Laman: 1 2
Buku III-40
The URI to TrackBack this entry is: https://adbmcadangan.wordpress.com/buku-iii-40/trackback/
The URI to TrackBack this entry is: https://adbmcadangan.wordpress.com/buku-iii-40/trackback/
Gambar Kulit :
Herry Wibowo
Ilustrasi :
Sudyono
Penerbit :
Kedaulatan Rakyat,
Yogyakarta
cepet….
monggo …
melu antri
Wah, gak jadi Hat Trick Ki Widura
tak tunggoni sak detik ki WDR ora njedul2 je… tak jagongi dewe no…
Antri juga ya 140nya
kurang satus ki….
tambah 100 Ki !
Menggantung… penasaran… selalu terpotong ketika sedang seru-serunya… aduhhh…kapan ya 240 bisa segera di baca? 🙄
disulap wae ki Joe …
UDUNe nembi kumat …. kesuwen nengga. Kasih kesempatan Ki Pandanalas
Cover 239 wis dibuka tuh.
Ayo podo bali nang gandok nunggu kitab.
absen dulu sambil download 239
wah ga pernah entuk pertamax
suwun kitab 239nya
Cover 240 juga sdh dibuka.
Siap2 banjir kitab nih
wah…239 nggarahi sakaw…nanggung tenan je…
kudu cepet2 ngombe obate ….hiks
Jo sampe keselek Ki..
Alon-alon…
njih ki… namung kesedak kemawon…
nek nunggu 6000 klik…iso klengeran tenanan iki…hiks
lha rak tenan to..kitab-e wis diwedar.
Suwun Nyi $
Suwun nyi kitabe 239
Hatur nuhun Nyi Seno ….
kitab # 239 parantos di candak ..
ki Arema sajake nembe menghayati kitab 239,…
koq mboten nderek sakaw teng 240 ki?
Terima kasih…ikut ngantri
Matur nuwun Nyi Seno..kitab sampun diunduh. Wilujeng enjing para kadang…
mugo2 ora melu2 mbeling,… cantrik liyane wis podho mulai mBeling je…
baru sedikit komentar yang muncul, para cantrik sedang sibuk mempelajari kitab 239, asik….
Suwun Nyi Seno,
Mlampah alan-alon ….. UDUNe taksih sakit …. nengga kitab 239 kesuwen…
Udune bakal pecah manawi kitab 240 mboten diwedar sak meniko.
dereng sare ki …?
Udune pecah,
artinya sakit udunne wis dangan Ki.
Ki Widura, Ki Pandan
telat dua hari, kira-kira ada rapel juga untuk dua kitab ya Ki ?
nderek absen ngantri Nyi Seno.
nuwun
Udune .. adine Udowo
antri.. kerjaan tiap pagi kok hanya baris antri hehe..
suwun Nyi … obat sakaw
Absen pagi…….
terima kasih atas kitab2nya….Nyi Seno….
Matru nuwun Nyi Seno rapilan 239 & 240 ipun.
aduh… sampek plekik’en aku… sarapan rong pincuk “pecel Mediun”
maturnuwun Nyi Seno
nuhun ah …
Bude seno nuwon sewu post link diskusi ya …
Ayo berkenalan sesama cantrik ADBM lebih jauh di
http://www.facebook.com/topic.php?uid=46116775873&topic=8783
salam ADBM’ers
matur nuwon bude…
ki zacky… mungkin iki sing pernah disindir nyi seno di gandok 238,…. podho dodolan neng padepokan ? …hiks
persiapan buat kopi darat ki …
nanti kita kumpulin per kota ..
gimana ?
setuju ki …
ada rencan dikumpulin per alas ndak ki…?
Hatur nuhun kitab 240-nya sdh diunduh….sedang seru2nya….trims…
Matur nuwun kitab 240 Nyi……………..
trims
Mantap Diajeng Senopati … trima buat rapelan kitabnya. Kalau bisa, selain ada kondisi terlambat juga ada kondisi di percepat, lumayan biar balance 🙂 🙂
ma’ap juga tidak tulut antli
Waduh, baru mau ngantri, sudah dapat jatah duluan…
Katur nuwun Ki GD, Kang mBokayu Ati lan paa bebahu padepokan….
Weleh Nyi Seno ini baik hati banget, langsung double
Matur nuwun Nyi Seno
SIP… thank you, terimakasih, matur nuhun
suwun Nyi $
2. terima kasih nyai….
suwun nyi…
matur nuwun
Hatur nuhun Nyi Seno …
nembe wangsul saking ngoncori sabin, eh kok sampun cumepak jadah tempe kalih tangkup (alias kitab 239 lan 240), njih langsung mak cemol… lhep… lhep… lhep.. . suwun nyi Seno
trimss nyi Seno
sampun ngundhuh kitab
Wah sampun cemawis, matur sembah nuwun Nyimas, Ki GD….
matur tengkyu 240 nya
matur nuwun kitab 240.. Nyi..
pindah ke gandok sebelah..
Terima kasih… hanya beberapa jam ja da keluar kitab 240…30minit slps download, memang habis ku baca da…
TERIMA KASIH NYI….
Matur sembah nuwun ingkang sanget kagem ki gedhe ugi dumateng nyai senopati.Dalem sampun kapurih nderek ngunduh kitab ADBM ingkang sampun kawedar.
Sepuntenipun ingkang kathah mbok menawi nembe wekdal meniko saget absen, naming yektosipun sampun dangu dalem anggene wonten amperen padepokan kigedhe ugi nyai.
Raosipun bade nderek nyatrik dereng patio kiat amargi mboten gadhah kathah wekdal. Mekaten Ki Gedhe soho Nyi Senopati.
dilanjutkan ……..
Semula ia berharap bahwa ia akan dapat mengalahkan Agung Sedayu tanpa ilmu simpanannya itu. Tetapi ternyata bahwa rencana itu tidak dapat dilakukannya.
Ketika Bango Lamatan itu menjadi semakin terdesak, maka ia tidak berpikir panjang lagi. Iapun telah mengambil jarak untuk mempersiapkan diri mengetrapkan ilmunya yang jarang ada bandingannya itu.
Agung Sedayu yang melihat Bango Lamatan melenting jauh, maka iapun telah berdiri tegak. Dengan kekuatan sorot matanya, maka Agung Sedayu telah menyerang lawannya. Namun ternyata bahwa Bango Lamatan sempat meloncat menghindar. Namun demikian orang itu berguling ditanah, maka tiba-tiba saja orang itu bagaikan-menjadi lenyap. Hilang tidak berbekas.
Agung Sedayu terkejut karenanya. Hampir diluar sadarnya ia berdesis — Aji Penglimunan. —
Ternyata lawannya benar-benar telah mempergunakan Aji Panglimunannya. Kekuatan Aji yang dapat membuatnya seakan-akan lenyap begitu saja.
Dengan demikian, maka Agung Sedayupun telah mengetrapkan ilmunya. Sapta Pandulu. Kekuatan ilmu yang dapat mempertajam penglihatannya dengan berlipat, sebagaimana ia mampu menembus kabut yang dibuat oleh gurunya.
Namun ternyata Agung Sedayu tidak berhasil mengatasi kekuatan Aji Panglimunan itu. Ia sama sekali tidak mampu menembus tabir yang menyelimuti tubuh Bango Lamatan.
Glagah Putih terkejut melihat hal tu. Dengan serta merta ia telah bergeser surut beberapa langkah. Ia mencoba untuk mempergunakan kekuatan cadangannya mempertajam penglihatannya. Tetapi ia sama sekali tidak dapat melihat dimana lawan Agung Sedayu itu berada.
Namun dalam pada itu terdengar suara — Maaf Kiai. Sebenarnya aku malu mempergunakan kekuatan Aji Panglimunan, karena aku yakin ketajaman penglihatan batin Kiai tetap akan dapat mengetahui dimana aku berada. Tetapi aku harap Kiai bersikap jantan dan tidak membantu murid Kiai dalam keadaan seperti ini. —
Kiai Gringsing menggeram. Katanya — Kau pergunakan kekuatan puncakmu yang nggegirisi ini untuk melawan anak-anak. Kau memang licik Bango Lamatan. —
— Kenapa Kiai menyebutku licik — suara itu sudah berpindah tempat — kita bertempur dengan kekuatan ilmu kita masing-masing. —
— Tetapi lawanmu adalah aku — berkata Kiai Gringsing.
Terdengar Bango Lamatan tertawa. Suaranya sudah berpindah tempat lagi. Katanya kemudian — Muridmu dengan sombong menerima tantanganku. Aku seutuhnya. Dengan segala macam ilmu yang ada didalam diriku. —
Kiai Gringsing tidak menyahut lagi. Tetapi sebenarnyalah bahwa ia mampu mengetahui dimana Bango Lamatan berada meskipun matanya tidak melihatnya. Namun ketajaman penglihatan batin Kiai Gringsinglah yang menunjukkan kepadanya, dimana lawannya itu berada,
Sementara itu terdengar suara Bango Lamatan — Ajari muridmu menjadi seorang laki-laki Kiai. Jangan menangis karena kegagalannya ini. —
— Persetan — geram Kiai Gringsing.
Lalu terdengar lagi suara Bango Lamatan — Bersiaplah Agung Sedayu. Kau akan mengalami puncak kegawatan dunia olah kanuragan. Kau akan terluka hatimu, bahwa masih jauh jalan yang harus kau tempuh untuk menjadi seorang seperti gurumu yang seakan-akan tidak terkalahkan itu. Ia benar-benar mampu mengetahui dimana aku berada, ternyata dari sikapnya, kemana ia menghadap. Tetapi kau tidak. Kau tidak akan melihat dan mengetahui dimana aku berada. Karena itu, maka aku akan dengan mudah dapat membunuhmu. —
Agung Sedayu menggeram, namun tiba-tiba saja ia mencoba untuk selalu bergerak agar ia tidak merupakan sasaran yang sama sekali tidak melawan.
Karena itu, maka sejenak kemudian Agung Sedayupun telah melenting tinggi, menggeliat diudara dan kemudian demikian kakinya menyentuh pasir, iapun telah bergeser dengan cepat pula.
Tetapi yang terdengar adalah suara tertawa. Diantara derai tertawa itu terdengar Bango Lamatan berkata — Jangan menyesal anak yang malang. Meskipun kau tidak akan segera mati karena ilmu kebalmu, tetapi kau tidak lebih sasaran yang menyenangkan buat melakukan latihan-latihan. —
Agung Sedayu justru berdiri tegak sambil menundukkan kepalanya. Ia mencoba untuk mengerti arah suara itu, meskipun ia tidak memandang kearahnya.
Bahkan suara itu terdengar lagi — Bersiaplah. — Ternyata suara itu tidak berubah arah sehingga Agung
Sedayu dapat memperhitungkan, Bango Lamatan tidak
bergerak dari tempatnya.
Sebenarnyalah, tanpa melihat langsung kearah suara itu, Agung Sedayu ternyata mampu melihat seleret sinar yang memancar. Ternyata Bango Lamatan yang mampu menyembunyikan dirinya dibalik ilmunya yang didukung oleh Aji Panglimunan, tidak mampu menyembunyikan serangan yang nampak seperti seleret sinar yang memancar dari kedua belah telapak tangannya yang terbuka itu.
Dengan demikian, maka Agung Sedayu mampu menghindari serangan itu dengan satu loncatan panjang. Ia justru meloncat kearah yang lebih jauh dari Bango Lamatan. Menurut perhitungannya, maka ia setidak-tidaknya akan mendapat kesempatan untuk melihat sinar yang datang menyerangnya.
Terdengar Bango Lamatan mengumpat. Ternyata serangannya tidak mengenai sasaran.
— Kau memang luar biasa Agung Sedayu. Tetapi aku tidak akan mengulangi kebodohanku. Aku akan menyerangmu dari arah yang tidak kau perhitungkan. — berkata Bango Lamatan.
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia berusaha untuk memperhatikan segala arah.
Namun ternyata bahwa Bango Lamatan benar-benar tidak ingin mengulangi kesalahannya. Ia telah berpindah tempat, tepat di belakang Agung Sedayu. Namun seperti yang telah dilakukannya, maka tiba-tiba saja Agung Sedayu telah melenting menjauhinya dan diluar sadarnya berdiri hampir menghadapnya.
Tetapi Bango Lamatan menjadi tidak tergesa-gesa. Ia yakin lawannya itu tidak melihatnya. Karena itu, maka iapun telah bergeser kearah belakang Agung Sedayu.
Kiai Gringsing menjadi berdebar-debar. Ia dapat mengetahui kemana Bango Lamatan pergi. Tetapi ia memang tidak dapat memberitahukan kepada Agung Sedayu. Mungkin Agung Sedayu merasa harga dirinya tersinggung. Tetapi mungkin justru akan dapat membuatnya lebih parah lagi.
Sementara itu Glagah Putih memang menjadi cemas. Ia juga tidak melihat Bango Lamatan. Karena itu, maka mungkin saja Bango Lamatan itu menyerang Agung Sedayu langsung dengan wadagnya. Menilik kemampuannya yang sangat tinggi, maka Agung Sedayu akan dapat mengalami kesulitan.
Kecemasan semacam itu telah timbul pula dihati Agung Sedayu. Bango Lamatan dapat saja melangkah mendekatinya. Kemudian dengan ilmunya yang tinggi memukulnya, menembus ilmu kebalnya dan menyakitinya.
Namun Agung Sedayu masih tetap berusaha. Setiap kali ia masih bergerak dengan cepat dan tidak diduga-duga.
Bango Lamatan memang mencoba untuk bersabar. Tetapi akhirnya ia menjadi kehilangan kesabarannya itu. Karena itu, maka iapun telah bersiap menunggu saat-saat Agung Sedayu meloncat dan kembali meletakkan kakinya diatas pasir.
Dengan perhitungan yang tepat, disaat Agung Sedayu hampir menjatuhkan kakinya di pasir tepian setelah melenting berpindah tempat, Bango Lamatan telah melontarkan serangannya.
Agung Sedayu yang kebetulan menghadap kearah lain, memang tidak melihat serangan yang datang itu. Tiba-tiba saja, terasa tubuhnya bagaikan dihantam oleh kekuatan yang besar, sehingga Agung Sedayu telah terpental dan terbanting jatuh.
Agung Sedayu memang tidak terluka karena perlindungan ilmu kebalnya. Namun serangun itu benar-benar telah menyakitinya. Meskipun ia dengan cepat bangkit berdiri dan siap menghadapi segala kemungkinan, namun punggungnya memang terasa betapa sakitnya.
Terdengar Bango Lamatan tertawa berkepanjangan. Dengan lantang ia berkata — Ternyata kau adalah sasaran permainan yang sangat menyenangkan Agung Sedayu. —
Agung Sedayu yang marah itu tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dengan kemarahan yang bergejolak di-dalam dadanya, tiba-tiba saja ia telah menyerang kearah suara itu.
Tiba-tiba saja kata-kata Bango Lamatan telah terputus. Dengan jantung yang berdegupan, Bungo Lamatan meloncat berguling menghindari serangan yang hampir saja menyambar kepalanya itu. Meskipun ia mampu bersembunyi dibalik Aji Panglimunan, tetapi serangan itu tetap akan dapat melumatkan tubuhnya.
Untunglah bahwa ia masih sempat menghindar sehingga serangan Agung Sedayu itu tidak mengenainya.
Namun terdengar Bango Lamatan berkata — Kau akan menyesal. Aku akan bersungguh-sungguh. —
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia harus meningkatkan kesiagaannya.
Ketika Agung Sedayu bergeser dengan cepat, maka Bango Lamatan telah menunggunya. Demikian Agung Sedayu berdiri tegak, maka Bango Lamatan tidak lagi menyerang dengan kekuatannya yang dapat dilontarkan dari telapak tangannya, namun ia langsung menyerang dengan wadagnya.
Agung Sedayu memang terkejut. Pukulan yang langsung mengenai tengkuknya itu telah membuatnya, hampir saja jatuh terjerembab tanpa terkendali. Namun untunglah, Agung Sedayu justru berguling lewat punggungnya dan meloncat bangkit lagi.
Sekali lagi terdengar suara tertawa. Tetapi tidak terlalu panjang, karena Bango Lamatan yang sudah mendapat pengalaman tentang kecepatana berpikir dan mengambil keputusan yang pada umumnya tepat yang dilakukan oleh Agung Sedayu, tidak mau mendapat serangan lagi dengan tiba-tiba.
Kemarahan Agung Sedayu benar-benar membakar jantungnya. Ia tidak pernah dipermainkan dalam pertempuran seperti itu. Ia pernah mengalami luka parah bahkan hampir merenggut jiwanya. Tetapi ia tidak menjadi sangat marah, justru karena ia merasa dipermainkan.
Sejenak kemudian terdengar Bango Lamatan berkata — Tenanglah anak yang malang. — kemudian setelah berpindah tempat — nampaknya kau harus mengakui kekalahanmu. —
Agung Sedayu sama sekali tidak menjawab.
Namun adalah diluar dugaan pula ketika tiba-tiba sekali lagi datang serangan Bango Lamatan. Pukulan langsung dengan tangannya mengenai punggung Agung Sedayu, menembus ilmu kebalnya.
Sekali lagi Agung Sedayu terdorong beberapa langkah kedepan dan jatuh berguling. Sekali ia berputar kemudian melenting berdiri.
Namun dalam kemarahan yang memuncak, maka Agung Sedayu tidak lagi sempat membuat perhitungan lebih panjang. Yang dilakukan adalah mempergunakan segenap kemampuan dan ilmu yang ada pada dirinya.
Bango Lamatan tertawa meledak. Ia memang menunggu sampai Agung Sedayu melenting berdiri. Dengan segenap kemampuannya ia akan menyerangnya dengan ilmunya yang garang. Dengan cepat Bango Lamatan telah mengangkat tangan tepat pada saat Agung Sedayu melenting, dengan telapak tangan terbuka menghadap kearahnya.
Namun tiba-tiba saja detak jantung Bango Lamatan hampir terhenti. Ia tidak begitu yakin akan penglihatannya. Demikian Agung Sedayu meloncat bangkit, maka ia telah melihat bukan saja satu Agung Seduyu. Tetapi Agung Sedayu telah berdiri dengan rangkapannya.
Dengan nada rendah Bango Lamatan berdesis diluar sadarnya — Bukan main. Kakang kawah adi ari-ari atau jika bukan adalah ilmu sejenisnya. —
Karena itu, maka Bango Lamatan menjadi ragu-ragu. Ia tidak tahu, yang manakah Agung Sedayu yang sebenarnya.
Namun Bango Lamatan tidak mau terlambat. Tiba-tiba saja serangannya telah meluncur kearah salah satu diantara ujud-ujud Agung Sedayu itu.
Tetapi ternyata Bango Lamatan telah salah memilih. Ternyata yang dikenainya bukannya Agung Sedayu yang sebenarnya, sehingga karena itu, maka serangannya tidak dapat menyakiti lawannya.
Demikian serangan itu lewat, maka tiba-tiba saja ujud-ujud itupun telah berusaha menghilangkan jejak perhitungan lawan-lawannya. Ketiganya berloncatan menyatu. Jatuh berguling. Namun kemudian meloncat bangkit dalam, ujud yang telah terpecah. Tetapi Agung Sedayu yang merasa dirinya dipermainkan itu telah menggenggam pula cambuk ditangannya, sehingga ujud-ujud yang lainpun telah menggenggam senjata serupa.
— Setan alas — Bango Lamatan mengumpat. Sekali lagi serangannya salah sasaran. Dan sekali lagi ujud-ujud itu menyatu dan memecah diri kembali.
Ternyata kemudian bukan saja Agung Sedayu yang menjadi kebingungan. Tetapi Bango Lamatanpun menjadi bingung.
Glagah Putih memang menjadi semakin tegang. Baru sekali itu ia melihat Agung Sedayu mengerahkan sekian banyak ilmunya untuk menghadapi seseorang. Kemampuan tertinggi dan ketrampilan olah kanuragan. Ilmu kebalnya, ujud-ujud semu dalam kekuatan Aji Kakang Kawah dan Adi Ari-ari, sorot matanya, cambuknya, penangkal racun, meringankan tubuh dan apa lagi.
Sebenarnyalah Agung Sedayu masih juga membuat perhitungan-perhitungan. Namun dalam pertempuran selanjutnya, Agung Sedayu tidak lagi dengan mudah dapat dipermainkan oleh lawannya yang juga menjadi kebingungan.
Kiai Gringsing sempat bernafas panjang. Terasa himpitan didadanya menjadi sedikit longgar, meskipun jika Bango Lamatan telah menjadi tenang dan mampu mengurai keadaan ujud-ujud lawannya, maka ia akan dapat segera membedakan yang mana Agung Sedayu yang sebenarnya dan yang mana ujud-ujud tiruannya.
Nampaknya Bango Lamatanpun ingin melakukannya. Dikerahkannya kemampuan ilmunya, untuk mengenali lawannya yang sesungguhnya dari ujud-ujud yang dihadapinya.
Namun dalam pada itu, Agung Sedayupun telah menge-trapkan kelengkapan ilmunya yang lain. Ia sudah mencoba dengan ilmunya Sapta Pandulu. Tetapi ia tetap tidak dapat melihat Bango Lamatan yang bersembunyi di belakang Aji Panglimunannya. Iapun kemudian mengetrapkan Aji Sapta Pangrungu. Tetapi juga demikian sulit untuk mendengar tapak kaki lawannya yang berdesir diatas pasir. Meskipun kadang-kadang dengan ketajaman pendengarannya ia mampu menangkap suara itu. Tetapi kadang-kadang segera lenyap lagi. Ilmunya Sapta Pangganda juga tidak dapat membantunya. Ia memang kadang-kadang pula sempat
mencium bau keringat lawannya. Tetapi jika angin berubah arah, atau lawannya berpindah tempat, maka ia tidak dapat segera mengetahuinya.
Karena itu, telah terjadi perang ilmu yang dahsyat antara keduanya. Justru pada saat Bango Lamatan mampu mengurai ujud-ujud yang dihadapinya, maka Agung Sedayu telah menemukan pemecahan pula. Ia mampu mengetahui dimana lawannya berada dengan ilmunya Sapta Pang-graita.
Meskipun Agung Sedayu tetap tidak melihat lawannya, tetapi ia tahu atas dasar ketajaman panggraitanya, dimana lawannya itu berada dan kemana ia bergerak.
Namun yang kemudian terdengar adalah suara Bango Lamatan tertawa. Disela-sela tertawanya terdengar suaranya — Agung Sedayu. Kau dapat memecah dirimu dalam rangkapan seratus sekalipun. Tetapi kau tidak akan dapat berlagak dihadapanku. Aku akui, bahwa beberapa saat setelah kau trapkan kekuatan ilmumu untuk membuat ujud-ujud rangkapan, aku terlalu gelisah sehingga aku tidak sempat melihat ujud-ujud itu dengan wajar. —
Bango Lamatan berhenti sejenak. Kemudian katanya — Akupun tidak merasa perlu untuk bergeser dari tempatku. Aku tahu pasti kapan seranganmu datang. Dan aku tahu pasti, bahwa aku akan dapat menghindarkannya. Nah Agung Sedayu. Mumpung aku masih disini. Lontarkan serangan ke arah suaraku. —
Agung Sedayu memang menghadap kearah suara itu. Ia tidak melihat Bango Lamatan, tetapi panggraitanya mengatakan bahwa Bango Lamatan dengan tergesa-gesa bergerak ke kanan.
Tetapi Agung Sedayu tidak mengikuti gerak Bango La-matan, namun ia ingin meyakinkan diri, bahwa pangraita-nya itu benar. Karena itu, maka Agung Sedayupun telah meloncat menyerang Bango Lamatan pada tempatnya
sebelum ia bergerak. Sementara ujudnya yang lain telah melakukan gerak-gerak yang tidak banyak berarti.
Sejenak kemudian terdengar cambuk Agung Sedayu meledak. Suaranya bagaikan memecahkan selaput telinga. Namun hentakkan sendai pancing itu sama sekali tidak mengenai siapapun juga. Karena Bango Lamatan memang telah bergeser.
Bango Lamatan justru tertawa berkepanjangan. Katanya — Apa yang kau lakukan Agung Sedayu. Kau telah melakukan dua kali kesalahan. Pertama, kau menyerang ditempat yang sama sekali tidak ada sasarannya. Kedua, ledakkan cambukmu tidak lebih dari suara anjing yang menyalak. Keras dan menggetarkan jantung, tetapi suara cambuk yang kosong itu betapapun kerasnya tidak akan dapat menyakiti orang lain. —
Agung Sedayu menarik nafas dalam-daam. Ternyata bahwa ia telah memiliki satu cara untuk mengenai tempat lawannya. Sapta Panggraitanya memang mampu mengatasi persoalan.
Namun Agung Sedayu masih tetap berdiri tegak. Demikian ujud-ujud rangkapannya. Tidak ada yang bergerak sama sekali.
Sebenarnyalah panggraita Agung Sedayu mengetahui bahwa Bango Lamatan telah bergerak mendekatinya. Kemudian Agung Sedayu mengetahui pula, bahwa lawannya itu telah bersiap untuk menyerangnya dengan wadag-nya.
Agung Sedayu telah menghentakkan pula ilmu kebalnya, sehingga panasnya udara terasa semakin menyengat. Karena itu, maka Bango Lamatan hanya dapat mendekati dalam jarak dua tiga langkah. Namun tiba-tiba saja Bango Lamatan itu meloncat menyerang dada Agung Sedayu.
Agung Sedayu mampu menangkap gerakan itu dengan tanggapan panggraitanya. Tetapi ia memang tidak
menghindari. Dibiarkannya serangan itu mengenai dadanya.
Serangan yang datang dengan derasnya itu, yang dilontarkan oleh orang yang memiliki ilmu yang tinggi, memang mampu menembus ilmu kebal Agung Sedayu. Karena itu, maka Agung Sedayu telah terlempar beberapa langkah surut. Kemudian jatuh terlentang, berguling beberapa kali dan sejenak kemudian ujud-ujudnya telah menyatu kembali. Namun ketika kemudian Agung Sedayu itu meloncat berdiri, maka tubuhnya seakan-akan telah memecah dan tegak bersama-sama ujud rangkapannya.
Sekali lagi Bango Lamatan tertawa. Katanya — Menyerahlah anak yang malang. Akuilah bahwa kekuatan para pendukung Panembahan Cahya Warastra bukannya terdiri dari orang-orang yang hanya dapat berteriak-teriak saja. Tetapi juga benar-benar orang yang berarti. —
Kiai Gringsing yang menyaksikannya menjadi berdebar-debar kembali. Nampaknya Bango Lamatan telah berhasil memecahkan kesulitannya menghadapi ujud-ujud kembar Agung Sedayu. Dengan demikian maka ia sudah, dapat membedakan, yang manakah Agung Sedayu yang sesungguhnya dan yang manakah bentuk semunya.
Demikian pula Glagah Putih yang menjadi tegang kembali. Satu dua kali dipandanginya Kiai Gringsing. Apakah Kiai Gringsing benar-benar akan berdiam diri menghadapi kesulitan yang dialami oleh Agung Sedayu.
Tetapi nampaknya tidak ada tanda-tanda bahwa Kiai Gringsing akan bertindak.
Dalam pada itu, Agung Sedayu telah berdiri tegak dengan cambuk ditangannya sebagaimana juga ujud-ujud rangkapannya. Namun panggraitanya menangkap langkah Bango Lamatan yang bergeser mendekatinya sambil berkata — Menyerahlah. Aku tidak benar-benar akan membunuhmu. Apalagi dihadapan gurumu. Gurumu akan dapat mati karena kenyataan itu jika aku membunuhmu, karena
agaknya kau adalah cermin dari gurumu yang menyimpan seribu macam ilmu di dalam diri. Namun yang tidak mampu melawan ilmuku. —
Agung Sedayu tidak menjawab. Ia memang menunggu Bango Lamatan menjadi semakin dekat. Dengan keyakinan bahwa panggraitanya memang dapat dipercaya, maka Agung Sedayupun telah mempersiapkan diri.
Baru ketika Bango Lamatan berada beberapa langkah saja dari padanya, maka diluar dugaan, tiba-tiba saja Agung Sedayu meloncat pada arah yang benar. Sekali diayunkan cambuknya, kemudian satu hentakkan yang dahsyat telah membenturkan juntai cambuknya itu pada tubuh lawannya. Tanpa ledakkan yang membelah selaput telinga. Bahkan seakan-akan bunyi cambuk Agung Sedayu demikian lunaknya sehingga tanpa tenaga.
Tetapi yang sebenarnya terjadi adalah sebaliknya. Agaknya kemarahan Agung Sedayu memang telah sampai kepuncaknya meskipun tidak membuatnya kehilangan akal. Karena itu, maka Agung Sedayu telah menghentakkan cambuknya dengan kekuatan ilmunya yang sangat tinggi, sehingga justru cambuknya seakan-akan tidak meledak. Sikap Bango Lamatan yang sangat merendahkan kemampuannya bermain cambuk telah mendorongnya untuk menunjukkan, bahwa suara cambuknya bukan sekedar suara anjing yang menyalak tetapi tidak menggigit.
Bango Lamatan terkejut bukan kepalang. Ia tidak menyadari sama sekali bahwa bahaya demikian dekat daripadanya dan yang tiba-tiba saja menerkamnya.
Dengan sigap dan dengan serta merta Bango Lamatan berusaha untuk menghindar. Tetapi ia gagal. Ujung juntai cambuk Agung Sedayu berhasil menggapai pundaknya.
Bango Lamatan itu mengaduh kesakitan. Bahkan ia telah terdorong oleh kekuatan cambuk Agung Sedayu dan terlempar jatuh diatas pasir tepian. Untunglah bahwa tubuhnya tidak membentur batu, apalagi kepalanya.
Namun ketika Bango Lamatan berusaha untuk bangkit, ternyata luka dipundaknya demikian dalamnya, sehingga seakan-akan kulit dagingnya koyak sampai ketulang. Bahkan rasa-rasanya Bango Lamatan itu tidak mampu lagi menggerakkan tangannya karena luka dipundaknya itu.
Bango Lamatan mengumpat. Namun ia tidak mempunyai banyak waktu. Agung Sedayu yang tidak tahu pasti keadaan lawannya, telah menyerang kembali.
Ujung cambuknya telah bergetar sekali lagi. Betapapun Bango Lamatan berusaha menghindar, namun ujung juntai cambuk Agung Sedayu itu masih juga mengenai pahanya. Tidak kalah parahnya dengan luka di pundaknya.
Kesakitan yang sangat telah mencengkam Bango Lamatan. Bahkan luka dipahanya itu membuatnya tidak dapat berdiri dengan tegak. Karena itu, maka iapun telah terduduk kembali diatas pasir tepian.
— Anak iblis — geram Bango Lamatan — kau tahu dengan pasti dimana aku berdiri. Apakah kau mempunyai mata iblis diujung cambukmu? —
Agung Sedayu tidak menjawab. Sementara itu Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Meskipun ia tidak melihat keadaan Bango Lamatan, namun iapun yakin, Agung Sedayu telah menemukan pemecahan tentang lawannya yang memiliki ilmu Penglimunan itu serta telah menyerangnya dan mengenai sasaran.
Sebenarnyalah pada saat itu, Bango Lamatan benar-benar telah dikuasai oleh kesakitan yang amat sangat. Karena itu, maka iapun tidak mampu lagi mempertahankan penge-trapan ilmunya. Segala kekuatan getar didalam dirinya, telah diserap oleh usahanya untuk mengerahkan daya tahannya mengatasi perasaan sakit yang luar biasa, karena kulit dagingnya yang koyak sampai ketulang di pundak dan pahanya.
Karena itu, maka perlahan-lahan Bango Lamatan telah mulai tersembul dari perlindungan Aji Panglimunannya.
Yang dilihat oleh Agung Sedayu, Kiai Gringsing, Glagah Putih dan kawan Bandar Anom adalah Bango Lamatan yang terbaring diatas pasir sambil menyeringai menahan sakit. Bahkan mengaduh kesakitan.
— Kakang — Glagah Putih berseru. Ia tidak begitu mengerti, apa yang telah terjadi atas Bango Lamatan.
Agung Sedayu melangkah perlahan-lahan mendekatinya. Sambil berdiri tegak dengan kaki renggang, sementara tangannya memegang cambuknya erat-erat. Agung Sedayu berkata — Marilah Ki Sanak. Apakah kau sudah lelah? —
— Anak iblis — geram orang itu — kau lukai aku sehingga aku kehilangan kemampuan untuk mempertahankan ilmu Panglimunan. He, bukankah kau telah melihat aku? —
— Aku melihatmu sejak tadi. Sejak kau masih merasa dirimu mampu mempermainkan aku — jawab Agung Sedayu yang telah melepaskan pula kekuatan Aji Kakang Kawah Adi Ari-ari, sehingga ujud rangkapnya menjadi lenyap.
— Bagaimana mungkin kau dapat melihat aku? — bertanya Bango Lamatan.
— Sebagaimana kau ketahui siapakah diantara ujud-ujud kami yang asli dan yang ujud rangkapan. — jawab Agung Sedayu.
Bango Lamatan menggeram. Tetapi rasa-rasanya ia tidak mampu lagi mengatasi rasa sakit pada kulit dagingnya yang menganga karena lukanya yang sangat dalam.
Namun sambil menyeringai ia masih juga berkata — Kau memang luar biasa orang muda. Jika muridnya dapat berbuat sebagaimana kau lakukan, aku tidak dapat membayangkan, apa yang dapat dilakukan oleh gurunya. —
Namun Kiai Gringsing berdesis — Apakah kau belum pernah mendengar tentang seorang murid yang memiliki kelebihan dari gurunya. —
— Ini bukan apa-apa bagi guru — berkata Agung Sedayu dengan serta merta.
Bango Lamatan masih berdesis menahan sakit. Sementara itu ia masih berusaha untuk berkata tersendat-sendat — Akulah yang salah menilai kemampuan kalian. Guru dan murid dari perguruan Orang Bercambuk. Jika Garuda dari Bukit Kapur, Bandar Anom dan orang lain dapat kalian kalahkan, Nagaraga dapat kalian hancurkan, maka itu sudah sewajarnya.
Tetapi Kiai Gringsing menyahut — Bukan kami yang berhasil melakukannya di Nagaraga. Tetapi Pangeran Singasari.
Bango Lamatan tidak menjawab. Tetapi ia menggeliat menahan sakit.
Kiai Gringsinglah yang kemudian berjongkok disisi-nya. Katanya — Luka-lukamu sangat dalam. Jika tidak diobati segera, mungkin akan berakibat sangat buruk bagimu. —
Bango Lamatan berdesah. Dalam kesakitan ia menjawab — Terima kasih Kiai. Aku memang masih ingin dapat disembuhkan. Aku masih belum ingin mati, meskipun aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan selanjutnya. Apakah aku mendendam kepada muridmu, ataukah aku justru akan menjadi saksi tingkat ilmunya yang sangat tinggi itu. —
— Bagiku itu bukan soal — berkata Kiai Gringsing — adalah menjadi kewajiban seorang yang mengetahui tentang pengobatan untuk membantu dan mengobati orang-orang terluka, siapapun orang itu. —
Bango Lamatan yang hampir tidak dapat menahan perasaan sakitnya tidak menjawab lagi. Iapun tidak bersikap apapun ketika Kiai Gringsing mulai memperhatikan luka-lukanya.
— Luka ini sangat dalam — berkata Kiai Gringsing di-dalam hati. Satu gambaran betapa jantung Agung Sedayu bergejolak karena penghinaan Bango Lamatan atas ilmu cambuknya.
Sebagaimana kebiasaan Kiai Gringsing, maka iapun selalu membawa obat kemanapun ia pergi. Terutama obat yang berhubungan dengan luka-luka baru serta luka akibat juntai cambuk.
Karena luka yang parah, maka Kiai Gringsing terpaksa mengatupkan daging yang koyak itu dengan duri-duri kecil yang disusupkan diantara daging-daging yang koyak itu. Duri-duri dari sejenis tanaman yang memang sudah disiapkan bagi kepentingan seperti itu.
Ternyata bahwa luka Bango Lamatan lebih parah lagi dari luka Bandar Anom.
Karena itulah, maka Kiai Gringsing tidak segera dapat meneruskan perjalanan. Dua orang cantrik yang menunggui kudanya menjadi gelisah. Bahkan seorang diantara mereka telah menyusulnya kebalik tikungan.
Cantrik itu terkejut. Agaknya telah terjadi pertempuran yang dahsyat. Itulah sebabnya, ia telah mendengar ledakan cambuk Agung Sedayu.
— Aku masih harus menyelesaikan pekerjaan ini — berkata Kiai Gringsing — tidak ada persoalan apa-apa. Kembalilah ke kuda-kuda itu ditambatkan. —
— Baik Kiai — jawab cantrik itu. Namun bagaimanapun juga ia merasakan bahwa memang telah terjadi sesuatu yang menggetarkan disebelah tikungan itu.
Dalam pada itu, Agung Sedayu yang menunggui Kiai Gringsing mengobati luka-luka Bango Lamatan duduk bersandar kedua tangannya. Ia memang menjadi sangat letih setelah melepaskan hampir seluruh ilmunya yang ada di-dalam dirinya. Seakan-akan telah diperas sampai tuntas.
Glagah Putih telah duduk disebelahnya. Tetapi ia tidak mengganggu Agung Sedayu yang nampaknya memang sedang beristirahat, sehingga karena itu ia banyak berdiam diri, meskipun ia sempat memberi isyarat agar kawan Bandar Anom duduk disebelahnya.
Ternyata Kiai Gringsing memang memerlukan waktu yang lama. Bango Lamatan yang menahan sakit telah diminta untuk menggigit sepotong rotan yang telah dikuliti.
Meskipun demikian masih saja terdengar ia mengerang. Bahkan kadang-kadang hampir berteriak.
— Kau adalah seorang yang pilih tanding — berkata Kiai Gringsing — tidak pantas kau mengaduh dan berdesah karena kesakitan. Kau harus mampu mengatasinya. Jika hal ini tidak aku lakukan, maka akibatnya dapat membuatmu menyesal sampai hari terakhirmu kelak. —
Bango Lamatan memang mencoba untuk bertahan. Keringatnya mengalir membasahi seluruh tubuhnya. Sementara itu, darahpun masih juga menitik dari luka-lukanya, meskipun Kiai Gringsing telah memberikan obat untuk menutup arus darahnya itu.
Sementara itu mataharipun terasa semakin panas. Bayangan pepohonan telah bergeser semakin jauh.
Namun akhirnya pekerjaan Kiai Gringsingpun dapat diselesaikannya. Tetapi Bango Lamatan rasa-rasanya hampir menjadi pingsan.
Kiai Gringsing sempat memberikan sejenis obat yang dapat membuat daya tahan tubuh Bango Lamatan meningkat, sehingga ia berhasil mengatasi keadaan. Dengan demikian maka Bango Lamatan tidak menjadi pingsan karenanya.
— Kita sudah selesai — berkata Kiai Gringsing kepada Agung Sedayu dan Glagah Putih — kita akan dapat melanjutkan perjalanan.
— Lalu bagaimana dengan orang-orang yang terluka ini? — bertanya Agung Sedayu.
— Seorang diantara mereka masih sehat. Biarlah ia berusaha untuk membawa kawan-kawannya kembali kepada Panembahan Cahya Warastra. Aku yakin bahwa Kecruk Putih itu akan dapat mengobatinya pula. — sahut Kiai Gringsing.
— Tetapi bagaimana aku dapat membawa mereka? -bertanya Kawan Bandar Anom.
— Kau tentu mempunyai akal — jawab Kiai Gringsing.
— Aku tidak tahu, bagaimana aku harus membawa mereka. Kami datang ketempat ini hanya dengan berjalan kaki — berkata orang itu pula.
— Pergi ke padukuhan itu. Cari pedati. Jika perlu kau dapat membelinya. — sahut Agung Sedayu.
— Aku tidak membawa uang cukup — jawab orang itu.
— Kau dapat menukarkan kamus dan timang emasmu. Atau pendok kerismu atau barangkah cincin dijari-jarimu atau apapun juga jika kau memang tidak membawa uang — berkata Agung Sedayu pula.
Orang itu termangu-mangu. Namun kemudian iapun berkata — Aku akan mencari pedati di padukuhan terdekat.
Tetapi Agung Sedayu segera berkata — Tetapi jangan mengambil hak orang lain begitu saja. Kau harus memberikan imbalannya. Atau barangkali kau dapat meminjamnya dengan meninggalkan tanggungan apapun juga yang harganya lebih dari harga sebuah pedati dengan lembunya. —
Orang itu termangu-mangu. Namun kemudian iapun berkata — Aku akan meninggalkan timangku. Harganya tentu lebih dari harga sebuah pedati lengkap dengan lembunya. —
— Darimana kau mendapatkan timang itu? — tiba-tiba saja Glagah Putih bertanya.
Jawabnya memang tidak seperti yang diduga oleh Glagah Putih — Aku mendapatkannya dari kakek. Kakek memang orang kaya. Tetapi ayahku lain, sehingga kakek tidak mau memberikannya kepada ayah. Jika timang ini jatuh ke-tangan ayah, maka akan segera lenyap ditempat judi. —
— Agaknya masih ada pilihan padamu — desis Agung Sedayu — nah, pergilah. Tetapi aku akan menelusurinya. Jika kau merampok pedati, maka kau tidak akan diampuni. —
Wajah orang itu menjadi tegang. Tetapi ia sadar, dengan siapa ia berhadapan. Karena itu, maka ia sama sekali tidak menjawab. Namun sejenak kemudian orang itu telah meninggalkan tepiari, meloncat naik ke atas tanggul Kali Opak.
Agung Sedayu dan Glagah Putihpun kemudian telah mengangkat tubuh Bango Lamatan yang terluka parah itu dan meletakkannya disebelah Bandar Anom, yang masih dibayangi oleh dedaunan dari sebatang pohon di pinggir Kali Opak.
— Kami akan menunggu sampai kawanmu itu mendapatkan sebuah pedati — berkata Kiai Gringsing.
Bango Lamatan tidak menjawab. Ia mendengar pembicaraan kawan Bandar Anom dengan Agung Sedayu dan Glagah Putih. Tetapi Bandar Anomlah yang bertanya — darimana ia akan mendapat sebuah pedati? Apakah ia harus merampok di padukuhan? —
— Tidak. Tetapi ia harus meminjam dengan meninggalkan tanggungan yang cukup. Jika ia merampok, maka ia tidak akan sekedar terluka parah. Tetapi ia akan mati — geram Glagah Putih.
Bandar Anom menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya kepada Bango Lamatan — Kau sudah menunjukkan kepada orang itu bahwa kau memiliki kelebihan untuk memberi peringatan kepadanya tentang para pendukung Panembahan Cahya Warastra. —
— Tutup mulutmu — Bango Lamatan menggeram. Namun iapun segera menyeringai menahan sakit.
Bandar Anom yang juga terluka itu sempat mengejeknya — sudahlah. Kau harus melihat kenyataan yang kau ha-
dapi. Seperti aku. Kita harus mengaku kalah melawan mu rid Kiai Gringsing yang disebut Orang Bercambuk itu. —
Bango Lamatan tidak menjawab. Tetapi ia memang mengakui didalam hati.
Beberapa saat kemudian Kiai Gringsing, Agung Sedayu dan Glagah Putih masih duduk di tepian, menunggui ke-dua orang yang terbaring karena luka-lukanya itu. Ternyata mereka tidak sampai hati meninggalkan keduanya, karena banyak hal akan dapat terjadi jika keduanya ditinggalkan dalam keadaan tidak berdaya. Mungkin burung-burung gagak yang mencium bau darah akan berterbangan turun ditepian itu. Mungkin anjing-anjing liar atau bahkan mungkin binatang-binatang liar yang lain.
Karena itu, sambil beristirahat maka Agung Sedayu bersama guru dan sepupunya disamping menunggui keduanya, juga menunggu kawan Bandar Anom yang sedang mencari sebuah pedati di padukuhan. Bahkan oleh kelelahan yang sangat, dibawah bayangan dedaunan dan silirnya angin, Agung Sedayu sempat terkantuk-kantuk sambil bersandar sebatang kayu, meskipun sekali-sekali ia masih juga meraba lukanya yang tidak seberapa.
Namun Glagah Putih yang mendekatinya berdesis — Apakah tidak mungkin orang itu tidak mencari sebuah pedati, tetapi justru melarikan diri, kakang? —
— Tidak. Ia tidak akan berani melakukannya. Orang yang disebut Panembahan Cahya Warastra itu tentu akan menghukumnya jika pada suatu saat ia diketahui telah berkhianat kepada kawan-kawannya. Kecuali jika ia tahu pasti, bahwa kita telah meninggalkan kedua orang yang terluka itu. Ia akan dapat berbuat lain sekali dari yang kita duga. Karena jika kedua orang yang terluka itu mati, maka tidak akan ada jejaknya sama sekali. — jawab Agung Sedayu.
— Bagaimana diperjalanan nanti? — bertanya Glagah Putih — seandainya ia mendapat pedati, apakah hal seperti itu tidak mungkin mereka lakukan? —
— Kita menjadi saksi. Itulah agaknya yang akan menentukan langkah-langkahnya kemudian — jawab Agung Sedayu.
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya didalam hati — Ya. Pada suatu saat Kiai Gringsing tentu akan dapat bertemu dengan utusan-utusan lain yang tentu akan berdatangan. Tetapi mereka harus berhati-hati. Bango Lamatan yang nampaknya orang penting di lingkungan mereka telah dikalahkan oleh kakang Agung Sedayu. —
Karena itu maka Glagah Putih tidak mengganggu kakak sepupunya lagi. Iapun bergeser beberapa langkah menjauh dan tiba-tiba saja ia melihat keris Bandar Anom. Dengan serta merta maka iapun bangkit dan mengambil keris itu. Tetapi keris itu sama sekali tidak bercahaya sebagaimana ditangan Bandar Anom.
Glagah Putihpun menyadari, bahwa cahaya itu timbul karena perpaduan kekuatan pada keris itu dan kekuatan Bandar Anom itu sendiri, yang bertumpu pada ilmunya.
Sambil memperhatikan keris itu Glagah Putih duduk kembali ditempatnya, sementara Bandar Anom yang melihat kerisnya ditangan Glagah Putih berkata — Kembalikan kerisku itu. Keris itu adalah keris peninggalan. —
Glagah Putih tertawa. Katanya — Dengan keris ini kau dapat memaksakan kehendakmu kepada orang lain. Dengan keris ini kau dapat menakut-nakuti orang dan dengan keris ini kau berusaha membunuh kakang Agung Sedayu. Bukan sekedar bermain-main, tetapi kau bersungguh-sungguh. —
Bandar Anom termangu-mangu. Katanya — Dalan per-tempuran seperti itu maka kita akan kehilangan pengamatan diri. Bukankah Agung Sedayu juga melukai aku dan melukai Bango Lamatan ? —
— Setelah kalian ternyata bersungguh-sungguh ingin membunuhnya atau lebih buruk lagi, mempermainkannya. — jawab Glagah Putih.
Bandar Anom terdiam sejenak. Namun kemudian katanya pula — Aku mohon keris itu. —
Glagah Putih mengerutkan dahinya. Tetapi kemudian jawabnya tegas — Tidak. Kau akan mempergunakannya untuk kepentingan perluasan pengaruh Panembahan Cahaya Warastra. Aku tahu, kerismu adalah keris yang sangat berbahaya. Bukankah kerismu mempunyai bisa yang sangat tajam. Setiap sentuhan betapapun kecilnya dengan jalur darah seseorang dilapisan kulit sekalipun, maka kekuatan racunnya akan dapat membunuh. —
— Jadi apa yang akan kau lakukan dengan kerisku? — bertanya Bandar Anom dengan suara yang semakin tersendat.
— Untuk mengurangi kegaranganmu, maka keris ini akan aku musnahkan saja — berkata Glagah Putih.
— Jangan — Bandar Anom tiba-tiba saja berusaha untuk bangkit. Namun Kiai Gringsing telah mencegahnya — Jangan. Nanti lukamu akan menganga lagi. — Lalu katanya kepada Glagah Putih — sebaiknya kau singkirkan saja keris itu Glagah Putih. Dengan demikian kita sudah mengurangi langkah-langkah buruk yang mungkin akan diambil oleh Bandar Anom jika ia sembuh nanti. —
— O — suara Bandar Anom bagaikan tertelan kembali. Tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu ketika Glagah Putih kemudian beranjak dari tempatnya sambil membawa keris itu.
Bango Lamatan yang terbaring di sebelahnya ternyata sempat juga mendengarkan percakapan itu. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu, meskipun iapun menjadi cemas, bahwa ia akan mengalami nasib yang sama. Karena ia tahu pasti, bahwa Kiai Gringsing akan dapat memberikan sejenis racun yang dapat melumpuhkannya jika ia mau atau membuat cacat yang lain.
Tetapi agaknya itu bukan cara yang dipergunakan oleh
Kiai Gringsing yang berilmu sangat tinggi itu.
Demikianlah maka untuk beberapa saat lamanya mereka menunggu. Ketika kesabaran Glagah Putih hampir habis, maka kelihatan sebuah pedati yang berjalan lamban sekali menuju ke batas tanggul Kali Opak. Sementara itu, Agung Sedayu justru masih memanfaatkan waktu itu sebaik-baiknya untuk beristirahat.
Glagah Putihlah yang pertama kali meloncat ke atas tanggul mendekati pedati yang justru berada di sebelah Barat sungai.
— Kemana kau cari pedati? — bertanya Glagah Putih.
— Padukuhan yang terdekat adalah padukuhan Bogem. — jawab kawan Bandar Anom.
— Jadi kau ambil pedati ini dari Bogem? — bertanya Glagah Putih.
— Ya — jawab orang itu.
— Kau rampok? — desak Glagah Putih.
— Tidak — jawab kawan Bandar Anom — aku mengambil pedati itu dengan cara yang baik. Bahkan aku ingin menukarnya dengan timangku. Maksudku, timangku akan aku tinggal sebagai tanggungan. Disaat aku mengembalikan pedati itu sepekan mendatang, timangku itu akan aku ambil kembali. —
— Dan kau akan mengajak satu dua orang kawan untuk menakut-nakuti pemilik pedati itu? — berkata Glagah Putih.
— Tidak, aku bersumpah. Pemilik pedati itu adalah orang yang sangat baik. Aku tidak perlu memaksanya. Ketika aku menjelaskan kepentingannya, maka iapun dengan suka rela menyerahkan pedatinya sekaligus dengan lembunya. Dengan tergesa-gesa ia memerintahkan pembantunya untuk memasang lembu dan perlengkapannya sekaligus — berkata orang itu.
— Aku akan pergi ke Bogem untuk melihat kebenaran kata-katamu. Siapakah yang sudah berbaik hati memberikan pedati itu kepadamu? — bertanya Glagah Putih.
— Pedati itu bukannya diberikan. Tetapi dipinjamkan. Aku harus mengembalikannya — orang itu berhenti sejenak, lalu — Namun aku memang telah berbohong kepada orang itu. —
— Berbohong bagaimana? — bertanya Glagah Putih dengan kening yang berkerut.
— Aku mengatakan bahwa kedua orang kawanku telah mengalami kecelakaan. Kuda mereka yang berpacu cepat telah bergeseran dan keduanya telah jatuh terbanting di-tanah, sementara kuda-kuda itu justru terkejut dan berlari tanpa dapat ditangkap lagi. — jawab orang itu.
Glagah Putih menarik nafas panjang. Namun sekali lagi ia telah bertanya — Siapa nama orang yang telah berbaik hati itu? —
— Namanya Ki Pinandaya. — jawab orang itu — justru karena kebaikan hatinya, aku tidak dapat berbuat apa-apa. Aku memang membawa pedatinya itu, tetapi dengan janji di dalam hati, bahwa aku akan mengembalikannya. —
— Kau bersungguh-sungguh? — bertanya Glagah Putih.
— Aku bersungguh-sungguh. Aku sudah menawarkan timang emasku. Tetapi orang itu menolak. — jawab orang itu.
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya — Baiklah. Aku justru akan berjalan kearah Barat. Kau kearah Timur. Aku akan dapat singgah dipadukuhan itu untuk melihat kebenaran kata-katamu. —
— Singgahlah dirumah Ki Pinandaya. Tanyakan kepadanya, apakah aku memaksa atau ia sendiri memberi kan pedatinya. Tetapi menurut pengakuanku padanya, dua orang kawanku itu terluka karena jatuh dari kuda. — jawab kawan Bandar Anom.
— Kau katakan bahwa kau akan memakai pedati itu ke Madiun? — bertanya Glagah Putih.
— Aku tidak mengatakannya akan pergi ke Madiun. Tetapi aku berkata bahwa aku akan pergi ke Grobogan. — jawab orang itu.
Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi ia percaya bahwa kawan Bandar Anom itu tidak merampok. Meskipun ia berbohong, tetapi agaknya orang itu benar-benar ingin mengembalikan pedati itu pada satu hari.
Demikianlah, dibantu oleh Glagah Putih maka orang itu telah mengangkat Bango Lamatan dan Bandar Anom naik keatas pedati itu.
— Hati-hatilah di perjalanan — berkata Kiai Gringsing — lebih baik kau berusaha untuk menyembunyikan bawaan-mu yang sebenarnya. Jika kau berjumpa dengan orang-orang yang ingin menyingkirkan kedua orang itu, maka kau tidak akan dapat banyak melindungi mereka, karena kau adalah seorang yang lemah hati. Tetapi nampaknya kau dituntut untuk bertanggung jawab kepada Panembahan Cah-ya Warastra, bahwa kedua orang itu akan sampai kepadanya. Kecruk Putih itu akan dapat mengobati keduanya, sementara disepanjang jalan, aku akan memberikan bekal obat serba sedikit, karena aku memang hanya membawa sedikit. —
Orang itu mengangguk-angguk. Katanya — Aku akan berhati-hati Kiai. —
— Apakah kau masih membawa uang? Kedua orang itu memerlukan makanan dan minuman disepanjang jalan — berkata Kiai Gringsing.
— Aku masih ada serba sedikit. Tetapi agaknya akan cukup aku pakai disepanjang perjalanan — jawab orang itu.
— Baik, pergilah — berkata Kiai Gringsing.
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian iapun telah minta diri kepada Agung Sedayu dan Glagah Putih.
— Aku akan melingkar, lewat jalan penyeberangan itu — berkata kawan Bandar Anom itu.
Demikianlah, maka sejenak kemudian pedati itu telah berjalan dengan langkah-langkah lamban menyusuri tanggul dan kemudian berbelok turun ke penyeberangan. Menyeberangi Kali Opak dan berjalan semakin lama semakin jauh.
— Kita akan meneruskan perjalanan — berkata Kiai Gringsing. Namun kemudian katanya kepada Agung Sedayu — Kecuali jika kau masih sangat letih. —
— Aku dapat beristirahat sambil duduk diatas punggung kuda Guru — jawab Agung Sedayu.
— Kau tentu sangat letih setelah melepaskan beberapa jenis kekuatan ilmumu — berkata gurunya pula.
Tetapi Agung Sedayu menggelengkan kepalanya. Katanya — Kita dapat melanjutkan perjalanan Guru, meskipun barangkali sambil terkantuk-kantuk diatas punggung kuda.
— Marilah — berkata gurunya — jika kau memang tidak berkeberatan. —
Ketiga orang itu kemudian telah melangkah menelusuri tepian melewati tikungan dan kembali ke tempat mereka menambatkan kuda-kuda mereka, ditunggui oleh dua orang cantrik yang semakin berdebar-debar karena rasa-rasanya keduanya menunggu semakin lama.
Ketika kedua orang cantrik itu melihat kedatangan mereka bertiga, maka merekapun segera telah menyongsongnya.
Melihat ketegangan diwajah kedua orang cantrik itu, Kiai Gringsing itupun berkata — Jangan cemas. Tidak ada apa-apa. Semuanya sudah selesai. Kita akan segera meneruskan perjalanan. —
Kedua cantrik itu mengangguk-angguk. Namun mereka tidak bertanya sesuatu.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, mereka berlima telah bersiap-siap untuk meneruskan perjalanan mereka ke Mataram. Rasa-rasanya kuda-kuda mereka sudah cukup lama beristirahat, sehingga mereka langsung dapat menuntun kuda mereka ke penyeberangan dan kemudian meloncat kepunggung kuda masing-masing.
Ternyata Agung Sedayu memang masih merasa letih. Karena itu, ia tidak ingin berkuda terlalu cepat, sebagaimana biasanya. Bahkan dengan demikian, rasa-rasanya ia justru menyesuaikan diri dengan keadaan Kiai Gringsing yang tua itu.
Beberapa saat kemudian, maka kuda-kuda itu sudah berlari di jalan raya yang menuju ke Mataram. Tetapi tidak terlalu kencang. Bahkan satu dua orang berkuda yang lain telah mendahului mereka. Seorang saudagar dengan seekor kuda berwarna hitam ketika mendahului Glagah Putih agaknya telah tertarik kepada kuda Glagah Putih. Karena itu, maka iapun telah memperlambat perjalanannya dan membiarkan kudanya berjalan disisi kuda Glagah Putih.
— He anak muda — berkata saudagar itu — kudamu luar biasa tegarnya. Kenapa kau tidak berpacu secepat angin? Sayang sekali. Atau barangkali kau ingin menjual kudamu agar kau dapat membeli dua ekor kuda seperti kudaku ini? —
Agung Sedayu dan Kiai Gringsingpun berpaling pula kepada orang itu. Namun dalam pada itu Glagah Putih menjawab — Maaf Ki Sanak. Kuda ini adalah kuda peninggalan. Aku tidak akan menjualnya kepada siapapun juga. —
— Anak dungu. Kau akan mendapatkan dua. Aku mau menukarnya dengan dua ekor kuda. Bukankah kau tidak menjualnya? — berkata orang itu pula.
Tetapi sekali lagi Glagah Putih menggeleng sambil tersenyum — Maaf Ki Sanak. —
Saudagar itu mempercepat kudanya dan memperlam-
batnya disisi kuda Kiai Gringsing dan Agung Sedayu. Dengan nada tinggi ia berkata kepada Kiai Gringsing — He, kakek tua. Siapa yang berkuda tegar itu? Anakmu atau cucumu? —
— Cucuku Ki Sanak — jawab Kiai Gringsing.
— Ia terlalu bodoh. Aku menawarkan menukar kudanya dengan dua ekor kuda seperti kuda yang aku pakai sekarang ini. Tetapi ia tidak mau — berkata orang itu.
Kiai Gringsing tersenyum. Katanya — Ia suka sekali kepada kudanya itu. —
— Kakek tua. Bujuk cucumu. Nanti aku beri kau uang disamping dua ekor kuda buat cucumu itu. — berkata orang itu.
Tetapi Kiai Gringsing menjawab — Kuda itu adalah kudanya. Aku tidak dapat memaksanya jika ia memang tidak menghendakinya. —
— Kau juga dungu seperti cucumu — berkata saudagar itu. Lalu katanya — Kudaku, meskipun kuda yang kurang tegar tetapi mampu berlari cepat. Mari kita berpacu. Berapa saja kau bertaruh. Atau barangkali cucumu? —
Kiai Gringsing menggeleng. Katanya masih juga sambil tersenyum — Tidak Ki Sanak. Soalnya bukan saja soal kudanya. Tetapi cucuku tidak pandai berkuda. Jika kudanya lari kencang, maka ia akan menjadi ketakutan dan menggigil dipunggung kudanya itu. —
Saudagar itu bersungut-sungut. Kemudian katanya — Sekelompok orang dungu. Kalian akan menyesal. —
Tidak ada yang menjawab. Kiai Gringsing tidak menjawab.
Agung Sedayupun tidak.
Sejenak kemudian maka orang berkuda hitam itu telah mempercepat lari kudanya, mendahului iring-irngan kecil yang memang dengan sengaja tidak berpacu dengan cepat.
Kecuali Kiai Gringsing yang tua itu tidak ingin tubuhnya terguncang-guncang, maka Agung Sedayupun saat itu seakan-akan sedang beristirahat dipunggung kudanya.
Namun karena itu, perjalanan yang tidak terlalu jauh lagi itu mereka tempuh dalam waktu yang agak lama. Mereka menyusuri jalan lewat Candi Sari, kemudian Cupu Watu dan beberapa saat lagi mereka telah mendekati alas Tambak Baya yang sudah menjadi semakin ramai dilalui orang meskipun masih ada bagian hutan yang lebat dan penuh dengan pohon-pohon raksasa.
Tidak ada sesuatu yang menghambat perjalanan mereka. Kiai Gringsing dan Agung Sedayu yang letih itu berkuda dipaling depan. Glagah Putih sendiri ditengah. Tetapi sekali-sekali ia berada disebelah Agung Sedayu, namun pada kesempatan lain ia berkuda bersama para cantrik di belakang.
Beberapa saat kemudian, maka ketiganya diikuti oleh dua orang cantrik telah mendekati dinding kota Mataram.
Mereka berlima memang tidak mempunyai rencana untuk melihat kebenaran kata-kata kawan Bandar Anom tentang pedati yang didapatinya dari seorang yang disebutnya bernama Ki Pinanjaya, karena menilik sikap dan kata-katanya, maka mereka yakin bahwa kawan Bandar Anom itu tidak berbohong.
Demikianlah maka kelima orang itu telah memasuki pintu gerbang kota. Untuk menghindari perhatian para petugas, maka mereka telah berkuda pada jarak tertentu. Kiai Gringsing, Agung Sedayu dan Glagah Putih lebih dahulu memasuki gerbang kota, baru kemudian kedua cantrik yang ikut serta bersama mereka pada jarak yang agak jauh.
Meskipun para petugas tidak mengganggu mereka, tetapi jika mereka memasuki gerbang berlima, maka mereka agaknya akan mendapat beberapa pertanyaan dari para petugas dipintu gerbang.
Didalam kota, mereka memperpendek jarak diantara mereka. Apalagi ketika mereka mendekati pintu gerbang istana. Kiai Gringsing justru menunggu para cantrik itu, agar keduanya tidak mendapat kesulitan untuk masuk.
Namun ketika mereka berlima mendekati gerbang halaman istana, maka para petugas yang ada diluar pintu gerbang telah menghentikan mereka.
Kiai Gringsing dan mereka yang bersamanya dapat mengerti, bahwa keadaan memang terasa sedikit gawat karena hubungan yang semakin memburuk antara Mataram dan Madiun, sehingga penjagaanpun agaknya semakin ditingkatkan.
Kiai Gringsing, Agung Sedayu, Glagah Putih dan kedua orang cantrik itupun kemudian telah mohon ijin kepada para penjaga untuk memasuki halaman istana itu.
— Kalian mempunyai kepentingan apa? — bertanya pemimpin dari para prajurit yang bertugas diluar pintu gerbang.
— Kami akan menghadap Panembahan Senapati — jawab Kiai Gringsing.
— Menghadap Panembahan? — pemimpin prajurit yang bertugas itu menjadi heran — kalian siapa? —
— Kami datang dari Jati Anom — jawab Kiai Gringsing.
— Untuk keperluan apa kalian akan menghadap? — bertanya pemimpin petugas itu.
— Kami ingin menyampaikan sesuatu kepada Panembahan. Aku mohon dapat disampaikan. Katakan bahwa Kiai Gringsing dari padepokan kecil di Jati Anom. Panembahan Senapati akan mengetahuinya — jawab Kiai Gringsing.
Ternyata prajurit itu belum mengenal nama Kiai Gringsing, sehingga iapun menjawab — Tidak mudah untuk
menghadap. Orang itu harus meyakinkan. —
— Panembahan akan segera mengenal jika kalian sampaikan nama dari padepokanku — berkata Kiai Gringsing pula.
— Kau kira Panembahan Senapati dapat mengenali semua orang di Mataram ini? — jawab prajurit itu.
— Tentu tidak — sahut Kiai Gringsing — tetapi Panembahan Senapati mengenal kami. Karena itu, kami mohon Ki Sanak dapat menyampaikan kehadiran kami kepada Panembahan Senapati lewat para petugas yang berwenang. —
—- Kau tunggu saja disitu. Nanti jika ada diantara mereka yang lewat, biarlah aku mengatakannya jika mereka berkenan — jawab pemimpin petugas itu.
— Mereka, siapa yang Ki Sanak maksudkan? — bertanya Agung Sedayu.
***
lanjut kitab 241