Laman: 1 2
Buku III-26
The URI to TrackBack this entry is: https://adbmcadangan.wordpress.com/buku-iii-26/trackback/
The URI to TrackBack this entry is: https://adbmcadangan.wordpress.com/buku-iii-26/trackback/
Gambar Kulit :
Herry Wibowo
Ilustrasi :
Sudyono
Penerbit :
Kedaulatan Rakyat,
Yogyakarta
Blog di WordPress.com.RSS 2.0Comments RSS 2.0 | Tema: Quentin.
Yang diDubai UEA sama yang diKawasaki Jepang sapa ya yang lagi ronda?
titik
yg ol dubai, novara ,jkt, bontang
sampeyan wonten pundi Ki?
Ki Ponijo wonten pundi sak niki?
kulo teng Bontang Ki alGhors
hayo yg di bontang sholat subuh dulu,… sdh masuk waktunya nih!
udah drtd NiRR
syukurlah…
eehh lupa,… selamat malam Ki alGhors
nanti klo kembali ke tanah air jgn lupa oleh2i aq kristal dari asfur yah,… hehehe
Nyi RR neteh teng mriki tho? hehehe kristal asfor keokeokoekoe…
wah ngarep juga nihhhhh………
@Ni RR dimana lokasinya
wonten pundi sak niki njenengan Nyi?
pernah juga ke cairo sebentar Ki jalan2….. liat tari perut, hihihihi sekalian liat perniks di asfor…. sa iki aq di santiago chile…
o0o sampeyan ingkang wonten santiago tho…
Jam pinten teng mriko? tasek sore nggeh?
Aku sekalian pamit dah masuk hari senin ni hehehehe…
selamat meronda dan menanti wedharan kitab utk semua yang masih ol.
okay Ki,… Met kerja ya… sa iki jam 18.15 di santiago
bye…
Ki akGhors,Ni RR……….kulo pamit rumiyin.
sanes wekdal dipun sambung malih.wassalam
Monggo Ki kulo nggeh bade off jg.
okay Ki,…
met beraktivitas n bye
monggo-monggo….ki sanak sami makaryo…
congrat, yg pertama
Ha ha, duluan Ki Anggara
Matur nuwun kitabnya
njenengan pancen mumpuni nek njupuk kitab disik2an ki, selamat nggih.
Namung mateg ajian Sapu Kitab kok Ki: Niyatingsun arep ngunduh kitabe Nyaine, sekali klik dua tiga kitab terundhuh, ngundhuh tanpo rawuh, ngundhuh banjur rawuh.
Ternyata sudah wedar to…
gracias,… Mbakyu Seno
Wah sugeng rawuh Nimas Rara Wulan, apa kabar sehat ? kok Nyi Semangkin ngga digandeng sekalian nilik’i padepokan…
Kok durung ono sing njupuk jatah to.
Iku lho jatahe gandok 226 wis dibukak.
Monggo njupuk siji-siji. Ojo pada rebutan.
Eh..
ternyata Ki Anggara dan Ni (apa Nyi?) Rara Wulan sudah ambil to.
gek kriyep2 kawananen mergo ronda mau mbengi sayup2 digugah ki Arema, cover-e kok wis ngandut he…he…he…yo langsung tak comot. Matur suwun nyi Seno. Piye ki Widura endi iki, kewaregen mendoan yak-e?
Wah…aku ngenteni seko jam 4 esuk pengin dadi pengunduh numero uno tetep ae ketinggalan mbek cantrik2 nan anggih….
Wah…gara2 keasyikan menelusuri nasib Antasari Azhar….jian….
eniwe matur tengkyu Nyi
terima kasih… pagi2 sarapan kitab
Ki Widura nang endi iki.
Mau bengi melu ronda, saiki malah ngilang. Ayo Ki, ndang dipundhut jatahe.
matur nuwun ….
Minggu iki (minggu pertama wulan Mei), kitab 226 iki kitab pertama sing wedar ing dino pertama (Senen), sesuai jatah.
menurutku kitap untuk hari senin sih 227 mas..
cmiiw
he…he…he…penginku yo ngono ki
Ambil jatah 225 & 226, hatur nuhun pisan ceu sena
tumben telat, iki mesthi kawanan..mau bengi udan deres
Sudah diunduh dengan hati gembira, kangge sarapan eh.. brunch ding ….
Matur tx Nyimas. Ki Gd…
Cantrik siji iki rada aneh. Yen antri disik-disikan. Bareng kitabe wis diwedar gak ndang dijupuk. Jatah wingi (wingenane?) lagi dijupuk saiki.
Pancen usil iki.
Eh.., salah masuk. Maksude Ki Gonas.
gek tak takokke karo ki Teliksandi ben nelisik opo karepe ko Goenas
Nuwun ki seno kitabipun, sugeng dinten senin sedaya mawon lan sugeng makarya…
telima kacih
nderek ngantri pareng ??
nggih mboten pareng tho ki…, lha wong sampung diwedar kitabipun
akhirnya bisa ngunduh juga…
trims nyai….
jogoboyo muncul lagi…..
padepokan gak di blok lagi ama negara….
jadi bisa buka deh….kemaren2 harus pake tunneling…tapi tetep gak bisa ngunduh kitab…jadinya meminta belas kasihan jeng nunik…ki zacky ama ki sulis deh….
sekarang dah bisa ngunduh lagi……
hahahahahahah [tertawa puassss…….]
dilanjutkan ………
Glagah Putih mengangguk. Dengan nada rendah ia menjawab — Aku sudah mencoba untuk mencegahnya. Tetapi aku terlambat. —
— Apaboleh buat — desis Agung Sedayu kemudian kit a sudah berusaha. Di luar hutan ini ada tiga orang terbaring. Marilah, kita akan melihatnya, apakah masih ada seorang diantara mereka yang masih hidup. Tetapi kau harus berhati-hati agar dari lukamu tidak lagi mengalirkan darah. —
Glagah Putihpun kemudian dibantu oleh Agung Sedayu telah bangkit. Namun tubuhnya memang terasa lemah sekali. Karena itu, maka Agung Sedayu harus membantunya. Sekali-sekali Glagah Putih harus berpegangan lengan Agung Sedayu jika tiba-tiba saja terasa keseimbangannya goyah.
Namun akhirnya keduanya telah keluar dari hutan. Agung Sedayupun kemudian membantu Glagah Putih duduk di sebuah batu padas sambil berkata — Kau duduk saja disitu. Aku akan melihat mereka. —
Glagah Putih mengangguk. Ia memang merasa bahwa tubuhnya menjadi lemah. Karena itu, ia harus berusaha untuk mengatur pernafasannya dan berusaha mengatasi segala gejolak yang masih terasa dijantungnya. Ia pun sadar, bahwa ia tidak boleh terlalu banyak bergerak agar darahnya menjadi benar-benar pampat lebih dahulu.
Dengan demikian maka Agung Sedayulah yang kemudian dengan hati-hati mendekati tubuh-tubuh yang terbaring diam itu. Namun ketika ia menjadi semakin dekat, maka iapun terkejut. Tubuh yang pertama yang didekatinya ternyata bagaikan telah membeku. Namun dibawah kakinya nampak pula noda-noda kebiruan.
— Racun — desis Agung Sedayu.
Ternyata bahwa diluar pengamatannya, orang itupun telah menelan racun pula sebagaimana lawan Glagah Putih. Agaknya mereka lebih baik mati daripada tertangkap.
Dengan berdebar-debar Agung Sedayu melihat kedua orang yang lain. Satu diantara mereka memang nampak bernoda kebiruan ditubuhnya. Namun agaknya yang seorang lagi tidak sempat menelan racun karena ilmu Agung Sedayu tidak langsung membunuhnya.
Yang terjadi itu memang bukan yang dikehendaki oleh Agung Sedayu dan Glagah Putih. Tetapi keduanya memang tidak mampu mencegahnya. Kematian itu seakan-akan memang harus terjadi atas mereka sesuai dengan keinginan mereka sendiri untuk menghindari kesulitan-kesulitan yang dapat terjadi atas mereka jika mereka tertangkap dan menjadi tawanan Mataram.
Agung Sedayupun kemudian memberitahukan hal itu kepada Glagah Putih, sehingga dengan demikian keduanya mendapat kesimpulan, bahwa bunuh diri dengan menelan racun itu bukan sikap pribadi lawan Glagah Putih. Tetapi adalah sikap keempat orang itu bersama-sama. Atau bahkan sikap perguruan mereka jika mereka menghadapi keadaan seperti yang dialami oleh keempat orang itu.
— Kita harus menguburkan mereka — berkata Agung Sedayu.
Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia mengerti bahwa hal itu memang harus dilakukan. Mereka tidak akan dapat meninggalkan empat sosok mayat begitu saja di padang ilalang dan didalam hutan. Tetapi Glagah Putih merasa bahwa tubuhnya memang terlalu lemah.
Agaknya Agung Sedayu mengerti perasaan yang berge-jolak didalam hati adik sepupunya. Karena itu, maka katanya — Bagaimanapun juga kita tidak akan dapat melakukannya sendiri. Tetapi kita akan dapat minta tolong
orang-orang dari padukuhan terdekat. Meskipun dengan demikian kita tidak dapat menyembunyikan kejadian ini. —
Glagah Putih mengangguk-angguk pula. Namun iapun kemudian bertanya — Apakah dalam keadaan seperti ini kita akan pergi ke padukuhan? —
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya memang berat untuk memasuki padukuhan dalam ujud seperti itu. Tetapi mereka memang memerlukan bantuan selain tenaga juga alat untuk menggali tanah. Bahkan jika mungkin, keempat tubuh yang terbunuh itu sebaiknya dibawa ke kuburan.
Namun akhirnya Agung Sedayu itu berkata kepada Glagah Putih — Apakah sebaiknya kau sajalah yang pergi berkuda, tetapi dengan hati-hati, menuju ke padukuhan terdekat. Kau juga harus berupaya agar para pengawal berlaku tenang dan tidak menimbulkan kegelisahan. Katakan bahwa semua persoalan telah diselesaikan. Aku akan berada disini. Masih ada kemungkinan lain dapat terjadi disini. Kemungkinan yang sama memang dapat juga terjadi di jalan. Tetapi kudamu adalah kuda yang baik dan tegar, kau tentu akan dapat mencapai pedukuhan terdekat tanpa dapat disusul oleh kuda yang manapun juga, sementara pakaianmu masih lebih pantas dari yang aku pakai meskipun bernoda darah dan koyak di beberapa tempat. Dan kau tentu akan dapat menguasai suasana sehingga saatnya kita melaporkan kepada Ki Gede. —
Glagah Putih termangu-mangu. Namun baginya memang lebih baik duduk dipunggung kuda dan mencapai padukuhan terdekat daripada harus menggali lubang bagi ampat orang atau bahkan membawa mereka ke kuburan.
Karena itu, maka katanya — Baiklah kakang, aku akan pergi ke padukuhan disebelah hutan kecil itu. Jaraknya tidak terlalu jauh. Agaknya dipadukuhan itu terdapat cukup anak-anak muda untuk membantu kita disini. —
— Hati-hatilah. Aku akan menunggu disini. Mudah-
mudahan kita tidak menemui kesulitan — berkata Agung Sedayu.
Demikianlah, Agung Sedayu telah membantu Glagah Putih naik kepunggung kudanya. Kemudian kuda itupun telah berlari meninggalkan tempat itu meskipun tidak terlalu cepat.
Namun pedukuhan itu memang tidak terlalu jauh. Lepas dari pinggir hutan itu, maka Glagah Putihpun telah memasuki padang perdu yang tidak terlalu luas dan pkhir-nya memasuki lingkungan tanah garapan orang-orang padukuhan.
Glagah Putih memang berusaha untuk tidak melintasi jalan yang banyak dilalui orang. Ia memilih jalan pintas yang sempit dan sepi. Namun akhirnya, mendekati padukuhan, Glagah Putih memang harus melalui jalan induk padukuhan itu.
Untunglah bahwa jalan memang sedang sepi. Karena itu, maka dengan diam-diam ia memasuki gerbang padukuhan dan langsung menuju ke banjar.
Beberapa orang pengawal yang berada di banjar memang terkejut. Ketika dengan lemah Glagah Putih turun dari kudanya. Apalagi ketika mereka melihat darah yang mengering dipakaiannya yang koyak.
— Apa yang terjadi Glagah Putih? — bertanya para pengawal yang bertugas hari itu di banjar dengan serta merta.
Glagah Putih mencoba tersenyum. Katanya — Tidak ada apa-apa. Semuanya sudah teratasi. —
— Tetapi pakaianmu dan barangkali kau terluka? — bertanya salah seorang dari anak-anak yang bertugas itu.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Tetapi keadaan tubuhnya memang sudah menjadi lebih baik meski-
pun ia tidak boleh bergerak terlalu kasar, agar darahnya tidak lagi keluar dari lukanya.
Perlahan-lahan Glagah Putih berjalan mendekati anak-anak muda itu sambil berkata — Bukankah aku boleh duduk dahulu? —
— Marilah. Marilah — anak-anak muda itu seakan-akan baru sadar akan keadaan Glagah Putih yang lemah. Seorang diantara mereka telah membantu Glagah Putih dan membawanya duduk di pendapa.
— Dengarlah — berkata Glagah Putih kemudian — tetapi kalian harus bersikap baik. Jangan menimbulkan kegelisahan dan seakan-akan akan terjadi perang di sini. —
Anak-anak muda itu mengangguk. Dengan hati-hati dan seperlunya, Glagah Putih telah memberi tahukan apa yang telah terjadi.
Kemudian katanya — Kami memerlukan bantuan beberapa orang anak muda untuk menguburkan mayat-mayat itu. Tetapi kita harus menjaga suasana yang baik, agar kami sempat memberikan laporan terperinci kepada Ki Gede. Tetapi jika telah terjadi kepadukuhan sebelum kami memberikan laporan, akan dapat menimbulkan salah paham. —
Anak-anak muda di banjar itu mengerti maksud Glagah Putih. Karena itu sambil mengangguk-angguk, pemimpin kelompok anak muda yang bertugas itu berkata — Baiklah. Kami akan menghubungi kawan-kawan kami tanpa isyarat kentongan yang mungkin akan dapat menimbulkan kegelisahan. Kami akan mendatangi mereka seorang demi seorang. —
— Baiklah. Tetapi sekali lagi. Hati-hatilah. Sementara aku menunggu mereka berkumpul, aku dapat beristirahat di sini. Kakang Agung Sedayu saat ini masih berada di-pinggir hutan itu. — berkata Glagah Putih yang masih sem-
pat meminjam sepengadeg pakaian kepada salah seorang anak muda itu, sebagaimana pernah terjadi sebelumnya.
Ternyata bahwa usaha Glagah Putih berhasil. Beberapa orang anak muda telah terkumpul tanpa kesan keributan. Mereka datang ke banjar dengan sikap yang tenang dan tidak menunjukkan kegelisahan.
— Terima kasih — berkata Glagah Putih — kita akan pergi ke sebelah hutan itu. Tetapi kita tidak akan pergi bersama-sama supaya tidak ada kesan yang menggelisahkan. —
Glagah Putihpun kemudian telah memberikan ancar-ancar kemana anak-anak muda itu harus pergi. Sementara itu beberapa orang diantara mereka telah membawa alat-alat untuk menggali tanah.
Dengan tanpa menarik perhatian, anak-anak muda itu-pun kemudian telah pergi ketempat yang ditunjukkan oleh Glagah Putih. Seperti saat ia datang, maka Glagah Putih telah kembali ke hutan itu berkuda meskipun tidak terlalu cepat.
Agung Sedayu yang menunggu rasa-rasanya memang sudah terlalu lama. Namun sambil menunggu ia sudah berhasil mengatasi semua kesulitan didalam dirinya. Rasa sakitnyapun telah berangsur hilang. Namun ia harus mengakui tingkat kemampuan lawan-lawannya yang tinggi sehingga ilmu mereka mampu menembus ilmu kebalnya.
Pada saat Agung Sedayu mulai menjadi gelisah, maka Glagah Putihpun telah kembali.
— Apa kau berhasil? — bertanya Agung Sedayu.
— Ya. Beberapa orang kawan akan datang. Mereka sedang dalam perjalanan — jawab Glagah Putih.
Sebenarnyalah, sejenak kemudian beruntun, beberapa orang anak muda telah sampai ketempat itu. Mereka mem-
bawa alat-alat yang diperlukan sebagaimana diminta oleh Glagah Putih.
— Kami memerlukan pertolongan kalian — berkata Agung Sedayu.
Anak-anak muda yang menyaksikan bekas arena pertempuran itu menjadi berdebar-debar. Mereka juga melihat keadaan Agung Sedayu sebagaimana Glagah Putih yang terluka. Dengan demikian mereka telah membayangkan bahwa pertempuran telah terjadi dengan sengitnya.
Sementara anak-anak muda itu mengumpulkan tubuh-tubuh yang terkapar, maka Agung Sedayu sempat bergumam kepada Glagah Putih — Ternyata mereka berkata sebenarnya. Tidak ada orang lain selain mereka berempat. —
— Ya. Tetapi agaknya mereka terlalu yakin akan kemampuan mereka. — berkata Glagah Putih.
— Tetapi ilmu mereka memang luar biasa — berkata Agung Sedayu.
— Agaknya orang-orang Madiun telah memilih orang yang paling baik untuk menghadapi kakang, karena mereka telah mendapat keterangan yang lengkap tentang kakang. Dua orang yang lain adalah mereka yang masih pada tataran yang lebih rendah — berkata Glagah Putih. Lalu — Agaknya jika dua orang yang melawan kakang itu memilih aku sebagai lawannya, mungkin aku tidak akan sempat keluar dari hutan. —
Agung Sedayu menggeleng. Katanya — Tidak Glagah Putih. Jika kau terdesak oleh lawan-lawanmu, karena kau terlalu terikat oleh pesanku agar kau menangkap lawanmu hidup-hidup. Jika kau tidak aku bebani dengan pesan itu, mungkin kau tidak terluka karenanya. —
— Tidak kakang — berkata Glagah Putih — ternyata ilmuku masih jauh dari mapan. —
Agung Sedayu tertawa. Katanya — Ada baiknya kau berpikir seperti itu. —
Namun dalam pada itu, seorang anak muda telah bertanya — bukankah hanya tiga orang yang terbunuh disini? —
Agung Sedayulah yang menjawab — Ya. Seorang terbunuh didalam hutan. Marilah, kita mengambilnya. —
— Biar aku saja kakang — berkata Glagah Putih.
— Beristirahatlah — sahut Agung Sedayu — kau masih belum dibenarkan terlalu banyak bergerak. —
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Agung Sedayu diikuti oleh beberapa orang anak muda telah masuk kedalam hutan. Memang tidak terlalu dalam. Namun Agung Sedayupun segera menemukan sesosok tubuh yang terbaring diam. Tanda-tanda racun yang bekerja ditubuhnya nampak pada kulitnya dengan noda-noda kebiruan.
Sejenak kemudian, maka ampat sosok tubuh telah dikumpulkan. Namun kuburan berada ditempat yang terlalu jauh dari hutan itu. Karena itu, maka mereka bersepakat untuk membuat kuburan baru ditepi hutan itu.
— Kita akan memberinya pertanda — berkata Agung Sedayu yang siap menguburkan keempat sosok tubuh itu. Namun sebelumnya ia berkata — Kita akan menelitinya sekali lagi. Apakah ada ciri-ciri yang dapat dikenali pada sosok-sosok mayat itu. —
Anak-anak muda itupun berusaha untuk melihat dengan teliti. Namun pertanda yang mereka perlukan itu sama sekali tidak ada. Bahkan Agung Sedayu sendiri dan Glagah Putihpun tidak menemukan apa-apa pada sosok-sosok mayat itu. Pada ikat pinggangnya, timang dan bahkan ikat kepalanya. Yang diketemukan adalah sisa-sisa senjata yang telah mereka pergunakan. Lingkaran-lingkaran kecil bergerigi tajam.
Agung Sedayu telah mengambil dan membawa dua buah senjata itu. Mungkin hal itu akan dapat memberikan
petunjuk kelak. Ia akan dapat berbicara dengan Ki Jayara-ga dan Ki Gede.
Demikianlah, setelah semuanya siap, maka keempat sosok tubuh itupun telah diturunkan kedalam lubang-lubang kubur. Demikian kubur itu ditutup, maka merekapun telah memberikan pertanda, sehingga apabila diperlukan, mereka akan segera dapat menemukannya. Agung Sedayupun telah minta anak-anak muda itu mengingat-ingat ujud dari orang-orang yang telah dikuburkan itu, sehingga mereka akan dapat menyebut ujud-ujud serta ciri-ciri dari yang terkubur itu masing-masing meskipun tanpa dapat menyebut nama mereka.
Baru kemudian setelah selesai seluruhnya, serta dengan pakaian pinjaman, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih bersama-sama dengan anak-anak muda yang membantu mereka, meninggalkan tempat itu. Namun Agung Sedayu dan Glagah Putih masih berpesan, agar untuk sementara mereka tidak membuat kesan yang dapat menimbulkan kegelisahan.
— Kami akan berbicara dengan Ki Gede — berkata Agung Sedayu.
— Silahkan — jawab salah seorang anak itu — namun pada saatnya kami memerlukan keterangan yang mapan, sehingga kami sendiri tidak menjadi gelisah karenanya. —
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Jawabnya — Aku atau Glagah Putih akan segera menemui kalian. Tolong, rawat kuda-kuda dari keempat orang yang terbunuh itu.
Demikianlah, maka merekapun kemudian telah terpisah. Agung Sedayu dan Glagah Putih tidak singgah lagi di padukuhan itu. Tetapi mereka akan langsung melaporkan persoalannya kepada Ki Gede. Bagaimanapun juga, Tanah Perdikan Menoreh menjadi salah satu sasaran dari sekelompok orang yang berada di Madiun, yang menginginkan Mataram menjadi lemah.
Seperti yang dikatakan kepada anak-anak muda itu, Agung Sedayu dan Glagah Putih yang lemah memang langsung menghadap Ki Gede yang kebetulan memang tidak sedang bepergian, melihat-lihat Tanah Perdikannya.
Ki Gede mendengarkan laporan Agung Sedayu dan Glagah Putih dengan sungguh-sungguh. Karena apa yang terjadi itu merupakan bagian dari usaha-usaha lain yang mengancam Tanah Perdikan Menoreh. Karena Tanah Per-dikan itu telah meletakkan dirinya disisi Mataram, maka mau tidak mau Tanah Perdikan Menoreh, akan langsung terlibat jika benar-benar terjadi pertentangan dan benturan kekerasan dengan Madiun.
Namun dalam persoalan antara Mataram dan Madiun Agung Sedayu berkata — Panembahan Senapati dan Panembahan Madiun telah bersepakat untuk bertemu dan berbicara dengan terbuka. —
Tetapi ketajaman penglihatan Ki Gede dalam persoalan itu telah membuatnya berhati-hati sekali. Dengan nada rendah ia berkata — Memang mungkin sekali bahwa keduanya baik Panembahan Madiun maupun Panembahan Senapati berniat untuk menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi dengan pembicaraan yang terbuka. Namun dibelakang Panembahan Madiun mungkin ada orang-orang yang tidak mau melihat pembicaraan itu berhasil. Bahkan secara jujur kita harus mengatakan, bahwa mungkin di Mataram juga ada orang-orang yang terlalu ingin menyelesaikan persoalan dengan kekerasan. Perang yang dikutuk oleh sebagian besar umat manusia itu agaknya memang dapat menimbulkan keberuntungan kepada beberapa pihak tertentu. Mungkin perang itu sendiri, mungkin akibat dari peperangan itu.
Agung Sedayu dan Glagah Putih mengangguk-angguk. Agaknya memang demikian yang telah terjadi.- Sehingga dengan demikian maka pertemuan antara panembahan Senapati dan Panembahan Madiun itu akan sangat penting artinya.
Sementara itu, setelah memberikan laporan selengkapnya, maka Agung Sedayupun mohon ijin untuk kembali bersama Glagah Putih. Sementara itu Ki Gedepun telah merencanakan untuk bertemu dengan para pemimpin Tanah Perdikan Menoreh dan para pamong di padukuhan-padukuhan.
— Sebaiknya mereka mengetahui persoalannya berkata Ki Gede — setiap kali telah terjadi peristiwa-peristiwa yang mendebarkan dan bahkan mengejutkan di Tanah Perdikan ini. Untuk menghindari kegelisahan yang tidak pada tempatnya, maka persoalan ini memang harus segera dijelaskan. —
— Kami sependapat Ki Gede — Jawab Agung Sedayu — agaknya hal itu memang perlu. —
— Besok pagi kita akan bertemu. Kau sempat beristirahat. Aku minta kau menjelaskan persoalannya — berkata Ki Gede.
— Baik Ki Gede. — jawab Agung Sedayu — besok pagi, disaat matahari naik, aku sudah berada disini.
Demikianlah maka Agung Sedayu dan Glagah Putihpun telah mohon diri. Sementara itu, Ki Gedepun telah memerintahkan para pengawal untuk memanggil para pemimpin, para bebahu dan para pamong di padukuhan-padukuhan untuk bertemu besok pagi di rumah Ki Gede untuk mendengarkan penjelasan tentang peristiwa yang telah terjadi di Tanah Perdikan, namun juga persoalan yang berkembang di Mataram
Ki Bekelpun ternyata telah mengundang pula satu atau dua orang pemimpin dari pasukan khusus Mataram yang berada di Tanah Perdikan.
Ketika Agung Sedayu dan Glagah Putih sampai diru-mahnya, maka Sekar Mirahpun terkejut melihat keadaan mereka. Terutama Glagah Putih yang masih belum pulih kembali. Wajahnya masih kelihatan pucat, meskipun tenaganya sebagian telah kembali.
— Apa yang telah terjadi? — bertanya Sekar Mirah. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Kiai Jaya-
raga yang kemudian datang pula menyongsong mereka, telah melihat dengan cemas keadaan Glagah Putih.
— Ia sudah berangsur baik — berkata Agung Sedayu — tetapi anak itu memang perlu beristirahat. —
Demikianlah, maka ketika mereka sudah duduk di ruang dalam, sementara Sekar Mirah telah menghidangkan minuman hangat dan beberapa potong makanan, Agung Sedayupun mulai menceriterakan apa yang telah terjadi.
— Kami sudah melaporkan kepada Ki Gede — berkata Agung Sedayu — besok akan ada pertemuan dengan para pemimpin, para bebahu dan para pamong di padukuhan-padukuhan. Mereka harus mengerti persoalannya dengan jelas. —
— Persoalan antara Mataram dan Madiun? — bertanya Ki Jayaraga.
— Ya. Tetapi sudah barang tentu tidak seluruhnya — jawab Agung Sedayu — hanya yang penting-penting sajalah yang akan diberitahu kepada mereka. —
Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia berkata — Memang tidak seluruhnya dapat diberitahukan kepada para bebahu, para pamong di padukuhan serta para pemimpin kelompok pengawal. Tetapi mereka memang perlu mengerti apa yang sedang mereka hadapi. — Ki Jayaraga berhenti sejenak, lalu — Tetapi yang menarik adalah satu usaha untuk membunuh diri dari satu kelompok murid sebuah perguruan. Sebagaimana kau ceriterakan, bahwa sikap ke empat orang itu tentu bukan sikap pribadi. Sikap itu tentu sikap perguruan mereka. —
— Ya. Sikap itu tentu sikap perguruan mereka. Pemimpin perguruan merekalah yang agaknya telah memerintahkan mereka untuk melakukan hal itu. — berkata Agung Sedayu — bahkan murid-murid mereka yang terbaik. Agak-
nya keempat orang itu termasuk orang-orang terbaik di perguruan mereka. Itupun harus melakukan bunuh diri untuk menghilangkan jejak. —
— Tetapi sikap itu sendiri merupakan jejak sebuah perguruan, — berkata Ki Jayaraga — orang-orang yang mati itu memang tidak dapat lagi menjawab pertanyaan apapun. Tetapi cara mati yang mereka pilih itulah yang akan berbicara. —
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya — Kau benar Ki Jayaraga. Kita memang menemukan satu jalur jejak yang dapat kita telusuri. Bunuh diri itu sebagai satu sikap sebuah perguruan merupakan jejak untuk mengenali mereka lebih jauh. Mungkin seseorang pernah mengenal sebuah perguruan yang mempunyai ciri seperti itu. —
— Kita akan berusaha — berkata Ki Jayaraga — Jika kita mendapat kesempatan dan waktu, maka kita akan dapat menemukan padepokan itu. Kita akan dapat memperlakukannya sebagaimana padepokan Nagaraga. —
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya — Kita akan melaporkannya pula ke Mataram. Tetapi kita tidak dapat menentukan waktunya. —
Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Namun setiap kali ia tentu akan kecewa, karena ia akan terlalu sulit untuk mendapat kesempatan ikut dalam tugas yang dilakukan oleh Agung Sedayu.
Demikianlah maka Sekar Mirahpun kemudian telah mempersilahkan Agung Sedayu dan Glagah Putih untuk membersihkan diri dan beristirahat secukupnya. Besok pagi mereka akan berbicara dengan para pemimpin di Tanah Perdikan Menoreh.
Ketika Glagah Putih berada di butulan, setelah ia pergi ke pakiwan, maka pembantu di rumah Agung Sedayu itu bertanya — Kenapa kau sebenarnya? —
— Jatuh dari kuda — jawab Glagah Putih.
— Nah, kau rasakan. Karena itu jangan terlalu sombong dengan kudamu yang tegar itu. Sekali-sekali kau memang pantas dilemparkan untuk memperingatkanmu, — berkata anak itu.
Glagah Putih tertawa kecil. Katanya — Aku pukul kuda itu dengan sepotong kayu. —
Kau pukul? — bertanya anak itu.
— Ya — jawab Glagah Putih.
— Kau telah membuat kudamu semakin marah kepadamu. Kudamu itu tentu membencimu. Lain kali kau tentu akan dilemparkannya sekali lagi — berkata anak itu.
— Aku sudah minta maaf. — berkata Glagah Putih.
— Minta maaf kepada siapa? — bertanya anak itu.
— Kepada kudaku — jawab Glagah Putih sambil tertawa pula.
— Kau kira kudamu mengerti? — anak itu bersungut.
— Mudah-mudahan — berkata Glagah Putih sambil melangkah masuk.
— Tunggu — berkata anak itu pula — apakah kau nanti malam akan turun. —
Ke sungai maksudmu? — bertanya Glagah Putih.
— Ya — jawab anak itu.
Tentu tidak. Kau tahu, badanku baru sakit. Kau lihat luka-lukaku ini? Aku telah jatuh diatas batu-batu padas yang runcing — jawab Glagah Putih.
— Kau terlalu cengeng — berkata anak itu pula — laki-laki tidak boleh cengeng. Luka itu tidak seberapa. Seharus-nyakau tidak mengeluh karena luka itu. —
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya — Apakah kau ingin mencoba jatuh dari punggung kuda diatas batu-batu padas? —
— Jangan mencari kawan. Jatuhlah sendiri — berkata anak itu sambil melangkah pergi.
Glagah Putih memandang anak itu sambil mengangguk-angguk kecil. Katanya kepada diri sendiri — Ternyata ia adalah anak yang tekun. Seumurnya sudah tidak banyak lagi yang turun meskipun masih ada satu dua. Anak-anak yang lebih mudalah yang menggantikannya. — Glagah Putih mengangguk-angguk, lalu katanya selanjutnya didalam hatinya — sebaiknya keinginannya dipenuhi. Ia ingin serba sedikit memiliki kemampuan setidak-tidaknya untuk melindungi dirinya sendiri. —
Malam itu, Glagah Putih benar-benar beristirahat. Ia tidur hampir semalam suntuk. Ia benar-benar ingin memulihkan kekuatan wadagnya yang menjadi lemah karena darahnya yang banyak mengalir dari luka-lukanya.
Disamping obat dan reramuan yang diminumnya, maka beristirahat sebaik-baiknya akan cepat menolongnya.
Namun Agung Sedayulah yang tidak segera pergi tidur. Ia masih berbincang dengan Ki Jayaraga dan Sekar Mirah tentang kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi.
— Tetapi niat baik dari kedua belah pihak untuk bertemu itu sudah merupakan pertanda baik — berkata Ki Jayaraga.
— Namun ternyata terlalu banyak pihak yang tidak ingin melihat perdamaian antara Mataram dan Madiun. Tentu bukan hanya orang-orang Madiun yang ingin mengambil keuntungan dari kekisruhan yang terjadi. Tetapi juga orang Mataram — berkata Agung Sedayu.
Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Memang banyak pihak yang akan dapat mengambil keuntungan dari setiap kekisruhan yang terjadi. Bahwa kesempatan bagi orang-orang yang ingin mengacaukan Mataram telah mendapat dukungan dari orang-orang Mataram sendiri adalah satu
pertanda. Bahkan tidak mustahil bahwa orang-orang itu bukan sekedar orang-orang kebanyakan. Tetapi mungkin juga orang-orang yang memiliki wewenang didalam istana Mataram.
Namun akhirnya Agung Sedayu, Ki Jayaraga dan Sekar Mirah sependapat, bahwa Tanah Perdikan Menoreh sebagai salah satu landasan kekuatan Mataram harus lebih berhati-hati menghadapi usaha-usaha yang akan dapat menodai nama Tanah Perdikan mereka.
— Besok hal itu akan aku singgung — berkata Agung Sedayu — justru besok diharap akan hadir pula pemimpin atau siapapun yang ditugaskan, dari pasukan khusus Mataram yang ada di Tanah Perdikan ini. —
Namun tiba-tiba saja Ki Jayaraga berkata hampir kepada diri sendiri — Bagaimana dengan daerah-daerah lain yang juga menjadi, landasan kekuatan Mataram? Bagaimana pula dengan Jati Anom dan Sangkal Putung? Pajang justru sedang dalam kekosongan. Selama ini Pajang merupakan penyekat yang baik tetapi sekaligus penghubung yang baik antara Mataram dan Madiun. Namun kini Pangeran Benawa sudah tidak ada.
— Panembahan Senapati telah memperhitungkannya. Bahwa agaknya telah dipersiapkan pula pengganti Pangeran-Benawa, karena Pajang memang tidak boleh terlalu lama kosong, — berkata Agung Sedayu.
— Hubungan baik antara Mataram dan Madiun sebagian juga tergantung siapakah yang akan duduk sebagai pemimpin di Pajang. Jika yang ditunjuk oleh Panembahan Senapati tidak disetujui Panembahan Madiun, maka akibatnya akan semakin mengaburkan hubungan antara Mataram dan Madiun — berkata Ki Jayaraga.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya — Rasa-rasanya ada keinginan untuk bertemu dengan Swandaru khusus dalam persoalan ini. Kiai Gringsing dan Sabungsari
tentu sudah menemuinya. Mungkin Guru telah memanggil adi Swandaru untuk datang ke padepokan kecilnya.
Tetapi mungkin pula Guru singgah di Sangkal Putung langsung dari Mataram pada waktu itu. —
— Ada juga baiknya kita pergi ke Sangkal Putung — tiba-tiba saja Sekar Mirah menyahut.
Ki Jayaraga tersenyum. Katanya — Tentu ada kerinduan atas kampung halaman. Tetapi dengan demikian aku akan menjadi penunggu rumah lagi. —
Sekar Mirahpun tertawa. Tetapi katanya — Sudah lama sekali aku tidak berkunjung ke Sangkal Putung.
Ki Jayaraga yang juga tersenyum, mengangguk-angguk pula. Katanya — Tetapi kita ingin mendengar, siapakah yang akan dipilih oleh Agung Sedayu untuk menemaninya ke Sangkal Putung kelak. —
Namun Agung Sedayu menjawab sambil tertawa — Bukankah belum pasti kapan aku akan berangkat. Jika Ki Gede memandang Tanah Perdikan ini untuk sementara tidak boleh aku tinggalkan, maka akupun tidak akan pergi. —
Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya dengan nada datar — Baiklah. Aku akan menunggu. —
Ternyata mereka sempat berbicara sampai jauh malam. Namun akhirnya Ki Jayaraga berkata — Bukankah kau juga perlu beristirahat? Beristirahatlah. Meskipun kau tidak terluka seperti Glagah Putih, tetapi kau tentu juga merasa letih karena kau harus berhadapan dengan dua orang berilmu tinggi. Namun seandainya kau mempergunakan ilmumu memecah diri dengan ujud lebih dari satu, kau tidak akan dapat disentuh oleh serangannya yang mengandung panasnya api. —
— Bagaimana jika keduanya memiliki kemampuan
untuk melihat ujud yang sejati? — bertanya Agung Sedayu.
— Jarang sekali. Bahkan hampir tidak ada yang dapat melakukannya. Namun diantara yang mungkin tidak ada itu, agaknya akan ada juga — berkata Ki Jayaraga.
— Ternyata Yang Maha Agung telah melindungi aku — berkata Agung Sedayu.
Demikianlah, maka akhirnya pembicaraan itu berakhir juga. Agung Sedayu memang merasa letih dan ingin beristirahat. Tugas-tugas yang lain masih menunggunya.
Pagi-pagi benar, Agung Sedayu dan Glagah Putih telah bersiap, sementara Sekar Mirah sibuk menyiapkan makan pagi mereka. Tetapi Sekar Mirah tidak perlu bersusah payah mencari lauk bagi mereka, karena pembantunya semalam telah mendapat ikan cukup banyak dari pliridannya di pinggir sungai.
— Kau memang luar biasa — berkata Glagah Putih memuji anak itu.
— Kau kira tanpa kau, aku tidak dapat menangkap ikan? — jawab anak itu.
— Ah sombongnya kau — desis Glagah Putih.
— Kau dapat melihat buktinya — jawab anak itu pula. Glagah Putih hanya tersenyum saja. Namun iapun
kemudian telah dipanggil masuk. Bersama-sama Agung Sedayu dan Ki Jayaraga ia dipersilahkan untuk makan pagi.
Sejenak kemudian maka merekapun telah berada di-rumah Ki Gede. Mereka telah datang mendahului para pemimpin Tanah Perdikan yang diundang oleh Ki Gede.
Dengan demikian maka mereka sempat berbicara lebih dahulu tentang yang manakah yang sebaiknya mereka beri-tahukan kepada para pemimpin dan yang manakah yang masih harus mereka simpan lebih dahulu, agar Tanah Perdikan itu tidak menjadi gelisah dan dibayangi oleh kecemasan, seolah-olah perang sudah berada diambang pintu.
Demikianlah maka pada saatnya, para pemimpin Tanah Perdikan Menoreh telah mulai berdatangan. Memang nampak kegelisahan membayang diwajah mereka. Peristiwa demi peristiwa yang terjadi, baik di Tanah Perdikan itu sendiri, maupun yang terjadi di Mataram dan sekitarnya, memang dapat menimbulkan kecemasan dihati orang-orang Tanah Perdikan itu.
Karena itu, penjelasan memang penting bagi mereka, sehingga para pemimpin itu akan dapat melihat keadaan yang sewajarnya sedang mereka hadapi.
Setelah mereka yang diundang itu berkumpul, mulailah Ki Gede membuka pertemuan itu. Dengan sedikit pengantar Ki Gede kemudian mempersilahkan Agung Sedayu untuk menjelaskan keadaan Tanah Perdikan Menoreh yang pada saat itu menghadapi kemelut yang terjadi antara Mataram dan Madiun.
— Yang harus kita ketahui, justru adanya orang yang dari kedua belah pihak yang ingin memanfaatkan pertentangan yang timbul itu bagi diri mereka sendiri. Kesalah pahaman antara Mataram dan Madiun memang perlu dipecahkan. Kedua pemimpin dari kedua belah pihak telah berniat untuk melakukannya. — berkata Agung Sedayu kemudian setelah memberikan beberapa keterangan tentang hubungan kedua Panembahan itu — Tetapi satu hal yang penting bagi kita, bahwa kita telah mengakui Panembahan Senapati sebagai pemimpin tunggal dari Tanah ini. Meskipun kita menghormati Panembahan Madiun sebagaimana wajarnya kita menghormati seorang pemimpin, namun kedudukan antara Panembahan Madiun dan Panembahan Senapati berada pada tataran yang berbeda. —
Para pemimpin Tanah Perdikan Menoreh itu mengangguk-angguk. Sementara Agung Sedayau berkata selanjutnya — Perbedaan tataran itu kita akui sebagaimana kita menyadari akan tataran kedudukan Tanah Perdikan ini dihadapan Mataram. —
Dengan demikian maka para pemimpin Tanah Perdikan Menoreh itupun melihat semakin jelas apa yang sedang berkecamuk di antara Mataram dan Madiun. Namun mere-kapun semakin kukuh berdiri diatas keyakinan mereka tentang hubungan antara Tanah Perdikan Menoreh, Mataram dan Madiun. Merekapun semaakin mengerti, dimana mereka harus berdiri.
— Karena itu, maka kita harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya menghadapi segala kemungkinan yang bakal datang. Agal atau alus. Kasar atau lembut. Namun kita semua berharap, mudah-mudahan Panembahan Senapati dan Panembahan Madiun dapat memecahkan persoalan yang ada diantara mereka — berkata Agung Sedayu.
Para pemimpin itu, termasuk pemimpin pasukan khusus Mataram di Tanah Perdikan Menoreh, telah mengerti dengan jelas. Namun sebagaimana diharapkan oleh Agung Sedayu, maka mereka harus bekerja dengan tenang dan tidak menumbuhkan kegelisahan.
— Peningkatan latihan-latihan keprajuritan adalah wajar — berkata Agung Sedayu — namun kita belum memasuki suasana perang. —
Para pemimpin Tanah Perdikan itu mengangguk-angguk.
Ketika keterangan Agung Sedayu itu selesai, ditambah oleh beberapa pesan Ki Gede sendiri, maka beberapa orang telah mengajukan pertanyaan, langkah-langkah yang manakah yang sebaiknya mereka ambil secepatnya.
— Kita mempersiapkan diri sebaik-baiknya — jawab Agung Sedayu — tetapi tidak dengan tergesa-gesa dan mungkin menimbulkan keresahan. Kewaspadaan atas orang-orang yang tidak kita kenal dan tidak cepat percaya kepada berita apapun, lebih-lebih yang dapat menimbulkan perpecahan diantara kita. Kita dengan diam-diam harus mengamati setiap gejolak yang timbul diantara kita dan
sikap yang asing, yang mungkin merupakan pantulan pengaruh dari luar. —
Para pemimpin itu menjadi semakin jelas akan tugas yang mereka hadapi. Satu kerja keras namun yang tidak menimbulkan keresahan dan tidak menarik perhatian.
Demikianlah, maka dihari berikutnya ternyata semuanya sudah mulai sibuk di Tanah Perdikan dan di barak para prajurit dari Pasukan Khusus dari Mataram.
Mereka mulai menyusun kelompok-kelompok yang akan mulai dengan latihan-latihan yang berat. Namun merekapun telah menyusun kelompok peronda yang lebih luas meliputi seluruh Tanah Perdikan dan berada dibawah satu pimpinan bersama antara pimpinan pengawal Tanah Perdikan dengan Pimpinan Pasukan Khusus Mataram yang berada di Tanah Perdikan.
Mereka telah menyusun pula isyarat-isyarat sandi jika benar-benar terjadi sesuatu di Tanah Perdikan. Kedua belah pihak telah menemukan batas-batas tugas mereka masing-masing, sehingga tidak akan timbul kesalah pahaman di-antara mereka.
Ketika latihan-latihan dihari-hari berikutnya benar-benar diselenggarakan, memang timbul pula pertanyaan. Namun para pemimpin selalu mengatakan, bahwa latihan-latihan itu tidak lebih dari usaha peningkatan kemampuan dan sekedar berjaga-jaga.
Dalam pada itu, agaknya pikiran yang timbul pada Agung Sedayu untuk melihat keadaan gurunya serta perkembangan yang timbul di Sangkal Putung menjadi semakin besar. Bahkan pada satu saat Agung Sedayu telah membicarakannya dengan Sekar Mirah dan Glagah Putih, sekaligus untuk melihat keluarga masing-masing yang telah lama, tidak mereka lihat.
Sementara itu, maka Ki Jayaraga telah mereka minta untuk tinggal di Tanah Perdikan sementara mereka pergi.
— Aku sudah menduga — berkata Ki Jayaraga. Agung Sedayu tersenyum sambil berkata — Lain kali
kita akan pergi. Tugas mendatang masih panjang. —
Ki Jayaraga tertawa pula.
— Kami akan mohon ijin kepada Ki Gede. Agaknya kami akan singgah pula di Mataram, memberikan laporan tentang ampat orang yang terbunuh itu, serta mungkin ada pesan yang harus kami bawa bagi Untara — Berkata Agung Sedayu.
Ki Jayaraga hanya mengangguk-angguk saja. Meskipun sekali-sekali ia ingin ikut berbuat sesuatu, namun iapun menyadari bahwa Tanah Perdikan yang menjadi salah satu sasaran dari usaha sekelompok orang dari daerah Madiun yang ingin memotong dahan-dahannya lebih dahulu sebelum menebang pohonnya, Mataram, memang perlu mendapat perhatian.
Karena itu, maka jika ia berada di Tanah Perdikan Menoreh, bukan berarti bahwa ia tidak berbuat apa-apa bagi Mataram bersama dengan Ki Gede dan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh.
Namun iapun menyadari, bahwa pengembaraan yang pernah dilakukannya kadang-kadang memang menimbulkan kerinduan.
Dalam pada itu, di Tanah Perdikan Menoreh memang telah berlangsung latihan-latihan bagi para pengawal melampaui latihan-latihan yang biasa mereka lakukan. Mereka kembali memasuki masa kesiagaan yang berat. Bukan saja latihan-latihan di lereng bukit dan di hutan-hutan. Tetapi juga pengawasan yang semakin cermat atas seluruh daerah Tanah Perdikan Menoreh.
Bahkan anak-anak muda yang bukan pengawalpun telah melakukan latihan-latihan. Mereka memperdalam cara menggunakan senjata dan bahkan juga latihan-latihan ketahanan tubuh. Hampir setiap pagi, menjelang matahari
terbit, dilereng-lereng bukit, anak-anak muda berkumpul setelah berlari-larian menyusuri jalan-jalan bulak persawahan. Beberapa saat mereka mendapat latihan menggunakan senjata sesuai dengan minat masing-masing. Sekelompok anak-anak muda berlatih menggunakan tombak. Sekelompok yang lain pedang dan yang lain lagi mempergunakan senjata rangkap. Bahkan ada diantara mereka yang merangkapi kemampuan bermain senjata dengan ketram-pilan melontarkan senjata-senjata kecil. Pisau belati kecil, paser dan senjata semacamnya.
Bahkan ada beberapa orang yang ingin juga mampu mempergunakan senjata sebagaimana digunakan oleh Agung Sedayu. Cambuk.
Para pengawal yang memiliki kemampuan yang lebih baikpun telah melengkapi bekal mereka sebagaimana seorang prajurit. Sehingga dengan demikian maka para pengawal Tanah Perdikan Menoreh memiliki kemampuan tidak kurang dari prajurit Mataram dan sudah tentu juga prajurit Madiun.
Bergantian, kelompok-kelompok pengawal dan anak-anak muda Tanah Perdikan telah mengadakan latihan khusus di daerah pebukitan dan hutan-hutan yang masih pepat untuk waktu tertentu. Setiap kelompok direncanakan akan mempergunakan waktu setengah bulan tanpa meninggalkan lingkungan latihan mereka. Mereka akan membuat gubug-gubug kecil yang akan mereka pergunakan untuk melindungi diri dari panas maupun hujan yang bagaimanapun lebatnya.
Sebelum Agung Sedayu dan Glagah Putih meninggalkan Tanah Perdikan, maka bersama dengan Sekar Mirah dan Ki Jayaraga, mereka langsung turun memberikan latihan-latihan kepada para pengawal dan anak-anak muda Tanah Perdikan. Ki Gede, sendiri yang menjadi semakin tua telah mempercayakan kepemimpinan para pengawal dan anak-anak muda Tanah Perdikan kepada angkatan yang
lebih muda. Apalagi Agung Sedayu dan Glagah Putih memang diketahuinya memiliki kemampuan yang tinggi.
Namun pada suatu saat, Agung Sedayu memang menghadap Ki Gede untuk minta ijin meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh barang satu dua pekan. Bersama dengan Sekar Mirah dan Glagah Putih, ia ingin mengunjungi Jati Anom dan Sangkal Putung.
Ki Gede memang dapat mengerti, bahwa Glagah Putih ingin menengok orang tuanya sebagaimana Sekar Mirah. Sementara itu Agung Sedayu tentu ingin juga bertemu dengan kakaknya dan gurunya.
— Tetapi bukankah Ki Jayaraga masih tetap tinggal? — bertanya Ki Gede.
— Ya Ki Gede. Ki Jayaraga akan berada di Tanah Perdikan ini. Ki Jayaraga akan dapat membantu Ki Gede jika diperlukan — jawab Agung Sedayu.
— Apakah Glagah Putih telah sembuh sama sekali? — bertanya Ki Gede pula.
— Sudah Ki Gede, Glagah Putih telah dapat ikut dalam latihan-latihan yang diadakan di Tanah Perdikan — berkata Agung Sedayu. Lalu — Sementara itu, para pelatih di barak prajaurit dari Pasukan Khusus Mataram yang berada di Tanah Perdikan telah bersedia memberikan latihan-latihan khusus pula kepada para pengawal dan anak-anak muda di Tanah Perdikan ini, disamping kesediaan mereka untuk ikut menjaga ketenangannya. —
Ki Gede mengangguk-angguk. Kesediaan para prajurit dari Pasukan Khusus itu akan membantu tugas anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh.
Karena itu, maka Ki Gedepun kemudian menyatakan bahwa ia tidak berkeberatan untuk mengijinkan Agung Sedayu pergi. Tetapi dengan pesan. — Kalian harus segera kembali. Keadaan dapat berubah dengan cepat sekali. —
Jika ada tanda-tanda perkembangan keadaan itu Ki Gede, kami akan segera kembali. Perjalanan dari Sangkal Putung ke Tanah Perdikan ini tidak akan makan waktu terlalu panjang. — berkata Agung Sedayu.
Demikianlah, maka dihari yang sudah ditentukan, pagi-pagi benar Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih telah bersiap. Jika mereka berangkat, maka mereka masih akan singgah dirumah Ki Gede untuk minta diri.
— Kau akan pergi lagi? — bertanya pembantu dirumah Agung Sedayu.
Glagah Putih tersenyum. Katanya — Aku akan menengok ayahku. —
Anak itu mengangguk-angguk. lapun kemudian bertanya — Berapa hari kau akan pergi? —
— Tidak lama. Satu atau dua pekan — jawab Glagah Putih.
— Satu atau dua pekan menurut hitunganmu adalah seratus hari — desis anak itu.
Glagah Putih tertawa. Ditepuknya bahu anak itu sambil berdesis — Kau tahu, bahwa sekarang aku pergi bersama kakang Agung Sedayu dan mbokayu Sekar Mirah. Jadi bukan akulah yang menentukan kapan aku akan kembali. —
Anak itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya — Semakin lama kau pergi semakin baik. Tidak ada yang mengurangi hasil ikanku setiap hari. —
— Kau masih suka merajuk. Kau sudah remaja sekarang. Bahkan sebentar lagi kau akan meningkat menjadi anak muda yang perkasa. Sejak sekarang kau harus menabah sikapmu — berkata Glagah Putih sambil tertawa pula.
Anak itu tidak menjawab lagi. Tetapi bersama Ki Jayaraga ia berdiri diregol ketika Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih meloncat kepunggung kuda diluar halaman.
Anak itu sempat melambaikan tangannya. Glagah Putih yang membalasnya sambil berkata — Hati-hati jika kau turun dikali. Jangan sampai keliru menangkap ular. —
Anak itu mengangguk. Namun ketika orang itu menjadi semakin jauh, Ki Jayaraga menggamit anak itu sambil berkata — Kita tinggal berdua. Nanti malam aku ikut kau turun ke sungai. —
— Ki Jayaraga? — bertanya anak itu hampir tidak percaya.
— Ya. Kenapa? Dimasa remajaku, aku adalah pencari ikan yang ulung. Pernah sekelompok anak-anak muda yang sebaya kakakku berlomba mencari ikan. Aku yang paling muda diantara mereka, ternyata memenangkan lomba itu, — jawab Ki Jayaraga.
Anak itu mengangguk-angguk. Katanya — Baiklah, Malam nanti aku akan memberitahukan kepada Ki Jayaraga jika aku akan turun. —
Ki Jayaraga tersenyum sambil menepuk pundak anak itu. Lalu katanya — Sekarang kau rebus air. Aku akan mengisi jambangan pakiwan. —
Anak itu mengangguk. Iapun kemudian melangkah melintasi halaman langsung ke pintu dapur.
Ki Jayaraga masih berdiri di regol sejenak. Hari masih terlalu pagi. Tetapi jika Agung Sedayu tidak ada, maka biasanya ia pergi ke rumah Ki Gede. Mungkin ada sesuatu yang penting untuk dibicarakan. Meskipun umurnya dengan Ki Gede sebaya, tetapi cacat dikaki Ki Gede yang agaknya sulit untuk sembuh sama sekali, membuat Ki Gede tidak terlalu sering keluar rumah. Meskipun bukan berarti bahwa Ki Gede tidak pernah mendatangi padukuhan-padu-kuhan yang berada di dalam lingkungan Tanah Perdikan.
Ketika Ki Jayaraga berjalan ke pendapa, maka Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih telah mendekati regol halaman rumah Ki Gede. Sejenak kemudian, mereka-
pun telah memasuki regol dan dengan demikian maka me-rekapun turun dari kuda mereka.
Agaknya Ki Gedepun telah bangun pula dan duduk menghadapi minuman panas diruang dalam. Ketika seorang pengawal memberitahukan kedatangan Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih, maka Ki Gedepun telah menerima mereka diruang itu pula.
— Kalian jadi akan berangkat hari ini? — bertanya Ki Gede.
— Ya Ki Gede — jawab Agung Sedayu — selagi suasana terasa tenang. —
— Disini. Kita tidak tahu apa yang terjadi di daerah-daerah lain disekitar Mataram. Termasuk pendukung-pendukung kuatnya. Bahkan mungkin Pati sudah dijamah pula oleh orang-orang Madiun yang tidak menginginkan ketenangan itu. — sahut Ki Gede.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Lalu katanya pula — Kami akan singgah barang sebentar-di Mataram untuk menyampaikan laporan apa yang telah terjadi disini, di Tanah Perdikan Menoreh. —
Ki Gede termangu-mangu sejenak, lalu katanya — Sebaiknya juga kau laporkan kesiagaan bersama antara Tanah Perdikan ini dengan Pasukan Khusus Mataram disini.
— Ya Ki Gede — jawab Agung Sedayu — mudah-mudahan
Panembahan Senapati mendapat gambaran yang utuh tentang perkembangan keadaan di Tanah Perdikan ini. —
— Baktiku kepada Panembahan Senapati — berkata Ki Gede kemudian — serta salamku kepada keluarga di Jati Anom dan Sangkal Putung. Aku berharap bahwa kalian tidak terlalu lama. Sepekan agaknya sudah cukup untuk melepaskan rindu kalian atas keluarga Jati Anom dan Sangkal Putung. —
Agung Sedayu mengangguk hormat. Katanya — Kami memang berharap untuk segera kembali. Tidak lebih dari
sepekan. —
Demikianlah, maka ketika orang itupun sekali lagi mohon diri. Sementara Agung Sedayu memberitahukan bahwa Ki Jayaraga akan selalu datang ke rumah Ki Gede untuk membantu apapun jika diperlukan.
Beberapa saat kemudian ketiga orang itupun telah berkuda meninggalkan padukuhan induk Tanah Perdikan. Di perjalanan mereka memang bertemu dengan anak-anak muda dan pengawal. Jika mereka bertanya maka Agung Sedayu selalu menjawab — Kami akan pergi ke Sangkal Putung untuk satu dua hari. —
— Bagaimana dengan latihan-latihan kami? — bertanya seorang anak muda yang bertemu di tanggul parit.
— Para perwira dari barak Pasukan Khusus telah sanggup menggantikan kami. —
— Mereka terlalu keras dan bahkan kasar. — berkata anak muda.
— Untuk menjadi prajurit yang baik memang harus mengalami latihan yang keras — jawab Agung Sedayu.
— Tetapi kami bukan prajurit — jawab anak muda itu.
— Dalam keadaan yang gawat, tanpa kemampuan seorang prajurit maka kita akan digilas. Lebih baik kita memikul beban yang berat disaat-saat latihan daripada kita menghadapi kesulitan di medan perang yang-mungkin akan dapat merenggut nyawa kita. — berkata Agung Sedayu sambil tersenyum.
Anak muda itu mengangguk-angguk. Katanya — Kau benar. Jika kita pingsan di waktu latihan, kita akan segera mendapat pertolongan. —
Agung Sedayu tertawa. Sementara Glagah Putih berkata — Tetapi jika kita mati di medan perang, tidak ada seorangpun yang akan mampu menolong kita. —
Anak muda itupun tertawa pula.
Demikianlah, maka Agung Sedayu meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh dengan meninggalkan beban atas anak-anak muda dan pengawalnya. Sementara Agung Sedayu memang menyadari, bahwa para perwira prajurit dari Pasukan Khusus biasanya memberikan latihan-latihan dengan ikatan yang keras dan ketat. Sehingga terhadap anak-anak muda dan para pengawal Tanah Perdikan itupun mereka memperlakukannya sama dengan para prajurit sendiri.
Namun demikian maka anak-anak muda dan para pengawal Tanah Perdikan akan benar-benar menjadi pengawal yang bernilai sama dengan prajurit.
Ketika Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih mendekati Kali Praga, maka tampak airnya seakan-akan menjadi semakin keruh. Agaknya mendung di arah Utara telah menjatuhkan air hujan di ujung Kali Praga itu.
Perjalanan mereka bertiga tidak banyak mengalami hambatan. Hampir tidak ada orang yang mengenali Sekar Mirah sebagai seorang perempuan. Agar ia dapat leluasa naik diatas punggung kuda, maka Sekar Mirah telah mengenakan pakaian seorang laki-laki, sebagaimana sering dilakukannya. Namun dengan demikian maka Sekar Mirah menjadi jarang-jarang sekali berbicara jika ia berada diantara banyak orang, sebagaimana saat menyeberangi Kali Praga diatas sebuah rakit yang memuat beberapa orang lain.
Tetapi demikian Sekar Mirah turun dari rakit dan berbicara dengan Glagah Putih, maka beberapa orang laki-laki berwajah kasar telah mendengarnya. Karena itu, maka mereka tidak putus-putusnya telah memperhatikannya.
— He, anak itu bukan seorang laki-laki. Aku mendengar suaranya. Ia seorang perempuan, — berkata salah seorang diantara mereka.
— Menarik sekali — jawab yang lain — tentu ada maksudnya bahwa ia berpakaian seorang laki-laki. —
Tetapi seorang yang nampaknya mempunyai pengaruh yang besar diantara mereka berkata — Jangan hiraukan. Bukan urusan kita apakah ia akan memakai pakaian laki-laki atau telanjang sekalipun. Kita harus sampai ke tujuan sebelum malam. Kita masih akan menentukan beberapa hal sebelum kita melakukan pekerjaan kita. —
Kawan-kawannya tidak berani membantah. Mereka tidak lagi memperhatikan Sekar Mirah dengan berlebih-lebihan. Mereka sadar jika mereka melakukan kesalahan terhadap perempuan yang berpakaian laki-laki itu dan apalagi menimbulkan persoalan, maka mereka tentu akan mendapat hukuman dari pemimpin mereka yang garang itu.
Dengan demikian maka beberapa orang laki-laki berwajah kasar itu sama sekali tidak mengganggunya.
Tetapi yang ternyata tidak terduga telah terjadi. Bukan orang-orang kasar itu. Justru seorang laki-laki yang berwajah lunak berpakaian rapi dan mengenakan perhiasan yang mahal. Sekilas nampak timangnya yang terbuat dari emas. Demikian pula pendok kerisnya. Tiga orang laki-laki yang bertubuh raksasa mengiringinya.
Ternyata laki-laki itu juga menaruh perhatian terhadap Sekar Mirah yang berpakaian laki-laki dikawani seorang laki-laki yang masih terhitung muda dan seorang anak muda yang masih dalam batas remaja. Justeru dalam pakaian seorang laki-laki dimata orang itu Sekar Mirah nampak terlalu cantik. Apalagi pakaian laki-lakinya membuat orang itu menaruh perhatian yang besar.
Sekar Mirah tidak memperhatikan bahwa seorang laki-laki selalu mengawasinya. Karena itu, iapun tidak menaruh curiga apapun ketika bersama-sama dengan Agung Sedayu dan Glagah Putih ia meloncat ke punggung kudanya.
Tetapi tiba-tiba saja kuda Sekar Mirah itu terkejut sehingga terlonjak. Hampir saja Sekar Mirah terlempar. Untunglah bahwa ia adalah seorang perempuan yang tangkas, sehingga ia masih tetap melekat dipunggung kudanya.
Sementara itu Agung Sedayu dan Glagah Putih dengan cepat telah memegang kendali kuda Sekar Mirah di sebelah menyebelah.
— Apa yang terjadi? — bertanya Agung Sedayu.
Sekar Mirah justru meloncat turun ketika kudanya sudah menjadi tenang. Dipandanginya beberapa orang yang lewat dari lingkungan penyeberangan. Namun tiba-tiba saja laki-laki yang berpakaian rapi dan berwajah lunak itu tertawa.
— Kenapa kau tertawa? — berkata Sekar Mirah.
— Nah, ternyata kau benar-benar seorang perempuan, — laki-laki itu justru mendekat — aku sekarang melihat lubang di telingamu. Suaramu tidak dapat kau sembunyikan dan tatapan matamu adalah tatapan mata seorang perempuan yang cantik. —
— Apa pedulimu — bentak Sekar Mirah. Lalu — jadi kaulah yang telah dengan sengaja mengejutkan kudaku he?
— Maaf. Bukan maksudku untuk menyulitkanmu — berkata laki-laki itu — tetapi kau sangat menarik perhatianku. Buat apa kau berpakaian seperti seorang laki-laki? Apakah kau berniat untuk menyembunyikan kecantikanmu?
Dalam pakaian itu kau justru menjadi sangat menarik.
***
lanjut ke kitab 227
Mampir….
Menurut saya Agung Sedayu gak pernah godain perempuan.