang. Beberapa pengawal masih tetap berjaga-jaga. Sementara Ki Demang telah mempersilahkan para bebahu yang ingin beristirahat untuk pulang. Kecuali Ki Jagabaya yang masih akan berada di Kademangan bersama beberapa orang pengawal.
      Agung Sedayu, Glagah Putih dan Sekar Mirahpun telah meninggalkan pringgitan pula. Sementara diruang dalam Swandaru duduk bersama Pandan Wangi. Ketika Ki Demang telah meninggalkan pringgitan, maka iapun telah duduk bersama Swandaru pula.
      — Aku menyesal bahwa aku tidak diperkenankan untuk bertempur dengan senjata — geram Swandaru.
      — Sudahlah kakang — potong Pandan Wangi.
      — Ki Untara telah memerintahkan menghentikan pertandingan itu. Untara telah memerintahkan kepada Jaka Rampan untuk berhenti. Jika kau nekad ingin berkelahi, kau tidak akan mempunyai lawan. – berkata Ki Demang.
      — Jaka Rampan tentu akan memaksa juga — jawab Swandaru.
      Tetapi kau tahu sikap Untara — sahut Ki Demang.
      Swandaru menundukkan kepalanya. Tetapi kekecewaannya masih membayang diwajahnya. Dengan nada rendah ia berkata — Jika perkelahian dengan senjataitu berlangsung, maka aku dapat melakukan untuk beberapa sasaran sekaligus. Kecuali memenuhi keinginan kakang Untara, akupun dapat menunjukkan kepada kakang Agung Sedayu, tataran yang dapat aku capai, sehingga akan dapat mendorongnya untuk sedikit memberikan perhatian kepada ilmunya. —
      — Agung Sedayu sudah bukan anak-anak — berkata Ki Demang — ia tentu dapat menempatkan dalam dunianya. Sudah bertimbun pengalaman didalam dirinya. —
      — Justru karena itu, ia terlalu yakin akan kemampuan yang sudah dimilikinya. Berkali-kali kakang Agung Sedayu mengalami luka parah jika ia berhadapan dengan lawan yang berilmu tinggi. Tetapi pengalaman yang pahit itu tidak menderanya untuk meningkatkan ilmunya. — desis Swandaru.
      — Jangan berprasangka begitu — berkata Ki Demang — jika kau menilai seseorang yang terluka di pertempuran, maka kau harus menilai kedua-duanya. Jika lawannya berkemampuan jauh lebih rendah, maka seseorang tidak akan mengalami sesuatu. Jika keduanya ilmunya seimbang, maka kemungkinan yang buruk akan dapat terjadi pada kedua-duanya. Hal itu berlaku untuk segala tataran. Yang berilmu rendahpun akan dapat terjadi seperti itu. Apalagi yang berilmu tinggi. —
      — Apakah ayah menilai ilmu Jaka Rampan terlalu rendah? — bertanya Swandaru.
      — Aku tidak mengatakan pertempuran yang baru saja terjadi. Aku mengatakan sesuatu yang berlaku umum. Seandainya ilmu Jaka Rampan dan ilmumu seimbang, maka keadaannya tentu berbeda. — berkata Ki Demang.
      — Pengakuan seperti itulah yang ingin aku pancing dari kakang Agung Sedayu — berkata Swandaru — jika ia mengakui bahwa ilmu Jaka Rampan cukup tinggi, maka ia akan menilai kemampuanku yang berada diatas kemampuan Jaka Rampan yang dibuktikan oleh keputusan kakang Untara.
      Ki Demang mengangguk-angguk. Sebenarnya ia kurang pendapat dengan Swandaru. Tetapi sulit bagi Ki Demang untuk menyusun pendapatnya itu dalam kalimat yang dapat diucapkan. Sedangkan Pandan Wangi merasa lebih baik untuk berdiam diri dan tidak mencampuri pembicaraan antara ayah dan anak laki-lakinya itu meskipun terasa hatinya juga tergelitik karenanya.
      Namun dalam pada itu, Ki Demangpun kemudian
      berkata — Sudahlah. Beristirahatlah. Mungkin kau letih. —
      — Ya ayah — jawab Swandaru — tetapi sebenarnya aku tidak terlalu letih. —
      Ki Demangpun kemudian telah meninggalkan Swandaru di ruang tengah. Namun Swandarupun kemudian telah bangkit pula untuk pergi ke pakiwan.
      — Aku akan menyediakan ganti pakaianmu kakang — berkata Pandan Wangi.
      Dipintu samping Pandan Wangi bertemu dengan Sekar Mirah. Dengan nada rendah Sekar Mirah bertanya — Bagaimana dengan kakang Swandaru? —
      — Kakang Swandaru baru mandi — jawab Pandan Wangi.
      — Kakang tidak apa-apa? — bertanya Sekar Mirah pula.
      Adalah diluar kehendaknya ketika seolah-olah yang ditekan didalam dadanya telah terungkat — Kakang Swandaru menjadi sangat kecewa. Ia ingin membuktikan bahwa ia mampu mengalahkan seorang perwira Mataram dalam olah senjata. —
      Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Dengan ragu-ragu ia bertanya — Bagaimana dengan ayah? —
      — Ki Demang sudah banyak memberikan pesan kepada kakang Swandaru. — jawab Pandan Wangi.
      Sekar Mirah mengangguk-angguk. Ia tahu benar sifat kakaknya yang agak gemuk itu. Namun agaknya Pandan Wangi masih juga menahan diri untuk tidak melepaskan semua yang terasa menyesak didadanya.
      — Sekarang kau akan kemana? — bertanya Sekar Mirah.
      — Menyediakan pakaian kakang Swandaru. Pakaian yang dipakainya basah oleh keringat dan kotor oleh debu. — jawab Pandan Wangi.
      Sekar Mirah mengangguk-angguk. Tetapi ia masih bertanya — Dimana ayah sekarang? —
      — Ki Demang pergi ke biliknya mungkin. Ki Demang nampak letih — jawab Pandan Wangi.
      Sekar Mirah mengangguk-angguk. Katanya — Jika demikian, nanti saja aku menemuinya.
      Namun tiba-tiba saja Ki Demang muncul dari pintu yang lain. Sambil mengusap keningnya ia bertanya — Kau mencari aku? Apakah ada hal yang penting? —
      — Tidak ayah. Tidak ada apa-apa — jawab Sekar Mirah. Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Sementara
      Pandan Wangipun telah meninggalkan ruangan itu untuk menyiapkan pakaian suaminya.
      Ki Demang perlahan-lahan telah mendekati anak perempuannya. Dengan nada rendah ia berkata — Kakakmu memang menjadi sangat kecewa. Tetapi aku tidak dapat berbuat lain. —
      Sekar Mirah mengangguk. Sementara Ki Demangpun berkata — Disamping niatnya untuk menunjukkan kepada para prajurit Mataram dibawah pimpinan Jaka Rampan bahwa anak muda Sangkal Putungpun memiliki kemampuan seorang perwira, ada juga niatnya yang baik. —
      — Apa ayah? — bertanya Sekar Mirah.
      — Swandaru ingin menunjukkan kepada kakak seperguruannya, bahwa kemungkinan untuk meningkatkan ilmu masih terbuka — berkata Ki Demang, lalu — Swandaru menganggap bahwa suamimu tidak cukup banyak menyediakan waktu bagi peningkatan ilmunya. —
      — Ayah — berkata Sekar Mirah — kakang Swandaru telah salah menilai kemampuan kakang Agung Sedayu. Aku sudah mencoba untuk memberitahukan hal itu. Tetapi kakang Swandaru menganggap bahwa aku terlalu mengagumi suamiku, sehingga tidak lagi dapat membuat pertimbangan sewajarnya. —
      — Aku sudah mengira. — berkata Ki Demang — Agung Sedayu bersikap lebih dewasa dari Swandaru. Tetapi Swandaru menganggap bahwa karena Agung Sedayu beberapa kali mengalami luka-luka parah dalam pertempuran-pertempuran yang pernah dilakukannya, maka Swandaru menganggap bahwa alas kemampuan ilmu Agung Sedayu masih belum cukup tinggi. —
      — Bukankah hal itu juga tergantung pada lawannya bertempur? — desis Sekar Mirah.
      — Aku mengerti — jawab Ki Demang.
      — Kakang Agung Sedayu mendalami ilmunya tidak sekedar pada permukaannya. Tetapi jauh menusuk ke kedalamannya — berkata Sekar Mirah. Lalu katanya — Lawannya yang terakhir ternyata memiliki ilmu kebal dari jenis Aji Tameng Waja. Kakang Agung Sedayu harus mengerahkan segenap ilmunya untuk dapat mengalahkannya. Namun kakang Agung Sedayu sendiri mengalami luka parah. —
      Ki Demang mengangguk-angguk. Tetapi kemudian katanya — Dimana suamimu sekarang? —
      — Didalam bilik bersama Glagah Putih. — berkata Sekar Mirah — nampaknya mereka mulai mencemaskan keadaan di Tanah Perdikan Menoreh. —
      — Bukankah masih ada orang lain yang pantas diketengahkan di Tanah Perdikan selain Ki Gede? — bertanya Ki Demang.
      — Memang Tanah Perdikan tidak terlalu mencemaskan. Masih ada Ki Jayaraga, yang juga dianggap guru oleh Glagah Putih. Namun disanapun ada barak pasukan khusus Mataram yang ditempatkan di Tanah Perdikan itu. —
      Ki Demang mengangguk-angguk. Katanya kemudian — Bukankah kau dan suamimu tidak akan tergesa-gesa kembali ke Tanah Perdikan? —
      — Tetapi kami tidak akan dapat terlalu lama disini.
      Meskipun rinduku kepada kampung halaman ini rasa-rasanya masih belum hilang, namun aku tidak dapat mencegahnya, jika kakang Agung Sedayu menghendaki kami kembali — jawab Sekar Mirah.
      Ki Demang mengangguk-angguk. Katanya — Terserahlah kepada kalian. Keadaan memang sedang kalut. Ternyata bukan orang-orang Madiun saja yang ingin memanfaatkan keadaan ini. Mungkin untuk keuntungan pribadi atas dasar ketamakan akan harta benda, sedangkan mungkin dilakukan karena menginginkan pujian, drajad dan pangkat. Agaknya ada juga orang-orang Mataram yang melakukannya. —
      Sekar Mirah mengangguk-angguk. Katanya — Kita memang harus berhati-hati ayah. —
      — Baiklah. Usahakan agar suamimu merasa tenang disini. Jika kau memerlukan sesuatu, katakan kepadaku, — berkata ayahnya — aku memang akan beristirahat setelah semalam suntuk mengurusi Jaka Rampan dengan orang-orangnya. —
      Ki Demangpun kemudian meninggalkan Sekar Mirah yang kemudian telah pergi ke dapur. Ternyata Pandan Wangi setelah menyediakan ganti pakaian suaminya juga telah berada di dapur pula.
      Hari itu, orang-orang di Kademangan Sangkal Putung masih saja membicarakan tentang sikap Jaka Rampan. Merekapun merasa bangga, bahwa anak Ki Demang telah menunjukkan harga diri anak-anak muda Sangkal Putung pada umumnya.
      — Ternyata Swandaru benar-benar seorang yang berilmu tinggi. Ia tidak hanya sekedar membual, berteriak-teriak dan marah-marah kepada anak-anak muda di Kademangan ini. Tetapi ia benar-benar seorang yang berilmu tinggi, — berkata seorang pemimpin kelompok pengawal Kademangan Sangkal Putung.
      — Agaknya Ki Demang memang beruntung. Anaknya yang perempuan itupun berilmu tinggi pula. Agung Sedayu dan Pandan Wangi, menantu-menantunya, juga orang-orang yang berilmu tinggi. Seandainya mereka berkumpul di Kademangan Sangkal Putung, maka Sangkal Putung akan menjadi Kademangan terkuat di seluruh tlatah Mataram. — sahut kawannya.
      Beberapa orang yang mendengarnya menganguk-angguk. Hampir berbareng dua orang berkata — Ya. Kita akan menjadi terkuat. —
      Tetapi seorang yang sudah lebih tua dari mereka berkata — Jika kita terkuat, lalu mau apa? —
      Anak-anak muda itu termangu-mangu. Tetapi seorang diantara mereka menjawab — setidak-tidaknya kita dapat berbangga. —
      — Dan menyombongkan diri? — bertanya orang yang lebih tua itu.
      Sekali lagi mereka termangu-mangu. Namun beberapa orang diantara mereka menjawab — Tentu tidak. —
      Sementara seorang anak muda yang lain berkata — Aku kira memang ada perbedaan antara kebanggaan dan kesombongan. —
      — Kau benar — jawab orang yang lebih tua itu — tetapi jarak itu terlalu pendek, sehingga jika kita tenggelam dalam kebanggaan diri, maka kita akan terlalu mudah untuk tergelincir dalam sikap yang sombong. —
      Kawan-kawannya tidak membantah lagi. Bahkan beberapa
      orang yang lain mengangguk-angguk.
      Di rumah Ki Demang, suasana masih nampak lesu. Orang-orang di rumah Ki Demang pada umumnya merasa letih. Namun setelah lewat tengah hari, maka mereka telah menjadi segar kembali. Swandarupun telah berada di pendapa bersama Agung Sedayu dan Glagah Putih. Sambil
      membawa minuman dan makanan, maka Pandan Wangi dan Sekar Mirahpun telah ikut pula duduk-duduk di pendapa.
      Pembicaraan merekapun masih juga berkisar pada sikap Jaka Rampan yang telah menodai wajah prajurit Mataram sendiri.
      Namun akhirnya pembicaraan merekapun telah merambat sampai ke Tanah Perdikan Menoreh. Agung Sedayu memang sedikit mencemaskan perkembangan keadaan. Namun seperti yang pernah dikatakan oleh Sekar Mirah, bahwa kehadiran Ki Jayaraga dan adanya barak pasukan khusus di Mataram, akan dapat membantu mengatasi persoalan jika itu timbul di Tanah Perdikan.
      — Karena itu, kakang tidak usah tergesa-gesa — berkata Swandaru — jika kakang sempat berada di Kademangan ini barang sebulan, maka kita akan mendapat kesempatan untuk berlatih bersama sebagaimana dahulu sering kita lakukan, disaat-saat kita mulai menapakkan kaki di perguruan kita. —
      Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian menjawab — Sebenarnya memang menarik sekali. Tetapi rasa-rasanya kami tidak akan dapat berada disini terlalu lama. Jika tubuh dan kesehatanku pulih kembali sepenuhnya, maka kami terpaksa minta diri. —
      — Tetapi bukankah seperti kakang katakan, bahwa Tanah Perdikan tidak perlu terlalu dicemaskan? — bertanya Swandaru.
      — Sebenarnya itu adalah pernyataan sekedar untuk menenangkan diri. Namun kegelisahan itu masih saja tetap bergejolak didalam hati — jawab Agung Sedayu.
      — Jika demikian, kita pergunakan kesempatan yang ada betapapun sempitnya — berkata Swandaru — bukankah kita dapat memanfaatkannya untuk membuat perbandingan ilmu. Bukan dengan maksud apa-apa. Tetapi sewa-
      jarnyalah bahwa sebagai saudara seperguruan kita sekali-sekali berlatih bersama. —
      Agung Sedayu tersenyum. Namun jawabnya — Aku sebenarnya ingin sekali melakukannya. Tetapi agaknya keadaan tubuhku masih terlalu lemah.
      Swandaru mengerutkan keningnya. Dipandanginya Agung Sedayu sejenak. Lalu katanya — Bukankah keadaan kakang sudah baik? Biasakan bergerak kembali agar kau benar-benar segera pulih. Tetapi jika kau masih saja merasa dirimu sakit dan lemah, maka kau benar-benar memerlukan waktu yang lebih lama lagi untuk merasa pulih kembali. —
      Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Bagaimanapun juga hatinya mulai terasa tergelitik oleh sikap Swandaru. Tetapi Sekar Mirah mencoba untuk menengahi. — Kakang Agung Sedayu akan menilai dirinya sendiri. Jika ia sudah merasa benar-benar pulih, aku kira kakang Agung Sedayu tidak akan berkeberatan. —
      Swandaru memandang adiknya sekilas. Tetapi ia menahan kata-kata yang hampir saja terloncat dari bibirnya — Jangan terlalu kau manjakan suamimu. —
      — Tetapi untunglah bahwa dalam keadaan tertentu, Swandaru dapat juga menahan diri.
      Yang mereka bicarakan kemudian adalah persoalan-persoalan lain meskipun masih juga menyangkut perkembangan Kademangan Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh. Ternyata bahwa kehadiran Sekar Mirah untuk melihat rumah serta kampung halamannya telah membuat Pandan Wangi menjadi rindu pula pada Tanah Perdikan-nya. Tetapi menyadari keadaannya, maka Pandan Wangi memang tidak ingin dalam waktu dekat pergi ke Tanah Perdikan.
      — Aku tidak ingin melakukan perjalanan dalam keadaan seperti ini — berkata Pandan Wangi.
      — Sokurlah jika Ki Gede sempat menengokmu — desis
      Swandaru sambil tersenyum.
      — Jika Ki Gede mengetahui, maka Ki Gede tentu akan mencari kesempatan datang ke Kademangan ini — berkata Agung Sedayu.
      — Setidak-tidaknya menjelang selapan — desis Sekar Mirah sambil tersenyum.
      — Terlalu lama — sahut Pandan Wangi.
      Tetapi Swandaru menyahut — Kau kira Ki Gede dapat begitu saja meninggalkan Tanah Perdikan dalam suasana seperti ini? Ada dua hal yang harus diperhatikan. Tanah Perdikan yang ditinggalkannya dan keselamatan Ki Gede sendiri dalam perjalanan. Tetapi tentu tidak demikian dengan seorang Kepala Tanah Perdikan. —
      Pandan Wangi mengangguk-angguk. Iapun mengerti sebagaimana dikatakan oleh suaminya.
      Pembicaraan merekapun terputus ketika seorang pelayan memberitahukan bahwa mereka telah mempersiapkan makan siang di ruang dalam.
      — O — desis Pandan Wangi — ternyata aku terlalu asik disini sehingga aku tidak melihat, bagaimana makan siang itu dipersiapkan. Tunggulah sebentar. Aku akan membenahinya. —
      Adalah menjadi kebiasaan Pandan Wangi untuk mengatur sendiri makan terutama jika sedang ada tamu. Karena itu, maka iapun segera meninggalkan pendapa menuju keruang dalam. Namun Sekar Mirahpun telah mengikutinya pula keruang dalam.
      Baru sejenak kemudian, Pandan Wangi mempersilah-kan mereka yang ada di pendapa masuk ke ruang dalam untuk makan.
      Demikianlah, Agung Sedayu dan Sekar Mirah tinggal beberapa hari di Sangkal Putung. Yang sering menjadi pening adalah Glagah Putih jika ia mendengar Swandaru
      memberikan beberapa pesan kepada Agung Sedayu. Ia tidak mengerti, bagaimana Agung Sedayu dapat dengan sabar mendengarkannya.
      Dalam pada itu, pada satu kesempatan, selagi Untara sedang melakukan tugas meronda bersama beberapa orang prajuritnya, telah singgah di Sangkal Putung. Untara sekedar ingin memberitahukan kepada Ki Demang bahwa Jaka Rampan dan Gondang Bangah telah diserahkan kepada seorang Senapati yang ditunjuk untuk menanganinya.
      — Aku sempat menghadap langsung Panembahan Senapati — berkata Untara. Lalu — ternyata Panembahan Senapati menjadi sangat prihatin. Tetapi Panembahan Senapati belum dapat dengan cepat memecahkan hubungannya dengan Madiun. Bahkan nampaknya persoalan Pajang justru akan dapat menambah jarak itu. —
      — Persoalan Pajang yang mana? — bertanya Agung Sedayu yang ikut mendengarkan pula.
      — Pengganti Pangeran Benawa — jawab Untara.
      Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia memang sudah menduga, bahwa hal itu akan dapat menjadi persoalan baru bagi Mataram dan Madiun. Sementara di kedua belah pihak terdapat orang-orang yang tamak dan ingin memanfaatkan keadaan itu. Atau mereka yang kurang dapat mengendalikan diri dan ingin bertindak sendiri-sendiri.
      Dalam pada itu Untarapun telah menceriterakan pula, bagaimana mungkin Jaka Rampan dan Gondang Bangah meninggalkan kesatuannya dengan membawa prajurit.
      — Ternyata bahwa perintah bagi keduanya adalah menangkap sekelompok penjahat yang mengganggu ketenangan satu lingkungan. Jaka Rampan seharusnya mendapat tugas ke Dlingo karena di daerah itu telah timbul keributan. Sekelompok orang telah berusaha menguasai kehidupan beberapa Kademangan di Dlingo. Sedangkan Gondang Bangah harus pergi ke daerah pesisir Selatan, karena keadaan
      yang hampir sama. Tetapi keduanya telah bersepakat untuk melakukan tindakan sendiri. Sudah tentu pada keduanya terdapat pamrih pribadi yang baru akan diketahui setelah keduanya menjalani pemeriksaan. —
      Yang mendengarkan keterangan Untara itu mengangguk-angguk. Sementara itu Untarapun berpesan pula — Hati-hatilah untuk seterusnya. —
      Ki Demang dan mereka yang mendengarkan keterangan Untara itu mengangguk-angguk. Mereka memang harus berhati-hati. Banyak hal yang dapat terjadi. Bahkan kadang-kadang diluar dugaan mereka sama sekali.
      Dalam pada itu, ketika Untara meninggalkan Sangkal Putung, maka Agung Sedayupun sekaligus minta diri, bahwa dalam waktu dekat, ia akan langsung kembali ke Tanah Perdikan Menoreh.
      — Tolong kakang. Mohon dalam saat-saat tertentu kakang menyempatkan diri menengok guru dan paman Wi-dura di padepokan kecil itu. — berkata Agung Sedayu.
      Untara tersenyum. Katanya — Rasa-rasanya aku juga ingin sering berada di padepokan itu bersama paman Wi-dura. Ilmu yang membekali kami berdua bersumber dari mata air yang sama. Meskipun rasa-rasanya aku sudah terlalu tua, apalagi paman Widura, tetapi tidak ada salahnya jika kami berusaha untuk menyegarkan ilmu kami. —
      Agung Sedayupun tersenyum pula. Sementara Swandaru menyahut — Tidak ada salahnya kakang. Waktu untuk meningkatkan ilmu tidak dibatasi oleh umur seseorang.
      Untara tertawa. Namun sejenak kemudian, ia telah meninggalkan rumah Ki Demang Sangkal Putung.
      Adalah diluar dugaan ketika tiba-tiba saja Swandaru berkata hampir berbisik ditelinga Agung Sedayu — Nah, kau dengar kakang. Sementara kakang Untarapun merasa perlu untuk meningkatkan ilmunya. Apalagi kakang Agung Sedayu yang lebih muda. Seharusnya kakang menyediakan
      waktu lebih banyak lagi untuk menekuni ilmu. Besok, jika kakang kembali ke Tanah Perdikan, silahkan membawa kitab yang dipinjamkan oleh Guru kepada kita. Kakang tidak perlu tergesa-gesa mengembalikan. Maksudku, kita tidak perlu terikat pada batas waktu tiga bulan di tempat masing-masing. —
      Telinga Glagah Putih yang ikut mendengar meskipun perlahan-lahan sekali, terasa menjadi panas. Sementara itu Agung Sedayu menjawab lirih — Terima kasih adi Swandaru. —
      Sebenarnyalah, Swandaru telah menyiapkan kitab yang dipinjamkan oleh Kiai Gringsing kepada dua muridnya. Kiai Gringsing memang menyerahkan perkembangan ilmu murid-muridnya kepada kedua muridnya itu sendiri. Menurut penilaian Kiai Gringsing, ilmu Agung Sedayulah yang maju lebih cepat dari ilmu Swandaru.
      Dalam pada itu, pada hari yang telah disepakati oleh Agung Sedayu dan Sekar Mirah, maka keduanya bersama Glagah Putih telah minta diri kepada Ki Demang dan seluruh keluarga Kademangan Sangkal Putung.
      Sebenarnya mereka memang masih ingin menahan Agung Sedayu suami isteri dan Glagah Putih, tetapi agaknya keadaan yang gawat telah membuat ketiganya tidak dapat terlalu lama meninggalkan Tanah Perdikan.
      — Waktuku terlalu lama habis dirampas oleh luka-luka di Jati Anom — desis Agung Sedayu.
      — Baiklah — berkata Ki Demang. — Lain kali, sokurlah jika suasana menjadi cepat cerah, kalian akan datang lagi untuk waktu yang lebih lama di Kademangan Sangkal Putung ini. —
      Sekar Mirah ternyata harus berjuang melawan air matanya yang mengembang dipelupuk. Apalagi ketika ia minta diri kepada Pandan Wangi. Betapapun ia berusaha, namun setitik air memang telah menetas dari matanya yang
      basah. Sehingga Pandan Wangipun harus mengusap matanya sendiri yang menjadi panas.
      — Kurnia itu akan datang pada waktunya — bisik Pandan Wangi. Sekar Mirah mengangguk.
      Demikianlah, maka beberapa saat kemudian, selagi matahari mulai naik, mereka telah meninggalkan Sangka! Putung. Keluarga Ki Demang telah mengantar mereka sampai kepintu gerbang. Swandaru memang menawarkan beberapa orang pegawai untuk mengantar mereka, tetapi sambil tersenyum Agung Sedayu berkata — Terima kasih adi. Agaknya kami akan tidak terganggu di perjalanan, –
      Sejenak kemudian, maka ketiga orang itu telah berpacu di bulak-bulak persawahan Kademangan Sangkal Putung. Beberapa orang yang melihat mereka telah menyapa dan bertanya, apakah mereka akan kembali ke Tanah Perdikan.
      Seorang perempuan yang sedang menyiangi sawahnya telah naik kepematang sambil bertanya — Kau tidak menunggu mbokayumu sampai melahirkan? —
      Sekar Mirah tersenyum, berapapun hatinya tersentuh. Jawabnya — Kami akan segera kembali lagi bibi. —
      Selama mereka masih berada di daerah Kademangan, maka mereka tidak dapat berpacu lebih cepat. Apalagi jika mereka memasuki padukuhan-padukuhan. Maka mereka masih harus menjawab pertanyaan-pertanyaan orang-orang yang bertemu di sepanjang jalan.
      Baru ketika mereka telah keluar dari Kademangan Sangkal Putung, maka mereka bertiga dapat mempercepat derak kuda mereka.
      — Apakah kita akan singgah di Mataram? — bertanya Glagah Putih.
      Agung Sedayu berpaling kepada Sekar Mirah. Jawabnya — Aku kira tidak perlu. Tidak ada persoalan penting yang perlu kita laporkan, karena kakang Untara telah
      menghadap langsung untuk memberikan laporan tentang Jaka Rampan dan prajurit-prajuritnya. —
      Glagah Putih tidak bertanya lagi. Nampaknya Agung Sedayu memang ingin segera kembali ke Tanah Perdikan. Rasa-rasanya mereka bertiga memang sudah terlalu lama meninggalkan Tanah Perdikan itu. Peristiwa-peristiwa yang terjadi selama mereka berada di Jati Anom dan Sangkal Putung rasa-rasanya telah mendorong Agung Sedayu untuk semakin cepat kembali.
      Glagah Putih memang tidak mempunyai kepentingan khusus di Mataram sehingga iapun tidak berkeberatan untuk langsung kembali ke Tanah Perdikan.
      — Jika ada persoalan yang harus diselesaikan dengan Mataram, pada kesempatan lain kita akan dapat menghadap — berkata Agung Sedayu pula.
      Meskipun tidak mengatakannya, namun Glagah Putih mengetahui bahwa Agung Sedayu bermaksud mengatakan — Sekarang kita kembali dahulu ke Tanah Perdikan. —
      Meskipun mereka tidak ingin singgah di Mataram, namun mereka telah menempuh perjalanan melalui jalan yang paling ramai. Jalan yang meskipun melalui hutan di Tambak Baya, tetapi jalan itu merupakan jalan yang sibuk. Meskipun hutan Tambak Baya masih merupakan hutan yang pepat dan besar, tetapi disebelah menyebelah jalan, rasa-rasanya hutan itu tidak lebih dari sebuah taman. Justru karena jalan itu cukup ramai, maka binatang buas telah pergi semakin jauh masuk kedalam hutan yang masih jarang disentuh kaki manusia. Bahkan di beberapa tempat telah sekelompok-sekelompok rumah yang bukan saja dihuni, tetapi telah dibuka pula beberapa buah kedai makanan dan minuman. Orang-orang yang tinggal di rumah-rumah itu sama sekali tidak cemas terhadap binatang-binatang buas yang akan dapat mereka lawan bersama-sama. Jika satu kali seekor harimau tersebut masuk ke lingkungan mereka, maka beberapa orang laki-laki telah
      menghadapinya dengan tombak-tombak panjang.
      Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih yang berpacu dipunggung kuda meskipun tidak terlalu kencang, telah menyeberangi sungai Opak dan beberapa saat kemudian mereka mendekati lingkungan hutan Tambak Baya. Tetapi karena jalan yang banyak dilewati orang yang hilir mudik, maka mereka sama sekali tidak memikirkan hambatan yang akan dapat mengganggu perjalanan mereka.
      Sebenarnya tidak ada niat ketiganya untuk berhenti di sebuah kedai yang terdapat di pinggir jalan itu. Tetapi rasa-rasanya mereka ingin memberi kesempatan kuda-kuda mereka beristirahat.
      Karena itu, ketika mereka sampai di sebuah tanjakan yang tidak begitu tinggi, maka mereka telah berhenti di sebuah kedai diantara sekelompok kedai yang lain. Kedai yang cukup besar dan agaknya banyak dikunjungi orang. Beberapa ekor kuda nampak ditambatkan disebelah kedai itu. Sementara seorang laki-laki telah sibuk memberikan air dan makan bagi kuda-kuda itu.
      — Kita berhenti sebentar — berkata Agung Sedayu — kuda-kuda kita akan mendapat pelayanan sebagaimana kita sendiri. —
      Sekar Mirah yang berpakaian seperti seorang laki-laki itu tersenyum. Katanya — Baiklah. Agaknya Glagah Putih juga sudah haus. Terik matahari dipunggung kita telah memeras keringat kita di perjalanan yang cukup panjang ini. —
      — Tetapi aku masih harus bertanya, apakah Glagah Putih bersedia minum atau tidak — desis Agung Sedayu.
      Glagah Putih tertawa kecil. Katanya — Aku memang tidak ingin minum bersama kuda-kuda itu. —
      Sekar Mirahpun tertawa. Tetapi ia tidak berkata apa-apa lagi.
      Demikianlah maka mereka bertigapun telah singgah di sebuah kedai di pinggir Alas Tambak Baya. Sementara itu
      kuda-kuda merekapun telah sempat beristirahat. Seperti kuda-kuda yang lain, maka kuda-kuda merekapun telah mendapat minum dan makan. Nampaknya kedai itu telah mengadakan tambahan pelayanan khusus bagi kuda-kuda p,ara tamu yang singgah di kedai itu, sehingga dengan demikian maka orang-orang berkuda yang memang sering lewat jalan itu akan memilih tempat itu untuk singgah.
      Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih yang kemudian memasuki kedai itu telah memilih tempat disudut. Tempat yang agak kedalam sehingga tidak banyak mendapat perhatian orang lain. Mereka duduk di sebuah lincak panjang. Di depan lincak itu terdapat sebuah geledeg bambu rendah untuk menempatkan berbagai macam makanan.
      Beberapa saat kemudian, maka minuman yang mereka pesan telah dihidangkan. Sebagaimana orang lain didalam kedai itu, maka merekapun kemudian telah meneguk minuman yang masih hangat, meskipun sebenarnya mereka belum terlalu haus. Tetapi perjalanan yang mereka tempuh memang sudah cukup jauh.
      Namun beberapa saat kemudian, telah masuk pula empat orang kedalam kedai itu. Seorang diantara mereka telah lewat separo baya. Rambutnya selembar-selembar yang berjuntai dibawah ikat kepalanya telah nampak keputih-putihan, sebagaimana kumis dan janggutnya yang lebat tetapi tidak terlalu panjang. Sedangkan tiga orang lainnya masih nampak agak lebih muda. Bahkan seorang diantaranya nampaknya masih seumur dengan Agung Sedayu.
      Ternyata keempat orang itu telah memperhatikan Agung Sedayu sejenak. Merekapun kemudian melangkah dan duduk di lincak panjang di hadapannya.
      Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Sekar Mirah dan Glagah Putihpun sempat memperhatikan mereka sekilas. Namun mereka tidak lagi menghiraukan keempat orang itu, kecuali Agung Sedayu yang sempat berkata kepada orang yang tertawa itu — Marilah minum Ki Sanak. —
      Orang itu mengangguk ramah. Dengan nada rendah ia menjawab — Silahkan Ki Sanak. Kami baru akan memesan. —
      Ketika kemudian Agung Sedayu meneguk minumannya, maka orang-orang itupun telah memesan minuman pula.
      Beberapa saat mereka saling berdiam diri. Namun kemudian orang yang rambutnya telah memutih itu tiba-tiba saja bertanya sambil mengunyah jenang alot — Bukankah Ki Sanak yang bernama Agung Sedayu? —
      Agung Sedayu mengerutkan keningnya. lapun sedang makan sepotong pondoh beras.
      — Ya Ki Sanak — jawab Agung Sedayu setelah menelan makanan di kerongkongannya — aku minta maaf, bahwa agaknya aku agak lupa kepada Ki Sanak seandainya kami sudah pernah berkenalan sebelumnya. —
      Orang itu tersenyum. Sementara Sekar Mirah dan Glagah Putih pun nampaknya tertarik kepada pertanyaan itu.
      Tetapi jawab orang itu — Kita memang belum pernah berkenalan, Ki Sanak. —
      — O — Agung Sedayu mengangguk-angguk.
      — Kami hanya mengenal Ki Sanak karena kemasyuran nama Ki Sanak. Meskipun beberapa saat yang lalu, Ki Sanak mengalami luka berat dalam satu pertempuran di Jati Anom — berkata orang itu pula.
      Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada datar ia bertanya — Darimana Ki Sanak mengetahui? –
      — Orang-orang terkenal sebagaimana murid-murid Kiai Gringsing tentu lebih banyak diketahui orang tentang keadaannya — jawab orang itu.
      — Siapa sebenarnya Ki Sanak? Mungkin sahabat Kiai
      Gringsing atau orang yang dekat dengannya? — bertanya Agung Sedayu.
      Orang itu tersenyum. Potongan terakhir dari jenang alotnya telah ditelannya. Katanya — Ki Sanak. Kami memang harus kagum terhadap murid-murid Kiai Gringsing yang perkasa. Ki Sanak adalah murid yang tertua. Sementara Swandaru, murid mudapun memiliki kemampuan yang luar biasa. Aku tidak yakin, bahwa kemampuan Swandaru memang berada diatas kemampuan Agung Sedayu. —
      — Aku tidak tahu apa yang Ki Sanak katakan — desis Agung Sedayu.
      — Beberapa orang sering mendengar Swandaru mengeluh, bahwa kakak seperguruannya agak kurang menyediakan waktunya untuk berada didalam sanggar karena kesibukannya. Agung Sedayu lebih senang berada di bendungan daripada berada didalam sanggar. Karena itu, menurut Swandaru, kemampuan Agung Sedayu lambat sekali berkembang. Tidak sebagaimana terjadi pada Swandaru — berkata orang itu.
      Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya — Agaknya saudara banyak mengetahui tentang keadaan kami. —
      — Aku telah berusaha untuk mengetahuinya — berkata orang itu — beberapa hari terakhir aku mencoba untuk mengenal dari dekat murid-murid Kiai Gringsing yang terkenal itu. —
      — Ki Sanak — sahut Agung Sedayu — nampaknya Ki Sanak telah membuang waktu untuk kepentingan itu. Apa sebenarnya yang Ki Sanak kehendaki? —
      Orang itu tertawa. Katanya — Swandaru adalah seorang anak muda yang perkasa. Ia dikelilingi oleh sepasukan Kademangan yang memiliki kemampuan seorang prajurit. Karena itu, sulit bagiku untuk berurusan dengan
      anak muda itu. —
      Agung Sedayu mulai menjadi berdebar-debar, Sementara orang itu berkata selanjutnya — Jika aku memaksa diri, maka aku akan berhadapan dengan sepasukan pengawal yang kuat. Betapapun tinggi ilmu seseorang, tetapi jumlah yang banyak akan ikut menentukan kekuatan salah satu pihak. —
      — Aku tidak mengerti Ki Sanak — berkata Agung Sedayu.
      — Agung Sedayu — berkata orang itu dengan kesan wajah yang tidak berubah. Lalu katanya — Aku adalah guru Jaka Rampan. —
      — O — Agung Sedayu mengangguk-angguk.
      — Karena aku tidak dapat dengan serta merta membalas sakit hati muridku terhadap Swandaru yang selain mampu menjebaknya, juga mengalahkannya dalam perang tanding yang tidak tuntas, maka aku telah memilih sasaran yang lain. Menurut pendengaranku, kaulah yang telah merencanakan mengirimkan penghubung ke Jati Anom untuk menjebak muridku — berkata orang itu.
      Agung Sedayu masih saja mengangguk-angguk. Katanya — Aku menangkap maksud Ki Sanak, jadi Ki Sanak merasa sakit hati karena Jaka Rampan ditangkap oleh Senapati Besar di Jati Anom? —
      — Ya. Dan Senapati itu adalah kakak kakandungmu. Jadi ada beberapa alasan jika aku menemuimu setelah Jaka Rampan ditangkap — berkata orang itu.
      — Lalu maksud Ki Sanak? — bertanya Agung Sedayu.
      — Maaf Agung Sedayu — berkata orang itu dengan sikap yang tidak berubah — kami ingin mempersilahkanmu singgah di padepokanku. —
      Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya — Maaf Ki Sanak. Aku mempunyai tugas yang harus aku selesaikan di Tanah Perdikan. —
      — Aku tahu Agung Sedayu — jawab orang itu — agaknya kau ingin segera kembali ke Tanah Perdikan. Aku memang mengambil kesempatan ini untuk mengikutimu dan mempersilahkanmu singgah di padepokan. —
      — Maaf Ki Sanak — jawab Agung Sedayu — sudah aku katakan, aku tidak mempunyai banyak waktu. —
      Orang itu tersenyum. Namun sementara itu Glagah Putih dan Sekar Mirahpun menjadi tegang.
      Tetapi sikap orang itu tidak berubah. Ia masih saja berbicara perlahan sambil tersenyum-senyum, sehingga orang-orang yang ada di kedai itu sama sekali tidak tertarik pada pembicaraan mereka. Sedangkan Agung Sedayupun menanggapinya dengan cara yang sama pula.
      — Agung Sedayu — berkata orang itu — aku menawarkan satu pemecahan yang baik. Kau sajalah yang singgah di padepokanku. Biarlah kedua orang yang bersamamu, isteri dan adik sepupumu itu kembali ke Sangkal Putung dan mengabarkan kepada Untara, bahwa kau telah singgah di padepokanku. Kau akan aku persilahkan meninggalkan padepokan tanpa luka seujung duripun jika Jaka Rampan-pun kembali dengan selamat. Aku tidak peduli apa yang akan terjadi dengan Gondang Bangah dan prajurit-prajurit yang lain. Yang penting bagiku adalah Jaka Rampan, Untara tentu dapat mengusahakan agar Jaka Rampan dibebaskan demi keselamatan adiknya. Tetapi jika Jaka Rampan tidak dibebaskan, maka kaupun tidak akan aku persilahkan meninggalkan padepokanku sepanjang waktu yang diperlukan oleh Jaka Rampan menjalani hukumannya. Sedangkan jika ternyata kemudian bahwa Jaka Rampan dihukum mati, dengan menyesal hukuman yang serupa akan kau alami. Nah, bukankah itu satu penyelesaian yang adil? –
      Agung Sedayu masih meneguk minuman hangatnya. Bahkan ia masih juga memungut sepotong tasik yang liat. Tanpa kegelisahan pada nada suaranya, Agung Sedayu mempersilahkan — Tasikan ini manis sekali Ki Sanak. —
      Guru Jaka Rampan itu mengerutkan keningnya. Ia memang menjadi berdebar-debar melihat sikap Agung Sedayu. Orang yang disebut saudara tua seperguruan anak Demang Sangkal Putung ini bersikap tenang sekali menghadapi kesulitan.
      — Ki Sanak — berkata guru Jaka Rampan itu — nampaknya kau tidak menyadari apa yang dapat terjadi dengan dirimu. Kau agaknya masih terpengaruh perkelahian yang terjadi di halaman Kademangan Sangkal Putung. Ingat Agung Sedayu, aku adalah guru Jaka Rampan. Kau jangan mengukur ilmuku dengan ilmu Jaka Rampan yang ternyata dapat dikalahkan oleh adik seperguruanmu itu.
      — Ki Sanak — berkata Agung Sedayu — aku tidak pernah merendahkan ilmu seseorang. Juga ilmu Jaka Rampan. Apalagi gurunya. Tetapi bagiku lebih baik bersikap wajah daripada aku harus berteriak-teriak marah dan mengumpatmu sekarang ini. Karena dengan demikian maka kita akan dapat mengganggu ketenangan kedai ini. Bukankah Ki Sanak sudah bersikap demikian? —
      Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya — Nah. Kau tidak menjumpai pilihan lain Agung Sedayu. —
      — Kenapa tidak? — jawab Agung Sedayu — aku berhak menentukan apakah aku akan singgah atau tidak. —
      — Agung Sedayu. Kau kira aku tidak akan dapat memaksamu? — bertanya guru Jaka Rampan itu.
      — Ki Sanak — berkata Agung Sedayu — seharusnya kau menyadari, bahwa muridmu telah melakukan kesalahan. Sebagai seorang guru kau justru harus menunjukkan kepada murid-muridmu, manakah yang benar dan baik dilakukan dan manakah yang tidak. Jika kau memanjakan muridmu seperti ini, maka Jaka Rampan tidak akan pernah merasa bersalah. Sementara itu, Mataram adalah sebuah negara yang mempunyai paugeran. Sudah sewajarnyalah
      bahwa setiap orang, termasuk para prajurit di Mataram, harus mentaati paugeran-paugeran yang berlaku di Mataram. Nah, sebaiknya kau temui muridmu itu dan kau nase-hati agar Jaka Rampan menerima hukuman yang akan diletakkan dipundaknya dengan penuh penyesalan. Dengan demikian, maka Jaka Rampan tidak akan jatuh kedalam kesalahan lagi dikemudian hari. —
      Orang itu mengangguk-angguk. Katanya — Agaknya Untara sempat juga memberimu beberapa petunjuk. Tetapi ingat Agung Sedayu. Aku bukan prajurit Mataram yang tunduk pada paugeran seorang prajurit. Ketahuilah, kesalahan yang sebenarnya tidak terletak pada Jaka Rampan. Ia hanya menjalankan perintahku. Ada dendamku kepada saudara seperguruanku yang tinggal dibelakang garis pertahanan Madiun. Jika Jaka Rampan sempat mempergunakan pasukannya, maka aku akan dapat menuntut balas, sementara gerakan Jaka Rampan itu akan dapat memberikan keuntungan yang besar bagi Mataram. Tetapi ternyata Senapati Untara itu berjiwa kerdil yang hanya berpegang pada paugeran yang mati tanpa kebijaksanaan. —
      — Apakah yang kau maksud kebijaksanaan dari satu paugeran? — bertanya Agung Sedayu — apakah bedanya kebijaksanaan atas satu paugeran dengan penyimpangan? —

      ***

      lanjut kitab 232

  48. Kerjasama Ki Mahesa dengan Ki Kuncung memang mooyy…. :))


Tinggalkan Balasan ke yudha pramana Batalkan balasan