Buku IV-92

392-00

Laman: 1 2

Telah Terbit on 5 Oktober 2009 at 05:06  Comments (499)  

The URI to TrackBack this entry is: https://adbmcadangan.wordpress.com/buku-iv-92/trackback/

RSS feed for comments on this post.

499 KomentarTinggalkan komentar

  1. Matur nuwun …. akhirnya dapet juga

  2. sugeng enjing…

    sakdurunge budhal nyantrik, ngunduh kitab dhisik
    matur suwun.

  3. klenyer – klenyer, haus dahaga dah hilang makasih nyi

  4. matur nuwun Nyai Senopati.

  5. akhirnya datang juga
    matur nuwun

  6. siippppp
    ouoooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooo

  7. Oooo, tibake nunggu Jumatan! Makasih, ah!

  8. Yes …. Terima kasih Nyi Seno dan poro bebahu …

  9. Matur nuwun…..mak nyuus!

  10. mpun ngunduh, terima kasih

  11. kitab 392 sudah diundhuh. matur nuwun, …

  12. mulih jumatan langsung sedot………

  13. Tadi sebelum jumatan sudah ke Sini. Nggak perhatiin huruf O,langsung mau melihat-lihat cangkrukan para cantrik. Nggak tahunya huruf O sudah berisi.

    Terimakasih Nyi Seno.

  14. halah.. melihat pesanannya untuk happy ending banyak banget, apa bisa mbah man nampung dalam 1 buku?? jangan lupa, pasti susah gambar sampul bukunya tuh, karena banyak yang mau ditonjolkan… kalo saya, sudah saya putus sampai tongkat kedungjati dibawa ke mataram..

  15. Terima kasih

  16. Terima kasih juga

    antri lagi 3 hari ….. 🙂

  17. O..OO…OOO….OOOO…..OOOOO……OOOOOO…….OOOOOOO Ki Orel wis rawuh to ? Maturnuwun, pindah gandok sebelah.

  18. teng kyu so mat

  19. akhirnya Kitab turun juga.terima kasih nyi seno

  20. Matur nuwun Nyi Seno.

  21. Lho kok…??? podo durung absen yo..,opo podo sibuk arep plesiran..? sedelo maneh nunggu rontal 392 diwedar ,keno nggo sangu to..? ,salam selamat berlibur panjang

    • Nderek absen, ngerantos kitab engkang enggal, dipun rantos para bebahu hehehehehehehehehehe

  22. Ketingalipun kok sami adem, ayem tur semungkem ? Menopo gara2 mbenjing prei kathah. Langkung prayogi malih menawi dipun kancani 392, Mantabh

  23. Melu ngantri rontal 392 poro sadulur cantrik sedoyo…..

  24. heeeee glagah putih kapan kamu main kesini
    semua orang dah pada kagen kok malah enak-enakan
    main ketempatnya ki namas koro
    mreneoto wis tak sediani nyamikan jenag alot karo wedang sere
    jan enakeeeeeeeeeeeeee pooooooooooooooooool

    • tenane

  25. Selamat siang, ikut gabung lagi

  26. Absen yoo…..

  27. Test…..test….gak netes

  28. Aaah dua minggu yang merana

  29. Api Dibukit Menoreh
    Jilid IV – 92
    Bagian 🙂 dari 3

    GLAGAH PUTIH dan Rara Wulan itu kemudian memasuki pintu gerbang padepokan yang terbuka. Sementara seorang di antara kedua cantrik itu beranjak sambil berkata — Aku akan memberitahukan kepada Ki Widura.—
    Seorang lagi telah mempersilahkan Glagah Putih dan Rara Wulan naik ke pendapa bangunan utama padepokan itu.

    Sejenak kemudian, pintu pringgitan bangunan utama padepokan itupun terbuka. Ki Widura muncul dari ruang dalam sambil tersenyum. Orang tua itu nampak gembira menyaksikan Glagah Putih dan Rara Wulan datang berdua mengunjunginya. Sambil duduk di pringgitan itu Ki Widurapun berkata — Aku sudah merindukan kalian. Rasa-rasanya kalian sudah sangat lama tidak mengunjungi padepokan ini.—

    — Maaf, ayah. Kesibukan itu datang beruntun. Kami berdua juga baru saja mengikuti latihan-latihan bagi calon prajurit khusus. Prajurit sandi.—
    — Jadi kalian sekarang menjadi prajurit?—
    — Ya, ayah.—
    — Berdua?—
    — Ya, ayah.—
    Widura tertawa. Katanya — Aku adalah bekas prajurit. Tetapi sepengetahuanku barulah kalian yang berdua menjadi prajurit.

    Glagah Putih dan Rara Wulanpun tertawa. Sementara Widura berkata selanjutnya – Apakah kalian bersama-sama mengikuti pendadaran, kemudian bersama-sama memasuki penempaan bagi para calon prajurit dan kemudian di wisuda bersama-sama?—
    — Ya, ayah – sahut Glagah Putih, sementara Rara Wulan hanya tersenyum-senyum saja.

    Glagah Putihpun kemudian sempat menceriterakan dengan singkat bagaimana ia menjadi prajurit bersama dengan isterinya. Menceriterakan latihan-latihan yang telah mereka lakukan. Kemudian pendadaran di saat terakhir dan semua itu diakhiri dengan wisuda. Baru kemudian mereka mendapat tugas langsung dari Ki Patih Mandaraka.

    Ki Widura mengangguk-angguk. Katanya – Agaknya ada juga pengaruh dari kedudukan kakak-kakakmu, Untara dan Agung Sedayu.—
    — Semoga tidak, ayah. Kami berdua telah menjalani pendadaran yang justru sangat khusus.—
    — Apakah kalian juga menemui kesulitan? Bukankah kalian memiliki bekal yang lebih dari yang diperlukan untuk menjadi seorang prajurit?—
    — Ada juga, ayah. Sikap seorang perwira yang sangat menentukan di lingkungan para calon prajurit itu. Tetapi sokurlah, bahwa kami dapat mengatasinya—

    — Apakah masih ada kesulitan yang lain?—
    — Masih ayah – Rara Wulanlah yang menjawab.
    — Apa?—
    — Yang paling menyulitkan bagiku adalah saat-saat mandi. Apalagi jika ada yang mendahului bangun pagi-pagi. Sedangkan di sore hari aku selalu saja gelisah menjelang saat-saat mandi.—

    Widura tertawa berkepanjangan, sedangkan Rara Wulanpun berkata – Ternyata persoalan mandi itu bagiku lebih rumit dari saat-saat aku menjalani laku Tapa Ngidang. Tapa Ngidang aku lakukan di hutan. Selain kakang Glagah Putih yang ada hanyalah binatang-binatang hutan. Sedangkan saat aku mengikuti latihan-latihan menjelang ditetapkan menjadi prajurit, aku berada di satu barak yang semuanya terdiri dari laki-laki.—

    Widura masih saja tertawa. Katanya kemudian disela-sela tertawanya – Semakin berat laku yang harus kau tempuh maka hasilnya tentu akan lebih baik.—
    — Ya, ayah – jawab Rara Wulan. Pembicaraan merekapun terhenti. Seorang cantrik telah menghidangkan minuman dan makanan.
    — Silahkan kakang Glagah Putih dan mbokayu Rara Wulan-cantrik itu mempersilahkan.

    — Terima kasih – sahut keduanya hampir bersamaan. Ki Widurapun kemudian telah mempersilahkan mereka juga – Minumlah. Makanlah. Hanya makanan macam itu yang ada di padepokan ini.—
    — Bukankah sejak kecil aku senang sekali makan pondoh dengan dendeng ragi.—
    Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian menghirup minuman hangat dan sepotong pondoh jagung dengan dendeng ragi.

    Sementara itu, di ruang dalam, seorang cantrik telah mempersiapkan hidangan makan kepada Glagah Putih dan Rara Wulan. Setelah semuanya siap, maka cantrik itu telah menghadap Ki Widura untuk memberitahukan, bahwa makan bagi tamu mereka sudah siap.

    — Silahkan makan dahulu – berkata Widura kemudian – perjalanan kalian cukup panjang. Bukankah kalian tidak singgah di kedai di sepanjang perjalanan kalian dari Mataram?—
    —Tidak ayah. Di Mataram, kami sudah makan pagi. Ki Patih telah menyediakan makan pagi khusus bagi kami—
    — Nah, sekarang silahkan makan siang.—
    — Pondoh jagung itu telah membuat kenyang.—
    — Bukankah kau baru makan sepotong – sahut Ki Widura. Glagah Putih tersenyum, sementara Ki Widura berkata – Pada masa kecilnya, Glagah Putih selalu memegang dua potong. Satu di tangan kiri, satu di tangan kanan.—
    Rara Wulanpun tertawa tertahan-tahan pula.

    Demikianlah, maka sejenak kemudian Glagah Putih dan Rara Wulan itupun telah dipersilahkan untuk makan di ruang dalam.
    — Bagaimana dengan ayah?— bertanya Glagah Putih.
    — Aku baru saja makan – sahut Ki Widura. Tetapi meskipun Ki Widura tidak makan namun ia duduk menunggui Glagah Putih dan Rara Wulan makan. Sambil makan Glagah Putih serba sedikit telah mengatakan tugas apakah yang harus diembannya sehingga ia harus melawat ke Timur.

    Baru setelah Glagah Putih dan Rara Wulan selesai makan, serta mereka duduk kembali di pringgitan, Glagah Putihpun mulai bertanya tentang orang yang mengaku bernama Pangeran Ranapati.
    — Apakah ayah mengenalnya?—

    — Aku belum mengenalnya secara pribadi, Glagah Putih. Tetapi aku tahu, bahwa di lereng Gunung Merapi arah Timur, jadi di arah kita sekarang ini, bertapa seorang yang dikenal bernama Pangeran Ranapati. Ia adalah putera Panembahan Senapati yang tersingkir, sehingga orang itu harus berusaha melupakan sakit hatinya kepada ayahandanya.—
    Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian bertanya – Apakah ayah tahu sikap pribadinya?—

    Ki Widura itupun termangu-mangu sejenak. Dengan nada dalam iapun kemudian berkata – Seperti sudah aku katakan, Glagah Putih. Bahwa secara pribadi aku tidak mengenalnya. Tetapi menurut pendengaranku, Pangeran Ranapati, karena ia merasa seorang keturunan langsung dari Panembahan Senapati, maka ia telah membuat jarak dengan orang-orang disekitarnya. Di padepokannya ia bersikap seperti seorang penguasa, sehingga setiap orang yang berada di padepokannya, sangat takut dan menghormatinya.—

    — Menurut pendengaranku ayah, Pangeran Ranapati adalah orang yang ramah. Ia juga menyebut dirinya Ki Singa Wana.—
    — Memang ada yang mengatakan bahwa Pangeran Ranapati adalah seorang yang ramah. Tetapi di balik keramahannya, ia adalah seorang yang mempunyai harga diri sangat tinggi. Ia bersikap ramah karena ia ingin mendapat pujian dari orang-orang yang mengenalnya. Keramahannya bukan keramahan yang tulus.—
    — Ayah – berkata Glagah Putih kemudian – menurut Ki Patih Mandaraka, Pangeran Ranapati yang mengaku putera Lembu Peteng dari Panembahan Senapati itu telah berbohong. Ia bukan putera Panembahan Senapati.—

    Ki Widura mengangguk-angguk. Katanya – Memang mudah sekali mengaku putera Panembahan Senapati untuk satu kepentingan tertentu. Tidak akan ada orang yang berusaha membuktikannya. Apalagi para muridnya serta orang-orang yang tinggal disekitar padepokannya. Demikian ia mendengar bahwa pemimpin padepokan itu adalah putera Panembahan Senapati, maka orang-orang disekitarnyapun segera berlutut untuk menyembahnya.—

    — Sekarang Pangeran Ranapati itu meninggalkan padepokannya.—
    — Ya. Pangeran Ranapati sedang bepergian untuk waktu yang tidak ditentukan.—
    — Ayah. Pada saat itu Kangjeng Sinuhun di Mataram telah menugaskan Pangeran Jayaraga untuk memimpin pemerintahan dari Panaraga. Sementara itu, orang yang mengaku Pangeran Ranapati itupun telah meninggalkan padepokannya pula.—
    — Ki Patih menduga, bahwa kepergian orang yang mengaku bernama Pangeran Ranapati itu ada hubungannya dengan penugasan Pangeran Jayaraga di Panaraga.—

    — Ya. Meskipun hanya sekedar dugaan. Bahkan dugaan yang diwarnai oleh keragu-raguan. Jika saja kepergian Pangeran Ranapati itu dilandasi oleh kemauan yang baik, sokurlah. Tetapi jika sebaliknya, maka ia dapat mengacaukan pemerintahan Pangeran Jayaraga.—
    — Glagah Putih – berkata Ki Widura – untuk tugas itu, kau memang harus mempunyai bahan dari padepokan Pangeran Ranapati. Untuk itu, kau perlu waktu sehari dua hari. Bukankah tugasmu tidak harus selesai esok atau lusa? Agaknya kau mempunyai waktu yang agak longgar.—

    — Ya, ayah. Aku akan tinggal disini sehari dua hari. Aku juga akan menghubungi kakang Untara. Mungkin kakang Untara mempunyai beberapa keterangan tentang Pangeran Ranapati atau yang juga menyebut dirinya Ki Singa Wana.—
    — Bagus. Kau dapat berbicara dengan para prajurit dalam tugas sandi yang bertugas dalam kesatuan yang dipimpin oleh kakakmu Untara. Mungkin mereka sudah mendapatkan beberapa keterangan tentang Pangeran itu.—
    Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya – aku akan menemui kakang Untara.—

    — Bukankah kau tidak tergesa-gesa? Kau tidak perlu pergi menemui Untara sekarang. Mungkin besok atau lusa. Beristirahatlah di padepokan ini barang sepekan. Kau tidak akan terlambat.—
    Glagah Putih tersenyum sambil berpaling kepada Rara Wulan – Sebenarnya kita senang sekali beristirahat disini barang sepekan. Tetapi jika Ki Patih mengetahui bahwa kita ada disini sampai sepekan, maka kenaikan pangkat kita akan tertunda seratus pekan.—
    — Kalian berdua sudah tidak memerlukan pangkat lagi. Yang kalian perlukan adalah tugas-tugas yang penting seperti yang kau lakukan sekarang. Tetapi tugas-tugas itu tidak dibatasi waktu.—

    Glagah Putih dan Rara Wulan tertawa. Dengan nada tinggi Glagah Putih berkata – Jika kami tidak menjadi prajurit, maka waktu istirahat kami akan jauh lebih panjang.— Ki Widurapun tertawa pula. Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan memang tidak memutuskan untuk pergi menemui Ki Tumenggung Untara hari itu. Mereka masih ingin istirahat di padepokan kecil yang sejuk itu. Berbincang dengan para cantrik yang jumlahnya tidak terlalu banyak. Namun yang dengan sangat tekun melakukan kewajibannya. Baik kewajiban mereka sebagai murid yang sedang menuntut ilmu, maupun kewajiban mereka sebagai cantrik yang memelihara dan mencukupi kebutuhan padepokan mereka.

    Ketika kemudian senja turun, maka beberapa orang cantrik yang terhitung sudah berada dalam tataran yang tinggi memasuki sanggar padepokan sebagaimana biasanya. Glagah Putih dan Rara Wulan yang kebetulan berada di sanggar itu minta ijin kepada Ki Widura untuk menyaksikan para cantrik tertua itu berlatih.
    — Baik – jawab Ki Widura – tidak ada keberatan apa-apa. Aku yakin bahwa kalian tidak akan mencuri aliran yang ada di perguruan ini, karena Glagah Putih termasuk salah satu murid utama Kiai Gringsing.—

    Glagah Putih dan Rara Wulan tertawa. Padepokan itu adalah padepokan yang didirikan oleh Kiai Gringsing. Tetapi murid-murid utamanya justru tidak berada di padepokan itu. Ki Rangga Agung Sedayu, Swandaru dan kemudian Glagah Putih. Hanya Ki Widura, yang umurnya paling tua diantara mereka namun adalah murid utama yang termuda dari Kiai Gringsinglah yang tetap berada di padepokan serta melestarikannya. Namun sebenarnyalah bahwa ilmu yang dikuasai oleh Ki Widura tidak hanya ilmu yang diturunkan oleh Kiai Gringsing. Namun Ki Widurapun telah berusaha untuk mengisi ilmu dari aliran yang satu dengan aliran yang lain. Tentu saja dengan mempelajari sifat dan watak dari ilmu itu, sehingga yang disatukan adalah ilmu yang karena sifat dan wataknya dapat luluh yang satu dengan yang lain, saling mengisi dan saling mendukung tanpa menimbulkan gejolak.

    Beberapa saat kemudian, maka para cantrik itupun mulai berlatih. Glagah Putih dan Rara Wulan berdiri saja di pinggir sambil memperhatikan latihan yang semakin lama menjadi semakin seru. Para cantrik itu telah menunjukkan kecepatan gerak mereka serta kekuatan tenaga dalam mereka.

    Glagah Putih dan Rara Wulan mengagguk-angguk. Murid-murid Ki Widura telah menjadi semakin perkasa. Mereka telah menjadi orang-orang yang berilmu tinggi. Nampaknya Widura benar-benar telah menempa beberapa orang muridnya untuk menjadi orang-orang terbaik yang pada suatu saat nanti keluar dari padepokan kecilnya. Seperti yang sering dikatakan, bahwa Widura tidak terlalu memikirkan jumlahnya. Tetapi ia lebih memikirkan kedalaman murid-muridnya menguasai ilmunya meskipun jumlahnya tidak banyak.

    Glagah Putih dan Rara Wulanpun ikut bangga melihat perkembangan perguruan yang semula dipimpin oleh Kiai Gringsing itu. Dalam keadaan yang gawat, Glagah Putih dan Rara Wulan dapat saja minta bantuan mereka. Dengan jumlah yang kecil, mereka dapat memiliki kekuatan yang besar. Bahkan mungkin lebih besar dari sekelompok prajurit yang jumlahnya dua kali lipat.

    Namun ketika latihan para murid dari tataran yang sudah tinggi di padepokan itu selesai, maka tiba-tiba saja seorang diantara mereka ada yang berkata – Sekarang giliran kakang Glagah Putih dan mbokayu Rara Wulan.—
    — Ya – Seorang yang lain menyahut – kita ingin mendapat tambahan wawasan yang lebih luas tentang olah kanuragan.—
    — Setuju. Setuju – teriak yang lain lagi.
    — Aku sangat lelah – sahut Glagah Putih.
    Tetapi diluar dugaan seorang menyahut – Nanti kami beramai-ramai memijat.—

    Glagah Putih dan Rara Wulanpun tertawa pula. Namun akhirnya mereka tidak dapat mengelak lagi. Apalagi ketika Ki Widurapun berkata – Tunjukkan kepada mereka, Glagah Putih dan Rara Wulan, seperti yang mereka katakan, agar mereka mendapat wawasan ilmu yang lebih luas.—
    Glagah Putihpun kemudian sambil tersenyum berkata – ternyata kita telah dihadapkan pada satu keharusan tanpa dapat menghindar lagi.—
    Rara Wulanpun tersenyum pula. Katanya – Apa boleh buat. Tetapi jangan salahkan kami jika yang kalian lihat justru tidak seperti yang kalian harapkan.—
    Demikianlah, maka sejenak kemudian keduanya telah berdiri di tengah-tengah sanggar. Rara Wulan telah menyingsingkan kain panjangnya serta mengenakan pakaian khususnya.

    Sejenak mereka berdua memandang berkeliling. Mereka ingin mengenali sanggar itu meskipun mereka sudah sering mempergunakannya. Tetapi sanggar itu tidak seluas dan selengkap sanggar di Kepatihan.
    — Silahkan mulai Glagah Putih dan Rara Wulan.- berkata Ki Widura kemudian.
    Demikianlah kedua orang itupun segera mempersiapkan diri. mereka mulai dengan gerakan perlahan-lahan. Namun kemudian semakin lama menjadi semakin cepat. Mereka berloncatan seperti sepasang” burung srikatan memburu belalang di rerumputan. Namun kemudian keduanyapun telah menunjukkan tingkat tenaga dalam mereka dengan benturan-benturan yang mendebarkan.

    Seperti ketika mereka berada di sanggar Kepatihan, maka sanggar itupun bagaikan bergetar. Keduanya berloncatan dengan kecepatan yang sangat tinggi, sehingga kaki mereka seakan-akan tidak menyentuh tanah. Bahkan kemudian merekapun telah melenting tinggi dan hinggap diujung patok-patok yang tidak sama besar dan sama tingginya. Tetapi demikian kaki mereka menyentuh ujung patok-patok itu, maka rasa-rasanya kaki mereka dengan lunak telah melekat sehingga mereka tidak dapat terjatuh. Keseimbangan agaknya telah mereka kuasai dengan sebaik-baiknya. Penguasaan tubuh serta pemanfaatan bagian-bagian tubuh yang dapat menjadi senjata yang berbahaya.

    Para cantrik yang sudah sampai pada tataran yang tinggi itupun masih saja menjadi terheran-heran melihat ketangkasan kedua orang suami isteri itu. Sebenarnyalah bahwa mereka benar-benar dapat memperluas wawasan mereka tentang olah kanuragan. Mereka merasa bahwa apa yang sudah mereka kuasai itu masih jauh dari tataran ilmu yang benar-benar mapan.

    Beberapa saat kemudian, setelah Glagah Putih dan Rara Wulan memperlihatkan bermacam-macam unsur gerak yang rumit, maka mereka pun mulai memperlambat gerakan-gerakan mereka, sehingga akhirnya keduanya pun berhenti. Keduanyapun kemudian mengangkat tangan mereka perlahan-lahan sambil menarik nafas dalam-dalam. Apalagi para cantrik, bahkan dada Ki Widura sendiri menjadi berdebar-debar. Ternyata anak dan menantunya itu telah menguasai ilmu yang sangat tinggi.

    Secara jujur Ki Widura harus mengakui, bahwa ia sendiri masih belum mencapai tataran ilmu sebagaimana Glagah Putih dan Rara Wulan. Sedangkan Ki Widura yakin, bahwa apa yang diperlihatkan oleh Glagah Putih dan Rara Wulan itu tentu masih ada yang tersisa. Justru yang berada di tataran tertinggi.
    — Terima kasih Glagah Putih dan Rara Wulan – berkata Ki Widura kemudian – apa yang kalian perlihatkan adalah satu tataran ilmu yang sangat tinggi. Dengan demikian kamipun menyadari, bahwa apa yang telah kami capai barulah permulaan dari satu pencapaian yang jauh.—
    — Tidak, ayah. Jika para cantrik mau bekerja lebih keras, maka mereka akan segera dapat menyusul.—

    — Apapun yang kami lakukan, kakang – berkata seorang cantrik – rasa-rasanya sulit untuk mencapai tataran setinggi kakang Glagah Putih dan mbokayu Rara Wulan.—
    — Jangan merendahkan diri sendiri – sahut Glagah Putih -apa bedanya kau dan aku? Mungkin aku lebih beruntung karena aku mendapat lebih banyak kesempatan. Tetapi bersama-sama dengan ayah, kalian akan dapat berbuat lebih banyak lagi.—
    Para cantrik itupun mengangguk-angguk. Tetapi Ki Widura sudah terlalu tua untuk dapat bekerja lebih keras lagi. Tetapi pengarahan dan petunjuknya akan sangat berarti bagi perkembangan ilmu mereka.

    Sejenak kemudian, setelah beristirahat beberapa saat, Ki Widura, para cantrik serta Glagah Putih dan Rara Wulan itupun keluar dari sanggar. Bergantian mereka pergi ke pakiwan setelah keringat mereka kering. Glagah Putih dan Rara Wulan masih duduk beberapa saat di pringgitan bersama Ki Widura. Namun kemudian Ki Widurapun mempersilahkan Glagah Putih dan Rara Wulan untuk beristirahat.
    — Tidurlah. Kalian tentu letih. Besok kalian masih akan menemui Untara dan barangkali naik memanjat kaki Gunung Merapi.—

    Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian pergi ke bilik yang sudah disiapkan bagi mereka. Mereka memang merasa letih. Sehingga merekapun segera membaringkan dirinya dan tertidur nyenyak. Seperti biasanya, merekapun bangun pagi-pagi sekali. Ternyata beberapa orang cantrik telah bangun pula. Disusul oleh beberapa orang yang lainnya, sehingga padepokan itupun mulai menjadi hidup. Terdengar suara sapu lidi di halaman depan, halaman samping dan bahkan di halaman belakang dengan iramanya yang khusus. Sementara itu, terdengar pula derit senggot timba di ketiga buah sumur yang ada di padepokan itu.

    Seperti di kepatihan, Glagah Putih dan Rara Wulan tidak mendapat kesempatan untuk berbuat apa-apa. Segala sesuatunya sudah dilakukan oleh para cantrik.
    Karena itu, maka Glagah Putih dan Rara Wulan itupun kemudian pergi bergantian ke pakiwan untuk mandi. Setelah mandi, Glagah Putihpun tidak sempat mengisi bambangan di pakiwan yang airnya baru saja dipakainya untuk mandi, karena seorang cantrik telah mengisinya.

    Demikian keduanya selesai mandi dan berbenah diri, mereka melihat Ki Widura baru saja keluar dari sanggar.
    — Ayah sudah dari sanggar – desis Glagah Putih.
    — Hanya sekedar untuk menghangatkan tubuh – sahut Ki Widura – sebagian anak-anak memanaskan tubuh mereka dengan berlari-larian di kaki Gunung, selain yang bertugas di padepokan.—
    — Mereka memanjat naik?—

    — Tidak. Tetapi mereka memilih lingkungan yang tidak datar. Sedikit tebing dan lembah yang tidak terlalu curam. Mereka sering berpapasan dengan para prajurit dari barak Untara. Tetapi mereka sudah terbiasa dan saling mengenal. Sebagian dari para prajurit itu, juga sering melintasi lorong-lorong yang dipilih oleh para cantrik. Yang mempunyai beberapa ragam yang berbeda. Ada yang naik, ada yang turun, ada yang datar, ada yang miring dan ada yang harus meloncat parit-parit yang agak lebar, memanjat lereng berbatu padas dan semacamnya. Lorong itu ternyata disukai oleh para cantrik dan juga oleh para prajurit untuk menghangatkan tubuh mereka di pagi hari.—

    — Sekaligus untuk meningkat ketrampilan tubuh mereka -desis Glagah Putih.
    Beberapa saat kemudian, Widurapun telah selesai berbenah diri. Bersama Glagah Putih dan Rara Wulan, maka Widurapun kemudian duduk di pringgitan sambil minum minuman hangat.
    — Ayah – berkata Glagah Putih kemudian – kami akan minta diri untuk pergi menemui kakang Untara. Mungkin kakang Untara atau petugas sandinya dapat berbicara tentang Pangeran Ranapati yang juga menyebut dirinya Ki Singa Wana.—

    — Baik. Tetapi kalian akan dapat berbicara dengan seorang cantrik yang mengetahui serba sedikit tentang orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati. Cantrikku ini rumahnya tidak terlalu jauh dari padepokan orang yang menyebut diri Pangeran Ranapati. Semalam aku sudah berbicara serba sedikit dengan cantrik itu.
    — Baik, ayah. Aku akan menemuinya.—

    — Biarlah aku memanggilnya.—
    Ki Widura itupun kemudian bangkit berdiri dan masuk ke ruang dalam. Namun beberapa saat kemudian, Ki Widura itu telah kembali duduk di pringgitan. Dari halaman samping, seorang cantrikpun telah naik ke pendapa dan duduk pula bersama Glagah Putih dan Rara Wulan.
    — Nah, ceriterakan apa yang kau ketahui tentang seseorang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu – berkata Ki Widura kemudian.

    Cantrik itupun menarik nafas panjang. Kemudian setelah beringsut setapak iapun berkata – Beberapa hari yang lalu, aku minta ijin kepada guru untuk pulang, karena kakak perempuanku akan menikah. Waktu itulah aku mendengar ceritera tentang orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati. Seorang yang menurut kata orang yang mengenalnya, adalah seorang yang baik hati. Seorang yang ramah dan dapat bergaul dengan segala lapisan masyarakat yang tinggal didekat padepokannya. Ia sama sekali tidak membeda-bedakan, apakah ia seorang yang kaya, yang miskin, yang tua atau yang muda. Semua ditanggapi dengan sikap yang sama—

    Glagah Putih sambil mengangguk-angguk berdesis – Jadi benar kata orang, bahwa orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati adalah seorang yang ramah dan baik hati.—
    — Tetapi di balik keramahannya itu, ternyata terdapat ceritera yang lain, kakang. Para cantriknya sangat takut kepadanya karena sikapnya yang keras. Ia tidak saja bersikap sebagai seorang guru dihadapan murid-muridnya. Tetapi lebih mirip dengan sikap seorang tuan terhadap hamba-hambanya.—
    — Apakah muridnya cukup banyak? – bertanya Glagah Putih.

    — Anehnya, muridnya cukup banyak. Namun kemudian aku ketahui, bahwa mereka yang sudah terlanjur menjadi muridnya akan sulit untuk melepaskan dirinya. Orang yang menyebut dirinya bernama Pangeran Ranapati itu tidak segan-segan mengancam jika seseorang berniat meninggalkan padepokannya. Ancaman itu tidak tanggung-tanggung. Yang kemudian terancam adalah jiwa murid yang ingin mengundurkan diri itu. Bahkan keluarganya. Namun dibalik itu, Pangeran Ranapati yang pandai berbicara itu, selalu membuat janji-janji. Jika pada saatnya ia naik tahta Mataram, maka para cantriknya akan ikut mukti wibawa.—

    Glagah Putih mengangguk-angguk pula. Ia membayangkan bahwa orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu adalah seorang yang sangat licik. Ia dapat bersikap baik sekali, tetapi sebenarnyalah ia adalah seorang yang keras hati, dengki dan bermimpi untuk memiliki kekuasaan yang sangat tinggi, sehingga ia berani mengaku dirinya sebagai putera Panembahan Senapati.—
    Dengan nada berat Glagah Putihpun kemudian bertanya -Apakah benar. Pangeran Ranapati itu kini sedang tidak berada di padepokannya?—

    — Ya – jawab Cantrik itu – sejak beberapa waktu yang lalu, Pangeran Ranapati sedang meninggalkan Padepokannya. Pimpinan padepokannya sekarang berada di tangan seorang Putut yang tidak kalah garangnya. Tetapi di luar padepokan, ia tidak kalah ramahnya dengan Pangeran Ranapati. Putut Wintala inilah yang sering mengunjungi orang-orang yang tinggal di padukuhan di dekat padepokannya. Ketika pada suatu saat aku kebetulan bertemu dengan Putu Wintala di banjar padukuhan, pada saat aku pulang karena kakak perempuanku menikah beberapa hari yang lalu, justru minta kepadaku untuk bergabung saja di padepokannya.—

    — Pada saat itu Pangeran Ranapati masih ada di padepokan atau sudah pergi?—
    — Pangeran Ranapati sudah pergi. Menurut Putut Wintala, Pangeran Ranapati sedang mempersiapkan diri untuk pada suatu hari hadir di Mataram. Ia akan menuntut haknya, karena menurut Putut Wintala, Pangeran Ranapati adalah putera tertua Panembahan Senapati. Ia mempunyai beberapa orang saksi yang akan dapat mendukung pengakuannya itu. Antara lain adalah Ki Patih Mandaraka.—

    Ternyata orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati memang seorang yang licik. Ia telah menyebut nama Ki Patih Mandaraka sebagai seorang yang akan bersedia memberikan kesaksian tentang dirinya. Cantrik itupun berkata pula – Menurut Putut Wintala, setelah Pangeran Ranapati berhasil, maka aku tentu akan mendapat tempat yang sangat baik. Sedangkan jika aku tetap berada di padepokan kecil di Jati Anom ini, untuk seterusnya aku tidak akan dapat mengharap apa-apa lagi. Selamanya aku hanya akan tetap saja menjadi cantrik. Mungkin setelah aku dianggap tuntas menuntut ilmu di padepokan ini, aku pulang ke padukuhan dan kembali menjadi seorang petani. Dengan nada meremehkan Putut Wintala itupun berkata, buat apa aku berguru menghabiskan waktu, jika akhirnya aku kembali turun ke dalam lumpur di sawah.—

    — Lalu apa jawabmu?-
    — Aku tidak ingin menyinggung perasaannya, karena keluargaku tinggal tidak jauh dari padepokannya, maka aku katakan kepadanya, bahwa aku akan memikirkannya.—
    — Kau tahu tingkat ilmu Pangeran Ranapati?—
    — Ilmunya memang sangat tinggi. Tetapi aku belum pernah melihat langsung seberapa tingginya ilmunya itu.—
    Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara cantrik itupun berkata – Menurut pendengaranku, demikian tinggi ilmunya, sehingga Pangeran Ranapati itu mampu menjaring angin.—

    Glagah Putih menarik nafas panjang. Iapun selalu ingat pesan Ki Patih Mandaraka, bahwa orang yang mengaku bernama Pangeran Ranapati itu adalah orang yang berilmu tinggi. Yang agaknya sudah agak lama berada di bawah pengawasan para prajurit sandi Mataram.
    — Apakah kau pernah menyaksikan tingkat ilmu para muridnya atau bahkan Putut Wintala itu sendiri?— Cantrik itupun menggeleng. Katanya – Agaknya mereka juga merahasiakan aliran ilmu mereka. Apalagi mereka tahu, bahwa aku adalah cantrik dari padepokan di Jati Anom ini. Bagaimanapun juga terasa nafas persaingan pada sikap dan kata-katanya, meskipun tidak terbuka.—

    Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya kemudian -Terima kasih atas keteranganmu. Mudah-mudahan kakang Untara akan melengkapi keteranganmu.— Ki Widuralah yang kemudian berkata kepada cantrik itu -Keteranganmu sudah cukup. Mudah-mudahan kau akan mendapat keterangan baru.—
    — Kalau saja aku diijinkan pulang – berkata cantrik itu agak ragu.

    — Ayah – berkata Glagah Putih kemudian – bagaimana kalau ayah mengijinkan cantrik ini pulang barang satu dua hari. Kami berdua akan ikut bersamanya. Mungkin kami dapat disebut sepupunya atau apanya agar aku dapat tinggal di rumahnya.- Ki Widura termangu-mangu sejenak. Dipandanginya cantrik itu dengan sikap ragu.—
    — Bagaimana pendapatmu? – bertanya Ki Widura kemudian – apakah dengan demikian keluargamu tidak terganggu?—

    — Tidak – jawab cantrik itu dengan serta-merta – setelah kakak perempuan menikah dan ikut suaminya, maka rumahku menjadi sepi. Saudara-saudaraku juga sudah tinggal di rumah mereka masing-masing. Yang tinggal hanyalah ayah dan ibuku serta seorang kemenakan laki-laki yang masih remaja. Karena itu, jika kakang Glagah Putih dan mbokayu Rara Wulan akan berada di rumahku dua tiga malam, ayah dan ibuku tentu akan senang sekali.—

    — Apakah kami tidak akan menimbulkan persoalan antara keluargamu dengan orang-orang dari padepokan itu?—
    — Tidak. Bukankah tidak akan terjadi apa-apa? Bukankah aku dapat mencari keterangan tanpa menarik perhatian mereka. Atau bahkan aku dapat berbicara langsung dengan mereka. Ada beberapa yang aku kenal antara lain Putut Witala itu sendiri.—
    Ki Widura mengangguk-angguk. Katanya – Baiklah. Kau dapat pulang. Biarlah Glagah Putih dan Rara Wulan ikut bersamamu—

    — Jika demikian, aku akan berkemas sebentar. Bukankah kakang Glagah Putih dan mbokayu Rara Wulan sudah siap untuk berangkat?—
    — Mereka akan pergi menemui Tumenggung Untara — Cantrik itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun bertanya – Jadi?—
    — Bersiap-siap sajalah. Glagah Putih dan Rara Wulan akan pergi ke barak prajurit di Jati Anom. Tentu tidak akan terlalu lama. Kalian nanti dapat berangkat menjelang atau bahkan sedikit lewat tengah hari.—
    — Baik, guru – jawab cantrik itu.
    — sekarang kau dapat kembali ke tugasmu.—
    — Baik, guru.—

    Cantrik itupun kemudian meninggalkan pringgitan. Nanti, setelah Glagah Putih dan Rara Wulan kembali dari barak prajurit di Jati Anom, ia akan pergi bersama mereka naik kaki Gunung Merapi. Ia dapat tinggal dirumahnya selama satu atau dua hari.—
    Sementara itu, Ki Widurapun mempersilahkan Glagah Putih dan Rara Wulan untuk makan pagi di ruang dalam sebelum mereka pergi ke barak Untara.

    Demikianlah, beberapa saat kemudian, ketika matahari mulai naik, maka Glagah Putih dan Rara Wulan itupun telah meninggalkan padepokan kecil yang dipimpin Ki Widura itu untuk pergi menemui Untara, seorang Tumenggung yang bertugas memimpin sepasukan prajurit Mataram yang ditempatkan di Jati Anom. Kedatangan Glagah Putih dan Rara Wulan memang agak mengejutkan Untara.
    Demikian mereka duduk, Untarapun segera bertanya -Bukankah kalian baik-baik saja?—
    —Ya, kakang. Kami baik-baik saja. Demikian pula keluarga di Tanah Perdikan Menoreh.—
    — Bukankah kakangmu Agung Sedayu sudah diwisuda menjadi seorang Rangga?—

    — Ya, kakang. Kami berduapun juga sudah diwisuda.—
    — Ya. Aku dengar kalian sekarang benar-benar menjadi prajurit. Aku kira kalian tidak tertarik untuk menjadi prajurit. Apalagi kalian sudah sering melakukan tugas-tugas sandi meskipun kalian bukan prajurit.—
    — Sekarang aku merasa berada di dalam, kakang. Selama ini aku merasa berada di luar. Perintah-perintah Ki Patih hanya diberikan sambil menjenguk jendela. Tetapi sekarang aku sudah boleh duduk di dalam. Rasa-rasanya aku dan Rara Wulan sudah diperkenankan masuk lewat pintu yang terbuka — Untara tertawa.

    — Sekarang, apakah kau sedang menjalani tugas, atau kau sedang mendapat kesempatan beristirahat sebelum kalian masuk ke dalam tugas-tugas kalian?—
    Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Baru kemudian Glagah Putih menjawab — Kami sedang menjalankan tugas yang diperintahkan langsung oleh Ki Patih Mandaraka. —
    Ki Tumenggung Untara itupun mengangguk-angguk. Dengan nada dalam Ki Tumenggung berkata — Bedanya, kalian sekarang adalah prajurit. —
    — Ya, kakang – jawab Glagah Putih.
    — Apakah tugas kalian tugas rahasia atau tugas yang boleh aku ketahui ? —
    — Aku justru datang untuk minta bantuan kakang. —
    — Apa yang dapat aku bantu ?—

    Glagah Putihpun kemudian telah menceritakan tugas yang dibebankan kepadanya. Melacak orang yang mengaku bernama Pangeran Ranapati ke Timur. Orang yang pernah bertapa dan memimpin sebuah padepokan di lereng Timur Gunung Merapi. Ki Tumenggung Untara mengangguk-angguk. Ki Tumenggung itupun kemudian bertanya — Bukankah kau sudah singgah dipadepokan paman Widura ? —
    — Ya, kakang. —
    — Kau sudah mendengar beberapa keterangan dari paman Widura tentang orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati ? —
    — Keluarga seorang cantrik tinggal tidak terlalu jauh dari padepokan yang dipimpin oleh orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu. Cantrik itulah yang bercerita tentang Pangeran itu. Iapun bercerita tentang seorang putut yang dikenalnya, Putut Witala. —

    Ki Tumenggung itupun mengangguk-angguk. Iapun kemudian justru bertanya — Apakah cantrik itu tahu bahwa orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu telah meninggalkan padepokannya sebagaimana dikatakan oleh Ki Patih Mandaraka sehingga kau harus melacaknya ke Timur ? —
    — Sudah kakang. Ketika cantrik itu mendapat kesempatan pulang, Pangeran Ranapati itu sudah pergi. —

    Ki Tumenggung itupun mengangguk-angguk pula. Kemudian dengan nada datar Ki Tumenggung itupun berkata — Tidak banyak yang kami ketahui, Glagah Putih. Mungkin tidak akan lebih banyak dari keterangan cantrik di padepokan paman Widura itu. Namun satu hal yang mencurigakan bagi kami, agaknya keterangannya bahwa ia adalah putera Panembahan Senapati itu sangat meragukan. Seorang petugas candi pernah mencoba menelusuri, siapakah ibu dari orang yang mengaku Pangeran Ranapati itu. Menurut beberapa keterangan yang sengaja digelar, bahwa ibunya telah meninggal. Tetapi seorang petugas sandi pernah mendapat keterangan, bahwa seorang perempuan mengaku bahwa Pangeran Ranapati itu adalah anaknya.—

    Glagah Putih mengerutkan dahinya, sementara Rara Wulanpun berkata — Ki Patih juga mengatakan, bahwa Pangeran Ranapati itu tentu bukan putera Lembu Peteng Panembahan Senapati. Ki Patih tahu benar kehidupan Panembahan Senapati sejak remajanya. Ki Patih meyakini, bahwa Panembahan Senapati tidak pernah berhubungan dengan perempuan yang kemudian melahirkan orang yang mengaku bernama Pangeran Ranapati itu. —

    — Ya, Ki Patih yang dahulu disebut Ki Juru Mertani itu tentu tahu benar jalan kehidupan Panembahan Senapati sejak masih disebut,Sutawijaya dan kemudian bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar. Ki Patih tentu mengenal putera-putera Panembahan Senapati, sejak putera yang lahir dari Nyai Semangkin yang bernama Raden Rangga, kemudian putera yang lahir dari Rara Lembayung yang kemudian bergelar Pangeran Purbaya, serta putera-puteranya yang lain dari isteri-isterinya yang lain, Nyai Adisara, Nyai Bramit, Nyai Riya Suwanda dan lain-lain. —

    —- Ya, kakang. Sedangkan perempuan yang disebut ibu orang yang mengaku Pangeran Ranapati itu tidak dikenal oleh Ki Patih. Apalagi kalau ada perempuan lain yang mengaku sebagai ibunya. —
    — Tetapi aku berani meyakini, bahwa orang itu memang bukan putera Panembahan Senapati. Jika ia memang putera Panembahan Senapati, maka ia akan dapat menghadap Panembahan Senapati semasa hidupnya. Bahkan mungkin bersama ibunya. Meskipun Panembahan Senapati tidak lagi dapat menerima perempuan itu, tetapi jika benar anak itu adalah anaknya, maka tetap saja ia putera Panembahan Senapati. —

    — Itulah yang ingin aku ketahui, kakang. Aku ingin mencari keterangan lebih jauh tentang orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati sebelum aku melacaknya ke Timur. —
    — Kau tidak akan mendapat banyak keterangan tentang orang itu. Tetapi kau dapat mencobanya. Tetapi kau harus berhati-hati. Para muridnya yang ditinggalkannya terlanjur menganggap pemimpinnya itu putera Panembahan Senapati yang pantas disembah. Karena itu, maka para muridnya menjadi sangat setia kepadanya. Bukan saja sebagai seorang murid dari sebuah perguruan, tetapi mereka berharap bahwa mereka akan dapat menikmati kamukten jika Pangeran Ranapati itu berhasil menggapai kedudukan tertinggi di Mataram. Atau setidak-tidaknya mendapat pangkat dan jabatan yang tinggi. —

    Glagah Putih dan Rara Wulan itupun mengangguk-angguk. Dengan ragu-ragu Glagah Putihpun bercerita tentang rencananya untuk pergi memanjat kaki Gunung Merapi itu bersama cantrik dari padepokan yang dipimpin oleh Ki Widura itu.
    — Pergilah. Tetapi kau harus sangat berhati-hati. —

    Glagah Putih dan Rara Wulan masih berbincang beberapa saat dengan Ki Tumenggung Untara. Mereka berhenti sejenak ketika dihidangkan minuman hangat dan beberapa potong makanan. Sambil menghirup minuman hangat, Ki Tumenggung Untarapun berkata — Sayang, kau tidak dapat bertemu dengan Sabungsari. Sudah dua hari ini Sabungsari aku tugaskan ke Mataram yang mungkin sekali Sabungsari harus pergi ke Ganjur.
    — Sabungsari — sahut Glagah Putih dengan serta-merta — sudah lama sekali aku tidak bertemu dengan kakang Sabungsari. Ketika kita pergi ke Demak, aku juga tidak melihatnya. —
    — Waktu itu Sabungsari tidak ikut pergi ke Demak. Aku tidak dapat meninggalkan barak ini begitu saja. Karena itu, aku tugaskan Sabungsari memimpin barak itu selama aku pergi ke Demak. —
    Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya — sebenarnya aku ingin bertemu dengan kakang Sabungsari. —

    — Ada kemungkinan Sabungsuri akan dipindahkan ke Ganjur. Para pemimpin di Mataram melihat kelebihan pada Sabungsari, sementara akupun telah memberikan laporan tentang kelebihannya itu. Karena itu, ketika Senapati yang memimpin pasukan di Ganjur sudah waktunya mengundurkan diri karena umurnya, maka Sabungsari merupakan salah satu calon. Karena itulah ia aku perintahkan pergi ke Mataram menghadap Pangeran Singasari yang bersama sama dengan beberapa orang Senapati akan memilih salah seorang diantara para calon itu. Mungkin akan ada semacam pendadaran diantara mereka. —
    — Mudah-mudahan kakang Sabungsari dapat terpilih. —
    — Anaknya sudah agak besar sekarang. —
    — Jadi kakang Sabungsari sudah mempunyai anak? —
    — Ya.—

    Glagah Putih mengangguk-angguk. Iapun segera teringat kepada Ki Rangga Agung Sedayu yang tidak dikaruniai seorang anakpun. Tetapi Glagah Putih sendiri akan memohon dengan sungguh-sungguh, agar Yang Maha Agung mengaruniai anak kepadanya. Satu atau dua atau berapapun. —
    Demikianlah, setelah minum minuman hangat serta makan beberapa potong makanan, maka Glagah Putih dan Rara Wulan itupun minta diri.
    Sementara itu, Nyi Untara yang baru saja keluar untuk ikut menemui mereka berkata — Kenapa begitu tergesa-gesa. Aku masih belum mendengar cerita kalian. —

    — Mungkin lusa aku akan kembali kemari mbokayu — jawab Glagah Putih — kami masih mempunyai waktu yang longgar.—
    — Kenapa sekarang begitu tergesa-gesa ? —
    — Nanti kakang Untara kesiangan —
    — Aku sudah memberikan pesan lewat seorang prajurit demikian aku mengetahui kau datang — sahut Ki Tumenggung Untara.
    — Lain kali kami akan singgah lagi, kakang dan mbokayu — berkata Glagah Putih kemudian.
    — Lain kali kami akan berada di sini sehari penuh — sambung Rara Wulan. Nyi Tumenggung tertawa. Katanya — Sejak dahulu kalian hanya berjanji saja. Tetapi kalian selalu berada di padepokan. Kalian datang hanya sebentar-sebentar. —
    Glagah Putih dan Rara Wulan hanya tertawa saja. Namun Glagah Putihpun kemudian berkata — kami akan pergi ke rumah cantrik itu, kakang. —

    Demikianlah, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun meninggalkan rumah Ki Tumenggung Untara. Mereka sudah berjanji akan pergi bersama cantrik yang rumahnya berada didekat padepokan orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati. Ketika mereka sampai di padepokan kecil di Jati Anom, maka cantrik itu rasa-rasanya sudah tidak sabar lagi. Sementara itu, Glagah Putih dan Rara Wulan masih menemui Ki Widura dan menceriterakan hasil pembicaraan mereka dengan Untara.

    — Memang tidak banyak keterangan yang akan kalian dapatkan Bahkan setelah kau pergi ke rumah Punta. —
    Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk kecil. Namun Glagah Putihpun kemudian berkata — Ya, ayah. Tetapi rasa-rasanya usahaku untuk mengetahui serba sedikit tentang orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu sudah kami genapi. —
    — Ya — Ki Widura mengangguk-angguk pula — kau memang perlu mencobanya. —
    Seperti Untara, maka Ki Widurapun telah berpesan, agar Glagah Putih dan Rara Wulanpun berhati-hati. Dapat saja terjadi sesuatu yang sebelumnya tidak terduga-duga.

    Beberapa saat kemudian, maka Punta, cantrik yang tinggal di dekat padepokan orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itupun sudah siap di halaman.
    — Kami mohon diri, paman, Mungkin kami akan bermalam satu atau dua malam di rumah cantrik itu. —
    — Bicarakan dengan cantrik itu dai keluarganya. Kau datang sebagai siapa ? Sepupunya, atau sepupu ayah atau ibunya atau siapa, sehingga tidak menimbulkan kecurigaan. Persoalan yang harus diperhitungkan adalah persoalan yang dapat timbul dengan keluarga Punta yang tinggal di dekat padepokan itu. Jika keberadaan kalian berdua di rumah itu menimbulkan kecurigaan, mungkin persoalan yang sebenarnya akan timbul justru setelah kalian meninggalkan rumah itu.—
    — Ya, ayah. Kami akan sangat berhati-hati. —

    Demikianlah, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun segera meninggalkan padepokan kecil itu bersama Punta. Mereka sengaja menempuh jalan yang agak jauh dari barak Ki Tumenggung Untara. Kemudian memanjat naik Gunung Merapi. Jalan yang mereka lewati terasa mendaki semakin lama semakin tinggi. Mereka berjalan dijalan kecil diantara pategalan. Namun kemudian, mereka mulai melewati Padang perdu. Kemudian merekapun sampai ke pinggir hutan. Untuk beberapa lama mereka berjalan menyusuri hutan yang semakin lama menjadi semakin lebat.

    — Kalau kau pulang, kau juga melewat jalan ini ? — berkata Glagah Putih.
    — Aku dapat memilih jalan lain, kakang. Jalan yang tidak harus melewati jalan setapak di pinggir hutan. Aku dapat melewati jalan lain yang melewati bulak-bulak panjang serta beberapa padukuhan kecil. —
    — Kenapa sekarang kau pilih jalan di pinggir hutan ini ? —
    — Jalan ini lebih dekat. Bahkan selisihnya agak jauh. —
    — Jadi setiap kau pulang kau pilih jalan yang lebih dekat ini ?
    — Tidak. Aku memilih jalan yang lain. —
    — Kenapa ? —

    — Sekarang aku berjalan bersama kakang Glagah Putih dan mbokayu Rara Wulan. Aku tidak lagi merasa takut, jika ada binatang buas yang kebetulan sedang melintas di pinggir hutan. Bukankah kakang Glagah Putih dan mbokayu Sekar Mirah pernah Tapa Ngidang di tengah-tengah hutan, sehingga kakang berdua sudah sangat mengenal tabiat hutan yang selebat apapun seisinya. —

    Glagah Putih dan Rara Wulan tertawa. Mereka memang memiliki kemampuan yang tinggi untuk mengenali isi hutan. Bahkan keduanya dapat mengetahui, binatang apa yang ada di sekitar mereka, lewat hembusan angin. Penciuman merekapun menjadi sangat tajam sebagaimana binatang buas yang dapat mencium mangsanya atau binatang lain. Juga binatang-binatang liar yang lain, yang harus segera menyelamatkan diri jika mereka mencium bau binatang yang dapat menerkam dan membunuhnya. Seperti seekor binatang hutan, sebenarnyalah Glagah Putih dan Rara Wulan dapat membedakan bau dari berjenis-jenis binatang di hutan. Bahkan jika didekat mereka ada seekor tikus tanah.

    Demikianlah, maka mereka bertiga berjalan dengan cepat melintas di pinggir hutan. Namun beberapu saat kemudian, lorong itupun telah berbelok, semakin lama menjadi semakin jauh dari hutan.
    — Di hutan itu masih banyak terdapat binatang buas — berkata Punta.
    — Ya — sahut Glagah Putih yang juga telah mencium bau seekor harimau kumbang yang berada di dahan pepohonan. Tetapi harimau kumbang itu justru bergeser menjauh.

    Sambil berjalan merekapun kemudian sepakat untuk menempatkan Glagah Putih sebagai sepupu Punta yang tinggal di Mataram. Sudah lama sepupunya itu tidak menengok ayah dan ibu Punta, sebagai paman dan bibinya. —
    — Apakah ayah dan ibumu dapat mengerti ? —
    — Tentu. Ayah dan ibu bukan orang yang sulit untuk menyesuaikan diri dengan keadaan yang berkembang di lingkungannya. —
    — Bagaimana dengan saudara saudaramu ? —
    — Mereka memang sering datang menengok -ayah dan ibu. Jika ada diantara mereka yang datang, merekapun akan dapat mengerti—

    Demikianlah di sore hari, mereka telah sampai ke rumah Punta. Mereka disambut oleh ayah dan ibu Punta dengan gembira. Demikian pula kemanakan laki-laki yang masih remaja itu. Ia merasa sangat senang, bahwa Punta sempat pulang.
    Puntapun segera memperkenalkan Glagah Putih dan Rara Wulan kepada ayah dan ibunya.
    — Kakang Glagah Putih adalah putera guru. Sedangkan mbokayu Rara Wulan itu adalah isterinya. —
    — Terima kasih, bahwa angger berdua bersedia datang ke rumahku ini — berkata ayah Punta.

    Puntapun kemudian menceritakan keperluan Glagah Putih dan Rara Wulan yang telah bersedia datang kerumah mereka.
    — Keduanya sedang mengemban tugas dari Ki Patih Mandaraka di Mataram. —
    Kedua orangtua itu mengangguk. Ketika kemudian Punta mengatakan bahwa keduanya akan mengaku sebagai sepupunya, maka ayah Punta itupun menyahut — Kami merasa mendapat kehormatan yang sangat besar ngger, bahwa kami akan dapat membantu tugas-tugas angger. Sebenarnyalah kami hanyalah orang-orang gunung yang tidak dapat berbuat apa-apa. —

    — Terima kasih paman dan bibi. Terima kasih pula atas perkenan paman dan bibi, bahwa kami diijinkan untuk menginap di sini barang dua atau tiga hari. —
    — Silahkan ngger, silahkan. Rumahku sekarang terasa amat sepi, setlah anak-anakku tinggal di rumah mereka masing-masing. Aku bahkan merasa senang sekali, bahwa angger bersedia bermalam di sini. Rumahku akan menjadi lebih ramai. Seakan-akan ada diantara anak-anakku itu yang datang mengunjungiku. —
    — Bukankah ada anak ayah benar-benar datang ? — berkata Punta.
    — Ya, ya. Kau memang telah datang mengunjungi aku. —

    Glagah Putih dan Rara Wulan tertawa tertahan, sementara Punta berkata — Hampir saja ayah melupakah bahwa aku juga anaknya yang justru sekarang datang mengunjunginya. —
    — Tentu tidak ngger, cah bagus — berkata ibunya — kau sekarang justru menjadi anak tunggal setelah saudara-saudaramu berumah tangga sendiri. —
    Puntapun tertawa pula.

    Demikianlah, sejak hari itu, Glagah Putih dan Rara Wulan tinggal di rumah orang tua Punta. Yang mengaku sebagai saudara sepupu Punta. Glagah Putih adalah anak adik dari ayah Punta.
    — Nah, sekarang siapakah nama kakang. Tetapi bukan Glagah Putih dan Rara Wulan. —
    — Ya, Namaku Wira dan isteriku namanya Kenari. —
    — Kenari adalah nama jenis burung— sahut Punta.
    — Ya. Ada juga semacam pohon yang buahnya keras, sekeras batok kelapa. Tetapi kecil-kecil — berkata Glagah Putih.
    — Ya. Anak-anak sering membuat cincin dari kulit buah kenari yang keras itu. —

    Sementara itu, malampun telah turun. Kemanakan Punta yang masih remaja, yang tinggal bersama kedua orang tuanya, telah menyalakan lampu minyak.
    Sejenak kemudian, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun bergantian pergi ke pakiwan. Berbeda dengan pada waktu keduanya berada di kepatihan dan dipadepokan, maka di rumah Punta, Glagah Putih sempat ikut menimba air untuk mengisi jambangan di pakiwan.

    Setelah maka malam, maka Punta telah mengajak Glagah Putih untuk pergi ke banjar. Biasanya beberapa orang duduk-duduk di banjar sampai wayah sepi bocah. Mereka berbincang tentang sawah dan ladang, tentang air yang mengaliri sawah mereka dan tentang persoalan-persoalan yang menyangkut kehidupan mereka sehari-hari.

    Ketika Punta dan Glagah Putih yang menyebut dirinya bernama Wira itu sampai di banjar, ternyata di banjar sudah ada empat orang yang duduk sambil berbincang-bincang. Mereka menyambut kedatangan Punta dengan ceria serta mempersilahkannya duduk diantara mereka.
    — Kau sempat pulang lagi Punta. Bukankah kau belum terlalu lama pulang. —
    🙂

  30. Api Dibukit Menoreh
    Jilid IV – 92
    Bagian 🙂 🙂 dari 3

    — Ya, paman. Ketika kakak perempuan menikah. —
    — Siapakah angger ini ? Agaknya aku belum pernah melihatnya. —

    —Sepupuku, paman. Nah karena sepupuku datang ke padepokan, maka aku telah mendapat kesempatan lagi untuk pulang mengantarnya. Sudah lama sekali sepupuku tidak mengunjungi ayah dan ibu. —
    Puntapun kemudian telah memperkenalkan orang yang disebutnya sepupunya yang bernama Wira itu. — Ia datang bersama isterinya. —
    Orang-orang yang sudah ada di banjar itupun kemudian memperkenalkan diri mereka masing-masing. Demikian pula tiga orang yang datang kemudian, merekapun segera telah diperkenalkan oleh Punta dengan sepupunya itu.

    Keberadaan Glagah Putih di rumah Punta memang tidak terlalu banyak menarik perhatian. Namun ketika hal itu didengar oleh Putut Witala yang memang sering datang berkunjung ke padukuhan itu, atau bertemu dengan orang-orang padukuhan di sawah atau dimanapun, agaknya telah mengusik perasaannya. Ada semacam perasaan curiga, bahwa yang datang di rumah Punta itu seseorang yang mempunyai kepentingan yang khusus, justru pada saat orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu tidak ada di padepokan.

    Apalagi Putut Witala tahu, bahwa Punta adalah salah seorang cantrik dari padepokan di Jati Anom. Meskipun padepokan di Jati Anom itu terhitung padepokan kecil, namun menyimpan kekuatan dan kemampuan yang besar. Karena itu, demikian ia mendengar bahwa saudara sepupu Punta yang tinggal di Mataram datang, maka Putut Witala yang sudah saling mengenal dengan Punta itu justru datang ke rumahnya.

    Punta memang sudah mengira, bahwa Putut Witala akan datang ke rumahnya untuk berkenalan dengan Glagah Putih. Putut Witala tentu ingin tahu, apakah benar yang datang itu hanya sekadar ingin mengunjungi kedua orang tua Punta.
    Karena itu, ketika Putut Witala datang, maka tanpa diminta oleh Putut Witala. Puntapun telah memperkenalkan Glagah Putih dan Rara Wulan sebagai saudara sepupunya yang bernama Wira dan Kenari. Namun ternyata yang terjadi diluar dugaan Punta. Putut Witala sama sekali tidak tertarik kepada laki-laki yang bernama Wira. Tetapi yang sangat menarik perhatiannya adalah justru perempuan yang bernama Kenari.

    — Namamu aneh — berkata Putut Witala. Kenari, seorang perempuan yang sangat pemalu itu menundukkan wajahnya tanpa menjawab sepatah katapun. Yang kemudian menjawab adalah Wira — Namanya memang aneh. Ketika ibunya melahirkannya, ayahnya memelihara banyak sekali burung kenari.—
    — Kau sangat beruntung Wira. Kau telah mendapat seorang isteri yang sangat cantik. —
    — Ah — sahut Wira — di Mataram perempuan seperti isteriku itu terdapat dimana-mana. —

    Rara Wulan mengerutkan keningnya. Ketika ia memandang Glagah Putih, Glagah Putih itu tidak memperhatikannya. Sementara itu Puntapun menjadi berdebar-debar mendengarnya.
    — Kau jangan meremehkan seorang perempuan — berkata Putut Witala — apalagi perempuan secantik isterimu itu. —
    — Aku tidak meremehkannya. Maksudku, isteriku itu biasa-biasa saja. Ia bukan seorang perempuan yang sangat cantik.-
    Putut Witala termangu-mangu sejenak. Tetapi ia memandangi Rara Wulan dengan tanpa berkedip. Rara Wulan yang merasa dirinya dipandang dengan tajamnya oleh Putut Witala, justru menjadi semakin menunduk.

    Namun Putut Witala itu tidak terlalu lama berada di rumah Punta. Beberapa saat kemudian, iapun minta diri. Punta melepas Putut Witala itu sampai ke pintu regol. Namun ketika Putut Witala itu meninggalkan pintu regol iapun berkata — Punta. Aku ingin berbicara kepadamu. Tetapi jangan ada orang lain. Karena itu, nanti sebelum senja, aku tunggu kau di gumuk Wudun, di sebelah simpang empat itu. —

    — Untuk apa ? — bertanya Punta.
    — Ada yang ingin aku katakan kepadamu —
    — Kenapa tidak kau katakan sekarang ? —
    — Aku tidak mau ada orang lain.—
    — Bukanlah disini juga tidak ada orang lain. —
    — Tetapi Wira dan isterinya itu memperhatikan kita. —
    Punta mengangguk-angguk. Katanya — Baik. Aku akan pergi ke gumuk Wudun sebelum senja. —

    Demikian Putut Witala itu pergi, maka Puntapun segera menemui Glagah Putih dan Rara Wulan. Hampir berbisik Punta berkata — Pernyataanmu agak mengejutkan aku. —
    — Aku hanya ingin menjajagi sikap putut Witala, Punta. Jika dugaanku benar, maka aku akan mempunyai jalan untuk menjajagi kemampuannya. —
    Punta agaknya dapat mengerti pula. Namun Rara Wulanpun berkata — Bukanlah aku akan kaujadikan umpan, kakang. —
    Glagah Putih tersenyum. Katanya — Kita perlu menjajagi kemampuannya. Meskipun kita tidak dapat memperhitungkan kemampuan Pangeran Ranapati dengan sekedar menjajagi kemampuan muridnya, tetapi setidaknya kita dapat mengenali jenis dan watak aliran dari ilmu yang diturunkan oleh Pangeran Ranapati itu.

    — Tetapi apa yang nampak pada Putut Witala tentu jaraknya sangat jauh dari ilmu Pangeran Ranapati. —
    — Ya. Kita tahu. Meskipun demikian, aku menduga, bahwa ada gunanya kita tahu seberapa tinggi ilmu Witala yang sudah disebut sebagai seorang Putut itu. —
    Punta mengangguk-angguk. Sementara itu Rara Wulan berkata — Sebaiknya sekali-kali kaulah yang menjadi umpan. —
    — Tentu aku tidak berkeberatan kalau misalnya kau ingin menjajagi ilmu seorang perempuan cantik. —
    — Ah, kau. Kau tentu berdoa, agar kau dapat dikalahkannya.— Glagah Putih dan Punta itupun tertawa. Namun Punta itupun kemudian berkata — Nanti, mejelang senja, Punta Witala minta aku datang ke gumuk Wudun. Ada yang ingin dikatakannya. —
    — Kau akan datang ? —
    — Ya. Aku harus datang agar segala sesuatunya segera menjadi jelas. —
    — Baiklah. Datanglah. —

    Sebenarnyalah ketika kemudian langit menjadi muram karena matahari menjadi semakin rendah di sisi Barat langit, maka Puntapun telah pergi ke gumuk Wudun untuk memenuhi janjinya kepada Putut Witala. Ketika ia sampai di gumuk Wudun, ternyata Putut Witala sudah ada di gumuk itu bersama dengan dua orang cantriknya.
    — Ternyata kau benar-benar datang, Punta — desis Putut Witala dengan nada datar.
    — Ya. Aku selalu memenuhi janjiku. —
    — Bagus — berkata Putut Witala — duduklah. Aku ingin berbincang-bincang denganmu. —

    Punta memang menjadi agak berdebar-debar. Tetapi iapun segera duduk di atas sebuah batu di hadapan Putut Witala.
    — Punta — berkata Putut Witala — terus terang. Demikian aku melihat perempuan isteri sepupumu itu akupun segera tertarik kepadanya. —
    Punta mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian — Tetapi ia adalah isteri sepupuku itu, Witala. —
    — Sekarang, aku ingin minta tolong kepadamu. Cari cara, agar perempuan itu dapat berada di padepokanku. —
    — Apakah kau sudah gila — sahut Punta.

    — Ya, aku memang sudah gila sejak aku melihat perempuan itu. Tetapi kau harus memikirkan bagaimana caranya kau dapat memenuhi permintaanku itu. —
    — Tentu tidak mungkin. Aku tidak akan dapat mengkhianati sepupuku sendiri. —
    — Tetapi kau tidak mempunyai pilihan. Aku ingin perempuan itu berada di padepokanku. Sementara itu, rumah ayah dan ibumu ada di dekat padepokanku. Kau harus memikirkan banyak kemungkinan yang dapat terjadi jika kau tidak mau memenuhi permintaanku. —
    — Kau mengancam Putut Witala. —
    — Ya.-

    Punta memandang Putut Witala dengan tajamnya. Dengan geram iapun berkata — Kau dapat mengancam aku. Kita sama-sama murid dari sebuah perguruan. Tetapi jangan mengancam keluargaku.-
    — Aku sengaja mengancam keluargamu. Karena itu. usahakan agar perempuan itu ada di padepokanku. —
    — Tidak. Aku tidak mau. —
    — Jadi kau ikhlaskan keluargamu mengalami kesulitan ? Kau biarkan ayah dan ibumu mengalami nasib yang sangat buruk di tanganku ? —

    — Putut Witala. Dengarkan aku baik-baik. Kalau kau mengancam aku, persoalan kita akan kita selesaikan dengan cara seorang laki-laki. Kita sama-sama berguru pada sebuah perguruan. Meskipun letak perguruan kita termasuk tidak terlalu jauh, tetapi selama ini tidak pernah terjadi persoalan diantara perguruan kita. Karena itu, jika kau mengancam aku, maka aku ingin persoalan kita tidak mengkaitkan perguruan kita masing-masing.
    — Sudah aku katakan, aku tidak mengancam kau. Tetapi aku mengancam ayah dan ibumu. Jika kau tidak dapat membawa perempuan itu ke padepokanku, maka kau akan menyesali akibatnya. Ayah, ibu serta rumahmu akan menjadi korban pembodohanmu. —

    — Putut Witala. Dengar pula keteranganku ini. Kau tahu, bahwa aku berguru kepada Ki Widura. Ki Widura bukan saja salah seorang murid utama Kiai Gringsing yang mempunyai beberapa saudara seperguruan. Tetapi Ki Widura adalah paman Ki Tumenggung Untara. Jika kau celakakan keluargaku, aku akan minta guruku untuk membantuku. Guruku akan minta saudara-saudara seperguruannya atau bahkan Ki Tumenggung Untara dengan seluruh pasukannya, segelar sepapan. Kalau kau celakakan ayah dan ibuku, maka padepokanmu akan menjadi abu. Para cantrik akan ikut hangus terbakar di dalamnya. Sementara kau sendiri akan dipanggang pula di dalam api. —

    — Licik. Kau sangat licik Punta. Itu bukan sikap dan watak seorang laki-laki. Apalagi yang mengaku sebagai murid sebuah perguruan yang dihormati. —
    — Apa artinya kelicikan itu bagimu. Putut Witala. Kaulah yang telah berbuat licik lebih dahulu jika kau celakai orang tuaku, karena orang tuaku tidak tahu apa-apa. Orang tuaku adalah petani-petani tua yang hanya tahu jalan dari rumah sampai ke sawah. Kenapa pula ia harus ikut menanggung beban karena ketamakanmu ? Nah, jika kita sama-sama menjadi gila, terserah kepadamu. Tetapi nanti jika gurumu pulang, maka Pangeran Ranapati mengutukmu sehingga nyawamu tidak akan pernah mengalami ketenangan, karena dengan pokalmu, maka sebuah padepokan seisinya telah musnah, Justru pada saat gurumu tidak ada. —

    — Pengecut — geram Putut Witala yang kemudian mengumpat-umpat kasar.
    — Bukan aku pengecut itu. Tetapi kau sendiri. —
    — Kenapa aku ? —
    — Jika kau bukan pengecut, maka bukan begitu caramu untuk mendapatkan seorang perempuan. —
    — Apa yang harus aku lakukan ? —
    — Perempuan itu mempunyai seorang suami. Katakan kepada laki-laki suami perempuan itu, bahwa kau memerlukan isterinya. Tantang laki-laki itu dan rebut isterinya dengan jantan.- Putut Witala menggeram. Sementara Punta berkata selanjutnya — Kalau aku berani melakukannya, aku bersedia menyampaikan kepada sepupuku. Ia juga bukan seorang pengecut. Aku kira ia akan menerima tantanganmu. —

    Wajah Putut Witala menjadi tegang. Namun menurut penglihatannya, suami perempuan itu tidak mempunyai kelebihan apa-apa. Tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu besar. Bentuk tubuhnya biasa-biasa saja. Sikapnyapun tidak menunjukkan kegarangan seorang yang mempunyai kemampuan yang tinggi. Karena itu, maka Putut Witala itupun berkata — Bagus. Katakan kepada suami perempuan itu, bahwa aku menantangnya. Taruhannya adalah perempuan itu. Jika aku menang, maka perempuan itu akan aku bawa ke padepokan. —
    — Jika kau kalah ? —

    — Terserah, apa yang akan dilakukannya. —
    — Kenapa kau ragu-ragu melakukannya. Kenapa kau tidak menantangnya berperang tanding sampai mati. Kalau kau mampu membunuhnya, maka dengan sendirinya perempuan itu dapat kau perlakukan apa saja karena ia sudah tidak mempunyai suami lagi.—
    Putut Witala menggeram. Agaknya Punta yakin sekali akan kemampuan Wira, suami Kenari. Karena Punta seorang yang berilmu, maka ia tentu dapat menilai, seberapa tinggi ilmu yang dikuasai oleh Wira.
    — Tetapi Punta tentu tidak dapat mengukur seberapa tinggi ilmuku — berkata Putut Witala didalam hatinya — Karena itu, maka Punta tentu menganggap bahwa ilmu sepupunya itu akan mampu mengatasi ilmuku. —

    Karena itu, maka Putut Witala itupun berkata dengan nada tinggi — Baik. Katakan kepada sepupumu, bahwa aku menantangnya berperang tanding sampai tuntas. —
    — Nah, itu baru seorang laki-laki. Aku tahu, sepupuku tentu akan mempertahankan dengan mempertaruhkan nyawanya, meskipun ia mengatakan bahwa di Mataram perempuan seperti isterinya itu terdapat dimana-mana. Tetapi sedumuk batuk akan sama harganya dengan senyari bumi, yang akan dipertahankan sampai mati. —
    Putut Witala itupun menggeram Katanya — Jangan menyesal, bahwa sepupumu akan terbaring di tanah tanpa dapat bernafas lagi. Ia akan mati setelah lehernya aku patahkan. —

    — Terserah, apa yang akan kau lakukan. —
    — Katakan kepada sepupumu, aku akan menunggu di sini esok siang. Aku akan membunuhnya sebelum senja. Aku sendiri tidak akan bersenjata. Aku akan membunuhnya dengan tanganku. Terserah sepupumu, apakah ia akan membawa senjata atau tidak. Jika ia merasa lebih mantap dengan mempergunakan senjata, biarlah ia bersenjata. —
    — Baik. Aku akan mengatakan kepadanya. Esok siang aku akan membawanya kemari. Biarlah terjadi apa yang akan terjadi. Tentu saja aku minta sepupuku itu membawa isterinya pula. —
    — Bagus. Ternyata kau tahu apa yang aku butuhkan. Sebelum aku mengatakannya, kau sudah mengerti apa yang aku inginkan. —

    Demikianlah, maka Puntapun kemudian minta diri untuk pulang. Sekali lagi ia mengatakan kepada Putut Witala bahwa esok siang akan membawa sepupunya suami isteri untuk datang ke gumuk Wudun itu. Ketika Punta kemudian sampai di rumahnya, maka lampu-lampu minyakpun sudah dinyalakan. Ayahnya yang melihatnya memasuki regol halaman segera bertanya — Dari mana saja kau Punta. Angger Glagah Putihlah yang tadi mengisi pakiwan. Sedangkan angger Rara Wulan menyapu halaman. —
    Punta tersenyum sambil menjawab — Aku ada keperluan sedikit dengan seorang kawanku ayah. —

    — Keperluan apa ? —
    — Tidak apa-apa. Tetapi sekarang sudah selesai. — Tetapi malam itu, Puntapun telah memberitahukan kepada Glagah Putih, bahwa esok Putut Witala menunggunya di gumuk Wudun.
    — Besok Siang ? —
    — Ya. Putut Witala berniat membunuhmu sebelum senja. —
    — Mudah-mudahan aku dapat menyelamatkan diriku sendiri. —
    — Aku esok ikut bersamamu, kakang. Jika saja ada yang berbuat curang. —
    — Baik. Tetapi kaupun harus bersiap menghadapi segala kemungkinan. —
    — Menurut Putut Witala. besok ia tidak akan membawa senjata. Terserah kepada kakang, apakah kakang akan membawa atau tidak. —

    Glagah Putih menarik nafas panjang. Ia memang tidak pernah nampak membawa senjata karena senjatanya sudah melekat di lambungnya. Demikian pula Rara Wulan. Nampaknya sebagaimana kebanyakan perempuan ia hanya membawa sehelai selendang. Tetapi selendang itu adalah senjata yang sangat berbahaya. —
    Bagaimanapun juga, ternyata Punta dan bahkan Glagah Putih dan Rara Wulanpun menjadi gelisah pula meskipun alasannya berbeda-beda.

    Punta yang belum pernah mengetahui seberapa tinggi ilmu Putut Witala, masih saja merasa cemas Meskipun ia sangat mengagumi kemampuan Glagah Putih di saat terakhir sebagaimana dilihatnya di sanggar, tetapi beberapa kemungkinan masih dapat terjadi. Bahkan Puntapun juga mencemaskan, bahwa Putut Witala dapat saja berbuat curang.

    Sementara itu, Glagah Putih dan Rara Wulan justru mencemaskan ayah dan ibu Punta yang sudah tua. Jika kemarahan Putut Witala itu ditujukan kepada kedua orang tuanya yang sudah tua itu, maka keduanya akan mengalami nasib buruk.
    Ketika hal itu dikatakannya kepada Punta, maka sambil tersenyum Puntapun berkata — Jangan cemaskan ayah dan ibuku. —
    — Jika kau tidak ada di rumah ? —
    Puntapun kemudian telah menceritakan ancamannya justru ketika Putut Witala mengancam kedua orang tuanya.
    — Jadi Putut Witala memang sudah mengancam ayah dan ibumu.-
    — Ya. Tetapi aku sudah mengancamnya kembali. —
    — Ternyata kau cerdik juga. Dengan demikian, agaknya Putut Witala tidak akan mengganggu ayali dan Ibumu.-

    Malam itu, Punta telah mengajak Glagah Putih yang disebutnya bernama Wira pergi ke rumah tetangganya yang isterinya sedang melahirkan. Ternyata suara Punta cukup bagus ketika ia mendapat giliran untuk melantunkan tembang Dandanggula beberapa bait. Lewat tengah malam, maka Puntapun mengajak Wira pulang. Ia harus beristirahat. Esok, tenaganya diperlukan untuk melakukan perang tanding dengan Putut Witala. Perang tanding itu sendiri agaknya bukan sekedar main-main. Putut Witala akan berperang tanding sampai tuntas.

    Glagah Putihpun berusaha untuk dapat benar benar beristirahat. Besok ia akan memasuki arena perang tanding dengan seseorang yang belum diketahui tingkat kemampuannya. Mungkin murid Pangeran Ranapati itu mempunyai ilmu yang sangat tinggi. Dan bahkan mungkin ia menguasai beberapa Aji yang sulit ditandingi. Glagah Putihpun memang dapat tidur pulas. Justru Rara Wulanlah yang sulit untuk memejamkan matanya. Baru di dini hari Rara Wulan dapat tidur pula.

    Tetapi mereka tidak dapat tidur terlalu lama. Pagi-pagi mereka sudah bangun. Kemudian membantu kedua orang tua Punta membersihkan halaman sedangkan Rara Wulan berada di dapur merebus air. Punta sendiri sibuk’mengisi jambangan sebelum ia sendiri mandi. Pagi itu, Glagah Putih dan Rara Wulan mengisi waktunya dengan berjalan-jalan di lereng Gunung Merapi. Ternyata bahwa di lingkungan di sekitar padukuhan tempat tinggi Punta, air masih cukup untuk kebutuhan para petani, sehingga sawahpun nampak subur di segala musim. Di beberapa tempat nampak sawah yang berjenjang seperti sebuah tangga raksasa yang diwarnai dengan hijaunya daun padi yang tumbuh dengan suburnya.

    Punta yang mengantar keduanya membawa Glagah Putih dan Rara Wulan kesebuah kolam yang agak luas namun tersekat menjadi beberapa bagian. —
    — Ayah, ibu dan kemenakanku itulah yang memelihara belumbang ini. Dahulu masih ada aku dan saudara-saudaraku. Tetapi sekarang kami sudah pergi, sehingga belumbang ini menjadi kurang terpelihara. —
    — Tetapi masih ada banyak ikan di dalamnya — sahut Rara Wulan.
    — Ya —jawab Punta — dahulu kami sempat memilah-milah ikan menurut jenisnya. Tetapi ayah dan ibu tidak lagi sempat melakukannya, sehingga ikannyapun mulai berbaur. Bahkan banyak yang ikut hanyut di pembuangan air jika kolamnya menjadi terlalu penuh. Meskipun kami sudah memasang anyaman bambu sebagai saringan. —

    Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Sementara itu, dengan semacam irig bambu yang besar, Puntapun menangkap beberapa ekor ikan yang sudah agak besar untuk dibawa pulang.
    — Ibu akan membuat pepes gurameh. —
    Demikian mereka pulang, maka Puntapun segera pergi ke dapur untuk menyerahkan ikan yang ditangkapnya di belumbang
    — Buat pepes ibu. Sudah lama aku tidak makan pepes gurameh —
    — Aku sudah menyiapkan lauk buat kalian — berkata ibunya — aku sudah mengambil beberapa butir telur di petarangan.
    — Apa salahnya ditambah dengan pepes gurameh ? — Ibunya hanya tersenyum saja.

    Sedikit lewat tengah hari, ibu Punta itu sudah selesai masak. Iapun segera menyiapkan makan siang bagi Punta dan kedua orang tamunya yang diakunya sebagai sepupunya itu.
    — Bagaimana dengan paman ? — bertanya Rara Wulan ketika ibu Punta itu mempersilakannya makan.
    — Pamanmu masih berada di pategalan. Biarlah nanti aku menunggunya —jawab ibu Punta. Setelah makan siang serta beristirahat sebentar, maka Puntapun mengingatkan Glagah Putih dan Rara Wulan, bahwa Putut Witala menunggu mereka di gumuk Wudun siang itu.
    — Baik. Sebentar lagi kita akan pergi ke gumuk Wudun. —

    Ketika kemudian mereka minta diri kepada ayah dan ibu Punta untuk melihat-lihat lereng Merapi yang letaknya lebih tinggi maka ayah Punta itupun berkata — Kenapa harus siang-siang begini sehingga sinar matahari akan terasa sangat terik. —
    — Tetapi udara disini terasa sejuk, paman. Tidak seperti di ngarai. Jika panas matahari menyengat, maka udarapun menjadi sangat panas, sehingga rasa-rasanya tubuh ini bagaikan terpanggang.—
    Ayah Punta tidak dapat menahan. Tetapi ia tidak tahu, apa yang akan dilakukan oleh Glagah Putih di gumuk Wudun.

    Demikianlah, sejenak kemudian Glagah Putih dan Rara Wulan telah diantar oleh Punta naik ke tempat yang lebih tinggi. Putut Witala berjanji untuk menunggu mereka di gumuk Wudun. Sebuah gumuk kecil yang berada dikaki Gunung Merapi itu. Sebuah tempat yang jarang sekali didatangi orang. Ketika Glagah Putih, Rara Wulan dan Punta sampai di tempat itu, mereka melihat Putut Witala sudah berada di tempat itu pula. Demikian ia melihat ketiga orang itu datang, maka Putut Witala itupun segera menyongsongnya.

    — Teryata kau benar-benar seorang laki-laki — berkata Putut Witala.
    — Bukankah sudah sewajarnya bahwa aku harus menerima tantanganmu. Soalnya bukan menang atau kalah. Tetapi aku juga mempunyai harga diri.—
    — Bagus. Aku mengajak beberapa orang, saudara seperguruanku. Mereka akan menjadi saksi apa yang akan terjadi kemudian. Dengan beberapa orang saksi, maka aku tidak akan dapat dianggap bersalah atas kematianmu. Kita sudah sepakat berperang tanding, sehingga kematian diantara kita adalah akibat kesepakatan kita itu. Termasuk segala macam taruhannya. —

    — Baik. Meskipun aku tidak mengira sama sekali, bahwa disini aku akan bertemu dengan seseorang yang menantangku berperang tanding. Aku datang kemari untuk menengok paman dan bibi yang sudah lama tidak bertemu. Tetapi aku memang tidak dapat mengelak lagi. Musuh tidak dicari, tetapi jika ia datang, aku tidak akan lari. —
    Putut Witala tertawa. Katanya — Ternyata kau benar-benar seorang laki-laki. Dengan demikian, aku tidak akan merasa sangat bersalah jika aku membunuhmu nanti. Agaknya kau sudah benar-benar siap untuk mati. —
    — Aku tidak datang untuk membunuh diri. Tetapi kematian tidak terlalu menakutkan bagiku, karena aku harus mempertaruhkan harga diriku sebagai seorang laki-laki. —

    — Bersiaplah. Aku tidak mempunyai banyak waktu. Punta akan menjadi saksimu. Setelah kau mati, maka isterimu akan aku bawa ke padepokanku. —
    Glagah Putih tidak menjawab lagi, sementara itu terasa tubuh Rara Wulan meremang. Sebenarnya ia ingin menjawab pernyataan Putu Witala itu. Tetapi ia harus menyesuaikan diri dengan sikap Glagah Putih. Glagah Putih sendiri menjadi berdebar debar ketika ia benar-benar sudah berhadapan dengan Putut Witala. Nampaknya Putut Witala adalah seorang yang sangat yakin dan percaya akan dirinya serta akan kemampuannya.

    Demikianlah, maka keduanyapun segera mempersiapkan diri. Mereka memilih di tempat yang agak luas dan datar. Sementara itu, beberapa orang saudara seperguruan Putut Witala yang pada umumnya dari angkatan yang lebih muda, berdiri melingkari arena. Sedangkan seorang yang lebih tua dari mereka, juga seorang Putut ada diantara mereka. Putut Patrajaya. Putut dari angkatan yang justru lebih tua dari Putut Witala.

    Beberapa saat kemudian, keduanya telah berdiri berhadapan. Namun Putut Witala masih saja tersenyum-senyum. Ia sempat berpaling Putut Patrajaya sambil berkata – Kakang, bukankah pilihanku tidak salah.—
    — Ya. Pilihanmu tidak salah. Tetapi bahwa kau memilihnya itulah yang salah seperti yang sudah aku katakan.—
    Putut Witala tertawa berkepanjangan. Katanya – Jika aku lepaskan pilihanku, maka kakang sendiri yang akan memilihnya.—
    —Ada perbedaan diantara kita, adi. Tetapi segala sesuatunya terserah kepada adi. Aku dan saudara-saudara kita hanya akan menjadi saksi dalam perang tanding ini.—

    Seorang cantrik yang bertubuh tinggi besar yang tataran ilmunya hanya berselisih selapis dengan Putut Witala berkata dengan nada suaranya yang besar dan berat.–Jangan bicara dengan kakang Putut Patrajaya tentang seorang perempuan. Tetapi jika kau gagal kakang, aku yang akan menyelesaikannya. Meskipun aku lebih muda dari kakang, tetapi aku mempunyai kelebihan. Aku mempunyai tenaga lebih besar dari kakang.—
    — Ah, bocah edan. Aku tidak akan gagal—
    — Kapan kita akan mulai? – bertanya Glagah Putih tiba-tiba.
    — Baik. Baik. Kita akan segera mulai.—

    Demikianlah, maka keduanyapun telah bergeser saling mendekat. Keduanya telah benar-benar bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan. Putut Witala yang sangat yakin dirinya itupun tiba-tiba telah meloncat menyerang dengan kecepatan yang sangat tinggi sehingga Glagah Putih sempat terkejut karenanya.
    Tetapi dengan sangat tangkas pula, Glagah Putihpun bergeser menghindar, sehingga serangan Putut Witala itu tidak sempat mengenainya. Tetapi Putut Witala tidak memberi kesempatan kepada Glagah Putih. Serangannya beruntunpun segera memburunya.

    Glagah Putih yang seakan-akan kehilangan kesempatan untuk menghindar itupun meloncat surut beberapa langkah. Ketika Putut Witala memburunya, maka Glagah Putihpun dengan cepat meloncat tinggi-tinggi. Sekali ia melingkar di udara, kemudian dengan kedua kakinya ia hinggap kembali di atas tanah, justru di belakang Putut Witala. Putut Witala terkejut. Demikian pula saudara-saudara seperguruannya yang melingkari arena. Bahkan terdengar decak kekaguman pula diantara mereka.

    Putut Witalapun segera berputar. Dengan kecepatan yang tinggi iapun menyerang Glagah Putih jadi-jadinya. Ia ingin dengan cepat mengakhiri perkelahian itu, sehingga kecuali memenangkan perang tanding, maka saudara-saudara seperguruannya sempat melihat, bahwa ia benar-benar telah berada di lapisan pertama dari para murid di perguruannya. Putut Patrajaya memperhatikan pertarungan itu dengan saksama. Sebagai seorang yang berilmu tinggi, maka iapun dapat mengenali, bahwa lawan Putut Witala itupun seorang yang berilmu sangat tinggi pula.

    Demikianlah, maka keduanyapun segera terlibat dalam pertempuran yang sengit. Mereka yang berada di seputar arena itu melihat, bahwa keduanya telah meningkatkan ilmu mereka semakin tinggi, sehingga pertarungan itupun menjadi semakin sengit. Namun serangan-serangan mereka agaknya masih belum menembus pertahanan masing-masing. Dengan kecepatan yang tinggi mereka saling menyerang. Tetapi dengan kecepatan yang tinggi pula mereka saling menghindar.

    Namun sebenarnyalah bahwa Glagah Putih masih saja menjajagi tingkat ilmu lawannya. Menurut penilaian Glagah Putih, Putut Witala memang berilmu tinggi. Namun diantara unsur-unsur geraknya, masih banyak terdapat celah-celah yang berbahaya. Dibanding dengan kemampuan rata-rata murid di lapisan pertama pada perguruan Ki Widura, maka murid-murid Ki Widura masih mempunyai beberapa kelebihan. Tetapi itupun bukan ukuran mutlak, bahwa ilmu Ki Widura lebih tinggi dari ilmu orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati.

    Meskipun demikian, dengan menjajagi kemampuan murid-nya,serba sedikit Glagah Putih akan mendapat sedikit gambaran dari kemampuan gurunya. Apalagi murid yang terhitung diantara murid-murid terbaik yang sudah dipercaya untuk menyandang gelar Putut di sebuah padepokan, sebagaimana lawan Glagah Putih itu. Putut Witala. Pertarungan itu semakin lama menjadi semakin sengit. Putut Witala telah mengerahkan kemampuannya. Serangan-seranganyapun datang beruntun seperti badai.

    Tetapi kali ini ia mendapat lawan Glagah Putih. Seorang yang berilmu sangat tinggi, yang sedang mengemban tugas yang sangat berat dari Ki Patih Mandaraka.
    Namun Glagah Putih tidak ingin mengalahkan lawannya dengan serta-merta. Ia ingin memperlakukan lawannya seperti kanak-kanak yang sedang menerbangkan layang-layang. Sekali-sekali benangnya diulur memanjang. Tetapi kadang-kadang ditahan, sehingga layang-layang itu sempat terbang semakin tinggi. Putut Witala yang mengerahkan ilmunya itu, ternyata masih saja sulit untuk dapat menembus pertahanan Glagah Putih. Bahkan jika sekali-sekali terjadi benturan, maka Putut Witalapun selalu tergetar surut.

    Dengan demikian, maka Putut Witala itupun menjadi semakin marah. Serangan-serangannya menjadi semakin garang, langsung mengarah ke sasaran yang paling berbahaya di tubuh lawannya. Tetapi serangan-serangan itu tidak pernah berhasil menyentuh tubuh Glagah Putih. Glagah Putih mampu menghindarinya dengan tangkas, atau menangkis serangan-serangan itu sehingga terjadi benturan.

    — Gila orang ini – geram Putut Witala didalam hatinya -ternyata ia mampu melindungi dirinya dengan ilmunya. Tetapi Putut Witala yang terlalu yakin akan kemampuannya itu tidak mau melihat kenyataan itu. Iapun semakin meningkatkan serangan-serangannya dengan semakin mengerahkan tenaga dan kemampuannya. Namun ternyata bahwa serangan-serangannya itu tidak berhasil menggoyahkan pertahanan Glagah Putih. Para cantrik yang menyaksikan perang tanding itu menjadi semakin tegang. Mereka yang terlalu bangga akan kemampuan Putut Witala, merasa heran, bahwa Putut Witala tidak segera dapat mengalahkan lawannya.

    Tetapi Puntapun kemudian menjadi semakin yakin, bahwa tidak banyak yang dapat dilakukan oleh Putut Witala. Apalagi Punta yang sudah berada di tataran pertama dalam urutan para cantrik Ki Widura, yang sudah menguasai ilmu dan kemampuan sebagaimana Putut Witala justru sudah tidak menjadi tegang lagi menyaksikan pertempuran yang nampaknya menjadi semakin sengit. Punta yakin bahwa Glagah Putih dengan sengaja memberikan beberapa kesempatan kepada lawannya, agar Putut Witala itu tidak dipermalukan dihadapan adik-adik seperguruannya.

    Tetapi Putut Patrajaya berpendapat lain. Seperti Punta ia yang berada di seberang batas dari pertarungan itu, dapat menilai apakah yang sebenarnya terjadi. Ia mulai dapat melihat kelemahan-kelemahan pada adik seperguruannya yang sudah berhak menyandang gelar Putut itu. Iapun dapat melihat kelebihan-kelebihan pada lawan Putut Witala yang menyebut dirinya bernama Wira itu.
    —- Alangkah bodohnya Witala – berkata Putut Patrajaya didalam hatinya – lawannya itu adalah seorang yang berilmu sangat tinggi, sehingga Putut Witala tidak akan dapat memenangkan perang tanding itu.—

    Putut Patrajaya itu menarik nafas panjang. Ia sadar, bahwa hari itu adalah hari Putut Witala yang terakhir. Beberapa saat lagi, Putut Witala akan terkapar di tanah. Ia tidak lagi dapat diajak berbincang, bergurau dan sekali-sekali berbantah. Tetapi Putut Patrajaya tidak ingin menodai harga diri Putut Witala serta harga diri padepokannya. Karena itu, maka Putut Patrajayapun tidak ingin melibatkan diri dalam pertarungan itu. Biarlah mereka yang berperang tanding itu menyelesaikan sesuai dengan yang seharusnya terjadi atas mereka.

    Namun Putut Patrajaya memang menyesali tingkah laku Putut Witala. Ia sudah mencoba memperingatkannya, agar Putut Witala tidak berniat mengambil perempuan yang sudah bersuami. Meskipun seandainya suaminya tidak dapat mempertahankan isterinya dalam perang tanding seperti lawan Putut Witala itu.
    Tetapi Putut Witala tidak menghiraukannya.

    Dalam pada itu, Putut Witala sudah mengerahkan kemampuannya, namun ia masih saja belum berhasil mengalahkan lawannya. Bahkan serangan-serangan lawannyalah yang lebih banyak mengenai sasarannya. Lawan Putut Witala itulah yang lebih banyak berhasil menyusupkan serangannya. Beberapa kali serangannya telah mengenai bahu, lambung, dada dan bahkan ketika Glagah Putih meloncat sambil memutar tubuhnya dengan kaki yang menebas mendatar. Dengan derasnya kakinya telah menyambar kening Putut Witala, sehingga Putut Witala itupun terlempar dan jatuh terguling di tanah. Tubuhnya tergores batu-batu padas yang keras dan runcing.

    Namun Putut Witala dengan sigapnya telah bangkit berdiri. Meskipun goresan-goresan itu tidak terlalu dalam, namun oleh keringatnya, terasa menjadi pedih.
    Putut Witala itupun menggeram. Matanya bagaikan membara oleh kemarahan yang memuncak. Tetapi Putut Witala harus menelan kenyataan itu, bahwa ia masih belum dapat mengalahkan orang yang menyebut dirinya Wira. Tetapi Putut Witala masih tetap percaya, bahwa ia akan dapat memenangkan perang tanding itu. Karena itu, maka iapun masih saja berusaha meningkatkan ilmunya Dihentakkannya kemampuannya untuk mendesak Glagah Putih beberapa langkah surut.

    Meskipun Putut Witala berhasil, tetapi hanya untuk sekejap saja. Glagah Putihpun segera menjadi mapan dan hentakan-hentakan Putut Witala sudah tidak berarti lagi. Serangan-serangannya telah membentur pertahanan Glagah Putih yang rapat. Sementara itu, tenaga dan kekuatan Glagah Putih yang nampaknya masih utuh itu, terasa menjadi jauh lebih besar dari tenaga dan kemampuan Putut Witala yang sudah menjadi semakin menyusut. Putut Patrajaya sekali-sekali harus memejamkan matanya. Ia tidak sampai hati melihat kekalahan Putut Witala yang sangat menyakitkan itu. Bahkan sampai saatnya Putut Witala hampir mati, ia masih belum mengakui kenyataan akan kekalahannya itu.

    Sementara itu, Putut Witala memang masih mengerahkan kemampuannya yang tersisa. Tetapi ia sudah sering kehilangan kendali. Ketika ia meluncur menyerang dengan satu kakinya, sedangkan Glagah Putih dengan gerak yang sederhana bergeser kesamping, maka Putut Witala telah terseret oleh tenaga serta berat tubuhnya sendiri, sehingga hampir saja ia jatuh terjerembab. Meskipun demikian, Putut Witala masih saja menggeram marah. Mulutnya nampak bergetar sedang giginya terkatub rapat-rapat. Putut Patrajaya tinggal menunggu, kapan lawan Putut Witala itu mencekik adik seperguruannya sampai mati.

    Sebenarnyalah Putut Witala itu benar-benar sudah kehabisan tenaga. Beberapa kali ia terjatuh, bukan oleh serangan Glagah Putih. Tetapi oleh tarikan tubuhnya sendiri. Dalam pada itu. Putut Patrajayalah yang kemudian berteriak – Wira. Tidak sepantasnya kau mempermainkan lawanmu. Apakah kau ingin disebut seorang yang ilmunya tidak terlawan? Atau barangkali sebutan-sebutan lainnya, sehingga kau permainkan lawanmu seperti itu? Kalau kau sudah yakin memenangkan perang tanding itu, selesaikan lawanmu seperti yang seharusnya kau lakukan.—

    Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Sementara itu, Putut Witala sudah benar-benar tidak berdaya. Ketika ia berdiri dan melangkah maju, maka hampir saja ia jatuh berguling. Sementara itu, Glagah Putihpun menggeram. Dipandanginya Putut Witala dari kepalanya sampai ke ujung kakinya. Tidak ada niatnya sama sekali untuk membunuh orang itu. Ia hanya ingin menjajagi kemampuannya. Namun tiba-tiba yang tidak didugapun telah terjadi Putut Witala yang sudah tidak mampu berdiri tegak itupun tiba-tiba telah berlutut sambil berkata – Jangan bunuh aku Wira. Jangan bunuh aku. Aku berjanji tidak akan mengganggu lagi. Aku juga tidak akan mengganggu keluarga Punta.—

    Bukan hanya Glagah Putih yang terkejut. Putut Patrajayapun terkejut pula. Bahkan dengan serta merta iapun berkata – Adi Witala. Apa yang kau lakukan itu? Kau telah menodai harga dirimu sendiri. Kaupun telah menodai harga diri pade pokan kami. Perang tanding yang disepakati adalah perang tanding sampai tuntas. Seorang diantara kalian yang berperang tanding harus mati. Kau tidak dapat merengek mohon belas kasihan agar kau tetap hidup setelah kau kalah dalam perang tanding ini.—

    — Maaf kakang. Sebenarnya aku tidak ingin bersungguh-sungguh. Aku tidak ingin mati.—
    — Gila. Kau memang tidak pantas untuk hidup.— Sementara itu, Glagah Putihpun kemudian berkata – Jika kau minta aku tidak membunuhmu, cepat tinggalkan tempat ini.—
    — Terima kasih, Wira. Aku akan pergi—
    Tetapi Putut Patrajaya itupun menggeram – Jika lawanmu tidak membunuhmu aku yang akan membunuhmu —
    — Ampun, kakang. Jangan lakukan itu – rengek Putut Witala pula.

    Sementara itu, Glagah Putihpun berkata – Ki Sanak. Kau tidak berhak membunuhnya. Akulah yang berperang tanding. Purba dan Wisesa ada di tanganku. Jika aku tidak membunuhnya, maka tidak ada orang lain yang berhak membunuhnya. Kecuali jika kalian esok atau lusa, setelah keadaan Putut Witala baik kembali, telah membuka perang tanding sendiri.—
    Putut Patrajaya itupun menggeram. Namun kemudian iapun segera meninggalkan tempat itu tanpa minta diri. Beberapa orang cantrik yang lain menjadi bingung. Tetapi mereka merasa kasihan kepada Putut Witala yang sudah kehilangan harga dirinya itu.

    Namun Glagah Putih itupun kemudian berkata sekali lagi — Pergilah. Aku juga akan pergi. Jika terjadi sesuatu pada paman dan bibi, maka guru Punta akan minta bantuan prajurit Mataram yang ada di Jati Anom. Padepokanmu akan diratakan dengan tanah justru saat gurumu tidak ada di padepokan—
    Ternyata Glagah Putihlah yang telah pergi lebih dahulu meninggalkan tempat itu, bersama Rara Wulan dan Punta. Disepanjang jalan, mereka masih membicarakan tingkat kemampuan Putut Witala yang ternyata tidak lebih tinggi dari Punta sendiri.
    — Kita hanya mendapat sekadar ancar-ancar – berkata Glagah Putih – tetapi tidak ada yang menarik perhatian. Semuanya masih pada tataran sewajarnya.—

    Rara Wulan yang juga berkepentingan mengangguk-angguk. Jika tataran ilmu Witala itu sudah diberi gelar Putut di padepokan itu, maka ilmunya tentu sudah melampaui saudara-saudaranya. Sebelum senja mereka sudah sampai di rumah Punta. Ayah dan ibu Punta yang sedang duduk di serambi bangkit menyongsong mereka. Dengan nada cemas ayah Punta itupun bertanya -Darimana saja kalian ngger. Sampai menjelang senja kalian baru pulang.— Glagah Putih tersenyum sambil menjawab – Kami berjalan-jalan menyusuri jalan setapak paman. Udaranya terasa sejuk. Pemandangan di lereng Gunung Merapi nampak sangat menarik, sehingga kami menjadi lupa waktu.—
    — Kalian pergi ke padepokan itu ?—

    Glagah Putih menarik nafas panjang. Tetapi kemudian ia menggeleng – Tidak, paman. Kami hanya menemui beberapa orang muridnya untuk berbincang-bincang.— Orang tua itu mengangguk-angguk. Namun iapun berkata -Kau nampak letih ngger.— Glagah Putih mengerutkan dahinya. Namun kemudian iapun berkata – Sedikit, paman.—
    — Nah, silahkan duduk. Nanti kalau keringat kalian sudah kering, silahkan mandi.—
    —Ya, paman.—
    — Kau belum mengisi jambangan pakiwan Punta.— Punta tersenyum. Katanya – Ya, ayah. Aku akan mengisinya.— Tetapi Glagah Putihpun menyahut – Biarlah aku membantunya, paman.—

    Demikianlah, keduanyapun duduk beristirahat di serambi samping. Ibu Puntapun kemudian telah menghidangkan minuman hangat bagi mereka bertiga.
    — Kapan keringatku kering, jika aku minum minuman hangat ini, ibu? – bertanya Punta.
    — Kalau begitu, kau tidak usah menunggu keringatmu kering – sahut ibunya. Punta tertawa. Glagah Putih dan Rara Wulanpun tertawa pula. Ketika ibu Punta itu meninggalkan mereka dan kembali duduk di serambi depan bersama suaminya, maka ketiganyapun segera menghirup minuman hangat itu. Sebenarnyalah bahwa mereka memang haus. Apalagi Glagah Putih.

    Sementara mereka duduk sambil minum minuman hangat, mereka masih saja berbicara tentang Putut Witala, kemampuannya serta sikap beberapa orang cantrik dari padepokan itu.
    — Putut Patrajaya nampaknya agak berbeda dengan Putut Witala – berkata Glagah Putih.
    — Ya. Tetapi nampaknya Putut Witala mempunyai wewenang yang lebih besar di padepokan itu – sahut Punta – mungkin gurunya lebih dekat dengan Putut Witala, atau barangkali Putut Witala itu masih mempunyai sangkut paut darah keturunan dengar orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati.—

    Glagah Putih mengangguk-angguk. Dengan nada datar iapun bergumam – Tetapi apakah benar Putut Witala tidak akan mengganggu keluargamu, Punta?—
    Punta menggeleng. Katanya – Tidak. Ia benar-benar tidak akan mengganggu ayah dan ibu. Putut Witala tahu benar akan kekuatan prajurit Mataram yang berada di Jati Anom, yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Untara. Jika Ki Untara marah, maka padepokan itu akan benar-benar disapu seperti debu.— Glagah Putih tertawa – Katanya – Kau bertumpu pada kekuatan orang lain.—
    — Untuk menghadapi orang-orang licik, kadang-kadang kita juga harus berlaku licik.— Glagah Putih dan Rara Wulanpun tertawa berkepanjangan.

    Dengan penjajagan itu, maka kebutuhan Glagah Putih dan Rara Wulan agaknya sudah terpenuhi. Karena itu maka Glagah Putihpun berkata – Punta. Karena keperluanku datang kemari sudah selesai, maka sebaiknya esok kita kembali saja ke padepokan.—
    — Jangan esok, kakang. Tetapi lusa.—
    — Kenapa?—
    — Rasa-rasanya aku masih ingin tinggal di rumah sehari lagi. Aku ingin benar-benar beristirahat tanpa memikirkan persoalan apapun. Selama aku berada di rumah kali ini, aku justru menjadi tegang. Nah, biarlah esok aku melepaskan ketegangan itu dengan berada di tengah-tengah kawan-kawanku semasa remaja.— Glagah Putih dan Rara Wulan tersenyum. Dengan nada datar Glagah Putihpun berkata – Baiklah. Kita akan turun esok lusa.—

    Sebenarnyalah, bahwa Glagah Putih dan Rara Wulan masih berada sehari lagi di rumah Punta. Kepada ayah dan ibu Punta. Glagah Putih dan Rara Wulanpun memberitahukan, bahwa keperluan mereka telah selesai. Sehingga esok lusa mereka akan minta diri.—
    — Baiklah ngger. Tetapi jika tugas-tugas yang angger emban telah selesai kelak, aku harap angger singgah lagi kemari. Sebenarnyalah bahwa aku menjadi kesepian setelah anak-anak tinggal di rumah mereka sendiri-sendiri. Sementara Punta berada di padepokan.—
    — Aku akan berusaha paman dan bibi. Kelak, jika tugas-tugasku telah selesai, maka aku akan singgah lagi ke mari.-

    Sebenarnyalah Punta telah mempergunakan waktunya yang sehari untuk menemui kawan-kawannya yang masih berada di padukuhan. Rasa-rasanya masih asyik juga bergurau dengan mereka. Sebagian dari mereka, bahkan telah berkeluarga. Sedang masih ada juga yang belum. Tetapi yang sehari itupun segera lewat. Matahari terasa beredar sangat cepat, sehingga tiba-tiba saja senjapun telah turun. Malam itu, setelah makan malam, maka Glagah Putih dan Rara Wulan telah mengutarakan niatnya bahwa esok pagi mereka akan minta diri bersama Punta yang harus kembali ke padepokan.

    — Kenapa begitu tergesa-gesa? – bertanya ayah Punta.
    — Kami sudah cukup lama berada di sini, paman. Akupun telah mendapatkan bahan-bahan yang memadai. Sementara itu, Punta tidak dapat lebih lama lagi meninggalkan padepokannya.—
    — Baiklah ngger. Tetapi jangan lupa, pada suatu kesempatan aku harap angger singgah di rumahku ini.—
    — Tentu paman. Meskipun aku tidak dapat menyebut, kapan aku akan singgah. Tetapi aku harap, aku akan mendapat kesempatan yang cukup untuk tinggal disini bersama Punta.—

    — Aku hanya dapat mengucapkan selamat jalan dan selamat bertugas kepada angger berdua. nampaknya tugas angger adalah tugas yang cukup berat, sehingga karena itu, maka angger harus melakukannya dengan sungguh sungguh dan sangat berhati-hati.—
    — Baik, paman. Kami berdua mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kesempatan yang paman dan bibi berikan kepada kami untuk membantu tugas-tugas kami.—
    — Yang aku lakukan tidak ada harganya dibandingkan dengan tugas yang dibebankan di bahu angger berdua —

    Demikianlah, ketika malam menjadi semakin malam maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah dipersilahkan untuk beristirahat. Esok mereka akan menempuh perjalanan menuruni kaki Gunung Merapi pergi ke padepokan kecil di Jati Anom.
    — Bukankah hanya sebuah perjalanan yang pendek saja paman. Apalagi jalannya menurun sehingga rasa-rasanya kami tinggal menggelinding saja, sehingga saat matahari sepenggalah, kami sudah sampai di Jati Anom.—
    Orang tua Punta itu hanya tersenyum saja. Sejenak kemudian, pada wayah sepi uwong, Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah berada dalam biliknya. Demikian pula Punta yang merasa dirinya telah menjadi segar setelah beristirahat sehari penuh. Beberapa saat kemudian, merekapun telah tertidur nyenyak.

    Pagi-pagi sekali mereka telah bangun. Seperti biasanya, Punta dan Glagah Putih bergantian mengisi jambangan di Pakiwan, sementara Rara Wulan membantu ibu Punta di dapur. Beberapa saat kemudian, setelah mandi, maka merekapun segera berbenah diri. Ayah dan ibu Punta masih minta Glagah Putih, Rara Wulan dan Punta sendiri untuk makan pagi. Kemudian menjelang matahari terbit merekapun telah siap untuk berangkat.

    Udara di kaki Gunung Merapi itu terasa dingin. Dihutan lereng pegunungan, burung-burung liar berkicau dengan suaranya yang melengking tinggi, seakan-akan sedang menyanyikan tembang untuk menyambut terbitnya matahari pagi
    Demikianlah Glagah Putih, Rara Wulan dan Puntapun meninggalkan rumah itu, Kedua orang tua Punta dan kemenakannya yang remaja telah melepas mereka di pintu regol halaman rumahnya.

    Beberapa saat kemudian, maka ketiga orang itupun telah menuruni kaki Gunung Merapi. Mereka memilih jalan yang lain, bukan jalan yang mereka lewati pada saat mereka berjalan naik. Mereka tidak melewati bulak-bulak panjang yang hijau. Padukuhan-padukuhan yang sederhana, tetapi diliputi oleh kehidupan yang tenang dan terasa damai.

    Perjalanan mereka memang bukan perjalanan yang jauh. Tetapi seperti ketika mereka berangkat, maka pada saat mereka pulang, mereka memilih jalan yang tidak terlalu dekat dengan barak pasukan Ki Tumenggung Untara. Mereka akan langsung pergi ke padepokan lebih dahulu. Baru kemudian Glagah Putih dan Rara Wulan akan pergi menemui Ki Tumenggung. Ketika mereka melewati pasar, pasar itu nampak cukup ramai. Ada beberapa orang penjual nasi tumpang di pasar itu. Disudut pasar terdapat dua bengkel pande besi yang membuat peralatan pertanian. Bahkan mereka mampu juga membuat senjata yang sederhana.

    Beberapa saat Glagah Putih, Rara Wulan dan Punta berhenti di depan pasar untuk melihat-lihat Seorang perempuan menjual beberapa buah golek kayu yang manis dengan sungging yang halus. Sedang disisi yang lain, beberapa orang penjual kain tenun telah menggelar dagangannya.
    — Kau darimana Punta. Pagi-pagi sudah berkeliaran di pasar?—
    Punta berpaling. Dilihat seorang kawannya berdiri termangu-mangu. Kemudian orang itu masih saja bertanya- Apakah kau sudah mendapat ijin dari gurumu?
    Punta tertawa. Katanya – Tentu sudah. Aku diperintahkan oleh guru untuk memesan beberapa alat pertanian.—

    — Bukankah di padepokanmu ada juga bengkel pande besi dan beberapa orang cantrik juga sudah pandai membuat alat-alat pertanian?—
    Punta mengerutkan dahinya. Namun kemudian iapun menjawab – Kami memerlukan agak banyak. Sebagian memang akan kami buat sendiri, tetapi sebagian kami masih harus memesan.—
    Kawannya mengangguk-angguk. Katanya – Marilah. Aku juga akan membeli sebatang sumbat besi untuk mengupas kelapa.—
    — Aku, aku, sudah dari sana – jawab Punta agak gagap. Orang itu mengangguk-angguk. Iapun kemudian pergi meninggalkan Punta sebelum diperkenalkan dengan Glagah Putih. Ketika orang itu sudah menjauh, justru Rara Wulanlah yang bertanya – Siapa orang itu ?—

    — Aku sudah lupa, kapan aku mengenalnya. Tetapi ia seorang yang kurang dapat menyesuaikan dirinya. Ia pernah berguru pada seorang yang berilmu tinggi di Mataram. Justru karena itu, ia merasa memiliki banyak kelebihan dari mereka yang berguru di perguruan yang jauh dari kota, sebagaimana perguruan di Jati Anom Ia sering datang ke padepokan. Berbicara kesana-kemari. Sebenarnya saudara-saudara seperguruanku kurang senang kepadanya, karena ia selalu menggurui. Mengajari dan kadang-kadang mencela apa yang kami lakukan di padepokan kami.—
    —Tentang olah kanuragan? – bertanya Rara Wulan pula.

    — Tentu tidak. Meskipun ia sering datang ke padepokan, ia tidak pernah sempat menyaksikan latihan-latihan yang bersungguh-sungguh di sanggar tertutup atau di sanggar terbuka. Yang pernah dilihatnya adalah latihan-latihan pemanasan bersama-sama para murid dari segala tingkatan di halaman samping padepokan kami.—
    — Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Sementara Glagah Putihpun bertanya – Tetapi bagaimana dengan ilmu orang itu sendiri.—
    — Mungkin ia memang sudah agak lama berguru. Tetapi masih harus banyak yang dipelajari kalau ingin menempatkan dirinya diantara mereka yang berilmu tinggi—

    Di luar sadarnya, Glagah Putihpun berpaling. Ia masih melihat orang itu berdiri di muka pintu gerbang pasar. Nampaknya ia juga sedang memberikan petunjuk-petunjuknya kepada dua orang kawannya yang ditemuinya di pintu gerbang pasar. Tetapi pembicaraan mereka tidak lama. Kedua kawannya itupun segera meninggalkannya. Agaknya mereka merasa jenuh untuk berbicara dengan orang yang sombong itu. Punta yang juga memperhatikan orang yang berdiri di depan pintu gerbang pasar itu berkata – Hanya aku yang kadang-kadang dapat memaksa diri untuk berbicara agak panjang dengan orang itu. Aku dapat menjadi pendengarnya yang baik.—

    🙂 🙂

  31. Api Dibukit Menoreh
    Jilid IV – 92
    Bagian 🙂 🙂 🙂 dari 3

    Glagah Putih dan Rara Wulan tersenyum sambil mengangguk-angguk. Dengan nada datar Glagah Putihpun berkata – Kau memang seorang pendengar yang baik, Punta. Apapun yang dikatakan orang lain kepadamu.-Punta justru tertawa karenanya. Demikian, mereka segera melanjutkan perjalanan yang tinggal beberapa langkah. Mereka segera meninggalkan pasar dan berjalan perlahan-lahan menyusuri jalan yang berbelok ke Utara.

    Ketika mereka sampai di padepokan, matahari masih belum sampai ke puncak. Sementara itu, Ki Widura dengan beberapa cantrik pada tataran pertama sedang berada di sanggar. Jika Punta ada di padepokan, kadang-kadang Ki Widura memerintahkan Punta dengan beberapa orang saudara seperguruannya pada tataran tertinggi di padepokan itu, untuk ikut mengawasi pada cantrik dari tataran pertama itu. Sambil menunggu Ki Widura, maka Punta, Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah berbaur dengan para cantrik. Glagah Putih dan Rara Wulan lebih senang menyaksikan para cantrik yang secara khusus mendalami pekerjaan pande besi di bengkel. Seorang yang sudah memahami benar-benar pekerjaannya, memberikan beberapa petunjuk kepada beberapa cantrik yang sedang memperdalam keterampilannya di bengkel itu. Di perapian yang panas sehingga keringat mereka membasahi tubuh mereka.

    Para cantrik yang bekerja di bengkel untuk membuat alat-alat pertanian itu telah membuka baju mereka agar mereka tidak merasa seperti dipanggang diatas bara.
    Tanpa mengenakan baju, gerak tangan merekapun menjadi lebih cekatan. Yang menggerakkan ububan, lengannya tidak terganggu oleh lengan bajunya. Ternyata beberapa orang cantrik benar-benar telah cekatan. Mereka mengangkat palu tinggi-tinggi, kemudian terayun menghantam sepotong besi yang sudah membara dengan arahan yang harus dibidik dengan tepat agar alat yang dibuatnya dapat jadi seperti yang diharapkan.

    Sementara itu, Puntapun telah memasuki sanggar terbuka. Empat orang cantrik pada tataran yang sudah terhitung tinggi, sedang berlatih memperkokoh kaki mereka secara khusus.
    — Bagus – desis Punta – teruskan. Kakimu akan menjadi anggauta tubuhmu yang sangat berarti.—
    Keempat cantrik itupun meneruskan latihan mereka. Beberapa saat Punta justru menunggui mereka serta memberikan beberapa petunjuk. Para cantrik itu tidak saja berlatih memperkokoh dan mempercepat gerak kaki mereka secara khusus, tetapi merekapun sekaligus telah melatih keseimbangan mereka juga.

    Sedikit lewat tengah hari, maka para cantrik itupun beristirahat. Merekapun pergi ke pakiwan untuk mencuci muka, tangan dan kaki. Baru kemudian mereka pergi ke dapur untuk makan siang. Ki Widurapun telah mempersilahkan Glagah Putih dan Rara Wulan untuk makan siang bersamanya. Sambil makan, Glagah Putih dan Rara Wulan menceriterakan perjalanan mereka ke rumah Punta, sehingga Glagah Putih berhasil menjajagi kemampuan Putut Witala.

    — Seorang yang telah mendapat gelar Putut, adalah seorang yang telah tuntas ilmunya, ngger. Tetapi ia belum memiliki ilmu sebaik gurunya. Bahkan mungkin masih jauh dari kemampuan gurunya itu.—
    Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Mereka memang menyadari, bahwa ilmu Putut Witala tentu masih jauh dari tingkat ilmu gurunya. Menurut Ki Patih Mandaraka orang yang mengaku bernama Pangeran Ranapati yang juga menyebut dirinya Singa Wana adalah orang yang berilmu tinggi.

    Dalam pada itu, Ki Widurapun berkata pula – Pangeran Ranapati itu pernah naik lebih tinggi lagi dari padepokannya di lereng Gunung Merapi dan bertapa untuk beberapa lama mempertajam ilmunya. Mungkin iapun telah menjalani ilmunya yang lain yang dapat membuatnya menjadi orang yang sulit dicari tandingnya. Sehingga pada suatu hari, orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu meninggalkan pertapaan dan padepokannya mengembara ke Timur.—
    — Tentu sesudah Pangeran Jayaraga mendapat kedudukan baru di Panaraga.—
    — Mungkin, Glagah Putih – Ki Widura itupun mengangguk-angguk sambil mengingat-ingat. Namun kemudian iapun bertanya – Apakah kau yakin bahwa kepergian orang yang disebut Pangeran Ranapati itu ada hubungannya dengan tugas Pangeran Jayaraga di Panaraga?—

    — Tidak, ayah. Ki Patihpun tidak. Tugasku adalah mencari orang yang menamakan diri Pangeran Ranapati itu dan membawa pulang ke Mataram. Kecuali jika di lapangan aku menemukan alasan yang kuat bahwa aku tidak perlu membawanya pulang.—
    — Atau kalau terjadi kecelakaan – sambung Rara Wulan – kecelakaan itu dapat saja terjadi pada kedua belah pihak.—
    Ki Widura menarik nafas panjang. Katanya – Kalian harus berhati-hati. kalian harus selalu berdoa pula, agar kalian berhasil.—
    — Ya, ayah – jawab Glagah Putih dan Rara Wulan hampir berbareng. Glagah Putihpun kemudian meneruskan – Aku minta ayahpun selalu berdoa untuk kami.—

    — Ya. Aku akan selalu mendoakan kalian berdua.— Dalam pada itu. Ki Widurapun kemudian bertanya – Apakah kau masih akan menemui kakangmu Untara?
    — Ya. Ayah aku akan menemuinya lagi dan sekaligus minta diri. Aku tidak boleh terlalu lama disini. Esok aku akan berangkat ke Timur. Mungkin esok aku masih akan singgah di Sangkal Putung.—
    Ki Widurapun mengangguk-angguk. Ia sadar, bahwa tugas yang dipikul oleh anak dan menantunya itu adalah tugas yang berat. Namun jika Ki Patih Mandaraka memilih Glagah Putih dan Rara Wulan, tentu bukannya tanpa alasan.—
    — Sore nanti aku akan menemui kakang Untara – berkata Glagah Putih kemudian.

    Setelah beristirahat sebentar, maka Ki Widurapun telah siap pula untuk memasuki sanggar tertutup bersama murid-muridnya pada tataran yang teratas. Diantara mereka terdapat pula Punta yang juga sudah ada di Padepokan. Sementara Ki Widura berada di sanggar, maka Glagah Putih dan Rara Wulan minta diri untuk pergi ke Jati Anom menemui Ki Tumenggung Untara. Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan sampai di rumah Untara, maka yang menemui mereka adalah Nyi Untara. Glagah Putih dan Rara Wulan itupun kemudian dipersilahkan duduk di pringgitan.

    — Kakangmu berada di barak – berkata Nyi Untara- biarlah ia dipanggil.—
    — Tidak usah mbokayu. Biar kami saja pergi ke barak.—
    — Jadi kalian saja yang akan ke Barak?—
    — Ya, mbokayu. Kami juga ingin melihat barak kakang Tumenggung yang belum lama ini baru saja dipugar.—
    — Ah, tidak dipugar. Hanya sekedar memperbaiki atap yang bocor, dinding yang renggang dan kerusakan-kerusakan kecil lainnya. Sebulan lagi akan datang musim hujan. Jika barak itu tidak diperbaiki secara keseluruhan dan hanya ditambal sulam saja, maka kebocoran atapnya hanya akan berpindah-pindah saja dari satu tempat ke tempat yang lain.—
    — Bukankah barak kakang Tumenggung juga diperluas?—

    — Kakangmu memanfaatkan gumuk kecil di sebelah baraknya untuk membuat sanggar terbuka. Sedangkan di bekas sanggar terbuka yang lama, memang dibangun barak karena barak yang sudah ada sebenarnya terasa terlalu sempit.—
    Demikianlah, maka Glagah Putih dan Rara Wulan itupun minta diri untuk menemui Untara di baraknya.
    — Nanti, dari barak aku akan singgah kemari.—
    — Sungguh?—
    — Sungguh – Rara Wulanlah yang menyahut.
    — Aku akan menyediakan minum buat kalian.—

    Glagah Putih dan Rara Wulanpun meninggalkan regol halaman rumah Untara. Baraknya terletak tidak terlalu jauh dari rumah Untara. Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan sampai ke barak, maka prajurit yang bertugaspun segera menyampaikannya kepada Ki Tumenggung, karena sebagian besar para prajurit di barak Ki Tumenggung Untara itu sudah mengenal Glagah Putih dan Rara Wulan.
    — Silahkan – seorang prajurit mempersilahkan mereka memasuki ruang khusus untuk menerima tamu-tamu penting Ki Tumenggung Untara.

    Sejenak kemudian, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun sudah duduk di ruang khusus itu, diterima oleh Ki Tumenggung Untara.
    — Kami sudah berusaha untuk mencari keterangan lebih lanjut tentang lingkungan yang ditinggalkan oleh orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu, kakang -berkata Glagah Putih. Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan ketika mereka melihat Ki Tumenggung itu tersenyum. Bahkan kemudian Ki Tumenggung itupun berkata – Ya. Kau sudah mendapat keterangan cukup jauh. Kau sudah menjaja-gi kemampuan salah seorang Putut di padepokan itu. Namun agaknya Putut itu tidak memenuhi keinginanmu, karena Putut itu ternyata terlalu lemah dihadapanmu.—

    Glagah Putih dan Rara Wulan terkejut. Dengan serta merta Glagah Putih itupun bertanya – Darimana kakang Tumenggung mengetahuinya?—
    — Ketika kau mengatakan, bahwa kau akan mencari keterangan lebih jauh dan pergi ke rumah cantrik dari padepokan paman Widura, aku telah mengirimkan beberapa orang prajurit sandi untuk mengawasi keadaan.—
    Glagah Putih dan Rara Wulan menjadi berdebar-debar. Sebelum mereka mengatakan sesuatu, Ki Tumenggung itupun berkata – Jangan tersinggung. Kau juga prajurit sandi. Tetapi prajuritku adalah prajurit yang sudah berpuluh tahun melakukan tugas sandi. Ia mempunyai pengalaman yang jauh lebih luas dalam tugas-tugas sandi meskipun tingkat ilmu mereka berada pada tataran yang jauh dibawah tingkat ilmu kalian.—

    Glagah Putih dan Rara Wulan menarik nafas panjang. Namun keduanyapun kemudian tertawa pendek. Dengan nada tinggi Glagah Putih itupun berkata – Kami memang masih harus mentertawakan kemampuan kami dalam tugas sandi.—
    — Jangan berkecil hati – berkata Ki Tumenggung sambil tersenyum – justru karena kalian memiliki ilmu yang tinggi, maka kalian merasa mampu mengatasi kesulitan-kesulitan yang mungkin kau hadapi dalam tugas-tugas kalian. Sedangkan petugas sandi yang tidak memiliki ilmu setinggi ilmumu, akan merasa harus lebih berhati-hati. Mereka harus mengandalkan kemampuan mereka dalam menyamarkan dirinya dalam tugas-tugasnya daripada harus mengandalkan ilmu kanuragan mereka ? —

    Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Ternyata bahwa kecerdikan dan sikap sangat hati-hati, diperlukan sekali dalam tugas-tugas sandi tanpa harus mengandalkan ilmu yang sangat tinggi. Sementara itu Ki Tumenggung Untara itupun bertanya – Nah, bagaimana pendapatmu dengan kemampuan salah seorang Putut murid orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu?—
    — Seperti yang kakang Tumenggung katakan. Ia masih belum waktunya untuk ditetapkan menjadi seorang Putut yang dihadapan para murid dapat mewakili gurunya.—

    — Memang Glagah Putih, Hanya dihadapan gurunya. Karena itu, orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu berani memberikan gelar Putut kepadanya.—
    — Tetapi dalam keadaan yang mendesak, bukankah ia harus berhadapan pula dengan orang di luar perguruannya.—
    — Itu jarang terjadi. Atau mungkin dengan sengaja orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu meninggalkan jejak yang samar. Dengan kelemahan yang dapat dilihat pada para muridnya yang sudah digelarinya Putut, maka orang akan mengira, bahwa iapun merupakan seorang guru yang lemah. Tetapi orang itu akan keliru. Pangeran Ranapati bukan orang yang lemah.

    — Tetapi Pututnya yang seorang lagi, yang ikut menjadi saksi dalam perang tanding itu, agaknya memiliki ilmu yang lebih tinggi. Tetapi wewenangnya lebih kecil dari Putut Watilan, Putut yang turun dalam perang tanding itu.—
    Ki Tumenggung Untara mengangguk-angguk. Katanya -Masih banyak yang harus diketahui.—
    — Tetapi aku tidak dapat terlalu lama menunggu disini, kakang. Aku harus segera pergi ke Timur. Pangeran Jayaraga sudah berada di Panaraga.—

    — Baiklah. Tetapi kau belum mempunyai bahan yang cukup banyak. Sementara itu prajurit sandiku juga belum berhasil menemui perempuan yang mengaku ibu dari orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu. Orang itu sendiri mengatakan, bahwa ibunya sudah meninggal.—
    — Ya. Mungkin kakang dapat meneruskan penelusuran itu lewat para prajurit sandi. Jika perlu, aku akan datang lagi untuk mengetahui kebenaran kabar itu.—
    — Baiklah. Tetapi kau harus sadari, bahwa tugasmu adalah tugas berat. Apalagi jika orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu berhasil membayangi tugas-tugas Pangeran Jayaraga.—
    — Ya, kakang.—

    — Kapan kau akan berangkat?—
    — Esok pagi. Kami berniat untuk singgah di Sangkal Putung. Sudah lama kami tidak pergi ke Sangkal Putung atau mungkin dongeng dari kaki gunung Merapi tentang seorang putera Lembu Peteng dari Panembahan Senapati itu juga terdengar dari Sangkal Putung.
    — Sekali lagi pesanku, kalian harus sangat berhati-hati. Kalian jangan terlalu bersandar kepada tingkat ilmu kalian yang tinggi dalam tugas sandi kalian.-

    Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Apa yang dilakukan para petugas sandi dalam kesatuan yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Untara, yang mempunyai pengalaman yang sangat luas itu, telah mengajarkan kepada mereka, bahwa keberhasilan para prajurit sandi tidak saja tergantung dari kemampuannya, tetapi juga kecerdikan, hati-hati dan kecepatan menanggapi satu persoalan yang tiba-tiba saja dihadapi. Namun lebih dari semuanya itu, kemampuan dan ilmu yang tinggi itu mempunyai berbagai macam pengaruh untuk mengatasi persoalan yang dihadapi.

    Demikianlah, maka beberapa saat kemudian, setelah Glagah Putih dan Rara Wulan mendengarkan berbagai macam pesan dari Ki Tumenggung Untara, maka merekapun segera minta diri.
    — Aku berjanji kepada mbokayu untuk singgah di rumah kakang. Mbokayu tadi sedang menyiapkan minuman hangat.—
    Ki Tumenggung Untara tersenyum. Dihatinya ia menyimpan harapan bahwa Glagah Putih akan dapat menjadi seorang prajurit yang tidak kalah dari Ki Rangga Agung Sedayu. Kecerdasannya, ketajaman pandangan, pendapat dan Panggraitannya serta ilmunya.

    Seperti yang dijanjikan, maka Glagah Putih dan Rara Wulan memang singgah di rumah Ki Tumenggung Untara sejenak. Nyi Tumenggung sudah menyediakan minuman yang sudah siap dituang. Demikian tamunya itu datang, minuman itu baru dituang di mangkuk agar tidak dingin. Beberapa saat Glagah Putih dan Rara Wulan duduk di pringgitan rumah Ki Tumenggung. Mereka mendengar bahwa Sabungsari masih belum kembali ke barak justru dari Nyi Tumenggung. Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan tidak begitu lama berada di rumah Ki Tumenggung. Setelah minum minuman hangat serta makan beberapa potong makanan yang telah disediakan, maka merekapun minta diri.

    — Kenapa kalian begitu tergesa-gesa. Kenapa kalian tidak menunggu kakangmu pulang dari barak?—
    — Bukankah kami sudah menemuinya di barak.—
    — Tetapi tentu sekedar persoalan tugas yang kalian emban. Disini kalian dapat berbicara tentang apa saja.—
    — Lain kali, mbokayu – sahut Rara Wulan sambil tersenyum – Kami berharap bahwa kami dapat menjalankan tugas kami dalam waktu yang tidak terlalu lama, sehingga kami akan segera dapat datang lagi kemari.—

    Nyi Tumenggung tidak dapat menahan mereka. Keduanyapun kemudian meninggalkan rumah Ki Tumenggung. Di halaman mereka bertemu dengan seorang remaja yang melihat sorot matanya masih sangat muda. Tetapi melihat ujudnya, remaja itu seakan-akan sudah menjadi seorang anak muda yang dewasa.
    — Beri salam pada pamanmu – berkata Nyi Tumenggung. Remaja itupun kemudian membungkuk hormat. Ketika Glagah Putih mengacungkan tangannya, remaja itu menyambutnya kemudian mencium tangan itu. Demikian pula tangan Rara Wulan.

    Ketika Glagah Putih menepuk bahu remaja itu, maka iapun mengerutkan dahinya sambil berkata – Harapan bagi masa mendatang mbokayu.—
    — Ah, nakalnya bukan main. Kesenangannya bermain-main dengan kuda.—
    — Satu permainan yang bagus. Apakah ia juga senang berada di sanggar.—
    — Ya. Bersama ayahnya.—
    Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Sementara remaja itupun telah berlari ke pintu seketeng.
    — Ia agak kurang mengenal unggah-ungguh. Aku harus lebih keras mengajarinya.—
    — Ia masih anak-anak, mbokayu.—

    Demikianlah, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah keluar dari pintu regol halaman dan turun ke jalan, sementara Nyi Tumenggung melepas mereka sampai di tangga pintu regol halamannya. Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian menyusuri jalan kademangan Jati Anom. Jalan yang sudah dikenalnya sejak ia masih kanak-kanak. Di padepokan, Ki Widurapun bertanya kepada mereka, apakah mereka benar-benar akan meninggalkan padepokan esok pagi.
    — Ya, ayah – Jawab Glagah Putih – Kami akan singgah sebentar di Sangkal Putung, kemudian langsung menempuh perjalanan ke Timur.
    — Kalau begitu kalian perlu berbenah diri. Apa saja yang akan kau persiapkan untuk kau bawa esok.—

    — Tidak ada yang harus dipersiapkan ayah.—
    Ki Widura tersenyum. Anaknya memang tidak pernah mempersiapkan apa-apa untuk dibawa jika ia pergi mengembara. Yang tidak boleh ketinggalan adalah ikat pinggangnya, sebagaimana Rara Wulan selalu membawa selendangnya. Selendangnya yang sangat khusus baginya. Malam itu, Glagah Putih dan Rara Wulan mengadakan pertemuan dengan para cantrik di padepokan kecil itu untuk minta diri.

    — Sebenarnya kakang ini mau kemana? – bertanya seorang cantrik. Glagah Putih tersenyum sambil menjawab – Aku adalah seorang pengembara. Karena itu, kerjaku adalah mengembara. Esok aku akan pergi kearah matahari terbit.—
    Seorang cantrikpun kemudian bertanya – Kau akan melihat apa yang ada di balik cakrawala, kakang.—
    — Ya. Aku ingin melihat sarang matahari. Dimana ia tidur dimalam hari.—
    Para cantrik itupun tertawa.

    Namun pertemuan itu tidak berlangsung sampai terlalu larut. Glagah Putih dan Rara Wulan harus beristirahat sebaik-baiknya. Esok mereka akan berangkat pagi-pagi . Singgah di Sangkal Putung sejenak untuk menengok keluarga Ki Demang serta menyampaikan pesan sungkem Ki Rangga Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Mereka masih belum sempat pergi ke Sangkal Putung. Mungkin setelah Ki Rangga selesai memugar baraknya, baru mereka akan dapat pergi ke Sangkal Putung.

    Dikeesokan harinya, keduanya bangun pagi-pagi sekali sebelum langit menjadi merah. Keduanyapun segera berbenah diri sebelum mereka bersiap-siap untuk mulai dengan perjalanan panjang mereka. Bukan sekedar perjalanan dan pengembaraan biasa untuk mengenali lingkungan baru bagi keduanya. Tetapi keduanya telah mengusung beban yang cukup berat. Setelah minum-minuman hangat serta makan pagi yang disiapkan oleh para cantrik, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun minta diri.

    Ada ketegangan yang nampak membayangi wajah Ki Widura. Ki Widura sadar benar, bahwa anak dan menantunya itu sedang menjalankan tugas yang berat. Mereka harus memburu seorang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati, yang akan dapat menyalahgunakan nama Panembahan Senapati bagi kepentingannya sendiri. Sementara itu, Ingkang Sinuhun telah memerintahkan Pangeran Jayaraga untuk memegang kembali kekuasaan di Panaraga.

    Ki Widura dan beberapa orang cantrik telah melepas Glagah Putih dan Rara Wulan sampai ke gerbang padepokan kecil di Jati Anom itu. Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan beranjak meninggalkannya, maka Ki Widura itu masih berpesan – Hati-hatilah kalian ngger.—
    — Doa dan restu ayah akan menyertai kami – sahut Glagah Putih.
    — Aku akan selalu berdoa bagi keberhasilan dan keselamatan kalian. Jika kelak kalian kembali, aku ingin segera mendengar kabar kedatangan kalian.—
    — Ya, ayah. Aku akan segera kemari.—

    Demikianlah, maka keduanyapun kemudian meninggalkan padepokan kecil itu. Tujuan pertama mereka adalah Sangkal Putung. Jarak antara Jati Anom sampai ke Sangkal Putung memang tidak begitu jauh. Wayah pasar temawon, mereka sudah akan sampai ke rumah Swandaru. Mungkin Swandaru akan terkejut melihat kedatangan mereka di wayah pasar temawon. Disepanjang jalan ke Sangkal Putung menjelang matahari terbit, Glagah Putih dan Rara Wulan sempat mentertawakan sikap Agung Sedayu menjelang masa dewasanya. Agung Sedayu sangat takut kepada hantu yang tinggal di randu alas, yang disebut hantu bermata satu, meskipun ia tahu, bahwa yang disebut mata satu itu adalah bekas cabang yang telah patah. Tetapi Agung Sedayu selalu membayangkan bahwa bekas cabang yang patah itu sebenarnya mata dari hantu bermata satu.

    Namun di pagi hari, menjelang matahari terbit, terasa perjalanan ke Sangkal Putung itu justru menyegarkan tubuh mereka. Udara yang sejuk, kicau burung liar di pepohonan serta jalan yang menurun, rasa-rasanya membuat perjalanan mereka menjadi semakin cepat. Sebenarnyalah sedikit lewat wayah pasar temawon, keduanya telah berada di depan regol halaman rumah Ki Demang Sangkal Putung. Rumah yang terhitung besar di atas halaman yang luas.
    Seorang yang baru sibuk memotong dahan-dahan kayu yang sudah nampak tua serta daunnya mulai menguning di halaman sebelah pendapa segera menyongsongnya.

    — Kalau tidak salah, bukankah ini angger Glagah Putih dari Jati Anom? – bertanya orang itu yang ternyata pernah mengenal Glagah Putih.
    — Ya, paman. Apakah kakang Swandaru ada?—
    — Ada, ada. Aku akan memanggilnya.— Orang itupun segera masuk ke pintu sekoteng. Sejenak kemudian, maka pintu pringgitanpun terbuka. Swandaru dan Pandan Wangi keluar dari ruang dalam untuk menyambut tamunya yang disebut oleh seorang pembantunya dari Jati Anom.

    — Marilah, adi Glagah Putih dan Rara Wulan.— Glagah Putih dan Rara Wulanpun segera naik ke pendapa dan dipersilahkan duduk di pringgitan.
    — Bukankah adi berdua baik-baik saja? – bertanya Swandaru – dan bagaimana dengan keluarga di Tanah Perdikan serta barangkali adi telah singgah di Jati Anom?—
    — Semua baik-baik saja, kakang. Demikian pula keluarga di Jati Anom. Aku memang sudah singgah di Jati Anom menemui ayah dan kakang Untara.—
    — Sokurlah.—
    — Dan bagaimana dengan kakang?—

    Swandaru tersenyum. Katanya sambil berpaling kepada Pandan Wangi – Kami baik-baik saja sekeluarga, adi.—
    — Sokurlah. Semoga Yang Maha Agung akan selalu melindungi kita semuanya.—
    — Semoga adi — Kedatangan adi agak mengejutkan kami. Mudah-mudahan tidak ada apa-apa. Barangkali adi hanya ingin menengok kami sekeluarga setelah agak lama tidak bertemu.—

    — Tidak ada apa-apa kakang. Kami memang datang untuk sekedar singgah menengok keadaan kakang Swandaru sekeluarga di Sangkal Putung. Kamipun membawa sungkem kakang Rangga Agung Sedayu dan mbokayu Sekar Mirah bagi Ki Demang serta salam mereka kepada kakang Swandaru sekeluarga.—
    — Kalau tidak salah, adi menyebut kakang Rangga Agung Sedayu, begitu?—
    — Ya. Kakang Agung Sedayu sudah di wisuda menjadi seorang Rangga.—
    — Sokurlah. Seharusnya kakang Agung Sedayu sudah mendapatkan pangkat lebih tinggi lagi. Mungkin seorang Tumenggung. Tetapi kakang Agung Sedayu tidak suka memperlihatkan jasanya. Ia lebih senang diam namun melakukan sesuatu yang berarti.—

    — Ya. — Glagah Putih mengangguk-angguk – namun akhirnya Ingkang Sinuhun menyetujui usul kenaikan pangkatnya.—
    — Aku akan berusaha untuk dapat mengunjunginya untuk menyampaikan ucapan selamat.—
    — Kakang Agung Sedayu dan mbokayu Sekar Mirah juga berniat untuk datang kemari, kakang. Tetapi saat ini kakang Agung Sedayu sedang sibuk memperluas baraknya. Jika kerja itu sudah selesai, maka kakang Agung Sedayu dan mbokayu Sekar Mirah akan mengunjungi Ki Demang —

    Swandaru mengangguk-angguk. Katanya – Ayah memang sangat mengharapkan mereka datang. Sekarang ayah sudah hampir pikun. Biarlah aku minta ayah menemui adi Glagah Putih.—
    — Sudahlah, kakang. Jika Ki Demang sedang beristirahat. Sungkem kami berdua saja nanti kakang sampaikan.—
    — Tidak apa-apa adi – Pandan Wangilah yang menyahut – ayah masih nampak kuat. Tetapi penglihatannya sudah agak berkurang.—
    Pandan Wangilah yang kemudian bangkit berdiri dan masuk ke ruang dalam. Selain mempersilahkan Ki Demang, Pandan Wangipun telah minta pembantunya untuk mempersiapkan hidangan bagi tamu-tamunya.

    Sejenak kemudian Ki Demang telah keluar dari pintu pringgitan dibimbing oleh Pandan Wangi. Sambil duduk Ki Demangpun bertanya – Angger Glagah Putih dan angger Rara Wulan?—
    — Ya, Ki Demang – sahut Glagah Putih dan Rara Wulan hampir berbareng.
    — Inilah keadaanku sekarang, ngger. Mataku sudah mulai buram. Tetapi pendengaranku masih baik. Aku langsung dapat mengenali suara angger Glagah Putih dan angger Rara Wulan, meskipun penglihatanku atas angger berdua sudah tidak begitu jelas lagi.—

    Ki Demangpun kemudian mulai bertanya tentang keselamatan keluarga anak dan menantunya di -Tanah Perdikan Menoreh. Ketika kemudian Glagah Putih menceritakan bahwa Agung Sedayu sudah diwisuda menjadi seorang Rangga, maka Ki Demangpun nampak menjadi gembira. Untuk beberapa lama Ki Demang ikut menemui Glagah Putih dan Rara Wulan di pringgitan. Ketika kemudian seorang pembantu menghidangkan minuman hangat dan beberapa potong makanan, maka Ki Demang itupun berkata -Silahkan angger berdua. Aku akan beristirahat di serambi. Setiap pagi aku berjemur di panasnya matahari di serambi.—
    — Silahkan, silahkan Ki Demang – sahut Glagah Putih dan Rara Wulan hampir berbareng pula.

    Ketika Ki Demang sudah tidak lagi duduk bersama mereka di serambi, maka Glagah Putihpun mulai berbicara tentang tugas yang diembannya. Ia percaya bahwa Swandaru dan Pandan Wangi tidak akan membocorkan rahasianya, karena merekapun tahu tentang tugas-tugas yang harus dirahasiakan. Swandaru dan Pandan Wangi mendengarkan ceritera Glagah Putih dan Rara Wulan itu dengan seksama. Sekali-kali mereka mengangguk-angguk. Namun kemudian Swandaru itu menyela – Kami sudah meragukan, bahwa orang itu benar-benar putera Panembahan Senapati. Meskipun aku belum mengenal langsung orangnya, tetapi serba sedikit aku pernah mendengar tentang orang itu.—
    — Apa saja yang pernah kakang dengar.—
    — Salah seorang isterinya tinggal di kademangan ini.—

    — Salah seorang isterinya? – bertanya Glagah Putih dengan serta-merta.
    — Ya. Untuk beberapa lama ia berada di padepokan orang yang mengaku bernama Pangeran Ranapati itu. Tetapi ketika Pangeran Ranapati itu pergi meninggalkan padepokannya, maka perempuan itu pulang ke rumahnya -Pandan Wangilah yang menjawab – dengan bangga isterinya sering menceritakan tentang suaminya yang diyakininya sebagai seorang Pangeran, meskipun pengakuannya masih harus diperjuangkan. Menurut isterinya, kepergian Pangeran itu dalam rangka usahanya untuk mendapatkan pengakuan tentang kenyataan dirinya.—
    — Kenapa perempuan itu meninggalkan padepokan?—

    Pandan Wangi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya – Perempuan itu memang agak banyak berbicara. Baik tentang dirinya sendiri, maupun tentang suaminya. Ia meninggalkan padepokan itu karena isteri-isteri orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu saling mendengki. Saling iri dan bahkan saling memfitnah. Menurut perempuan itu, tentu saja bahwa ia adalah orang terbaik diantara beberapa orang isteri orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu. Karena itu, pada saat suaminya tidak ada di padepokan, ia lebih baik pulang ke rumahnya saja.—

    Rara Wulanpun kemudian bertanya – Apakah perempuan itu juga berceritera tentang tujuan kepergian suaminya? Untuk apa dan barangkali perempuan itu menyebut, kemana?—
    — Perempuan itu tidak tahu, suaminya akan pergi kemana. Tetapi seperti aku katakan tadi, menurut perempuan itu, suaminya sedang berusaha membuka tabir kebenaran tentang dirinya, bahwa ia adalah seorang Pangeran, putera Panembahan Senapati.—
    — Jadi perempuan itu tidak pernah menyinggung kemana suaminya pergi?—
    — Tidak. Entahlah jika ia berceritera kepada orang lain.—

    Swandarupun menyambung pula – Mungkin suaminya memang tidak pernah mengatakan kepadanya, apa yang akan dilakukannya.— Glagah Putih dan Rara Wulanpun mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja Swandaru itupun berkata kepada Pandan Wangi – Sebenarnya aku tidak ingin berurusan dengan masalah-masalah pribadi. Tetapi bukankah hampir semua orang mengatakan, bahwa Nyi Mas Saminten mempunyai hubungan yang khusus dengan Sumirat?—
    — Kata orang, kakang. Tetapi aku juga tidak begitu memperhatikan persoalan-persoalan pribadi seperti itu.—

    — Nyi. Kita memang tidak akan berurusan dengan masalah pribadi diantara mereka. Tetapi dalam hubungan tugas adi Glagah Putih, mungkin Sumirat yang dikatakan orang menjadi sangat dekat dengan Nyi Mas Saminten itu dapat membantu. Hubungan antara Sumirat dan Saminten, menurut kata orang, berlangsung sejak Saminten kembali dari padepokan Pangerannya itu.—
    Padan Wangi termangu-mangu sejenak. Nampak ada keseganan di wajahnya, bahwa seakan-akan ia harus mencampuri persoalan yang sangat pribadi itu.

    Namun Swandaru itupun kemudian berkata -Bagaimana pendapatmu Nyi, bahwa aku akan mempergunakan hakku sebagai pemangku jabatan Demang di Sangkal Putung, untuk minta keterangan kepadanya tentang hubungannya dengan Saminten.— Pandan Wangi menarik napas panjang. Tetapi iapun berkata – Untuk satu kepentingan yang lebih besar, dapat saja kakang melakukannya.—

    Swandaru itupun kemudian bergumam, seakan-akan ditujukan kepada dirinya sendiri – Baik. Aku akan memanggilnya dan minta beberapa keterangan kepadanya tentang hubungannya dengan Nyi Mas Saminten. Sebagai seorang yang melaksanakan tugas ayah, aku dapat saja menganggap bahwa yang dilakukannya itu adalah satu tindakan yang kurang pantas. Apalagi Sumirat sendiri masih terikat dalam hubungan keluarga. Ia masih mempunyai isteri dan anak yang menjadi tanggungannya.

    — Kakang Swandaru akan memanggilnya? – bertanya Glagah Putih agak ragu
    — Ya. Jika adi memerlukannya. Mungkin ada sedikit tambahan keterangan tentang orang itu.—
    — Baik, kakang. Aku akan menunggu.—
    Swandaru itupun kemudian mempersilahkan Glagah Putih dan Rara Wulan duduk di ruang dalam, sementara itu, Swandaru telah memerintahkan seorang pembantunya untuk memanggil seorang laki-laki yang bernama Sumirat- Seorang laki-laki tampan yang masih terhitung muda, meskipun ia sudah mempunyai dua orang anak.

    Sumirat memang agak terkejut ketika seorang pembantu Swandaru yang menjalankan tugas Demang di Sangkal Putung mendatanginya menyampaikan panggilan kepadanya untuk menemui Swandaru.
    — Ada apa? – bertanya Sumirat.
    — Entahlah. Aku tidak tahu. Ki Swandaru tidak mengatakan apa-apa, kecuali memerintahkan kepadaku untuk memanggil Ki Sumirat menghadap pagi ini.—
    Meskipun dengan jantung yang berdebaran, maka Sumiratpun segera menghadap Ki Swandaru di rumah Ki Demang Sangkal Putung.
    — Ada apa, kakang? – bertanya Sumirat demikian ia duduk di pringgitan. Bersama Swandaru dan Pandan Wangi.

    — Sebelumnya aku minta maaf, Sumirat. Sebenarnya aku tidak ingin mencampuri persoalan-persoalan pribadi. Tetapi kau tahu sendiri, bahwa lingkungan kita masih kuat dibayangi oleh adat yang turun temurun dari nenek moyang kita. Sebenarnya aku tidak ingin menyalahkanmu. Tetapi aku hanya ingin menyampaikan keluhan-keluhan tetangga-tetangga kita kepadaku.—
    Sumirat itu menarik napas panjang. Ia segera menyadari, bahwa yang dimaksud Swandaru tentu hubungannya dengan Nyi Mas Saminten, yang sedang ditinggal pergi suaminya.

    Karena itu, maka Sumirat itupun langsung saja bertanya – Maksud kakang, hubunganku dengan Nyi Mas Saminten?—
    Swandaru menarik nafas panjang. Katanya – Ya. Sebenarnya aku sudah lama ingin memperingatkanmu, bahwa hubungan seperti itu hanya akan mendatangkan persoalan saja. Sumirat. Semua orang pernah mengalami satu masa dimana otaknya diselubungi oleh kegelapan. Nah, hal seperti inilah yang ingin aku sampaikan kepadamu.-
    Sumirat memang merasa tersinggung. Tetapi ketika ia menatap wajah Swandaru, ia tidak menangkap kesan bahwa Swandaru itu sedang marah. Ia melihat wajah Swandaru tetap tenang dan bahkan ia justru melihat sikap kebapaan.

    — Sumirat – berkata Swandaru – disini ada Pandan Wangi. Aku tidak ingin mengaku bahwa aku adalah orang yang putih bersih tanpa cacat. Tetapi hubunganmu dengan Nyi Mas Saminten itu perlu kau renungkan kembali. Bukankah Nyi Mas Saminten itu isteri seorang Pangeran yang mempunyai kedudukan dan kekuasaan yang besar?—
    Sumirat itu menarik nafas panjang. Namun kemudian iapun berkata – Bukan aku yang mulai, kakang.—
    — Tetapi bukankah kau tahu, bahwa suami Nyi Mas Saminten itu adalah Pangeran Ranapati, putera Panembahan Senapati?—
    — Ya, kakang.—

    — Nah, jika setiap orang membicarakan hubunganmu, apakah pada suatu ketika Pangeran Ranapati tidak akan mendengarnya? Padahal Pangeran Ranapati adalah seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi.—
    — Tetapi Pangeran Ranapati itu tidak ada di padepokannya. Juga tidak ada di pertapaannya.—
    — Ia sekarang sedang pergi. Tetapi bukankah ia akan kembali lagi ke padepokannya atau ke pertapaannya.—

    Sumirat termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya – Kemungkinan itu kecil sekali, kakang. Menurut Nyi Mas Saminten, Pangeran Ranapati itu sedang menuntut haknya sebagai seorang Pangeran. Jika Pangeran Jayaraga mendapat tugas di Panaraga, serta Pangeran yang lain mendapat kedudukan yang baik, kenapa Pangeran Ranapati tidak. Karena itu, maka Pangeran Ranapati itu pergi meninggalkan pertapaannya.—
    — Bukankah jika Pangeran Ranapati itu berhasil, ia akan kembali untuk mengambil isteri-isterinya?—
    — Kenapa harus mengambil isteri-isterinya yang dari padesan dan padukuhan disekitar padepokannya? Ia tentu akan mengambil puteri-puteri bangsawan untuk dijadikan isterinya dan melupakan isteri-isterinya yang ditinggalkan di padepokan.—

    — Mungkin dari satu sisi, memang tidak ada persoalan, Sumirat – sahut Pandan Wangi – tetapi kau harus memikirkan isteri dan anak-anakmu? Di samping itu, hidup dalam satu lingkungan kau tidak dapat menutup mata dan menutup telinga. Kau harus juga menghiraukan sikap orang-orang disekitarmu.—
    Sumirat menarik nafas panjang. Sementara Swandaru itupun berkata – Sumirat. Bagaimanapun juga, kau harus tetap memperhatikan Pangeran Ranapati.—

    Sumirat masih saja termangu-mangu. Namun kemudian katanya – Ada dua pilihan yang akan dihadapi oleh Pangeran Ranapati. Mukti atau mati. Yang manapun yang akan didapatkannya, menurut Nyi Mas Saminten, memastikan bahwa Pangeran Ranapati tidak akan kembali. Jika ia berhasil mukti, maka ia akan berada di Mataram. Ia akan mengambil puteri-puteri keraton untuk dijadikan isterinya. Ia tidak akan menghiraukan lagi Nyi Mas Saminten, apalagi Nyi Mas Saminten tidak mempunyai anak sama sekali. Sedangkan kalau mati, ia justru akan semakin jelas.—

    — Apa yang sebenarnya dilakukan oleh Pangeran Ranapati sekarang, sehingga ia dihadapkan pada pilihan, mukti atau mati.—
    — Tidak seorangpun yang tahu. Tetapi menurut Nyi Mas Saminten, Pangeran Ranapati itu telah pergi ke Timur.—
    — Ke Timur untuk apa?—
    — Tidak ada yang tahu.—
    — Apakah ada hubungannya dengan Pangeran Jayaraga yang mendapat tugas di Panaraga?—

    Sumirat menarik nafas. Namun kemudian iapun menggeleng sambil menjawab – Aku tidak tahu pasti, kakang. Namun menurut Nyi Mas Saminten, Pangeran Ranapati memang sering menyebut nama Pangeran Jayaraga yang bertugas di Panaraga. Tetapi aku tidak tahu, dalam hubungan apa Pangeran Ranapati menyebut nama Pangeran Jayaraga itu.—

    Swandaru itupun mengangguk-angguk. Sementara Pandan Wangipun berkata – Sumirat. Apapun yang akan dilakukan oleh Pangeran Ranapati, apakah ia akan mukti atau akan mati, sebaiknya kau tidak menghubungkan dengan sikapmu sebagai seorang suami. Sebagai seorang ayah.— Sumirat menarik nafas panjang.
    — Selagi kau masih melihat jalan kembali. Jika pada suatu saat, diluar perhitunganmu, Pangeran Ranapati itu kembali, maka persoalannya akan jauh berbeda. Apalagi jika Pangeran Ranapati itu kembali dengan hati yang kecewa. Mungkin ia tidak mendapat kesempatan untuk mukti, tetapi ia tidak mati – berkata Pandan Wangi pula. Sumirat masih saja tetap berdiam diri.

    — Sumirat – berkata Swandaru kemudian – seharusnya kau tahu bahwa Pangeran Ranapati adalah seorang yang berilmu sangat tinggi. Selain itu ia mempunyai sebuah perguruan serta murid-muridnya yang jumlahnya banyak. Jika terjadi apa-apa, maka sebenarnyalah sulit bagiku untuk melindungimu. Karena itu, jika kau mau mendengarkan nasihatku, sebaiknya kau menjauhkan diri dari Nyi Mas Saminten. Agar tidak terlalu mengejutkan, maka kau dapat melakukannya perlahan-lahan.

    Sumirat mengangguk-angguk. Namun ia dapat mengerti nasehat Swandaru dan Pandan Wangi. Jika Pangeran Ranapati itu ternyata tidak mukti tetapi juga tidak mati, maka ia tentu akan menjadi sasaran kekecewaannya jika ia masih berhubungan dengan Nyi Mas Saminten. Karena itu, maka Sumirat itupun berkata – Baiklah, kakang dan mbokayu. Aku mengerti. Aku akan berusaha untuk dapat menuruti nasehatmu. Pangeran Ranapati memang sangat menakutkan.—

    — Bagus. Aku berharap bahwa tidak akan terjadi apa-apa atas dirimu. Agar tidak menimbulkan gejolak dihati Nyi Mas Saminten, kau dapat melakukannya sedikit demi sedikit.—
    — Ya, kakang. Aku tidak ingin terjerumus dalam kesulitan karena hubunganku dengan Nyi Mas Saminten.—

    Demikianlah Sumiratpun kemudian minta diri. Ia menyadari sepenuhnya, bahwa permainan yang dilakukan itu adalah permainan yang sangat berbahaya. Pangeran Ranapati sebagaimana dikatakan oleh Swandaru, adalah seorang yang berilmu sangat tinggi. Meskipun Swandaru sendiri adalah seorang yang berilmu sangat tinggi pula, tetapi agaknya Swandaru tidak akan bersedia untuk mempertaruhkan nyawanya apabila Pangeran Ranapati menjadi sangat marah kepada Sumirat. Apalagi dalam persoalan ini, Sumiratlah yang telah bersalah.

    Sepeninggal Sumirat, maka Swandaru dan Pandan Wangi telah menemui Glagah Putih dan Rara Wulan. Sambil tersenyum Swandaru berkata – Ada dua hasil yang sekaligus kami dapatkan. Yang pertama, kita dapat meyakini bahwa orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu memang pergi ke Timur. Bahkan agaknya memang ada hubungannya dengan penetapan Pangeran Jayaraga untuk menjadi penguasa di Panaraga. Kemudian, kami dapat menyadarkan bahwa tindakan Sumirat itu memang keliru.—

    Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Keterangan itu sangat berarti baginya. Dengan demikian, maka mereka akan pergi ke Timur dengan satu keyakinan untuk menemukan orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati Orang itu tentu akan berada di sekitar Pangeran Jayaraga yang mendapat kuasa memerintah di Panaraga. Bahkan mungkin dengan niat yang tidak sewajarnya.
    — Jika demikian, kakang – berkata Glagah Putih kemudian – langkah pertamaku dalam tugas ini adalah pergi ke Timur. Akupun harus mengamati orang-orang yang ada disekitar Pangeran Jayaraga yang mendapat kuasa untuk memerintah Panaraga itu.—

    — Ya. Mungkin orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu akan dapat berbuat sesuatu yang justru mencemarkan nama baik Mataram dan bahkan orang-orang Mataram. Telah sering terjadi, bahwa orang-orang Mataram sendirilah yang telah menodai nama baik Mataram itu sendiri.—
    — Kakang benar – berkata Glagah Putih sambil mengangguk-angguk – agaknya hal ini juga disadari oleh Ki Patih Mandaraka, sehingga Ki Patih menaruh perhatian terhadap orang yang mengaku Pangeran Ranapati itu. Sehingga Ki Patih telah memerintahkan kami berdua untuk melacaknya.—

    — Tugas yang berat adi Glagah Putih dan adi Rara Wulan – berkata Pandan Wangi kemudian – kalian harus sangat berhati-hati. Di timur, mungkin orang yang mengaku Pangeran Ranapati itu telah bergabung dengan sekelompok orang yang bekerja bersamanya. Dengan demikian maka yang akan kalian hadapi bukan saja orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu sendiri. Tetapi kalian akan berhadapan dengan sekelompok orang yang sadar atau tidak sadar, akan bekerja bersama dengan orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu.—
    — Ya, kakang. Kemungkinan itu besar sekali.—
    — Karena itulah, maka kalian harus benar-benar bersiap lahir dan batin.—
    Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk.

    Namun kemudian Glagah Putih itupun berkata -Kakang. Aku minta maaf, bahwa aku tidak dapat berada disini terlalu lama. Aku akan melanjutkan perjalananku ke Timur.—
    Swandaru dan Pandan Wangi terkejut. Dengan serta merta Pandan Wangipun berkata – Aku kira kalian akan bermalam disini malam ini.—
    Glagah Putih dan Rara Wulan tersenyum. Dengan nada datar Rara Wulanpun berkata – Kami sudah terhenti di padepokan, Mbokayu. Bahkan kami sudah bermalam di rumah cantrik yang tinggal di dekat padepokan orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu. Karena itu, maka sebaiknya kami segera berangkat menuju ke Timur.—

    — Apa bedanya jika adi berangkat esok?—
    Rara Wulan tersenyum. Katanya – Rasa-rasanya kami terlalu lamban menangani tugas ini.—
    Pandan Wangilah yang tersenyum. Katanya – Ya. Kadang-kadang kita merasa dikejar-kejar oleh kegelisahan karena kelambanan kita sendiri. Tetapi bukankah hari sudah siang sehingga sinar matahari sudah terasa mulai menyengat kulit.—
    — Bukankah kami sudah terbiasa berjemur di bawah terik matahari. Di perjalanan kami sudah sering kepanasan. Di sawah kitapun selalu berjemur di panasnya matahari sementara kaki kita berendam di lumpur.—
    — Baiklah – berkata Swandaru kemudian – Kami doakan agar kalian berhasil dengan baik serta selamat kembali sampai di Mataram.—

    Pandan Wangipun kemudian telah minta Ki Demang untuk keluar sejenak karena Glagah Putih dan Kara Wulan akan minta diri. Ki Demangpun terkejut pula, bahwa Glagah Putih dan Rara Wulan hanya singgah sebentar saja di Sangkal Putung.
    — Kalian tidak menginap disini, ngger ? —
    — Lain kali Ki Demang. Sekarang kami sedang mengemban tugas. Pada kesempatan lain kami akan singgah lebih lama lagi.
    — Tetapi hari sudah siang. Kenapa tidak menunggu saja sampai esok. —
    — Terima kasih Ki Demang. —
    Glagah Putih dan Rara Wulan tidak dapat ditahan lagi, sehingga Ki Demang hanya dapat mengucapkan selamat jalan saja kepada mereka.

    Demikianlah, di tengah hari, Glagah Putih dan Rara Wulan meninggalkan kademangan Sangkal Putung. Terasa panas matahari menusuk sampai ke tulang. Tetapi mereka berdua adalah pengembara yang sudah terbiasa berjalan di panasnya sengatan sinar matahari atau di dinginnya embun malam. Ketika matahari mulai turun, maka keduanya mulai merasa haus dan lapar. Karena itu, maka Glagah Putihpun berkata — Kita telah salah langkah. —

    — Kenapa ? —
    — Kalau kita menunggu sebentar lagi, maka kita tidak perlu singgah di kedai. Kita akan mendapat hidangan makan di Sangkal Putung. Tidak hanya sekedar minuman dan makanan.-
    — Ah, kakang. Apa bedanya kita singgah di kedai ? —
    — Bukankah di kedai kita harus membayar ? —
    — Bekal uang yang kita bawa, sisa yang terdahulu serta uang yang ditambahkan lagi dari Ki Patih, masih cukup banyak.
    — Tetapi kita tidak tahu, berapa lama kita akan mengembara. Bahkan mungkin uang itu tidak akan cukup. —
    — Ah, kakang. Apa saja yang akan kita beli, sehingga keping-keping uang yang kita bawa itu kurang ? — Glagah Putih tertawa. Namun kemudian ketika mereka melewati sebuah kedai yang terhitung besar, maka merekapun telah singgah di dalamnya.—

    Demikian mereka duduk di sudut, maka Glagah Putihpun berdesis — Kita telah memasuki satu kedai yang menjadi tempat singgah orang-orang kaya. —
    Rara Wulan mengangguk. Katanya — Ya. Terutama para saudagar. —
    Glagah Putih mengangguk-angguk. Yang terbanyak berada di kedai itu menilik pakaiannya, sikapnya serta pembicaraan mereka, agaknya mereka memang para saudagar. Di sebelah kedai itu memang terdapat pasar yang besar pula. Tetapi pengunjungnya sudah hampir tidak ada lagi karena hari sudah terlalu siang. Para pedagangpun sudah beristirahat di kedai-kedai di sekitar pasar itu. Tetapi yang terbanyak di kedai yang terhitung besar itu, sementara para pekerjanya sedang sibuk membenahi barang-barang dagangan mereka. Kemudian menaikkannya ke dalam pedati.

    — Kita seperti orang padesan yang tersesat masuk ke dalam kota — berkata Glagah Putih.
    — Kita tidak usah memperhatikan mereka. —
    Glagah Putih menarik nafas panjang. Tetapi di luar sadarnya ia justru memandang beberapa orang yang ada di dalam kedai itu. Orang-orang yang ditilik dari ujud lahiriahnya memang nampak sebagaimana orang-orang kaya. Di luar sadarnya pula Glagah Putih memperhatikan dirinya dan Rara Wulan yang mengenakan pakaian sederhana.

    Beberapa saat keduanya duduk di sudut kedai itu. Mereka memperhatikan para pelayan yang sibuk melayani para tamunya. Sehingga belum seorangpun yang datang kepada Glagah Putih dan Rara Wulan. Ada beberapa orang saudagar yang baru datang memasuki kedai itu. Para pelayanpun telah dengan tergesa-gesa mendekatinya dan menanyakan apa yang akan dipesannya.
    — Nampaknya para pelayan mempunyai penilaian tersendiri terhadap tamu-tamunya — berkata Glagah Putih — mereka sibuk melayani tamu-tamunya yang menurut gelar lahiriahnya adalah orang-orang yang kaya yang tentu memesan makanan dan minuman yang termahal. —

    — Apakah sebenarnya minuman dan makanan yang termahal itu kakang ? —
    — Kau lihat, ada diantara mereka yang memesan tuak. Kemudian memesan nasi langgi dengan telur ceplok, dengan ragi serta pesanan beberapa jenis lauk yang lain secara khusus. Selebihnya para Saudagar itu tentu memberi hadiah khusus bagi para pelayan yang telah melayani mereka dengan cepat. —
    — Kalau begitu, marilah kita pergi saja kakang. Kita singgah di kedai yang lain —
    — Tidak. Aku justru ingin berada di sini sampai kapanpun.- Rara Wulan tertawa. Sebenarnya iapun tertarik untuk melakukannya.

    Sebenarnyalah keduanya tidak beranjak dari tempat mereka. Meskipun masih belum ada pelayan yang datang kepadanya, namun mereka masih duduk saja sambil berbincang diantara mereka tentang kedai serta para pelayannya itu. Baru beberapa saat kemudian dengan malas seorang pelayan telah mendatanginya.

    🙂 🙂 🙂

  32. Nyuwun pangapunten wedharipun rontal radi telat sawatawis wekdal……

    * salim

  33. Akhirnya datang juga ,pas malem minggu bahagia…hahahaha ,maturnuwun k4ng t0mmy..salam

  34. Matur nuwun K4ng tommy rontalnipun sampun ketampi dengan senang hati.

  35. kank Tomy tank u yoooo,
    heeeee heeeeee heeeeeee

  36. MATUR SUWUN SUMUGI DIPUN PARINGI KEKUATAN KANGGE NGRILIS RONTAL SA’LEJENGIPUN

  37. Terimakasih, selamat berlibur

  38. Sinopsis Mataram Binangkit
    Written by Agus Soerono
    Wednesday, 02 February 2011 09:39
    Adipati Jipang Arya Penangsang yang kemaruk kekuasaan berniat membunuh Kanjeng Sultan Pajang Hadiwijaya dengan mengirim pembunuh bayaran. Namun usaha pembunuhan itu gagal.
    Raden Sutawijaya, putera angkat Kanjeng Sultan Hadiwijaya, maju ke medan perang dengan tombak pusaka Kanjeng Kyai Pleret. Ia dikawal oleh ayahndanya Kyai Ageng Pemanahan dan pamannya Ki Penjawi. Kanjeng Sultan menjanjikan jikalau mereka berhasil membunuh Arya Penangsang, akan diberi hadiah tanah Alas Mentaok dan Kadipaten Pati.
    Dalam perang yang berkobar, usus Arya Penangsang terburai kena ujung tombak pusaka itu. Namun Arya Penangsang tidak tewas. Ususnya yang terburai disangkutkannya ke keris pusaka Kanjeng Kyai Setan Kober. Ia terus maju dan mendesak Raden Sutawijaya. Ketika Raden Sutawijaya terdesak, Arya Penangsang menghunus kerisnya. Ia ingin menghabisi nyawa Raden Sutawijaya dengan Kanjeng Kyai Setan Kober. Ia lupa ususnya yang tersangkut di gagang keris itu. Ususnya putus dan ia tewas seketika oleh warangan yang tajam dari keris Kanjeng Kyai Setan Kober.
    Sugeng enjang sedulur, niki kulo gadah novel silat ingkang nglanjutaken ADBM

    • sinopsis mataram kok critanya pajang, gak nyambung….

  39. gara2 ki gede alias DHE2 ngabsen, daku jadi ingat jaman retype dulu.. diriku masih pakai nama orel..kadang pake nama joni.. salam juga bwt ki alphonse, ki bens roben, ki ADBM melben, ki heri warsono, ki sukra, ki seno yudo, ki lurah basman dan terutama bwt pemilik file jpg 100 jilid pertama.. bang Doel yg jarang menyapa.. semoga kesehatan selalu dilimpahkan untuk sederek semua..

  40. Ki SHM kok ga mengingatkan GP & RW singgah di rumah orang tua RW di Mataram , saat mrka nginep di Kepatihan, Ki Tumenggung ayah RW Bgmana kabarnya ya para sedhèrek. .( ? )

    • oh kabarnya baik-baik saja ki clenk
      wkkkk


Tinggalkan Balasan ke Sarip Batalkan balasan