Buku III-75

275-00

Laman: 1 2

Telah Terbit on 20 Juni 2009 at 00:14  Comments (286)  

The URI to TrackBack this entry is: https://adbmcadangan.wordpress.com/buku-iii-75/trackback/

RSS feed for comments on this post.

286 KomentarTinggalkan komentar

  1. Sepertinya kitab edar bersaan dengan bilik III-75 dibuka

    • maksudnya gandhok III-76, Ki Biting ?

  2. Weleh weleh… nganti tak tinggal ngeterke blanja Rara Wulan, mulih meneh, kla klik, jebul entuk e isih bayangan semu….
    Mangga mangga para pepunden, kula aturi enggal2 medar kitab…..

    • Sejam malih Ki, monggo ngancani Ki Is sing nembe nandang loro bronto ,,, 😉

      • Saestu ? tenane Ki.

        he he he pertanyaan yang nggak perlu dijawab.
        pertanyaan wong sing ngarep-ngarep tekane kitab.

  3. ternyata memang tidak mungkin kan satu putaran…..

    lha sejak wedarnya kitab III-74 sampai sekarang sudah lebih 24 jam, kok masalah yang lebih besar mau dibuat satu putaran…opo tumon….? mesti gerombolane Ki Manuhara iku sing duwe rencana ….

    • Cape deehh…..
      KI GD, please………

    • Maksud kata satu putaran ialah ….. masing-2 calon memutar leher pasangannya satu kali ….. gitu aja kok … , bener apa salah aku, Ki JP?

  4. hadirrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrr…

    • Monggo isi buku tamu …… mumpung isih esuk ….

      • isih esuk domisilinya Ki Widura, disini sudah jam 23.30 mbengi Ki.

  5. hampir betul ki…..tapi bukan leher pasangannya ..yang nomer siji lan nomer telu diijinkan muter leher yang ditengah masing masing satu kali

    • 😆
      Terus bojone sing neng tengah …. muter … leher sing nomer siji lan nomer telu …..

      Calon entek ….. Ki JP maju berpasangan karo aku … 🙂

      • dialog yang sehat, tapi aku durung mudeng jee.

        • lha..bojo ya ora entuk melu melu muter toh Ki…..

          • Jenenge Eman-si-sapi, Ki. Selama ini bojo-2 ‘kan sudah berdiri di belakang dan nyetir misua-nya, maka sekarang mesti maju …. cincing jarit, ikut bersaing …

            • lho kok cincing jarik,
              bojo-bojo sekarang dah jarang yang pakai kawin, ech kain, kebanyakan pakai pantalon Ki, maka sudah pada berani nyetir misua, lah wong katok-e pada jee…..

  6. Hoyoo …. 50 komentar lagi …..

    • hayoooo 50 comment lagi …soal muter leher ya boleh kok ya Ki Widura..?

  7. aku pamit ki sepertinya kitab nggak jadi di wedar saiki jadi demi penghematan pulsa pamit semua….
    hiks….hiks….hiks….

  8. Matur nuwun
    Nyi Seno, Ki Gd dan bebahu padepokan

    atas wedarnya kitab 275

    kalau ismoyo yang ngomong percaya nggak ?

    Nuwun

    • ayo ndang di donlot kitab 275-nya !!!

      • matur nuwun ki aku ora dadi pamitan
        horeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeee…???

      • pada akhirnya,

        kuyakin berakhir dengan indah……

    • TIDAKKKKKKKKKKKKK

      • tapi ikut ngunduh kan Ki ?

        TIDAKKKKKKKKKKKKK

        • TIDAKKKKKKKKKKKKK
          pernah telat ngunduhnya…….

  9. mau mau kitabnya

    suwun , sudah disedot

  10. Akhirnya………………datang juga……..terima kasih….ini bener2…nyoooooossssssssss

  11. matur nuwun Nyi….

  12. trima kasiiiiiiiih……

  13. Akhirnya yg asli muncul juga….
    Matur nuwun… matur nuwun…..

  14. Maksih Nyi atas kitabnya dan peringatan kerasnya, Hidup Akismet

    • Aki Ismet ngumpetnya dimana…kok gak ketemu nih….??

  15. jam 23.35
    kulonuwon
    mampir ahhhh
    bocah tua nakal numpang leiwat
    permisi
    hhooorrrreeeee

  16. Kalau sudah gini …. metrik lan cantrik ketok ayu-ayu lan bagus …kabeh.

    Suwun juga … he hee hee

  17. Maturnuhun terima kasih,
    Ki Widura
    Opo sakit untunya sudah baikan ?

  18. ternyata..masih penuh dengan tanda tanya…..bikin mumet kepala…

  19. wes pokoke isine matur suwun thok
    ora sido jam oo:oo ta ki?

    • Horeee…..aku udah sedoooot….
      siiiiiiippppppp……..dehhhhh setelah penantian.

      • ???

  20. Alhamdulillah kitab keluar juga…

  21. Jebulne dikempit akismet
    Thanks Nyi

  22. Kari loro sing rondha …
    Kethoke wis podo klenger …… kesuwen sakaw-ne

    Hee hee heee …

  23. Rupa-rupane lontar iku dikempit karo tanda pitakonan. Aku nggoleki bolak balik ora ketemu. Angger moco doa ping telu nembe metu lontare.

  24. Dene rontal dikempit karo ki Ismet, Kawulo kenalan rumiyan kaliyan njenengan sekalian pade kawulo suwun rontal purun mboten pokoke kulo suwun kalih mekso (nuwun sewu boso nipun campur boso jawa timuran amargi kawulo tesih belajar boso jawi alus). Pundi?!!!!
    Nuwun sewu soalipun sapun sakaw sanget!!!!!!!!!!

  25. Nyuwun sewu buat para kisanak sekalian, saya coba bantu konversi ADBM 275 ke file Word, tapi baru sampai halaman 18. Filenya saya taruh di http://k80.110mb.com/files/20090622181049adbm275hal01_18.zip
    Kalau berkenan akan saya lanjutkan, kalau tidak — yo wis, brarti musti nyuwun sewu lagi.

    • Bagus Ki. Lanjutkan!!! he he…

      Kiageng80 konvert dengan apa, dengan OCR atau diketik? Hasilnya bisa dimasukkan ke kolom komentar pada halaman ini.
      Tidak apa-apa sebagian demi sebagian, biar dapat dinikmati pengguna hp.
      Kalau sudah lengkap, bisa dikirim ke adbmcadangan@yahoo.com.

      • Dengan OCR, Kisanak. EYD yang saya koreksi yaitu awalan ‘di’, ‘ke’, dan ‘dari’. Untuk partikel ‘pun’, saya agak lupa, bedanya kadang terlalu tipis antara pengganti ‘juga’ dengan kalimat penegas.
        Insya Allah besok saya lanjutkan lagi. Mudah-mudahan tidak dobel (yang mengerjakan) dengan kisanak yang lain.

        • Saya kira jilid baru belum ada yang pegang Ki.
          Diteruskan saja.
          Jangan lupa, setelah selesai satu buku, sebaiknya dikirim ke adbmcadangan untuk di proof oleh Ki Gede.

          • Nanti saya lanjutkan, Kisanak.
            Sebaiknya saya tidak copy-paste-kan ke sini, mending nanti kalau sudah selesai 1 buku, baru saya kirim ke adbmcadangan@yahoo.com

  26. Copy-paste ulang:

    Jilid III-75: Hal 01 s/d 18

    KETIKA pedang pendek Ki Samepa menyambar ke arah leher Agung Sedayu, ia sempat menghindar sambil merendahkan tubuhnya. Dengan tangkasnya. Agung Sedayu menghentakkan juntai cambuk. Tidak menebas sendal pancing, tetapi juntai cambuk Agung Sedayu itu seakan-akan menjadi sebatang tombak kecil yang tajam. Juntai itu menusuk lurus ke arah lambung ki Samepa.
    Ki Samepa memang terkejut. Ia berusaha untuk menghindar, Namun tiba-tiba saja Agung Sedayu telah melecutkan ujung cambuknya itu mendatar.
    Ki Samepa yang mengendalikan pedang pendeknya itu terkejut sekali lagi. Tetapi ujung juntai cambuk Agung Sedayu itu benar-benar telah menggapai tubuhnya. Sentuhan kecil justru menggores dadanya melintang.
    Ki Samepa meloncat mengambil jarak. Giginya gemeretak menahan kemarahan yang berjejolak di dadanya yang terluka itu. Meskipun tidak terlalu dalam, namun dadanya memang sudah terluka. Darah telah mengalir dari lukanya itu. Ketika keringatnya menyentuh luka di dadanya itu, maka iapun merasa luka-lukanya itu menjadi semakin pedih.
    Ketika keduanya sudah terluka, maka pertempuran itu benar-benar mencapai puncaknya. Keduanya telah mengerahkan kemampuan puncak mereka. Pedang pendek Ki Samepa yang menjadi kebiru-biruan itu berputar semakin cepat. Menggelepar seperti ular yang bergumul dengan mangsanya. Namun kemudian mematuk lurus ke sasaran. Namun pedang itu sempat pula melayang menyambar seperti burung Srigunting di udara.
    Tetapi juntai cambuk Agung Sedayupun tidak kalah berbahayanya. Meskipun tidak lagi meledak memekakkan telinga, namun juntai cambuk itu mampu menebas mendatar seperti mata pedang, namun kemudian menusuk seperti ujung tombak. Jika juntai cambuk itu berputar di sekitar tubuhnya melindungi diri, maka putarannya bagaikan kabut putih di kegelapan malam.
    Dengan demikian pertempuran antara keduanya menjadi semakin sengit. Ketika sekali lagi tajamnya pedang pendek itu tergores di tubuh Agung Sedayu, maka dengan kemampuannya yang semakin meningkat, ujung cambuknya telah memburu lawannya. Dua kali ujung cambuk itu tergors di tubuh Ki Samepa. Di pundaknya dan di lambungnya pula.
    Namun ternyata bahwa Agung Sedayu tidak memberi banyak kesempatan lagi kepada lawannya. Selagi keseimbangan pertempuran itu menjadi semakin jelas, serta para prajurit dan pengawal hampir menguasai keadaan seluruhnya, maka Agung Sedayupun telah menghentakkan segenap kemampuan dan ilmunya. Kemampuannya bermain cambuk sebagai seorang murid utama dari perguruan Orang Bercambuk telah benar-benar ditunjukkan kepada lawannya yang ingin berhadapan dengan Orang Bercambuk itu sendiri.
    Namun agaknya Sabungsari dan Sekar Mirah tidak mengerti maksud Agung Sedayu, bahwa ia ingin menunjukkan kepada lawannya, orang yang ingin menghancurkan perguruan Orang Bercambuk bahwa ia tidak akan mungkin melakukannya. Bahkan terhadap salah seorang murid perguruan Orang Bercambuk itupun ia tidak mampu mengatasinya.
    Sebenarnyalah Ki Samepa memang menjadi heran bahwa lawannya, salah seorang murid utama dari perguruan Orang Bercambuk itu memiliki ilmu yang sangat tinggi. Meskipun kadang-kadang ia melihat unsur lain dari perguruan Orang Bercambuk itu namun pada saat terakhir murid utama itu benar-benar telah mengetrapkan (menerapkan) kemampuan tertinggi dari ilmu yang mengalir lewat perguruan Orang Bercambuk itu.
    Di tempat yang agak jauh, Glagah Putih dan Rara Wulanpun memperhatikan pertempuran itu dengan hati yang berdebar-debar. Sekali-sekali mereka sempat juga memperhatikan Ki Jayaraga yang bertempur dengan pimpinan tertinggi dari orang-orang yang sedang memburu Sabungsari dan Glagah Putih itu. Namun mereka sama sekali tidak merasa cemas. Mereka masih melihat keduanya dalam keadaan yang seimbang. Baik Ki Jayaraga maupun lawannya, sekali-sekali terdesak. Namun pada kesempataan lain telah mendesak lawannya.
    “Untuk sementara keduanya masih dalam keadaan seimbang,” berkata Glagah Putih di dalam hatinya.
    Karena itu maka perhatian Glagah Putih dan Rara Wulan terutama tertuju pada pertempuran antara Agung Sedayu dan lawannya yang mampu mengendalikan pedang pendeknya sehingga menjadi seperti seekor burung yang hidup yang dikendalikan oleh kehendak orang itu.
    Namun sampai ketegangan rasa-rasanya mencekik leher Glagah Putih, Agung Sedayu masih belum mempergunakan ilmu puncaknya.
    Meskipun demikian, namun pertempuran itu memang nampak menjadi semakin cepat dan semakin keras. Bahkan kemudian yang disaksikan oleh Sabungsari dan Sekar Mirah, yang berdiri lebih dekat dari arena pertempuran itu, keduanya telah saling melukai.
    Tetapi di saat-saat terakhir, ketika darah semakin banyak mengalir pada keduanya, Agung Sedayu telah mengetrapkan beberapa macam ilmunya bersama-sama. Pengetrapan ilmu kebal yang semakin tajam membuat pancaran ilmunya itu menimbulkan udara panas, mengimbangi udara panas yang dilepaskan oleh lawannya lewat getaran pedang pendeknya yang beterbangan. Kemudian puncak dari ilmunya meringankan tubuh, puncak dari kekuatan tenaga cadangannya, dan puncak dari kemampuan ilmu cambuknya. Sehingga dengan demikian, maka tiba-tiba saja serangan Agung Sedayu telah membingungkan lawannya. Cambuknya yang berputaran membuat lawannya menjadi gelisah.
    Hampir bersamaan waktunya, maka Ki Jayaragapun harus mengerahkan kemampuannya. Ki Manuhara yang tanggap akan keadaan, berniat untuk menghancurkan Ki Jayaraga dengan cepat, agar ia dapat segera ikut menyelesaikan para pengawal dan prajurit dari Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan Menoreh yang telah ikut membantu melindungi kedua orang anak muda yang akan diambilnya, namun yang justru telah membunuh dua orang kepercayaannya.
    Namun demikian Ki Manuhara meningkatkan ilmunya, maka Ki Jayaragapun melakukannya pula. Bahkan ternyata bahwa Ki Jayaraga yang memiliki kemampuan berpegang kepada kekuatan yang disadapnya dari kekuatan bumi, tidak lagi dengan mudah diguncangnya dengan hembusan praharanya.
    Namun Ki Manuhara yang memiliki ilmu yang tinggi itu, bukan saja mampu menghembus lawannya dengan kekuatan ilmu Sapta Prahara, namun ternyata Ki Manuhara juga memiliki ilmu yang lain yang tidak kalah dengan ilmunya yang tidak lagi dapat mengguncang Ki Jayaraga.
    Ki Jayaraga memang masih terguncang ketika Ki Manuhara mengetrapkan ilmu Rog-rog Asem. Getaran yang menghentak-hentak dadanya, rasa-rasanya akan memecahkan tulang-tulang iganya.
    Namun Ki Jayaraga selain memiliki ketahanan tubuh yang sangat tinggi, iapun memiliki kemampuan bergerak dengan cepat. Bahkan untuk menghentikan serangan lawannya, Ki Jayaragapun telah menyerang dengan ilmunya yang dahsyat pula. Hembusan lidah api yang menjilat dengan garangnya didorong oleh hembusan udara yang keras telah membuat malam menjadi sangat mengerikan.
    Namun api itu bagaikan luluh terhisap oleh ilmu Ki Manuhara yang sempat membuat Ki Jayaraga berdebar-debar. Api yang dihembuskan itu seolah-olah telah menyusup ke dalam kabut putih sedingin embun di dini hari. Terdengar desis yang mendebarkan jantung, seakan-akan lidah api yang tersiram air.
    Dengan demikian maka pertempuran antara kedua orang berilmu sangat tinggi itu menjadi semakin sengit. Mereka tidak lagi berloncatan menghindar dan menyerang. Tetapi benturan-benturan ilmulah yang telah terjadi.
    Keringat telah membasahi seluruh pakaian dan tubuh kedua orang itu bagaikan baru saja menyelam di belumbang (empang).
    Meskipun keduanya masih belum terkelupas kulitnya, apalagi terluka, namun keduanya telah merasa betapa pertempuran itu telah sangat meletihkan. Mereka telah menghentak-hentakkan ilmu mereka. Namun keduanya masih mampu menghindar, menangkis dengan membenturkan ilmu mereka yang tinggi.
    Namun sebenarnyalah getaran dari hentakkan-hentakkan ilmu mereka telah mengguncang isi dada mereka, sehingga nafas mereka pun menjadi semakin lama semakin terengah-engah. Perasaan sakit terasa menusuk-nusuk seperti ujung duri yang terperosok ke dalam jantung mereka. Darahpun serasa semakin cepat mengalir memanasi daging dan tulang.
    Kedua orang yang berilmu tinggi itu semakin lama menjadi semakin letih. Mereka saling membenturkan ilmu mereka yang terbaik mereka miliki. Ilmu Rog-rog Asem didukung oleh kemampuan dan tenaga dalam yang tinggi. Bahkan kemudian ilmu yang jarang ada duanya, Guntur Manunggal.
    Untuk sesaat Ki Jayaraga memang terdesak. Tetapi untuk mengatasi kemampuan ilmu lawannya, maka Ki Jayaraga tidak dapat berbuat lain. Guntur Manunggal memang tidak dapat dilawan tanpa ilmu yang memiliki kemampuan setingkat. Karena itu, maka Ki Jayaragapun telah menghentakkan ilmu simpanannya. Ilmu yang hampir tidak pernah dipergunakannya, karena ilmu itu adalah ilmu pemusnah. Jarang ada orang yang mampu bertahan dalam keadaan yang tetap utuh menghadapi ilmunya itu. Ilmu yang sudah hampir hilang dari antara orang-orang berilmu tinggi, Aji Sigar Bumi.
    Sementara itu, pertempuran di halaman itu memang sudah mulai menyusut. Para pengikut Ki Manuhara tidak berdaya lagi menghadapi para pengawal dan para prajurit Mataram. Mereka menjadi semakin tersudut. Yang terluka sudah tidak berdaya lagi. Sementara yang lain terbaring silang melintang.
    Sedangkan keadaan di luar halaman rumah Agung Sedayu itupun menjadi tenang. Meskipun api masih nampak menyala, namun sudah menjadi semakin redup, sehingga tidak lagi membuat seisi padukuhan induk itu kebingungan meskipun orang-orang padukuhan induk itu masih sibuk berusaha untuk memadamkannya sama sekali.
    Beberapa pengikut Ki Manuhara yang tertangkap di luar halaman rumah Agung Sedayu telah digiring ke halaman rumah Ki Gede. Hampir saja orang-orang padukuhan induk Tanah Perdikan itu kehilangan kendali, sehingga membunuh semua pengikut Ki Manuhara meskipun mereka telah menyerah. Untunglah, betapapun darah Ki Gede mendidih di jantungnya, namun ia masih dapat mencegah agar orang-orang Tanah Perdikan itu masih tetap dikendalikan oleh penalarannya yang bening.
    Karena itulah, maka mereka yang telah menyerah dan tertangkap hidup masih mendapat kesempatan untuk menunggu terbitnya matahari di keesokan harinya, karena nampaknya langit sudah menjadi semburat merah.
    Sementara itu, pertempuran di halaman rumah Agung Sedayupun hampir mencapai puncaknya. Para pengikut Ki Manuharapun telah dilumpuhkan. Yang masih tetap segar satu demi satu melemparkan senjatanya untuk menyerah.
    Namun dalam pada itu, pertempuran yang terjadi antara Ki Manuhara melawan Ki Jayaraga serta Ki Samepa melawan Agung Sedayu menjadi semakin sengit. Keduanya telah mencapai puncak dari kemampuan mereka masing-masing. Hampir bersamaan waktunya mereka yang terlihat dalam pertempuran itu berusaha untuk menyelesaikan lawan mereka.
    Dalam pada itu, Ki Manuhara sudah siap melontarkan ilmu puncaknya untuk menghancurkan lawannya, Ki Jayaraga. Meskipun Ki Jayaraga sempat menghindar ketika Ki Manuhara melepaskan ilmu puncaknya namun Ki Manuhara tidak membiarkannya terlepas dari tangannya. Namun ketika Ki Manuhara memburunya dan siap melepaskan Aji Guntur Manunggal, maka Ki Jayaragapun telah siap pula dengan ilmunya yang jarang dilepaskannya, Aji Sigar Bumi.
    Dua ilmu yang dahsyat saling berbenturan. Dua kekuatan yang jarang ada bandingnya.
    Karena itu benturan antara keduanya bagaikan benturan antara dua buah gunung yang saling beradu. Dua ilmu yang dahsyat yang jarang ada duanya.
    Dalam benturan itu, Ki Jayaraga bagaikan terlempar beberapa langkah surut. Bahkan tubuhnyapun telah terbanting jatuh hampir saja menimpa sebatang pohon yang ikut terguncang meskipun tidak terkena langsung oleh kedua macam ilmu yang saling berbenturan itu.
    Sementara itu, Ki Manuharapun telah terlempar pula dan jatuh berguling ke arah pintu regol halaman rumah Agung Sedayu.
    Ternyata akibatnya sangat pahit bagi keduanya. Ketika keduanya berusaha untuk bangkit, maka terasa dada mereka menjadi sesak. Bahkan kemudian terasa sangat sakit. Hampir saja keduanya tidak mampu lagi berdiri tegak. Apalagi ketika ternyata terasa darah yang hangat mengalir dari sela-sela bibir mereka.
    Ki Manuhara yang mempunyai kemampuan yang sangat tinggi itu masih sempat membuat perhitungan sekilas. Ia tidak akan mampu bertahan lebih lama lagi. Karena itu, maka tidak ada pilihan lain kecuali menghindarkan diri dari neraka itu. Ia sadar bahwa di halaman rumah itu terdapat beberapa orang yang berilmu tinggi selain orang yang bertempur melawannya.
    Karena itu dengan sisa tenaganya, Ki Manuharapun segera berlari tertatih-tatih ke pintu regol dan hilang di jalan yang membentang didepan rumah Agung Sedayu itu.
    Meskipun Ki Manuhara itu terluka parah di bagian dalam tubuhnya, namun dengan sisa tenaga yang masih ada, ia masih mampu menghilang di gelapnya malam, menyusup di antara emak-semak di halaman-halaman rumah. Menghindari para pengawal dan prajurit dari Pasukan Khusus Mataram yang ada di padukuhan induk itu. Sisa kemampuannya yang sangat tinggi, meskipun ia terluka parah di bagian dalam tubuhnya, namun masih mampu mengatasi para pengawal dan prajurit yang berusaha mengejarnya.
    Namun dalam pada itu, di halaman rumah Agung Sedayu, Ki Jayaraga yang juga terluka di bagian dalam itu, berusaha mencegah orang-orang yang berusaha mengejar Ki Manuhara. Sabungsari yang telah meloncat disusul oleh Sekar Mirah telah dipanggilnya.
    “Jangan. Jangan kejar orang itu,” teriak Ki Jayaraga, “kemampuannya sangat tinggi.”
    “Tetapi ia sudah terluka,” jawab Sabungsari.
    “Tetapi ia masih berbahaya.”
    Ia sadar, bahwa Ki Jayaraga yang baru saja bertempur melawan orang itu tentu sudah dapat menjajagi betapa tingginya kemampuan orang itu.
    Karena itu, maka perhatian mereka tertuju kepada Agung Sedayu yang masih bertempur melawan seorang yang juga berilmu sangat tinggi.
    Namun ternyata bahwa orang itu tidak mampu lagi mengatasi kecepatan gerak ujung cambuk Agung Sedayu. Pedang pendeknya kemudian selalu terlambat mengimbangi gelepar ujung cambuk lawannya yang masih terhitung muda itu. Karena itu, maka sebagai seorang yang berilmu tinggi serta menyimpan beberapa jenis kemampuan ilmu, maka Ki Samepa yang melihat Ki Manuhara melarikan diri, berusaha untuk berbuat serupa. Tetapi ia harus berusaha mendapatkan kesempatan.
    Karena itu, maka Ki Samepapun telah mengerahkan ilmu puncaknya. Dilontarkannya pedang pendeknya ke arah Agung Sedayu yang berusaha memburunya ketika Ki Samepa mengambil jarak. Serangan yang sama sekali tidak diduganya, bahwa orang itu telah melepaskan senjatanya yang agaknya menjadi saluran ilmunya yang menggetarkan itu. Namun Agung Sedayupun segera tanggap. Glagah Putihpun telah melakukan hal serupa saat ia melemparkan pedangnya. Namun dengan demikian, maka Glagah Putih telah mempergunakan kemampuan ilmunya untuk melawan kekuatan ilmu lawannya yang telah melukainya.

    (Ilustrasi gambar hal 13, dihapus)

    Sekilas penglihatannya atas pertempuran antara Glagah Putih lan lawannya itu, maka iapun mampu memperhitungkan, bahwa agaknya lawannya pun akan berbuat demikian pula.
    Karena itu, maka Agung Sedayupun telah bersiap. Ia tidak mau dihancurkan oleh ilmu lawannya, apapun namanya. Sehingga karena itu, maka iapun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Ia akan mempergunakan kemampuan puncaknya yang didukung oleh ilmu-ilmunya yang dimilikinya.
    Namun Agung Sedayu sudah bertekad untuk melawan sampai akhir atas lawannya itu dengan mempergunakan ilmu yang diwarisinya dari Kiai Gringsing. Apalagi Agung Sedayu yang telah memperdalam ilmunya dari kitab Kiai Gringsing yang telah disimpannya seluruh isinya di relung hatinya.
    Karena itulah, maka ketika ia melihat lawannya bersiap untuk meloncat dan melontarkan ilmunya, Agung Sedayupun benar-benar telah bersiap pula. Dipeganginya tangkai cambuknya kuat-kuat. Sementara itu, ia telah mengumpulkan segala kemampuan dan ilmunya bukan saja yang diwarisinya dari Kiai Gringsing, tetapi juga unsur-unsur kekuatan dari ilmunya yang lain. Puncak ilmu dari cabang perguruan ayahnya, Ki Sadewa, serta tenaga dalamnya yang tersimpan di dalam dirinya.
    Namun semuanya itu akan tersalur lewat ilmunya yang diwarisinya dari Kiai Gringsing, sehingga yang dilihat oleh lawannya yang ingin menghancurkan perguruan Orang Bercambuk itu dengan membunuh murid utamanya, adalah unsur dari perguruan Orang Bercambuk yang ingin dihancurkannya itu.
    Demikianlah, maka sejenak kemudian maka Ki Samepapun telah meloncat untuk melontarkan ilmunya yang dahsyat.
    Ki Jayaraga, Sabungsari dan orang-orang yang menyaksikan serangan itu terkejut.Yang dilakukan oleh Ki Samepa tidak ubahnya dari apa yang dilakukan oleh lawan Ki Jayaraga. Namun mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Ki Samepa telah melontarkan ilmunya Guntur Manunggal, sebagaimana ilmu Ki Manuhara.
    Sementara itu, Agung Sedayupun telah meloncat pula membentur kekuatan ilmu Aji Guntur Manunggal itu. Dengan segenap lambaran ilmu yang ada di dalam dirinya, Agung Sedayu telah menghentakkan cambuknya. Dengan mata hatinya Agung Sedayu melihat pusat kekuatan ilmu lawannya, sehingga iapun dapat memusatkan hentakkan ujung juntai cambuknya ke arah puncak kekuatan Aji Guntur Manunggal yang diarahkan kepadanya.
    Sekali lagi terjadi benturan ilmu yang dahsyat. Ledakkan yang tidak terjadi pada benturan ilmu Ki Manuhara dan Ki Jayaraga ternyata telah terjadi pada benturan ilmu Ki Samepa dengan kekuatan ilmu yang dilontarkan oleh Agung Sedayu dilandasi oleh segala macam kekuatan yang ada di dalam dirinya.
    Ternyata dalam benturan ilmu itu Agung Sedayu juga terlempar beberapa langkah surut. Namun ternyata Agung Sedayu masih mampu mempertahankan keseimbangannya. Meskipun terhuyung-huyung namun Agung Sedayu masih dapat mempertahankan diri untuk tidak jatuh terbanting di tanah.
    Namun dalam pada itu, ternyata keadaan lawan Agung Sedayu menjadi sangat parah. Ujung cambuk Agung Sedayu bukan saja mampu melontarkan getaran yang berkekuatan sangat besar, sehingga mampu menangkal ilmu lawannya.
    Tetapi ujung cambuk Agung Sedayu yang menggelepar menghentak dengan kemampuan yang sangat tinggi itu bukan saja menghamburkan getaran yang mampu membentur dan mendorong kekuatan lawannya sehingga seakan-akan memantul, namun juga telah menyentuh tubuh Ki Samepa. Sehingga dengan demikian maka Ki Samepapun bukan saja terlempar dan terbanting jatuh, namun di dadanya juga terdapat luka yang menganga.
    Masih terdengar Ki Samepa itu mengaduh tertahan. Ketika ia menggeliat menahan sakit, maka Agung Sedayupun telah melangkah mendekatinya.
    Sabungsari dan Sekar Mirah mencoba menahannya. Namun Agung Sedayu berdesis, “Aku akan melihatnya.”
    “Berhati-hatilah,” desis Sekar Mirah. Namun Sekar Mirahpun melihat bahwa agaknya Ki Samepa sudah tidak berdaya lagi.
    Agung Sedayu memang berhati-hati ketika ia kemudian berjongkok di samping lawannya yang terluka parah itu.
    Di antara desah kesakitan, Ki Samepa itupun berdesis, “Kau memang luar biasa. Aku tidak mengira bahwa tataran ilmu dari perguruan Orang Bercambuk sudah demikian tinggi, sehingga aku sama sekali tidak mampu melawan salah seorang murid utamanya.”
    “Kenapa kau mendendam terhadap perguruan Orang Bercambuk?” bertanya Agung Sedayu.
    Orang itu hanya memandang Agung Sedayu dengan tatapan mata redup. Namun ia berdesis, “Aku hanya merasa iri atas kelebihannya. Namun ternyata bahwa aku telah dibinasakan oleh perasaanku sendiri.”
    Orang itu masih akan berbicara lagi. Namun nafasnya telah menjadi terputus-putus. Yang kemudian terdengar adalah, “Aku minta maaf kepada gurumu dan kepada saudara-saudara seperguruanmu. Ternyata perguruan Orang Bercambuk masih merupakan perguruan terbaik sampai saat ini.”
    Agung Sedayu mendekatkan telinganya karena suara orang itu menjadi semakin lirih. Ia masih mendengar orang itu seakan-akan mendesah, “Namaku Ki Samepa. Apakah aku belum mengatakannya sebelumnya?”
    Namun nafas orang itu tiba-tiba saja telah berhenti. Namun Ki Samepa itu seakan-akan masih sempat menempatkan dirinya dalam keadaan yang lebih baik. Sebagian dari ganjalan di dalam jantungnya telah sempat dikatakannya.
    Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Baru kemudian ia sempat memandang berkeliling. Dilihatnya Glagah Putih yang terluka. Rara Wulan yang berdiri di sebelahnya. Namun kemudian ia terkejut ketika ia melihat Ki Jayaraga terduduk lesu di tangga pendapa rumahnya. “Aku akan melihat Ki Jayaraga. Kau ambil Glagah Putih dan bawa ke pendapa pula.”
    Sabungsaripun kemudian telah pergi ke tempat Glagah Putih beristirahat ditunggui oleh Rara Wulan. Dengan nada dalam ia berkata, “Marilah. Kau dipanggil Kakang Agung Sedayu yang akan melihat keadaan Ki Jayaraga.”
    Glagah Putih mengangguk. Sementara Sabungsari berkata, “Aku bantu kau berjalan.”
    Dibantu oleh Sabungsari dan Rara Wulan, Glagah Putih berjalan tertatih-tatih ke pendapa. Pundaknya terasa sakit sekali. Rasa-rasanya pundaknya itu telah ditusuk-tusuk dengan duri yang justru tidak tajam ujungnya.
    Namun sambil berjalan Glagah Putih sempat bertanya, “Bagaimana keadaan Ki Jayaraga?”
    “Ia terluka di dalam,” jawab Sabungsari. “Tetapi aku belum sempat melihat keadaannya.”
    Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam, sementara Rara Wulan itupun berkata, “Kau pun terluka. Perhatikan lukamu lebih dahulu. Agaknya kau memerlukan pengobatan segera.”
    Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak dapat untuk sama sekali tidak menghiraukan Ki Jayaraga, karena Ki Jayaraga telah banyak membantunya. Ia adalah gurunya yang telah mewariskan berbagai ilmu kepadanya.
    Sementara itu Agung Sedayu yang merasa sedikit pening telah mendekati Ki Jayaraga. Sambil duduk di sebelahnya ia berkata kepada Sekar Mirah, “Ambilkan minum.”
    “Baik, Kakang,” jawab Sekar Mirah. Namun ketika Sekar Mirah bergerak naik tangga pendapa, Agung Sedayu terkejut melihat Baju Sekar Mirah bernoda darah.
    “Kau terluka, Mirah?” bertanya Agung Sedayu dengan cemas.
    “Sedikit. Tidak apa-apa,” jawab Sekar Mirah.
    Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun demikian Sekar Mirah naik ke pendapa dan menuju ke pringgitan, Ki Jayaraga berdesis, “Lihatlah, apa yang terjadi dengan isterimu.”
    “Kenapa dengan Sekar Mirah?” bertanya Agung Sedayu.
    Ki Jayaraga akan menjawab. Tetapi ia justru terbatuk. Sepercik darah telah terlontar dari mulutnya.
    “Ki Jayaraga,” desis Agung Sedayu, “bagaimana dengan kau?”
    Ki Jayaraga termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, “Aku terluka di dalam. Tolong, ambil obat di kantong ikat pinggangku.”
    Agung Sedayupun segera mengambilnya, sementara Sekar Mirah telah datang sambil membawa air bening
    “Minumlah Ki Jayaraga,” desis Sekar Mirah.
    Ki Jayaraga menerima air itu sementara Agung Sedayu telah mengambil butiran obat dari kantong ikat pinggang Ki Jayaraga.
    “Obat ini?” bertanya Agung Sedayu sambil menunjukkan obat yang diambilnya dari kantong sebelah kanan dari ikat pinggang Ki Jayaraga.
    Ki Jayaraga mengangguk sambil menerima obat itu. Katanya hampir tidak terdengar, “Obat ini hanya sekedar untuk meningkatkan daya tahan tubuhku. Tetapi obat ini belum merupakan obat yang dapat menyembuhkan luka-luka dalamku.”
    “Minumlah,” berkata Agung Sedayu kemudian.
    Ki Jayaragapun kemudian telah menelan obat itu dan minum beberapa teguk. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, “Mudah-mudahan keadaanku bertambah baik.”
    “Marilah. Aku bantu kau naik ke pendapa,” berkata Agung Sedayu.
    Ki Jayaraga tidak menjawab. Dibantu Agung Sedayu iapun kemudian berjalan tertatih-tatih naik ke pendapa dan duduk di atas tikar yang sudah dibentangkan. Sementara itu, Sabungsari dan Rara Wulan telah membawa Glagah Putih ke pendapa itu pula.
    Demikian Ki Jayaraga duduk, maka iapun berdesis, “Kau juga terluka Glagah Putih?”

  27. Jilid III-75: Hal 19 s/d 30

    “Ya guru,” jawab Glagah Putih, “tetapi tidak apa-apa. Hanya luka pada kulitku.”
    “Coba aku melihat lukamu,” berkata Agung Sedayu.
    Ketika Glagah Putih memperlihatkan lukanya, maka Sekar Mirahpun telah berpaling pula sambil berdesis, “Mengerikan.”
    “Ia memerlukan pengobatan segera,” desis Ki Jayaraga.
    Agung Sedayu mengangguk. Katanya, “Ya. Luka-luka itu tentu sakit sekali. Mudah-mudahan tidak merusakkan tulang-tulangnya.”
    “Rawatlah anak itu lebih dahulu,” berkata Ki Jayaraga, “aku telah menelan obat yang membuat daya tahan tubuhku semakin kuat. Karena itu, aku tidak memerlukan pengobatan segera.”
    “Tetapi guru luka di dalam,” berkata Glagah Putih sambil berdesis menahan sakit.
    “Tidak apa-apa. Aku sudah menelan obat yang dapat membantuku bertahan beberapa lama,” berkata Ki Jayaraga kemudian.
    Glagah Putih tidak menyahut lagi. Sementara Agung Sedayu berkata, “Baiklah. Aku akan mencoba mengobati Glagah Putih. Ia telah terkena serangan senjata rahasia yang berupa butiran-butiran lembut yang disemburkan dengan kekuatan Aji Pacar Wutah, sehingga luka-lukanya menjadi seperti sarang lebah. Namun untunglah, bahwa serangan itu tidak mengenai dadanya.”
    Agung Sedayupun kemudian telah minta agar Sekar Mirah mengambil beberapa helai daun sirih dan menumbuknya hingga menjadi agak halus.
    Tetapi Rara Wulanlah yang bangkit sambil berkata, “Biarlah aku yang mengambilnya.”
    Rara Wulan tidak menunggu jawaban. Iapun segera berlari ke halaman belakang lewat longkangan samping. Namun Sekar Mirah tidak membiarkannya. Iapun segera menyusulnya pula.
    Namun sekali lagi Ki Jayaraga berkata, “Kaupun harus memperhatikan isterimu. Ia terluka. Mudah-mudahan tidak parah.”
    “Ya, Ki Jayaraga. Aku akan melihatnya,” jawab Agung Sedayu.
    Sambil menunggu daun sirih, maka Agung Sedayupun telah memerintahkan para prajurit dan pengawal untuk merawat mereka yang terluka dan mengumpulkan orang-orang yang terbunuh dalam peperangan itu dari kedua belah pihak.
    Para pengawal dan para prajurit pun telah memerintahkan kepada tawanan mereka untuk mengumpulkan kawan-kawan mereka yang terluka dan terbunuh di pertempuran itu di serambi gandok di bawah pengawasan yang ketat.
    Sementara itu Agung Sedayu pun telah menyiapkan serbuk obat yang akan dipakai untuk mengobati Glagah Putih yang kemudian akan dicampur dengan daun sirih yang telah ditumbuk halus.
    Ketika kemudian Sekar Mirah dan Rara Wulan datang sambil membawa daun sirih yang sudah ditumbuk, maka Agung Sedayupun segera mencampurnya sambil berkata, “Obat inipun hanya untuk sementara, agar luka itu tidak menjadi semakin parah. Aku harus membuat obat khusus untuk mengeluarkan senjata rahasia yang tertanam di dagingmu.”
    Ketika obat itu diusapkan pada luka-lukanya, Glagah Putih mengatupkan giginya rapat-rapat untuk menahan pedih. Namun ia tahu bahwa dengan demikian obat itu telah langsung mulai bekerja pada luka-lukanya.
    Dalam pada itu, ketika orang-orang di halaman itu menjadi sibuk, maka langitpun menjadi semakin terang. Cahaya fajar telah menjadi semakin cerah mewarnai langit.
    Sementara itu Ki Jayaraga dan Glagah Putih masih duduk di pendapa bersandar tiang. Mereka tidak bersedia untuk dibawa ke dalam bilik mereka masing-masing. Ki Jayaraga yang nampak sangat lemah, duduk sambil menyaksikan kesibukan di halaman. Beberapa sosok tubuh yang telah membeku telah dibawa naik ke pendapa itu pula. Mereka adalah para pengawal dan prajurit yang gugur dalam pertempuran itu.
    Glagah Putih yang juga menyaksikan tubuh-tubuh yang membeku itu hanya dapat mengusap dadanya. Ia merasa bahwa yang terjadi itu adalah akibat kehadirannya bersama Sabungsari di Tanah Perdikan itu.
    Di halaman, Sabungsari ikut sibuk pula. Namun setiap kali ia ikut mengangkat mereka yang terluka apalagi yang telah gugur, maka jantungnya terasa berdesir tajam. Seperti Glagah Putih, iapun juga merasa bersalah. Usahanya bersama Glagah Putih untuk memancing orang-orang yang memburunya itu, ternyata telah menimbulkan korban yang besar di Tanah Perdikan Menoreh.
    Apalagi di luar halaman itupun telah terjadi pertempuran pula. Bahkan rumah-rumah yang terbakar. Satu dua orang yang tidak tahu-menahu tentu ada yang menjadi korban pula. Bahkan mungkin anak-anak dan perempuan.
    Sabungsari memang menjadi gelisah. Tetapi semuaya sudah terjadi, sehingga apa yang terjadi di Tanah Perdikan itu harus diterimanya sebagai satu kenyataan.
    Ketika matahari mulai naik, maka keadaan padukuhan induk Tanah Perdikan itu benar-benar menjadi tenang. Namun masih terdengar satu dua orang yang menangisi rumahnya terbakar bersama segala isinya. Bahkan kemudian, bukan saja menangisi rumahnya dan harta bendanya yang terbakar, tetapi kematian di halaman rumah Agung Sedayu telah memeras air mata pula. Perempuan yang kehilangan anak-anaknya dan bahkan suaminya serta gadis-gadis yang kehilangan kekasih.
    “Akibat dari peperangan selalu pahit,” desis Sabungsari sambil mengangkat sesosok tubuh yang membeku. Seorang anak muda yang menurut pendapatnya masih terlalu muda untuk mati. Jantung Sabungsari berdesir lembut ketika ia melihat wajah anak muda yang sudah memutih itu. Ia melihat bibirnya tersenyum meskipun luka di dadanya menganga sampai ke jantung.
    Namun dalam pada itu, ternyata keadaan Ki Jayaraga justru mencemaskan. Meskipun ia sudah menelan obat untuk meningkatkan daya tahan tubuhnya, namun keadaan justru menjadi semakin lemah.
    Dengan demikian maka Agung Sedayu harus segera berbuat sesuatu. Sebagai murid Kiai Gringsing yang memahami obat-obatan maka Agung Sedayupun telah mempelajarinya pula. Bahkan ternyata bahwa Ki Jayaraga sendiri juga mampu diajak berbicara tentang obat yang paling baik baginya.
    “Sebaiknya Ki Jayaraga berbaring di dalam bilik,” desisnya.
    Ki Jayaraga tidak menolak lagi. Ia memang merasa sangat lemah. Sehingga ketika kemudian Agung Sedayu membantunya berjalan ke biliknya, maka Ki Jayaraga itu menurut saja.
    Namun Glagah putih masih tetap duduk di pendapa. Ketika perasaan pedih di lukanya menyusut, maka ia merasa menjadi lebih baik. Namun ia tahu, bahwa obat yang diusapkan pada lukanya itu hanya sekedar untuk mengatasi keadaan sementara. Ia tahu bahwa Agung Sedayu tentu masih akan membuat obat lain untuk mengeluarkan senjata rahasia dari dalam dagingnya. Dan Glagah Putihpun tahu bahwa pekerjaan itu adalah pekerjaan yang sulit.
    Ketika matahari menjadi semakin tinggi, maka Ki Gede diikuti oleh Prastawa dan beberapa orang pengawal telah datang pula ke rumah Agung Sedayu. Dengan wajah yang muram Ki Gede melihat Ki Jayaraga yang terbaring lemah, sementara Glagah Putih terluka di pundaknya.
    Ki Gede terkejut ketika ia mendengar Glagah Putih berdesis lemah, “Aku mohon beribu maaf, Ki Gede.”
    “Kenapa?” bertanya Ki Gede sambil mengerutkan dahinya. “Bukankah kau tidak bersalah?”
    Agung Sedayu yang dapat mengerti perasaan Glagah Putih hanya dapat menarik nafas dalam-dalam, sementara Glagah Putih berkata, “Akulah yang menyebabkan semuanya ini terjadi.”
    “Tidak,” sahut Ki Gede, “kita semuanya sudah sepakat akan rencana ini. Karena itu, setelah rencana ini dilaksanakan, adalah tanggung jawab kita semuanya. Tentu kita tidak dapat saling menyalahkan.”
    “Tetapi aku tidak mengira bahwa seperti inilah yang terjadi di Padukuhan Induk Tanah Perdikan Menoreh ini. Keributan, kebakaran dan bahkan kematian dari para pengawal terbaik di Tanah Perdikan ini. Bahkan mungkin juga perempuan dan kanak-kanak yang menghindarkan diri dari kobaran api itu,” desis Glagah Putih dengan nada dalam.
    “Sudahlah,” berkata Ki Gede, “yang penting, apa yang harus segera kita lakukan sekarang. Merawat mereka yang terluka dan mengubur mereka yang telah gugur di pertempuran ini. Kita memang tidak dapat ingkar, bahwa untuk kepentingan yang lebih besar, kita harus merelakan korban yang jatuh. Namun sudah barang tentu bahwa kita tidak boleh melupakan korban yang telah kita berikan itu.”
    Glagah Putih hanya dapat mengangguk-angguk kecil. Namun ia tidak dapat benar-benar menyingkirkan perasaan itu. Agaknya demikian pula Sabungsari. Meskipun ia tidak mengatakan apa-apa, namun pada wajahnya nampak betapa ia menyesali peristiwa yang telah terjadi itu.
    Namun ternyata Ki Gede dengan hati yang lapang menerima kenyataan itu. Ia memang tidak menyalahkan siapapun juga. Bahkan ia kemudian berkata, “Apapun yang terjadi, kita dapat merasa bangga bahwa kita telah dapat memberikan sedikit sumbangan bagi Mataram. Bukankah orang-orang itu telah datang untuk mengacaukan Mataram, apapun alasan mereka. Apa yang telah mereka lakukan di Mataram merupakan pernyataan yang jelas, siapakah sebenarnya mereka, meskipun secara pribadi kita tidak dapat mengenal mereka.”
    Yang mendengarkan keterangan Ki Gede itu mengangguk-angguk. Namun terdengar Agung Sedayu berdesis, “Sayang. Pemimpin tertinggi mereka sempat meloloskan diri.”
    “Ya,” sahut Ki Gede, “aku sudah mendapat laporan. Namun sendiri, ia tidak akan dapat berbuat apa-apa. Seandainya ia masih akan menghimpun kekuatan kembali, maka ia harus berpikir dua kali. Ternyata Mataram tidak selunak lumpur di sawah.”

    (Ilustrasi hal 24, dihapus)

    Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Mudah-mudahan apa yang terjadi di Tanah Perdikan ini akan cukup berarti bagi Mataram.”
    “Tentu,” sahut Ki Gede. “Pengorbanan ini tentu ada artinya. Karena menurut perhitunganku, mereka datang ke Mataram tentu mempunyai latar belakang persoalan yang kuat. Bahkan tidak mustahil bahwa mereka datang untuk kepentingan pihak-pihak tertentu. Jika kedatangan mereka merupakan satu penjajagan, maka kita orang-orang Mataram, telah memberikan jawabannya.”
    “Ya Ki Gede,” berkata Agung Sedayu kemudian, “mudah-mudahan hasil penjajagan yang mereka dapatkan, dapat mereka perhitungkan sebaik-baiknya dengan niat mereka selanjutnya.”
    Ki Gedelah yang kemudian mengangguk-angguk. Namun ternyata Ki Gede tidak terlalu lama berada di halaman itu. Iapun segera minta diri untuk melihat keadaan Padukuhan Induk itu dalam keseluruhan.
    “Nanti aku akan datang kembali,” berkata Ki Gede, “aku ingin melihat rumah-rumah yang terbakar dan barangkali ada peristiwa yang masih luput dari pengamatan kita sekarang.”
    Demikianlah, Tanah Perdikan Menoreh, terutama Padukuhan Induknya telah mengalami satu bencana yang menggetarkan setiap jantung. Bukan saja penghuninya, tetapi juga orang-orang Tanah Perdikan yang tinggal di padukuhan-padukuhan lain. Sejak matahari naik, maka terutama anak-anak mudanya telah berduyun-duyun pergi ke Padukuhan Induk itu. Bahkan orang-orang tua, terutama yang mempunyai sanak-kadang tinggal di Padukuhan Induk, telah dengan tergesa-gesa pula menengok, apakah sanak-kadang mereka itu tidak mengalami sesuatu.
    Namun banyak di antara mereka yang harus melihat kenyataan, bahwa sanak kadang mereka telah mengalami bencana. Jika bukan rumahnya terbakar, maka ada di antara keluarganya yang terluka, bahkan ada pula yang gugur di pertempuran.
    Mendung yang kelabu telah menyelubungi Tanah Perdikan Menoreh, terutama di Padukuhan Induknya.
    Hari itu juga, Agung Sedayu telah mengirimkan penghubung untuk memberi laporan kepada para pemimpin di Mataram. Mereka akan memberikan laporan selengkapnya tentang apa yang terjadi di Tanah Perdikan Menoreh.
    “Jangan ada yang terlampaui,” pesan Agung Sedayu, “jangan lupa untuk melaporkan, bahwa justru pemimpin mereka telah berhasil meloloskan diri. Meskipun ia terluka di dalam, tetapi orang itu tetap merupakan orang yang sangat berbahaya. Karena itu, maka hendaknya Mataram tetap waspada.”
    Para penghubung itu mengangguk hormat. Seorang di antara mereka menyahut, “Kami akan menyampaikan pesan Ki Lurah selengkapnya.”
    “Jika kau kembali dari Mataram, kau harus segera lapor kepadaku,” pesan Agung Sedayu pula.
    “Baik Ki Lurah,” jawab keduanya hampir berbareng.
    Dalam pada itu, maka sehari penuh Tanah Perdikan menjadi sibuk. Selain memakamkan anak-anak muda dan para pengawal yang gugur, maka orang-orang yang terlukapun memerlukan perawatan secepatnya. Apalagi mereka yang terluka parah. Sedangkan beberapa orang prajurit yang gugur, telah dibawa kembali keluarganya di barak Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan Menoreh tanpa kehadiran Agung Sedayu.
    Sementara itu, Agung Sedayupun telah sibuk menyiapkan obat untuk Ki Jayaraga dan Glagah putih, sementara tabib yang ada di Tanah Perdikan Menoreh telah dikerahkan untuk merawat mereka yang terluka. Bahkan juga para tawanan, pengikut Ki Manuhara.
    Dengan mengerahkan segenap pengetahuannya tentang obat-obatan serta pemusatan nalar budi untuk mengingat dan menggali pengetahuan tentang obat-obatan itu dari kitab Kiai Gringsing, maka Agung Sedayu telah menyiapkan obat bagi Ki Jayaraga. Dengan berbagai macam daun dan akar-akar berbagai jenis tanaman yang memang ditanam di kebun belakang rumah Agung Sedayu, maka Agung Sedayupun telah membuat reramuan bagi Ki Jayaraga dan Glagah Putih.
    Seisi rumah itu kemudian mengucap sukur ketika ternyata keadaan Ki Jayaraga berangsur baik. Wajahnya tidak lagi terlalu pucat, sementara darahnya telah mengalir dengan teratur. Ki Jayaraga telah tidak terbatuk-batuk lagi dan darah pun tidak memercik lagi dari sela-sela bibirnya.
    Namun dalam pada itu, justru keadaan Glagah Putih yang membuat seisi rumah itu berdebar-debar. Agung Sedayu dan Sekar Mirah sendiri hampir tidak sempat mengobati lukanya. Hanya karena Ki Jayaraga beberapa kali memperingatkannya, maka Sekar Mirah telah menyempatkan diri untuk diobati lukanya oleh Agung Sedayu sendiri.
    Glagah Putih berbaring di pembaringannya sambil menyeringai menahan sakit di pundaknya. Obat yang diberikan oleh Agung Sedayu membuat pundaknya itu seakan-akan membara. Panas dan pedih berbaur menjadi satu. Butiran-butiran lembut yang menusuk menyusup ke dalam dagingnya seakan-akan telah bergerak-gerak bahkan menggigit bagian dalam urat-urat nadinya.
    Beberapa orang menungguinya dengan gelisah. Sementara Agung Sedayu belum mempunyai keyakinan sebagaimana Kiai Gringsing atas kemampuannya memberikan pengobatan. Namun Agung Sedayu hanya dapat menyerahkan hasil pengobatannya kepada perkenan Yang Maha Agung. Namun dengan demikian, maka Agung Sedayu justru merasa bawa ia selalu mendapat tuntunan dan petunjuk daripada-Nya. Seakan-akan nalar budinya serta tangannya telah melakukan pengobatan itu dengan sangat baik dan berhasil.
    Rara Wulan menjadi sangat tegang. Sekar Mirah berusaha untuk menghiburnya. Namun Sekar Mirah sendiri tidak dapat menyembunyikan kegelisahannya.
    Di sudut ruangan Sabungsari duduk sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam. Iapun merasa sangat gelisah melihat keadaan Glagah Putih. Namun ia berusaha untuk tetap tenang dan tidak membuat suasana menjadi semakin buram.
    Semua yang berada di balik itu bangkit serentak dan bergeser mendekati pembaringan Glagah Putih ketika mereka mendengar Glagah Putih itu berdesis menahan kesakitan yang sangat. Pundaknya bagaikan terbakar oleh perasaan pedih, sakit dan panas. Bahkan Rara Wulan dengan cemas bertanya, “Kakang Agung Sedayu, bagaimana keadaannya?”
    Agung Sedayupun mendekati Glagah Putih. Dirabanya dahinya yang berkerut. Namun dahi itu tidak panas, sehingga sambil menarik nafas dalam-dalam Agung Sedayu berkata, “Tenanglah. Kita berdoa bersama-sama di dalam hati kita, mudah-mudahan Yang Maha Agung berkenan memberkati obat-obatan yang aku berikan dan berkenan pula mempergunakannya sebagai lantaran kesembuhannya.”
    Rara Wulan mengangguk-angguk kecil. Hampir saja ia tidak dapat menahan air matanya. Namun Rara Wulan bertahan untuk tidak menangis.
    Sebenarnyalah beberapa saat kemudian perasaan sakit dan panas yang sudah sampai ke puncaknya itu mulai menurun. Glagah Putih mulai menjadi tenang. Namun keringat yang mengalir dari kening dan dahinya, telah membasahi seluruh wajahnya. Bahkan pakaiannya telah menjadi basah pula, seakan-akan Glagah Putih itu baru saja mandi dengan seluruh pakaiannya.
    Namun dalam pada itu, Agung Sedayu justru berkata, “Aku minta Sekar Mirah dan Rara Wulan untuk keluar sesaat. Aku akan melihat luka Glagah Putih.”
    Keduanya memang ragu-ragu. Namun kemudian Sekar Mirahlah yang membimbing Rara Wulan keluar dari bilik itu.
    Sebenarnyalah Agung Sedayu memang membuka luka Glagah Putih ditunggui oleh Sabungsari. Namun betapa tabahnya Sabungsari ketika ia melihat luka Glagah Putih, jantungnya terasa berdesir pula.
    Namun Sabungsari itu kemudian mendengar Agung Sedayu berdesis, “Terpujilah Yang Maha Agung.”
    Sabungsari bergeser mendekat. Ia melihat luka Glagah Putih dengan tengkuk yang terasa meremang. Luka Glagah Putih yang seperti sarang lebah itu nampak seakan-akan berbuih.
    “Apa yang terjadi, Agung Sedayu?” bertanya Sabungsari.
    “Senjata rahasia itu sebagian telah keluar dari lubang-lubang luka di pundak Glagah Putih,” jawab Agung Sedayu sambil mengusap luka itu dengan kain putih yang telah dipersiapkan serta telah dipanasi dengan air yang telah mendidih.
    “Untunglah tidak beracun,” desis Agung Sedayu kemudian.
    Glagah Putih sendiri justru menjadi kesakitan. Bahkan ia sempat mengaduh meskipun bertahan.
    Agung Sedayupun telah memberikan sesobek kain putih yang telah dipanasinya pula sambil berkata, “Gigit kain itu setelah kau lipat. Aku akan menekan lukamu agar senjata rahasia yang tersisa dapat keluar pula dari lubang luka-lukamu.”
    Bukan saja Glagah Putih yang menjadi berdebar-debar. Namun Sabungsaripun ikut berdebar-debar pula.
    Betapa Glagah Putih menahan sakit yang amat sangat ketika Agung Sedayu menekan luka-lukanya dengan kain yang masih hangat sehingga senjata rahasia yang tertinggal terperas keluar. Beberapa kali terdengar Glagah Putih mengaduh. Namun Agung Sedayu seakan-akan tidak mendengarnya. Ia masih saja menekan luka-luka itu sehingga butiran-butiran senjata rahasia yang tersisa terperas keluar bercampur dengan darah.
    Di luar bilik Rara Wulan berdebar-debar menjadi gelisah. Hampir saja ia menjadi tidak tahan dan mendorong pintu yang tertutup itu. Namun Sekar Mirah masih dapat menahannya meskipun ia tidak berhasil menenangkannya sepenuhnya.
    Ketika pintu kemudian terbuka, Rara Wulan memang terpekik melihat beberapa potong kain yang merah oleh darah. Namun Agung Sedayu tidak nampak tegang seperti sebelumnya. Bahkan sambil tersenyum ia berkata, “Aku sudah mengganti bajunya yang koyak dan basah oleh keringat dan darah. Ia sudah menjadi lebih tenang meskipun masih selalu ditekan oleh rasa sakitnya. Tetapi semuanya akan segera menjadi baik.”
    “Apakah kami boleh masuk?” bertanya Sekar Mirah.
    “Masuklah,” jawab Agung Sedayu, “Sabungsari menungguinya. Namun beri kesempatan Glagah Putih untuk beristirahat.”
    “Tetapi kain itu? Biarlah aku membawanya ke belakang,” minta Sekar Mirah.
    “Biarlah aku saja,” jawab Agung Sedayu. “Temani Rara Wulan. Aku juga akan menengok Ki Jayaraga di biliknya,” jawab Agung Sedayu kemudian.
    Sebenarnyalah Rara Wulan memang menjadi ragu-ragu. Tetapi Sekar Mirah berkata, “Marilah. Keadaan Glagah Putih sudah menjadi semakin baik. Kau tidak usah cemas.”
    Meskipun masih juga dengan ragu-ragu, namun Rara Wulan pun telah masuk ke dalam bilik. Ia melihat Sabungsari yang sudah dapat tersenyum. Bahkan kemudian Rara Wulan pun melihat bahwa Glagah Putihpun telah tersenyum pula. Ia sudah memakai baju yang lain. Keringatnyapun sudah kering. Meskipun masih nampak ia menahan sakit, namun keadaannya sudah jauh berbeda.
    “Luka-lukanya masih ditutup dengan obat yang dibuat oleh Agung Sedayu,” berkata Sabungsari, “agaknya masih ada senjata rahasia yang tertinggal di dalam dagingnya. Namun sudak dapat dikatakan hampir bersih seluruhnya.”
    Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam, sementara Glagah Putih sendiri berkata, “Aku sudah menjadi baik.”
    Dalam pada itu, setelah merendam kain-kain putih yang dipergunakan untuk membersihkan luka Glagah Putih, maka Agung Sedayupun telah masuk ke bilik Ki Jayaraga untuk melihat akibat dari obat yang telah diberikannnya.

    (Break, minum wedang jahe dulu. Besok dilanjut…)

    • dilanjutkan ……

      Dalam pada itu, setelah meredam kain-kain putih yang dipergunakan untuk membersihkan luka Glagah Putih, maka Agung Sedayupun telah masuk ke bilik Ki Jayaraga untuk melihat akibat dari obat yang telah diberikannnya.
      Agung Sedayu menarik nafas panjang ketika ia melihat anak yang tinggal serta membantu dirumah Agung Sedayu itu duduk sambil memegangi mangkuk minuman Ki Jayaraga.
      Anak itupun kemudian meletakkan mangkuk itu serta beringsut kesudut ruang ketika ia melihat Agung Sedayu datang._
      — Duduk sajalah — berkata Agung Sedayu.
      — Anak itu membantu aku minum — desis Ki Jayaraga — ia menunggui aku sejak tadi. —
      —Bagus—sahut Agung Sedayu sambil mengusap kepala anak itu. — Nampaknya kau merasa kehilangan kawan untuk mengairi sawah. Jika Ki Jayaraga sakit, maka tidak ada orang yang kau kirim makan dan minuman disawah menjelang matahari turun ke Barat. —
      Anak itu tidak menjawab. Sementara Ki Jayaragalah yang meneruskan — Apa lagi Glagah Putih juga terluka sehingga dimalam hari ia tidak dapat mengajaknya menutup dan membuka pliridan. —
      Namun diluar dugaan anak itu menjawab — Sudah lama Glagah Putih tidak turun ke sungai. —
      Agung Sedayu tertawa, sementara Ki Jayaragapun sempat tersenyum.
      Sebenarnyalah bahwa keadaan Ki Jayaraga memang sudah menjadi semakin baik. Ternyata bahwa Agung Sedyu, salah seorang murid utama Kiai Gringsing itu mampu juga mewarisi ilmu pengobatan sebagaimana dimiliki oleh gurunya meskipun ia masih memerlukan pengalaman lebih banyak dan lebih luas lagi.
      Ketika Agung Sedayu kemudian duduk dibibir pembaringan ki Jayaraga, maka Ki Jayaraga itupun berdesis—Aku mengucapkan terima kasih kepadamu ngger. —
      —Sudahlah Ki Jayaraga—sahut Agung Sedayu—Yang Maha Agung telah mendengarkan permohonan kita, sehingga keadaan Ki Jayaraga menjadi semakin baik. —
      — Tetapi kau telah menjadi lantarannya — desis Ki Jayaraga.
      — Kita akan bersama-sama berdoa, semoga Ki Jayaraga akan segera sembuh — sahut Agung Sedayu kemudian.
      Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Ki Jayaraga itupun berkata — Aku semakin mengagumimu ngger. Selain pengetahuanmu tentang obat-obatan yang dengan cepat kau kuasai, ilmumupun ternyata benar-benar telah sampai kepuncak. Kau telah sepenuhnya mampu menguasai ilmu cambuk dari gurumu, sehingga dengan kemampuan ilmu cambukmu kau dapat melawan kekuatan ilmu lawanmu yang sejenis dan setingkat dengan ilmu lawanku yang ternyata bernama Ki Manuhara itu. —
      —Ki Jayaragapun mampu melawannya—jawab Agung Sedayu.
      —Tetapi akibatnya jauh berbeda. Kau mampu melawan dan mengatasinya. Sedang aku mengalami kesulitan pada bagian dalam tubuhku. Bahkan kau pulalah yang dapat mengobatinya. — berkata Ki Jayaraga.
      Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya — Segala puji bagi yang Maha Agung. Hanya kuasanya sajalah yang dapat membantuku mengatasi ilmu itu. Agung Sedayu berhenti sejenak. Namun katanya kemudian — Tetapi menurut Sabungsari, ilmu yang dahsyat yang Ki Jayaraga pergunakan untuk melawan Ki Manuhara itu belum nampak Ki Jayaraga pergunakan saat melawan Podang Abang. —
      —Aku dapat menyelesaikannya tanpa ilmu itu.—jawab Ki Jayaraga.
      — Namun dalam pada itu, Agung Sedayupun berkata— Sebaiknya Ki Jayaraga banyak beristirahat. Tidurlah. Ki Jayaraga akan menjadi bertambah baik. —
      — Terima kasih — jawab Ki Jayaraga. Namun katanya kemudian—Tetapi kau jangan lupa mengobati luka isterimu dan luka-lukamu sendiri. —
      — Luka Sekar Mirah dan luka-lukaku sendiri tidak berbahaya Ki Jayaraga. Aku sudah mengobatinya. — jawab Agung Sedayu. —
      — Lawanmu itu ternyata mampu menembus ilmu kebalmu, la tentu orang yang berilmu sangat tinggi. Namun orang itu kau akhiri juga dengan kemampuan ilmu cambukmu. — desis Ki Jayaraga.
      — Sudahlah. Tidurlah. Biar anak itu menemani Ki Jayaraga— berkata Agung Sedayu kemudian sambil bangkit berdiri. Katanya kemudian — Sudahlah. Beristirahatlah. —
      Ki Jayaraga tidak menjawab lagi. Sementara Agung Sedayu pun kemudian meninggalkannya. Diruang dalam ia terhenti sejenak. Ki Jayaraga telah mengingatkannya untuk memperhatikan luka-lukanya sendiri. Karena itu, maka iapun melangkah menuju kebiliknya untuk minum beberapa teguk reramuan yang telah disiapkan sendiri untuk meningkatkan daya tahannya. Sementara luka-lukanya sudah dita-burinya dengan obat pula sebagaimana Sekar Mirah. Namun lukanya dan luka Sekar Mirah memang hanya pada kulitnya saja.
      Ketika langit menjadi kelabu, maka kesibukan di Padukuhan Induk Tanah Perdikan itupun telah mereda. Orang-orang yang sedang mengungsi di banjar dan di rumah Ki Gede sudah mulai mapan. Sementara orang-orang yang gugur di pertempuran sudah dimakamkan sedang yang terluka sudah dirawat.
      Namun para pengawal Tanah Perdikan masih saja bersiaga untuk menghadapi segala kemungkinan. Bahkan Pras-tawapun telah memerintahkan semua padukuhan bersiap-siap menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang masih mungkin dapat terjadi. Apalagi mereka menyadari bahwa pimpinan dari orang-orang yang menyerang Tanah Perdikan itu sempat meloloskan diri.
      Namun sebenarnyalah bahwa Ki Manuhara tidak mampu lagi berbuat sesuatu. Ketika ia membenturkan ilmunya melawan ilmu Ki Jayaraga, maka rasa-rasanya jantungnya akan meledak karenanya.
      Apalagi ketika ia sadar, bahwa darah telah memercik dari sela-sela bibirnya, Maka Ki Manuhara itu merasa bahwa ia tidak mempunyai kesempatan lagi untuk melakukan perla-
      wanan setelah orang-orang yang menjadi kepercayaannya terbunuh di pertempuran. Sementara ia sama sekali tidak bermimpi untuk ditangkap dan menjadi tawanan di Tanah Perdikan di sebelah Kali Praa itu. Di Matarampun ia tidak akan membiarkan dirinya tertangkap hidup-hidup dan menjadi tawanan. Ia harus melolskan diri atau mati di pertempuran.
      Ketika matahari terbit, Ki Manuhara sudah berada di padang perdu yang tidak banyak didatangi orang. Ia terbaring disemak-semak yang masih basah oleh embun. Tubuhnya terasa sangat lemah, sementara bagian dalam dadanya terasa sakit dan nyeri.
      Dengan air dari parit yang mengalirkan air yang bening, Ki Manuhara telah menelan obat yang dibawanya untuk meningkatkan daya tahan tubuhnya agar ia tidak kehilangan kekuatannya sama sekali. Namun benturan ilmu itu benar-benar telah membuatnya seakan-akan kehilangan kesempatan untuk dapat bertahan hidup.
      Tetapi Ki Manuhara tidak menyerah. Ia masih berusaha untuk beringsut semakin jauh dari Tanah Perdikan Menoreh. Betapapun tubuhnya terasa sangat lemah.
      Namun akhirnya Ki Manuhara itu terkapar dipadang perdu sebelum ia sempat mencapai Kali Praga. Ia masih sempat bergeser untuk berlindung dibawah rimbunnya daun jarak. Namun terik sinar matahari rasa-rasanya mampu menembus sela-sela daun jarak itu. Panasnya terasa membakar tubuh, sehingga akhirnya mata ki Manuhara itupun menjadi berkunang-kunang. Matahari yang bagaikan sekeping bara yang berpijar itu menjadi semakin kabur. Betapapun tinggi ilmunya, namun Ki Manuhara harus menerima satu kenyataan bahwa kemampuan dan ketahanan tubuhnya dicengkam oleh keterbatasan.
      Ternyata Ki Manuhara menjadi pingsan.
      Orang yang berilmu tinggi itu tidak tahu berapa lama ia tidak sadar akan dirinya. Ketika terasa tubuhnya menjadi agak segar bukan saja oleh angin yang semilir, tetapi terasa pada wajahnya usapan cairan yang membantu membuatnya sadar.
      Ketika Ki Manuhara membuka matanya, maka segera ia tahu bahwa seseorang telah menolongnya memberikan semacam cairan obat untuk menyegarkannya dan kemudian membuatnya sadar.
      Namun ketika ia berusaha untuk bangkit, tubuhnya masih terasa sangat lemah. Karena itu, maka iapun telah terbaring lagi di rerumputan yang tebal.
      Dalam pada itu, selagi Ki Manuhara berusaha untuk mengenali tempat nya berbaring serta berusaha untuk melihat seseorang yang tentu sudah membantunya menyadari keadaannya, terdengar suara tertawa perlahan-lahan. Kemudian terdengar kata-katanya — Kau tidak usah berusaha untuk bangkit lebih dahulu Ki Manuhara. —
      Ki Manuhara yang masih terbaring itu berusaha untuk berpaling kearah suara itu. Sementara itu ia mendengar suara itu lagi — Aku kira orang yang memiliki ilmu setinggi kau tidak akan pernah kalah apalagi pingsan. Tetapi ternyata kau telah pingsan sehingga seandainya aku ingin membunuhmu, maka aku tidak akan-mengalami kesulitan apa-apa. Ilmu yang setinggi awan itu tidak akan mampu melindungimu. —
      Ki Manuhara akhirnya melihat seseorang yang muncul dari balik sebatang pohon kayu. Seorang yang bertubuh kecil dan terhitung pendek dibandingkan dengan orang kebanyakan.
      — Iblis kau—geram Ki Manuhara — kenapa kau berada disini? Apakah kau sengaja mengamat-amati aku? —
      — Kenapa kau tidak mebawaku bersamamu — sahut orang bertubuh kecil itu — Samepa telah pergi ke Tanah Perdikan ini bersamamu. Bahkan Patitis dan Tangkil telah kau bawa. Kenapa kau tidak mengajakku? Kau takut bawa orang-orang aka melihat bahwa kemampuanku lebih tinggi dari kemampuanmu? —
      Ki Manuhara menggeram. Katanya — Seandainya aku tidak sedang terluka didalam, aku bunuh kau. —
      Tetapi orang itu tertawa. Katanya — Cobalah kalau kau mampu. Bahkan tanpa luka didalampu kau belum tentu dapat membunuhku. Ilmuku sekarang tentu tidak berada diba-wah ilmumu. Kau kira Guntur Manunggalmu dapat kau banggakan? He, kenapa kau luka didalam? Siapakah lawanmu? Kau harus menyadari bahwa ilmu puncakmu itu belum dapat kau andalkan. Sekarang kau tidak dapat mengingkari kenyataan. Kau ditundukkan oleh seseorang, siapapun namanya. —
      — Orang itupun tentu akan mati—geram Ki Manuhara.
      Orang bertbuh kecil itu tertawa. Katanya — Tanpa berkelahi melawanmupun pada suatu saat ia akan mati. Tetapi tidak sekarang. Ia memiliki sesuatu yang lebih baik daripada-mu. —
      — Cukup. Kau tidak perlu mengigau dihadapanku. Sekarang katakan, apa yang kau maui? membunuhku karena kau iri terhadap kemampuanku? Atau karena aku lebih dahulu melangkah merintis jalan bagi Kangjeng Adiati Pati untuk menembus Mataram? Atau karena alasan lain? —
      —Aku tidak akan membunuhmu. Buat apa aku membunuhmu? Jika aku ingin melakukan, aku dapat melakukannya setiap saat tanpa menunggu kau pingsan atau luka didalam. Aku dapat membunuhmu setiap saat aku inginkan karena ilmuku memang lebih baik dari ilmumu. — jawab orang bertubuh kecil itu.
      — Tutup mulutmu. Aku tidak mau mendengar igauan-mu lebih banyak lagi — bentak Ki Manuhara.
      Namun iapun harus menyeringai menahan sakit didadanya. Ketika ia terbatuk, maka darah masih memercik dari mulutnya.
      — Sudahlah — berkata orang bertubuh kecil itu — jangan membentak-bentak seperti itu. Kau terluka didalam. Seharusnya kau dapat menguasai dirimu agar kau tidak terlalu cepat mati. —
      — Aku tidak peduli — Ki Manuhara masih membentak — jika aku mati kau tidak akan kehilangan apapun juga. —
      —Kau masih mungkin untuk tidak mati sekarang. Jika kau minta tolong kepadaku, maka akan mengobatimu. — berkata orang bertubuh kecil itu.
      — Aku tidak perlu pertolonganmu. Kau akan menolong atau tidak itu persoalanmu — jawab Ki Manuhara.
      — Kau tahu bahwa aku memiliki kemampuan mngobati segala macam penyakit apapun sebabnya? Apakah orang itu terluka karena senjata tajam atau karena benturan ilmu atau karena sakit biasa? Aku telah kau ketahui, dikenal sebagai seorang tabib bergelar Tabib Bertangan Embun? Sedangkan gelarku sebagai seorang berilmu tinggi dalam olah kanuragan adalah Bajang Bertangan Baja.
      Namun Ki Manuhara justru membentak — Diam kau. Kau kira aku tidak tahu siapa kau dan seberapa tingkat kemampuanmu?
      — Semuanya sudah berubah. Aku memang tidak menunjukkan kepadamu peningkatan ilmuku. Tetapi kau jangan kaget melihat aku sekarang mampu meruntuhkan gunung dan mampu pula mengeringkan samodra. Kau tidak percaya? —
      Ki Manuhara membentak semakin keras—Diam. Diam kau. —
      Namun dengan demikian Ki Manuhara itu terbatuk lagi. Sepercik darah meloncat dari sela-sela bibirnya yang sedang membentak itu, sehingga Ki Manuhara itupun telah menyeringai menahan sakit yang meremas isi dadanya.
      — Sudahlah — berkata Bajang Bertangan Baja itu. Ki Manuhara tidak menjawab, Namun ia merasa tubuhnya menjadi semakin lemah.
      —Aku akan mengobatimu—berkata Bajang Bertangan Baju itu.
      — Kau akan meracunku — desis Ki Manuhara.
      Orang yang bertubuh kecil dan pendek itu tertawa. Katanya — Jika aku ingin membunuhmu, kenapa tidak aku lakukan saat kau masih pingsan? Bukankah itu lebih mudah aku lakukan dari pada menunggumu sadar seperti sekarang ini?
      — Kau ingin memperlihatkan kemenanganmu — sahut Ki Manuhara sambil menahan sakit.
      —Tidak Ki Manuhara—jawab Bajang itu—aku bukan seorang pengecut yang licik. Aku akan mengobatimu. Jika kemudian kau menjadi baik kembali dan menganggap aku musuhmu, maka aku akan bersedia melakukan perang tanding. Jika kau merasa keadaanmu belum pulih, maka aku siap menunggu kapan kau kehendaki. Jika aku sekarang ingin mengobatimu karena aku tidak merasa bermusuhan denganmu. Bahkan, jika kau percaya, sebenarnya aku ingin bersamamu mengaduk kekuasaan Panembahan Senapati. —
      — Apa kepentinganmu? — bertanya Ki Manuhara.
      — Aku tidak mempunyai kepentingan apa-apa. Aku hanya ingin bekerja bersamamu sehingga pada suatu saat aku tentu akan minta pertolonganmu. — jawab Bajang itu.
      — Untuk apa? — bertanya Ki Manuhara.
      —Aku belum dapat mengatakan kepadamu sekarang— jawab Bajang Bertangan Baja itu.
      — Merampok? Membunuh atau turun kelaut untuk membajak kapal niaga yang berkeliaran didepan pelabuhan Bergota? — bertanya Ki Manuhara.
      — Itu bukan kebiasaanku — jawab Bajang itu. Namun kemudian katanya — Tetapi biarlah itu kita bicarakan kemudian. Kau dalam keadaan parah. Biarlah aku mengobatimu lebih dahulu. Biarlah aku mengalah. Bukan kau minta aku mengobatimu, tetapi aku memang berniat mengobatimu.
      — Tetapi aku tidak mau bahwa pengobatan itu kau perhitungkan sebagai hutangku padamu sehingga aku wajib membayarnya dengan keharusan membantumu apapun yang akan kau lakukan. — berkata Ki Manuhara yang masih kesakitan.
      Bajang bertangan Baja yang juga menyebut gelarnya sendiri sebagai Tabib Bertangan Embun itu menarik nafas
      panjang. Namun kemudian iapun berkata — Baiklah. Aku akan mengobatimu meskipun kemudian kita harus bertempur. —
      Ki Manuhara tidak segera menjawab. Ia masih berpikir sejenak. Namun ketika jantungnya bagaikan akan pecah, maka iapun menjawab — Terserah kepadamu. —
      Tabib bertangan Embun itupun kemudian telah mengeluarkan kantong-kantong kecil yang dibuatnya dari kain putih, namun yang warnanya sudah kekuning-kuningan. Beberapa macam obat telah diramunya. Kemudian dituangkannya air bening dari impes yang dibawanya kemana-mana.
      — Minumlah — berkata Tabib Bertangan Embun itu kemudian sambil memberikan cairan yang telah diaduknya dalam sebuah bumbung kecil dari bambu.
      Ki Manuhara masih nampak ragu-ragu. Namun ketika Tabib Bertangan Embun itu membantunya menegakkan kepalanya, maka Ki Manuhara itupun telah meneguk cairan itu.
      —Berbaring saj alah—berkata Tabib Bertangan Embun itu.
      Ki Manuhara tidak menjawab, Namun ia memang masih saja berbaring diatas rerumputan yang tebal dibawah sebatang pohon yang daunnya cukup melindunginya dari sinar matahari.
      Sementara itu matahari memang sudah jauh turun. Ki Mnuhara justru telah tertidur. Ia tidak mengetahui berapa lama ia tidur diatas rumput yang tebal dibawah pohon yang telah melindunginya dari sinar matahari itu. Namun ketika ia membuka matanya, langit telah menjadi gelap. Namun badan Ki Manuhara terasa menjadi lebih segar. Meskipun dadanya masih terasa sakit, namun rasa sakit itu sudah menjadi jauh berkurang.
      Tetapi ketika Ki Manuhara akan bangkit, ia mendengar suara — Jangan bangun dahulu. Tunggu sampai tengah malam. Jika kau ingin minum, minumlah. Aku telah mengisi impesku penuh. —
      Ki Manuhara tidak menjawab. Tetapi ketika Bajang itu menempelkan mulut impes itu kebibirnya, maka Ki Manuharapun telah meneguknya.
      — Itu bukan air biasa — berkata Bajang.
      — Kau taruh racun didalamnya? Pantas, rasanya lain. Tidak seperti air wantah — geram Ki Manuhara.
      Bajang Bertangan Baja itu tertawa pendek. Katanya — Kau masih saja merasa curiga. Air itu sudah mengandung pengganti bahan makanan. Kau tidak akan kelaparan meskipun kau tidak makan sehari semalam. Selanjutnya kau tidak usah merasa cemas, bahwa aku akan membunuhmu dengan racun, karena aku memang memerlukan bantuanmu. Selain kemampuanmu yang tinggi, perasaan dendammu juga akan sangat berarti bagi tugas-tugas kita selanjutnya. —
      — Kau yakin aku akan membantumu? bertanya Ki Manuhara.
      —Jika bukan kau yang membantuku, maka akulah yang akan membantumu menyelesaikan anak-anak muda yang kau buru itu. — berkata Bajang Bertangan Baja itu.
      — Apa kepentinganmu? — bertanya Ki Manuhara pula.
      — Sudah aku katakan, bahwa aku belum dapat menyebutnya sekarang. Tetapi pada saatnya aku akan mengatakannya kepadamu — jawab Bajang itu.
      Ki Manuhara menarik nafas dalam-dalam. Ia merasakan tubuhnya memang menjadi semakin segar. Perasaan sakit didadanya memang sudah berkurang. Tetapi setiap kali ia berusaha untuk bangkit, maka masih terasa iga-iganya serasa menjadi retak.
      Karena itu, maka Ki Manuhara itu masih saja berbaring diatas rerumputan, ia memang tidak lagi berniat segera bangkit. Ia mulai percaya bahwa Bajang yang juga menyebut dirinya Tabib Bertangan Embun itu tidak akan berbuat licik atasnya.
      Sementara itu orang yang bertubuh pendek itupun duduk bersandar sebatang pohon sambil berkata — Masih banyak kesempatan untuk beristirahat, Jika kau tidur sampai esok pagi, maka kau akan dapat bangun dan bangkit berdiri
      untuk meneruskan perjalanan. Kita sekarang masih ada di sebelah Barat Kali Praga. Setiap saat kita masih dapat bertemu dengan para pengawal Tanah Perdikan. Seandainya kau tidak terluka didalam, maka para pengawal itu tidak akan berarti apa-apa. Tetapi dalam keadaan luka didalam, maka kau harus berhati-hati. —
      Ki Manuhara tidak menjawab, Tetapi ia sependapat dengan orang bertubuh pendek itu. Karena itu, maka ia memang mencoba untuk dapat tidur lagi. Tetapi ternyata tidak mudah baginya untuk segera dapat memejamkan matanya. Setiap kali matanya terpejam, maka yang terlihat justru wajah anak-anak muda yang ingin diambilnya dari Tanah Perdikan Menoreh, amun yang justru berhasil membunuh Ki Pati-tis dan Ki Tangkil.
      — Kau masih belum dapat tidur? — bertanya Bajang ketika malam menjadi semakin dalam.
      — Aku tidak dapat tidur — jawab Ki Manuhara.
      —Tetapi kau harus tidur agar kau menjadi semakin baik dan besok pagi-pagi kita akan meneruskan perjalanan menyeberangi Kali Praga agar untuk sementara kau tidak akan mendapat gangguan dari para pengawal Tanah Perdikan Menoreh — berkata Bajang yang masih duduk bersandar sebatang pohon.
      — Aku juga ingin tidur. Tetapi aku tidak dapat tidur. Itu bukan salahku. Jawab Ki Manuhara.
      — Terserah kepadamu. Aku hanya memberikan jalan yang terbaik yang dapat kau tempuh. Tentu saja aku tidak dapat memaksamu untuk tidur. —berkata Bajang Bertangan Baja itu.
      Ki Manuhara tidak menjawab. Tetapi ia benar-benar mencoba untuk dapat tidur. Dicobanya untuk memejamkan matanya rapat-rapat sambil mengatur pernafasannya. Namun ia masih saja mendengar suara angin berdesir di dedaunan. Bahkan suara bilalang dan cengkerik di rerumputan, Di kejauhan terdengar lolong anjing lapar yang sedang mencari mangsa.
      Ternyata Ki Manuhara terasa sangat sulit untuk tidur. Kerja yang sudah dilakukan sejak ia masih didalam gendongan ibunya.
      Namun justru angan-angan Ki Manuhara semakin menerawang ke masa lalunya. Masa kecilnya yang manja. Bahkan tiba-tiba saja ia bertanya kepada diri sendiri — Apakah ayah dan ibunya pernah berharap bahwa ia akan menjadi seorang sebagaimana dirinya saat itu? Seorang yang berilmu tinggi. Tetapi melakukan apa saja tanpa segan-segan untuk mencapai maksudnya. Bahkan menyebar kematian tanpa memikirkan akibatnya bagi orang lain.
      Ki Manuhara menarik nafas dalam-dalam.
      Sementara itu, Bajang Bertangan Baja yang juga menyebut dirinya Tabib bertangan Embun itu masih saja duduk. Namun dalam heningnya malam,terdengar ia berdendang perlahan-lahan. Menyusup diantara suara-suara malam yang ngelangut. Tembang yang mengalun menyusup ketelinga Ki Manuhara yang gelisah.
      Namun diluar sadarnya, Ki Manuhara telah merasa mengantuk. Sekali dua kali ia menguap. Suara tembang itu rasa-rasanya telah membuai jantungnya, sehingga disemilir-nya angin malam yang dingin mata Ki Manuhara justru mulai terpejam di luar kehendaknya, bahkan diluar sadarnya. Ternyata Bajang Bertangan Baja yang juga menyebut dirinya Tabib bertangan Embun itu memiliki kemampuan mempengaruhi kesadaran orang lain dengan suaranya. Bahkan getar suaranya yang dilandasi ilmunya itu mampu menyusup dan mempengaruhi perasaan Ki Manuhara yang berilmu tinggi itu. Namun Ki Manuhara yang dalam keadaan luka didalam itu memang tidak bersiap dan berusaha menangkis pengaruh yang datang menyusup kedalam dirinya. Bahkan ia merasa bersukur bahwa iapun kemudian telah menjadi mengantuk karenanya dan bahkan beberapa saat kemudian, Ki Manuhara yang masih sedang berusaha menyembuhkan luka-lukanya itu telah tertidur.
      Sebenarnyalah malam itu, beberapa kelompok pengawal telah meronda diseluruh wilayah Tanah Perdikan. Karena
      mereka sadar bahwa orang yang berilmu sangat tinggi sempat melarikan diri, maka para peronda itupun terdiri dari kelompok-kelompok yang dianggap cukup kuat, Bahkan mereka telah membawa kentongan-kentongan untuk memberi isyarat kepada kawan-kawannya yang ada di padukuhan-padukuhan, jika setiap saat mereka memerlukan bantuan.
      Agung Sedayu dan Sabungsari juga ikut mengamati keadaan. Meskipun mereka tidak keluar dari lingkungan Padukuhan Induk, namun mreka juga bersiap untuk setiap saat berbuat sesuatu jika diperlukan. Bahkan Ki Gedepun selalu bersiaga bersama Prastawa dan para pengawal. Tidak saja dirumahnya, tetapi juga melihat-lihat berkeliling.
      Ki Gedepun telah menyempatkan diri untuk singgah dirumah Agung Sedayu untuk melihat keadaan Ki Jayaraga dan Glagah Putih. Namun agaknya keadaan mereka telah menjadi semakin baik. Ki Jayaraga tidak lagi memercikkan darah jika ia terbatuk. Bahkan ia sudah merasa tubuhnya menjadi semakin segar. Dadanya tidak terasa lagi seperti dihimpit gunung anakan.
      Sementara itu Glagah Putihpun telah dapat tidur nyenyak. Luka-lukanya tidak lagi menggigit urat-urat nadi meskipun masih terasa sedikit pedih dan nyeri. Namun ternyata obat yang diberikan oleh Agung Sedayu benar-benar mampu menolongnya.
      Malam itu, Ki Lurah Branjangan dengan beberapa orang prajurit khusus telah berada dirumah Agung Sedayu pula. Ia baru datang menjelang sepi orang, karena masih harus menyelesaikan tugas-tugasnya di barak pasukan khusus justru Agung Sedayu tidak ada di tempat.
      Sementara itu penghubung yang mendapat perintah dari Agung Sedayu untuk memberikan laporan ke matarampun telah datang pula. Ternyata Mataram menanggapinya dengan sungguh-sungguh. Apalagi karena orang yang memiliki ilmu tertinggi dari antara mereka yang datang ke rumah Agung Sedayu itu sempat melepaskan diri.
      — Bagus—berkata Agung Sedayu—orang yang ternyata bernama Ki Manuhara itu tentu tidak mempuyai ruang bergerak di Mataram dan sekitarnya. —
      Namun baik Agung Sedayu maupun Ki Gede berpendapat, bahwa orang itu agaknya masih berada di Tanah Perdi-kan Menoreh.
      — Orang itu terluka seperti Ki Jayaraga — berkata A-gung Sedayu — sehingga sulit baginya untuk dapat menempuh jarak sampai ke Kali Praga.
      — Mungkin ia melarikan diri kearah lain — berkata Sa-bungsari.
      — Memang mungkin — desis Ki Gede — karena itu, sebaiknya para pengawal meronda seluruh wilayah Tanah Perdikan. Mereka harus melihat semua sudut Tanah Perdi-kan. Mungkin Ki Manuhara itu bersembunyi di hutan atau dimana saja. Pencaharian itu tidak akan berhenti sampai matahari terbit besok. Tetapi sampai kita yakin, bahwa orang itu tidak berada di Tanah Perdikan ini. —
      Karena itulah, maka para pengawal telah membentuk kelompok-kelompok yang kuat yang meronda di seluruh wilayah Tanah Perdikan Menoreh. Mereka menjelajahi tanah-tanah persawahan, pategalan, ladang-ladang kering dan padang-padang perdu. Bahkan mereka mengamati bibir-bibir hutan untuk melihat seandainya mereka menemukan jejak Ki Manuhara.
      — Tanpa bantuan orang lain, Ki Manuhara tidak akan lepas dari tangan kita—berkata Prastawa yang telah menggerakkan para pengawal terpilih.
      Bahkan sampai matahari terbit, maka kelompok-kelompok pengawal bergantian menelusuri seluruh lingkungan Tanah Perdikan.
      Namun tidak seorangpun menemukan Ki Manuhara.
      Sementara itu, menjelang fajar Ki Manuhara telah terbangun. Tubuhnya memang menjadi semakin baik. Ia memang tidak merasa lapar meskipun ia tidak makan sehari-semalam. Tetapi Ki Manuhara beberapa kali meneguk air dari impes yang diberikan oleh Bajang Bertangan Baja itu.
      — Sudah waktunya kita pergi — berkata Bajang itu. Ki Manuhara menarik nafas dalam-dalam. Hampir diluar sadarnya ia bertanya — Kau dapat tidur semalam? —
      — Aku tidak tidur semalam — jawab Bajang itu — aku berjaga-jaga sepanjang malam. Beberapa puluh langkah dari tempat kita bersembunyi ini, lewat sekelompok pengawal Tanah Perdikan yang meronda. Untunglah mereka tidak lewat tempat ini dan menemukan kau terbaring disitu. Nampaknya mereka memang sudah berjaga-jaga untuk menghadapi seorang yang berilmu tinggi. Kelompok itu terdiri lebih dari sepuluh orang. —
      — Darimana kau tahu? — bertanya Ki Manuhara.
      — Aku sempat menonton mereka lewat. Ternyata pengawal Tanah Perdikan ini memang telah dipersiapkan dengan masak untuk mengawal Tanah Perdikannya. Selebihnya mereka membawa kentongan yang dapat mereka bunyikan jika mereka melihatmu — jawab Bajang itu.
      Ki Manuhara menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya kemudian — Marilah Kita akan melanjutkan perjalanan. Aku kira tubuhku sudah menjadi semakin baik.
      — Jadi kau rasakan kemajuan keadaan tubuhmu? — bertanya Bajang Bertangan Baja itu.
      Ki Manuhara menarik nafas dalam-dalam. Katanya — Kau ingin menyombongkan kemampuanmu mengobati luka dalamku? Atau kau ingin meyakinkan bahwa aku memang berhutang budi kepadamu?
      — Kenapa kau masih selalu mencurigai aku? Aku hanya ingin meyakinkan diriku sendiri. Bukan orang lain, bahwa aku memang memiliki kemampuan mengobati apapun juga.
      — Baiklah, sampai saat ini aku percaya kepadamu. Kau memang tidak berbuat sesuatu yang kurang baik atasku. — berkata Ki Manuhara—tetapi itu belum berarti bahwa untuk selanjutnya kau tetap dapat dipercaya. —
      Bajang Bertangan Baja itu tertawa. Katanya — Sudahlah. Kita akan melanjutkan perjalanan. Tetapi kita harus berhati-hati. Agaknya orang-orang Tanah Perdikan itu berkeyakinan bahwa kau tentu masih berada di daerah ini karena luka-lukamu. —
      Ki Manuhara mengangguk kecil. Ia memang merasa bahwa tubuhnya memang menjadi baik meskipun belum sembuh benar.
      Demikianlah keduanyapun telah meninggalkan tempat persembunyian itu. Namun seperti dikatakan oleh Bajang itu bahwa mereka masih harus sangat berhati-hati.
      Ketika mereka mendekati sebuah lorong, maka keduanya harus bersembunyi dibelakang semak-semak sambil menahan nafas mereka. Dari arah sebuah padukuhan kecil mereka melihat sekelompok pengawal yang sedang bertugas mengamati lingkungan mereka sambil mencari jejak Ki Mnu-hara yang berhasil meloloskan diri.
      — Kita selesaikan saja mereka— berkata Ki Manuhara.
      — Kau belum sembuh benar — desis Bajang Bertangan Baja.
      — Tetapi aku merasa bahwa aku atau jika kau mau, kita berdua akan dapat dengan mudah menyelesaikan mereka yang jumlahnya tidak lebih dari sepuluh orang. — sahut Ki Manuhara.
      Tetapi Bajang itu menjawab — Jangan mencari perkara. Lebih baik kita menghindari mereka. Perjalanan mereka masih panjang. —
      Ki Manuhara tidak menjawab. Sementara itu sekelompok pengawal lewat di depan hidung mereka. Tetapi para pengawal itu tidak tahu bahwa dibelakang semak-semak di-pinggir jalan itu telah bersembunyi orang yang mereka cari.
      Namun, demikian sekelompok pengawal itu lewat, Ki Manuhara berkata kesal — Kenapa kau tidak mau membinasakan mereka? —
      — Sudah aku katakan, kita jangan mencari persoalan. Jika mereka sempat membunyikan kentongan yang mereka bawa, maka kita akan mengalami kesulitan. Pengawal dari padukuhan sebelah akan mengalir kemari. Lebih dari itu,
      isyarat dengan bunyi kentongan itu akan menjalar dari padukuhan ke padukuhan. Suaranya tentu akan segera didengar dari padukuhan induk. Nah, kau tahu akibatnya. Kita akan diburu seperti anak-anak memburu tupai. Diantara mereka yang memburu kita terdapat orang-orang yang berilmu tinggi, yang telah bertempur melawanmu di halaman rumah murid dari perguruan Orang Bercambuk itu. —
      — Aku yakin bahwa orang itupun mengalami luka didalam — geram Ki Manuhara.
      — Tetapi murid Orang Bercambuk itu mampu membunuh Ki Samepa meskipun Ki Samepa juga telah melepaskan Aji Guntur manunggal yang tidak kalah bobotnya dari ilmumu. — berkata Bajang Bertangan Baja itu.
      — Darimana kau tahu? — bertanya Ki Manuhara.
      — Aku sudah mengenal murid utama dari Perguruan Orang Bercambuk yang tinggal di Tanah Perdikan ini dan menjadi Lurah Prajurit Mataram yang berada di Tanah Perdikan ini pula meskipun aku tidak berkenalan secara pribadi. Aku juga mengenal orang yang bertempur melawanmu dan salah seorang dari kedua orang anak muda yang kau buru — berkata Bajang Bertangan Baja itu.
      — Ternyata kau mengetahui lebih banyak dari aku tentang orang-orang itu — gumam Ki Manuhara — tetapi apakah kau sempat melihat pertempuran itu? —
      — Aku melihatnya — jawab Bajang itu — tetapi aku tidak berani mendekat. Aku tahu bahwa di Tanah Perdikan ini terdapat banyak orang berilmu tinggi, sementara aku tidak berkepentingan dengan pertempuran itu, —
      — Kenapa kau tidak membantu kami? — bertanya Ki Manuhara — jika kau dengan jujur ingin bekerja bersama kami, kau tentu turun ke halaman itu untuk membantu kami yang terdesak. —
      — Aku tidak tahu apakah kau akan berterima kasih kepadaku atau justru kau akan menganggap aku telah menghinamu jika aku turun membantumu. Kau memang tidak menghubungi aku sebelum kau berangkat. Itu sudah berarti bahwa kau tidak ingin melibatkan aku apapun alasannya.
      Karena itu, maka aku berniat untuk mencari kesempatan lain untuk dapat bekerja bersamamu. —
      Ki Manuhara tidak menjawab. Sementara itu mereka berjalan semakin mendekati Kali Praga. Namun mereka berusaha menghindari jalan-jalan yang ramai dan apalagi lewat padukuhan-padukuhan. Bahkan mereka memilih berjalan lewat pematang dan tanggul-tanggul susukan dan parit-parit.
      — Apakah tempat-tempat penyeberangan juga ditutup — desis Ki Manuhara.
      — Memang satu kemungkinan. Tetapi kita tidak akan menyeberang lewat penyeberangan. Kita akan menelusuri Kali Praga sampai kita menemukah kemungkinan untuk menyeberang atau kita akan menelusuri Kali Praga sampai ke ujung — jawab Bajang itu.
      Ki Manuhara tidak menjawab. Ia sudah tidak mempunyai seorang kawanpun lagi di Tanah Perdikan Menoreh. Ia tahu bahwa kawan-kawannya serta pengikutnya yang masih hidup tentu telah tertangkap. Apalagi menurut Bajang Bertangan Baja itu, Ki Samepapun telah terbunuh.
      Tetapi di Mataram Ki Manuhara masih mempunyai satu dua orang yang dapat diajaknya berbicara. Karena itu, ia berkata kepada Bajang Bertangan Baja — Aku masih akan singgah di Mataram.
      —Untuk apa?—bertanya Bajang Bertangan Baja itu— apakah masih ada yang ingin kau lakukan di Mataram? Seharusnya kau belajar dari pengalaman. Orang-orang yang menyerang istana Kepatihan itupun telah dihancurkan. Kemudian kau digelisahkan oleh dua orang anak muda yang membunuh lembu jantan yang kau lepaskan di alun-alun. Kawan-kawanmu sudah dipermalukan dirumah Ki Lurah Branjangan. Kemudian kau sendiri di Tanah Perdikan Menoreh ini. Seharusnya kau menyadari, bahwa Mataram dan lingkungan pendukungnya bukan tempat bermain untuk anak-anak nakal seperti orang-orangmu. Mataram memiliki orang-orang kuat yang ternyata tidak dapat ditembus. —
      — Aku bukan orang yang mudah putus asa — sahut Ki Manuhara.
      — Aku tahu. Tetapi kaupun bukan orang yang tidak mempunyai perhitungan sehingga kau dapat berbuat apapun tanpa memperhitungkan untung dan ruginya. —
      — Aku tidak menghitung untung rugi dalam satu perjuangan — berkata Ki Manuhara — tetapi akupun tidak mengenal berhenti sebelum usahaku berhasil. —
      — Apakah kau akan melakukannya terus jika kau tahu bahwa usahamu itu pasti tidak berhasil? Bukankah itu sama saja dengan usaha untuk membunuh diri? — desis Bajang Bertangan Baja — sehingga akan lebih baik jika tenaga, pikiran dan kemampuanmu kau pergunakan untuk melakukan pekerjaan yang lebih berarti dari pada mati sia-sia. —
      Ki Manuhara tidak menjawab. Dengan mata redup dipandanginya jalan yang sempit memanjang dihadapannya. Jalan yang berkelok-kelok dan berbatu-batu. Jalan yang jarang dilalui orang lain.
      Namun tiba-tiba Bajang Bertangan Baja itu berkata — Marilah, kita mengambil jalan ini. Kita akan sampai ke jalan yang lebih besar. Jika kita berhati-hati, agaknya kita akan sampai ke penyeberangan yang tidak terlalu ramai. Tetapi tentu ada satu dua rakit yang menunggu. Bukankah kau masih akan singgah di Mataram? —
      Ki Manuhara menjadi ragu-ragu. Namun Bajang itu berkata —Jika kita berhati-hati, kita tidak akan ditemukan oleh para pengawal yang mencarimu. Apalagi penyeberangan itu terlalu kecil untuk diperhatikan.
      — Tetapi justru karena itu, penyeberangan itu diawasi oleh para pengawal Tanah Perdikan—jawab Ki Manuhara.
      — Marilah. Kita akan melihat — berkata Bajang Bertangan Baja itu sambil berbelok tanpa menunggu persetujuan Ki Manuhara.
      Ki Manuhara pun tidak menolak. Iapun berjalan mengiringi Bajang Bertangan Baja itu meskipun ia masih juga merasa ragu-ragu, Tetapi ia tidak bertanya apapun lagi.
      Beberapa saat kemudian, mereka memang sampai ke jalan yang lebih ramai. Tetapi tidak terlalu banyak orang yang lewat. Meskipun demikian Bajang itu cukup berhati-hati. Ia mendahului Ki Manuhara meloncati tanggul parit dan berdiri dipinggir jalan itu. Diamatinya sebelah menyebelah. Baru setelah ia tidak melihat apa-apa yang dapat membahayakan ia berkata — Marilah. Kau tentu sudah mampu meloncat parit itu. —
      — Meloncatimupun aku sudah mampu — geram Ki Manuhara.
      Bajang itu tertawa. Katanya — Kau masih mudah tersinggung. —
      Ki Manuhara tidak menjawab. Namun iapun segera meloncati parit dan berdiri di pinggir jalan itu pula. Sambil menarik nafas panjang ia berkata — Mudah-mudahan kita tidk terjebak. —
      — Kau mulai menyadari kedudukan kita sekarang, sehingga kau tidak lagi berniat untuk menghancurkan sekelompok pengawal yang lewat. — berkata Bajang Bertangan Baja itu.
      — Kau memang gila — geram Ki Manuhara—jika kau masih saja berceloteh begitu, aku benar-benar bernafsu membunuhmu. —
      Bajang itu tertawa. Katanya — Jangan berkata begitu. Lebih baik kita berbicara tentang rakit yang dapat membawa kita. —
      Ki Manuhara tidak menjawab. Namun mereka berjalan menelusuri jalan yang memang tidak terlalu ramai. Jalan pintas yang tidak banyak dilalui orang, apalagi para pedagang yang membawa barang-barang dagangan mereka.
      Beberapa saat kemudian mereka memang sampai ke pinggir Kali Praga. Seperti yang dikatakan oleh Bajang Ber tangan Baja, dipinggir Kali Praga memang terdapa rakit kecil. Satu disisi Barat dan satu disisi Timur.
      — Cepat, mumpung masih ada rakit yang menunggu. Dua tiga orang sudah ada diatasnya. Rakit itu hanya memuat sedikit penumpang, tidak seperti di jalan penyeberangan Selatan dan Utara — berkata Bajang Bertangan Baja.
      — Darimana kau tahu bahwa disini ada tempat penyeberangan meskipun kecil? — bertanya Ki Manuhara.
      —Aku banyak mengetahui tentang Tanah Perdikan Menoreh. Jauh lebih banyak dari yang kau ketahui — jawab Bajang Bertangan Baja itu.
      Ki Manuhara memandang sekilas. Namun Bajang itu tidak memperhatikannya lagi. Bajang itu justru berlari-lari kecil menuju kerakit yang masih tertambat dipinggir Kali Praga. Tiga orang memang sudah duduk diatasnya sambil menunggu penumpang yang lain, yang masih akan naik ke rakit kecil itu. Baru setelah enam atau tujuh orang penumpang, rakit itu akan menyeberang ke sisi sebelah timur.
      Ki Manuhara memang juga harus cepat-cepat menuju kerakit. Ternyata ada sekelompok kecil pengawal yang mengawasi penyeberangan itu dari atas tebing.
      Namun agaknya sekelompok pengawal itu tidak memperhatikan kedua orang yang berjalan menuju kerakit, Mereka membayangkan, bahwa Ki Manuhara itu terluka parah dan seorang diri. Sementara itu yang mereka lihat adalah dua orang nampaknya sama sekali tidak mengalami apapun pada tubuhnya. Mereka berjalan, bahkan berlari-lari kecil, menuju ke rakit.
      Namun nampaknya pemimpin sekelompok pengawal itu ingin tahu juga, apakah kedua orang yang sedang menuju ke rakit itu.
      Karena itu, maka pemimpin pengawal itu telah memerintahkan dua orang- pengawal menuju ke rakit setelah Bajang Bertangan Baja dan Ki Manuhara naik pula ke atas rakit.
      Namun Bajang Bertangan Baja dan Ki Manuhara yang melihat kedua orang pengawal yang turun dari tebing itu hampir berbareng berkata kepada tukang satang rakit itu — Cepatlah kita berangkat. Aku tergesa-gesa. —
      Tetapi tukang satang itu menjawab — Kami masih menunggu dua tiga orang lagi. —
      — Itu terlalu lama. Biarlah aku membayar rangkap.
      Demikian juga kawanku ini. — berkata Bajang Bertangan Baja itu.
      Tukang satang itu ragu-ragu. Sementara itu kedua orang pengawal yang turun dari tebing itu sudah berada dijalan dan sedang melangkah ketepian.
      —Cepat—Bajang itu membentak— kami berdua membayar rangkap tiga. —
      Tukang satang itu tidak berpikir lagi. Iapun memberi isyarat kepada kawannya yang ada ditepian untuk mengangkat tali yang menambat rakit itu pada patok di tepian.
      Kawannya segera melepas tali itu dan meloncat pula keatas rakit. Kedua orang tukang satang itupun segera mengangkat satang mereka dan dengan satang itu mereka mendorong rakit itu bergerak ketengah.
      Namun dalam pada itu, kedua pengawal yang sudah menjadi semakin dekat dengan rakit itu berteriak—Tunggu.
      Tukang satang yang seorang berdesis — Mereka juga akan naik. Kita akan menunggu sejenak. —
      Tetapi Bajang itu dengan cepat berkata — Jika kalian menunggu mereka aku tidak akan membayar lebih dari sewajarnya. —
      Tukang satang itu berpikir sejenak. Namun rakit itu bergerak terus semakin ketengah. Sementara itu menurut perhitungan tukang satang, maka dengan meninggalkan kedua orang yang diduganya akan naik pula itu, mereka masih mendapat upah lebih banyak, sehingga rakit itu sama sekali tidak berhenti apalagi bergeser kembali ketepian.
      Namun dalam pada itu pengawal itu berteriak lagi — Berhenti. Atas nama Ki Gede Menoreh, aku perintahkan rakit itu dibawa kembali ketepian. —
      Kedua orang tukang satang itu termangu-mangu sejenak. Seorang diantara mereka berkata — Agaknya mereka pengawal yang bertugas. Bukan akan menyeberang. —
      — Sejak tadi aku memang melihat beberapa orang diatas tebing tepian itu. — sahut yang seorang lagi.
      — Kalau begitu, marilah. Kita kembali ke tepian. —
      — Tidak — berkata Bajang Bertangan Baja — kalian harus menyeberang terus. Kalian tidak boleh kembali. —
      — Mereka-adalah para pengawal. Mereka memanggil kita — jawab salah seorang tukang satang itu.
      — Siapapun mereka, aku tidak mau kembali. — jawab Bajang yang menjadi marah.
      — Tetapi mereka adalah para pengawal. Kami dapat dihukum jika kami tidak menurut perintah mereka. —berkata tukang satang yang seorang lagi.
      — Tutup mulutmu— bentak Bajang Bertangan Baja itu. Namun tukang satang itu justru menjadi marah. Tanpa
      menghiraukan Bajang itu lagi, maka keduanya berusaha untuk mendorong rakit mereka untuk menepi lagi.
      Tetapi Bajang itu tidak membiarkannya. Iapun segera bangkit. Tetapi ketika ia melangkah mendekati tukang satang itu, seorang penumpang yang lain telah menarik lengannya dengan kasar dan berkata — Kau mau apa orang kerdil? —
      Namun belum lagi mulutnya terkatub, orang itu sudah terlempar kedalam arus Sungai Praga. Untunglah, bahwa orang itu agaknya pandai berenang, sehingga karena itu, maka iapun telah berusaha untuk menyelamatkan diri dengan berenang ketepian.
      Orang-orang diatas rakit itu terkejut melihat kekuatan orang kerdil itu. Namun serentak mereka ketakutan ketika Ki Manuhara berkata — Bajang itu dapat membunuh kalian bersma-sama dalam sekejap. Nah, siapa yang pertama? — Kedua orang tukang satang itupun ketakutan pula, Karena itu, maka mereka tidak berani membantah lagi.
      Dengan demikian rakit itu meluncur terus menyeberang ke arah Timur. Sementara itu para pengawal sudah berloncatan dari atas tebing dan berlari-larian ke tepian.
      Namun merekapun menjadi berdebar-debar melihat salah seorang penumpang rakit itu telah dilemparkan ke sungai oleh seorang yang bertubuh kecil.
      Karena itu, maka para pengawal itupun segera mengam-
      bil kesimpulan, bahwa tukang tukang satang itupun tentu sudah diancam pula oleh orang kerdil itu agar rakit itu tidak didorong kembali ke tepian.
      — Tentu bukan orang itu yang dimaksud dengan Ki Manuhara — desis pemimpin pengawal itu.
      — Ki Manuhara tidak bertubuh pendek dan kecil seperti orang kerdil itu — sahut salah seorang pengawal.
      Namun seorang diantara para pengawal itu berdesis — Mungkin yang seorang lagi. —
      Para pengawal itu termangu-mangu sejenak. Sementara itu rakit itupun telah meluncur semakin jauh, sehingga perlahan-lahan rakit itu merapat ke tepian sebelah Timur.
      Ki Manuhara dan Bajang Bertangan Baja itupun segera meloncat ke darat bersama para penumpang yang lain, yang menjadi gemetar ketakutan. Demikian mereka sampai ke tepian maka rasa-rasanya mereka telah terbebas dari plataran sarang serigala.
      Namun Ki Manuhara dan Bajang sama sekali tidak ingin membayar upah menyeberang. Apalagi rangkap tiga. Hampir diluar sadar tukang satang itu bertanya — Bukankah kalian akan memberi upah rangkap tiga? —
      — Setan kau — geram Bajang Bertangan Baja — kau akan menyerahkan kami kepada para pengawal. Sekarang kau masih berani minta upah menyeberang. Kau kira aku dapat memaafkan pengkhianatanmu itu? —
      Kedua tukang satang itu menjadi ketakutan. Keduanya sama sekali tidak berani membuka mulutnya lagi, sementara Bajang itu berkata kepada Ki Manuhara — Marilah. Hari ini aku tidak ingin membunuh. Tetapi jika terpaksa apa boleh buat. —
      Kedua tukang satang itu hanya dapat menyaksikan kedua orang penumpangnya meninggalkan mereka dan melangkah menjauh.

      lanjut lagi …….

  28. Buku III-75 sudah selesai dikonversi ke MsWord dan sudah dikirim ke adbmcadangan@yahoo.com

    Buku mana yang selanjutnya, mohon pengarahan, agar tidak double-kerja? 🙂

    • Isi yang kosong aja Ki

  29. lanjutan …….

    —Sudahlah—berkata salah seorang dari mereka sambil melangkah ke rakitnya.
    Yang lain menarik nafas dalam-dalam. Katanya — Untunglah, kita masih tetap hidup. —
    Dua orang tukang satang yang rakitnya masih berada disisi Timur mendekati mereka. Seorang diantara mereka bertanya — Ada apa dengan penumpangmu itu? —
    — Mereka tidak mau membayar sebagaimana dijanjikan — jawab tukang satang yang kecewa itu.
    — Apalagi seperti yang dijanjikan, upah sewajarnyapun tidak — sahut kawannya.
    Kedua tukang satang yang berada disisi Timur itu mengangguk-angguk. Seorang diantara mereka berkata — Orang kerdil itu telah melemparkan seorang penumpangmu ke sungai. —
    — Ya. Dan kami tidak berani menolongnya — jawab tukang satang yang membawa Bajang itu—tetapi untunglah bahwa agaknya orang itu dapat berenang. —
    — Aku melihat orang itu sudh sampai ke tepian. Tetapi agak jauh dibawah — berkata tukang satang yang ada disisi Timur itu.
    Sebenarnyalah orang itu memang telah selamat sampai ke tepian di sebelah barat. Setelah menyusup diantara batang-batang ilalang dan pohon-pohon perdu, maka orang itu akhirnya sampai kepada para pengawal dan melaporkan apa yang telah terjadi.
    — Aku tidak tahu apa yang dilakukannya — berkata orang itu — tiba-tiba saja aku telah terlempar ke sungai. Untung arusnya tidak begitu deras dan aku memang dapat berenang dengan baik. —
    — Apakah kau mendengar namanya disebut-sebut? — bertanya salah seorang pengawal itu.
    —Tidak—jawab orang itu—yang seorang lebih banyak diam, tetapi nampaknya ia tidak kalah berbahayanya dari orang kerdil itu. —
    Para pengawal itu hanya mengangguk-angguk saja. Tetapi mereka tidak dapat membayangkan bahwa orang itu adalah orang yang sedang mereka cari. Orang itu sama sekali
    tidak mengesankan orang yang sedang terluka didalam.
    Namun peristiwa itu akan menjadi laporan mereka kepada pimpinan pengawal di padukuhan mereka agar disampaikan kepada Prastawa atau Ki Gede Menoreh sendiri.
    Ternyata laporan itu memang menarik perhatian. Ketika Prastawa menyampaikannya kepada Agung Sedayu, maka Agung Sedayu telah membicarakannya dengan Sabungsari dan Sekar Mirah.
    — Mungkin seseorang telah mengobatinya — desis A-gung Sedayu.
    — Mungkin — sahut Prastawa — Agaknya orang kerdil itulah yang telah menolong Ki Manuhara, mengobatinya dan membawanya menyeberang.
    Sementara itu Sekar Mirahpun menyela—Bukankah Ki Jaayaraga juga sudah berangsur baik? Jika terpaksa Ki Jayaragapun tentu sudah mampu berjalan ke tepian Kali Praga seperti dilakukan oleh Ki Manuhara. —
    — Atau Ki Manuhara mendapat tabib yang lebih baik dari orang yang mengobati Ki Jayaraga — desis Agung Sedayu.
    — Bukan begitu — potong Prastawa — mungkin daya tahan Ki Manuhara itu lebih tinggi dari Ki Jayaraga, atau ilmunya yang selapis lebih baik. —
    Agung Sedayu mengangguk-angguk. Memang ada banyak kemungkinan. Namun belum berarti bahwa Ki Manuhara memiliki daya tahan atau kemampuan lebih baik dari Ki Jayaraga. Namun Agung Sedayu tidak membantah karena kemungkinan seperti itu memang dapat terjadi.
    Namun dalam pada itu memang tidak ada laporan lain tentang Ki Manuhara itu. Semua kelompok pengawal tidak menjumpai jejaknya, selain laporan tentang kedua orang yang menyeberangi Kali Praga dengan rakit. Seorang dian-taranya yang bertubuh kerdil justru telah melemparkan seorang penumpang dari atas rakit itu.
    Dengan demikian maka para pemimpin di Tanah Perdikan Menoreh cenderung untuk menganggap bahwa kemungkinan terbesar orang itulah Ki Manuhara yang telah mendapat pertolongan dari seseorang. Dan agaknya orang kerdil itulah yang kemudian membawanya keluar dari Tanah Perdikan, menyeberangi Kali Praga.
    Meskipun demikian, Prastawa masih memerintahkan para pengawal Tanah Perdikan untuk berusaha mencari jejak barang satu dua hari. Demikian pula para prajurit dari Pasukan Khusus juga mendapat perintah dari Agung Sedayu untuk meronda dan mengamati kemungkinan menemukan orang yang mereka cari itu.
    Ketika kemudian Agung Sedayu menyampaikan hal itu kepada Ki Jayaraga, maka iapun tiba-tiba bertanya — Orang Kerdil yang memiliki kekampuan pengobatan yang tinggi yang kau maksud? —
    — Aku tidak dapat mengatakannya Ki Jayaraga. Kami hanya mendapat laporan tentang seorang kerdil yang menyeberangi Kali Praga bersama seseorang yang lebih banyak diam saja. Sekali tukang satang mendengar orang kerdil itu disebut Bajang. Hanya itu. Tidak lebih. —
    Ki Jayaraga termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya — Jadi Bajang itu ada disini juga. —
    — Apakah Ki Jayaraga mengenalnya? — bertanya A-gung Sedayu.
    — Sudah lama sekali. Aku mengenalnya saat aku memburu murid-muridku yang telah menodai nama perguruannya dengan tingkah lakunya. Mereka menjadi bajak laut yang ditakuti di pantai Utara. Nah saat itulah aku bertemu dengan seorang Kerdil yang disebut Bajang Engkrek. Ia memiliki kemampuan pengobatan yang tinggi. Jika orang itu menemukan Ki Manuhara, maka memang ada kemungkinan orang itu dapat mengobatinya dan membawanya menyeberang Kali Praga.—
    Agung Sedayu mengangguk-angguk. Baginya justru sudah menjadi semakin jelas, bahwa agaknya kedua orang yang
    menyeberang Kali Praga dengan rakit kecil itu adalah Bajang Engkrek bersama dengan Ki Manuhara yang telah diobatinya. Meskipun belum sembuh benar, tetapi Ki Manuhara itu tentu sudah mampu berjalan sampai ke Kali Praga, menyeberang dan pergi menjauh.
    Dalam pada itu Ki Jayaraga yang juga menjadi semakin baik itu berkata hampir kepada diri sendiri — Jika Bajang itu ada disini, apapula kepentingannya? Apakah ia mengenal orang yang menamakan dirinya Ki Manuhara itu atau bahkan bekerja bersamanya? —
    Namun Agung Sedayupun kemudian menyahut — Jika ia bekerja bersama Ki Manuhara, kenapa ia tidak membantunya disaat Ki Manuhara dan pengikutnya mengalami kesulitan? Bukankah orang yang disebut Bajang itu juga seorang yang berilmu tinggi? —
    — Agaknya memang demikian. Ia tentu juga berilmu tinggi sekarang. Saat aku bertemu dengan Bajang itu, ilmunya memang sudah lebih baik dari murid-muridku. Dalam waktu yang sudah sekian tahun itu, ilmunya tentu sudah meningkat karena aku tahu bahwa Bajang itu memiliki keinginan yang sangat besar untuk dapat menggapai ilmu yang setinggi-tingginya. — berkata Ki Jayaraga. — Karena itu aku yakin bahwa ia telah menempa diri untuk waktu yang lama.
    — Apakah Bajang itu juga mengenal Ki Jayaraga? — bertanya Agung Sedayu.
    — Aku tidak tahu, apakah ia masih dapat mengenalku sekarang karena aku tidak mempunyai ciri yang khusus sebagaimana orang Kerdil itu. Akupun tidak yakin apakah ia dapat mengenali ciri-ciri ilmuku. — jawab Ki Jayaraga.
    Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun dengan demikian, ia memang harus semakin berhati-hati. Jika benar kedua orang itu adalah Ki Manuhara dan Bajang yang disebut Bajang Engkrek itu, maka orang-orang Tanah Perdikan harus menjadi lebih berhati-hati. Bagaimanapun juga maka Ki Manuhara tentu tidak akan menerima kekalahannya itu. Bahkan mutlak.
    Agaknya Ki Jayaraga pun memperhatikan juga kemungkinan itu. Karena itu, maka iapun berkata — Siapapun keduanya, tetapi kedua orang yang menyeberang dengan rakit itu pantas kita perhatikan. Mungkin pada suatu saat mereka akan muncul kembali di Tanah Perdikan ini. —
    Agung Sedayu mengangguk-angguk pula. Katanya — Aku harus berbicara dengan Ki Gede. Namun akupun harus memberikan laporan terperinci kepada para pemimpin di Mataram, karena kedatangan Ki Manuhara di Mataram tentu membawa maksud tertentu. Tetapi agaknya ia telah tergelincir dalam persoalan kedua orang anak muda yang disebut Pembunuh Lembu jantan itu. —
    Sementara itu, keadaan Glagah Putih pun telah berangsur baik. Luka-lukanya sudah mulai merapat meskipun kadang-kadang masih terasa nyeri.
    Sekali-sekali Glagah Putih sudah turun ke halaman ditemani oleh Sabungsari. Bahkan Glagah Putih telah berjalan-jalan menyusuri jalan induk melihat-lihat keadaan padukuhan induk Tanah Perdikan yang telah dikacaukan oleh para pengikut Ki Manuhara.
    Bahkan Glagah Putih sudah melihat-lihat pula bekas rumah yang terbakar yang sedang sibuk dibangun kembali oleh orang-orang Tanah Perdikan itu. Mereka beramai-ramai membangun beberapa rumah sekaligus. Kayu, bambu dan ijuk serta batu untuk bebatur telah datang sendiri. Puluhan orang datang untuk membantu menegakkan kembali rumah yang telah runtuh menjadi arang itu.
    Ki Gedepun setiap kali berada diantara rakyatnya yang sedang sibuk itu. Bahkan Ki Ged telah memberikan petunjuk-petunjuk langsung kepada rakyatnya yang sedang sibuk membangun kembali rumah-rumah yang terbakar itu.
    Namun dalam pada itu, maka usaha untuk mencari jejak Ki Manuhara itupun telah dihentikan setelah beberapa hari usaha itu tidak berhasil. Agung Sedayu untuk sementara mengambil kesimpulan bahwa Ki Manuhara telah berhasil
    keluar dari Tanah Perdikan Menoreh sebagaimana kesimpulan beberapa orang pemimpin Tanah Perdikan Menoreh yang lain, yang telah mendengar laporan tentang seseorang yang bersama seorang kerdil menyeberangi Kali Praga dengan rakit.
    Sementara itu, Agung Sedayu telah membawa para tawanan ke barak pasukan khusus. Setiap kali Agung Sedayu atau para pemimpin prajurit Mataram dari pasukan khusus itu telah memeriksa para tawanan itu seorang demi seorang. Namun dari mereka tidak banyak mendapat keterangan tentang Ki Manuhara. Bahkan para pengikutnya itu tidak tahu sama sekali, untuk apa mereka pergi ke Mataram. Mereka hanya menjalankan setiap perintah yang diberikan kepada mereka oleh Ki Manuhara serta kepercayaannya termasuk Ki Patitis dan Ki Tangkil yang terbunuh.
    Namun dari mereka, Agung Sedayu mendapat keterangan tentang tempat-tempat yang pernah disinggahi di Mataram. Meskipun mereka tidak tahu dimana Ki Manuhara dan Ki Samepa tinggal selama mereka berada di Mataram.
    Setiap kali Agung Sedayu dengan cepat menghubungi para perwira di Mataram apabila ia mendapat keterangan baru dari para tawanan. Bahkan ia secara khusus telah mengirimkan penghubung untuk menyampaikan keterangan kepada Ki Wirayuda. Namun Ki Wirayuda yang juga bergerak dengan cepat, belum juga mendapatkan keterangan tentang orang-orang yang menyusup ke Mataram. Setiap kali Ki Wirayuda dengan sekelompok prajurit pilihan mendatangi rumah-rumah yang disebut-sebut oleh para tawanan yang segera diberitahukan oleh Agung Sedayu, rumah itu tentu sudah kosong. Bahkan pemiliknyapun telah tidak ada di rumah itu pula. Sehingga beberapa kali hal itu dilakukan, Ki Wirayuda belum menemukan seorangpun dari mereka yang dapat memberikan keterangan. Bahkan para tetangga yang terdekatpun sama sekali tidak tahu menahu apa yang terjadi dirumah yang telah kosong itu. Mereka tidak pernah melihat atau mendengar suara gaduh atau kesibukan yang dapat menarik perhatian.
    — Rumah itu nampaknya sepi-sepi saja — berkata seorang tetangga yang menjawab beberapa pertanyaan Ki Wi-rayuda — aku juga tidak pernah melihat orang-orang yang keluar masuk regol halaman rumah itu. —
    — Kau kenal dengan penghuninya? — bertanya Ki Wi-rayuda.
    — Kenal — jawab tetangganya itu — tetapi aku tidak melihat kapan ia dan keluarganya meninggalkan rumahnya itu. —
    Karena itu, maka untuk beberapa saat Ki Wirayuda masih belum menemukan sesuatu yang dapat dipergunakannya untuk menelusuri persoalan yang sedang dihadapinya itu.
    Meskipun setelah terjadi pertempuran di Tanah Perdikan itu Agung Sedayu dan Ki Wirayuda belum pernah bertemu langsung, namun mereka sependapat bahwa Ki Manuhara telah kembali ke Mataram dan mengatur gerakan mereka selanjutnya, sehingga orang-orangnya yang tertinggal luput dari penangkapan.
    — Orang itu memang licin—berkata Ki Wirayuda kepada dua orang penghubung yang dikirim oleh Agung Sedayu. Kedua orang prajurit dari pasukan khusus itu telah hilir mudik antara Tanah Perdikan Menoreh dan Mataram.
    — Yang lebih mudah dikenali adalah orang kerdil itu — berkata salah seorang prajurit penghubung itu.
    — Ya. Kita memang harus memperhatikan setiap orang kerdil — jawab Ki Wirayuda.
    Namun penghubung itu telah memberikan sedikit keterangan tentang ciri-ciri orang kerdil itu sesuai dengan, keterangan yang diberikan oleh kedua orang tukang satang yang sempat melihat orang kerdil itu dengan jelas. Juga keterangan tentang bagaimana orang kerdil itu melemparkan seorang penumpang rakit ke arus Kali Praga.
    Namun sampai eberapa hari kemudian, Ki Wirayuda juga tidak berhasil menemukan orang kerdil sesuai dengan ciri-ciri dari Bajang Bertangan Baja yang disebut oleh Ki Jayaraga, Bajang Engkrek dari pesisir Utara itu.
    Namun Ki Wirayuda dan para perwira di Mataram tidak menjadi jemu untuk mencari orang yang dianggap sangat berbahaya itu.
    Sementara itu, sambil mencari jejak, maka Agung Sedayu masih selalu memberikan pengobatan kepada Ki Jayaraga dan Glagah Putih, sementara luka-lukanya sendiri serta luka Sekar Mirah telah sembuh sama sekali.
    Sejalan dengan kesembuhan Ki Jayaraga, maka Agung Sedayupun memperhitungkan bahwa Ki Manuharapun telah sembuh pula. Bahkan mungkin telah mulai lagi dengan langkah-langkahnya yang berbahaya. Mungkin ditujukan kepada Mataram, tetapi mungkin pula ditujukan kepada Tanah Perdikan Menoreh.
    Sementara itu Matarampun telah bersiap-siap untuk menghadapi segala kemungkinan. Para pemimpinpun telah mempersiapkan kekuatan Mataram sepenuhnya. Bukan saja untuk menghadapi gerakan Ki Manuhara. Namun nampaknya hubungan Mataram dengan Pati justru menjadi semakin buram. Orang-orang yang berusaha mengail di air keruh telah berusaha untuk membuat persoalan-persoalan yang membuat hubungan antara Panembahan Senapati dan Kangjeng Adipati Pati semakin dibayangi oleh kecurigaan.
    Dalam keadaan yang demikian maka Agung Sedayu sebagai pimpinan pasukan khusus di Tanah Perdikan Menoreh tidak dapat menghindar dari percikan suasana yang semakin hangat itu. Namun Agung Sedayupun harus memperhatikan kemungkinan hadirnya kembali Ki Manuhara dan bahkan mungkin bersama Bajang Engkrek itu ke Tanah Perdikan.
    Karena itu, maka Agung Sedayu merasa wajib untuk mempersiapkan Tanah Perdikan Menoreh untuk menghadapi kemungkinan itu. Karena menurut perhitungan Agung Sedayu, Ki Manuhara yang telah sampai hati melakukan pembakaran dan pembunuhan dengan semena-mena itu akan dapat melakukan apa saja untuk mencapai maksudnya meskipun itu bertentangan dengan martabat kemanusiaannya.
    Sementara itu atas pendapat Agung Sedayu, maka Ki Wirayuda di Mataram telah memerintahkan agar kelompok Gajah Liwung tidak melakukan kegiatan apapun juga untuk sementara. Apabila Ki Manuhara mengetahui bahwa kelompok itu langsung mempunyai hubungan dengan Glagah Putih dan Sabungsari, maka kelompok itupun akan mengalami kesulitan. Meskipun didalam kelompok itu kemudian terdapat Ki Ajar Gurawa, namun nampaknya Ki Manuhara masih memiliki beberapa kelebihan dari Ki Ajar itu.
    Dalam pada itu, Ki Jayaraga yang sudah menjadi semakin baik telah berada di sanggar kembali. Ia berusaha untuk mengetahui tingkat kesembuhannya dengan sekali-sekali mencoba kemampuan ilmunya disanggar. Pada saat-saat tertentu Agung Sedayu sempat juga menunggui untuk menyesuaikan tingkat pengobatannya.
    Bagi Agung Sedayu, pengobatan atas Glagah Putih agak lebih mudah dari Ki Jayaraga, karena Glagah Putih hanya terluka diluarnya, luka pada kulit dan dagingnya, sementara Ki Jayaraga telah terluka di bagian dalam.
    Setapak demi setapak Ki Jayaraga telah mengalami banyak kemajuan. Bahkan ia telah mampu mempergunakan wadagnya untuk mendukung kemampuan serta ilmunya meskipun belum sepenuhnya. Namun Agung Sedayu dan Ki Jayaraga yakin bahwa dalam beberapa hari lagi, keadaan Ki Jayaraga akan pulih sepenuhnya.
    Untuk mempercepat penyembuhan luka di bagian dalamnya, Ki Jayaraga menjadi semakin sering berada didalam sanggar. Memusatkan nalar budinya, mengatur pernafasannya serta getar didalam dirinya sehingga segala bagian tubuhnya bergerak dengan irama yang seimbang. Sementara itu, obat-obat yang diberikan oleh Agung Sedayu atas pertimbangan Ki Jayaraga sendiri telah membantunya, mempercepat penyembuhannya.
    Selain perkembangan yang menggembirakan atas Ki Jayaraga, maka keadaan Glagah Putihpun telah menjadi semakin baik pula. Luka-lukanya telah sembuh. Kekuatannya-
    pun telah berangsur pulih kembali. Di lereng pegunungan, bersama Sabungsari, kadang-kadang Glagah Putih juga men-jajagi ilmu puncaknya. Sekali-sekali ia telah menghantam batu-batu padas ditebing, sehingga berguguran.
    — Kau telah menemukan kekuatan dan kemampuanmu kembali Glagah Putih — berkata Sabungsari.
    Glagah Putih mengangguk kecil. Katanya—Namun jika aku bertemu dengan Ki Manuhara, maka aku tentu akan dilumatkan. Sementara guru yang memiliki ilmu yang tangguh tanggon itupun telah dilukainya.
    Sabungsari mengangguk-angguk. Katanya — Ternyata ilmu yang kita miliki masih terlalu kecil jika kita benar-benar memasuki belantara olah kanuragan. Orang-orang tua yang masih dikendalikan oleh nafsu dan ketamakan itu telah mempergunakan kelebihan-kelebihan mereka untuk memaksakan kehendak mereka. —
    Glagah Putih mengangguk-angguk. Dengan nada lemah ia berkata — Bukankah itu merupakan tantangan bagi kita.
    — Ya. Dan beruntunglah kita bahwa pada masa seperti ini ternyata kita masih mempunyai orang-orang tua yang dapat mempersiapkan kita menghadapi masa depan, karena orang-orang yang masih dikekang nafsu dan ketamakan itu tentu akan melahirkan angkatan yang sejalan dengan pandangan hidup mereka. Tanpa mempersiapkan diri kita akan mengalami kesulitan untuk menghadapi mereka. —
    Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Betapa kekalutan masih membayangi kehidupan.
    Namun Glagah Putih sadar, bahwa tantangan itu harus ditanggapinya sebagaimana nyala obor di kelamnya malam.
    Karena itu, maka iapun telah membulatkan tekadnya, untuk menempa diri lebih tekun lagi. Ia harus semakin mematangkan ilmu yang telah dimilikinya agar dalam keadaan yang paling gawat ia akan dapat menyelesaikan tugasnya di tengah-tengah kehidupan sesamanya, Jika ia berniat untuk menjadi
    obor, maka cahayanya harus terasa oleh lingkungannya, seperti nyala obor yang menembus gelapnya malam. Bukan seperti obor yang meskipun menyala tetapi berada ditengah-tengah sekat yang tertutup rapat.
    Namun setiap kali terbersit dihatinya pertanyaan — Apakah hanya kekerasan dan kemampuan sajalah yang paling baik dipergunakan untuk memerangi kejahatan? —
    Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam.
    Ketika Glagah Putih melangkah kembali ke padukuhan induk lewat jalan setapak dilereng bukit, maka keduanya tanpa sadar, telah menyusuri lingkaran perbatasan Tanah Perdikan Menoreh. Justru karena itu, maka keduanya ingin memanjat punggung pebukitan dan melihat-lihat kehidupan dilembah seberang bukit, yang meskipun masih termasuk lingkungan Tanah Perdikan , namun sudah merupakan batas disisi Barat.
    Beberapa saat mereka berjalan diantara pepohonan hutan yang memang tidak terlalu lebat. Namun cukup kuat mencengkeram tanah yang miring di lereng perbukitan.
    Namun beberapa saat kemudian, keduanya mendengar suara gaduh di sebelah seonggok batu padas yang menjorok. Karena itu, maka dengan tergesa-gesa keduanya berlompatan memanjat batu-batu padas itu dan meloncat turun ke sebelah batu padas itu.
    Mereka ternyata melihat beberapa orang laki-laki yang nampak bertubuh kekar sedang memukuli dua orang anak yang masih remaja, yang umurnya sedikit dibawah Glagah Putih. Kedua orang anak yang masih sangat muda itu sama sekali tidak melawan. Mereka hanya berusaha melindungi wajah mereka dari amukan beberapa orang laki-laki kasar itu.
    —Tunggu — teriak Glagah Putih—apa yang terjadi?— Beberapa orang laki-laki itu memang berhenti. Mereka
    memang agak terkejut mendengar suara Glagah Putih yang
    menghentak itu.
    — Kenapa anak itu dipukuli? — bertanya Glagah Putih.
    Beberapa orang laki-laki kasar itu memandang Glagah Putih dengan wajah yang tegang. Bahkan seorang diantara merekapun berkata kasar — Apakah kau termasuk diantara ereka sehingga aku dan kawan-kawanku harus menghancurkan kepalamu juga? —
    — Sabarlah Ki Sanak—desis Glagah Putih yang melangkah mendekat. Katanya kemudian — Aku belum mengenal anak-anak ini. Tetapi aku ingin tahu apakah salah mereka?—
    — Kau tidak perlu ikut campur, anak muda — geram seorang diantara laki-laki itu.
    — Ki Sanak — berkata Sabungsari menyela — apakah kau belum mengenal anak muda ini? —
    Beberapa orang laki-laki itu termangu-mangu. Mereka memandang Glagah Putih dengan tajamnya. Namun laki-laki kasar itu merasa belum pernah mengenal anak muda itu sebagaimana Glagah Putih juga belum mengenal mereka.
    Karena itu, seorang diantara mereka berkata — Aku belum mengenal anak itu. —
    — Anak muda itu adalah salah seorang dari beberapa orang pemimpin dari para pengawal Tanah Perdikan Menoreh — berkata Sabungsari. Ia berharap bahwa kedudukan Glagah Putih itu dapat memberikan pengaruh terhadap beberapa orang laki-laki itu.
    Namun ternyata seorang diantaranya menggeram — Aku bukan orang Tanah Perdikan Menoreh. —
    Sabungsari mengerutkan keningnya. Sementara Glagah Putih bertanya dengan nada dalam — Jadi siapakah kalian itu? —
    — Kau tidak perlu tahu siapa kami. Kami adalah orang-orang yang tidak diperintah oleh siapapun juga. — jawab salah seorang dari mereka.
    Glagah Putih mengangguk-angguk kecil. Namun iapun kemudian bertanya — Jadi apa yang telah terjadi disini? Kenapa kalian memukuli anak-nak yang tidak sempat melawan sama sekali itu? Apakah salah mereka? —
    — Aku tidak perlu campur tangan kalian. Minggir atau kalian berdua kami perlakukan seperti anak-anak itu. — geram salah seorang diantara laki-laki kasar itu.
    Namun Sabungsaripun kemudian bertanya kepada kedua orang anak-anak remaja itu — Kenapa kau dipukuli? —
    —Aku mencoba untuk memperingatkan, mereka menebangi hutan ini dengan semena-mena. —jawab salah seorang dari mereka.
    — Tutup mulutmu atau aku bunuh kau? — geram salah seorang laki-laki kasar itu.
    — Sabar Ki Sanak — cegah Sabungsari. Lalu iapun bertanya pula—Siapakah kalian. Kenapa kalian tidak melarikan diri saja atau berteriak atau apapun juga? —
    Anak-anak remaja itu termangu-mangu. Namun seorang diantaranya berkata — Kenapa kami harus lari dan berteriak? — Kami berniat baik dan kami sudah berusaha untuk melakukan sesuatu yang kami yakini benar. —
    — Siapakah kalian dan siapakah orang tua kalian? — bertanya Sabungsari kemudian.
    — Kami berduaadalah anak-anak. yatim piatu — jawab salah seorang dari mereka berdua.
    — Yatim piatu? Jadi dengan siapa kalian tinggal? — bertanya Sabungsari kemudian.
    Kedua anak remaja itu termangu-mangu. Sekilas dipandanginya beberapa orang laki-laki yang kasar dan yang telah memukuli mereka. Namun orang-orang itu justru terdiam. Mereka seakan-akan juga ingin tahu, siapakah kedua orang anak yang telah mereka pukuli itu.
    Baru sejenak kemudian yang tua diantara mereka berdua menjawab — Aku tinggal bersama bapak. —
    — Bapak siapa? — Desak Glagah Putih.
    — Bapak Rudita — jawab anak itu.
    Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia tahu pasti, siapakah Rudita itu. Itulah agaknya, maka kedua orang anak remaja itu seakan-akan membiarkan saja dirinya dipukuli
    tanpa berusaha untuk menghindar apalagi melawan.
    Glagah Putihpun kemudian mendekati kedua orang a-nak itu sambil bertanya — Jadi, apa yang telah terjadi disini?
    Kedua anak itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian seseorang diantaranya menjawab — Sudah kami katakan, kami berusaha mencegah mereka menebangi hutan dengan semena-mena. Tetapi mereka menjadi marah. —
    Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Ia memang melihat beberapa batang pohon yang roboh serta tonggak-tonggak kayu yang mulai mengering.
    Sementara itu salah seorang laki-laki yang kasar itu berkata — Apa haknya melarang kami menebangi hutan yang tidak bertuan ini? Kami dapat menebang pohon berapa saja yang kami perlukan tanpa ada orang yang dapat melarang. —
    — Ki Sanak — berkata Glagah Putih — untuk apa sebenarnya kalian menebangi pepohonan di hutan ini? —
    — Apakah kau juga ingin mendapat perlakuan seperti anak-anak itu? — bentak seorang diantara mereka.
    Namun Sabungsari segera menyahut — Sudah aku katakan. Anak muda ini adalah salah seorang pemimpin pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Sedangkan hutan ini masih berada dilingkungan Tanah Perdikan. Karena itu, maka kalian tidak menebangi pepohonan menurut kehendakmu saja. —
    — Aku bukan orang Tanah Perdikan Menoreh. Aku tidak tahu batas Tanah Perdikan. Hutan ini tumbuh dengan sendirinya dilereng pegunungan. Tidak ada orang yang menanam pepohonan ini yang berhak mengaku bahwa pepohonan ini miliknya, — teriak seorang laki-laki yang bertubuh tinggi besar, berjambang lebat. Rambutnya tergerai dibawah ikat kepalanya yang hanya sekedar membalut kepalanya.
    — Untuk apa sebenarnya kekayuan itu? — bertanya Sabungsari kemudian.
    — Kau tak perlu mempersoalkan ini — bentak orang yang bertubuh tinggi besar itu — apapun yang kami lakukan, jangan ikut campur. —
    Namun salah seorang dari kedua orang anak itulah yang menyahut — Mereka membuka padukuhan baru dibawah lereng pegunungan ini. Karena itu mereka memerlukan kayu untuk membuat tempat tinggal dan menjadikan padang perdu untuk daerah persawahan dan pategalan. —
    — Jadi mereka membuka tempat pemukiman baru dibawah lereng pegunungan ini? — sahut Sabungsari — jika demikian kenapa mereka justru menebangi pepohonan dilereng ini? —
    — Cukup — bentak orang bertubuh tinggi besar itu — sudah aku katakan, bahwa kalian tidak usah ikut campur. —
    —Tetapi bukankah itu justru akan sangat berbahaya?— berkata salah seorang dari kedua remaja itu — jika hujan turun dengan derasnya dan apalagi untuk waktu yang lama, maka lereng ini akan dapat longsor dan tempat pemukiman baru itu akan menjadi kuburan yang luas. —
    — Diam, diam kau cucurut — bentak seorang laki-laki yang berwajah kasar. Meskipun tidak sebesar kawannya yang berubuh raksasa itu, namun ia nampak kasar dan matanya justru liar.
    Sabungsari dan Glagah Putih menarik nafas panjang. Ternyata kedua orang anak yang masih sangat muda, yang menjadi asuhan Rudita itu berusaha untuk mencegah beberapa orang laki-laki kasar itu. Bahkan ketika mereka dipukuli, mereka tidak mau beranjak pergi, karena mereka merasa berkewajiban untuk menyatakan keyakinannya, bahwa hal itu sangat berbahaya.
    Sabungsari dan Glagah Putih memang tersentuh hatinya. Sebagai anak-anak asuhan Rudita nampaknya mereka tidak mau beranjak dari kebenaran yang mereka yakini. Namun agaknya karena mereka masih terlalu muda, maka mereka agak kurang dapat menempatkan diri menghadapi kenyataan.
    Karena itu, maka Glagah Putihpun berkata — Baiklah anak-anak muda. Biarlah aku mengambil alih persoalan ini. Aku sependapat dengan kalian, bahwa sebaiknya mereka
    tidak melakukannya. Karena itu, biarlah aku mencoba mencegahnya. Aku akan meyakinkan mereka bahwa yang mereka lakukan itu tidak benar. —
    — Kau j angan mencari kesulitan—bentak salah seorang laki-laki kasar itu. — Apapun yang kau katakan, tidak berarti apa-apa bagi kami. —
    — Ki Sanak — berkata Glagah Putih — dengarlah. Aku berbicara atas nama Ki Gede Menoreh yang sekarang memerintah Tanah Perdikan ini. Sebaiknya kalian hentikan uhasa kalian mengambil kayu dari hutan dilereng pegunungan ini. Ada beberapa alasan yang dapat aku sebutkan. —
    Tetapi orang-orang itu nampaknya tidak menghiraukan sama sekali dengan kuasa KiGede Menoreh. Karena itu, maka seorang diantara mereka berkata — Persetan dengan Ki Gede Menoreh. Aku tidak mengenalnya dan aku bukan orangnya. Buat apa aku patuh kepadanya. —
    — Tetapi pegunungan ini, lerengnya dan hutan-hutannya adalah tlatah Tanah Perdikan Menoreh. — sahut Glagah Putih.
    — Sudah aku katakan, aku tidak peduli. Apakah kau tuli? — orang yang bertubuh tinggi kekar itu membentak.
    — Tetapi yang penting, adalah bagi keselamatan kalian sendiri — tiba-tiba saja salah seorang anak asuhan Rudita itu menyela. Katanya pula— Milik Tanah Perdikan atau bukan, tetapi tanah itu akan dapat longsor dan menimpa tempat pemukiman yang sedang kalian bangun itu. —
    Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam.Tetapi ia tidak memotong kata-kata anak itu.
    — Cukup. Cukup. Aku tidak memerlukan kalian. Pergi, atau aku akan memperlakukan kalian sebagaimana kami lakukan terhadap kedua orang anak gila itu. — teriak orang bertubuh raksasa itu.
    Namun orang-orang kasar itu menjadi heran. Kedua orang anak yang telah mereka pukuli itu masih saja tidak merasa takut meskipun mereka sudah merasa kesakitan. Sedangkan kedua orang yang datang kemudian itu juga tidak nampak menjadi ketakutan. Bahkan Glagah Putih melangkah maju sambil berkata—Jangan memaksa kita harus mempergunakan kekerasan. Bukankah kita dapat menyelesaikan persoalan ini dengan membicarakannya dengan baik. Jika kalian berkeras ingin menebangi pepohonan dilereng pegunungan ini, maka kalian harus menghubungi Ki Gede Menoreh. Kalian harus mendapat ijinnya. —
    Tetapi seorang dari kedua remaja itu berkata — Kalian hanya berbicara tentang hak atas hutan ini. Dengan ijin apalagi tidak, pemukiman mereka akan tetap berbahaya. Mereka harus menyadari, bahwa yang mereka Ikukan itu keliru sehingga akan dapat berakibat burut bagi mereka kelak. Seandainya ada i j in dari Ki Gede sekalipun, bahaya itu tetapi mengancam mereka. —
    Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya — Ya. Kalian benar. Kamipun yakin, bahwa Ki Gede tidak akan mengijinkannya. —
    — Aku tidak memerlukan i j in dari siapapun juga. Sekali lagi aku minta kalian pergi, atau kalian akan mengalami nasib buruk disini. Kami tidak akan segan-segan bertindak kasar.
    Sabungsari yang tidak sabar itu berkata — Baiklah. Jika kalian ingin mempergunakan kekerasan. —
    — Kalian berani menantang kami? — geram orang bertubuh raksasa itu.
    — Sudah kami katakan, kami bertindak atas nama Ki Gede Menoreh — sahut Sabungsari.
    Laki-laki bertubuh raksasa itupun segera memberi i-syarat kepada kawan-kawannya untuk bersiap. Sementara anak-anak remaja itu menjadi gelisah. Dengan suara yang bergetar seorang diantara mereka berkata — Apakah kalian mengira bahwa kekerasan akan menyelesaikan masalah. Jika kedua orang pengawal ini ternyata kemudian dapat mengalahkan kalian, nah, bencana yang aku katakan akan menimpa kalian dan daerah pemukiman kalian jika hujan turun dengan lebatnya sehingga tanah ini longsor, ternyata akan
    datang lebih cepat. — Lalu katanya kepada Sabungsari dan Glagah Putih — Jadi kalian mencegah penebangan hutan ini bukan karena kalian mengasihi orang-orang yang telah berpikir sesat ini, tetapi justru sekedar karena hak kalian telah dilanggar? Apakah artinya kalian berbicara tentang bencan-na yang dapat menimpa mereka jika kalian berdua akan membuat bencana pula atas mereka. —
    Sabungsari mengerutkan dahinya. Dengan nada tinggi ia berkata — Aku tidak mengerti jalan pikiran mereka. —
    Namun Glagah Putih berkata — Caraku memang agak berbeda dengan cara yang kalian tempuh. Aku mengerti bahwa kalian tidak senang melihat kekerasan meskipun kalian telah mengalaminya. Namun kami berniat baik sebagaimana kalian inginkan.
    — Berniat baik dengan melakukan kekerasan terhadap orang lain apapun alasannya? — bertanya seorang diantara kedua remaja itu dengan heran.
    — Baiklah anak-anak muda. Biarlah kita mempergunakan cara kita masing-masing. Tetapi pada dasarnya, kami dan kalian tidak menghendaki orang-orang itu menebangi pepohonan di lereng bukit ini karena ini akan dapat mencelakakan mereka sendiri. — Glagah Putih itupun terdiam sejenak, lalu katanya — Merekapun tidak dapat tanpa ijin membuka pemukiman dibawah lereng pegunungan ini. Mereka harus mendapat ijin dari kademangan Kleringan, karena tanah yang mereka pergunkan termasuk tlatah Kademangan Kleringan. —
    — Kalian berbicara lagi tentang hak, bukan tentang keselamatan mereka — berkata seorang diantara kedua remaja itu.
    — Biarlah kita selesaikan dahulu orang-orang itu — berkata Sabungsari — nanti aku akan mencoba memahami cara mereka berpikir dan bersikap.
    Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya — Maaf anak-anak. Kami akan menempuh jalan yang kami anggap terbaik menghadapi orang-orang ini. Mungkin kalian sulit memahami jalan pikiran kami, sebagaimana kami sulit memahami jalan pikiran kalian. —
    Kedua orang remaja itu saling berpandangan. Namun nampak wajah mereka kemudian menjadi tegang.
    Dalam pada itu, beberapa orang laki-laki kasar yang menebangi pepohonan itupun merasa terhina oleh sikap Sabungsari dan Glagah Putih. Karena itu, maka orang yang bertubuh raksasa itupun berkata—Kalian mau apa? Apakah kalian sudah jemu hidup sehingga kalian menyurukkan nyawamu kebawah kapakku ini? Jika itu yang kalian kehendaki, baiklah. —
    Sabungsari dan Glagah Putihpun segera bersiap. Dengan nada berat Glagah Putih berkata — Seharusnya kalian mendengarkan peringatan kedua orang anak itu, sehingga kalian tidak mengalami kesulitan apapun. —
    Laki-laki bertubuh raksasa itu tidak menunggu lebih lama lagi. Iapun segera memberikan isyarat kepada kawan-kawannya sehingga hampir serentak mereka bergerak maju.
    Namun Sabungsari dan Glagah Putihpun sudah bersiap untuk menghadapi mereka.
    Perkelahian yang terjadi memang tidak terlalu lama. Orang-orang kasar itupun dengan cepat ditundukkan oleh Sabungsari dan Glagah Putih. Mereka yang mencoba untuk melawan terus, ternyata beberapa kali telah terdorong dan terbanting jatuh. Dua diantara mereka telah terguling ke lereng. Ungtunglah, bahwa mereka telah tersangkut pada pohon-pohon perdu.
    Beberapa saat kemudian orang-orang kasar itu benar-benar telah menghentikan perlawanan mereka. Mereka sama sekali tidak mengerti, bagaimana tubuh mereka telah menjadi merah biru. Orang yang bertubuh raksasa itupun hampir menjadi pingsan karenanya. Wajahnya menjadi biru pengab. Sebelah matanya menjadi bengkak, sedangkan lambungnya rasa-rasanya akan terputus karenanya. Sedangkan kawan-kawannya pun mengalami nasib yang sama.
    Sabungsari dan Glagah Putihpun kemudian menghentikan perkelahian itu. Kepada orang-orang kasar itu Glagah Putih telah memerintahkan untuk menolong kedua orang kawannya yang terguling kedalam lereng pegunungan itu.
    — Kumpulkan kawan-kawanmu — berkata Glagah Putih kemudian.
    Laki-laki kasar itu tidak berani melawan lagi. Mereka-pun kemudian telah berkumpul dan duduk di rerumputan, sementara Sabungsari dan Glagah Putih, duduk diatas tonggak-tonggak kayu yang mulai mengering.
    — Nah, kalian berdua sekarang dapal berbicara dengan mereka — berkata Glagah Putih kepada kedua orang remaja itu.
    Tetapi belum lagi keduanya mengambil sikap, terdengar suara dari puncak pegunungan — kalian telah menunjukkan satu sikap yang kurang baik bagi kedua anak asuhanku itu. —
    Orang-orang yang ada dilereng pegunugan itu berpaling. Mereka melihat seseorang menuruni lereng mendekati mereka.
    — Bapa Rudita — desis kedua orang remaja itu berbareng.
    Sabungsari dan Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian dengan tersenyum Rudita berkata — Tetapi aku tidak heran melihat sikap kalian. Kalian tentu telah diajari oleh Agung Sedayu untuk melakukan kekerasan, karena ia tidak melihat cara lain yang lebih baik dari kekerasan.
    Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata — Tetapi paman melihat sendiri hasilnya. Mereka baru tunduk setelah kekerasan itu terjadi. Meskipun kekerasan itu sama sekali bukan satu-satunya alat untuk menjelaskan persoalan namun kadang-kadang kekerasan itu perlu kami lakukan. Apalagi untuk membela diri. —
    Rudita masih saja tersenyum. Katanya — Semoga pada suatu saat hatimu terbuka. Tetapi baiklah, kami akan melanjutkan perjalanan kami. Sampaikan salamku kepada Agung Sedayu. Ia menjadi semakin mapan sekarang, karena ia telah menjadi Lurah Prajurit. Tindakan-tindakan yang diambilnya
    akan dapat mengakibatkan penderitaan yang berkepanjangan bagi anak-anak yang kehilangan orang tuanya. —
    —Tetapi dapat juga sebaliknya—berkata Glagah Putih — jika kedatangan Manuhara di Tanah Perdikan ini tidak disambut dengan kekerasan, apa yang akan terjadi di Tanah Perdikan Menoreh, terutama padukuhan induknya, akan menjadi karang abang. —
    — Kalian hanya melihat potongan peristiwa dari sebab dan akibat perbuatan manusia sendiri. Nampaknya sudah tidak ada lagi hubungan mesra antara manusia dengan Pen-ciptanya serta kasih diantara sesama. Tetapi kita masih berpengharapan bahwa pada suatu saat kasih itu akan menjadi bahasa dalam kehidupan manusia dihadapan Maha Pencipta-nya. —
    Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Demikian pula Sabungsari. Ternyata mereka mengerti maksud Rudita. Namun dalam kenyataan yang mereka temui dalam kehidupan kadang-kadang memang terdapat pertentangan-pertentangan yang tajam. Sebagaimana mereka menunjukkan kasih namun harus dengan kekerasan. Sehingga ujud kehidupan yang manis masih merupakan jangkauan.
    Demikianlah, sejenak kemudian, maka Ruditapun telah mengajak anak-anak asuhan didalam padepokannya yang menampung anak-anak yatim piatu itu untuk melanjutkan perjalana. Ketika mereka melangkah menjauh, maka Rudita itu berkata — Mudah-mudahan kalian semuanya, mendapat terang dihati kalian. —
    Sabungsari dan Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sambil berpaling kepada orang-orang kasar itu Glagah Putih berkata— Pancaran hasilnya mudah-mudahan dapat membuka nalar kalian. Hentikan perbuatan kalian, karena mereka mencemaskan bahwa pada suatu saat kalian akan mendapat bencana.
    Orang-orang itu termangu-mangu. Mereka mengalami satu peristiwa yang tidak mereka mengerti jalan pikiran kedua remaja yang kemudian dibawa oleh seorang yang tidak
    mereka lihat sebelumnya.
    Namun kedua orang anak muda yang datang kemudian itu juga aneh bagi mereka. Keduanya memiliki kemampuan berkelahi yang sangat tinggi. Mereka dalam jumlah yang berlipat ganda, sama sekali tidak mampu mengalahkan keduanya. Namun kemudian, keduayapun tidak berbuat apa-apa pula atas mereka, setelah mereka menyatakan diri mereka kalah dan menyerah.
    Namun kedua orang anak muda itu masih mengancam. Seorang diantaranya yang disebut salah seorang pemimpin pengawal Tanah Perdikan itu berkata — Aku peringatkan agar kalian tidak melanjutkan rencana kalian. Ki Gede Menoreh dan Ki Demang Kleringan tentu tidak akan mengijin-kan kalian membuat pemukiman di lereng pegunungan, sementara hutan di lereng itu telah kau tebangi. Sehingga akan sangat berbahaya bagi kalian sendiri. Lebih dari itu kalian harus membiasakan diri menempuh jalur yang seharusnya berlaku sesuai dengan paugeran. Kalian harus menghubungi dan mohon ijin kepada penguasa tlatah yang akan kalian pergunakan sebagai tempat pemukiman, karena kalian tidak dapat berbuat menurut kehendak kalian sendiri dalam hidup bebrayan. Didalam hidup bebrayan segalanya harus didasari atas kepentingan bersama, saling menghormati dan tunduk pada paugeran yang sudah dibuat. Jika kalian merasa diri kalian dapat berbuat menurut kehendak dan kepentingan kalian sendiri, maka ada pihak lain yang akan melakukan hal yang sama dan mungkin akan merugikan kalian, karena kepentingannya bertentangan dengan kepentingan kalian, baik kalian dalam kelompok atau kalian seorang-seorang. —
    Orang-orang itu saling berdiam diri. Namun mereka mulai mendengarkan keterangan Glagah Putih. Sementara itu Glagah Putih mulai mengancam lagi — Aku setiap kali akan mengirimkan peronda untuk melihat, apakah kalian mendengarkan kata-kataku atau tidak. Jika kalian masih memaksa untuk menebangi pepohonan di lereng pegunungan ini, maka para pengawal itu akan bertindak lebih dari yang aku lakukan. Aku juga akan mengirimkan penghubung yang akan menemui Ki Demang Kleringan, yang memberitahukan apa yang telah kalian lakukan disini. —
    — Jika demikian, apa yang harus kami lakukan? — bertanya seorang yang nampaknya tertua diantara sekelompok orang kasar itu dengan nada dalam.
    — Bagaimana dengan tempat pemukiman kalian sekarang? — bertanya Glagah Putih.
    — Kami sudah tidak dapat tinggal lebih lama lagi — jawab orang itu.
    — Kenapa? Apakah di kediamanmu sekarang terjadi bencana? — bertanya Sabungsari.
    Orang-orang itu menggeleng. Yang tertua diantara mereka berkata — Bukan bencana. Tetapi tanah yang kami garap sudah menjadi kering, sumber-sumber airpun mengering. —
    — Itu namanya juga bencana. Bencana kekeringan — sahut Sabungsari.
    Orang-orang itu mengangguk-angguk lagi. Sementara yang lain berkata — Bebatuan telah menutup tanah garapan kami. Bebatuan yang longsor dari lereng bukit. Batu-batu padas dan bahkan batu-batu hitam.

    ***

    Sumber : Koleksi djvu Arema

    lanjut kitab 276

  30. sugeng enjang… :))

  31. saya sangat berminat untuk mendapatkan cerita API DI BUKIT MENOREH secara lengkap s/d Tamat.
    mohon info syarat-syarat yang diperlukan.
    trimakasih atas perhatiannya.

    • belum ada komen dari Ki Sukra.
      nglancangi…, ngapunten nggih Ki.
      ————————–

      Syaratnya banyak.
      1. Punya PC sendiri atau laptop sendiri atau HP yang bisa akses internet
      2. Jika tidak ada, harus punya uang saku lebih untuk pergi ke Warnet.
      3. Berkunjung ke blog ini atau blog lain yang juga upload ADBM
      4. Kalau uang sakunya banyak, baca saja langsung cerita yang sudah ada di blog ini, atau jika uang saku terbatas (untuk bayar di warnet atau beli pulsa), copas saja cerita yang ada pada flashdisk atau HD external
      5. jika menghendaki rontal format djvu, bisa diubek di blok ini keberadaannya, karena biasanya disembunyikan di tempat-tempat yang tidak konsisten,
      6. apa lagi ya…

      he he he …, ngapunten cuma guyon kok.
      Blog ini hanya ulpoad ADBM format djvu (hasil scanning rontal aslinya). Format djvu karena simpanannya yang ringkas dibanding format yang lain, pdf misalnya.
      Hanya saja, ekstensi djvu-nya digandi dengan pdf, doc, docx, ppt, dll untuk mengelabui WordPress yang tidak kenal format djvu.
      Cara ngunduh format djvu ada di https://adbmcadangan.wordpress.com/download/ sedang software yang bisa dipakai untuk membaca rontal djvu bisa diunduh pada halaman 2.

      Hasil Retype pada jilid-jilid awal ada di setiap halaman di belakangnya. Selanjutnya, karena kesibukan pengelolanya, hasil retype oleh para relawan dimasukkan pada boz comment setiap jilid.

      monggo…, dinikmati saja.

      Jika yang dimaksud adalah rontal asli cetak, sekarang belum dicetak ulang lagi, harus cari di kolektor buku-buku langka.

      nuwun

      • matur nuwun infonya ki

  32. Anak buah Ki Gede Telengan yg 4 orang yg ikut Sabungsari & dititipkan di padepokan Jatianom pada kemana, apa sudah lulus nYantri atau bosan/pergi, lama ga nongol bantu Sabungsari yg lagi punya masalah keamanan. . .

    • ….lali….ayaknya !…

      • mau bengi do cangkruk nang alun-alun

        • anul2…eh…alun2 Jombang?

          • jombang – kertosono
            klambi abang – ki kartosono

            • Weh…Ki Bukansms…..sugeng Ki ? 😀

              • pangestu ki kartu, gayeng men le rujakan ?


Tinggalkan Balasan ke ismoyo Batalkan balasan