Laman: 1 2
Buku IV-86
The URI to TrackBack this entry is: https://adbmcadangan.wordpress.com/buku-iv-86/trackback/
The URI to TrackBack this entry is: https://adbmcadangan.wordpress.com/buku-iv-86/trackback/
Gambar Kulit :
Herry Wibowo
Ilustrasi :
Sudyono
Penerbit :
Kedaulatan Rakyat,
Yogyakarta
mungkin malam ini rasanya gak… halah
rasanya mungkin gak?,,,malam ini ,,,
ini malam rasanya gak mungkin
ini malam gak mungkin rasanya
ini malam mungkin rasanya gak
ini malam rasanya mungkin gak
Ada gak software computer yang ngasih tahu ” ADBM 386 wis teko, silahkan diunduh” Jadi gak usah wula walik gitu
Hemmmm sabAR ki tinggal 11 kitab lg … Bude seno nya lg dlm perjalanan pulang mudik … Hehehehe
ki zack …..
kumaha rahasia kita…? tos dikiriman?
apanya nya yg di krim ki .. kitab kah … udh dikirim … tapi …
ke ki sukra … hehehehe
rahasia ki…..
via mail kemawon
kI tONI, ADA. hANYA SAJA JADI KURANG ASYIK. eNAKAN BEGINI AZA JADI PADA SALING SAPA, ….. HE HE HE,…..
kaplok ki….
Setubuuuuuu
Ki Ony macet, kitabnya macet juga…..he he he.
Kalau macet ada yang seneng, ada yang sedih.
Yang seneng itu tukang ganjel mobil di nagreg sana Ki… Wuaduuh dongane niku mbok yo macet teruuus… ganjel ban mobile payu terus.
refresh diterjemahkan ke jawa inggil artinya sabar mas…….
Bolaki balik di refresh belum muncul juga
makanya jgn di refresh ki … di tunggu aja dgn sabar …. hehehhehe
Apel malem Nyi sebelum bobo, tapi sudah cuci kaki.
Mudah-mudahan besok pagi sudah ada yang disedot.
Hikk mimpi nyedot nih yeeee
nyempil nyedot ki…..
hobine kok sing nyelempit .. pit .. pit
sabungsari kemana ya kok ga ada muncul di pasukan mataram di jati anom?
lagi persiapan mempersunting calon istri…nanti undangan pernikahannya disebar untuk semua cantrix…
Apa Ki Ony juga sedang ikut mengadakan persiapan pernikahan Ki Sabungsari?
Kasih Ki sabungsari …. SHM membiarkan dia dalam keragu-raguan untuk meminang anak Ki Rangga.
sabar Ya Sabungsari!
di pruput sido durung ono
Bangun………..Bangun………………
Ki Ony sudah terbebas dari kemacetan.
Terimakasih Nyi Seno.
Seduh … Sedot …
Ki Ony sudah masuk kerja lagi …
Terimakasih Nyi Seno …
Matur nuwun Nyi.
Tapi kok dadi penasaran sopo sing Asmane Ki Ony kuwi .
Maturnuwun, Nyi..tidak macet ..
Soale bisa lewat rumah Ki Ony, bisa juga lewat Bogor.. jadi ada dua jalan…
telima kasih
Ki sanak sesama cantrik, kitab-kitab adbm akan segera habis tetapi saya belum paham benar urutan kepangkatan dalam keprajuritan Mataram, apakah ada yang paham? mohon penjelasan. Misalnya mulai dari kepala kelompok (penatus?), Lurah (penewu?), Rangga, Panji, Senopati, Tumenggung (Jendral?). Nuwun
enak disedotnya…makasih nyi..
Makasih….
kirain Ki Ony di Bogor menjadi 2 kitab, ternyata tetap sama yaitu satu kitab,,,,, OK gak masalah,,,,, tetap terimakasih Ki. 🙂
Bogor sudah lancar. Kitab sudah diwedhar. Terimakasih, kemarin malam tidak nungguin kitab karena wayah sepi bocah sudah ngantuk berat.
Matur Suwuuuuuuuun
matur nuwun, kitab 386 sudah diundhuh.
Maturnuwun Nyi Seno, mBogor sudah lancar.
terima kasih ki sukra, ki gd, nyi sena, nyi retma, ki arema, ki herry, ki julius, ki truno cs., ki zacky_74, ki mbodo, ki tumenggung sepuh, ki onny, dan para bebahu padepokan…
makin rame aja nich…
kakang2 sing guyang jaran,
nopo sampun wonten ingkang antri,
antri opo to?
yo opo maneh nek dudu lontar 386,
oooo kuwi to cobo dheloken neng warunge yu mirah kono,
lho iki aku neng kene ki rumangsamu lagi ngopo?
lagi ngopo piye to wong jelas lagi guyang jaran ngono!
kowe ra ngerti to iki mono jarane baguse glagah putih paringane jenate raden ronggo,
trus opo hubungane?
ben latihane baguse ra ke ganggu dadi luwih cepet rampung gone latihan banjur mudun soko sanggar sinanbi ngowo lontar sing durung kawedar,
ooooo ngono kang,
lha iyo,
nek ngono tak kancani kang,
lho monggo ayooooo…………….
salam.
ayo..ayo..rame2 dho jaran2an..
dho jaran2an..ayo..ayo..rame2
jarane jaran kepang..
Jaran kepang mangan pari. Lambe abang manasno ati.
Jaran kepang ngemut permen , emang gampang mung kari koment…..hehehe ,mesakne k4ng t0mmy semedi dewe…ayo bantu semangat!!
Menunggu datang k4ng tOmmy medar rontal 386
hahahaha… parikane apik, nyenengkeh.. 🙂
Monggo dipun lajengaken parikanipun, sinambi nenggo rontal edisi “Semi Final Champion League” part 2
🙂 🙂 🙂
Wis dipancal ra mlayu-mlayu. Wis diobral ra payu payu.
boleh saya bantu retype ??? 🙂
tentu kadang ADBMers…setuju sekali ki Sarip,
kebetulan k4ng t0mmy dewe-an, Ra ono kanca-ne
Ayo k4ng t0mmy (pak DALANG retype)…ki Sarip bersedIA mbantu,
siip, tinggal BAGI2 tugas, ben ra DOBEL…!!??
Boleh sekali Ki. Ki Sarip siap wedhar jilid berapa ?
Nanti saya yg menyesuaikan biar nggak dobel.
saya yang ganjil aja ki, aku seneng sing ganjil-ganjil 🙂
Siap laksanaken….
sugeng DALU….selamat MALAM,
ouw…..
bagian 1 kepotong ki
kancrit
kuncrit
kencrit
ADBM 386 bagian 2
— Apakah perkawinanmu tidak berbahagia, sehingga kau ingin lari dari suamimu?—
— Suamiku juga ikut dalam pendadaran ini.—
Keduanyapun terdiam. Namun kemudian prajurit itupun berkata – Aku dapat menolongmu. Nyi. Aku tahu, jalan-jalan sempit yang terbuka, sehingga kau akan dapat memasuki alun-alun lebih cepat dari orang lain.—
— Aku sedang menempuh pendadaran. Aku tidak boleh bergantung pada orang lain.—
— Jika saja kau tahu, ada diantara mereka yang mengikuti pendadaran ini telah menyuap para prajurit dan petugas yang terlibat dalam pendadaran ini.—
Rara Wulan menarik nafas panjang. Katanya – Biarlah mereka yang mempunyai uang tetapi tidak mempunyai kepercayaan diri itu mempergunakan cara yang tidak dibenarkan. Tetapi aku tidak akan melakukannya.—
— Kau tidak perlu menyuapku. Aku hanya ingin membantumu. Sebenarnya aku merasa kasihan kepadamu, bahwa kau seorang perempuan yang harus melakukan pendadaran sebagaimana seorang laki-laki.—
— Terima kasih. Tetapi biarlah aku juga mengetahui apakah aku mampu melakukannya atau tidak.—
— Agaknya kau memang seorang perempuan yang hatinya sekeras batu. Pikirkan baik-baik. Aku tidak ingin mendapat imbalan apa-apa. Aku hanya ingin menambah sahabat yang baik dan dapat saling mengerti.—
— Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih, tetapi aku tidak ingin mendapat bantuan dari siapapun dalam pendadaran ini.—
— Kau memang keras kepala. Lihat, kau sekarang berada di daerah yang terpencil, Kau berada di tempat yang jauh dari pemukiman. Aku berhak melakukan pendadaran pula bagi para calon prajurit.—
— Bagus – jawab Rara Wulan, jawaban yang tidak diduga-duga oleh prajurit itu.
— Apa maksudmu ?—
— Aku hanya menanggapi kata-katamu. Jika kau merasa berhak melakukan pendadaran, maka lakukanlah.—
— Perempuan sombong. Jika aku benar-benar melakukan pendadaran, maka kau akan terhenti disini. Aku dapat memberikan seribu alasan. Selanjutnya, kau hanya akan bermimpi untuk menjadi prajurit perempuan di Mataram.—
Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi ia justru bertanya – Dimana kita akan berhenti. Bukankah kau harus kembali ke alun-alun dengan membawa kuda yang aku pakai ini. Aku tidak mau kehilangan banyak waktu.—
— Sudah aku katakan. Jika hatimu sekeras batu, aku dapat menghentikan kau disini.—
— Ki Sanak – Jika aku memasuki pendadaran ini, itu berarti bahwa aku siap menghadapi pendadaran dengan cara apapun juga.—
— Kau benar-benar sombong. Aku seharusnya meninggalkan kau disini. Tetapi karena kesombonganmu itu, aku akan memaksamu berlutut dihadapanku dan minta aku menolongmu.—
— Itu tidak akan pernah terjadi. Jika aku gagal, maka aku akan kembali menjadi seorang petani. Tidak berhasil dalam pendadaran ini dan tidak menjadi seorang prajurit, bukan berarti kiamat bagiku. Jika aku berniat menjadi seorang prajurit adalah karena aku ingin mengabdi. Sementara itu, jalan pengabdian akan terbuka di segala bidang. Tidak hanya di bidang keprajuritan.—
Tiba-tiba saja prajurit itu menarik kendali kudanya. Demikian kudanya berhenti, maka orang itupun segera melon-cat turun sambil berkata lantang.— Turun, Kau tidak akan pernah dapat kembali ke alun-alun. Aku tidak hanya dapat menghentikanmu. Tetapi aku dapat membunuhmu dan melemparkan mayatmu ke celah-celah batu-batu padas itu.—
Rara Wulanpun segera meloncat turun pula. Dengan nada tinggi iapun bertanya – Kenapa kau tiba-tiba menjadi gila?
Seandainya aku laki-laki, apakah kau juga akan memperlakukannya seperti itu disini?—
— Tidak. Justru karena kau perempuan. Kau telah menolak tawaran-tawaranku yang aku sampaikan dengan niat baik. Apa salahnya aku bersikap sebagai seorang laki-laki terhadap seorang perempuan di tempat yang terpisah dari orang lain ini ?—
— Sudah aku katakan, aku sudah bersuami.—
— Persetan. Suamimu tidak ada disini. Sedangkan kau masih mempunyai banyak waktu sampai tengah malam. Jika aku menunjukkan celah-celah yang dapat kau lalui, maka kau akan dapat dengan cepat sampai di alun-alun.—
— Lupakan sampah di otakmu itu. Kau cemarkan nama prajurit Mataram. Meskipun aku belum menjadi prajurit, tetapi aku tidak rela kau kotori nama kesatuanmu.—
— Cukup.—
— Memang sudah cukup. Pergilah. Bawa kudaku itu pergi. Aku akan pergi ke alun-alun menurut jalanku sendiri. Aku tidak mau terlambat.—
— Tidak. Kau tidak akan pergi ke alun-alun. Aku dapat berbuat apa saja atasmu disini.—
— Sudah aku katakan, bahwa aku sudah siap melakukan pendadaran dengan cara apapun juga. Meskipun Ki Tumenggung Purbasena mengatakan, bahwa tidak akan ada kematian dalam pendadaran ini, tetapi aku siap dibunuh atau membunuh.—
— Jadi kau berani melawan aku? Ingat, aku adalah prajurit Mataram. Sementara itu, kau baru akan memasuki dunia keprajuritan itu? Bagaimana mungkin kau berani melawanku.—
— Sudah aku katakan, aku siap dibunuh atau membunuh.—
Prajurit itupun menjadi sangat marah. la sudah kehilangan kesabarannya. Karena itu, maka iapun segera menambatkan kudanya.
— Kau akan menyesal – geramnya.
Rara Wulanpun telah melepaskan kudanya pula. Iapun segera bersiap menghadapi kemungkinan buruk dari prajurit yang telah menjadi gila itu.
Sambil melangkah mendekati Rara Wulan prajurit itupun berkata – Kau tidak mempunyai pilihan.—
Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi iapun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.
— Sekali lagi aku peringatkan, tidak ada gunanya kau melawan. Aku adalah seorang prajurit. Sedangkan kau baru mengikuti pendadaran. Itupun belum tentu dapat diterima.—
Rara Wulan masih tetap berdiam diri. Tetapi ia bergeser sambil mengangkat tangannya di depan dadanya.
Prajurit itu benar-benar telah kehilangan kesabaran. Iapun segera meloncat menyerang. Tangannya terayun mendatar menampar ke arah kening.
Rara Wulan tidak menghindar. Tetapi ia sengaja menangkis serangan itu, sehingga terjadi benturan yang memang tidak terlalu keras. Tetapi benturan yang tidak terlalu keras itu telah mengejutkan prajurit yang telah menyerang Rara Wulan itu. Pada benturan yang tidak terlalu keras itu, terasa kekuatan perempuan yang akan mengikuti pendadaran itu cukup besar.
— Ia merasa memiliki bekal yang cukup – berkata prajurit itu didalam hatinya – karena itu, maka ia berani mencoba melawan aku, meskipun ia tahu, bahwa aku adalah seorang prajurit.—
Demikianlah, maka sejenak kemudian keduanya telah terlibat dalam perkelahian yang semakin sengit. Prajurit itu mencoba untuk dengan cepat menekan dan mengalahkan perempuan yang akan mengikuti pendadaran itu. Tetapi ternyata dugaannya keliru. Perempuan itu, tidak segera dapat ditundukkannya.
Demikianlah keduanyapun terlibat dalam pertempuran yang semakin sengit. Tetapi prajurit itu hams mengakui kenyataan yang dihadapinya. Ternyata ia tidak mampu mengimbangi ilmu perempuan yang akan mengikuti pendadaran itu. Serangan-serangannya tidak berhasil menembus pertahanan Rara Wulan. Namun justru serangan-serangan Rara Wulanlah yang telah beberapa kali mengenai dadanya.
Prajurit itu terpental beberapa langkah surut. Dengan susah payah ia mencoba mempertahankan keseimbangannya agar tidak jatuh terguling. Tetapi di luar dugaannya Rara Wulan dengan kecepatan yang tinggi telah meloncat sambil berputar di udara. Kakinya terayun mendatar, tepat mengenai kening prajurit itu, sehingga prajurit itu terlempar beberapa langkah surut.
Prajurit itu tidak lagi mampu mempertahankan keseimbangannya. Tetapi prajurit itu telah terpelanting dan jatuh terbanting di tanah. Wajahnya bagaikan disurukkan ke batu-batu padas, sehingga beberapa gores luka menyilang di wajahnya. Hidungnya yang terantuk batupun telah berdarah pula.
Prajurit itu menjadi sangat marah. Wajahnya terasa pedih. Ketika ia mengusap wajah itu dengan lengan bajunya, maka terasa cairan yang hangat telah menodai baju keprajuritannya itu.
— Iblis betina – geram prajurit itu.
Tetapi prajurit itu tidak sempat berbicara lebih lanjut, Rara Wulanlah yang kemudian berloncatan menyerang. Tangannya telah terjulur lurus menghantam dada prajurit itu.
Sekali lagi prajurit itu terpental. Kemudian jatuh berguling di tanah berbatu padas.
Meskipun tulang-tulangnya terasa sakit, tetapi prajurit itu telah berusaha dengan cepat bangkit berdiri. Namun Rara Wulan yang marah itu sama sekali tidak memberinya kesempatan. Tiba-tiba saja tubuhnya meluncur menyamping dengan kaki terjulur lurus menghantam perutnya. Prajurit yang baru saja bangkit itu telah terlempar lagi. Tubuhnya telah menghantam sebatang pohon yang tumbuh dengan kokohnya.
Prajurit itupun kemudian jatuh terkulai dengan lemahnya.
Ketika Kara Wulan berdiri sambil bertolak pinggang dihadapannya, maka prajurit itupun berkata dengan suaranya yang bergetar – Aku minta maaf. Jangan sakiti aku lagi. Aku tidak akan berbuat apa-apa lagi atasmu.—
— Aku ingin memilin lehermu – geram Rara Wulan.
— Jangan. Jangan, jangan. Aku minta maaf.—
— Sudah aku katakan, aku siap dibunuh atau membunuh.—
— Ampun, ampuni aku. Aku punya isteri dan dua orang anak kecil.—
Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Sementara prajurit itupun berkata – Aku, aku akan menunjukkan kepadamu, jalur-jalur manakah yang tidak sedang dijaga.—
— Sudah aku katakan, aku tidak memerlukan bantuanmu. Jika kau menunjukkan tempat-tempat yang terbuka itu, maka kau akan dapat memfitnahku.—
— Perempuan yang keras hati – berkata prajurit itu di dalam hatinya.
Demikianlah, maka Rara Wulanpun kemudian berkata – Terserah, apa yang akan kau lakukan. Aku sudah kehilangan waktu beberapa lama. Aku harus segera mencari jalan ke alun-alun.—
Prajurit itu masih akan menjawab. Tetapi Rara Wulan telah berlari dan hilang di balik kegelapan.
Prajurit itupun kemudian tertatih-tatih berdiri serta membenahi pakaiannya yang ternyata telah terkoyak. Wajahnya yang tergores batu-batu padas terasa pedih, sementara hidungnya telah berdarah karena terantuk batu.
Untuk beberapa lama, prajurit itu berpikir, apa yang akan dikatakannya kepada kawan-kawannya tentang keadaannya. Bahkan kepada Ki Tumenggung Purbasena. Mereka tentu akan mempertanyakan, kenapa wajahnya tergores batu-batu padas serta hidungnya yang berdarah. Kenapa pula pakaiannya koyak, kusut dan kotor.
Namun akhirnya, prajurit itupun menemukan jawab nya. Karena itu, maka iapun segera meloncat ke punggung kudanya dan melarikannya ke alun-alun. Sementara kuda yang dipergunakan oleh Rara Wulan itupun ditinggalkannya begitu saja tanpa terikat.
Seperti yang diduganya, ketika ia kembali ke kelompoknya, para prajurit berkuda yang mengantar orang-orang yang mengikuti pendadaran itu, segera dikerumuni oleh kawan-kawannya.
— Kau kenapa? — bertanya seorang kawannya yang melihat keadaan kawannya itu di bawah cahaya oncor.
— Kuda itu menjadi gila — geramnya — kuda itu terkejut ketika ia melihat seekor ular yang meluncur menyeberang jalan. Ular itu terhitung ular yang besar bagi ular welang. Gelang-gelangnya nampak berkilat-kilat di gelapnya malam. Aku terkejut dan kuda yang aku pegangi kendalinya dan berlari di samping kudaku itupun terkejut pula. Ketika kuda itu meloncat sambil meringkik, aku mencoba menahannya. Tetapi kuda itu justru berlari.
Aku terjatuh dan terseret beberapa puluh langkah. Aku memang tidak segera melepaskannya, karena aku harap-kan kuda itu segera menjadi tenang. Tetapi ternyata tidak. Dan inilah yang terjadi.—
Kawan-kawannya tertawa. Seorang di antara mereka berkata — sejak berapa tahun yang lalu kau menjadi prajurit dari Pasukan Berkuda Mataram yang nama kesatuannya disegani oleh kesatuan-kesatuan yang lain, sehingga kau sempat terseret oleh kuda itu. Bahkan sampai wajahmu tergores dan hidungmu tentu berdarah. Bahkan pakaianmu menjadi lusuh, kotor dan koyak.—
Bukan hanya aku. Siapapun yang mengalami tentu akan bernasib seperti aku. Demikian tiba-tiba. Apalagi sebelumnya aku memang agak mengantuk.—
— Kau tentu mengantuk. Semalam suntuk dan bahkan sampai matahari tinggi, kau masih bermain judi ketika kau sedang caos semalam.—
— Aku menjadi penasaran. Aku kalah banyak. Bahkan lebih dari separo gajiku.—
— Salahmu. Bahkan kau menjadi agak mabuk tuak.—
— Malam ini aku diseret kuda gila itu — geramnya.
— Nasibmu memang buruk. Pergilah menemui tabib kesatuan kita. Tanpa diobati goresan-goresan di wajahmu itu akan dapat menjadi luka-Iuka yang akan meninggalkan bekas.—
Prajurit itupun kemudian berkata kepada Lurahnya — Ki Lurah. Aku akan berobat lebih dahulu sebelum terlambat, agar wajahku tidak menjadi cacat.—
— Tabib itu ada di sini. Aku melihatnya duduk di belakang panggungan.—
— Baik, Ki Lurah.—
Prajurit itupun kemudian pergi ke belakang panggungan. la masih melihat Ki Tumenggung Purbasena ber-ada di panggungan. Bahkan Pangeran Singasari dan Ki Patih Mandaraka. Nampaknya keduanya sangat tertarik pada pendadaran untuk memilih beberapa orang prajurit dalam tugas sandi yang terbaik.
Dalam pada itu, beberapa orang yang sedang menjalani pendadaran itu telah tersebar di berbagai tempat. Mereka berusaha untuk dapat sampai ke alun-alun. Mereka diperkenankan memakai berbagai cara. Bahkan dengan menerobos penjagaan jika saja mereka dapat melepaskan diri dari para petugas. Memang dimungkinkan mereka mempergunakan kekerasan. Tetapi dengan batasan-batasan tertentu. Tidak seorangpun boleh bersenjata. Yang mengikuti pendadaran maupun para prajurit yang bertugas. Selebihnya tidak boleh ada kematian karena pendadaran tersebut.
Tetapi untuk menerobos penjagaan, tentu sangat sulit, karena yang bertugas di setiap penjagaan tidak hanya satu dua orang prajurit. Kadang-kadang lima, bahkan lebih.—
Rara Wulan yang menyusup dalam kegelapan itupun dengan cepat mendekati alun-alun. la berusaha untuk menghindari benturan dengan para petugas. Rara Wulan berpegang pada keterangan Ki Tumenggung Purbasena, bahwa ada jalan yang terbuka, sehingga jika orang-orang yang mengikuti pendadaran itu berpandangan tajam dan mampu bergerak cepat, maka mereka akan dapat mencapai alun-alun tanpa harus melewati tempat-tempat yang dijaga oleh para prajurit.
Rara Wulan bahkan menyusup melalui halaman-halaman rumah. la tidak selalu menyusuri jalan-jalan, bahkan jalan setapak sekalipun. Sehingga karena itu, maka Rara Wulan itupun menjadi semakin dekat dengan alun-alun pula.
Beberapa orang lain yang mengikuti pendadaran, kadang-kadang tersesat ke sudut-sudut yang berada di bawah pengawasan para prajurit, sehingga mereka harus berlari-lari dikejar oleh prajurit yang bertugas untuk menangkapnya.
Tetapi para prajurit itupun menyadari, bahwa mereka adalah orang-orang yang sedang mengikuti pendadaran. Karena itu, jika mereka berusaha melarikan diri, para prajurit itu tidak mengejar mereka seperti mengejar seorang penjahat. Biasanya orang-orang yang melarikan diri itu, memang dilepaskan begitu saja oleh para prajurit itu.
Sementara itu, Glagah Putih yang berjalan melewati jalan di dalam lingkungan hunian yang padat, masih belum terhambat.
Ia berjalan melenggang seperti seorang yang sudah menjadi tua, berjalan-jalan menjelang matahari terbit.
Namun tiba-tiba saja Glagah Putih itu berhenti. Telinganya yang sangat tajam, bahkan dengan mengetrapkan Aji Sapta Pangrungu, mendengar beberapa orang yang sedang bercakap-cakap.
Glagah Putih tersenyum. Tentu beberapa orang pra-jurit yang sedang bertugas menjaga jalan yang menuju ke alun-alun itu. Tiba-tiba timbul keinginan Glagah Putih untuk bermain-main dengan mereka.
— Aku akan lari. Aku harap mereka tidak akan berhasil memburuku.—
Glagah Putih itupun kemudian bergeser beberapa langkah maju mendekati sebuah gardu di simpang empat. Beberapa orang prajurit yang bertugas, telah mengambil tempat di gardu itu. Sementara para peronda malam itu mendapat kesempatan untuk beristirahat.
Para prajurit itu terkejut ketika tiba-tiba seseorang muncul dari dalam gelap. Merekapun segera menyadari, bahwa orang itu tentu salah seorang prajurit yang mengikuti pendadaran.
Karena itu, maka merekapun segera berloncatan turun untuk menangkap orang yang tiba-tiba muncul dari kegelapan itu.
— Seharusnya kau lari dan bersembunyi. Tetapi kenapa kau justru mendatangi kami?—
Glagah Putih melangkah semakin dekat, sehingga cahaya lampu minyak di gardu itu menggapainya.
Prajurit yang bertugas di gardu itupun terkejut. Mereka mengenali orang itu. Orang itu memang salah seorang di antara mereka yang mengikuti pendadaran.
— Glagah Putih — sapa seorang prajurit.
Glagah Putih mengerutkan dahinya. Katanya — Jadi kaukah yang bertugas di sini?—
— Ya.—
— Aku tidak sengaja. Sungguh aku tidak sengaja —
berkata Glagah Putih — Jika aku tahu, bahwa kalianlah yang bertugas di sini, aku tentu akan mengambil jalan lain.—
Para prajurit itu berdiri termangu-mangu. Mereka mengenal Glagah Putih dengan baik. Ketika mereka berada di Demak, mereka tahu pasti, apa yang telah dilakukan oleh Glagah Putih.
Karena itu, seorang di antara merekapun berkata — Seharusnya kau tidak usah mengikuti pendadaran. Setiap orang tahu, bahwa kau memiliki kelebihan. Bahkan jauh lebih baik dari para prajurit yang akan mendadarmu esok.—
— Ki Tumenggung Purbasena menghendaki pendadaran itu dilaksanakan.—
— Tantang saja Ki Tumenggung Purbasena esok di alun-alun — berkata salah seorang prajurit itu — orang tentu akan mengira, bahwa Ki Tumenggung Purbasenalah yang sedang mengikuti pendadaran.—
Para prajurit itu tertawa. Glagah Putih juga tertawa. Sementara itu seorang prajurit yang lainpun berkata — Marilah. Duduklah. Kami telah membuat minuman hangat serta merebus ketela pohon .—
— Kalian telah melanggar tatanan prajurit yang sedang bertugas. Dengan minuman hangat serta ketela rebus, kalian tidak akan dapat melakukan tugas dengan baik. Itulah sebabnya kalian tidak melihat aku lewat di kegelapan halaman sebelah, jika saja aku tidak dengan sengaja mendekati gardu ini.—
— Kau tentu akan mengajak bermain kejar-kejaran.—
Glagah Putih tertawa.
Tetapi ternyata prajurit-prajurit itupun berkata diantara mereka — Marilah, kita duduk dan minum lagi. Nanti minuman kita dingin.—
— Itu lebih baik daripada berlari-lari mengejar Glagah Putih. Tentu akan sia-sia. Sampai di alun-alun ia tidak akan terkejar.—
Glagah Putih tertawa berkepanjangan. Katanya — Kau mempunyai cara lain untuk menahan agar aku gagal dalam pendadaran itu.—
— Cara lain yang mana?—
— Kau akan minta aku duduk sambil minum-minuman hangat dan makan ketela rebus. Tahu-tahu terdengar suara kentongan dengan irama dara muluk. Nah,
maka gagallah pendadaranku.—
— Sebelum suara kentongan dengan irama dara muluk sebagai pertanda tengah malam, akan ada isyarat lain yang memberitahukan bahwa waktunya sudah hampir habis.—
— Aku tentu lebih senang menunggu minuman itu menjadi agak dingin dan kemudian menghirupnya.—
Para prajurit itupun tertawa pula.
Namun seorang di antara para prajurit itupun berkata — Baik, baik. Pergilah. Lanjutkan usahamu menggapai alun-alun Pungkuran sebelum terlambat.—
— Kalian tidak mengejar aku?— bertanya Glagah Putih.
— Sudah aku katakan, satu usaha yang sia-sia.
Glagah Putih masih saja tertawa. Iapun kemudian minta diri kepada para prajurit yang bertugas itu sambil berkata — Sembunyikan minuman dan makanan itu. Jika ada prajurit dari pasukan berkuda yang meronda, maka kau akan terjerat tatanan.—
— Baik — prajurit itu tersenyum — tetapi jangan laporkan kepada Ki Tumenggung Purbasena.—
Demikianlah, maka Glagah Putihpun segera meninggalkan mereka.
Sementara itu, ternyata para prajurit yang bertugas itupun baru menyadari akan kesalahan mereka. Dengan cepat merekapun segera memindahkan mangkuk-mangkuk minuman serta ketela rebus itu ke belakang gardu. Namun mereka masih juga sempat menikmati minuman hangat serta ketela rebus mereka.
Namun ketika mereka mendengar derap kaki kuda, maka merekapun segera berloncatan ke depan gardu perondaan itu. Dua orang justru berdiri di seberang jalan.
Empat orang prajurit berkuda agaknya sedang meronda berkeliling lingkungan yang mungkin dilalui oleh mereka yang mengikuti pendadaran. Mereka juga mengamati kesiagaan para prajurit yang bertugas di lingkungan itu.
Keempat prajurit berkuda itu berhenti di depan gardu perondan itu. Seorang di antara mereka bertanya — Apa ada sesuatu yang terjadi di luar kendali?—
— Tidak, Ki Lurah — jawab seorang prajurit yang berdiri di depan gardu.
— Di mana para peronda yang seharusnya meronda di gardu ini? Apakah mereka sedang meronda berkeliling?—
— Tidak Ki Lurah. Mereka beristirahat malam ini. Gardunya kami pinjam untuk melakukan tugas kami malam ini.—
— Kenapa mereka harus beristirahat? Bukankah mereka akan dapat menemani kalian dalam tugas ini?—
— Mungkin mereka akan dapat membantu kami. Tetapi mungkin mereka justru akan mengganggu tugas kami.—
Lurah prajurit berkuda yang meronda berkeliling itu mengangguk-angguk. Kepada para prajurit yang bertugas di gardu itu, iapun berkata — Hati-hati. Para peserta pendadaran itu tentu sedang berkeliaran mencari jalan. Tugas kalian bukan untuk menggagalkan mereka, tetapi untuk menilai kemampuan mereka. Karena itu, jangan perlakukan mereka sebagaimana kalian memperlakukan seorang buronan yang sedang diburu.
— Baik, Ki Lurah.—
Demikianlah, maka para prajurit berkuda itupun segera meninggalkan gardu itu untuk melanjutkan tugas mereka meronda di sekeliling lingkungan pendadaran.
Sepeninggal para prajurit berkuda yang meronda itu, para prajurit yang berada di gardu itupun menarik nafas panjang. Seorang di antara merekapun berkata — Untunglah, bahwa Glagah Putih telah lewat di jalan ini.—
— Ya. Kalau Glagah Putih tidak memperingatkan kita, maka kita akan dapat terjebak oleh mangkuk-mangkuk minuman hangat serta ketela rebus itu.—
— Sebaiknya mangkuk-mangkuk itu segera kita kembalikan.—
— Pemiliknya sedang tidur nyenyak. Jangan kejutkan mereka. Nanti saja, setelah lewat tengah malam. Bukankah kita berjanji kepada anak-anak muda yang seharusnya bertugas meronda untuk berkeliling sedikit lewat tengah malam sebagaimana mereka lakukan?—
— Ya.—
— Lewat tengah malam para peserta pendadaran itu sudah berkumpul di alun-alun. Setelah kita meronda berkeliling sambil mengembalikan mangkuk-mangkuk itu, kitapun akan pergi ke alun-alun.
Dalam pada itu, para peserta pendadaran itupun telah merayap semakin mendekati alun-alun. Mereka memang ada yang sempat dikejar oleh para prajurit yang bertugas. Tetapi para prajurit itu sengaja tidak menangkap mereka.
Dalam pada itu, Glagah Putih tidak banyak menemui kesulitan. Jauh dari waktu yang ditetapkan, Glagah Putih itu sudah duduk di sudut alun-alun itu. Tetapi ia masih belum menampakkan dirinya, karena para peserta yang Iain juga belum berdatangan. Glagah Putih memang tidak ingin menarik perhatian dengan datang terdahulu di alun-alun itu.
Sementara itu, beberapa saat kemudian, Rara Wulanpun telah memasuki alun-alun itu pula. Tetapi Rara Wulan berada di sisi yang lain, sehingga Rara Wulanpun tidak melihat, bahwa Glagah Putih sebenarnya sudah berada di alun-alun itu.
Seperti Glagah Putih, Rara Wulan tidak ingin menjadi orang pertama yang tampil dalam pendadaran itu. Ia tidak ingin menarik perhatian banyak orang dengan kelebihannya itu.
Karena itu, maka Rara Wulanpun duduk di sudut alun-alun itu pula. Tetapi berseberangan dengan Glagah Putih.
Baru beberapa saat kemudian, seorang laki-laki yang bertubuh kokoh, namun tidak begitu tinggi, telah meloncati dinding alun-alun. Iapun kemudian berlari menyeberangi alun-alun menuju ke depan panggungan, di tempat para Senapati duduk menunggu.
— Aku adalah orang yang pertama memasuki alun-alun — orang itu hampir berteriak. Sementara itu, orang
yang bertubuh tinggi yang juga berlari menyeberangi alun-alun itupun berteriak pula — Aku adalah orang kedua.—
— Bagus — Ki Tumenggung Purbasenapun bangkit berdiri untuk menyambut orang-orang yang mulai berdatangan itu.
Namun Ki Patih Mandarakapun berdesis — Mereka bukan orang yang pertama dan kedua.—
— Kenapa Ki Patih ?— bertanya Ki Tumenggung Purbasena —jika bukan mereka, lalu siapa ?—
Namun Pangeran Singasaripun menyahut — Paman Patih benar. Mereka bukan yang pertama dan kedua.—
Ki Purbasena termangu-mangu sejenak. Sekali lagi ia bertanya — Lalu siapakah yang pertama dan kedua?—
Ki Patihlah yang menyahut — Sudahlah. Anggap saja kedua orang itu adalah orang yang pertama dan kedua.—
Ki Purbasena masih saja bingung. Tetapi Ki Patih Mandaraka serta Pangeran Singasari yang memiliki penglihatan serta panggraita yang sangat tajam, dapat merasakan dan bahkan melihat bayangan dalam kegelapan di kejauhan, bahwa sudah ada orang yang datang sebelumnya. Meskipun keduanya tidak terlalu jelas terlihat oleh keduanya, namun mereka sudah menduga, bahwa keduanya adalah Glagah Putih dan Rara Wulan.
Namun dalam pada itu, beberapa orangpun telah berdatangan pula. Baru kemudian kedua orang yang datang pertama dan kedua itupun berjalan ke tengah alun-alun mendekati Ki Purbasena.
Glagah Putihlah yang lebih dahulu melangkah di belakang orang yang datang pada urutan ke tujuh. Rara Wulan yang melihat Glagah Putih, segera bangkit pula dan melangkah ke tengah alun-alun. Tetapi ia sengaja tidak mengambil urutan ke delapan, tetapi urutan kesembilan.
Dalam pada itu, Pangeran Singasari telah berbisik di telinga Ki Patih Mandaraka — Mereka yang datang pertama dan kedua telah menghadap Ki Tumenggung Purbasena pula.—
— Bukankah mereka Glagah Putih dan Rara Wulan?—
— Ya — Pangeran Singasari mengangguk-angguk.
Tetapi Ki Patih Mandaraka dan Pangeran Singasari tidak mengatakan apa-apa, ketika Ki Purbasena menyatakan bahwa Glagah Putih telah memasuki alun-alun pada urutan ke tujuh, sedangkan Rara Wulan datang pada urutan ke sembilan.
— Ternyata mereka bukan orang yang terbaik — berkata Ki Tumenggung Purbasena di dalam hatinya.
Malam itu, pada batas waktu yang ditentukan, di tengah malam yang ditengarai dengan kentongan dengan irama dara muluk, telah berhasil memasuki alun-alun delapan betas orang. Namun pada saat gema suara kentongan masih belum lenyap, dua orang yang lainpun telah menghadap pula, sehingga keduanya masih mendapat kesempatan untuk mengikuti pendadaran berikutnya esok pagi. .
Setelah semuanya berkumpul, maka Ki Tumenggung Purbasenapun telah mengumumkan urutan para peserta pendadaran memasuki alun-alun Pungkuran, serta pernyataan Ki Tumenggung, bahwa semuanya berhak untuk mengikuti pendadaran berikutnya.
— Esok, pada saat matahari terbit, kalian harus sudah berada di sini untuk mengikuti pendadaran tahap berikutnya. Kalian besok harus menunjukkan kemampuan kalian dalam olah kanuragan. Ada tiga tahap pertarungan. Pertama adalah pertarungan di antara kalian. Karena jumlah kalian untuk pendadaran yang pertama ini dua puluh orang, maka kalian akan bertarung dalam sepuluh pasang. Tahap kedua akan terjadi pertarungan yang sama, tetapi dengan lawan yang berbeda. Sedangkan pertarungan yang ketiga adalah pertarungan di antara kalian dengan para perwira yang bertugas mendadar kemampuan kalian. Dalam pertarungan-pertarungan itu, yang penting bukan soal kalah dan menang. Tetapi para Senapati yang bertugas akan menilai kemampuan kalian. Landasan ilmu yang kalian miliki, watak dan sifat ilmu kalian serta perbandingan antara dasar-dasar olah kanuragan kalian dengan kecerdasan kalian menghadapi keadaan yang tiba-tiba. Kemampuan kalian untuk mengambil sikap pada saat-saat yang gawat. Karena itu, pada tahap terakhir, kalian akan melakukan pertarungan langsung dengan para Senapati yang sudah mempunyai hak untuk melakukan pendadaran menurut tataran kepangkatan mereka.—
Para peserta pendadaran itu mendengarkannya dengan seksama. Sementara itu, di luar sadarnya, Ki Patih Mandaraka berpaling kepada Ki Lurah Agung Sedayu. Tetapi agaknya Ki Lurah Agung Sedayupun sedang mendengarkan keterangan Ki Tumenggung itu dengan seksama.
Beberapa saat kemudian, maka pendadaran pada tingkat pertama itu sudah dianggap selesai. Esok mereka akan memasuki pendadaran pada tahap berikutnya.
— Kalian sekarang diperkenankan untuk beristirahat. Kalian akan ditunjukkan kemana kalian akan menginap.—
Demikianlah, maka para pemimpin yang menyaksikan pendadaran itupun segera meninggalkan alun-alun pungkuran. Ki Lurah Agung Sedayupun telah mengikut Ki Patih Mandaraka, karena ia akan bermalam di dalem kepatihan.
Sementara itu, para peserta pendadaranpun telah ditempatkan di sebuah barak yang tidak terdapat sekat-sekatnya. Sementara itu, pakiwan yang ada tidak mencukupi, sehingga para peserta yang ingin mandi harus bergantian atau bahkan mandi bersama-sama.
Karena itu, maka Rara Wulan harus menunggu dan mandi pada giliran terakhir. Sehingga baru di dini hari, Rara Wulan sempat membaringkan dirinya. Rara Wulan lebih senang tidur di serambi daripada tidur bersama para peserta yang lain. Tetapi selain Rara Wulan dan Glagah Putih ada pula tiga orang lain yang memilih tidur di serambi karena udara di dalam terasa agak terlalu panas.
Di pagi hari, Rara Wulan justru orang yang pertama pergi ke pakiwan sebelum yang lain terbangun. Baru setelah Rara Wulan selesai mandi dan berbenah diri, maka yang lainpun baru mulai bangun.
Demikianlah, maka pada saat yang ditentukan, para peserta pendadaran itupun telah berada di alun-alun pungkuran. Kepada mereka sengaja tidak diberikan makan pagi. Mereka hanya. mendapat minuman hangat masing-masing semangkuk sebelum mereka berangkat ke tempat pendadaran.
Seorang yang bertubuh tinggi besar berkata kepada orang yang berada di sampingnya. — Aku terbiasa makan pagi sebelum masuk ke sanggar.—
— Tidak makan pagi ini tentu termasuk salah satu syarat pendadaran — sahut kawannya — untunglah, bahwa aku juga tidak terbiasa makan pagi.—
Demikianlah, maka pada saat matahari terbit, para peserta telah siap melakukan pendadaran sesuai dengan tahap-tahap yang telah ditentukan.
Dua puluh orang peserta pada kelompok pertama yang masih akan disusul dengan kelompok-kelompok lain itupun segera berkumpul di depan panggungan demikian Pangeran Singasari serta Ki Patih Mandaraka yang diikuti oleh Ki Lurah Agung Sedayu, tiba.
I Ki Tumenggung Purbasena telah membagi dua puluh orang itu menjadi dua kelompok, masing-masing terdiri dari sepuluh orang. Mereka akan berhadapan dalam satu pertarungan. Tetapi menurut Ki Purbasena, yang penting bukannya kalah atau menang. Tetapi mereka harus menunjukkan kemampuan dasar mereka. Watak dan sifat dari ilmu mereka, serta kemungkinan-kemungkinan untuk meningkatkan ilmu mereka setelah mereka menjadi seorang prajurit.
Namun ternyata bahwa Glagah Putih dan Rara Wulan telah mendapat perhatian khusus. Keduanya harus berada dalam satu kelompok agar mereka tidak akan dapat saling berhadapan.
Jika itu terjadi, menurut Ki Tumenggung Purbasena, mereka akan dapat memainkan peran masing-masing sehingga ilmu mereka akan nampak lebih baik dari orang lain.
Glagah Putih dan Rara Wulan hanya dapat menarik nafas panjang. Mereka harus melakukan segala ketetapan dan tatanan yang dibuat oleh pejabat yang bertugas mengatur pendadaran itu.
Sejenak kemudian, maka di alun-alun itu telah berhadapan sepuluh pasang peserta pendadaran yang siap untuk menunjukkan kemampuan mereka dalam olah kanuragan. Merekapun menyadari, bahwa yang penting bukanlah menang atau kalah. Sedangkan para Senapati yang bertugas telah siap menilai keduapuluh orang yang menempuh pendadaran itu.
Dalam pada itu, prajurit yang semalam berkelahi dengan Rara Wulan yang menyaksikan pendadaran itu berkata di dalam hatinya — Orang yang berhadapan dengan perempuan itu adalah orang yang bernasib buruk seperti nasibku semalam. Untunglah kuda yang aku tinggalkan itu pulang sendiri. Jika tidak, nasibku akan menjadi lebih buruk lagi, karena aku hams mengganti. Setidaknya aku harus mencicil setiap bulan dipotong dari gajiku.—
Sebelum pendadaran itu dimulai, Ki Tumenggung Purbasena masih melihat pasangan-pasangan yang akan bertarung di arena pendadaran.
Ketika Ki Purbasena mendekati Kara Wulan, maka peserta pendadaran yang kebetulan berhadapan dengan Rara Wulan itupun mengeluh — Ki Tumenggung. Kenapa aku harus berhadapan dengan seorang perempuan. Hanya ada satu perempuan yang mengikuti pendadaran ini.
Kenapa kebetulan sekali, aku yang harus menghadapinya. Kalau boleh, aku minta agar aku dihadapkan kepada peserta laki-laki yang cukup tangguh untuk memancing agar ilmuku dapat tertuang sehingga dapat dilihat oleh para Senapati yang menilai pendadaran ini.—
— Tidak ada kesengajaan bahwa kau harus berhadapan dengan perempuan ini. Tetapi dalam urutan nama peserta, kaulah yang mendapat kesempatan untuk melawannya. Lakukan apa yang terbaik bagimu untuk menunjukkan kemampuanmu. Kita tidak boleh melihat perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam pendadaran ini. Jika ia sudah berani memasuki lingkaran pendadaran, maka tidak ada lagi laki-laki atau perempuan.—
Peserta yang kebetulan berhadapan dengan Rara Wulan itu menarik nafas panjang. Tetapi ia telah menunjukkan kekecewaannya, karena ia harus berhadapan dengan seorang perempuan.
Rara Wulan menarik nafas panjang. Tetapi ia berusaha untuk mengendalikan perasaannya. Ia merasa bahwa yang dilakukan itu memang tidak terbiasa. Tetapi Rara Wulan sudah bertekad untuk melakukannya. Rara Wulan pernah mendengar cerita tentang seorang perempuan yang bernama Srikandi pada dunia pewayangan. Bahkan di masa kejayaan Demak, nama Kanjeng Ratu Kalinyamatpun dikenal sebagai seorang prajurit perempuan yang tangguh. Tidak hanya di darat, tetapi Kangjeng Ratu Kalinyamat juga seorang prajurit perempuan yang gagah berani di lautan. Dengan pedang di tangan Kangjeng Ratu Kalinyamat berdiri di atas kapal berpegangan pada tali tiang kapalnya yang membelah lautan di antara dentang meriam kapal-kapal asing yang berkeliaran di laut Jawa.
— Akupun tentu boleh memasuki dunia keprajuritan — berkata Rara Wulan di dalam hatinya.
Tetapi Rara Wulan tetap mengendalikan perasaannya. Ia tidak akan menyalahkan sikap peserta yang akan menjadi lawannya itu. Sikap itu sungguh dapat dimengertinya. Orang itu tentu akan merasa sangat malu jika ia dikalahkan oleh seorang perempuan. Tetapi ia akan dianggap wajar-wajar saja jika ia menang dari seorang perempuan.
Ketika kemudian Ki Tumenggung Purbasena bergeser mendekati peserta yang lain, maka orang yang berhadapan dengan Rara Wulan itupun bertanya — Kenapa kau telah mencoba ikut dalam pendadaran ini, Nyi. Bukankah banyak lapangan pekerjaan yang sesuai kodratmu sebagai perempuan. Prajurit bukan pekerjaan yang tepat bagimu.—
— Aku kira tidak ada bedanya antara laki-laki dan perempuan, Ki Sanak. Apalagi dalam tugas sandi. Aku kira perempuan akan dapat memegang peran justru lebih baik dari seorang laki-laki. Karena perempuan tidak terbiasa menjadi prajurit.—
— Tetapi aku merasa kurang mapan. Jika aku berhadapan dengan seorang laki-laki, maka aku akan dapat mengerahkan segenap kemampuanku. Tinggal siapakah yang lebih baik di antara kami. Tetapi menghadapi seorang perempuan, aku tidak tahu harus berbuat apa.—
— Ki Sanak — berkata Rara Wulan yang perasaannya menjadi semakin tergelitik — seperti dikatakan Ki Tumenggung Purbasena. Di sini tidak ada perempuan dan
laki-laki. Yang ada adalah mereka yang mengikuti pendadaran untuk menjadi seorang prajurit, khususnya dalam tugas sandi. Nah, itulah peganganmu Ki Sanak.
Aku juga berpegangan dengan petunjuk Ki Tumenggung itu. Karena itu, jika aku mempunyai kelebihan dari Ki Sanak, itu adalah wajar-wajar saja.—
— Kau jangan terlalu sombong, Nyi.—
— Kaulah yang terlalu sombong karena kau laki-laki. Tetapi sebenarnyalah, pada tubuh seorang laki-laki, banyak terdapat kelemahan-kelemahan, melampaui seorang perempuan.—
Wajah laki-laki itu menjadi tegang. la mencoba untuk melupakan bahwa yang berdiri dihadapannya itu adalah seorang perempuan. Ia ingin mengenalinya sebagai seorang yang sombong dan tidak tahu diri.
Demikianlah, beberapa saat kemudian, setelah Ki Purbasena selesai mengamati pasangan-pasangan yang akan mengikuti pendadaran itu, maka Ki Tumenggung Purbasenapun memberi isyarat kepada para perwira yang akan menilai para peserta pendadaran itu.
Setelah segala sesuatunya siap, maka Ki Tumenggung Purbasenapun segera memberi aba-aba, bahwa pendadaran itu dimulai.
Dalam pada itu, Pangeran Singasari, Ki Patih Mandaraka yang diikuti oleh Ki Lurah Agung Sedayu, tidak hanya duduk saja di panggungan. Merekapun segera turun dan berdiri di antara gawar-gawar lawe yang membatasi setiap arena bagi peserta pendadaran itu.
Kepada seorang Rangga yang ikut mengawasi pendadaran itu, Ki Tumenggung berdesis perlahan-lahan — Awasi Ki Lurah Agung Sedayu. Ia tidak boleh membantu adiknya suami isteri dengan cara apapun juga.—
— Baik, Ki Tumenggung —jawab Ki Rangga.
Demikianlah, maka pendadaran itupun segera berlangsung. Sepuluh pasang peserta telah bertempur di bawah pengawasan para perwira yang bertugas. Sementara itu, rakyat yang tinggal di sekitar alun-alun pungkuran, bahkan dari tempat yang agak jauh, yang tertarik dengan pendadaran itu telah pergi ke alun-alun untuk menonton.
Sebenarnya dua puluh orang yang menyatakan diri untuk ikut dalam pendadaran itu, telah menunjukkan kelebihan mereka masing-masing. Pada umumnya mereka telah memiliki bekal yang memadai. Mereka sebelumnya telah berguru untuk menguasai ilmu kanuragan.
Seperti yang dikatakan oleh Ki Tumenggung Purbasena, yang dinilai oleh para pengamat, bukanlah kalah atau menang dari para peserta. Mereka menilai dari berbagai macam segi. Juga kemungkinan untuk berkembang dari ilmu para peserta itu. Meskipun dalam pendadaran itu, seseorang dikalahkan, tetapi jika kemungkinan berkembang bagi ilmunya nampak lebih baik, maka orang yang kalah itu, masih akan dapat dipertimbangkan untuk mengikuti pendadaran berikutnya.
Dalam pendadaran itu, Glagah Putih telah mendapat lawan seorang yang tubuhnya nampak kokoh. Dengan trampil orang itu berloncatan di arena. Tubuhnya nampak ringan, sementara tenaganya cukup besar dilambari dengan tenaga dalamnya.
Namun berhadapan dengan Glagah Putih, maka ilmu orang itu terasa menjadi sulit berkembang.
Tetapi Glagah Putih tidak ingin mematahkan kesempatan lawannya. Karena itu, setelah pertempuran diantara mereka mapan, maka Glagah Putihpun mendapat jalan untuk memberi kesempatan ilmu lawannya itu berkembang. Glagah Putih sendiri beberapa kali telah ter-desak. Tetapi agar Glagah Putih sendiri tidak justru tersingkir, maka sekali-sekali Glagah Putihpun telah menunjukkan kelebihannya.
Adalah kebetulan, bahwa seorang Rangga yang harus mengawasi Glagah Putih bertempur di arena pendadaran itu adalah seorang Rangga yang mengetahui apa yang telah dilakukan oleh Glagah Putih di Demak. Karena itu, maka Ki Rangga itu justru merasa heran, kenapa Glagah Putih masih juga diikutsertakan dalam pendadaran.
Dalam pada itu, seorang Rangga yang lain telah mendekatinya sambil berbisik — Ki Tumenggung Purbasena berpesan, hati-hati jika Ki Lurah Agung Sedayu mendekat.—
— Kenapa?— bertanya Ki Rangga yang menunggui Glagah Putih dalam pendadaran itu.
Ki Rangga yang menyampaikan pesan itupun menjawab – Jangan beri kesempatan Ki Lurah Agung Sedayu membantu Glagah Putih dengan cara apapun juga.—
— Membantu? Membantu dalam pendadaran ini, maksudmu?—
— Ya.—
— Kau belum pernah bersama-sama Glagah Putih berada di medan perang?—
— Medan perang? Bukankah baru sekarang Glagah Putih memasuki dunia keprajuritan? Itupun baru mengikuti pendadaran?—
— Kau tidak ikut ke Demak beberapa waktu yang lalu?—
— Tidak.—
Ki Rangga yang menunggui Glagah Putih mengikuti pendadaran itupun mengangguk-angguk. Katanya kemudian – Baik. Baik. Aku akan mengawasi Ki Lurah Agung Sedayu.—
Ki Rangga yang menyampaikan pesan Ki Tumenggung Purbasena itupun kemudian meninggalkannya dan kembali menemui Ki Purbasena sambil berkata – Sudah, Ki Tumenggung. Pesan Ki Tumenggung sudah aku sampaikan.—
— Bagus. Aku tidak ingin terjadi kecurangan dalam pendadaran ini. Semua hams berlangsung sebagaimana seharusnya.—
Dalam pada itu, pendadaran itupun masih berlangsung. Semakin lama pertempuran antara pasangan-pasangan peserta pendadaran itupun menjadi semakin sengit. Masing-masing telah meningkatkan ilmu mereka semakin tinggi. Bahkan ada diantara mereka yang hampir kehilangan kendali, sehingga mengerahkan segenap kemampuan mereka.
Namun rata-rata kemampuan mereka memang seimbang.
Sementara itu, Rara Wulanpun masih juga bertempur, bahkan semakin seru. Lawannya yang telah meningkatkan ilmunya, justru menjadi heran. Perempuan itu masih saja mampu mengimbanginya. Bahkan perempuan itu sekali-sekali sempat mendesaknya. Pada saat-saat tertentu, Rara Wulan telah memancing lawannya untuk bertempur semakin keras.
Baru kemudian, lawan Rara Wulan itu menyadari, bahwa lawannya, meskipun seorang perempuan, tetapi ia memang memiliki ilmu yang memadai untuk mengikuti pendadaran. Bahkan orang itu mulai menduga, bahwa sebenamya perempuan itu memiliki ilmu yang lebih tinggi.
Sambil bertempur, orang itupun berkata – Maafkan aku, Nyi. Aku telah salah menilai kemampuanmu. Aku mengakui, jika kau ingin mengalahkan aku, kau akan dapat melakukannya. Tetapi kau kendalikan dirimu, karena kau mencoba menjaga perasaanku.—
Rara Wulan tidak menjawab. Ia masih saja berloncatan justru semakin cepat. Namun dengan demikian, maka lawannyapun dapat menumpahkan kemampuannya pula. Rara
Wulan seakan-akan justru telah memancing ilmunya, sehingga para pengamat dapat melihat kelebihan-kelebihannya tanpa mencemaskan keadaan lawannya. Orang itu yakin, bahwa dengan mengerahkan segenap kemampuannya, perempuan itu tidak akan diciderainya.
Demikianlah, mataharipun semakin lama menjadi semakin tinggi. Panasnya menjadi semakin terasa membakar kulit. Mereka yang mengikuti pendadaran itu menjadi semakin basah oleh keringatnya yang menjadi semakin deras.
Namun dengan demikian, maka ilmu merekapun telah meningkat semakin tinggi.
Sampai saatnya matahari sampai ke puncak langit, pertempuran diantara para peserta pendadaran itu masih berlangsung dengan sengitnya.
Para perwira yang bertugas untuk menilai para peserta pendadaran itu telah bekerja sebaik-baiknya. Mereka menilai para peserta itu sesuai dengan kemampuan mereka.
Menurut para perwira yang bertugas, maka agaknya para peserta itu telah memenuhi syarat untuk ikut dalam pendadaran yang berikutnya.
Sedikit lewat tengah hari, maka satu dua diantara para peserta itu sudah kelihatan menjadi letih. Tetapi mereka masih tetap mampu bertahan.
Akhirnya, pada saat yang ditentukan, telah terdengar isyarat untuk menghentikan pertempuran diantara para peserta pendadaran itu. Ki Tumenggung Purbasena menganggap bahwa pendadaran pada hari pertains itu sudah selesai. Esok mereka akan memasuki pendadaran pada tahap kedua. Para peserta itu masih akan berhadapan dalam pasangan-pasangan yang berbeda.
Prajurit yang semalam mengalami nasib buruk karena salahnya sendiri, bahwa ia telah mencoba mengganggu Rara Wulan, mengharap bahwa Rara Wulan akan memperlakukan lawannya sebagaimana ia memperlakukannya.
Tetapi ternyata Rara Wulan tidak berbuat demikian. Ia tidak menghajar lawannya sehingga beberapa goresan batu padas melukai wajahnya.
— Curang perempuan itu – berkata prajurit itu kepada dirinya sendiri – ia tidak mempergunakan tingkat tertinggi kemampuannya untuk mengalahkan lawannya.
Namun bukan saja Rara Wulan yang tidak meningkatkan ilmunya sampai tataran tertinggi. Tetapi Glagah Putihpun berbuat demikian pula.
Demikian isyarat pendadaran itu berakhir, maka Ki Rangga yang menunggu Glagah Putih bertempur itupun berbisik – Kau manjakan lawanmu itu.
Glagah Putih mengerutkan dahinya. Ia memang mengenal Ki Rangga yang menungguinya itu ketika Glagah Putih ikut ke Demak.
— Kenapa? – bertanya Glagah Putih.—
— Kau dapat menghentikannya dalam sekejap.—
Glagah Putih tersenyum. Katanya – Ia pantas untuk ikut dalam pendadaran berikutnya.—
— Ya. Ia memang pantas.—
Kalau aku menghentikannya dalam waktu yang singkat, maka kemungkinan itu akan menjadi sempit meskipun Ki Rangga dapat memberikan keterangan tentang kemampuan-nya.—
Ki Rangga itupun tersenyum. Katanya – Aku telah mendapat pesan khusus dari Ki Tumenggung Purbasena —
— Pesan apa?—
— Aku harus mengawasi Ki Lurah Agung Sedayu agar tidak membantu dalam segala bentuk.—
Glagah Putih menahan tertawanya. Tetapi ia tidak berkata apa-apa.
Ki Rangga yang mengawasi Glagah Putih itupun kemudian meninggalkan Glagah Putih sambil berkata – Aku harus segera memberikan laporan.—
Ternyata bahwa semua perwira yang mengawasi pendadaran itu berpendapat bahwa semua peserta pendadaran telah berhasil melampaui tahap pertama itu.
Esok mereka akan memasuki tahap berikutnya. Para peserta itu akan memasuki arena pendadaran dengan lawan yang berbeda.
Demikianlah, maka para peserta itupun telah diperkenankan kembali ke barak yang disediakan bagi mereka. Merekapun segera membersihkan diri mereka untuk kemudian makan siang dan beristirahat.
Seperti sebelumnya, maka Rara Wulanpun pergi ke pakiwan pada kesempatan yang terakhir.
Setelah berbenah diri, maka para peserta itupun segera pergi ke ruang makan yang telah disediakan. Merekapun mendapat pelayanan makan siang yang cukup baik.
Selesai makan, maka merekapun telah duduk-duduk di serambi barak yang disediakan bagi mereka. Mereka mempergunakan waktu istirahat mereka sebaik-baiknya. Tetapi seperti kemarin, maka sikap merekapun masih saja aneh-aneh yang kadang-kadang agak kekanak-kanakan dan menggelikan.
— Mereka ingin menunjukkan kelebihan mereka – berkata Rara Wulan yang duduk di tangga serambi itu bersama Glagah Putih.
Glagah Putih tersenyum. Katanya – Mereka adalah orang-orang yang masih kurang percaya diri. Tetapi keberhasilan mereka di tahap pertama ini, seharusnya membuat mereka lebih bersikap dewasa. Mereka tidak perlu lagi berbuat seperti kanak-kanak yang bangga karena menang bermain bengkat.—
Rara Wulan tersenyum.
Namun pembicaraan mereka terhenti ketika seseorang ikut duduk di tangga serambi. Orang itu adalah orang yang dalam pendadaran yang baru saja dilakukan di alun-alun itu, berhadapan dengan Rara Wulan.
— Namaku Legawa – berkata orang itu.
— Namaku Rara Wulan. Mungkin kau sudah tahu. Ini suamiku, namanya Glagah Putih.—
— Aku bangga atas perkenalan ini – berkata orang itu – ternyata aku benar-benar salah menilai kemampuan Nyi Rara Wulan. Tetapi kemudian aku mendengar dari seorang prajurit yang sudah aku kenal, bahwa jangankan aku. Bahkan para Tumenggungpun akan mengalami kesulitan melawan kalian
— Ah. Itu berlebihan – sahut Glagah Putih – kami memang pernah beberapa kali ikut bersama para prajurit dalam perang yang sebenarnya. Tetapi kemampuan kami tidak lebih dari para prajurit itu.—
— Itu adalah kelebihan kalian yang lain. Kalian selalu merendah. Untunglah bahwa Nyi Rara Wulan dengan tulus hati menjaga perasaanku, sehingga ia tidak membuat aku pingsan di medan pendadaran meskipun sebelumnya aku telah meremehkannya.—
— Tidak apa-apa – sahut Rara Wulan – aku mengerti sekali perasaanmu.—
— Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih. Besok kita pasti tidak akan bertemu lagi, karena kita akan berganti lawan. Mudah-mudahan lawanmu tidak membuatmu marah sehingga kau tidak lagi dapat mengendalikan diri.—
— Aku akan berusaha untuk tidak marah – jawab Rara Wulan.—
Orang itupun kemudian meninggalkan Glagah Putih dan Rara Wulan yang masih saja duduk di serambi. Orang itupun kemudian masuk ke dalam barak dan berbaring di pembaringannya sebagaimana beberapa orang yang lain: Bahkan ada diantara mereka yang merasakan bagian-bagian tubuh-nya yang sakit dan nyeri.
Ada diantara mereka yang kebetulan mengikuti pendadaran bersama kawan dekatnya saling memijit untuk mengurangi pegal-pegal di tubuh mereka.
Di sisa hari itu, mereka benar-benar mempergunakan waktu mereka untuk beristirahat. Namun ada juga yang sempat mendekati Rara Wulan sambil berkata – Aku berharap esok kita akan bertemu di medan pendadaran. Aku akan memberimu kesempatan lebih baik dari orang yang tadi bertarung melawanmu.—
Rara Wulan mengerutkan dahinya. Tetapi sebelum ia men-jawab, orang itu sudah beranjak pergi.
— Jangan hiraukan – berkata Glagah Putih – yang penting kita harus terlepas dari masa pendadaran ini sehingga kita berkesempatan menjadi prajurit. Baru kemudian, jika orang-orang itu masih saja menyinggung perasaan, kita akan memperingatkannya.—
Rara Wulan menarik nafas panjang. Sejak semula ia memang sudah membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang dapat menyinggung perasaannya, justru karena ia adalah satu-satunya peserta perempuan dalam pendadaran itu.
Namun agaknya orang yang menemui Rara Wulan itu mempunyai kawan seorang perwira prajurit Mataram yang dapat mempengaruhi penataan pasangan-pasangan peserta pendadaran yang akan bertarung di arena esok pagi. Kepada kawannya itu, orang itupun minta agar dapat diatur sehingga ia akan berhadapan dengan Rara Wulan.
— Kau ingin nampak sebagai seorang yang berilmu sangat tinggi dengan mengalahkan perempuan itu? – bertanya kawannya.
— Tidak. Aku justru akan memberinya banyak kesempatan untuk dapat memasuki tahap berikutnya.—
— Tidak akan banyak gunanya. Tahap berikutnya adalah tahap yang sangat menentukan. Para peserta akan langsung berhadapan dengan para perwira prajurit Mataram yang bertugas dalam pendadaran ini.—
— Tidak apa-apa. Aku hanya ingin meninggalkan kesan khusus di hati perempuan itu.—
— Kau masih belum berubah. Jika kau diterima menjadi seorang prajurit dalam tugas sandi, maka kau manfaatkan kedudukanmu untuk memikat banyak perempuan.—
— Ah. Tentu tidak. Jika aku sudah menjadi prajurit, maka aku justru harus tahu diri.—
— Kenapa menunggu setelah menjadi prajurit?—
— Mumpung, kakang. Mumpung.—
Prajurit Mataram itu menarik nafas panjang. Tetapi ia akan benar-benar berusaha ikut mengatur pasangan-pasangan para peserta pendadaran yang akan turun ke alun-alun dalam pertarungan di antara mereka.
Malam itu, para peserta pendadaran telah memanfaatkan waktu mereka sebaik-baiknya untuk beristirahat. Sebelum wayah sepi bocah, pada umumnya mereka telah berada di pembaringan. Satu dua orang diantara mereka sempat menelan reramuan obat yang mereka bawa untuk membuat badan mereka tetap segar di keesokan harinya.
Di keesokan harinya, maka pada saat matahari terbit, para peserta itu sudah berada di alun-alun pungkuran sebagaimana hari sebelumnya. Merekapun segera mempersiapkan diri untuk masuk ke arena pertarungan antara para peserta pendadaran.
bersambung ke 387
asiik….
rung ana sing weruh..
asiik….asiik
rung ana sing weruh…apa to ki,
asiik,
asiik….sungguh asiik ..punya guru simpatik…
Sakauuww
– he3…matur suwun Ki Sarip…
– kula pun weruh Ki Arema…
– sugeng napa mawon katur sedaya bebahu,cantrik lan tukang ngintip padepokan…