Buku IV-13

313-00
Halaman: 1 2

Telah Terbit on 30 Juli 2009 at 08:51  Comments (192)  

The URI to TrackBack this entry is: https://adbmcadangan.wordpress.com/buku-iv-13/trackback/

RSS feed for comments on this post.

192 KomentarTinggalkan komentar

  1. Absen pagi…..

  2. Matur nuwun Kang mBokayu…..

  3. Makasih Ki…, pagi-pagi sarapan kitab

  4. Matur nuwun nyi Seno, ki GD
    Matur nuwun untuk kitap dan semangat yang masih terus membara untuk terbitnya adbm penuh inspirasi

  5. Matur nuwun Nyi, sampun maringi sarapan …

  6. Pagi2 begitu buka gandok, lagi2 ada yang bilang makasih. Ikutan makasih Nyi S, meski belum DL, yang penting isi komen hadir lagi..

  7. Telima kacih, lagi pagi-pagi sarapan kitab 313

  8. Absen Hadir sekalian ikut Ngunduh Kitab
    Matur Nuwun…………….Terima Kasih

  9. terima kasih nyi sena, ki gd, ki sukra, ki mbodo, ki tumenggung sepuh…

  10. kulonuwun… ngunduh… matur nuwun… pareng….

  11. Hadir dan langsung ngunduh. Terima kasih atas kitab 313, Nyi.

  12. Terima kasih……..

  13. Matur suwun

    • nek namatke wektu wedarane kitab, koyone mau isuk nyi Seno olehe medar pas jam 03.13…nanging sing jogo gandok kurang waspodo….mungkin lho….nek kliru njaluk ngapuro…

      • nek bener, sesuk isuk wedare jam 03.14….(mblayu…ndak disawat siwur)

  14. Sabar…sabar…. Gandoknya dibersihkan dulu ya Ki….

    * gembrobyos

  15. koq gak bisa download ya?

    • harusnya bisa
      tautannya ada di H[a]laman: 1 2

  16. thanks responnya, download bisa tp gak bisa dibaca (arema araya)

    • he he ….
      coba masuk ke halaman lain (gambar sticker warna kuning) di kolom kanan halaman ini.
      masuk ke dalamnya, kemudian masuk lagi ke halaman unduh.
      ki sanak akan mendapat petunjuk disitu bagaimana cara download dan membaca rontal dengan ekstensi djvu.

  17. ngikut ngantri nggeh,…

  18. Ayo murid-murid RETYPE pada absen !

    • golek konco nyapu gandok ya ki???
      hehehehhehhee…

  19. Mboten Nyai…mboten… Menawi urusan nyapu saged kulo garap piyambak.
    Kulo namung betah konco ingkang kersa ngepel gandok kemawon kok… hehehe…

    😀

    • waduuuh…
      la niku, kedah nimbali inem sang pelayan seksi…
      hehehehehe…
      ^_^

      • Nek ngepel..kulo mawon mesti resik sik !…

        • Gandeng Ki Kartojudo sing ngepel gandok, aku tak ngepel Inem wae….hehehe 😀 😀 😀

  20. menurut petugas telik sandi, ternyata Nyi Seno sudah ada segudang retype di bangsal pustaka.
    Hanya menunggu Nyi Seno keluar dari mesu dirinya.
    Nampaknya tak elok, jika mewedarkan hasil retype tanpa izin Nyi Seno.

    • Sampai kapan Ki mesu dirinya ? Kalau kelamaan mesu diri, jadinya tak elok juga ya Ki ?

      * sabar teruuuuss…..

  21. mohon bantuan untuk mendapatkan seri 313 sampai 330
    terima kasih

  22. nderek nimbrung ,dalem sampun dangu maos adbm nanging dereng nate nderek lenggahan.

  23. mas, gimana caranya bisa buka seri 313 dan selanjutnya soalnya jadi tambah penasaran untuk tahu endingnya Agung Sedayu CS.
    Matur suwun

    • Masuk ke halaman lain, terus cari halaman unduh. Disitu ada cara mengunduh file.
      Kalau cara membuka/membacanya, unduh software STDUViewer atau WinDjvu dari internet, ada yang gratis kok.

  24. Api di Bukit Menoreh
    Jilid IV – 13
    Bagian 1 dari 3

    NYI DWANI tidak bertanya lagi. Ia mencemaskan dirinya sendiri. Jika jantungnya meledak, maka ia tidak akan dapat mengendalikan dirinya sendiri, sehingga dengan demikian rencananya justru akan gagal.

    Ketika kemudian Nyi Dwani masuk ke ruang dalam bersama Empu Wisanata, maka dilihatnya dua orang yang duduk terkantuk-kantuk. Tetapi ketika pintu berderit, maka keduanya terkejut.

    Keduanya segera bangkit berdiri dan mempersilakan Nyi Dwani dan Empu Wisanata untuk duduk.

    “Di mana Ki Saba Lintang?”

    “Tidur Nyi.”

    “Di mana?”

    “Di bilik sebelah.”

    “Sendiri?”

    “Ya, sendiri. Apakah aku harus membangunkannya?”

    Nyi Dwani tersenyum. Katanya, “Aku akan menyusulnya.”

    Orang itu mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia pun tertawa pendek sambil berdesis, “Silakan Nyi.”

    Tetapi suara tertawanya terputus, ketika Nyi Dwani tiba-tiba membentak, “Kenapa kau tertawa?”

    Orang itu tergagap. Mulutnya pun kemudian terkatup rapat-rapat.

    Nyi Dwani pun kemudian terkejut, “Di mana bilik Kakang Saba Lintang?”

    “Bukankah Nyi Dwani sudah mengetahuinya?”

    “Mungkin Kakang Saba Lintang sudah pindah ke bilik yang lain.”

    “Tidak Nyi. Masih di bilik yang dahulu.”

    “Siapakah yang berada di bilik sebelah?”

    “Kosong, Nyi.”

    Nyi Dwani mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba ia bertanya, “Kenapa kalian berdua berada di ruang ini? Apakah ruang ini harus diawasi atau dijaga?”

    “Ya, Nyi.”

    “Sejak kapan?”

    “Sejak sentong di serambi itu berisi.”

    “Oh. Siapa yang berada di sentong di serambi?”

    “Sentong itu menjadi sentong tahanan. Seorang gadis ada di sentong itu.”

    “Seorang gadis? Siapa?”

    “Rara Wulan.”

    Nyi Dwani memandang orang itu dengan tajamnya. Dengan nada berat ia bertanya, “Kenapa tidak di tempatkan di gandok? Bukankah di gandok lebih mudah mengawasinya?”

    “Di malam pertama memang di tempatkan di gandok. Tetapi di malam kedua hampir saja terjadi mala petaka. Seorang pembantu Ki Saba Lintang hampir saja bertindak kasar terhadap gadis itu. Ketika seorang petugas memperingatkannya, petugas itu justru dibunuhnya.”

    “Siapa orang itu?”

    “Resa Tengah.”

    “Ia memang gila. Di mana Resa Tengah sekarang?”

    “Mati.”

    “Mati?”

    “Ya, dibunuh oleh Ki Saba Lintang dengan tangannya sendiri.”

    Jantung Nyi Dwani berdesir. Ia tidak mau bertanya lebih panjang lagi untuk menjaga agar hatinya jangan terbakar sebelum ia bertemu dengan Ki Saba Lintang. Agaknya telah terjadi semacam persaingan di antara laki-laki yang buas di sarang itu untuk memperebutkan seorang gadis.

    Karena itu, maka Nyi Dwani itu pun justru tersenyum. Kemudian itu pun berkata Kepada Empu Wisanata, “Selamat malam Ayah. Silakan Ayah tidur di gandok.”

    Empu Wisanata mengangguk. Katanya, “Kau akan tidur di mana?” Kau juga harus tidur di gandok, Dwani. Ki Saba Lintang belum menjadi suamimu.”

    Nyi Dwani tersenyum. Namun ia melangkah ke bilik Ki Saba Lintang yang tertutup. Tetapi Nyi Dwani tahu, bahwa pintu itu tidak diselarak. Telinga Ki Saba Lintang sangat tajam, sehingga jika terdengar pintu berderit betapapun lembutnya, ia tentu terbangun. Apalagi ada beberapa orang petugas di dalam rumah itu.

    “Dwani!” panggil Empu Wisanata.

    Tetapi Nyi Dwani pun berkata sekali lagi, “Selamat malam Ayah.”

    Empu Wisanata tidak dapat mencegah Nyi Dwani. Karena itu, maka lebih baik baginya untuk pergi meninggalkan ruang dalam. Empu Wisanata tahu, ke mana ia harus pergi. Orang-orang di sarang Ki Saba Lintang pun tahu, di mana Empu Wisanata akan tidur.

    Dalam pada itu, Nyi Dwani pun telah membuka pintu lereg bilik Ki Saba Lintang yang memang tidak diselarak. Namun meskipun Nyi Dwani itu mendorong dengan hati-hati, tetapi Ki Saba Lintang pun telah terbangun. Dengan serta-merta ia pun bangkit dan berdiri di sisi pembaringannya

    Namun Ki Saba Lintang itu pun menarik nafas panjang. Ia melihat Nyi Dwani yang tersenyum di pintu biliknya.

    “Nyi Dwani,” desis Ki Saba Lintang.

    Nyi Dwani melangkah maju. Dengan nada lembut ia pun bertanya, “Kau letih, Kakang?”

    “Tidak, Nyi,” jawab Ki Saba Lintang yang kemudian justru bertanya, “kapan kau datang Nyi?”

    “Baru saja Kakang. Kakang memanggilku?”

    “Ya. Sepekan setelah aku meninggalkan Prambanan aku minta kau datang. Tetapi aku tidak mengira bahwa kau begitu cepat datang kemari.”

    “Demikian orang yang menyampaikan pesanmu itu datang, maka aku pun segera berangkat.”

    “Siapakah yang menyertaimu?”

    “Ayah.”

    “Oh, di mana Empu Wisanata sekarang?”

    “Baru saja ayah pergi ke gandok.”

    “Ada yang penting yang ingin aku katakan kepadamu, Nyi.”

    “Aku tahu. Tetapi kenapa harus menunggu sepekan?”

    “Aku telah mempersiapkan segala-galanya.”

    “Aku letih, Kakang. Apakah aku boleh tidur?”

    “Kau akan tidur di mana?”

    Nyi Dwani tersenyum. Katanya, “Di bilik sebelah. Bukankah bilik itu kosong?”

    “Kenapa kau tidak tidur di sini saja?”

    Nyi Dwani tertawa Katanya, “Aku akan tidur di bilik sebelah. Ayah sudah berpesan, bahwa aku tidak boleh tidur di sini.”

    “Ah, orang-orang tua biasanya terlalu khawatir.”

    Nyi Dwani menggeleng sambil menjawab, “Aku akan tidur di sebelah.”

    Namun Nyi Dwani itu justru duduk di sebelah Ki Saba Lintang. Katanya, “Kakang tentu juga letih. Tidurlah. Aku akan menunggu sampai keringatku kering. Nanti aku akan pergi ke bilik yang kosong itu.”

    “Sebaiknya kau tidur di sini saja.”

    Tetapi Nyi Dwani itu pun menjawab, “Ayah ada di sini sekarang. Karena itu, aku akan tidur di bilik itu.”

    Ki Saba Lintang tidak memaksa. Tetapi Nyi Dwani tidak juga beranjak pergi.

    Saba Lintang memang agak bimbang. Tetapi kemudian ia pun berkata, “Nyi. Ada sesuatu yang penting akan aku katakan kepadamu. Tetapi sebenarnya tidak terlalu tergesa-gesa sehingga kau dapat datang esok siang. Kau tidak perlu menempuh perjalanan malam, bahkan sampai dini hari.”

    “Sudah aku katakan, Kakang. Sebaiknya esok pagi saja Kakang bercerita. Sekarang aku ingin beristirahat. Bukan hanya tubuhku. Tetapi juga otakku. Bukankah persoalannya tidak terlalu penting sehingga dapat ditunda sampai esok siang?”

    Ki Saba Lintang mengerutkan dahinya Namun kemudian ia pun mengangguk-angguk sambil berdesis, “Ya. Dapat ditunda sampai esok.”

    “Karena itu, sekarang jika Kakang ingin tidur, tidurlah. Apakah aku harus memijit kaki Kakang.”

    “Kau aneh, Nyi Kau yang letih karena berkuda dari jarak yang sangat jauh. Tetapi kau yang akan memijit aku.”

    Nyi Dwani tertawa. Katanya, “Jadi?”

    “Aku yang memijitmu.”

    “Nanti kualat Kakang. Biarlah Kakang beristirahat Aku pun beristirahat. Bukankah kita sama-sama letih meskipun kerja kita berbeda?”

    Ki Saba Lintang mengangguk. Nyi Dwani pun kemudian bangkit sambil berkata, “Berbaringlah! Aku akan tidur nyenyak, jika aku yakin Kakang sudah tidur pula”

    “Sebenarnya aku telah tidur nyenyak. Tetapi kau yang telah membangunkan aku.”

    Nyi Dwani tersenyum. Katanya, “Karena itu, sekarang Kakang tidur saja lagi. Aku juga akan tidur.”

    Ki Saba Lintang menarik nafas dalam-dalam. Sementara Nyi Dwani pun bangkit berdiri. Katanya, “Aku sekedar melaporkan diri, bahwa aku telah datang.”

    Ketika kemudian Nyi Dwani melangkah keluar, Ki Saba Lintang memandanginya dengan mata yang hampir tak berkedip. Namun Nyi Dwani pun kemudian telah menutup pintu dari luar sambil tersenyum.

    Ketika Nyi Dwani berada di ruang dalam, maka orang-orang yang ada di ruang itu pun memandanginya dengan heran. Namun mereka men-jadi tergagap ketika Nyi Dwani itu berkata, “Ada apa?”

    “Tidak, Nyi Tidak ada apa-apa.”

    “Kenapa kau memandang aku seperti itu?”

    “Maksud kami, maksud kami…,” orang itu menjadi gagap.

    Sedangkan seorang yang lain berkata, “Nyi akan pergi ke mana?”

    “Aku akan beristirahat,” jawab Nyi Dwani, “kau kira, aku mau apa?”

    Orang itu semakin bingung. Karena itu, maka mereka pun tidak berkata apa-apa lagi.

    Nyi Dwanilah yang kemudian bertanya, “Siapakah yang ada di bilik itu?”

    “Kosong Nyi. Tetapi bilik di serambi itu terisi.”

    Nyi Dwani tidak bertanya lagi. Namun ia pun kemudian pergi ke bilik yang kosong itu. Ketika ia mendorong pintu lereg, maka sekali lagi ia berpaling kepada para penjaga yang ada di ruang dalam. Tetapi Nyi Dwani tidak berkata apa-apa.

    Demikian Nyi Dwani hilang dibalik pintu, maka seorang di antara mereka yang ada di ruang dalam itu pun berdesis, “Kenapa Nyi Dwani itu tidak jadi tidur di bilik Ki Saba Lintang.”

    “Entahlah. Bukan urusanmu.”

    Kawannya mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian tertawa tertahan. Tetapi ia tidak berbicara apa-apa lagi.

    Sejenak kemudian, maka orang-orang itu pun telah duduk kembali. Namun sekali-sekali mereka saling berpandangan.

    Malam yang tersisa itu pun merangkak ke ujungnya Ki Saba Lintang ternyata sudah terlalu sulit untuk dapat tidur lagi. Karena itu, maka dengan gelisah ia berbaring di pembaringannya Bahkan sekali-sekali ia bangkit dan duduk sambil berdesah. Keringatnya mengalir membasahi bajunya.

    Namun Ki Saba Lintang tidak keluar dari biliknya sampai fajar membayang di langit

    Tetapi sebelum Ki Saba Lintang itu membuka pintu biliknya, terjadi keributan di halaman. Seorang pengikut Ki Saba Lintang, menemukan kawannya terbaring diam di longkangan. Kepalanya tersandar dinding bilik di serambi rumah itu.

    Ketika orang yang menemukannya meraba tubuhnya, ternyata tubuhnya telah membeku. Senjatanya masih tergenggam erat di tangannya. Agaknya orang itu masih belum sempat mempergunakannya. Sarang Ki Saba Lintang itu pun menjadi gempar. Dengan tergesa-gesa Ki Saba Lintang itu pun keluar dari biliknya dan turun ke longkangan. Orang yang telah membeku itu masih berada di tempatnya

    Bukan hanya Ki Saba Lintang, tetapi Nyi Dwani dan Empu Wisanata pun telah berlari-lari ke longkangan pula. Beberapa orang yang berilmu tinggi yang berada di sarang Ki Saba Lintang itu pun telah berkumpul pula

    “Apa yang terjadi?” bertanya seorang yang bermata setajam mata burung hantu.

    Ki Saba Lintang tidak segera menjawab. Ia pun segera teringat sesuatu. Karena itu, maka ia pun segera berlari masuk ke serambi. Dengan serta-merta didorongnya pintu bilik di serambi itu. Ternyata bilik itu sudah kosong.

    “Gadis itu telah melarikan diri,” geram Ki Saba Lintang sambil berlari keluar.

    “Siapa?” Bertanya Nyi Dwani.

    “Rara Wulan. Aku telah mengambil Rara Wulan dan aku tahan di bilik ini.”

    “Oh,” Nyi Dwani mengerutkan keningnya

    Seorang yang bertubuh tinggi melangkah mendekati dinding bilik di serambi itu. Dengan jari-jarinya ia menekan dinding di sudut Ternyata dinding itu sudah terlepas dari ikatannya dengan tiang di sudut bilik itu.

    “Anak iblis!” geram Ki Saba Lintang, “Apakah gadis itu mampu melarikan diri?”

    Beberapa orang yang berkerumun itu pun saling berpandangan sejenak. Seorang yang bertubuh pendek berkata, “Aku tidak yakin. Meskipun gadis itu memiliki bekal ilmu kanuragan, tetapi ia tidak dapat membuka dinding itu tanpa mengejutkan petugas yang berjaga-jaga di longkangan ini meskipun seandainya orang itu tertidur. Bahkan mungkin yang bertugas di dalam pun akan dapat mendengarnya.”

    “Satu hal yang mustahil terjadi. Aku sudah menempatkan penjaga di dalam dan di luar rumah.”

    “Para penjaga itu menjadi lengah, karena mereka menganggap bahwa hanya seorang gadis kecil sajalah yang ada di dalamnya.”

    “Ia harus menebus kelengahannya itu dengan nyawanya,” berkata Empu Wisanata.

    Tetapi Ki Saba Lintang pun kemudian berkata kepada beberapa orang pengikutnya, “Gadis itu tentu masih belum terlalu jauh. Cari mereka di sekitar tempat ini. Tetapi hati-hatilah terhadap orang-orang tanah perdikan.”

    Beberapa orang pengikutnya termangu-mangu sejenak. Sementara itu, langit pun semakin terang.

    “Beberapa orang berpencarlah!” berkata Ki Saba Lintang selanjutnya.

    Orang yang bertubuh pendek berkata, “Aku akan mencarinya. Biarlah aku sendiri.”

    “Kenapa harus sendiri?” bertanya Ki Saba Lintang, “Serba sedikit gadis itu memiliki ilmu yang dapat dipergunakannya untuk melindungi dirinya sendiri.”

    Orang bertubuh pendek itu tertawa. Katanya, “Kau mencemaskan kemampuanku?”

    Ki Saba lintang justru termangu-mangu sejenak. Sementara orang bertubuh pendek itu berkata, “Jika aku membawa dua orang tiga orang, aku justru khawatir, bahwa orang-orang tanah perdikan akan melihat kami. Tetapi jika aku sendiri, maka aku yakin, bahwa aku akan terlepas dari penglihatan mereka.”

    “Aku sependapat,” berkata orang yang bermata elang, “lebih baik kita sendiri-sendiri. Kita akan mampu menyembunyikan diri dari perhatian orang-orang tanah perdikan. Langit sudah menjadi terang. Matahari akan segera memanjat naik. Beberapa orang laki-laki akan berada di sawah mereka.”

    Ki Saba Lintang nampak ragu-ragu. Sementara itu, Nyi Dwani pun memperhatikannya dengan sungguh-sungguh.

    Jantung Nyi Dwani menjadi semakin berdebar-debar melihat keragu-raguan Ki Saba Lintang, seakan-akan Ki Saba Lintang tidak dapat mempercayai orang-orangnya sendiri.

    “Kenapa Kakang Saba Lintang menjadi terlalu curiga kepada kawan-kawannya?” bertanya Nyi Dwani di dalam hatinya

    Namun Ki Saba Lintang itu akhirnya berkata, “Baiklah. Pergilah berpencar. Sekali lagi aku memperingatkan, hati-hatilah terhadap orang-orang tanah perdikan. Mereka mempunyai beberapa orang berilmu tinggi yang sangat berbahaya Sementara itu, Rara Wulan adalah gadis yang sangat berharga bagi kita.”

    Jantung Nyi Dwani terasa berdentang lebih keras. Tetapi ia masih tetap berdiam diri.

    Sejenak kemudian, maka beberapa orang, justru orang-orang terpenting dari padepokan itu, telah pergi meninggalkan sarangnya untuk mencari Rara Wulan yang hilang.

    Sementara itu, seorang petugas telah berlari-lari memasuki halaman sarang Ki Saba Lintang.

    “Ada apa?” bertanya seorang kawannya

    Orang itu pun kemudian telah menghadap Ki Saba Lintang. Dengan nafas yang memburu, maka ia pun berkata, “Beberapa orang kawan yang bertugas di mulut lorong itu terbunuh.”

    Wajah Ki Saba Lintang menjadi tegang. Dengan serta-merta ia pun bertanya, “Siapa yang telah membunuhnya?”

    “Kami tidak tahu, Ki Saba Lintang. Kami datang untuk menggantikan mereka Tetapi ternyata mereka sudah mati terbunuh. Karena itu, maka aku telah ditugaskan oleh pemimpin kelompok untuk menyampaikan berita ini kepada Ki Saba Lintang.”

    “Agaknya Rara Wulan yang telah melakukannya Gadis itu memiliki bekal yang cukup untuk bertempur melawan orang-orang yang bertugas berjaga-jaga di mulut lorong itu.”

    Tetapi Nyi Dwani pun berdesis, “Apakah bekal gadis itu cukup tinggi untuk melawan beberapa orang sekaligus.”

    “Mungkin para petugas itu sedang lengah, sehingga Rara Wulan mendapat kesempatan untuk menyergapnya.”

    “Mudah-mudahan gadis itu tertangkap. Kita akan dapat bertanya kepadanya,” berkata Nyi Dwani kemudian.

    “Tetapi aku curiga, bahwa justru orang-orang kami sendiri yang telah melepaskannya.”

    “Apa keuntungannya?” bertanya Nyi Dwani.

    “Laki-laki di barak ini menjadi buas. Sedangkan Rara Wulan seorang gadis yang cantik. Bukan saja cantik, tetapi juga cerdik, sehingga ia mampu memanfaatkan keadaan itu untuk melepaskan dirinya.”

    Nyi Dwani mengangguk-angguk. Terasa dadanya menjadi bergetar. Apalagi ketika Ki Saba Lintang berkata selanjutnya, “Anak itu sangat berarti bagiku.”

    Hampir di luar sadarnya Nyi Dwani yang jantungnya berdegup semakin cepat itu bertanya, “Kenapa ia menjadi sangat berarti bagimu?”

    “Itulah yang ingin aku katakan kepadamu, Nyi Dwani.”

    “Bahwa gadis itu sangat cantik sehingga kau memerlukannya?”

    Untunglah bahwa Ki Saba Lintang tidak begitu menghiraukan jawaban Nyi Dwani itu. Bahkan ia pun berkata selanjurnya, “Besok kita akan mendapatkan tongkat baja putih itu jika gadis itu dapat kita temukan.”

    “Tongkat baja putih?”

    “Ya. Aku telah menculik Rara Wulan. Aku ancam Agung Sedayu dan Sekar Mirah, jika mereka tidak menyerahkan tongkat baja putih itu, maka Rara Wulan tidak akan pernah kembali kepada mereka.”

    “Jadi?”

    “Aku telah memaksakan sebuah perjanjian. Rara Wulan harus mereka tukar dengan tongkat baja putih milik Sekar Mirah itu.”

    Jantung Nyi Dwani pun bagaikan telah diremas. Dengan suara bergetar ia bertanya, “Apakah Agung Sedayu dan Sekar Mirah setuju dengan perjanjian yang telah kau paksakan itu?”

    “Mereka tidak mempunyai pilihan.”

    Jantung Nyi Dwani bagaikan menjadi terbakar. Ia baru sadar, bahwa ia telah berbuat sesuatu yang hanya berdasarkan pada perasaan saja, sehingga mengesampingkan penalaran. Agung Sedayu dan Sekar Mirah telah berhasil membakar perasaannya sebagai seorang perempuan.

    Jantung Empu Wisanata pun menjadi bergejolak. Semalam, dengan diam-diam ia berhasil keluar dari biliknya dan tanpa diketahui oleh para penjaga, menyusup ke longkangan. Seorang yang bertugas berjaga-jaga di longkangan telah dibunuhnya Kemudian dengan kemampuannya yang tinggi, Empu Wisanata berhasil membuka dinding bilik Rara Wulan tanpa didengar oleh siapa pun, sementara Nyi Dwani berada di bilik Ki Saba Lintang.

    Kehadiran Nyi Dwani telah membuat Ki Saba Lintang menjadi lengah. Pendengarannya yang sangat tajam, tidak berhasil menangkap suara tali-tali pengikat dinding yang putus. Kemudian Empu Wisanata membuka dinding itu, sehingga Rara Wulan dapat menyusup keluar setelah perlahan-lahan sekali Empu Wisanata menyatakan maksudnya, membebaskan gadis itu.

    Rara Wulan sendiri tidak tahu kenapa Empu Wisanata menjadi sangat berbaik hati. Rara Wulan mengira bahwa karena dalam perang tanding yang sudah terjadi antara Nyi Dwani dan Sekar Mirah, Nyi Dwani tidak dibunuh. Demikian pula Empu Wisanata telah mendapat kesempatan untuk menyingkir dari medan.

    Dengan sangat menyesal Nyi Dwani pun kemudian berkata, “Aku juga akan mencari anak itu.”

    “Tidak. Kau tidak perlu pergi Dwani,” cegah Ki Saba Lintang. Tetapi Nyi Dwani pun berkata, “Mari Ayah. Kita harus menemukan gadis itu.”

    “Sudah aku katakan. Kau tidak perlu pergi. Sebentar lagi, Kita harus sudah meninggalkan tempat ini.”

    “Kenapa?”

    “Jika Rara Wulan berhasil keluar dari lingkungan ini sampai ke padukuhan terdekat, maka para pengawal tanah perdikan akan segera bersiap. Mereka akar segera datang ke tempat ini.”

    “Mereka tidak akan berani datang tanpa perintah dari Ki Gede atau orang-orang berilmu tinggi. Rara Wulan tentu dapat mengatakan, bahwa di sini ada orang berilmu tinggi.”

    “Tanah perdikan pun mempunyai beberapa orang berilmu tinggi pula.”

    “Mereka memerlukan waktu. Mereka harus pergi ke padukuhan induk. Baru kemudian orang-orang di padukuhan induk itu bergerak kemari”

    “Sebelum mereka sampai ke tempat ini, kita harus sudah pergi.”

    Nyi Dwani termangu-mangu sejenak. Namun ia tidak boleh terseret oleh arus perasaannya lagi. Ia harus mempergunakan penalarannya Ia tahu benar bahwa Agung Sedayu berada di sekitar tempat itu bersama beberapa orang berilmu tinggi

    “Apakah orang-orang berilmu tinggi di padukuhan ini cukup memadai? Sementara itu, bersama Agung Sedayu telah hadir pula Ki Wijil dan istrinya. Bahkan anak laki-lakinya yang ternyata juga berilmu tinggi.”

    “Mereka sudah berjanji tidak akan menghancurkan Kakang Saba Lintang,” berkata Nyi Dwani di dalam hatinya

    Dalam kebimbangan yang sangat, keringat di tubuh Nyi Dwani bagaikan terperas. Pakaiannya menjadi basah kuyup seperti baru saja kehujanan.

    Ki Saba Lintang melihat keadaan Nyi Dwani. Sementara itu Nyi Dwani pun menggeram, “Aku memerlukan tongkat baja putih itu.”

    “Kita tidak boleh tenggelam dalam kegagalan ini. Kita harus berusaha dengan cara yang lain.”

    “Jadi apa yang akan kita lakukan?”

    “Kita menunggu beberapa saat sehingga orang-orang yang mencari Rara Wulan itu kembali. Kemudian, kita akan meninggalkan tempat ini.”

    Dalam pada itu, di dini hari Rara Wulan yang dibebaskan oleh Empu Wisanata berhasil keluar dari lingkungan sarang Ki Saba Lintang. Dengan bekal kemampuan yang ada padanya Rara Wulan telah berhasil meloncati pagar. Meskipun ia mengenakan pakaian sehari-hari, namun didorong oleh kemauan yang tinggi Rara Wulan mampu memanjat pagar bambu. Di malam hari, Rara Wulan tidak menghiraukan pakaiannya. Apalagi ia yakin tidak seorang pun yang melihatnya Jika seorang melihatnya, ia tentu sudah diburu dan ditangkap kembali

    Demikian Rara Wulan sampai di luar dinding bambu, maka ia pun segera mengendap-endap. Empu Wisanata sudah memberikan ancar-ancar ke mana ia harus pergi.

    Tetapi Empu Wisanata lupa untuk memberitahukan, bahwa ada beberapa orang yang bertugas mengamati jalan keluar dari sarang itu.

    Karena itulah, maka ketika Rara Wulan dengan tergesa-gesa meluncur keluar dari lingkungan sarang Ki Saba lintang, maka tiba-tiba saja berapa orang telah menghentikannya

    Jantung Rara Wulan menjadi berdebar debar. Tetapi gelap malam akan dapat dimanfaatkannya Meskipun semburat merah telah nampak di langit sebelah timur, tetapi fajar masih belum akan segera menerangi lereng perbukitan.

    Namun beberapa orang telah mengepungnya

    Rara Wulan tidak mempunyai pilihan lain. Ia harus bertempur melawan orang-orang itu. Bahkan Rara Wulan sudah bertekad lebih baik mati daripada ia harus kembali lagi ke sarang Saba Lintang. Jika ia mati, maka Sekar Mirah tidak akan ragu-ragu untuk mengambil langkah, mempertahankan tongkat baja putihnya Sementara itu sarang Ki Saba Lintang itu tentu akan menjadi neraka baginya. Ia tidak yakin, seandainya Sekar Mirah menyerahkan tongkat baja putihnya ia benar-benar akan dilepaskan.

    Dalam pada itu, seorang yang menghentikannya itu bertanya dengar kasar, “He, kau akan ke mana?”

    Rara Wulan tidak menjawab pertanyaan itu, tetapi ia pun membentak, “Minggir! Aku akan lewat.”

    Orang-orang yang mengepungnya itu tertawa Seorang di antara mereka berkata, “Agaknya kau berhasil lari dari bilikmu. Tetapi kau tidak akan mampu melewati penjagaan kami. Kami akan menangkapmu dan menyerahkan kau kepada Ki Saba Lintang. Kami tentu akan mendapat pujian dan hadiah yang besar.”

    Rara Wulan tidak menunggu lagi. Tidak ingin langit menjadi semakin terang sebelum ia berusaha untuk melarikan diri.

    Karena itu, maka tiba-tiba saja Rara Wulan telah menyerang orang yang berdiri di sisinya

    Serangan itu memang mengejutkan. Orang itu terdorong surut Namun dengan cepat ia berusaha memperbaiki keseimbangannya sementara kawannya pun dengan cepat meloncat sambil mengacaukan senjata, “Kau tidak akan dapat lari.”

    Rara Wulan tidak menghiraukannya Dengan tangkasnya ia melenting dan menyerang dengan cepat

    Tetapi orang-orang yang mengepungnya itu sudah bersiap. Hampir berbareng dua orang meloncat menyerang. Tetapi mereka tidak mempergunakan senjatanya. Mereka tahu pasti, bahwa gadis itu adalah gadis tawanan yang akan dipertukarkan dengan tongkat baja putih Nyi Lurah Agung Sedayu. Karena itu, mereka harus berhati-hati. Mereka harus menangkap gadis itu hidup-hidup. Jika mungkin tanpa menggores kulitnya dengan senjata.

    Karena itu, meskipun orang-orang itu bersenjata namun senjata mereka tidak mereka pergunakan.

    Ternyata bahwa Rara Wulan menyadari akan hal itu. Karena itu, maka Rara Wulan menjadi semakin garang. Gadis itu berloncatan menyerang lawan-lawannya

    Namun bagaimanapun juga akhirnya Rara Wulan menjadi semakin terdesak. Kesempatan untuk melarikan diri pun rasa-rasanya menjadi semakin sempit

    Beberapa kali serangan-serangan orang yang mengepungnya itu mengenai tubuhnya Bukan ujung senjata mereka, tetapi kaki dan tangan mereka tetapi kaki dan tangan mereka sehingga sekali-sekali Rara Wulan terdorong dan bahkan kehilangan keseimbangannya sehingga jatuh terguling.

    “Sudahlah, anak manis. Sebaiknya kau menyerah. Bukankah kau diperlakukan dengan baik di barak kami? Tidak seorang pun yang mengusikmu. Seorang yang mencoba mengganggumu telah dibunuh langsung deh Ki Saba Lintang sendiri.”

    Tetapi Rara Wulan tidak mau menyerah. Bahkan gadis itu berkata lantang, “Aku lebih baik mati daripada harus kembali ke barak sarang Saba Lintang.”

    “Jangan berkata begitu. Sayang sekali jika kulitmu itu harus tergores senjata.”

    Tetapi Rara Wulan tidak menghiraukannya

    Dalam pada itu, ketika Rawa Wulan benar-benar berada dalam keadaan yang sulit tiba-tiba saja dua sosok tubuh meloncat dari balik gerumbul perdu. Seorang di antara mereka tertawa sambil berkata, “Jadi inikah kerja kalian? Apakah kalian tidak mempunyai harga diri sama sekali, sehingga harus bertempur melawan seorang perempuan bersama-sama.”

    Semua orang berpaling ke arah dua sosok yang tiba-tiba muncul itu. Dalam keremangan dini hari menjelang fajar, Rara Wulan dengan cepat mengenali seorang di antara mereka, “Kakang Glagah Putih.”

    Glagah Putih dan Sabungsari pun melangkah mendekat. Dengan nada tinggi Sabungsari pun berkata, “Lepaskan gadis itu!”

    “Persetan kau. Siapakah kalian berdua? Agaknya kalian ingin membunuh diri.”

    “Namaku sudah disebut oleh gadis itu,” jawab Glagah Putih, “kawanku ini bernama Sabungsari. Kami datang untuk menjemput Rara Wulan yang mengalami hambatan seperti ini.”

    “Persetan!” geram salah seorang dari mereka yang berusaha menangkap kembali Rara Wulan itu , “kami akan membunuh kalian lebih dahulu sebelum menangkap gadis itu.”

    Glagah Putih dan Sabungsari tidak menjawab. Tetapi mereka pun segera bersiap menghadapi orang-orang itu.

    Dalam pada itu, orang yang agaknya memimpin kawan-kawannya yang bertugas itu pun berkata kepada seorang kawannya, :Jaga gadis itu agar tidak melarikan diri. Kami akan menyelesaikan kedua tikus tanah yang datang untuk membunuh diri ini.”

    Glagah Putih dan Sabungsari tidak beranjak dari tempatnya. Ketika orang-orang itu datang menyerang, maka keduanya pun segera berloncatan.

    Namun Glagah Putih dan Sabungsari itu sadar, bahwa mereka harus dengan cepat menghentikan perlawanan orang-orang itu dan membawa Rara Wulan pergi Orang-orang di sarang Saba Lintang tentu tidak akan membiarkan Rara Wulan terlepas dari tangan mereka.

    Sejenak kemudian, Glagah Putih dan Sabungsari itu pun telah bertempur melawan para petugas yang berjaga-jaga di lorong keluar dan masuk sarang Ki Saba Lintang itu.

    Namun pertempuran itu tidak berlangsung lama. Dalam waktu yang singkat, orang-orang itu telah terkapar di tanah yang lembab oleh embun di pagi hari. Bahkan orang yang bertugas mengawasi Rara Wulan itu pun menjadi tidak berdaya Ketika perhatiannya sekejap tertarik pada kesulitan yang dialami oleh kawan-kawannya, maka Rara Wulan telah mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Serangan Rara Wulan yang tiba-tiba telah mengejutkan orang itu. Kaki Rara Wulan dengan cepat menyambar senjatanya sehingga terlepas dari tangannya

    Ketika orang itu mencoba untuk meraih senjatanya yang terlepas, maka serangan kaki Rara Wulan mengenai keningnya, sehingga orang itu jatuh telentang. Ketika orang itu melenting berdiri, senjatanya justru telah berada di tangan Rara Wulan.

    Orang itu tidak sempat melarikan diri. Demikian ia tegak, maka ujung senjata Rara Wulan itu telah mematuk dadanya, langsung tembus ke jantung.

    Rara Wulan sendiri terkejut. Ketegangan yang mencekam jantungnya di saat-saat ia melarikan diri, telah membuatnya kehilangan kendali.

    Rara Wulan pun kemudian berdiri dengan tegang memandangi tubuh yang terbaring diam itu. Ia melihat darah mengalir dari luka yang menganga di dadanya

    Rara Wulan itu memalingkan wajahnya. Jantungnya berdegup keras ketika ia sadar, bahwa senjata lawannya yang bergelimang darah itu masih di tangannya

    Dengan serta-merta Rara Wulan itu telah melemparkan senjatanya Rara Wulan terkejut ketika ia mendengar suara lirih di belakangnya, “Rara.”

    Ketika Rara Wulan berpaling, dilihatnya Glagah Putih berdiri di belakangnya

    Sejenak Rara Wulan memandang Glagah Putih dengan tajamnya. Hampir saja ia meloncat memeluknya Tetapi dengan cepat Rara Wulan menyadari bahwa masih harus ada jarak antara .dirinya dan Glagah Putih. Apalagi di hadapan seorang yang berdiri termangu-mangu beberapa langkah dari mereka.

    Namun Rara Wulan tidak dapat menahan rasa harunya, sehingga kedua tangannya kemudian telah menutup wajahnya ketika Rara Wulan itu kemudian menangis.

    “Sudahlah, Rara,” desis Glagah Putih, “marilah kita tinggalkan tempat ini. Yang Maha Agung masih melindungimu.”

    Rara Wulan mengangguk kecil. Sementara itu Glagah Putih pun berkata selanjutnya, “Kakang Agung Sedayu dan Mbakayu Sekar Mirah sedang menunggu.”

    “Mbakayu Sekar Mirah ada di sini?” bertanya Rara Wulan yang wajahnya menjadi berbinar.

    “Ya. Ia berada di dekat tempat ini.”

    Rara Wulan tidak menjawab lagi. Bertiga mereka meninggalkan tempat itu. Beberapa orang yang terbaring diam mereka tinggalkan dalam sepinya fajar.

    Tubuh-tubuh yang terbaring itulah yang kemudian ditemukan oleh kawan-kawannya yang akan menggantikan tugas mereka yang kemudian telah dilaporkan kepada Ki Saba Lintang.

    Dalam pada itu, salah seorang kepercayaan Saba Lintang yang telah menyebar mencari Rara Wulan, dengan tergesa-gesa kembali ke barak. Dengan suara bergetar oleh gejolak di dalam dadanya orang itu berkata, “Aku lihat sekelompok orang berada tidak jauh dari bukit ini.”

    “Siapa dan berapa orang?” bertanya Ki Saba Lintang dengan tegang.

    “Aku tidak mengenal mereka. Jumlahnya tidak lebih dari delapan atau sembilan orang.”

    Ki Saba Lintang menjadi tegang. Sementara orang itu berkata, “Mereka datang berkuda.”

    “Berapa jumlah kita semuanya?” bertanya Saba Lintang.

    “Lebih dari sepuluh orang berilmu tinggi. Lebih dari lima belas orang pengikut Ki Saba Lintang yang setia.

    “Beberapa orang telah terbunuh.”

    “Masih ditambah dengan Empu Wisanata dan Nyi Dwani.”

    “Kita kepung mereka,” berkata Ki Saba Lintang, “tentu merekalah yang telah membebaskan Rara Wulan. Agaknya mereka telah mengikuti Empu Wisanata dan Nyi Dwani tanpa mereka sadari.”

    “Tidak,” sahut Empu Wisanata, “aku tentu tahu, jika seseorang mengamati perjalananku. Apalagi sampai delapan atau sembilan orang.”

    Jantung Nyi Dwani terasa berdentang keras sekali. Ia tahu benar, siapa yang berada di bawah bukit itu dan kenapa mereka berada di tempat itu.

    “Sudahlah,” berkata seorang yang berjanggut lebat, “kita panggil kawan-kawan kita dengan isyarat, sementara kita akan mendahului turun mengepung orang-orang itu.”

    Demikianlah, maka Ki Saba Lintang pun telah mempersiapkan orang-orangnya. Diperintahkannya empat orang tetap tinggal di barak itu. Mereka harus melepaskan anak panah sendaren, menunggu orang-orang yang berpencar datang kembali serta mengantar mereka ke tempat yang disebut oleh seorang yang telah melihat mereka.

    “Marilah, kita akan mendahului,” berkata Ki Saba Lintang.

    Ki Saba Lintang pun kemudian bersama dengan orang-orangnya segera meninggalkan sarangnya. Ia sudah berpesan kepada pengikutnya yang harus melepaskan anak panah, agar memberinya waktu beberapa lama.

    “Panah sendaren itu jangan menjadi isyarat bagi mereka untuk melarikan diri,” berkata Ki Saba Lintang.

    Karena itu, maka Ki Saba Lintang pun harus dengan cepat mengepung orang-orang yang telah dilihat oleh salah seorang di antara para pendukungnya

    Beberapa orang berilmu tinggi termasuk Empu Wisanata dan Nyi Dwani telah ikut bersama Ki Saba Lintang di samping para pengikutnya yang jumlahnya cukup banyak.

    Beberapa saat sebelum mereka sampai di tempat yang disebutkan oleh salah seorang pendukungnya yang telah melihat sekelompok orang berkuda di bawah bukit, maka beberapa buah panah sendaren telah terbang ke langit

    “Kita akan mengepung tempat itu. Kita akan berusaha mengulur waktu sampai kawan-kawan kita yang berpencar itu menyusul kita,” berkata Ki Saba Lintang.

    Dalam pada itu, jantung Nyi Dwani terasa berdetak semakin cepat Ia tahu benar, siapakah yang berada di bawah bukit. Ia tahu benar bahwa Rara Wulan telah meninggalkan barak yang dipergunakan sebagai sarang sementara Ki Saba Lintang selama di Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi ia tidak dapat mengatakannya

    Sementara itu, di bawah bukit Agung Sedayu serta beberapa orang yang datang bersamanya untuk membebaskan Rara Wulan telah bersiap untuk meninggalkan tempat itu. Mereka pun menyadari, bahwa Ki Saba Lintang dan orang-orangnya tentu akan mencari Rara Wulan yang telah hilang dari sarang Ki Saba Lintang dan pengikutnya.

    Namun agaknya Agung Sedayu justru menjadi ragu-ragu. Dari Rara Wulan, Agung Sedayu mengetahui kekuatan yang ada di dalam sarang Ki Saba Lintang itu.

    “Apakah tidak sebaiknya kita justru menunggu?” bertanya Agung Sedayu kepada orang-orang yang sudah siap untuk meninggalkan tempat itu.

    “Aku tidak keberatan,” berkata Ki Jayaraga, “tetapi mereka membawa banyak pengikut yang dapat mengganggu pemusatan perhatian kita terhadap orang-orang berilmu tinggi di antara mereka.”

    “Bukankah kita berada tidak terlalu jauh dari Klajor?”

    “Maksud Kakang?” bertanya Glagah Putih.

    “Pergilah ke Klajor. Bawa pengawal seberapa pun yang ada. Jangan membunyikan isyarat yang dapat meresahkan penghuni padukuhan Klajor dan bahkan padukuhan lain yang mungkin mendengar isyarat itu.”

    “Baik,” berkata Glagah Putih, “aku akan pergi ke Klajor.”

    Glagah Putih tidak berbicara lebih panjang. Ia sadar, bahwa waktunya terlalu sempit. Apalagi ketika mereka mendengar anak panah sendaren yang melintas di langit

    Sejenak kemudian, maka Glagah Putih itu pun telah melarikan kudanya. Ia tahu jalan manakah yang harus ditempuh untuk menghindar agar tidak bertemu dengan Ki Saba Lintang dan pengikutnya jika mereka turun untuk mencari Rara Wulan.

    “Jika mereka mencari Rara Wulan, tentu hanya sebagian saja dari mereka,” berkata Ki Jayaraga, “bahkan mungkin hanya satu dua orang saja.”

    “Tetapi panah sendaren itu?”

    Ki Jayaraga termangu-mangu sejenak. Katanya, “Kecuali jika ada di antara mereka yang melihat kehadiran kita di sini.”

    “Aku akan mengawasi keadaan,” berkata Sabungsari kemudian.

    Namun Sayoga pun menyahut, “Aku ikut bersamamu.”

    Berdua mereka meninggalkan tempat itu. Tetapi mereka tidak membawa kuda mereka

    Dengan tangkas keduanya pun berloncatan di atas batu-batu padas. Sejenak kemudian, maka keduanya telah hilang dari tatapan mata mereka yang ditinggalkan.

    Dalam pada itu, sekelompok kecil orang-orang yang berada di bawah bukit itu pun segera mempersiapkan diri. Mereka sadar, bahwa jika orang-orang di sarang Ki Saba Lintang itu mengetahui kehadiran mereka di tempat itu, maka mereka akan menghadapi kekuatan yang cukup besar.

    Sementara itu, Glagah Putih pun telah memacu kudanya menuju ke padukuhan Klajor. Padukuhan itu memang tidak terlalu jauh. Tetapi jalan yang menanjak telah membuat perjalanan Glagah Putih menjadi agak rumit.

    Ketika Glagah Putih sampai ke padukuhan Klajor, maka didapatinya orang-orang Klajor sudah siap pergi ke sawah mereka. Bahwa satu dua orang telah melangkah keluar dari regol padukuhannya.

    Ketika Glagah Putih bertemu dengan seorang anak muda yang termasuk seorang pengawal padukuhan, maka Glagah Putih pun menghentikannya.

    “Ada apa?” bertanya anak muda itu.

    “Kumpulkan kawan-kawanmu. Ada sesuatu yang penting harus kita selesaikan.”

    Anak muda itu melihat kesungguhan di wajah Glagah Putih. Karena itu, maka ia pun berkata, “Aku akan membunyikan isyarat.”

    “Tidak perlu,” sahut Glagah Putih, “kita temui mereka seorang demi seorang.”

    “Kita memerlukan waktu lama,” jawab anak muda itu.

    Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Kita akan menyampaikan kabar ini beranting. Kita akan berkumpul di banjar secepatnya.”

    “Berapa orang yang kau perlukan?” bertanya anak muda itu.

    “Berapa saja yang ada. Lima belas atau dua puluh orang.”

    “Baiklah.”

    “Waktuku hanya sedikit

    “Perlengkapan apa yang harus kami siapkan?”

    “Senjata dan kesediaan untuk bertempur. Karena itu, bawa para pengawal saja meskipun jumlahnya tidak mencapai lima belas orang.”

    “Mumpung mereka belum berangkat ke sawah. Seandainya sudah berangkat kami akan menyusulnya.”

    “Aku akan menunggu di banjar. Nanti akan aku jelaskan, apa yang harus kalian lakukan.”

    Sejenak kemudian, anak muda itu pun segera berlari. Ia langsung pergi ke rumah seorang kawannya yang juga seorang pengawal.

    Kawannya itu memang sudah bersiap untuk pergi ke sawah. Namun ketika ia mendengar perintah yang disampaikan oleh Glagah Putih yang dikenalnya dengan baik, maka ia pun mengurungkan niatnya pergi ke sawah.

    Seperti dikatakan oleh Glagah Putih, maka mereka pun kemudian beranting menyampaikan perintah untuk berkumpul di banjar.

    Ternyata dalam waktu yang terhitung singkat telah berkumpul sekitar delapan belas orang.. Memang tidak semuanya terdiri para pengawal. Tetapi ada di antara mereka yang justru bekas pengawal yang karena kemudian mereka sudah hidup berkeluarga maka mereka tidak lagi terlibat dalam kegiatan langsung sebagai pengawal. Tetapi dalam keadaan yang nampaknya gawat itu, maka ia pun telah bergabung bersama dengan para pengawal yang kebanyakan terdiri dari anak-anak muda

    “Hanya ini yang dapat kami kumpulkan,” berkata pemimpin kelompok dari padukuhan Klajor. Namun katanya kemudian, “Tetapi jika kemudian ada lagi yang bersedia maka mereka akan segera menyusul.”

    “Terima kasih,” sahut Glagah Putih yang kemudian memberikan penjelasan dengan singkat apa yang harus mereka lakukan.

    “Kita harus cepat-cepat berangkat,” berkata Glagah Putih kemudian, “mudah-mudahan kita tidak terlambat.”

    “Seorang di antara kita akan tinggal di sini. Ia akan membawa kawan-kawan kita yang datang kemudian.”

    “Tetapi mereka harus berhati-hati. Jangan sampai mereka masuk ke dalam jebakan lawan yang cerdik dan licik.”

    “Baik,” pemimpin pengawal itu pun mengangguk-angguk.

    Demikianlah, sekelompok pengawal itu pun segera berangkat meninggalkan banjar padukuhan Klajor. Seorang di antara mereka tinggal di banjar menunggu kawan-kawannya yang akan datang kemudian.

    Demikianlah, maka Glagah Putih pun telah membawa para pengawal itu pergi ke bawah bukit. Kuda Glagah Putih ditinggalkannya di banjar padukuhan itu.

    Para pengawal dari padukuhan Klajor itu pun kemudian telah ber-lari-lari meninggalkan padukuhan mereka menuju ke bawah bukit untuk melibatkan diri dalam pertempuran yang akan atau bahkan mungkin sudah terjadi.

    Namun Glagah Putih tidak tergesa-gesa membawa iring-iringan itu. Ketika mereka berada dibalik gumuk kecil, maka Glagah Putih minta mereka menunggu.

    “Aku akan melihat apa yang terjadi.”

    Dengan sangat berhati-hati Glagah Putih pun merangkak di belakang semak-semak. Perlahan-lahan ia mendekati tempat Agung Sedayu menunggu.

    Tetapi Glagah Putih belum melihat pertempuran terjadi di bawah gumuk kecil itu. Namun justru karena itu, ia menjadi semakin berhati-hati.

    Glagah Putih menjadi berdebar-debar ketika ia melihat sekelompok orang yang mengepung Agung Sedayu dan orang-orang yang bersamanya di bawah bukit

    “Kenapa mereka belum mulai?” bertanya Glagah Putih kepada diri sendiri

    Ternyata Ki Saba Lintang dan orang-orangnya masih menunggu beberapa orang yang berilmu tinggi, yang masih belum datang. Namun agaknya mereka tidak harus menunggu lebih lama lagi. Beberapa saat kemudian, empat orang berilmu tinggi bersama empat orang pengikutnya telah datang ke tempat itu pula. Meskipun Glagah Putih tidak mendengar, tetapi ia dapat melihat dari kejauhan, bahwa delapan orang itu pun segera berpencar pula melingkari orang-orang yang berada di bawah bukit.

    Beberapa saat Glagah Putih masih menunggu dalam ketegangan. Tetapi agaknya Agung Sedayu dan yang lain pun telah bersiap pula menghadapi segala kemungkinan.

    Namun dalam pada itu, Glagah Putih masih mendengar Ki Saba Lintang berteriak, “Kami hanya ingin Rara Wulan atau tongkat baja putih yang tentu dibawa oleh Nyi Agung Sedayu. Tetapi agaknya lebih baik kalian serahkan saja tongkat baja putih itu. Dengan demikian persoalan kita sudah selesai.”

    Yang menjawab adalah Agung Sedayu, “Ki Saba Lintang. Kau sudah tahu jawabku. Sebenarnya kau tidak perlu mengatakannya karena tidak akan ada artinya apa-apa.”

    “Aku minta Ki Lurah mempertimbangkannya.”

    Sejenak menjadi hening. Yang terdengar adalah gemeresik angin yang berhembus di lereng perbukitan. Dedaunan bergerak-gerak seolah-olah sedang melambai.

    Namun kemudian terdengar Agung Sedayu menjawab lantang, “Ki Saba Lintang. Kau tidak akan mendapatkan tongkat baja putih itu, apapun yang kau lakukan. Kau juga tidak akan mendapatkan Rara Wulan. Karena itu, sebaiknya kau tinggalkan tanah perdikan dan jangan mencoba kembali lagi. Jika kau ingin membangun kembali perguruan yang telah lama tenggelam itu, lakukanlah. Jangan berharap bahwa Sekar Mirah akan bergabung untuk memimpin perguruan yang sudah tidak mumi lagi itu. Aku tahu, bahwa orang-orang yang mendukung usaha membangkitkan kembali perguruanmu itu justru bukan orang-orang dari perguruan Kedung Jati.

    “Apa yang kau tahu tentang perguruan Kedung Jati.”

    “Apakah kau lupa bahwa istriku adalah salah seorang pemegang tongkat kepemimpinan perguruan Kedung Jati.”

    “Tetapi ia bukan murid perguruan Kedung Jati. Ia adalah murid Sumangkar yang justru berkhianat terhadap induk perguruannya dan memberikan tongkat baja putih itu kepada Nyi Lurah.”

    Ternyata Agung Sedayu memang mengulur waktu. Ia berharap bahwa Glagah Putih telah mendekati tempat itu beserta para pengawal dari padukuhan Klajor berapa pun jumlahnya.

    Dengan lantang Agung Sedayu pun menjawab, “Ki Saba Lintang. Berbahagialah istriku, bahwa ia memperoleh tongkat baja putih itu dari Ki Sumangkar yang berkhianat terhadap perguruan Kedung Jati, karena perguruan Kedung Jati pada saat itu berada di tangan orang-orang yang tidak bertanggung jawab serta sudah menyimpang dari kemurnian tujuan perguruan itu sendiri.”

    “Ki Lurah. Jika kau tidak tahu menahu tentang sesuatu hal, jangan memberikan penilaian, karena penilaianmu itu sama sekali tidak berharga.”

    “Baiklah aku tidak akan berbicara tentang sesuatu hal yang aku tidak mengerti. Aku tidak akan berbicara tentang perguruan Kedung Jati. Tetapi aku akan berbicara tentang tongkat baja putih yang berada di tangan istriku. Tongkat baja putih itu sudah menjadi senjata yang paling sesuai dengan landasan ilmu istriku. Karena itu, ia tidak akan menyerahkan kepada siapan pun juga. Lepas dari ajaran dan tujuan perguruannya menurut sisi pandangan golonganmu.”

    “Cukup Ki Lurah! Kau sudah terlalu banyak berbicara. Sekarang, bersiaplah. Kami akan datang untuk mengambil tongkat baja putih itu.”

    “Kami sudah siap sejak kami berada di sini, Ki Saba Lintang: Jika kalian mau datang, datanglah,” sahut Agung Sedayu.

    Ki Saba Lintang pun kemudian telah memberikan isyarat kepada orang-orangnya yang sudah mengepung sekelompok orang yang berada di bawah bukit

    Sementara itu, Agung Sedayu dan sekelompok orang yang bersamanya telah mempersiapkan diri pula. Menurut perhitungan Agung Sedayu, Glagah Putih tentu sudah mendekati tempat itu, sehingga jika terjadi pertempuran, maka dalam waktu yang singkat para pengawal akan dapat menghisap para pengikut Ki Saba Lintang dalam pertempuran tersendiri sehingga tidak memecah pemusatan perhatian mereka yang harus berhadapan dengan orang-orang berilmu tinggi yang datang bersama Ki Saba Lintang.

    Menurut perhitungan Agung Sedayu, Ki Saba Lintang tentu menempatkan kekuatan yang besar di tanah perdikan ini, karena Ki Saba Lintang tentu menganggap perjuangannya untuk mendapatkan tongkat baja putih itu sebagai satu perjuangan yang berat.

  25. Api di Bukit Menoreh
    Jilid IV – 13
    Bagian 2 dari 3

    Seandainya Nyi Lurah Agung Sedayu bersedia menukar Rara Wulan dengan tongkat baja putih itu, maka selanjutnya tongkat itu harus dipertahankannya seandainya Ki Lurah berusaha untuk merebut kembali dengan kekerasan.

    Karena itulah, maka sesuai dengan keterangan Rara Wulan, bahwa di barak yang dipergunakannya sebagai sarang Ki Saba Lintang untuk sementara itu, terdapat orang-orang berilmu tinggi.

    Sebenarnyalah, Glagah Putih pun kemudian telah kembali kepada para pengawal. Ia membawa para pengawal turun. Melingkari sebuah gumuk kecil, sehingga mereka berada tidak terlalu jauh dari lingkaran kepungan para pengikut Ki Saba Lintang.

    Para saat yang menjadi semakin tegang, ketika Ki Saba Lintang memberi isyarat kepada orang-orangnya untuk bergerak, maka Glagah Putih pun sengaja berteriak untuk memecah perhatian para pengikut Ki Saba Lintang, “Kakang. Aku di sini!”

    Agung Sedayu, Sekar Mirah dan yang lain mendengar teriakan Glagah Putih. Sabungsari dan Sayoga yang sudah berada kembali di kelompoknya saling berpandangan sejenak. Dengan nada berat Sabungsari bertanya kepada Agung Sedayu, “Apakah aku boleh pergi menemui Glagah Putih?”

    “Kau harus menembus kepungan itu.”

    “Ya. Jika pertempuran sudah mulai, aku akan menembus kepungan dan bergabung dengan Glagah Putih. Mungkin beberapa orang berilmu di antara para pengikut Ki Saba Lintang akan berbalik untuk menghadapi Glagah Putih. Jika ia sendiri, maka ia akan dapat mengalami ke-sulitan meskipun ia datang bersama para pengawal dari Klajor. Tetapi kita belum tahu. berapa orang yang datang bersamanya. Mungkin lima, enam atau tujuh saja.”

    Agung Sedayu mengangguk kecil. Katanya, “Baiklah. Tetapi kalian harus melihat pertempuran ini keseluruhan.”

    Dalam pada itu, suara Glagah Putih memang menarik perhatian Ki Saba Lintang dan orang-orangnya yang mengepung Agung Sedayu. Karena itu, maka Ki Saba Lintang kemudian berkata kepada orang yang bertubuh pendek, “Perhatikan orang itu. Apakah orang itu berbahaya atau tidak.”

    Orang bertubuh pendek itu mengangguk. Sementara kawan-kawannya bergerak merapatkan kepungan, maka orang bertubuh pendek itu justru bergerak ke arah lain.

    Pada saat itulah Glagah Putih memberi isyarat kepada para pengawal untuk berpencar.

    “Tetapi berhati-hatilah. Kalian tidak usah membuat lingkaran. Kita akan menghadapi mereka pada satu sisi. Ingat, orang-orang yang akan berhadapan dengan kita adalah orang-orang berilmu tinggi. Karena itu, kalian harus berusaha untuk menghadapi mereka berpasangan. Bahkan jika perlu tiga atau empat orang dalam satu kelompok.”

    Para pengawal itu mengangguk-angguk. Mereka adalah pengawal yang terlatih dan mempunyai pengalaman yang cukup. Demikian pula para bekas pengawal yang ikut bersamanya.

    Dalam pada itu, orang bertubuh pendek itu pun segera kembali menemui Ki Saba Lintang, sementara kepungan mereka menjadi semakin sempit Dengan sungguh-sungguh orang itu berkata, “Mereka terdiri dari sekelompok orang.”

    “Maksudmu?”

    “Ya sekelompok orang yang siap untuk menyerang kita.”

    “Ya aku dengar. Sekelompok. Tetapi beberapa orang. Seratus, lima ratus?”

    Orang bertubuh pendek itu menggeleng. Katanya, “Aku tidak tahu berapa jumlahnya Tetapi tidak terlalu banyak.”

    Ki Saba Lintang pun kemudian berkata, “Siapkan beberapa orang untuk menghadapi mereka Kita masih menunggu satu dua orang yang masih akan datang setelah isyarat panah senderan itu.”

    Orang bertubuh pendek itu mengangguk.

    Sejenak kemudian, maka bersama dengan beberapa pengikut Ki Saba Lintang, orang bertubuh pendek itu justru menuju ke arah yang berbeda dengan para pengikut Ki Saba Lintang yang lain.

    Dalam pada itu, memang masih ada satu dua orang pengikut Ki Saba Lintang yang datang menyusul kawan-kawannya. Mereka adalah orang-orang yang bertugas mengawasi keadaan di sekitar barak, tetapi juga mereka yang memencar mencari Rara Wulan.

    Semakin lama kepungan itu memang menjadi semakin sempit. Ki Saba Lintang yang berada di lingkaran kepungan itu pun menjadi semakin dekat dengan Agung Sedayu. Ia sadar, bahwa Agung Sedayu adalah orang yang berilmu tinggi. Demikian pula Ki Jayaraga dan bahkan Sekar Mirah yang mampu mengalahkan Nyi Dwani dalam perang tanding. Sedangkan anak muda yang bernama Glagah Putih sama sekali tidak dapat diabaikan.

    Karena itu, maka ia pun segera memperingatkan kepada orang-orang yang ada di sebelah menyebelahnya, bahwa mereka akan berhadapan dengan orang berilmu tinggi.

    “Kenapa kau merasa perlu untuk memberi peringatan kepada kami?” bertanya seorang yang bertubuh raksasa dan bersenjata sebuah bindi yang bergerigi.

    “Mereka benar-benar orang berilmu tinggi.”

    “Kau ragukan kemampuan kami? bertanya orang bertubuh raksasa itu.

    “Kau kenal tataran ilmu Empu Wisanata dan Nyi Dwani?”

    “Ya,” sahut raksasa itu.

    “Mereka tidak mampu mengalahkan orang-orang yang sedang kita kepung sekarang ini dalam pertempuran seorang melawan seorang.”

    “Kau masih saja bergurau,” desis orang bertubuh raksasa itu.

    “Kami tidak bergurau,” jawab Ki Saba Lintang. Tetapi Ki Saba Lintang sendiri tidak mengatakan bahwa dirinya pun tidak mampu mengimbangi kemampuan Agung Sedayu seorang diri. Karena itu, ia sudah berpesan kepada seorang anak muda yang dianggapnya memiliki ilmu yang tinggi, ketangkasan gerak serta kekuatan yang besar untuk bersama-sama menghadapi Agung Sedayu itu.

    Menurut perhitungan Ki Saba Lintang, jika ia sudah dapat mengalahkan Ki Lurah Agung Sedayu, maka secara jiwani, ia sudah mengalahkan semua orang yang ada di dalam kelompok Agung Sedayu itu. Sehingga dengan demikian, maka secara kewadagan, mereka akan dengan cepat pula diselesaikan. Tongkat baja putih itu tentu ada di tangan Sekar Mirah, sehingga tongkat itu tentu akan segera jatuh ke tangannya pula

    Demikianlah, beberapa saat kemudian, Ki Saba Lintang pun telah memberikan isyarat, agar orang-orangnya membuat ancang-ancang. Beberapa saat kemudian, maka Ki Saba Lintang pun telah meneriakkan aba-aba bagi orang-orangnya. Demikian aba-aba itu menggetarkan udara, maka berloncatan orang-orang yang telah merayap-rayap mempersempit kepungan mereka

    Namun pada saat yang bersamaan, Glagah Putih pun telah menjatuhkan perintah bahwa para pengawal untuk segera melibatkan diri. Namun beberapa orang di antara mereka bersama-sama dengan Glagah Putih telah bersiap menghadapi orang yang bertubuh pendek dengan beberapa orang pengikut Ki Saba Lintang.

    Ki Saba Lintang harus memperhitungkan para pengawal yang berlari-lari, berloncatan di antara batu-batu padas dan gerumbul-gerumbul perdu itu.

    Agung Sedayu dan sekelompok orang yang bersamanya melihat para pengawal yang berlari-lari itu. Mereka juga melihat Glagah Putih yang meloncat ke atas sebongkah batu padas. Beberapa orang pengawal masih tetap bersamanya.

    Sabungsarilah yang bergumam, “Ternyata Glagah Putih berhasil membawa pengawal cukup banyak.”

    “Ya. Cukup banyak,” desis Agung Sedayu.

    “Kami berdua akan menembus kepungan.

    “Nampaknya tidak banyak pengikut Saba Lintang yang akan menghadapi Glagah Putih dan para pengawal,” sahut Agung Sedayu.

    Sabungsari mengangguk. Katanya, “Baiklah aku menunggu. Jika perlu saja aku akan menembus kepungan. Nampaknya kekuatan mereka memang dipusatkan untuk menyelesaikan kita.”

    Agung Sedayu tidak sempat menjawab. Para pengikut Ki Saba Lintang telah berloncatan menyerang dengan garangnya

    Seperti yang direncanakan, maka Ki Saba Lintang bersama seorang anak muda yang bertubuh kekar telah siap menghadapi Agung Sedayu. Ki Saba Lintang memperhitungkan, bahwa segala-galanya akan tergantung kepada Agung Sedayu. Karena itu, maka Ki Saba Lintang telah membuat perhitungan khusus untuk menghancurkan Agung Sedayu. Sementara itu, orang-orang berilmu tinggi yang ada di sarang Ki Saba Lintang itu pun telah menghambur mencari lawan masing-masing.

    Nyi Dwani yang telah dikalahkan oleh Sekar Mirah itu ternyata telah menyerangnya Sekar Mirah yang telah bersiap menghadapi segala kemungkinan, bergeser beberapa langkah surut untuk mendapatkan tempat yang lebih baik.

    “Kenapa kau berbohong, Nyi Lurah?” geram Nyi Dwani sambil menyerang dengan garangnya

    “Apa yang aku katakan?” Sekar Mirah justru bertanya.

    “Jangan berpura-pura Nyi Lurah. Meskipun aku pernah kau kalahkan, tetapi kali ini aku akan bertempur habis-habisan. Kau tidak saja berbohong, tetapi kau sudah mempermainkan perasaanku dan menganggap aku tidak berharga sama sekali.

    “Katakan, apakah aku berbohong?”

    “Kau dan Ki Lurah telah menuduh Ki Saba Lintang mengambil Rara Wulan karena Ki Saba Lintang tertarik kepada gadis itu.”

    “Ya Itulah yang terjadi,” jawab Sekar Mirah.

    “Tidak,” jawab Nyi Dwani.

    “Bagaimana kau dapat berkata tidak. Bukankah Rara Wulan ada di dalam sarang Ki Saba Lintang itu?”

    “Tetapi bukan karena Ki Saba Lintang menginginkannya.”

    “Jadi untuk apa Ki Saba Lintang membawa Rara Wulan ke sarangnya?”

    “Itulah yang sangat menyakitkan. Kau pura-pura tidak mengetahuinya. Dengan sengaja kau menyesatkan perasaanku. Sekarang kau menikmati keuntungan dari kebohonganmu itu. Tetapi kali ini kau dan kawan-kawanmu akan mengalami bencana. Meskipun di sini tidak ada orang yang memiliki kemampuan setingkat dengan Empu Tunggul Pawaka, tetapi kemampuan kami hampir setingkat. Jumlah kami di sini lebih banyak dari jumlah orang-orang kami yang berada di padepokan Ki Ajar Trikaya. Ki Saba Lintang dan kepercayaannya, Putut Sendawa akan dapat melindas Ki Lurah sampai lebur.”

    “Nampaknya kau benar-benar marah, Nyi Dwani. Tetapi katakan, untuk apa Ki Saba Lintang membawa Rara Wulan ke sarangnya yang terpencil ini?”

    “Jika kau berpura-pura dungu. Baiklah. Ki Saba Lintang ingin menukarkan Rara Wulan dengan tongkat baja putihmu.”

    Sekar Mirah tiba-tiba nampak terkejut. Dengan tangkas ia meloncat mengambil jarak. Dengan wajah yang tegang Sekar Mirah itu berkata, “Jadi itukah maksudnya? Jika demikian, maka Ki Saba Lintang benar-benar telah menyinggung harga diri kami sekeluarga. Ki Saba Lintang dengan licik telah mengguncang ketenangan hidup keluarga kami. Karena itu, maka aku dan Kakang Agung Sedayu akan mencabut pernyataan kami, bahwa kami tidak akan menghancurkan kelompok Ki Saba Lintang. Jika Ki Saba Lintang mengambil Rara Wulan karena ia tertarik kepada gadis itu, kami masih dapat memaafkannya. Tetapi dengan licik Ki Saba Lintang telah menantang kami, karena tongkat baja putih itu adalah lambang harga diriku. Harga diriku adalah harga diri Kakang Agung Sedayu dan itu berarti harga diri kami sekeluarga.”

    Wajah Nyi Dwani menjadi tegang. Ia melihat sorot mata Sekar Mirah bagaikan menyala. Bahkan kemudian Sekar Mirah pun berkata dengan nada berat menekan, “Nyi Dwani, bersiaplah. Aku setuju dengan kata-katamu. Kita akan bertempur habis-habisan. Aku tidak lagi dapat berbaik bati melepaskan kau dari maut. Tanpa bulan di langit, kau bukan apa-apa bagiku. Dan ini tentu kau ketahui.”

    Bagaimanapun juga, ancaman Sekar Mirah itu telah mengguncang jantung Nyi Dwani, ia harus mengakui kelebihan Sekar Mirah. Di bawah bulan bulat yang dapat mempengaruhi kemampuannya, ia tidak dapat mengalahkan Sekar Mirah. Apalagi di saat tidak ada bulan di langit.

    Tetapi Nyi Dwani pun mempunyai harga diri sebagai seorang yang berilmu tinggi. Karena itu, maka ia pun segera mempersiapkan diri. Sementara Sekar Mirah pun berkata, “Bersiaplah. Kematianmu akan mempengaruhi ketahanan jiwani Ki Saba Lintang. Putut yang kau sebut itu tidak akan berarti apa-apa bagi Kakang Agung Sedayu.”

    Wajah Nyi Dwani menjadi bertambah tegang. Namun Nyi Lurah itu sudah memutar tongkatnya.

    Nyi Dwani yang telah bersiap itu pun bergeser setapak. Namun pedangnya telah terjulur. Bahkan ketika Sekar Mirah melangkah maju, Nyi Dwani itu menjulurkan pedangnya ke arah dada

    Tetapi Nyi Dwani terkejut. Sekar Mirah tidak berusaha menghindar, tetapi tongkat baja putihnya dengan keras membentur pedang Nyi Dwani. Demikian kerasnya sehingga hampir saja pedang itu terlepas dari tangannya

    Nyi Dwani bergeser surut. Telapak tangannya terasa pedih. Namun sejenak kemudian, Nyi Dwani telah menguasai pedangnya dengan baik.

    Namun jantungnya menjadi berdebaran ketika ia melihat Sekar Mirah maju selangkah demi selangkah.

    Sikap Sekar Mirah benar-benar mempengaruhi ketahanan jiwani Nyi Dwani. Di luar sadarnya ia pun bergeser surut lagi meskipun pedangnya masih tetap terjulur ke depan.

    Namun ia tidak dapat bergeser mundur terus-menerus. Ketika kemudian Sekar Mirah menyerangnya maka ia pun telah siap untuk melawannya sehingga sejenak kemudian, telah terjadi pertempuran yang sengit di antara keduanya

    Sementara itu, seorang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan, yang kumisnya sudah memutih, berdiri berhadapan dengan Nyi Wijil. Dengan seksama ia mengamati pakaian Nyi Wijil. Bahkan mulutnya yang bergerak-gerak itu pun mengucapkan kata-kata, “Ciri-ciri ini pernah aku kenal.”

    Nyi Wijil tersenyum. Katanya, “Sebutkan ciri-ciri yang kau kenal itu, apakah aku juga pernah mengenalnya?”

    “Srigunting Kuning.”

    Nyi Wijil tertawa Katanya, “Demikian terkenalkah nama Srigunting Kuning itu sehingga itu sehingga kau sebut ciri-ciri yang aku kenakan ini sebagai Srigunting Kuning?”

    “Nama yang ditakuti. Namun yang kemudian hilang dari dunia olah kanuragan. Ketika nama itu terdengar lagi, maka watak dan sifatnya sudah jauh berbeda, bahkan berkebalikan. Nah, sekarang sebutkan, apakah kau Srigunting Kuning yang hitam atau Srigunting Kuning yang putih.”

    Nyi Wijil tertawa pula. Katanya, “Kata-katamu membingungkan. Apakah ada kuning yang hitam dan kuning yang putih?”

    “Kau tahu maksudku.”

    Nyi Wijil masih tertawa Katanya, “Jika aku Srigunting Kuning yang hitam, maka aku tentu berdiri di pihakmu.”

    “Bagus. Jadi kau Srigunting Kuning yang hadir kemudian. Baiklah. Sebelumnya aku baru mendengar bahwa Srigunting Kuning adalah seorang yang berilmu tinggi. Sekarang aku berhadapan dengan Srigunting Kuning, meskipun bukan Srigunting Kuning yang aku maksudkan.”

    “Kau tidak usah memanggilku dengan Srigunting Kuning meskipun kau beri keterangan yang kemudian. Panggil saja namaku, Nyi Wijil, karena suamiku bernama Ki Wijil.”

    “Baiklah Aku akan memanggilmu Nyi Wijil. Tetapi karena kita berhadapan di medan seperti ini, maka sebutan Nyi Wijil itu akan segera berakhir.”

    “Kenapa kau memakai kata-kata yang berbelit? Katakan saja bahwa kau ingin membunuhku.”

    “Ya!”

    “Tetapi kau harus ingat, bahwa aku pun akan membunuhmu.”

    Orang itu mengerutkan dahinya. Katanya, “Ya. Aku akan selalu mengingatnya Karena itu, maka aku akan bertempur.”

    Namun tiba-tiba Nyi Wijil itu bertanya, “Kau sudah tahu namaku, maka aku ternyata juga ingin tahu namamu.”

    Orang itu tertawa Katanya, “Baiklah. Tetapi kau tentu belum mengenal namaku, karena aku tidak terlalu sering melibatkan diri dalam pertentangan-pertentangan yang terjadi.”

    “Kau belum menyebutkannya.”

    “Namaku Carang Werit.

    “O. Jadi kaulah yang bernama Carang Werit.?”

    “Kau pernah mendengarnya?”

    “Tentu. Kau terlalu merendah. Namamu sudah tersebar dari sudut sampai ke sudut bumi. Tetapi baru kali ini aku bertemu dengan Carang Werit.”

    “Kau membual.”

    “Tidak. Adalah mengherankan jika kau belum pernah bertemu dengan Srigunting Kuning, aku yakin bahwa kau telah bertemu dan bahkan mungkin bekerja bersama Srigunting Kuning. pertanyaan-pertanyaanmu tentang Srigunting Kuning tadi tentu sekedar penjajakan.”

    Orang yang mengaku bernama Carang Werit itu tertawa. Katanya, “Sudahlah. Kita sekarang berhadapan di medan. Ternyata bahwa kau bukan Srigunting Kuning yang bersedia berdiri di pihakku. Dengan demikian, kita akan bertempur sampai tuntas.”

    “Baik. Sudah saatnya aku menghentikan kegiatan Carang Werit yang ditakuti banyak orang itu. Apalagi karena kau telah melibatkan diri dalam usaha membangunkan kembali sebuah perguruan yang sudah porak-poranda. Bukan saja susunannya tetapi juga tujuan serta landasannya.”

    “Justru itulah yang menarik. Justru karena perguruan itu porak-poranda tujuan dan landasannya. Jika perguruan itu nanti tersusun, maka perguruan yang baru itu akan berdiri di atas landasan dan tujuan yang baru.”

    Nyi Wijil tersenyum. Katanya, “Mimpimu akan berakhir di sini, Carang Werit.”

    Tetapi Carang Werit itu menjawab, “Kita sudah sama-sama ubanan, Nyi. Kita pun sama-sama memiliki pengalaman yang luas. Sudah berapa nyawa yang kita pisahkan dari tubuhnya. Jika hari ini sendiri akan mati, aku atau kau, bukankah itu akibat yang harus sudah kita perhitungkan, bahwa pada suatu hari nyawa kita yang akan dipisahkan dari tubuh.”

    Nyi Wijil tidak senang mendengar kata-kata itu. Karena itu, maka ia pun berkata, “Membunuh bukan merupakan kesenanganku, Ki Carang Werit. Bukan pula satu kebanggaan. Tetapi dilandasi satu keyakinan bahwa kematian itu sebagai satu usaha untuk mencegah kematian-kematian yang akan dapat terjadi kemudian.”

    Carang Werit tertawa Katanya, “Alangkah mulia hatimu, Nyi. Kau akan membunuhku agar aku tidak dapat lagi membunuh orang lain di kemudian hari. Kau pertaruhkan hidupmu untuk satu pengabdian bagi banyak orang. He, apakah benar yang kau lakukan ini satu pengabdian?”

    “Aku tidak mengatakan demikian, Ki Carang Werit. Aku tidak tahu, apakah orang lain akan menganggapnya sebagai satu pengabdian, atau sekedar mencari pujian. Tetapi bagiku, yang aku lakukan ini adalah panggilan nuraniku.”

    “Baiklah,” berkata Ki Carang Werit, “bersiaplah. Aku akan membunuhmu tanpa tujuan apa-apa. Asal lawanku mati. Begitu saja.”

    “Bukankah dengan demikian kau akan mendapatkan satu ke-puasan? Keputusan yang barangkali sangat tinggi?”

    Ki Carang Werit mengangguk. Katanya, “Ya. Apalagi jika aku dapat membunuh Srigunting Kuning. Justru Srigunting Kuning yang putih.”

    Nyi Wijil pun segera mempersiapkan diri. Pertempuran sudah berlangsung di sekitarnya. Sepasang pedang sudah berada di tangannya.

    Sejenak kemudian, maka Nyi Wijil pun telah memutar sepasang pedangnya. Sementara Ki Carang Werit telah meloncat dengan garangnya menyerang Nyi Wijil. Tetapi Nyi Wijil yang sudah siap menghadapi segala kemungkinan, meloncat menghindar dengan tangkasnya.

    Meskipun Nyi Wijil sudah beberapa lama tidak terlibat dalam pertempuran yang sebenarnya tetapi hampir setiap hari ia selalu berada di sanggar. Kadang-kadang sendiri, tetapi kadang-kadang bersama Ki Wijil. Bahkan Nyi Wijil telah berkesempatan untuk mengisi beberapa kekurangan bagi ilmu yang diwarisinya, bersama dengan suaminya, karena keduanya menyadap dari sumber ilmu yang berbeda.

    Dengan demikian, maka kemampuan Nyi Wijil sama sekali tidak menjadi susut. Ketika ia benar-benar harus terjun ke arena pertempuran, perempuan yang sudah ubanan itu masih tetap garang.

    Dalam pada itu, Ki Wijil sendiri sudah terlibat dalam pertempuran pula. Seorang yang berjanggut putih yang jarang dan tidak lebih panjang dari duri daun salak, menyerangnya sejadi-jadinya. Tetapi dengan tenang Ki Wijil menghadapinya.

    Yang dengan tergesa-gesa berusaha berhadapan dengan Ki Jayaraga adalah Empu Wisanata. Seperti Nyi Dwani, maka Empu Wisanata pun menyesalkan sikap Agung Sedayu dan Sekar Mirah.

    “Aku tidak mengira bahwa Ki Lurah dan Nyi Lurah dapat berlaku licik pula.”

    “Apa yang kau maksud, Empu?” bertanya Ki Jayaraga

    “Tipuan yang berhasil. Ki Lurah dan Nyi Lurah berhasil membakar perasaan Dwani sebagai seorang pertempuran. Mereka dapat mengungkit perasaan cemburu Dwani, sehingga tidak dengan sengaja Dwani telah menuntun kalian kemari. Bahkan telah menyesatkan aku pula karena akulah yang telah membuka bilik tahanan Rara Wulan.”

    Ki Jayaraga tersenyum. Katanya, “Apakah perbuatannya itu dapat disebut licik atau tidak, sebenarnya tergantung dari sisi penilaian itu sendiri.

    Empu Wisanata mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti. Dari sisi lain, orang akan mengatakan, bahwa Ki Lurah dan Nyi Lurah cukup cerdik untuk mencari jalan menuju kebebasan Rara Wulan.”

    “Ki Lurah tidak mempunyai jalan lain. Namun seandainya cara itu disebut licik, siapakah yang telah memulainya?”

    Empu Wisanata mengangguk-angguk lagi. Katanya, “Aku mengerti, Ki Jayaraga.”

    “Kehadiran Empu Wisanata dan Nyi Dwani di lingkungan orang-orang yang berniat untuk membangunkan kembali perguruan Kedung Jati itu tentu juga karena Ki Saba Lintang berhasil mengungkit perasaan Nyi Dwani sebagai seorang perempuan.”

    “Maksudmu?”

    “Nyi Dwani telah terjerat oleh perasaan cintanya kepada Ki Saba Lintang.”

    Empu Wisanata pun mengangguk. Katanya, “Aku sudah mencoba mencegahnya sejak semula.”

    “Tetapi Empu tidak berhasil?”

    Empu Wisanata menggeleng. Katanya, “Dwani memang bukan anak-anak lagi. Ia bukan lagi seorang gadis remaja yang jatuh cinta. Baik Dwani maupun Saba Lintang sebelumnya sudah pernah berkeluarga. Karena itu, hakku untuk mencegah Dwani sudah menjadi sangat tipis. Sehingga dengan demikian, aku justru memilih mengikutinya dan melindunginya jika aku mampu.”

    “Tetapi bukankah Empu ayahnya?”

    Empu Wisanata termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian mulai bergeser. Katanya, “Kita akan bertempur.”

    “Apakah Empu belum merasa jenuh bertempur melawan aku?” bertanya Ki Jayaraga

    “Jangan begitu, Ki Jayaraga Aku memang menyadari bahwa kemampuan Ki Jayaraga selapis lebih tinggi dari kemampuanku. Tetapi bukan berarti bahwa aku tidak mempunyai kesempatan sama sekali.”

    “Bukan maksudku, Empu. Aku sama sekali tidak merasa bahwa kemampuanku lebih tinggi dari kemampuan Empu. Tetapi bukanlah kita akan lebih merasa bebas untuk bertempur melawan orang lain setelah kita dua kali bertemu di pertempuran?”

    “Tidak, Ki Jayaraga Aku lebih senang bertempur melawan Ki Jayaraga. Nampaknya Ki Jayaraga dapat mengerti persoalanku. Jika aku harus mati di pertempuran, maka orang yang membunuhku adalah orang yang mengerti tentang diriku dan persoalan pribadiku.”

    Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Namun ia melihat Empu Wisanata benar-benar sudah mulai meloncat menyerangnya

    Ki Jayaraga bergeser untuk mengelakkan serangan itu. Bahkan Ki Jayaraga pun telah membalas menyerang. Tetapi rasanya Ki Jayaraga tidak akan dapat mengerahkan kemampuannya. Apalagi berusaha membunuh Empu Wisanata. Kecuali jika ia benar-benar terancam jiwanya

    Tetapi Empu Wisanata tidak bertempur dengan seluruh kekuatan dan ilmunya. Meskipun ia nampak sibuk, tetapi Ki Jayaraga merasakan, betapa serangan-serangan Empu Wisanata itu terasa hambar.

    Meskipun demikian, keduanya nampak berloncatan semakin cepat saling menyerang dan menghindari. Bahkan sekali-sekali telah terjadi benturan-benturan yang keras.

    Namun dalam pada itu, Empu Wisanata masih berkata, “Ki Jayaraga. Aku tidak tahu, apakah sebenarnya yang telah membuat anakku menjadi begitu lekat pada Ki Saba Lintang. Bukan karena Dwani anakku, tetapi menurut pendapatku Dwani cukup cantik untuk mencari seorang suami yang lebih mapan daripada Ki Saba Lintang.”

    Ki Jayaraga meloncat surut. Tetapi ia bertanya, “Di mana suaminya yang pertama?”

    “Terbunuh. Itulah yang membuatnya mendendam. Kecewa, menyesal, serta berbagai perasaan yang saling mendesak, membuat Dwani menjadi seorang perempuan yang garang. Aku yakin, seandainya ia memenangkan perang tanding melawan Nyi Lurah di tanah perdikan, Dwani benar-benar akan membunuhnya. Namun aku harus bersyukur, bahwa Dwani dapat dikalahkan oleh Nyi Lurah, sementara Nyi Lurah tetap memberinya kesempatan hidup.”

    “Siapa yang membunuh suaminya itu?”

    Empu Wisanata meloncat dengan garangnya Namun ia masih juga memperingatkan, “Awas Ki Jayaraga!”

    Ki Jayaraga bergeser menghindari serangan itu. Namun dengan cepat Ki Jayaraga telah menyerang Empu Wisanata Namun ia pun berkata, “Jangan kau biarkan jantungmu rontok!”

    Kaki Ki Jayaraga terjulur dengan cepatnya mengarah ke dada. Tetapi serangan itu datang tanpa tenaga. Karena itu, maka Empu Wisanata tidak menghindarinya. Kedua tangannya pun kemudian disilangkan di depan dadanya.

    Empu Wisanata terdorong selangkah surut. Tetapi serangan itu sama sekali tidak membekas di dadanya.

    “Kau belum menjawab, Empu. Siapakah yang telah membunuh suami Nyi Dwani?”

    “Sahabatnya sendiri. Seorang laki-laki yang mempunyai pamrih atas Dwani.”

    “Lalu?”

    “Laki-laki itu telah dibunuh oleh Ki Saba Lintang.”

    “Itulah sebabnya,” desis Ki Jayaraga.

    “Mula-mula memang demikian. Tetapi kemudian Dwani benar-benar terikat pada laki-laki itu. Bukan sekedar karena berterima kasih. Tetapi Dwani menjadi seperti orang gila.”

    “Guna-guna?” bertanya Ki Jayaraga

    Empu Wisanata meloncat mengambil jarak. Namun kemudian ia pun tertawa. Katanya, “Apapun yang dilakukan, ternyata bahwa Dwani tidak lagi dapat melepaskan Ki Saba Lintang. Karena itu, cara yang dipergunakan oleh Ki Lurah dan Nyi Lurah untuk melacak Rara Wulan adalah tepat sekali.”

    Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Ia tidak memburu Empu Wisanata yang kemudian bersiap sambil bergeser mendekat.

    “Jika saja aku mempunyai cara untuk menjauhkan anakku dari Ki Saba Lintang.”

    “Mungkin janji Ki Saba Lintang untuk memberikan tongkat baja putih Nyi Lurah itu salah satu sebab, kenapa Nyi Dwani tidak mau meninggalkan Ki Saba Lintang.”

    “Mungkin. Dwani juga seorang perempuan yang tamak. Mungkin ia mengira bahwa tongkat baja putih itu akan membahagiakan hidupnya.”

    “Apakah yang dimaksud kebahagiaan bagi Nyi Dwani?”

    “Ada darah petualang mengalir di tubuhnya. Darahku. Kebahagiaan bagi seorang petualang adalah luasnya daerah jelajahnya serta seberapa kondang namanya Dengan tongkat baja putih, maka Dwani mengira bahwa kemampuannya akan jauh meningkat serta namanya pun akan semakin banyak dikenal.”

    “Itulah yang diimpikannya.”

    “Sudah aku katakan, Dwani memang seorang yang tamak,” Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat kepedihan di mata Empu Wisanata. Agaknya Nyi Dwani seorang yang dimanjakannya sejak kanak-kanak. Namun yang kemudian Empu Wisanata mengalami kesulitan untuk mengendalikannya.

    “Dan Sekarang?” bertanya Ki Jayaraga kemudian.

    “Bagaimanapun juga Dwani adalah anakku. Aku akan melindungi sejauh dapat aku lakukan. Jika Nyi Lurah Agung Sedayu benar-benar akan membunuhnya, aku harus mencegahnya kecuali jika Ki Jayaraga lebih dahulu membunuhku.”

    “Apakah Empu menduga bahwa aku akan membunuh Empu?”

    “Aku Tidak tahu,” jawab Empu Wisanata.

    Ki Jayaraga termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Kita akan bertempur terus.”

    Empu Wisanata pun kemudian telah bersiap pula Keduanya pun telah terlibat lagi dalam pertempuran. Namun seperti sebelumnya, ke-duanya tidak dapat mengerahkan kemampuan mereka sampai ke puncak.

    Dalam pada itu, pertempuran di bawah bukit itu pun berlangsung semakin sengit. Para pengawal yang menebar telah bertempur melawan para pengikut Ki Saba Lintang. Semula para pengikut Ki Saba Lintang itu menduga, bahwa orang-orang dari tanah perdikan itu tidak akan mampu bertahan terlalu lama. Para pengikut Ki Saba Lintang yang merasa memiliki pengalaman yang sangat luas itu menganggap bahwa orang-orang padukuhan itu tidak akan mampu bertahan sepenginang.

    Tetapi yang terjadi kemudian adalah di luar dugaan mereka. Orang-orang padukuhan itu ternyata mampu mengimbangi kemampuan para pengikut Ki Saba Lintang yang sudah menempuh petualangan yang panjang.

    Ternyata para pengawal itu pun memiliki pengalaman yang cukup pula. Di antara mereka telah pernah ikut terjun dalam perang yang besar dengan bekal yang memadai. Latihan-latihan yang berat, baik dalam perang gelar, maupun secara pribadi telah membentuk mereka menjadi orang-orang yang tangguh di pertempuran yang bagaimanapun bentuknya.

    Karena itu, maka para pengikut Ki Saba Lintang yang hanya mengandalkan pengalaman tanpa bekal ilmu yang memadai, justru banyak mengalami kesulitan menghadapi para pengawal.

    Pertempuran pun berkobar semakin sengit. Sementara itu, orang yang bertubuh pendek bersama beberapa orang pengikutnya telah berhadapan dengan Glagah Putih serta beberapa orang pengawal yang datang bersamanya.

    “Kau bawa orang-orang itu dari mana?” bertanya orang bertubuh pendek.

    “Mereka orang-orang Klajor,” jawab Glagah Putih.

    Orang bertubuh pendek itu tertawa. Katanya, “Buat apa kau bawa orang-orang padukuhan itu kemari? Mereka akan segera dibantai di sini. Kaulah yang nanti harus bertanggung jawab, karena kau yang membawa mereka kemari.”

    “Bagaimana jika yang terjadi sebaliknya?”

    “Maksudmu?”

    “Bukan orang-orang Klajor yang dibantai, tetapi justru orang-orangmu.”

    Orang itu tertawa semakin keras, katanya, “Kau pemimpin yang baik. Kau kira siapa kami ini, he? Kami adalah petualang yang selama ini menjelajahi lembah dan ngarai. Menghitung pintu-pintu rumah dan menerima upeti dari para Demang dan Bekel. Sayang, bahwa kami belum pernah menjamah padukuhan Klajor. Tetapi padukuhan itu akan selalu kami ingat. Suatu saat kami akan datang mengambil upeti dan pajak.”

    Tetapi Glagah Putih tetap menguasai perasaannya. Katanya, “Kami akan menerima kedatangan kalian dengan senang hati. Ada beberapa ekor lembu dan kerbau di padukuhan kami. Ada puluhan kambing dan ratusan ekor ayam di Klajor. Apakah itu cukup untuk kami upetikan kepada kalian?”

    Orang itu memandang Glagah Putih dengan tajamnya. Namun suara tertawanya terdengar lagi. Katanya, “Ternyata kau adalah anak muda yang senang berkelakar. Agaknya kau akan dapat menjadi kawan bergurau yang baik. Tetapi kau harus mengerti cara kami bergurau.”

    “Maksudmu?”

    “Jika kami bergurau, maka satu dua orang akan dapat terbunuh. Kematian dari orang-orang dungu yang sombong memang dapat menimbulkan tawa. Dan aku senang membunuh orang-orang dungu seperti itu.”

    “Apakah benar begitu?”

    “Ya.”

    “Jika demikian, aku akan mencoba.”

    “Mencoba apa?”

    “Membunuh orang dungu yang sombong. Bukankah lucu sekali?”

    “Siapakah yang kau maksud?”

    “Kau dan orang-orangmu.”

    Orang itu menggeram. Katanya, “Kelakarmu sudah keterlaluan. Dan itu akan berakibat buruk bagimu.”

    “Kau mulai marah?”

    “Ya.”

    “Marahlah. Aku senang berkelahi melawan orang yang marah.”

    Orang itu tidak menjawab. Tetapi ia pun segera meloncat menyerang Glagah Putih.

    Tetapi Glagah Putih telah bersiap sepenuhnya. Karena itu, demikian tangan lawannya terjulur, Glagah Putih pun segera meloncat menghindar.

    Namun jantung Glagah Putih berdesir. Meskipun tangan itu tidak menyentuh tubuhnya, tetapi desir anginnya terasa menusuk kulitnya

    “Orang ini telah memamerkan ilmunya,” berkata Glagah Putih kepada diri sendiri, “namun harus diakui, orang ini berilmu tinggi. Aku harus sangat berhati-hati.”

    Serangan-serangan orang bertubuh pendek itu pun kemudian datang beruntun. Seperti gelombang di pantai, susul menyusul.

    Namun Glagah Putih yang sudah bersiap itu pun menghadapinya dengan tegar. Sekali-sekali Glagah Putih meloncat menghindar, namun untuk menjajaki kekuatan lawannya Glagah Putih pun kadang-kadang telah membentur serangan itu pula

    Ketika benturan itu terjadi, Glagah Putih pun telah meloncat surut. Ia tidak ingin benar-benar beradu tenaga. Karena itu benturan yang terjadi pun bukan benturan yang keras. Namun kemudian Glagah Putih telah menghentakkan tenaganya mendorong orang bertubuh pendek itu.

    Orang itu terkejut. Semula ia mengira, bahwa tenaga Glagah Putih tidak terlalu besar, sehingga terdorong surut Namun ketika tiba-tiba tenaga itu menghentaknya maka orang bertubuh pendek itu benar-benar telah terdorong beberapa langkah.

    Terdengar orang itu mengumpat kasar. Kemudian melangkah maju mendekati Glagah Putih sambil mengambil ancang-ancang untuk menyerang.

    Namun ternyata orang itu sempat bertanya, “Siapa namamu, anak muda?”

    “Apakah aku tadi belum menyebut namaku?”

    Orang bertubuh pendek itu menggeram. Sementara Glagah Putih kemudian berkata, “Namaku Glagah Putih.”

    “Hem, nama yang baik. Tetapi nama yang baik itu sajalah yang akan tinggal. Tubuhmu nanti akan dikubur di kuburan tua itu. Dalam beberapa hari saja, tubuhmu sudah akan hancur diremas tanah.”

    Glagah Putih berdiri tegak memandang orang bertubuh pendek itu. Kemudian ia pun bertanya, “Siapa namamu?”

    “Wengkon. Namaku Wengkon.”

    “Wengkon?” Glagah Putih mengulang.

    “Ya. Wengkon. Nama yang tentu sudah banyak dikenal.”

    “Sayang, aku belum pernah mendengar nama itu. Baru sekarang.”

    Wengkon memandangnya dengan tajam. Namun kemudian ia pun mengangguk-angguk sambil berkata, “Mungkin. Mungkin kau belum mengenal namaku. Tetapi orang di sekitar Gunung Kendeng tentu tahu, siapakah Wengkon itu.”

    “Aku pernah mengelilingi Gunung Kendeng,” berkata Glagah Putih.

    “Padukuhan mana sajalah yang pernah kau rambah?” bertanya Wengkon.

    “Aku sudah lupa,” jawab Glagah Putih.

    Wengkon tertawa. Katanya, “Kau tidak usah membual. Bersiaplah untuk mati.”

    Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia pun segera bersiap menghadapi lawannya yang berilmu tinggi itu.

    Namun ia sempat, melihat apa yang terjadi di sekitarnya Ia melihat para pengawal tidak mengalami kesulitan mempertahankan diri. Bahkan satu dua di antara mereka berhasil mendesak lawannya meskipun lawannya bertempur dengan keras dan kasar.

    Sejenak kemudian, keduanya telah terlibat lagi dalam pertempuran yang sengit. Serangan Wengkon menyambar-nyambar dengan cepatnya. Getaran anginnya pun menampar tubuh Glagah Putih sehingga terasa pedih.

    Tetapi Glagah Putih pun cukup tangkas untuk menghindari serangan-serangan Wengkon. Bahkan Glagah Putih pun kadang-kadang harus menangkis serangan-serangan itu jika ia tidak sempat menghindar. Meskipun getar udara yang menampar tubuh Glagah Putih terasa pedih tetapi Wengkon pun harus berpikir ulang jika harus membentur tenaga Glagah Putih setiap kali, karena tenaga Glagah Putih jauh lebih besar dari yang diduganya.

    Dalam pada itu, beberapa orang pengawal Klajor yang bertempur bersama Glagah Putih ternyata tidak mengecewakan. Meskipun mereka adalah orang-orang padukuhan kebanyakan, yang setiap hari bekerja di sawah dan pategalan, namun mereka adalah orang-orang yang terlatih dan memiliki pengalaman yang luas. Karena itu, maka mereka tidak tergetar ketika mereka harus bertempur melawan para pengikut Ki Saba Lintang.

    Betapa keras dan kasarnya para pengikut Ki Saba Lintang, namun mereka harus mengakui kenyataan, bahwa mereka berhadapan dengan orang-orang yang terampil mempermainkan senjata mereka. Bahkan para pengikut Ki Saba Lintang itu harus melihat bahwa senjata orang-orang Klajor itu tidak seperti senjata orang-orang padukuhan yang pernah dijelajahinya. Senjata orang-orang Klajor adalah senjata-senjata yang mapan. Tidak sekedar parang atau linggis atau sepotong besi dan bahkan selumbat kelapa. Mereka pun memiliki kemampuan bertempur yang mengherankan bagi para pengikut Ki Saba Lintang.

    Orang yang bertubuh pendek, yang bertempur melawan Glagah Putih itu pun merasa heran, bahwa para pengikut Ki Saba Lintang yang menyertainya, tidak segera dapat menghancurkan orang-orang padukuhan Klajor. Mereka yang terbiasa berpetualang dan menjelajahi padukuhan demi padukuhan, tidak pernah mendapat perlawanan yang demikian sengitnya

    Bahkan orang bertubuh pendek itu sempat curiga, “Apakah mereka para prajurit Mataram dari pasukan khusus yang berada di tanah perdikan yang menyamar sebagai orang-orang padukuhan?”

    Tetapi nampaknya hal itu tidak mungkin terjadi. Kecuali jika para petugas sandi dari barak pasukan khusus itu sudah mengetahui bahwa Ki Saba Lintang dan berapa orang pengikutnya berada di tanah perdikan.

    Namun hal itu pun agaknya mustahil. Ki Saba Lintang dan para pengikutnya itu menempatkan diri di tempat yang terpencil serta dijaga dengan rapat, agar tidak diketahui oleh siapa pun.

    Apapun yang terjadi, orang bertubuh pendek itu bersama beberapa orang yang menyertainya, harus bertempur dengan mengerahkan segenap kemampuan mereka.

    Dalam pada itu Sabungsari dan Sayoga yang masih tetap berada di dalam lingkaran pertempuran bersama Agung Sedayu, telah menghadapi lawan mereka masing-masing. Seorang yang bertubuh raksasa dan bersenjata bindi yang bergerigi, akhirnya telah berhadapan dengan Sabungsari setelah beberapa kali ia berganti lawan. Sabungsari yang melihat orang itu bertempur menghadapi tiga orang pengawal dari Klajor telah mengambil alih. Agaknya para pengawal itu masih juga mengalami kesulitan. Orang bertubuh raksasa itu mempunyai kekuatan yang sangat besar.

    Namun demikian ia berhadapan dengan Sabungsari, maka ia merasa mendapat lawan yang seimbang.

    Dalam pada itu, pertempuran antara Nyi Dwani melawan Sekar Mirah menjadi semakin sengit Tetapi sebagaimana pernah terjadi, maka Nyi Dwani pun telah mengalami kesulitan. Tongkat baja putih Sekar Mirah berputaran dan terayun-ayun dengan cepatnya. Menyambar-nyambar mendebarkan jantung.

    Namun seperti yang pernah terjadi, Sekar Mirah memang tidak ingin benar-benar membunuh Nyi Dwani. Ketika Sekar Mirah meyakini kelebihannya, sehingga Nyi Dwani tidak akan mempunyai kesempatan untuk mengenainya, Sekar Mirah pun telah membatasi diri. Meskipun sekali-sekali ujung tongkatnya menyentuh tubuh Nyi Dwani, namun Sekar Mirah masih selalu mengendalikan dirinya.

    Dalam pada itu, Nyi Dwani yang bersenjata pedang rangkap itu pun merasa semakin terdesak. Betapapun ia mengerahkan kemampuannya namun ujung pedangnya tidak pernah sekali pun berhasil menyentuh tubuh Sekar Mirah. Sementara itu, sentuhan-sentuhan ujung tongkat baja putih Sekar Mirah menjadi semakin sering mengenainya Tulang-tulang Nyi Dwani mulai terasa sakit. Meskipun sentuhan-sentuhan itu tidak terlalu keras, tetapi sakitnya terasa menusuk sampai ke sumsum.

    Namun Nyi Dwani yang menyadari bahwa Sekar Mirah memang tidak ingin membunuhnya itu pun berkata dengan nada tinggi, “Kau tunggu apa lagi, Nyi Lurah?”

    “Apa maksudmu?” bertanya Sekar Mirah.

    “Kenapa kau tidak segera memukul kepalaku dengan tongkatmu itu? Aku yakin kau mampu melakukannya. Aku pun yakin bahwa tulang kepalaku akan pecah.”

    “Kenapa kau ingin cepat mati?” bertanya Sekar Mirah.

    “Tidak seorang pun yang berharap cepat mati. Tetapi aku tidak ingin tersiksa oleh sikapmu ini.”

    “Kenapa kau merasa tersiksa,” bertanya Sekar Mirah.

    “Kau sengaja memperlambat kematianku.”

    “Seharusnya kau tidak berprasangka seburuk itu.”

    “Habis, apa yang kau lakukan sekarang ini?”

    “Nyi Dwani, apakah kau benar-benar marah kepadaku?”

    “Kau telah memperbodoh aku. Kau peralat aku untuk membebaskan Rara Wulan. Aku memang bodoh, Nyi Lurah. Tetapi aku benar-benar tidak mengira bahwa kau sangat licik.”

    “Nyi Dwani. Sebenarnyalah bahwa aku ingin minta maaf kepadamu. Tetapi aku memang tidak mempunyai cara lain untuk membebaskan Rara Wulan. Cara itu pun timbul demikian tiba-tiba ketika kami melihat seorang putut yang bernama Jaka Dwara. Saat gagasan itu timbul pada Kakang Agung Sedayu, kami belum yakin bahwa gagasan itu akan berhasil. Adalah kebetulan aku tanggap akan gagasan Kakang Agung Sedayu, sehingga kami berhasil membebaskan Rara Wulan.”

    “Aku akan menebus kebodohanku dengan kematian.”

    “Apakah itu perlu?” bertanya Sekar Mirah.

    Nyi Dwani tidak menjawab. Tetapi ia benar-benar tidak menghentikan kemampuannya. Sepasang pedangnya berputaran dengan cepatnya. Sambil berloncatan Nyi Dwani berusaha menembus pertahanan tongkat baja Sekar Mirah.

    Tetapi setiap kali, pedang Nyi Dwani telah membentur tongkat baja Sekar Mirah. Betapapun ia berusaha, namun Nyi Dwani tidak pernah berhasil.

    Ternyata bukan saja kemampuannya memang berada selapis di bawah kemampuan Sekar Mirah, namun bahwa Nyi Dwani sendiri selalu dibayangi oleh pengakuannya, bahwa ia tidak akan dapat mengalahkan Sekar Mirah, maka keadaan Nyi Dwani justru menjadi semakin rumit.

    Tetapi Sekar Mirah memang tidak ingin membunuh Nyi Dwani. Karena itu, maka Sekar Mirah justru lebih banyak bertahan, memancing tenaga Nyi Dwani, sehingga Sekar Mirah berharap bahwa Nyi Dwani akan kehabisan tenaga.

    Sementara itu Nyi Dwani telah menghentakkan segenap ke-mampuannya. Dengan garangnya Nyi Dwani menyerang seperti banjir bandang. Pedangnya menyambar-nyambar. Sementara itu, Sekar Mirah justru lebih banyak bergeser surut. Tetapi sekali ia meloncat maju, maka tongkat baja putihnya telah menyentuh tubuh Nyi Dwani.

    Ketika Nyi Dwani berdesis menahan sakit, maka Sekar Mirah itu pun berkata, “Nyi Dwani, apakah tongkat baja putih ini demikian berharga bagimu, sehingga harus kau rebutkan dengan segala cara, bahkan mengorbankan nyawamu?”

    “Aku tidak berbicara lagi tentang tongkat baja itu. Tetapi aku bertempur demi kehormatan namaku.”

    “Jangan terlalu garang Nyi Dwani. Aku masih ingin tahu. Manakah yang lebih berharga bagimu, tongkat baja putih ini atau Ki Saba Lintang?”

    “Cukup! Cukup!” teriak Nyi Dwani sambil menyerang sejadi-jadinya. Bahkan Nyi Dwani itu pun menantang, “Bunuh aku, Nyi Lurah. Bunuh aku!”

    “Tenanglah, Nyi. Kau tidak perlu kehilangan akal seperti itu.”

    “Diamlah! Diam kau.”

    Serangan Nyi Dwani semakin cepat dan keras. Tetapi sejalan dengan kegelisahan, kemarahan dan keguncangan perasaannya, maka Nyi Dwani tidak lagi mampu bertempur dengan cermat. Serangan-serangannya tidak lagi terarah, sedangkan unsur gerakannya semakin kabur. Ciri-ciri perguruan Kedung Jati yang sering nampak sebelumnya, menjadi larut sama sekali.

  26. Api di Bukit Menoreh
    Jilid IV – 13
    Bagian 3 dari 3

    Sekar Mirah masih melayaninya. Sekali-sekali Sekar Mirah memang nampak garang. Namun kemudian ia lebih banyak bertahan jika serangan Nyi Dwani menjadi keras.

    Dalam pada itu, Ki Saba Lintang yang bertempur bersama seorang kepercayaannya melawan Agung Sedayu telah mengerahkan kemampuannya pula. Ia berusaha untuk dengan cepat menghabisi lawannya sebelum Nyi Dwani dikalahkan oleh Nyi Lurah, karena Ki Saba Lintang menyadari bahwa kemampuan Nyi Lurah memang lebih tinggi dari ilmu Nyi Dwani.

    Namun ternyata Ki Saba Lintang, meskipun berdua, tidak mudah mengalahkan lurah prajurit dan pasukan khusus itu. Sekali-sekali Ki Saba Lintang memang mampu mendesak lawannya tetapi sejenak kemudian Ki Lurah itu pun telah mampu melepaskan diri dari kesulitannya. Bahkan sekali-sekali Agung Sedayu itu sempat membingungkan kedua lawannya

    Meskipun demikian, menghadapi dua orang berilmu tinggi, Agung Sedayu pun harus mengerahkan ilmunya pula. Kedua orang lawannya itu kadang-kadang keduanya dengan sengaja berpencar dan menyerang Agung Sedayu dari arah yang berbeda.

    Apalagi ketika keadaan menjadi semakin gawat maka Ki Saba Lintang itu pun telah menarik tongkat baja putihnya yang terselip di punggungnya, sedangkan kepercayaannya yang bertempur bersamanya, ternyata bersenjata sebatang tongkat baja yang berwarna putih. Tetapi tongkat itu bukan tongkat kepemimpinan dari perguruan Kedung Jati.

    Menghadapi kedua lawannya yang bersenjata, maka Agung Sedayu pun telah mengurai cambuknya pula. Sekali terdengar ledakan yang memekakan telinga. Namun Ki Saba Lintang menyadari, bahwa kemampuan Agung Sedayu jauh lebih tinggi dari sekedar menggetarkan udara dengan ledakan cambuknya. Justru jika suara cambuknya itu terdengar lunak, maka ilmunya yang tinggi mulai tersalur lewat juntai cambuknya itu.

    Dalam pada itu, maka para pengikut Ki Saba Lintang sudah harus mengalami tekanan yang berat dari para pengawal padukuhan Klajor. Meskipun satu dua orang pengikut Ki Saba Lintang masih berdatangan, tetapi demikian pula orang-orang Klajor. Satu dua dari mereka masih juga datang menyusul kawan-kawannya yang sudah mendahului mereka.

    Sementara itu, ternyata orang bertubuh pendek yang bertempur melawan Glagah Putih itu pun telah mengalami kesulitan. Para pengikut Ki Saba Lintang yang lain tidak dapat membantunya karena mereka harus berhadapan dengan para pengawal padukuhan Klajor.

    Karena itu, maka orang bertubuh pendek yang telah kenyang berpetualang itu, telah meningkatkan kemampuannya sampai ke puncak ilmunya.

    Glagah Putih yang menyadari, bahwa lawannya berilmu tinggi, harus hati-hati. Sambaran angin serangannya tidak saja terasa pedih, tetapi kemudian telah berubah menjadi panas.

    Glagah Putih telah pernah menjumpai ilmu seperti ilmu orang bertubuh pendek itu. Pada puncaknya ilmu itu akan menjadi ilmu yang sangat berbahaya sebagaimana Aji Alas Kobar.

    Sebenarnyalah serangan-serangan orang itu pun menjadi semakin berbahaya. Udara panas setiap kali melanda tubuh Glagah Putih, sehingga sekali-sekali Glagah Putih harus berloncatan menghindar. Sementara itu, orang bertubuh pendek itu melibatnya dengan garangnya. Ketika Glagah Putih menangkis serangan lawannya sehingga terjadi benturan, maka kulitnya serasa menyentuh bara.

    Glagah Putih pun kemudian tidak ingin lagi membenturkan tubuhnya dengan tubuh orang pendek itu. Karena itu, maka Glagah Putih pun segera mengurai ikat pinggang kulitnya.

    Dengan ikat pinggang kulit itu, Glagah Putih menjadi semakin garang. Ia masih mampu mengatasi udara panas di seputar lawannya. Daya tahan tubuhnya telah ditingkatkannya sampai ke puncak.

    Orang bertubuh pendek itulah yang kemudian menjadi semakin terdesak. Ketika ikat pinggang Glagah Putih itu sempat menyentuh tubuhnya maka segores luka pun telah menganga.

    “Gila!” geram orang bertubuh pendek itu. Dengan serta-merta ia pun telah mencabut senjatanya. Sebuah luwuk yang tidak terlalu panjang. Namun luwuk itu bagaikan memancarkan cahaya yang kemerahan, “Kau telah mempercepat saat kematianmu. Justru karena kau bersenjata maka senjataku yang satu ini akan segera menghabisimu.”

    Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia memutar ikat pinggangnya semakin cepat.

    Namun orang bertubuh pendek itu benar-benar telah mengerahkan ilmunya Apalagi ketika ia melihat para pengikut Ki Saba Lintang yang bersamanya itu menjadi semakin terdesak. Karena itu, maka ia pun harus bertempur semakin keras untuk segera mengalahkan dan bahkan membunuh anak muda itu.

    Ternyata ilmu orang itu benar-benar menggetarkan jantung. Luwuknya yang seakan-akan bercahaya kemerah-merahan itu seakan-akan menjadi semakin membara. Udara pun menjadi semakin panas sehingga rasa-rasanya Glagah Putih itu tengah bertempur di atas api.

    Betapapun Glagah Putih meningkatkan daya tahannya sampai ke puncak, namun udara yang panas itu tidak dapat ditawarkannya.

    Keringat Glagah Putih seakan-akan telah terperas habis dari tubuhnya. Pakaiannya menjadi basah bagaikan diguyur hujan lebat sepekan. Kulit Glagah Putih pun serasa telah terbakar.

    Semakin lama Glagah Putih pun menjadi semakin terdesak. Bahkan Glagah Putih tidak mampu lagi memusatkan perhatiannya terhadap serangan-serangan kewadangan lawannya karena panas yang menyengat seluruh tubuhnya itu.

    Glagah Putih terkejut ketika terasa segores luka di bahunya Ternyata luwuk lawannya itu telah mampu menyusup di sela-sela putaran ikat pinggangnya.

    Glagah Putih telah meloncat beberapa langkah surut untuk mengambil jarak. Ia tidak mempunyai pilihan lain, sementara pertempuran masih menyala di bawah bukit. Glagah Putih tidak tahu pasti, apakah mereka yang berada di bawah bukit mampu mengatasi lawan-lawan mereka. Meskipun Glagah Putih sempat memperhatikan pertempuran itu sekilas, tetapi ia tidak dapat melihat dengan jelas apa yang sebenarnya telah terjadi.

    Karena itu, maka Glagah Putih yang terdesak dan bahkan mulai tersentuh senjata lawannya itu, tidak mau membiarkan dirinya dalam kesulitan.

    Ketika tubuhnya semakin kering dipanggang dalam apinya ilmu lawannya, serta kegelisahannya menyaksikan pertempuran di bawah bukit, maka Glagah Putih pun telah memutuskan untuk mempergunakan ilmu puncaknya

    “Apapun yang akan terjadi,” berkata Glagah Putih di dalam hatinya, “jika orang itu memiliki ilmu yang lebih tinggi, maka akulah yang akan binasa.”

    Namun Glagah Putih sudah mengambil keputusan.

    Karena itu, maka ketika lawannya itu meloncat menyerang sambil mengacungkan luwuknya yang membara, maka Glagah Putih pun telah menghentakkan tangannya dengan kedua telapak tangannya menghadap ke arah lawannya.

    Orang bertubuh pendek itu terkejut. Sekali lagi ia salah menilai lawannya. Ia sama sekali tidak menduga bahwa lawannya yang masih muda itu mampu melontarkan ilmu yang jarang ada duanya.

    Orang bertubuh pendek itu memang mencoba untuk meloncat mengelak ketika ia melihat seleret sinar memancar dari telapak tangan anak muda itu. Tetapi seleret sinar itu seakan-akan telah memburunya. Ketika sinar itu membentur tubuhnya, maka rasa-rasanya tubuhnyalah yang telah meledak.

    Orang itu telah terlempar dua langkah surut. Ia tidak berhasil melepaskan diri dari garis serangan Glagah Putih. Sinar yang meluncur dari telapak tangan itu ternyata lebih cepat dari usahanya untuk menghindar. Apalagi orang bertubuh pendek yang tidak menduga terlambat mengelak.

    Karena itu, maka demikian ia terbanting jatuh, maka orang bertubuh pendek itu tidak mampu lagi untuk bangkit berdiri.

    Glagah Putih melangkah mendekatinya. Luwuk orang itu telah terlepas dari tangannya

    Sejenak Glagah Putih memandangi orang itu. Orang itu masih bernafas. Bahkan ia sempat mengumpat kasar.

    “Mudah-mudahan kau dapat bertahan hidup,” berkata Glagah Putih, “sayang aku tidak membantumu sekarang. Aku harus terjun ke gelanggang.”

    Orang itu masih saja mengumpat Sementara Glagah Putih berteriak kepada para pengawal Klajor yang bertempur bersamanya, “Kuasai mereka yang menyerah. Yang tidak mau menyerah, apa boleh buat.”

    Para Pengawal dari Klajor itu pun bagaikan dihentakkan. Mereka pun segera mengerahkan kemampuan mereka. Seorang yang tertua di antara mereka pun berteriak nyaring, “Menyerahlah! Kalian tidak mempunyai pilihan lain.”

    Tetapi para pengikut Ki Saba Lintang itu tidak menghiraukan perintah itu. Ketika mereka mengetahui bahwa orang yang bertubuh pendek itu tidak berdaya lagi, maka mereka pun telah memilih cara untuk menyelamatkan diri.

    Dalam pada itu, tanpa menghiraukan pertempuran yang terpisah itu lagi, Glagah Putih meloncat berlari ke arena pertempuran di bawah bukit. Jaraknya tidak terlalu jauh. Karena itu, maka Glagah Putih hanya memerlukan waktu beberapa saat saja

    Sementara itu, para pengikut Ki Saba Lintang yang bertempur terpisah itu, ketika mendengar isyarat dari salah seorang di antara mereka, telah menghambur berlari dan bergabung dengan kawan-kawannya yang lain.

    Tetapi para pengawal dari Klajor itu pun tidak melepaskan mereka. Dengan serta-merta mereka pun telah berloncatan berlari mengejar orang-orang yang sedang melarikan diri itu.

    Namun kedua arena pertempuran itu ternyata telah bergabung. Para pengikut Ki Saba Lintang itu pun telah menyatu dengan kawan-kawan mereka. Namun para pengawal Klajor pun telah tergabung pula dengan para pengawal yang lebih dahulu telah bertempur di arena pertempuran di bawah bukit itu.

    Justru Glagah Putihlah yang berdiri termangu-mangu. Ia mencoba mengamati pertempuran dalam keseluruhan. Ketika ia melihat seorang berkulit hitam, bertempur melawan tiga orang pengawal yang bertempur dalam satu kelompok, Glagah Putih tertarik karenanya, nampaknya orang itu memiliki ilmu yang tinggi. Orang itu agaknya sempat mempermainkan ketiga orang lawannya, sebelum akhirnya tentu akan dibinasakan seorang demi seorang.

    Ketika Glagah Putih memasuki arena pertempuran itu, dua orang di antara para pengawal itu telah terluka. Sementara itu, serangan-serangan orang bertubuh hitam itu lebih banyak tertuju kepada pengawal yang masih belum terluka. Agaknya orang bertubuh hitam itu berniat untuk melukai ketiga lawannya. Memeras darahnya dan kemudian membinasakannya

    Sementara itu, dua orang pengawal yang terluka itu masih memaksa diri untuk membantu kawannya yang menjadi sasaran orang bertubuh hitam itu.

    Namun tiba-tiba saja Glagah Putih telah menggabungkan diri dengan ketiga orang pengawal itu. Kepada kedua orang yang terluka, Glagah Putih berkata, “Jangan memaksa diri. Darahmu akan terlalu banyak mengalir.”

    Kedua orang pengawal itu menyadari akan keadaannya. Karena itu, maka mereka tidak lagi mengerahkan segenap tenaga dan kemampuan mereka. Mereka percaya bahwa Glagah Putih akan dapat menyelesaikan lawan mereka.

    Orang berkulit hitam itu ternyata belum mengenal Glagah Putih. Ia pun tidak sempat melihat apa yang telah dilakukan ketika Glagah Putih bertempur terpisah dengan jelas.

    Karena itu ketika Glagah Putih bergabung dengan ketiga orang pengawal itu, orang berkulit hitam itu tidak begitu menghiraukannya. Apalagi setelah kedua di antara lawannya itu terluka.

    Tetapi demikian senjatanya menyentuh ikat pinggang Glagah Putih orang itu terkejut. Sentuhan itu membuat telapak tangannya menjadi pedih.

    “Anak iblis!” geram orang itu, “Siapa kau, he?”

    “Salah seorang pengawal dari Klajor,” jawab Glagah Putih.

    Orang itu menggeram. Diayunkannya parangnya yang kehitam-hitaman. Punggungnya bergerigi seperti duri pandan.

    Ternyata kehadiran Glagah Putih telah membuat orang itu harus meningkatkan kemampuannya Meskipun demikian, ia masih saja menganggap bahwa meskipun ilmunya agak lebih mapan, tetapi anak muda itu tidak akan dapat berbuat banyak.

    Tetapi orang itu tersentak ketika ikat pinggang Glagah Putih bukan saja membentur parangnya, tetapi menyentuh kulitnya. Selagi ia belum berhasil melukai lawannya yang seorang lagi, serta anak muda yang baru datang itu, maka kulitnya sendirilah yang telah tergores. Luka pun telah menganga dan darah telah mengalir dari lukanya itu.

    Orang berkulit hitam itu terkejut bukan kepalang. Ia tidak mengira kulitnya terluka serta menitikkan darahnya

    Orang itu menjadi sangat marah. Terdengar orang berkulit hitam itu berteriak nyaring. Suaranya telah menggetarkan udara, merambat menusuk telinga dan mengguncang isi dada.

    “Ternyata kawan-kawan Saba Lintang memiliki bekal ilmu yang menggetarkan,” berkata Glagah Putih di dalam hatinya, “Untunglah bahwa mereka tidak sempat mematangkan ilmunya.”

    Glagah Putih membiarkan lawannya puas berteriak. Dengan nada berat Glagah Putih itu pun berkata, “Kau masih harus menjalani laku sepuluh kali selapan. Ilmu Gelap Ngamparmu masih mentah seperti ilmu Alas Kobar kawanmu yang pendek itu.”

    “Anak iblis!” geram orang itu demikian teriaknya berhenti, “Kau terlalu sombong!”

    “Lakukan apa yang ingin kau lakukan. Muntahkan Aji Gelap Ngamparmu sepuas hatimu.”

    Orang berkulit hitam itu menjadi sangat marah. Tiba-tiba saja ia berteriak nyaring sambil meloncat menyerang Glagah Putih dengan pedangnya.

    Glagah Putih tersentak. Teriakan orang itu terdengar demikian kerasnya, seakan-akan mengoyak selaput telinganya. Namun lebih dari itu, jantungnya terasa terguncang. Bahkan dadanya pun kemudian menjadi sesak.

    Glagah Putih mengerahkan daya tahan tubuhnya. Namun teriakan itu mampu mempengaruhi pertahanannya, sehingga Glagah Putih itu pun terdorong beberapa langkah surut

    Pengawal yang bertempur bersamanya sama sekali tidak mampu lagi mengayunkan senjatanya. Jantungnya bahkan bagaikan berhenti berdenyut

    Glagah Putih menggeram. Ilmu Gelap Ngampar orang itu ternyata lebih tinggi dari yang diduganya. Bahkan ilmu itu berpengaruh juga bagi para pengawal yang bertempur di sekitarnya. Namun agaknya jarak pun ikut menentukan besarnya pengaruh Aji Gelap Ngampar itu. Sehingga karena itu, maka pengaruhnya terhadap mereka yang bertempur di sekitarnya tidak terlalu besar.

    Ketika pengaruh di dada Glagah Putih telah berkurang, maka perlawanan Glagah Putih menjadi semakin meningkat. Ikat pinggangnya terayun-ayun mengerikan. Orang berkulit hitam itu kembali terdesak. Bahkan ikat pinggang Glagah Putih telah berhasil menyusup pertahanan orang berkulit hitam itu pula sehingga sekali lagi tubuh orang berkulit hitam itu tergores luka.

    Kemarahan semakin menyala di dada orang itu. Karena itu, maka sekali lagi ia menyerang sambil berteriak nyaring.

    Sekali lagi jantung Glagah Putih tergetar. Sekali lagi Glagah Putih pun telah terdesak. Ujung pedang orang itu bagaikan memburunya. Kulit Glagah Putihlah yang kemudian tergores oleh luka.

    Darah telah menitik dari tubuh Glagah Putih. Karena itu, maka ke-marahannya pun telah membara di dalam dadanya.

    Namun dalam pada itu, lawannya tidak lagi mau melepaskannya Setiap kali terdengar ia berteriak nyaring sambil melihat Glagah Putih dengan serangan-serangan yang garang.

    Glagah Putih seakan-akan tidak sempat mengambil jarak. Karena itu untuk beberapa saat Glagah Putih mengalami kesulitan. Ia tidak dapat meloncat mengambil jarak untuk melepaskan ilmunya dari telapak tangannya

    Namun dengan demikian, maka Glagah Putih telah memutuskan untuk mempergunakan ilmunya yang lain. Betapa jantungnya menggelepar, namun Glagah Putih masih mampu memusatkan nalar budinya. Glagah Putih pun kemudian telah memanfaatkan waktu sekejap untuk menerapkan ilmunya Sigar Bumi.

    Ketika orang berkulit hitam itu meloncat sekali lagi menyerangnya sambil berteriak nyaring. Glagah Putih bertekad untuk membentur serangan itu. Betapa jantungnya tersengat oleh rasa sakit dan pedih, namun Glagah Putih justru telah meloncat mendekat.

    Ketika parang lawannya terjulur ke arah dadanya, Glagah Putih sambil menahan sakit di dadanya, telah mengelak. Namun sekaligus Glagah Putih telah mengayunkan ikat pinggangnya dilandasi dengan kekuatan Aji Sigar Bumi.

    Akibatnya memang sangat mencekam. Ternyata Glagah Putih tidak sepenuhnya terlepas dari serangan parang orang berkulit hitam itu. Meskipun ujung parang itu tidak menghujam ke jantungnya tetapi ujung parang itu sempat menggores bahunya

    Namun dalam pada itu, ikat pinggang Glagah Putih telah mengenai lambung lawannya Seperti tajamnya pedang, ikat pinggang yang diayunkan dengan landasan Aji Sigar Bumi itu telah mengoyak lambung lawannya

    Orang berkulit hitam itu berteriak nyaring. Pelepasan Aji Gelap Ngampar yang terakhir. Gelar udara di sekitarnya masih terasa menerpa tubuh Glagah Putih. Namun kemudian teriakan itu pun terputus. Getar udara yang menusuk sampai ke jantung pun telah mereda dan hilang sama sekali.

    Glagah Putih berdiri termangu-mangu. Dipandangnya orang berkulit hitam itu tergolek di tanah.

    Sementara itu, pertempuran berlangsung dengan sengitnya di mana-mana. Orang-orang yang berilmu tinggi telah mulai merambah ilmu mereka. Agung Sedayu yang bertempur menghadapi kedua orang lawannya, harus mengerahkan ilmunya pula. Untuk mengatasi serangan-serangan yang cepat dari kedua orang lawannya yang berilmu tinggi, Agung Sedayu telah menerapkan kemampuan ilmunya meringankan tubuh. Dengan demikian, maka Agung Sedayu berusaha mengatasi serangan-serangan yang cepat dari kedua orang lawan yang kadang-kadang berdiri di arah yang berseberangan.

    Sementara itu, untuk melindungi tulang-tulangnya agar tidak menjadi retak dan pecah karena tongkat-tongkat baja lawannya, maka Agung Sedayu telah menerapkan ilmu kebalnya pula

    Dengan perlindungan itu, maka Agung Sedayu berusaha untuk mengimbangi kedua orang lawannya yang berilmu tinggi itu.

    Dalam pada itu. Nyi Dwani masih bertempur melawan Sekar Mirah. Betapapun ia mengerahkan kemampuannya, tetapi Nyi Dwani merasa tidak akan mampu mengalahkan lawannya. Nyi Lurah Agung Sedayu terlalu tangkas bagi Nyi Dwani. Apalagi dengan tongkat baja putih di tangannya.

    Sementara itu, tenaga Nyi Dwani pun semakin lama menjadi semakin menyusut

    Tetapi Nyi Lurah Agung Sedayu masih belum mengayunkan tongkat baja putihnya untuk mengakhiri bukan saja perlawanannya, tetapi hidupnya.

    Sekar Mirah masih tetap pada sikapnya. Ia tidak ingin membunuh Nyi Dwani meskipun beberapa kali Nyi Dwani menantang untuk membunuhnya

    “Lebih baik kau segera membunuhku daripada kau menghinakan aku seperti ini.”

    “Jangan kehabisan akal, Nyi Dwani. Kenapa kau harus mati, jika kau masih mempunyai kesempatan untuk hidup,” jawab Sekar Mirah.

    “Buat apa aku hidup dalam kehinaan. Kau dan Ki Lurah tentu akan selalu menertawakan kebodohanku.”

    “Sama sekali tidak, Nyi. Tetapi kekhilafan itu dapat terjadi pada siapa saja. Juga pada Nyi Dwani. Padaku dan pada Kakang Agung Sedayu.”

    “Kau permainkan aku seperti orang yang paling dungu di dunia.”

    “Kau selalu berprasangka buruk.”

    Nyi Dwani tidak menyahut lagi. Tetapi dihentakkannya sisa tenaganya Pedangnya terayun derasnya menyambar ke arah leher Sekar Mirah. Namun dengan tangkasnya Sekar Mirah bergeser surut. Pedang itu sama sekali tidak menyentuhnya Bahkan hampir saja Sekar Mirah memukul pedang itu. Tetapi niatnya diurungkan. Jika pedang itu terlepas dari tangan Nyi Dwani, maka ia akan menjadi semakin merasa kecil. Bahkan mungkin Nyi Dwani itu akan membunuh dirinya sendiri.

    Namun, meskipun Sekar Mirah tidak memukul senjata Nyi Dwani, tetapi ternyata bahwa Nyi Dwani menjadi terhuyung-huyung oleh tarikan tenaganya sendiri. Ia sudah mengerahkan segenap tenaganya yang tersisa. Tetapi pedangnya bagaikan menebas bayangan.

    Nyi Dwani itu terhuyung-huyung. Hampir saja jatuh tertelungkup. Namun Sekar Mirah sempat menahannya dengan satu tangannya, sehingga Nyi Dwani tidak terjerembab di tanah.

    Tetapi pertolongan Sekar Mirah membuat kemarahannya semakin membara di dadanya Dihentakkan dirinya dan diayunkannya pula pedangnya dengan tenaga yang masih ada Tetapi ayunan pedang itu tidak berarti apa-apa. Tenaganya sudah tidak cukup kuat untuk menggapai tubuh Sekar Mirah yang bergeser selangkah surut.

    Nyi Dwani itulah yang kemudian jatuh pada kedua lututnya. Tiba-tiba saja pedangnya pun terjatuh di tanah tanpa disentuh oleh tongkat baja Sekar Mirah. Kedua tangannya pun menutup wajahnya ketika Nyi Dwani itu menangis.

    “Bunuh aku Nyi Lurah. Jangan hinakan aku seperti ini.”

    “Nyi Dwani,” Sekar Mirah justru mendekatinya. Sambil berjongkok di sisinya Sekar Mirah itu merangkul sambil berkata, “Jangan sesali diri sendiri. Kau harus menimbang persoalan yang kau hadapi dengan hati yang bening.”

    Nyi Dwani tidak menjawab. Tetapi isaknya telah membuat dadanya menjadi sakit

    Dalam pada itu, Ki Saba Lintang yang bertempur melawan Agung Sedayu, sempat melihat apa yang terjadi atas Nyi Dwani. Ia tidak pasti, apa yang dilakukan oleh Sekar Mirah. Yang dilihatnya adalah, Sekar Mirah itu telah berjongkok di sisi Nyi Dwani.

    Dengan gelisah Ki Saba Lintang masih bertempur melawan. Agung Sedayu. Namun akhirnya ia tidak dapat menahan diri. Tiba-tiba saja ia telah berkata kepada kepercayaannya yang bersamanya bertempur melawan Agung Sedayu, “Tahan orang ini! Aku akan melihat, apa yang telah terjadi dengan Nyi Dwani.

    Ki Saba Lintang tidak menunggu jawaban. Ia pun dengan serta-merta telah meloncat meninggalkan Agung Sedayu. Sambil mengacu-acukan tongkat baja putihnya ia berlari ke arah Nyi Dwani dan Sekar Mirah.

    Sekar Mirah tidak menduga, bahwa Ki Saba Lintang berlari ke arahnya ia terkejut ketika ia mendengar suara Agung Sedayu yang berteriak, “Mirah. Hati-hati!”

    Sekar Mirah pun segera bangkit Tetapi Ki Saba Lintang telah menjadi terlalu dekat Bahkan Ki Saba Lintang telah mengayunkan tongkat baja putihnya.

    Dengan tangkasnya Sekar Mirah menangkis serangan itu. Tetapi justru karena tergesa-gesa sementara Ki Saba Lintang mengayunkan tongkat baja putihnya dengan ancang-ancang yang cukup serta dilambari dengan segenap kekuatannya maka ketika benturan terjadi, tongkat baja putih Sekar Mirah telah terlepas dari tangannya

    Sekar Mirah terkejut Ia harus berbuat sesuatu. Ia tidak mungkin melawan Ki Saba Lintang tanpa senjata.

    Karena itu, maka dengan serta-merta Sekar Mirah telah memungut pedang Nyi Dwani.

    Ternyata Nyi Dwani tidak menghambatnya. Bahkan seakan-akan ia menyerahkan pedangnya itu kepada Sekar Mirah.

    Ki Saba Lintanglah yang kemudian menyerang Sekar Mirah. Dijulurkannya tongkatnya ke arah dada. Sementara Sekar Mirah menangkis serangan itu, Ki Saba Lintang pun berteriak kepada Nyi Dwani, “Ambil Tongkat baja putih itu. Cepat!”

    Tetapi Nyi Dwani tidak segera bangkit. Sehingga sekali lagi Ki Saba Lintang berteriak, “Nyi Dwani, cepat! Kita kuasai Nyi Lurah untuk memaksa Ki Lurah menghentikan perlawanan.”

    Tetapi tiba-tiba saja terdengar suara, “Tongkat inikah yang kau maksud?”

    Jantung Ki Saba Lintang berdenyut semakin cepat. Ketika ia berpaling, maka dilihatnya Glagah Putih berdiri tegak sambil memegang tongkat baja putih itu di tangan kanannya dan ikat pinggang kulit di tangan kirinya.

    Ki Saba Lintang berdiri termangu-mangu sejenak. Ia sadar, bahwa Glagah Putih itu pun berilmu sangat tinggi. Apalagi di hadapannya berdiri Sekar Mirah, sementara Nyi Dwani seakan-akan sudah tidak berdaya sama sekali.

    Sejenak Ki Saba Lintang termangu-mangu. Di sekitarnya pertempuran masih berlangsung. Empu Wisanata setiap kali harus berloncatan mundur untuk mengambil jarak dari lawannya, sedangkan Carang Werit nampaknya juga mengalami kesulitan menghadapi lawannya. Seorang perempuan yang oleh Carang Werit disebut dengan Srigunting Kuning yang putih.

    Orang yang bertubuh tinggi besar dan bersenjata bindi yang bergerigi yang kemudian telah bertempur melawan Sabungsari harus mengerahkan ilmunya pula. Tenaganya yang sangat besar, ternyata tidak mampu dengan cepat menundukkan lawannya. Bindinya yang besar dan bergerigi itu terayun-ayun mengerikan. Tetapi Bindi itu sama sekali tidak mampu menyentuh subuh Sabungsari. Dengan tangkasnya Sabungsari menghindar dan menangkis serangan itu. Meskipun Sabungsari tidak dengan serta-merta membenturkan senjatanya tetapi setiap kali jika Sabungsari tidak sempat menghindar, maka ia menepis bindi yang bergerigi itu menyamping.

    Betapapun besar kekuatan orang bertubuh raksasa itu, namun semakin lama tenaganya mulai menyusut

    Hal itu disadari oleh orang bertubuh raksasa itu. Karena itu selagi tenaganya masih terhitung utuh, ia pun telah menghentakkan kekuatannya. Bindinya berputar dengan cepat terayun-ayun mengerikan. Kemudian terjulur ke arah perut

    Sabungsari terkejut mendapat serangan yang demikian derasnya. Betapapun ia berusaha untuk menangkis dan menghindar, namun putaran bindi yang bergerigi itu serasa selalu memburunya, sehingga beberapa kali Sabungsari meloncat surut

    Sabungsari menjadi gelisah. Ia tidak mendapat kesempatan sama sekali untuk menembus putaran bindi itu. Bahkan jika ia menangkis ayunan bindi yang sangat kuat itu, telapak tangannya terasa menjadi sakit Sementara itu, kesempatan menghindar pun menjadi semakin sempit

    Sabungsari pun mengerahkan tenaga dalamnya. Kekuatannya pun menjadi seakan-akan berlipat Namun orang bertubuh raksasa itu pun memiliki kekuatan tenaga dalam yang terlalu besar pula. Sehingga setiap kali Sabungsari mengalami kesulitan.

    Ketika Sabungsari mencoba menggapai dada lawannya dengan senjatanya, maka justru putaran bindi orang bertubuh raksasa itu melibatnya. Dengan cepat ia meloncat surut Sementara itu, orang bertubuh raksasa itu telah memburunya. Bindinya terjulur lurus mengarah ke lambung Sabungsari.

    Dengan tangkasnya Sabungsari menghindar. Tetapi sentuhan yang tipis saja, ternyata telah mengoyak kulit Sabungsari.

    Sabungsari menggeram, namun ia tidak sempat berbuat banyak. Bindi orang bertubuh raksasa itu telah terayun dengan derasnya menyambar ke arah keningnya

    Tidak ada kesempatan untuk menghindar. Karena itu, maka Sabungsari pun telah menangkis serangan itu dengan senjatanya.

    Namun ternyata kekuatan orang itu demikian besarnya sehingga benturan yang terjadi telah menghanyutkan senjata Sabungsari yang tidak mampu dipertahankannya. Senjata Sabungsari itu terpelanting jatuh di tanah.

    Sabungsari sendiri terkejut ketika tangannya bagaikan menyentuh bara. Dengan serta-merta Sabungsari meloncat mengambil jarak.

    Beberapa orang yang melihat bahwa senjata Sabungsari terlepas menjadi berdebar-debar. Tetapi masing-masing masih terikat dengan lawan mereka sehingga mereka tidak dapat membantu Sabungsari yang kehilangan senjatanya.

    Agung Sedayu dan Glagah Putih juga melihat bahwa senjata Sabungsari terlepas. Namun ketika mereka melihat Sabungsari sempat meloncat mengambil jarak, maka mereka tidak lagi menjadi sangat tegang.

    Dalam pada itu, orang bertubuh raksasa itu tertegun sejenak. Namun kemudian orang itu pun tertawa berkepanjangan. Seperti seekor kucing yang melihat seekor tikus yang tidak berdaya orang itu bergeser selangkah maju. Kemudian di sela-sela suara tertawanya orang itu berkata, “Berjongkoklah dan tempatkan dirimu sebaik-baiknya. Pilihlah cara yang terbaik untuk mati. Apakah aku harus meremukkan kepalamu, atau menghancurkan tulang belakangmu atau mematahkan tengkukmu. Bindiku yang besar ini bergerigi sehingga bekas sentuhannya dapat kau bayangkan sendiri. Tetapi justru karena itu, maka kau akan segera mati.”

    Sabungsari memandang orang itu dengan tenang. Ketika orang itu selangkah maju, maka Sabungsari pun melangkah surut selangkah pula

    “Jangan menyesali nasibmu yang buruk. Jika kau sudah membayangkan akibat yang paling buruk yang dapat kau alami.”

    Sabungsari tidak menjawab. Tetapi ia pun segera bersikap menghadapi saat-saat terakhir dari pertempurannya melawan orang bertubuh raksasa itu.

    Orang bertubuh raksasa itu masih saja tertawa. Beberapa orang berilmu tinggi yang bertempur dalam arena pertempuran itu ikut tersenyum melihat Sabungsari yang melangkah surut beberapa langkah jika orang bertubuh raksasa itu bergeser maju.

    “Kau tidak akan dapat lari. Bayangkan bahwa kepalamu akan aku remukkan dengan bindi ini. Kemudian aku akan melakukan hal yang sama kepada kawan-kawanmu sehingga orang yang terakhir.”

    Sabungsari tidak menjawab. Dipandanginya wajah bengis orang bertubuh raksasa itu. Diamatinya dengan seksama setiap lekuk dan garis di wajah itu. Namun kemudian tatapan mata Sabungsari turun ke dadanya. Bajunya yang terbuka memamerkan dadanya yang bidang dengan bulu-bulu yang lebat.

    Ketika orang itu tertawa, maka Sabungsari pun menggerakkan giginya

    “Tunduklah pada nasib buruk yang akan menimpamu,” geram orang bertubuh raksasa itu. Bindinya pun kemudian terangkat tinggi-tinggi. Kakinya pun terayun lebar setengah meloncat ke arah Sabungsari yang masih berdiri tegak.

    Sabungsari masih memandang dada bidang orang bertubuh raksasa itu. Beberapa orang memang menjadi cemas, bahwa Sabungsari justru tidak berbuat apa-apa. Sabungsari seakan-akan hanya terpancang pada ke-kagumannya melihat tubuh kekar lawannya itu.

    Namun orang yang berdada bidang itu terkejut. Demikian ia meloncat, maka dari mata Sabungsari yang memandangi dadanya seakan-akan meluncur seleret cahaya yang menyambar dadanya

    Orang bertubuh raksasa itu dengan cepat menyadari kesalahannya Tetapi ia tidak mempunyai waktu sama sekali untuk memperbaikinya. Ketika seleret sinar itu menjamah dadanya maka rasanya dadanya itu pun meledak.

    Orang bertubuh raksasa yang sedang mengayunkan bindinya yang mengerikan itu terlempar beberapa langkah surut Terdengar teriakannya yang nyaring seakan-akan mengguncang bukit.

    Tubuh orang itu pun terbanting jatuh. Dadanya menjadi hangus. Isi dadanya pun seakan-akan telah terbakar menjadi bara, yang kemudian menjalar lewat urat-urat nadinya ke seluruh tubuhnya.

    Namun suaranya itu kemudian terputus. Tubuh yang terpelanting itu pun kemudian, terbaring diam di tanah.

    Sabungsari masih berdiri tegak. Jantung orang-orang yang bertempur itu pun tergetar. Bukan saja Ki Saba Lintang dan para pengikutnya Tetapi para pengawal dari Klajor pun termangu-mangu menyaksikannya.

    Pertempuran di bawah bukit itu seakan-akan telah berhenti sesaat Namun beberapa saat kemudian, senjata pun segera terayun kembali. Benturan-benturan telah terjadi lagi.

    Pertempuran segera menyala kembali.

    Sejenak Sabungsari berdiri termangu-mangu. Dipandanginya tubuh orang bertubuh raksasa yang terbaring diam itu. Luka di lambung Sabungsari terasa betapa pedihnya.

    Selangkah-selangkah Sabungsari pun bergeser maju. Ternyata belum ada seorang pun yang menyerangnya Para pengikut Ki Saba Lintang masih merasa ngeri melihat apa yang baru saja terjadi. Orang yang bertubuh raksasa dan bersenjata bindi yang mengerikan itu berilmu tinggi. Namun seperti sebatang pisang yang ditebas, ia jatuh berguling dan tidak mampu untuk bangkit kembali.

    Sabungsari pun kemudian telah memungut pedangnya kembali. Ketika kemudian ia memandang berkeliling, maka dilihatnya Glagah Putih pun masih berdiri tegak sambil menjinjing ikat pinggangnya Sementara itu, di tangan kanannya ia menggenggam tongkat baja putih Sekar Mirah yang terpelanting jatuh.

    Dalam pada itu, dalam ketegangan yang semakin memuncak, serta pertempuran yang sengit seorang yang berkumis lebat, bermata sempit, telah meloncat berlari langsung menuju ke tempat Rara Wulan bertempur melawan pengikut Ki Saba Lintang. Dalam keadaan letih, Rara Wulan masih mampu mempertahankan dirinya menghadapi lawannya

    Namun orang berkumis lebat dan bermata sempit itu nampaknya seorang yang sangat berbahaya. Di tangannya tergenggam sebilah pedang yang tidak terlalu panjang.

    Glagah Putih terkejut melihat orang yang berlari itu. Ia pun segera menyadari, bahwa orang itu ingin menguasai Rara Wulan dan mempergunakannya sebagai perisai untuk memaksa orang-orang yang berusaha membebaskan Rara Wulan itu menghentikan pertempuran.

    Glagah Putih pun dengan segera berlari pula. Ia belum sempat menyerahkan tongkat baja putihnya kepada Sekar Mirah.

    Tetapi jaraknya terlalu jauh. Glagah Putih akan terlambat jika ia harus mencegat orang itu. Karena itu, maka sambil berlari Glagah Putih telah menyelipkan tongkat itu di punggungnya, kemudian mengalungkan ikat pinggangnya di lehernya.

    Glagah Putih hanya mempunyai waktu sangat pendek. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia justru berhenti. Diacukannya tangannya dengan telapak tangannya menghadap ke arah orang yang sedang berlari sambil mengayun-ayunkan pedangnya.

    Sekali lagi terdengar teriakan yang menggetarkan udara Tanah Perdikan Menoreh.

    Seleret sinar meluncur dari telapak tangan Glagah Putih menyambar orang yang sedang berlari sambil mengacu-acukan pedangnya itu sehingga orang itu pun terlempar dan terbanting jatuh di tanah yang berbatu padas.

    Sekali lagi pertempuran di bawah bukit itu seakan-akan terhenti. Orang-orang yang terlibat berpaling, memandang ke arah orang yang terlempar dan terpelanting sambil berteriak tinggi itu.

    Rara Wulan pun terkejut Ia pun sempat berpaling dan menyaksikan orang itu bagaikan terbakar, terkapar diam di tanah.

    Ki Saba Lintang menyaksikan hal itu dengan darah yang bagaikan mendidih. Tetapi ia sadar sepenuhnya, jika pertempuran itu diteruskan, maka akibatnya sangat pahit baginya.

    Karena itu, maka Ki Saba Lintang yang menyadari akan kenyataan yang terjadi itu pun segera membunyikan isyarat. Isyarat yang kemudian disahut oleh beberapa orang pengikutnya.

    Dalam pada itu, Agung Sedayu dan sekelompok orang yang bersamanya bertempur di bawah bukit itu pun mendengar isyarat yang saling menyahut itu. Mereka sudah menduga apa yang telah terjadi.

    Namun ternyata para pengikut Ki Saba Lintang telah melakukan gerakan yang mampu mengacaukan medan. Mereka pun serentak bergerak dengan tanpa irama. Bukan saja orang-orang yang berilmu tinggi, tetapi semua orang yang berada di arena pertempuran itu.

    Para pengawal dari Klajor memang menjadi anak bingung. Bahkan yang lain pun telah disibukkan dengan gerakan-gerakan yang membingungkan. Mereka berlari-lari bersilang, saling berpapasan. Sekali-sekali sambil mengayunkan senjata mereka sementara yang lain berteriak-teriak.

    Sementara itu, Ki Saba Lintang berusaha mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya Ditariknya lengan Nyi Dwani sambil berdesis, “Kesempatan bagi kita Marilah kita menyingkir dari medan ini.”

    Nyi Dwani yang lemah itu memang berusaha bangkit berdiri. Tetapi ia tidak mampu melangkah dengan tangkas, sehingga Ki Saba Lintang pun harus membimbingnya.

    Sekar Mirah yang berdiri beberapa langkah dari mereka memang berusaha untuk mencegahnya. Tetapi ia tidak membawa tongkat baja putihnya. Ketika Sekar Mirah itu berusaha menyerang Ki Saba Lintang dengan pedang milik Nyi Dwani yang dipegangnya, maka serangannya itu tidak banyak berarti. Bahkan ketika Sekar Mirah mengayunkan pedang itu dengan sekuat tenaganya sementara Ki Saba Lintang juga membenturnya dengan sekuat tenaga maka pedang itu pun telah menjadi patah. Dua kekuatan yang dilambari dengan tenaga dalam itu sangat besar, serta benturan yang keras dan langsung, telah menimbulkan beban yang tidak terpikul oleh pedang Nyi Dwani yang berada di tangan Sekar Mirah.

    Sekar Mirah meloncat surut Sementara itu, Ki Saba Lintang yang untuk sesaat melepaskan Nyi Dwani telah menariknya dan membawanya berlari di saat medan menjadi kacau.

    Dengan sisa tenaga yang ada Nyi Dwani berusaha untuk dapat lari bersama Ki Saba Lintang. Sementara itu medan masih tetap kacau. Sekar Mirah merasa ragu untuk mengejarnya. Apalagi selelah pedangnya patah. Ketika Sabungsari bergerak menyusulnya, maka Sekar Mirah berteriak, “Sabungsari. Jangan kau serang dari jarak jauh. Nanti kau dapat mengenai Nyi Dwani.”

    Sabungsari tertegun. Ia tidak mendengar suara Sekar Mirah karena hiruk-pikuk pertempuran. Bahkan beberapa orang pengikut Ki Saba Lintang pun berteriak-teriak pula.

    Karena itu, maka Sabungsari terpaksa berlari mendekatinya. Ketika Sekar Mirah mengulangi pesannya, maka Nyi Dwani yang berlari bersama Ki Saba Lintang itu pun menjadi semakin jauh.

    Dalam pada itu, beberapa saat kemudian Agung Sedayu dan sekelompok orang yang bersamanya serta para pengawalnya dari Klajor telah berhasil menguasai keadaan. Beberapa orang pengikut Ki Saba Lintang berhasil melarikan diri. Namun beberapa orang yang lain, telah gagal Sementara Agung Sedayu tidak memerintahkan para pengawal untuk mengejar.

    Empu Wisanata memang tidak berniat untuk melarikan diri. Karena itu, maka ia masih saja berdiri berhadapan dengan Ki Jayaraga. Namun keduanya telah berhenti bertempur.

    Sementara itu, orang yang menyebut Carang Werit ternyata tidak mampu menghadapi orang yang disebutnya Srigunting Kuning yang putih itu. Ketika keadaan menjadi tenang, maka tubuhnya telah terkapar di tanah. Sementara itu, sepasang pedang Nyi Wijil ternyata telah basah oleh darah.

    Kecuali yang terbunuh dan melarikan diri, beberapa orang justru telah menyerah. Terutama para pengikut Ki Saba Lintang yang tidak mempunyai bekal ilmu yang cukup.

    Anak muda kepercayaan Ki Saba Lintang yang bertahan bertempur melawan Agung Sedayu ketika Ki Saba Lintang meninggalkannya untuk menolong Nyi Dwani, sempat melarikan diri. Sebenarnya Agung Sedayu tidak terlalu sulit untuk memburunya tetapi Agung Sedayu harus memperhatikan keadaan Sekar Mirah pula. Karena itu, ketika keadaan mereda Agung Sedayu sudah berdiri di sisi Sekar Mirah, sehingga Sekar Mirah sendiri terkejut karenanya.

    Demikianlah, maka sejenak kemudian, pertempuran benar-benar telah terhenti. Beberapa orang telah menjadi tawanan. Sedangkan yang lain terbunuh dan terluka parah.

    Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat Empu Jayaraga melemparkan senjatanya.

    “Aku sudah letih dan bahkan jemu dengan permintaan buruk Ki Saba Lintang.”

    “Tetapi Nyi Dwani berusaha melarikan diri bersamanya,” sahut Ki Jayaraga

    Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Matanya yang cekung memandang ke kejauhan. Tetapi tidak satu pun yang dilihatnya selain kabut.

    “Ternyata aku benar-benar tidak dapat mengendalikan anakku,” desis Empu Wisanata

    “Sudahlah Empu,” berkata Ki Jayaraga kemudian, “masih ada banyak kemungkinan.”

    Rara Wulan yang sudah dibebaskan dari cengkeraman Ki Saba Lintang, serta telah diselamatkan nyawanya oleh Glagah Putih, hampir saja kehilangan kendali, ketika ia melihat Glagah Putih berjalan mendekatinya. Hampir saja ia berlari memeluknya. Untunglah bahwa ia pun segera menyadari dirinya, bahwa sebagai seorang gadis, ia tidak melakukannya, karena sampai saat itu Glagah Putih masih belum mempunyai hubungan apapun dengan dirinya

    Meskipun demikian, ketika Glagah Putih itu berdiri di hadapannya, maka Rara Wulan tidak lagi dapat menahan air matanya

    “Aku mengucapkan terima kasih Kakang.”

    “Sudahlah,” berkata Glagah Putih, “bersyukurlah kepada Yang Maha Agung yang telah memberikan jalan kepada kami untuk membebaskanmu dari tangan-tangan orang jahat itu.”

    Rara Wulan mengangguk kecil. Dengan suara yang tertelan bersama tangisnya ia menjawab lirih, “Ya Kakang.”

    Glagah Putih pun kemudian telah membimbing Rara Wulan mendekati Sekar Mirah yang berdiri di sebelah Agung Sedayu. Nyi Wijil telah menyarungkan sepasang pedangnya, sementara Ki Wijil pun melangkah di sisi anak laki-lakinya. Di belakangnya berjalan Sabungsari bersama pemimpin pengawal dari Klajor. Sementara itu, para pengawal yang lain telah mengikat para tawanan yang akan dibawa ke padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.

    Setelah segala sesuatunya dibenahi, maka Agung Sedayu pun telah memerintahkan para pengawal dari Klajor untuk menguburkan para pengikut Ki Saba Lintang yang terbunuh. Namun seorang pengawal dari Klajor yang telah gugur, akan dibawa ke padukuhan induk.

    “Biarlah para pemimpin pengawal dari tanah perdikan ini nanti menemui orang tuanya,” berkata Agung Sedayu, “Aku berdiri juga akan menemuinya nanti setelah aku memberikan laporan kepada Ki Gede.”

    Demikianlah, maka Agung Sedayu bersama beberapa orang yang datang bersamanya telah mendahului para pengawal yang akan mengantar seorang kawannya yang gugur ke padukuhan induk. Namun Glagah Putih, Sabungsari dan Sayoga akan bergabung dengan para pengawal itu. Sementara itu, para pengawal yang lain akan menguburkan para pengikut Ki Saba Lintang yang terbunuh dan terluka parah. Mereka akan membawa orang-orang yang terluka ke banjar padukuhan. Para pengawal Klajor sendiri dan para pengikut Ki Saba Lintang. Namun para pengikut Ki Saba Lintang yang tertawan dan masih mampu berjalan, akan di bawa ke padukuhan induk bersama seorang pengawal Klajor yang gugur.

    Namun Glagah Putih masih harus menunggu kedatangan para bebahu padukuhan Klajor untuk menyampaikan beberapa pesan dari Agung Sedayu.

    Untuk pengamanan lebih lanjut, maka Glagah Putih telah minta dua orang pengawal untuk menyampaikan peristiwa ini kepada padukuhan terdekat untuk mendapatkan bantuan pengawalan.

    “Pakailah kudaku dan kuda Sabungsari,” berkata Glagah Putih, “aku menunggu di sini sambil menunggu dahulu memberitahukan kepada orang tua pengawal yang gugur itu, sebelum para pemimpin pengawal tanah perdikan dan Kakang Agung Sedayu sendiri datang menemui mereka.”

    Hari itu Tanah Perdikan Menoreh menjadi sibuk. Agung Sedayu bersama beberapa orang telah langsung menghadap Ki Gede untuk melaporkan apa yang terjadi di bawah bukit

    “Kami mohon maaf Ki Gede, bahwa kami telah langsung mengambil langkah-langkah sebelum melaporkan kepada Ki Gede. Bahkan kami telah mempergunakan pengawal dari Klajor sehingga seorang dari mereka telah gugur. Agaknya tiga atau empat orang terluka cukup berat dan lebih dari tujuh orang terluka ringan.”

    Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, “Jika Ki Lurah harus minta persetujuanku lebih dahulu, maka persoalannya tidak akan selesai. Baiklah. Biarlah Prastawa dan beberapa orang pengawal pergi ke tempat kejadian.”

    “Terima kasih, Ki Gede. Aku sendiri juga akan kembali ke tempat itu. Aku memang akan mengajak Prastawa untuk menemui orang tua pengawal yang gugur, yang nanti akan dibawa ke banjar tanah perdikan. Aku mohon Ki Gede memperkenankan pengawal itu mendapat ke-hormatan dari tanah perdikan ini.”

    “Tentu aku tidak akan berkeberatan,” jawab Ki Gede, “anak itu telah mengorbankan dirinya untuk menegakkan harga diri tanah perdikan ini. Aku tahu, bahwa Ki Lurah merasa segan, karena persoalannya seakan-akan menyangkut keluarga Ki Lurah. Tetapi jika seseorang saja dari keluarga tanah perdikan ini disakiti, maka kita semuanya akan ikut merasakannya.”

    “Terima kasih, Ki Gede,” Agung Sedayu pun mengangguk hormat Demikianlah, setelah Agung Sedayu memperkenalkan Ki Wijil dan Nyi Wijil, maka mereka pun segera minta diri. Sementara itu Agung Sedayu sendiri akan pergi bersama Prastawa ke Klajor untuk menemui orang tua pengawal yang telah gugur serta keluarga mereka yang terluka berat dan ringan.

    Menjelang senja, kesibukan di tanah perdikan baru mereda, Prastawa telah mengirimkan beberapa orang pengawal untuk tetap berada di Klajor. Bukan saja ikut membantu merawat orang-orang yang terluka, biar para pengawal Klajor sendiri maupun para pengikut Ki Saba Lintang, tetapi juga mengamati keadaan. Memang mungkin sekali Ki Saba Lintang membawa pengikut-pengikut lebih banyak untuk mengambil kawan-kawannya. Namun jika demikian yang dilakukannya, maka Tanah Perdikan Menoreh sudah menjadi lebih bersikap. Pengawal yang ada di Klajor cukup banyak. Kecuali para pengawal dari padukuhan induk, beberapa orang pengawal dari dua padukuhan terdekat pun telah berada di Klajor pula. Sementara itu, mereka akan dapat membunyikan isyarat jika keadaan memang memaksa, sehingga akan datang kekuatan yang lebih besar karena padukuhan-padukuhan yang lain pun telah bersikap pula menghadapi, segala kemungkinan.

    Malam itu, Ki Wijil dan Nyi Wijil bermalam di rumah Agung Sedayu. Sedangkan Glagah Putih. Sabungsari dan Sayoga berada di banjar untuk ikut mengawasi beberapa orang tawanan.

    Seorang di antara mereka yang tidak berada di banjar adalah Empu Wisanata. Ternyata Empu Wisanata juga dipersilakan berada di rumah Agung Sedayu.

    Malam itu, beberapa orang yang berada di rumah Agung Sedayu itu tidak dapat tidur. Tetapi mereka masih berbincang di ruang dalam sampai menjelang tengah malam.

    Namun mereka pun terkejut ketika tiba-tiba saja Sukra masuk ke ruang dalam dengan wajah yang tegang. Dengan terbata-bata ia pun berkata, “Ki Lurah, seorang perempuan mencari Nyi Lurah.”

    “Seorang perempuan?” bertanya Agung Sedayu.

    “Ya,” jawab Sukra, “Di mana orang itu sekarang?”

    “Di belakang. Agaknya ia tidak memasuki halaman rumah ini lewat regol depan. Tetapi meloncati dinding.

    “Mirah,” desis Agung Sedayu.

    Sekar Mirah termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian segera bangkit berdiri. Rara Wulan yang ikut duduk bersama mereka pun telah bangkit pula

    Tetapi Agung Sedayu tidak membiarkan berdua saja. Tetapi Agung Sedayu pun telah mengikuti mereka di belakang.

    Ketika mereka keluar lewat pintu butulan, maka mereka pun terkejut. Mereka melihat Nyi Dwani berdiri dengan termangu-mangu dalam kegelapan.

    “Nyi Dwani,” desis Sekar Mirah.

    Nyi Dwani tidak segera menjawab. Tetapi nampak ketegangan yang sangat telah mencengkamnya.

    Dengan tergesa-gesa Sekar Mirah pun mendekatinya dan kemudian membimbingnya masuk ke ruang dalam lewat pintu butulan. Rara Wulan berdiri tegak, sementara Agung Sedayu bergeser ke samping memberi jalan kepada Sekar Mirah dan Nyi Dwani lewat.

    Kehadiran Nyi Dwani mengejutkan orang-orang yang berada di ruang dalam. Mereka pun serentak bangkit berdiri. Empu Wisanata berkata agak gugup, “Dwani? Apa yang terjadi?”

    Nyi Dwani tidak segera menjawab. Sekar Mirah pun kemudian menempatkannya duduk di ruang dalam itu bersama beberapa orang yang lain. Empu Wisanata dengan gelisah duduk di sebelahnya.

    “Ambilkan minuman, Rara,” berkata Sekar Mirah kemudian.

    Rara Wulan pun segera pergi ke dapur untuk mengambil semangkuk minuman.

    Nyi Dwani pun kemudian minum beberapa teguk.

  27. Whadhuh, kula trimah sabar kemawon


Tinggalkan Balasan ke banuaji Batalkan balasan