Laman: 1 2
Buku III-14
The URI to TrackBack this entry is: https://adbmcadangan.wordpress.com/buku-iii-14/trackback/
The URI to TrackBack this entry is: https://adbmcadangan.wordpress.com/buku-iii-14/trackback/
Gambar Kulit :
Herry Wibowo
Ilustrasi :
Sudyono
Penerbit :
Kedaulatan Rakyat,
Yogyakarta
Blog di WordPress.com.RSS 2.0Comments RSS 2.0 | Tema: Quentin.
hasil dari pengalaman pribadi si penulis
sugeng sonten.
derek absen trus langsung pamit…
btw.. kitab-e belum diwedar yach…hik..
tiwas korupsi spidi nang kantor..hik..
Kang mbokayu Ati, sampun wancinipun medar kitab lho….
Jebule Dora-emon iku kucing seka jawa…percaya apa ora Ki?
buktine, kanca-2ne bul jenenge sbb :
1. Dora-mudeng (gobloq)
2. Dora-eling (lalian)
3. Dora-mangan (luwee)
4. Dora-duwe isin (contone para caleg sing nyata2 ora entuk suara tetep ngeyel)
5. Dora-weruh (wuta)
6. Dora-sehat (sakit2an)
7. Dora-klamben (ote2)
8. Dora-nyontreng (Golput)
9. Dora-nggenah ((para politikus kita)
siji maning….Dora-ngaku (yen bar NGENTUT) He-he….
ono sing kurang
10. Dora – emon ( koncone nobita)
11. Dora – eling (caleg sing ra kepilih tur utang okeh)
12. Dora – de isen ( Politikus)
13. Dora – maling (ndak digebuki/dikalang)
14. Dora – mangan ( poso po raduwe duwet)
15. Dora – turu (ngatuk)
16. DoKurang Gawean ( yo sing MOCO)
Dora-sabar (ngenteni kitab diwedhar)
Dora-turu (lek-lekan)
Dora-lunga (mlungker ning gandok)
Dora-adus (kopet)
Dora-tata (bengak-bengok)
Dora-nalar (rebutan)
Dora-sarapan (antri kitab)
Dora-sopan (demo, pasang poster, nggege mangsa)
Dora-uman (Nyi Seno nesu, kitab ora didum ning padepokan)
dora-emon(kucing robot)
nyi seno sedang menguji para cantrik gara-gara dibilang kalau gak pagi-pagi, ya sore-sore…
hari ini, diwedar tepat wayah kunti temawon….
maaf ki goenas…..
habis baca ceritanya ki nin, jadi teringat sebuah cerita lain…
sepasang suami isteri – seperti pasangan lain di kota-kota besar meninggalkan anak-anak diasuh pembantu rumah sewaktu bekerja. anak tunggal pasangan ini, perempuan cantik berusia tiga setengah tahun. ia selalu bermain sendirian di rumah dan kerap kali dibiarkan pembantunya karena sibuk bekerja di dapur.
bermainlah dia bersama ayun-ayunan di atas buaian yang dibeli ayahnya, ataupun memetik bunga dan lain-lain di halaman rumahnya. suatu hari dia melihat sebatang paku karat. dan ia pun mencoret lantai tempat mobil ayahnya diparkirkan, tetapi karena lantainya terbuat dari marmer maka coretan tidak kelihatan. dicobanya lagi pada mobil baru ayahnya. ya… karena mobil itu bewarna gelap, maka coretannya tampak jelas. apalagi anak ini pun membuat coretan sesuai dengan kreativitasnya.
hari itu ayah dan ibunya bersepeda motor ke tempat kerja karena ingin menghindari macet. setelah sebelah kanan mobil sudah penuh coretan maka ia beralih ke sebelah kiri mobil. dibuatnya gambar ibu dan ayahnya, gambarnya sendiri, lukisan ayam, kucing dan lain sebagainya mengikuti imaginasinya. kejadian itu berlangsung tanpa disadari oleh si pembantu rumah.
saat pulang petang, terkejutlah pasangan suami istri itu melihat mobil yang baru dibeli dengan bayaran angsuran yang masih lama lunasnya. si bapak yang belum lagi masuk ke rumah ini pun terus menjerit, “kerjaan siapa ini???”
pembantu rumah yang tersentak dengan jeritan itu berlari keluar. dia juga beristighfar. mukanya merah padam ketakutan lebih-lebih melihat wajah bengis tuannya. sekali lagi diajukan pertanyaan keras kepadanya, dia terus mengatakan, “saya tidak tahu, tuan.”
“kamu di rumah sepanjang hari, apa saja yang kau lakukan?” hardik si isteri lagi.
si anak yang mendengar suara ayahnya, tiba-tiba berlari keluar dari kamarnya. dengan penuh manja dia berkata, “dita yang membuat gambar itu ayah. cantik …kan?!” katanya sambil memeluk ayahnya bermanja seperti biasa.
si ayah yang sudah hilang kesabaran mengambil sebatang ranting kecil dari pohon di depan rumahnya, terus dipukulkannya berkali-kali ke telapak tangan anaknya. si anak yang tak mengerti apa-apa menagis kesakitan, pedih sekaligus ketakutan. puas memukul telapak tangan, si ayah memukul pula belakang tangan anaknya. sedangkan si ibu cuma mendiamkan saja, seolah merestui dan merasa puas dengan hukuman yang dikenakan.
pembantu rumah terbengong, tidak tahu harus berbuat apa. si ayah cukup lama memukul-mukul tangan kanan dan kemudian ganti tangan kiri anaknya. setelah si ayah masuk ke rumah diikuti si ibu, pembantu rumah tersebut menggendong anak kecil itu, membawanya ke kamar. dia terperanjat melihat telapak tangan dan belakang tangan si anak kecil luka-luka dan berdarah. pembantu rumah memandikan anak kecil itu. sambil menyiramnya dengan air, dia ikut menangis. anak kecil itu juga menjerit-jerit menahan pedih saat luka-lukanya itu terkena air. lalu si pembantu rumah menidurkan anak kecil itu. si ayah sengaja membiarkan anak itu tidur bersama pembantu rumah. keesokkan harinya, kedua belah tangan si anak bengkak. pembantu rumah mengadu ke majikannya.
“oleskan obat saja!” jawab bapak si anak.
pulang dari kerja, dia tidak memperhatikan anak kecil itu yang menghabiskan waktu di kamar pembantu. si ayah konon mau memberi pelajaran pada anaknya. tiga hari berlalu, si ayah tidak pernah menjenguk anaknya sementara si ibu juga begitu, meski setiap hari bertanya kepada pembantu rumah.
“dita demam, bu.” jawab pembantunya ringkas.
“kasih minum panadol aja.” jawab si ibu.
sebelum si ibu masuk kamar tidur, dia menjenguk kamar pembantunya. saat dilihat anaknya, dita, tertidur dalam pelukan pembantu rumah, dia menutup lagi pintu kamar pembantunya. masuk hari keempat, pembantu rumah memberitahukan tuannya bahwa suhu badan dita terlalu panas.
“sore nanti kita bawa ke klinik. pukul 5.00 sore sudah siap.” kata majikannya itu.
sampai saatnya si anak yang sudah lemah dibawa ke klinik. dokter mengarahkan agar ia dibawa ke rumah sakit karena keadaannya susah serius. setelah beberapa hari di rawat inap dokter memanggil bapak dan ibu anak itu.
“tidak ada pilihan.” kata dokter tersebut yang mengusulkan agar kedua tangan anak itu dipotong karena sakitnya sudah terlalu parah. “ini sudah bernanah, demi menyelamatkan nyawanya maka kedua tangannya harus dipotong dari siku ke bawah.” kata dokter itu.
si bapak dan ibu bagaikan terkena halilintar mendengar kata-kata itu. terasa dunia berhenti berputar, tapi apa yang dapat dikatakan lagi.
si ibu meraung merangkul si anak. dengan berat hati dan lelehan air mata isterinya, si ayah bergetar tangannya menandatangani surat persetujuan pembedahan. keluar dari ruang bedah, selepas obat bius yang disuntikkan habis, si anak menangis kesakitan. dia juga keheranan melihat kedua tangannya berbalut kasa putih. ditatapnya muka ayah dan ibunya. kemudian ke wajah pembantu rumah. dia mengerutkan dahi melihat mereka semua menangis. dalam siksaan menahan sakit, si anak bersuara dalam linangan air mata, “ayah.. ibu… dita tidak akan melakukannya lagi…. dita tak mau lagi ayah pukul. dita tak mau jahat lagi… dita sayang ayah.. sayang ibu.” katanya berulang kali membuatkan si ibu gagal menahan rasa sedihnya.
“dita juga sayang mbok narti..” katanya memandang wajah pembantu rumah, sekaligus membuat wanita itu meraung histeris.
“ayah.. kembalikan tangan dita. untuk apa diambil..? dita janji, tidak akan mengulanginya lagi! bagaimana caranya dita mau makan nanti?…? bagaimana dita mau bermain nanti?…? dita janji tidak akan mencoret2 mobil lagi.” katanya berulang-ulang.
serasa copot jantung si ibu mendengar kata-kata anaknya. meraung-raung dia sekuat hati namun takdir yang sudah terjadi tiada manusia dapat menahannya. nasi sudah jadi bubur. pada akhirnya si anak cantik itu meneruskan hidupnya tanpa kedua tangan dan ia masih belum mengerti mengapa tangannya tetap harus dipotong meski sudah minta maaf.
kisanak, mengajarkan sesuatu pada seorang anak seringkali membutuhkan kesabaran. rasa menghargai suatu barang memang perlu, namun apakah hal tersebut dapat membuat kita menjadi tidak manusiawi dengan mengekang keingintahuan, dan bahkan menghukum sedemikian rupa sehingga anak menjadi ragu-ragu, takut, dan bahkan tidak hormat kepada orang tuanya.
lebih baik dihormati oleh anak daripada ditakuti olehnya.
love, life, liberty, light…
duh kisanak, jangan bikin cerita ngenes kayak gitu.. suka ga tahan…
mending cerita yang laen aja lah….
eh, lali-lali… nyuwun pangapura ki sukra…
Cara meng-install “kasih sayang”
Customer Service (CS) : Ya, ada yang bisa saya bantu?
Pelanggan (P) : Baik, setelah saya pertimbangkan, saya ingin menginstal KASIH SAYANG Bisakah anda memandu saya menyelesaikan prosesnya?
CS : Ya, saya dapat membantu anda. Anda siap melakukannya?
P : Baik, saya tidak mengerti secara teknis, Tetapi saya siap untuk menginstalnya sekarang. Apa yang harus saya lakukan dahulu?
CS : Langkah pertama adalah membuka HATI anda. Tahukan anda di mana HATI anda?
P : Ya, tapi ada banyak program yang sedang aktif. Apakah saya tetap bisa menginstalnya sementara program-program tersebut aktif?
CS : Program apa saja yang sedang aktif?
P : Sebentar, saya lihat dulu, program yang sedang aktif adalah SAKITHATI.EXE,
MINDER.EXE, DENDAM.EXE dan BENCI. COM.
CS : Tidak apa-apa. KASIH-SAYANG akan menghapus SAKITHATI.EXE dari sistem
operasi Anda. Program tersebut akan tetap ada dalam memori anda, tetapi tidak lama karena akan tertimpa program lain. KASIH-SAYANG akan menimpa MINDER.EXE dengan modul yang disebut PERCAYADIRI.EXE. Tetapi anda harus mematikan BENCI.COM dan DENDAM.EXE. Program tersebut akan menyebabkan KASIH-SAYANG tidak terinstal secara sempurna. Dapatkah anda mematikannya?
P : Saya tidak tahu cara mematikannya. Dapatkah anda memandu saya?
CS : Dengan senang hati. Gunakan Start menu dan aktifkan MEMAAFKAN.EXE. Aktifkan
program ini sesering mungkin sampai BENCI.COM dan DENDAM.EXE terhapus.
P : OK, sudah. KASIH-SAYANG mulai terinstal secara otomatis. Apakah ini wajar?
CS : Ya, anda akan menerima pesan bahwa KASIH-SAYANG akan terus diinstal kembali dalam HATI anda. Apakah anda melihat pesan tersebut?
P : Ya. Apakah sudah selesai terinstal?
CS : Ya, tapi ingat bahwa anda hanya punya program dasarnya saja. Anda perlu mulai menghubungkan HATI yang lain agar untuk mengupgradenya.
P : Oops. Saya mendapat pesan error. Apa yang harus saya lakukan?
CS : Apa pesannya?
P: ERROR 412 – PROGRAM NOT RUN ON INTERNAL COMPONENT”. apa artinya?
CS : Jangan kuatir, itu masalah biasa. Artinya, program KASIH-SAYANG diset untuk
aktif di HATI eksternal tetapi belum bisa aktif dalam HATI internal anda. Ini adalah salah satu
kerumitan pemrograman, tetapi dalam istilah non-teknis ini berarti anda harus meng-“KASIH-SAYANG”-i mesin anda sendiri sebelum meng”KASIH SAYANG”-i orang lain.
P: Lalu apa yang harus saya lakukan?
CS : Dapatkan anda klik pulldown direktori yang disebut “PASRAH”?
P : Ya, sudah.
CS : Bagus. Pilih file-file berikut dan salin ke direktori “MYHEART” MEMAAFKANDIRI SENDIRI.DOC,dan MENYADARI KEKURANGAN.TXT. Sistem akan menimpa file-file konflik dan mulai memperbaiki program-program yang salah. Anda juga perlu mengosongkan
Recycle Bin untuk memastikan program-program yang salah tidak muncul kembali
P : Sudah. Hei! HATI saya terisi file-file baru. SENYUM.MPG aktif dimonitor saya dan
menandakan bahwa DAMAI.EXE dan KEPUASAN.COM dikopi ke HATI.Apakah ini
wajar?
CS : Kadang-kadang. Orang lain mungkin perlu waktu untuk mendownloadnya. Jadi KASIH- SAYANG telah terinstal dan aktif. Anda harus bisa menanganinya dari sini. Ada satu lagi hal
yang penting.
P : Apa?
CS: KASIH-SAYANG adalah freeware. Pastikan untuk memberikannya kepada orang lain
yang anda temui. Mereka akan share ke orang lain dan seterusnya sampai anda akan menerimanya kembali.
P : Pasti. Terima kasih atas bantuannya.
Bagus juga ceritanya Ki.
Saya teringat jaman tahun 73-an. Waktu itu baru lagi belajar kerja di Ujungpandang. Biasalah anak-anak muda di asrama sehabis Isya, makan di mess lalu berdiskusi mencari jati diri berfalsafah mencari tuhan, kebenaran.
Ada satu kesimpulan yang dikemukakan oleh seorang teman, yang rasanya sederhana tetapi sangat bagus, yaitu lebih baik memelihara cinta/ kasih sayang daripada memelihara benci/ kebencian.
Orang yang memelihara cinta hidupnya tenang sebaliknya orang yang memelihara benci resah, gelisah.
Bagaimana pendapat para cantrik?
Salam
biyuh kapan kitab di wedar yo?
Wah, ketok e model serangan fajar eneh kiyi…..
“Apa anda seorang psikolog?”
“Bukan, saya guru sejarah.”
“Lalu bagaimana anda bisa bilang kalau anak saya berbakat jadi politisi?”
“Tadi, di kelas, ketika anak ibu saya tanya siapa yang menyobek bendera belanda, dia menjawab, ‘bukan saya, pak!”
Diajeng Senopati, sudah saatnya kitab di wedar. Komentator sudah kehabisan ajian-2 pamungkas 🙂
sepi soale .. 🙂
masih sepi …. sepertinya sudah saat nya … tit.
sambil ber-siap2 menghadapi serangan fajar saya mau berbagi cerita juga ahhh.
alkissah, ada seorang pemuda pengangguran tapi punya angan2 pengen cepat kaya tanpa kerja keras. setelah berfikir kesana kemari akhirnya ketemu juga caranya, dicarinyalah seorang janda tua yang kaya raya, dengan harapan si nenek cepat mati dan dia dapat warisannya. setelah ngibul(nggombal)kesana kemari maka berhasillah si janda tua itu dipacari dan mau juga diajak menikah. (gilaaaaa)
maka berlangsunglah pernikahan keduanya itu dengan disaksikan oleh keluarga dari kedua belah pihak.
seminggu setelah pernikahan si pemuda jatuh sakit yang makin lama makin parah sehingga akhirnya si pemuda itu meninggal.
keluarga si pemuda pada penasaran, sebab waktu mau menikah kondisinya sehat sekali. untuk mencari penyebab kematiannya dibawalah jasad pemuda itu ke rumah sakit untuk di otopsi. setelah di otopsi terjadilah dialog :
keluarga (K): bagaimana hasil otopsinya dok ?
dokter (D) : keluarga anda mengalami keracunan
(K) : maksud dokter, keluarga saya sengaja diracun?
(D) : oh, tidak. menurut saya, keluarga anda secara
tidak sengaja sering mengkonsumsi susu yang sudah kedaluarsa (susu basi, itulah penyebab kematiannya.
(K) : masa sih ???????? apa iya bisa begitu ????
putut karang gandul
senang gandul2
nampaknya Ki putut lagi kena aura kasih syndrom..
gondal gandul…
Kesabaran adalah salah satu kebutuhan penting dalam kehidupan ….. agar Kesyukuran dapat lebih dirasakan … pada saat yang diharapkan didapatkan ..
Iya ya…nunggunya sudah sawetawis
para cantrik monggo
Nyebar godhong koro,
sami sabar sauntoro
walah kok durung metu, paling besok nih
Singkatan merk Celana Pria :
– SWAN : Suka WAnita Nakal
– HINGS : Hebat, Ideal Namun Gemar Selingkuh
– GT-MAN : Goyangan Tetap MANtap
sudah ah… gantian rondanya sama ki manahan, ki widura dan sederek sedulur yang lain…
sugeng….
dalem hadir ki banuaji, siap melanjutken ronda padepokan…..
Hadiiirrrrrr……!!!
MONGGO……
Juga masih ngronda padepokan, ayooo….. !
Dalem nggih siap ronda Ki.
Sugeng dalu Ki Kimin, menopo kadang Suku Dalu sampun rawuh sedoyo dateng gardu ronda??
Sugeng Enjang Ki Sanak sedaya !
Sumonggo Ki,
Sami-sami dipun lajengaken ngrondanipun
sinambi ngentosi wedaripun kitab, monggo….
Ki Banuaji, kula inggih tumut ronda nggih. Sampun dangu mboten ronda.
Wah kirangan nggih ki jogotirto, kalawau ki banuaji
tindak datang lepen, ingkang saweg garuk2 niku rak ki manahan to, lha ingkang ceplak ceplok ngeplake nyamuk niku ki ismoyo, dalem ting wingking gardu mbakar ulam lais kalian patin kagem ki manahan ugi ki ismoyo….
Kula ingkang krudukan sarung ki, nyamuke iki lho jan galak2 tenan, luwih galak tinimbang Sekar Mirah hehehehe
lho sarunge ki manahan kok kembar kalih ki widura to ki…
tumbah kodian wonten sar Klewer ki, hehehehe
Nembe tumbas ning Tanah Abang ..
Ketoke kembar …. nanging kualitas bentene adoohh
Kalor Ki Kimin merek GT-MAN lho …
Kerenen sanget.
Ki Kimin,
Sarunge kok boten diagem kemulan …..?
Sak sampunipun sembayang …. menopo kesupen ngagem KALOR? 🙂
Numpang dlosor Ki Banuaji,
Dalem mbeto lontong Cap Go Mek komplet. Saget ditedo 10 cantrik.
Ki Kimin saget mendet kagem putra-putrine.
Ki Manahan langkung sae dahar endoke si blorok kemawon.
Ki Jogotirto, lontonge taksih katah …. monggo dobeto kondor ….. lumayan kanggo ngancani lele bakar.
KI alGhore nembe … jala ketoke.
Ha…ha…ha… ting ngriki pun dumugi malem jumat ki widura … nggih dimaklumi kemawon lali koloran….
lho petugas malamnya malah lupa ngunduh kitab… ayo bangun-bangun…
Belum di wedar kitabnya ya.., sedih dong aku nyai…, kalau enggal di wedar, jann nyi Seno ayu tenannn…
dereng di wedar sampun ayu kok nyi Seno, ayune kaya Sumbadra 🙂
Dari kemarin ngomongin “Serangan Fadjar” jangan2 dikasih serangan fadjar beneran ni biar tim ronda nggak pada ngabur hehehehe…
Gmn kabar smua?
Walah…kok durung ana sasmita-ne, yo…..?
terima kasih Nyi Seno
sekali lagi terima kasih.
serangan fajarnya membuat hati para cantrik dag dig dug…
Wach tak kiro serangan fadjare sekalian 2 kitab hehehehe…
ala Kulli hal thanks Nyi Seno…
ki dewo
bangun, bangun
serbu . . . serbuuuuu
serangan fajar
terima kasih
terima kasih
Fajar menjelang ….
Kitab pun datang …
Apada yang dihidang …
Sudahlah matang ….
Hatur nuhun Nyi Seno …
Serangan fajar ‘mpun dipun tampi kanti apik…, matur nuwun Nyimas Senopati, Ki GD.
wuah, trims nyai dan ki dewo…
betul Ki Banu…, rontalnya diselipin di kempitnya kang Herry…
terima kasih Nyi Seno serangan fajarnya!!
(bakal telat kerja lagi nih.hehe)
Matur nuwun nyai…
radho bingiung mergane soal’e kok tulisane 214…??
bener dink…
Suwun………
Nginceng
Tole, anake Romlah, mlayu menggos-menggos mlebu omah nggoleki ibuke.
“Buuuk . .Ibuuuuk…!!!” jare Tole ambek nungkul ibuke.
“Opoko Le, kon kok koyok diuber celeng . .?” takon Romlah.
“Bu aku mari mergoki Bapak ambek Yuk Jah wong loro . . .” jare Tole ambek menggos-menggos.
“Sik tak la, alon-alon lek cerito, longgo sing nggenah dhisik ..” jare Romlah ngayemno anake.
“Ngene lho Buk, pas aku dhulin nang omahe Kelik, aku ndhelok Bapak mlebu nang omahe Yuk Jah.” jare Tole.
“Wis wis Stop ! Stop ! Stop!, ceritone disimpen dhisik ae. Lek Bapakmu teko, ceritone lagek diterusno. Aku pingin weruh reaksine Bapakmu. “jare Romlah.
Sorene Muntiyadi mulih wis dienteni Tole ambek Romlah.
“Ayok Le, age ndhang cerito nak” jare Romlah.
“Pas aku dhulinan nang omahe Kelik, moro-moro aku ndhelok Bapake mlebu nang omahe Yuk Jah. Aku timik-timik nututi Bapake, terus nginceng seko jendelo. Aku ndhelok Bapak terus sayang-sayangan ambek Yuk Jah. Mari ngono aku …. wis gak wis aku gak wani nerusno . .” jare Tole.
Romlah penasaran, Muntiyadi gemeter tegang.
“Ojok wedhi ambek Bapakmu, ayo age terus no. Mari ngono Bapakmu lapo ambek Yuk Jah !!” Romlah mekso anake.
Mari dipekso-pekso akhire Tole nerusno ceritone
“Mari ngono Bapak ambek Yuk Jah dulinan jaran-jaranan koyok . . . koyok . . .” Tole mandeg maneh gak wani ngomong.
“Lho ayo terusno ojok wedhi, koyok opo ayo sing jelas “ Romlah mbentak anake maneh.
Akhire Tole wani nerusno maneh.
“Koyok Ibu ambek om Gempil mbiyen . . .”
Weleh…
Jujur temen si Tole
maa….acih
Aku sudah terima kirimannya Nyi Seno. Jasa Nyi Seno sudah terlalu banyak. Jadi untuk kiriman ini mohon dengan sangat untuk tidak di
adbm aja
dilanjutkan ………
— berkata Kiai Gringsing kepada Sabungsari.
Sabungsari tidak menyahut. Tetapi ia berdesis ditelinga Ki Jayaraga — Apa yang dapat kita katakan? —
— Serahkan saja kepada Kiai Gringsing — jawab Ki Jaya¬raga.
Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Namun Kiai Gringsing yang juga mendengar jawaban itu tersenyum.
Demikianlah, maka Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan Sabungsari telah digiring oleh orang-orang padukuhan itu menuju ke Kademangan. Ketika mereka melintas padang perdu itu, ternyata orang-orang yang ikut pergi untuk menangkap tiga orang yang disangka ada hubungannya dengan hilangnya kambing mereka, cukup banyak. Mereka bermunculan dari balik gerumbul-gerumbul liar dengan senjata.
— Ketika mereka memasuki padang rumput, maka Sabungsari melihat iring-iringan yang panjang dibelakangnya. Nampak wajah-wajah yang marah yang memandangnya dengan geram. Agaknya mereka telah mengambil kepastian bahwa ketiga orang itulah yang telah mencuri kambing mereka dan menyembelihnya di hutan perdu itu.
Sabungsari sama sekali tidak senang diperlakukan seperti itu. Namun Ki Jayaraga berkata — Sudahlah. Jangan kau pikirkan lagi, Kita serahkan semua persoalan kepada Kiai Gringsing seperti yang sudah aku katakan. Semuanya akan segera selesai dengan baik. Tanpa kekerasan dan tanpa saling menyakiti hati.
Sabungsari tidak menjawab. Meskipun kepalanya terangguk-angguk, tetapi nampak pada kerut dikeningnya, bahwa ia memang tidak menyenangi cara itu.
Apalagi ketika mereka memasuki padukuhan. Orang-orang sepadukuhan telah berkumpul dipinggir jalan induk padukuhan mereka yang akan dilewati oleh ketiga orang yang mereka anggap telah mencuri kambing, mereka menuju kepadukuhan in-duk.
Iring-iringan itupun semakin lama menjadi semakin panjang. Beberapa orang justru berteriak-teriak — Kenapa harus dibawa ke padukuhan induk? Kenapa tidak kita selesaikan saja disini? —
— Serahkan kepada kami. Pamankulah yang kehilangan kambing itu — teriak seorang anak muda.
Soalnya bukan sekedar seekor kambing — sahut yang lain — tetapi itu sudah merupakan penghinaan bagi kami, seisi padukuhan ini. Seolah-olah orang asing akan dapat berbuat apa saja di kampung halaman kami. —
— Ya serahkan kepada kami — teriak yang lain lagi. Tetapi para bebahu padukuhan itu tidak memberikan
ketiga orang itu. Mereka membawa ketiga orang itu mengikuti jalan induk menuju ke padukuhan disebelah.
Beberapa saat kemudian, ternyata mereka telah keluar dari padukuhan itu. Mereka melintasi sebuah bulak yang tidak terlalu panjang.
Dihadapan mereka, diseberang bulak itulah padukuhan induk yang mereka tuju.
Sabungsari memandang jalan itu dengan jantung yang berdebar-debar. Ketika dilihatnya sebuah simpang ampat, maka iapun berdesis — Kiai, kita dapat mengambil jalan kekiri atau kenanan. —
— Maksudmu? — bertanya Kiai Gringsing.
— Seandainya Kiai tidak ingin melawan, maka kita dapat melarikan diri disimpang ampat itu — jawab Sabungsari — jika kita berlari meninggalkan mereka, maka tidak seorangpun yang akan dapat mengejar kita. —
— Ah — sahut Kiai Gringsing — dengan demikian kita tidak akan berkenalan dengan Ki Demang. Kita akan kehilangan kesempatan untuk berbincang serba sedikit tentang kambing yang hilang itu —
— Bagaimana jika mereka mengambil langkah-langkah yang bertentangan dengan kepentingan kita? — bertanya Sabungsari.
— Jika jelas sebagaimana kau katakan, barulah kita akan lari. Tetapi kita berharap bahwa kita mendapat kesempatan untuk berbicara — jawab Kiai Gringsing.
Sementara itu Ki Jayaraga memotong — Setidak-tidaknya kita akan dijamu makanan dan minuman yang lebih baik daripada yang kita dapatkan dikedai itu. —
— Belum tentu — desis Sabungsari. Mungkin kita justru dikejar-kejar seperti mengejar tupai.
— Menarik sekali — jawab Ki Jayaraga — kita akan membuat mereka pingsan kelelahan.
Sabungsari tidak menjawab lagi. Apalagi ketika orang yang membawanya itu bergeser mendekati mereka bertiga.
Ketika mereka kemudian melewati simpang ampat itu, Sabungsari hanya menarik nafas.
Demikianlah ketiga orang itupun kemudian telah dibawa memasuki padukuhan induk, menuju ke Kademangan. Agaknya Ki Demang sudah diberi tahu tentang ketiga orang yang memasuki padang perdu dan oleh orang-orang padukuhan telah dikepung untuk ditangkap. Sehingga karena itu, ketika ketiga orang itu dibawa ke Kademangan, Ki Demang sudah siap untuk menerimanya.
Ketiga orang yang digiring oleh iring-iringan yang semakin panjang itupun kemudian langsung dibawa naik kependapa. Orang-orang yang mengiringinya ikut pula masuk ke halaman Kademangan. Mereka segera terpencar disekeliling pendapa itu. Hanya para bebahu sajalah yang kemudian ikut naik ke pendapa pula untuk ikut berbicara bersama Ki Demang.
Ki Demang menerima mereka dengan dahi yang berkerut. Melihat sikap Ki Demang dan para bebahu, maka Sabungsari menjadi semakin tidak senang. Seakan-akan mereka sudah yakin, bahwa ketiga orang yang dihadapkan kepada Ki Demang itu pasti bersalah.
Apalagi ketika tiba-tiba saja Ki Demang berkata — Bagaimana?
Apakah kalian memang hanya bertiga? Aku kira tentu ada orang lain bersama kalian. Jika kalian hanya bertiga, maka kalian akan pingsan karena kalian terlalu banyak makan daging kambing itu. —
Kiai Gringsing menggamit Sabungsari ketika ia hampir saja membuka mulutnya untuk menjawab. Karena itulah, maka yang kemudian menjawab adalah Kiai Gringsing sendiri — Ki Sanak. Marilah kita berbicara tanpa prasangka. Seharusnya Ki Sanak melihat kami bertiga. Apakah sudah sepantasnya Ki
Sanak menuduh kami mencuri kambing dan menyembelihnya di pinggir hutan. —
— Jangan berpura-pura bersikap sebagaimana orang-orang beradap — sahut Ki Demang — kau kira kami dapat kau kelabui dengan sikapmu itu? Seekor harimau memang dapat saja bersikap seperti seekor kambing yang hilang itu. —
— Ki Demang — berkata Kiai Gringsing — aku kira seorang Demang akan cukup bijaksana menghadapi satu persoalan. Jika seorang Demang perasaannya mudah dibawa hanyut oleh prasangka, maka apakah akibatnya bagi Kademangan ini sendiri? Sikap curiga, dugaan buruk, bahkan menetapkan orang lain bersalah sebelum dapat dibuktikannya atau bahkan memang benar-benar bertentangan dengan kebenaran. —
— Jangan banyak berbicara — bentak Ki Demang — kau adalah tangkapan kami. Jika kami mau, maka kau dapat aku serahkan kepada orang-orang yang marah itu, sehingga kau akan dapat dicincang dihalaman Kademangan ini. —
— Ki Demang — berkata Kiai Gringsing — kami bukan orang-orang yang Ki Demang maksudkan. Kami baru hari ini memasuki Kademangan ini. Kami mendengar peristiwa tentang kambing yang hilang itu baru dikedai ketika kami singgah untuk makan. Karena persoalannya menarik, maka kami telah memerlukan untuk melihat-lihat dimanakah kambing itu disembelih.
— Persetan dengan kalian — geram Ki Demang — bagaimanapun juga kalian harus dihukum. Tetapi kami tidak akan melakukannya dimalam hari. Kami akan menghukum kalian mulai besok pagi. Kalian akan menjadi orang-orang yang dijatuhi hukuman setelah beberapa bulan kami merasakan hidup tenang dan damai. Mudah-mudahan kemudian kami akan mengalami kedamaian itu lagi jika kalian sudah mendapatkan hukuman kami. —
— Kami mohon Ki Demang memeriksa kami dengan saksama. Mungkin kita dapat berbicara agak panjang sehingga Ki Demang yakin bahwa kami memang tidak bersalah — berkata Kiai Gringsing.
— Semuanya hanya akan membuang waktu — geram Ki Demang. Lalu katanya kepada para bebahu — Bawa mereka ke tempat tahanan itu.
Ketiga orang itu tidak dapat membantah. Merekapun kemudian telah diseret dan didorong menuju ke sebuah bangunan kecil, tetapi cukup kuat dan rapat.
Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan Sabungsari saling berpandangan ketika pintu bilik itu ditutup dan diselarak dari luar. Sementara itu langit memang sudah menjadi buram. Senja turun dengan cepat. Dan bilik itupun menjadi semakin gelap.
— Apakah didalam bilik ini tidak akan diberi lampu? — bertanya Sabungsari.
— Kenapa? — bertanya Ki Jayaraga.
— Rasa-rasanya bilik ini menjadi semakin pepat. — jawab Sabungsari.
— Kau aneh sekali hari ini — jawab Ki Jayaraga — seorang pengembara yang berpengalaman menjadi bingung karena gelapnya bilik yang diperuntukkan untuk menyekapnya. —
Sabungsari tidak menjawab. Dalam keadaan wajar, ia sama sekali tidak merasakan kepengapan udara betapapun gelapnya. Karena ketajaman matanya masih tetap dapat menembus kepekatan yang bagaimanapun juga. Tetapi karena ia memang sudah merasa jengkel sejak semula, maka rasa-rasanya segala sesuatu membuatnya semakin jengkel karenanya.
Namun Kiai Gringsing agaknya sama sekali tidak menghiraukan apa yang terjadi atas diri mereka. Bahkan Kiai Gringsing kemudian telah berbaring dipembaringan yang ada didalam bilik itu.
Akhirnya Sabungsaripun tidak bergeremang lagi. Iapun kemudian duduk pula dibibir amben, sementara Ki Jayaraga duduk disisinya.
Untuk beberapa saat mereka bertiga hanya saling ber-
diam diri. Masing-masing sedang menelusuri angan-angannya sendiri.
Dalam pada itu di pendapa Kademangan, Ki Demang masih berbicara dengan beberapa orang bebahu. Sementara itu masih banyak orang yang berkerumun di halaman Kademangan itu. Agaknya mereka merasa kecewa bahwa mereka tidak mendapat kesempatan untuk menghukum orang-orang yang telah ditangkap itu.
Ki Demang dan para bebahu agaknya memang sudah menetapkan bahwa ketiga orang itu adalah orang-orang yang telah mencuri kambing dipadukuhan sebelah. Karena itu, maka mereka tidak mempunyai pertimbangan lain kecuali melanjutkan hukuman kepada mereka.
Sejenak kemudian, maka lampu-lampu di Kademangan itu memang sudah dinyalakan. Seorang pengawal telah membuka selarak bilik yang dipergunakan untuk menahan ketiga orang yang dituduh mencuri kambing itu sedangkan orang lain telah memasuki bilik itu sambil membawa lampu minyak.
Namun ketika orang itu melangkah keluar, tepat di-pintu bilik ia telah meloncat-loncat sambil mengaduh. Beberapa pengawal yang ada diluar bilik itu segera berlari-lari. Mereka mengira bahwa ketiga orang tawanan itu telah berusaha untuk melarikan diri.
Tetapi mereka masih melihat ketiga orang itu ditem-patnya. Bahkan seorang diantara mereka masih berbaring di pembaringan, sementara dua orang yang lain duduk dibibir pembaringan itu.
Karena itu, maka orang-orang yang kemudian berkerumun segera bertanya hampir berbareng — Kenapa? Kenapa kau he? —
— Aku seperti menginjak api. Aku tidak tahu, apa yang terasa panas dikakiku. Sekarang pun rasa-rasanya kakiku masih terbakar — jawab orang itu.
Seorang telah membawa obor. Mereka menerangi tumit
kaki pengawal yang berteriak itu. Mereka terkejut ketika mereka melihat kaki itu seolah-olah memang terbakar.
— Kenapa kakimu he? — bertanya orang yang membawa obor.
Orang itu menggeleng. Katanya — Aku tidak tahu. Pada saat aku melangkah keluar, dimuka pintu kakiku bagaikan menginjak bara api. Ternyata kakiku memang ter-luka bakar. —
Beberapa orang saling berpandangan. Beberapa orang memang mengamati keadaan didalam bilik itu. Namun ketiga orang itu agaknya memang tidak beranjak dari tempatnya.
Dengan menyeret kakinya yang terluka, dibantu oleh kawannya, orang itu meninggalkan pintu bilik tawanan itu. Kawannyalah yang menutup pintu dan menyelarakkannya dari luar.
Tetapi tidak seorangpun yang dapat memecahkan teka-teki tentang kaki orang itu. Bahkan Ki Demangpun menjadi bingung pula karena peristiwa itu.
Namun dalam pada itu, Ki Jayaraga telah bergumam — Nampaknya kau kurang pekerjaan. —
Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Katanya — Satu permainan yang dapat sedikit mengurangi beban kejengkelan. —
— Untung kau membidikkan sorot matamu dengan tepat. Jika kau mengenai betisnya maka keadaannya akan menjadi semakin parah — desis Ki Jayaraga.
Sabungsari sama sekali tidak menyahut. Tetapi ia ingin mengurangi pepat dihatinya, sehingga ia telah melukai tumit lawannya dengan sorot matanya. Hanya dengan sebagian kecil saja dari kekuatan ilmunya.
Kiai Gringsinglah yang kemudian terdengar tertawa. Katanya — Tidur sajalah. Mungkin besok kita harus membuat permainan yang lebih menarik daripada sekedar memanasi tumit. —
Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun berkata pula kepada Sabungsari — Tidur sajalah. –
— Baru saja lewat senja — berkata Sabungsari — aku ingin berjalan-jalan sekeliling padukuhan induk ini. —
— Kita sedang ditahan disini — sahut Kiai Gringsing. Tetapi Sabungsari menjawab — Apa salahnya. Nanti
malam kita kembali lagi kedalam bilik ini. —
Ki Jayaraga termangu-mangu. Namun iapun kemudian bertanya kepada Kiai Gringsing — bagaimana pendapat Kiai? –
Kiai Gringsing tersenyum. Tetapi ia mengerti perasaan Sabungsari. Karena itu maka katanya — Baiklah. Kita akan berjalan-jalan. Mudah-mudahan dapat menghilangkan ke-jemuanmu. —
— Ternyata perhitungan Ki Jayaraga pun keliru — berkata Sabungsari kemudian.
— Perhitungan yang mana? — bertanya Ki Jayaraga.
— Menurut Ki Jayaraga setidak-tidaknya kita akan makan lebih baik daripada di kedai itu. Ternyata kita begitu saja dilemparkan ke dalam bilik ini. — berkata Sabungsari.
Ki Jayaraga dan Kiai Gringsing tertawa. Kiai Gring-singlah yang menjawab — Jika bukan makan, maka kita telah mendapat tempat untuk bermalam jauh lebih baik daripada tidur di padang terbuka. —
— Tetapi disini banyak sekali nyamuk — sahut Sabungsari.
— Tingkatkan daya tahan tubuhmu serta usahakan mengatasi rasa sakit — berkata Kiai Gringsing.
Akhirnya Sabungsaripun tersenyum pula. Tetapi ia benar-benar merasa jemu berada di bilik itu meskipun seperti kata Kiai Gringsing, bahwa tempat itu memang lebih baik daripada bermalam di padang terbuka. Namun karena mereka dimasukkan kedalam bilik itu sebagai tahanan,
maka rasa-rasanya bilik itupun menjadi sangat pengab.
Untuk beberapa saat lamanya mereka masih tetap berada di dalam bilik itu. Mereka menunggu kesempatan untuk dapat keluar dan berjalan-jalan di padukuhan induk.
Ketajaman pendengaran mereka dapat ditingkatkan untuk mengetahui apakah di sekitar bilik itu masih terdapat pengawasan yang ketat.
Ketika keadaan sudah menjadi sepi, maka Sabungsari berusaha mengintip dari celah-celah dinding kayu bilik itu. Ternyata ia memang tidak melihat seorangpun yang berada dekat dengan bilik itu. Namun agak jauh, ia memang melihat dua orang duduk dibawah lampu minyak. Agaknya dua orang itulah yang bertugas mengawasi bilik itu, tanpa menyadari siapakah yang berada di dalam bilik tahanan yang mereka anggap sudah cukup kuat itu.
— Marilah — berkata Sabungsari kemudian — kita akan keluar lewat atap. Nanti kita akan kembali lewat atap pula. Jika kita merusak dinding, maka akan segera timbul kecurigaan. —
Kiai Gringsing menggeliat. Katanya — Sebenarnya aku lebih senang berbaring saja disini. Tetapi baiklah. Kita melihat-lihat isi Kademangan ini —
Demikianlah, maka Sabungsari adalah orang yang pertama meloncat bergayutan pada rusuk-rusuk atap yang terbuat dari batang-batang bambu yang nampaknya cukup kokoh. Dengan hati-hati Sabungsari telah menyibakkan atap yang terbuat dari anyaman jerami yang rapat. Kemudian, iapun telah menyusup diantara rusuk-rusuk bambu itu. Dari atap itu ia meyakinkan, bahwa tidak seorangpun yang akan melihat mereka, meskipun dari tempatnya ia dapat melihat lewat bumbungan, bahwa di halaman Kademangan itu ternyata masih terdapat banyak orang.
Dengan isyarat ia mempersilahkan Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga untuk keluar pula.
Demikianlah, maka ketiga orang itupun telah keluar
dari bilik tahanan mereka melalui atap. Merekapun kemudian beringsut dan dengan tangkas meloncat turun, seolah-olah mereka mampu melayang tanpa menimbulkan bunyi apapun.
Sejenak mereka mengamati tempat itu agar mereka cukup mengenalinya. Kemudian merekapun meninggalkan tempat itu. Tetapi mereka harus mengambil jalan lain tanpa melewati halaman depan Kademangan yang masih terdapat banyak orang yang sedang marah.
Ketiga orang itu telah meloncati dinding pekarangan di belakang kandang. Kemudian mereka ternyata telah turun kejalan kecil yang melingkari rumah Ki Demang itu.
Dengan hati-hati maka merekapun telah menyusuri jalan kecil yang sepi itu. Tetapi mereka tidak menuju ke jalan induk Kademangan.
Sejenak kemudian, maka ketiga orang itu telah berada di tengah-tengah padukuhan induk itu dan berjalan dari satu lorong ke lorong yang lain. Bahkan kadang-kadang mereka telah memasuki halaman rumah yang pintunya sudah tertutup. Namun dibagian lain terdapat rumah yang cukup lengkap dengan pendapa yang terbuka dan halaman yang cukup luas.
— Agaknya di Kademangan ini, setidak-tidaknya di padukuhan induk ini banyak juga orang kaya — berkata Sabungsari.
Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Dengan nada datar Kiai Gringsing berkata — Kademangan ini adalah Kademangan yang subur. Namun seekor diantara kambing mereka hilang, maka seisi Kademangan sudah menjadi gempar. Agaknya ketenangan yang selama ini mewarnai Kademangan ini telah membuat penghuninya tersinggung oleh kehilangan itu. —
— Mereka tidak mau peristiwa itu terulang lagi — sahut Ki Jayaraga — Karena itu, maka mereka benar-benar ingin membuat orang yang disangkanya telah mencuri itu menjadi jera. —
Sabungsari hanya mengangguk-angguk saja. Namun rumah-rumah dan bangunan yang ada memang menarik. Ketika mereka sampai ke banjar, ternyata banjar itu benar-benar kosong. Agaknya orang yang seharusnya meronda di-gardu diregol telah berada di Kademangan pula.
Dengan leluasa mereka bertiga sempat melihat-lihat banjar itu. Satu bangunan yang menarik dan cukup besar. Bahkan di banjar itu terdapat pula seperangkat gamelan yang cukup baik.
Ketika Sabungsari memasuki ruang penyimpanan gandum, Ki Jayaraga berdesis — Apa yang akan kau lakukan? —
Sabungsari tertegun. Meskipun ia berpaling sejenak, namun ia kemudian melangkah memasuki ruang yang pintunya terbuka itu.
Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga tidak menegurnya lagi. Ketika keduanya berdiri dipintu mereka melihat Sabungsari sedang memindah-mindah wilahan gamelan.
Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga tersenyum. Dengan nada datar Ki Jayaraga berdesis — Sabungsari masih ingin melepaskan kejengkelannya. Dengan memindahkan wilahan-wilahan gamelan ia akan dapat membuat bingung para penabuhnya jika gamelan itu kelak dipergunakan. —
Beberapa saat kemudian Sabungsari telah selesai dengan kerjanya. Iapun tersenyum pula sambil melangkah mendekati kedua orang tua itu. Katanya — Marilah. Satu kerja sekedar untuk menghilangkan kejemuan. —
Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga tidak menyahut. Tetapi mereka pun kemudian beringsut meninggalkan ruang penyimpanan gamelan itu.
Namun tiba-tiba hampir berbarengan ketiganya mengerutkan keningnya. Bahkan Kiai Gringsing telah berdesis perlahan.
— Aku dengar langkah seseorang. —
— Kita menyingkir lewat pintu belakang. — sahut Ki Jayaraga.
Ketiganyapun kemudian telah beringsut ewat pintu butul-an. Demikian mereka keluar, maka beberapa orang memasuki ruang dalam banjar Kademangan itu.
Dari luar, ketiga orang yang keluar lewat pintu butulan itu masih mendengar salah seorang yang memasuki banjar itu berkata — Aku akan tidur saja di banjar. —
— Aku menyesal, kenapa Ki Demang tidak menyerahkan saja orang-orang itu kepada kita — sahut yang lain — kita akan dapat membuat mereka jera. —
— Jika mereka tidak dibuat jera, maka pencurian seperti itu akan terulang kembali — berkata yang lain lagi.
Namun agaknya seseorang yang suaranya menunjukkan sikap yang lebih mengendap berkata — Kita tidak boleh tenggelam dalam arus perasaan. Ki Demang besok akan menghukum mereka. Itupun masih harus diyakini, bahwa ketiga orang itu memang bersalah. Sebenarnya Ki Demangpun masih memerlukan bukti-bukti yang lebih kuat untuk dapat menentukan bahwa ketiganya memang pencuri yang kita cari itu. —
— Kau selalu berpikir berbelit-belit — sahut kawannya — semuanya sudah cukup jelas. Tetapi Ki Demang masih juga menunggu sampai perhitungan, tentu bukan hanya tiga orang itu saja yang telah menyembelih kambing itu. Jika kawan-kawannya mendengar bahwa tiga orang diantara mereka tertangkap, maka mungkin sekali mereka akan berusaha untuk membebaskannya. —
— Apa mereka ingin membunuh diri — teriak seorang anak muda — tetapi sebaiknya mereka melakukannya. Kita akan mendapat kepuasan. —
— Sudahlah — berkata seorang yang sudah lebih tenang dari kawan-kawannya itu — kita serahkan saja semuanya kepada Ki Demang. —
— Aku akan tidur — terdengar suara orang yang pertama. Yang lain tidak menjawab lagi. Tetapi mereka agaknya
telah bertebaran didalam banjar itu.
Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan Sabungsaripun kemudian
beringsut meninggalkan banjar itu. Mereka tidak melewati regol halaman lagi, karena mereka melihat ada dua orang yang duduk diregol itu sambil berselubung kain panjang.
Karena itu, maka ketiga orang itupun kemudian telah meloncati dinding dan hilang dikegelapan.
— Kiai — berkata Sabungsari kemudian — apakah kita besok benar-benar membiarkan diri kita dihakimi oleh Ki Demang dihadapan orang-orang yang marah itu? —
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya — Besok kita akan berusaha untuk meyakinkan mereka bahwa kita tidak bersalah. —
Tetapi Sabungsari menggeleng. Katanya — Tidak ada gunanya Kiai. Apapun yang kita katakan, mereka tidak akan percaya. Mereka telah mengambil satu kesimpulan sebelum mereka mendengarkan penjelasan kita. —
— Tetapi jika kita dapat meyakinkan mereka? — desis Kiai Gringsing.
— Sulit Kiai — jawab Sabungsari — mereka nampaknya orang-orang yang keras hati. Apalagi mereka sudah mengambil satu keputusan tanpa keyakinan. Kiai, agaknya sulit untuk merubah pendapat mereka. Sekelompok orang yang sudah bulat menentukan satu keputusan. Mungkin Kiai dapat meyakinkan Ki Demang. Tapi orang-orang Kademangan ini tidak akan dengan mudah mencabut keputusan mereka tentang kita. —
Ki Jayaragalah yang kemudian berbicara — Kiai. Aku dapat mengerti pendapat angger Sabungsari. Karena itu, maka apakah kita mempunyai cara lain yang akan dapat merubah pendapat mereka tentang kita?. —
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Tetapi ia justru bertanya — Bagaimana sebaiknya menurut Ki Jayaraga? —
— Kiai. Bagaimana jika kita bermain-main sedikit dengan isi Kademangan ini? — berkata Ki Jayaraga.
— Bermain-main bagaimana — bertanya Kiai Gringsing.
— Bagaimana jika angger Sabungsari menutup kembali
atap itu sementara kita tetap berada diluar? — berkata Ki Jayaraga. Lalu — Kita akan tidur diserambi. —
Sabungsari tersenyum. Katanya — Baik. Aku mengerti maksud Ki Jayaraga. Aku setuju. —
Kiai Gringsing tersenyum. Iapun mengerti maksud kedua orang itu. Namun katanya — Apakah kita orang-orang tua ini masih juga akan bermain-main sembunyi-sembunyian? —
— Sekali-sekali apa salahnya Kiai? — jawab Sabungsari.
Kiai Gringsing mengangguk kecil. Jawabnya — Baiklah. Aku akan ikut saja. Mudah mudahan tidak terjadi kekerasan. —
— Jika terpaksa terjadi kekerasan, apaboleh buat. Bukankah kita benar-benar tidak bersalah? — sahut Sabungsari.
Kiai Gringsing tidak dapat menyalahkan Sabungsari yang terhitung masih muda itu. Tetapi iapun berkata — Asal kita dapat mengekang diri. Kita berhadapan dengan orang-orang padukuhan yang tidak menyadari, apa yang dilakukannya. —
Sabungsari mengangguk-angguk, Namun ia tidak menjawab lagi.
Beberapa saat kemudian mereka masih berputar-putar dipadukuhan. Nampaknya orang-orang yang berkumpul di halaman Kademangan telah bubar. Beberapa kali mereka bertemu dengan kelompok-kelompok kecil yang berjalan menyusuri jalan padukuhan sehingga ketiga orang itu terpaksa setiap kali bersembunyi dibalik dinding. Karena itulah maka beberapa orang telah pula berada di banjar kembali.
Setelah berputar-putar beberapa lama akhirnya Sa-bungsaripun menjadi jemu pula. Apalagi ketika mereka telah melihat seluruh padukuhan induk-itu.
Beberapa saat kemudian, maka ketiga orang itupun telah kembali ke Kademangan. Seperti ketika mereka keluar maka merekapun telah memasuki halaman Kademangan itu lewat belakang. Mereka telah meloncati dinding halaman dan dengan diam-diam menuju ketempat mereka ditahan.
Beberapa orang yang bertugas menjaga mereka masih berada di tempatnya. Namun agaknya orangnya sudah berganti. Sementara itu di pendapa tinggal beberapa orang saja yang masih duduk-duduk untuk berjaga-jaga dan membantu jika diperlukan apabila para tawanan itu berniat buruk.
Tetapi ketiga orang itu tidak segera memanjat atap bilik dan masuk kembali kedalamnya. Namun hanya Sabungsari sajalah yang meloncat naik. Tetapi ia sama sekali tidak memasuki bilik itu. Yang dilakukannya hanyalah mengatupkan kembali atap yang telah disibakkan pada saat mereka keluar dari bilik itu. Bahkan setelah menjadi rapi kembali, maka Sabungsaripun telah meloncat turun pula.
— Kita dapat beristirahat sekarang – berkata Sabungsari.
— Kita adalah orang-orang aneh — berkata Kiai Gringsing — didalam bilik kita dapat tidur nyenyak, bahkan hangat. Disini udara terasa dingin dan basah oleh angin malam. —
— Tetapi bagi pengembara angin basah sama sekali tidak ada artinya — desis Sabungsari.
Kiai Gringsing tersenyum saja. Tetapi ia tidak menjawab.
Demikianlah, maka ketiga orang itupun kemudian duduk di serambi dibelakang bilik itu. Serambi yang gelap yang tidak banyak dipergunakan lagi.
Ternyata mereka bertiga sempat tidur nyenyak di serambi meskipun hanya sekedar duduk sambil bersandar di sudut-sudut serambi itu.
Ketika malam menjadi semakin dalam, setelah menjelang dinihari, ternyata orang-orang yang bertugas itu telah berniat untuk melihat-lihat di sekeliling halaman. Mereka berjalan lewat halaman depan. Memasuki seketheng dan melihat-lihat keadaan longkangan sebelah kiri dan kanan. Baru kemudian mereka telah mengelilingi rumah Ki Demang dengan bagian-bagiannya, termasuk lumbung dan kandang.
Dengan obor ditangan mereka menyusupi setiap sudut halaman dan memperhatikan setiap keadaan.
Tiba-tiba orang-orang itu tertegun. Mereka melihat tiga orang tidur di serambi. Meskipun sebenarnya ketiga orang itu sudah terbangun dan mengetahui kehadiran mereka, namun mereka bertiga masih berpura-pura tidur sambil bersandar dinding.
— He, bukankah mereka pencuri kambing itu? — tiba-tiba seorang diantara mereka berteriak.
— Ya. Bagaimana mungkin mereka berada di serambi— sahut yang lain.
— Aneh — geram yang lain. Lalu — Lihat, apakah di dalam bilik itu memang sudah tidak ada orang lagi. —
Dua orang diantara mereka segera berlari-lari. Mereka melingkari longkangan dan masuk lewat pintu samping. Demikian mereka membuka selarak bilik itu, maka ternyata bahwa bilik itu memang telah kosong.
— Gila. Bagaimana mungkin mereka berada di serambi, — desis seorang diantara mereka.
Ketika mereka berdua melihat-lihat dinding bilik itu, mereka sama sekali tidak menemukan, kerusakan apapun -juga.
Sementara itu, seorang yang lain, diantara mereka yang masih berada diluar telah membentak — He, kenapa kalian berada disini? —
Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan Sabungsaripun mera-
buka matanya. Mereka memandangi keadaan sekelilingnya dengan sikap yang bingung. Dengan suara sendat Sabung sari bertanya — Aku berada dimana? —
— Gila. Kenapa kau berada disini? — bentak orang yang sedang meronda itu.
— Justru aku yang ingin bertanya — jawab Sabungsari — apakah ketika kami sedang tidur, kami telah dilemparkan keluar? —
Beberapa orang saling berpandangan. Sementara itu dua orang yang melihat kedalam bilik itu telah kembali sambil berdesis — Bilik itu masih utuh. —
Orang-orang itu memang menjadi heran. Mereka tidak segera mengetahui apa yang terjadi.
Namun seorang diantara mereka tiba-tiba berkata — Kau berusaha untuk melarikan diri, ya? —
Tetapi dengan cepat Sabungsari menjawab — Jika kami berusaha, melarikan diri, kami tidak akan tertidur disini. Kamilah yang justru merasa telah dilemparkan dari dalam bilik itu. Tentu ada orang yang dengan sengaja membuat persoalan disini. Ketika kami sedang tidur, maka orang itu telah membuka selarak. Mengangkat kami ke tempat ini dan kembali menyelarak pintu. —
— Omong kosong — bentak seorang diantara mereka. Lalu — Ayo cepat kembali kedalam bilik itu, atau kalian akan mengalami perlakuan yang pahit. Jika kau jatuh ke tangan orang-orang padukuhan, maka tubuh kalian tentu akan menjadi lumat. —
Namun tiba-tiba seorang yang lain berkata hampir tidak terdengar — apakah di dalam bilik itu ada hantu? —
— Hantu — tiba-tiba Sabungsari mengulang — jika bilik itu ada hantunya, jangan kalian bawa kami kembali kedalamnya. —
— Persetan — geram yang lain. Namun iapun kemudian berkata — memang merupakan teka-teki seperti ketika se-
orang diantara anak-anak kami yang tumitnya terbakar bagaikan menginjak api. —
Orang-orang itu termangu-mangu. Namun seorang yang lain berkata — Kita akan memasukkannya kembali. Hari belum dini. Apapun yang terjadi dengan teka-teki itu, tetapi biarlah orang-orang ini kita simpan dahulu. Pengawasan diperketat. Dan setiap kejadian yang mencurigakan harus diamati dengan sungguh-sungguh. —
Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan Sabungsaripun kemudian telah digiring menuju ke pintu bilik itu. Sementara itu Ki Demang ternyata telah terbangun pula dan berdiri termangu-mangu beberapa langkah dari bilik itu.
Ketika ketiga orang itu kemudian memasuki pintu dan setelah pintu itu diselarak kembali dari luar, maka Ki De-mangpun mendekat sambil bertanya — Apa yang terjadi?
Seorang yang paling tua diantara para peronda itupun kemudian memberikan laporan tentang ketiga orang yang tiba-tiba saja telah berada di serambi.
—- Beberapa peristiwa aneh telah terjadi — desis Ki Demang — awasi orang-orang itu dengan baik. Jika terjadi sesuatu yang aneh beritahukan kepadaku secepatnya. —
— Baik Ki Demang — jawab peronda itu.
Ketika Ki Demang kembali keruang dalam Kade-mangan, maka di dapur beberapa orang telah mulai menyalakan api untuk merebus air.
Namun demikian, sisa malam masih gelap. Langit belum nampak semburat merah, meskipun kemudian terdengar ayam jantan berkokok bersahutan.
Dalam pada itu, ternyata Kiai Gringsingpun telah terlibat pula dalam sebuah permainan yang mengasyikkan itu. Tiba-tiba saja para petugas yang mengawasi bilik itu dengan lebih bersungguh-sungguh telah melihat kabut yang tipis mulai nampak di sekitar bilik itu. Bahkan kemudian nampak menjadi semakin lama semakin tebal, sehingga
dengan terheran-heran para penjaga itu akhirnya tidak melihat lagi pintu bilik itu.
— He — desis para penjaga — peristiwa apa lagi yang telah terjadi bilik itu. —
— Asap — desis seorang diantara mereka.
— Bukan — jawab yang lain — kabut. —
— Embun — berkata yang lain lagi.
— Mana mungkin ada embun? — bertanya kawannya.
Dari dalam bilik ketiga orang itu mendengar seorang berkata — Kita panggil Ki Demang. —
Kiai Gringsing tersenyum. Dilepaskannya permainannya sehingga kabut itupun menjadi semakin tipis. Namun agar kabut itu lebih cepat hilang, sebelum Ki Demang datang, maka angin yang agak keras telah bertiup, sehingga dalam waktu sekejap Ki Jayaraga telah menyapu kabut itu.
Tetapi angin yang bertiup itupun ternyata telah menimbulkan persoalan tersendiri bagi para penjaga. Mereka melihat dinding seakan telah diguncang, meskipun tidak terlalu keras.
— Bukan gempa. Tetapi angin — berkata salah seorang peronda.
Ketika Ki Demang datang, maka kabutpun telah hilang, Tetapi ia juga mendengar laporan tentang angin.
— Gila — geram, Ki Demang — Apakah yang sebenarnya terjadi? —
— Tidak tahu Ki Demang — jawab peronda itu — terasa kulit kamipun meremang. —
Belum lagi mereka menjadi tenang, tiba-tiba saja terdengar orang-orang yang berada didalam bilik itu menjadi ribut. Sabungsari telah memanggil-manggil penjaga sambil memukul-mukul pintu.
Beberapa orang penjaga dengan tergesa-gesa telah mendekati dan kemudian mengangkat selarak pintu. Ter-
nyata Sabungsari nampak ketakutan sambil berkata — Hantu-hantu. —
— Hantu apa? — bertanya penjaga itu.
— Mula-mula kabut. Lalu angin, Namun kemudian aku melihat bayangan seseorang yang tinggi besar dan hitam. — berkata Sabungsari.
Para penjaga itu termangu-mangu, namun mereka tidak melihat kegelisahan itu diwajah kedua orang tua yang juga berada di dalam bilik itu. Karena itu, maka seorang penjaga bertanya — Kau juga melihat? —
— Tidak Ki Sanak — Kiai Gringsinglah yang menjawab. Lalu — Anak itu agaknya telah bermimpi buruk tentang kabut, angin dan hantu. —
Beberapa orang penjaga itu saling berpandangan. Sementara itu Ki Jayaraga berkata — Kami sudah berusaha menenangkannya. Tetapi anak itu masih tetap ribut saja. —
Sebelum seseorang menjawab Sabungsari telah berkata dengan gagap — Aku melihatnya. —
Para penjaga itu justru menjadi bingung. Tidak se-orangpun yang segera dapat mengambil sikap.
Ki Demang yang kemudian mendekati merekapun kemudian berkata — Selama ini tidak pernah ada sesuatu yang aneh didalam rumah ini, termasuk bilik itu. Tetapi tiba-tiba saja terjadi peristiwa-peristiwa yang tidak dapat kita mengerti. —
— Ya Ki Demang — desis salah seorang diantara para penjaga itu — kami benar-benar melihat keanehan itu. Kabut dan kemudian angin. Jadi yang dikatakan orang itu bukan mimpi. Kabut dan angin yang bertiup. Tetapi entahlah tentang hantu itu. —
Ki Demang termangu-mangu. Namun kemudian katanya — Agaknya kehadiran ketiga orang itu telah mengundang keanehan-keanehan. Jika demikian, maka aku perlu berbicara secara khusus dengan mereka. —
Para penjaga itu termangu-mangu. Sementara itu Ki Demang berkata — Bawa mereka ke ruang dalam. —
— Baik Ki Demang — jawab para penjaga.
Ki Demang tidak menunggu lebih lama lagi. Iapun kemudian melangkah pergi keruang dalam. Sementara para penjaga telah membawa ketiga orang tawanan itu menyusul Ki Demang keruang dalam.
Ketika mereka sudah duduk, maka Ki Demangpun kemudian berkata — Tinggalkan mereka. —
— Tetapi — para penjaga itu ragu-ragu.
— Tinggalkan saja — ulang Ki Demang.
Para penjaga itu nampaknya merasa khawatir juga meninggalkan ketiga orang itu tanpa pengawalan. Namun karena Ki Demang memerintahkan mereka pergi, maka merekapun kemudian telah meninggalkannya.
Demikian para pengawal itu pergi, maka Ki Demangpun bertanya — Katakan. Apakah keanehan-keanehan itu terjadi diluar kehendak kalian, atau memang kalian yang melakukannya? —
Ternyata Sabungsari tidak sabar lagi. Sebelum kedua orang tua itu menjawab, ialah yang mendahului. Katanya — Ya. Kami telah membuat permainan itu. Karena itu ingat Ki Demang, bahwa kami dapat mengembangkan permainan itu menjadi lebih besar lagi. Bahkan jika kami kehendaki, kami dapat mengguncang seluruh Kademangan. —
Wajah Ki Demang menjadi tegang. Keterus-terangan Sabungsari membuat jantungnya bergetar. Nampaknya yang dikatakan oleh orang yang paling muda diantara ketiga orang itu bukan sekedar bermain-main sebagaimana mereka lakukan dengan kabut, angin dan hantu.
Untuk beberapa saat Ki Demang termangu-mangu. Namun kemudian ia bertanya — Apakah maksud kalian dengan permainan-permainan itu? —
— Untuk menarik perhatian Fi Demang — jawab Sabungsari — agar dengan demikian Ki Demang mau mende-
ngarkan keterangan kami bahwa kami sama sekali tidak bersangkut paut dengan hilangnya seekor kambing dari Kademangan ini. Dengan permainan ini kami ingin meyakinkan kepada Ki Demang bahwa jika Ki Demang tetap menuntut kepada kami tentang hilangnya seekor kambing dengan kekerasan, maka yang akan hilang kemudian bukan hanya nyawa seekor binatang. Tetapi mungkin nyawa seseorang. Atau bahkan tidak hanya seorang. Semakin keras kalian bertindak atas kami, maka semakin banyak korban yang akan jatuh. Nah, kau percaya atau tidak? —
Wajah Ki Demang menjadi tegang. Sementara itu Kiai Gringsing telah menyela — Ki Demang. Sebenarnyalah kami memang tidak bersalah dalam hubungannya dengan hilangnya seekor kambing. Jika kemarin kami tidak melawan ketika kami ditangkap, maka kami mempunyai satu keyakinan bahwa Ki Demang akan cukup bijaksana menilai kami. Tetapi seandainya tuduhan itu tetap dilontarkan kepada kami, maka sudah barang tentu kami berkeberatan. Hanya mungkin karena yang mengucapkan itu seorang yang masih muda, maka agaknya terdengar terlalu keras. —
— Ki Sanak — sahut Ki Demang kemudian yang mulai gugup menanggapi sikap Sabungsari — tetapi apa yang dapat aku lakukan jika rakyatku sudah menentukan sikap? —
— Baik — geram Sabungsari — jika demikian serahkan kami kepada rakyatmu yang tidak kau ajari berpikir itu. Biarlah kami menolong diri kami sendiri. Tetapi seperti yang aku katakan, maka untuk menuntut kematian seekor kambing, maka nyawa beberapa orang harus kalian serahkan. —
— Jangan — minta Ki Demang dengan serta merta.
— Memang bukan begitu maksud kami — Kiai Gring-singlah yang kemudian menjelaskan — tetapi kami berharap bahwa Ki Demang dapat menjelaskan sehingga tidak terjadi sesuatu diantara kita. —
Ki Demang menjadi tegang. Dengan nada datar ia kemudian berkata — Bagaimana aku dapat mengambil jalan yang sebaik-baiknya. Nampaknya orang-orang Kade-mangan ini sudah menentukan sikap. Seandainya mereka tidak mau mendengarkan kata-kataku, apakah benar-benar akan terjadi kematian seperti yang kau katakan? —
— Kami tidak berkeinginan untuk membunuh — berkata Ki Jayaraga — kami hanya ingin persoalan ini diselesaikan dengan baik. Itulah sebabnya kami tidak melawan ketika kami ditangkap, justru untuk menghindari korban yang tidak berarti itu, karena pada waktu itu kami berharap Ki Demang atau bebahu yang lain dapat mengatasi persoalan. —
Ki Demang memang menjadi bingung. Tetapi ia mulai percaya bahwa orang-orang itu tidak sekedar membuat atau menakut-nakuti. Iapun mulai percaya bahwa bukan ketiga orang itulah yang telah mencuri kambingnya.
Tetapi apa yang harus diperbuatnya jika orang-orangnya tidak mempercayainya.
Karena kebingungan itulah maka iapun kemudian berkata — Ki Sanak. Sebenarnyalah bahwa aku percaya kepada Ki Sanak. Tetapi aku tidak yakin bahwa aku akan dapat menguasai orang-orangku. Jika mereka memaksa untuk melakukan sesuatu, apa yang dapat aku perbuat? Dalam keadaan marah, mereka tidak akan mendengar penjelasan yang bagaimanapun juga. Jika aku menunda hukuman atas kalian, aku berharap bahwa orang-orangku tidak lagi dikuasai oleh kemarahan yang tidak terkendali, sehingga mereka sempat berpikir lebih tenang. —
— Terserah kepadamu — berkata Sabungsari — tetapi ingat. Aku tidak mau menjadi tontonan disini. —
Ki Demang menjadi pening. Dengan nada kebingungan ia berkata — Kenapa kalian tidak melarikan diri saja. Jika kalian telah mampu keluar dari bilik itu tanpa dilihat oleh para pengawal, kau justru tidur diserambi. —
— Aku telah mengelingi padukuhan induk ini — jawab Sabungsari — aku sudah sampai di banjar Kademangan. Aku sudah melihat apa saja disini. Rumah-rumah yang besar dan rumah-rumah yang kecil. Halaman yang luas dan halaman yang sempit. —
Tetapi Ki Demang justru bertanya — Kenapa kau kembali kemari, sehingga kau mempersulit kedudukanku? —
Sabungsarilah yang menjawab pula — Kami ingin melihat dan mendengar kau mengendalikah orang-orangmu. Adalah kebetulan bahwa kamilah yang kalian tuduh dan seakan-akan pasti telah mencuri kambing. Jika bukan kami, apakah jadinya orang itu? Karena itu maka Ki Demang harus berbuat sebaik-baiknya agar hal seperti ini tidak terjadi. Bukan saja atas diri kami. Tetapi juga atas orang lain. Jika hukuman itu sudah jatuh, namun sebenarnya orang itu benar-benar tidak bersalah, maka apa yang dapat Ki Demang katakan? —
Ki Demang memang menjadi bingung. Lalu katanya — Aku akan mencoba. —
— Nah, jika demikian biarlah kami kembali ke bilik itu. Besok kami akan melihat, apa yang dapat Ki Demang lakukan — berkata Sabungsari.
Kata-kata itu memang bernada mengancam. Karena itu, Ki Demangpun menjadi berdebar-debar. Apalagi ia memang yakin bahwa orang-orang itu dapat melakukan sebagaimana dikatakannya.
— Baiklah — berkata Ki Demang — marilah. Aku antar kalian kembali ke bilik itu. Tetapi aku mohon, jangan lakukan lagi permainan yang dapat menakut-nakuti orang-orangku itu.
Dengan demikian maka bilik itu untuk selanjutnya tidak akan ada yang berani mempergunakan. —
— Bukankah bilik itu memang khusus dipergunakan untuk menahan seseorang atau sekelompok orang? — bertanya Sabungsari.
Ki Demang hanya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab.
Sejenak kemudian, maka ketiga orang itu telah diantar oleh Ki Demang kembali kedaiam biliknya. Sementara itu para penjaga masih saja berdebar-debar karena hal-hal yang aneh yang terjadi di bilik itu.
Namun ternyata bahwa harapan Ki Demang, agar orang-orang padukuhan itu sangat mengendapkan kemarahannya setelah selang waktu semalam, tidak terpenuhi. Menjelang fajar, orang-orang di padukuhan induk itu sudah berkumpul-kumpul di regol-regol halaman, di simpang ampat atau digardu-gardu perondan. Mereka ternyata benar-benar menunggu hari yang datang dengan kemarahan yang masih menyesak didada mereka.
Karena itu, maka ketika matahari terbit, dihalaman Ki Demang sudah terdapat banyak orang yang datang dan bergerombol-gerombol. Mereka telah membicarakan tentang ketiga orang yang mereka anggap sebagai pencuri kambing itu.
Ketika Ki Demang mengetahui tentang kehadiran mereka serta niat mereka datang, maka kepalanya menjadi semakin pening. Jika ia tidak berhasil meyakinkan orang-orang padukuhan induk itu, dan bahkan mungkin orang-orang yang datang dari padukuhan yang telah kehilangan seekor kambing itu, maka persoalannya memang akan menjadi gawat.
Diantara ketiga orang yang telah ditahan itu, yang paling muda agaknya yang akan bersikap paling keras. Apabila ia benar-benar melakukan ancamannya, maka Kademangan itu benar-benar akan mengalami bencana. Bahwa hilangnya seekor kambing akan dapat menyeret nyawa seseorang.
Karena Ki Demang tidak segera nampak dipendapa, maka orang-orang yang telah berkumpul itu menjadi – gelisah. Seorang diantara mereka telah menemui seorang
bebahu dan minta agar Ki Demang segera keluar di pendapa. Rasa-rasanya mereka tidak sabar lagi menunggu untuk mengadili tiga orang yang telah mereka anggap dengan penuh keyakinan telah bersalah.
Bahkan mereka telah mengambil kesimpulan, bahwa ketiga orang itu tentu mempunyai beberapa orang kawan yang lain, karena mustahil bahwa tiga orang itu akan dapat menghabiskan seekor kambing.
— Cobalah aku lihat — berkata bebahu itu.
— Sebentar lagi kami akan kehilangan kesabaran — desis orang itu.
Bebahu itu hanya mengerutkan keningnya. Namun iaapun akemudian lewat pintu samping masuk keruang dalam.
Ketika ia berada diruang dalam, ternyata Ki Demang sudah duduk bersama dua orang bebahu yang lain. Kerut keningnya nampak bahwa Ki Demang memang sedang pening.
Bebahu yang baru masuk itupun kemudian duduk pula bersama mereka sambil berkata — Ki Demang. Sudah banyak orang yang menunggu. Sebaiknya Ki Demang segera mengambil keputusan untuk menghukum orang-orang yang telah mencuri kambing itu. Soalnya bukan harga kambing itu sendiri Ki Demang. Tetapi orang-orang itu harus menjadi jera. Bahkan orang lain yang akan melakukan perbuatan serupa menjadi urung karena mereka takut mengalami hukuman yang berat.
Ki Demang menjadi semakin bingung. Namun kemudian katanya — Ketahuilah, bahwa aku sudah mengadakan pemeriksaan ulang. Ternyata orang-orang itu menurut pendapatku tidak bersalah. Aku sudah memancing pengakuan mereka dengan kasar atau halus. Tetapi mereka dapat menjelaskan, bahwa mereka memang tidak bersalah. —
Bebahu itu termangu-mangu. Dipandanginya kedua orang bebahu yang sudah terlebih dahulu hadir. Sementara itu, dari pintu samping dua orang telah masuk keruang dalam.
— Maaf Ki Demang — berkata salah seorang diantara
mereka — kami sudah lama menunggu. —
— Ki Demang termangu-mangu. Namun ia tidak akan dapat ingkar, bahwa ia memang harus keluar dan menghadapi orang-orang di pendapa.
Namun tiba-tiba saja ia teringat sesuatu. Katanya — Panggil Ki Jagabaya. Apakah ia sudah ada diluar? —
— Ki Jagabaya sudah duduk dipendapat — jawab orang
itu.
— Suruh ia kemari — berkata Ki Demang.
— Tetapi bukankah justru Ki Demang yang akan keluar? — bertanya orang itu.
— Biarlah Ki Jagabaya datang kemari dahulu — Ki Demang agak membentak.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun keduanyapun kemudian telah keluar untuk memanggil Ki Jagabaya.
Ketika Ki Jagabaya telah berada diruang dalam, maka Ki Demangpun mengatakan, bahwa menurut pendapatnya ketiga orang itu tidak bersalah.
— Ki Demang — berkata Ki Jagabaya — semuanya sudah jelas. Tidak ada yang meragukan lagi. Buat apa ketiga orang itu berada di pinggir hutan jika mereka memang bukan orang jahat. Ketiganya tentu sedang menyiapkan pertemuan lagi untuk beberapa orang lain ditempat itu seperti yang pernah terjadi. Dan mereka tentu akan mengambil lagi seekor kambing muda untuk disembelih ditempat itu. —
— Ki Jagabaya — berkata Ki Demang — agaknya kita berbeda pendapat. Tetapi aku tidak akan menentang pendapat kalian. Karena itu aku menyerahkan ketiga orang itu kepada Ki Jagabaya. —
Ki Jagabaya termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba saja wajahnya menjadi cerah. Katanya — Baiklah Ki Demang. Akulah yang akan mengadili mereka. —
— Tetapi sudah aku katakan, bahwa menurut pendapatku, mereka tidak bersalah — berkata Ki Demang.
Ki Jagabaya tertawa, sementara itu Ki Demang berkata — Tunggu. Aku akan membawa mereka bertiga kemari. —
— Para pengawal menjadi ketakutan setelah mereka mengalami beberapa keanehan semalam — jawab Ki Demang.
— Keanehan apa? — bertanya Ki Jagabaya
— Biarlah mereka berceritera sendiri kepada Ki Jagabaya. Aku akan memanggil mereka pula — jawab Ki Demang.
Ki Jagabaya menjadi heran. Tetapi Ki Demang telah berdiri dan melangkah meninggalkan ruang dalam. Ketika ia berada dipintu yang menghadap keruang samping, maka Ki Demang telah memanggil seorang peronda yang semalam ikut mengawasi ketiga orang tahanan itu.
— Pergilah kepada Ki Jagabaya — berkata Ki Demang — bukankah semalam kau bertugas? —
— Ya Ki Demang. — jawab orang itu.
— Tetapi kenapa kau masih bertugas sampai sekarang? — bertanya Ki Demang.
— Aku mulai bertugas lewat tengah malam Ki Demang. Aku baru akan diganti setelah saat pasar temawon. — jawab orang itu.
— Baiklah Temui Ki Jagabaya diruang dalam. Ceriterakan apa yang kau lihat dan kau alami semalam. — berkata Ki Demang.
Orang itu memang merasa ragu-ragu. Tetapi Ki Demang kemudian tidak menghiraukan lagi. Iapun kemudian pergi ke-bilik tahanan ketiga orang yang dianggapnya mencuri kambing itu.
Namun akhirnya orang itu telah menemui Ki Jagabaya. Iapun kemudian menceriterakan apa yang dilihatnya semalam. Tentang ketiga orang yang tiba-tiba sudah berada diluar biliknya, tentang kabut, tentang angin dan hantu.
Tetapi Ki Jagabaya agaknya tidak demikian saja mempercayainya. Dengan lantang ia bertanya — Apakah itu bukan satu usaha untuk melarikan diri. —
— Tidak Ki Jagabaya. Mereka tertidur diserambi. Jika mereka berusaha melarikan diri, aku kira mereka akan dapat melakukannya, karena mereka sudah berada diluar. Mereka akan dapat dengan mudah turun kehalaman samping dan kemudian menyelinap ke kebun belakang. Mereka akan dengan mudah meloncati dinding halaman yang tidak terlalu tinggi itu.
— berkata pengawal itu.
— Aku tidak mau dibingungkan oleh teka-teki seperti itu. Mungkin ada saudaranya atau sahabatnya yang membantunya membuat lelucon seperti itu — berkata Ki Jagabaya kemudian.
Peronda itu menjadi bingung mendengar jawaban Ki Jagabaya. Dengan nada tinggi ia bertanya — Bagaimana mungkin saudaranya atau sahabatnya dapat melakukan? —
— Siapa tahu diantara para peronda terdapat sahabatnya yang pura-pura tidak mengenalnya — jawab Ki Jagabaya.
— Tetapi angin dan kabut itu — desis peronda itu.
— Cukup — bentak Ki Jagabaya — jangan membual. —
Peronda itu tidak berani menjawab lagi. Bahkan Ki Jagabayapun membentaknya — Sudah, pergilah. —
Dengan hati yang berdebar-debar peronda itu meninggalkan ruang dalam, sementara Ki Demang telah datang bersama ketiga orang tahanan yang dituduh telah mencuri kambing itu.
— Inilah mereka — berkata Ki Demang — tetapi seperti yang sudah aku katakan, aku telah menemukan keyakinan baru, bahwa mereka tidak bersalah. —
Ki Jagabaya mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya — Ki Demang nampaknya tidak dapat menahan belas kasihan ketika ketiga orang itu dengan memelas mohon ampun. Tetapi jika kita menghukum mereka Ki Demang, bukan semata-mata karena kita ingin menghukum. Tetapi mereka harus menjadi jera dan kawan-kawannyapun tidak akan berani melakukannya pula. Apalagi orang lain yang pada dasarnya memang pencuri-pencuri ternak. —
— Nah, jika demikian segalanya terserah kepada Ki Jagabaya — berkata Ki Demang — tetapi aku masih mem-persilahkan Ki Jagabaya untuk berbicara dengan mereka. –
— Aku akan berbicara dihadapan orang banyak, sehingga ada saksi yang dapat menilai pembicaraan itu — jawab Ki Jagabaya.
Ki Demang tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Karena itu maka katanya — Nah, kau dengar, bahwa Ki Jagabaya akan mengambil alih persoalannya. —
Sabungsari yang sudah bergerak telah digamit oleh Kiai Gringsing, sehingga ia telah urung mengatakan sesuatu.
Namun kening Sabungsari berkerut ketika ia mendengar Ki Jagabaya itu dengan kasar berkata — Cepat, pergi ke pendapa. —
Bahkan Ki Jagabaya itu telah mendorong Kiai Gringsing untuk segera melangkah.
Namun Ki Demang itupun berkata — Aku akan membuka pintu pringgitan. —
Demikian pintu pringgitan terbuka, dan kemudian Ki Jagabaya melangkah keluar sambil mendorong orang-orang yang dianggap telah mencuri kambing itu, maka seisi halaman telah bergerak.
— Kita biarkan diri kita menjadi tontonan? — desis Sabungsari.
— Kita berkepentingan dengan orang-orang yang sebenarnya mencuri kambing itu — berkata Kiai Gringsing — mudah-mudahan mereka juga ada disini. Mungkin mereka dapat memberikan sesuatu bagi kita. Mungkin pengertian baru atau mungkin juga tidak berani apa-apa. —
Sabungsari mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian mengangguk-angguk.
Sejenak kemudian maka Ki Jagabaya telah meme-
rintahkan ketiga orang itu berdiri ditangga pendapa menghadap ke halaman yang luas didepan pendapa itu.
Sementara itu di pendapa Ki Demang berdiri termangu-mangu. Tetapi ia tidak banyak dapat berbuat. Meskipun seakan-akan ia telah melepaskan persoalan itu dan menyerahkannya kepada Ki Jagabaya, namun ia masih juga berdebar-debar menghadapi persoalan yang rumit itu.
— Aku sudah tidak dapat mencegahnya lagi — berkata Ki Demang didalam hatinya — persoalannya akan menjadi rumit jika orang itu benar-benar akan melakukan sebagaimana diucapkannya kepadaku. Meskipun hal itu akan menjadi tanggung jawab Ki Jagabaya, karena aku mempunyai saksi, bahwa aku sudah berusaha untuk mencegahnya. —
Tetapi sudah tentu bahwa Ki Demang tidak akan dapat tinggal diam. Seandainya terjadi sesuatu, maka sebagai pemimpin tertinggi di Kademangan itu, maka akhirnya ia harus mempertanggungjawabkannya.
Dalam pada itu, sudah terdengar teriakan-teriakan diantara mereka yang berada di halaman. Mereka menjadi tidak sabar. Apalagi setelah mereka melihat ketiga orang itu. Dua orang yang sudah meniti usia tuanya, sedangkan seorang diantara mereka masih cukup muda.
— Serahkan kepada kami — berkata orang-orang itu. Ki Jagabaya yang berdiri disebelah ketiga orang itupun
berkata lantang — Wewenang atas ketiga orang ini sudah diserahkan kepadaku. Ki Demang ternyata menjadi ragu-ragu. Mungkin Ki Demang adalah orang yang terlalu baik, sehingga ia menjadi iba ketika mendengar ketiga orang itu merengek-rengek. —
— Biarkan ketiga orang itu memberikan penjelasan — berkata Ki Demang.
— Tidak ada gunanya — berkata Ki Jagabaya — ketiganya tentu akan dapat membual, menipu, berpura-pura dan segala macam alasan yang akan dapat mengaburkan kesalahan yang telah diperbuatnya. —
— Tidak ada gunanya — teriak orang yang bertubuh tinggi — kita tinggal menjatuhkan keputusan, hukuman apa yang paling baik bagi orang itu.
— Jari-jarinyalah yang telah bersalah. Kita ambil saja jari-jarinya — teriak yang lain.
— Tidak perlu — jawab seorang anak muda — yang bersalah bukan hanya jari-jarinya. Tetapi orang itu seutuhnya. Jari-jarinya tidak akan bergerak tanpa kehendak. Nah, hukuman itu harus pantas. —
Ki Jagabaya tertawa. Katanya — Kita akan menentukan hukuman. Apa yang akan kita jatuhkan atas mereka.
***
Sumber : Koleksi Arema
Lanjut kitab 215
211
Ki Gd saya nyerah dimana kitab iii-15 disembunyikan
@ ki trio coba di klik hal 2 ditunjuk ke huruf (a)yo dicari.ingat huruf ..a..
@ Ki Trio coba dicari sesuai dengan petunjuk bahwa komentar Ki Dewo 1234 tentang Hary Wibowo.
Kira-kira pada jam 14 lewat 33 menitan.
Lihat komentar paling bawah .
Monggo para sena pati,Kitab 214
https://adbmcadangan.wordpress.com/files/2009/04/adbm-jilid-214.docx
matur sembah nuwun sanget 10000x,ki
Matur nuwun…
Walaupun selalu telat yang penting ngisi absen dulu.
Kendal-Solo-Bandung-Purwakarta-Jakarta Cibubur
ha-ha-ha-ha-
iki dudu telat maneh mas!
iki jenenge …. opo yo….
Jatah weekend saya dikerjakan Ki Kuncung.
Terimakasih Ki.
Saya jadi tidak kepikiran lagi.
Mudah-mudahan yang 15 sudah siap juga.
Bisa nyantai bersama keluarga ya Ki… 🙂