Buku III-54

.254-00
.

Laman: 1 2

Telah Terbit on 30 Mei 2009 at 01:12  Comments (115)  

The URI to TrackBack this entry is: https://adbmcadangan.wordpress.com/buku-iii-54/trackback/

RSS feed for comments on this post.

115 KomentarTinggalkan komentar

  1. Sugeng enjang Ki Lazuarsdi, nongol juga, maturnuwun Ki , Nyi kitab pun kulo unduh

    • sugeng enjang ki Purwo … salam

      • met malaem juragan matur tengkiyu …….

  2. matur tengkyu kitab 254 nya

  3. Titik-titik ternyata berada dimana-mana, ini pertanda baik. Berarti penyelesaian antara Mataram dan Brang Wetan mulai terbuka. AS memang top. Tak mengira ilmu Ki Ajar Kumuda begitu tinggi, tapi AS belum sempat menggelar semua ilmu yang telah dikuasai dengan mapan ternyata Ki Ajar telah takluk.

    Terima kasih saya bisa melanjutkan berangan-angan lagi.

  4. matur suwun..
    si titiks ternyata menipu….

    • Bukan menipu Ki,
      Tapi seperti bentuk-bentuk semu, kita sendiri yang harus mencoba memecahkannya, mencari bentuk mana yang asli dan yang semu, pakailah aji sapta pandhulu……….he he he.

  5. Alhamdulillah

    Padepokan sampun normal malih.

    Sanadyan dereng saged maos sakmeniko, kawula sampun ngunduh lonta-lontaripun. Kangge koleksi bangsal pustaka wonten ing pondok kawula.

    Matur suwun dumateng Nyi Senapati. Sanadyan ngayahi tugas negari, taksih saged medar lontar ingkang dipun tengga kaliyan para cantrik.

    Nuwun

  6. Matur nuwun nggih den…. 254 dah tersedot

  7. Seperti nyari-nyari tahi lalat….:D

  8. Wah, nyi Seno nglembur tenan pas liburan, matur suwun sanget nyi, ageng sanget pengorbanan panjenengan kangge padepokan.

  9. Ikut hadir untuk mengunduh ilmu..

    Nuwun

  10. Sepi……, pada liburan rupanya.

    • gandok sebelah belum dibuka ya ki..?

      • Belum, masih sepi, nunggu kalau sudah rame
        Seperti tahu saja, he he…

        • biasanya klo liburan, banyak gandok yang dibuka (Bonus)….

          dibuka aja belum, gimana nasib kitab 255 yaa?!?

        • Sabar saja, sekarang ini tidak biasa. Seperti biasa, Nyi Seno sempatnya paling jam 24.000.

          Tunggu saja jam 00-01 an, kalau belum dibuka berarti ada masalah dan harus bersabar.

          Menurut penerawangan saya, kalau dibuka paling tidak satu gandok bisa dibuka, tetapi bisa jadi 5 gandok sekalian.

          Hayo…, tebak-tebakan. Sama-sama tidak tahu lho.

          • Kuncinya didekek endi tho Ki? Wis emeh jam loro esuk gandhoke sik durung dibuka…?
            Wah, alamat ono masalah maneh iki, Blaik ….
            Win tak turu wae … nguantuk aku ..

  11. Sudah malam …… nguantekkkk tenan aku …. Tak turu disik ….
    Gardune ben dijogo Ki Arema dewe …. kan wis suwe ora tahu rondha.

    Cantrik liyani podo neng endi ….. opo sik kluyuran neng mediun?

    • ora nang madiun ki, isih nang mataram wae luwih adem, sidone ki arema sing dadi senopati yo?

    • Ketoko yo ngono, nangin Ki Arema luweh seneng kluyuran neng gardu. Sing tepak ya dijuluki Senopati ‘under cover,’ gitu.

  12. matur nuwun Ki, kitabipun sampun dipun sedhot.
    Kula cantrik enggal, sampun dangu kepingin ndaftar wonten ing padepokan mriki, nanging wongsal wangsul kon dipun tolak nggih. Meniko ugi cobi cobi kemawon, mbok menawi saged katampi. Matur nuwun.

    • Sugeng rawuh Ki Bejo. nJenengan sampun milih asmo sing sae .. , sak meniko sampun ketampi.

    • Lhadalah, jebul saged katampi. Wah matur nuwune dadi lipet kaping 254x. Matur nuwun ki GD.
      Para Putut, jejanggan, cantrik ,sedherek lan kadang sedaya tepangaken kula cantrik enggal badhe ngangsu kawruh dhateng Padepokan mriki. Sampun dangu kula nginjen saking sisih pager padepokan lan munduti kitab kitab ingkang kacecer. Sampun dangu badhe ndaftar nanging kok mboten nate saged mbukak regol. Mugi mugi para kadang kersa nampi kula. Ugi matur nuwun dhateng Nyi Seno ingkang nembe jejiban ngayahi kewajiban lan adimas Sukro ingkang mboten nate katon piyantunipun nanging ketingal tandangipun. Ndherek tepang ki Arema, ki Trupod, ki Ismoyo, ki Anggara, ki Probondanyu, ki Anatram, ki Widura, ki Goenas, rombongan cantrik mbelink lan para kadang sanesipun ingkang mboten saged kula sebad setunggal setunggal. Nuwun.

      • Sugeng Rawuh Ki Bejo,
        Mangga kempal para kadang cantrik sedaya,
        tukar kawruh, gegojegan mathon, sinambi ndahar suguhanipun Ki Pandanalas jagung bakar, wedang jahe, lang roti keju saking Ki Widura. Wach Bejo tenan.
        Ugi saged ngunduh kitab adbm, menawi badhe nderek sayembara design kaos adbm, nggih mangga. Nuwun.

        • Kulo tumbas kemawon Ki Ismoyo, punopo nyumbang hadiah kangge pemenang (designer terbaik) … mangke tak kirimi jenang grendul.

          • Wah jeneng grendul kok ketingale mak nyusss. Pun dangu kula mboten ngedhapi jenang grendul Ki. Marai kemecer wae.

        • Ki Bejo lan kisanak sedoyo … monggo bedhekan! Kitab 255 ingkang bade diwedar .. dateng saking koleksi-nipun Ki Arema, punopo koleksi Ki Truna Prenjak?

          Sing pasti sanes koleksi KIi Truno Podang!

      • Ki Beji iki mesti cantrik lawas membo warno. Sapa ya?

        • Eh…, kliru Ki Bejo. Basane mlipis kaya Ki Ajar Gurawa.

  13. Ki Widura

    sampeyan ronda ya, aku wis ngantuk banget iki.

  14. 254 nya trims udah diunduh

  15. trims kitabnya…..

  16. thanks..thanks..thanks..
    🙂 😛 🙂 😛

  17. Walau[un telat tapi kitab 253 dan 254 sampun dipun unduh kanti remen, matur sembah nuwun Nyimas, Ki Gede..

  18. ADBM 254 Bagian I

    NAMUN Purut Rambatan tidak ingin berperang tanding. Para prajurit yang ada di sekitarnya, yang datang membantunya ternyata dibiarkannya saja, sehingga dengan demikian, maka Swandaru benar-benar telah terperosok kedalam kubu lawan.
    Ia memang menyesal kenapa ia tidak mendengarkan pesan pengawalnya selagi sempat. Namun semuanya sudah lewat. Karena itu Swandaru tidak mau terpengaruh oleh penyesalannya. Apapun yang terjadi, ia merasa bahwa ia adalah seorang yang berilmu tinggi.
    Namun akhirnya Swandaru harus mengakui, bahwa ia memang mengalami kesulitan menghadapi lawan, justru karena tenggelam dalam putaran gelombang prajurit lawan.
    Swandaru yang terpisah dari garis perang itu tidak dapat menunggu bantuan dari siapapun lagi. Ia harus mempercayakan dirinya kepada kemampuannya.
    Dalam pada itu, pasukan di sayap kanan itu memang mengalami kemajuan. Diujung sayap, Sabungsari dengan beberapa kelompok terpilih mampu mendesak pasukan lawan. Semakin lama semakin kuat.
    Namun Sabungsari sendiri justru telah tertahan oleh orang bertubuh raksasa itu. Keduanya telah bertempur dengan garangnya. Bindi orang bertubuh raksasa itu terayun-ayun dengan garangnya. Suaranya berdesing menerpa selaput telinga. Namun sementara itu pedang Sabungsari dengan cepatnya telah bergetar dan ber putar menyusup diantara ayunan bindi yang mendebarkan itu.
    Orang bertubuh raksasa itu menggeram ketika ia melihat kelompok-kelompok terpilih pasukan Mataram semakin mendesak kekuatan yang ada disayap itu. Pangeran Singosari ternyata tidak hanya sekedar memberikan aba-aba. Tetapi sekali-sekali ia juga turun kemedan, langsung menghadapi lawan dengan kemampuannya yang sangat tinggi. Namun beberapa saat kemudian ia telah menghilang lagi. Bergeser, memberikan petunjuk dan tiba-tiba pula telah muncul diarena yang lain.
    Bahkan Pangeran Singasari itu telah mempercayakan kepada setiap pemimpin pasukan untuk mengatur kelompoknya masing-masing dalam derap kesatuan yang bulat Pangeran Singasari telah memerintahkan Untara memiliki keahlian untuk mengatur segala-galanya, karena Pangeran Singasari nampaknya lebih tertarik untuk turun langsung dimedan pertempuran. Sementara Pangeran Singasari tahu benar bahwa Untara memiliki keahlian untuk mengatur pasukan yang besar sekalipun.
    Namun dalam pada itu induk pasukan Mataram ternyata masih juga bergeser mundur. Pemimpin tertinggi yang berada diinduk pasukan sama sekali tidak membuat gerakan-gerakan yang akan dapat merubah keseimbagan. Mereka seakan-akan hanya sekedar bertahan agar tidak terdesak semakin jauh.
    Tetapi dalam gerak mundur, ternyata prajurit Mataram mampu menahan dan bahkan mengurangi kekuatan lawan sedikit demi sedikit. Meskipun kekuatan Mataram juga berkurang, tetapi dalam gerak mundur, Mataram dapat mengambil keuntungan. Pasukan dari Pati yang keras itupun telah menunjukkan kegarangannya meskipun pasukan itu harus menyesuaikan diri dengan perintah pimpinan tertingi. Pajang dan Grobogan sekali-sekali memang membuat gejolak tersendiri. Namun pada umumnya, kekuatan induk Mataram telah bergeser mundur.
    Berbeda dengan pasukan induk, baik sayap kiri, maupun sayap kanan pasukan Mataram justru mengalami kemajuan betapapun lambatnya. Mereka tidak lagi bertempur dalam bentangan melebar sebagaimana, sayap dari satu gelar yang utuh. Tetapi serangan pasukan sayap kanan dan kiri dari pasukan Mataram telah menjadi sepasukan yang menyerang dari sisi dan seakan-akan telah dengan sengaja mematahkan tebaran gelar pasukan lawan.
    Disayap kiri, Glagah Putih bertempur dengan gigihnya. Agung Sedayu yang berada diujung telah mengimbangi pasukan yang dipimpin oleh Sabungsari. Pasukan Tanah Perdikan Menoreh telah mendesak pasukan lawan semakin kuat. Agung Sedayu yang harus bertempur beberapa orang sekaligus, sama sekali tidak terdesak surut. Beberapa orang pengawal Tanah Perdikan kadang-kadang justru berhasil mengurai kepungan itu dan membebaskan Agung Sedayu sehingga Agung Sedayu menjadi lebih leluasa bertempur. Namun dalam kepunganpun Agung Sedayu tidak banyak mengalami kesulitan. Lawannyalah yang seorang demi seorang harus diangkat keluar dari arena karena luka-lukanya. Bahkan meskipun Agung Sedayu sama sekali tidak berniat untuk membunuh, namun sekali-sekali ujung cambuknya telah mengoyak tubuh lawan sehingga membuat luka yang sangat parah.
    “Aku tidak dapat menghindari kemungkinan seperti itu Ki Sanak.“ berkata Agung Sedayu dengan suara rendah.
    Sementara itu, Ki Rangga Wirataruna yang bertempur melawan Glagah Putih telah berusaha untuk menekan anak muda itu. Pedangnya yang lebih panjang dan lebih besar dari pedang Glagah Putih berusaha untuk menggapai tubuh lawannya. Namun Glagah Putih mampu bergerak sangat cepat.
    Dengan demikian maka Ki Rangga Wirataruna tidak segera berhasil menyentuhnya. Betapun ia berusaha, namun Glagah Putih yang meloncat berputaran, merupakan sasaran yang tidak mudah untuk dikenainya.
    Sebaliknya Glagah Putihpun tidak mudah menggores kulit lawannya. Pedangnya yang panjang dan besar, terayun berputaran dibandingkan dengan pedangnya yang lebih pendek.
    Namun Glagah Putih tidak dapat membiarkan pertempuran itu berlangsung berkepanjangan, sementara pasukan sayap kiri itu maju dengan lamban sekali. Bahkan kadang-kadang pasukan lawan yang masih sedikit lebih banyak dari pasukan Mataram itu mampu mengguncang garis pertahanan, sehingga gerak maju pasukan Mataram terhambat bahkan terhenti untuk beberapa lama.
    Karena itu, maka Glagah Putihpun segera berusaha untuk mencapai puncak ilmunya. Dari Agung Sedayu ia telah mewarisi ilmu Ki Sadewa yang mapan, sementara dari Ki Jayaraga ia telah melengkapi dengan ilmu yang meskipun berbeda sumbernya namun dapat saling mengisi. Bahkan dari Ki Jayaraga Glagah putih telah mendapatkan hentakkan tingkat alas kemampuannya sebagai mana pernah dilakukan oleh Raden Rangga. Dengan demikian, maka Glagah Putih yang muda itu memang memiliki ilmu yang sangat tinggi.
    Dalam keadaan yang gawat itu, maka Glagah Putihpun telah mengerahkan kemampuannya untuk melawan seorang Senapati yang berilmu tinggi.
    Demikianlah pada saat pasukan Mataram tidak dapat maju lagi bahkan garis perang mulai berguncang setelah lawan yang lebih banyak itu mapan, maka Glagah Putih telah menghentakkan ilmunya. Ia tidak menyerang Ki Rangga dengan serangan berjarak, karena dengan demikian ia akan dapat membantai terlalu banyak oiang dengan cara yang tidak sepantasnya dilakukan oleh seorang kesatria. Hanya dalam keadaan yang tidak terelakkan ia dapat mempergunakannya ilmu yang nggegirisi itu, atau pada saat-saat ia berperang tanding.
    Ketika Ki Rangga Wirataruna merasakan bahwa gerak mundur pasukannya berhenti, bahkan terjadi guncangan pada garis perang, maka iapun menjadi semakin garang. Pedangnya terayun semakin cepat dan keras sehingga suaranya berdesing memekakkan telinga.
    Namun dalam pada itu, Glagah Putihpun telah sampai ke-puncak ilmunya. Ia berloncatan semakin cepat bagaikan berter-bangan. Sementara itu kekuatannya yang dilandasi tenaga cadangannya pada alas ilmunya menjadi semakin besar, sehingga ketika terjadi benturan kekuatan, maka Ki Rangga Wirataruna terkejut bukan buatan. Ia menyadari bahwa pedangnya lebih besar dari pedang anak muda itu. Bahkan juga lebih panjang. Namun ketika terjadi benturan terasa pedangnya bergetar.
    “Anak ini memang anak yang luar biasa.“ geramnya. Apalagi kemudian ketika Glagah Putih berloncatan dengan cepatnya, menyambar-nyambar.
    Ki Rangga termangu-mangu sejenak. Sementara itu pertempuran masih terjadi dengan sengitnya disebelah menyebelah.
    Namun akhirnya Ki Rangga tidak dapat mengakhiri kenyataan tentang kemampuan anak muda dari Tanah Perdikan Menoreh itu. Selagi ia mengayunkan pedangnya mengarah ke leher Glagah Putih, maka dengan sigap anak muda itu menghindari. Demikian ayunan pedang itu meluncur deras dengan sambaran yang tiba-tiba itu. Iapun sudah berusaha meloncat surut. Tetapi ujung pedang Glagah Putih ternyata masih mampu menggapainya. Pundak Ki Rangga itupun telah tergores tajam ditabuhnya, Glagah Putih meloncat maju dengan pedang terjulur. Ki Rangga melihat serangan yang tiba-tiba itu. Iapun sudah berusaha meloncat surut. Tetapi ujung pedang Glagah Putih ternyata masih mampu menggapainya. Pundak Ki Rangga itupun telah tergores ujung pedang Glagah Putih. Lukanya tidak terlalu dalam. Namun ketika darah meleleh melalui bajunya yang koyak, maka Ki Rangga itu mengumpat sambil menggeram.
    Namun Glagah Putih sudah bersiap. Ketika kemudian Ki Rangga yang marah itu melihatnya seperti angin prahara, maka Glagah Putipun benar-benar mampu mengimbanginya. Ia tidak terdesak atau apalagi terlempar oleh hentakkan angin yang keras. Tetapi Glagah Putih menjadi sekokoh batu karang yang tidak terguncang sama sekali. Bahkan Glagah Putihpun kemudian telah mengimbangi lawannya dan menyerangnya seperti badai diluasnya samodra.
    Benturan-benturan yang terjadi memang telah mendesak Ki Rangga Wirataruna semakin lama semakin dalam membenamkan dipasukannya.
    Glagah Putih tidak memburunya mendahuluinya garis pe-rangsebagaimana dilakukan oleh Swandaru. Namun ketika Ki Rangga untuk sementara berada di antara pasukannya, maka Galagah Putih seakan-akan telah menyapu prajurit-prajurit lawan yang menyerangnya. Pengaruh Agung Sedayu nampak sekali pada anak muda itu. Ia tidak sengaja ingin membunuh. Tetapi jika kematian itu datang pada lawannya, maka itu adalah satu kecelakaan yang terbiasa terjadi di peperangan.
    Sebenarnyalah jika Glagah Putih sekedar ingin membantai orang, maka ia dapat menyerang dengan tenaga apinya, inti kekuatan air yang melampaui dinginnya minyak yang beku atau getar udara yang merontokkan isi dada. Tetapi Glagah Putih tidak menyerang mereka dari jarak jauh. Tetapi ia telah memu-tar pedangnya dengan dahsyatnya namun dalam pertempuran yang wajar dalam sikap seorang prajurit yang tanggon.
    Kelebihan para pemimpin dari Mataram hampir dise-gala medan di sayap kiri dan kanan itulah yang telah membuat pasukan Mataram berhasil mendesak lawan-lawannya di sayap betapapun lambatnya. Sementara itu, pasukan, induk Mataramlah yang masih saja mundur sambil mempertahankan diri.
    Dalam keadaan yang masih belum pasti itu, sepasukan prajurit berkuda Mataram yang berputar melingkar dan menyeberangi Kali Dadung, tiba-tiba saja telah berderap dengan lajunya di sebelah Timur Kali Dadung itu. Dengan kecepatan yang sangat tinggi, pasukan berkuda itu justru telah menyeberang ke Barat, memasuki arena pertempuran yang sangat riuh itu.
    Kedatangan pasukan berkuda itu agaknya tidak diperhitungkan oleh pasukan yang menyerang para prajurit Mataram itu. Karena itu ketika pasukan itu langsung menyerang induk pasukan lawan yang semula merasa mampu mendesak prajurit Mataram itu, mereka telah terkejut.
    Kedatangan pasukan itu demikian cepatnya sehingga pasukan lawan itu tidak sempat mengatur diri.
    Dengan demikian, maka pasukan lawan itu telah terjebak pada gerak maju mereka. Pasukan sayap mereka yang kemudian harus bertahan atas serangan lambung, tidak dengan cepat dapat membantu, karena kekuatan pasukan sayap Mataram yang justru semakin mendesak mereka.
    Namun dalam pada itu, Swandaru benar-benar telah mengalami kesulitan. Ia telah terjebak dalam kubu pertahanan lawan. Karena itu, maka keduahyapun telah menjadi semakin rumit.
    Ketika Untara mendengar laporan itu, maka iapun telah menggeram. Ia memang menjadi marah terhadap Swandaru yang tidak memenuhi paugeran keprajuritan. Namun ia tidak dapat membiarkannya diseret oleh arus kekuatan lawan.
    Karena itu, maka diperintahkannya sekelompok prajurit Mataram yang memang sedang membayanginya untuk bersama-sama dengan sekelompok pengawal Tanah Perdikan untuk mengambilnya.
    Kekisruhan di induk pasukan, sorak sorai yang hampir meruntuhkan langit, agaknya membantu suasana. Para prajurit yang sedang menyerang itu memang telah terpengaruh oleh keadaan induk pasukan mereka yang menjadi kacau karena serangan sekelompok pasukan berkuda yang tiba-tiba saja muncul, justru dari sebelah Timur Kali Dadung.
    Dengan gerak yang cepat dan keberanian yang tinggi, sekelompok pasukan pilihan Mataram serta sekelompok pengawal dari Sangkal Putung telah menembus memasuki pertahanan lawan, mendahului garis perang yang memang bergeser. Gerakan yang tiba-tiba itu ternyata telah mampu menembus dan membuat celah-celah diantara pasukan lawan.
    Para pengawal yang semula ikut mendukung gerak maju Swandaru mampu menunjukkan tempat Swandaru yang bertempur diantara lawan-lawannya meskipun memerlukan waktu, karena Swandaru telah bergeser dari tempatnya.
    Seorang pengawal Sangkal Putung yang kebetulan menyentuh tubuh kawannya yang terbunuh terkejut. Iapun tiba-tiba telah berteriak tentang kawannya yang terbunuh itu.
    Dua orang mencoba mengangkat tubuh itu dibawah perlindungan para pengawal yang lain dan sekelompok prajurit pilihan dari Mataram.
    Ternyata dua kelompok prajurit itu datang tepat pada waktunya. Keadaan Swandaru telah menjadi sangat parah. Meskipun ia masih mampu memutar cambuknya pada tataran Ilmu cambuk yang tinggi, namun Swandaru sendiri telah terluka dibeberapa tempat.
    Dua orang pengawal berteriak menyebut namanya ketika keduanya mendekatinya, sementara yang lain telah menyibak setiap prajurit lawan yang mendekat.
    “Swandaru.“ panggil seorang pengawal, “cepat, tinggalkan tempat itu.”
    “Persetan.” geram Swandaru. Meskipun tenaganya sudah mulai susut oleh darah yang mengalir dari luka-lukanya, justru membuatnya seperti orang yang kehilangan akal karena kemarahannya.
    “Dengar perintah Pangeran Singasari.“ terdengar Senapati prajurit Mataram yang datang untuk membebaskannya, “jika kau tidak mau mendengaar, maka kau tidak lagi terhitung seseorang yang berada dibawah perintahnya. Dengan sendirirrya kau tidak lagi berbuat sesusatu bagi Panembahan Senapati.”
    Perintah Senapati ternyata telah menyentuh hati Swandaru. Karena itu, ketika Senapati itu memerintahkannya sekali lagi, maka Swandaru memang mulai bergerak menyesuaikan diri.
    Dengan cepat sekelompok prajurit Mataram pilihan itu bersama sekelompok pasukan pengawal telah membawa Swandaru bergeser mundur. Sementara dua orang pengawal telah membawa seorang pengawal yang terbunuh ke belakang garis pertempuran.
    Beberapa saat medan itu memang bergejolak. Namun ketika Swandaru berhasil diselamatkan, maka terasa betapa ia sudah mengerahkan segenap kemampuannya. Tenaganya seakan-akan tiba-tiba telah menyusut, sementara darah masih saja meleleh dari luka-lukanya.
    “Bawa ke belakang garis pertempuran.” perintah Untara.
    Ketika Swandaru akan membantah, suara Untara menjadi berat. “Dengan perintahku.”
    Dibantu oleh beberapa orang Swandaru telah dibawa kebelakang garis pertempuran. Namun sebenarnayalah, ia telah berhasil mengurangi jumlah lawan cukup banyak.
    Dalam pada itu,keseimbanganpertempuranpuntelahbenar-benar berubah. Terutama di induk pasukan, Kedatangan pasukan berkuda justru dari belakang pasukan lawan, benar-benar telah memecah perhatian. Bukan saja pada saat benturan kekerasan terjadi antara pasukan itu dengan para prajurit berkuda pilihan dengan tombak panjang ditangan, namun para prajurit Mataram yang berada di induk pasukan itu telah bangkit pula. Mereka seakan-akan telah dijalari oleh kekuatan baru sehingga mereka bukan saja sekedar bertahan dengan bergerak surut. Tetapi merekapun dengan tangkasnya telah mengoyak garis perang.
    Para Senapati tidak saja berada di belakang pasukannya dengan meneriakkan aba-aba. Tetapi mereka langsung turun ke medan dengan garangnya.
    Pasukan yang menyerang Mataram terlepas dari kendali Panembahan Mas di Madiun itu benar-benar mengalami kesulitan. Dalam waktu dekat, mereka telah banyak kehilangan.
    Karena itu, maka para pemimpin pasukan itupun tidak dapat meneruskan niatnya menghancurkan pasukan Mataram. Perhitungan mereka ternyata tidak sebagaimana kenyataan yang mereka hadapi. Meskipun jumlah mereka lebih banyak, namun hentakkan yang dilakukan Mataram telah membuat kekuatan mereka terpecah dan kehilangan keutuhan.
    Dengan demikian, maka untuk menyelamatkan prajurit yang tersisa, maka tidak ada pilihan lain dari para prajurit itu daripada menarik pasukannya meskipun senja masih belum turun.
    Terdengar isyarat yang bersahutan. Sejenak kemudian pasukan yang masih cukup kuat itu, telah bergerak mundur, mereka harus menyibak pasukan berkuda yang bergerak dengan cepatnya, menyambar-nyambar dari segala arah.
    Tetapi ketika pasukan lawan itu bergerak mundur, maka terdengar isyarat dari Mataram, agar mereka tidak mengejar terus. Beberapa panah sendaren telah naik ke udara, menghentikan gerak maju pasukan Mataram yang membantu lawan.
    Para pemimpin Mataram memang tidak membiarkan prajuritnya mengambil keuntungan saat pasukan lawan itu mundur dan turun dari tanggul Kali Dadung.
    “Kita harus bersikap kesatria.“ berkata para Pemimpin pasukan yang berada di Mataram. “Karena itu jangan membidik punggung dengan anak panah selagi mereka menarik diri.“
    Memang tidak dapat dihindarkan benturan-benturan kecil yang masih terjadi. Tetapi pasukan Mataram itu berhenti di tanggul kali Dadung sambil menyaksikan pasukan lawan yang bergerak mundur. Namun menurut pengamatan para petugas sandi mereka tidak kembali memasuki kota Madiun.
    Dengan demikian, maka para prajurit Mataram menjadi semakin pasti, bahwa telah terjadi selisih pendapat yang sangat tajam diantara para pemimpin yang berada di Madiun.
    Beberapa saat kemudian, maka pertempuran itupun telah selesai. Para prajurit yang menyerang pasukan Mataram itupun seluruhnya telah ditarik.
    Namun mereka ternyata telahmeninggalkankawan-kawan mereka yang gugur dan terluka parah. Memang ada beberapa orang yang sempat mereka bawa. Tetapi dalam keadaan yang tergesa-gesa, maka lebih banyak diantara mereka yang tertinggal.
    Panembahan Senapati yang ternyata berada diantara mereka yang datang berkuda telah memerintahkan untuk merawat mereka yang terluka dan mereka yang telah gugur dari kedua belah pihak. Baik para prajurit Mataram maupun para prajurit yang menyerang menyeberangi Kali Dadung itu.
    Tetapi persoalan yang dihadapi Mataram masih belum selesai. Persoalan mereka dengan Madiun masih tetap dapat meledak setiap saat, Karena itu, maka Mataram harus tetap berada dalam kesiagaan tertinggi.
    Menjelang senja, para prajurit Mataram justru menjadi sibuk merawat mereka yang terluka dari kedua belah pihak serta mengumpulkan mereka yang telah gugur. Mereka tidak berkesempatan membawa kawan-kawan mereka yang gugur kembali ke Mataram pada jarak yang demikian jauh. Karena itu, maka besok mereka harusmembukatanah kuburan baru yang cukup luas. Namun juga sebuah barak darurat yang panjang untuk menampung mereka yang terluka apalagi yang parah.
    Ternyata sampai gelap, para prajurit Mataram masih belum selesai. Dengan berpuluh-puluh obor mereka mencari kawan-kawan dan bahkan lawan, terutama yang luka. Mereka tidak ingin setiap kesempatan untuk tetap dapat hidup, luput dari perhatian mereka.
    Sementara itu, Agung Sedayu telah mendapat pemberitahuan bahwa adik seperguruannya telah terluka. Bahkan beberapa goresan telah mengoyak kulit dagingnya. Karena itu, bersama Glagah Putih atas ijin Ki Gede Menoreh, Agung Sedayu telah menyeberang dari sayap kiri ke sayap kanan.
    Dengan cemas, Agung Sedayu dan Glagah Putih kemudian telah duduk disisi Swandaru yang terbaring. Namun Swandaru sama sekali tidak mengeluh. Bahkan sama sekali tidak menunjukkan keadaannya yang sulit oleh luka-lukanya itu.
    Untara yang juga menunggu Swandaru sempat berceritera kepada Agung Sedayu apa yang terjadi. Swandaru ternyata telah melanggar gerak pasukan sehingga melampaui garis perang dan berada didalam lingkungan lawan.
    Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia mengerti sifat Swandaru, sehingga ia tidak menolak keterangan Untara. Bahkan ia cenderung untuk yakin, bahwa Swandaru memang melakukannya.
    Namun dalam pada itu, Swandaru berkata, ”Lukaku tidak seberapa.”
    “Kau sudah mendapat perawatan sehingga darahmu sudah pampat.“ sahut Untara, ”meskipun demikian kau masih tampak pucat. Karena itu kau memerlukan waktu untuk beristirahat satu dua hari. Dengan demikian maka kekuatanmu akan menjadi pulih kembali.”
    Swandaru tidak menjawab. Tetapi hatinya menolak keterangan Untara itu. Ia merasa sanggup untuk bangkit dan memasuki medan hari itu juga seandainya diperlukan.
    Ketika kemudian Untara meninggalkannya, maka Swandaru berkata kepada Agung Sedayu sambil tersenyum, “Kau percaya kepada ceriteranya?”
    Tetapi jawaban Agung Sedayu membuat Swandaru kecewa. Katanya, “Ya aku percaya.”
    “Kau percaya bahwa aku harus beristirahat satu dua hari hanya dengan goresan-goresan luka seperti goresan ujung lidi itu? Apakah kau percaya bahwa sekarang aku tidak dapat bangkit dan menguji kekuatanku melawan siapapun juga?“ geram Swandaru itu.
    “Aku percaya bahwa kau harus beristirahat.“ berkata Agung Sedayu, “kau pucat dan lemah. Kau harus mengerti apa yang sedang terjadi atas dirimu.”
    Swandaru mengerutkan keningnya. Ia tidak mendengar Agung Sedayu berbicara sekeras itu. Bahkan Agung Sedayupun berkata selanjutnya, “Adi Swandaru. Kau berada dalam satu kesatuan pasukan yang besar. Kau tidak boleh bertindak sendiri tanpa menghiraukan keseluruhan medan. Kau terbiasa bergerak dalam kelompok-kelompok kecil dan benturan-benturan kekerasan yang terjadi antara beberapa orang. Tetapi dalam sebuah pasukan yang besar, kau harus menyesuaikan diri, karena kesalahan seseorang akan dapat berakibat jauh bagi seluruh kesatuan.”
    Swandaru tiba-tiba saja telah bangkit. Agung Sedayu mencoba menahannya untuk tetap berbaring. Tetapi Swandaru kemudian duduk sambil berkata, “Kakang, aku ingin menunjukkan kepada kakang bahwa aku tidak apa-apa. Aku dapat bangkit berdiri dan bahkan bertempur sekarang juga.”
    “Tidak.“ jawab Agung Sedayu, “kau tidak dapat melakukannya. Luka-lukamu akan dapat berdarah lagi.”
    “Lukaku tidak seberapa. Kenapa semua orang ribut tentang lukaku?“ justru Swandaru bertanya, “aku sendiri tidak pernah mempersoalkannya.”
    “Karena kau tidak tahu apa yang sebenarnya atasmu.“ berkata Agung Sedayu.
    “Kau jangan memperbodoh aku kakang.” berkata Swandaru.
    “Tidak.“ jawab Agung Sedayu, “sebenarnya kau tidak boleh terlalu banyak bergerak. Tetapi jika kau tidak percaya, dan kau ingin membuktikannya, apaboleh buat.”
    Wajah Swandaru menjadi merah. Ia merasa asing berhadapan dengan Agung Sedayu saat itu. Agung Sedayu itu rasa-rasanya bukan Agung Sedayu yang dikenalnya selama itu.
    Tetapi Agung Sedayu memang tidak dapat berbuat lain. Sebagai saudara tua ia merasa bertanggung jawab atas tingkah laku Swandaru. Ia bukan saja segan terhadap Untara, kakaknya, tetapi juga kepada Singasari.
    Dalam pada itu, dengan geram Swandaru bertanya, “Apa maksudmu kakang.”
    “Aku ingin kau membuktikannya. Jika tidak percaya, bahwa gerak yang terlalu banyak akan dapat membuka lagi lukamu, maka kau dapat mencobanya. Kau dapat melakukan gerakan-gerakan dengan mengerahkan tenagamu. Meloncat-loncat berputaran dan apa saja ditempat ini. Maka dalam waktu singkat, maka luka-lukamu akan berdarah lagi.“ berkata Agung Sedayu.
    Swandaru memandang Agung Sedayu sejenak. Ia memang ragu-ragu. Tetapi Swandaru nampaknya segan menarik perkataan yang sudah diucapkan. Karena itu, maka katanya, “Baik. Aku akan membuktikannya.”
    Tetapi Agung Sedayu benar-benar bersikap lain dari kebiasaannya. Katanya, “Lakukan. Aku menjadi saksi.”
    Swandaru memandang Agung Sedayu dengan tajamnya. Namun tanpa menghiraukan apapun juga, tiba-tiba saja ia telah meloncat bangkit berdiri. Kemudian Swandaru telah berloncat dengan garangnya. Dengan tangkasnya ia menggerakkan tangan dan kakinya. Dikerahkannya tenaganya yang tersisa untuk menunjukkan bahwa ia bukan orang kebanyakan.
    “Seharusnya kakang Agung Sedayu mengetahui.” berkata Swandaru didalam hatinya.
    Beberapa saat kemudian Swandaru telah mengerahkan tenaganya yang tersisa. Keringatnya dengan cepat terperas dari tubuhnya. Bukan saja karena geraknya yang mengerahkan tenaga dan kekuatannya, tetapi Swandaru mulai bertahan terhadap perasaan nyeri dan pedih yang menyengat tubuhnya.
    Dalam pada itu, selagi Swandaru mengerahkan tenaganya disaksikan oleh beberapa pengawal Sangkal Putung yang tidak berani menegurnya, Untara telah datang kembali sambil berkata lantang, “Apa artinya ini. He Agung Sedayu. Apakah kau sudah kehilangan akal dengan membiarkan Swandaru bergerak dengan sepenuh tenaga?“
    “Swandaru ingin membuktikan bahwa dengan demikian tidak akan terjadi apa-apa atas dirinya.” jawab Agung Sedayu.
    “Hentikan permainan gila itu.“ geram Untara, “kau dengar permintaanku Agung Sedayu.”
    “Aku akan menghentikannya setelah ia berhasil meyakinkan aku.“ jawab Agung Sedayu.
    Wajah Untara menjadi sangat tegang. Ia kenal Agung Sedayu sejak masa kanak-kanaknya, karena Agung Sedayu adalah adiknya. Tetapi Agung Sedayu tidak pernah berbuat demikian. Apalagi menyangkut keselamatan orang lain. karena itu, maka iapun telah berkata lantang, “Swandaru, hentikan. Agung Se-dayu, aku perintahkan agar kau menghentikan adik seperguruanmu.“
    “Tidak ada gunanya.“ berkata Agung Sedayu, “ia tidak akan berhenti.“
    “Tetapi, lihat. Darah itu makin mengalir dari lukanya.“ berkata Untara.
    “Itulah yang ingin aku buktikan kepadanya. Kita berselisih pendapat. Ternyata akulah yang benar. Bahkan gerakan yang mengerahkan tenaga akan dapat membuka lukanya kembali. Tetapi ia tidak percaya.“ jawab Agung Sedayu.
    “Tetapi sekarang berhenti. Berhenti. Darah itu telah mengalir lagi. Justru lebih banyak dari semula.” Untara hampir berteriak.
    Swandarupun mulai menyadari, bahwa darah telah meleleh lagi dari luka-lukanya. Semakin lama semakin banyak. Sementara itu Agung Sedayu berdiri dengan wajah tegang.
    Swandaru yang masih lemah itu, akhirnya mulai kehabisan tenaga. Sementara darah mengalir semakin banyak dari luka-lukanya yang membuka lagi. Bahkan tenaga Swandarupun semakin lama menjadi semakin lemah sehingga akhirnya, iapun tidak lagi dapat berdiri tegak.
    Untara yang marah sekali itu justru seakan-akan terbungkam melihat keadaan Swandaru. Namun ketika orang itu terhuyung-huyung tanpa dapat mempertahankan keseimbangannya lagi, Agung Sedayu telah menangkapnya dan perlahan-lahan membaringkannya.
    “Kita sudah membuktikannya.“ berkata Agung Sedayu.
    Swandaru tidak dapat menjawab lagi. Darah memang telah meleleh dari lukanya.
    Dengan cepat Agung Sedayu kemudian telah membersihkan darah dari tubuh Swandaru. Bajunya telah dibuka dan dengan cekatan Agung Sedayu telah mengobati luka-luka yang membuka lagi itu dengan obat-obat yang dibawanya. Sebagai murid Kiai Gringsing yang ahli dalam hal obat-obatan, maka Agung Sedayupun mempunyai kemampuan yang cukup baik. Apalagi Agung Sedayu nampaknya juga berminat untuk mempelajari ilmu obat-obatan.
    Swandaru terbaring dengan lemahnya. Ketika obat Agung Sedayu ditaburkan di luka-lukanya, maka luka-luka yang membuka lagi itu terasa panas. Namun kemudian perlahan-lahan menjadi sejuk dan bahkan tidak lagi terlalu nyeri.
    “Kita sudah membuktikan.” berkata Agung Sedayu pula. Swandaru tidak menjawab. Namun Untaralah yang bergumam, “Satu cara yang sangat berbahaya.“
    “Aku tidak mempunyai cara lain kakang.“ jawab Agung Sedayu.
    Untara menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak mengira bahwa pada suatu saat adiknya dapat berbuat demikian kerasnya. Namun justru karena ia lebih banyak dibayangi oleh keragu-raguan itulah, maka pada suatu saat, jantungnya menjadi bagaikan tidak terkendali lagi.
    Sementara itu, selain obat yang ditaburkan, Agung Sedayupun telah memberikan serbuk obat yang dicairkannya dengan air. Dengan nada dalam Agung Sedayu itupun berkata, “Obat ini akan membantu memulihkan kekuatanmu. Tetapi dengan tingkah lakumu baru-baru saja ini, kau tidak hanya harus beristi-rahat satu dua hari. Tetapi kau harus beristirahat kira-kira sepekan. Itupun aku harus selalu memberikan obat cair seperti ini untuk membantu mempercepat pulihnya tenagamu.“
    “Sepekan?“ bertanya Swandaru. Namun bagaimanapun juga, suaranya telah menjadi lemah.
    “Ya. Kau telah memaksa dirimu untuk melakukan sesuatu di luar batas kemampuan wadagmu.“ berkata Agung Sedayu.
    “Tetapi sebelumnya aku tidak merasa apa-apa.“ berkata Swandaru.
    “Jika benar demikian, maka penggraitamulah yang kurang tajam. Seharusnya kau dapat menilai dirimu sendiri. Tetapi kemampuan itu, maka kau akan mengalami kesulitan seperti ini. Kaupun tidak mengerti, bahwa kedudukannya diantara prajurit lawan itu mengalami kesulitan, sehingga kau harus dipaksa untuk mundur dengan prajurit Pangeran Singasari. Sebenarnya itu tidak perlu. Kau bukan melakukan sesuatu yang berarti bagi seluruh pasukan, tetapi kau justru telah merepotkannya. Sekelompok prajurit yang seharusnya dapat melakukan tugas lain, harus menyabung nyawanya, menerobos memasuki pasukan la-wan untuk mengambilmu.“ berkata Agung Sedayu.
    Swandaru tidak menjawab. Ia memang merasa tubuhnya terlalu lemah. Tetapai bagaimanapun juga, ia tidak dapat begitu saja menerima kata-kata itu.
    Meskipun demikian, ia telah kalah bertaruh dengan Agung Sedayu. Ketika ia bergerak mengerahkan tenaganya, maka lukanya benar-benar telah terbuka dan darah telah mengalir lagi. Sementara tubuhnya cepat menjadi lemah dan tidak bertenaga. Seandainya hal itu terjadi dimedan pertempuran, maka agaknya ia tidak akan mampu lagi melindungi dirinya sendiri meskipun dengan ilmu cambuk yang sempurna sekalipun.
    Saat itu Swandaru memang tidak menjawab. Namun di dalam hatinya telah mengeras tekad, bahwa ia harus membuktikan bahwa ia lebih baik dari Agung Sedayu dalam segala hal. Ia menghormati Agung Sedayu karena Agung Sedayu telah hadir dalan keadaan demikian sebagai kakak seperguruannya. Sebagai saudara muda, Swandaru memang tidak dapat berbuat lain kecuali menerimanya senang atau tidak senang.
    Apalagi saat itu Agung Sedayu ada disamping kakaknya, yang kebetulan adalah seorang Senapati Mataram yang mendaat kepercayaan dari Pangeran Singasari. Panglima pasukan fataram di sayap kiri.
    “Kali ini aku memang harus diam.“ berkata Swandaru didalam hatinya, ”jika aku membantah, keadaanku akan semakin sulit. Selain Agung Sedayu dan Untara dapat melaporkan kepada Panglima di sayap ini, merekapun dapat melaporkan kepada guru, sehingga guru akan menilai bahwa aku tidak patuh terhadap pimpinan pasukan. Tetapi pada saatnya kakang Agung Sedayu harus melihat kenyataan bahwa aku memang memiliki kemampuan dan ilmu yang lebih baik dari saudara tuaku itu.“
    Dalam pada itu, untuk beberapa lama Agung Sedayu telah berniat untuk menunggu adik seperguruannya. Karena itu, ia minta Glagah Putih untuk kembali ke sayap kiri, memberitahukan kepada Ki Gede, bahwa ia masih belum dapat kembali.
    Glagah Putih yang kembali ke sayap kiri, telah melaporkan apa yang terjadi atas Swandaru. Bahkan Swandaru menurut keterangan Untara, telah melanggar garis pertempuran sehingga terjebak kedalam pasukan lawan.
    “Untunglah bahwa kakang Untara sempat memerintahkan sekelompok prajurit yang telah siap untuk mengambilnya bersama sekelompok pengawal dari Sangkal Putung.“ berkata Glagah Putih.
    Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Memang sulit untuk menguasai Swandaru. Apalagi Swandaru memang memiliki ilmu yang tinggi, sehingga apabila ia sudah menentukan niatnya untuk berbuat sesuatu, maka sulit bagi orang lain untuk mencegahnya, kecuali kakak seperguruannya.
    Ketika Glagah Putih menceriterakan sikap Agung Sedayu atas adik seperguruannya itu, maka Ki Gedepun menjadi heran pula, bahwa Agung Sedayu dapat juga bersikap keras pada suatu saat terhadap adik seperguruannya itu.
    Namun Ki Gede yang kaya dengan pengalaman itu merasa cemas juga, bahwa sikapnya itu membuat Swandaru menjadi tidak senang dan pada suatu saat ingin membuktikan kelebihannya dari Agung Sedayu.
    “Tetapi bukankah kakang Agung Sedayu mempunyai banyak kelebihan dari kakang Swandaru yang sebenarnya masih belum dapat diperbandingkan itu?“ bertanya Glagah Putih.
    “Tetapi kakakmu Agung Sedayu tentu akan selalu mengelak jika Swandaru memaksanya untuk melakukan perbandingan ilmu.“ berkata Ki Gede.
    “Jika kakang Agung Sedayu menolak, biarlah aku saja yang melakukannya.“ jawab Glagah Putih.
    “Kau tidak dapat berbuat begitu.“ berkata Ki Gede dengan nada rendah. Lalu katanya pula, “Jika demikian akan dapat terjadi persoalan lain.“
    “Tetapi kadang-kadang jantung ini tidak tahan lagi ketika telingaku mendengar kata-katanya.“ sahut Glagah Putih.
    “Hari ini ia mendapat sedikit peringatan dari sikap Agung Sedayu, meskipun Swandaru harus menghukum dirinya sendiri dengan keangkuhannya.“ gumam Ki Gede, “tetapi biarlah kedua orang saudara seperguruan itu menyelesaikan persoalan mereka. Apalagi guru mereka masih ada. Kiai Gringsing tentu akan dapat mencari jalan yang sebaik-baiknya bagi kedua muridnya yang ternyata memiliki sikap yang sangat berbeda itu.“
    Glagah Putih tidak menjawab. Ia menyadari kebenaran keterangan Ki Gede. Karena itu, maka Glagah Putih pun telah minta diri kepada Ki Gede untuk bergabung dengan Prastawa dan para pengawal.
    “Kau tidak pergi ke sayap kanan lagi?“ bertanya Ki Gede.
    “Kakang Agung Sedayu tidak berpesan demikian Ki Gede.“ Jawab Glagah Putih. Sebenarnyalah bahwa iapun merasa sangat segan untuk pergi ke sayap kanan. Ia merasa bahwa jika ia melihat Swandaru, jantungnya terasa berdenyut semakin cepat. Karena itu, jika ia terlalu lama berbincang dengan anak Demang Sangkal Putung itu, maka pada suatu saat ia akan dapat kehilangan kendali perasaannya.
    Demikianlah, maka sejenak kemudian, Glagah Putih telah berada diantara para pengawal Tanah Perdikan. Mereka sama sekali tidak kehilangan kewaspadaan menghadapi perkembangan keadaan, karena merekapun menyadari, bahwa persoalan yang sebenarnya antara Mataram dan Madiun masih belum terpecahkan.
    Namun dalam pada itu, diinduk pasukan memang terdapat beberapa perbedaan pendapat meskipun tidak setajam yang terjadi di Madiun. Adipati Pati setiap kali menyatakan kekecewaannya bahwa perang itu tidak sebagaimana diharapkan,. Kalah atau menang, namun seharusnya mereka turun kemedan sebagai ksatria-ksatria yang memang menyandang sifat-sifat seutuhnya. Tetapi utusan yang telah dikirim oleh Mataram sebelumnya agaknya telah membuat perjuangan itu ternoda.
    “Kita tidak dapat mengorbankan terlalu banyak orang.“ berkata Ki Patih Mandaraka, “dengan sedikit akal, kita telah menyelamatkan beribu-ribu jiwa. Kadang-kadang kita memang dihadapkan kepada satu tantangan, seberapa tinggi kita menghargai jiwa seseorang dibandingkan dengan harga diri kita.“
    Panembahan Senapati sendiri sebenarnya juga merasa bahwa mereka tidak akan dapat menepuk dada dalam kemenangan yang telah dicapainya atas pecahan pasukan yang berada di Madiun.
    Namun setiap kali terngiang pertanyaan Ki Patih Mandaraka tentang seberapa tinggi nilai jiwa seseorang itu. Peperangan yang akan dapat mencapai kemenangan tanpa membantai beribu-ribu orang tanpa belas kasihan.
    Memang terbayang dirongga mata para pemimpin Mataram, bahwa jika seseorang didalam satu keluarga harus meninggalkan mereka untuk selama-lamanya, maka seluruh keluarga itu telah diliputi oleh kepedihan, duka dan rasa sepi. Dipeperangan beratus bahkan beribu orang mati tanpa setitik air mata-pun yang mengantar mereka. Tetapi jauh dari medan, perempuan dan anak-anak menangis sambil berguling-guling ditanah jika mereka mendengar ayah, suami atau anak mereka mati dipeperangan.
    “Apakah kita telah melakukan satu dosa jika kita berusaha mengurangi kematian di medan perang?“ bertanya Ki Patih Mandaraka.
    Pertanyaan itu memang tidak dapat dijawab. Tetapi ada sesuatu yang kurang mapan didalam hati. Tetapi perbedaan pendapat di kalangan para pemimpin Mataram itu tidak meruncing sehingga memecahkan keutuhan pasukan sebagaimana terjadi di Madiun.
    Dalam pada itu. beberapa laporan petugas sandi memang memberikan keterangan tentang pasukan yang semakin susut di Madiun. Beberapa kelompok prajurit yang tidak sekuat pasukan yang telah mencoba menghancurkan pasukan Mataram tetapi gagal itu, telah meninggalkan Madiun kembali ke daerah mereka masing-masing.
    Sementara itu, para pemimpin Mataram telah memerintahkan kesatuannya untuk tetap bersiaga. Tetapi dalam pada itu, telah turun pula perintah kepada para petugas di belakang garis perang untuk mengumpulkan barang-barang yang tidak dipergunakan.
    “Mataram harus memberikan kesan, bahwa Mataram akan meninggalkan perkemahan ini.” perintah itu merambat dari atas turun sampai ke pimpinan prajurit yang bertanggung jawab atas kelengkapan dan perlengkapan pasukan.
    “Siapa yang membocorkan rahasia dapat dianggap pengkhianat.“ berkata Senapati yang memimpin kelompok yang bertanggung jawab atas perlengkapan pasukan Mataram.
    Dengan demikian memang timbul kesan, bahwa pasukan Mataram telah memuat beberapa macam perlengkapan kedalam pedati-pedati seakan-akan pasukan Mataram memang akan meninggalkan perkemahan itu.
    Kesan yang timbul dari sikap Mataram yang seakan-akan telah siap meninggalkan perkemahan itu, segera sampai ke Madiun pula. Dengan demikian maka Madiun menjadi semakin memperlonggar kesiagaannya. Bahkan beberapa orang pemimpin merasa yakin bahwa Mataram tidak akan berani mengusik Madiun.
    Apalagi ketika beberapa buah pedati telah meninggalkan perkemahan itu menuju ke Barat dengan muatan penuh. Namun para petugas sandi Madiun tidak pernah melihat, apakah isi pedati-pedati itu.
    Sementara itu, Agung Sedayu masih tetap berada di sayap kanan menunggu adik seperguruannya. Untuk dua hari, nampaknya tidak ada perkembangan yang menarik dalam hubungannya dengan pertentangan antara Mataram dan Madiun. Bahkan laporan ke Madiun selalu mengabarkan bahwa Mataram perlahan-lahan telah menarik pasukannya.
    Seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu, maka keadaan Swandaru masih belum pulih dalam waktu dua hari itu. Namun dengan obat yang diberikan oleh Agung Sedayu, maka rasa-rasanya perkembangan tenaganya menjadi semakin baik.
    Ketika malam mulai membayang dihari kedua, Swandaru yang telah mulai bangkit dari pembaringannya berkata, “Kakang tidak perlu menunggui aku terus menerus. Aku sudah dapat melakukan apapun sendiri. Aku jangan diperlakukan seolah-olah anak yang cengeng sebagaimana kakang diwaktu remaja.“
    Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun ia memang melihat bahwa keadaan Swandaru menjadi semakin baik. Asal saja ia tidak menjadi mabuk dan kehilangan akal lagi, maka ia tidak akan mengalami kesulitan lagi sampai suatu saat tenaganya pulih kembali.
    Karena itu, maka katanya, ”Baiklah. Jika kau sudah merasa dirimu lebih baik. Kau memang sudah dapat melakukan kebiasaanmu sehari-hari tanpa bantuan orang lain. Tetaoi jika kau kembali kehilangan kendali atas dirimu maka kau akan mengalami hal yang sama. Dan kau harus beristirahat lagi sepekan atau lebih.“
    Swandaru tidak menjawab. Tetapi ia merasa tidak sedang mendengar nasehat itu, yang hanya pantas diberikan kepada anak-anak nakal yang tidak tahu diri.
    Tetapi Swandaru tidak menjawab. Ia tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa ia memang telah kehilangan kendali.
    Demikianlah, maka Agung Sedayupun telah minta diri kepada Untara untuk kembali ke sayap kiri.
    “Aku titipkan Adi Swandaru kepada kakang Untara.“ berkata Agung Sedayu, “yang aku lakukan saat ini adalah atas nama perguruanku. Aku adalah saudaratuanya.“
    Untara mengangguk sambil menjawab, “baiklah, bukankah adi Swandaru masih harus beristirahat, dua atau tiga hari lagi?“
    “Ya. Jika dalam dua atau tiga hari lagi kita semuanya sudah harus kembali ke Mataram, maka adi Swandaru tidak akan pernah berbuat apa-apa lagi disini.“ berkata Agung Sedayu.
    Ternyata bahwa hati Untara justru menjai lebih lunak dari Agung Sedayu. Katanya, “Jika kita harus kembali dalam dua tiga hari ini, bukan saja Adi Swandaru. Tetapi kita semuanya tidak sempat berbuat apa-apa lagi.“
    Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab. Bahkan iapun kemudian telah minta diri kepada kakaknya, “Baiklah kakang. Aku mohon diri. Mohon disampaikan pula kepada Pangeran Singasari bahwa aku kembali ke sayap kiri.“
    Lalu katanya Swandaru, “Beristirahatlah sebaik-baiknya agar keadaanmu segera pulih kembali. Tenaga dan kemampuanmu diperlukan oleh Mataram pada saat semacam ini. Jangan kau hambur-hamburkan tanpa arti.”
    Swandaru masih saja tidak menjawab. Tetapi ia mengangguk kecil.
    Sejenak kemudian, maka Agung Sedayupun telah kembali ke sayap kiri. Ketika ia melintasi pasukan induk, maka ia melihat pasukan-pasukan dari berbagai Kadipaten masih saja bersiaga sepenuhnya. Namun iapun melihat beberapa pedati yang telah penuh dengan muatan dan siap untuk berangkat. Tetapi Agung Sedayu tahu pasti bahwa yang dimuat oleh para prajurit Mataram dalam pedati itu bukan barang-barang penting serta perlengkapan perang prajurit Mataram.
    Sejenak kemudian maka AgungSedayu telah berada di sayapnya kembali. Ia langsung menghadap Ki Gede Menoreh untuk melaporkan kehadirannya itu.
    “Bagaimana dengan adik perguruanmu?“ bertanya Ki Gede.
    “Swandaru memerlukan peringatan yang agak keras Ki Gede.“ jawab Agung Sedayu. Lalu katanya pula, “Ia harus mendapat tuntunan menghormati orang lain. Apalagi dalam hubungan yang berkaitan satu dengan yang lain. Ia tidak dapat bertindak atas dasar kemauan dan keinginannya sendiri.“
    Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, ”Aku sudah mendengar dari Glagah Putih, apa yang telah kau lakukan. Bahkan aku sempat bergeremang, bahwa bukan kebiasaanmu berbuat seperti itu.“
    “Aku mengerti Ki Gede. Tetapi aku memang harus memaksa diri. Aku tidak mempunyai kesempatan untuk berpikir panjang untuk menemukan cara yang barangkali lebih baik.“ berkata Agung Sedayu kemudian.
    “Sudahlah.“berkata Ki Gede, ”Tetapi bukankah keadaan adikmu sudah berangsur baik sekarang ini?“
    “Ya Ki Gede.” jawab Agung Sedayu, ”dalam waktu dua hari lagi, maka ia tentu sudah pulih kembali. Apalagi jika Swandaru dengan rajin menata pernafasannya setiap ada kesempatan.”
    Ki Gede mengangguk-angguk pula sambil berkata, “Obat yang kau berikan tentu akan mempercepat kesembuhannya.“
    “Untuk sementara aku masih dapat berlindung dibalik nama guru. Atas nama guru karena aku adalah saudara tua seperguruannya. Tetapi yang harus aku pikirkan selanjutnya adalah keinginan Adi Swandaru untuk melakukan perbandingan ilmu. Apalagi sekarang. Jika ia tersinggung oleh sikapku, maka keinginan itu tentu akan menjadi semakin mendesak jantungnya.“ berkata Agung Sedayu.
    “Kaulah yang harus bersabar.“ berkata Ki Gede, “sebagaimana sikap yang selalu kau tunjukkan sampai saat ini. Dengan demikian maka tidak akan terjadi sesuatu antara kalian bersaudara.“
    Agung Sedayu mengangguk. Ia memang masih tetap pada sikapnya untuk tidak melakukan perbandingan ilmu dengan Swandaru. Meskipun ia sadar, bahwa jarak yang semakin jauh antara ilmunya dengan ilmu Swandaru akan dapat pada suatu saat mematahkan gelora didada adik seperguruannya jika tiba-tiba saja ia harus melihat kenyataan itu.
    Namun untuk sementara Agung Sedayu memang harus mengesampingkan persoalannya dengan persoalan adik seperguruannyaitu. Apalagi ketika ia kemudian mendengar dari Ki Gede, bahwa perintah dari pimpinan tertinggi di induk pasukan Mataram justru harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya untuk gerakan yang mungkin tiba-tiba saja harus dilakukan.
    Tetapi Agung Sedayu juga sempat melaporkannya bahwa di induk pasukan beberapa pedati telah diisi penuh dengan barang-barang. Barang-barang yang dimaksudkan untuk mengelabuhi para petugas sandi Madiun, seakan-akan pasukan Mataram benar-benar akan meninggalkan perbatasan setelah mengalami serangan yang parah.
    “Karena itu, banyak hal masih akan dapat terjadi disini.” berkata Ki Gede.
    Demikianlah, maka Agung Sedayupun kemudian telah mencari Glagah Putih yang ternyata ada diantara para pengawal bersama Prastawa. Dengan serta merta Glagah Putihpun telah bertanya tentang Swandaru dan akibat dari luka-lukanya.
    “Ia sudah berangsur baik. Dalam dua hari ini ia akan pulih kembali.“ sahut Agung Sedayu.
    “Ia telah kehilangan dua hari.“ desis Glagah Putih, ” kakang Swandaru tidak mau mendengar pendapat orang lain, sehingga karena itu, kadang-kadang dapat merugikan diri sendiri, bahkan orang lain.“
    “Mudah-mudahan yang terjadi itu diingat-ingatnya.“ berkata Agung Sedayu, meskipun sebenarnya Agung Sedayu sendiri ragu-ragu akan kata-katanya itu.
    Namun dalam pada itu, seluruh pasukan Mataram sama sekali tidak bergeser dari kesiagaannya.
    Tetapi di hari berikutnya, pasukan Mataram masih belum bergerak. Tetapi lima buah pedati telah berangkat meninggalkan perkemahan dengan muatan penuh. Berbagai macam peralatan yang sengaja ditampakkan mencuat dibagian belakang pedati.
    Ternyata usaha Mataram mengelabui Madiun serba sedikit berhasil. Beberapa orang Senapati Madiun menganggap bahwa Mataram benar-benar akan menarik diri dari perkemahannya. Bahkan beberapa orang pimpinan Madiunpun telah beranggapan seperti itu. Apalagi mereka yang mengerti, bahwa Panembahan Senapati yang diangkat menjadi putera Sultan Hadiwijaya di Pajang itu, dengan demikian telah menjadi kemenakan Panembahan Mas di Madiun.
    Dihari berikutnya, juga tidak terjadi perubahan keadaan. Namun Madiun justru menjadi semakin lengah. Beberapa buah pedati telah dipenuhi dengan barang-barang yang lain dan beberapa perkemahan nampaknya memang menjadi kosong.
    Pada hari berikutnya lagi jatuh perintah yang mengejutkan. Semua pasukan yang berada disayap kiri dan kanan akan ditarik ke induk pasukan.
    “Apa yang akan terjadi?” bertanya para pemimpin sayap pasukan sebelah menyebelah.
    Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Singasari tanpa perjanjian telah menghadap Panemahan Senapati untuk mendapat penjelasan perintah itu lebih jauh.
    Yang boleh mendengar pembicaraan itu hanya para pemimpin tertinggi sayap kiri sayap kanan dan para Adipati. Karena itu, maka hasil pembicaraan itu tetap menjadi rahasia bagi Mataram.
    Dengan tergesa-gesa, pasukan di sayap kiri dan disayap kanan telah mempersiapkan diri. Beberapa kelompok prajurit telah mendapat tugas khusus untuk melindungi barang-barang serta perlengkapan yang berada di sayap. Sedangkan yang lain telah disiapkan untuk memasuki induk pasukan. Dengan demikian maka Mataram tidak lagi mempergunakan gelar dengan sayap kiri dan kanan.
    “Apakah Panembahan Senapati akan mempergunakan gelar Gedong Minep untuk menggulung Madiun?“ desis seorang Senapati ditelinga kawannya.
    “Tentu tidak. Bukan watak Panembahan Senapati mempergunakan gelar Gedong Minep. Mungking gejar lain yang mirip, tetapi tidak memberikan kesan, bahwa pimpinan tertingginya memerlukan perlindungan seluruh pasukan. Mungkin Cakra Byuha atau bahkan Dirada Meta.” jawab kawannya.
    Tetapi dengan penuh kebimbangan para prajurit sehari penuh menunggu perintah berikutnya, namun seakan-akan mereka telah dibiarkannya saja. Tidak ada perintah dan tidak ada pemberitahuan apapun juga.
    Di induk pasukan, Agung Sedayu telah menemui Swandaru yang ternyata pulih kembali. Luka-lukanya memang belum sembuh benar. Tetapi sudah nampak mengering dan tidak akan terbuka lagi meskipun Swandaru harus mengerahkan kemampuannya. Tetapi sentuhan-sentuhan yang keras memang akan segera membuat luka itu kambuh lagi.
    “Kau harus minum obat itu sampai dua tiga hari lagi.“ berkata Agung Sedayu.
    “Aku sudah sembuh benar.“ berkata Swandaru.
    “Kulitmu yang sedang tumbuh pada bekas luka itu memerlukan obat pemacu sehingga akan segera pulih kembali tanpa menimbulkan noda. Tidak akan berwarna kehitam-hitaman atau bahkan kerut-kerut yang dapat membuat kulitmu cacat.“ berkata Agung Sedayu.
    “Aku seorang laki-laki kakang.“ berkata Swandaru, “jika’aku seorang perempuan, mungkin aku memerlukannya untuk menjaga agar aku berkulit halus.“
    “Kau mengajak aku bertaruh lagi?“ bertanya Agung Sedayu.
    Pertanyaan itu telah menyentuh perasaan Swandaru. Tetapi ia memang tidak dapati mengingkari kenyataan itu. Bahkan ia sadari bahwa ia akan dapat mati jika saat luka-luka itu terbuka lagi ia berada di tengah-tengah pertempuran.
    Karena itu, maka Swandaru tidak menjawab lagi. Namun demikian, didalam hati tersimpan niatnya untuk pada satu kesempatan dimanapun juga, menunjukkan kelebihannya kepada kakak seperguruannya itu.
    “Kakang Agung Sedayu harus melihat satu kenyataan tentang perbandingan ilmu kedua orang murid Orang Bercambuk. Ia tidak boleh sakit hati, bahwa meskipun ia lebih tua dalam susunan perguruan, tetapi ilmuku jauh lebih baik daripadanya.” katanya didalam hati.
    Ketika kemudian gelap malam turun, maka para prajurit dan para pengawal telah bertebaran di induk pasukan. Mereka seakan-akan dipersilahkan mencari tempat sendiri-sendiri kelompok demi kelompok, sementara pasukan yang telah lebih dahulu berada diinduk pasukan sama sekali tidak bergeser dari tempat mereka.

  19. Bagian II

    Beberapa kelompok prajurit Mataram memang tidak senang dengan perlakuan itu. Demikian juga para pengawal. Tetapi justru karena mereka menghormati para prajurit dan pengawal yang datang dari jauh, maka merekapun tidak menunjukkan perasaan mereka itu. Para Senapati dan para pemimpin kelompok berhasil meyakinkan para prajurit dan para pengawal agar mereka tetap menghormati para prajurit dan pengawal tamu bagi Mataram.
    Ketika malam menjadi semakin gelap, maka para prajurit itupun telah berbaring diperkemahan mereka masing-masing. Mereka yang datang dari sayap kiri dan sayap kanan telah berbaring pula ditempat-tempat yang telah mereka persiapkan dengan tergesa-gesa. Bahkan mereka telah menebar sampai agak jauh dari perkemahan sehingga cahaya obor tidak dapat menggapai mereka lagi.
    Tetapi ditengah malam, seluruh pasukan telah dibangunkan. Para Panglima dan Senapati telah memberikan perintah menurut tataran keprajuritan sehingga dalam waktu yang singkat, semua prajurit telah siap.
    Maka para prajurit dan pengawal itupun segera menyadari, bahwa mereka akan bergerak di malam hari.
    Tetapi masih juga ada pertanyaan, “Apakah pasukan ini akan kembali ke Mataram atau menuju ke Madiun yang telah berada didepan hidung mereka?“
    Namun akhirnya mereka mengerti, mereka akan menyerang Madiun yang nampaknya tertidur lelap.
    Demikianlah, maka pasukan Mataran itu bergerak dengan seluruh kekuatan yang ada. Hanya beberapa kelompok prajurit yang ditinggalkan sebagai kelompok-kelompok cadangan jika diperlukan sekali, merangkap menjaga perkemahan dan peralatan yang masih tertinggal.
    Dengan sangat berhati-hati, pasukan Mataram itu menyeberangi Kali Dadung. Kemudian merekapun telah merayap mendekati dinding kota Madiun.
    Meskipun jarakanya tidak jauh, tetapi gerakan itu memerlukan waktu yang cukup panjang. Pimpinan tertinggi pasukan Mataram ternyata telah membagi seluruh kekuatan menjadi dua bagian. Masing-masing akan memasuki kota Madiun dari arah yang berbeda.
    Madiun sementara itu nampaknya memang sedang lelap. Ada beberapa petugas yang berjaga-jaga. Tetapi karena sebagian besar para pemimpin mereka menduga bahwa Mataram sedang bersiap-siap untuk kembali ke Mataram, maka mereka memang menjadi lengah. Apalagi sebagian para prajurit yang berkumpul di Madiun telah meninggalkan Kota, karena diantara mereka terdapat ketidak sesuaian. Dengan demikian maka ada bagian dari pasukan itu yang tidak sabar dan dengan serta merta menyerang pasukan Mataram. Namun ternyata Mataram berhasil memukul mundur mereka dan bahkan pasukan itu telah meninggalkan Madiun tanpa singgah lagi ke kota.
    Dalam pada itu, maka seluruh pasukan yang telah terbagi itu perlahan-lahan merayap dalam kegelapan mendekati dinding kota.
    Pasukan pertama yang akan memasuki Madiun dari arah Utara dipimpin langsung oleh Panembahan Senapati. Kemudian pasukan yang lain dipimpin oleh Ki Patih Mandaraka. Adipati Pati dengan pasukannya yang kuat akan berada di pasukan kedua bersama Ki Patih didampingi oleh Pangeran Singasari. Sedangkan Adipati Pajang akan bersama dengan Panembahan Senapati dan Pangeran Mangkubumi, serta para pemimpin yang lain.
    Dengan demikian maka seluruh pasukan dari sayap kanan telah berada di pasukan kedua, sedangkan pasukan dari sayap kiri berada di pasukan pertama.
    Sebenarnyalah bahwa Swandaru merasa kecewa, bahwa ia tidak dapat berada dalam satu lingkungan bersama Agung Sedayu. Ia masih ingin mencari kesempatan untuk menunjukkan kelebihannya.
    “Jika aku belum melakukannya, maka kakang Agung Sedayu masih saja bersikap seperti seorang guru kepada muridnya.“ berkata Swandaru didalam hatinya, “ia memang dapat bertindak atas nama Guru karena ia adalah saudara tua dalam susunan keluarga perguruan, meskipun ia suami adikku. Tetapi jika ia melihat langsung kelebihan ilmuku, maka sikapnya tentu akan lain.“
    Tetapi Swandaru tidak mempunyai kesempatan untuk memilih. Ia harus berada dipasukan yang berbeda dengan Agung Sedayu.
    Demikianlah, maka kedua pasukan itu merayap .dengan sangat berhati-hati. Pasukan yang dipimpin oleh Ki Patih Mandaraka telah melingkar melalui daerah yang terbuka, tetapi terdiri dari bulak-bulak yang sangat luas. Mereka jarang sekali menemui padukuhan. Jika satu dua ditemuinya, maka padukuhan itu pada umumnya sudah kosong. Penghuninya mengungsi menjauhi kemungkinan buruk jika perang pecah.
    Sedangkan pasukan yang dipimpin oleh Panembahan Senapati menempuh jarak yang lebih pendek. Tetapi justru karena itu, mereka harus lebih berhati-hati. Jalan yang dilalui adalah jalan yang langsung menuju ke pintu gerbang disisi Utara. Karena itu, jalan itu tentu berada dibawah pengawasan. Betapapun lengah penjagaan di Madiun, namun pintu gerbang kota tentu tidak akan terbuka begitu saja tanpa penjagaan.
    Karena itu, maka Panembahan Senapati telah menunjuk empat orang prajurit dari pasukan khusus untuk mendahului pasukan. Keempat orang itu harus memberikan isyarat, tanda dan jika perlu melumpuhkan penjagaan disepanjang jalan yang akan dilalui.
    Ternyata bahwa perhitungan kedua pimpinan pasukan itu terpaut tepat seperti yang direncanakan. Pasukan Panembahan Senapati yang merayap perlahan-lahan, mendekati pintu gerbang disaat dini hari. Demikian pula pasukan yang dipimpin oleh Ki Patih Mandaraka yang mendekati pintu gerbang disisi selat-an.
    Kedua pasukan itu segera mempersiapkan segala peralatan yang diperlukan. Mereka yakin bahwa tidak mudah untuk me-mecahpintu gerbang. Karena itu, maka mereka telah mempersiapkan beberapa tangga dan bambu yang akan dipergunakan untuk memanjat.
    Ternyata Panembahan Senapati sebagaimana diusulkan oleh Ki Patih Mandaraka telah mempergunakan cara yang lunak untuk memasuki dinding kota. Pasukan Mataram tidak akan dengan keras menggempur pasukan Madiun yang menjaga pintu gerbang yang tertutup dan diselarak dengan balok-balok yang besar, sehingga akan dengan serta merta membangunkan seluruh pasukan. Dengan memanfaatkan kelengahan para petugas di Madiun, maka orang-orang Mataram akan menugaskan prajurit-prajurit dari pasukan khususnya untuk memasukidiri ding kota dengan tangga dan dengan diam-diam.
    Demikianlah sebelum matahari terbit, maka Panembahan Senapati telah memberikan isyarat kepada prajurit-prajurit dari pasukan khusus yang mendapat tugas untuk memasuki dinding, segera bergerak. Justru pada saat ayam jantan terdengar berkokok bersahutan. Suara ayam jantan itu adalah pertanda yang disepakati oleh Panembahan Senapati dan Ki Patih Mandaraka. Karena itu, maka pada saat yang bersamaan, maka pasukan khusus dari pasukan keduapun telah bergerak pula.
    Dengan sangat berhati-hati kedua pasukan itu telah melekatkan dua buah tangga di pasukan masing-masing. Mereka telah memilih tempat yang berada di bayangan pepohonan yang rimbun.
    Dengan sangat berhati-hati, beberapa orang prajurit pilihan dari pasukan khusus telah memanjat naik. Seorang yang pertama mencapai bibir dinding sempat memperhatikan keadaan disekeliling tempat itu. Ternyata mereka tidak melihat pasukan yang bersiap-siap meskipun mereka melihat beberapa orang yang berjaga-jaga dipintu gerbang.
    Karena itulah, maka seorang demi seorang para prajurit pilihan itu berloncatan masuk. Mereka harus bergerak cepat menyergap para petugas dipintu gerbang. Kemudian membuka selarak-selarak pintu.
    Para prajurit Mataram yang berada di luar dinding mengambil tempat tidak terlalu dekat. Mereka berusaha untuk menyamarkan diri diantara pohon-pohon perdu dalam kegelapan sisa malam. Masih ada kemungkinan peronda dari Madiun akan lewat di hadapan mereka. Berkuda atau berjalan kaki.
    Demikianlah, ternyata para prajurit pilihan dari Mataram itu telah berhasil memasuki benteng sesuai dengan jumlah yang diperhitungkan.
    Ketika segalanya telah siap, maka berdasarkan atas perhitungan waktu, maka pasukan Mataram itupun hampir bersamaan telah menyerang para petugas yang berada diregol gapura kota Madiun disisi Selatan dan disisi Utara.
    Serangan itu datang begitu tiba-tiba. Meskipun jumlah prajurit Mataram itu tidak terlalu banyak, namun para prajurit Madiun tidak sempat mengadakan perlawanan. Namun sebagian dari mereka sempat menarik diri dan membunyikan isyarat, Suara kentongan segera telah memecahkan kesenyapan fajar. Beberapa kentongan kecil telah berbunyi hampir berbareng dibelakang gerbang disisi Selatan dan Utara. Beberapa orang ternyata telah membunyikan kentongan sambil berlari.
    Beberapa gardu di jalan-jalan kota yang kebetulan berisi beberapa orang peronda telah mendengarnya. Suara isyarat kentongan dengan nada titir itupun segera telah disahut. Bahkan kemudian bersahut-sahutan. Suara kentongan yang menjalar diseluruh kota itulah yang kemudian telah mengejutkan para prajurit Madiun di barak mereka masing-masing. Dengan cepat mereka bersiaga di halaman barak untuk menunggu perintah selanjutnya.
    Isyarat itu memang agak membingungkan. Namun dengan, cepat para pemimpin dan Senapati di Madiun menyadari apa yang terjadi. Tetapi para Senapati dan pemimpin Madiun itu terlambat.
    Ketika terdengar suara bende yang bergaung di tengah-tengah kota, disusul dengan beberapa orang penghubung berkuda yang berderap di jalan-jalan yang lengang menjelang pagi, maka para prajurit pilihan dari Mataram telah berhasil menggapai selarak pintu gerbang disisi Selatan dan Utara.
    Dengan demikian, ketika para prajurit Madiun bersiap untuk menyongsong prajurit lawan, maka pintu gerbang itupun perlahan-lahan telah terbuka.
    Kelompok-kelompok kecil prajurit Madiun memang lebih cepat mencapai pintu gerbang yang sedang dibuka itu. Namun pasukan pilinan Mataram dari kesatuan pasukan khusus yang sudah berada didalam dinding kota sempat menahan mereka. Pada saat yang demikian itu, satu-satu para prajurit Mataram mulai berlari-lari memasuki pintu gerbang yang terbuka semakin lama semakin lebar bahkan kemudian tidak saja seorang demi seorang, tetapi seperti bendungan yang pecah, maka prajurit Mataram yang berada diluar dinding telah berlarian memasuki dinding kota Madiun.
    Para Senapati Madiun baru menyadari, bahwa mereka benar-benar telah menjadi lengah.Mereka telah dikelabui oleh sikap prajurit Mataram di perkemahan yang seakan-akan telah siap untuk meninggalkan perbatasan kota di sebelah Kali Dadung itu.
    Tetapi kini para prajurit Mataram itu telah memasuki pintu -gerbang kota dari sisi Selatan dan Utara.
    Prajurit Mataram yang mengalir memasuki kota itupun kemudian telah menjalar mengikuti alur jalan-jalan kota. Beberapa orang penunjuk jalan yang telah mengenal kota Madiun dengan baik, telah membawa pasukan Mataram itu langsung menuju kepusat kota.
    Namun dengan demikian. Madiun itu telah terbangun. Di wajah langit telah membayang cahaya pagi. Beberapa orang yang memang telah bangun dan menyapu halaman menjadi terkejut karenanya. Mereka justru telah kembali masuk kedalam rumah sambil menutup pintu rapat-rapat.
    Beberapa orang telah berteriak, ”Perang, perang. Perang telah pecah.“
    Orang-orang Madiun tidak sempat lagi mengungsi. Mereka tidak tahu pula kemana mereka harus mengungsi.
    Sementara itu, para prajurit Madiunpun telah menghambur kejalan-jalan raya. Sepasukan terpilih dari pasukan pengawal telah berkumpul di istana. Mereka telah menutup dinding halaman istana. Beberapa orang telah berada dipanggung di dalam dinding halaman dengan senjata telanjang. Sebagian dari mereka telah mempersiapkan busur dan anak panah yang banyaknya tanpa hitungan.
    Diluar dinding prajurit Madiun bersusun beberapa lapis dialun-alun. Sementara pasukan pilihan telah berada pula didepan istana yang siap turun ke alun-alun apabila musuh berhasil menerobos sampai ke alun-alun itu.
    Jumlah prajurit yang masih tinggal di Madiun memang masih cukup banyak. Tetapi mereka tidak tahu, kemana mereka harus memusatkan pertahanan mereka. Karena itulah, maka pasukan Madiun memang untuk sementara terbagi dalam kelompok-kelompo yang terlalu banyak jumlahnya.
    Sementara itu, para prajurit Mataram yang memasuki pintu gerbang dari sisi Utara telah memusatkan serangannya kearah istana lewat alun-alun. Namun pasukan Mataram yang memasuki pintu gerbang kota lewat Selatan, telah membagi pasukannya menjadi kelompok-kelompok yang lebih kecil untuk mengabur-kan para Senapati Madiun. Bahkan kelompok-kelompok prajurit Mataram yang memasuki pintu gerbang disisi Selatan, ada yang telah berada di bagian Timur Kota Madiun.
    Dengan demikian, maka pertempuran di dalam kota Madiun telah terjadi dengan sengitnya. Namun kelengahan prajurit Madiun adalah awal dari kesulitan yang untuk selanjutnya dialaminya meskipun sebenarnya jumlah mereka masih lebih banyak.
    Ketika laporan itu sampai kepada Panembahan Mas, maka Panembahan Mas itu terkejut bukan buatan. Ia tidak menduga, bahwa Panembahan Senapati telah menjebaknya dalam satu kekalutan yang sulit untuk diatasinya.
    Namun demikian, sebagai seorang prajurit Panembahan Mas tidak mudah kehilangan getar perjuangannya untuk mempertahankan diri. Karena itu, maka beberapa perintah telah dijatuhkan kepada para pemimpin prajurit Madiun yang tersisa.
    “Kita memang lengah.“ berkata Panembahan Madiun, “kita telah terbius oleh sikap Panembahan Senapati yang agaknya telah diperhitungkan dengan masak.“
    Sejenak kemudian, maka para Senapati Madiun itupun telah berada di medan pertempuran. Namun serangan Mataram benar-benar bagaikan banjir bandang yang melanda seluruh kota.
    Meskipun demikian, jalan menuju ke istana madiun ternyata tidak selancar yang diharapkan oleh pasukan Mataram. Dengan gagah berani para prajurit Madiun yang telah menemukan kembali keseimbangannya telah menahan arus banjir itu.
    Tetapi prajurit Mataram telah berada di mana-mana. Bahkan dijalan-jalan kecil diantara rumah-rumah disudut-sudut kota, prajurit Mataram telah menyusup kedalamnya.
    Karena itulah, maka pertempuranpun, telah terjadi dimana-mana. Namun bentrokan yang telah dilakukan oleh prajurit Mataram itu ternyata mempunyai pengaruh yang sangat besar. Karena itu, betapapun lambatnya, namun prajurit Mataram dari segala arah memang telah maju mendekati istana.
    Para pemimpin Madiun memang tidak dapat mengingkari kenyataan itu. Setiap saat, para penghubung telah memberikan laporan tentang perkembangan keadaan. Disisi Barat, prajurit madiun mengalami kesulitan yang paling parah. Namun Madiun tidak dapat dengan mudah memindahkan kekuatan yang ada untuk menuju ke medan disebelah Barat, karena dengan demikian maka pasukan itu harus menembus medan yang terserak. Karena itu, maka para pemimpin Madiun telah memusatkan kekuatan disekitar istana.
    Namun setiap pasukan pengawal khusus yang memang berada didalam dinding istana, maka pasukan khusus Madiun telah maju mengambil jarak untuk menyongsong pasukan Mataram yang merambat mendekat.
    Pertempuran yang garang itu telah memberikan kesempatan kepada para Senapati dan prajurit serta pengawal dalam pasukan Mataram untuk menunjukkan kemampuan mereka, karena pertempuran yang terjadi lebih banyak bergantung kepada kemampuan kelompok-kelompok kecil daripada kesatuan-kesatuan yang lebih besar.
    Tidak ada gelar yang dipasang. Namun demikian, pasukan yang dipimpin oleh Panembahan Senapati sendiri masih tetap merupakan pasukan yang besar. Pasukan yang dipersiapkan untuk merebut istana Madiun yang tentu akan dipertahankan oleh pasukan pilihan serta pasukan khusus pengawal istana.
    Meskipun demikian, Panembahan Senapati telah melepaskan beberapa kelompok pasukannya untuk membayangi gerak pasukannya.
    Dengan seorang penunjuk jalan, maka pasukan Tanah Perdikan Menoreh telah dipisahkan dari seluruh pasukan yang menuju ke istana. Pasukan itu harus mengambil jalan tersendiri yang kemudian akan sampai juga ke alun-alun dari arah Barat. Sementara induk pasukan akan memasuki alun-alun dari arah utara.
    Pasukan Tanah Perdikan itu memang mungkin akan bertemu dengan pasukan kedua yang memang terpecah-pecah dan akan bersama-sama menuju ke alun-alun.
    Ki Gede Menoreh yang memimpin pasukan Tanah Perdikan itu merasa diserahi satu tanggung jawab yang besar. Namun didalam pasukannya terdapat AgungSedayudan Glagah Putih yang telah ditunjuknya menjadi pengapitnya, sementara pasukan Tanah Perdikan telah diserahkan pemimpinnya kepada Prastawa.
    Demikianlah, maka pasukan itu telah mengambil jalan sendiri dengan beberapa petunjuk langsung dari Pangeran Mangkubumi. Mereka telah mengambil jalan yang lebih kecil, bahkan memasuki lingkungan yang berpenduduk padat.
    Ki Gede memberi isyarat untuk berhati-hati. Sementara penunjuk jalan itu telah memberikan perlindungan pula, bahwa mereka akan sampai kesebuah lingkungan yang tentu akan dipertahankan oleh pasukan Madiun.
    “Kita memasuki daerah yang berada dibawah pengaruh Ki Gede Kebo Lungit.“ berkata penunjuk jalan itu, “meskipun tidak merupakan satu padepokan, tetapi rumah Ki Gede yang besar itu memang dihuni oleh beberapa orang murid yang terpercaya. Adalah mungkin sekali bahwa sepasukan prajurit Madiun ikut berjaga-jaga di rumah Ki Gede, yang dalam keadaan kalut ini siap untuk menyergap pasukan Mataram yang lewat. Karena jalan ini memang jalan yang menuju ke alun-alun dari arah Barat.“
    Ki Gede mengangguk-angguk. Peringatan itu telah diteruskannya kepada Agung Sedayu, Glagah Putih dan Prastawa. Bersambung Prastawa telah memberitahukan pula kepada semua pemimpin kelompok yang ada di dalam pasukannya itu.
    Ketika mereka mendekati tempat yang ditunjuk, maka penunjuk jalan itu telah menganjurkan untuk tidak berjalan dilorong yang sempit berurutan dalam barisan yang panjang. Tetapi sebagian akan melalui halaman-halaman rumah meskipun harus meloncati dinding-dinding halaman.
    Ki Gede segera mengerti. Jika mereka berada di lorong memanjang ke belakang, maka mereka akan dapat disergap dari sebelah-menyebelah dengan kesempatan yang sangat kecil untuk mengadakan perlawanan.
    Karena itu, maka Ki Gedepun telah memberikan isyarat dengan mengangkat, kemudian mengembangkan tangannya. Isyarat yang sudah dikenal baik oleh Prastawa yang meneruskan isyarat itu kepada para pemimpin kelompok dengan isyarat pula.
    Para pemimpin kelompok sudah tahu siapa diantara mereka yang harus bergeser kesebelah kiri dan siapa yang kesebelah kanan. Mereka telah terbiasa memasang gelar bagi pasukan kecil itu, sehingga para pemimpin kelompok telah mampu menyesuaikan dirinya.
    Karena itu, sejenak kemudian maka beberapa kelompok pasukan pengawal Tanah Perdikan itu telah meloncat dinding dan memasuki halaman disebelah kiri sedangkan yang lain memasuki halaman sebelah kanan.
    Dengan berkiblat pada induk pasukan yang ditandai dengan tunggul tanda kebesaran Tanah Perdikan, maka pasukan itu berjalan maju mendekati daerah pengaruh Ki Gede Kebo Lungit.
    Penunjuk jalan yang berada didepan Ki Gede itu telah memberikan pertanda agar pasukan berhenti. Agak menjorok dihadapan mereka terdapat sebuah regol.
    “Yang kita lihat itu adalah simpang tiga,” berkata penunjuk jalan itu, “satu kekiri dan satu kekanan. Yang tampak itu adalah regol halaman rumah Ki Gede Kebo Lungit yang besar.”
    Ki Gede mengangguk-angguk. Iapun telah memberikan perintah agar pasukan itu menjadi semakin berhati-hati. Dengan jelas Ki Gedepun kemudian memberikan perintah kepada Prastawa, agar pasukan mereka maju dengan sangat berhati-hati. Disetiap rumah didepan rumah besar Ki Gede Kebo Lungit itu, mungkin menjadi persembunyian murid-muridnya atau justru prajurit Madiun.
    Prastawapun telah memberikan perintah kepada tiga orang pemimpin kelompok yang bertugas untuk menyebarkan perintah itu beranting di induk pasukan, di sayap kiri dan disayap kanan.
    Baru kemudian, ketika Prastawa menganggap bahwa perintah itu telah sampai keujung, pasukan itu meneruskan perjalanannya menuju ke regol yang diketahui adalah rumah Ki Gede Kebo Lungit yang berhalaman luas.
    Tetapi ternyata bahwa peringatan penunjuk jalan itu yang kemudian telah ditegaskan oleh Ki Gede agar pasukannya berhati-hati, telah terbukti. Pasukan Tanah Perdikan Menoreh yang kemudian maju perlahan-lahan dengan sangat berhati-hati itu, ternyata telah melihat sesuatu yang kurang wajar. Pasukan pada sayap kiri telah melihat, bayangan seseorang yang hilang disudut rumah. Dengan cepat, pengawal itu telah melaporkan kepada pemimpin kelompoknya, sehingga pemimpin kelompok itu telah memberikan isyarat, agar kelompok itu menjadi lebih berhati-hati jika mereka melalui sudut rumah di depan mereka.
    Sebenarnyalah, kelompok itu tidak langsung melaju disudut rumah itu. Tetapi beberapa orang diantaranya telah mengambil jarak dan berjalan dengan hati-hati sambil mempersiapkan senjata mereka.
    Demikian orang pertama muncul, maka tiba-tiba memang telah meloncat seseorang untuk menikamnya. Namun jarak yang diambil oleh pengawal Tanah Perdikan itu cukup jauh, sehingga serangan itu sempat dilihatnya. Dengan demikian maka pengawal itu sempat menangkisnya dan justru membalas menyerang.
    Namun beberapa orang telah berlari-larian pula menyerang parapengawal. Tetapi pengawal itupun tidak sendiri. Sehingga sejenak kemudian, seluruh kelompok telah terlibat dalam pertempuran.
    Ternyata dibeberapa rumah, sebelum mereka sampai keha-laman rumah Ki Gede Kebo Lungit memang telah terisi oleh beberapa orang prajurit. Sepasukan prajurit Madiun memang sudah memperhitungkan, bahwa tentu akan ada pasukan Mataram yang melintasi jalan itu. Demikian mereka sampai ke simpang tiga, maka mereka tinggal berbelok ke timur untuk mencapai alun-alun istana Madiun. Karena itu, sebelum mereka mencapai batas alun-alun, maka mereka akan disergap disimpang tiga, didepan rumah Ki Gede Kebo Lungit. Sementara itu, para murid Ki Gede Kebo Lungitputi telah menyatakan kesediaan mereka untuk membantu para prajurit Madiun jika Mataram benar-benar memasuki kota Madiun.
    Pertempuran segera menjalar dari satu kelompok ke kelompok yang lain. Bukan saja di sayap kiri, tetapi pertempuranpun telah terjadi pula di sayap kanan. Dari beberapa rumah yang tersebar telah berloncatan para prajurit Madiun yang bersembunyi dan siap menyergap pasukan Mataram yang lewat.
    Sejenak kemudian, maka pertempuranpun telah terjadi dengan sengitnya. Sementara itu, Ki Gede yang memperhitungkan bahwa induk pasukan Madiun tentu berada di rumah Ki Gede Kebo Lungit telah dengan cepat maju bersama induk pasukannya. Demikian mereka turun disimpang tiga, maka Ki Gede telah memberikan perintah pula bagi pasukan induk itu untuk menebar.
    Sementara itu penunjuk jalan itupun telah memberikan peringatan. “Hati-hati Ki Gede. Ki Gede Kebo Lungit adalah orang yang berilmu sangat tinggi. Ia memang tidak ikut bergerak keluar Madiun. Tetapi ia berjanji, jika Mataram memasuki kota Madiun, maka ia akan ikut menyapu bersih pasukan Mataram.”
    “Kita akan memasuki regol halaman rumahnya.” berkata Ki Gede Menoreh.
    Tetapi sebelum Ki Gede melakukannya, tiba-tiba terdengar sorak yang bagaikan meruntuhkan langit. Dari balik dinding halaman rumah Ki Gede Kebo Lungit, telah berloncatan para prajurit Madiun dan para murid Ki Gede Kebo Lungit.
    Namun Ki Gede Menoreh tidak segera menjadi bingung, karena sebagian dari merekapun memang sudah terlihat dalam pertempuran.
    Bahkan Ki Gede telah mengambil keputusan yang sangat menarik dan tidak diduga-duga oleh Agung Sedayu dan Glagah Putih yang mendampinginya. Juga Prastawa semula terkejut. Namun iapun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya.
    Dengan kekuatan beberapa orang prajurit, Ki Gede telah memerintahkan untuk memecahkan regol yang tidak dibuat terlalu kuat, karena regol itu bukan regol untuk menahan arus perang sebagaimana yang ternyata terjadi. Ki Gede Kebo Lungit tidak memperhitungkan sama sekali ketika ia membuat regol rumahnya, bahwa pada suatu ketika perang akan terjadi di halaman rumahnya.
    Karena itu, dengan beberapa orang, Ki Gede Menoreh telah dengan kekerasan memecahkan pintu regol itu, sehingga terbuka. Dengan kekuatan dorongan para prajurit dari luar, maka selarak pintu yang memang tidak bepitu besar itu telah patah.
    Pada saat para prajurit Madiun berloncatan memasuki jalan didepan rumah Ki Gede Kebo Lungit, maka para pengawal Tanah Perdikan Menoreh sebagian telah memasuki halaman.
    Mereka telah menyerang prajurit Madiun yang tersisa, yang masih belum sempat meloncat dinding.
    Justru prajurit Madiun itulah yang menjadi agak kebingungan. Namun beberapa orang pemimpin kelompok mereka telah dengan cepat menanggapi keadaan. Mereka yang masih tinggal di dalam halaman telah mengurungkan niatnya untuk meloncat keluar. Tetapi mereka telah menghadapi para pengawal Tanah Perdikan yang justru telah mengalir memasuki halaman.
    Ketika pertempuran itu semakin garang, maka sekelompok orang masih berada di pendapa rumah Ki Gede Kebo Lungit yang besar.
    Seorang diantara mereka adalah Ki Gede Kebo Lungit sendiri. Seorang Senapati dari Madiun. Seorang Putut terpercaya diantara murid-murid Ki Gede Kebo Lungit dan beberapa muridnya yang lain.
    Agung Sedayu menyadari, bahwa Ki Gede Kebo Lungit adalah orang yang berilmu sangat tinggi menilik sikap dan sorot matanya. Karena itu, maka iapun telah berdesis kepada KiGede Menoreh. “Maaf Ki Gede. Ijinkanlah aku menghadapi orang yang barangkah disebut Ki Gede Kebo Lungit itu.“
    “Itu adalah kuwajibanku.“ jawab Ki Gede.
    “Bukan maksudku untuk menyombongkan diri. Tetapi biarlah aku saja yang menghadapinya.“ jawab Agung Sedayu.
    Ki Gede termangu-mangu. Meskipun ia menyadari, bahwa Agung Sedayu yang jauh lebih muda dari dirinya itu memiliki ilmu dan kemampuan yang lebih tinggi daripadanya. Namun ia adalah orang yang bertanggung jawab atas keseluruhan Pasukan Tanah Perdikan itu.
    Namun selagi Ki Gede temangu-mangu, maka Agung Sedayu berkata, “Seorang diantara mereka tentu Senapati dari Madiun.“
    Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti maksud Agung Sedayu. Katanya, “Baiklah. Aku akan menghadapi Senapati itu.“
    Sejenak kemudian, maka orang-orang yang berdiri di pendapa itu melangkah menepi dan bahkan kemudianberdiri di tangga. Dengan suara lantang Senapati prajurit Madiun itu bertanya, “Siapakah kalian yang telah berani memasuki kota Madiun? Kalian tentu termasuk kesatuan dari Mataram. Tetapi kalian agaknya bukan prajurit Mataram menilik pakaian kalian.”
    Ki Gedelah yang melangkah maju mendekati orang-orang yang berdiri di tangga pendapa itu, sementara pertempuran telah menebar didalam dan diluar halaman rumah Ki Gede Kebo Lungit.
    “Siapa kau?“ bertanya Senapati itu.
    “Kami memang bukan prajurit Mataram. Tetapi kami adalah bagian dari keluarga besar Mataram.“ Jawab Ki Gede Menoreh.
    “Aku adalah Kepala Tanah Perdikan Menoreh.” jawab Ki Gede.
    “Dimanakah letak Menoreh?“ bertanya Senapati itu.
    “Diseberang kali Praga, disebelah Barat Mataram.“ jawab Ki Gede Menoreh.
    “Dan kau korbankan nyawamu untuk Panembahan Senapati yang sombong itu?“ bertanya Senapati itu pula.
    “Kenapa aku harus mengorbankan nyawaku. Aku akan memasuki istana Madiun dalam keadaan hidup dan kembali lagi ke Tanah Perdikan Menoreh membawa kemenangan bagi Mataram.“ jawab Ki Gede.
    “Mataram akan kami hancurkan. Meskipun Mataram telah berbuat licik, tetapi Mataram tidak akan dapat menguasai keadaan.“ berkata senapati itu.
    Ki Gede termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian bertanya, “Bukankah kau seorang Senapati prajurit Madiun?“
    “Ya“ jawab Senapati itu, “aku mendapat tugas menghancurkan pasukan Mataram yang tentu akan melalui jalan ini menuju ke alun-alun. Jika aku tidak berhasil, maka pasukan yang ada disekitar alun-alun itulah yang akan menyempurnakan kehancuran kalian.“
    Ki Gede termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun bertanya, “Siapakah yang ada disebelahmu dan yang lain?“
    “Ini adalah Ki Gede Kebo Lungit. Kalian akan menyesal bahwa kalian telah memasuki halaman rumahnya tanpa ijinnya. Yang disisinya lagi itu adalah muridnya yang terpercaya Putut Jalak Werit. Putut yang telah memihki segala ilmu gurunya. Nah, yang lain adalah murid-muridnya pula. Sekarang, jangan menyesal bahwa tidak ada jalan keluar dari halaman rumah ini.”
    Ki Gede belum sempat menjawab, ketika orang-orang itu kemudian meloncat turun ke halaman.
    Ki Gede menarik inafas dalam-dalam. Namun ia sempat memperhatikan pertempuran di halaman. Ternyata para pengawal Tanah Perdikan Menoreh tidak banyak mengalami kesulitan meskipun masih belum dapat dipastikan bahwa mereka akan dapat menguasai keadaan. Tetapi Ki Gede masih belum mendapat laporan apa yang terjadi diluar dinding halaman rumah Ki Gede Kebo Lungit. Ki Gedepun belum tahu keadaan medan dalam keseluruhan. Namun ia menjunjung perintah untuk menuju ke alun-alun lewat jalan yang dilaluinya itu.
    “Nah.“ berkata Senapati itu, ”bersiaplah untuk mati.“
    Ki Gede Menoreh telah bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan Bahkan seandainya ia harus menghadapi Ki Gede Kebo Lungit.
    Namun Agung Sedayu dengan cepat telah mengurai cambuknya dan berkata, “Aku tidak mengira bahwa pada suatu saat aku benar-benar dapat bertemu dengan Ki Gede Kebo Lungit.”
    “Siapa kau?“ bertanya Ki Gede Kebo Lungit.
    Agung Sedayu tidak menjawab. Namun ia harus berusaha memancingnya. Menurut perhitungan Agung Sedayu, Ki Gede Menoreh akan sulit menghadapi seorang lawan pada tataran ilmu tertinggi. Apalagi cacat kakinya yang setiap kali mengganggunya. Jika Ki Gede Menoreh itu bertempur dengan mengerahkan tenaganya, maka kakinya akan segera kambuh lagi.
    Karena itu, maka Agung Sedayupun telah mengurai cambuknya dan memutarnya perlahan-lahan, “Aku adalah murid Orang Bercambuk.“
    Tetapi Ki Gede Kebo Lungit itu menggeleng sambil berkata, “Aku tidak mengenal Orang Bercambuk itu.“
    “Mungkin. Tetapi jika sekali tubuhmu tersentuh ujung cambuk ini, maka kau akan segera teringat, orang yang pernah kau kenal sebelumnya.“ berkata Agung Sedayu.
    “Anak iblis.“ geram Ki Gede Kebo Lungit, “kau anak ingusan menganggap dirimu pantas untuk menghadapi aku? Biarlah Pututku menyelesaikanmu.“
    Tetapi Glagah Putih cepat melangkah maju, “Aku sudah terlalu sering berburu burung jalak. Sekali ini aku akan mendapatkan jalak terbesar yang pernah aku lihat. Putut Jalak Werit.”
    “Iblis kau.” Geram Putut Jalak Werit. Ternyata ia bukan orang yang mampu menahan diri. Dengan serta merta ia telah meloncat menyerang Glagah Putih sambil berteriak lebih keras. “Dalam sekejap kau akan mati.”
    Glagah Putih memang terkejut, ia tidak mengira bahwa serangan itu datang demikian cepatnya. Bahkan sebelum orang lain melakukannya.
    Namun Glagah Putih cepat tanggap karena itu, demikian serangan itu datang, maka Glagah Putihpun telah bergeser dari tempatnya. Bahkan kemudian Glagah Putih telah berloncatan mengambil jarak. Karena halaman rumah Ki Gede Kebo Lungit itu cukup luas, maka Glagah Putih sengaja menjauhi orang-orang lain.
    Ki Gede Kebo Lungit termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Senapati dari Madiun itupun berkata, “Siapakah pemimpin dari sekelompok pasukan yang lewat jalan ini?“
    “Aku Ki Sanak.“ jawab Ki Gede, “aku bertanggung jawab atas seluruh pasukan ini. Karena itu, kita sama-sama mempunyai tanggung jawab atas tugas kita masing-masing.“
    Senapati itu melangkah mendekat. Katanya, “Aku tidak perlu lagi mengatur prajurit-prajuritku. Mereka mengerti apa yang harus mereka lakukan. Karena itu, maka tugasku terutama adalah menangkapmu.“
    Ki Gede Menoreh menyadari, bahwa iapun akan segera terlibat dalam pertempuran, sementara Ki Gede Kebo Lungit berkata, “Baiklah. Aku akan menyelesaikan anak ingusan ini lebih dahulu. Baru kemudian aku akan menghancurkan bukan saja satu dua orang pengawal, termasuk para pemimpinnya, tetapi aku akan dapat menyapu seluruh pasukan.“
    Agung Sedayulah yang menyahut, “Bagus Ki GedeKebo Lungit. Kita akan melihat, apakah ilmu Orang Bercambuk tidak akan mampu mengendalikan pertempuran ini.“
    Ki Gede Lungitpun tidak menunggu lebih lama lagi. Perlahan-lahan ia melangkah mendekati Agung Sedayu yang telah bergeser surut mengambil jarak.
    Sementara itu pertempuran dihalaman itupun menjadi semakin sengit. Dimana-mana para prajurit Madiun, para murid Ki Gede KeboLungit dan para pengawal Tanah PerdikaniMeno-rehtelahbertempur dengan mengerahkan kemampuan mereka, karena mereka masih mengemban tugas tugas selanjutnya.
    Sementara itu, Ki Gedepun telah mempersiapkan senjata andalannya. Tombak pendeknya yang menemaninya hampir disetiap medan pertempuran sejak masa mudanya.
    Ketika kedua orang Senapati itu muilai menggerakkan senjata mereka, maka Prastawapun telah memerintahkan beberapa orang pengawal untuk menjaga agar para murid Ki Gede Kebo Lungit tidak mengganggu pertempuran antara Ki Gede melawan senapati Madiun itu serta Agung Sedayu melawan Ki Gede Kebo Lungit.
    Prastawa sendiri kemudian telah terlibat pula dalam pertempuran melawan seorang diantara para murid Ki Gede Kebo Lungit yang tiba-tiba saja menyerang, sementara beberapa orang yang lain, harus bertempur melawan para pengawal Tanah Perdikan menoreh yang semakin lama semakin banyak memasuki halaman itu.
    Ki Gede Menoreh masih sempat memperhatikan hal itu. Dengan demikian ia berharap bahwa pertempuran yang terjadi di luar dinding halaman rumah Ki Gede Kebo Lungit itupun akan menguntungkan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh.
    Namun Ki Gede tidak sempat untuk memperhatikan mereka lebih lama, karena Senapati prajurit Madiun itu telah mulai menyerangnya sambil berkata, “Menyerahlah. Kau tidak akan mempunyai banyak kesempatan.“
    Tetapi Ki Gede bergeser menjauhi pendapa sambil menjawab. “Kami datang dari jauh untuk menyelesaikan tugas kami.“ berkata Ki Gede Menoreh.
    Dengan demikian maka Senapati itupun telah mulai menggerakkan senjatanya, sebuah pedang yang panjang. Namun tombak pendek Ki Gede Menorehpun telah menunduk pula. Bahkan sejenak kemudian tombak itu mulai bergerak-gerak.
    Ketika Senapati itu mulai meloncat menyerang, maka tombak Ki Gedepun mulai berputar. Sambil bergeser selangkah, maka ujung tombaknya telah mematuk kearah tubuh lawannya. Namun lawannyapun dengan tangkasnya telah meloncat kesamping.
    Sementara itu, masih terdengar Prastawa yang telah bertempur itu meneriakkan aba-aba, yang disambut oleh beberapa orang pemimpin kelompok pengawal Tanah Perdikan Menoreh.
    “Pasukanmu cukup baik Ki Sanak.“ berkata Senapati itu, “bagi satu kelompok yang bukan prajurit, maka pasukanmu memiliki bekal yang tinggi.“
    “Pasukan inilah yang akan memecahkan pertahananmu.” berkata Ki Gede Menoreh sambil bergeser karena ayunan pedang lawannya.
    Senapati itu tidak menjawab. Namun serangannya semakin lama menjadi semakin cepat, Sementara Ki Gede Menoreh yang menyadari keadaan kakinya, telah bertempur dengan penuh perhitungan. Namun Ki Gede itupun telah berhasil mengembangkan ilmunya disesuaikan dengan kemampuan kakinya yang terbatas.
    Sefnentara itu Agung Sedayu yang berhadapan dengan Ki Gede Kebo Lungitpun telah mulai bertempur. Meskipun demikian, Ki Gede Kebo Lungit itupun masih juga bertanya, “Kenapa kau bersedia membantu Senapati yang dengan licik telah menyerang Madiun?“
    “Pertanyaan yang sama dapat aku berikan kepadamu, kenapa kau telah membantu Panembahan Mas di Madiun?“ justru Agung Sedayu berganti bertanya.
    “Kau kira aku tunduk kepada perintah Panembahan Madiun? Aku tidak pernah mengirimkan orang-orangku bergabung dengan Panembahan. Tetapi sudah tentu aku tidak dapat membiarkan orang lain mengganggu perguruanku. Bukan akulah yang diperalat oleh Panembahan Madiun. Tetapi sekarang sebaliknyalah yang terjadi.“
    Agung Sedayu tidak segera menjawab. Ia telah menghindarkan serangan Ki Gede Kebo Lungit yang datang dengan cepatnya. Namun Agung Sedayupun telah bergerak dengan cepat pula sehingga serangan itu tidak mengenainya.
    Namun Ki Gede tertawa sambil berkata, “Kau kira aku tidak mampu mengenaimu? Aku memang masih belum bersungguh-sungguh. Aku masih ingin berbicara sedikit. He, kau lihat bahwa prajurit Madiun sekarang ikut mempertahankan perguruanku dari serangan orang-orang Mataram Betapa besar martabatku sebagai seorang guru dan betapa luasnya pengaruhku sehingga prajurit Madiun harus ikut mempertahankan perguruanku.“
    “Kau terlalu sombong Ki Gede.“ sahut Agung Sedayu, “mereka berada ditempatmu untuk menolong gerak pasukan Mataram.“
    Ki Gede Kebo Lungit tertawa. Katanya, “Apapun tujuan mereka, namun sekarang mereka harus mempertahankan perguruanku. Aku tidak peduli perang antara Madiun dan Mataram.“
    “Kau telah berkhianat kepada pemimpin pemerintahanmu.“ berkata Agung Sedayu.
    Tetapi Ki Gede Kebo Lungit tertawa semakin keras. Katanya, ”Madiun memang akan hancur. Tetapi Mataramapun akan hancur disini. Perguruanku akan bangkit dan berdiri diatas reruntuhan itu.”
    Agung Sedayu meloncat surut untuk mengambil jarak. Ia mencari kesempatan untuk berkata, “Jadi itukah hasil akhir yang kau inginkan?“
    Ki Gede Kebo Lungit juga tidak tergesa-gesa memburunya. Katanya, ”Ya. Tetapi rahasia ini akan terkubur bersama mayatmu. Sebentar lagi kau akan mati meskipun kau mengaku murid Orang Bercambuk. Adalah kebetulan bahwa aku belum mengenal orang yang disebut Orang Bercambuk itu.“

  20. Tamat

    Demikian orang itu berhenti berbicara, maka AgungSedayu telah menghentakkan cambuknya. Suaranya bagaikan membelah langit, sehingga bukan saja orang yang bertempur di halaman itu yang terkejut mendengarnya, tetapi orang-orang yang berada di luar halaman itupun terkejut pula mendengarnya.
    Tetapi Ki Gede Kebo Lungit mengerutkan keningnya sambil berdesis, “Suaranya memang memekakkan telinga. Tetapi aku tidak tahu, dimana letak kekuatan ilmumu. Apakah kau kira dengan mengejutkan lawan, kau dapat menemukan kesempatan untuk memenangkan satu pertempuran? Kami bukan sejenis lembu penarik pedati. Atau kau ingin menghinaku karena aku bernama Kebo Lungit, sehingga kau mempergunakan senjata cambuk?“
    “Ini memang senjataku. Sudah aku katakan, aku adalah murid Orang Bercambuk.“ jawab Agung Sedayu. Namun Agung Sedayupun mengetahui bahwa Ki Gede Kebo Lungit merasakan bahwa ledakan cambuknya yang keras itu justru tidak berisi kekuatan yang memadai untuk melawannya.
    “Baiklah.“ berkata Ki Gede Kebo Lungit kemudian, “aku memang memberikan sedikit waktuku untukmu. Jika pimpinan pasukan ini berhasil membunuh Senapati Madiun itu, maka ia akan menjadi korbanku berikutnya. Setelah itu, maka semuanya yang ada di halaman rumahku ini aku sapu bersih. Bukan saja orang-orang Mataram, tetapi juga orang-orang Madiun. Selanjutnya, besok aku akan membersihkan seluruh Madiun. Benturan kekuatan antara Madiun dan Mataran tentu akan menimbulkan luka yang parah dikedua belah pihak. Menurut perhitunganku, perang antara keduanya tentu merupakan peranghabis-habisan yang akan berlangsung sampai orang terakhir.”
    Tetapi Agung Sedayu menggeleng. Katanya, ”Ular berkepala dua pada suatu saat akan saling menggigit. Kau akan mati karena tingkah lakumu sendiri Ki Gede, betapapun tinggi ilmu yang kau miliki.“
    Ki Gede itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun telah menggerakkan senjatanya lagi. Sebuah tongkat baja putih. Mirip senjata Sekar Mirah yang diterimanya dari Ki Sumekar. Namun tongkat itu tidak berkepala tengkorak. Tetapi pada pangkal tongkat itu terdapat kepala kerbau yang bertanduk panjang yang nampaknya benar-benar terbuat dari emas. Bukan hanya sekedar berwarna kuning.
    “Ingat anak muda.“ berkata Ki Gede Kebo Lungit, “jangan menyesali nasibmu yang buruk. Jika tanduk kecil di tongkatnya ini melukaimu, maka kau akan mati. Demikian pula ujung tongkatku ini.“
    Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Tiba-tiba saja pada ujung tongkat itu telah mencuat sebilah pisau kecil berujung runcing.
    Ketika Ki Gede itu bergerak mendekatinya, maka Agung Sedayupun telah bergeser surut sambil memutar cambuknya. Sekali lagi cambuk itu meledak. Namun Ki Gede Kebo Lungit hanya tertawa saja sambil berkata, ”Sepantasnya senjatamu itu dipergunakan saja untuk menggembala itik.“
    Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia sudah siap menghadapi segala kemungkinan.
    Dalam pada itu, sekejap kemudian, Ki Gede Kebo Lungit telah memutar tongkatnya. Dengan garangnya, tubuhnya bagaikan melayang menyergap Agung Sedayu. Demikian cepat, sehingga Agung Sedayu tidak sempat menyongsongnya dengan cambuknya. Namun Agung Sedayu sempat meloncat menghindarinya.
    “Bagus orang muda.“ desis Ki Gede Kebo Lungit, “ternyata kau memang memiliki sedikit bekal untuk melawanku. Barangkali kau akan mempunyai waktu sepenginang.“
    Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun ia merasa bahwa ia harus benar-benar bersiap dengan semua ilmu yang dimilikinya.
    Yang mula-mula ditrapkan oleh Agung Sedayu adalah ilmu kebalnya. Ia tahu bahwa kemampuan dan ilmu orang itu akan mampu menembus ilmu kebalnya. Tetapi bagaimanapun juga ilmu kebalnya itu akan menahan kekuatan ilmu lawannya, setidak-tidaknya sebagian, sehingga dengan demikian maka ilmu itu tidak sepenuhnya mencengkamnya.
    Namun ketika kemudian tongkat baja lawannya yang berujung runcing itu hampir saja menyambarnya, maka Agung Sedayu yang masih belum bertumpu pada ilmu kebalnya itu telah mengetrapkan pula ilmunya memperingan tubuhnya, sehingga Agung Sedayu itu mampu bergerak semakin cepat.
    Sejenak kemudian, maka pertempuran antara Agung Sedayu dan Ki Gede Kebo Lungitpun telah menjadi semakin sengit. Keduanya bergerak semakin cepat. Serangan-serangan Kebo Lungit bagaikan hempasan angin prahara yang semakin dahsyat.
    Tetapi Ki Gede Kebo Lungitpun masih juga berkata, ”Gila kau orang muda. Kenapa kau belum mati setelah lewat sepenginang?“
    “Siapa yang ingin mati?“ sahut Agung Sedayu sambil menyerang dengan ujung cambuknya. Namun cambuk itu tidak mengenai sasarannya. Sementara ledakannya masih saja memekakkan telinga.
    Ternyata Agung Sedayu tidak dengan serta merta sampai ke puncak kemampuannya. Meskipun ia yakin bahwa Ki Gede Kebo Lungit adalah orang yang berilmu sangat tinggi, tetapi ia masih juga ingin menjajagi tataran kemampuannya.
    Namun Agung Sedayu kemudian terpaksa berloncatan surut. Serangan Ki Gede Kebo Lungit tidak diduga-duganya melihatnya dengan sangat dahsyatnya. Tongkatnya tiba-tiba seakan-akan telah berubah menjadi lima buah tongkat yang menyerangnya dan ilmu arah.
    “Kau mulai menjadi bingung.“ berkata Ki Gede Kebo Lungit. Lalu katanya pula, ”Tetapi bahwa kau telah melampaui waktu sepenginang adalah pertanda bahwa kau memiliki ilmu yang sangat tinggi. Tetapi kesempatan untuk keluar dari halaman ini sama sekali tidak ada bagimu orang muda. Waktumu tinggal sedikit.“
    Tiba-tiba saja Ki Gede Kebo Lungit itu berloncatan bagaikan terbang mengitari Agung Sedayu. Tongkatnya yang seolah-olah telah menjadi lima buah itu menyerangnya semakin cepat dari segala arah.
    Untunglah bahwa Agung Sedayu sempat mengetrapkan ilmunya Sapta Pandulu untuk mempertajam penglihatan wadagnya, sekaligus ilmu Sapta Panggraita untuk mempertajam penglihatan batinnya. Dengan demikian maka Agung Sedayupun akhirnya dapat memecahkan kebingungannya atas serangan lawannya itu. Sehingga dengan demikian maka Agung Sedayu dengan mempergunakan ilmunya meringankan tubuhnya, sempat keluar dari putaran serangan lawannya.
    Ki Gede Kebo Lungit menggeram sambil berteriak, ”Gila. Kau mencoba melepaskan diri lagi? Tidak ada waktu lagi yang dapat aku lakukan bagimu.“
    Ki Gede Kebo Lungit itupun segera meloncat dengan tangan kiri mengembang, sementara tangan kanannya terjulur lurus kedepan. Tiba-tiba saja tongkatnya itu bagaikan terjulur memanjang menggapai tubuh Agung Sedayu.
    Tetapi dengan ilmu Sapta Panggraita Agung Sedayu kemudian melihat, bahwa penglihatan wadagnya itu ternyata telah mengelabuinya.
    Karena itu, maka Agung Sedayupun sempat menggerakkan cambuknya. dengan hentakan sendai pancing. Tidak sekedar untuk melontarkan ledakan yang bagaikan membelah langit. Tetapi hentakan juntai cambuk Agung Sedayu telah menimbulkan getar yang mengguncang isi dada.
    Ki Gede Kebo Lungit terkejut. Namun ia benar-benar orang yang berilmu sangat tinggi. Dalam keadaan yang sulit itu, ia sempat menggeliat, sehingga seakan-akan ia mampu berhenti di udara. Sehingga dengan demikian, maka ayunan cambuk Agung Sedayu yang dilandasi dengan kekuatan ilmunya pada tataran yang lebih tinggi itu tidak mengenainya.
    Meskipun demikian Ki Gede Kebo Lungit itu merasa bahwa dadanya telah diguncang oleh getaran ujung cambuk Agung Sedayu dalam hentakan sendai panciing itu.
    Agung Sedayu memang tidak mengira bahwa Ki Gede itu mampu berhenti di udara di saat ia meluncur menyerangnya dengan tongkat bajanya yang bagaikan menjulur memanjang. Namun Agung Sedayu yang berhati-hati itu tidak memburunya. Ia masih belum mengerti sepenuhnya apa yang dapat dilakukan oleh lawannya.
    Tetapi sementara itu, Ki Gede Kebo Lungit itupun berkata, “Bukan main. Jadi itulah kenyataan dari seorang yang mengaku murid Orang Bercambuk? Aku kira cambukmu tidak lebih dari cambuk seorang penggembala itik. Ternyata dalam keadaan yang gawat, kau harus menghentakkannya tidak untuk sekedar menakut-nakuti di semak-semak dan hutan perdu. Kau telah menyakiti isi dadaku dengan getaran ilmu cambukmu.“
    Agung Sedayu tidak menjawab. Sementara orang itu berkata selanjutnya. “Karena itulah, maka kau mampu bertahan lewat sepenginang. Bahkan agaknya juga kau akan bertempur lebih lama lagi karena dengan keyakinanmu atas dirimu sendiri, kau akan mampu mengerahkan lebih besar kemampuan yang sebenarnya kau miliki.“
    “Bagaimanapun penilaianmu, Ki Gede.“ berkataAgung Sedayu, “aku sudah mendapat kepercayaan dari guruku untuk bertemu denganmu.“
    “Sekali lagi aku tegaskan, aku tidak mengenal gurumu dan perguruanmu.“ geram Ki Gede Kebo Lungit.
    Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnyalah iapun sama sekali tidak mengenal Ki Gede Kebo Lungit. Gurunya agaknya juga belum mengenalnya. Tetapi ia berhasil memancing Ki Gede untuk menghadapinya, sehingga Ki Gede Menoreh dapat mengambil lawan yang lain.
    Dalam pada itu, Ki Gede Menoreh telah bertempur melawan Senapati dari Madiun yang bertugas untuk menahan arus pasukan Mataram yang datang dari Barat. Agaknya Senapati itupun cukup garang sehingga Ki Gede harus mengerahkan kemampuannya untuk mempertahankan diri. Namun perkembangan ilmu Ki Gede yang memang sudah disesuaikan dengan kemungkinan yang dapat terjadi pada kakinya, sangat menolongnya. Ki Gede Menoreh telah memusatkan kemampuannya pada kecepatan gerak tangannya, sehingga dengan tombak pendeknya, Ki Gede selalu dapat menyapu serangan-serangan yang datang dari lawannya. Bahkan sekali-sekali Ki Gede telah melompat pula menyerang dengan ujung tombaknya yang terjulur mematuk tubuh lawan.
    Ternyata kedua orang itu memiliki kemampuan yang cukup tinggi, sehingga setelah bertempur beberapa lama, sama sekali belum nampak kelebihan yang satu dari yang lain. Di bagian halaman lain dari halaman yang luas itu, Prastawa bersama para pengawal Tanah Perdikan Menoreh tengah bertempur dengan sengitnya pula. Kedua belah pihak saling menyerang dan bertahan. Ternyata bahwa didalam pertempuran yang sebenarnya, para pengawal Tanah Perdikan mampu menempatkan diri sejajar dengan para prajurit. Sebagaimana saat Tanah Perdikan mendapat serangan, maka para pengawal telah menunjukkan ketrampilan mereka menggerakkan senjata.
    Selebihnya para pengawal Tanah Perdikan sama sekali tidak gugup menghadapi pertempuran yang semakin dahsyat. Mereka telah cukup berpengalaman, sehingga tidak seorangpun diantara mereka yang kehilangan akal.
    Para prajurit Madiun memang menjadi heran, bahwa para pengawal itu ternyata mampu mengimbangi kemampuan mereka.
    Ditempat lain yang agak terpisah, Glagah Putih bertempur dengan sengitnya melawan Putut Jalak Werit. Putut itu seperti gurunya, mengira akan dapat menyelesaikan anak muda itu dalam waktu yang singkat.
    Tetapi sebagaimana juga gurunya, ternyata Putut Jalak Werit harus menghadapi kenyataan bahwa adalah anak muda. yang berilmu tinggi.
    Putut Jalak Werit yang bersenjata tongkat baja namun tidak memakai kepala kerbau bertanduk panjang berwarna kuning, telah melibat Glagah Putih dengan serangan-serangannya yang keras.
    Ujung tongkat baja itupun sama berbahayanya dengan tongkat baja Ki Gede Kebo Lungit, karena dari ujung tongkat itu dapat seakan akan sebuah pisau yang sangat tajam.
    Tetapi Glagah Putih memiliki kemampuan ilmu pedang yang tinggi. Dengan demikian, Glagah Putih tidak segera menjadi bingung menghadapi ilmu lawannya yang bersenjata tongkat baja yang berujung runcing itu.
    Demikianlah keduanya telah berloncatan saling menyerang. Namun dalam benturan, ternyata Glagah Putih segera menunjukkan kelebihannya. Dorongan kekuatan yang diberikan oleh Raden Rangga dan gurunya, benar-benar mampu meningkatkan alas kemampuannya, sehingga ketika senjata kedua orang itu saling berbenturan dengan kekuatan penuh, Putut Jalak Werit benar-benar telah terkejut.
    “Anak ini mempunyai kekuatan yang sangat besar.“ berkata Putut Jalak Werit didalam hatinya. Sementara itu, Jalak Werit pun masih belum memiliki kemampuan ilmu yang berkembang sebagaimana gurunya. Meskipun ilmu Putut Jalak Werit sudah meliputi semua ajaran gurunya, namun masih terbatas pada tataran kemampuan dasar ilmu itu sendiri sehingga masih harus dikembangkan.
    Dengan demikian, maka Putut Jalak Werit yang menganggap bahwa lawannya yang masih muda itu akan segera dapat dikalahkan, ternyata sudah salah hitung.
    Dengan tenaga yang sangat besar, maka Glagah Putih telah memutar pedangnya. Kemudian menyerang dalam ayunan yang deras mendatar. Ketika ujung pedangnya tidak menyentuh lawannya, maka iapun telah meloncat dengan pedang terjulur, sehingga ujung pedangnya itu seakan-akan menembus putaran tongkat baja lawannya mengarah ke dada.
    Tetapi tidak mudah bagi Glagah Putih untuk menjangkau kulit lawannya. Karena itu, maka Glagah Putih harus bertempur dengan keras menghadapi lawannya yang semakin lama menjadi semakin kasar.
    Sekali-sekali senjata keduanya telah beradu, sehingga bunga apipun telah berloncatan diudara, menghambur berguguran. Sementara itu suaranya yang berdentang telah menggetarkan jantung mereka yang sedang bertempur dengan garang dan keras itu.
    Kemampuan Glagah Putih yang tidak terduga oleh Putut Jalak Werit, ternyata telah membuatnya gelisah. Seranganserangannya sama sekali tidak mampu mengenai lawannya, bahkan menggores pakaiannyapun tidak.
    Namun Putut Jalak Werit belum benar-benar sampai ke ujung tertinggi ilmunya. Itulah sebabnya, maka ia masih saja merasa akan dapat menyelesaikan lawannya itu.
    Tetapi Putut Jalak Werit mulai gelisah ketika untuk beberapa saat kemudian, ia masih belum mampu menguasai anak muda itu. Setiap kali ia meningkatkan ilmunya, rasa-rasanya anak muda itupun telah melakukan hal yang sama.
    Dengan demikian, maka Putut itu mulai memperhatikan kemampuan lawannya dengan bersungguh-sungguh. Bahkan ketika ia mencoba menyerang dengan satu hentakan yang cepat, ternyata bahwa anak muda itu sama sekali tidak menjadi bingung dan kehilangan pengamatan diri. Serangan tongkat Putut Jalak Werit itu justru tidak menyentuh sasaran.
    Kegagalan itu telah membuat Putut Jalak Werit menilai kembali kemampuan lawannya. Ia mulai percaya bahwa lawannya yang muda itu memiliki ilmu yang tinggi pula.
    Karena itui, maka Putut itupun telah semakin meningkatkan ilmunya. Tongkatnya berputar semakin cepat, sehingga serangan-serangannyapun menjadi semakin deras mengarah ke tubuh Glagah Putih, seakan-akan dari segala arah.
    Tetapi Glagah Putihpun kemudian telah mengimbanginya. Ia bukan saja meningkatkan kecepatannya bergerak oleh dorongan tenaga cadangan didalam dirinya, tetapi ia juga telah meningkatkan kekuatannya.
    Karena itulah, maka Glagah Putih tidak saja berusaha menghindari serangan-serangan yang datang membadai, tetapi sekali-sekali juga membentur serangan itu dengan kekuatan yang mampu mengimbangi kekuatan lawannya.
    Putut Jalak Werit semakin lama menjadi semakin gelisah. Ia benar-benar telah bertemu dengan kekuatan yang tidak diduganya. Anak yang masih sangat muda menurut penglihatannya itu ternyata telah memiliki ilmu yang sangat tinggi. Memiliki ketrampilan yang mengagumkan serta kecepatan gerak yang kadang-kadang sempat membingungkan.
    Apalagi ketika Putut Jalak Werit itu sempat mengamati sekilas pertempuran antara gurunya dan orang yang bersenjata cambuk itu. Putut itupun menjadi semakin gelisah. Ternyata gurunya sudah melampaui beberapa batasan waktu yang sering diberikan kepada lawan-lawannya. Tetapi Ki Gede Kebo Lungit itu masih belum dapat menguasai lawannya yang terhitung masih muda.
    “Siapakah sebenarnya mereka?“ pertanyaan itu telah timbul dihati Jalak Werit.
    Sementara itu, Glagah Putihlah yang kemudian tidak lagi terlalu mengekang diri. Ia sadar, bahwa tugasnya masih menunggu, karena pasukan Tanah Perdikan itu harus dengan segera memasuki alun-alun dari arah Barat.
    Ketika Glagah Putih kemudian semakin mempercepat serangan-serangannya, maka justru Putut itulah yang bukan saja harus bekerja keras, tetapi iapun menjadi semakin marah. Benturan-benturan senjata mereka menunjukkan bahwa kekuatan Glagah Putih telah meningkat semakin tinggi.
    Sementara itu, Ki Gede Menorehpun telah meningkatkan ilmunya pula. Ki Gede yang bertanggung jawab terhadap gerakan pasukannya berusaha untuk mempercepat penyelesaian dari pertempuran itu. Dengan ketangguhan yang mapan, sesuai dengan keadaan tubuhnya, maka Ki Gede mampu menunjukkan kelebihannya atas Senapati yang memimpin para prajurit dari Madiun itu. Bahkan beberapa saat kemudian, Senapati itupun telah mulai terdesak tanpa menyadari bahwa kaki lawannya telah menjadi cacat, sehingga Senapati itu tidak berusaha memancing Ki Gede untuk bergerak lebih banyak dan bertempur pada jarak yang panjang.
    Di bagian lain dari halaman perguruan Ki Gede Kebo Lungit itu, serta menebar diluar dinding halaman, para pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah berhasil menekan pasukan Madiun. Bahkan mereka telah sempat mendesak pasukan lawan untuk bergeser ke arah alun-alun untuk bergabung dengan pasukan yang bertahan pada garis pertahanan berikutnya.
    Tetapi agaknya Senapati yang memimpin prajurit Madiun itu masih berusaha untuk menahan pasukan Mataram itu dan menghalaunya menjauhi alun-alun.
    Namun sulit bagi kekuatan pasukan Madiun itu untuk bertahan. Sementara itu, Ki Gede Kebo Lungit masih juga harus meningkatkan kemampuannya melawan Agung Sedayu.
    Sebenarnyalah, Ki Gede Kebo Lungit tidak bermimpi bahwa perguruannya akan kedatangan seorang yang memiliki ilmu demikian tinggi. Menurut perhitungannya, maka orang-orang yang berilmu tinggi tentu akan berada di induk pasukan dan langsung menuju ke alun-alun untuk berhadapan dengan para pemimpin tertinggi Madiun.
    Ki Gede Kebo Lungit sudah ingkar untuk tidak bergabung dengan para pemimpin di Madiun dengan dalih untuk mempertahankan perguruannya serta membantu prajurit Madiun menghentikan! gerak pasukan Mataram yang datang dari Barat, tiba-tiba telah bertemu dengan pasukan yang datang dari sebuah Tanah Perdikan dibawah pimpinan orang-orang muda yang berilmu tinggi.
    Ki Gede Kebo Lungitpun menjadi heran melihat Putut kepercayaannya itu masih harus meningkatkan ilmunya bahkan sampai ketingkat tertinggi sekedar untuk melayani anak-anak.
    “Jika orang-orang dari lingkungan kecil di Mataram memiliki kemampuan yang demikian tinggi, lalu apa saja yang dapat dilakukan oleh para Senapati tertinggi dari Mataram. Bahkan Panembahan Senapati sendiri?“ pertanyaan itu telah timbul didalam hati Ki Gede Kebo Lungit itu.
    Namun adalah satu kenyataan yang dihadapi oleh Ki Gede Kebo Lungit dan murid-muridnya, bahwa pasukan pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh itu ternyata telah mampu mendesaknya. Para prajurit Madiunpun harus mengakui kenyataan, bahwa kekuatan para pengawal Tanah Perdikan itu sulit dibendung. Ternyata bahwa jumlah prajurit Madiun yang ditempatkan dilingkungan perguruan itu memang lebih sedikit dibanding dengan jumlah pasukan Tanah Perdikan. Tetapi bersama dengan para murid perguruan ki Gede Kebo Lungit sebenarnya jumlahnya cukup memadai.
    Tetapi yang tidak diduga oleh para prajurit Madiun, murid Ki Gede Kebo Lungit tidak bertempur dengan segenap kemampuan mereka. Agaknya mereka terlalu cepat menarik diri kebelakang garis pertempuran.
    Yang terjadi itu memang tidak diperhitungkan oleh Ki Gede Kebo Lungit, Ia memang sudah berpesan, agar murid-muridnya tidak perlu dengan tanpa pertimbangan lain, bertempur sampai kemungkinan terakhir. Ki Gede Kebo Lungit telah berpesan kepada murid-muridnya, biarlah korban yang terbanyak jatuh dari antara prajurit Madiun sendiri.
    Keadaan yang kurang wajar itu memang terbaca oleh para prajurit Madiun. Tetapi mereka tidak dapat berbuiat apa-apa. Mereka tidak dapat memaksa para murid perguruan KiGedeKebo Lungit untuk bertempur semakin gigih.
    Senapati Madiun yang bertempur di halaman rumah Ki Gedepun segera mendapat laporan. Namun untuk dapat mendekatinya, maka penghubung itu harus membawa sekelompok prajurit. Meskipun kemudian sekelompok pengawal berusaha untuk menahan mereka dan melindungi Ki Gede, namun Senapati Madiun itu mempunyai kesempatan untuk mendengarkan laporan.
    Karena itu, maka tiba-tiba saja ia berteriak, “Aku akan berada diluar dinding halaman.“
    Sebenarnyalah dengan gerak yang menghentak, maka Senapati itu berusaha memisahkan diri dari pertempuran itu. Dengan serta merta maka Senapati dari Madiun itu telah berlari keluar melalui regol halaman bersama dengan pengawalnya.
    Senapati itu memang terkejut melihat kekisruhan yang timbul diantara para prajurit Madiun. Dengan demikian maka ia tidak berniat lagi untuk kembali menghadapi Ki Gede Menoreh. Ia harus mencari jalan untuk menyelamatkan prajurit-prajuritnya sehingga tidak tertumpas karenanya.
    Apalagi ia memegang perintah dari para pemimpin prajurit Madiun, bahwa jika perlu, maka pasukan itu dapat ditarik dan bergabung dengan pasukan yang bertahan pada garis pertahanan pertama diluar lingkungan istana.
    “Jangan menunggu pasukanmu ditumpas habis, Jika kau bawa mereka ke garis pertahanan pertama, maka pasukan itu masih akan dapat berarti bagi pertahanan. Jika pasukan yang tersebar dan karena tidak dapat bertahan itu kemudian berkumpul pada garis pertahanan pertama diluar istana, maka kekuatan itu akan dapat ikut membendung arus pasukan Mataram. Tetapi jika para prajurit Madiun yang ditugaskan menghambat pasukan Mataram mampu, memang sebaliknya pasukan itu dihancurkan sebelum sampai ke garis pertahanan pertama.”
    Memang ada kelompok-kelompok prajurit Mataram yang tertahan dan harus menarik diri untuk bergabung dengan kelompok-kelompok yang lain. Tetapi sebagian besar dari pasukan Mataram berhasil mendesak pasukan Madiun sehingga pasukan itu harus bergeser surut dan berada dalam garis pertahanan pertama diluar istana.
    Demikianlah, pasukan Madiun yang berada di perguruan Ki Gede Kebo Lungitpun telah mengalami banyak kesulitan. Apalagi karena murid-murid Ki Gede Kebo Lungit yang jumlahnya cukup banyak itu tidak membantu mereka dengan sungguh-sungguh.
    Dengan demikian, maka sejenak kemudian telah terdengar isyarat, sehingga prajurit Madiun itupun dengah sigapnya, menyusun diri agar mereka tidak dihancurkan disaat mereka mundur. Karena itu, maka dengan ketangkasan seorang prajurit, maka prajurit-prajurit Madiun itupun segera berloncatan, silang menyilang diantara rumah dan halaman menyusuri dinding-dinding kebun dan pekarangan, bergeser mundur ke garis pertahanan pertama.
    Ki Gede yang telah terlepas dari lingkaran pertempuran melawan Senapati Madiun itupun bergegas untuk keluar halaman. Ia melihat gerakan mundur pasukan Madiun. Tetapi ternyata para murid Kebo Lungit tidak melakukannya sebagaimana para prajurit Madiun. Meskipun sebelumnya Senapati Madiun itu telah memberikan pesan-pesan, petunjuk-petunjuk, bahkan seakan-akan mereka telah menyatakan satu persetujuan dengan berjanji untuk saling mentaati, agar jika perlu seluruh pasukan akan ditarik, namun ternyata Ki Gede Kebo lungit telah mengingkarinya.
    Demikian prajurit Madiun memberikan isyarat untuk ditarik, maka Ki Gede Kebo Lungitpun telah memberikan isyarat tersendiri bagi murid-muridnya.
    Para pengawal Tanah Perdikan memang menjadi agak bingung. Mereka menyadari, bahwa prajurit Madiun telah menarik diri. Merekapun tahu bahwa pasukan yang terdiri dari murid-murid dan para cantrik dan pengikut Ki Gede Kebo Lungit juga akan mengundurkan diri.
    Ki Gede termangu-mangu sejenak. Ki Gede Menoreh sadar, bahwa pengenalan dan penguasaan medan, baik para prajurit Madiun, maupun para murid Ki Gede Kebo Lungit, tentu lebih baik dari para pengawal Tanafi Perdikan yang disertai oleh seorang penunjuk jalan. Karena itu, maka Ki Gede harus segera mengambil keputusan, apakah ia akan mengikuti pasukan Madiun atau mengikuti pasukan Ki Gede Kebo Lungit.
    Sementara itu, Agung Sedayu dan Glagah Putih yang menyadari usaha untuk mengundurkan diri itupun telah mengambil sikap. Mereka harus dengan segera menguasai lawan mereka masing-masing. Namun merekapun sadar, bahwa lawan mereka adalah orang orang yang berilmu tinggi.
    Namun ternyata bahwa Ki Gede Kebo Lungit yang memberikan isyarat dan kemudian diteruskan kepada para murid dan pengikutnya itu telah lebih dahulu mempersiapkan diri. Dengan serta merta Ki Gede itu melihat Agung Sedayu bagaikan angin pusaran yang dahsyat sekali. Ketika ia berhasil mendesak Agung Sedayu yang meloncat menghindari libatan itu, maka Ki Gede telah meloncat surut.
    Agung Sedayu yang bersiap untuk memburunya, tiba-tiba terkejut. Satu hentakan tongkat Ki Gede Kebo Lungit, maka seleret sinar telah memancar. Hampir saja meledakkan dada Agung Sedayu. Namun ia telah mengetrapkan ilmu meringankan tubuhnya, sehingga ia sempat meloncat menghindarinya. Namun sinar itu meledak juga. Kabut yang tebal telah mengepul disekitarnya sehingga mengganggu pandangan mata Agung Sedayu. Hanya karena ia memiliki ilmu Sapta Pandulu, maka ia masih sempat melihat bayangan kabut dari Ki Gede Kebo Lungit yang meloncat memasuki celah-celah dinding bangunan perguruannya yang besar itu.
    Agung Sedayu tidak mau kehilangan lawannya. lapun kemudian telah meloncat keluar dari kabut itu dan berusaha memburu lawannya. Namun demikian ia memasuki celah-celah itu, tiba-tiba saja atap bangunan sebelah-menyebelah berderak. Untunglah bahwa Agung Sedayu sempat melihat, dari celah-celah atap itu meluncur lurus kebawah beberapa buah lembing.
    Karena itu, maka Agung Sedayu terpaksa meloncat mundur. Sementara itu, maka Ki Gede Kebo Lungit tentu sudah menjadi semakin jauh.
    Dengan demikian, Agung Sedayu tidak lagi merasa perlu menghancurkan lembing-lembing itu dengan ilmunya dan kemudian mengejar Ki Gede Kebo Lungit.
    Demikian pula Glagah Putih. Tongkat Putut Jalak Werit itu juga mampu menyemburkan asap, meskipun bukan merupakan satu loncatan sinar yang meledak sehagaimana dilontarkan oleh gurunya. Semburan asap itu terasa sangat pedih dimata Glagah Putih, sehingga untuk sesaat, ia seakan-akan tidak mampu melihat lawannya.
    Karena itu, Glagah Putih justru meloncat surut, mengambil jarak untuk mengamankan dirinya. Betapapun pedihnya, namun Glagah Putihpun kemudian memaksa untuk membuka matanya. Ia tidak mau lawannya menikam dadanya dengan ujung tongkatnya yang runcing disaat ia memejamkan matanya karena pedih.
    Tetapi Glagah Putih tidak melihat lawannya. Ketika kabut itu lenyap ditiup angin, maka lawannya telah tidak ada ditempatnya. Glagah Putihpun tidak mengejar lawannya.
    Sementara Ki Gede Menorehpun tidak memberikan perintah kepada para pengawal untuk tidak mengejar lawan mereka ke arah manapun.
    Dengan demikian, maka para pengawal Tanah Perdikan itupun justru telah dikumpulkan di halaman perguruan Ki Gede Kebo Lungit yang luas itu. Penunjuk jalan yang kemudian berbicara dengan Ki Gede telah memberitahukan bahwa Ki Gede Kebo Lungit tentu telah menarik pasukannya ke sebuah padepokan diluar kota Madiun. Padepokan itu memang milik Ki Gede Kebo Lungit. Tetapi perguruan Ki Gede Kebo Lungit justru berada didalam kota untuk mendapat perhatian lebih banyak, sehingga perguruannya itupun akan lebih cepat menjadi besar.
    “Untuk sementara Ki Gede Menoreh lebih baik tidak mengejar mereka.“ berkata penunjuk jalan itu.
    “Jadi?“ bertanya Ki Gede Menoreh.
    “Ki Gede lebih baik bergerak ke alun-alun.“ jawab penunjuk jalan itu.
    Ki Gede mengangguk. Ia memang mendapat perintah untuk bergerak menuju ke alun-alun dari arah Barat.
    Namun beberapa saat Ki Gede telah membenahi pasukannya. Dalam pertempuran singkat itu ternyata ada juga korban yang jatuh. Karena itu, maka Ki Gede telah menugaskan beberapa orang pengawal untuk mengurusi korban-korban itu.
    “Kita tidak tahu, dimana tempat kita hingga hari ini.“ berkata Ki Gede, “menurut rencana jika kita berhasil, kita memang akan menduduki kota ini.“
    Demikianlah, maka Ki Gede telah membawa pasukannya itu bergerak menuju ke alun-alun. Namun Ki Gedepun tahu bahwa disekitar alun-alun itu tentu terdapat pasukan Madiun yang bertahan dengan mengerahkan segenap kekuatannya.
    Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Ki Gede telah melihat isyarat anak panah sendaren yang naik. Satu pertanda bahwa pasukan pertama yang dipimpin oleh Panembahan Senapati sendiri sudah langsung bergerak menuju ke istana yang tentu saja telah dahulu harus menembus pasukan yang bertahan di sekitar alun-alun. Jika Panembahan Senapati berhasil, maka pasukan itu masih harus memecahkan pertahanan di istana Panembahan Madiun.
    Karena itu, maka Ki Gedepun telah membawa pasukannya untuk langsung menuju ke alun-alun dari arah Barat.
    Demikianlah, maka pasukan itupun kemudian mulai bergerak dengan sangat barhati-hati. Mereka tidak boleh terjebak memasuki lingkungan pertahanan lawan sebelum pasukan induk mulai bergerak.
    Ternyata ada beberapa pasukan yang lain yang telah bergerak mendekati alun-alun pula. Para penghubung sempat mengucapkan pertanda sandi untuk meyakinkan apakah pasukan itu dari Mataram atau bukan.
    Namun dalam pada itu , Agung Sedayu dan Glagah Putih ternyata masih memikirkan lawan-lawan yang berhasil lolos dari medan. Seperti juga para murid Ki Gede Kebo Lungit yang seperti air yang meresap ke lubang-lubang sempit didasar sebuah kebun. Lenyap begitu saja.
    Sementara para prajurit Madiun mengundurkan diri dengan menghilang diantara rumah-rumah yang terhitung cukup padat, maka para murid Ki Gedepun telah lenyap pula disela-sela bangunan di perguruannya.
    “Orang yang bernama Ki Gede Kebo Lungit itu cukup berbahaya.“ berkata Agung Sedayu, “sikapnya yang kegila-gilaan itu perlu mendapat perhatian tersendiri. Ia ingin membiarkan Mataram dan Madiun hancur bersama-sama. Kemudian ia akan mendapat kesempatan untuk berbuat sesuatu di atas reruntuhan itu. Karena itu, maka di padepokannya ia tentu mempunyai persiapan yang lebih baik dari yang berada di perguruannya.“
    “Padepokan itu harus dihancurkan juga. Padepokan itu akan sangat berbahaya, baik bagi Mataram maupun bagi Madiun. Apapun yang kemudian akan terjadi di Madiun setelah perang ini namun ancaman Ki Gede Kebo Lungit itu tentu masih akan selalu membayanginya. Apalagi jika Ki Gede sempat berhubungan dengan pihak-pihak lain yang sejalan dengan pikiran Ki Gede Kebo Lungit meskipun kemudian mereka akan terpecah dalam sikap yang akhirnya bertumpu kepada kepentingan diri sendiri.“ sahut Glagah Putih.
    “Kau benar Glagah Putih.“ jawab Agung Sedayu, “kita harus membicarakannya dengan Ki Gede Menoreh. Jika Ki Gede kelak mampu meyakinkan Pangeran Mangkubumi, maka Pangeran Mangkubumi tentu akan mengijinkan sepasukan dari antara pasukan Mataram untuk datang ke padepokan itu. Aku kira pasukan Tanah Perdikan Menoreh cukup kuat untuk mematahkan perlawanan padepokan yang dipimpin oleh Ki Gede Kebo Lungit itu.“
    “Namun semuanya itu tentu setelah perang dengan Madiun ini menunjukkan tanda-tanda akhir,” berkata Glagah Putih kemudian.
    Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Mataram masih harus menyelesaikan Madiun lebih dahulu. Seperti dikatakan oleh Ki Gede Kebo Lungit, perang ini akan dapat menjadi perang habis-habisan sehingga kemudian Ki Gede Kebo Lungit akan mendapat kesempatan untuk mengambil keuntungan.
    Agung Sedayu yang kemudian telah ikut bergerak itu sempat berbisik kepada Glagah Putih, “Perang ini akan dapat menjadi perang yang mengerikan. Mungkin kita harus mengetrapkan segala ilmu untuk mengatasi tekanan lawan yang sangat berat.“
    Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi ia kemudian berkata, “Apalagi jika Ki Patih Mandaraka tidak berusaha untuk mengurangi jumlah kematian dengan caranya.“
    Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun ia tidak menjawab.
    Dalam pada itu, maka pasukan Tanah Perdikan itu telah menjadi semakin dekat. Penunjuk jalan itu memberikan isyarat, bahwamenurutperhitungan, beberapa puluh patok lagi dihadapan mereka, pasukan Madiun akan bertahan.
    Ketika sekali lagi para prajurit Mataram melihat isyarat panah sendaren naik keudara sahut menyahut, maka segala sesuatunyapun telah bersiap. Beberapa kelompok pasukan yang datang dari Barat telah mengadakan hubungan yang satu dengan yang lain dengan isyarat sandi. Kemudian mereka telah menempatkan diri pada jalan-jalan yang akan dapat langsung menusuk ke pusat kota.
    Dengan demikian maka gerak akhir dari pasukan Mataram itu telah siap dilakuakan. Sekali lagi isyarat telah naik keudara. Dengan demikian, maka pasukan Matarampun telah mulai bergerak menuju ke alun-alun.
    Tetapi sementara itu dibeberapa bagian kota pertempuran masih berlangsung. Pasukan Mataram seakan-akan memang telah berada di segala sudut kota. Sementara itu induk pasukan Mataram telah bergerak langsung ke pusat pertahanan Madiun.
    Namun ternyata bahwa Mataram telah melakukan satu serangan yang mengejutkan. Demikian pasukannya bergerak dari segala arah, maka sepasukan berkuda telah menyerang langsung ke induk pasukan Madiun.
    Serangan itu memang tidak diduga-duga. Karena itu, maka para prajurit Madiun memang terkejut, sementara sorak yang bagaikan meruntuhkan langit terdengar dimana-mana.
    Namun serangan pasukan berkuda itu begitu cepat datangnya langsung menyibak pasukan Madiun menusuk ke jantung pertahanan. Bahkan mendekati istana.
    Pertempuran yang sengitpun segera terjadi. Tetapi pasukan berkuda itu mampu bergerak cepat. Menyambar dengan ujung-ujung tombak, kemudian bergeser meninggalkan mereka, berputar di alun-alun dan menyerang kembali dengan cepat. Sementara prajurit yang lain telah bergerak maju.
    Serangan yang tidak diduga sebelumnya itu, memang sangat berpengaruh. Apalagi serangan yang kemudian datang dari segala arah. Sorak yang gemuruh disegala tempat itupun sangat berpengaruh pula.
    Para Senapati Matarampun segera mengetahui, bahwa yang memimpin pasukan berkuda itu ternyata adalah Panembahan Senapati sendiri. Diatas kudanya yang bernama Puspa Kencana, Panembahan Senapati benar-benar bagaikan bayangan yang pancaran ilmunya benar-benar telah mengacaukan para Senapati Madiun yang berusaha untuk menahannya.
    Sedangkan para prajurit berkuda pilihan yang lainpun telah bergerak dengan cepatnya seakan-akan telah mengitari segenap pertahanan pasukan Madiun justru dari belakang garis pertempuran.
    Gerakan pasukan berkuda itulah yang tidak diperhitungkan oleh para pemimpin Madiun. Namun ternyata ketegaran dan kecepatan gerak pasukan berkuda itulah yang lebih banyak menyulitkan pasukan Madiun.
    Pertempuran itupun kemudian telah berlangsung dengan sengitnya. Namun ternyata bahwa prajurit Madiun sulit untuk dapat menahan arus maju pasukan Mataram. Sementara itu, pasukan berkuda itu beberapa putaran telah mendekati pintu gerbang istana.
    Dalam pada itu, beberapa orang penghubung telah menyampaikan kesulitan kesulitan yang dialami pasukan Madiun diluar dinding istana kepada Panembahan Madiun. Bahkan para perwira’tertinggi serta sanak kadang dan sentana yang terdekat telah menganjurkan agar Panembahan Madiun mengambil kebijaksanaan untuk mengatasi kesulitan yang dialami oleh prajurit Madiun.
    “Nampaknya sulit bagi kita untuk tetap bertahan.” berkata seorang perwira penghubung, “bahkan sampai prajurit terakhirpun kita tidak akan mampu membendung gerak maju pasukan Mataram.“
    “Aku akan menunggu Panembahan Senapati disini. Aku adalah prajurit sebagaimana Panembahan Senapati. Aku akan memimpin sendiri pasukan Madiun mempertahankan istana ini.“ jawab Panembahan Madiun.
    “Tetapi kekuatan Mataram bagaikan banjir bandang, Panembahan.“ jawab perwira penghubung itu.
    “Kau kira aku tidak berani menghadapi Panembahan Senapati? Aku tahu, ia memiliki ilmu rangkap seribu. Tetapi dimasa mudaku, aku bukan orang yang sekedar tidur siang dan malam sambil makan dipembaringan. Tetapi akupun menyusuri lembah dan pegunungan serta gua-gua yang gelap untuk menempa diri. Ilmuku tidak akan berada dibawah ilmu Panembahan Senapati.“
    Tetapi para pemimpin yang ada di istana itu berusaha untuk mencegahnya. Dengan nada dalam seorang Senapati berkata, “Hamba akan menunggu disini Panembahan. Hamba mohon Panembahan mengambil satu kebijaksanaan. Kita sudah dijebak oleh Panembahan Senapati, sehingga sebagian besar dari kekuatan yang sudah berkumpul di Madiun ini terpecah belah. Sebagian telah meninggalkan Madiun. Sebagian telah menyerang atas kemauan sendiri, namun tidak mampu mengusik kekuatan Mataram. Dan sekarang, Mataram itu telah memasuki kota Madiun, sementara kita mengira bahwa Mataram telah ber-siap-siap untuk menarik diri.“
    “Jangan rendahkan harga diriku sebagai seorang prajurit.“ geram Panembahan Madiun.
    “Hamba Panembahan. Tetapi Panembahan bukan saja seorang prajurit. Panembahan juga seorang pelindung bagi keselamatan para prajurit.“ berkata Senapati itu.
    “Karena itu, aku harus maju ke medan. Siapkan kudaku dan prajurit berkuda berapapun yang ada.“ berkata Panembahan Madiun selanjutnya.
    Namun seorang perwira penghubung berikutnya yang menghadap telah memberikan laporan, bahwa pasukan Madiun telah menjadi semakin terjebak. Kekuatan Mataram menjadi semakin mendekati gerbang istana.
    “He, orang-orang dungu. Cepat sediakan kudaku. Kenapa kalian hanya bingung saja. Siapa yang merasa dirinya prajurit, ikut aku.“ Panembahan Madiun yang marah itu telah menyambar hulu keris yang terselip dilambung Kiai Gumarang.
    “Ampun Panembahan.“ seorang sentana yang sudah berambut putih berkata dengan nada lembut, “kasihanilah para prajurit yang tersisa. Sementara itu, Panembahan sebaiknya tidak terdorong oleh perasaan Panembahan.“
    “Jadi, apa yang harus aku lakukan menurut kalian?“ bertanya Panembahan Madiun.
    “Panembahan, selagi masih ada pasukan pengawal yang kuat, sebaiknya Panembahan meninggalkan Madiun. Dengan isyarat pasukan Madiun akan ditarik dari segala medan. Yang sempat dihubungi akan mendapat perintah untuk meninggalkan kota dan bergabung dengan Panembahan. Dengan demikian, Panembahan telah menyelamatkan beratus jiwa.“ berkata orang tua itu.
    “Kau telah menghina aku.“ geram Panembahan Madiun.
    Namun hati Panembahan Madiun menjadi luluh ketika permaisuri Panembahan Madiun sendiri mencegah niat Panembahan untuk maju ke medan.
    “Hamba memang yakin, bahwa ilmu dan tingkat kemampuan Panembahan tidak lebih rendah dari ananda Panembahan Senapati, tetapi perang memerlukan dukungan para prajurit dan pengawal. Karena itu hamba mohon, Panembahan, jangan turun ke medan.“
    Panembahan Madiun menjadi termangu-mangu. Sementara para pemimpin yang lain masih saja mohon.
    “Sebaiknya Panembahan dan permaisuri meninggalkan istana.“ berkata seorang pemimpin yang sudah berjanggut putih.
    Karena desakan dari segala pihak, maka akhirnya Panembahan Madiun tidak dapat mengelak lagi. Tetapi kepada putera puterinya. Panembahan Madiun.menjatuhkan perintah. “Kau tinggal disini. Kau tahu apa maksudku. Lakukan sebagaimana dilakukan oleh orang Mataram.“
    Puteri Panembahan Madiun itu terkejut. Tetapi Panembahan Madiun berkata selanjutnya, “Retna Jumilah, ada beberapa tugas yang dapat kau lakukan. Aku akan meninggalkan keris Kiai Gumarang. Kau tahu apa yang harus kau lakukan. Betapa saktinya Panembahan Senapati, tetapi jika kulitnya tergores keris Kiai Gumarang, maka ia tidak akan mampu bertahan untuk tetap hidup.“
    “Tetapi ayahanda.“ Retna Jumilah mulai menjadi gelisah dan bingung.
    Namun keputusan ayahandanya tetap. Retna Jumilah harus tetap tinggal di istana menunggu Panembahan Senapati memasuki istana ini. Kemudian kewajibannya adalah kewajiban seorang putera puteri Panembahan Madiun yang terpaksa menyingkir dari istananya. Kewajiban seorang prajurit meskipun ia seorang puteri. Justru mempergunakan sifat keputriannya. Retna Jumilah harus melakukan tugas keprajuritan.
    Betapapun beratnya, maka akhirnya melalui pintu gerbang butulan, Panembahan Madiun dengan pengawalan yang kuat bersama permaisuri dan seorang puteranya telah meninggalkan istana.
    Sementara itu, begitu ayahanda dan ibundanya berangkat, Retna Jumilah telah jatuh pingsan.
    Beberapa orang pelayan dan emban menjadi bingung. Namun akhirnya Retna Jumilah itu telah menjadi sadar kembali. Ia tidak mau mengenakan lagi pakaiannya sebagai seorang puteri, tetapi Retna Jumilah telah mengenakan pakaian seorang kesatria dengan keris Kiai Gumarang. Apapun yang terjadi ia bertekat untuk berperang tanding dengan Panembahan Senapati.
    Satu cara yang sebenarnya tidak dikehendaki oleh Panembahan Madiun. Karena Panembahan Madiun justru menghendaki agar puterinya mempergunakan kelemahannya sebagai seorang puteri menjadi kekuatan utamanya untuk mengalahkan Panembahan Senapati.
    Dalam pada itu, dengan cepat pasukan Madiun yang melindungi Panembahan Madiun telah bergerak justru kearah Timur. Mereka menyerang diantara lorong-lorong kecil untuk mencapai pintu gerbang kota disebelah Timur, karena menurut keterangan para penghubung kekuatan Mataram lebih banyak berada disebelah Barat kota.
    Pasukan Mataram yang berada di sisi Timur kota memang terkejut melihat satu gerakan pasukan yang tiba-tiba saja menembus pertempuran. Pasukan Madiun yang mengawal Panembahan Madiun ternyata adalah pasukan yang memang terpilih. Dengan gagah berani mereka menyusup dan menyibak pasukan yang menghadang di depan mereka. Sementara itu pasukan Madiun yang dilampauinya, telah bergabung dengan mereka tanpa mengetahui rencana gerakan itu.
    Namun para penghubung memang berusaha untuk menyampaikan perintah kepada setiap pasukan untuk menarik diri bersama-sama dengan pasukan Madiun yang sedang bergerak itu.
    Perintah itu memang segera tersebar. Tetapi tidak semua pasukan akan dapat melakukannya, apalagi pasukan yang ada di sebelah Barat. Mereka sudah terbelit oleh pertempuran-pertempuran yang rumit untuk diurai.
    Karena itu, maka pasukan bagi mereka adalah, kurangi korban jiwa yang sudah tidak memberikan arti apa-apa lagi.
    Ternyata Panembahan Madiun bergerak tepat pada waktunya. Pada saat yang hampir bersamaan, pasukan induk Mataram telah berhasil memecahkan pertahanan pasukan Madiun dan langsung bergerak ke istana. Pasukan yang dipimpin langsung oleh Panembahan Senapati itu telah menjalani hambatan dipintu gerbang. Beberapa kelompok pasukan Madiun memang ditinggalkan di pintu gerbang utama istana untuk mengetahui pasukan Mataram, agar mereka mengira bahwa pasukan itu akan mempertahankan istana dengan segenap kemampuan yang ada.
    Namun Panembahan Senapati memang terkejut. Pertahanan itu begitu cepat, sehingga dalam waktu yang sangat singkat, maka pasukan Madiun telah menyerah.
    Dengan serta merta Panembahan Senapati dapat menebak, bahwa Panembahan Madiun tentu sudah meninggalkan istana.
    Tetapi Panembahan Senapati belum menjatuhkan perintah apapun. Dengan serta merta bersama beberapa orang perwira Panembahan Senapati telah langsung memasuki istana diiringi oleh Pangeran Mangkubumi.
    Demikian Panembahan Senapati memasuki bilik istana di istana Madiun, maka Panembahan Senapati terkejut. Seorang kesatria telah menerkamnya dengan sebilah keris yang seakan-akan memancar gemerlapan.
    Panembahan Senapati tertegun. Ia tidak sempat memperhatikan orang yang menyerangnya. Dengan kemampuan seorang, prajurit linuwih maka Panembahan Senapatipun telah bergeser menghindar. Namun demikian cepatnya ia menyerang pula.
    Tanpa dapat mengelak, maka Panembahan Senapati telah menangkap pergelangan tangan orang yang menyerangnya itu. Namun Panembahan itu terkejut. Ketika orang itu mengaduh, maka barulah Panembahan Senapati sadar, bahwa lawannya adalah seorang perempuan. Baru kemudian ia merasakan lunaknya pergelangan tangan orang yang menyerangnya itu.
    Meskipun demikian, Panembahan Senapati sempat merampas keris yang sangat mendebarkan hati itu, se-hingga dengan demikian, maka keris Kiai Gumarang itu telah berada di tangan Panembahan Senapati.
    Baru kemudian Panembahan Senapati sempat memandang wajah perempuan yang mengenakan pakaian seorang laki-laki itu. Bahkan pakaian seorang prajurit.
    Retna Jumilah tertunduk lesu. Ia telah gagal menggoreskan ujung kerisnya itu kepada lawannya.
    “Kau siapa gadis cantik?“ bertanya Panembahan Senapati.
    “Aku baru akan menjawab, jika aku tahu, siapakah kau.“ jawab Retna Jumilah.
    Panembahan Senapati termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia menjawab, “Aku adalah Panembahan Senapati.“
    “Jadi kau orang yang harus aku bunuh itu?“ geram puteri itu.
    “Kau berjanji untuk menyatakan diri?“ desis Panembahan Senapati kemudian.
    “Aku adalah Retna Jumilah, putera ayahanda Panembahan Madiun.“ jawab puteri itu.
    Panembahan Senapati menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Agaknya pertempuran telah ber-akhir. Dimana ayahanda puteri itu?“
    “Apa yang kau kehendaki dari ayahanda?“ bertanya Retna Jumilah.
    “Aku ingin menghadap Pamanda Panembahan. Aku akan menyampaikan sembah dan baktiku.“ jawab Panembahan Senapati.
    “Itu lagi yang kau katakan. Kau kira ayahanda masih dapat mempercayaimu?“ berkata Retna Jumilah.
    “Aku justru akan mohon maaf kepada ayahanda puteri.“ berkata Panembahan Senapati.
    “Masih terangsang betapa ayahanda mengeluh karena kecewa terhadap Panembahan atas sikap yang Panembahan tempuh.“ jawab Retna Jumilah.
    Tetapi Panembahan Senapati tersenyum. Katanya, “Pamanda Panembahan tentu telah salah paham.“
    “Tidak.“ potong Retna Jumilah.
    Panembahan Senapati ternyata telah menampakkan perhatiannya kepada puteri itu. sehingga seorang perwira telah menghadapnya sambil berkata, “Pangeran Mangkubumi menunggu perintah.“
    Panembahan Senapati bagaikan terbangun dari mimpinya. Karena itu, maka perintahnya, “Kita menduduki istana ini. Perintahkan pada pasukan kedua untuk membersihkan seluruh kota.“
    “Tetapi kita tidak menemukan Panembahan Madiun.“ jawab perwira penghubung yang menghadap itu.

  21. Sugeng dalu….


Tinggalkan Balasan ke ki Mahesa Batalkan balasan