Buku III-42

langsung saja

ati-ati

waspadalah.. waspadalah..

Halaman: 1 2

Telah Terbit on 19 Mei 2009 at 10:26  Comments (146)  

The URI to TrackBack this entry is: https://adbmcadangan.wordpress.com/buku-iii-42/trackback/

RSS feed for comments on this post.

146 KomentarTinggalkan komentar

  1. petunjuknya masih kabur NYAI

  2. klik halaman 2

    • Woo…..

    • hatur nuhun Ki Pandanalas tiwas nyari titik-titik jebule hal 2 salut NYAI SENO and makacih banget

  3. suwun Nyi, langsung pamit …

  4. telima kasih mami seno

  5. Pisan maneh nyi suwun klik halaman 2

  6. Suwun …Nyi
    Melok-melok..
    Ga usah blusukan …

  7. horee ngunduh yg pertama
    matur nuwun nyi sena

    • wah… ketinggalan sampeyan ki…

  8. ngunduh juga 🙂

  9. Ya dtinggal adus tambah kari,suwun nyi

  10. suwun Nyi Seno

  11. Akhirnya bisa merem aku….
    Matur nuwun sanget Kang mBokayu Ati….

  12. Ngunduh dulu ahh ….
    HAtur nuhun Nyi Seno …

  13. ….waspadalah………………….

    ..
    kyai gringsing kehilangan 2 cantrik yang mengantarnya..
    ga tau nginep dimana ya mereka??…
    jangan2 nyasar…

  14. Jam begini, cantrik tlatah kulonan masih pada mlungker. Radar Ki Widura dan Teliksandi tidak ada kehidupan.
    Bangun Ki lontar sudah diwedar mulai tadi.

  15. Terima kasih Nyi Seno….Matur Nuwun Ki Arema….

    • Yang ini ke Ki Truno Prenjak Ki. Lontarnya dikirim oleh beliau.

  16. Makasih Nyi.

  17. Matur nuwun kitabnya.

  18. hahahaha
    akhirnya kitab 242 diperturunkan.

    terima kasih atas kitabnya.

  19. terima kasih nyi

  20. …… iyN hisak amireT

  21. nyamleng tenan, bubar nileki pliridan wis disuguh gembili rebus didulitke sambel pecel (maksude 241 karo 242), uenak tenan….suwun nyi Seno.
    sangking kewaregen, nganti ra kuat melek, sepurone derek ora iso ngronda ndak malah ngisin-isini, mung angop-angop wae

  22. syukron nyiii.. 🙂
    siip tenan dech..

  23. terima kasih…ternyata muncul tanpa cover…..

  24. Absen Nyi …. dan hatun nuhun kitab 242 nya

  25. makasih kitabnya….. kita dari Balikpapan

  26. pas dibukak, durung digoyang langsung wedar kitabe. . . . . wah matur sembah nuwun Nyi

  27. Cantrik Widura dan Teliksandi belum ngambil jatah kitabnya ya. Atau, sudah ambil diam-diam tidak absen?

    Ayu, waktunya ronda. Gantian dengan cantrik dari tlatah Mataram.

    • Ngantar anak sekolah dulu Ki, baru absen dan ngunduh. Sempat ke sasar ke bilik 143 dan ngunduh rontal 143, rupanya salah lihat …., dengan panglimunan, Ki Arema kok sudah ada ke gandok 243. Ehh tahunya gandok 143.

      Yah antri lagi sambil baca 242 dan nyruput kopi. 🙂

    • Nyiangi rerumputan dan membuka saluran air dulu ki,.
      hadiiiirr..

  28. Waduh, gandok 243 masih dikunci.
    Yo wis titip antri disini aja ah.

    • Jangan pergi dulu Ni Nunik, Ki Goenas sudah ada di dalam … sedang membuka pintu dari dalam ….
      nJenengan harus dapat nomer 1

  29. kasian Ki Waskita .. baru diinget lagi sama Ki SHM pas sdh tua sekali. Istrinya sdh wafat tapi ga ada yg takziah ya tokoh-tokoh ADBM ? AS cuma tanya sambil lalu saja sepertinya ck ck ck …

  30. pukul 08.15 wib, pagi hari begini, ada 40-an yang sedang menjelajah adbm, luar biasa, penggemar adbm betul-betul personil yang sudah mapan, sehingga mempunyai waktu yang luang di pagi seperti ini, kalau saya pegawai rendahan mana bisa KORUPSI waktu.

    • Siapa aja bisa korupsi….

  31. Sampun kula waspada’aken, Matur Nuwun Nyimas, Ki GD..

  32. nuwun ki…

  33. Kula Sampun hati2, Nyi…
    Matur nuwun 242…

  34. terima kasih nyi…

  35. “KAMI memang orang-orang Mangir. Dua orang telah membujuk kami untuk melakukan hal ini. Ada dua hal yang mendorong kami untuk memenuhi keinginan orang itu. Pertama, orang itu telah membakar harga diri kami, orang-orang Mangir yang seakan-akan tidak dihargai sama sekali oleh Panembahan Senapati. Kedua, kami memang mendapat upah untuk berbuat seperti ini.“ berkata orang tertua itu.
    Agung Sedayu termangu-mangu. Namun sebelum ia berkata sesuatu Glagah Putih tiba-tiba saja telah melemparkan pedangnya. Lemparan seorang yang memang berilmu tinggi.
    Namun agaknya sasaran lemparan itu yang berdiri dibelakang semak-semak hutan juga mampu bergerak cepat. Pedang itu tidak mengenainya. Dengan cepat sasaran pedang Glagah Putih mengelak. Namun kemudian melarikan diri, hilang di dalam hutan.
    Agung Sedayu yang sedang memperhatikan orang tertua dari keenam orang itu ternyata terkejut. Ia sempat melihat bayangan yang menghilang dibalik rimbunnya dedaunan.
    “Jangan kau kejar Glagah Putih.“ desis Agung Sedayu.
    “Agaknya orang itu ingin melemparkan semacam pisau-pisau kecil atau paser beracun untuk membunuh orang-orang itu.“ desis Glagah Putih.
    Agung Sedayu menarik nafas dalam-dakam. Kemudian kepada orang-orang yang ketakutan itu ia berkata, “Nah, kau lihat. Kau adalah umpan yang memang dengan sengaja di jerumuskan ke dalam kesulitan seperti ini. Apakah kau sebelumnya tidak mengerti apa yang kau lakukan itu?“
    Orang itu menjadi semakin gemetar. Namun Agung Sedayu berkata, “Jangan takut. Orang itu tidak akan berani mendekat lagi.“
    “Tetapi, kenapa mereka berbuat begitu?“ suara orang itu semakin gemetar, sementara kawan-kawannyapun bertambah ketakutan.
    Agung Sedayu dan Glagah Putih tidak membiarkan mereka menjadi semakin gemetar. Karena itu, maka merekapun telah melepaskan hambatan bagi kedua orang yang telah mereka sentuh simpul-simpul syarafnya, sehingga syaraf dan nadi merekapun telah terbuka dengan wajar.
    Keenam orang itupun kemudian telah dibawa oleh Agung Sedayu dan Glagah Putih ke bulak persawahan, sehingga jika ada orang yang mendekat, mereka akan dengan segera mengetahui.
    Sementara itu, menurut keterangan orang-orang itu, ternyata bahwa mereka memang orang-orang yang tidak tahu menahu tentang apa yang mereka lakukan. Kepada Glagah Putih, Agung Sedayu berdesis, “Itulah kelebihan Panembahan Cahya Warastra.“
    Glagah Putih mengangguk-angguk. lapun sependapat, bahwa keenam orang itu telah menjadi semacam alat bagi orang-orang yang digerakkan oleh Panembahan Cahya Warastra untuk menimbulkan persoalan-persoalan di Mataram dan sekitarnya. Ketidak tenteraman, kegelisahan dan bahkankeresahan.
    “Tetapi kenapa sasaran pertama di Tanah Perdikan ini langsung pada kakang Agung Sedayu?“ bertanya Glagah Putih didalam hatinya. “Agaknya orang-orang itu akan langsung membakar persoalan pada pokok batangnya, Agung Sedayu dan dirinya sendiri.”
    Dalam pada itu, maka Agung Sedayupun kemudian telah bertanya kepada orang-orang itu, “Nah. Ki Sanak. Kalian lalu mau apa?“
    Orang-orang itu menjadi kebingungan. Mereka saling berpandangan dan untuk beberapa saat mereka justru terdiam.
    Agung Sedayulah yang kemudian bertanya, “Apakah kalian kembali ke Mangir?“
    Pertanyaan itu telah menimbulkan kebingungan pula. Bahkan orang tertua diantara mereka itupun bertanya, “Aku tidak tahu maksudmu.“
    Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Setelah langkah kalian yang tidak kalian sadari ini, maka kalian ingin berbuat apa? Kembali ke Mangir atau apa lagi?“
    “Tetapi apakah yang akan kalian perbuat atas, kami?“ bertanya orang itu.
    “Apa? Kami tidak akan berbuat apa-apa.“ jawab Agung Sedayu.
    “Tetapi kami sudah melakukan kesalahan.“ berkata orang itu pula.
    Agung Sedayu justru termangu-mangu. Tetapi iapun kemudian bertanya, “Apakah sebelumnya kau pernah mendengar tentang aku dan Glagah Putih?“
    Orang itu menggeleng. Katanya, “Orang yang datang kepadaku dengan membakar harga diriku sebagai orang Mangir dan memberikan upah itulah yang berceritera tentang Agung Sedayu dan sedikit tentang Glagah Putih. Tetapi orang itu tidak berbicara tentang tingkat kemampuanmu yang sangat tinggi. Kami mengira bahwa kami berenam akan dapat mengalahkan kalian.“
    “Sudahlah.“ berkata Agung Sedayu, “Kalian memang bersalah. Tetapi kesalahan kalian terutama adalah karena kebodohan kalian. Karena itu, kami tidak berniat untuk mengambil tindakan apapun atas kalian. Kembalilah ke Mangir dan katakan kepada kawan-kawan kalian bahwa langkah yang telah kalian ambil ternyata salah. Karena itu, kawan-kawan kalian jangan melakukan kesalahan yang sama sebagaimana kalian lakukan.“
    Tetapi diluar dugaan yang tertua diantara mereka berkata, “Kami tidak berani kembali ke Mangir.“
    “Kenapa?“ bertanya Agung Sedayu.
    “Ternyata kami memang akan dikorbankan. Jika benar orang yang dihutan itu akan membunuh kami, maka mereka tentu akan melakukannya bila kami kembali.“ berkata orang itu.
    “Tidak ada gunanya. Jika mereka akan membunuhmu, sekedar untuk menutup mulutmu agar tidak berbicara terlalu banyak tentang dirimu. kawan-kawanmu dan peristiwa yang pernah kau alami. Tetapi kau sudah terlanjur mengatakannya.“ berkata Agung Sedayu.
    “Tetapi mereka tentu menganggap bahwa kami telah berkhianat.“ jawab orang itu.
    “Tidak. Kalian bukan apa-apa. Jika mereka memang berniat membunuhmu, maka tentu bukan kalian yang mendapat tugas untuk melakukannya. Orang-orang itu tahu, bahwa kalian tidak akan dapat membunuhku. Justru akulah yang diharapkan membunuh kalian, sehingga persoalannya menjadi berkembang. Orang-orang Mangir akan marah, sementara orang-orang Tanah Perdikan menjadi gelisah dan menjadi curiga.“ berkata Agung Sedayu.
    “Tetapi kami tidak berani kembali. Mereka dapat membunuh kami apapun alasannya.“ berkata orang itu.
    “Baiklah.“ jawab Agung Sedayu kemudian, “dalam dua tiga hari ini kalian tinggal di Tanah Perdikan. Pada saatnya, kami akan mengantarmu kembali ke Mangir.“
    Orang-orang itu saling berpandangan sejenak. Orang tertua diantara mereka itupun kemudian berkata, “Kami tidak mempunyai pilihan lain. Kami mengucapkan terima kasih atas kebaikan hati kalian. Kalian tidak menghukum kami. Dan kalian bersedia membawa kami ke Tanah Perdikan.“
    Agung Sedayu yang sudah menggerakkan bibirnya terpotong oleh salah seorang diantara mereka yang berkata dengan serta merta, “Tetapi apakah yang akan kami alami di Tanah Perdikan? Orang-orang marah yang menyongsong kami dengan senjata ditangan atau apa lagi?“
    Agung Sedayu tertawa. Katanya, “Kami bukan orang-orang yang mempunyai kesenangan yang demikian. Apakah orang-orang Mangir sering berbuat demikian?“
    Orang itu menggeleng. Karena itu maka Agung Sedayupun tersenyum sambil berkata, “Apakah ada perbedaan watak yang sangat jauh diantara kita? Antara Mangir dan Tanah Perdikan Menoreh?”
    Orang itu terdiam.
    Demikianlah maka sejenak kemudian iring-iringan itupun telah bergerak menuju ke padukuhan induk. Karena keenam orang itu tidak berkuda, maka perjalanan merekapun menjadi lamban. Di perjalanan itu Agung Sedayu dan Glagah Putih mendengar semakin banyak tentang orang-orang Mangir itu. Mereka memang menunggu isyarat dengan seekor burung merpati yang diberi sendaren.
    Semuanya memang berjalan sebagaimana direncanakan. Tetapi keenam orang itu tidak tahu, bahwa menurut urutan peristiwa yang direncanakan oleh orang-orang yang membujuk mereka untuk melakukan pekerjaan itu bahkan memberikan upah kepada mereka adalah, mereka berenamlah yang akan mati.
    Keenam orang itu mengangguk-angguk ketika mereka mendengar sekali lagi bahwa kematian mereka akan memancing kemarahan orang-orang Mangir, sehingga timbul permusuhan antara Mangir dan Tanah Perdikan Menoreh.
    “Ketika kami tidak membunuh kalian, maka seseorang telah berusaha melakukannya. Kecuali untuk menutup mulut kalian, juga usaha untuk memberikan kesan, seakan-akan kalian telah dibunuh oleh Agung Sedayu dan Glagah Putih.“ berkata Agung Sedayu.
    Orang-orang itu mengangguk-angguk pula. Tetapi mereka tidak mengatakan sesuatu lagi.
    Diperjalanan, beberapa orang yang bertemu dengan Agung Sedayu dan Glagah Putih selalu menyapanya dan bertanya ten¬tang sekelompok orang yang bersamanya. Namun Agung Sedayu selalu menjawab, “Sahabat-sahabat kami. Mereka akan mengunjungi kami dirumah. Adalah kebetulan kami bertemu di perjalanan.“
    Orang-orang yang bertanya biasanya tidak mempersoalkan lagi. Tetapi rasa-rasanya mereka mengerti, bahwa ada sesuatu yang tidak wajar pada orang-orang itu.
    Orang-orang yang mengaku orang Mangir itu memang merasa heran melihat sikap Agung Sedayu dan Glagah Putih yang benar-benar tidak menghukum mereka. Bahkan sampai kepadukuhan indukpun tidak terdapat tanda-tanda permusuhan dari orang-orang Tanah Perdikan. Agung Sedayu masih saja melindungi mereka dengan menyebut mereka sebagai sahabat sahabatnya.
    Namun Agung Sedayu tidak membawa keenam orang itu kerumahnya.Agung Sedayu langsung menuju ke rumah Ki Gede untuk menyerahkan orang-orang itu kepadanya.
    Ki Gede yang mendapat keterangan bahwa Agung Sedayu dan Glagah Putih telah kembali bersama-sama dengan sekelompok orang yang tidak dikenal, segera telah menemuinya di pendapa. Dengan singkat Agung Sedayu melaporkan tentang perjalanannya ke Jati Anom. Belum seluruhnya, tetapi beberapa hal yang penting diperjalanan kembali ke Tanah Perdikan telah dilaporkannya pula, termasuk keenam orang yarig mengaku datang dari Mangir itu.
    Ki Gede mengangguk-angguk. Dipandangi keenam orang itu satu demi satu. Namun seperti Agung Sedayu dan Glagah Putih, maka Ki Gede itu juga tidak bersikap bermusuhan dengan keenam orang itu.
    Meskipun demikian Agung Sedayu telah berkata kepada keenam orang itu dengan nada rendah, “Tetapi Ki Sariak. Kami minta maaf bahwa kami terpaksa menempatkan Ki Sanak berenam dalam tempat tertutup yang khusus untuk melindungi Ki Sanak dari niat buruk orang-orang yang telah mengumpankan Ki Sanak itu.“
    Keenam orang itu termangu-mangu sejenak. Mereka memang dapat memberikan arti yang bermacam-macam bagi sikap Agung Sedayu itu. Mungkin Agung Sedayu benar-benar ingin melindungi mereka, tetapi kemungkinan lain adalah bahwa Agung Sedayu telah menahan mereka untuk pada suatu saat diadili dihadapan orang-orang Tanah Perdikan itu. Tetapi apapun yang akan terjadi, mereka tidak akan dapat mengelak lagi.
    Baru ketika keenam orang itu sudah dimasukkan kedalam bilik yang khusus, dibawah penjagaan yang cukup kuat untuk benar-benar melindungi mereka, maka Agung Sedayu dapat memberikan laporan yang lengkap termasuk rencananya untuk menemui Ki Waskita yang akan diminta hadir dua hari lagi di Tanah Perdikan itu.
    Ki Gede mengangguk-angguk. Agaknya di Tanah Perdikan itu akan datang tamu orang-orang penting, termasuk Ki Patih Mandaraka. Sehingga dengan demikian maka Tanah Perdikan itu harus benar-benar mempersiapkan diri. Bukan saja menyediakan tempat untuk menginap para tamu, makan serta minum, tetapi juga Ki Gede harus menciptakan suasana yang tenang dan sesuai bagi kepentingan tamu-tamunya itu.
    Apalagi diantara para tamu itu akan terdapat seorang yang bertugas menegaskan usaha penyusunan satu kekuatan yang menyatu dibawah satu jalur perintah di Tanah Perdikan ini termasuk didalamnya kekuatan beberapa Kademangan di sekitar Tanah Perdikan ini dan untuk mengatur hubungan dengan pasukan khusus yang ada di Tanah Perdikan Menoreh.
    “Kita harus membuat persiapan-persiapan.“ berkata Ki Gede.
    “Ya Ki Gede.“ jawab Agung Sedayu, “besok kita harus sudah mulai. Nanti malam kita akan berbicara dengan para bebahu dan beberapa orang pemimpin pengawal Tanah Perdikan.“
    “Nanti malam kau dan Glagah Putih harus memberikan penjelasan kepada mereka.“ berkata Ki Gede.
    Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah Ki Gede. Biarlah besok saja aku pergi menemui Ki Waskita.“
    Ki Gede termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia berkata hampir kepada diri sendiri, “jika ada Ki Waskita, agaknya aku mempunyai kawan untuk berpikir.“
    Agung Sedayu tidak segera menyahut. Ia melihat keragu-raguan pada Ki Gede. Jika ia berharap kehadiran Ki Waskita, maka pembicaraan dengan para bebahu dan para pemimpin pengawal baru akan dapat dimulai besok siang atau sore. Dengan demikian maka mereka akan kehilangan waktu sehari.
    Karena Agung Sedayu tidak segera menyahut, maka Ki Gede itupun telah bertanya, “Bagaimana menurut pendapatmu?”
    Agung Sedayu sendiri juga ragu-ragu. Tetapi iapun telah menyatakan pendapatnya, “Sebaiknya besok saja aku pergi, Ki Gede. Kita dapat memanfaatkan waktu malam nanti. Besok jika Ki Waskita datang, kita akan dapat membenahi jika ada pikiran-pikiran baru yang lebih baik.“
    Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah Agung Sedayu. Jika demikian, kita tidak menunggu Ki Waskita.“
    Namun Agung Sedayu menyambung, “Apakah Ki Gede tidak berkeberatan jika aku mengajak Ki Jayaraga untuk ikut berbicara nanti malam?“
    “Tentu.“ Jawab Ki Gede, “aku senang sekali menerima sumbangan pikiran dari siapapun juga, termasuk dari Ki Jayaraga. Bahkan aku tidak berkeberatan untuk menerima Sekar Mirah dalam pertemuan itu.“
    Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Biarlah Sekar Mirah menunggu rumah.”
    Ki Gedepun tersenyum pula.
    Demikianlah, maka Agung Sedayu telah minta diri untuk pulang dahulu kerumahnya bersama Glagah Putih. Sekali lagi ia menitipkan keenam orang yang dibawanya dari pinggir hutan.
    “Orang itu penting bagi kita.“ berkata Agung Sedayu kemudian.
    Ki Gede mengangguk-angguk sambil menjawab, “Para pengawal telah menempatkan orang-orang khusus untuk mengawasinya.”
    Ketika Agung Sedayu dan Glagah Putih kemudian meninggalkan rumah Ki Gede, maka Ki Gede telah memerintahkan beberapa orang untuk mengundang para bebahu dan para pemimpin pengawal.
    Dirumahnya, Agung Sedayupun telah menceriterakan pula perjalanannya kepada Sekar Mirah. Diceriterakan pula tentang beberapa orang yang mengaku dari padepokan Bukit Kapur. Kemudian utusan langsung Panembahan Cahya Warastra yang menemui Kiai Gringsing di Kali Opak sebagai kelanjutan kehadiran orang-orang Bukit Kapur itu. Terakhir Agung Sedayu berkata, “Tanah Perdikan ini akan segera menjadi ramai karena kehadiran beberapa orang penting termasuk Ki Patih Mandaraka. Karena itu maka Tanah Perdikan ini harus menciptakan satu suasana yang baik bagi pertemuan itu.“
    Sekar Mirah mengangguk-angguk. Katanya, “Ki Gede tentu akan mengambil langkah-langkah penting untuk itu.“
    “Malam nanti Ki Gede akan bertemu dengan para bebahu para pemimpin pengawal serta orang-orang tua. Aku dan Glagah Putih diminta untuk hadir bersama Ki Jayaraga.“ berkata Agung Sedayu.
    Sekar Mirah mengangguk-angguk. Ia menyadari bahwa Ki Gede memang harus bertindak cepat.
    “Dimana Ki Jayaraga sekarang?“ bertanya Agung Sedayu.
    “Masih disawah.“ jawab Sekar Mirah, “Ki Jayaraga telah membuat sebuah kolam disela-sela kotak-kotak sawah. Agaknya ia telaten menunggui kolamnya yang diberinya bibit ikan gerameh.“
    “Ia harus hadir dalam pertemuan nanti malam.“ berkata Agung Sedayu.
    “Biasanya ia pulang sebelum senja.“ jawab Sekar Mirah.
    “Anak itu ada dimana?“ bertanya Glagah Putih karena ia tidak melihat pembantu rumah itu.
    Sekar Mirah tersenyum. Katanya, “Ia adalah pembantu Ki Jayaraga yang paling setia. Ia tidak saja masih senang datang kesungai malam hari, tetapi ia juga senang sekali duduk ditepi kolam Ki Jayaraga sambil merenungi ikan-ikan yang berenang di dalam air.“
    Glagah Putih mengangguk-angguk. Nampaknya anak itu memang tidak dapat dipisahkan dari air dan ikan.
    Sebenarnyalah ketika Agung Sedayu dan Glagah Putih selesai mandi dan membenahi diri, maka Ki Jayaraga dan anak pembantu rumah itu telah datang. Ki pundak Ki Jayaraga tergantung cangkul. Sementara itu ditangannya digenggamnya sabit dan sebuah keranjang kecil yang kosong. Sebuah caping yang lebar terletak dikepalanya. Tidak seorangpun yang mengira, bahwa orang itu adalah seorang yang memiliki pengetahuan yang luas dan ilmu yang tinggi.
    Agung Sedayu tidak segera mengatakan kepada Ki Jayaraga bahwa ia akan diajak menghadiri pertemuan di rumah Ki Gede. Dibiarkannya Ki Jayaraga membenahi diri setelah mandi dan sejenak kemudian mereka telah duduk diamben menghadapi nasi hangat dengan rempeyek udang dan pecel lele. Sambil makan, Agung Sedayu sempat mengajak Ki Jayaraga untuk sebentar lagi pergi bersamanya ke rumah Ki Gede.
    “Apakah kehadiranku diperlukan?“ bertanya Ki Jayaraga.
    “Kenapa tidak? Ki Jayaraga termasuk seorang tua seangkatan dengan Ki Gede. Bahkan karena Ki Jayaraga pernah mengembara, maka agaknya Ki Jayaraga mempunyai pengalaman yang cukup luas. Mungkin ada sesuatu yang dapat Ki Jayaraga sumbangkan kepada pertemuan itu. Atau jika tidak, Ki Jayaraga akan dapat mengikuti perkembangannya untuk selanjutnya, karena mungkin Tanah Perdikan ini akan menjadi tempat yang cukup penting.“ berkata Agung Sedayu.
    Akhirnya Ki Jayaraga tidak menolak. Katanya, “Baiklah. Aku akan pergi.“
    “Terima kasih.“ desis Agung Sedayu sambil tersenyum, “Ki Jayaraga kemudian akan mempunyai kewajiban yang tentu akan lebih luas dari sekedar pergi ke sawah dan membuat kolam ikan.“
    Tetapi sambil menarik nafas Ki Jayaraga berkata, “Sebenarnya aku ingin hidup tentang seperti sekarang ini. Bermain-main dengan sawah dan kolam. Bibit padi dan bibit ikan gerameh. Aku sudah tua untuk mencampuri persoalan-persoalan lain yang nampaknya masih akan berkembang. Persoalan yang lebih baik ditangani oleh orang-orang muda.“
    Agung Sedayu justru tertawa sambil berkata, “Tetapi menurut pendapatku, Guru agak lebih tua dari Ki Jayaraga.“
    Ki Jayaraga tidak menjawab. Tetapi ia mengangguk-angguk.
    Setelah Sekar Mirah menyingkirkan mangkuk dan sisa makanan mereka, maka Agung Sedayupun telah berbenah diri. Namun ternyata sesuatu terasa bergetar dihatinya. Ketika ia membuka pintu dan melangkah keluar, dilihatnya malam mulai turun. Halaman rumahnya nampak gelap meskipun di regol telah dipasang oncor minyak.
    Ki Jayaraga dan Glagah Putihpun telah siap pula untuk berangkat. Sedangkan Sekar Mirah juga berdiri dipendapa. Dihalaman pembantu rumah itu bergumam di belakang Glagah Putih, “Kau tentu akan berkata sibuk sekali.“
    Glagah Putih berpaling. Katanya, “Bukankah kita sudah mempunyai belumbang ikan.“
    “Kita ?“ anak itu mencibirkan bibirnya, “kita siapa? Kau kira kau ikut memiliki?“
    Glagah Putih tertawa. Katanya, “Tetapi Ki Jayaraga membuat kolam itu untukku.“
    “Bohong.“ geram anak itu.
    Glagah Putih tertawa tertahan, sehingga semua orang berpaling kepadanya.
    “Kau apakan anak itu?“ bertanya Ki Jayaraga.
    Glagah Putih masih tertawa. Namun ia menjawab, “Tidak apa-apa.“
    Agung Sedayu justru tersenyum karenanya. la tahu bahwa Glagah Putih memang sering mengganggu anak itu.
    Namun dalam pada itu, ketika mereka sampai ke regol halaman, jantung Agung Sedayu terasa berdetak semakin cepat. Ada sesuatu yang tidak wajar pada nalurinya. Ketika ia berpaling, ia masih melihat Sekar Mirah berdiri dipendapa. Tiba-tiba saja Glagah Putih dipanggilnya dengan isyarat. Dibisikannya ditelinga anak muda itu. “Katakan kepada mbokayumu, agar ia memakai pakaian khususnya.“
    “Kenapa?“ bertanya Glagah Putih.
    “Entahlah. Tetapi hatiku merasa tidak enak. Baru siang tadi terjadi peristiwa yang tidak kita inginkan, sementara itu kita masih berteka-teki apakah maksud sebenarnya dari orang-orang yang menggerakkan keenam orang itu. Aku masih cemas, bahwa orang-orang itu ada di Tanah Perdikan ini. Aku tidak dapat melepaskan hubungan antara keenam orang itu, orang yang ingin membunuh mereka dan orang-orang yang ada di rakit itu.“
    Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian melangkah ke pendapa.
    “Malam memang terasa sangat sepi.“ desis Ki Jayaraga.
    “Aku memang merasa aneh Ki Jayaraga. Tetapi mungkin hanya karena pengaruh peristiwa siang tadi.“ sahut Agung Sedayu.
    Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Terapi ia tidak menyahut lagi.
    Sekar Mirah memang heran melihat sikap Agung Sedayu di regol halaman yagn berkali-kali berpaling kepadanya. Namun kemudian ia menjadi jelas ketika Glagah Putih datang dan memberitahukan pesan Agung Sedayu kepadanya. Sekar Mirah tersenyum. Namun iapun mengangguk sambil memandang Agung Sedayu yang masih berdiri diregol.
    Beberapa saat kemudian, setelah Glagah Putih berada di regol pula, mereka bertigapun telah berangkat. Sementara Agung Sedayu memberikan isyarat agar Sekar Mirah masuk saja kedalam dan cepat berganti pakaian.
    Sekar Mirah memang sangat percaya dan yakin akan kemampuan suaminya juga ketajaman panggraitanya. Karena itu, maka demikian ia menyelarak pintu, maka iapun segera berganti pakaian. Sementara itu pembantu di rumahnyapun telah ma¬suk pula ke dapur. Anak itu menjadi ragu-ragu, apakah ia akan pergi ke sungai untuk membuka pliridan atau tidak. Namun akhirnya anak itu menjatuhkan dirinya dan berbaring didapur setelah menyelarak pintu pula.
    Sekar Mirah yang telah berganti pakaian ternyala merasakan kegelisahan pula. Meskipun Sekar Mirah telah menenangkan dirinya dengan menganggap bahwa kegelisahan itu adalah disebabkan karena pesan suaminya, namun rasa-rasanya jantung Sekar Mirah memang merasa berdetak lebih cepat.
    Karena itu, maka untuk menambah ketenangan perasaannya, Sekar Mirah telah mengambil tongkat baja putihnya. Senjata andalannya. Dipeluknya tongkatnya sambil duduk bersandar tiang di tengah-tengah ruang dalam. Sekar Mirah berusaha agar ia tidak tertidur sampai saatnya Agung Sedayu, Ki Jayaraga dan Glagah Putih pulang.
    Namun Sekar Mirah menjadi berdebar-debar ketika ia mendengar pintu diketuk orang. Justru pintu butulan. Karena itu, maka iapun menjadi semakin berhati-hati. Digenggamnya senjatanya erat-erat sambil bangkit berdiri.
    “Aku mbokayu, Glagah Putih.“ terdengar suara dibalik pintu butulan.
    Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Namun ia ingin juga meyakinkan, “Kenapa kau kembali?“
    “Kakang Agung Sedayu minta aku kembali.“ jawab Glagah Putih.
    Suara itu dikenalnya dengan baik. Karena itu, maka Sekar Mirahpun segera melangkah kepintu dan membuka pintu butulan itu.
    “Ada yang tertinggal?“ bertanya Sekar Mirah.
    Glagah Putih justru telah menyelarak pintu sambil berdesis, “Kakang Agung Sedayu minta ku tinggal dirumah mengawasi mbokayu. Agaknya kakang Agung Sedayu merasa sangat gelisah.“
    Sekar Mirah mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Jika kakangmu yang minta, maka sebaiknya kau tinggal saja dirumah. Penggraita kakangmu memang sangat tajam. Mungkin memang akan ada sesuatu. Tetapi mungkin juga tidak.“
    Glagah Putih mengangguk-angguk pula. Namun kemudian katanya, “mBokayu. Silahkah mbokayu tidur. Aku akan berjaga-jaga. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu malam ini. Setidak-tidaknya sampai kakang Agung Sedayu dan Ki Jayaraga kembali.“
    “Mudah-mudahan.“ sahut Sekar Mirah. Lalu, “Tetapi aku juga belum mengantuk.“
    Glagah Putih tidak dapat memaksa Sekar Mirah untuk masuk kedalam biliknya. Bahkan untuk mengisi waktu, keduanya telah bermain macanan diatas lantai. Dengan demikian, maka ruangan itu memang menjadi sepi. Kedua-duanya sedang sibuk dengan permainan yang kadang-kadang memang terasa menegangkan itu.
    Dalam pada itu, Agung Sedayu telah berada dirumah Ki Gede Menoreh. Hadir dalam pertemuan itu para bebahu Tanah Perdikan dan bebahu padukuhan-padukuhan yang tersebar. Para pemimpin pengawal dan orang-orang terpenting lainnya.
    Agung Sedayu telah diminta untuk memberitahukan rencana kunjungan Ki Patih Mandaraka ke Tanah Perdikan Menoreh. Dengan agak terperinci Agung Sedayu telah menguraikan rencana kunjungan itu meskipun tidak dalam keseluruhan. Hanyanya pokok-pokok persoalan saja yang disinggungnya, karena menurut Agung Sedayu, tidak semua orang perlu mengetahui rencana kunjungan itu terperinci, apalagi keperluannya.
    “Ki Patih ingin melihat keadaan Tanah Perdikan ini dan sekaligus melihat keadaan Pasukan Khusus Mataram yang berada di Tanah Perdikan ini.“ berkata Agung Sedayu kemudian.
    Para pemimpin Tanah Perdikan itu mengangguk-angguk. Memang ada semacam kebanggaan bahwa Ki Patih Mandaraka akan berkunjung ke Tanah Perdikan itu.
    “Kita harus mempersiapkan diri.“ berkata Ki Gede kemudian, “kita harus menjaga suasana tenang dan tertib. Kehidupah yang baik meskipun kita tidak akan mengaburkan kenyataan hidup kita sehari-hari. Kita tidak akan memalsu suasana yang ada di Tanah Perdikan ini. Namun segala sesuatunya perlu ditertibkan, agar kita dapat menjadi tuan rumah yang baik, karena yang akan datang adalah Ki Patih Mandaraka, yang dahulu dipanggil Ki Juru Martani, kakak seperguruan Ki Pemanahan yang bergelar Ki Gede Mataram, ayahanda Panembahan Senapati.“
    Para pemimpin itu mendengarkan dengan bersungguh-sungguh. Sementara itu Ki Gede mulai membicarakan tentang tugas para pengawal.
    “Segala sesuatunya akan diatur kemudian oleh Agung Sedayu.“ berkata Ki Gede.
    Sebenarnyalah bahwa Agung Sedayu memang telah mempunyai rencana bagi para pengawal. Mungkin Agung Sedayu sendiri akan sibuk dalam pembicaraan-pembicaraan sehingga karena itu, maka Agung Sedayu telah menunjuk Glagah Putih dan Prastawa yang akan menangani lahgsung anak-anak muda di Tanah Perdikan.
    Prastawa masih nampak agak lesu. Belum nampak gairah yang bergejolak didalam darahnya.
    “Kau jangan memikirkannya berlarut-larut Prastawa.“ berkata Ki Gede, “aku sudah berbicara dengan orang-orang yang ikut menentukan keputusan orang tuamu. Nampaknya pada suatu saat orang tuamu akan menjadi semakin lunak.“
    Prastawa mencoba untuk tersenyum. Katanya, “Aku sudah tidak memikirkannya lagi paman.“
    Beberapa orang memang tersenyum. Pada umumnya, mereka sudah mendengar, terutama anak-anak muda, bahwa ada sedikit perbedaan paham antara Prastawa dan orang tuanya tentang jodoh yang paling baik bagi Prastawa. Agaknya hal itu tergores didinding hati anak muda itu, setelah hatinya pernah terluka pula karena kehadiran Sekar Mirah di Tanah Perdikan itu dahulu.
    Namun dalam pada itu, Ki Gede justru bertanya, “Dimana Glagah Putih sekarang?“
    “Ada dirumah Ki Gede.“ jawab Agung Sedayu.
    “Kenapa Glagah Putih tidak ikut bersamamu?“ bertanya Ki Gede pula.
    Agung Sedayu termangu-mangu. Namun kemudian iapun menjawab, “Ki Jayaraga telah aku ajak datang kemari. Karena itu aku minta Glagah Putih tinggal dirumah mengawani Sekar Mirah.“
    “Sejak kapan Sekar Mirah memerlukan kawan dirumah?“ bertanya Ki Gede.
    Agung Sedayu tersenyum. Namun pertanyaan itu justru telah mengingatkannya pada panggraitanya tentang kemungkinan yang tidak diinginkan yang akan terjadi di rumahnya itu. Na¬mun Agung Sedayu berusaha untuk menyembunyikan kegelisahannya. Tetapi ia menjawab, “Aku masih dibayangi peristiwa yang telah terjadi siang tadi Ki Gede. Nampaknya peristiwa itu bukan peristiwa yang hanya sepotong itu saja.“
    Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti. Tetapi bukankah ada peronda di mulut-mulut lorong?“
    “Bagi orang-orang yang ingin memasuki padukuhan in duk ini dengan niat buruk, maka mereka tidak terikat pada lorong-lorong yang ada.“ jawab Agung Sedayu.
    Ki Gede mengiakannya. Iapun mengerti bahwa lorong bagi mereka adalah sepanjang dinding padukuhan induk itu. Mereka akan dapat memasuki padukuhan induk lewat mana saja yang mereka kehendaki.
    Namun kemudian Ki Gede telah melanjutkan pembicaraan tentang kehadiran beberapa orang tamu di Tanah Perdikan itu, Ki Gede minta Ki Jayaraga untuk ikut mengambil bagian dalam pertemuan antara orang-orang tua yang sudah lama tidak saling bertemu. Namun juga diminta untuk membantu menenangkan Tanah Perdikan itu jika terjadi sesuatu.
    “Bahkan hari ini di Tanah Perdikan telah terjadi gangguan itu. Besok mereka tentu segera mendengar akan kehadiran Ki Patih disini. Mereka akan merencanakan untuk berbuat sesuatu yang tidak kita inginkan.“ berkata Ki Gede.
    Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, “Aku sudah menjadi penghuni Tanah Perdikan ini Ki Gede. Karena itu, maka jika diperlukan aku akan berbuat sebaik-baiknya bagi Tanah Perdikan ini sesuai dengan perintah Ki Gede. Tetapi tentu saja sekedar menurut kemampuanku yang tidak berarti ini.“
    Ki Gede tertawa. Katanya, “Yang tidak berarti bagi Ki Jayaraga merupakan sesuatu yang sangat berarti bagi kami disini.”
    Ki Jayaragapun tertawa pula sambil menyahut, “Ki Gede agaknya mempunyai kesenangan memuji.“
    Ki Gede tidak menyahut. Tetapi ia mulai membicarakan suguhan yang akan dihidangkan. Bukan saja makan dan minum, tetapi Ki Gede kemudian berkata, “Disini ada beberapa macam bentuk pertunjukan yang menarik. Kita akan menyuguhi tamu-tamu kita dengan tari topeng dan tari-tarian yang lain disamping tari penyambutan.“
    Para bebahupun kemudian telah mendapat tugas mereka masing-masing. Mereka tidak boleh mengecewakan tamu-tamu mereka, semenara persiapan hanya berlangsung sangat singkat.
    Ketika pembicaraan kemudian telah selesai, maka pertemuan itu tidak lagi bersifat resmi. Sambil menikmati suguhan makan dan minuman, maka mereka berbicara tentang beberapa hal yang berhubungan dengan pelaksanaan rencana yang telah disusun dalam pertemuan itu. Seorang yang bertanggung jawab tentang penginapan bagi para tamu telah membuat rencana tersendiri. Rumah yang akan dipergunakan untuk menginap Ki Patih adalah Ki Gede itu sendiri. Tetapi tidak semua tamu akan dapat menginap dirumah Ki Gede. Ki Panji Wiralaga dan Ki Lurah Branjangan akan menginap dirumah didepan rumah Ki Gede itu.
    “Kenapa mereka tidak menginap di rumah ini pula?“ bertanya Agung Sedayu.
    “Dirumah ini akan bermalam Kiai Gringsing dan cantrik pengiringnya. Juga Ki Waskita.“ jawab bebahu itu.
    “Agaknya Guru akan bermalam dirumahku.“ jawab Agung Sedayu.
    Bebahu itu mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian Ki Lurah dapat bermalam disini bersama Ki Panji. Gandok sebelah menyebelah akan dapat dipergunakan.“
    Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Kecuali jika Ki Patih memanggil tamu yang lain.“
    “Agaknya kita baru tahu pasti dua hari lagi setelah mereka datang.“ berkata bebahu itu. “Sebenarnya belum ada kepastian, siapa saja yang akan datang dan dengan berapa orang pengawal.”
    Namun dalam pada itu, Agung Sedayu telali menyelinap sejenak keluar ruangan. Ia menjadi semakin gelisah. Karena itu, maka katanya kepada pengawal yang meronda, “tolong, lihat rumahku. Rasa-rasanya ada sesuatu yang tidak pasti telah terjadi. Tetapi mudah-mudahan tidak.“
    Dua orang peronda telah meninggalkan halaman rumah Ki Gede untuk melihat rumah Agung Sedayu yang memang tidak jauh dari rumah Ki Gede itu. Namun justru karena pesan Agung Sedayu itu, maka merekapun menjadi sangat berhati-hati.
    “Rasa-rasanya malam terlalu sepi di lorong ini. Tidak seperti dirumah Ki Gede.“ desis yang seorang.
    “Tentu saja.“ sahut yang lain, “disana sedang ada pertemuan.“
    Kawannya mengangguk-angguk. Namun kesepian itu telah mencekam jantungnya pula. Tetapi mereka tidak menjumpai sesuatu diperjalanan sampai kerumah Agung Sedayu. Memang perjalanan yang pendek, sehingga mereka hanya memerlukan waktu beberapa saat saja.
    Beberapa lama keduanya termangu-mangu diregol halaman rumah Agung Sedayu. Mereka ingin membuktikan, bahwa didalam rumah itu memang tidak terjadi sesuatu.
    “Apakah kita akan mengetuk pintu?“ desis yang seorang.
    “Bagaimana jika yang ada dirumah itu sedang tidur nyenyak?“ sahut yang lain. Lalu, “Apakah kita tidak akan mengejutkan mereka?“
    Kawannya memang menjadi ragu-ragu. Namun iapun kemudian berkata, “Bagaimana jika telah terjadi sesuatu dan se¬suatu itu sudah selesai. Namun akibatnya parah bagi Nyi Sekar Mirah.“
    “Bukankah Glagah Putih ada dirumah?“ bertanya yang lain.
    “Meskipun Glagah Putih ada dirumah, banyak kemungkinan dapat terjadi.“ jawab kawannya.
    Keduanya memang termangu-mangu sejenak. Namun akhirnya mereka memutuskan untuk mengetuk pintu untuk meyakinkan bahwa isi rumah itu tidak mengalami kesulitan apa-apa. Karena itulah, maka keduanyapun telah menuju ke pintu pringgitan. Perlahan-lahan seorang diantara mereka mengetuk pintu itu.

  36. Yang ada didalam memang sudah mendengar langkah yang menuju kepintu. Karena itu, merekapun telah bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Langkah itu tentu bukan langkah kaki Agung Sedayu dan Ki Jayaraga yang dikenal baik-baik oleh Glagah Putih dan Sekar Mirah.
    Ketika pintu itu diketuk sekali lagi, maka Glagah Putihlah yang berdiri sambil menyapanya, “Siapa diluar?”
    “Aku Glagah Putih. Peronda.“ jawab seorang diantara mereka.
    “Peronda siapa?“ desak Glagah Putih.
    “Apan.“ jawab peronda itu.
    Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia memang me ngenal Apan dan mengenali pula suaranya. Karena itu, maka iapun telah pergi ke pintu dan mengangkat selaraknya. Ketika pintu terbuka, maka sebenarnyalah Apan berdiri dimuka pintu bersama seorang kawannya.
    “Ada apa kau malam-malam begini datang?“ bertanya Glagah Putih.
    “Aku sedang meronda di rumah Ki Gede. Namun kakang Agung Sedayu minta aku menengok rumah ini sebentar.“ jawab Apan.
    Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Bahkan diluar sadarnya iapun telah berpaling kepada Sekar Mirah. Agaknya Agung Sedayu tidak pernah merasa begitu cemas seperti malam itu. Ia tidak pernah demikian gelisah sehingga menyuruh peronda melihat apakah tidak terjadi sesuatu dirumah.
    Sekar Mirahpun kemudian telah melangkah mendekat. Sambil tersenyum iapun berkata, “Katakan kepada kakang Agung Sedayu bahwa tidak ada sesuatu dirumah. Kami baru bermain macanan.“
    Apan dan kawannya mengangguk sambil berkata, “Baiklah. Aku akan mengatakannya kepada kakang Agung Sedayu.”
    “Terima kasih.“ sahut Sekar Mirah.
    Meskipun Sekar Mirah tersenyum, sebenarnyalah iapun merasa semakin gelisah. Agung Sedayu memang tidak pernah menjadi demikian mencemaskannya. Namun dalam pada itu, dalam kegelapan dua orang tengah berbicara diantara mereka sangat perlahan-lahan. Seorang diantara mereka berkata, “Kita manfaatkan kehadiran para peronda itu.“
    “Maksudmu?“ bertanya kawannya.
    “Mumpung pintu terbuka.“ desis yang pertama.
    “Tetapi kedua orang itu?“ bertanya kawannya pula.
    “Apa artinya dua ekor tikus curut itu.“ sahut yang pertama. Lalu katanya, “Kita bunuh mereka. Kita bunuh orang yang ada didalam rumah itu, siapapun mereka. Tetapi jelas bukan Agung Sedayu, karena Agung Sedayulah yang menyuruh para peronda itu pulang. Kita ambil Sekar Mirah. Kemudian kita pergunakan perempuan itu untuk memaksa Agung Sedayu menyerah. Sudah tentu dengan pemimpin Kademangan Sangkal Putung, karena Sekar Mirah berasal dari Sangkal Putung.“
    Kawannya tidak menjawab. Tetapi ia justru telah beringsut.
    Ketika kedua orang peronda itu kemudian minta diri, maka kedua orang itu telah meloncat dari dalam kegelapan. Dengan cepat keduanya naik kependapa. Bersamaan dengan itu terdengar suitan nyaring yang menjadi isyarat bagi kawan-kawan kedua orang itu.
    Sebenarnyalah beberapa orang telah muncul dari dalam kegelapan. Mereka segera menghambur ke sekitar pendapa rumah Agung Sedayu yang tidak begitu besar itu. Kehadiran mereka benar-benar mengejutkan Glagah Putih. Sekar Mirah dan dua orang peronda itu. Karena itu, maka dengan gerak naluriah, Sekar Mirahpun telah meloncat keluar hampir bersamaan dengan Glagah Putih.
    Orang-orang yang mengepung pendapa rumah itu segera melihat bahwa Sekar Mirah ternyata bukan kebanyakan perempuan sebagaimana yang pernah mereka dengar. Perempuan itu memang memiliki kemampuan dalam olah kanuragan, sehingga karena itu, menghadapi Sekar Mirah tentu harus berbeda dengan menghadapi perempuan kebanyakan. Apalagi ketika mereka melihat senjata yang berada ditangan Sekar Mirah.
    “Siapa kalian?“ bertanya Sekar Mirah.
    “Kami mempergunakan kesempatan yang baik yang diberikan oleh para peronda. Mumpung pintu terbuka.“ jawab pemimpin dari orang-orang yang datang itu.
    Sekar Mirah termangu-mangu sejenak. Namun ia menyadari bahwa ia berhadapan dengan orang-orang yang tentu bermaksud buruk. Karena itu maka iapun telah bersiaga sepenuhnya.
    “Apa maksudmu sebenarnya?“ bertanya Sekar Mirah.
    “Sekar Mirah.“ berkata orang itu, “marilah kita saling berbaik hati agar tugas yang kita emban akan cepat selesai.“
    “Tugas apa?“ bertanya Sekar Mirah.
    “Guruku memerlukan seorang perempuan yang memiliki kelebihan dari perempuan kebanyakan. Aku kira kau adalah satu-satunya orang yang paling memenuhi syarat. Karena itu aku mohon kau bersedia memenuhi permintaan guru. Guru sedang memerlukan pertolongan.“ berkata orang yang datang itu kemudian.
    “Siapa gurumu itu?“ berkata Sekar Mirah.
    “Terlalu panjang untuk dikatakan sekarang.“ jawab orang itu, “nanti ditempat tinggal Guru, kau akan segera mengetahuinya.”
    “Suamiku tidak ada dirumah sekarang.“ berkata Sekar Mirah, “tunggulah sampai suamiku pulang.“
    “Terlambat Sekar Mirah.“ jawab orang itu, “aku tergesa-gesa. Bukankah kedua orang peronda ini akan dapat mengatakan kepada suamimu bahwa kau pergi bersama kami sebentar? Sebelum fajar kami akan mengantarmu kembali.”
    “Tidak mungkin.“ jawab Sekar Mirah, “kau harus menunggu suamiku atau kau pergi kerumah Ki Gede bersama kedua peronda itu untuk menemui suamiku.“
    “Soalnya sangat sederhana Sekar Mirah.“ berkata orang itu, “tetapi akan dapat menentukan hidup dan mati guruku. Guruku sedang sakit sekarang. Sakit yang sangat parah.“
    “Aku bukan seorang yang mengerti tentang obat-obatan.“ jawab Sekar Mirah.
    “Tidak untuk mengobati.“ jawab orang itu.
    “Lalu untuk apa?” desak Sekak Mirah.
    “Marilah. Pergilah bersamaku.“ berkata orang itu.
    Tetapi Sekar Mirah menggeleng. Katanya, “Maaf Ki Sanak. Aku tidak dapat memenuhinya. Kecuali jika aku mendapat ijin suamiku.”
    Orang itu menjadi tidak sabar lagi. Karena itu, maka iapun kemudian berkata, “Jika demikian, maka aku terpaksa memaksamu Sekar Mirah. Maaf, cara ini harus aku tempuh. Tetapi aku sama sekali tidak mempunyai niat buruk.“
    “Itu tidak mungkin.“ berkata Glagah Putih yang kehilangan kesabarannya, “bagi kalian hanya ada dua pilihan. Menunggu kakang Agung Sedayu, suami mbokayu Sekar Mirah atau pergi ke rumah Ki Gede untuk memenuhi kakang Agung Sedayu dan mengajaknya pulang.“
    “Diam kau anak iblis.“ tiba-tiba orang itu menjadi kasar, “aku tidak mempunyai waktu. Aku akan membawa Sekar Mirah sekarang. Mau atau tidak mau.“
    Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Ternyata yang dicemaskan oleh Agung Sedayu itu telah terjadi.
    Namun Sekar Mirah memang bukan perempuan kebanyakan. Ia sadar sepenuhnya, sebagai istri Agung Sedayu, maka ia harus mampu menempatkan dirinya, sebagamana dialaminya malam itu. Karena itu maka dengan dada tengadah ia berkata, “Pergilah kalian dari halaman rumahku.“
    “Kami bukan utusan yang hanya dapat menyampaikan permohonan tanpa penyelesaian persoalan. Kami adalah utusan-utusan yang memegang kuasa untuk mengambil sikap. Kau harus ikut kami, atau jika kami gagal membawamu, maka kau harus dibunuh.“ berkata orang yang tidak dikenal itu.
    “Nah.“ berkata Sekar Mirah, “agaknya dengan berterus terang kau nampak lebih jantan.“
    “Persetan kau perempuan iblis.“ geram orang itu, “serahkan kedua tanganmu untuk diikat dibelakang punggungmu.“
    Tetapi Sekar Mirah justru bertanya, “Untuk apa sebenarnya kalian datang kemari mengambil aku?“
    “Kau akan menjadi bahan taruhan. Agung Sedayu harus menyerah jika ia tidak ingin melihat mayatmu terkapar ditengah-tengah pasar.“ geram orang itu.
    “Jangan mengigau.“ Sekar Mirah menjadi semakin marah, “jika kau memaksaku, maka kau hanya akan dapat membawaku setelah aku menjadi mayal disini, dirumahku.“
    Orang itu memberikan isyarat kepada kawan-kawannya sambil berkata, “Kita memang harus mempergunakan kekerasan. Sebenarnya sayang sekali jika kulit yang halus itu akan tergores senjata. Apalagi di wajah yang cantik itu. Sepantasnya kau memang tidak menjadi istri Agung Sedayu, tetapi menjadi istri seorang Tumenggung atau lebih baik menjadi istri guruku.”
    “Tutup mulutmu.“ bentak Glagah Putih, “akupun dapat kasar seperti kau. Akupun dapat berbicara liar seperti kau. Karena itu sebelum terjadi sesuatu, pergilah. Kami masih memberi kesempatan.“
    Tetapi orang itu tertawa. Katanya, “Jangan banyak bicara. Kau akan mati. Kedua orang peronda itu juga akan mati. Salah kalian semuanya, bahwa kalian mau mendengarkan tawaranku yang pertama, sehingga dengan demikian maka kalian masih mendapat kesempatan untuk hidup.“
    “Cukup.“ berkata Glagah Putih, “jika kalian memang tidak mau pergi, maka kami akan memaksa kalian.“
    Pemimpin dari orang-orang yang mendatangi rumah Agung Sedayu itupun mengumpat kasar. Kemudian berkata lantang. “Kita selesaikan semuanya. Kita membawa Sekar Mirah bersama kita.“
    Kedua orang peronda itu adalah pengawal Tanah Perdikan yang pernah mendapat latihan yang cukup. Karena itu, maka keduanyapun sama sekali tidak menjadi gemetar. Keduanya justru telah mempersiapkan dirinya sebaik-baiknya untuk menghadapi segala kemungkinan, sehingga empat orang itupun telah bersiap untuk menghadapi orang-orang yang ada disekitar pendapa.
    Baik Sekar Mirah maupun Glagah Putih tidak sempat menghitur.g orang-orang yang ada di halaman itu. Tetapi mereka tentu lebih dari enam orang.
    Pemimpin kelompok orang-orang yang ingin mengambil Sekar Mirah itupun segera memberikan isyarat kepada orang-orangnya untuk dengan segera menyerang. Orang-orang itupun segera berloncatan kependapa. Mereka telah mengacukan senjata mereka.
    Agaknya mereka ingin dengan cepat menyelesaikan pertempuran itu dengan benar-benar membunuh semua orang selain Sekar Mirah. Karena itu, maka pemimpin dari orang-orang itulah yang langsung akan menangani Sekar Mirah. Ia tidak mempercayakannya kepada orang lain, karena dengan demikian akan terdapat kemungkinan bahwa Sekar Mirah akan terluka bahkan terbunuh.
    Pemimpin itu merasa kemampuannya tentu berada jauh diatas Sekar Mirah, sehingga dengan demikian ia akan dapat mengatur diri untuk menangkap Sekar Mirah tanpa melukainya.
    Sekar Mirah memang menjadi sangat marah. Karena itu, demikian orang-orang itu berloncatan naik kependapa, Sekar Mirah langsung memutar tongkat baja putihnya.
    Sementara itu, orang-orang yang berloncatan itu benar-benar telah bersiap untuk membunuh. Mereka sama sekali tidak merasa ragu-ragu untuk mengayunkan senjata mereka.
    Kedua orang pengawal Tanah Perdikan itupun dengan cepat tanggap akan keadaan. Karena itu, maka dengan cepat pula mereka menempatkan diri. Mereka berdua berdiri beberapa langkah disebelah kiri Sekar Mirah, sementara itu Glagah Putih berdiri beberapa langkah disebelah kanan Sekar Mirah, sehingga dengan demikian maka mereka telah membentengi arah dari sebelah menyebelah. Namun mereka membelakangi dinding pintu rumahnya.
    Seorang diantara kedua peronda itu masih sempat menutup pintu itu dan seakan-akan memberikan isyarat kepada Sekar Mirah untuk mengambil tempat yang sebaik-baiknya.
    Sekar Mirahpun bergeser beberapa langkah. Ia memang tidak mau membelakangi pintu, karena mungkin seorang diantara lawan-lawannya akan memasuki rumah itu dari pintu butulan dan menyerang dari dalam.
    Beberapa saat kemudian pertempuran telah berlangsung dengan sengitnya. Ternyata orang-orang yang memasuki halaman rumah itu telah salah hitung. Kedua orang peronda itu bukan tikus-tikus curut yang ketakutan melihat seekor kucing yang akan menerkamnya. Tetapi dengan garangnya kedua orang pengawal itu telah bertempur menghadapi lawan-lawannya.
    Sementara itu Glagah Putihpun telah bertempur pula. Dua orang telah bersama-sama melawannya. Dua orang yang bersenjata pedang yang besar dan panjang. Glagah Putih sama sekali tidak gentar melihat ujung-ujung pedang itu. Tetapi ia tidak ingin melihat Sekar Mirah mengalami kesulitan. Karena itu, maka Glagah Putihpun telah mencabut senjatanya pula. Tidak dari sarungnya. Tetapi telah dilepasnya dari lambungnya. Ikat pinggang yang merupakan senjata andalannya.
    Ketika pertempuran itu berlangsung dengan sengitnya, maka masih ada dua orang lagi yang berdiri termangu-mangu. Namun nampaknya keduanya sedang mengamati keadaan. Seakan-akan mereka justru menjadi keheranan melihal pertempuran itu. Ternyata orang-orang itu menjadi heran setelah mereka bertempur beberapa saat. Ternyata bahwa mereka telah membentur kekuatan yang sangat besar.
    Pemimpin dari sekelompok orang yang akan mengambil Sekar Mirah itu terkejut ketika ia mulai membentur kemampuan Sekar Mirah itu sendiri. Tongkat baja putih Sekar Mirah ternyata telah menggetarkan senjata dan bahkan telapak tangan pemimpin kelompok itu.
    “Iblis betina.“ geramnya, “ternyata kau mempunyai kemampuan yang cukup untuk mendukung kesombonganmu.”
    Sekar Mirah tidak menjawab. Tetapi tongkatnya berputar lebih cepat. Bahkan terayun-ayun menggetarkan. Anginpun menyambar-nyambar dengan kerasnya menampar kulit lawannya yang menghindari sambaran tongkat baja putihnya.
    Pemimpin kelompok itu memang menjadi heran atas kemampuan Sekar Mirah itu. Tetapi ia tidak surut selangkah. Ia merasa memiliki kemampuan yang jauh lebih tinggi. Namun ia tidak dapat mengerahkannya dengan serta merta, karena ia ingin menangkap Sekar Mirah hidup-hidup untuk memaksa Agung Sedayu menyerah.
    Sementara itu Glagah Putih telah menunjukkan kelebihannya pula. Kedua orang lawannya tidak dapat berbuat terlalu banyak, apalagi membubunuhnya. Bahkan semakin lama keduanya justru telah terdesak. Beberapa kali mereka harus berloncatan surut.
    Sementara itu, para pengawal Tanah Perdikan itupun telah bertempur pula dengan tangkasnya. Mereka terlatih untuk menghadapi lawan yang garang dan keras. Bahkan merekapun telah terlatih pula untuk bertempur dengan keras.
    Dua orang yang termangu-mangu itu tidak dapat membiarkan kawan-kawannya terdesak. Merekapun dengan serta merta telah berloncatan bergabung dengan dua orang yang bertempur melawan Glagah Putih. Menurut perhitungan mereka, jika Glagah Putih itu telah dapat mereka selesaikan, maka kedua orang pengawal itu akan dengan mudah dapat mereka selesaikan pula.
    Tetapi ternyata tidak mudah untuk mengalahkan Glagah Putih meskipun mereka bertempur berempat. Dengan ikat pinggangnya, maka Glagah Putih telah mengerahkan tenaga cadangannya, sehingga ia mampu bergerak dengan cepat sekali. la berloncatan kian kemari diatas pendapa yang tidak terlalu luas. Namun tiang-tiang pendapa itu agaknya telah membantunya.
    Disisi lain, para pengawal Tanah Perdikan masih saja bertempur dengan keras. Mereka tidak dapat segera mendesak lawannya, tetapi merekapun tidak mudah untuk dikalahkannya. Karena itu, maka pertempuran diantara merekapun menjadi semakin sengit.
    Sementara itu Sekar Mirah masih saja bertahan menghadapi pemimpin sekelompok orang yang ingin menangkapnya itu. Bahkan Sekar Mirah sama sekali tidak ragu-ragu menyerang lawannya dengan tongkat baja putihnya. Ia sadar sepenuhnya bahwa lawannya itu ingin menangkapnya hidup-hidup. Karena itu, maka Sekar Mirah justru tidak gentar menyerang lawannya pada jarak yang sangat dekat sekalipun. Menurut perhitungannya, masih belum ada tanda-tanda ingin lawannya menjadi kehilangan kesabaran dan benar-benar ingin membunuhnya. Justru dalam kesempatan itu Sekar Mirah ingin menekan lawannya dan jika mungkin melumpuhkannya.
    Tetapi lawan Sekar Mirah memang memiliki ilmu yang tinggi. Betapapun Sekar Mirah menyerangnya dengan sepenuh kekuatan dan kemampuannya, namun orang itu masih saja mampu menghindar. Sekali-sekali orang itu juga menyerang, tetapi ia masih berusaha untuk tidak membunuh atau melukai Sekar Mirah.
    Ketika pertempuran itu berlangsung semakin lama, maka Glagah Putihpun menjadi semakin gelisah. Apalagi ketika ia sempat memperhatikan lawan Sekar Mirah yang memang berilmu tinggi. Semakin lama Sekar Mirah akan menjadi semakin sulit jika kekuatannya mulai menjadi susut. Menurut penilaian,Glagah Putih, Sekar Mirah yang marah itu tidak mengekang diri lagi, sehingga segenap kekuatannya telah tercurah. Namun ternyata bahwa lawannya adalah orang pilihan.
    Beberapa kali telah terjadi benturan-benturan yang keras. Bahkan orang itu berusaha untuk membentur setiap serangan Sekar Mirah, karena dengan demikian maka Sekar Mirah akan lebih banyak mengerahkan kekuatannya. Kekuatan untuk mengayunkan senjatanya, tetapi juga kekuatan untuk mempertahankan tongkat baja putihnya.
    Dengan demikian maka kemarahan Sekar Mirahpun menjadi semakin meningkat. Ia semakin cepat bergerak dan tongkatnyapun semakin kuat terayun-ayun mengarah ke tubuh lawannya. Namun yang setiap kali selalu tertahan oleh senjata lawannya yang menangkis serangannya itu.
    Namun dalam keadaan yang demikian, pemimpin sekelompok orang itu merasa heran, bahwa anak muda yang bertempur melawan ampat orang itu sama sekali tidak mengalami kesulitan. Dengan berloncatan kian kemari, dan sekali-sekali mengelilingi tiang di pendapa itu. Glagah Putih mampu mengimbangi lawan-lawannya.
    Lawan Sekar Mirah yang berilmu sangat tinggi itu sempat bertanya kepada diri sendiri, “Ilmu dari mana sajakah yang disadap oleh anak muda itu, sehingga ia mampu mengimbangi kemampuan ampat orang hanya dengan ikat pinggangnya saja.”
    Sebenarnyalah ikat pinggang kulit itu ditangan Glagah Putih seakan-akan memang telah berubah menjadi sebilah pedang jika dikehendakinya. Tetapi ikat pinggang itu pada saat yang lain menjadi lentur meskipun tidak dapat dibabat pulus oleh senjata lawan.
    Namun dalam pada itu, Sekar Mirah memang mulai dihinggapi oleh kegelisahan. Bagaimanapun ia berusaha dalam puncak kemampuannya, namun ia tidak mampu mendesak lawannya. Senjatanya berputaran bagaikan gumpalan asap yang melibat lawannya. Tetapi senjata Sekar Mirah itu seakan-akan telah terpental jika membentur senjata lawannya. Dengan susah payah Sekar Mirah selalu harus berusaha agar senjatanya itu tidak terlepas, sehingga tangannya kadang-kadang terasa pedih.
    Glagah Putih yang muda itu ternyata telah mengambil keputusan yang berat untuk dilakukannya. Tetapi ia tidak mempunyai pilihan lain. Untuk sementara Glagah Putihpun menganggap bahwa lawan Sekar Mirah itu tidak akan menyakitinya, apalagi membunuhnya, karena Sekar Mirah masih akan diperlukan un¬tuk memaksa Agung Sedayu menyerah. Jika Sekar Mirah itu terluka apalagi terbunuh, maka Agung Sedayu tentu akan bersikap lain. Bahkan mungkin Agung Sedayu akan menjadi sema¬kin garang.
    Karena itu, maka Glagah Putih berpendapat, bahwa untuk dapat membantu membebaskan Sekar Mirah, maka ia harus menyingkirkan keempat lawannya. Meskipun mungkin akibatnya tidak diinginkannya. Tetapi memang tidak ada jalan lain baginya. Bahkan sekali sekali iapun memperhatikan para pengawal yang masih belum jelas, apakah mereka akan dapat bertahan terus atau tidak.
    Glagah Putih memang tidak segera ingin memanfaatkan kentongan yang tergantung di serambi. Jika kentongan itu dibunyikan, maka nasib Sekar Mirah harus diperhitungkan.
    Sementara itu lawan Sekar Mirah itu nampaknya sudah mulai kehilangan kesabaran. Ia mulai mendesak Sekar Mirah. Bahkan ia memulai berusaha untuk menekan Sekar Mirah sampai kedinding, sehingga orang itu akan dapat dengan mudah menangkapnya dan membawanya tanpa menghiraukan orang-orangnya yang lain.
    Dengan demikian, maka Glagah Putihpun telah mengerahkan kemampuannya. Ia adalah pewaris ilmu Ki Sadewa sampai kepuncak dan ia telah berguru pula kepada Agung Sedayu yang dipengaruhi oleh ilmu keturunan Orang Bercambuk serta berguru juga pada Ki Jayaraga. Karena itu, maka sejenak kemudian, Glagah Putih itu bagaikan telah berubah. Ia bergerak semakin garang. Ikat pinggangnya terayun-ayun semakin cepat dan kuat.
    Ketika keempat orang itu berusaha mengepungnya, maka dengan kecepatan seekor burung sikatan, maka Glagah Putih justru telah melenting turun dari pendapa dan bertempur di halaman.
    Sekar Mirah sempat melihat Glagah Putih yang bergeser ketempat yang lebih luas itu. Karena Sekar Mirah sudah lama mengenali tabiat anak itu, maka Sekar Mirahpun dapat menebak apa yang akan dilakukan oleh anak muda itu. Karena itu, maka Sekar Mirah benar-benar harus menempatkan dirinya. Ia harus bertahan sejauh dapat dilakukan.
    Namun Sekar Mirahpun telah bertekad sebagaimana dikatakannya. Ia baru akan meninggalkan tempat itu jika ia sudah menjadi mayat. Ia lebih baik mati daripada harus menjadi alat untuk memaksa Agung Sedayu menyerah. Karena dengan demikian maka Agung Sedayulah yang akan menjadi korban. Dan bahkan jika Agung Sedayu sudah menyerah dan disingkirkan, maka akan datang gilirannya untuk mengalami nasib yang paling buruk.
    Sebenarnyalah seperti yang diduga oleh Sekar Mirah, maka Glagah Putihpun telah sampai pada puncak kemampuannya sebagai pewaris ilmu Ki Sadewa. Karena itu, maka iapun telah bergerak dengan unsur-unsur gerak yang sulit diikuti oleh lawan-lawannya. Apalagi ditangannya tergenggam ikat pinggang yang diterimanya dari Ki Mandaraka. Meskipun Glagah Putih tidak memiliki kemampuan bergerak secepat Agung Sedayu yang dapat seakan-akan mengabaikan berat tubuhnya, namun bagi lawan-lawannya, Glagah Putih itu sudah berada di luar jangkauan mereka.
    Karena itu, maka sejenak kemudian, seorang diantara mereka telah berteriak tertahan. Ujung ikat pinggang Glagah Putih telah menyentuhnya. Hanya goresan yang tidak terlalu dalam. Namun rasa-rasanya ikat pinggang itu demikian tajamnya mengoyak kulitnya.
    Keseimbangan yang berubah itu memang membuat pemimpin kelompok itu menjadi cemas. Sejak mereka berangkat, pemimpin kelompok itu sudah mengeluh, bahwa orang-orang yang dibawanya bukanlah orang-orang yang memiliki ilmu setingkat dengan dirinya meskipun hanya satu atau dua orang. Yang diberikan kepadanya adalah enam orang, tetapi dengan ilmu yang kurang memadai.
    Tetapi menurut perhitungan mereka, yang akan mereka hadapi hanya Sekar Mirah seorang diri. Demikian pula laporan dari seorang yang mengawasi rumah itu. Mereka melihat tiga orang keluar dari rumah itu menuju ke rumah Ki Gede. Namun mereka tidak menyadari bahwa Glagah Putih telah kembali ke rumah itu melalui jalan lain. Glagah Putih memang tidak masuk kembali ke halaman rumah itu lewat pintu regol halamannya, sehingga karena itu, ia telah luput dari pengawasan orang-orang yang berniat mengambil Sekar Mirah.
    Namun seandainya mereka melihat Glagah Putih kembalipun mereka tidak akan terlalu banyak mempertimbangkannya, sebagaimana dua orang peronda itu. Menurut perhitungan mereka, kedua peronda itu adalah anak-anak yang tidak memiliki kemampuan olah kanuragan sama sekali sebagaimana anak-anak muda kebanyakan.
    Pemimpin kelompok itupun kemudian menyadari, bahwa anak muda itu memiliki kemampuan yang lebih baik dari Sekar Mirah. Sehingga karena itu, maka setelah berpikir sejenak, pemimpin kelompok itu berkata, “Cepat, tahan perempuan ini agar tidak melarikan diri. Aku akan membunuh anak muda itu.”
    Keempat orang itu dengan cepat tanggap. Seorang diantara mereka telah meninggalkan Glagah Putih dan langsung menghadapi Sekar Mirah. Demikian orang kedua meninggalkan Glagah Putih dan meloncat menghadapi Sekar Mirah dari sisi yang lain, maka pemimpin kelompok itu telah meloncat turun ke halaman.
    Sekar Mirah berusaha mempergunakan kesempatan itu untuk mematahkan perlawanan kedua lawannya. Tetapi orang ketiga segera datang membantu kawan-kawannya. Bahkan kemudian orang keempat yang telah terluka itu.
    Keempat orang itu mengerti apa yang harus mereka lakukan. Mereka mula-mula hanya mendapat tugas untuk menahan agar Sekar Mirah tidak meninggalkan pendapa itu, karena ia dibutuhkan oleh pemimpinnya.
    Dengan demikian Sekar Mirah menyadari, bahwa keempat orang itupun tentu tidak akan membunuhnya. Karena itu, maka Sekar Mirahpun telah bertempur dengan beraninya. Tongkat bajanya telah terayun-ayun mengerikan.
    Namun keempat orang itu memang membuat Sekar Mirah kadang-kadang menjadi bingung. Meskipun keempat orang itu semula tidak berniat untuk melukainya. Namun senjata keempat orang itu cukup berbahaya baginya. Justru karena keempat orang itu bukan pemimpin kelompok yang bertanggung jawab, maka kemungkinan sengatan ujung senjata memang lebih besar.
    Seperti diperhitungkan oleh pemimpin kelompok itu, maka kemampuan Glagah Putih memang lebih tinggi dari Sekar Mirah. Meskipun anak muda itu baru tumbuh kemudian, namun kesempatannya berkenalan dengan Raden Rangga telah memberikan kesempatan yang jauh lebih besar dari Sekar Mirah. Apalagi pada dasarnya Glagah Putih adalah anak muda yang memiliki ilmu yang sangat tinggi.
    Apalagi ketika pemimpin kelompok yang kemudian bertempur dengan Glagah Putih itu berteriak, “Tahan perempuan itu. Jika ia memaksa, maka kalian mendapat wewenang untuk mempergunakan kekerasan meskipun darah akan menitik dari kulitnya. Ada batas kesabaran.“
    Sekar Mirah menggeram. Ia sadar, bahwa orang itu tidak sekedar mengancam. Jika tugas mereka gagal, maka mereka tentu akan sampai pada kemungkinan terakhir. Membunuh.
    Agaknya orang-orang itu telah melampaui batas pertama dari langkah-langkah yang dipersiapkan untuk mengambil Sekar Mirah itu, sehingga mereka sampai pada satu kemungkinan untuk melukainya.
    Namun pemimpin kelompok itu masih berkata, “Tetapi ia harus ditangkap hidup-hidup meskipun terluka.“
    Keempat orang itu merasa lebih bebas untuk mengayunkan senjatanya. Mereka tidak terlalu tegang karena harus menahan diri demikian kemungkinan terbuka. Namun mereka harus menjaga agar perempuan itu tidak mati, karena ia masih akan dapat dipergunakan untuk memancing kehadiran Agung Sedayu.
    Demikianlah maka pertempuran itupun menjadi semakin sengit. Sekar Mirah harus bertempur melawan empat orang. Namun seorang yang telah terluka itupun semakin lama menjadi semakin lemah. Meskipun lukanya tidak terlalu dalam, tetapi kulit yang menganga itu telah mengalirkan darah tanpa henti-hentinya. Karena itu, maka ia harus mengambil waktu untuk beru¬saha menahan arus darahnya itu jika ia tidak benar-benar ingin kehabisan tenaga.
    Sementara itu kedua peronda yang bertempur melawan dua orang itupun telah mengerahkan batas-batas terakhir dari kemampuan mereka. Rasa-rasanya tenaga merekapun telah terperas dalam pertempuran yang memang seimbang itu. Sehingga beberapa saat kemudian, tenaga mereka itu akan susut.
    Sekilas para peronda itu melihat kentongan yang tergantung diserambi. Namun mereka memang harus memperhatikan Sekar Mirah. Dalam keadaan yang terpaksa, Sekar Mirah memang akan dapat dibunuh.
    Namun kedua peronda itu melihat bahwa Sekar Mirah masih mampu bertahan beberapa saat. Apalagi setelah lawannya berkurang dengan seorang. Atau jika orang yang terluka itu mencoba untuk berdiri di arena, maka ia tidak akan dapat berbuat banyak, karena darahnya yang mengalir. Semakin banyak ia bergerak, maka darahnyapun bagaikan diperas lewat lukanya.
    Sekar Mirah memang mampu bertahan untuk beberapa lama. Tiga orang lawannya bukannya orang yang memiliki ilmu sebagaimana pemimpin kelompok itu. Karena itu, maka ayunan senjata Sekar Mirahlah yang telah menggetarkan senjata lawan-lawannya pada setiap benturan. Bukan sebaliknya.
    Sebenarnyalah bahwa ketiga orang lawannya semakin lama semakin tidak menahan diri. Mereka telah mendapat wewenang untuk jika perlu melukai perempuan yang akan mereka ambil itu. Bahkan dalam kemungkinan terakhir, membunuhnya jika perlu.
    Tetapi Sekar Mirah cukup garang bagi ketiga orang itu. Tongkat baja putihnya terayun-ayun mengerikan. Dalam benturan benturan yang terjadi kemudian, ketiga orang lawannya harus mengakui bahwa Sekar Mirah memang seorang perempuan yang pilih tanding.
    Tidak mudah bagi lawan-lawannya untuk dapat menyentuh kulitnya meskipun ia tidak mengekang diri. Kakinya menjadi semakin cepat bergerak melontarkan tubuhnya. Demikian Sekar Mirah mengayunkan tongkat baja putihnya dengan kekuatan yang sangat besar, namun kemudian ia menggeliat menghindari tusukan ujung senjata lawannya yang lain seakan-akan sedang menari.
    Tetapi ketiga orang itupun termasuk orang-orang yang berpengalaman. Mereka adalah orang-orang yang kasar dan keras. Hanya karena mereka berusaha untuk menangkap Sekar Mirah dalam keadaan hidup, maka mereka menjadi agak mengekang diri. Namun semakin lama sifat mereka itupun menjadi semakin nampak muncul kepermukaan.
    Ketika mereka mulai menjadi liar, maka Sekar Mirah memang agak menjadi gelisah. Sekali-sekali terdengar orang-orang itu mengumpat meskipun tidak berteriak-teriak. Agaknya mereka masih berusaha agar kehadiran mereka tidak didengar oleh tetangga-tetangga yang akan dapat membuat rencana mereka semakin rusak.
    Sementara itu, pemimpin dari sekelompok orang itu, memang sudah menjadi gelisah. Ia merasa sudah terlalu lama berada dirumah Sekar Mirah. Pada satu saat Agung Sedayu tentu akan kembali.
    Karena itu, maka iapun berniat untuk dengan cepat menyelesaikan anak muda yang telah berani menghalangi rencananya itu, namun yang tidak dapat diingkari, bahwa anak muda itu ternyata juga berilmu tinggi.
    Sejenak kemudian, maka orang itupun telah meningkatkan kemampuannya pula. Tiba-tiba saja kekuatan orang itu bagaikan meningkat semakin besar. Ketika kemudian terjadi sentuhan, rasa-rasanya tubuh orang itu menjadi semakin keras.
    Glagah Putih menyadari, bahwa orang itu telah memasuki ilmu yang tinggi. Apalagi ketika ia melihat, jejak kaki orang itu nampak semakin dalam membekas di halaman. Seakan-akan berat badannya menjadi berlipat sehingga kakinya dan geraknya masih saja nampak ringan dan tangkas.
    Glagah Putih teringat pada Bandar Anom. Meskipun berbeda tetapi ada beberapa unsur yang mirip. Bagaimanapun juga orang itu agaknya mempunyai hubungan dengan Bandar Anom atau kawannya yang pengecut itu.
    Namun Glagah Putih tidak dapat merenungi lebih lama. Orang itu benar-benar menjadi semakin garang. Rasa-rasanya setiap sentuhan senjata, kekuatan orang itu bagaikan semakin meningkat. Bahkan ketika Glagah Putih harus bergeser menghindari serangannya dan kemudian menangkis senjatanya kesamping, sementara itu sambil berputar Glagah Putih mengayunkan kakinya dan mengenai tubuhnya, kaki Glagah Putih rasa-rasanya akan menjadi patah karenanya. Tubuh orang itu seakan-akan telah berubah menjadi besi.
    “Apakah orang ini memiliki ilmu kebal?“ pertanyaan itu telah menyentuh jantung Glagah Putih.
    Sementara itu orang itu menjadi semakin garang. Ia harus dengan cepat menyelesaikan Glagah Putih dan kemudian membawa Sekar Mirah pergi.
    Namun Glagah Putih tidak mudah menyerah. Ikat pinggangnya berputaran menyambar-nyambar, sehingga pada suatu saat sempat menyusup disela-sela pertahanan lawannya, mengenai tubuhnya. Namun Glagah Putih harus meloncat surut. Ternyata ikat pinggangnya tidak melukai tubuh orang itu. Tubuh yang seakan-akan telah berubah menjadi sekeras besi.
    Bahkan orang itu tiba-tiba saja tertawa, “Ayo anak muda. Kerahkan segala macam ilmumu. Atau menyerah sajalah. Kau akan mati dengan cara yang baik. Kemudian aku akan membawa perempuan itu bersama kami.“
    Glagah Putih termangu-mangu. Orang itu mempunyai ilmu yang sangat tinggi. Apalagi orang yang disebut-sebutnya sebagai gurunya. Tentu ilmunya jauh lebih tinggi, kecuali jika orang ini mampu meningkatkan ilmunya dan mengembangkannya menjangkau kemampuan gurunya.
    “Menyerah sajalah. Perlawananmu sia-sia.“ berkata orang itu pula.
    Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia bertekad untuk menjawab tantangan itu. Tidak ada ilmu yang sempurna. Jika saja ilmu kebal orang itu belum sampai pada tataran yang sempurna itu, maka tentu ada cara untuk menembusnya. Bahkan ilmu kebal Agung Sedayupun masih juga dapat ditembus oleh ilmu yang sangat tinggi.
    Karena itu, Glagah Putih telah mengerahkan ilmunya. Ia masih belum berniat untuk menyerang lawannya dari jarak tertentu tanpa menyentuhnya. Tetapi ia ingin menembus ilmu kebalnya dengan senjatanya itu. Senjata yang bukan senjata kebanyakan. Tetapi senjata yang diterimanya dari seorang yang sangat dihormati bukan saja karena kedudukannya yang tinggi, tetapi juga karena ilmunya.
    Namun bukan saja tergantung kepada senjata itu. Glagah Putihpun telah meningkatkan ilmunya sampai kepuncak kemampuannya berdasarkan ilmu yang diwarisinya dari jalur Ki Sadewa. Dengan memusatkan nalar budinya, maka ilmu itu seakan-akan telah siap tersalur lewat tangannya dan kemudian mengalir ke ujung ikat pinggangnya itu.
    Dengan demikian, maka kekuatan dan kemampuan Glagah Putihpun bagaikan berlipat. Ikat pinggangnya yang berputaran telah mendesing seperti suara sendaren dipunggung burung merpati yang terbang tinggi.
    Kedua orang yang bertempur itu telah mengerahkan ilmu masing-masing. Keduanya berloncatan dengan cepat dan tangkas. Masing-masing berusaha untuk menghindari serangan lawannya atau menangkisnya dengan membenturkan senjatanya.
    Namun ketika kemudian terjadi benturan, maka lawan Glagah Putih itupun terkejut. Lawannya tiba-tiba saja telah meningkatkan kekuatannya dengan hampir berlipat. Karena itu, hampir saja senjata lawan Glagah Putih itu terlepas.
    Selagi lawannya berusaha memperbaiki keadaan, maka Glagah Putih telah mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya. Dengan kemampuannya yang sangat besar, dan kekuatannya yang berlipat, Glagah Putih telah mengayunkan senjatanya mendatar, menyusup dibawah pertahaan lawan yang sudah goyah.
    Lawannya tidak berusaha untuk menangkisnya lagi. Jika sekali lagi terjadi benturan senjata, maka senjatanya tentu akan terlepas. Namun iapun sudah tidak mempunyai kesempatan untuk menghindar, sehingga karena itu, maka lawan Glagah Putih itu telah mempercayakan perlindungan ilmu kebalnya.
    Sesaat kemudian senjata Glagah Putih memang seakan-akan telah membentur dinding besi. Namun kekuatan yang dilontarkan oleh ilmu yang diwarisinya dari jalur Ki Sadewa adalah demikian besarnya, sehingga karena itu, maka seolah-olah memang telah terjadi benturan yang sangat kuat. Benturan kekuatan ilmu Glagah Putih yang sangat besar dengan perisai yang melindungi tubuh lawannya, yang seakan-akan dapat menjadikan kulit dagingnya bagaikan dilapisi oleh lempeng lempeng besi baja.
    Namun ternyata kekuatan Glagah Putih dengan lambaran ilmunya terlalu besar bagi kekuatan ilmu kebal lawannya. Meskipun senjata Glagah Putih hanya ikat pinggang kulit. Namun ternyata senjata itu dialasi dengan kekuatan ilmunya telah mampu mengoyak ilmu kebal lawannya.
    Terdengar lawannya mengaduh tertahan. Lawannya yang terlalu yakin akan perisai ilmu kebalnya itu terlempar beberapa langkah surut. Bukan hanya terdorong surut, tetapi ternyata ikat pinggang Glagah Putih itu telah melukai kulit lawannya. Meskipun goresan itu tidak dalam, tetapi cukup mendebarkan bagi lawan Glagah Putih itu.
    Baju orang itu telah terkoyak di bagian dada tembus sampai kekulit, melintang hampir selebar dada orang itu. Dari goresan yang tidak dalam itu, memang sudah mulai menitik darah. Bahkan karena keringat orang itu yang membasahi seluruh kulitnya, maka luka itu terasa sangat pedih.
    “Anak iblis.“ orang itu mengumpat, “kau mampu menembus ilmu kebalku.“
    “Kau yang anak iblis.“ Glagah Putihpun membentak, “kau ternyata memiliki ilmu kebal.“
    Orang itu memandang wajah Glagah Putih dengan sorot mata yang menyala. Sekilas ia melihat ketiga orang yang bertempur melawan Sekar Mirah. Namun ia tidak dapal menentukan, apakah ketiganya akan berhasil.
    Namun kemarahan yang menghentak jantungnya telah membuatnya mata gelap sehingga ia berteriak, “Jangan segan-segan lagi. Paksa perempuan itu menyerah, meskipun kau hanya mendapatkan mayatnya.“
    “Persetan.“ suara Glagah Putihpun terdengar garang, “aku akan membunuh kalian.“
    Orang yang mempunyai ilmu kebal itu telah bersiap untuk menyerang Glagah Putih. Ia telah mengerahkan segenap ilmunya sehingga ia berharap ilmu kebalnya akan menjadi semakin kuat. Namun dengan demikian maka darahnyapun menjadi semakin banyak mengalir.
    Glagah Putihpun telah bersiap. Iapun menjadi marah seperti lawannya. Namun ia masih selalu mampu mengendalikan nalar budinya sehingga tidak sekedar hanyut dalam arus perasaannya.
    Ketiga orang lawan Sekar Mirah itupun telah menghentakkan kemampuan mereka pula. Mereka bertempur dengan keras dan kasar. Mereka semakin lama telah menjadi semakin liar. Umpatan-umpatan kotor telah keluar dari mulut mereka. Kata-kata yang tidak pantas didengar orang, apalagi seorang perempuan.
    Untunglah bahwa Sekar Mirah tetap sadar, bahwa kecuali untuk mendorong menghentakkan kekuatannya dan kemampuannya, maka orang-orang itu dengan sengaja berusaha mempengaruhi Sekar Mirah. Jika secara jiwani Sekar Mirah telah terpengaruh, maka ia tentu tidak akan mampu memusatkan pikiran dan kemampuan ilmunya untuk menghadapi ketiga orang itu.
    Tetapi Sekar Mirah tidak menjadi bingung karenanya. Ia sadar sepenuhnya apa yang dihadapinya. Karena itu, maka penalarannya tetap berjalan dengan bening meskipun ia menjadi sangat marah menghadapi lawan-lawannya. Namun dengan demikian, kemarahan Sekar Mirah yang disadari sepenuhnya itu justru telah membuatnya sangat berbahaya.
    Meskipun demikian bagaimanapun juga, kemampuan Sekar Mirahpun terbatas. Setelah memeras kekuatan dan kemampuannya, maka Sekar Mirah tidak mampu lagi mengatasi keterbatasannya. Tenaganya perlahan-lahan sekali mulai susut. Tetapi bukan berarti bahwa kekuatan lawan-lawannya tidak menjadi susut karenanya. Merekapun telah memaksa diri untuk mengatasi desing putaran tongkat baja putih Sekar Mirah.
    Dengan demikian maka keseimbangan pertempuran antara Sekar Mirah dan ketiga lawannya tidak berubah dengan tajam. Kedua belah pihak mulai menghemat tenaga mereka, agar mereka tidak kehabisan nafas disaat-saat yang paling gawat.
    Demikian pula dua orang peronda yang bertempur melawan dua orang yang tidak dikenal itu. Merekapun harus menghemat tenaga mereka. Karena itu, maka keduanya lebih baik bertahan daripada menyerang. Karena dengan demikian keduanya dapat menghemat tenaga mereka.
    Tetapi lawan-lawan merekapun telah melakukan hal yang hampir sama. Keduanya juga tidak lagi menghambur-hamburkan tenaga. Mereka mulai benar-benar memperhitungkan segala gerak yang mereka lakukan, sehingga hanya dalam keadaan yang paling penting saja mereka bergerak.
    Berbeda dengan mereka adalah Glagah Putih. Glagah Putih yang memiliki ketahanan tubuh yang luar biasa, masih belum merasa perlu menghemat tenaganya. Bahkan ia telah mengerahkan segenap kekuatannya untuk menembus ilmu kebal lawannya yang ditingkatkan.
    Dalam pertempuran yang terjadi kemudian, maka Glagah Putih memang menjadi garang. Sekali-sekali benturan masih terjadi. Namun dengan gerakan yang semakin cepat, maka senjata Glagah Putih telah mampu menyusup pertahanan lawannya dan langsung membentur ilmu kebalnya.
    Ternyata kemampuan Glagah Putih benar-benar diluar dugaan lawannya. Anak yang masih muda itu ketika membentur ilmu kebalnya dengan senjatanya yang aneh itu, benar-benar telah berhasil menembusnya sekali lagi. Bukan kebetulan bahwa lawannya lengah, tetapi kemampuan Glagah Putih benar-benar diatas tingkat ilmu kebal lawannya. Sebuah luka telah tergores lagi ditubuh lawannya. Pundaknyalah yang telah dilukai oleh senjata Glagah Putih.
    Kemarahan yang tidak ada taranya telah bergejolak dihati lawan Glagah Putih itu. Karena itu, maka agaknya orang itu tidak lagi mengekang dirinya. Ia benar-benar seorang yang berilmu sangat tinggi. Luka ditubuhnya adalah pertanda runtuhnya harga dirinya diantara saudara-saudara seperguruannya. Karena itu, maka orang itupun telah memutuskan untuk menghancurkan lawannya dengan ilmu pamungkasnya. Ilmu yang jarang sekali dipergunakan kecuali dalam keadaan yang paling gawat, untuk menebus kekalahannya itu. Dalam keadaan yang terdesak, maka orang itu telah meloncat mengambil jarak. Iapun segera berdiri tegak dan menyilangkan tangan didada.
    Glagah Putih sudah siap memburunya. Namun iapun segera menghentikan langkah. Ia sadar sepenuhnya, bahwa lawannya telah memusatkan nalar budinya untuk menghancurkannya.
    Tetapi Glagah Putih tidak sempat berbuat sesuatu. Tiba-tiba diseputar tubuh orang itu udara bagaikan berputar. Semakin lama semakin cepat, sehingga akhirnya menjadi angin pusaran mengitarinya. Namun sejenak kemudian angin pusaran itu telah terlepas dari tubuh itu. Dengan cepat angin pusaran itu telah bergerak kearah Glagah Putih.
    Glagah Putih sadar sepenuhnya, bahwa angin pusaran itu adalah ungkapan kekuatan yang sangat dahsyat. Jika ia tersentuh oleh angin pusaran itu, maka tubuhnyapun akan terputar pula. Bahkan mungkin terangkat dan dilemparkan dari ketinggian yang mengerikan.
    Karena itu, ketika angin pusaran itu seakan-akan menyerangnya, maka Glagah Putih telah meloncat dengan cepat menghindarinya. Tetapi pusaran yang tajam itu seolah-olah mempunyai mata yang dapat menuntunnya mengejar Glagah Putih.
    Ketika Glagah Putih meloncat ke bawah sebatang pohon jambu air, maka pusaran itu telah menyerangnya pula. Demikian Glagah Putih meloncat menghindar, maka pohon jambu air itulah yang telah diputarnya. Terdengar gemerasak daunnya dan derak cabang-cabangnya yang patah.
    Glagah Putih memang menjadi berdebar-debar. Ia menyadari betapa besarnya kekuatan angin pusaran yang nampaknya tidak lebih besar dari pusaran tubuh lawannya itu.
    Derak dahan-dahan yang patah memang telah mengejutkan Sekar Mirah dan kedua orang peronda yang sedang bertempur itu. Sesaat Sekar Mirah sempat melihat apa yang terjadi di halaman. Ia melihat dahan yang patah itu runtuh ditanah.
    Jantung Sekar Mirah memang tergetar. Ia menyadari be¬tapa tinggi ilmu orang itu. Jika ilmu itu ditrapkan kepadanya, maka agaknya ia tidak akan mampu mengatasinya.
    Sementara itu salah seorang dari lawan Sekar Mirah itu sempat berkata, “Nah, kau lihat. Jika batas kesabaran itu sudah dilampaui, maka Ki Lurah itu benar-benar telah bertindak tegas. Karena itu, menyerahlah. Kau tidak akan dikenai oleh ilmunya yang dahsyat itu.“
    “Cukup.“ bentak Sekar Mirah. “Kau kira kau dapat menakut-nakuti aku? Sebentar lagi kalian bertiga akan mati.“
    Tetapi orang itu tertawa. Katanya, “Kau coba menghibur dirimu sendiri.“
    Sekar Mirah tidak menjawab. Iapun telah meloncat sambil memutar tongkat baja putihnya melihat ketiga orang lawannya itu. Namun tenaga Sekar Mirah tidak lagi seutuh saat ia mulai bertempur.
    Sementara itu, putaran angin pusaran itu benar-benar telah mengguncang perasaan kedua orang peronda yang masih bertahan. Rasa-rasanya segala sesuatunya akan segera berakhir. Namun demikian keduanya adalah pengawal yang mengemban tanggung jawab. Karena itu, maka kedua orang itu sama sekali tidak kehilangan gelora didadanya. Apapun yang akan terjadi, mereka tidak berniat untuk melangkah surut. Adalah menjadi tugas mereka untuk melawan siapapun yang akan membuat kericuhan di Tanah Perdikan. Apalagi sudah berniat untuk membunuh dan menculik.
    Meskipun tenaga mereka sudah surut, namun keduanya masih berusaha untuk bertahan dan bahkan menyerang lawan-lawannya. Apalagi karena lawan-lawan merekapun telah memeras kekuatan mereka pula.

  37. Sementara itu, Glagah Putih masih harus berusaha menghindarkan diri dari kejaran angin pusaran itu. Sebagai seorang yang banyak berhubungan dengan ilmu kanuragan maka Glagah Putih itupun segera mengetahui, bahwa landasan dasar ilmu lawannya adalah Aji Cleret Tahun yang sudah jarang ditemui. Namun yang memang mempunyai kekuatan yang luar biasa dahsyatnya.
    Beberapa kali Glagah Putih memang harus berloncatan menghindari kejaran ilmu itu. Namun dengan demikian maka batang-batang perdu di halaman rumah itu seakan-akan telah digulung dan dilontarkan naik ke udara.
    Beberapa saat Glagah Putih harus meloloskan diri. Namun angin pusaran yang dahsyat itu tidak juga susut. Karena itu, maka akhirnya Glagah Putih telah memutuskan untuk mencoba melawan ilmu itu dengan ilmunya. Apapun yang akan terjadi, ia tidak boleh sekedar berlari-larian.
    Apalagi ketika terdengar suara lawannya itu bagaikan bergaung di seluruh langit. “Menyerahlah untuk mati. Kau akan diputar dan dilontarkan dari udara. Tubuhmu akan terbanting di tanah dan hancur lumat.“
    Glagah Putih menggeram, namun Glagah Putih ternyata berhasil. Ia dapat mempergunakan kesempatan itu untuk memusatkan nalar budi. Sementara itu gulungan angin pusaran itu telah bergerak dengan cepat menyusulnya.
    Namun Glagah Putih telah bersiap. Ia adalah murid Ki Jayaraga yang mampu menyadap inti kekuatan angin disamping kekuatan api, air dan bumi. Dengan menghentakkan kekuatan dan kemampuan ilmunya yang telah terangkat semakin tinggi oleh limpahan kemampuan Raden Rangga, maka Glagah Putih telah menjulurkan tangannya kedepan dengan telapak tangan menghadap ke arah angin pusaran yang menyambarnya dengan cepat.
    Tetapi tepat pada waktunya, maka kekuatan dan kemampuan ilmu Glagah Putih telah terlontar pula. Kekuatan yang luar biasa besarnya yang disadapnya dari inti kekuatan angin. Satu hembusan yang tidak terukur kekuatannya telah terlontar mengarah pada pusat angin pusaran itu. Satu ledakan telah terjadi. Dua kekuatan yang sangat besar telah saling berbenturan.
    Demikian dahsyatnya sehingga gelombang ledakan karena benturan itu telah menghantam Glagah Putih yang masih berdiri di tempatnya. Namun Glagah Putih tidak melawan dorongan gelombang udara itu. Dibiarkannya tubuhnya terlempar beberapa langkah. Dengan mapan Glagah Putih menjatuhkan dirinya dan berguling beberapa kali. Dengan demikian maka tubuhnya justru tidak mengalami benturan yang dapat melukai bagian dalamnya, meskipun punggungnya terasa sakit meskipun ia jatuh dengan mapan.
    Tetapi sesaat kemudian, Glagah Putih itu dengan tangkasnya telah melenting berdiri dan bersiap menghadapi segala kemungkinan.
    Glagah Putih yang telah berdiri itu masih sempat melihat angin pusaran yang dilepaskan oleh lawannya bagaikan pecah berhamburan. Memang terasa angin yang bergejolak tidak terarah. Kekuatan angin pusaran yang dilepaskan oleh Glagah Putih telah berbaur setelah saling mendesak.
    Namun angin pusaran itu tidak mampu lagi menemukan bentuknya. Sehingga karena itu, setelah seluruh pepohonan di halaman itu bagaikan diguncang, maka keadaan mulai menjadi tenang.
    “Anak iblis.“ orang yang melepaskan angin pusaran itu mengumpat. Tetapi nampaknya ia menjadi sangat marah de¬ngan serangan yang gagal itu. Karena itu, maka iapun telah berniat untuk mengulanginya. Setelah mengambil tempat, maka iapun kemudian bersikap. Berdiri tegak dengan tangan bersilang didada.
    Glagah Putih melihat sikap itu dengan gelisah. Ia tidak ingin diburu lagi oleh angin pusaran yang barangkali tidak hanya segulung. Mungkin orang itu akan melepaskan dua atau tiga gulung yang akan dapat menghancurkan bukan saja dirinya, tetapi juga pendapa rumah Agung Sedayu bersama Sekar Mirah dengan tanpa menghiraukan orang-orangnya sendiri akan ikut hancur di dalamnya. Karena itu, maka Glagah Putih telah berniat untuk mematahkan serangan itu justru ketika masih ada pada sumbernya.
    Dengan demikian maka Glagah Putihpun segera menghadap kearah lawannya. Ketika ia mulai melihat kabut yang mulai berputar mengelilinginya, maka Glagah Putih telah menjulurkan tangannya. Kedua telapak tangannya menghadap kearah lawannya.
    Seperti yang telah terjadi, maka satu hentakkan ilmu telah memancar dari kedua telapak tangan Glagah Putih. Satu hembusan angin yang sangat kuat telah menghantam lawannya yang sedang mempersiapkan ilmunya.
    Ternyata akibatnya sangat pahit bagi lawan Glagah Putih itu. Kekuatan ilmu Glagah Putih telah membentur ilmu lawannya yang telah siap dilepaskannya. Namun benturan yang dahsyat itu telah menimbulkan guncangan udara yang luar biasa besarnya, justru pada saat kekuatan ilmu lawan Glagah Putih itu masih diambang pintu.
    Karena itu, maka lawan Glagah Putih itu telah terhempas oleh kakuatan yang sangat besar tanpa dapat mengendalikan diri sebagaimana Glagah Putih. Ia tidak dapat menjatuhkan dirinya dengan mapan. Tetapi lawan Glagah Putih itu telah terhempas cukup jauh membentur dinding halaman rumah Agung Sedayu.
    Dinding itu sendiri yang tidak langsung terkena hembusan kekuatan ilmu Glagah Putih masih mampu bertahan. Sehingga karena itu, maka tubuh lawan Glagah Putih yang terlempar itulah yang mengalami benturan yang kuat dengan dinding halaman Agung Sedayu itu.
    Tidak terdengar keluhan ataupun teriakan. Tidak terdengar suara orang yang terbentur dinding itu selain suara benturan itu sendiri.
    Sejenak kemudian, maka keadaannya telah menjadi hening. Ketiga orang lawan Sekar Mirah berusaha untuk mengambil jarak. Mereka mencoba memperhatikan apa yang telah terjadi di halaman. Sejak benturan kekuatan antara angin pusaran dan hembusan ilmu Glagah Putih dan kemudian serangan Glagah Putih langsung ke arah sumber ilmu yang melepaskan Aji Cleret Tahun itu, ketiga orang itu telah menjadi bingung.
    Demikian pula kedua orang yang bertempur dengan pengawal Tanah Perdikan itu. Keduanya untuk beberapa saat bagaikan membeku.
    Glagah Putih yang telah melepaskan kekuatannya itupun menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya ia tidak ingin membunuh lawannya itu, karena lawannya itu akan dapat memberikan beberapa keterangan yang diperlukan. Tetapi ia tidak dapat menyalahkan dirinya sendiri karena orang itu sebenarnya terlalu jauh sehingga tubuh dan kepalanya telah membentur dinding halaman, sehingga nampaknya orang itu tidak dapat ditolong lagi.
    Selangkah demi selangkah Glagah Putih mendekati orang yang terbaring diam itu. Ia masih harus berhati-hati. Namun ketika kemudian ia menyentuh orang itu dan menelentangkannya, maka iapun pasti bahwa orang itu telah terbunuh.
    Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun melangkah kependapa sambil berkata lantang, “Pemimpinmu ternyata telah terbunuh diluar kehendakku. la tidak dapat mempertahankan dirinya dan membentur dinding halaman itu.“
    Orang-orangnyapun menjadi bingung. Mereka tidak tahu apa yang sebaiknya dilakukan. Namun mereka memang sudah tidak mempunyai harapan lagi. Pemimpinnya yang dianggap orang yang berilmu tinggi, ternyata tidak dapat bertahan melawan Glagah Putih yang masih muda itu. Apalagi mereka.
    Ternyata orang-orang itu telah mencoba memandang berkeliling. Agaknya mereka memang sedang mencari kemungkinan untuk meloloskan diri. Namun tiba-tiba pintu regolpun telah berderak terbuka. Beberapa orang dengan tergesa-gesa telah memasuki halaman rumah itu. Diantara mereka adalah Agung Sedayu dan Ki Jayaaga. Beberapa pengawalpun segera menebar disekeliling halaman. Dua orang diantara mereka terkejut ketika mereka melihat sesosok tubuh yang terbaring di halaman hampir melekat dinding.
    Agung Sedayu dengan tergesa-gesa meloncat berlari mendapatkan isterinya. Sambil memegang kedua bahu isterinya, Agung Sedayu bertanya dengan nada cemas, “Bagaimana keadaanmu Mirah?“
    Terasa sesuatu bagaikan menyumbat kerongkongan perempuan itu, sementara pelupuknya menjadi berat. Tetapi Sekar Mirah tidak mau menunjukkan kecengengannya meskipun ia seorang perempuan. Bahkan ia telah mencoba tersenyum sambil berkata, “Aku baik-baik saja kakang. Beruntunglah bahwa kau kirim Glagah Putih kembali. Ternyata ada beberapa orang yang berniat jahat kepadaku.“
    “Apa yang mereka lakukan?“ bertanya Agung Sedayu.
    “Mereka akan menculik aku. Dengan demikian mereka akan memaksa kakang Agung Sedayu untuk menyerah. Bahkan jika mungkin juga kakang Swandaru serta kekuatan-kekuatan yang ada di Tanah Perdikan itu serta di Kademangan Sangkal Putung.“ berkata Sekar Mirah.
    Agung Sedayu menggeretakkan giginya. Ia dapat bertahan terhadap orang-orang yang berniat jahat kepadanya. Tetapi agaknya lain terhadap orang-orang yang berniat jahat kepada isterinya.
    Tiba-tiba saja Agung Sedayu berkisar dan berpaling kepada ketiga orang yang telah bertempur melawan Sekar Mirah. Namun tiba-tiba ketiga orang itupun menjadi gemetar. Mereka tidak dapat berbuat lain kecuali melemparkan senjata mereka. Hampir berbareng ketiganya berjongkok sambil berkata dengan kata-kata memelas, “Kami mohon ampun.“
    Agung Sedayu masih saja menggeretakkan giginya. Namun dalam pada itu Sekar Mirah berkata, “Yang seorang diantara mereka, yang justru mempunyai ilmu tertinggi telah diselesaikan oleh Glagah Putih.“
    Agung Sedayu memandang Glagah Putih yang masih berada di halaman. Namun Agung Sedayu masih belum bertanya kepadanya. Tetapi kepada para pengawal Agung Sedayu minta orang-orang yang menyerah itu ditangkap. Termasuk dua orang yang bertempur melawan dua orang peronda itu.
    Beberapa saat kemudian, maka Agung Sedayupun telah duduk dipendapa bersama Sekar Mirah, Glagah Putih, Ki Jayaraga dan beberapa orang pemimpin pengawal yang datang bersamanya. Sementara itu, orang yang telah terbunuh oleh Glagah Putih telah dibaringkan pula di pendapa itu.
    Dengan singkat Sekar Mirah telah menceriterakan peristiwa yang terjadi di rumah itu. Kedua orang peronda yang datang kerumah itupun telah melengkapi ceritera Sekar Mirah pula.
    Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ketika sekilas ia memandang ke halaman, maka beberapa orang duduk di halaman dengan tangan terikat dibelakang punggungnya dijaga oleh beberapa orang pengawal bersenjata.
    “Sayang, orang itu terbunuh.“ desis Agung Sedayu.
    Glagah Putih hanya menundukkan kepalanya saja. Namun yang menjawab adalah Sekar Mirah. “Orang itu memiliki ilmu yang dahsyat sekali. Kau lihat, pohon jambu air itu? Dahannya berpatahan diputar oleh ilmu orang itu.“
    Ketika Agung Sedayu mengerutkan dahinya, Glagah Pulih berdesis perlahan penuh keragu-raguan, “Aji Cleret Tahun.“
    “O.“ Agung Sedayu mengangguk-angguk, “agaknya itulah yang dilihat oleh dua orang peronda yag kemudian berlari-lari memberitahukan kepada kami di rumah Ki Gede, sehingga kamipun dengan tergesa-gesa kembali.“
    Sekar Mirah mengangguk-angguk. Katanya, “Satu pendadaran bagi Glagah Putih. Ternyata ia mampu mengatasi Aji Cleret Tahun yang garang itu.“
    “Kita harus mendapatkan keterangan dari orang-orang yang tertangkap hidup-hidup. Tetapi agaknya keterangan mereka tidak akan dapat menuntun kita sampai ke pusat gerakan itu. Namun agaknya sudah dapat ditebak.“ berkata Agung Sedayu.
    “Justru pada saat Tanah Perdikan akan menerima tamu seseorang yang kedudukannya cukup penting.“ berkata Ki Jayaraga, “sehingga karena itu, maka segala sesuatunya harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya.“
    Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun dengan demikian ia ditandai oleh lawan-lawan Mataram. Meskipun ia bukan seorang pemimpin di Mataram. Meskipun ia bukan seorang Senapati atau orang yang memegang kendali pemerintahan.
    “Kita bawa orang-orang itu ke rumah Ki Gede. Sudah tentu orang itu tidak berasal dari lingkungan yang sama dengan orang-orang yang kita temui kemarin di pinggir hutan.”
    Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja diluar sadarnya Sekar Mirah bertanya, “Apakah kakang Agung Sedayu akan pergi lagi?“
    Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menyadari, bahwa sebenarnyalah kegelisahan masih mencengkam jantung Sekar Mirah, sehingga ia tidak ingin ditinggalkannya lagi. Meskipun Sekar Mirah tidak terbiasa merasa ketakutan, namun apa yang baru saja terjadi benar-benar telah membuatnya sangat gelisah.
    Karena itu, maka Agung Sedayupun menyahut, “Biarlah Glagah Putih membawa mereka ke rumah Ki Gede. Termasuk seorang yang terbunuh itu. Aku akan berada di rumah.“
    Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Glagah Putihlah yang kemudian membawa beberapa orang tawanan ke rumah Ki Gede. Demikian pula sesosok mayat yang besok akan dikuburkan.
    “Kau aporkan apa yang telah terjadi kepada Ki Gede.“ pesan Agung Sedayu kepada Glagah Putih.
    Sebenarnyalah, Glagah Putih telah memberikan laporan tentang kedatangan orang-orang yang akan menculik Sekar Mirah. Mereka telah berusaha untuk melakukannya dengan kekerasan. Bahkan mereka telah mengatakan, jika mereka gagal menculik Sekar Mirah, maka mereka akan membunuhnya.
    “Siapa mereka?“ bertanya Ki Gede.
    Glagah Putih menggeleng sambil menjawab, “Kami belum tahu Ki Gede. Kami belum sempat berbicara dengan orang-orang itu.“
    Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia bertanya, “Apakah menurut dugaanmu orang-orang ini ada hubungannya dengan orang-orang yang kau temukan di pinggir hutan itu?“
    “Secara langsung agaknya tidak Ki Gede.“ jawab Glagah Putih, “tetapi mungkin orang-orang dipinggir hutan itu telah diperalatnya.”
    “Baiklah. Biarlah mereka ditempatkan ditempat yang lain. Biarlah orang-orang yang baru saja kau tangkap itu disimpan ditempat yang lebih rapat. Sementara orang-orang yang kau bawa dari pinggir hutan itu dapat disimpan di gandok kiri.“
    “Tetapi mereka tetap memerlukan pengawalan yang kuat.“ berkata Glagah Putih, “meskipun orang-orang itu sendiri tidak begitu berbahaya. Tetapi mungkin ada golongan lain yang memerlukan mereka atau justru membungkam mereka.“
    Ki Gede mengangguk-angguk. Sementara itu, Glagah Putihpun telah memberitahukan, bahwa nampaknya Sekar Mirah yang mengalami tekanan batin, masih memerlukan kehadiran Agung Sedayu dirumahnya.
    “mBokayu tidak pernah mengalami kegelisahan dan mungkin kecemasan seperti itu.“ berkata Glagah Putih.
    “Baiklah.“ berkata Ki Gede, “besok mayat itu akan dikubur. Sayang. Kita tidak dapat bertanya lebih banyak tentang dirinya dan orang-orang yang berdiri dibelakangnya.“
    Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi baginya, tidak ada kemungkinan lain yang dapat dilakukannya, jika ia sendiri ingin digulung oleh angin pusaran, dilemparkan ke udara dan jatuh terbanting ditanah sehingga tulang-tulangnya berpatahan.
    Ketika Glagah Putih minta diri, maka Ki Gede telah memerintahkan para pengawal untuk bersiaga sepenuhnya. Kentonganpun telah disiapkan. Jika terjadi sesuatu maka para pengawal akan dapat dengan cepat digerakkan. Bukan saja pengawal di padukuhan induk, tetapi pengawal di semua padukuhan di Tanah Perdikan.
    Dirumah Agung Sedayu, beberapa orang duduk berbincang di pendapa, termasuk Sekar Mirah dan pemimpin Pasukan Pengawal di padukuhan induk.
    “Padahal besok aku harus pergi.“ berkata Agung Sedayu.
    “Dengan siapa kau akan pergi kakang? Aku minta kakang tidak pergi sendiri.“ minta Sekar Mirah.
    Agung Sedayu termangu-mangu. Sebenarnyalah bahwa sangat berbahaya pergi sendiri.
    Karena itu, maka Agung Sedayu berkata, “Aku akan pergi dengan Glagah Putih. Aku minta Ki Jayaraga membantu Ki Gede mempersiapkan Tanah Perdikan ini. Setelah besok, maka hanya tinggal ada waktu sehari. Segala sesuatunya harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya. Kita sudah terlanjur tidak dapat merahasiakan lagi kehadiran Ki Mandaraka di Tanah Perdikan ini.“
    Sekar Mirah mengangguk-angguk. Katanya, “Aku sependapat. Namun mulai besok, pasukan pengawal harus sudah benar-benar bersiaga diseluruh Tanah Perdikan.“
    Agung Sedayu pun mengangguk-angguk pula. Katanya, “Besok sebelum aku berangkat mencari Ki Waskita, aku harus berbicara dengan Ki Gede dan para pemimpin pengawal.“
    “Nampaknya kita harus bersungguh-suhgguh.“ berkata Ki Jayaraga.
    Demikianlah, maka malam itu Agung Sedayu dan Glagah Putih hanya sempat beristirahat beberapa saat. Namun bagi mereka, yang beberapa saat itu telah dapat membuat tubuh mereka menjadi segar.
    Pagi-pagi benar Agung Sedayu dan Glagah Putih sudah bersiap. Iapun kemudian telah minta diri kepada Sekar Mirah dan Ki Jayaraga. Keduanya akan pergi menemui Ki Waskita dan sebelumnya mereka akan singgah dirumah Ki Gede.
    Dirumah Ki Gede, Agung Sedayu telah memberikan beberapa pesan kepada Prastawa untuk mengatur para pengawal. Prastawa diminta untuk memanggil semua pemimpin pengawal dari semua padukuhan untuk berbicara tentang pengamanan seluruh Tanah Perdikan Menoreh.
    “Segalanya harus diatur sebaik-baiknya.“ berkata Agung Sedayu.
    Prastawa mengangguk-angguk. Dengan mantap ia berkata, “Aku akan segera memanggil mereka. Pagi ini juga.“
    “Maaf, Glagah Putih belum dapat ikut membantu tugasmu pagi ini. Aku membawanya memanggil Ki Waskita.“ berkata Agung Sedayu.
    “Semuanya akan berjalan lancer.“ jawab Prastawa.
    Namun dalam pada itu, Agung Sedayu berkata, “Tetapi ingat. Peristiwa itu terjadi berurutan. Tentu ada niat yang telah terencana. Karena itu, kita tidak boleh lengah. Semua jalur jalan memasuki Tanah Perdikan, bahkan pematang dan padang perdu, lereng-lereng pebukitan harus mendapat pengawasan.”
    “Aku mengerti.“ berkata Prastawa, “karena itu, maka para pemimpin pengawal dari padukuhan-padukuhan harus segera berkumpul.“
    Sejenak kemudian, maka Agung Sedayupun telah mohon diri kepada Ki Gede dan para pemimpin Tanah Perdikan untuk pergi kerumah Ki Waskita. Agung Sedayu berniat untuk minta agar Ki Waskita bersedia datang hari itu juga, mendahului para tamu dari Mataram.
    Sepeninggal Agung Sedayu, maka Prastawapun telah melaksanakan segela pesan Agung Sedayu. Para pemimpin pengawal Tanah Predikanpun telah dikumpulkan. Ki Gede yang hadir telah memberikan mereka petunjuk kepada para pemimpin pengawal, agar mereka mampu menciptakan satu suasana yang tenang.
    “Ternyata Tanah Perdikan telah disusupi oleh beberapa orang yang pura-pura akan membuka hutan. Namun yang nampaknya dengan sengaja telah memancing persoalan dengan Mangir.“ berkata Ki Gede. Lalu katanya, “Hal seperti itu tidak boleh terjadi. Namun lebih dari itu, para pengawal tidak boleh dengan tergesa-gesa mengambil sikap tanpa pertimbangan. Seandainya orang-Orang yang mengaku dari Mangir itu mengalami bencana, maka akan segera timbul persoalan baru. Sebelum persoalan dengan Madiun dapat diselesaikan, maka akan timbul persoalan dengan tetangga yang sangat dekat. Mangir.“
    Para pemimpin pengawal itu mendengarkan semua petunjuk Ki Gede dengan sungguh-sungguh. Mereka dapat mengerti, tugas yang sangat berat telah dibebankan dipundak mereka. Kehadiran Ki Mandaraka tentu merupakan tanggung jawab yang sangat berat bagi Tanah Perdikan.
    Apalagi ketika para pengawal kemudian mendengar, bah¬wa kehadiran Ki Mandaraka bukan saja berarti penyediaan penginapan, suguhan makan dan minum yang pantas, tetapi Ki Gede juga berniat untuk mengadakan pertunjukan bagi tamunya. Sehingga dengan demikian, maka para pengawal harus menanggung akibatnya dari segi pengamanan dan ketertiban.
    “Sejak hari ini kalian harus bejaga-jaga.“ berkata Ki Gede, “waktu kita tinggal besok. Besok lusa tamu itu sudah akan datang kemari. Dengan demikian maka jalur jalan dari penyeberangan sampai ke padukuhan induk harus bersih. Jalan-jalan yang akan turun ke jalan induk itu harus diawasi, sehingga tidak mungkin terjadi sesuatu di perjalanan sampai ke padukuhan induk.“
    Para pemimpin pengawal itu mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Gede berkata, “Segala sesuatunya mengenai perincian dari tugas kalian akan diatur oleh Prastawa atas dasar pembicaraannya dengan Agung Sedayu dan Glagah Putih. Semua tempat-tempat penting harus bersih sejak hari ini.“
    Demikianlah, maka ketika para pemimpin itu kemudian siap untuk kembali ke tempat masing-masing, maka Prastawa telah memberikan tugas-tugas yang lebih terperinci. Namun kemudian katanya, “Nah, selamat bekerja. Nama dan martabat Tanah Perdikan ada ditangan kalian.“
    Beberapa saat kemudian, maka para pemimpin pengawal itu telah benar-benar kembali ketempat masing-masing. Merekapun dengan cepat telah mengumpulkan para pengawal lengkap dalam dua tingkat. Tingkat pertama adalah para pengawal yang memang telah ditetapkan. Pada tingkat kedua adalah para pengawal yang bertugas sebagai pengawal disaat-saat yang genting.
    “Kita belum perlu mengumpulkan para pengawal ditataran ketiga.“ berkata para pemimpin pengawal di padukuhan.
    Dengan singkat para pemimpin pengawal itu telah memerinci tugas-tugas yang harus mereka lakukan di padukuhan mereka. Beberapa orang terpilih akan pergi ke padukuhan induk. Sedangkan yang lain akan bertugas di padukuhan mereka masing-masing.
    “Nanti setelah Agung Sedayu kembali, akan ditentukan tugas para pengawal di tataran ketiga.“ berkata para pemimpin pengawal.
    Para pengawal mengangguk-angguk. Jika perlu maka anak-anak muda yang bebas, yang akan dipanggil berdasarkan atas kemauan mereka dengan suka rela, bahkan setiap orang laki-laki yang masih mampu dan dengan suka rela pula menyatakan diri, akan diikut sertakan dalam tugas-tugas itu. Terutama mereka yang karena usianya yang mendekati setengah abad tidak lagi menjadi pengawal pada tataran pertama dan kedua, namun masih bersedia untuk mengemban tugas para pengawal.
    Dengan demikian, maka sejak itu, maka para pengawalpun telah mulai melakukan tugas-tugas mereka. Bukan saja mengawasi padukuhan mereka masing-masing, tetapi juga bulak-bulak disekitar padukuhan, bahkan pategalan, lereng-lereng, sungai dan semak-semak dipebukitan. Sedangkan para petugas khusus telah mulai mengamankan jalur jalan dari daerah penyeberangan di Kali Praga menyusuri jalan induk sampai ke padukuhan induk.
    Beberapa orang pengawal berkuda telah mulai meronda pula. Mereka tidak saja melewati jalan-jalan sempit. Bahkan jalan-jalan ditepi-tepi hutan. Justru jalan-jalan tepi hutan itu telah mendapat pengamatan lebih cermat dari pada peronda, karena orang-orang yang bermaksud jahat akan dapat muncul dengan tiba-tiba dari dalam hutan.
    Dengan demikian maka suasana di Tanah Perdikan Menoreh memang menjadi tegang. Seakan-akan seluruh Tanah Perdikan telah berada dalam persiapan perang.
    Namun para pengawal setiap kali memberi tahukan kepada orang-orang di Tanah Perdikan itu, bahwa yang terjadi sebenarnya bukan persiapan perang. Tetapi Tanah Perdikan itu akan menyambut kedatangan pemimpin tertinggi setelah Panembahan Senapati. Ki Patih Mandaraka.
    “Kita tidak sedang ketakutan, bibi.“ berkata seorang pemimpin pengawal sebuah padukuhan kepada seorang perempuan yang nampak sangat cemas, yang sedang menarik cucunya agar tidak keluar halaman dan turun dijalan.
    “Kamilah yang ketakutan.“ berkata perempuan itu, “rasa-rasanya akan terjadi perang seperti beberapa tahun yang lalu. Perang besar-besaran, dijaman adik Ki Gede itu mbalela.“
    “Tidak. Tentu tidak.“ jawab pemimpin pengawal itu.
    “Waktu itu kau tentu belum menjadi pengawal. Atau barangkali kau masih ikut-ikutan saja.“ berkata perempuan itu pula.
    Tetapi pemimpin pengawal itu tertawa. Katanya, “Memang waktu itu aku belum diserahi tugas seperti sekarang. Tetapi yang terjadi sekarang itu justru sebaliknya. Kita tidak sibuk untuk bersiap-siap menghadapi musuh. Tetapi kita akan menyambut kedatangan seorang tamu yang sangat penting, Ki Patih Mandaraka. Seorang yang sangat dihormati. Bukan saja sekarang di Mataram. Tetapi sejak jaman kejayaan Pajang, karena Ki Patih Mandaraka yang dahulu bernama Ki Juru Martani adalah saudara seperguruan Kangjeng Sultan Pajang.“
    “Kau mau menipu aku ya?“ geram perempuan itu, “kau kira menyambu seorang tamu harus dengan pasukan pengawal lengkap bersenjata dan meronda siang dan malam. Berjaga-jaga di setiap mulut lorong dengan senjata telanjang? He, apakah kalian akan membantai tamu kalian itu.“
    Pemimpin pengawal itu masih saja tertawa. Katanya, “Bibi. Beginilah urut-urutan ceriteranya. Kita akan mendapat tamu. Karena itu kita harus bersiap-siap. Tanah Perdikan ini harus yakin aman dan bersih. Apalagi Ki Gede akan menyuguhi tamu-tamunya dengan berbagai macam pertunjukan. Nah, bukankah wajar jika kita bersiap-siap. Jika ada pertunjukan, maka biasanya rumah-rumah menjadi kosong. Kadang-kadang orang lupa kepada rumahnya karena sekeluarga ingin nonton pertunjukan. Bukankah termasuk tugas kami untuk mengamankan rumah-rumah yang kosong itu?“
    “Kau kira aku bodoh sekali ya?“ sahut perempuan itu, “mengamankan rumah-rumah yang ditinggal nonton pertunjukan adalah tugas kalian besok, jika pertunjukan itu sudah diselenggarakan. Bukan sekarang.“ perempuan itu berhenti sejenak. Lalu melangkah mendekati pemimpin pengawas itu sambil berkata, “Kalian tentu berjaga-jaga karena kalian memperhitungkan kemungkinan, bahwa orang-orang yang memusuhi Mataram akan menyerang Ki Patih selagi Ki Patih ada disini. Nah, itu namanya persiapan perang.“
    Pemimpin pengawal itu tertawa semakin keras. Tetapi perempuan itu tidak menanggapinya lagi. Ditariknya cucunya menuju ke regol halaman. Sementara itu pemimpin pengawal itu disela-sela tertawanya masih juga berkata, “Bibi. Jika benar perang itu terjadi, tentu bukan sekarang. Cucumu masih sempat bermain-main sampai musuh itu memasuki Tanah Perdikan dan sampai saatnya terdengar isyarat diseluruh Tanah Perdikan ini. Nah, barulah bibi berlari-lari mengambil cucunya dan membawanya masuk ke halaman, menyelarak regol dan menutup semua pintu.“
    Perempuan itu berhenti sejenak. Namun sambil bersungut-sungut ia kemudian membawa cucunya masuk ke halaman. Tetapi ia tidak menutup dan menyelarak regol.
    Pimpinan pengawal itu termangu-mangu sejenak. Namun dengan demikian maka ia mengetahui, bahwa orang-orang Tanah Perdikan memang sudah menjadi gelisah, meskipun mereka mengerti bahwa kesibukan itu dilakukan karena akan ada tamu penting di Tanah Perdikan, namun dalam keadaan yang hangat, maka justru karena ada orang penting di Tanah Perdikan, kemungkinan buruk akan dapat terjadi.
    Tetapi sebenarnyalah kegelisahan seperti itu bukan saja menghinggapi penghuni Tanah Perdikan. Sebenarnyalah bahwa para pengawal, bahkan Ki Gede sendiri merasa perlu untuk melakukan kesiagaan tertinggi di Tanah Perdikan.
    “Benar juga kata bibi itu.” berkata pemimpin pengawal itu didalam hatinya, “rasa-rasanya persiapan ini tidak ubahnya dengan persiapan perang.“
    Sementara itu, Agung Sedayu dan Glagah Putih tengah berpacu diatas punggung kudanya menuju ke sebuah padukuhan kecil tempat tinggal Ki Waskita. Sudah terlalu lama Ki Waskita meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh.
    Agaknya Ki Waskita memang tidak ingin lagi melakukan kegiatan-kegiatan sebagaimana terjadi sebelumnya. Nampaknya Ki Waskita sudah merasa tenang berada dirumahnya dan melakukan pekerjaannya sehari-hari. Mungkin disawah, mungkin berbincang-bincang dengan tamu-tamunya tentang isyarat yang dilihatnya jika kemampuan itu masih mampu dikembangkannya.
    Perjalanan Agung Sedayu dan Glagah Putih memang harus dilakukan dengan cepat, agar hari itu juga, meskipun malam hari, Ki Waskita sudah berada di Tanah Perdikan.
    Kedatangan Agung Sedayu dan Glagah Putih di tempuran memang agak mengejutkan Ki Waskita. Namun ketika Agung Sedayu bertemu dengan Ki Waskita, maka iapun telah terkejut pula. Rasa-rasanya Ki Waskita telah menjadi begitu tua. Namun akhirnya Agung Sedayupun mengembalikannya hal itu kepada waktu. Kiai Gringsing pada saat-saat terakhir itupun kelihatannya juga sudah sangat tua.
    “Marilah, marilah angger berdua.“ Ki Waskita mempersilahkan kedua orang tamunya untuk duduk.
    Tetapi Agung Sedaju memang ingin segalanya dilakukan dengan cepat. Rasa-rasanya ia selalu gelisah diburu oleh tanggungjawabnya atas Tanah Perdikan Menoreh. Namun ketika hal itu dikatakannya kepada Ki Waskita, maka Ki Waskitapun dapat mengerti.
    “Maaf Ki Waskita.“ berkata Agung Sedayu, “sudah agak lama kita tidak bertemu. Namun agaknya aku datang dengan sikap yang barangkali kurang pantas dihadapan Ki Waskita.“
    Ki Waskita tersenyum. Katanya, “Aku mengenal angger Agung Sedayu dengan sebaik-baiknya. Karena itu, maka aku mengerti segala sesuatunya.“
    Memang tidak banyak kesempatan. Namun bukan berarti bahwa Ki Waskita akan begitu saja dapat berangkat saat itu juga.
    “Aku akan berkemas ngger. Sementara itu, angger dapat bertemu dengan Rudita. Ia ada di padukuhan sebelah. Ia akan senang sekali menerima angger berdua.“ berkata Ki Waskita.
    “Baiklah Ki Waskita.“ Agung Sedayu menjadi gembira, “aku akan menemuinya. Sementara Ki Waskita dapat berkemas.“
    “Jarak tempat tinggal Rudita memang tidak jauh. Hanya berantara sebuah bulak pendek.”
    Karena itu, maka sejenak kemudian keduanya telah memasuki sebuah padukuhan kecil. Tanpa kesulitan merekapun telah menemukan dan memasuki sebuah regol halaman rumah yang sangat luas. Hampir separo dari padukuhan itu.
    Sebenarnyalah Rudita telah menerima kedatangan keduanya dengan gembira sekali. Keduanya segera dipersilahkannya duduk dibangunan induk dari beberapa barak yang ada di halaman itu pula.
    “Aku tidak menyangka bahwa aku akan kedatangan tamu hari ini.“ berkata Rudita.
    Agung Sedayulah yang kemudian bertanya, “Apa yang kau usahakan dengan tanah seluas ini Rudita? Dibagian belakang dari halaman rumahmu ini terdapat kebun kelapa.“
    “Ya.“ jawab Rudita, “kebun kelapa, sebuah belumbang untuk memelihara ikan. Kemudian masih ada kebun buah-buahan dan beberapa kotak sawah disebelah padukuhan ini.“
    “Dan barak-barak itu?“ bertanya Agung Sedayu.
    Rudita tertawa. Katanya, “Aku sekarang mendirikan sebuah perusahaan.“
    “Perusahaan apa?“ bertanya Agung Sedayu, “pande besi yang membuat alat-alat pertanian atau barangkali gerabah dan alat-alat dapur atau genting dan batu bata?“
    Rudita tertawa. Katanya, “Mariah. Kita melihat-lihat.”
    Agung Sedayu dan Glagah Putihpun kemudian telah diajak oleh Rudita memasuki barak demi barak. Dilihatnya anak-anak kecil dan remaja berada di dalam barak-barak itu. Sebagian sedang menganyam tikar, sebagian menganyam kepang dan anyaman bambu yang lain. Mereka yang telah remaja berada di serambi sibuk membuat alat-alat dari bambu. Amben panjang, gledeg tetapi juga alat-alat dapur. Irig, tambir, dan tampah.
    “Kau pekerjakan anak-anak dan remaja ini?“ bertanya Agung Sedayu.
    “Mereka tidak sedang bekerja.“ jawab Rudita, “lihatlah wajah mereka.“
    Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnyalah wajah-wajah itu nampak cerah dan gembira. Bahkan ada diantara anak-anak itu yang sempat meninggalkan pekerjaannya dan berkejaran diserambi. Kemudian kembali duduk sambil bergurau. Namun mereka melanjutkan pekerjaan mereka masing-masing.
    Kepada Ruditapun anak-anak itu sama sekali tidak menunjukkan jarak. Mereka sama sekali tidak takut ketika Rudita itu datang melihat-lihat hasil pekerjaan mereka. Bahkan beberapa orang anak justru telah menarik-narik kain panjangnya.
    “lnikah perusahaan yang kau maksudkan?“ bertanya Agung Sedayu kemudian.
    “Ya. Mereka adalah anak-anak yatim piatu yang tidak lagi mempunyai orang tua. Aku mengumpulkan mereka dari padukuhan-padukuhan yang tersebar. Anak-anak terlantar yang kadang-kadang dianggap sebagai sampah yang tidak berguna lagi. Aku pungut mereka dari pinggir-pinggir jalan dan dari orang-orang yang memelihara mereka seperti memelihara seekor lembu yang diperas tenaganya hanya dengan sebungkus kecil nasi sehari. Aku ajak mereka bermain bersama disini. Menghasilkan sesuatu yang dapat dijual untuk membeli makan dan pakaian, selain dari hasil kebun kelapa, kebun buah-buahan dan beberapa kotak sawah.“ berkata Rudita.
    Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam, sementara Glagah Putih menundukkan kepalanya. Malam tadi ia telah membunuh. Dihadapannya sekarang berdiri seseorang yang memberikan harapan untuk hidup setelah anak-anak itu mengalami bayangan maut.
    “Aku mengucapkan selamat Rudita.“ berkata Agung Sedayu dengan nada berat, “kau adalah terang dalam kegelapan bagi anak-anak itu.“
    Rudita tersenyum. Katanya, “Aku mencoba membantu mereka bagi masa depannya. Aku telah melakukan apa yang dapat aku lakukan. Tiga hari dalam sepekan mereka belajar untuk mengenali huruf dan angka. Mereka belajar menembangkan kidung puji-pujian serta mendendangkan harapan.“
    Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sesuatu terasa menyentuh dasar jantungnya. Ia melihat anak-anak itu dengan gembira bekerja, sebagaimana anak-anak yang sedang bermain-main. Tidak ada keterikatan yang ketat dan bentakan-bentakan kasar. Sekali-sekali terdengar kata-kata Rudita yang lembut penuh kasih sayang menyapa anak-anak itu.
    Diruang yang lain Rudita menunjukkan seperangkat gamelan yang meskipun bukan gamelan yang terlalu baik, tetapi dapat dipergunakan oleh anak-anak asuhnya.
    “Aku bukan penari. Tetapi aku mempunyai beberapa kawan yang dapat mengajar anak-anak itu menari.“ berkata Rudita.
    “Satu lingkungan kehidupan yang lengkap.“ berkata Agung Sedayu. Namun kemudian ia bertanya, “Tetapi tanah yang kau pergunakan ini tanah siapa?“
    Rudita tersenyum. Katanya, “Ayah sangat berbaik hati. Ayah telah menyerahkan tanah ini kepadaku, karena menurut ayah tanah ini kelak juga akan diwariskan kepadaku. Kebun kelapa, kebun buah-buahan dan sawah beberapa kotak. Ayah pulalah yang membeli gamelan sederhana itu.“
    Agung Sedayu menjadi semakin kagum kepada anak itu. Sanggar yang dibuat oleh Rudita jauh berbeda dengan sanggar yang dibuat dirumah Agung Sedayu, dirumah Ki Gede dan di padepokan Kiai Gringsing.
    Sanggar Rudita berisi gamelan, alat-alat ukir kayu dan kulit sungging serta beberapa buah kitab yang tebal. Kitab yang berisi tuntunan hidup sejati dalam rangkuman kasih sayang diantara sesama serta kasih yang bulat utuh kepada Yang Maha Agung.
    “Kitab itu juga menjadi bahan untuk belajar tembang macapat.“ berkata Rudita.
    Agung Sedayu mengangguk-angguk. Seperti juga Glagah Putih maka ia telah membandingkan isi sanggar itu dengan sanggar di rumah Agung Sedayu. Di rumah Agung Sedayu sanggarnya berisi beberapa jenis senjata. Alat untuk berlatih olah kanuragan. Pasir dan kerikil dalam kotak yang besar serta patok-patok kayu dan bambu. Palang kayu dan bambu yang lentur serta beberapa utas tali yang bergayutan. Tetapi disanggar itu tidak sepucuk senjatapun yang nam¬pak selain alat-alat ukir kayu dan kulit, kapak-kapak kecil, pisau-pisau yang tajam. Tetapi sama sekali bukan senjata.
    “Nah.“ berkata Rudita kemudian, “aku akan menyuguhi kalian dengan tari-tarian pendek.“
    Tetapi Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Terima kasih Rudita. Lain kali aku akan datang lagi ke sanggarmu ini. Aku benar-benar sangat tertarik. Tetapi waktuku sekarang sangat terbatas.“
    Rudita mengerutkan keningnya. Iapun kemudian bertanya, “Apakah ada sesuatu yang penting?“
    Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian berkata, “Ki Gede minta Ki Waskita datang ke Tanah Perdikan Menoreh.“
    “Untuk apa?“ bertanya Rudita, “berbicara tentang bencana yang akan menimpa manusia lagi?“
    “Rudita.“ berkata Agung Sedayu dengan nada lembut, “sudah Jama Ki Gede tidak bertemu dengan ayahmu. Hubungan keluarga yang meskipun tidak terlalu dekat itu tidak boleh terputus. Sementara itu beberapa orang tua akan datang di Tanah Perdikan sekedar untuk saling bertemu setelah sekian lama mereka berpisah.“
    “Mereka itu siapa saja?“ bertanya Rudita.
    Agung Sedayu memang merasa ragu-ragu. Tetapi akhirnya iapun berkata, “Mereka adalah Kiai Gringsing, Ki Juru Martani, Ki Jayaraga, Ki Lurah Branjangan dan mungkin ada beberapa orang tua-tua yang lain.“
    Wajah Rudita memang berubah. Tetapi ia masih juga mencoba tersenyum. Katanya, “Mereka adalah orang-orang yang mumpuni. Ki Lurah Branjangan adalah prajurit linuwih. Kiai Gringsing adalah orang yang telah mengajarimu bagaimana membunuh dengan baik. Ki Juru Martani adalah orang terpenting dalam penyelesaian pertikaian antara Pajang dengan Jipang menurut caranya. Darah telah memerah di Bengawan Sore. Bagaimana para prajurit Jipang dibantai oleh prajurit Pajang disaat mereka belum sampai ketepi. Mereka harus melawan arus bengawan dan sekaligus melawan anak panah dan lembing. Kemudian Ki Juru pulalah yang telah ikut membangunkan Mataram dan berdiri di belakang pemberontakan Panembahan Senapati terhadap ayahandanya sendiri, gurunya dan juga rajanya. Dan barangkali akan datang juga orang-orang penting yang lain. Sedangkan diantara mereka akan hadir ayahku.”
    Jantung Glagah Putih terasa berdenyut semakin cepat. Namun Agung Sedayupun berkata, “Rudita. Dunia kita agaknya memang berbeda. Kau telah membawa satu pesan tertentu dalam hidupmu yang lain dari pesan yang harus kami bawakan dalam kehidupan kami. Sekali lagi aku katakan bahwa aku mengagumimu. Jika ada sejumlah orang di dunia ini yang mem¬punyai landasan berpikir seperti kau, maka dunia ini tentu akan menjadi lebih baik. Bahkan jauh lebih baik.“
    Rudita tersenyum pahit. Katanya, “Selama orang masih mengasah pedangnya dengan dalih untuk melindungi yang lemah sekalipun, maka orang lainpun tentu masih akan mengasah pedangnya pula.“
    Agung Sedayu menepuk bahu Rudita. Katanya, “Aku mengerti sepenuhnya Rudita.“
    “Apakah cukup untuk dimengerti?“ bertanya Rudita.
    “Kami memang harus minta maaf kepadamu. Bagimu, kami adalah pengecut yang takut mati bagi cinta kasih yang utuh terhadap Yang Maha Agung dan cinta kasih bagi sesama.“ berkata Agung Sedayu, “Tetapi kami memang tidak dapat mengingkari gejolak nurani kami. Mudah-mudahan dalam pencaharian kami, maka kami akan menemukan kebenaran langkah yang harus kami pilih.“
    Rudita mengangguk-angguk. Katanya kemudian dengan nada dalam, “Yang Maha Agung akan melindurigimu. Semoga semua kesalahanmu dihadapanNya diampuninya.“
    Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu, Glagah Putih masih saja termangu-mangu. Rasa-rasanya ia ingin mengatakan sesuatu. Tetapi ia tidak pernah mendapat kesempatan untuk mengucapkannya.
    Bahkan kemudian Agung Sedayu itupun berkata, “Rudita. Aku sekarang mohon diri. Pada kesempatan lain, aku akan datang kembali ke padepokanmu ini. Aku akan datang untuk berada diantara anak-anak asuhanmu dalam waktu yang lebih longgar.“
    Rudita tersenyum. Katanya, “Aku menunggu. Aku berharap kalian berdua sempat tinggal disini untuk beberapa hari.”
    Demikianlah, maka Agung Sedayu dan Glagah Putihpun telah mohon diri. Diregol Rudita masih berpesan, “Katakan kepada ayah, bahwa anak-anak di padepokanku dalam keadaan baik. Mudah-mudahan ayah dapat bertemu kembali dan mengenang masa lampaunya bersama dengan orang-orang tua. Namun aku minta ayah juga mengenang, apa saja yang pernah diberikan kepada sesamanya.“
    “Baiklah Rudita.“ jawab Agung Sedayu, “aku akan menyampaikannya.”
    Sementara kuda-kuda mereka berlari meninggalkan padukuhan itu melintasi bulak yang tidak terlalu panjang. Glagah Putih bertanya, “Apa saja yang dikatakan orang itu? Kenapa ia berani menuduh Panembahan Senapati memberontak terhadap ayahandanya, terhadap gurunya dan terhadap rajanya?“
    Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kangjeng Sultan di Pajang adalah ayah angkat Panembahan Senapati yang sangat mengasihinya. Kangjeng Sultan itu pulalah yang memberikan dasar kemampuan olah kanuragan kepada Panembahan Senapati. Bahkan sebagian besar dari ilmu Kangjeng Sultan telah diberikannya kepada Panembahan Senapati sejak ia masih bernama Sutawijaya dan bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar. Sedangkan Kangjeng Sultan itu adalah rajanya pula.“
    “Seandainya hal itu didengar oleh Panembahan Senapati, apakah Panembahan Senapati tidak akan tersinggung dan bahkan menjadi marah?“ bertanya Glagah Putih.
    “Tidak. Mungkin kau juga pernah mendengar bahwa ayahanda Panembahan Senapati yang sebenarnya, Ki Gede Pemanahan yang juga disebut Ki Gede Mataram pernah mengatakannya juga langsung kepada Panembahan Senapati, bahwa ia telah bersalah terhadap Kangjeng Sultan Pajang atas tiga hal. Menentang orang tua, menentang guru dan menentang rajanya.“ sahut Agung Sedayu, “namun yang dilakukan oleh Panembahan Senapati adalah satu keyakinan. Harus ada perubahan yang mendasar di Pajang. Dan orang-orang tua mengetahui dengan pasti, bahwa Kangjeng Sultan Pajang merestui langkah-langkah yang diambil oleh Panembahan Senapati. Dimasa Pajang kalut dan tidak menentu karena keinginan para pemimpin yang lebih banyak memikirkan diri sendiri, maka ketajaman penglihatan Kangjeng Sultan Pajang tertuju kepada putera angkatnya, Panembahan Senapati di Mataram. Justru tidak kepada puteranya sendiri Pangeran Benawa yang merasa sangat kecewa dan menjadi tidak menghiraukan lagi apa yang terjadi.“
    Glagah Putih memang pernah mendengar serba sedikit tentang hal itu. Sementara itu Agung Sedayu melanjutkan, “Ternyata Panembahan Senapati benar-benar orang kuat. Lepas dari setuju atau tidak setuju akan sikapnya, namun Mataram lahir, tumbuh dan berkembang. Tanpa ikatan yang mampu menjadi kiblat kepemimpinan, maka tanah ini akan bercerai berai.“
    “Tetapi kenapa Rudita menganggap Panembahan Sena¬pati sebagai seorang pemberontak?“ bertanya Glagah Putih.
    “Kau harus mengerti landasan berpikir Rudita.“ jawab Agung Sedayu.
    “Dan ia telah menyebut Kiai Gringsing sebagai seorang yang telah mengajari kakang membunuh dengan baik.“ geram Glagah Putih pula.
    “Apakah kau tidak melihat kebenaran kata-katanya? Bukankah guru telah mengajariku bagaimana aku membunuh lawan-lawanku dengan baik.“ jawab Agung Sedayu.
    “Tetapi tentu adaalasannya kenapa kakang membunuh? Bukankah gila jika dikatakan pula Ki Mandaraka adalah orang yang telah mewarnai Bengawan Sore dengan darah orang-orang Jipang? Apakah anak itu tidak tahu perhitungan perang? Coba kakang, jika saat itu dibiarkan saja prajurit Jipang mencapai seberang dan kemudian terjadi pertempuran di tepian, maka korban tentu akan menjadi jauh lebih besar dari kedua belah pihak. Masih pula dipertanyakan apakah prajurit Pajang yang lebih sedikit akan dapat menang, meskipun Raden Sutawijaya dengan Kiai Pleret mampu membunuh Harya Penangsang.“ geram Glagah Putih.
    Tetapi Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Kau jangan melihat satu sepotong peristiwa dari keseluruhan alam pikiran Rudita, Kau harus mengenalinya lebih dalam. Iapun tidak akan mengatakan sebagaimana kau tangkap dengan telingamu apa yang diucapkan hanya dengan mulutnya. Kau harus mengenal anak itu dengan utuh. Meskipun tidak dikatakannya, tetapi yang dilihatnya adalah putaran dunia yang besar ini dan melibatkan segala bentuk kegiatan isinya. Ia mencintai alam ini dengan segala isinya, sebagaimana ia mencintai Maha Penciptanya, yang menciptakan alam ini atas dasar cinta kasih-Nya.“
    Tanpa disadarinya Glagah Putih telah meraba dahinya yang berkerut. Bahkan kemudian penglihatannya atas ucapan-ucapan Rudita itu menjadi semakin kabur, berputar-putar dan kemudian seperti jari-jari baling-baling yang berputar. Menyatu meskipun sadar akan pecahan-pecahannya.
    Beberapa saat kemudian keduanya saling berdiam diri. Namun kemudian Agung Sedayupun berkata, “Sudahlah Glagah Putih. Kau jangan memikirkan sekarang. Pada suatu saat jika kau sempat merenung, renungilah dengan hati yang tenang. Kau harus menyadari dimana kau berdiri dan dimana anak muda yang bernama Rudita itu berdiri.”
    Glagah Putih mengangguk-angguk. Iapun kemudian telah meletakkan persoalan yang membuatnya pusing. Dipandanginya padukuhan yang sudah dekat dihadapannya. Sejenak kemudian keduanya telah memasuki padukuhan itu. Kemudian berhenti di depan sebuah regol halaman. Mereka tidak memasuki regol itu diatas punggung kuda. Tetapi mereka telah berloncatan turun dan menuntun kuda mereka memasuki halaman.
    “Silahkan duduk.“ seorang pembantu Ki Waskita mempersilahkan.
    Agung Sedayu dan Glagah Putih telah mengikat kuda pada patok-patok yang telah disediakan. Kemudian keduanyapun telah duduk di pendapa menunggu Ki Waskita yang nampaknya masih berkemas. Beberapa saat kemudian Ki Waskitapun telah keluar. Sambil tersenyum ia bertanya, “Apakah kalian sudah bertemu dengan Rudita di sanggarnya?“
    “Sudah Ki Waskita.“ jawab Agung Sedayu, “mengagumkan sekali.“
    “Ia senang sekali dengan pekerjaannya. Ia telah menyerahkan segenap hidupnya bagi anak-anak asuhannya. Namun ternyata beberapa anak asuhannya yang telah meningkat remaja, mampu menunjukkan ketrampilannya. Seorang diantara mereka telah meninggalkan sanggar itu atas persetujuan Rudita dan membuat dapur pemanasan gerabah sendiri. Ternyata ia berhasil. Gerabahnya dapat menembus pasaran di beberapa padukuhan. Bahkan aku kira telah memasuki lingkungan Tanah Perdikan Menoreh.“ berkata Ki Waskita.
    “Bagus sekali.“ sahut Agung Sedayu, “mereka akan menjadi orang-orang yang mandiri. Mereka tidak akan menjadi beban orang lain atau menjadi sekedar perkakas dari orang lain.”
    “Mudah-mudahan yang lainpun akan demikian pula. Mereka akan mendapatkan bekal serta akan memiliki harga diri.“ berkata Ki Waskita.
    “Disamping itu, jika ada seperlima saja diantara mereka yang mempunyai watak dan sifat seperti Rudita, maka tatanan kehidupan akan menjadi bertambah baik. Apalagi jika yang seperlima itupun dapat mengembangkan lebih luas lagi.“ berkata Agung Sedayu.
    Ki Waskita mengangguk-angguk. Namun suaranya menjadi lirih, “Mudah-mudahan.“
    Agung Sedayu tidak menyahut lagi. Namun Glagah Putih masih saja sulit untuk mengerti sikap anak muda yang bernama Rudita itu. Bahkan juga menanggapi sikap Agung Sedayu sendiri. Tetapi Glagah Putih merasa lebih baik untuk berdiam diri saja.
    Beberapa saat kemudian, maka Ki Waskita itupun kemudian berkata, “Aku sudah selesai berkemas. Memang agak terlalu mendadak. Untunglah bahwa tidak ada sesuatu yang penting yang harus aku selesaikan. Akupun sudah berpesan, bahwa aku akan pergi untuk beberapa hari.“
    Agung Sedayu termangu-mangu. Agaknya memang ada yang dicari. Ia belum melihat ibu Rudita sejak ia sampai kerumah itu. la lupa-lupa ingat, apakah ibu Rudita itu masih ada atau tidak.
    Namun Ki Waskita agaknya dapat menduganya. Karena itu maka iapun berkata, “Aku tinggal sendiri dirumah. Rudita telah menekuni dunianya. Ibunya sudah agak lama tidak ada.“
    Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Namun Ki Waskita berkata, “Sekarang aku sudah siap. Tetapi diruang dalam, hidanganpun sudah siap. Kita akan makan lebih dahulu. Baru kita akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh.”
    Demikianlah, setelah mereka makan, minum dan beristirahat sebentar, bertiga mereka menempuh perjalanan ke Tanah Perdikan Menoreh.
    “Kuda yang bagus sekali.“ desis Ki Waskita memuji kuda Glagah Putih.
    “Peninggalan Raden Rangga.“ Agung Sedayulah yang menjawab.
    “Aku lihat kuda itu kecuali besar dan tegar, juga memiliki daya tahan yang sangat tinggi. Kuda yang ditilik dari segi keturanggannya adalah kuda yang tidak mengenal lelah. Namun juga kuda yang setia.“ berkata Ki Waskita.
    Agung Sedayu mengangguk-angguk, sementara Glagah Putih menjadi semakin bangga akan kudanya.
    Ternyata mereka bertiga tidak mengalami kesulitan di perjalanan. Menjelang senja, mereka telah memasuki padukuhan induk dan langsung pergi ke rumah Ki Gede Menoreh.
    Ki Waskita diterima oleh Ki Gede dengan gembira. Meskipun sudah agak jauh, namun mereka memang masih tersangkut kadang sendiri.
    Sementara itu, Agung Sedayupun kemudian telah minta diri untuk menengok rumahnya dan mandi dahulu bersama Glagah Putih, sementara Ki Waskita akan berbenah diri dirumah Ki Gede.
    Namun di halaman Agung Sedayu sempat berbicara dengan Prastawa sejenak yang memberitahukan bahwa semua rencana telah berjalan dengan lancar. Nampaknya diseluruh Tanah Perdikan telah diamati, dan tidak ada tanda-tanda bahwa akan ada bahaya bagi tamu-tamu yang akan datang di Tanah Perdikan itu.
    “Waktu kita tinggal semalam.“ berkata Agung Sedayu.
    “Nanti pendapa rumah paman akan diatur. Tamu-tamu itu akan ditempatkan di pringgitan, sementara di pendapa disiapkan gamelan dan peralatan untuk menyuguh beberapa macam tarian bagi para tamu.“ berkata Prastawa.
    “Kapan tempat itu akan diatur? Bukankah besok mereka sudah akan datang?“ bertanya Agung Sedayu.
    “Malam nanti.“ jawab Prastawa. Lalu, “Anak-anak muda sudah siap Gamelan sudah dibersihkan dan para penari yang besok akan tampilpun sudah siap. Sore tadi mereka melakukan latihan terakhir. Ki Gede sendiri menunggui gladi yang berjalan sebagaimana dikehendaki itu.“
    Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Baik. Aku akan mandi dahulu.“

  38. Nyi Seno dan para bebahu yang lain, adakah yang tahu dimanakah gerangan gambar cover untuk kitab lontar 242 ini? matur nuwun.

  39. Langsung saja untuk waspada, artinya selalu waspada ya…?


Tinggalkan Balasan ke ki Mahesa Batalkan balasan