Buku III-97

297-00

Telah Terbit on 11 Juli 2009 at 00:23  Comments (182)  

The URI to TrackBack this entry is: https://adbmcadangan.wordpress.com/buku-iii-97/trackback/

RSS feed for comments on this post.

182 KomentarTinggalkan komentar

  1. suwun kitabipun dan selamat malam meinggu

    • ki Parto, saya rencana mau ke Denmark, nanti bisa mampir ki?

      • maksudnya mampir kemana Ki?
        ke HH ?
        kalau yan silahkan asal sebelum tgl. 17 Juli

  2. maturnuwun gubraaakkknya nyi…

    • …jebul wis diwedar…meh wae aku ngulik2/

      suwun nyi…wikenan mbok maringi bonus tho nyi…mangke tak kasih hadiah…

      tak gendong..kemana-mana

      asyik tho..enak tho…gratis tho…tinimbang naek sepur…okeh kedadean…hiks

      • Kula dados mbayangaken Ki Pandanalas kados mbah Surip.

        He he …

        • hiks…

          • sugeng dalu Ki

          • sugenk ndalu ugi…

            niki rodho nanggung je ki….
            perange mpun munthub2,…kitabe malah mung munthub2….

            • mboten kok Ki.
              Perang agengipun taksih dangu, meniko nembe penjajagan.
              Kados wonten wayang meniko lho Ki, Jejer-perang-jejer-goro2-perang malih.
              wah… dados spoiler.
              Ngapunten Nyi, namung supados para cantrik mboten penasaran.

          • bengi2 turu neng bangko…..
            bangkone ambruk katiban klopo..

            bengi2 malah tambah sako…
            nggawe ati kerontho-rontho…

            matur suwun spoilere ki…namung kirang jangkep kemawon, taksih nenggo pinten episode ki.. perang Mataram vs Pati

            • hiks…..

              sabar ki, tunggu tanggal mainnya, ingkang jelas ngantos jatah Ki Jogotirto telas taksih dereng perang.
              nanging inggih wonten crita ingkang seru, kangge nenggo perang.

              sampun ah, niku wonten Nyi Seno mbeto gitik, dipun athungaken kula.

  3. Matur nuwun Nyi Seno.
    Satu malam ngunduh dua kitab. Pancen ADBM oye.

  4. kalo di jogya jati anom-sangkal putung daerah mana ????
    bukit menoreh juga

    • di lampung , kab kalianda rasanya semua desa yang ada di kitab adbm ada semua namanya, malah desa agung sedayu pun ada!!
      namnya daerah trans, ya suka2 mereka lah kasih nama

  5. Hatur nuhun …

  6. terima kasih Ki …. bisa untuk bacaan malam minggu.

  7. Terima kasih atas kitabnya ….

    • sugeng rawuh..sugeng ndalu mbah Surip…

  8. doc nya udah nyampe, rims

  9. Menanti 298

  10. Ingkang badhe ronda, monggo.., sampun jam 11.

    Kula pamit rumiyin, mboten alasan lho.

    Nembe wangsul dados among tamu wonten mantenan, ngagem beskap, jaritan, blangkonan, awit jam gangsal ngantos jam sanga niki wau.

    Cuapek puolll, ngantuk. Nbenjang enjing, tugas nganter si wuragil MOS SMA3 Malang jam 6.00.

    • monggo ki…ndereaken…
      mangke tak kentunke dumatheng ki WDR…

  11. Tak tik tok tak tik.

    Bangun bangun bangun, rondane saiki beda karo biyen.Malam mimgguan kopine lali ra tuku ,nganglang sik nang padukuan sebelah.Padukuhan sebelah lagi nanggap wayang, lakone Togog jadi mBilung , soale saiki okeh sing ngono …. (ra wani nglanjutke mengko ga di arani rasialis ).

    Sugeng dalu para Ki sanak sedanten

    Gandok 298 ndereng di buka, lewih becik tumbas kacang goreng , nggo bekal nonton wayang wonten padukuhan sebelah.

    Tak tik tok tak tik tok kaping 298 kali.

    Suwun

    • sugenk ndalu…
      badhe pamit rumiyin….
      mbenjang jam 06.30 kedah mruput uthuk2…
      ngrencangi rencang kulo engkang badhe tindakan teng pategalan….

      • monggo ki pandanalas….
        giliran ronda kulo niki…

  12. terima kasih kitabnya, sampun diunduh nyi

  13. mtr nuwun…

  14. Matur nuwun kitabipun. nadyan kerinan sampun diunduh.

  15. trims….

    (he..he..he.. kok kaya’nya nganyelke tenan ya… sudah capek-capek ngurusin padepokan, tanggapannya cuma: “trims….”)

  16. Maturnuhun-maturnuhun-maturnuhun,

  17. Malem Ki,
    tolong dong cerita adbm 296 dan seterusnya dTulis dLembaran coment kayak yg sebelumnya 295-294,dst setiap buku dLontar..
    Biar adbmers yg baca pake hp dapat ikut mengikuti,terima kasih dan mohon maaf atas saran ini jika tdk berkenan..

  18. Matur sembuh nuwun
    n
    Kamsia

  19. Matur Nuwun……..
    Absen Hadir Sekalian Ngunduh Kitab

  20. API DI BUKIT MENOREH SERI III Kitab 297 PADA hari pertama, kedua pasukan yang besar dari Mataram dan Pati seakan-akan masih tetap dalam keseimbangan. Kedua Senapati Agung dari kedua pasukan itu masih belum langsung turun ke medan. Keduanya masih mengendalikan pertempuran dari kepala gelar me¬reka masing-masing. Meskipun korban telah berjatuhan di kedua belah pihak, tetapi kekuatan kedua pasukan itu rasa-rasanya masih belum menjadi surut Sampai saatnya matahari turun, maka pertempuran masih bergelora dengan garangnya. Namun kedua belah pihak terikat oleh kesadaran untuk menepati tatanan perang yang berlaku, ketika matahari kemudian turun kebalik pegunungan, maka kedua belah pihak telah bersiap-siap untuk meng¬hentikan pertempuran. Mereka tidak dapat dengan serta merta menun¬dukkan senjata mereka. Bagaimanapun juga, mereka masih harus te¬tap berhati-hati. Betapapun jantannya hati seorang prajurit, namun mereka mungkin saja sulit mengekang diri pada saat-saat yang paling menentukan, meskipun sangkakala sudah mengumandang menggetar¬kan udara medan pertempuran. Namun akhirnya Panembahan Senapati dan Kangjeng Adipati Pragola dari Pati telah memerintahkan pasukannya untuk mundur dari garis benturan yang seakan-akan tidak bergeser dari tempatnya sejak pertempuran itu terjadi. Namun pada saat-saat terakhir, ternyata ujung cambuk Swandaru masih mampu menggapai lengan lawannya sesaat sebelum sangkakala mengumandang diatas medan. Lengan itu telah terkoyak dan darahpun mengalir dengan derasnya. Swandaru memang menjadi sangat kecewa, bahwa ia tidak mem¬punyai lebih banyak kesempatan. Demikian lawannya terdorong surut dan terhuyung-huyung, maka dua orang prajurit Pati telah menangkap tubuh itu dan membawanya hilang tertelan oleh gelombang para praju¬rit yang bertaut seperti air yang disibakkan oleh badan biduk yang me¬luncur diwajah air itu. Tetapi Swandaru tidak sempat memburu dengan menembus la¬pisan prajurit yang menakup dihadapan Senapati yang terluka itu, sementara pertempuran seakan-akan telah terhenti. Kedua pasukan bergerak mundur kearah yang berlawanan. – Jika saja sangkakala itu tidak menyelamatkan nyawanya — ge¬ram Swandaru. Ketika malam turun, maka seperti yang terjadi disebelah Utara Mataram, disebelah Timur Kali Code, maka beberapa kelompok pra¬jurit dari kedua belah pihak telah menelusuri bekas medan pertem¬puran. Kelompok-kelompok prajurit dan pengawal yang mencari korban yang telah jatuh selama pertempuran berlangsung. Seperti juga disebelah Utara Mataram, maka kelompok-kelompok prajurit yang berpihak Mataram dan Pati sama sekali tidak saling mengganggu. Mereka justru saling membantu menemukan korban dari kedua belah pihak. Ketika malam menjadi semakin dalam dan pekerjaan mereka su¬dah hampir selesai, maka Agung Sedayu yang ikut berada di bekas medan itu sempat duduk berbincang dengan seorang Lurah Prajurit dari Pati. – Anakku semuanya sebelas orang dan masih kecil-kecil ~ kata Lurah Prajurit dari Pati itu. Hampir diluar sadarnya ia bertanya kepada Agung Sedayu — berapakah anak Ki Sanak ? Ki Sanak adalah seorang Lurah Prajurit yang terhitung masih muda. — Agung Sedayu menggeleng. Katanya dengan nada berat – Aku belum mempunyai seorang anakpun ? — – O, apakah Ki Sanak belum berkeluarga ? — bertanya orang itu. – Sudah. Sudah agak lama. Adikku sudah mempunyai seorang anak yang manis. Yang tumbuh dengan suburnya dan nampaknya akan menjadi anak yang kokoh. Adikku juga ada di barisan Mataram sekarang ini – jawab Agung Sedayu. Orang itu menarik nafas panjang. Katanya — Jika besok kita ber¬tamu di medan, dan aku berhasil membunuhmu, maka yang menangi¬simu hanya seorang isteri saja. Tetapi jika kau yang berhasil membu¬nuhku, maka seorang isteri dan sebelas orang anak akan menangisi aku. Bukan sekedar menangisi, tetapi bayangan masa depan mereka akan buram. Dua belas buah mulut yang selama ini aku suapi, akan ke¬hilangan sumbernya. Meskipun orang-orang di bumi Pati akan mena¬burkan setumpuk kembang dialas makamku sekalipun, namun anak-anakku akan menjadi seperti sebelas ekor anak burung yang menetas dari telurnya, tetapi induknya yang pergi mencari makan tidak sempat pulang. — Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian bertanya — Jadi apakah hanya sedangkal itu landasan Ki Sanak untuk turun ke medan perang ? — Orang itu tertawa. Katanya — Tidak. Tentu tidak. Ada landasan cita-cita yang besar dan luhur. Perjuangan mencari satu tatanan baru diatas bumi Pati dan Mataram. Bumi yang pernah diberikan kepada dua orang saudara seperguruan dari Kangjeng Sultan Pajang. Namun yang hubungannya kemudian menjadi pincang karena ketamakan Pa¬nembahan Senapati. – Orang itu mengangkat tangannya sambil, ber¬kata – jangan membantah lebih dahulu. Aku tahu bahwa sudut pan¬danganmu sebagai prajurit Mataram tentu berbeda. Kau tentu tidak akan mengatakan bahwa Panembahan Senapati adalah seorang yang tamak. Tetapi kau tentu akan mengatakan bahwa Kangjeng Adipati Pragolalah yang tamak dan tidak tahu diri dihadapan saudaranya yang lebih tua. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia menelan kembali kata-katanya yang siap dilontarkanya. – Namun bagaimanapun juga, Ki Sanak. Ada dua dunia yang ter¬pisah. Aku sebagai seorang pejuang atas suatu cita-cita bersama dan aku sebagai pilar satu kehidupan keluarga. — ia terdiam sejenak, lalu, — Mungkin aku pahlawan dari satu sisi dari kedua duniaku itu, tetapi justru sampah pada sisi yang lain. – Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak membantah kata-kata prajurit Pati itu. Sementara itu, maka agaknya tugas kelompok-kelompok yang mencari korban yang jatuh disepanjang bekas medan pertempuran itu sudah selesai. Karena itu, maka Lurah Prajurit Pati itupun berkata -Selamat malam Ki Sanak. Aku besok akan turun ke medan sebagai seorang prajurit sejati. Ingat. Aku dapat saja membunuhmu atau seba¬liknya kau membunuhku. Kita akan menjadi seorang pahlawan dari satu perjuangan atas satu cita-cita. Satu tatanan baru bagi dalam hu¬bungan keluarga besar Pati dan keluarga besar Mataram. – – Apakah tatanan baru itu tentu menjadi lebih baik ? – bertanya Agung Sedayu. – Menurut sisi pandang kita masing-masing – jawab orang itu te¬tapi jika kita masih tetap berdiri pada cita-cita semula, maka tatanan baru dihadapkan akan menjadi lebih baik menurut penilaian kewa¬jaran. — Agung Sedayu tersenyum. Katanya – Aku hargai sikapmu. Ter¬nyata kau tidak duduk dibawah tempurung yang menelungkup. Prajurit Pati itu mengerutkan dahinya. Namun iapun tersenyum sambil mengeluarkan tangannya. Agung Sedayu menyambut tangan itu sambil berkata – Selamat malam. – – Selamat malam – jawab Lurah Prajurit dari Pati itu – meskipun aku seorang prajurit, tetapi lebih senang jika perang tidak terjadi. – Agung Sedayu mengangguk. Katanya – Mudah-mudahan anak cucu kita kelak akan menemukan satu jaman dimana perang akan tidak dikenal lagi. — – Satu mimpi yang indah – desis prajurit Pati itu. Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya – Ya. Tetapi bu¬kankah kita berharap bahwa mimpi itu menjadi Daradasih. – – Mudah-mudahan – Lurah Prajurit Pad itu tersenyum — anak cucu kita tidak mengalami perang seperti yang kita alami sekarang. Pengalaman yang sangat pedih. Menang atau kalah. – Tetapi tiba-tiba Agung Sedayu terbanting kedalam masalah pri¬badinya — Ya, anak cucumu. — Prajurit Pati itu menepuk bahu Agung Sedayu – Pada saatnya kau akan mempunyai seorang anak laki-laki yang gagah seperti kau. Kita akan berdoa bersama-sama, agar anak-anak kita tidak akan pernah ber¬temu di medan perang. – – Bukankah kita bermimpi bahwa di masa depan akan datang jaman dimana perang tidak dikenal lagi ? – Keduanya tertawa. Dua orang Lurah prajurit dari pasukan yang saling bermusuhan. Namun betapa asamanya tawa itu sendiri. Demikianlah, keduanya berpisah kembali ke perkemahan masing-masing. Namun keduanya berharap, bahwa mereka besok ti¬dak bertemu di medan perang yang akan membakar dataran di sebelah Barat Kali Dengkeng itu. Ketika Agung Sedayu sampai di perkemahan, maka ia telah men¬dapat perintah-perintah apa yang harus dilakukannya esok pagi. Pa¬nembahan Senapati telah mengambil keputusan bahwa besok pasukan Mataram akan turun kembali ke medan tanpa menghiraukan, apakah Pati akan memasang gelarnya lagi atau tidak. – Jika Pati tidak keluar dari bentengnya, maka kita akan mema¬suki benteng itu. – Tetapi pada saat yang sama Pati juga memutuskan untuk melepas pasukannya dalam gelar yang sama. Tetapi apa yang terjadi dalam dua kali benturan kekuatan, menjadi bahan penyusunan kekuatan dihari yang akan datang. – Kita jangan memberi kesempatan kepada pasukan Mataram untuk menghindarkan diri dari silaunya matahari pagi – perintah Kangjeng Adipati Pad — meskipun seandainya garis perang bertahan cahaya matahari menjelang senja. Tetapi perubahan-perubahan akan dapat terjadi selama pertempuran berlangsung. — Para Senapati Pati mengangguk-angguk. Mereka menyadari, meskipun nampaknya tidak terlalu penting, tetapi silaunya cahaya ma¬tahari pagi akan sangat berpengaruh atas ketajaman penglihatan praju¬rit Mataram. Jika pada benturan pertama prajurit Mataram akan meng¬alami kesulitan, maka untuk seterusnya, para prajurit Mataram akan mengalami goncangan-goncangan. Malam itu, para prajurit Pati dan Mataram yang akan turun ke medan berusaha untuk dapat beristirahat sebaik-baiknya. Agung Se-dayupun telah beristirahat pula. Swandaru yang mengetahui bahwa Agung Sedayu bertugas di bekas medan pertempuran, maka ia tidak datang mencarinya. Tetapi Swandaru yang kecewa karena tidak sem¬pal menyelesaikan pertempuran, telah berbaring sejak malam turun. Ia menugaskan beberapa orang pengawal untuk mencari para pengawal Sangkal Putung yang mengalami cidera dan gugur dalam pertem¬puran. Didini hari, maka para prajurit Mataram dan Patipun telah mulai mempersiapkan diri. Ketika asap di dapur mulai mengepul, para praju¬rit mulai berbenah diri pula. Mereka melihat kembali senjata senjata mereka. Yang senjatanya rusak atau patah, telah mendapatkan yang baru. Agung Sedayu telah mulai bersiap-siap pula. la sempat menilik prajurit-prajuritnya kelompok. Agung Sedayu sempat memberikan peringatan-peringatan dan pesan-pesan yang bukan saja membesarkan hati para prajuritnya, tetapi juga memberikan beberapa pilihan yang dapat mereka lakukan di medan pertempuran. Beberapa saat sebelum keseluruhan pasukan Mataram itu diper¬siapkan dalam gelar, maka Swandaru sempat mengunjungi Agung Se¬dayu. Seperti biasanya ia memberikan beberapa pesan kepada kakak seperguruannya itu sambil menceriterakan kekecewaannya, karena ia tidak sempat menyelesaikan lawannya sampai tuntas. Orang itu tidak akan berani menemui aku lagi di mesan – berkata Swandaru – jika besok pagi ia muncul lagi, maka aku yakin, ia tidak akan sempat keluar lagi dari medan pertempuran. — Agung Sedayu hanya mengagguk-angguk saja. Tetapi ia percaya bahwa adik seperguruannya itu mempunyai kelebihan dari seorang Senapati Pati. Tetapi Swandaru tidak terlalu lama berbicara dengan Agung Se¬dayu, karena pasukan Mataram segera dipersiapkan langsung dalam gelar sebelum pasukan itu mulai bergerak. Hari itu, baik Mataram maupun Pati tidak merubah gelar yang te¬lah dipergunakan. Mataram dengan gelar Garuda Nglayang sementara Pati menggunakan gelar Supit Urang. Beberapa saat kemudian, maka Panembahan Senapati telah memberikan isyarat kepada para Panglima pasukannya untuk bersiaga sepenuhnya. Isyarat yang pertama, maka pasukan harus sudah berada didalam barisan dari kesatuan masing-masing dan siap memasuki ge¬lar sesuai dengan tempat yang di tentukan bagi mereka. Ketika kemudian oleh petugas penghubung diberikan isyarat yang kedua, maka setiap kesatuan segera berada didalam gelar dan siap untuk bergerak. Isyarat yang ketiga pertanda bahwa gelar Garuda Nglayang dari pasukan Mataram itu mulai bergerak ke medan pertem¬puran. Sebagaimana pasukan Mataram, maka pasukan Patipun telah bergerak pula. Gelar SupitUrang yang nampak garang itu merayap da¬lam keremangan cahaya fajar, menyeberangi Kali Dengkeng seperti kemarin. Menjelang fajar menyingsing, maka kedua pasukan itu sudah berhadap-hadapan. Sementara itu supit kanan dari gelar Supit Urang dari Pati telah mendapat perintah khusus, jika pasukan sayap kiri gelar Garuda Nglayang dari Mataram bergerak mundur, maka supit sebelah kanan jangan merasa mampu mendengar lawan, karena gerak mundur itu hanyalah cara orang-orang Mataram untuk menghindarkan diri dari silaunya cahaya matahari. Demikianlah, maka ketika fajar menyingsing, maka kedua pasu¬kan itupun segera bertemu. Dua gelar perang yang melebar, menebar diatas kotak-kotak sawah tanpa menghiraukan tanaman yang tumbuh diatasnya. Apalagi tanaman itu memang sudah rusak sejak pecah per¬ang gelar sebelumnya. Ketika malam menjelang pertempuran itu Kangjeng Adipati Pati mendapat laporan, bahwa persedian bahan pangan sudah menjadi se¬makin tipis, sementara para prajurit yang bertugas untuk menambah persediaan bahan pangan itu mengalami itu lebih cepat selesai. Jika Pati dapat memecahkan gelar perang pasukan Mataram, maka pasukan Pati akan dengan cepat meluncur langsung menuju ke Mataram. – Kita akan memasuki dinding Kota Mataram. Kita tidak akan kekurangan apa-apa lagi. – berkata Kangjeng Adipati Pati. Para Panglimanya memang sependapat. Jika mereka memasuki dinding kota Mataram, memang tidak akan kekurangan apa-apa lagi. Tetapi untuk memasuki dinding kota itu diperlukan hentakan kekuatan yang sangat besar. Namun merekapun sependapat, jika pertahanan ge¬lar Mataram dalam pertempuran di sebelah Kali Dengkeng itu dapat dipatahkan, maka pertahanan jiwani pasukan Mataram tentu sudah ter-koyakkan pula. Sehingga mereka tidak akan mampu bertahan terlalu lama lagi. Dalam pada itu, maka Kangjeng Adipati Pati itupun berkata pula — Hari ini aku akan langsung turun kedalam pertempuran. Aku tidak perlu menunggu lagi, apakah Panembahan Senapati sendiri akan meli¬batkan diri atau tidak. – Para Panglima prajurit Pati itu memang sudah menduga, bahwa Kangjeng Adipati yang ingin menyelesaikan perang dengan cepat itu, akan segera turun sendiri ke gelanggang. Meskipun demikian, mereka menjadi berdebar-debar pula. Ke¬putusan Kangjeng Adipati untuk langsung ikut serta bertempur itu, seolah-olah memang merupakan keputusan hukuman mati bagi pasu¬kan Mataram, meskipun seandainya Panembahan Senapati sendiri tu¬run ke medan. Karena itu, ketika pasukan Pati mulai bergerak, maka Kangjeng Adipati telah menempatkan seorang Panglimanya yang sangat berpe¬ngalaman untuk mengendalikan gelar Supit Urang itu jika Kangjeng Adipati sendiri telah terlibat langsung di garis benturan kedua ke¬kuatan yang besar itu. Gemuruh pasukan telah menggetarkan udara. Beberapa langkah menjelang benturan, maka kedua pasukan telah mengambil ancang-ancang, sementara supit sebelah kanan pasukan Pati tidak akan terpan¬cing jika sayap kiri gelar lawan memancing mereka untuk membuat garis benturan tidak tepat menyilang sinar matahari. Sesaat kemudian, maka benturan kedua kekuatan itupun telah ter¬jadi. Benturan dua kekuatan yang bukan saja besar, tetapi juga kemam¬puan tinggi. Panembahan Senapati masih memperingatkan agar pasukannya berusaha untuk tidak menentang bahaya matahari yang sedang terbit. Tetapi Panembahan Senapatipun memperingatkan, bahwa cara yang pernah ditempuh sebelumnya tidak akan dapat dipergunakannya lagi, karena pasukan Mataram adalah sekedar satu cara yang telah direnca¬nakan. Bukan karena pasukan Mataram itu tidak mampu bertahan pada benturan pertama. Karena itu, maka jalan yang ditempuh oleh pasukan Mataram jus¬tru menghentak di sayap kanannya. Adalah diluar dugaan pasukan Pati, maka dalam benturan yang terjadi, sayap sebelah kanan dari Gelar Garuda Nglayang itu telah mengerahkan segenap kemampuannya. Bahkan para prajurit yang se¬harusnya berada dibelakang garis benturan. Pasukan Pati memang terkejut. Karena itu. supit sebelah kirinya justru telah terguncang dan terpaksa bergerak surut Namun dengan cepat supit sebelah kiri itu memperbaiki kedudukan mereka. Para Senapati prajurit Pati memang cukup berpengalaman. Ka¬rena itu, dalam waktu singkat maka supit sebelah kiri itu telah mapan kembali, sehingga keseimbanganpun segera dicapai. Tetapi pada saat itu pula para Senapati Pati menyadari, bahwa hentakan kekuatan disayap kanan gelar perang prajurit Mataram ada¬lah sekedar pendahuluan untuk menghindari silauannya cayaha mata¬hari pagi yang tajam. Namun hal itu telah terjadi. Sementara prajurit Mataram tetap berusaha bertahan pada kedudukan itu. Yang terjadi kedudukan adalah pertempuran yang sengit Hentakkan-hentakkan kemampuan para prajurit mewarnai medan per¬tempuran. Para prajurit tidak saja mengandalkan kemampuan mereka dalam perang gelar. Tetapi kemampuan mereka secara pribadi ikut menentukan akhir dari pertempuran itu. Di sayap kiri Swandaru memang menjadi kecewa, bahwa ia tidak bertemu lagi dengan Senapati yang telah dilukainya. Yang kemudian berdiri dihadapannya adalah seorang prajurit yang bagi Swandaru ter¬asa agak aneh. Prajurit yang dihadapinya itu seakan-akan terlepas dari ikatan gelar disekitarnya. Agaknya ia hadir dipertempuran sengaja ingin bertemu denan anak Demang Sangkal Putung yang bernama Swandaru. Ketika orang itu berhasil berhadapan dengan Swandaru, orang itu berkata – Kaukah yang bernama Swandaru ? Seorang pengawal Kade-mangan yang bersenjata cambuk ? – – Ya – jawab Swandaru — kau siapa ? Kau tidak pantas disebut seorang prajurit Meskipun kau memakai pakaian prajurit tetapi kau tidak mengenakannya dengan mapan. ~ Orang itu tertawa. Katanya – Penglihatanmu memang tajam. Aku sebenarnya bukan seorang prajurit. Tetapi aku ditempatkan di an¬tara para prajurit. Aku mendengar bagaimana kau melukai seorang Se¬napati dengan senjata cambukmu. Karena itu, aku ingin melihat, siapa¬kah sebenarnya anak Demang yang bersenjata cambuk itu. ~ Siapa namamu dan kedudukanmu yang sebenarnya ? — – Sebenarnya aku adalah salah seorang yang bertugas memeli¬hara pusaka-pusaka Kangjeng Adipadi Pati. Tetapi rasa-rasanya tidak pantas aku duduk bertopang dagu di istana Pati, sementara Kangjeng Adipati berada di medan pertempuran. Karena itu, aku mohon untuk diperkenankan ikut dalam gelar ini. — – Siapa namamu ? – bertanya Swandaru. Orang itu tertawa. Katanya – Baiklah. Di duniamu yang baru kau akan dapat mengingat namaku. Orang memanggilku Ki Ajar Terepan Nah, sekarang bersiaplah untuk mati. Kau sudah mengetahui namaku, pekerjaanku dan niatku untuk dengan sengaja menemuimu. – ~ Bagus ~ sahut Swandaru ~ bersiaplah Ki Ajar. Kita akan mem¬bual satu perbandingan ilmu. — Ki Ajar Terepan itu mengerutkan dahinya. Katanya – Kau me¬mang seorang yang berani. Kau sama sekali tidak gentar menghadapi lawan yang betapapun tinggi ilmunya. — – O – Swandaru tersenyum – apakah kau berilmu tinggi. – – Aku sudah mendengar tentang ilmu cambukmu dari Senapati yang kau lukai kemarin. Karena itu, kau tentu dapat menduga, bahwa tanpa ilmu yang tinggi, aku tidak akan datang menemuimu sekarang ini. — Swandaru hanya mengangguk-angguk saja. Tetapi ia tidak berbi¬cara lagi. Perlahan-lahan ia mulai menggerakkan cambuknya. Lawannya, Ki Ajar Terepan menggenggam sebuah tombak pen¬dek. Ketika tombak itu mulai bergetar, maka mata tombak yang kehitam-hitaman itu seakan-akan berkeredipan. Swandaru melihat pertanda itu. Iapun sadar, bahwa lawannya itu tentu seorang yang berilmu tinggi. Tetapi Swandaru justru menjadi se¬makin bergairah. Ia memang ingin menunjukkan bahwa ia mampu me¬nandingi orang-orang berilmu tinggi. Sejenak kemudian keduanya telah terlibat dalam pertempuran yang sengit Ujung tombak Ki Ajar Terepan berputar dengan cepat Bergerak mendatar namun kemudian mematuk dengan cepatnya kea-rah dada. Namun serangan itu urung karena cambuk Swandaru telah menggeliat menyambar kearah leher lawannya. Ki Ajar meloncat surut ketika ia mendengar cambuk Swandaru meledak seakan-akan memecahkan daun telinga. Namun kemudian Ki Ajar itupun berkata—Kau tidak usah bermain kuda-kudaan lagi Ki Sa¬nak. Aku sudah mendengar dari Senapati yang kau lukai, bahwa kau memiliki ilmu cambuk yang tinggi. Swandaru tidak menjawab. Namun cambuknyalah yang meng¬hentak dengan cepat Tetapi sama sekali tidak terdengar hentakkan yang memekakkan telinga. Bahkan cambuk itu seolah-olah tidak menggelepar sama se¬kali. Yang terdengar tidak lebih dari sebuah gesekan halus yang lemah. Namun Ki Ajar Terepan itu melenting sekali lagi surut Sambil mengangguk-angguk ia berkata – Ternyata Senapati itu tidak ber¬mimpi. Kau benar-benar memiliki ilmu cambuk yang dahsyat sekali He, dari siapa kau mewarisi ilmu cambukmu itu ? — – Tentu saja dari guruku — jawab Swandaru. – Siapa gurumu itu ? — bertanya Ki Ajar Terepan pula. – Orang menyebutnya, Orang Bercambuk — jawab Swandaru. – Setan kau – geram orang itu — tentu orang bercambuk. Siapa namanya ? Swandaru mengerutkan dahinya. Ia tidak senang mendengar orang itu mengumpat Dengan garangnya ia berkata — Kau tidak ber¬hak membentak dan mengumpati aku. Kau boleh bertanya siapakah guruku, tetapi dengan cara yang lebih baik. – – Persetan dengan gurumu — berkata Ki Ajar Terepan – siapapun gurumu, kau akan mati hari ini. — Swandaru tidak menjawab. Tetapi cambuknyalah yang mengge¬liat menggapainya. Tetapi Ki Ajar Terepan memang tangkas pula. Ujung cambuk itu sama sekali tidak menyentuh kulitnya. Bahkan dengan cepat pula orang itu melenting. Tombaknya menggelapar disatu tangannya yang menebas mendatar menyambar kearah lambung. Namun Swandarupun sempat meloncat menghindar pula, se¬hingga serangan itu tidak mengenainya. Demikianlah, pertempuranpun berlangsung semakin sengit. Para Senapati yang sering bertemu dan berhadapan telah bertempur dengan sengitnya. Dalam pada itu, maka Kangjeng Adipati yang sudah berniat un¬tuk langsung terjun ke pertempuran telah memanggil Panglimanya yang memang sudah ditunjuk untuk menggantikannya memegang kendali pertempuran. – Sudah waktunya aku turun ke medan. Aku berhadap bahwa Pa¬nembahan Senapati berani bersikap jantan dengan menyongsong ke¬hadiranku. Di medan pertempuran seperti ini akan menjadi arena yang paling wajar untuk menguji, siapakah yang lebih baik diantara aku dan Panembahan Senapati. Dengan demikian, maka akan ditentukan pula siapakah yang paling berhak untuk memerintah sepeninggal Kangjeng Sultan Hadiwijaya di Pajang. Panembahan Senapati di Mataram atau Adipati Pragola di Pati. — Demikianlah, maka Kangjeng Adipati bersama dua orang Sena¬pati pengapitnya telah bergerak langsung ke garis benturan perang ke¬dua gelar yang besar itu. Ketika pertempuran antara kedua belah pihak menjadi semakin sengit disaat matahari naik semakin tinggi, maka Kangjeng Adipati Pragola telah menghentak medan perang. Kehadirannya memang su¬dah direncanakan, sehingga para prajurit Pati telah mengetahui sebe¬lumnya, bahwa Kangjeng Adipati akan langsung terjun ke gelang¬gang. Meskipun demikian, setiap jantung prajurit Pati masih juga berdebar-debar menyaksikan pemimpin tertinggi mereka langsung bertempur di medan yang sangat keras itu. Bagi prajurit Mataram, kehadiran Kangjeng Adipati Pragola me¬mang agak mengejutkan. Rasa-rasanya Kangjeng Adipati Pati itu me¬mang agak mengejutkan. Rasa-rasanya Kangjeng Adipati Pati itu ter¬lalu cepat turun langsung kelidah api pertempuran. Tetapi itu sudah terjadi. Para Senapati yang berfungsi diujung pa¬ruh gelar Garuda Ngalayang, langsung berhadapan dengan Kangjeng Adipati Pati. Para Senapati itu memang menjadi berdebar-debar. Sebagian dari mereka melihat, bagaimana Kangjeng Adipati itu melumpuhkan Pa¬ngeran Adipati Anom sehingga menjadi pingsan. Untunglah bahwa pada waktu itu, para Senapati bertindak cepat, sehingga Pangeran Adi¬pati Anom sempat diselamatkan. Namun kini yang memimpin pasukan Mataram bukan Pangeran Adipati Anom. Tetapi Panembahan Senapati sendiri. Seorang yang memiliki ilmu yang seakan-akan tidak dapat dijajagi. Namun para Senapati Mataram masih belum dengan serta merta menyerahkan perlawanan terhadap Kangjeng Adipati Pati itu kepada Panembahan Senapati. Dua orang Senapati yang berada di ujung paruh gelar Garuda Nglayang mencoba untuk menahan gerak maju Kang¬jeng Adipati Pragola, sementara beberapa orang prajurit telah ber¬usaha untuk menahan para Senapati pengapitnya. Tetapi usaha itu akan sia-sia. Kangjeng Adipati Pragola yang ga¬rang itu telah bertempur dengan kemampuan yang sangat tinggi, sehingga sulit untuk dapat menahannya. Seorang Senapati yang dengan berani menyerang dengan ujung tombak, terkejut Ia menduga bahhwa Kangjeng Adipati Pragola yang sibuk menghadapi beberapa orang prajurit itu tidak sempat menghin¬dari serangan tombaknya, karena Kangjeng Adipati tidak menghindar dan tidak menangkis serangannya itu. Namun tiba-tiba terasa tubuh¬nya terpelanting. Tombaknya terlepas dari tangannya. Barulah ia sadar, bahwa Kangjeng Adipati Pragola telah menjepit ujung tombaknya itu diantara tangan dan tubuhnya. Dengan hentakan yang keras Kangjeng Adipati memutar tubuhnya. Dengan hentakan yang keras Kangjeng Adipati memutar tubuhnya, sehingga Senapati yang memegang tombak itu terlempar. Ketika orang itu berusaha untuk bangkit maka ia sudah mengha¬dapi serangan seorang prajurit Pati yang garang. I lampir saja pedang prajurit Pati itu menebas lehernya. Namun Senapati Mataram itu sem¬pat menjatahkan diri lagi dan berguling mengambil jarak. Beruntunglah bahwa tangannya sempat menggapai sehelai pe¬dang yang tergeletak didekatnya, sehingga ketika ia kemudian melon¬cat bangkit, maka ia telah menggenggam senjata ditangannya. Namuan dalam pada itu, seorang Senapati yang lain telah meng¬aduh tertahan. Sebuah goresan luka telah mengoyak pundaknya, se¬hingga Senapati itu terhuyung-huyung beberapa langkah surut Kehadiran Kangjeng Adipati Pragola bersama dua orang Sena¬pati pengapitnya ternyata telah mengguncang ketahanan ujung paruh gelar Garuda Nylayang dari Mataram. Akhirnya para Senapati Mataram tidak dapat membiarkan keadaan itu terlalu lama. Ketika seorang Senapati lagi terbanting jatuh dan harus diangkat kebelakang garis perang dalam keadaan yang membahayakan, sementara seorang prajurit yang berusaha menolong¬nya justru terluka parah pula, maka kehadiran Kangjeng Adipati Pati bersama dua orang Senapati pengapitnya itu telah dilaporkan kepada Panembahan Senapati. Panembahan Senapati yang memang melihat goncangan di paruh gelarnya, menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Kangjeng Adipati Pragola benar-benar telah menantangnya. Karena itu, maka Panembahan Senapati itupun segera memper¬siapkan diri untuk turun langsung ke medan pertempuran. Kepada penghubung yang memberikan laporan tentang keha¬diran Kangjeng Adipati Pragola, Panembahan Senapati telah menanyakan tentang kedua orang Senapati pengapitnya. — Seorang berjanggut keputih-putihan. Sedikit gemuk bersenjata tongkat berwarna perunggu bersisik putih. Sedangkan seorang lagi bertubuh raksasa bergelang kayu berwarna hitam dan bersenjata tom¬bak pendek berkait ~ jawab penghubung itu. Panembahan Senapati menarik nafas dalam-dalam. Kepada Ki Patih Mandaraka iapun bertanya — Bukankah keduanya guru adimas Adipati Pati ? Naga Sisik Salaka dan Ki Gede Candra Bumi ? – — Ya. Aku yakin bahwa kedua orang itu memang Ki Naga Sisik Salaka dan Ki Gede Candra Bumi. – jawab Ki Patih Mandaraka. — Siapakah yang pantas untuk menahan keduanya sementara aku berhadapan dengan adimas Adipati Pragola ? Mangkubumi atau siapa menurut paman ? – — Para Pangeran itu berada didalam tugas mereka masing-masing yang tentu sulit untuk ditinggalkan. — – Jadi ? – – Aku akan menemui orang tua yang tidak tahu diri itu. Biarlah aku mencoba untuk membujuk Naga Sisik Salaka. — – Ki Gede Candra Bumi ? – – Aku mohon, Panembahan memanggil Agung Sedayu. — – Ki Lurah Agung Sedayu ? — bertanya Panembahan Senapati. — ia masih terlalu muda untuk menghadapi Ki Gede Candra Bumi. Ingat, Ki Gede Candra Bumi itu adalah guru adimas Adipati Pragola dari Pati. – – Tetapi kemampuan Kangjeng Adipati Pragola itu dihimpunnya dari beberapa orang gurunya sehingga seandainya sekarang ini Kang¬jeng Adipati Pragola harus bertempur melawan Ki Gede Candra Bumi, maka Ki Gede tentu akan mengalami kesulitan. Ilmu yang dimiliki Ki Gede Candra Bumi dan kemudian diluangkan kepada Kangjeng Adi¬pati Pragola, hanya merupakan sebagian saja dari perbendaharaan d-munya. Sementara itu, Anak mas Panembahan mengetahui sendiri, ke-dalam ilmu yang dimiliki oleh Agung Sedayu. Ilmunya yang masak yang diwarisinya dari orang Bercambuk, kemudian ilmunya yang disadapnya dari kitab yang dipinjamnya dari Ki Waskita, ilmu yang disadapnya dari getar ketajaman angan-angannya sendiri sendiri benar-benar merupakan ilmu murni yang di¬hadirkannya dalam dunia kanuragan serta kemampuannya yang justru tidak diketahui darimana datangnya. Ia kebal dan mampu mempenga¬ruhi daya bayang lawannya tentang dirinya sehingga ia mampu mem¬buat dirinya seakan-akan menjadi lebih dari seorang. Selebihnya ia ta¬war dari segala macam racun dan bisa. — Panembahan Senapati yang mengenal Agung Sedayu sejak lama, bahkan telah pernah melakukan petualangan bersama, mengenal Agung Sedayu dengan baik. Tetapi umurnya yang lebih muda dari Pa¬nembahan Senapati sendiri, memberikan kesan kurang meyakinkan untuk menghadapi Ki Gede Candra Bumi. Tetapi keterangan Ki Patih Mandaraka membuat Panembahan Senapati menjadi mantap. Karena itu, maka katanya—Baik. Aku akan turun ke medan bersama dua orang Senapati pengapit Paman Patih Mandaraka dan Ki Lurah Agung Sedayu. Aku akan langsung berada di paruh gelar Garuda Nglayang untuk menghadapi adimas Adipati Pra¬gola yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. — — Tetapi ilmu Panembahan rasa-rasanya tidak terbatas. — — Apakah ada seseorang dilingkup langit ini yang memiliki ke¬mampuan tidak terbatas ? — — Memang tidak ada Panembahan. Tetapi aku ingin mengatakan, bahwa ilmu yang Panembahan miliki tidak kalah tingginya dari ilmu yang dimiliki oleh Kangjeng Adipati Pragola. ~ Dalam pada itu, maka seorang penghubung telah mendapat perin¬tah untuk memanggil Ki Lurah Agung Sedayu. Ia harus menyerahkan pimpinan Pasukan Khususnya kepada Senapati yang dipercayanya, karena Ki Lurah Agung Sedayu akan menjadi salah seorang Senapati Pengapit dari Panembahan Senapati. Tugas itu merupakan satu kehormatan yang besar bagi Agung Se¬dayu. Tetapi Agung Sedayupun menyadari, bahaya yang dapat mener¬panya. Senapati pengapit Kangjeng Adipati Pragola tentu seorang yang berilmu sangat tinggi. Demikianlah, sejenak kemudian, maka Panembahan Senapati benar-benar telah mempersiapkan dirinya. Ia akan turun ke medan un¬tuk menjawab tantangan adik iparnya, Kangjeng Adipati Pragola dari Pati. Langit yang cerahh jernih itu tiba-tiba telah disaput awan. Mata¬hari yang memanjat kepuncak langit menjadi pudar. Seakan-akan ingin berlindung dibalik mega-mega kelabu karena menjadi silau oleh kehadiran Panembahan Senapati dan Adipati Pragola itu. Para prajurit Matarampun segera menyibak ketika mereka melihat Panembahan Senapati bersama dua orang Senapati pengapit¬nya turun ke medan. Bahkan beberapa orang tidak dapat lagi menahan gejolak perasaannya, setelah beberapa saat mereka menyaksikan, be¬tapa Kangjeng Adipati dengan dua orang Senapati pengapitnya telah mengguncang paruh gelar perang pasukan Mataram. Kedatangan Panembahan Senapati itupun langsung disambut oleh Kangjeng Adipati Pragola. Dengan suara yang bergetar Kangjeng Adipati Pragola dari Pati itupun berkata – Selamat datang di medan kakangmas. Sayang aku tidak dapat memberikan sambutan lebih baik dari ini. — Panembahan Senapati tersenyum. Dipandanginya adik iparnya itu sejenak. Kemudian dipandanginya kedua Senapati pengapit Kang¬jeng Adipati itu. Untuk sesaat pertempuran disekitar kedua orang pe¬mimpin tertinggi Mataram dan Pati itu seakan-akan terhenti meskipun dibagian yang lain, pertempuran masih berlangsung dengan dahsyat¬nya. — Terima kasih atas sambutanmu itu dimas. Kau tidak perlu me¬nyambut kedatanganku dengan berlebihan. – — Sudah sejak beberapa hari aku menunggu — berkata Kangjeng Adipati Pati. — Aku sudah mengirimkan Pangeran Adipati Anom untuk mewa¬kili aku. Ia telah menemui adimas dan menyampaikan pesanku jawab Panembahan Senapati. Tetapi Kangjeng Adipati Pragola tertawa. Katanya — Anak itu terlalu sombong. Ia tidak tahu diri dengan siapa ia berhadapan. – — Aku minta maaf bagi anak itu, adimas. — berkata Panembahan Senapati kemudian. —Tidak apa-apa kakangmas. Tidak apa-apa. Aku juga tahu watak anak-anak muda, karena akupun pernah muda pula. — — Terima kasih adimas — desis Panembahan Senapati. Namun Kata-kata Panembahan Senapati terputus oleh suara Ki Naga Sisik Salaka yang seakan-akan bergulung-gulung diperutnya -Baktiku bagi Panembahan Senapati yang Agung. — Panembahan Senapati tersenyum. Katanya — Terima kasih paman Naga Sisik Salaka. – — Juga kepada Ki Juru Martani yang bergelar Adipati Manda¬raka, pepatih Mataram yang bijaksana. Ki Patih Mandaraka tertawa pendek. Katanya – Kau masih saja suka bergurau Ki Naga Sisik Salaka. – Orang yang disebut Naga Sisik Salaka itu tertawa, sementara Ki Candra Bumipun berkata – Aku mengenal Panembahan Senapati dan Ki Patih Mandaraka dengan baik. Tetapi aku belum mengenal orang muda ini. — Panembahan Senapati berpaling kepada Ki Candra Bumi yang memang lebih senang berbicara langsung daripada dengan basa-basi yang baginya tidak ada artinya sama sekali itu. Dengan nada rendah Panembahan Senapati berkata – Ia adalah salah seorang Senapati pengapitku, Ki Candra Bumi. Aku sudah men¬dapat laporan, bahwa Kangjeng Adipati Pati hadir di medan bersama dua orang Senapati Pengapitnya diantara para prajurit pilihan. Nah, karena itu aku juga datang bertiga. Aku, Ki Patih Mandaraka yang tua dan orang muda itu. Ia adalah Ki Lurah Agung Sedayu. Seorang Lurah prajurit dari Pasukan Khususku. — – Wah ~ Ki Candra Bumi mengangguk-angguk—demikian ting¬gikah ilmunya — sehingga anak ingusan itu harus tampil di medan se¬bagai seorang Senapati Pengapit Panembahan Senapati dari Mataram ? Apakah karena Mataram memang sudah kehabisan orang berilmu tinggi sehingga Ki Juru Martani yang pikun dan anak yang baru mampu berdiri tegak itu harus menjadi Senapati pengapit ? — – Ki Mandarakan memang ingin bermain-main lagi dengan Ki Naga Sisik Salaka. Kedua-duanya memang sudah pikun. Aku juga ingin melihat, apa saja yang dapat dilakukan oleh orang-orang pikun. Sedangkan Ki Lurah Agung Sedayu adalah kawan bermainku sejak mudanya. — Wajah Ki Candra Bumi berkerut Namun kemudian ia berkata -Bagus. Bagus. Jika aku mendapat lawan orang-orang muda, maka aku-pun akan menjadi tegar dan muda kembali. — – Nah, kakangmas – berkata Kangjeng Adipati Pragola – kita sudah bertemu. Apakah Pangeran Adipati Anom sudah menyampai¬kan jawabanku atas pesan kakangmas ? — – Sudah. Ia sudah menyampaikannya. Iapun mengatakan bahwa ia telah pingsan di medan pertempuran melawan pamannya yang ber¬ilmu sangat tinggi. — – Aku sudah memperingatkannya agar ia meninggalkan medan. Tetapi ia justru mulai menyerang. Tetapi aku masih dapat mengekang diri. Yang mengenainya bukan mata tombakku, tetapi pangkal landean tombakku ini, sehingga kulitnya sama sekali tidak terluka. Mungkin ia pingsan. Tetapi bukankah tidak membahayakan jiwanya ? Jika seseo¬rang yang bakal menggantikan kedudukan ayahandanya, memang kuasa di Mataram. — — Terima kasih adimas, bahwa kau masih ingat kepada kemena¬kanmu itu. Pangeran Adipati Anom memang cepat kehilangan kendali diri. Ia masih muda seperti yang adimas katakan tadi, – berkata Pa¬nembahan Senapati pula. Namun kemudian katanya — Tetapi apakah benar bahwa adimas tidak mau menarik pasukan adimas sampai kese¬belan Utara Pegunungan Kendeng ? — – Memang tidak kakangmas. Aku justru ingin pergi ke Mataram — jawab Kangjeng Adipati Pragola dari Pati. Panembahan Senapati menarik nafas dalam-dalam. Ia masih mencoba untuk mengendapkan perasaannya, sementara Kangjeng Adipati Pragola itupun berkata ~ Sudah lama aku ingin mengatakan kepada kakangmas, bahwa biarlah aku saja yang memegang kepe¬mimpinan diatas tanah ini setelah Kangjeng Sultan Hadiwijaya di Pa¬jang wafat. Sejak semula aku menganggap bahwa cara kakangmas mengambil kekuasaan dari Pajang adalah tidak sah. Tetapi aku masih berharap bahwa kakangmas akan dapat mendudukkan diri sebagai seorang pemimpin yang baik. Karena itu, aku bersedia membantu ka¬kangmas. Bahkan ketika kakangmas menyerang dan menundukkan Panembahan Mas Di Madiun. Namun ternyata harapanku itu sia-sia, sehingga akhirnya aku berkeputusan untuk mengambil alih kepemim¬pinan atas Pajang dari kakangmas. – Panembahan Senapati termangu-mangu sejenak, la tidak meno¬lak seseorang menilai tentang dirinya. Apa yang telah dilakukannya dan apa yang akan dilakukannya tidak akan banyak terpengaruh oleh pendapat orang lain. Bahkan pendapat orang lain tentang dirinya akan dapat dipergunakannya untuk menjadi bahan pertimbangan atas langkah-langkah yang bakal diambilnya. Tetapi bahwa Kangjeng Adi¬pati Pati seakan-akan tanpa merenungi akibatnya demikian mudahnya berkata, bahwa ia akan mengambil alih kepemimpinan atas tanah ini dari tangannya, ternyata telah membuat jantungnya berdetak semakin cepat Karena itu, maka Panembahan Senapati itupun kemudian menja¬wab — Adimas Adipati. Sebenarnya aku tidak pernah menutup pintu bagi sebuah pembicaraan. – Namun Kangjeng Adipati Pragola segera menyahut—Kita sudah berada di tengah-tengah medan, kakangmas. — Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Katanya – Baiklah Kita sudah berada di tengah-tengah medan pertempuran. Apa boleh buat. – Panembahan Senapati memang tidak mempunyai pilihan lain. Ketika Kangjeng Adipati Pragola bergeser surut, maka panembahan Senapatipun telah melangkah surut pula. Dengan demikian, maka keduanyapun telah bersiap untuk segera bertempur. Nampaknya kedua saudara ipar itu tidak dapat menemukan jalan lain kecuali mengadu tajamnya ujung tombak. Ki Patih Mandaraka yang tua itupun segera bergeser menjauh. Ki Naga Sisik Salaka yang juga bergeser berkata – Tunggu. Eh, aku tidak dapat lagi berjalan terlalu cepat — Ki Patih Mandaraka tertawa. Katanya – Kau justru nampak men¬jadi semakin muda. Marilah, sudah lama kita tidak bergurau dengan cara yang mungkin tidak disenangi oleh anak-anak muda. – Ki Naga Sisik Salakapun segera mempersiapkan tongkatnya. Namun ia masih sempat berkata – Dahulu, aku menganggap bahwa tong¬katku ini terlalu ringan. Tetapi setelah aku menjadi semakin tua, rasa-rasanya tongkatku menjadi semakin berat — Ki Patih tertawa. Katanya – Apakah tongkatmu itu masih dapat kau pergunakan untuk membakar sampah seperti dahulu ? Jika kau ke¬dinginan didini hari, kau kumpulkan sampah, kemudian kau bakar de¬ngan hidung tongkatmu itu untuk menghangatkan diri ? – Ki Naga Sisik Salaka tertawa. Sambil mengangguk-angguk ia berkata – Sekarang sudah tidak lagi. Aku tidak pernah lagi merasa ke¬dinginan, justru karena aku sudah menjadi semakin tua. — — He, apakah sebenarnya yang akan kita lakukan sekarang ? — bertanya Ki Mandaraka. Ki Naga Sisik Salaka tiba-tiba berkata dengan sungguh-sungguh – Ki Juru Martani. Kau adalah orang yang sangat aku kagumi. Sampai sekarangpun aku menyadari, bahwa aku tidak akan pernah dapat me¬nandingi ilmumu. Tetapi kali ini aku minta tolong kepadamu agar kau sudahi tugas-tugasku disamping Kangjeng Adipati. Aku tidak tahu ke¬napa Kangjeng Adipati berubah. Semakin lama ia menjadi semakin jauh dari kakandanya, Panembahan Senapati. Aku sudah berusaha un¬tuk membujuknya. Tetapi aku tidak berhasil. — – Jadi apa maksudmu ? — bertanya Ki Patih Mandaraka. – Kita akan bertempur. Tetapi mimpiku tiga malam yang lalu te¬lah memberitahukan kepadaku, bahwa tugas-tugasku akan berakhir sekarang. — – Ah, kau selalu saja bergurau dalam keadaan apapun. Aku tahu, bahwa ilmu yang bertimbun didalam dirimu bertumpuk sampai me¬nyentuh langit — berkata Ki Patih mandaraka kemudian. – Kaulah yang masih saja bergurau. Cobalah sedikit menunjuk¬kan sedih hatimu sebagai pernyataan kesetia kawananmu, bahwa se¬bentar lagi, seorang dari sekian banyak sahabatmu akan mati dipertempuran. — – Jangan berkata begitu — sahut Ki Patih Mandaraka. Namun Ki Naga Sisik Salaka itu segera mengangkat tongkatnya dan memutarnya. Dengan nada dalam ia berkata — Marilah Ki Juru Martani. Jika kau tidak bersedia mengantar aku kedunia abadiku, maka biarlah aku yang mengantarmu. – Ki Juru tidak bertanya lagi. Tetapi iapun segera mempersiapkan diri menghadapi Ki Naga Sisik Salaka dengan senjata tongkatnya itu. Dalam pada itu, Ternyata Ki Candra Bumi justru telah lebih da¬hulu mulai menyerang Agung Sedayu. Tanpa senjata ditangan, Ki Candra Bumi meloncat menyambar kearah kening. Agung Sedayupun dengan cepat menghindar. Namun karena la¬wannya masih belum bersenjata, maka Agung Sedayupun belum mengurai cambuknya pula. Dengan garangnya Ki Gede Candra Bumi berloncatan. Tangan¬nya menyambar-nyambar dengan cepatnya. Namun Agung Sedayu¬pun mampu bergerak secepat serangan-serangan Ki Candra Bumi. – Ternyata kau bukan sekedar anak bawang, Ki Lurah – geram Ki Gede Candra Bumi. – Siapapun aku, aku akan menjalankan perintah ini sebaik-baiknya. — jawab Agung Sedayu. – Aku sebenarnya kasihan kepadamu. Kau masih terhitung muda. Tetapi perintah Panembahan Senapati kepadamu untuk menjadi Senapati pengapitnya adalah sama saja dengan jatuhnya hukuman mati. He apakah kau belum pernah mengenal namaku ? — – Sebelum aku turun menjadi Senapati pengapit Panembahan Se¬napati, belum Ki Gede. Ki Gede Candra Bumi menggeram. Serangan-serangannya sema¬kin lama menjadi semakin deras. Seperti angin yang bertiup semakin kencang mengguncang pepohonan. Tetapi pertahanan Agung Sedayu sama sekali tidak terguncang. Jantung Ki Candra Bumi semakin lama menjadi semakin panas. Lurah prajurit Mataram itu masih saja mampu mengimbangi ilmunya yang tinggi. Bahkan dengan geram ia berkata ~ He, Ki Lurah. Apakah kau tahu bahwa aku adalah salah seorang guru Kangjeng Adipati Pati ? – Aku tahu Ki Candra Bumi – jawab Agung Sedayu – Tetapi kadang-kadang seorang murid memang menjadi lebih pandai dari gu¬runya. Apalagi seorang murid yang memiliki lebih dari dua tiga orang guru. — – Kau benar. Tetapi aku adalah salah seorang diantara mereka yang membentuk Kangjeng Adipati Pragola menjadi seorang yang il¬munya tidak dapat dijajagi. Ia akan menggilas Panembahan Senapati dan merampas tahta Mataram yang dirampas oleh Panembahan Sena¬pati dari Pajang. — Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia justru meloncat menye¬rang. Ki Gede Candra Bumi melihat serangan itu. Tetapi Ki Gede Candra Bumi sengaja tidak menghindar. Ia ingin menjajagi kekuatan Ki Lurah Agung Sedayu itu. Seorang Lurah Prajurit yang telah dipa¬sang menjadi Senapati Pangapit Panembahan Senapati. Benturan yang keras telah terjadi Dua kekuatan yang besar telah beradu. Ternyata Agung Sedayu telah tergetar selangkah surut Tangan¬nya yang membentur pertahanan Ki Gede Candra Bumipun terasa menjadi nyeri. Namun Ki Gede Candra Bumipun telah terdorong surut pula. Iapun merasa nyeri pula sebagai mana Agung Sedayu. Ki Candra Bumi itupun menjadi yakin, bahwa Ki Lurah Agung Sedayu memang seorang yang memiliki kemampuan yang besar. Tetapi itu bukan berarti bahwa Senapati pengapit yang masih ter¬hitung muda itu memiliki tataran ilmu yang memadai untuk mengim¬bangi ilmunya. Ki Gede Candra Bumipun kemudian telah meningkatkan ilmunya tataran demi tataran. Ia ingin mengukur seberapa tinggi ta¬taran ilmu Senapati muda itu. Nampaknya Agung Sedayu mengerti maksud lawannya. Seba¬gaimana sifatnya, maka Agung Sedayu tidak ingin melampaui tataran-tataran Ki Gede Candra Bumi itu. Karena itu, justru Agung Sedayulah yang menyesuaikan diri dengan tataran ilmu lawannya. Dengan demikian maka pertempuran antara Ki Gede Candra Bumi melawan Ki Lurah Agung Sedayu itu menjadi semakin sengit Keduanya menjadi semakin garang, sementara ilmu merekapun me¬rambat semakin tinggi. Dalam pada itu, Ki Tumenggung Yudapamungkas telah meng¬erahkan kekuatan prajurit-prajuritnya yang ada di pangkal leher gelar perang dari Mataram itu untuk mendesak lawan. Tetapi lawan telah menyusun gelarnya lebih baik lagi, memang tidak mudah untuk digun¬cang. Sementara itu, diujung sayap, Ki Untara yang memiliki kemam¬puan yang tinggi didalam perang gelar, harus mengakui bahwa pasu¬kan lawanpun memiliki ketahanan yang tinggi pula. Sementara itu, Swandaru yang ada didalam sayap itu pula masih bertempur dengan Ki Ajar Terepan. Seorang yang memiliki ilmu yang tinggi pula. Semen¬tara itu, semakin seru pertempuran yang terjadi diantara Ki Ajar Ter¬epan melawan Swandaru, maka mata tombak Ki Ajar itu semakin berkilat-kilat Namun cambuk Swandarupun menggelepar dan kemu¬dian berputar dengan cepatnya. Tidak lagi terdengar ledakan-ledakan. Tetapi setiap hentakan yang terasa adalah getarnya yang menyentuh dada. Disayap yang lain pertempuranpun menjadi semakin sengit Ke¬tika matahari bergerak turun, maka prajurit cadangan yang berada di¬tabuh gelar perangpun mulai berkeringat. Merekalah yang kemudian bertempur dengan garangnya sementara jumlah kedua belah pihak menjadi semakin susut Tubuh para prajurit yang terluka banyak yang terbujur lintang di arena. Kawan-kawan mereka berusaha untuk membawa tubuh-tubuh itu keluar dari medan agar mereka tidak terinjak-injak kaki. Namun kadang-kadang kesempatan itu tertutup. Bahkan yang gugurpun harus dibiarkan berada ditempatnya. Para prajurit sibuk bertahan untuk tetap hidup, sementara senjatapun berputaran dimana-mana. Beberapa orang yang memiliki ilmu yang khusus, mempunyai pengaruh yang kuat disetiap bagian dari gelar perang kedua belah pi¬hak. Para Senapati dan orang-orang tertentu yang terselip dian tara para prajurit secara khusus, baik didalam pasukan Mataram, maupun pasu¬kan Pati. Ki Demang Rancak yang bergabung dengan para prajurit Mata¬ram yang berasal dari Ganjur, ternyata memiliki kelebihan yang meng¬getarkan para prajurit Pati. Tetapi di sayap yang lain, Ki Dadap Panutan, seorang pertapa di pesisir Utara harus dihadapi oleh beberapa prajurit Mataram bersama-sama karena kelebihannya. Sedangkan di pusat gelar perang dari kedua belah pihak, Panem¬bahan Senapati tengah bertempur dengan serunya melawan Kangjeng Adipati Pati. Para prajurit justru telah menyibak. Keduanya memiliki kemampuan dan ilmu yang tidak terjajagi oleh para prajurit Disebelah arena di pusat gelar itu, Ki Patih Mandaraka yang tua telah bertempur melawan Ki Sisik Salaka. Keduanya adalah orang-orang tua yang berpijak lebih banyak para ilmunya daripada dukungan kewadagan mereka. Lontaran-lontaran ilmu yang bagaikan kilat yang menyambar-nyambar dilangit Sedangkan disisi yang lain, Ki Lurah Agung Sedayu bertempur melawan Ki Gede Candra Bumi. Ternyata Ki Gede Candra Bumi se¬makin lama menjadi semakin keras. Tenaganya meningkat berlipat. Tetapi Agung Sedayupun mengimbanginya. Dikerahkannya tenaga dalamnya untuk mengimbangi kekuatan tenaga lawannya. Namun untuk mengatasi perasaan nyeri disaat benturan-benturan terjadi maka, Agung Sedayupun mulai mengetrapkan ilmu kebalnya. Dengan demikian, maka pertempuran diantara kedua orang itu menjadi semakin dahsyat. Langit masih buram ketika matahari menjadi semakin rendah di¬sisi Barat Ternyata bahwa para prajurit Mataram perlahan-lahan mu¬lai menguasai medan. Pasukan Untara disayap gelar perang pasukan Mataram beberapa kali telah mengguncang supit lawannya. Namun Untara masih belum berhasil memecahkan atau mendesak surut Mes¬kipun demikian, Untara dengan kemampuannya mengatur gelar per¬ang telah memberikan tekanan,-tekanan yang sangat berat bagi lawan¬nya. Sementara itu, Swandaru yang bertempur dengan Ki Ajar Terepan, semakin lama menjadi semakin sengit pula. Ujung tombak Ki Ajar yang berkeredipan telah mulai menyentuh pakaian Swandaru. Ketika ujung tombak itu sempat mengoyak bajunya, maka Swandaru dengan cepat meloncat mengambil jarak. Ki Ajar Terepan tidak memburunya. Ia juga ingin melihat apa¬kah ujung tombaknya sempat menggores kulit lawannya yang agak gemuk yang bertempur dengan garang itu. Tetapi ternyata Swandaru tersenyum sambil berkata—Kau hanya mampu mengoyak pakaianku. – Ki ajar Terepan menggeram. Kalanya – Jika ujung tombakku menggores seujung rambut saja, maka tidak ada obat yang dapat me¬nyelamatkan nyawamu. — Swandaru mengerutkan keningnya. Tetapi ia percaya, bahwa wa¬rangan yang tajam, memang sangat berbahaya. Goresan kecil, berani membubuhi racun pada darahnya yang akan dapat memungut nyawa¬nya. Namun dengan demikian Swandaru semakin berhati-hati. Ia me¬miliki kemampuan yang tinggi dalam ilmu cambuk. Karena itu, maka dengan ujung cambuknya ia harus tetap memelihara jarak sehingga ujung tombak lawannya itu tidak tergores pada tubuhnya. Demikianlah, maka pertempuranpun menjadi semakin sengit Ujung tombak Ki Ajar Terepan itu nampaknya tidak lagi sekedar ber¬keredipan. Tetapi nampak kilatan-kilatan cahaya yang menusuk peng¬lihatan Swandaru. Tetapi Swandaru tidak mau terpengaruhi oleh mata tombak la¬wannya. Karena itu, maka cambuk Swandaru itu berputar semakin cepat, menggelepar dan menggeliat Ujungnya sekali-sekali mematuk dengan cepat kearah dada lawannya. Tetapi Ki Ajar Terepanpun dengan cepat pula berloncatan meng¬hindari kejaran ujung cambuk Swandaru. Sekali tombaknya berputar, kemudian terjulur lurus kearah lambung. Tetapi Swandaru yang mengerti betapa garangnya racun di ujung tombak iku, tidak membiarkan kulitnya tergores sama sekali. Dengan demikian, maka kedua orang itupun bergerak semakin cepat Tetapi ujung cambuk Swandaru ternyata lebih tangkas dari ujung tombak lawannya. Karena itu, maka ketika Ki Ajar Terepan ga¬gal menusuk lambung Swandaru dan berusaha meloncat surut untuk mengambil jarak, maka ujung cambuk Swandaru sempat menyentuh pundaknya. Ki Ajar Terepan berteriak marah. Sentuhan ujung cambuk Swan¬daru telah mengoyak pundaknya. Darahpun mulai mengalir dari luka-lukanya itu. – Setan kau – geram Ki Ajar Terepan. Ternyata bukan hanya Senapati yang kemarin bertempur melawan Swandaru. Tetapi hari itu, pundaknya juga telah terluka. Dengan kemarahan yang menghentak jantungnya, maka Ki Ajar Terepan berusaha untuk membalasnya. Jika ia berhasil, maka itu ber¬arti bahwa orang yang melukai pundaknya itu akan terbunuh. Sementara itu, langitpun menjadi semakin muram. Matahari menjadi semakin rendah disisi langit sebelah Barat Agung Sedayu yang bertempur dengan Ki Gede Candra Bumi menjadi semakin sengit Keduanya telah meningkatkan ilmu mereka semakin tinggi. Serangan-serangan Ki Gede Candra Bumi yang masih saja tidak bersenjata itu, ternyata mampu menggoyahkan ilmu kebal Agung Sedayu. Ketika Ki Gede Candra Bumi menghentakkan serang¬annya dengan telapak tangannya, Agung Sedayu berusaha menangkis¬nya dengan tangannya pula. Ketika benturan itu terjadi maka Agung Sedayu merasakan getar yang mengguncang menyusuri urat-urat da¬rahnya sampai ke jantung, menyusup ketahanan ilmu kebalnya. Agung Sedayu meloncat surut. Ia bersiap untuk menerima se¬rangan berikutnya, betapa jantungnya terasa nyeri. Namun Ki Gede Chandra Bumi itu tidak memburunya. Wajahnya menjadi tegang. Ternyata benturan itupun membuatnya tergetar. Bah¬kan ilmu kebal Agung Sedayu dalam tataran yang semakin tinggi, te¬lah memancarkan udara panas pula. Ki Gede Candra Bumi menggeram. Dengan nada dalam ia ber¬kata — Luar biasa. Lurah yang masih terhitung muda ini. – Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun ia sadar, bahwa Ki Candra Bumi tentu akan meningkatkan ilmunya semakin tinggi. Dengan demikian, maka pertempuran diujung paruh gelar perang Garuda Nglayang itu benar-benar telah menyibak. Para prajurit yang bertempur disekitarnya tidak dapat mengerti dengan jelas apa yang te¬lah terjadi. Pertempuran antara Panembahan Senapati melawan Kang¬jeng Adipati Pati itu benar-benar merupakan pertempuran yang tidak dapat dimengerti. Sementara Ki Patih Mandaraka yang bertempur me¬lawan Ki Naga Sisik Salaka yang bersenjata tongkat itu, rasa-rasanya seperti dua orang yang sedang bermain-main. Mereka saling melontar¬kan ilmu mereka. Sekali-sekali mereka memang bertempur pada jarak jangkau wadagnya, namun kemudian mereka saling bergeser surut dan bertempur dari jarak beberapa langkah. Sedangkan Ki Gede Candra Bumi telah bertempur pada landasan ilmu mereka yang semakin tinggi pula. Ki Gede itu menjejak bumi, maka tiba-tiba saja anginpun seakan-akan telah bertiup dari dalam bumi. Berputaran seperti angin pusaran. Semakin lama semakin cepat dan mulai bergerak kearah Agung Se¬dayu. Agung Sedayu pernah mengalami serangan seperti itu. Karena itu, maka iapun segera mengurai cambuknya. Dengan tataran tertinggi ilmu cambuknya, maka Agung Sedayu menghadapi serangan yang mengerikan itu. Kangjeng Adipati Pati sempat melihat Ki Gede Candra Bumi menghentakkan ilmu puncaknya itu. Dengan demikian, maka Kang¬jeng Adipati sempat pula memperhitungkan, bahwa Senapati Pengapit Panembahan Senapati yang muda itu tentu memiliki ilmu yang sangat tinggi pula, sehingga Ki Gede Candra Bumi terpaksa mempergunakan ilmunya yang menggetarkan jantung itu. Para prajurit Patipun melihat pusaran angin yang membubung tinggi. Memutar dan meremas, kemudian mengangkat dan memban¬ting ketanah, apa saja yang di sentuhnya. Agung Sedayu berdiri tegak ditempatnya. Ia tidak ingin meloncat menghindari serangan ilmu lawannya itu. Ia sadar, kemana ia pergi, maka ilmu pusaran angin itu akan memburunya, karena pusaran angin itu seakan-akan memiliki penglihatan. Para prajurit yang berada di gelar perang kedua belah pihak itu¬pun menjadi berdebar-debar. Tetapi mereka tidak sempat terlalu ba¬nyak mempergunakan waktu untuk mengamati pusaran angin itu. Demikian pusaran angin itu bergulung menyerang Agung Sedayu dan siap untuk meremas dan mengangkatnya dan kemudian membantingnya jatuh kebumi, maka Agung Sedayupun sudah bersiap pada alas tataran tertinggi ilmu cambuknya. Karena itu, ketika angin pusaran itu memasuki batas jangkauan ujung cambuknya, maka Agung Sedayupun telah mengangkat dan menghentakkan cambuknya dengan segenap kemampuan ilmunya. Ledakan itu sendiri tidak terdengar terlalu keras. Namun akibat¬nya memang sangat mengejutkan. Angin pusaran itu telah berguncang dengan dahsyatnya. Kemu¬dian pecah berhamburan. Benda-benda yang telah hanyut berterbangan telah dilemparkan kembali terbaur disekitarnya, terma¬suk debu dan tanah berpasir. Ki Gede Candra Bumi terkejut. Ia tidak menduga sama sekali, bahwa Lurah prajurit yang masih terhitung muda itu mampu mengim¬bangi kemampuan ilmunya yang mendebarkan itu. Bahkan Kangjeng Adipati Pragolapun terkejut Ia tahu, bahwa Ki Gede Candra Bumi, salah seorang dari sekian banyak gurunya, memi¬liki ilmu yang sangat tinggi. Namun salah satu ilmunya telah dipecah¬kan oleh seorang Lurah prajurit yang masih muda itu. Namun kemampuan ilmu itu bukan satu-satunya ilmu Ki Gede Candra Bumi. Demikian ia melihat angin pusarannya pecah menebar dan hilang dari udara, maka dengan cepat Ki Gede telah menapak keil-munya yang lain. Ia tidak mau kehilangan waktu, sementara langit su¬dah menjadi semakin buram. Ia ingin mengakhiri lawannya sebelum pertanda senja berkumandang, sehingga pertempuran akan berakhir. Demikian debu terhambur dari udara, maka Ki Gede Candra Bumi telah menakupkan telapak tangannya. Dipandanginya Agung Sedayu dengan tajamnya, sambil memusatkan nalar budinya. Agung Sedayu yang melihat sikap itupun segera tanggap. Iapun segera berdiri tegak dengan kaki renggang. Kedua tangannya meng¬genggam pangkal dan ujung juntai cambuknya. Sejenak kemudian ia melihat Ki Gede Candra Bumi itu menghen¬takkan kedua tangannya dengan telapak tangan terbuka kearah tubuh¬nya. Seleret sinar memancar dari telapak tangan Ki Gede Candra Bumi itu menghentakkan kedua tangannya dengan telapak tangan ter¬buka kearah tubuhnya. Seleret sinar memancar dari telapak tangan Ki Gede Candra Bumi. Sinar yang berwarna kemerah-merahan meluncur dengan cepat kearah dada Agung Sedayu. Namun Agung Sedayu tidak terlambat. Demikian sinar yang kemerah-merahan itu bergerak, maka sorot mata Agung Sedayupun tiba-tiba bagaikan menyala. Demikianlah, maka benturan yang dahsyat telah terjadi. Dua ke¬kuatan ilmu yang sangat tinggi telah saling menghantam. Getar ke¬kuatannya ternyata telah memantul, menggocang bagian dalam tubuh kedua orang itu. Ki Lurah Agung Sedayu yang masih terhitung muda itu terpental beberapa langkah surut Tubuhnya jatuh terbanting diatas tanah. Mes¬kipun Agung Sedayu masih menggeliat namun bagian dalam dadanya terasa menjadi sangat nyeri dan sakit. Perisai ilmu kebalnya ternyata tidak mampu menahan getar ilmunya sendiri yang memantul karena benturan yang sangat dahsyat Sementara itu, Ki Gede Candra Bumipun telah terlempar surut beberapa langkah pula. Seperti Agung Sedayu, maka Ki Gede talah ja¬tuh terlentang. Terdengar ia mengaduh tertahan. Namun suaranya ke¬mudian seakan-akan tersumbat dikerongkongan oleh darahnya yang kemudian mengalir disela-sela bibirnya. Para prajurit yang melihat keduanya terlempar dan terbanting ja¬tuh itupun untuk sesaat terhenyak kedalam kebingungan. Namun ke¬mudian beberapa orang segera berlari-lari mengambil tubuh itu dan membawanya kebelakang garis pertempuran. Panembahan Senapati dan Kangjeng Adipati Pati melihat ben¬turan serta akibatnya. Namun keduanya tidak dapat berbuat sesuatu, karena keduanya masih tetap bertempur dengan sengitnya. Sementara itu matahari menjadi semakin rendah. Di sayap gelar perang prajurit Mataram, Untara telah mengguncang pertahanan supit lawannya. Beberapa kali supit gelar prajurit Pati itu harus memper¬baiki kedudukannya. Sementara itu, Swandaru yang bertempur melawan Ki Ajar Ter¬epan menjadi semakin sengit pula. Swandaru berusaha untuk sama se¬kali tidak tersentuh ujung tombak Ki Ajar Terepan. Namun justru karena itu, dalam gejolak pertempuran yang terjadi, Ki Ajar tidak saja bergantung kepada ujung tombaknya. Ketika Swandaru dengan cepat menghindari ujung tombaknya. Ketika Swandaru dengan cepat meng¬hindari ujung tombaknya. Ketika Swandaru dengan cepat menghin¬dari ujung tombak Ki Ajar yang menyambar mematuk kearah dada, maka Swandaru telah meloncat kesamping. Tetapi diluar dugaannya, Ki Ajar yang luput menikam sasaran dengan ujung tombak itu dengan cepat berputar. Kakinya terayun mendatar menyambar kearah dada. Swandaru yang terkejut berusaha menghindar sekali lagi. Tetapi serangan itu datang demikian cepat, sehingga Swandaru tidak berhasil menghindari sepenuhnya. Kaki lawannya telah menyambar pundak¬nya, demikian derasnya, sehingga Swandaru itu terputar dan jatuh ber¬guling ditanah. Ki Ajar Terapan yang melihat lawannya jatuh terguling, dengan cepat berusaha untuk memburunya. Jika ia berhasil menyentuh tubuh lawannya itu dengan ujung tombaknya, maka selesailah pertempuran yang sengit itu. Namun Swandaru menyadari keadaannya. Ia tidak tergesa-gesa bangkit, karena ia sadar, bahwa serangan lawannya akan segera da¬lang. Tetapi sambil berbaring, maka Swandaru telah menghentakkan cambuknya. Lawannyalah yang terkejut Dengan cepat ia berusaha menghin¬dar dengan meloncat tinggi-tinggi. Tetapi ujung cambuk Swandaru yang diberi berkarah baja itu menggeliat Ujungnya sempat menyen¬tuh betis Ki Ajar Terepan. Perasaan sakit yang amat sangat telah menyengat kaki Ki Ajar. Dengan serta-merta ia meloncat mundur, sementara Swandaru dengan ceepat meloncat bangkit Swandarulah yang kemudian memburu la¬wannya dengan ujung cambuknya. Sekali lagi terdengar Ki Ajar mengaduh. Ujung cambuk itu me¬nyentuh lambungnya. Hanya segores tipis. Tetapi darah telah mengalir pula dari luka dilambungnya itu. Ki Ajar Terepan benar-benar menjadi gelisah. Keadaannya sudah menjadi semakin sulit Luka-lukanya terasa pedih. Sementara luka di¬betisnya terasa mengganggu kecepatan geraknya. Namun dalam keadaan yang demikian, terdengar pertanda, bahwa matahari telah menyusup dibalik buku. Wajah langit menjadi kemerah-merahan. Kelompok-kelompok burung bangau terbang melintas di wajah mega-mega yang menggantung dilangit tanpa menghiraukan apa yang telah terjadi dibawah. Swandaru menggeram marah. Ia sudah yakin akan dapat membu¬nuh lawannya beberapa saat lagi. Ia sudah melukai lawannya, se¬hingga tidak lagi mampu bertahan dengan baik. Ujung tombaknya yang beracun tajam, tidak lagi memburunya seperti seekor lalat Ketika para prajurit dan pengawal mulai bergerak surut swan¬daru itupun berteriak lantang — Aku tantang kau berperang tanding tanpa menghiraukan kesepakatan perang. Bukankah kita masing-masing bukan prajurit ? — Tetapi suara Swandaru itu bagaikan diterbangkan angin. Tidak seorangpun yang menghiraukannya. Ki Ajar Terepan juga tidak. Isya¬rat yang masih terdengar seolah-olah justru men tertawakan teriakan Swandaru itu. Swandaru menggeram marah. Ia hanya dapat memandangi dua orang yang justru sedang membantu Ki Ajar Terepan menarik diri dari medan pertempuran. Demikianlah, perlahan-lahan kedua gelar perang itu bergeser mundur. Panembahan Senapatipun telah menghentikan pertempuran¬nya melawan Kangjeng Adipati Pati. Keduanya masih nampak segar. Seandainya mereka harus bertempur lagi sehari semalam, nampaknya mereka masih mampu melakukannya. Meskipun demikian, ketika mereka mundur dari garis pertem¬puran, nampak Kangjeng Adipati Pad menggeliat sambil memijit lam¬bungnya. Kemudian menghentakkan kedua tangannya berganti-ganti. Meskipun Kangjeng Adipati juga merasa letih. Yang lebih letih lagi adalah perasaan Kangjeng Adipati Pati. Satu kenyataan harus dihadapinya. Salah seorang gurunya, Ki Gede Candra Bumi, ternyata telah terluka parah dibagian dalam tubuhnya. Keada¬annya lemah sekali, dan bahkan suaranya hampir tidak dapat didengar lagi. – Guru — desis Kangjeng Adipati Pati didekat tubuh yang telah diangkat dengan tandu yang dipersiapkan dengan tergesa-gesa itu. Ki Gede Candra Bumi Membuka matanya. Katanya dengan nada suara yang dalam — Anak itu luar biasa. Aku melihat ciri-ciri unsur ge¬raknya yang rumit dan sulit dimengerti. Juga ilmunya yang dua tiga ganda. — Kangjeng Adipati Pati termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya – Guru akan segera sembuh. — Ki Gede Candra Bumi mencoba untuk menarik nafas dalam-dalam. Tetapi dadanya terasa sakit, seakan-akan ujung duri kemarung bersarang didalam paru-parunya. Kangjeng Adipati Pati tidak bertanya lagi. Ia berjalan dengan ke¬pala tunduk disebelah tandu yang membawa ki Gede Candra Bumi. Disebelahnya Ki Naga Sisik Salaka juga berjalan bertelekan tongkat¬nya. Tetapi Ki Naga Sisik Salaka itu tidak mengatakan sesuatu. Demikianlah maka beberapa saat kemudian, kedua pasukan itu sudah berada di pasanggrahan mereka masing-masing. Ketika malam turun, maka kedua belah pihak telah mengirimkan kelompok-kelompok untuk mencari kawan-kawan mereka yang menjadi korban. Yang gugur dan yang terluka. Di perkemahan Kangjeng Adipati Pati telah mengumpulkan para panglima dan Senapati perang. Dari mereka Kangjeng Adipati Pati mendapat laporan, bahwa pasukan Pati itu telah mengalami luka yang cukup parah. Ki Naga Sisik Salaka, meskipun tidak terluka menurut ujud lahi¬riahnya, namun sebenarnyalah Ki Naga Sisik Salaka memerlukan ke¬sempatan untuk beristirahat. Benturan-benturan ilmu yang dilakukan dengan Ki Patih Mandaraka membuat Ki Naga Sisik Salaka menjadi sangat letih. Bahkan beberapa bagian tubuhnya merasa nyeri dan pe¬dih. Bahkan beberapa Senapati di sayap gelar pasukannya telah mengalami tekanan yang cukup berat dari pasukan Mataram. Karena itu, maka Kangjeng Adipati Patipun memutuskan untuk tidak turun ke gelanggang perak esok pagi. — Tetapi kita harus tetap berhati-hati. Mungkin sekali Panem¬bahan Senapati membawa pasukannya yang sudah terlanjur dipersiap¬kan menyerang perkemahan kami. — Namun seorang Senapati Pati berkata – Aku kira Mataram tidak akan mempertaruhkan pasukannya untuk melakukan hal itu. Seandai¬nya Mataram benar-benar melakukannya, alangkah bodohnya orang-orang Mataram itu, karena untuk memecahkan sebuah pertahanan di¬perlukan kekuatan yang jauh lebih besar dari kekuatan pertahanan itu sendiri. – Kangjeng Adipati mengangguk-angguk. Katanya – Besok, kita akan menilai kekuatan dan kemampuan kita. Apakah kita masih mem¬punyai kekuatan cukup untuk turun dengan gelar perang atau tidak. – Kita memang memerlukan waktu untuk beristirahat, Kangjeng — berkata seorang Panglimanya – setelah kita beristirahat, maka keadaan kita akan menjadi lebih baik. Besok lusa kita akan turun ke gelanggang dengan kekuatan dan kemampuan yang jauh lebih besar dari yang sebenarnya kita miliki, Kangjeng. Jika kita beristirahat se¬hari, maka kita akan mendapat kesempatan untuk mengatur kembali dan sekaligus memberikan petunjuk-petunjuk kepada para -Senapati dan bahkan para prajurit. — Kangjeng Adipati Pragola mengangguk-angguk. Namun sekali lagi ia berkata — Tetapi kemungkinan Panembahan Senapati menye¬rang perkemahan kita masih tetap ada. Ia seorang yang keras hati dan terlalu percaya kepada kemampuan sendiri. — Sebenarnyalah malam itu. Panembahan Senapati tidak melihat kesulitan yang gawat didalam pasukannya. Meskipun jumlahnya me¬mang semakin susut, namun yang masih
  21. Kitab 297 Bagian I PADA hari pertama, kedua pasukan yang besar dari Mataram dan Pati seakan-akan masih tetap dalam keseimbangan. Kedua Senapati Agung dari kedua pasukan itu masih belum langsung turun ke medan. Keduanya masih mengendalikan pertempuran dari kepala gelar me¬reka masing-masing. Meskipun korban telah berjatuhan di kedua belah pihak, tetapi kekuatan kedua pasukan itu rasa-rasanya masih belum menjadi surut Sampai saatnya matahari turun, maka pertempuran masih bergelora dengan garangnya. Namun kedua belah pihak terikat oleh kesadaran untuk menepati tatanan perang yang berlaku, ketika matahari kemudian turun kebalik pegunungan, maka kedua belah pihak telah bersiap-siap untuk meng¬hentikan pertempuran. Mereka tidak dapat dengan serta merta menun¬dukkan senjata mereka. Bagaimanapun juga, mereka masih harus te¬tap berhati-hati. Betapapun jantannya hati seorang prajurit, namun mereka mungkin saja sulit mengekang diri pada saat-saat yang paling menentukan, meskipun sangkakala sudah mengumandang menggetar¬kan udara medan pertempuran. Namun akhirnya Panembahan Senapati dan Kangjeng Adipati Pragola dari Pati telah memerintahkan pasukannya untuk mundur dari garis benturan yang seakan-akan tidak bergeser dari tempatnya sejak pertempuran itu terjadi. Namun pada saat-saat terakhir, ternyata ujung cambuk Swandaru masih mampu menggapai lengan lawannya sesaat sebelum sangkakala mengumandang diatas medan. Lengan itu telah terkoyak dan darahpun mengalir dengan derasnya. Swandaru memang menjadi sangat kecewa, bahwa ia tidak mem¬punyai lebih banyak kesempatan. Demikian lawannya terdorong surut dan terhuyung-huyung, maka dua orang prajurit Pati telah menangkap tubuh itu dan membawanya hilang tertelan oleh gelombang para praju¬rit yang bertaut seperti air yang disibakkan oleh badan biduk yang me¬luncur diwajah air itu. Tetapi Swandaru tidak sempat memburu dengan menembus la¬pisan prajurit yang menakup dihadapan Senapati yang terluka itu, sementara pertempuran seakan-akan telah terhenti. Kedua pasukan bergerak mundur kearah yang berlawanan. – Jika saja sangkakala itu tidak menyelamatkan nyawanya — ge¬ram Swandaru. Ketika malam turun, maka seperti yang terjadi disebelah Utara Mataram, disebelah Timur Kali Code, maka beberapa kelompok pra¬jurit dari kedua belah pihak telah menelusuri bekas medan pertem¬puran. Kelompok-kelompok prajurit dan pengawal yang mencari korban yang telah jatuh selama pertempuran berlangsung. Seperti juga disebelah Utara Mataram, maka kelompok-kelompok prajurit yang berpihak Mataram dan Pati sama sekali tidak saling mengganggu. Mereka justru saling membantu menemukan korban dari kedua belah pihak. Ketika malam menjadi semakin dalam dan pekerjaan mereka su¬dah hampir selesai, maka Agung Sedayu yang ikut berada di bekas medan itu sempat duduk berbincang dengan seorang Lurah Prajurit dari Pati. – Anakku semuanya sebelas orang dan masih kecil-kecil ~ kata Lurah Prajurit dari Pati itu. Hampir diluar sadarnya ia bertanya kepada Agung Sedayu — berapakah anak Ki Sanak ? Ki Sanak adalah seorang Lurah Prajurit yang terhitung masih muda. — Agung Sedayu menggeleng. Katanya dengan nada berat – Aku belum mempunyai seorang anakpun ? — – O, apakah Ki Sanak belum berkeluarga ? — bertanya orang itu. – Sudah. Sudah agak lama. Adikku sudah mempunyai seorang anak yang manis. Yang tumbuh dengan suburnya dan nampaknya akan menjadi anak yang kokoh. Adikku juga ada di barisan Mataram sekarang ini – jawab Agung Sedayu. Orang itu menarik nafas panjang. Katanya — Jika besok kita ber¬tamu di medan, dan aku berhasil membunuhmu, maka yang menangi¬simu hanya seorang isteri saja. Tetapi jika kau yang berhasil membu¬nuhku, maka seorang isteri dan sebelas orang anak akan menangisi aku. Bukan sekedar menangisi, tetapi bayangan masa depan mereka akan buram. Dua belas buah mulut yang selama ini aku suapi, akan ke¬hilangan sumbernya. Meskipun orang-orang di bumi Pati akan mena¬burkan setumpuk kembang dialas makamku sekalipun, namun anak-anakku akan menjadi seperti sebelas ekor anak burung yang menetas dari telurnya, tetapi induknya yang pergi mencari makan tidak sempat pulang. — Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian bertanya — Jadi apakah hanya sedangkal itu landasan Ki Sanak untuk turun ke medan perang ? — Orang itu tertawa. Katanya — Tidak. Tentu tidak. Ada landasan cita-cita yang besar dan luhur. Perjuangan mencari satu tatanan baru diatas bumi Pati dan Mataram. Bumi yang pernah diberikan kepada dua orang saudara seperguruan dari Kangjeng Sultan Pajang. Namun yang hubungannya kemudian menjadi pincang karena ketamakan Pa¬nembahan Senapati. – Orang itu mengangkat tangannya sambil, ber¬kata – jangan membantah lebih dahulu. Aku tahu bahwa sudut pan¬danganmu sebagai prajurit Mataram tentu berbeda. Kau tentu tidak akan mengatakan bahwa Panembahan Senapati adalah seorang yang tamak. Tetapi kau tentu akan mengatakan bahwa Kangjeng Adipati Pragolalah yang tamak dan tidak tahu diri dihadapan saudaranya yang lebih tua. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia menelan kembali kata-katanya yang siap dilontarkanya. – Namun bagaimanapun juga, Ki Sanak. Ada dua dunia yang ter¬pisah. Aku sebagai seorang pejuang atas suatu cita-cita bersama dan aku sebagai pilar satu kehidupan keluarga. — ia terdiam sejenak, lalu, — Mungkin aku pahlawan dari satu sisi dari kedua duniaku itu, tetapi justru sampah pada sisi yang lain. – Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak membantah kata-kata prajurit Pati itu. Sementara itu, maka agaknya tugas kelompok-kelompok yang mencari korban yang jatuh disepanjang bekas medan pertempuran itu sudah selesai. Karena itu, maka Lurah Prajurit Pati itupun berkata -Selamat malam Ki Sanak. Aku besok akan turun ke medan sebagai seorang prajurit sejati. Ingat. Aku dapat saja membunuhmu atau seba¬liknya kau membunuhku. Kita akan menjadi seorang pahlawan dari satu perjuangan atas satu cita-cita. Satu tatanan baru bagi dalam hu¬bungan keluarga besar Pati dan keluarga besar Mataram. – – Apakah tatanan baru itu tentu menjadi lebih baik ? – bertanya Agung Sedayu. – Menurut sisi pandang kita masing-masing – jawab orang itu te¬tapi jika kita masih tetap berdiri pada cita-cita semula, maka tatanan baru dihadapkan akan menjadi lebih baik menurut penilaian kewa¬jaran. — Agung Sedayu tersenyum. Katanya – Aku hargai sikapmu. Ter¬nyata kau tidak duduk dibawah tempurung yang menelungkup. Prajurit Pati itu mengerutkan dahinya. Namun iapun tersenyum sambil mengeluarkan tangannya. Agung Sedayu menyambut tangan itu sambil berkata – Selamat malam. – – Selamat malam – jawab Lurah Prajurit dari Pati itu – meskipun aku seorang prajurit, tetapi lebih senang jika perang tidak terjadi. – Agung Sedayu mengangguk. Katanya – Mudah-mudahan anak cucu kita kelak akan menemukan satu jaman dimana perang akan tidak dikenal lagi. — – Satu mimpi yang indah – desis prajurit Pati itu. Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya – Ya. Tetapi bu¬kankah kita berharap bahwa mimpi itu menjadi Daradasih. – – Mudah-mudahan – Lurah Prajurit Pad itu tersenyum — anak cucu kita tidak mengalami perang seperti yang kita alami sekarang. Pengalaman yang sangat pedih. Menang atau kalah. – Tetapi tiba-tiba Agung Sedayu terbanting kedalam masalah pri¬badinya — Ya, anak cucumu. — Prajurit Pati itu menepuk bahu Agung Sedayu – Pada saatnya kau akan mempunyai seorang anak laki-laki yang gagah seperti kau. Kita akan berdoa bersama-sama, agar anak-anak kita tidak akan pernah ber¬temu di medan perang. – – Bukankah kita bermimpi bahwa di masa depan akan datang jaman dimana perang tidak dikenal lagi ? – Keduanya tertawa. Dua orang Lurah prajurit dari pasukan yang saling bermusuhan. Namun betapa asamanya tawa itu sendiri. Demikianlah, keduanya berpisah kembali ke perkemahan masing-masing. Namun keduanya berharap, bahwa mereka besok ti¬dak bertemu di medan perang yang akan membakar dataran di sebelah Barat Kali Dengkeng itu. Ketika Agung Sedayu sampai di perkemahan, maka ia telah men¬dapat perintah-perintah apa yang harus dilakukannya esok pagi. Pa¬nembahan Senapati telah mengambil keputusan bahwa besok pasukan Mataram akan turun kembali ke medan tanpa menghiraukan, apakah Pati akan memasang gelarnya lagi atau tidak. – Jika Pati tidak keluar dari bentengnya, maka kita akan mema¬suki benteng itu. – Tetapi pada saat yang sama Pati juga memutuskan untuk melepas pasukannya dalam gelar yang sama. Tetapi apa yang terjadi dalam dua kali benturan kekuatan, menjadi bahan penyusunan kekuatan dihari yang akan datang. – Kita jangan memberi kesempatan kepada pasukan Mataram untuk menghindarkan diri dari silaunya matahari pagi – perintah Kangjeng Adipati Pad — meskipun seandainya garis perang bertahan cahaya matahari menjelang senja. Tetapi perubahan-perubahan akan dapat terjadi selama pertempuran berlangsung. — Para Senapati Pati mengangguk-angguk. Mereka menyadari, meskipun nampaknya tidak terlalu penting, tetapi silaunya cahaya ma¬tahari pagi akan sangat berpengaruh atas ketajaman penglihatan praju¬rit Mataram. Jika pada benturan pertama prajurit Mataram akan meng¬alami kesulitan, maka untuk seterusnya, para prajurit Mataram akan mengalami goncangan-goncangan. Malam itu, para prajurit Pati dan Mataram yang akan turun ke medan berusaha untuk dapat beristirahat sebaik-baiknya. Agung Se-dayupun telah beristirahat pula. Swandaru yang mengetahui bahwa Agung Sedayu bertugas di bekas medan pertempuran, maka ia tidak datang mencarinya. Tetapi Swandaru yang kecewa karena tidak sem¬pal menyelesaikan pertempuran, telah berbaring sejak malam turun. Ia menugaskan beberapa orang pengawal untuk mencari para pengawal Sangkal Putung yang mengalami cidera dan gugur dalam pertem¬puran. Didini hari, maka para prajurit Mataram dan Patipun telah mulai mempersiapkan diri. Ketika asap di dapur mulai mengepul, para praju¬rit mulai berbenah diri pula. Mereka melihat kembali senjata senjata mereka. Yang senjatanya rusak atau patah, telah mendapatkan yang baru. Agung Sedayu telah mulai bersiap-siap pula. la sempat menilik prajurit-prajuritnya kelompok. Agung Sedayu sempat memberikan peringatan-peringatan dan pesan-pesan yang bukan saja membesarkan hati para prajuritnya, tetapi juga memberikan beberapa pilihan yang dapat mereka lakukan di medan pertempuran. Beberapa saat sebelum keseluruhan pasukan Mataram itu diper¬siapkan dalam gelar, maka Swandaru sempat mengunjungi Agung Se¬dayu. Seperti biasanya ia memberikan beberapa pesan kepada kakak seperguruannya itu sambil menceriterakan kekecewaannya, karena ia tidak sempat menyelesaikan lawannya sampai tuntas. Orang itu tidak akan berani menemui aku lagi di mesan – berkata Swandaru – jika besok pagi ia muncul lagi, maka aku yakin, ia tidak akan sempat keluar lagi dari medan pertempuran. — Agung Sedayu hanya mengagguk-angguk saja. Tetapi ia percaya bahwa adik seperguruannya itu mempunyai kelebihan dari seorang Senapati Pati. Tetapi Swandaru tidak terlalu lama berbicara dengan Agung Se¬dayu, karena pasukan Mataram segera dipersiapkan langsung dalam gelar sebelum pasukan itu mulai bergerak. Hari itu, baik Mataram maupun Pati tidak merubah gelar yang te¬lah dipergunakan. Mataram dengan gelar Garuda Nglayang sementara Pati menggunakan gelar Supit Urang. Beberapa saat kemudian, maka Panembahan Senapati telah memberikan isyarat kepada para Panglima pasukannya untuk bersiaga sepenuhnya. Isyarat yang pertama, maka pasukan harus sudah berada didalam barisan dari kesatuan masing-masing dan siap memasuki ge¬lar sesuai dengan tempat yang di tentukan bagi mereka. Ketika kemudian oleh petugas penghubung diberikan isyarat yang kedua, maka setiap kesatuan segera berada didalam gelar dan siap untuk bergerak. Isyarat yang ketiga pertanda bahwa gelar Garuda Nglayang dari pasukan Mataram itu mulai bergerak ke medan pertem¬puran. Sebagaimana pasukan Mataram, maka pasukan Patipun telah bergerak pula. Gelar SupitUrang yang nampak garang itu merayap da¬lam keremangan cahaya fajar, menyeberangi Kali Dengkeng seperti kemarin. Menjelang fajar menyingsing, maka kedua pasukan itu sudah berhadap-hadapan. Sementara itu supit kanan dari gelar Supit Urang dari Pati telah mendapat perintah khusus, jika pasukan sayap kiri gelar Garuda Nglayang dari Mataram bergerak mundur, maka supit sebelah kanan jangan merasa mampu mendengar lawan, karena gerak mundur itu hanyalah cara orang-orang Mataram untuk menghindarkan diri dari silaunya cahaya matahari. Demikianlah, maka ketika fajar menyingsing, maka kedua pasu¬kan itupun segera bertemu. Dua gelar perang yang melebar, menebar diatas kotak-kotak sawah tanpa menghiraukan tanaman yang tumbuh diatasnya. Apalagi tanaman itu memang sudah rusak sejak pecah per¬ang gelar sebelumnya. Ketika malam menjelang pertempuran itu Kangjeng Adipati Pati mendapat laporan, bahwa persedian bahan pangan sudah menjadi se¬makin tipis, sementara para prajurit yang bertugas untuk menambah persediaan bahan pangan itu mengalami itu lebih cepat selesai. Jika Pati dapat memecahkan gelar perang pasukan Mataram, maka pasukan Pati akan dengan cepat meluncur langsung menuju ke Mataram. – Kita akan memasuki dinding Kota Mataram. Kita tidak akan kekurangan apa-apa lagi. – berkata Kangjeng Adipati Pati. Para Panglimanya memang sependapat. Jika mereka memasuki dinding kota Mataram, memang tidak akan kekurangan apa-apa lagi. Tetapi untuk memasuki dinding kota itu diperlukan hentakan kekuatan yang sangat besar. Namun merekapun sependapat, jika pertahanan ge¬lar Mataram dalam pertempuran di sebelah Kali Dengkeng itu dapat dipatahkan, maka pertahanan jiwani pasukan Mataram tentu sudah ter-koyakkan pula. Sehingga mereka tidak akan mampu bertahan terlalu lama lagi. Dalam pada itu, maka Kangjeng Adipati Pati itupun berkata pula — Hari ini aku akan langsung turun kedalam pertempuran. Aku tidak perlu menunggu lagi, apakah Panembahan Senapati sendiri akan meli¬batkan diri atau tidak. – Para Panglima prajurit Pati itu memang sudah menduga, bahwa Kangjeng Adipati yang ingin menyelesaikan perang dengan cepat itu, akan segera turun sendiri ke gelanggang. Meskipun demikian, mereka menjadi berdebar-debar pula. Ke¬putusan Kangjeng Adipati untuk langsung ikut serta bertempur itu, seolah-olah memang merupakan keputusan hukuman mati bagi pasu¬kan Mataram, meskipun seandainya Panembahan Senapati sendiri tu¬run ke medan. Karena itu, ketika pasukan Pati mulai bergerak, maka Kangjeng Adipati telah menempatkan seorang Panglimanya yang sangat berpe¬ngalaman untuk mengendalikan gelar Supit Urang itu jika Kangjeng Adipati sendiri telah terlibat langsung di garis benturan kedua ke¬kuatan yang besar itu. Gemuruh pasukan telah menggetarkan udara. Beberapa langkah menjelang benturan, maka kedua pasukan telah mengambil ancang-ancang, sementara supit sebelah kanan pasukan Pati tidak akan terpan¬cing jika sayap kiri gelar lawan memancing mereka untuk membuat garis benturan tidak tepat menyilang sinar matahari. Sesaat kemudian, maka benturan kedua kekuatan itupun telah ter¬jadi. Benturan dua kekuatan yang bukan saja besar, tetapi juga kemam¬puan tinggi. Panembahan Senapati masih memperingatkan agar pasukannya berusaha untuk tidak menentang bahaya matahari yang sedang terbit. Tetapi Panembahan Senapatipun memperingatkan, bahwa cara yang pernah ditempuh sebelumnya tidak akan dapat dipergunakannya lagi, karena pasukan Mataram adalah sekedar satu cara yang telah direnca¬nakan. Bukan karena pasukan Mataram itu tidak mampu bertahan pada benturan pertama. Karena itu, maka jalan yang ditempuh oleh pasukan Mataram jus¬tru menghentak di sayap kanannya. Adalah diluar dugaan pasukan Pati, maka dalam benturan yang terjadi, sayap sebelah kanan dari Gelar Garuda Nglayang itu telah mengerahkan segenap kemampuannya. Bahkan para prajurit yang se¬harusnya berada dibelakang garis benturan. Pasukan Pati memang terkejut. Karena itu. supit sebelah kirinya justru telah terguncang dan terpaksa bergerak surut Namun dengan cepat supit sebelah kiri itu memperbaiki kedudukan mereka. Para Senapati prajurit Pati memang cukup berpengalaman. Ka¬rena itu, dalam waktu singkat maka supit sebelah kiri itu telah mapan kembali, sehingga keseimbanganpun segera dicapai. Tetapi pada saat itu pula para Senapati Pati menyadari, bahwa hentakan kekuatan disayap kanan gelar perang prajurit Mataram ada¬lah sekedar pendahuluan untuk menghindari silauannya cayaha mata¬hari pagi yang tajam. Namun hal itu telah terjadi. Sementara prajurit Mataram tetap berusaha bertahan pada kedudukan itu. Yang terjadi kedudukan adalah pertempuran yang sengit Hentakkan-hentakkan kemampuan para prajurit mewarnai medan per¬tempuran. Para prajurit tidak saja mengandalkan kemampuan mereka dalam perang gelar. Tetapi kemampuan mereka secara pribadi ikut menentukan akhir dari pertempuran itu. Di sayap kiri Swandaru memang menjadi kecewa, bahwa ia tidak bertemu lagi dengan Senapati yang telah dilukainya. Yang kemudian berdiri dihadapannya adalah seorang prajurit yang bagi Swandaru ter¬asa agak aneh. Prajurit yang dihadapinya itu seakan-akan terlepas dari ikatan gelar disekitarnya. Agaknya ia hadir dipertempuran sengaja ingin bertemu denan anak Demang Sangkal Putung yang bernama Swandaru. Ketika orang itu berhasil berhadapan dengan Swandaru, orang itu berkata – Kaukah yang bernama Swandaru ? Seorang pengawal Kade-mangan yang bersenjata cambuk ? – – Ya – jawab Swandaru — kau siapa ? Kau tidak pantas disebut seorang prajurit Meskipun kau memakai pakaian prajurit tetapi kau tidak mengenakannya dengan mapan. ~ Orang itu tertawa. Katanya – Penglihatanmu memang tajam. Aku sebenarnya bukan seorang prajurit. Tetapi aku ditempatkan di an¬tara para prajurit. Aku mendengar bagaimana kau melukai seorang Se¬napati dengan senjata cambukmu. Karena itu, aku ingin melihat, siapa¬kah sebenarnya anak Demang yang bersenjata cambuk itu. ~ Siapa namamu dan kedudukanmu yang sebenarnya ? — – Sebenarnya aku adalah salah seorang yang bertugas memeli¬hara pusaka-pusaka Kangjeng Adipadi Pati. Tetapi rasa-rasanya tidak pantas aku duduk bertopang dagu di istana Pati, sementara Kangjeng Adipati berada di medan pertempuran. Karena itu, aku mohon untuk diperkenankan ikut dalam gelar ini. — – Siapa namamu ? – bertanya Swandaru. Orang itu tertawa. Katanya – Baiklah. Di duniamu yang baru kau akan dapat mengingat namaku. Orang memanggilku Ki Ajar Terepan Nah, sekarang bersiaplah untuk mati. Kau sudah mengetahui namaku, pekerjaanku dan niatku untuk dengan sengaja menemuimu. – ~ Bagus ~ sahut Swandaru ~ bersiaplah Ki Ajar. Kita akan mem¬bual satu perbandingan ilmu. — Ki Ajar Terepan itu mengerutkan dahinya. Katanya – Kau me¬mang seorang yang berani. Kau sama sekali tidak gentar menghadapi lawan yang betapapun tinggi ilmunya. — – O – Swandaru tersenyum – apakah kau berilmu tinggi. – – Aku sudah mendengar tentang ilmu cambukmu dari Senapati yang kau lukai kemarin. Karena itu, kau tentu dapat menduga, bahwa tanpa ilmu yang tinggi, aku tidak akan datang menemuimu sekarang ini. — Swandaru hanya mengangguk-angguk saja. Tetapi ia tidak berbi¬cara lagi. Perlahan-lahan ia mulai menggerakkan cambuknya. Lawannya, Ki Ajar Terepan menggenggam sebuah tombak pen¬dek. Ketika tombak itu mulai bergetar, maka mata tombak yang kehitam-hitaman itu seakan-akan berkeredipan. Swandaru melihat pertanda itu. Iapun sadar, bahwa lawannya itu tentu seorang yang berilmu tinggi. Tetapi Swandaru justru menjadi se¬makin bergairah. Ia memang ingin menunjukkan bahwa ia mampu me¬nandingi orang-orang berilmu tinggi. Sejenak kemudian keduanya telah terlibat dalam pertempuran yang sengit Ujung tombak Ki Ajar Terepan berputar dengan cepat Bergerak mendatar namun kemudian mematuk dengan cepatnya kea-rah dada. Namun serangan itu urung karena cambuk Swandaru telah menggeliat menyambar kearah leher lawannya. Ki Ajar meloncat surut ketika ia mendengar cambuk Swandaru meledak seakan-akan memecahkan daun telinga. Namun kemudian Ki Ajar itupun berkata—Kau tidak usah bermain kuda-kudaan lagi Ki Sa¬nak. Aku sudah mendengar dari Senapati yang kau lukai, bahwa kau memiliki ilmu cambuk yang tinggi. Swandaru tidak menjawab. Namun cambuknyalah yang meng¬hentak dengan cepat Tetapi sama sekali tidak terdengar hentakkan yang memekakkan telinga. Bahkan cambuk itu seolah-olah tidak menggelepar sama se¬kali. Yang terdengar tidak lebih dari sebuah gesekan halus yang lemah. Namun Ki Ajar Terepan itu melenting sekali lagi surut Sambil mengangguk-angguk ia berkata – Ternyata Senapati itu tidak ber¬mimpi. Kau benar-benar memiliki ilmu cambuk yang dahsyat sekali He, dari siapa kau mewarisi ilmu cambukmu itu ? — – Tentu saja dari guruku — jawab Swandaru. – Siapa gurumu itu ? — bertanya Ki Ajar Terepan pula. – Orang menyebutnya, Orang Bercambuk — jawab Swandaru. – Setan kau – geram orang itu — tentu orang bercambuk. Siapa namanya ? Swandaru mengerutkan dahinya. Ia tidak senang mendengar orang itu mengumpat Dengan garangnya ia berkata — Kau tidak ber¬hak membentak dan mengumpati aku. Kau boleh bertanya siapakah guruku, tetapi dengan cara yang lebih baik. – – Persetan dengan gurumu — berkata Ki Ajar Terepan – siapapun gurumu, kau akan mati hari ini. — Swandaru tidak menjawab. Tetapi cambuknyalah yang mengge¬liat menggapainya. Tetapi Ki Ajar Terepan memang tangkas pula. Ujung cambuk itu sama sekali tidak menyentuh kulitnya. Bahkan dengan cepat pula orang itu melenting. Tombaknya menggelapar disatu tangannya yang menebas mendatar menyambar kearah lambung. Namun Swandarupun sempat meloncat menghindar pula, se¬hingga serangan itu tidak mengenainya. Demikianlah, pertempuranpun berlangsung semakin sengit. Para Senapati yang sering bertemu dan berhadapan telah bertempur dengan sengitnya. Dalam pada itu, maka Kangjeng Adipati yang sudah berniat un¬tuk langsung terjun ke pertempuran telah memanggil Panglimanya yang memang sudah ditunjuk untuk menggantikannya memegang kendali pertempuran. – Sudah waktunya aku turun ke medan. Aku berhadap bahwa Pa¬nembahan Senapati berani bersikap jantan dengan menyongsong ke¬hadiranku. Di medan pertempuran seperti ini akan menjadi arena yang paling wajar untuk menguji, siapakah yang lebih baik diantara aku dan Panembahan Senapati. Dengan demikian, maka akan ditentukan pula siapakah yang paling berhak untuk memerintah sepeninggal Kangjeng Sultan Hadiwijaya di Pajang. Panembahan Senapati di Mataram atau Adipati Pragola di Pati. — Demikianlah, maka Kangjeng Adipati bersama dua orang Sena¬pati pengapitnya telah bergerak langsung ke garis benturan perang ke¬dua gelar yang besar itu. Ketika pertempuran antara kedua belah pihak menjadi semakin sengit disaat matahari naik semakin tinggi, maka Kangjeng Adipati Pragola telah menghentak medan perang. Kehadirannya memang su¬dah direncanakan, sehingga para prajurit Pati telah mengetahui sebe¬lumnya, bahwa Kangjeng Adipati akan langsung terjun ke gelang¬gang. Meskipun demikian, setiap jantung prajurit Pati masih juga berdebar-debar menyaksikan pemimpin tertinggi mereka langsung bertempur di medan yang sangat keras itu. Bagi prajurit Mataram, kehadiran Kangjeng Adipati Pragola me¬mang agak mengejutkan. Rasa-rasanya Kangjeng Adipati Pati itu me¬mang agak mengejutkan. Rasa-rasanya Kangjeng Adipati Pati itu ter¬lalu cepat turun langsung kelidah api pertempuran. Tetapi itu sudah terjadi. Para Senapati yang berfungsi diujung pa¬ruh gelar Garuda Ngalayang, langsung berhadapan dengan Kangjeng Adipati Pati. Para Senapati itu memang menjadi berdebar-debar. Sebagian dari mereka melihat, bagaimana Kangjeng Adipati itu melumpuhkan Pa¬ngeran Adipati Anom sehingga menjadi pingsan. Untunglah bahwa pada waktu itu, para Senapati bertindak cepat, sehingga Pangeran Adi¬pati Anom sempat diselamatkan. Namun kini yang memimpin pasukan Mataram bukan Pangeran Adipati Anom. Tetapi Panembahan Senapati sendiri. Seorang yang memiliki ilmu yang seakan-akan tidak dapat dijajagi. Namun para Senapati Mataram masih belum dengan serta merta menyerahkan perlawanan terhadap Kangjeng Adipati Pati itu kepada Panembahan Senapati. Dua orang Senapati yang berada di ujung paruh gelar Garuda Nglayang mencoba untuk menahan gerak maju Kang¬jeng Adipati Pragola, sementara beberapa orang prajurit telah ber¬usaha untuk menahan para Senapati pengapitnya. Tetapi usaha itu akan sia-sia. Kangjeng Adipati Pragola yang ga¬rang itu telah bertempur dengan kemampuan yang sangat tinggi, sehingga sulit untuk dapat menahannya. Seorang Senapati yang dengan berani menyerang dengan ujung tombak, terkejut Ia menduga bahhwa Kangjeng Adipati Pragola yang sibuk menghadapi beberapa orang prajurit itu tidak sempat menghin¬dari serangan tombaknya, karena Kangjeng Adipati tidak menghindar dan tidak menangkis serangannya itu. Namun tiba-tiba terasa tubuh¬nya terpelanting. Tombaknya terlepas dari tangannya. Barulah ia sadar, bahwa Kangjeng Adipati Pragola telah menjepit ujung tombaknya itu diantara tangan dan tubuhnya. Dengan hentakan yang keras Kangjeng Adipati memutar tubuhnya. Dengan hentakan yang keras Kangjeng Adipati memutar tubuhnya, sehingga Senapati yang memegang tombak itu terlempar. Ketika orang itu berusaha untuk bangkit maka ia sudah mengha¬dapi serangan seorang prajurit Pati yang garang. I lampir saja pedang prajurit Pati itu menebas lehernya. Namun Senapati Mataram itu sem¬pat menjatahkan diri lagi dan berguling mengambil jarak. Beruntunglah bahwa tangannya sempat menggapai sehelai pe¬dang yang tergeletak didekatnya, sehingga ketika ia kemudian melon¬cat bangkit, maka ia telah menggenggam senjata ditangannya. Namuan dalam pada itu, seorang Senapati yang lain telah meng¬aduh tertahan. Sebuah goresan luka telah mengoyak pundaknya, se¬hingga Senapati itu terhuyung-huyung beberapa langkah surut Kehadiran Kangjeng Adipati Pragola bersama dua orang Sena¬pati pengapitnya ternyata telah mengguncang ketahanan ujung paruh gelar Garuda Nylayang dari Mataram. Akhirnya para Senapati Mataram tidak dapat membiarkan keadaan itu terlalu lama. Ketika seorang Senapati lagi terbanting jatuh dan harus diangkat kebelakang garis perang dalam keadaan yang membahayakan, sementara seorang prajurit yang berusaha menolong¬nya justru terluka parah pula, maka kehadiran Kangjeng Adipati Pati bersama dua orang Senapati pengapitnya itu telah dilaporkan kepada Panembahan Senapati. Panembahan Senapati yang memang melihat goncangan di paruh gelarnya, menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Kangjeng Adipati Pragola benar-benar telah menantangnya. Karena itu, maka Panembahan Senapati itupun segera memper¬siapkan diri untuk turun langsung ke medan pertempuran. Kepada penghubung yang memberikan laporan tentang keha¬diran Kangjeng Adipati Pragola, Panembahan Senapati telah menanyakan tentang kedua orang Senapati pengapitnya. — Seorang berjanggut keputih-putihan. Sedikit gemuk bersenjata tongkat berwarna perunggu bersisik putih. Sedangkan seorang lagi bertubuh raksasa bergelang kayu berwarna hitam dan bersenjata tom¬bak pendek berkait ~ jawab penghubung itu. Panembahan Senapati menarik nafas dalam-dalam. Kepada Ki Patih Mandaraka iapun bertanya — Bukankah keduanya guru adimas Adipati Pati ? Naga Sisik Salaka dan Ki Gede Candra Bumi ? – — Ya. Aku yakin bahwa kedua orang itu memang Ki Naga Sisik Salaka dan Ki Gede Candra Bumi. – jawab Ki Patih Mandaraka. — Siapakah yang pantas untuk menahan keduanya sementara aku berhadapan dengan adimas Adipati Pragola ? Mangkubumi atau siapa menurut paman ? – — Para Pangeran itu berada didalam tugas mereka masing-masing yang tentu sulit untuk ditinggalkan. — – Jadi ? – – Aku akan menemui orang tua yang tidak tahu diri itu. Biarlah aku mencoba untuk membujuk Naga Sisik Salaka. — – Ki Gede Candra Bumi ? – – Aku mohon, Panembahan memanggil Agung Sedayu. — – Ki Lurah Agung Sedayu ? — bertanya Panembahan Senapati. — ia masih terlalu muda untuk menghadapi Ki Gede Candra Bumi. Ingat, Ki Gede Candra Bumi itu adalah guru adimas Adipati Pragola dari Pati. – – Tetapi kemampuan Kangjeng Adipati Pragola itu dihimpunnya dari beberapa orang gurunya sehingga seandainya sekarang ini Kang¬jeng Adipati Pragola harus bertempur melawan Ki Gede Candra Bumi, maka Ki Gede tentu akan mengalami kesulitan. Ilmu yang dimiliki Ki Gede Candra Bumi dan kemudian diluangkan kepada Kangjeng Adi¬pati Pragola, hanya merupakan sebagian saja dari perbendaharaan d-munya. Sementara itu, Anak mas Panembahan mengetahui sendiri, ke-dalam ilmu yang dimiliki oleh Agung Sedayu. Ilmunya yang masak yang diwarisinya dari orang Bercambuk, kemudian ilmunya yang disadapnya dari kitab yang dipinjamnya dari Ki Waskita, ilmu yang disadapnya dari getar ketajaman angan-angannya sendiri sendiri benar-benar merupakan ilmu murni yang di¬hadirkannya dalam dunia kanuragan serta kemampuannya yang justru tidak diketahui darimana datangnya. Ia kebal dan mampu mempenga¬ruhi daya bayang lawannya tentang dirinya sehingga ia mampu mem¬buat dirinya seakan-akan menjadi lebih dari seorang. Selebihnya ia ta¬war dari segala macam racun dan bisa. — Panembahan Senapati yang mengenal Agung Sedayu sejak lama, bahkan telah pernah melakukan petualangan bersama, mengenal Agung Sedayu dengan baik. Tetapi umurnya yang lebih muda dari Pa¬nembahan Senapati sendiri, memberikan kesan kurang meyakinkan untuk menghadapi Ki Gede Candra Bumi. Tetapi keterangan Ki Patih Mandaraka membuat Panembahan Senapati menjadi mantap. Karena itu, maka katanya—Baik. Aku akan turun ke medan bersama dua orang Senapati pengapit Paman Patih Mandaraka dan Ki Lurah Agung Sedayu. Aku akan langsung berada di paruh gelar Garuda Nglayang untuk menghadapi adimas Adipati Pra¬gola yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. — — Tetapi ilmu Panembahan rasa-rasanya tidak terbatas. — — Apakah ada seseorang dilingkup langit ini yang memiliki ke¬mampuan tidak terbatas ? — — Memang tidak ada Panembahan. Tetapi aku ingin mengatakan, bahwa ilmu yang Panembahan miliki tidak kalah tingginya dari ilmu yang dimiliki oleh Kangjeng Adipati Pragola. ~ Dalam pada itu, maka seorang penghubung telah mendapat perin¬tah untuk memanggil Ki Lurah Agung Sedayu. Ia harus menyerahkan pimpinan Pasukan Khususnya kepada Senapati yang dipercayanya, karena Ki Lurah Agung Sedayu akan menjadi salah seorang Senapati Pengapit dari Panembahan Senapati. Tugas itu merupakan satu kehormatan yang besar bagi Agung Se¬dayu. Tetapi Agung Sedayupun menyadari, bahaya yang dapat mener¬panya. Senapati pengapit Kangjeng Adipati Pragola tentu seorang yang berilmu sangat tinggi. Demikianlah, sejenak kemudian, maka Panembahan Senapati benar-benar telah mempersiapkan dirinya. Ia akan turun ke medan un¬tuk menjawab tantangan adik iparnya, Kangjeng Adipati Pragola dari Pati. Langit yang cerahh jernih itu tiba-tiba telah disaput awan. Mata¬hari yang memanjat kepuncak langit menjadi pudar. Seakan-akan ingin berlindung dibalik mega-mega kelabu karena menjadi silau oleh kehadiran Panembahan Senapati dan Adipati Pragola itu. Para prajurit Matarampun segera menyibak ketika mereka melihat Panembahan Senapati bersama dua orang Senapati pengapit¬nya turun ke medan. Bahkan beberapa orang tidak dapat lagi menahan gejolak perasaannya, setelah beberapa saat mereka menyaksikan, be¬tapa Kangjeng Adipati dengan dua orang Senapati pengapitnya telah mengguncang paruh gelar perang pasukan Mataram. Kedatangan Panembahan Senapati itupun langsung disambut oleh Kangjeng Adipati Pragola. Dengan suara yang bergetar Kangjeng Adipati Pragola dari Pati itupun berkata – Selamat datang di medan kakangmas. Sayang aku tidak dapat memberikan sambutan lebih baik dari ini. — Panembahan Senapati tersenyum. Dipandanginya adik iparnya itu sejenak. Kemudian dipandanginya kedua Senapati pengapit Kang¬jeng Adipati itu. Untuk sesaat pertempuran disekitar kedua orang pe¬mimpin tertinggi Mataram dan Pati itu seakan-akan terhenti meskipun dibagian yang lain, pertempuran masih berlangsung dengan dahsyat¬nya. — Terima kasih atas sambutanmu itu dimas. Kau tidak perlu me¬nyambut kedatanganku dengan berlebihan. – — Sudah sejak beberapa hari aku menunggu — berkata Kangjeng Adipati Pati. — Aku sudah mengirimkan Pangeran Adipati Anom untuk mewa¬kili aku. Ia telah menemui adimas dan menyampaikan pesanku jawab Panembahan Senapati. Tetapi Kangjeng Adipati Pragola tertawa. Katanya — Anak itu terlalu sombong. Ia tidak tahu diri dengan siapa ia berhadapan. – — Aku minta maaf bagi anak itu, adimas. — berkata Panembahan Senapati kemudian. —Tidak apa-apa kakangmas. Tidak apa-apa. Aku juga tahu watak anak-anak muda, karena akupun pernah muda pula. — — Terima kasih adimas — desis Panembahan Senapati. Namun Kata-kata Panembahan Senapati terputus oleh suara Ki Naga Sisik Salaka yang seakan-akan bergulung-gulung diperutnya -Baktiku bagi Panembahan Senapati yang Agung. — Panembahan Senapati tersenyum. Katanya — Terima kasih paman Naga Sisik Salaka. – — Juga kepada Ki Juru Martani yang bergelar Adipati Manda¬raka, pepatih Mataram yang bijaksana. Ki Patih Mandaraka tertawa pendek. Katanya – Kau masih saja suka bergurau Ki Naga Sisik Salaka. – Orang yang disebut Naga Sisik Salaka itu tertawa, sementara Ki Candra Bumipun berkata – Aku mengenal Panembahan Senapati dan Ki Patih Mandaraka dengan baik. Tetapi aku belum mengenal orang muda ini. — Panembahan Senapati berpaling kepada Ki Candra Bumi yang memang lebih senang berbicara langsung daripada dengan basa-basi yang baginya tidak ada artinya sama sekali itu. Dengan nada rendah Panembahan Senapati berkata – Ia adalah salah seorang Senapati pengapitku, Ki Candra Bumi. Aku sudah men¬dapat laporan, bahwa Kangjeng Adipati Pati hadir di medan bersama dua orang Senapati Pengapitnya diantara para prajurit pilihan. Nah, karena itu aku juga datang bertiga. Aku, Ki Patih Mandaraka yang tua dan orang muda itu. Ia adalah Ki Lurah Agung Sedayu. Seorang Lurah prajurit dari Pasukan Khususku. — – Wah ~ Ki Candra Bumi mengangguk-angguk—demikian ting¬gikah ilmunya — sehingga anak ingusan itu harus tampil di medan se¬bagai seorang Senapati Pengapit Panembahan Senapati dari Mataram ? Apakah karena Mataram memang sudah kehabisan orang berilmu tinggi sehingga Ki Juru Martani yang pikun dan anak yang baru mampu berdiri tegak itu harus menjadi Senapati pengapit ? — – Ki Mandarakan memang ingin bermain-main lagi dengan Ki Naga Sisik Salaka. Kedua-duanya memang sudah pikun. Aku juga ingin melihat, apa saja yang dapat dilakukan oleh orang-orang pikun. Sedangkan Ki Lurah Agung Sedayu adalah kawan bermainku sejak mudanya. — Wajah Ki Candra Bumi berkerut Namun kemudian ia berkata -Bagus. Bagus. Jika aku mendapat lawan orang-orang muda, maka aku-pun akan menjadi tegar dan muda kembali. — – Nah, kakangmas – berkata Kangjeng Adipati Pragola – kita sudah bertemu. Apakah Pangeran Adipati Anom sudah menyampai¬kan jawabanku atas pesan kakangmas ? — – Sudah. Ia sudah menyampaikannya. Iapun mengatakan bahwa ia telah pingsan di medan pertempuran melawan pamannya yang ber¬ilmu sangat tinggi. — – Aku sudah memperingatkannya agar ia meninggalkan medan. Tetapi ia justru mulai menyerang. Tetapi aku masih dapat mengekang diri. Yang mengenainya bukan mata tombakku, tetapi pangkal landean tombakku ini, sehingga kulitnya sama sekali tidak terluka. Mungkin ia pingsan. Tetapi bukankah tidak membahayakan jiwanya ? Jika seseo¬rang yang bakal menggantikan kedudukan ayahandanya, memang kuasa di Mataram. — — Terima kasih adimas, bahwa kau masih ingat kepada kemena¬kanmu itu. Pangeran Adipati Anom memang cepat kehilangan kendali diri. Ia masih muda seperti yang adimas katakan tadi, – berkata Pa¬nembahan Senapati pula. Namun kemudian katanya — Tetapi apakah benar bahwa adimas tidak mau menarik pasukan adimas sampai kese¬belan Utara Pegunungan Kendeng ? — – Memang tidak kakangmas. Aku justru ingin pergi ke Mataram — jawab Kangjeng Adipati Pragola dari Pati. Panembahan Senapati menarik nafas dalam-dalam. Ia masih mencoba untuk mengendapkan perasaannya, sementara Kangjeng Adipati Pragola itupun berkata ~ Sudah lama aku ingin mengatakan kepada kakangmas, bahwa biarlah aku saja yang memegang kepe¬mimpinan diatas tanah ini setelah Kangjeng Sultan Hadiwijaya di Pa¬jang wafat. Sejak semula aku menganggap bahwa cara kakangmas mengambil kekuasaan dari Pajang adalah tidak sah. Tetapi aku masih berharap bahwa kakangmas akan dapat mendudukkan diri sebagai seorang pemimpin yang baik. Karena itu, aku bersedia membantu ka¬kangmas. Bahkan ketika kakangmas menyerang dan menundukkan Panembahan Mas Di Madiun. Namun ternyata harapanku itu sia-sia, sehingga akhirnya aku berkeputusan untuk mengambil alih kepemim¬pinan atas Pajang dari kakangmas. – Panembahan Senapati termangu-mangu sejenak, la tidak meno¬lak seseorang menilai tentang dirinya. Apa yang telah dilakukannya dan apa yang akan dilakukannya tidak akan banyak terpengaruh oleh pendapat orang lain. Bahkan pendapat orang lain tentang dirinya akan dapat dipergunakannya untuk menjadi bahan pertimbangan atas langkah-langkah yang bakal diambilnya. Tetapi bahwa Kangjeng Adi¬pati Pati seakan-akan tanpa merenungi akibatnya demikian mudahnya berkata, bahwa ia akan mengambil alih kepemimpinan atas tanah ini dari tangannya, ternyata telah membuat jantungnya berdetak semakin cepat Karena itu, maka Panembahan Senapati itupun kemudian menja¬wab — Adimas Adipati. Sebenarnya aku tidak pernah menutup pintu bagi sebuah pembicaraan. – Namun Kangjeng Adipati Pragola segera menyahut—Kita sudah berada di tengah-tengah medan, kakangmas. — Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Katanya – Baiklah Kita sudah berada di tengah-tengah medan pertempuran. Apa boleh buat. – Panembahan Senapati memang tidak mempunyai pilihan lain. Ketika Kangjeng Adipati Pragola bergeser surut, maka panembahan Senapatipun telah melangkah surut pula. Dengan demikian, maka keduanyapun telah bersiap untuk segera bertempur. Nampaknya kedua saudara ipar itu tidak dapat menemukan jalan lain kecuali mengadu tajamnya ujung tombak. Ki Patih Mandaraka yang tua itupun segera bergeser menjauh. Ki Naga Sisik Salaka yang juga bergeser berkata – Tunggu. Eh, aku tidak dapat lagi berjalan terlalu cepat — Ki Patih Mandaraka tertawa. Katanya – Kau justru nampak men¬jadi semakin muda. Marilah, sudah lama kita tidak bergurau dengan cara yang mungkin tidak disenangi oleh anak-anak muda. – Ki Naga Sisik Salakapun segera mempersiapkan tongkatnya. Namun ia masih sempat berkata – Dahulu, aku menganggap bahwa tong¬katku ini terlalu ringan. Tetapi setelah aku menjadi semakin tua, rasa-rasanya tongkatku menjadi semakin berat — Ki Patih tertawa. Katanya – Apakah tongkatmu itu masih dapat kau pergunakan untuk membakar sampah seperti dahulu ? Jika kau ke¬dinginan didini hari, kau kumpulkan sampah, kemudian kau bakar de¬ngan hidung tongkatmu itu untuk menghangatkan diri ? – Ki Naga Sisik Salaka tertawa. Sambil mengangguk-angguk ia berkata – Sekarang sudah tidak lagi. Aku tidak pernah lagi merasa ke¬dinginan, justru karena aku sudah menjadi semakin tua. — — He, apakah sebenarnya yang akan kita lakukan sekarang ? — bertanya Ki Mandaraka. Ki Naga Sisik Salaka tiba-tiba berkata dengan sungguh-sungguh – Ki Juru Martani. Kau adalah orang yang sangat aku kagumi. Sampai sekarangpun aku menyadari, bahwa aku tidak akan pernah dapat me¬nandingi ilmumu. Tetapi kali ini aku minta tolong kepadamu agar kau sudahi tugas-tugasku disamping Kangjeng Adipati. Aku tidak tahu ke¬napa Kangjeng Adipati berubah. Semakin lama ia menjadi semakin jauh dari kakandanya, Panembahan Senapati. Aku sudah berusaha un¬tuk membujuknya. Tetapi aku tidak berhasil. — – Jadi apa maksudmu ? — bertanya Ki Patih Mandaraka. – Kita akan bertempur. Tetapi mimpiku tiga malam yang lalu te¬lah memberitahukan kepadaku, bahwa tugas-tugasku akan berakhir sekarang. — – Ah, kau selalu saja bergurau dalam keadaan apapun. Aku tahu, bahwa ilmu yang bertimbun didalam dirimu bertumpuk sampai me¬nyentuh langit — berkata Ki Patih mandaraka kemudian. – Kaulah yang masih saja bergurau. Cobalah sedikit menunjuk¬kan sedih hatimu sebagai pernyataan kesetia kawananmu, bahwa se¬bentar lagi, seorang dari sekian banyak sahabatmu akan mati dipertempuran. — – Jangan berkata begitu — sahut Ki Patih Mandaraka. Namun Ki Naga Sisik Salaka itu segera mengangkat tongkatnya dan memutarnya. Dengan nada dalam ia berkata — Marilah Ki Juru Martani. Jika kau tidak bersedia mengantar aku kedunia abadiku, maka biarlah aku yang mengantarmu. – Ki Juru tidak bertanya lagi. Tetapi iapun segera mempersiapkan diri menghadapi Ki Naga Sisik Salaka dengan senjata tongkatnya itu. Dalam pada itu, Ternyata Ki Candra Bumi justru telah lebih da¬hulu mulai menyerang Agung Sedayu. Tanpa senjata ditangan, Ki Candra Bumi meloncat menyambar kearah kening. Agung Sedayupun dengan cepat menghindar. Namun karena la¬wannya masih belum bersenjata, maka Agung Sedayupun belum mengurai cambuknya pula. Dengan garangnya Ki Gede Candra Bumi berloncatan. Tangan¬nya menyambar-nyambar dengan cepatnya. Namun Agung Sedayu¬pun mampu bergerak secepat serangan-serangan Ki Candra Bumi. – Ternyata kau bukan sekedar anak bawang, Ki Lurah – geram Ki Gede Candra Bumi. – Siapapun aku, aku akan menjalankan perintah ini sebaik-baiknya. — jawab Agung Sedayu. – Aku sebenarnya kasihan kepadamu. Kau masih terhitung muda. Tetapi perintah Panembahan Senapati kepadamu untuk menjadi Senapati pengapitnya adalah sama saja dengan jatuhnya hukuman mati. He apakah kau belum pernah mengenal namaku ? — – Sebelum aku turun menjadi Senapati pengapit Panembahan Se¬napati, belum Ki Gede. Ki Gede Candra Bumi menggeram. Serangan-serangannya sema¬kin lama menjadi semakin deras. Seperti angin yang bertiup semakin kencang mengguncang pepohonan. Tetapi pertahanan Agung Sedayu sama sekali tidak terguncang. Jantung Ki Candra Bumi semakin lama menjadi semakin panas. Lurah prajurit Mataram itu masih saja mampu mengimbangi ilmunya yang tinggi. Bahkan dengan geram ia berkata ~ He, Ki Lurah. Apakah kau tahu bahwa aku adalah salah seorang guru Kangjeng Adipati Pati ? – Aku tahu Ki Candra Bumi – jawab Agung Sedayu – Tetapi kadang-kadang seorang murid memang menjadi lebih pandai dari gu¬runya. Apalagi seorang murid yang memiliki lebih dari dua tiga orang guru. — – Kau benar. Tetapi aku adalah salah seorang diantara mereka yang membentuk Kangjeng Adipati Pragola menjadi seorang yang il¬munya tidak dapat dijajagi. Ia akan menggilas Panembahan Senapati dan merampas tahta Mataram yang dirampas oleh Panembahan Sena¬pati dari Pajang. — Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia justru meloncat menye¬rang. Ki Gede Candra Bumi melihat serangan itu. Tetapi Ki Gede Candra Bumi sengaja tidak menghindar. Ia ingin menjajagi kekuatan Ki Lurah Agung Sedayu itu. Seorang Lurah Prajurit yang telah dipa¬sang menjadi Senapati Pangapit Panembahan Senapati. Benturan yang keras telah terjadi Dua kekuatan yang besar telah beradu. Ternyata Agung Sedayu telah tergetar selangkah surut Tangan¬nya yang membentur pertahanan Ki Gede Candra Bumipun terasa menjadi nyeri. Namun Ki Gede Candra Bumipun telah terdorong surut pula. Iapun merasa nyeri pula sebagai mana Agung Sedayu. Ki Candra Bumi itupun menjadi yakin, bahwa Ki Lurah Agung Sedayu memang seorang yang memiliki kemampuan yang besar. Tetapi itu bukan berarti bahwa Senapati pengapit yang masih ter¬hitung muda itu memiliki tataran ilmu yang memadai untuk mengim¬bangi ilmunya. Ki Gede Candra Bumipun kemudian telah meningkatkan ilmunya tataran demi tataran. Ia ingin mengukur seberapa tinggi ta¬taran ilmu Senapati muda itu. Nampaknya Agung Sedayu mengerti maksud lawannya. Seba¬gaimana sifatnya, maka Agung Sedayu tidak ingin melampaui tataran-tataran Ki Gede Candra Bumi itu. Karena itu, justru Agung Sedayulah yang menyesuaikan diri dengan tataran ilmu lawannya. Dengan demikian maka pertempuran antara Ki Gede Candra Bumi melawan Ki Lurah Agung Sedayu itu menjadi semakin sengit Keduanya menjadi semakin garang, sementara ilmu merekapun me¬rambat semakin tinggi. Dalam pada itu, Ki Tumenggung Yudapamungkas telah meng¬erahkan kekuatan prajurit-prajuritnya yang ada di pangkal leher gelar perang dari Mataram itu untuk mendesak lawan. Tetapi lawan telah menyusun gelarnya lebih baik lagi, memang tidak mudah untuk digun¬cang. Sementara itu, diujung sayap, Ki Untara yang memiliki kemam¬puan yang tinggi didalam perang gelar, harus mengakui bahwa pasu¬kan lawanpun memiliki ketahanan yang tinggi pula. Sementara itu, Swandaru yang ada didalam sayap itu pula masih bertempur dengan Ki Ajar Terepan. Seorang yang memiliki ilmu yang tinggi pula. Semen¬tara itu, semakin seru pertempuran yang terjadi diantara Ki Ajar Ter¬epan melawan Swandaru, maka mata tombak Ki Ajar itu semakin berkilat-kilat Namun cambuk Swandarupun menggelepar dan kemu¬dian berputar dengan cepatnya. Tidak lagi terdengar ledakan-ledakan. Tetapi setiap hentakan yang terasa adalah getarnya yang menyentuh dada. Disayap yang lain pertempuranpun menjadi semakin sengit Ke¬tika matahari bergerak turun, maka prajurit cadangan yang berada di¬tabuh gelar perangpun mulai berkeringat. Merekalah yang kemudian bertempur dengan garangnya sementara jumlah kedua belah pihak menjadi semakin susut Tubuh para prajurit yang terluka banyak yang terbujur lintang di arena. Kawan-kawan mereka berusaha untuk membawa tubuh-tubuh itu keluar dari medan agar mereka tidak terinjak-injak kaki. Namun kadang-kadang kesempatan itu tertutup. Bahkan yang gugurpun harus dibiarkan berada ditempatnya. Para prajurit sibuk bertahan untuk tetap hidup, sementara senjatapun berputaran dimana-mana. Beberapa orang yang memiliki ilmu yang khusus, mempunyai pengaruh yang kuat disetiap bagian dari gelar perang kedua belah pi¬hak. Para Senapati dan orang-orang tertentu yang terselip dian tara para prajurit secara khusus, baik didalam pasukan Mataram, maupun pasu¬kan Pati. Ki Demang Rancak yang bergabung dengan para prajurit Mata¬ram yang berasal dari Ganjur, ternyata memiliki kelebihan yang meng¬getarkan para prajurit Pati. Tetapi di sayap yang lain, Ki Dadap Panutan, seorang pertapa di pesisir Utara harus dihadapi oleh beberapa prajurit Mataram bersama-sama karena kelebihannya. Sedangkan di pusat gelar perang dari kedua belah pihak, Panem¬bahan Senapati tengah bertempur dengan serunya melawan Kangjeng Adipati Pati. Para prajurit justru telah menyibak. Keduanya memiliki kemampuan dan ilmu yang tidak terjajagi oleh para prajurit Disebelah arena di pusat gelar itu, Ki Patih Mandaraka yang tua telah bertempur melawan Ki Sisik Salaka. Keduanya adalah orang-orang tua yang berpijak lebih banyak para ilmunya daripada dukungan kewadagan mereka. Lontaran-lontaran ilmu yang bagaikan kilat yang menyambar-nyambar dilangit Sedangkan disisi yang lain, Ki Lurah Agung Sedayu bertempur melawan Ki Gede Candra Bumi. Ternyata Ki Gede Candra Bumi se¬makin lama menjadi semakin keras. Tenaganya meningkat berlipat. Tetapi Agung Sedayupun mengimbanginya. Dikerahkannya tenaga dalamnya untuk mengimbangi kekuatan tenaga lawannya. Namun untuk mengatasi perasaan nyeri disaat benturan-benturan terjadi maka, Agung Sedayupun mulai mengetrapkan ilmu kebalnya. Dengan demikian, maka pertempuran diantara kedua orang itu menjadi semakin dahsyat. Langit masih buram ketika matahari menjadi semakin rendah di¬sisi Barat Ternyata bahwa para prajurit Mataram perlahan-lahan mu¬lai menguasai medan. Pasukan Untara disayap gelar perang pasukan Mataram beberapa kali telah mengguncang supit lawannya. Namun Untara masih belum berhasil memecahkan atau mendesak surut Mes¬kipun demikian, Untara dengan kemampuannya mengatur gelar per¬ang telah memberikan tekanan,-tekanan yang sangat berat bagi lawan¬nya. Sementara itu, Swandaru yang bertempur dengan Ki Ajar Terepan, semakin lama menjadi semakin sengit pula. Ujung tombak Ki Ajar yang berkeredipan telah mulai menyentuh pakaian Swandaru. Ketika ujung tombak itu sempat mengoyak bajunya, maka Swandaru dengan cepat meloncat mengambil jarak. Ki Ajar Terepan tidak memburunya. Ia juga ingin melihat apa¬kah ujung tombaknya sempat menggores kulit lawannya yang agak gemuk yang bertempur dengan garang itu. Tetapi ternyata Swandaru tersenyum sambil berkata—Kau hanya mampu mengoyak pakaianku. – Ki ajar Terepan menggeram. Kalanya – Jika ujung tombakku menggores seujung rambut saja, maka tidak ada obat yang dapat me¬nyelamatkan nyawamu. — Swandaru mengerutkan keningnya. Tetapi ia percaya, bahwa wa¬rangan yang tajam, memang sangat berbahaya. Goresan kecil, berani membubuhi racun pada darahnya yang akan dapat memungut nyawa¬nya. Namun dengan demikian Swandaru semakin berhati-hati. Ia me¬miliki kemampuan yang tinggi dalam ilmu cambuk. Karena itu, maka dengan ujung cambuknya ia harus tetap memelihara jarak sehingga ujung tombak lawannya itu tidak tergores pada tubuhnya. Demikianlah, maka pertempuranpun menjadi semakin sengit Ujung tombak Ki Ajar Terepan itu nampaknya tidak lagi sekedar ber¬keredipan. Tetapi nampak kilatan-kilatan cahaya yang menusuk peng¬lihatan Swandaru. Tetapi Swandaru tidak mau terpengaruhi oleh mata tombak la¬wannya. Karena itu, maka cambuk Swandaru itu berputar semakin cepat, menggelepar dan menggeliat Ujungnya sekali-sekali mematuk dengan cepat kearah dada lawannya. Tetapi Ki Ajar Terepanpun dengan cepat pula berloncatan meng¬hindari kejaran ujung cambuk Swandaru. Sekali tombaknya berputar, kemudian terjulur lurus kearah lambung. Tetapi Swandaru yang mengerti betapa garangnya racun di ujung tombak iku, tidak membiarkan kulitnya tergores sama sekali. Dengan demikian, maka kedua orang itupun bergerak semakin cepat Tetapi ujung cambuk Swandaru ternyata lebih tangkas dari ujung tombak lawannya. Karena itu, maka ketika Ki Ajar Terepan ga¬gal menusuk lambung Swandaru dan berusaha meloncat surut untuk mengambil jarak, maka ujung cambuk Swandaru sempat menyentuh pundaknya. Ki Ajar Terepan berteriak marah. Sentuhan ujung cambuk Swan¬daru telah mengoyak pundaknya. Darahpun mulai mengalir dari luka-lukanya itu. – Setan kau – geram Ki Ajar Terepan. Ternyata bukan hanya Senapati yang kemarin bertempur melawan Swandaru. Tetapi hari itu, pundaknya juga telah terluka. Dengan kemarahan yang menghentak jantungnya, maka Ki Ajar Terepan berusaha untuk membalasnya. Jika ia berhasil, maka itu ber¬arti bahwa orang yang melukai pundaknya itu akan terbunuh. Sementara itu, langitpun menjadi semakin muram. Matahari menjadi semakin rendah disisi langit sebelah Barat Agung Sedayu yang bertempur dengan Ki Gede Candra Bumi menjadi semakin sengit Keduanya telah meningkatkan ilmu mereka semakin tinggi. Serangan-serangan Ki Gede Candra Bumi yang masih saja tidak bersenjata itu, ternyata mampu menggoyahkan ilmu kebal Agung Sedayu. Ketika Ki Gede Candra Bumi menghentakkan serang¬annya dengan telapak tangannya, Agung Sedayu berusaha menangkis¬nya dengan tangannya pula. Ketika benturan itu terjadi maka Agung Sedayu merasakan getar yang mengguncang menyusuri urat-urat da¬rahnya sampai ke jantung, menyusup ketahanan ilmu kebalnya. Agung Sedayu meloncat surut. Ia bersiap untuk menerima se¬rangan berikutnya, betapa jantungnya terasa nyeri. Namun Ki Gede Chandra Bumi itu tidak memburunya. Wajahnya menjadi tegang. Ternyata benturan itupun membuatnya tergetar. Bah¬kan ilmu kebal Agung Sedayu dalam tataran yang semakin tinggi, te¬lah memancarkan udara panas pula. Ki Gede Candra Bumi menggeram. Dengan nada dalam ia ber¬kata — Luar biasa. Lurah yang masih terhitung muda ini. – Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun ia sadar, bahwa Ki Candra Bumi tentu akan meningkatkan ilmunya semakin tinggi. Dengan demikian, maka pertempuran diujung paruh gelar perang Garuda Nglayang itu benar-benar telah menyibak. Para prajurit yang bertempur disekitarnya tidak dapat mengerti dengan jelas apa yang te¬lah terjadi. Pertempuran antara Panembahan Senapati melawan Kang¬jeng Adipati Pati itu benar-benar merupakan pertempuran yang tidak dapat dimengerti. Sementara Ki Patih Mandaraka yang bertempur me¬lawan Ki Naga Sisik Salaka yang bersenjata tongkat itu, rasa-rasanya seperti dua orang yang sedang bermain-main. Mereka saling melontar¬kan ilmu mereka. Sekali-sekali mereka memang bertempur pada jarak jangkau wadagnya, namun kemudian mereka saling bergeser surut dan bertempur dari jarak beberapa langkah. Sedangkan Ki Gede Candra Bumi telah bertempur pada landasan ilmu mereka yang semakin tinggi pula. Ki Gede itu menjejak bumi, maka tiba-tiba saja anginpun seakan-akan telah bertiup dari dalam bumi. Berputaran seperti angin pusaran. Semakin lama semakin cepat dan mulai bergerak kearah Agung Se¬dayu. Agung Sedayu pernah mengalami serangan seperti itu. Karena itu, maka iapun segera mengurai cambuknya. Dengan tataran tertinggi ilmu cambuknya, maka Agung Sedayu menghadapi serangan yang mengerikan itu. Kangjeng Adipati Pati sempat melihat Ki Gede Candra Bumi menghentakkan ilmu puncaknya itu. Dengan demikian, maka Kang¬jeng Adipati sempat pula memperhitungkan, bahwa Senapati Pengapit Panembahan Senapati yang muda itu tentu memiliki ilmu yang sangat tinggi pula, sehingga Ki Gede Candra Bumi terpaksa mempergunakan ilmunya yang menggetarkan jantung itu. Para prajurit Patipun melihat pusaran angin yang membubung tinggi. Memutar dan meremas, kemudian mengangkat dan memban¬ting ketanah, apa saja yang di sentuhnya. Agung Sedayu berdiri tegak ditempatnya. Ia tidak ingin meloncat menghindari serangan ilmu lawannya itu. Ia sadar, kemana ia pergi, maka ilmu pusaran angin itu akan memburunya, karena pusaran angin itu seakan-akan memiliki penglihatan. Para prajurit yang berada di gelar perang kedua belah pihak itu¬pun menjadi berdebar-debar. Tetapi mereka tidak sempat terlalu ba¬nyak mempergunakan waktu untuk mengamati pusaran angin itu. Demikian pusaran angin itu bergulung menyerang Agung Sedayu dan siap untuk meremas dan mengangkatnya dan kemudian membantingnya jatuh kebumi, maka Agung Sedayupun sudah bersiap pada alas tataran tertinggi ilmu cambuknya. Karena itu, ketika angin pusaran itu memasuki batas jangkauan ujung cambuknya, maka Agung Sedayupun telah mengangkat dan menghentakkan cambuknya dengan segenap kemampuan ilmunya. Ledakan itu sendiri tidak terdengar terlalu keras. Namun akibat¬nya memang sangat mengejutkan. Angin pusaran itu telah berguncang dengan dahsyatnya. Kemu¬dian pecah berhamburan. Benda-benda yang telah hanyut berterbangan telah dilemparkan kembali terbaur disekitarnya, terma¬suk debu dan tanah berpasir. Ki Gede Candra Bumi terkejut. Ia tidak menduga sama sekali, bahwa Lurah prajurit yang masih terhitung muda itu mampu mengim¬bangi kemampuan ilmunya yang mendebarkan itu. Bahkan Kangjeng Adipati Pragolapun terkejut Ia tahu, bahwa Ki Gede Candra Bumi, salah seorang dari sekian banyak gurunya, memi¬liki ilmu yang sangat tinggi. Namun salah satu ilmunya telah dipecah¬kan oleh seorang Lurah prajurit yang masih muda itu. Namun kemampuan ilmu itu bukan satu-satunya ilmu Ki Gede Candra Bumi. Demikian ia melihat angin pusarannya pecah menebar dan hilang dari udara, maka dengan cepat Ki Gede telah menapak keil-munya yang lain. Ia tidak mau kehilangan waktu, sementara langit su¬dah menjadi semakin buram. Ia ingin mengakhiri lawannya sebelum pertanda senja berkumandang, sehingga pertempuran akan berakhir. Demikian debu terhambur dari udara, maka Ki Gede Candra Bumi telah menakupkan telapak tangannya. Dipandanginya Agung Sedayu dengan tajamnya, sambil memusatkan nalar budinya. Agung Sedayu yang melihat sikap itupun segera tanggap. Iapun segera berdiri tegak dengan kaki renggang. Kedua tangannya meng¬genggam pangkal dan ujung juntai cambuknya. Sejenak kemudian ia melihat Ki Gede Candra Bumi itu menghen¬takkan kedua tangannya dengan telapak tangan terbuka kearah tubuh¬nya. Seleret sinar memancar dari telapak tangan Ki Gede Candra Bumi itu menghentakkan kedua tangannya dengan telapak tangan ter¬buka kearah tubuhnya. Seleret sinar memancar dari telapak tangan Ki Gede Candra Bumi. Sinar yang berwarna kemerah-merahan meluncur dengan cepat kearah dada Agung Sedayu. Namun Agung Sedayu tidak terlambat. Demikian sinar yang kemerah-merahan itu bergerak, maka sorot mata Agung Sedayupun tiba-tiba bagaikan menyala. Demikianlah, maka benturan yang dahsyat telah terjadi. Dua ke¬kuatan ilmu yang sangat tinggi telah saling menghantam. Getar ke¬kuatannya ternyata telah memantul, menggocang bagian dalam tubuh kedua orang itu. Ki Lurah Agung Sedayu yang masih terhitung muda itu terpental beberapa langkah surut Tubuhnya jatuh terbanting diatas tanah. Mes¬kipun Agung Sedayu masih menggeliat namun bagian dalam dadanya terasa menjadi sangat nyeri dan sakit. Perisai ilmu kebalnya ternyata tidak mampu menahan getar ilmunya sendiri yang memantul karena benturan yang sangat dahsyat Sementara itu, Ki Gede Candra Bumipun telah terlempar surut beberapa langkah pula. Seperti Agung Sedayu, maka Ki Gede talah ja¬tuh terlentang. Terdengar ia mengaduh tertahan. Namun suaranya ke¬mudian seakan-akan tersumbat dikerongkongan oleh darahnya yang kemudian mengalir disela-sela bibirnya. Para prajurit yang melihat keduanya terlempar dan terbanting ja¬tuh itupun untuk sesaat terhenyak kedalam kebingungan. Namun ke¬mudian beberapa orang segera berlari-lari mengambil tubuh itu dan membawanya kebelakang garis pertempuran. Panembahan Senapati dan Kangjeng Adipati Pati melihat ben¬turan serta akibatnya. Namun keduanya tidak dapat berbuat sesuatu, karena keduanya masih tetap bertempur dengan sengitnya. Sementara itu matahari menjadi semakin rendah. Di sayap gelar perang prajurit Mataram, Untara telah mengguncang pertahanan supit lawannya. Beberapa kali supit gelar prajurit Pati itu harus memper¬baiki kedudukannya. Sementara itu, Swandaru yang bertempur melawan Ki Ajar Ter¬epan menjadi semakin sengit pula. Swandaru berusaha untuk sama se¬kali tidak tersentuh ujung tombak Ki Ajar Terepan. Namun justru karena itu, dalam gejolak pertempuran yang terjadi, Ki Ajar tidak saja bergantung kepada ujung tombaknya. Ketika Swandaru dengan cepat menghindari ujung tombaknya. Ketika Swandaru dengan cepat meng¬hindari ujung tombaknya. Ketika Swandaru dengan cepat menghin¬dari ujung tombak Ki Ajar yang menyambar mematuk kearah dada, maka Swandaru telah meloncat kesamping. Tetapi diluar dugaannya, Ki Ajar yang luput menikam sasaran dengan ujung tombak itu dengan cepat berputar. Kakinya terayun mendatar menyambar kearah dada. Swandaru yang terkejut berusaha menghindar sekali lagi. Tetapi serangan itu datang demikian cepat, sehingga Swandaru tidak berhasil menghindari sepenuhnya. Kaki lawannya telah menyambar pundak¬nya, demikian derasnya, sehingga Swandaru itu terputar dan jatuh ber¬guling ditanah. Ki Ajar Terapan yang melihat lawannya jatuh terguling, dengan cepat berusaha untuk memburunya. Jika ia berhasil menyentuh tubuh lawannya itu dengan ujung tombaknya, maka selesailah pertempuran yang sengit itu. Namun Swandaru menyadari keadaannya. Ia tidak tergesa-gesa bangkit, karena ia sadar, bahwa serangan lawannya akan segera da¬lang. Tetapi sambil berbaring, maka Swandaru telah menghentakkan cambuknya. Lawannyalah yang terkejut Dengan cepat ia berusaha menghin¬dar dengan meloncat tinggi-tinggi. Tetapi ujung cambuk Swandaru yang diberi berkarah baja itu menggeliat Ujungnya sempat menyen¬tuh betis Ki Ajar Terepan. Perasaan sakit yang amat sangat telah menyengat kaki Ki Ajar. Dengan serta-merta ia meloncat mundur, sementara Swandaru dengan ceepat meloncat bangkit Swandarulah yang kemudian memburu la¬wannya dengan ujung cambuknya. Sekali lagi terdengar Ki Ajar mengaduh. Ujung cambuk itu me¬nyentuh lambungnya. Hanya segores tipis. Tetapi darah telah mengalir pula dari luka dilambungnya itu. Ki Ajar Terepan benar-benar menjadi gelisah. Keadaannya sudah menjadi semakin sulit Luka-lukanya terasa pedih. Sementara luka di¬betisnya terasa mengganggu kecepatan geraknya. Namun dalam keadaan yang demikian, terdengar pertanda, bahwa matahari telah menyusup dibalik buku. Wajah langit menjadi kemerah-merahan. Kelompok-kelompok burung bangau terbang melintas di wajah mega-mega yang menggantung dilangit tanpa menghiraukan apa yang telah terjadi dibawah. Swandaru menggeram marah. Ia sudah yakin akan dapat membu¬nuh lawannya beberapa saat lagi. Ia sudah melukai lawannya, se¬hingga tidak lagi mampu bertahan dengan baik. Ujung tombaknya yang beracun tajam, tidak lagi memburunya seperti seekor lalat Ketika para prajurit dan pengawal mulai bergerak surut swan¬daru itupun berteriak lantang — Aku tantang kau berperang tanding tanpa menghiraukan kesepakatan perang. Bukankah kita masing-masing bukan prajurit ? — Tetapi suara Swandaru itu bagaikan diterbangkan angin. Tidak seorangpun yang menghiraukannya. Ki Ajar Terepan juga tidak. Isya¬rat yang masih terdengar seolah-olah justru men tertawakan teriakan Swandaru itu. Swandaru menggeram marah. Ia hanya dapat memandangi dua orang yang justru sedang membantu Ki Ajar Terepan menarik diri dari medan pertempuran. Demikianlah, perlahan-lahan kedua gelar perang itu bergeser mundur. Panembahan Senapatipun telah menghentikan pertempuran¬nya melawan Kangjeng Adipati Pati. Keduanya masih nampak segar. Seandainya mereka harus bertempur lagi sehari semalam, nampaknya mereka masih mampu melakukannya. Meskipun demikian, ketika mereka mundur dari garis pertem¬puran, nampak Kangjeng Adipati Pad menggeliat sambil memijit lam¬bungnya. Kemudian menghentakkan kedua tangannya berganti-ganti. Meskipun Kangjeng Adipati juga merasa letih. Yang lebih letih lagi adalah perasaan Kangjeng Adipati Pati. Satu kenyataan harus dihadapinya. Salah seorang gurunya, Ki Gede Candra Bumi, ternyata telah terluka parah dibagian dalam tubuhnya. Keada¬annya lemah sekali, dan bahkan suaranya hampir tidak dapat didengar lagi. – Guru — desis Kangjeng Adipati Pati didekat tubuh yang telah diangkat dengan tandu yang dipersiapkan dengan tergesa-gesa itu. Ki Gede Candra Bumi Membuka matanya. Katanya dengan nada suara yang dalam — Anak itu luar biasa. Aku melihat ciri-ciri unsur ge¬raknya yang rumit dan sulit dimengerti. Juga ilmunya yang dua tiga ganda. — Kangjeng Adipati Pati termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya – Guru akan segera sembuh. — Ki Gede Candra Bumi mencoba untuk menarik nafas dalam-dalam. Tetapi dadanya terasa sakit, seakan-akan ujung duri kemarung bersarang didalam paru-parunya. Kangjeng Adipati Pati tidak bertanya lagi. Ia berjalan dengan ke¬pala tunduk disebelah tandu yang membawa ki Gede Candra Bumi. Disebelahnya Ki Naga Sisik Salaka juga berjalan bertelekan tongkat¬nya. Tetapi Ki Naga Sisik Salaka itu tidak mengatakan sesuatu. Demikianlah maka beberapa saat kemudian, kedua pasukan itu sudah berada di pasanggrahan mereka masing-masing. Ketika malam turun, maka kedua belah pihak telah mengirimkan kelompok-kelompok untuk mencari kawan-kawan mereka yang menjadi korban. Yang gugur dan yang terluka. Di perkemahan Kangjeng Adipati Pati telah mengumpulkan para panglima dan Senapati perang. Dari mereka Kangjeng Adipati Pati mendapat laporan, bahwa pasukan Pati itu telah mengalami luka yang cukup parah. Ki Naga Sisik Salaka, meskipun tidak terluka menurut ujud lahi¬riahnya, namun sebenarnyalah Ki Naga Sisik Salaka memerlukan ke¬sempatan untuk beristirahat. Benturan-benturan ilmu yang dilakukan dengan Ki Patih Mandaraka membuat Ki Naga Sisik Salaka menjadi sangat letih. Bahkan beberapa bagian tubuhnya merasa nyeri dan pe¬dih. Bahkan beberapa Senapati di sayap gelar pasukannya telah mengalami tekanan yang cukup berat dari pasukan Mataram. Karena itu, maka Kangjeng Adipati Patipun memutuskan untuk tidak turun ke gelanggang perak esok pagi. — Tetapi kita harus tetap berhati-hati. Mungkin sekali Panem¬bahan Senapati membawa pasukannya yang sudah terlanjur dipersiap¬kan menyerang perkemahan kami. — Namun seorang Senapati Pati berkata – Aku kira Mataram tidak akan mempertaruhkan pasukannya untuk melakukan hal itu. Seandai¬nya Mataram benar-benar melakukannya, alangkah bodohnya orang-orang Mataram itu, karena untuk memecahkan sebuah pertahanan di¬perlukan kekuatan yang jauh lebih besar dari kekuatan pertahanan itu sendiri. – Kangjeng Adipati mengangguk-angguk. Katanya – Besok, kita akan menilai kekuatan dan kemampuan kita. Apakah kita masih mem¬punyai kekuatan cukup untuk turun dengan gelar perang atau tidak. – Kita memang memerlukan waktu untuk beristirahat, Kangjeng — berkata seorang Panglimanya – setelah kita beristirahat, maka keadaan kita akan menjadi lebih baik. Besok lusa kita akan turun ke gelanggang dengan kekuatan dan kemampuan yang jauh lebih besar dari yang sebenarnya kita miliki, Kangjeng. Jika kita beristirahat se¬hari, maka kita akan mendapat kesempatan untuk mengatur kembali dan sekaligus memberikan petunjuk-petunjuk kepada para -Senapati dan bahkan para prajurit. — Kangjeng Adipati Pragola mengangguk-angguk. Namun sekali lagi ia berkata — Tetapi kemungkinan Panembahan Senapati menye¬rang perkemahan kita masih tetap ada. Ia seorang yang keras hati dan terlalu percaya kepada kemampuan sendiri. — Sebenarnyalah malam itu. Panembahan Senapati tidak melihat kesulitan yang gawat didalam pasukannya. Meskipun jumlahnya me¬mang semakin susut, namun yang masih ada bagi Panembahan S
    • Bagian II Sebenarnyalah malam itu. Panembahan Senapati tidak melihat kesulitan yang gawat didalam pasukannya. Meskipun jumlahnya me¬mang semakin susut, namun yang masih ada bagi Panembahan Sena¬pati masih cukup kuat untuk menghadapi pasukan Pati yang tentu juga telah menjadi susut pula. Yang agak menggelisahkan adalah keadaan Agung Sedayu yang telah berbenturan ilmu dengan Ki Gede Candra Bumi. Bagaimanapun juga, Ki Gede Candra Bumi adalah seorang berilmu tinggi yang memi¬liki pengalaman lebih banyak dari Agung Sedayu, sehingga pertem¬purannya melawan Ki Gede merupakan pertempuran yang sangat berat baginya. Meskipun demikian, ketika benturan ilmu itu harus terjadi, maka Agung Sedayu ternyata mampu mengimbangi kemapanan ilmu Ki Gede Candra Bumi. Meskipun Agung Sedayu tergetar dan terlempar surut, tetapi bagian dalam tubuh Agung Sedayu tidak di hancurkan oleh benturan itu. Ilmu kebalnya meskipun telah tertembus oleh getar balik dari benturan yang dahsyat, namun masih juga dapat menahan sehingga hentakkan pada bagian dalam tubuhnya itu tidak merontok¬kan jantungnya. Tetapi Agung Sedayu memerlukan waktu untuk memperbaiki keadaannya. Ia harus mendapatkan kesempatan khusus untuk duduk bersamadi, mengatur pernafasannya serta memusatkan nalar budinya disamping serbuk obat ramuannya berdasarkan pengetahuan obat-obatan yang dipelajarinya dari gurunya langsung atau dari kitab yang ditinggalkannya. Meskipun demikian, Ki Juru menasehatkan kepada Agung Se¬dayu, agar dikeesokan harinya, ia tidak ikut turun ke medan. – Siapakah yang akan menjadi Senapati pengapit ? — Ki Patih Mandaraka menarik nafas dalam-dalam. Katanya — Panembahan Senapati masih belum menyebut. Mungkin Ki Tumeng¬gung Yudapamungkas. Tetapi mungkin juga salah seorang Pangeran yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Itupun masih harus di sertai se¬kelompok Senapati pilihan yang dapat dipercaya. — Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia menyadari, bahwa ia sendiri tentu masih belum dapat turun ke medan di keesokan harinya. Kekuatannya tentu masih belum pulih, meskipun daya tahan¬nya sudah dapat mengatasi rasa sakitnya. Malam itu, ketika Ki Patih Mandaraka kemudian meninggalkan Agung Sedayu yang berada disebuah ruang khusus didalam ling¬kungan perkemahan pasukan Mataram, Swandaru telah mengunjungi¬nya. Sambil mengangguk-angguk Swandaru berdesis — Sokurlah, jika keadaanmu menjadi semakin baik, kakang, – – Yang Maha Agung masih melindungi aku. – desis Agung Se¬dayu. – Untunglah bahwa lawanmu bukan seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi, sehingga meskipun kau terluka, tetapi kau masih mampu bertahan dan bahkan mengatasinya. – Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sementara itu Swandaru-pun berkata – Ternyata yang kau katakan itu benar, kakang. Sayap ge¬lar perang dapat menentukan akhir dari pertempuran. Sementara ke¬menangan di sayap gelar dapat ditentukan pula oleh kelebihan bagian atau kelompok-kelompok tertentu dalam sayap gelar itu. — – Agung Sedayu masih saja mengangguk-angguk. Dalam pada itu, maka Swandarupun telah menceriterakan kemenangan-kemenangannya melawan Senapati Pati dan kemudian melawan Ki Ajar Terepan. – Jika saja aku mendapat waktu lebih banyak, aku tentu sudah membunuh keduanya. Ki Ajar Terepan adalah seorang hamba istana yang dipercaya untuk merawat pusaka-pusaka Kangjeng Adipati Pati. Ia adalah seorang yang ilmunya sangat tinggi. Ia memiliki pusaka yang sangat dipercayanya, yang setiap goresan ujung rambut sekalipun, akan dapat membunuh lawannya karena racun yang sangat tajam. — – Untunglah bahwa kau tidak tersentuh ujung tombak itu – desis Agung Sedayu. – Jika kau memiliki kemauan berlatih serta niat dan ketekunan yang tinggi, kaupun tentu dapat melakukannya. Kau tidak akan selalu dilukai oleh lawan-lawanmu Menurut pengetahuanku, hampir setiap kali kakang turun dimedan pertempuran, maka kakang selalu terluka. Kadang-kadang tidak terlalu parah. Tetapi kadang-kadang parah se¬kali. ~ Agung Sedayu memandang wajah Swandaru sekilas. Tetapi wa¬jah itu nampaknya wajar sekali. Swandaru memang merasa berhak un¬tuk mengatakan hal itu kepadanya. Swandaru ternyata masih berkata selanjurnya – Kakang. Berapa kali aku menganjurkan kakang untuk lebih banyak berada didalam sanggar. Meskipun kakang seorang Lurah prajurit, tetapi kakang harus menyisihkan waktu bagi kepentingan kakang sendiri. Mungkin justru karena kakang telah mendapat kedudukan, maka kakang menjadi se¬makin malas untuk berlatih, sehingga dengan demikian maka ilmu yang kakang miliki tidak akan berkembang. Sudah tentu bukan itu yang dimaksud guru yang telah mewariskan kitabnya kepada kita. – – Aku mengerti Swandaru—jawab Agung Sedayu – setelah per¬ang ini selesai, maka aku akan mempergunakan waktuku sebaik-baiknya. Mudah-mudahan aku masih mampu mengembangkan il¬muku. — – Kenapa tidak. ? Tidak ada batas umur seseorang untuk meng¬embangkan pengetahuannya – jawab Swandaru. Agung Sedayu mengangguk-angguk pula, sementara Agung Se¬dayu berkata – Kita akan saling berdoa, mudah-mudahan kita selamat keluar dari pertempuran ini. — – Bukankah dalam keadaan seperti ini kakang tidak akan turun lagi ke medan ? – bertanya Swandaru. Agung Sedayu termangu mangu sejenak. Baru kemudian ia berkata – Agaknya memang tidak. Ki Patih tidak akan mengijinkan jika aku turun lagi ke pertempuran meskipun bukan sebagai seorang Senapati pengapit. Entah dua atau tiga hari lagi, jika keadaanku men¬jadi semakin baik. – Bagaimana keadaan lawan kakang ? – bertanya Swandaru. – Aku tidak mengetahuinya – jawab Agung Sedayu. – Jika Ki Patih Mandaraka menunjuk aku menggantikan kedudukanmu, maka aku akan bersedia melakukannya. – berkata Swandaru. Agung-Sedayu menjadi berdebar-debar. Jika benar Swandaru itu ditempatkan disisi Panembahan Senapati maka kedudukan itu tentu akan sangat membahayakan adik seperguruannya. Betapapun tinggi ilmu Swandaru, namun Agung Sedayu mengetahui, bahwa tataran ke¬mampuan ilmu Swandaru agak terbatas pada ilmu cambuknya saja, tanpa melihat ke kedalaman ilmunya. Tetapi Agung Sedayu tidak mengatakannya. Ia takut Swandaru menjadi salah paham. Apalagi Swandaru sudah terlanjut menganggap kemampuannya jauh lebih tinggi dari kemampuan Agung Sedayu Sendiri. Setiap kali Agung Sedayu memang merasa bersalah. Ia tidak ber¬ani berterus-terang mengatakan kepada adik seperguruannya ia ten¬tang tataran kemampuannya dalam perbandingan dengan kemapuan adik seperguruannya itu, sehingga kesalah-pahaman itu justru menjadi semakin berlarut-larut. Dalam pada itu, maka Swandarupun telah minta diri untuk kembali ke kesatuannya, pengawal Kademangan Sangkal Putung Mataram, baik secara pribadi maupun kemampuan dalam gelar perang. Sikap Swandaru memang menggelisahkan Agung Sedayu. Sebagai seorang saudara tua, ia berkewajiban mengatakan kebenaran kepada adiknya tentang tataran kemampuannya. Tetapi ternyata Agung Sedayu tidak mampu melakukannya. Dalam pada itu, maka perkemahan pasukan Mataram itupun se¬makin lama menjadi semakin sepi. Para prajurit memanfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk beristirahat. Mereka akan bersiap didini hari un¬tuk segera menyusun gelar perang. Tidak banyak perubahan terjadi da¬lam susunan kekuatan. Baik Para Senapati maupun kesatuan-kesatuan yang ada didalamnya. Untuk menggantikan Agung Sedayu, Panembahan Senapati me¬mang tidak menunjuk seorang Pangeran. Tetapi Panembahan Senapati telah menunjuk Ki Tumenggung Yudapamungkas didampingi dua orang Senapati pilihan. Dalam pada itu, Swandaru di kemahnya memang menunggu. Mungkin ia akan bermimpi ditimpa rembulan bulat disaat purnama. Betapapun kecilnya ia memang berpengharapan untuk dipanggil oleh Ki Patih Mandaraka atau oleh Panembahan Senapati sendiri untuk me- nerima perintah, agar ia menggantikan kedudukan Agung Sedayu menjadi Senapati pengapit. Tetapi perintah itu ternyata tidak pernah diturunkan. Menjelang pagi, maka para prajurit Mataram itupun sudah ber¬siap. Mereka sudah berada dikesatuan mereka masing-masing yang setiap saat akan segera memasuki gelar sebagaimana direncanakan. Namun ketika segala-galanya sudah disiapkan untuk segera men¬dapat isyarat untuk memasuki gelar, ternyata Panembahan Senapati mendapat laporan dari para pengawas, bahwa mereka tidak melihat gerak pasukan Pati menyusun gelar perang. — Menurut pengamatan kami, maka pasukan Pati tidak akan ke¬luar dari dinding perkemahan mereka yang mereka buat dari batang kelapa yang cukup tinggi. — Kenapa kau menganggap begitu ? — bertanya Ki Patih Manda¬raka yang mengerutkan dahinya. — Kami melihat pasukan Pati mempersiapkan benteng mereka semakin mapan dan kuat Mereka telah membuat beberapa panggung di belakang dinding perkemahan. Dari panggung itu para prajurit Pati akan menghambat gerak maju pasukan Mataram. Mereka telah mem¬persiapkan busur dan anak panah, lembing dan senjata-senjata yang lain. Mereka telah mempersiapkan busur-busur yang ukurannya lebih besar dari busur kebanyakan. – Ki Patih mengangguk-angguk. Tetapi agaknya Panembahan Se¬napati ingin membuktikannya kebenaran laporan itu. Karena itu. Maka Panembahan Senapati telah mengirimkan petugas-petugas sandi yang khusus pula. Sebenarnyalah laporan yang diterima kemudian adalah sama se¬perti laporan sebelumnya. Bahwa pasukan Pati nampaknya tidak akan bergerak keluar dari dinding yang mengelilingi perkemahannya. Ka¬rena itu, mereka telah mempersiapkan pertahanan yang sangat kuat. Panembahan Senapati memang menjadi bimbang. Apakah-ia akan menyerang perkemahan itu atau tidak. Namun Ki Patih Mandarakapun kemudian berkata – Sebaiknya kita beristirahat hari ini ngger. Kita belum siap untuk menyerang per¬tahanan Pati yang kuat itu. Karena itu, kita memaksa diri menyerang benteng pertahanan Pati itu, ngger, maka korban akan terlalu banyak yang jatuh. Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Katanya — Baiklah. Kita beristirahat hari ini. — Keputusan itu memang menimbulkan perbedaan pendapat Tetapi para prajurit dan pengawal, tetap patuh kepada perintah Panem¬bahan Senapati. Seorang Senapati yang tidak dapat mengerti kenapa serangan ha¬rus ditunda berdesis kepada kawannya—Justru kita mendapat kesem¬patan yang paling baik untuk menghancurkan Pati di perkemahannya. – Untuk menyerang sebuah perkemahan, apalagi yang telah sempat membangun benteng seperti pasukan Pati itu memang diperlukan kekuatan yang sangat besar. Mungkin kita dapat memecahkan pertah¬anan mereka dan memasuki dinding perkemahan untuk mengusir me¬reka. Tetapi yang dicemaskan oleh Panembahan Senapati adalah jum¬lah korban yang tidak terkendali. – – Jadi jatuh korban, bukan hanya dari pihak kita. Tetapi prajurit Patipun akan memberikan korban yang banyak sekali. — – Itulah yang tidak diinginkan oleh Panembahan Senapati. Apakah itu prajurit Mataram atau prajurit Pati, tetapi setiap nyawa harus mendapat perhatian. – – Jika demikian, kenapa kita harus berperang ? Kenapa kita tidak mengiakan saja semua kehendak Kangjeng Adipati Pati. Jika demi¬kian, maka tidak akan ada korban yang jatuh – berkata Senapati itu. — Bagi seorang prajurit, berperang adalah pekerjaan seorang laki-laki, sebagaimana seorang perempuan harus melahirkan anak-anaknya. — – Tetapi Panembahan Senapati juga memikirkan, apakah jumlah korban yang jatuh itu tidak dapat ditawar lagi ? Meskipun kita seorang prajurit yang memang dipersiapkan untuk perang, tetapi bagi Panem¬bahan Senapati, adalah lebih baik jika kita dapat memenangkan perang dengan korban yang sesedikit-sedikitnya. — Senapati itu tidak menjawab lagi. Tetapi wajahnya nampak gelap. Ia benar-benar merasa kecewa, bahwa pasukan yang sudah siap itu tidak jadi bergerak. Panembahan Senapati mengerti, bahwa ada di antara prajuritnya dan bahkan Senapati yang merasa kecewa atas keputusannya. Karena itu, maka Panembahan Senapati itupun melengkapi perintahnya de¬ngan perintah berikutnya – Setiap Senapati harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Besok, pasukan Mataram akan menyerang. Jika pasu¬kan Pati tidak keluar dari dinding perkemahannya, maka pasukan Ma¬taram akan menyerang perkemahan itu. Karena itu, Setiap Senapati harus menempatkan diri sesuai dengan kemungkinan yang dapat ter¬jadi. — Perintah itu dapat mengurangi kekecewaan didada para prajurit dan Senapati yang ingin segera menyelesaikan pertempuran dengan mendesak Pati mundur sampai ke sebelah Utara pegunungan Ken-deng. Meskipun pada hari itu, pasukan Mataram tidak turun ke medan, namun pengawasan dan perlindungan terhadap perkemahan dilakukan dengan bersungguh-sungguh. Mataram menyadari, jika mereka le¬ngah, maka pasukannya akan dihancurkan oleh pasukan Pati. Sementara hari itu pasukan Mataram tidak turun ke medan, maka para Senapati telah mendapat perintah dan petunjuk-petunjuk khusus apa yang harus mereka lakukan jika mereka menyerang pertahanan Pati dibelakang benteng batang kelapa mereka dan kokoh. Para prajurit yang berperisai harus mengambil peranan. Para pe¬tugas sandi telah melaporkan, bahwa Pati telah bersiap untuk menahan arus serangan dengan anak panah dan lembing. Bahkan secara khusus, sekelompok prjurit telah mempersiapkan busur yang lebih besar dari ukuran busur kebanyakan. Agung Sedayu yang terluka bagian dalam tubuhnya, merasa ke¬cewa bahwa ia tidak mendapat kesempatan untuk ikut bertempur me¬nyerang benteng pertahanan di perkemahan pasukan Pati. Ki Patih Mandaraka yang secara khusus menemuinya, menasehatkan bahwa sebaiknya Agung Sedayu berusaha memperbaiki keadaannya. Me¬nyembuhkan luka dalam yang dideritanya. Dalam pada itu lewat tengah hari, Panembahan Senapati telah memanggil para Panglima, para Senapati dan para pemimpin pasukan pengawal yang ada didalam barisan yang besar itu. Panembahan Sena¬pati telah memberikan perintah-perintah langsung kepada mereka, seandainya besok pasukan Pati tidak turun ke medan dalam gelar per¬ang. — Bahwa pasukan Pati tidak turun dalam gelar perang, itu sudah merupakan isyarat bahwa kekuatan Pati telah terguncang. Mereka memperhitungkan kemungkinan yang lebih baik jika mereka bertahan didalam dinding perkemahannya. Dengan demikian mereka mempu¬nyai peluang lebih banyak untuk membunuh para prajurit Mataram yang datang menyerang dinding pertahanan mereka. – berkata Pa¬nembahan Senapati. Dengan jelas Panembahan Senapati membayangkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat terjadi disaat para pra¬jurit Mataram berusaha memecahkan pintu gerbang atau memanjat di¬nding batang kelapa itu. — Kita harus mempersiapkan tangga bambu sebanyak-banyaknya. Disekitar tempat ini terdapat banyak sekali rumpun bambu. Kita akan membuat tangga bambu itu meskipun mungkin kita tidak akan pernah mempergunakan karena kita akan bertempur dalam gelar perang seperti yang pernah terjadi. — Panembahan Senapatipun telah membagi pasukannya menjadi tiga bagian yang akan menyerang pertahanan Pati dari tiga jurusan seandainya tidak terjadi perang gelar. Tetapi sekelompok pasukan khusus justru akan menyerang perkemahan Pati itu dari arah belakang. Mereka akan menyerang dengan diam-diam. — Demikianlah, maka para prajurit Matarampun telah sibuk dengan segala macam persiapan perang. Namun para prajurit Mataram masih berusaha untuk tidak me¬nampakkan persiapan itu dengan semata-mata. Hal-hal yang masih mungkin disembunyikan, masih juga disembunyikan. Tetapi ternyata para petugas sandi dari Pati memiliki ketajaman penglihatan, mereka melihat bagaimana orang-orang Mataram mem¬buat puluhan tangga bambu. Ketika Kangjeng Adipati Pragola mendapat laporan itu, maka ia-pun segera memanggil para Panglima dan Senapati untuk mempelajari kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi. Kangjeng Adipati Pragola ingin mendengar pendapat para Pang¬lima dan Senapati, tentang parsiapan Panembahan Senapati yang agaknya akan menyerang perkemahan. – Apakah Panembahan Senapati dengan kekuatan yang seim¬bang akan menyerang perkemahan yang dikelilingi dengan dinding batang kelapa ini ? — desis seorang Panglima. – Nampaknya memang begitu — jawab Kangjeng Adipati — se¬perti aku katakan kemarin. Panembahan Senapati adalah orang yang keras hati dan terlalu percaya akan kemampuan sendiri. — – Jika demikian, lebih baik kita menunggu didalam dinding per¬kemahan ini. ~ berkata seorang Senapati. Yang lain nampaknya sependapat. Bahkan Ki Naga Sisik Salaka yang nafasnya masih terasa sesak itu berkata – Kangjeng, aku juga se¬pendapat, bahwa kita akan bertahan didalam dinding perkemahan ini. Tetapi kita harus mempersiapkan segala sesuatunya dengan sebaik-baiknya. Bukan saja senjata dan ketrampilan berperang, tetapi kita ha¬rus mempunyai tekad untuk menang. — – Ya. Itu memang penting, guru — jawab Kangjeng Adipati Pragola. – Nah, jika demikian, para Panglima dan para Senapati, jangan sekedar main-main lagi. Kita harus dapat menghancurkan pasukan Mataram yang besar itu. Jika pasukan Mataram, mundur dari arena pertempuran, maka kita harus dengan cepat mempersiapkan diri untuk di keesokan harinya menyerang perkemahan Mataram. Jangan ada tenggang waktu sehingga Mataram sempat menyusun kekuatannya kembali. – berkata Ki Naga Sisik Salaka pula. Kangjeng Adipatipun meneruskan – Nah, kalian dengar. Dengan demikian, maka kalian harus bersiap-siap. Bukan saja mempertahan¬kan perkemahan itu, tetapi sekaligus setiap kesatuan harus bersiap un¬tuk keluar dari benteng dalam gelar yang mapan, tetapi juga siap me¬mukul pasukan Mataram di perkemahannya. Kita memiliki kelebihan dari pasukan Mataram, bahwa kita sempat membuat dinding dari ba¬tang kelapa, sementara Mataram tidak. – Dengan demikian maka Kangjeng Adipati Pragolapun telah me¬merintahkan untuk mempersiapkan pertahanan sebaik-baiknya. – Apa yang sudah kita siapkan sampai hari ini, kita tingkatkan lagi. Sediakan anak panah sebanyak dapat disediakan. Demikian pula lembing. Sediakan galah untuk mendorong tangga-tangga bambu de¬mikian orang-orang Mataram memanjat. Jika orang pertama hampir mencapai bibir dinding perkemahan, maka tangga itu didorong dengan galah sampai roboh. Dalam keadaan yang tidak seimbang bagi para prajurit yang terjatuh itu, maka mereka akan menjadi sasaran anak pa¬nah dan lembing para prajurit yang lain. Demikianlah, maka persiapan di perkemahan Patipun ditingkat¬kan. Jika sebelumnya mereka bersiap-siap menghadapi kemungkinan serangan para prajurit Mataram, maka kemudian yang memang telah mempersiapkan perlengkapan untuk menyerang perkemahan. Apa yang dilakukan oleh para prajurit Pati itupun tidak luput dari perhatian para petugas sandi dari Mataram. Para petugas sandi itupun melihat peningkatan persiapan yang dilakukan oleh para prajurit Pati. Demikianlah, Maka persiapan-persiapan merekapun sudah mengarah pada satu kepastian. Para prajurit Pati akan bertahan dibela kang dinding perkemahannya, sementara pasukan Mataram akan me¬nyerang perkemahan itu. Agung Sedayu yang mendengar rencana yang pasti tentang se¬rangan ke perkemahan prajurit Pati itu telah mencoba menghubungi Ki Patih Mandaraka, untuk minta ijin, apakah dirinya diperkenankan untuk ikut pergi ke perkemahan para prajurit Pati. Seorang prajurit yang mendapat perintah untuk menghadap Ki Patih itu tidak mendapat jawaban. Tetapi Ki Patih berkata – Biarlah aku datang menemuinya. — Sebelum menemui Agung Sedayu, Ki Patih telah singgah meng¬hadap Panembahan Senapati. Namun Panembahan Senapati ternyata tidak mengijinkannya. — Ia harus mengakui kenyataan tentang dirinya – berkata Panem¬bahan Senapati — aku yakin bahwa Ki Gede Candra Bumi juga tidak akan ikut dalam pertempuran mempertahankan benteng mereka. — Ketika jawaban Panembahan Senapati itu disampaikan kepada Agung Sedayu, maka Agung Sedayu hanya dapat menarik nafas pan¬jang. Tetapi ia sama sekali tidak berani menentang perintah itu. Namun kepada Ki Patih Agung Sedayu itu berkata – Aku ingin melihat, bagaimana pasukan Pati itu pecah dan lari meninggalkan per¬kemahan mereka. – – Doakan saja hal itu akan terjadi, Agung Sedayu – desis Ki Pa¬tih Mandaraka. Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya ~ Baiklah Ki Patih. Aku akan berdoa. Mudah-mudahan Panembahan Senapati ber¬hasil. — Ki Patih Mandaraka mengangguk kecil. Sambil menepuk pundak Agung Sedayu, Ki Patih berkata — Kau memerlukan waktu dua tiga hari untuk beristirahat penuh, Agung Sedayu. — – Ya, Ki Patih — Agung Sedayu mengangguk dalam-dalam. Dalam pada itu, maka kedua belah pihakpun telah benar-benar mempersiapkan diri. Ketika malam turun, maka Kangjeng Adipati Pragola dari Pati telah memerlukan melihat sendiri persiapan-persiapan yang dilakukan oleh para prajurit Pati. Busur dan beronggok-onggok anak panah dan lembing. Bahkan beberapa orang telah membuat alat pelontar batu dari bambu apus yang baru ditebang dari rumpun-rumpun bambu sehingga masih lentur. Kemudian galah bambu yang dapat untuk mendorong tangga-tangga bambu orang-orang Mataram yang akan disandarkan pada dinding perkemahan yang terbuat dari batang-batang kelapa utuh yang ditanam berjajar ra¬pat dan diikat dengan tali-tali ijuk dan tutus bambu. Sementara itu, di perkemahan orang-orang Mataram, Panem¬bahan Senapati telah menyampaikan pesan-pesan terakhir bagi para pasukan yang terdiri dari para prajurit dan bukan prajurit. Sedangkan yang bukan prajuritpun terbagi atas mereka yang memiliki kemampuan setingkat dengan prajurit dan tidak. — Untuk menyerang benteng pertahanan satu pasukan yang kuat, kita benar-benar harus mempunyai perhitungan yang cermat. — ber¬kata Panembahan Senapati. Setelah Panembahan Senapati merasa cukup memberikan pesan-pesan dan perintah-perintah, maka para prajurit Mataram itupun se¬gera diperintahkan untuk beristirahat. – Besok kita akan memeras tanaga dan kemampuan kita. — Malam itu, Swandaru memerlukan lagi menemui Agung Sedayu sebentar. Karena Swandaru mengetahui bahwa Agung Sedayu tidak akan turun kemedan esok, maka Swandaru tidak banyak memberikan pesan-pesan. Bahkan iapun berkata — Bersukurlah bahwa kau tidak akan ikut turun keneraka besok. Aku membayangkan, bahwa perang yang akan terjadi esok, adalah perang habis-habisan. Mataram akan berusaha dengan segenap kemampuannya untuk merebut benteng orang-orang Pati dan mengusirnya sampai kesebelah Utara Pegu¬nungan Kendeng, sementara orang-orang Pati akan mempertahankan benteng itu habis-habisan. — Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya kemudian — Berhati-hatilah kau adi Swandaru. Betapapun tinggi ilmu seseorang, namun ia tentu masih memiliki kelemahan-kelemahan. — Swandaru tersenyum. Katanya – Baik kakang. Aku akan berhati-hati Tetapi bekal seseorang untuk turun kemedan perang akan ikut me¬nentukan, apakah ia akan berhasil atau tidak. — Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya – Ya. Tetapi kesadaran diri untuk berhati-hati tetap penting. Kepercayaan diri yang berlebih-lebihan kadang-kadang sering merugikan diri sendiri, karena orang itu akan salah menilai medan. – Swandaru bahkan tertawa. Katanya – Ya, ya. Aku mengerti. Te¬tapi apakah menurut kakang, aku terlalu percaya kepada diriku sendiri, bahkan agak berlebihan ? — – Bukankah setiap orang mungkin sekali dihinggapi perasaan yang demikian pada suatu saat ? — sahut Agung Sedayu. Swandaru mengangguk-angguk. Katanya – Ya. Seseorang kadang-kadang memang tidak dapat mengukur kemampuan diri. Te¬tapi aku tidak pernah lepas dari kendali kesadaranku, sehingga aku mampu menilai lawan-lawanku dan lingkungan pertempuran disekeli lingku dan baik. — – Sokurlah — Agung Sedayu mengangguk-angguk. — Mudah-mudahan kau dan seluruh kekuatan Mataram akan berhasil. — – Mudah-mudahan serangan ke benteng orang-orang Pati itu mampu memecahkan pertahanan mereka besok. Dengan demikian, kami tidak usah mengulanginya lagi besok. Dengan demikian, kami ti¬dak usah mengulanginya lagi besok lusa. — berkata Swandaru. Demikianlah, maka Swandaru pun segera minta diri untuk beristi¬rahat. Namun ketika ia berbaring diantara para pengawal Kademangan Sangkal Pulung, maka ia teringat lagi pesan Agung Sedayu, agar se¬seorang tidak terlalu percaya kepada diri sendiri sehingga akan salah menilai medan. – Apakah kakang Agung Sedayu menganggap penilaianku atas kemampuanku itu berlebihan ? — bertanya Swandaru didalam hatinya. Swandaru justru merasa kecewa, bahwa ia tidak pernah berada disatu lingkaran medan pertempuran dengan kakak seperguruannya itu. Jika saja mereka berada didalam satu lingkaran medan, maka ia akan dapat memperlihatkan kepada kakak seperguruannya itu ke¬nyataan tentang ilmunya yang tinggi. – Seharusnya kakang Agung Sedayu sempat melihat sendiri, apa yang dapat aku lakukan di medan pertempuran. – berkata Swandaru didalam hatinya. Sementara itu, Agung Sedayu yang dianggap masih belum sembuh benar dari luka-luka didalam dirinya itu, duduk menyilangkan ka¬kinya disudut pembaringannya. Ia minta kepada dua orang pemimpin kelompok yang melaksanakan tugasnya selama ia tidak dapat turun kemedan untuk menjaga agar ia tidak terganggu. – Aku akan mencoba obat yang telah aku racik berdasarkan catatan-catatan guru di kitabnya. Obat itu termasuk obat yang keras. Usahakan agar aku tidak terganggu. Namun jika keadaanku menjadi buruk karena obat itu, kau harus berusaha untuk memasukkan obat yang lain kedalam mulutku hingga tertelan – berkata Agung Sedayu sambil memberikan dua butir obat kepada mereka. Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Mereka masih be¬lum memahami benar-benar pesan Agung Sedayu itu. Agaknya Agung Sedayu mengerti keragu-raguan dihati kedua¬nya. Karena itu, maka iapun segera menjelaskan — Aku akan menelan obat yang terhitung keras itu. Jika saat obat itu bekerja didalam tu¬buhku menimbulkan akibat buruk padaku, sehingga aku menjadi pingsan, maka kalian harus berusaha membuka mulutku dan mema¬sukkan kedua butir obat itu sehingga tertelan. Jika kalian mengalami kesulitan, kalian dapat menuangkan cairan sedikit demi sedikit, se¬hingga obat itu akan hanyut lewat tenggorokanku dan meredam ke¬kuatan obat yang lebih dahulu kutelan. Tetapi jika kalian terlambat atau tidak berhasil memasukkan obat itu kedalam tenggorokanku, maka akibat buruk itu akan menjadi semakin buruk bagiku. — – Tetapi, kami tidak terbiasa melalukannya — desis yang seorang diantara kedua prajurit itu. — Kau akan dapat melakukannya. Hanya jika keadaanku menjadi sangat buruk sehingga aku menjadi pingsan. Jika tidak, kalian tidak usah berusaha memasukkan obat itu kedalam tenggorokanku. — Keduanya masih tetap ragu-ragu. Tetapi Agung Sedayu berkata pula — Lakukan. Jangan bimbang. Kalian harus yakin bahwa kalian dapat melakukannya. Sementara itu, kalian harus menjaga, agar aku ti¬dak terganggu oleh siapapun selama aku mencoba mengobati diriku sendiri dengan cara itu. Aku tidak menerima tamu siapapun juga, bah¬kan Panembahan Senapati sekalipun dan Ki Patih Mandaraka. Hanya jika mereka yang datang, kau harus dapat memberikan penjelasan se¬hingga mereka dapat mengerti. — Kedua orang itu mengangguk-angguk, betapapun mereka merasa beban tugas itu terasa sangat berat bagi mereka berdua. Meskipun demikian, mereka berdua bertekad untuk dapat melak¬sanakan dengan sebaik-baiknya. Demikianlah, maka Agung Sedayupun telah menelan ramuan obat-obatan yang disebutnya mempunyai kekuatan yang keras. De¬ngan beberapa teguk air masak yang sudah didinginkan, maka obat yang berupa serbuk lembut berwarna kecoklat-coklatan itu didorong masuk lewat tenggorokannya. Kedua orang prajurit yang menungguinya itu menjadi tegang. Mereka melihat Agung Sedayu itupun kemudian duduk dengan me-nyilanggkan kaki dan tangannya disudut pembaringannya sambil me- mejamkan matanya. Sementara salah seorang dari keduanya meme¬gang sebuah bumbung kecil yang berisi dua butir obat untuk menawar¬kan obat yang telah ditelan oleh Agung Sedayu itu apabila keadaannya menjadi sangat buruk. Untuk beberapa saat keduanya menunggu dengan jantung yang berdebar-debar. Ketika kedua prajurit itu melihat Agung Sedayu bergetar, bahkan seolah-olah menggigil kedinginan, maka seorang diantara keduanya berbisik – Keadaannya memburuk. ~ – Tetapi belum sampai pada batas yang dikehendaki, – jawab yang lain. Dengan saksama keduanya mengikuti perkembangan keadaan Agung Sedayu. Beberapa saat Agung Sedayu memang seakan-akan menggigil. Namun kemudian tubuh itu mulai berkeringat. Di kening, di leher dan bahkan di wajah Agung Sedayu keringatnya mengembun semakin banyak. Kemudian mengalir dan menetes jatuh. Tetapi Agung Sedayu masih tetap duduk menyilangkan kaki dan tangannya. Wajahnya menunduk dengan mata yang masih juga terpe¬jam. Kerut di dahinya nampak menjadi semakin dalam. – Ia menjadi kesakitan — desis salah seorang prajurit yang meli¬hat perubahan wajah Agung Sedayu. – Bukan kesakitan. Tetapi ia menahan gejolak didalam dirinya saat obat itu bekerja – sahut yang lain. Tetapi yang seorang menjadi sangat cemas melihat keadaan Agung Sedayu. Dibawah cahaya lampu minyak dilihatnya wajah Agung Sedayu menjadi pucat. Bibirnya terkatub rapat-rapat – Keadaannya memburuk sekarang – desis yang seorang. – Tetapi ia tidak pingsan – sahut yang lain. Keadaan Agung Sedayu nampaknya memang menjadi semakin sulit. Nafasnya menjadi sesak sementara keringatnya mengalir sema¬kin deras. – Apakah kita menunggu Ki Lurah pingsan — bertanya yang seo¬rang. Kawannya memang mulai menjadi ragu-ragu. Tetapi dalam pesannya Agung Sedayu menyebut, jika ia pingsan, maka obat itu ha¬rus diusahakan dapat melewat kerongkongannya. Sejenak kedua orang prajurit itu menjadi ragu-ragu. Ketegangan telah mencengkam mereka, sehingga untuk sesaat keduanya justru diam mematung. Keadaan Agung Sedayu memang semakin memburuk, sehingga kedua orang prajurit itu tidak mau mengalami kelambatan. Seorang di-antara mereka berdesis — Sekarang. Tidak ada waktu lagi. – Yang lain termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun te¬lah meraih mangkuk berisi air dingin. — Bagaimana kita memasukkan obat ini ? Apakah kita angkat wajah Ki Lurah, atau kita membaringkannya ? – Keduanya tidak segera dapat mengambil keputusan. Mereka me¬lihat wajah Agung Sedayu yang menunduk dengan mata yang terpe¬jam. Sekali-sekali wajah itu terangkat saat Agung Sedayu berusaha mengatasi pernafasannya yang terasa semakin jauh dan dalam. Kedua orang prajurit itu menjadi semakin gelisah. Untunglah, bahwa tidak ada orang lain yang datang mencari Agung Sedayu, se¬hingga mereka tidak menjadi bertambah bingung. Ketika mereka kemudian mendengar desah perlahan-lahan, maka mereka tidak menunggu lebih lama lagi. Keduanya segera bergeser mendekat. Seorang diantara mereka berkata — Kita baringkan saja Ki Lurah itu dipembaringannya. Dengan demikian, kita akan menjadi le¬bih mudah untuk memasukkan kedua butir obat penawar itu kedalam kerongkangannya. — Kawannya mengangguk. Tetapi ketika mereka bersiap untuk membaringkan Agung Se¬dayu dipembaringannya, tiba-tiba mereka melihat perubahan para Ki Lurah itu. Agung Sedayu telah menarik nafas dalam-dalam. Kemu¬dian melepaskannya sehingga seolah-olah dadanya menjadi kosong sama sekali. Namun kemudian diulanginya dan diulanginya. Kedua orang prajurit itu tertegun sejenak. Mereka melihat tarikan nafas Agung Sedayu menjadi semakin teratur. Kepalanya menunduk sementara matanya masih terpejam. Namun Agung Sedayu tidak lagi tersengal-sengal. Beberapa saat, justru Agung Sedayu telah menegakkan dadanya. Meskipun matanya masih terpejam, tetapi kepalanya tidak lagi me¬nunduk. Sementara itu, Agung Sedayu itu telah mampu mengatasi ke¬sulitan pernafasannya. Perlahan-lahan Agung Sedayu telah mulai mengatur pernafasannya dengan baik. Bahkan kemudian Agung Se¬dayu telah berhasil menguasai gejolak getar didalam dirinya. Obat yang keras, yang diminumnya, telah bekerja didalam dirinya, menyu¬suri urat-urat darahnya sampai ke ujung-ujungnya yang terkecil. Me¬nyusup kedalam setiap serat daging dan tulang sung-sumnya, otot-otot serta syarafnya. Kedua prajurit yang tegang itupun menarik nafas dalam-dalam. Mereka melihat keadaan Agung Sedayu yang menjadi semakin baik meskipun tubuhnya masih basah oleh keringat. Tetapi bukan hanya Agung Sedayu sajalah yang basah oleh keri¬ngat. Tetapi pakaian kedua orang prajuritnya itupun seakan-akan baru saja di pungut dari rendaman air dan langsung mereka kenakan dita¬buh mereka. Kedua orang prajurit itu terkejut ketika mereka mendengar suara kentongan di sudut-sudut perkemahan. Ternyata mereka telah berada di tengah malam. Agung Sedayu justru mulai membuka matanya. Diurainya tang¬annya, kemudian direntangkannya. Bahkan kemudian Agung Sedayu itupun telah bangkit. Dengan memusatkan nalar budinya, Agung Sedayu telah me¬nelan obat yang diramunya sesuai dengan rincian yang tertulis dida¬lam kitab yang ditinggalkan oleh gurunya. Obat yang keras, yang be¬lum pernah dicobanya sebelumnya. Ternyata bahwa obat itu mempunyai manfaat yang sangat besar bagi tubuhnya yang terluka didalam. Dengan obat yang keras itu, Agung Sedayu telah menemukan kembali tenaga dan kemampuannya seutuhnya. Luka di bagian dalam tubuhnya itu telah sembuh sama se¬kali. Namun dengan demikian, Agung Sedayupun mengetahui, bahwa obat itu adalah obat yang berbahaya, yang tidak dapat diberikan ke¬pada setiap orang. Hanya orang-orang yang memiliki daya tahan tubuh yang tinggi sajalah yang dapat mempergunakan untuk mempercepat kesembuhan. Jika seseorang tidak mempunyai daya tahan cukup tinggi, maka obat itu justru akan merusakkan jaringan-jaringan tubuh¬nya, sehingga akibatnya akan menjadi sebaliknya dari satu usaha pe¬nyembuhan. Kedua prajurit yang berdiri termangu-mangu itu melihat, keadaan Agung Sedayu yang menjadi segar dan tegar. – Ki Lurah — desis seorang dari kedua orang prajurit itu. Agung Sedayu tersenyum. Katanya – Aku berhasil mengobati luka-luka didalam tubuhku. — – Sokurlah – prajurit itu mengangguk-angguk – kami berdua hampir saja kehilangan akal. Ketika kami melihat keadaan Ki Lurah, maka kami berdua telah memutuskan untuk memberikan obat pena¬war itu. — – Aku sekarang sudah menjadi baik seperti sediakala. – – Apakah Ki Lurah besok akan turun ke medan ? — bertanya pe¬mimpin kelompoknya itu. – Apa tugas kalian besok ? — bertanya Agung Sedayu. – Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh telah mendapat tugas untuk memasuki dinding perkemahan dengan diam-diam. – Kalian tidak termasuk dalam kesatuan yang akan menyerang perkemahan dari arah yang terbuka ? — bertanya Agung Sedayu. – Ya – jawab pemimpin kelompok itu. – Satu tugas yang sulit, justru serangan di siang hari – berkata Agung Sedayu. – Tetapi perhatian para prajurit Pati yang ada diperkemahan itu akan terikat pada serangan terbuka dari tiga arah. — – Beristirahatlah. Aku akan menghadap Ki Patih Mandaraka— berkata Agung Sedayu kemudian. Pemimpin kelompok itupun telah menyerahkan kembali-obat pe-nawar yang hampir saja disisipkan kedalam mulut Agung Sedayu, yang justru akan dapat menawarkan obat yang disebutnya sangat keras itu. Ki Patih Mandaraka yang sudah mulai berbaring dipembaringan-nya, memerlukan untuk menemui Agung Sedayu. Ketika ia mende¬ngar prajurit yang berjaga-jaga di barak perkemahannya memberitahukan bahwa Ki Patih sedang beristirahat, maka Ki Patih itu justru keluar untuk mempersilahkan Agung Sedayu masuk ke da¬lam barak kecilnya. – Adakah yang penting kau beritahukan kepada Ki Lurah ?—ber¬tanya Ki Patih. – Ampun Ki Patih — sahut Agung Sedayu – aku ingin mohon, agar aku diperkenanan untuk bersama-sama dengan prajurit-prajurit dari Pasukan Khusus di Tanah Perdikan Menoreh, berada di medan esok. – Ki Patih mengerutkan dahinya sambil berdesis – Aku melihat perubahan pada dirimu. Apakah kau berhasil mengatasi luka-luka da¬lammu ? — – Yang Maha Agung telah menolongku – jawab Agung Sedayu — Aku telah mencoba minum obat ramuan sesuai dengan petunjuk Kiai Gringsing. Obat yang belum pernah aku coba meskipun oleh di¬riku sendiri. Aku menyiapkan obat itu meskipun aku agak ragu mem¬pergunakannya. Namun akhirnya aku coba juga meskipun mengan¬dung bahaya. — Ki Patih Mandaraka menarik nafas dalam-dalam. Katanya -Kalau telah melakukan satu langkah yang sangat berbahaya bagi di¬rimu sendiri. — – Aku sudah minta dua orang prajurit untuk bersiap-siap membe¬rikan obat penawarnya jika keadaanku memburuk – berkata Agung Sedayu kemudian. Seharusnya kau lakukan dihadapan orang-orang tua seperti aku. Dalam keadaan yang sangat gawat, aku dapat membantumu. Tetapi sokurlah, bahwa segala sesuatunya telah berlangsung dengan baik. Dan nampaknya obat itu berpengaruh baik atasmu. – – Ya, Ki Patih. Aku merasa segala sesuatunya telah pulih kem¬bali. – – Bangkitlah – berkata Ki Mandaraka kemudian – berdirilah. -Agung Sedayu mengerti, bahwa Ki Patih ingin mengetahui, apakah ia benar-benar sudah sembuh. Karena itu, maka Agung Sedayu itupun segera bangkit berdiri. – Rentangkan tanganmu. — Seperti yang diperintahkan oleh Ki Patih, Agung Sedayupun te¬lah merentangkan tangannya. Dengan ujung-ujung jarinya Ki Patih meraba bahu, punggung, dada dan lambung Agung Sedayu. Kemudian pergelangan tangan dan pergelangan kakinya. Ki Patih menarik nafas dalam-dalam. Katanya – Obat yang kau pergunakan adalah obat yang sangat kuat. Jika saja bukan kau yang minum obat itu, maka akibatnya akan lain. – Agung Sedayupun kemudian telah duduk kembali. Sambil meng¬angguk dalam-dalam ia berkata ~ Aku mohon Ki Patih. Besok aku da¬pat berada diantara prajurit-prajuritku yang mendapat tugas yang sa¬ngat berat itu. – Ki Patih menarik nafas dalam-dalam. Katanya – Sebenarnya me¬mang sudah tidak ada alasan lagi untuk mencegahmu. — – Jika demikian, apakah berarti bahwa aku besok dapat ikut serta ? – Ki Patihpun kemudian tersenyum sambil mengangguk kecil — Baiklah. Semua perintah telah diberikan kepada dua orang pemimpin kelompokmu yang akan memimpin prajurit-prajurit sandi itu. Tetapi masih ada satu perintah rahasia yang belum aku sampaikan kepada ke¬dua orang pemimpin kelompokmu itu. — Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia menjadi ragu-ragu untuk bertanya, apakah ia boleh mendengar perintah rahasia itu. — Ki Patihpun kemudian memandang Agung Sedayu dengan sek¬sama. Namun kemudian katanya – Ki Lurah. Karena kau sendiri akan berada di dalam Pasukan Khususmu itu, maka kau boleh mendengar perintah rahasia itu. — Agung Sedayu memang menjadi tegang. Sementara Ki Patih Mandaraka berkata selanjurnya hampir berbisik – Besok, aku bersama lima orang perwira dari Pasukan Khusus pengawalku akan berada di¬antara para prajurit dari Pasukan Khususmu. – Wajah Agung Sedayu menegang sejenak. Ternyata Ki Patih Mandaraka sendiri akan memimpin Pasukan Khusus yang akan me¬masuki perkemahan pasukan Pati itu dengan diam-diam dari arah be¬lakang setelah pasukan Mataram yang besar menyerang dari tiga arah. Sementara itu Ki Patih Mandarakapun berkata pula – Bersa¬mamu Agung Sedayu, aku kira kekuatan pasukan kecil itu akan sema¬kin bertambah. Besok pagi-pagi aku akan memberitahukan kehadir¬anmu diantara Pasukan Khusus itu kepada angger Panembahan Senapati. Aku akan memberitahukan bahwa kau telah pulih kembali sehingga kau akan dapat melakukan tugasmu dengan baik. – – Terima kasih Ki Patih, dengan demikian maka aku tidak akan terpisah dari prajurit-prajuritku justru dalam tugas yang berat ini. — Ki Patih tersenyum. Ia tahu bahwa Agung Sedayu adalah seorang pemimpin yang bertanggung-jawab, sehingga ia akan merasa tenang berada diantara prajurit-prajuritnya apapun yang terjadi atas dirinya sendiri. Namun Ki Patih masih juga berpesan – Tetapi biarlah perintah rahasia itu tetap menjadi rahasia sampai esok pagi. — Agung Sedayu mengangguk kecil. Katanya – Aku mengerti Ki Patih. – – Baiklah, jika demikian beristirahatlah disisa malam ini. Kau memang perlu beristirahat setelah kau berjuang melawan obat yang te¬lah kau minum itu. – berkata Ki Patih. Agung Sedayupun kemudian telah mohon diri, kembali ke barak¬nya. Kepada kedua pemimpin kelompoknya ia berkata — Besok aku akan pergi bersama kalian. — Kedua orang pemimpin kelompok itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian wajah mereka menjadi cerah. Dengan nada tinggi seorang diantara mereka bertanya—Jadi besok Ki Lurah akan menyer¬tai kami memasuki perkemahan itu ? — – Ya. Aku akan berada diantara kalian. – Agung Sedayu berhenti sejenak, lalu katanya – beristirahatlah. Kau seharusnya sudah beristi¬rahat ~ – Sulit untuk dapat tidur Ki Lurah. Tetapi sekarang, kami akan ti¬dur nyenyak. — Demikianlah, disisa malam yang tinggal sedikit itu. kedua orang pemimpin kelompok prajurit dari Pasukan Khusus itupun telah me¬manfaatkannya untuk beristirahat. Demikianlah pula Ki Lurah Agung Sedayu dan bahkan juga Ki Patih Mandaraka. Menjelang fajar, maka pasukan Mataram itu sudah bersiap. Pasu¬kan Mataram telah mempersiapkan diri untuk menghadapi lawan, baik dalam perang gelar, maupun untuk menyerang perkemahan yang di¬lindungi oleh dinding pohon kelapa yang berdiri berjajar rapat sebagai benteng yang kokoh. Sesuai dengan perintah Panembahan Senapati, maka pasukan in¬duk akan menyerang benteng pasukan Pati itu dari depan. Sementara kedua sayapnya akan menyerang dari arah sebelah kiri dan kanan. Namun dalam pada itu secara khusus, pasukan kecd yang terdiri dari kelompok-kelompok prajurit dari Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh telah mendapat tugas sendiri. Sebelum fajar pasukan itu harus sudah mendekati benteng dari arah belakang. Pasu¬kan itu mendapat tugas untuk memasuki benteng dengan diam-diam. Tugas mereka yang utama adalah mendukung beban tugas Ki Patih Mandaraka untuk mencari jalan, membuka pintu bagi pasukan mata-ram jika mereka tidak dapat memasuki benteng itu dengan tangga-tangga bambu atau memecah pintu gerbang. Perintah bahwa yang akan memimpin Pasukan Khusus itu adalah Ki Patih Mandaraka sendiri, baru diberikan saat pasukan itu berang¬kat. Jika perintah itu sempat bocor sampai ketelinga petugas sandi Pati karena berbagai sebab, termasuk pengkhianatan, maka Ki Patih akan menjadi sasaran dan bahkan mungkin akan dijebak oleh orang-orang Pati. Para prajurit dari Pasukan Khusus itu memang terkejut Tetapi hati merekapun telah mekar. Mereka benar-benar merasa mengemban kepercayaan yang sangat tinggi, bahwa mereka akan melakukan satu tugas yang berat dan dipimpin langsung oleh Ki Patih Mandaraka ber-sama lima orang perwira pengawalnya. Mereka menjadi semakin tegar ketika mereka mengetahui bahwa Ki Lurah Agung Sedayu akan ber¬ada diantara mereka. Sebagaimana tugas yang khusus, maka Pasukan Khusus itu telah berangkat mendahului induk pasukannya. Mereka menyusup melalui jalan melingkar mendekati perkemahan pasukan Pati. Dalam kege¬lapan menjelang fajar, mereka merangkak mendekati dinding perke¬mahan dari arah belakang. Para prajurit Pati memang cukup berhati-hati. Pertahanan mereka menghadap kesegala arah, termasuk kearah belakang perkemahan me¬reka, sehingga dengan demikian, maka Pasukan Khusus yang dipim¬pin langsung oleh Ki Patih itu harus menjadi sangat berhati-hati, agar mereka tidak segera dilihat oleh para pengawas disisi belakang ben¬teng yang melindungi perkemahan orang-orang Pati. Bersamaan dengan itu. maka pasukan Mataram dalam gelar per¬ang telah bergerak pula meninggalkan perkemahan. Ternyata bahwa Pati benar-benar tidak keluar dari perkemahan untuk menyongsong pasukan Mataram dengan gelar perang. Tetapi mereka telah bersiap menunggu di panggungan dibelakang dinding perkemahan mereka. Sebelum matahari terbit, pasukan Mataram sudah berada bebe¬rapa puluh patok didepan benteng pasukan Pad. Panembahan Senapati telah memberikan isyarat kepada pasukannya untuk berhenti. Seperti yang telah diperintahkan, pasukan Mataram akan berge¬rak setelah Panembahan Senapati membunyikan pertanda. Dihadapan benteng yang mengelilingi perkemahan, Panembahan Senapati telah memerintahkan untuk menunjukkan segala macam tanda kebesaran Mataram. Panji-panji, rontek, umbul-umbul, kelebet dan tunggul-tunggul. Kemudian setelah segala sesuatunya siap untuk bergerak, Panembahan Senapati telah memerintahkan untuk membu¬nyikan bende Kiai Bicak. Bende pusaka Mataram yang jarang sekali di keluarkan dari Bangsal Pusaka. Suaranya telah menggetarkan udara dialas perkemahan pasukan Pati, Menghentak bagaikan udara diatas perkemahan pasukan Pati, Menghentak bagaikan mengetuk setiap dada para prajurit yang ada di perkemahan. Sementara itu, para prajurit Mataram yang mendengar suara bende Kiai Bicak, telah bersorak gemuruh seakan-akan menggu-cang dan akan meruntuhkan langit. Para prajurit Pati telah melihat kedatangan pasukan Mataram. Beberapa orang petugas sandi serta pengawas telah melaporkan, bahwa Mataram dengan kekuatan penuh telah datang menyerang per¬kemahan sebagaimana telah mereka perhitungkan berdasarkan atas laporan-laporan para petugas sandi serta atas dasar perhitungan orang-orang Pati atas sifat dan watak Panembahan Senapati. Tetapi suara bende Kiai Bicak serta gemuruh sorak prajurit Mata¬ram benar-benar telah menghentak-hentak jantung para prajurit Pati. Kangjeng Adipati Pragola yang juga mendengar suara bende serta sorak para prajurit Mataram, ternyata juga menjadi berdebar-debar. Bukan karena gentar menghadapi lawan, tetapi suara bende dan sorak gemuruh itu akan mempunyai pengaruh jiwani terhadap prajurit-prajuritnya. Karena itu, maka Kangjeng Adipatipun segera meneriakkan per¬intah agar semua prajurit Pati bersiap menghadapi segala kemung¬kinan. Ketika kemudian pasukan Mataram itu bergerak, maka para prajurit Pati itu melihat dengan jelas, bahwa prajurit Mataram telah terbagi menjadi tiga. Kedua sayap gelar pasukan Mataram itu telah melepaskan diri dari pasukan induknya. Keduanya melingkari medan yang mereka hadapi untuk mendekati barak itu dari arah samping. Para prajurit Patipun segera menyesuaikan diri. Sebagian para prajurit telah menebar memperkuat pertahanan disisi sisi benteng yang mereka bangun mengelilingi perkemahan mereka. Prajurit Mataram bergerak dengan suara dan gemuruh. Bende Kiai Bicak telah bergabung lagi, semakin keras dalam irama yang se¬makin cepat. Sementara itu, sambil bergerak maju, para prajurit Mata¬ram masih saja bersorak-sorak mengguntur. Sementara itu, para prajurit Pati yang diatas panggung yang me¬manjang telah bersiap dengan busur-busur mereka. Anak panahpun telah terpasang dan siap untuk meluncur kearah para prajurit Mataram yang bergerak maju. Sementara itu, para prajurit Mataram terutama yang berada di la¬pisan terdepan, telah mempersiapkan perisai-perisan mereka. Para prajurit berperisai itu tidak saja harus melindungi dirinya sendiri, te- tapi sejauh dapat mereka lakukan, maka mereka harus berusaha untuk melindungi para prajurit yang lain. Demikianlah, sejenak kemudian, maka Kangjeng Adipati Pra¬gola telah menjatuhkan perintah untuk melepaskan anak panah serta lembing demikian prajurit Mataram mendekati dinding pertahanan pa¬sukan Pati. Perintah yang diberikan oleh Kangjeng Adipati itu telah disam¬bung oleh setiap Senapati dan pemimpin kelompok prajurit Pati yang ada di panggung dibelakang dinding yang membentengi perkemahan mereka. Sejenak kemudian, maka anak panahpun meluncur seperti hujan yang dituangkan dari langit Gerak maju pasukan Mataram memang terhambat Tetapi para prajurit yang berperisai segera menempatkan diri. Dengan tangkas mereka menepis anak panah yang meluncur semakin deras. Bahkan kemudian disusul oleh lontaran-lontaran lembing bambu berujung be-dor besi yang tajam. Namun dalam pada itu, para prajurit Mataram tidak sekedar membiarkan diri mereka menjadi sasaran serangan anak panah dan lembing. Namun prajurit Matarampun telah mempersiapkan kelompok-kelompok yang bersenjata busur dan anak panah. Dibawah perlindungan perisai kawan-kawannya, maka kelompok prajurit yang bersenjata anak panah itu segera membalas serangan-serangan yang meluncur dari atas dinding batang pohon kelapa itu. Dengan demikian, maka anak panahpun meluncur dari dua arah. Semakin lama semakin deras. Beberapa saat kemudian, maka korbanpun mulai jatuh dari kedua belah pihak. Para prajurit Pati yang berada di belakang dinding tidak lagi dapat menyerang dengan leluasa. Tetapi merekapun harus mem¬perhitungkan serangan balasan dari para prajurit Mataram. Jika para prajurit Pati itu terlalu asyik dengan lontaran-lontaran anak panah me¬reka, maka mereka akan dapat disengat oleh ujung anak panah prajurit Mataram. Dalam pada itu, maka prajurit Mataram itupun bergerak semakin dekat Prajurit berperisai dipating depan menuntun gerak maju pasu¬kan Mataram dilindungi oleh lontaran-lontaran anak panah. Semen¬tara itu, kelompok-kelompok prajurit telah mempersiapkan tangan yang akan dapat dipergunakan untuk memanjat dinding perkemahan. Ternyata bahwa para prajurit Pati yang berada diatas dinding me¬mang benar-benar harus memperhitungkan serangan balik para praju¬rit Mataram dengan anak panah mereka. Ternyata serangan-serangan itu tidak kalah berbahayanya dari serangan-serangan para prajurit Pati atas para prajurit Mataram. Para prajurit Mataram tidak saja sekedar melontarkan anak panah. Tetapi ada diantara mereka adalah prajurit-prajurit yang mempunyai kemampuan bidik yang tinggi. Karena itu, maka setiap anak panah yang meluncur dari busur mereka akan men¬cari sasaran diantara prajurit lawan. Dalam pada itu, maka para prajurit yang membawa tanggapun te¬lah bersiap sepenuhnya. Mereka akan bergerak dengan cepat dibawah perlindungan para prajurit berperisai, sementara para prajurit yang bersenjata panah akan menghambat serangan-serangan yang dilontar¬kan dari atas dinding perkemahan. Dalam pada itu, mataharipun memanjat semakin tinggi. Pertem¬puran antara prajurit Mataram dan Pati itupun menjadi semakin sengit Anak panah meluncur dari dua arah menyambar-nyambar. Tetapi Panembahan Senapati masih belum memerintahkan para prajurit untuk memanjat dinding benteng perkemahan orang-orang Pati. Sementara itu, Panembahan Senapati telah memerintahkan para prajuritnya untuk mencari dimanakah pintu gerbang utama benteng padepokan itu. Ciri-ciri gerbang utama benteng perkemahan itu agak¬nya sudah dihilangkan. Dengan demikian, maka benteng perkemahan prajurit Pati itu seakan-akan tidak berpintu gerbang lagi. Bahkan para prajurit yang menyerang dari lambung juga tidak melihat pintu ger¬bang samping atau bahkan pintu butulan. Karena itu, maka tangga-tangga bambu itu menjadi semakin pen¬ting. Jalan memasuki benteng itu terutama adalah tangga-tangga bambu itu. Karena itu, maka Panembahan Senapati berusaha untuk menca¬pai jarak yang terpendek sebelum memerintahkan para prajurit yang membawa tangga bambu itu berlari menyandarkan tangga-tangga itu untuk memanjat. Namun dalam pada itu, di arah belakang perkemahan prajurit Pati, Ki Patih Mandaraka, lima orang perwira pengawalnya bersama para prajurit dari Pasukan Khusus yang dipimpin langsung oleh Ki Lu¬rah Agung Sedayu, telah bersiap. Sementara itu perhatian para prajurit Pati tertuju arah sisi-sisi yang mendapat serangan langsung. Meskipun diarah belakang perkemahan itu juga ditempatkan beberapa orang pengawas, tetapi mereka menjadi lengah. Mereka tidak sempat meli¬hat para prajurit Mataram dari Pasukan Khusus itu menebar dibela-kang gerumbul-gerumbul perdu sejak sebelum matahari terbit Sejak induk pasukan Mataram belum menyerang perkemahan itu. Dengan sabar Ki Patih Mandaraka menunggu kesempatan. Beta¬papun para prajurit itu gelisah, namun mereka sudah terbiasa patuh ke¬pada setiap perintah, sehingga karena itu, maka sebelum ada perintah apapun, mereka tetap berada ditempai mereka bersembunyi, meskipun jantung mereka bergejolak. Ketika pertempuran menjadi semakin sengit, lontaran anak panah meluncur dari kedua arah, sementara para prajurit Pati bersiap-siap menghadapi kemungkinan orang-orang Mataram memasang tangga-tangga bambu, maka perhatian terhadap bagian belakang benteng per¬kemahan prajurit Pati itu menjadi semakin lengah. Dalam keadaan yang demikian, maka Ki Patih Mandaraka telah memberikan isyarat kepada kelima orang perwira pengawalnya serta Agung Sedayu, untuk segera mempersiapkan diri. Sementara itu, Panembahan Senapati yang memimpin serangan di bagian depan dan lambung benteng perkemahan telah mencapai ja¬rak di perhitungan. Karena itu, maka Panembahan Senapati itupun se¬gera memberikan aba-aba, agar para prajurit yang membawa tangga dengan cepat mendekati benteng dan berusaha untuk memanjat tangga-tangga bambu itu. Aba-aba itu disambut dengan sorak gemuruh. Sekali lagi Kiai Bi¬cak ditabuh bertalu-talu. Suaranya bergema seakan-akan berputar-putar diatas perkemahan para prajurit Pati. Sementara itu para prajurit Mataram masih bersorak-sorak bagaikan mengguncang langit Dalam pada itu, para prajurit Mataram yang bersenjata busur dan panah berusaha melindungi serangan itu dengan lontaran anak panah yang tidak terhitung lagi jumlahnya. Dalam keadaan yang demikian, maka semua perhatian tertuju ke¬pada serangan itu. Tangga-tanggapun mulai dipasang. Para prajurit Mataram mencoba untuk memanjat tangga-tangga bambu itu untuk meloncati dinding perkemahan. Tetapi hal itu tidak mudah dilakukan. Beberapa buah tangga me¬mang sempat didorong jatuh bersama beberapa orang yang sudah ter¬lanjur memanjat. Sedangkan yang lain, harus berjuang untuk melawan prajurit Pati yang siap menunggu dengan ujung tombaknya diatas di¬nding. Ki Patih Mandaraka menunggu kesempatan itu. Para prajurit dari Pasukan Khsusus itu rasa-rasanya sudah tidak sabar lagi. Tetapi me¬reka tidak berani mendahului perintah Ki Patih yang memimpin lang¬sung pasukan kecil itu. Ketika pertempuran di bagian depan dan lambung perkemahan menjadi semakin riuh, maka Ki Patihpun segera memberikan perintah agar para prajurit dari Pasukan Khusus itu berusaha untuk memasuki benteng dengan caranya. Sesaat kemudian, para prajurit dari Pasukan Khusus itupun se¬gera bergerak. Mereka tidak bersorak-sorak seperti para prajurit yang berada di induk pasukan. Dengan cepat mereka mencapai dinding. De¬ngan cepat pula mereka melontarkan jangkar-jangkar besi yang meng¬gapai bibir benteng yang terdiri dari potongan batang-batang pohon kelapa yang utuh itu. Tali-tali dibuat dari serat-serat kayu yang terikat pada jangkar-jangkar yang menyangkut disela-sela dinding batang kelapa itupun ke¬mudian menjadi alat prajurit dari Pasukan Khusus itu untuk memanjat. Beberapa orang prajurit terpilih dari Pasukan Khusus itupun de¬ngan cepat memanjat tali-tali yang berjuntai itu. Demikian cepatnya sehingga para petugas yang mengawasi bagian belakang perkemahan prajurit Pati yang perhatiannya memang sedang terikat pada pertem¬puran yang terjadi di bagian lain, suara bende dan sorak yang gemuruh, terlambat menyadari apa yang sedang terjadi di bagian belakang ben¬teng perkemahan itu. Namun, demikian mereka sadar akan kelengahan mereka maka dengan cepat merekapun bertindak. Beberapa orang dengan cepat berusaha untuk mencegah para pra¬jurit Mataram yang memanjat naik itu. Tetapi satu dua orang diantara mereka telah mencapai bibir ben¬teng perkemahan itu dan melewatinya, sehingga mereka kemudian telah berdiri dipanggungan yang memanjang dibelakang dinding per¬kemahan itu. Dengan demikian, maka prajurit yang telah berada di panggung yang membujur hampir sepanjang dinding perkemahan itu, diantara panggung-panggung khusus untuk mengawasi keadaan, telah ber¬usaha untuk melindungi kawan-kawan mereka yang sedang memanjat tali. Orang yang pertama kali melewati bibir benteng perkemahan itu adalah Agung Sedayu sendiri. Dengan cambuknya Agung Sedayu telah bertempur melawan para prajurit Pati yang bertugas di bagian belakang benteng perke¬mahan mereka, sementara kawan-kawannya memanjat naik. Namun dalam pada itu, para prajurit dari Pasukan Khusus yang lainpun hampir bersamaan pula telah meloncati benteng perkemahan itu pula. Demikianlah, maka pertempuran telah terjadi. Semakin lama pra¬jurit Mataram yang berhasil naik kebelakang benteng itupun menjadi semakin banyak pula. Bahkan sebagian dari mereka telah meloncat tu¬run dari panggung yang membujur panjang itu. Ternyata para prajurit yang bertugas di bagian belakang itu tidak segera mampu membendung arus para prajurit dari Pasukan Khusus yang semakin lama menjadi semakin banyak itu. Pemimpin kelompok prajurit Pati yang bertugas di bagian bela¬kang benteng perkemahan itu menyadari, bahwa mereka tidak akan mampu malawan prajurit Mataram yang memasuki benteng mereka. Karena itu, maka iapun segera memerintahkan dua orang penghubung untuk memberitahukan keadaan yang mencemaskan di bagian bela¬kang benteng perkemahan itu. – Apakah kita tidak membunyikan isyarat saja ?—bertanya salah seorang penghubung itu. – Jangan. Isyarat itu akan mempengaruhi seluruh medan. Jika kau cepat dan bantuan itu datang dengan cepat pula, maka prajurit Ma¬taram akan segera dapat kita batasi geraknya dan bahkan kemudian kita musnahkan. Kau dapat menyebut berapa kelompok prajurit yang kita butuhkan. — Kedua penghubung itu tidak bertanya lagi. Dengan cepat mereka berlari memeberikan laporan kepada seorang Senapati Pati yang se¬dang sibuk di bawah panggungan memanjang di sepanjang dinding batang pohon kelapa itu. Senapati itu terkejut Namun Kemudian tapun cepat mengambil langkah. Diperintahkan seorang Senapati bawahannya untuk mem¬bawa beberapa kelompok prajurit ke bagian belakang perkemahan itu. – Disini kekuatan kita cukup untuk menahan arus serangan pra¬jurit Mataram – berkata Senapati itu. Lalu katanya pula — Nanti aku memberikan laporan kepada Kangjeng Adipati. — Demikianlah beberapa kelompok prajurit telah bergeser. Dengan cepat mereka berlari-lari ke bagian belakang perkemahan itu. Agung Sedayu yang memimpin Pasukan Khususnya menyadari pula, bahwa tugas mereka akan menjadi semakin berat. Tetapi hampir semua prajuritnya telah berada di dalam lingkungan perkemahan. Dalam pada itu, Ki Patih Mandaraka dan lima orang perwira pengawalnya telah berada di dalam benteng pula. Tetapi mereka tidak melibatkan diri dalam pertempuran yang terjadi Justru dalam hiruk-pikuk pertempuran, mereka telah berusaha menyusup untuk menemu¬kan pintu butulan benteng pertahanan para prajurit Pati yang rapat itu. Ternyata Kangjeng Adipati memang telah memerintahkan untuk mengganti semua pintu dengan dinding batang pohon kelapa sebagai¬mana dinding yang mengelilingi perkemahan itu. – Namun kita harus menemukan bagian yang paling lemah dari dinding perkemahan ini – berkata Ki Patin Mandaraka. Tetapi memang tidak mudah untuk menemukan bagian yang pa¬ling lemah pada dinding perkemahan itu. Dalam pada itu, maka pertempuran di dalam benteng itupun ter¬jadi semakin lama semakin sengit Agung Sedayu bertempur dengan garangnya. Setiap sentuhan ujung cambuknya, telah melemparkan la¬wannya dengan luka yang menganga. Sementara itu, para prajuritnyapun bertempur dengan tanpa mengenal gentar. Meskipun jumlah mereka tidak begitu banyak, tetapi kehadiran mereka telah mengacaukan pertahanan lawannya. Senapati yang memimpin kelompok-kelompok prajurit yang da¬tang membantu para prajurit yang bertugas di dinding belakang ben¬teng perkemahan itupun segera berusaha untuk mendekati Agung Sedayu untuk menahannya. Namun, demikian melihat tempuran an¬tara Senapati pengapit ketika dua gelar perang bertempur, terkejut. Orang itu adalah Senapati pengapit yang bertempur, terkejut. Orang itu adalah Senapati pengapit yang bertempur disebelah Panembahan Senapati. Orang itulah yang telah melukai Ki Gede Candra Bumi. Senapati itu menjadi berdebar-debar. Ia sadar, bahwa ia tidak akan mampu mengimbanginya. Karena itu, maka Senapati itu telah memanggil lima orang praju¬rit pilihan didalam pasukannya. Mereka bersama-sama harus meng¬urung dan membatasi gerak Agung Sedayu. – Sulit bagi kalian untuk dapat mengalahkannya. Tetapi yang kalian lakukan adalah mengurungnya. Orang itu tidak boleh berke¬liaran. Ia sangat berbahaya. — Lima orang prajurit pilihan itupun segera menjalankan perintah itu. Namun mereka tidak tahu, siapakah orang itu sebenarnya. Tetapi kelima orang itu tidak banyak berarti bagi Agung Sedayu yang bertempur dengan garangnya. Apalagi Agung Sedayu yang se¬dang mengemban tugas yang berat Ia harus memancing kekuatan di-sisi belakang itu untuk memberi kesempatan Ki Patih Mandaraka me¬nemukan pintu gerbang sampai atau pintu butulan sekalipun. Ternyata Agung Sedayu dan Pasukan Khususnya berhasil menarik perhatian terbesar dari para prajurit Pati yang ada di bagian belakang benteng perkemahan itu. Mereka seakan-akan memang tidak mempunyai kesempatan untuk memperhatikan, apa yang dilakukan oleh Ki Pati Mandaraka, sementara Ki Patih sendiri memang seorang yang sulit dicari duanya. Dalam kekalutan perang, Ki Patih akhirnya menemukan bagian yang paling lemah diantara dinding batang pohon kelapa itu. Ki Patih yakin, bahwa bagian yang lemah itu adalah bekas pintu gerbang bu-tulan yang dengan tergesa-gesa diganti dengan batang pohon kelapa yang utuh. Namun batang pohon kelapa itu tidak cukup dalam terta¬nam sebagaimana batang-batang yang lain. Dengan cepat Ki Patih Mandaraka mendekati bagian yang diang¬gapnya lemah itu. Dengan pusakanya yang sangat tajam, Ki Patih Mandaraka telah menyentuh tali-tali pengikat batang-batang kelapa itu. Setiap sentuhan tidak perlu ulanginy a, sehingga dalam waktu yang pendek, maka beberapa batang pohon kelapa itu sudah tidak terikat lagi oleh tali-tali ijuk serta palang kayu yang dipasang dibagian dalam dinding itu. Tetapi ketika para perwira pengawalnya ingin merobohkan ba¬tang kelapa yang sudah tidak terikat lagi itu, Ki Patih Mandaraka men¬cegahnya. – Aku minta dua diantara kalian keluar dari benteng ini dan menghubungi Senapati yang memimpin sayap kiri dari pasukan Mata¬ram. Kalian harus dapat menunjukkan bagian yang sudah tidak terikat lagi dengan batang-batang kelapa disebelah-menyebelahnya. Jika ka¬lian sudah siap diluar, maka aku akan memutuskan tali pengikat pada itu akan terlepas sama sekali. Kalian dapat menariknya dari luar. De¬ngan mudah kalian akan dapat melakukannya dari luar dinding. De¬ngan demikian, maka pasukan di sayap kiri yang sudah siap akan de¬ngan mudah memasuki lingkungan ini. – Dengan demikian maka dua orang diantara para perwira itu telah menyelinap dan meloncat keluar, sementara Ki Patih dan ketiga per¬wira pengawalnya yang masih ada telah melibatkan diri dalam pertem¬puran. Sebagaimana Agung Sedayu, maka Ki Patih Mandaraka telah mengejutkan para prajurit Pati. Kelompok demi kelompok telah didera sehingga pecah dan kehilangan setiap kesempatan untuk mengurung mereka. Dua orang penghubung telah menyampaikan kehadiran orang-orang berilmu tinggi itu kepada Kangjeng Adipati sendiri, sehingga karena itu, maka Kangjeng Adipati telah menunjuk Ki Naga Sisik Sa¬laka untuk mengatasi keadaan di bagian belakang benteng perke¬mahan itu. – Bawa tiga atau empat orang berilmu — berkata Kangjeng Adi¬pati. Ki Naga Sisik Salaka telah membawa beberapa orang berilmu tinggi bersamanya. Dua orang Tumenggung, dan tiga orang yang se¬mula bukan prajurit Pati. Mereka adalah pemimpin-pemimpin pade¬pokan dan perguruan yang dianggap akan dapat membantu dan mem¬perkuat kemampuan pasukan Pati. Dalam pada itu, maka dua orang perwira pengawal Ki Patih yang keluar dari benteng, berlari-lari menuju kesayap kiri pasukan Mataram untuk melaporkan bahwa mereka akan mendapat kesempatan untuk membuka dinding perkemahan. Laporan itu ditanggapi dengan sungguh-sungguh. Sementara itu usaha untuk memanjat dinding dengan tangga bambu masih belum berhasil. Karena itu, maka Senapati itu telah menggeser pasukannya me¬nyusuri dinding perkemahan. Sementara itu, ia telah mengirimkan dua orang penghubung untuk memberikan laporan kepada Panembahan Senapati. Pasukan Pati memang melihat perubahan sikap sayap kiri pasu¬kan Mataram. Mereka melihat sayap kiri itu bergeser semakin jauh ke arah lambung. Namun karena Ki Patih Mandaraka melarang yang su¬dah terlepas ikatannya dari yang lain sementara batang-batang pohon kelapa yang dipasang tergesa-gesa itu tidak cukup dalam tertanam di tanah maka para prajurit Pati masih belum menghubungkan gerak pa¬sukan Mataram itu dengan pintu butulan. Para prajurit Pati hanya mengira bahwa pasukan Mataram itu sekedar menebar untuk mencari kesempatan memasang tangga-tangga bambunya di tempat-tempat yang memungkinkan. Karena itu, maka para prajurit Pati itupun telah bergeser dipang-gungan yang panjang dibelakang dinding perkemahan. Namun, dengan pasukan Mataram itu semakin dekat dengan pintu gerbang butulan itu, merekapun menjadi semakin memusatkan perhatian mereka pada pintu butulan itu. Sementara dua orang perwira pengawal Ki Patih Mandaraka akan mengenali batang-batang pohon kelapa yang tidak lagi mempunyai ikatan yang kuat dengan batang-batang yang lain. Ki Patih Mandaraka yang mengetahui bahwa prajurit Mataram telah berada di tempat yang memungkinkan untuk dengan cepat me¬nyelesaikan rencananya, karena para prajurit itu masih saja bersorak-sorak gemuruh, telah memanfaatkan kesempatan yang ada. Iapun te¬lah membawa ketiga orang perwira pengawalnya untuk memotong tali-tali yang tersisa. Sejenak kemudian, maka prajurit Mataram atas petunjuk kedua orang perwira pengawal Ki Patih Mandaraka itu telah dengan serta merta bergerak ke arah batang-batang yang telah terlepas dari ikatan¬nya itu. Dengan jangkar serupa yang dipergunakan oleh para prajurit dari pasukan khusus, maka para prajurit mataram i
  22. Bagian III

    Dengan jangkar serupa yang dipergunakan oleh para prajurit dari pasukan khusus, maka para prajurit mataram itu mengait ujung-ujung batang kelapa itu, dibawah perlindungan para prajurit yang ber¬senjata panah.
    Prajurit Pati terlambat untuk kedua kalinya menyadari apa yang terjadi. Sejenak kemudian, maka beberapa batang pohon kelapa yang dipasang dengan tergesa-gesa menggantikan pintu butulan yang dile¬pas itu, telah ditarik oleh beberapa orang prajurit.
    Usaha para prajurit Pati untuk mencegah mereka dengan se¬rangan anak panah dan lembing tidak berhasil. Selain mereka bergerak dengan cepat, serta perlindungan dari para prajurit yang bersenjata pa¬nah, maka para prajurit yang berperisaipun berusaha untuk menghalau anak panah yang meluncur dari belakang dinding perkemahan itu.
    Demikianlah, maka sejenak kemudian, maka beberapa batang pohon kelapa itupun telah roboh, sehingga dengan demikian, maka benteng perkemahan yang terdiri dari potongan batang pohon kelapa yang ditanam rapat dan cukup tinggi itu telah menganga. Bahkan panggung yang panjang itupun telah berguncang pula, sehingga bebe¬rapa orang prajurit yang kebetulan berada tepat pada batang-batang kelapa yang roboh itupun telah berjatuhan pula.
    Dengan cepat, pasukan Mataram telah memanfaatkan kesem¬patan itu. Para prajurit yang berada disayap kiri itupun dengan cepat berusaha memasuki benteng perkemahan.
    Prajurit Pati yang melihat hal itupun berusaha untuk dengan cepat membendungnya, namun para prajurit Mataram dari Pasukan Khusus yang sudah berada didalam benteng itupun telah berusaha menahan mereka.
    Pertempuran menjadi semakin seru. Gelombang demi gelom¬bang pasukan Matarampun memasuki benteng yang telah berhasil di¬koyak itu. Sehingga dengan demikian, maka pertahanan pasukan Pati-pun menjadi kalut
    Perang brubuh tidak dapat dihindarkan lagi. Pasukan dari kedua belah pihak telah bertempur didalam arena yang berbaur. Karena itu, maka kemampuan mereka secara pribadi menjadi sangat menentukan, apakah seseorang akan dapat dengan selamat keluar dari pergulatan yang sengit itu.
    Dalam kekalutan itu, maka prajurit Pati tidak lagi mampu ber¬tahan sepenuhnya diatas panggungan yang memanjang melekat pada dinding perkemahan. Mereka tidak lagi dapat memusatkan perhatian mereka kepada para prajurit yang masih berada di luar benteng me¬reka, karena di belakang mereka pertempuran berkobar dengan sengit¬nya. Para prajurit Mataram yang sudah berhasil memasuki benteng perkemahan itu menjalar kemana-mana. Mereka berada di segala su¬dut sehingga pertempuran itupun seakan-akan telah terjadi disetiap jengkal tanah didalam perkemahan itu.
    Kangjeng Adipati Pati menjadi sangat marah. Tetapi ia menya¬dari kenyataan yang dihadapinya.
    Jika dalam kekalutan itu ia harus bertempur sekali lagi melawan Panembahan Senapati, maka ia akan mengalami kesulitan. Kangjeng Adipati Pati harus mengakui, bahwa ilmunya ternyata tidak lebih tinggi dari ilmu yang dimiliki oleh Panembahan Senapati. Bahkan da¬lam kesempatan yang lebih panjang, maka ia tentu akan mengalami kesulitan untuk mengimbanginya. Sementara itu, Kangjeng Adipati juga tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa diantara para prajurit Mataram terdapat orang-orang berilmu tinggi.
    Sementara itu. perhatian para prajurit Pati yang terpecah telah memungkinkan beberapa orang prajurit Mataram yang berada di sayap sebelah kanan untuk memasang tangga-tangga bambu mereka,
    sehingga beberapa orang telah memanjat dan menembus pertahanan pasukan Pati yang terasa menjadi semakin lemah.
    Dengan demikian, maka benteng perkemahan prajurit Pati telah pecah. Pasukan Mataram lewat beberapa sisi dengan berbagai macam cara telah berhasil memasuki yang terhitung kuat itu.
    Kangjeng Adipati Pragola dari Pati melihat kenyataan itu. Ia ti¬dak dapat lagi bertahan lebih lama. Gelombang demi gelombang pra¬jurit Mataram disayap kanan hampir seluruhnya memasuki benteng.
    Sementara itu, induk pasukan Matarampun telah mulai memanjat tangga-tangga yang sudah dipersiapkan.
    Dengan demikian, maka Kangjeng Adipati Pragola talah memberi¬kan isyarat kepada para Senapati. Dua orang penghubung telah menda¬pat perintah dari Kangjeng Adipati Pragola untuk melepaskan panah sendaren ke udara.
    Sejenak kemudian, kedua panah sendaren itu meraung diudara. Satu kearah Utara dan Satu lagi ke arah Selatan.
    Perintah itu tidak segera dimengerti oleh prajurit Mataram. Tetapi perintah itu bagi prajurit Pati adalah perintah yang sangat pait Se¬mula para Senapati Pati tidak merasa perlu dengan isyarat itu. Tetapi orang-orang yang terhitung tua telah menganjurkan, agar isyarat itu te¬tap merupakan bagian dari beberapa jenis isyarat sandi bagi pasukan Pati.
    Dalam pada itu, beberapa orang prajurit Pati yang tanggap akan isyarat itu, segera bergerak mendekati benteng perkemahan mereka. Kemudian dengan cepat mereka bergerak. Kapak-kapak kecil dita-ngan merekapun segera memotong tali-tali mengikat beberapa potong batang pohon kelapa yang ditanam sebagai dinding perkemahan praju¬rit Pati.
    Beberapa saat kemudian, maka dua buah pintu rahasia telah ter¬buka.
    Kemudian sekali lagi terdengar isyarat panah sendaren memekik diudara, seperti sebelumnya, satu kearah Utara, satu lagi ke arah Se¬latan. Namun kemudian disusul pula dua anak panah dengan arah yang sama.
    Bagi para prajurit Pati, perintah sandi itu jelas. Karena itu, seje¬nak kemudian, terjadi gejolak yang keras didalam lingkungan benteng perkemahan itu. Beberapa saat para prajurit Mataram tidak tahu pasti, apa yang terjadi Namun kemudian merekapun menjadi jelas, bahwa
    prajurit Pati sedang berusaha untuk bergerak keluar dari dinding per¬kemahan itu.
    Prajurit Mataram memang berniat untuk mencegahnya. Tetapi prajurit Pati yang masih cukup besar jumlahnya itu memang sulit un¬tuk dibendung. Mereka telah mempersempit medan sebatas pintu ra¬hasia yang telah mereka buka.
    Jika prajurit Mataram masih saja mengalir bergelombang berge¬rak memasuki benteng dengan segala cara, maka prajurit Pati justru mengalir keluar benteng lewat dua pintu rahasia yang terbuka lebar.
    Memang terjadi pertempuran diluar benteng yang ditinggalkan oleh prajurit Pati itu. Tetapi para prajurit Pati memiliki ketangkasan yang cukup tinggi, sehingga akhirnya mereka berhasil lepas dari ham¬batan para prajurit Mataram yang berusaha menahan dan mengejar me¬reka.
    Sementara itu, Ki Padh Madaraka juga telah memerintahkan agar para prajurit Mataram tidak mengejar mereka. Tetapi Ki Patih Mada¬raka telah memerintahkan Agung Sedayu dan sekelompok Pasukan Khususnya untuk mengikuti gerak pasukan Pati.
    – Jangan mendekati pasukan yang terhitung kuat itu. Amati saja mereka, apakah mereka benar-benar akan mundur sampai kesebelah Utara pegunungan Kendeng.
    Agung Sedayu sadar, bahwa perintah itu adalah perintah yang berat. Perintah yang tidak cukup dijalani hanya sehari dua hari. Tetapi sekelompok Pasukan Khususnya akan menjalankan tugas itu untuk beberapa hari, hingga mereka yakin bahwa pasukan Pati benar-benar telah berada diarah belakang Pegunungan Kendeng.
    Tetapi Agung Sedayu tidak mengikuti tugas itu. Tanpa bekal apa¬pun, Agung Sedayu siap berangkat meninggalkan benteng itu pula, mengikuti gerak pasukan Pati dari jarak yang cukup jauh, sehingga mereka tidak akan terjebak atau disergap oleh pasukan Pati yang kuat itu.
    – Pergilah. Aku akan memberikan laporan kepada Panembahan Senapati tentang kelompok Pasukan Khususmu yang kau pimpin sen¬diri itu. —
    – Baik, Ki Patih, Aku mohon restu. — Ki Patih menepuk bahu Agung Sedayu. Katanya – Aku percaya kepadamu. –
    Dengan demikian, maka Agung Sedayu telah membawa sekelom¬pok prajurit dari pasukan Khusus yang terpilih untuk mengikuti gerak prajurit Pati itu. Tetapi Agung Sedayu memang telah mengambil ja¬rak yang cukup untuk menghindari kemungkinan buruk terjadi atas pasukan kecilnya.
    Agung Sedayu tidak langsung mengikuti gerak lawannya pada jarak penglihatannya. Tetapi Agung Sedayu merasa cukup untuk mengikuti jejak pasukan Pati yang masih terhitung besar itu, meskipun sudah jauh surut dari pasukannya ketika berangkat
    Sebagaimana diperhitungkan oleh Agung Sedayu bahwa Pati tentu mempunyai landasan yang sudah dipersiapkan untuk mengum¬pulkan prajurit-prajurit yang tercerai berai.
    Agung Sedayu telah menempatkan pasukannya ditempat yang agak jauh. Ia sendiri bersama dua orang pengawalnya merayap mende¬kat untuk mengamati gerak pasukan Pati yang terdesak perkemahannya itu.

    ***

    lanjut kitab 298

  23. Huee…….bat….!!!
    Lanjuuuut……
    he he

  24. Yaa…yaaa…lanjut terus Ki….
    Maaaaturnuwuuunnn…. :))

  25. januari 2012 saya masih melanjutkan cerita api dibukit menoreh

  26. nampak nya harus mengulang


Tinggalkan Balasan ke tqmrk Batalkan balasan