Laman: 1 2
Buku III-17
The URI to TrackBack this entry is: https://adbmcadangan.wordpress.com/buku-iii-17/trackback/
The URI to TrackBack this entry is: https://adbmcadangan.wordpress.com/buku-iii-17/trackback/
Gambar Kulit :
Herry Wibowo
Ilustrasi :
Sudyono
Penerbit :
Kedaulatan Rakyat,
Yogyakarta
waduh,,,dah ada yg gak kuat,,,bagi2 sopo iler seabad yg akan datang…,,
absenn lagi,,,,
duh..masih belum juga ya
wis suwe ora tanda tangan kehadiran, nyai.
absen malam….mau ikutan ronda…kali aja kitab keluar…
Mari kita nantikan dengan penuh pengharapan ….
karena harapan adalah dorongan dalam kehidupan …. untuk tetap menyongsong hari depan ….
dengan penuh kepercayaan …
bahwa hari esok lebih baik dari hari ini …
karena kitab yang dinanti-nanti …
akan segera beredar kembali …
agar bisa segera dinikmati ….
nderek antri, syukurlah walau saya cantrik baru, tapi seperti Raden Rangga, dapat menyelesaikan laku dengan cepat sehingga rampunglah semua ilmu di kitab 1 sampai dengan kitab 216 dalam waktu 2 pekan…he3x sampek mata pedes karena kemasukan huruf2 adbm sebegitu banyaknya…nah sekarang bisa mengistirahatkan mata karena sehari hanya baca 1 kitab. Nuwun
selamat ki, selamat bergabung dengan para cantrik ADBM, dan selamat menikmati kitab-kitab berikutnya yang semakin ramai
wuih, selamat ya
sebaiknya punya bumbung berisi cadangan obat sakaw 😀
iki ki probondayu mesthi njaluk diwacakno menjelang sare,… yah koyo dongeng pengantar tidur..mangkane iso rampung 216 kitab rong minggu
Sugeng tepang ki, matur suwun
Wah … kalo begitu lakunya dimas Probondayu benar-benar seperti RR nih …. yaitu bacanya dilanjutkan dalam MIMPI …. sehingga dalam tempo 2 pekan bisa mengejar semua ketinggalan …. melakukan sebuah lompatan-lompatan yang melampaui batas kewajaran …
Nanti kalo MIMPI-nya dilanjutkan … bisa-bisa para cantrik yang lain bakal susah mengejarnya nih …. habisnya … mimpinya itu dimas sudah menyelesaikan membaca sampai tingkatan pamungkas dih ….
Selamat bergabung dimas ..
Wah…
216 jilid dalam 2 pekan (2 minggu?). Hebat Ki, berarti sehari rata-rata 15 buku, gak rembes ta.
Saya sehari 4 buku saja sudah rembes.
Slamat datang ki, slamat bergabung.
nuwun ki, komentarnya. Memang betul sempat agak rembes tapi selalu sedia air seduhan daun sirih…resep kuno…kerja saya setiap saat ya baca adbm saja…karena ngebet banget seperti ngebetnya prastawa kepada sekar mirah sampai2 seperti nalarnya…kalau prastawa mengabaikan pinunggulnya AS, kalau saya hampir2 mengabaikan pekerjaan…blaik to…tapi mulai sekarang mau gak mau bia konsen lagi nyangkul
wah…saya harus mengakui kehebatan ki probondayu..kalo saya sampai tersengal sengal ngejer ilmu di setipa kitab…ni aja baru sampe 213.. bagi ilmunya dong ki…
ilmunya : lali ro bojo, anak, gaweyan….
kudu nduweni sipat : nduableg pol ki…diprenguti, disengoli bojo, yo wis manteng aji wae, ndableg…ning bar kuwi nek arep mapan turu bojo dierih-erih dicritani adbm…
Disela-sela membaca ADBM saya juga membaca Sayap2 Terkembang. Sebelum itu saya pernah membaca Suramnya Bayang2. Sayang baru pada tahap Warsi yang sedang kembali lagi ke Sembojan untuk merayu Wiradana memperistri dirinya.
Nah dengan tiba2 saya mbaca SST jadi bingung karena disana muncul tokok2 Sambi Wulung, Jati Wulung, Rangga Gupita, Bibi, Nyai Soka dan Kyai Soka.
Yang saya kaget juga di awal suramnya bayang2 khan Iswari adalah gadis yang lugu dan kayaknya kagak bisa oleh kanuragan, tiba2 disini sudah belajar tenaga cadangan dan Janget Kinatelon.
Kiai Badra di awal SBB juga tokoh yang biasa2 saja, hanya pandai mengobati. Tapi ternyata di SST adalah tokoh yang berilmu tinggi.
Nggak usah dijawab ki sanak, biar saya baca lagi SBB aja.
Saya hanya ingin menyampaikan, kalau hanya semata membaca SST tidak membaca SBB, maka akan ada lompatan yang menjadi beban pertanyaan perihal hubungan antar tokoh yang saya sebutkan di atas.
Regards,
Ki Truno Podang
Sepertinya kalau urut membacanya tidak ada yang membingungkan kok Ki Truno. Sepertinya wajar-wajar saja kok.
Kalau tidak salah, saya punya koleksi lengkap dua judul tersebut. Hanya saja masih dalam hard copy.
Saya ndak mau cerita, biar Ki Truno penasaran.
Saya juga ngga mau cerita ach…
cuma saya membacanya SBB dulu baru SST.
Padepokan terisi 25 cantrik.
Sing neng gardu podo mlungker kemulan sarung, adem mari kodanan mau.
Mungkin juga kesel mari nglencer.
Arep tak gawakno wedang, rasido iki.
Ki Arema,
Kok tidak kirim berita lewat aji pameling? Sampai bangun sendiri …. kok belum muncul kirimannya.
Mungkin kita perlu kirim aji pameling ke Nyi Senopati, jangan-jangan ‘kebablasan tidurnyanya.’
Tak sarapan TIWUL sama parutan kelapa disik.
Nuwun!
bengi2 koq yo sarapan (tea bull?) .. iki mesthi bedho alam
tumben ki widura dhaharan tiwul….boten tequila kaleh buritto maleh menopo ki ??
Tumben Ki Joboyo sambang gardu. Niki kirim komen king pundi?
He he
Ki Widura sudah datang di gardu. Kitab belum diwedar ki, jadi aji pamelingnya ya tidak dikirim.
Gantian ronda Ki. Mau bobo dulu. he he.
Sehari tadi mondar-mandir kesana kemari untuk berbagai macam keperluan. Besok harus bangun pagi-pagi.
Si kecil (anak saya yang paling kecil) besuk UN SMP. Harus ngantar pagi-pagi.
Bahan renungan buat para orang tua. </strong
Semoga bermanfaat bagi kita semua.
Hati2 dengan kebanggaan barang sendiri melebihi kasih sayang dengan anak.
Berikut ceritanya… ..
Sepasang suami isteri – seperti pasangan lain di kota-kota besar meninggalkan anak-anak diasuh pembantu rumah sewaktu bekerja. Anak
tunggal pasangan ini, perempuan cantik berusia tiga setengah tahun.
Sendirian ia di rumah dan kerap kali dibiarkan pembantunya karena sibuk bekerja di dapur. Bermainlah dia bersama ayun-ayunan di atas buaian yang dibeli ayahnya, ataupun memetik bunga dan lain-lain di halaman rumahnya.
Suatu hari dia melihat sebatang paku karat. Dan ia pun mencoret lantai tempat mobil ayahnya diparkirkan, tetapi karena lantainya terbuat dari
marmer maka coretan tidak kelihatan. Dicobanya lagi pada mobil baru ayahnya.. Ya… karena mobil itu bewarna gelap, maka coretannya tampak
jelas. Apalagi anak-anak ini pun membuat coretan sesuai dengan kreativitasnya.
Hari itu ayah dan ibunya bermotor ke tempat kerja karena ingin menghindari macet. Setelah sebelah kanan mobil sudah penuh coretan maka ia beralih ke sebelah kiri mobil. Dibuatnya gambar ibu dan ayahnya,gambarnya sendiri, lukisan ayam, kucing dan lain sebagainya mengikut imaginasinya. Kejadian itu berlangsung tanpa disadari oleh si pembantu rumah.
Saat pulang petang, terkejutlah pasangan suami istri itu melihat mobil yang baru setahun dibeli dengan bayaran angsuran yang masih lama lunasnya. Si bapak yang belum lagi masuk ke rumah ini pun terus menjerit, ‘Kerjaan siapa ini !!!’ ….
Pembantu rumah yang tersentak dengan jeritan itu berlari keluar. Dia juga beristighfar. Mukanya merah padam ketakutan lebih2 melihat wajah bengis tuannya. Sekali lagi
diajukan pertanyaan keras kepadanya, dia terus mengatakan ‘ Saya tidak tahu..tuan.’
‘Kamu dirumah sepanjang hari, apa saja yg kau lakukan?’hardik si isteri lagi.
Si anak yang mendengar suara ayahnya, tiba-tiba berlari keluar dari kamarnya. Dengan penuh manja dia berkata ‘Dita yg membuat gambar itu ayahhh.. cantik … kan !’ katanya sambil memeluk ayahnya sambil bermanja seperti biasa..
Si ayah yang sudah hilang kesabaran mengambil sebatang ranting kecil dari pohon di depan rumahnya, terus dipukulkannya berkali2 ke telapak tangan anaknya. Si anak yang tak mengerti apa apa menangis kesakitan, pedih sekaligus ketakutan. Puas memukul telapak tangan, si ayah memukul pula belakang tangan anaknya.
Sedangkan Si ibu cuma mendiamkan saja, seolah merestui dan merasa puas dengan hukuman yang dikenakan.
Pembantu rumah terbengong, tdk tahu harus berbuat apa… Si ayah cukup lama memukul-mukul tangan kanan dan kemudian ganti tangan kiri anaknya.
Setelah si ayah masuk ke rumah diikuti si ibu, pembantu rumah tersebut menggendong anak kecil itu, membawanya ke kamar.
Dia terperanjat melihat telapak tangan dan belakang tangan si anak kecil luka2 dan berdarah. Pembantu rumah memandikan anak kecil itu. Sambil menyiramnya dengan air, dia ikut menangis. Anak kecil itu juga menjerit-jerit menahan pedih saat luka2nya itu terkena air. Lalu si pembantu rumah menidurkan anak kecil itu. Si ayah sengaja membiarkan anak itu tidur bersama pembantu rumah. Keesokkan harinya, kedua belah tangan si anak bengkak. Pembantu rumah mengadu ke majikannya. ‘Oleskan obat saja!’ jawab bapak si anak.
Pulang dari kerja, dia tidak memperhatikan anak kecil itu yang menghabiskan waktu di kamar pembantu. Si ayah konon mau memberi pelajaran pada anaknya. Tiga hari berlalu, si ayah tidak pernah menjenguk anaknya sementara si ibu juga begitu, meski setiap hari bertanya kepada pembantu rumah. ‘Dita demam, Bu’…jawab pembantunya ringkas.
‘Kasih minum panadol aja ,’ jawab si ibu.. Sebelum si ibu masuk kamar tidur dia menjenguk kamar pembantunya. Saat dilihat anaknya Dita dalam pelukan pembantu rumah, dia menutup lagi pintu kamar pembantunya.
Masuk hari keempat, pembantu rumah memberitahukan tuannya bahwa suhu badan Dita terlalu panas. ‘Sore nanti kita bawa ke klinik.. Pukul 5.00sudah siap’ kata majikannya itu. Sampai saatnya si anak yang sudah lemah dibawa ke klinik. Dokter mengarahkan agar ia dibawa ke rumah sakit karena keadaannya sudah sangat serius.
Setelah beberapa hari di rawat inap dokter memanggil bapak dan ibu anak itu. ‘Tidak ada pilihan..’ kata dokter tersebut yang mengusulkan agar kedua tangan anak itu dipotong karena sakitnya sudah terlalu parah dan infeksi akut…’Ini sudah bernanah, demi menyelamatkan nyawanya maka kedua tangannya harus dipotong dari siku ke bawah’ kata dokter itu.
Si bapak dan ibu bagaikan terkena halilintar mendengar kata-kata itu. Terasa dunia berhenti berputar, tapi apa yg dapat dikatakan lagi.
Si ibu meraung merangkul si anak. Dengan berat hati dan lelehan air mata isterinya, si ayah bergetar tangannya menandatangani surat persetujuan pembedahan. Keluar dari ruang bedah, selepas obat bius yang disuntikkan habis, si anak menangis kesakitan. Dia juga keheranan melihat kedua tangannya berbalut kasa putih. Ditatapnya muka ayah dan ibunya. Kemudian ke wajah pembantu rumah. Dia mengerutkan dahi melihat mereka semua menangis.
Dalam siksaan menahan sakit, si anak bersuara dalam linangan air mata. ‘Ayah.. ibu…. Dita tidak akan melakukannya lagi….. Dita tak
mau lagi ayah pukul. Dita tak mau jahat lagi… Dita sayang ayah..sayang ibu.’, katanya berulang kali membuatkan si ibu gagal menahan rasa sedihnya. ‘Dita juga sayang Mbok Narti..’ katanya memandang wajah pembantu rumah, sekaligus membuat wanita itu meraung histeris.
‘Ayah.. kembalikan tangan Dita. Untuk apa diambil.. Dita janji tidak akan mengulanginya lagi! Bagaimana caranya Dita mau makan nanti?…
Bagaimana Dita mau bermain nanti?… Dita janji tdk akan mencoret2 mobil lagi, ‘ katanya berulang-ulang.
Serasa hancur hati si ibu mendengar kata-kata anaknya. Meraung2 dia sekuat hati namun takdir yang sudah terjadi tiada manusia dapat menahannya.
Nasi sudah jadi bubur. Pada akhirnya si anak cantik itu meneruskan hidupnya tanpa kedua tangan dan ia masih belum mengerti mengapa tangannya tetap harus dipotong meski sudah minta maaf…
Tahun demi tahun kedua orang tua tsb menahan kepedihan dan kehancuran bathin sampai suatu saat Sang ayah tak kuat lagi menahan kepedihannya
dan wafat diiringi tangis penyesalannya yg tak bertepi…,
Namun…., si Anak dengan segala keterbatasan dan kekurangannya tsb tetap hidup tegar bahkan sangat sayang dan selalu merindukan ayahnya..
Sepertinya kok saya baru baca ya Ki.
Lupa di mana.
Tapi, terima kasih peringatannya.
di gerbang kitab 214 Ki banuaji On 23 April 2009 at 19:06 sudah cerita habis baca ceritanya ki nin, jadi teringat sebuah cerita lain.
On 26 April 2009 at 21:43 Ki Sabung Ayam Sari melengkapi dengan :
“Tahun demi tahun kedua orang tua tsb menahan kepedihan dan kehancuran bathin sampai suatu saat Sang ayah tak kuat lagi menahan kepedihannya
dan wafat diiringi tangis penyesalannya yg tak bertepi…,
Namun…., si Anak dengan segala keterbatasan dan kekurangannya tsb tetap hidup tegar bahkan sangat sayang dan selalu merindukan ayahnya..”
minggu2 koq yo nglangut tho yo… tego tenan
Ki Pandanalas,
nJenengan langkung sae sare kemawon. Nyi Seno nembe tumbas susu kangge putrane. Nengga kalian ngliyep sing kepenak.
Suwun
Sabar Ki Panda keknya emang hari minggu ga ada jatah ransum keokeoekoekoe…
sabar…sabar…
ikut ngisi buku absen aaah
absen….
ngisi buku presensi padepokan meneh….irik-irik..nomer 217. Weh..isih suwe aku entuk giliran dipanggil buat ndapetin kitab baru….
Yo..wis ora..popo, sing sabar mengko rak yo dipanggil yen wis wancine.
Ehhh..metu meneh, opo mulih dhisik wae yo? mengko bali yen wis esuk.
sabar ..sabarrrr
kulo ngacung malih
melu hadir
turu-turu sik
hari ini, malam ini gak ana kitab
suk esuk tangi mungkin baru ada kitab
kalau nggak ada ya sabar menanti saja.
hhmmm…
tok…tok..tok… kulanuwun…. hadir nyi seno….
Sapaan dan Ungkapan dalam Percakapan
Bapak > Pak > bapak
Ibu > Bu > ibu
Kangmas > Mas > abang/kakak lali-laki
Mbakyu > Mbak, Yu > kakak perempuan
Adhik > Dhik > adik laki-laki/perempuan
Dhiajeng > Jeng > adik perempuan
Dhimas > Dhimas > adik laki-laki
Kula nuwun = Permisi
Mangga lenggah = Silahkan duduk
Mangga pinarak = Silahkan mampir
Dipunsekecakaken = Jangan sungkan-sungkan, anggap rumah sendiri
Nuwun sewu = Maaf
Kadospundi ? Sugeng ? = Bagaimana ? Sehat ?
Pangestunipun = Sehat, terima kasih
Nami kula….. = Nama saya …..
Griyo kula wonten ….. = Rumah saya si …..
Lenggahipun wonten pundi ? = Tinggal di mana ?
Menapa panjenengan rawuhpiyambak ? = Apakah anda datang sendirian ?
Inggih/Mboten = Ya/Tidak
Putra sampun pinten ? = Anak sudah berapa ?
Kula dereng emah-emah = Saya belum menikah
Mangga kula aturi dhahar = Mari makan
Matur nuwun, kula sampun sarapan = Terima kasih, saya sudah sarapan
wau enjing = tadi pagi.
Badhe tindak pundi ? = Mau ke mana ?
Kula badhe blanja = Saya mau berbelanja
Kepareng rumiyin, kula kedah wangsul = Permisi dulu, saya harus pulang
Sampun, nggih = Permisi
Mangga = Silahkan
Sugeng rawuh = Selamat datang
Sugeng dhahar = Selamat makan/selamat menikmati
Sugeng tindak = Selamat jalan
Sugeng sare = Selamat tidur
Sugeng enjing = Selamat pagi
Sugeng siyang = Selamat siang
Sugeng ndalu = Selamat malam
Wah …. ngider sik …. sopo tau ono sing keri …. nyelip di sana sini …
ngenteni serangan fajar….absen malih nyi..
Nglilir nyoba tilik gandok, ternyata buku belum ada.
Bahkan gandok 218 juga masih tertutup rapat.
menanti…………..
Sambil menanti kitab 217, nyoba bikin daftar kemampuan Agung Sedayu sampai dengan buku 216:
1. Ahli bidik tepat sasaran
2. Daya ingat sangat tajam
3. Ilmu Kebal yang memancarkan udara panas
4. Kebal terhadap segala jenis racun/bisa
5. Ilmu meringankan tubuh dan bergerak cepat
6. Ilmu sorot mata yang dapat memberikan sentuhan secara wadag: mengangkat, menyusup, meremas, membakar, menghancurkan
7. Ilmu Kakang kawah adi ari-ari: memecah diri jadi 3 orang yang dapat memberikan sentuhan secara wadag
8. Ilmu cambuk berat
9. Tapak tangan penghancur dan mengeluarkan panas
10. Ilmu menyerap bunyi yang dihasilkan dari sentuhan-sentuhan wadag
11. Aji Sapta pandulu (pandangan sangat tajam)
12. Aji Sapta pangrungu (pendengaran sangat tajam)
13. Aji Sapta pangganda (penciuman sangat tajam)
14. Aji Sapta pangrasa (panggraita sangat tajam)
15. Aji Pameling (menyampaikan suara dari jarak yang sangat jauh)
16. Ilmu kabut yang dapat menggulung, membakar, atau membekukan
17. Ilmu pengobatan
18. …..
Ilmu Bumi ? wong Agung Sedayu kalau kemana-mana ngga pernah kesasar ?
matur nuwun kitabnya Nyi
yang sesaat lagi akan diwedar
akhirnya benar2 diwedar
Saestu, Ki Anggara…ktab sampun dipun wedhar.
Matur nuwun Nya Seno
Matur suwun NYi..
Thanks Nyi Seno
suwun…
nuwun ya nyai…
matur nuwun Nyi….sarapan pagi…
Orang yang bangun pagi akan mendapat keberuntungan.
Matur nuwun Nyai
Tak bengoki nanggo aji pameling, Ki Widura kok gak nyahut.
Nang endi arek itu.
Iku lho kitabe wis diwedar.
suwun ki arema,..aji pamelinge malah menggetarkan tidurku je…
Ki Widura, wayah’e turu dadi mestine di kandani lewat mimpi…
Terima kasih
Nderek tepang Nyai, suwun sanget enjing-enjing saged sarapan 417, nyamleng saestu, pilih kitabipun rumiyin tinimbang sarapan tiwul
walah…kliru, sanes 417, nanging 217, sangking kebeletipun
matur nuwun kitabnya …..
telima kacih
Mator sakalangkong Nyimas dan Ki GD…
matur nuwun nyi….
(ngetes ganti nama ah..)
dilanjutkan ……
Namun dalam pada itu, Kiai Gringsingpun berkata — Silahkan kalian beristirahat disini. Sabungsari, Glagah Putih dan Raden Rangga. Aku dan Ki Jayaraga akan melihat-lihat keadaan. Tetapi sekali lagi aku mohon, Raden hendaknya jangan mudah menuruti perasaan semata-mata. —
— Kalian selalu menekankan kelemahanku. Jika pada suatu saat, aku terlambat mengambil langkah, itu justru karena aku terlalu banyak berpikir — berkata Raden Rangga.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak menjawab.
Bersama Ki Jayaraga, maka Kiai Gringsing telah menyelinap diantara gerumbul-gerumbul perdu untuk menemui perwira yang telah mempersilahkannya menemui Pangeran Singasari seorang diri.
Perwira yang sudah mulai berbaring itu terkejut. Iapun kemudian bangkit dan duduk diatas sebuah batu. Dengan nada dalam ia bertanya — Ada apa Kiai? —
Kiai Gringsing dan Ki Jayaragapun kemudian duduk pula dihadapan perwira itu. Dengan hati-hati Kiai Gringsing berkata — Ki Sanak. Apakah kita sudah menilai sasaran yang akan kita masuki? —
— Maksud Kiai? — bertanya perwira itu.
— Apakah Ki Sanak tahu, bahwa Pangeran Singasari sudah mengirimkan petugas sandi untuk menemukan padepokan yang akan kita datangi itu? — bertanya Kiai Gringsing.
Perwira itu tersenyum. Katanya — Tentu sudah menjadi rencana Pangeran Singasari. Besok malam petugas sandi itu akan berangkat mendekati padepokan Naga-raga. —
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata — Ternyata aku masih harus menunggu beberapa hari. Bukankah dengan demikian aku masih belum hampir terlambat? —
Perwira itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun berkata — Tetapi kita sudah sampai pada tahap terakhir. —
— Jika besok malam petugas sandi itu baru akan melihat sasaran, maka bukankah malam berikutnya kita baru akan berangkat? Itupun paling cepat. Jika masih ada pertimbangan-pertimbangan lain, maka keberangkatan itu masih dapat diundur lagi. Mungkin sehari, mungkin lebih, — sahut Kiai Gringsing.
Sebelum perwira itu menyahut, maka Ki Jayaraga berkata — Yang terlambat bukan kami. Tetapi Pangeran Singasari. Kami sudah berada di tempat ini tepat pada waktunya. —
Perwira itu hanya dapat mengerutkan keningnya. Sebenarnyalah bahwa rencana Pangeran Singasari memang telah mundur satu hari dari batas waktu yang ditentukan.
— Sudahlah — berkata Kiai Gringsing — mumpung sisa malam masih panjang, kami akan berjalan-jalan.
— Apakah Kiai berdua tidak akan beristirahat? Mungkin masih sempat tidur beberapa saat, — berkata perwira itu.
— Kami belum mengantuk. Kami ingin melihat keadaan tempat ini dan sekitarnya — jawab Kiai Gringsing.
— Tetapi Kiai harus berhati-hati. Kita sudah berada dekat sekali dengan lingkungan lawan, — pesan perwira itu.
— Aku tidak akan pergi jauh — jawab Kiai Gringsing — hanya disekitar tempat ini. —
— Tetapi itu belum berarti bahwa orang-orang Nagara-ga tidak akan melihat Kiai berdua — berkata perwira itu.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Namun ia sempat bertanya — Bukankah kau sudah lama menjadi prajurit Mataram? —
— Perwira itu mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya — Apa maksud Kiai dengan pertanyaan itu? —
— Jika kau sudah lama menjadi prajurit Mataram, setidak-tidaknya kau tidak terlalu mencemaskan keadaanku — berkata Kiai Gringsing kemudian.
Perwira itu menjadi tegang. Namun iapun kemudian menundukkan kepalanya. Seakan-akan ia baru sadar, dengan siapa ia berhadapan. Bagi beberapa orang perwira Mataram, maka Kiai Gringsing adalah seorang yang dikenal memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Karena itu, maka perwira itupun tidak lagi berpesan apa-apa juga. Ketika Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga meninggalkannya, maka iapun segera kembali berbaring di antara gerumbul perdu.
Demikianlah Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga telah menyusup keluar dari perkemahan orang-orang Mataram. Penjaga yang bertugas ternyata tidak dapat melihat mereka berdua.
— Kita akan melihat padepokan itu — berkata Kiai Gringsing.
— Ya. Mudah-mudahan kita mendapat gambaran yang jelas tentang padepokan Nagaraga itu, — jawab Ki Jayaraga.
Tanpa mendapat ijin dari Pangeran Singasari, maka kedua orang tua itu telah pergi untuk melihat padepokan yang akan menjadi sasaran serangan mereka. Agaknya mereka akan lebih percaya kepada penglihatan mereka sendiri daripada petugas sandi yang akan dikirim oleh Pangeran Singasari.
Namun kedua orang itu sadar, bahwa jika mereka gagal, maka mungkin perkemahan orang Mataram itu akan mendapat kesulitan pula.
— Tetapi kita harus sangat berhati-hati — desis Ki Jayaraga.
— Ya. Menurut pendengaran kita, di padepokan itu ter dapat orang-orang berilmu tinggi. Pimpinan padepokan itu yang tidak ikut pergi ke Mataram, tentu orang yang mumpuni. Meskipun muridnya terbunuh di Mataram tetapi agaknya pimpinan padepokan Nagaraga adalah seorang yang pantas disegani, — sahut Kiai Gringsing.
Dengan demikian, maka dengan sedikit bekal pengenalan mereka berusaha untuk dapat menemukan padepokan Nagaraga di seberang hutan di bawah sebuah gumuk yang pada dindingnya terdapat sebuah goa. Didalam goa itu tinggal seekor ular naga yang besar, yang menjadi tumpuan dan sandaran dari orang-orang Nagaraga, terutama dalam hal ilmu kanuragan.
Sementara itu, selagi Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga mengendap-endap menuju ke padepokan Nagaraga, maka Raden Rangga ternyata menjadi sangat gelisah. Ketika ia mendengar gonggong anjing hutan diatas gumuk, iapun berdesis — Kenapa Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga sangat lama. —
— Sudahlah Raden — berkata Glagah Putih — pada saatnya mereka tentu akan kembali. —
— Aku tidak menggelisahkan mereka — jawab Raden Rangga.
— Lalu apa yang Raden gelisahkan? — bertanya Sa-bungsari.
— Tentu keduanya dengan sengaja telah mengelabuhi kita. Aku yakin keduanya pergi ke padepokan Nagaraga — berkata Raden Rangga.
— Bukan mengelabuhi kita — jawab Glagah Putih — tetapi mereka memang tidak akan mengajak kita. Kita harus tetap berada disini. —
— Aku juga ingin melihat padepokan itu — berkata Raden Rangga.
— Raden pernah melihatnya — berkata Glagah Putih -— meskipun hanya dalam mimpi. Raden telah melihat separo gambaran dari padepokan yang rusak ditinggal penghuninya itu, namun dalam ujud yang utuh sebagaimana yang dihuni seorang oleh orang-orang dari perguruan Nagaraga. —
— Tetapi aku ingin melihat keadaan yang sebenarnya — berkata Raden Rangga — aku tidak ingin sekedar melihat bentuk-bentuk yang aneh dan tidak beralas pada ujud-ujud yang sehari-hari kita lihat. —
Tetapi Glagah Putih tidak membiarkan Raden Rangga pergi. Sabungsaripun telah membantunya pula. Katanya — Raden, sebaiknya kita menunggu. Bukankah orang-orang itu berpesan agar kita tetap berada disini? —
Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak jadi meninggalkan tempat itu. Katanya — Kalian membuat aku kecewa. Justru penglihatanku dalam mimpi itu mendorong aku untuk melihat padepokan itu yang sebenarnya. —
— Pada saatnya kita akan memasuki padepokan itu — berkata Glagah Putih.
Raden Rangga tidak menjawab. Namun ditengadah-kannya wajahnya memandang langit yang bersih digayuti oleh bintang-bintang yang tak terhitung jumlahnya.
Namun tiba-tiba Raden Rangga berkata — Siapa saja yang berada dalam pasukan kecil ini? —
— Sebagian besar adalah para perwira, meskipun perwira ditataran bawah seperti aku. — jawab Sabungsari — agaknya Mataram menganggap bahwa orang-orang Nagaraga pada umumnya memiliki ilmu melampaui tataran prajurit biasa. Hanya beberapa orang prajurit terpilih yang ada di pasukan ini. —
Raden Rangga mengangguk-angguk. Katanya — Jadi disini sekarang banyak perwira prajurit Mataram dibawah pimpinan pamanda Pangeran Singasari? —
— Ya, begitulah — jawab Sabungsari.
Raden Rangga masih saja mengangguk-angguk. Katanya kemudian — Jadi kalian tidak setuju jika aku mencari Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga? Mereka tentu pergi ke padepokan. —
— Kita menunggu saja, Raden — jawab Glagah Putih.
Tiba-tiba saja Raden Rangga telah berbaring begitu saja tanpa alas apapun juga. Glagah Putih dan Sabungsari saling berpandangan sejenak. Namun merekapun kemudian harus juga mencari tempat untuk berbaring sebagaimana dilakukan oleh Raden Rangga.
Ternyata mereka memang letih, sehingga sejenak kemudian ketiganya telah tertidur. Mereka sama sekali tidak merasa cemas, karena lingkungan itu mendapat penjagaan yang cukup ketat oleh para prajurit Mataram.
Sementara itu. Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga diluar pengetahuan Panglima pasukan Mataram telah mencari jalan menuju ke padepokan Nagaraga yang belum pernah dilihatnya.
Tetapi ketajaman pengenalan keduanya, ternyata telah membawa mereka menuju ke arah yang benar. Perlahan-lahan kedua orang tua itu telah mendekati padepokan yang disebut Nagaraga.
Beberapa ciri telah mereka ketemukan. Di sebelah hutan yang tidak begitu lebat, diantara gumuk-gumuk kecil,
terdapat sawah yang terbentang luas. Sawah yang digarap oleh orang-orang Nagaraga. Bahkan dilereng beberapa gumuk kecil itu terdapat pategalan yang juga menjadi daerah garapan orang-orang Nagaraga.
— Kita sudah dekat — berkata Ki Jayaraga — kita sudah berada ditengah-tengah, lingkungan tanah yang dikerjakan oleh Nagaraga. —
— Ya — Kiai Gringsing mengangguk-angguk — tinggal mencari, dimana padepokan itu dibuat. —
Ternyata keduanya tidak mendapat banyak kesulitan. Namun keduanya tidak dapat mengikuti jalan setapak yang tentu menuju ke padepokan itu. Keduanya harus mendekati padepokan itu lewat tempat-tempat yang justru tersembunyi.
Dengan bekal ilmu yang tinggi, maka keduanya berhasil menemukan padepokan Nagaraga di sebelah hutan itu. Padepokan Nagaraga semula memang bukan padepokan yang dirahasiakan. Namun justru karena kaitan padepokan itu yang menjadi sangat buruk dengan Mataram sejak beberapa orang berusaha membunuh Panembahan Senapati tetapi gagal, maka orang-orang padepokan itu tentu merasa perlu untuk melindungi padepokan mereka dengan cara yang dapat mereka lakukan.
Tetapi penghuni padepokan itu yakin, jika tidak ada pertanda apapun yang keluar dari goa, tempat ular naga yang menurut kepercayaan orang-orang padepokan menjadi tumpuan kekuatan orang-orang Nagaraga itu, maka tentu tidak akan terjadi apapun juga dengan padepokan itu.
Dengan sangat hati-hati Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga mendekati padepokan itu. Menurut penglihatan mereka, padepokan itu memang sebuah padepokan yang besar, yang tentu dihuni oleh banyak orang. Agaknya Mataram telah mengambil langkah yang benar dengan mengirimkan sepasukan yang meskipun kecil, tetapi cukup kuat, yang hampir seluruhnya terdiri dari perwira-perwira pilihan diantara prajurit-prajurit Mataram. Hanya sebagian kecil saja dian-
tara mereka adalah prajurit-prajurit yang harus melayani pasukan itu.
— Untunglah Pangeran Singasari berada ditempat yang cukup jauh terpisah dengan padepokan ini — berkata Kiai Gringsing — nampaknya Pangeran Singasari kurang cermat melakukan tugasnya. Ia sudah menentukan perke-mahan orang-orang Mataram sebelum ia mempunyai gambaran tentang letak padepokan ini. —
— Pangeran Singasari terlalu percaya kepada keterangan-keterangan yang didengarnya, bukan kenyataan yang dilihatnya. Seharusnya sebelum ia menentukan tempat itu berdasarkan petunjuk yang pernah didengarnya, ia membuktikan, dimana sebenarnya letak padepokan itu, — sahut Ki Jayaraga.
— Untunglah orang-orang Watu Gulung tidak curang dan berusaha menjebak Mataram, — berkata Kiai Gringsing.
Namun keduanya tidak dapat berbicara lebih panjang. Keduanya sudah menjadi semakin dekat dengan dinding padepokan.
Dengan meningkatkan kewaspadaan, maka keduanya-pun kemudian telah melekat dinding. Menurut pengamatan mereka, padepokan itu memang sangat luas. Sebagaimana Raden Rangga pernah mengatakan, bahwa padepokan itu agaknya terbagi dalam lingkungan-lingkungan yang terpisah.
Dengan isyarat keduanya ternyata setuju untuk memasuki halaman padepokan itu dengan meloncat dinding. Namun sebelumnya keduanya telah mengendap-endap untuk meyakinkan bahwa tidak ada orang yang akan melihat mereka.
Ketika keduanya yakin tidak mendengar desah nafas seseorang, maka keduanya telah meloncat bagaikan terbang keatas dinding. Dengan cepat keduanya telah menelungkup melekat dinding itu, sehingga seandainya tiba-tiba
saja ada peronda yang lewat, maka peronda itu tidak akan segera melihatnya.
Ternyata halaman dibagian belakang itu memang sepi. Padepokan itu seakan-akan telah tertidur nyenyak. Hanya disana-sini mereka melihat lampu-lampu yang dipasang di serambi barak didalam padepokan.
Namun tiba-tiba saja Kiai Gringsing menggamit Ki Jayaraga. Ternyata dua orang muncul dari sudut barak berjalan memutari halaman padepokan itu. Keduanya membawa tombak pendek yang dipandinya di pundak mereka. Ujung-ujung tombak itu mencuat keatas seakan-akan justru sedang menunjuk kedua orang yang sedang berada diatas dinding itu.
Tetapi dengan kemampuan yang sangat tinggi, keduanya mampu menyerap bunyi yang timbul dari desah nafas mereka. Karena itu, maka kedua orang yang lewat hanya beberapa langkah dari keduanya sama sekali tidak melihat, bahwa ada dua orang yang menelungkup diatas dinding didalam kegelapan.
Demikian kedua orang itu menjauh, maka Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga pun menarik nafas dalam-dalam. Namun mereka masih menunggu sejenak. Baru kemudian mereka yakin bahwa mereka akan dapat meloncat turun.
Sesaat kemudian, keduanya telah berada di halaman padepokan Nagaraga. Dengan sangat berhati-hati keduanya menyelinap diantara pepohonan dan gerumbul-gerumbul perdu yang ditanam di padepokan itu.
— Raden Rangga memang anak muda yang aneh, — desis Kiai Gringsing.
— Yang dilihatnya dalam mimpi, ternyata terdapat disini, — sahut Ki Jayaraga.
Keduanya memang melihat batas-batas didalam padepokan itu. Dinding yang tidak begitu tinggi membatasi bagian-bagian tertentu, seakan-akan padepokan itu memang terbagi dalam beberapa lingkungan yang terpisah
meskipun dalam keseluruhan merupakan keluarga perguruan Nagaraga.
Ketika mereka sampai ke halaman jauh di belakang, maka merekapun tertegun. Keduanya benar-benar merasa heran, bahwa ternyata di bagian belakang itu memang terdapat sebuah sanggar terbuka yang dibatasi oleh selingkar dinding yang agak tinggi, hampir setinggi, dinding padepokan itu sendiri.
— Bukan main — desis Ki Jayaraga — sanggar inipun dilihat pula oleh Raden Rangga. Jika demikian, maka di setiap lingkungan itupun tentu terdapat pula sanggar yang tertutup. —
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Namun merekapun kemudian memang membuktikan, bahwa sanggar semacam itu memang ada diantara barak-barak.
— Satu padepokan yang sangat besar — berkata Kiai Gringsing.
— Mana yang lebih besar diantara padepokan ini dengan padepokan Kiai di Jati Anom? — bertanya Ki Jayaraga hampir berbisik.
Kiai Gringsing tertawa tertahan. Katanya — Aku dapat berbangga dengan padepokanku. Kecil, tetapi terasa lebih hidup. —
— Kenapa? — bertanya Ki Jayaraga — apa yang lebih hidup ? —
— Karena pimpinan padepokannya — jawab Kiai Gringsing.
Ki Jayaragapun tertawa. Namun Kiai Gringsing memberinya isyarat dengan jari-jarinya.
Keduanya kemudian melanjutkan pengamatannya atas padepokan itu. Ternyata yang terdapat di padepokan itu segalanya memang mirip dengan apa yang disebut oleh Raden Rangga.
— Apakah sudah cukup? — desis Kiai Gringsing kemudian.
Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya — Marilah. Kita akan berbicara dengan Raden Rangga. —
Keduanyapun kemudian sudah merasa cukup, Mereka telah melihat hampir semua bagian di padepokan itu. Yang tak mereka lewati hanyalah halaman depan dari bangunan induk dalam padepokan itu, yang agaknya mendapat pengawasan yang sangat ketat. Diregol terdapat sebuah gardu. Beberapa orang yang sedang bertugas terdapat digardu itu. Sedangkan di beberapa bagian terpenting di padepokan itupun telah dijaga pula. Namun agaknya orang-orang padepokan yang besar itu merasa bahwa padepokan mereka tidak akan diganggu oleh siapapun juga. Apalagi jika mereka tidak mendengar isyarat pertanda apapun dari dalam goa.
Demikianlah maka sejenak kemudian, kedua orang itu telah berada diiuar padepokan. Mereka masih akan singgah sejenak untuk melihat goa yang menurut ceritera orang, dihuni oleh seekor ular naga.
— Jalannya sangat rumpil — desis Kiai Gringsing.
— Ya. Agaknya tidak seorangpun yang sering mendekati goa itu. — sahut Ki Jayaraga.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Namun mereka harus memusatkan perhatian mereka kepada tanah yang terbentang dihadapan mereka. Sekali-sekali mereka memang tertegun mendengar aum binatang buas dari dalam hutan di sebelah.
Namun tiba-tiba saja langkah mereka terhenti. Mereka telah dikejutkan oleh suara yang aneh. Bergaung namun terputus-putus.
— Kiai — desis Ki Jayaraga — tentu suara seekor ular raksasa —
— Ular digoa itu. Suaranya bergaung mendebarkan — sahut Kiai Gringsing.
Kedua orang tua itupun kemudian termangu-mangu. Menurut perasaan mereka, ular naga raksasa itu seolah-olah
telah mengetahui bahwa diluar goanya telah hadir orang-orang yang tidak dikehendaki.
Karena itu, maka kedua orang itupun menjadi ragu-ragu untuk maju lebih dekat lagi kemulut gua. Namun mereka sekedar ingin mengetahui serba sedikit tentang goa itu. Keduanya sama sekali tidak ingin terlibat dalam satu persoalan yang sungguh-sungguh dengan ular itu.
Betapa sulitnya jalan yang ditempuh diantara batu-batu karang dan pepohonan hutan, namun akhirnya mereka telah berada disisi mulut goa itu.
Untuk beberapa saat mereka memperhatikan goa itu. Tetapi tidak ada yang terlalu menarik untuk diperhatikan secara khusus.
— Kita dapat mengabaikan goa ini — berkata Ki Jayaraga – aku kira tidak akan banyak pengaruhnya asal ular itu tidak keluar dari sarangnya. —
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya — Ya. Agaknya memang demikian. Kita tidak perlu menaruh banyak perhatian atas goa ini sehingga kita dapat memusatkan perhatian kita pada padepokan itu. —
Namun sebelum keduanya bergerak meninggalkan goa itu, tiba-tiba saja mereka menjadi tegang. Mereka melihat beberapa buah obor memasuki lingkungan yang asing itu.
— Siapakah mereka — desis Kiai Gringsing.
Ki Jayaragapun termangu-mangu. Dengan nada datar ia berdesis —- Agaknya orang-orang padepokan itu. —
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Iapun memang menduga, bahwa yang datang itu tentu orang-orang padepokan.
Untuk menghindarkan diri dari kemungkinan yang tidak diharapkan,- maka keduanya telah menyingkir dan berlindung dibalik bayangan pepohonan. Namun dari tempat mereka berlindung, keduanya dapat melihat plataran yang tidak terlalu luas dimuka mulut goa itu.
Sejenak kemudian, maka beberapa orang yang mem-
bawa obor itu telah berada dimulut goa. Mereka ternyata membawa seekor kambing hidup. Dengan menghadapkan kambing itu kemulut goa, maka seseorang telah mencambuk kambing itu keras-keras, sehingga kambing itu telah berteriak dan berlari langsung memasuki mulut goa.
Tetapi orang-orang itu tidak segera meninggalkan mulut goa itu. Seorang yang agaknya memimpin kelompok kecil itu telah berjongkok dimulut goa diikuti oleh beberapa orang lain. Mereka menempatkan obor-obor mereka di tonggak-tonggak kecil yang agaknya memang sudah disediakan.
Ternyata telah terjadi upacara kecil. Orang-orang itu telah mengucapkan mantra-mantra yang tidak diketahui artinya oleh Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga.
Upacara itu tidak berlangsung lama. Sementara itu suara yang berasal dari dalam goa itu terdengar lagi. Tetapi tidak terlalu keras dan tidak terlalu panjang.
Beberapa saat kemudian maka upacara itupun telah selesai. Tetapi apa yang dikatakan oleh orang yang memimpin upacara itu cukup mengejutkan. Dengan nada lantang orang itu berkata — Kita harus berhati-hati. Kiai Nagaraga memberitahukan kepada kita, bahwa padepokan kita terancam bahaya.
Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga yang berada didalam kegelapan sempat saling berpandangan. Mereka memang menjadi heran bahwa orang yang memimpin upacara itu dapat mengambil kesimpulan bahwa padepokannya telah terancam bahaya.
Sekelompok orang itu masih berada dipelataran goa itu untuk beberapa lama. Namun kemudian merekapun berge-remang — Korban kita agaknya telah diterima. Kambing itu tidak keluar dari goa. —
— Ya. Kambing itu sudah terperosok masuk kelekuk yang agak dalam itu, sehingga kambing itu tidak akan dapat keluar — desis seseorang.
— Mulutmu dapat terbakar nanti — tiba-tiba orang
yang memimpin upacara itu membentak — katakan, korban kita telah diterima. —
— Baik, baik Kiai — orang itu memang menjadi ketakutan.
Sementara orang yang memimpin upacara itu berkata — Kita akan kembali ke padepokan. Kita akan minta agar para penghuni padepokan bersiaga. Untunglah korban kita diterima justru pada saat Kiai Nagaraga memberikan isyarat akan bahaya itu, sehingga agaknya kita akan mampu mengatasinya seandainya bahaya itu benar-benar akan datang —
— Marilah Kiai — berkata seorang yang lain — kita segera memberikan laporan. —
Beberapa orang telah mengambil obor-obor yang masih menyala. Sejenak kemudian, maka orang-orang itupun telah meninggalkan plataran goa itu. sehingga tempat itu kembali menjadi gelap.
Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Kemudian mereka berduapun meninggalkan tempat itu, Betapapun rumitnya jalan yang harus dilalui namun akhirnya merekapun sampai ke arah orang-orang Mataram membuat perkemahan.
— Langit sudah dibayangi warna fajar — berkata Ki Jayaraga,
— Cepat sedikit, agar kita tidak kesiangan — desis Kiai Gringsing.
Namun keduanya sempat menyelinap masuk dan tanpa membangunkan orang-orang yang sedang tidur keduanya telah berbaring tidak jauh dari Sabungsari.
Keduanya memang berusaha untuk memanfaatkan waktu yang sedikit itu untuk tidur.
Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga memang sempat memejamkan matanya meskipun hanya sejenak. Namun bagi kedua orang itu, kesempatan tidur yang sejenak itu sudah cukup. Mereka terbangun bersamaan dengan orang-
orang lain dalam perkemahan itu. Agaknya hari memang sudah menjadi terang. Bahkan matahari telah melontarkan cahayanya dilangit.
Namun Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga terpaksa menggeleng-gelengkan kepalanya ketika Raden Rangga yang mendekatinya berkata — Aku melihat Kiai berdua kembali semalam. Tetapi karena nampaknya Kiai berdua ingin beristirahat, maka aku tidak mengganggu. Bukankah Kiai berdua baru saja kembali dari padepokan Nagaraga atau goa tempat ular itu bersembunyi? —
— Darimana Raden tahu? — bertanya Kiai Gringsing.
— Aku hanya menduga. Disini Kiai berdua tidak akan pergi kemanapun selain sasaran yang akan kita sergap nanti pada saatnya. — jawab Raden Rangga,
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya — Raden benar. Kami memang melihat-lihat padepokan itu. Kami juga mendekati goa tempat ular itu bersarang, meskipun dari samping kami memang tidak mendekati mulut goa itu dari depan, karena pada saat itu ular yang ternyata oleh orang-orang perguruan Nagaraga juga disebut bernama Nagaraga, tiba-tiba telah mengeluarkan suara yang bergaung didalam goa namun terputus-putus. Kami tidak ingin terlibat dalam persoalan dengan ular itu sebelum saatnya, karena dengan demikian akan dapat menggagalkan rencana Pangeran Singasari dalam keseluruhan, —
Raden Rangga mengangguk-angguk. Katanya — kenapa Kiai tidak mengajak kami? —
— Kami tidak mempunyai rencana yang kami perhitungkan dengan baik. Kami hanya begitu saja pergi sehingga kami tidak sempat mengajak Raden dan tentu juga Glagah Putih dan Sabungsari. — jawab Kiai. Gringsing.
Tetapi Raden Rangga tertawa, meskipun ia tidak mengatakan sesuatu.
Kiai Gringsing mula-mula mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian tersenyum pula.
— Sebaiknya Raden tidur — desis Ki Jayaraga.
Raden Rangga tertawa semakin keras.
Demikianlah, maka dihari itu, para prajurit Mataram memang tidak mempunyai kegiatan apapun selain bersembunyi. Orang-orang yang bertugas menyediakan makan bagi mereka telah menyelinap keluar untuk mencari lingkungan yang memungkinkan mereka mendapatkan banyak orang berjualan. Mereka tidak menyalakan api sendiri untuk menghindarkan diri dari pengamatan orang-orang Nagaraga yang padepokannya sudah tidak terlalu jauh lagi dari perkemahan itu.
Ketika orang-orang itu masuk kedalam pasar seperti hari sebelumnya disebuah lingkungan padukuhan, maka mereka berusaha untuk tidak menarik perhatian. Mereka tidak membeli makanan terlalu banyak pada satu tempat. Beberapa orang telah membeli berpencaran dan terpisah-pisah.
Meskipun demikian ada juga seorang penjual nasi yang bertanya kepada kawannya berjualan — Untuk apa mereka membeli nasi sebanyak itu? —
— Entahlah — sahut kawannya — mungkin sekelompok orang yang sedang beramai-ramai mengerjakan bendungan atau memperbaiki tanggul yang longsor. —
Penjual nasi itu hanya mengangguk-angguk saja. Tetapi ia tidak memikirkannya lagi. Ia justru merasa senang bahwa dagangannya cepat habis sehingga pagi-pagi ia sudah dapat pulang sambil membawa oleh-oleh buat anak-anaknya.
Dihari itu, ternyata Pangeran Singasari sama sekali tidak memanggil Raden Rangga. Nampaknya Pangeran Singasari memang tidak ingin bertemu dan berbicara dengan anak yang dianggapnya sangat nakal itu.
Namun dihari itu, Pangeran Singasari memerintahkan para prtjurit Mataram yang terdiri sebagian besar dari para perwira itu bersiaga sepenuhnya.
Kepada Senapati yang menjadi pembantunya yang terdekat ia memerintahkan tidak seorangpun diantara mereka
yang boleh meninggalkan perkemahan kecuali untuk pergi ke sungai kecil yang tidak terlalu jauh dari perkemahan itu.
Sementara itu, Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga menjadi bimbang untuk memberitahukan bahwa orang-orang padepokan Nagaraga seakan-akan telah mendapat isyarat bahwa padepokan itu sedang dalam bahaya, sehingga dengan demikian maka kesiagaan di padepokan itupun perlu diperhitungkan dengan cermat.
— Jika kita melaporkan perjalanan sandi kita, apakah Pangeran Singasari justru tidak menjadi marah? — bertanya Kiai Gringsing.
— Mungkin ia justru menjadi marah — sahut Ki Jayaraga — sebaiknya kita memberitahukannya dengan cara lain. —
— Cara bagaimana? — bertanya Kiai Gringsing pula.
— Pada saat kita mendekati padepokan itu — berkata Ki Jayaraga — sehingga dengan demikian Pangeran Singasari tidak banyak mendapat kesempatan memarahi kita. —
Kiai Gringsing tersenyum. Tetapi ia mengangguk-angguk. Katanya — Kau ternyata bijaksana. —
Ki Jayaragapun tersenyum pula.
Namun keduanya memang menjadi gelisah, bahwa Pangeran Singasari telah memerintahkan prajurit Mataram untuk mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Malam itu petugas sandi akan menuju ke sasaran. Baru malam berikutnya pasukan akan bergerak. Menjelang fajar, mereka harus sudah mengepung padepokan itu.
— Terlalu lamban — desis Ki Jayaraga.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Justru setelah keduanya sempat melihat padepokan itu, maka mereka memperhitungkan, bahwa untuk mengamati padepokan itu dan sekaligus bergerak mendekatinya dapat dilakukan dalam satu malam.
— Lewat wayah sepi uwong petugas sandi itu dapat bergerak, sementara yang lain beristirahat sepenuhnya namun
sudah dalam kesiagaan penuh, kecuali beberapa orang petugas khusus. Demikian mereka dibangunkan oleh satu isyarat, maka mereka akan dapat bergerak dan mengepung padepokan itu, — berkata Kiai Gringsing.
— Ya. Seharusnya petugas sandi itu justru sudah bergerak sebelumnya — berkata Ki Jayaraga — bagi pasukan kecil ini, pengamatan yang hanya sekali agaknya tentu masih kurang. Petugas sandi itu perlu melihat sampai dua tiga kali. Apalagi jika mereka tidak sempat memasuki padepokan itu. —
— Kita akan menghadapi Pangeran Singasari — berkata Kiai Gringsing — kita mempunyai wewenang untuk memberikan pendapat, Diterima atau tidak diterima. —
Ki Jayaraga tiba-tiba tersenyum sambil menjawab — Menilik sikap Pangeran Singasari, maka rasa-rasanya apa yang akan kita lakukan itu sia-sia. Pangeran Singasari lebih percaya kepada rencananya sendiri, yang barangkali sudah dibicarakannya dengan para Senapati kepercayaannya.
— Ya, agaknya memang demikian — Kiai Gringsing mengangguk-angguk — tetapi untuk berbicara dengan Pangeran Singasari adalah tugas kita. —
Meskipun dengan ragu, namun kedua orang itu telah berusaha untuk menemui Pangeran Singasari yang ternyata sedang berbincang dengan Senapati kepercayaannya.
— Pangeran Singasari sedang sibuk — berkata seorang Senapati yang berjaga-jaga diluar lingkungan yang dipergunakan oleh Pangeran Singasari.
— Kami ingin berbicara sedikit — berkata Kiai Gringsing.
— Tunggu. Pangeran Singasari sedang membicarakan langkah-langkah yang akan kita ambil bersama Senapati terpilih diantara kami. Mungkin pembicaraan itu sangat rahasia sehingga tidak seorangpun yang boleh mendengarnya — sahut Senapati itu.
—- Jika yang dibicarakan itu sangat rahasia, maka
mereka tentu akan diam. Tetapi yang ingin aku sampaikan juga pertimbangan-pertimbangan yang barangkali bermanfaat bagi Pangeran Singasari — berkata Kiai Gringsing kemudian.
Senapati itu termangu-mangu. Namun kemudian iapun berkata — Baiklah. Aku akan menyampaikannya kepada Pangeran Singasari. Apakah Pangeran Singasari dapat menerima Kiai berdua atau tidak. —
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat memaksa Senapati itu, karena dengan demikian akan dapat timbul suasana yang kurang baik.
Dalam pada itu, ternyata Pangeran Singasari sudah selesai berbincang dengan Senapati terpercaya yang selalu memberi pertimbangan bagi setiap keputusan yang akan diambil oleh Pangeran Singasari. Karena itu, maka iapun kemudian berkata kepada Senapati yang menyampaikan niat Kiai Gringsing dan Jayaraga — Sebenarnya aku segan menerima mereka. Tetapi mereka merasa mendapat wewenang dari Panembahan Senapati untuk memberikan pertimbangan-pertimbangan kepadaku. Padahal maksud Panembahan Senapati hanyalah sekedar basa basi saja jika Panembahan mengatakan kepada mereka, bahwa mereka diminta untuk memberikan pertimbangan kepadaku. Tetapi kedua orang tua itu merasa memiliki pengalaman yang jauh lebih banyak dari aku, sehingga mereka pantas menjadi pe-nasehatku. —
Senapati yang menyampaikah keinginan Kiai Gringsing untuk menghadap itu diluar sadarnya menyahut — Ya Pangeran. Kedua orang tua itu, terutama yang aku ketahui adalah Kiai Gringsing, memiliki pengalaman dan kemampuan ilmu yang tidak ada bandingnya. —
— Cukup — tiba-tiba Pangeran Singasari membentak — Semua orang memang tahu bahwa Kiai Gringsing memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi yang harus kita pertimbangkan, apakah kita memerlukannya atau tidak. Jika kita sendiri mampu menyelesaikannya, kenapa kita harus minta bantuan kepadanya? —
Senapati itu mengerutkan keningnya. Namun bagaimanapun juga sebagai seorang Senapati, maka ia merasa perlu untuk mempertahankan harga dirinya, meskipun ia tidak akan berani menentang Pangeran Singasari. Karena itu, maka katanya — Pangeran, didengar atau tidak didengar, berguna atau tidak berguna, apa salahnya jika orang-orang itu memberikan pertimbangannya kepada Pangeran.—
— Sudah aku katakan, bahwa aku akan menerimanya meskipun sebenarnya aku merasa segan. Aku bukan anak-anak lagi yang harus selalu digurui, — jawab Pangeran Singasari. Namun kemudian katanya — Suruh mereka kemari. —
Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga masih saja menunggu. Mereka mendengar lamat-lamat pembicaraan antara Senapati yang menyampaikan maksudnya menghadap dengan Pangeran Singasari. Tetapi keduanya yang mempunyai pendengaran yang sangat tajam itu masih juga tidak tahu isi pembicaraan mereka, karena mereka menunggu ditempai yang memang agak jauh.
Ketika Kiai Gringsing mencoba mempertajam lagi pendengarannya untuk mencoba menangkap pembicaraan itu serba sedikit, pembicaraan itu ternyata sudah selesai.
Sejenak kemudian Senapati yang menyampaikan maksud kedua orang tua itupun telah datang sambil berkata — Kalian diperkenankan menghadap. —
— Terima kasih — berkata Kiai Gringsing dan Jayaraga hampir berbareng.
Pangeran Singasari telah menerima Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga dengan wajah yang kosong. Dengan nada rendah ia berkata — Duduklah Kiai. —
— Terima kasih Pangeran — sahut Kiai Gringsing yang kemudian duduk dihadapan Pangeran Singasari.
— Apakah ada yang penting yang ingin Kiai berdua sampaikan? — bertanya Pangeran Singasari.
— Benar Pangeran — jawab Kiai Gringsing — kami telah mendengar bahwa Pangeran hari ini memerintahkan pasukan bersiaga penuh. Malam nanti petugas sandi akan pergi ke sasaran untuk mengamati keadaan. Baru malam besok pasukan akan berangkat dan mengepung sasaran sebelum fajar. —
— Ya — jawab Pangeran Singasari — ada kesempatan bagi pasukan kita untuk bersiap lahir dan batin.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya — Apakah kami dapat memberikan pendapat kami? —
— Bagaimana pendapatmu? — bertanya Pangeran Singasari.
— Jika pengamatan atas sasaran memang hanya dilakukan satu kali, maka apakah tidak lebih baik jika nanti malam kita bergerak mengiringi petugas sandi? Kita siap didekat sasaran menjelang fajar dan jika petugas sandi selesai mengamati keadaan, kita bergeser maju. Sementara itu, diujung malam semua prajurit sempat beristirahat. Dengan demikian kita akan menghemat waktu satu hari. —-
— Aku ingin memberi kesempatan para prajurit mempersiapkan diri sebaik-baiknya — berkata Pangeran Singasari.
—- Semuanya sudah siap. Bahkan rasa-rasanya hampir menjadi jemu untuk menunggu. Apalagi mereka yang sudah lebih lama berada disini — berkata Kiai Gringsing.
Pangeran Singasari termangu-mangu. Namun kemudian katanya — Aku sudah mengambil keputusan. Bahkan para perwira sudah mengetahui. Kurang baik rasanya jika aku mencabutnya dan menyusuli dengan rencana baru. —
— Tidak apa Pangeran — jawab Ki Jayaraga — jika benar Pangeran mengajukan satu hari rencana penyergapan itu, maka tentu akan disambut dengan gembira oleh para perwira yang merasa sudah terlalu lama menunggu itu. —
— Sayang — berkata Pangeran Singasari — sebagai
Panglima perintahku tidak berubah-rubah. Dengan demikian maka orang-orangku tidak akan mengalami kebingungan.
Kiat Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ia memang sudah mengira bahwa pendapatnya tentu akan sia-sia. Tetapi ia tidak lagi dapat dipersalahkan, karena ia menjadi acuh tidak acuh.
Dengan nada dalam Kiai Gringsing berkata — Segala sesuatunya terserah kepada Pangeran. Namun aku dan Ki Jayaraga telah memberikan pendapatku. —
— Terima kasih. Aku sudah mendengar pendapatmu. Tetapi sayang, bahwa kau memberikan pertimbangan setelah aku menjatuhkan keputusan.
Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga tidak dapat memaksa. Mereka memang harus tunduk kepada semua keputusan Panglima yang memimpin pasukan itu.
Sementara itu Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga juga tidak dapat mengatakan bahwa keduanya telah berhasil mendekati, bahkan memasuki padepokan yang akan menjadi sasaran sergapan pasukan Mataram, karena dengan demikian, maka keduanya akan dianggap tidak mematuhi paugeran dari sekelompok pasukan dari Mataram itu.
Karena itu, maka keduanya hanya dapat menunggu, saat-saat yang telah diputuskan oleh Pangeran Singasari.
Sejenak kemudian, maka kedua orang tua itupun telah meninggalkan Pangeran Singasari dan Senapati terpilihnya. Ketika kedua orang tua itu berada diantara para perwira, maka memang terasa kegelisahan diantara mereka, karena mereka merasa telah terlalu lama menunggu. Tetapi para perwira itu tidak dapat berbuat apa-apa. Pimpinan dan perintah memang berada di tangan Pangeran Singasari.
Malam yang ditentukan itu, Pangeran Singasari telah memerintahkan dua kelompok petugas sandi, yang masing-masing terdiri dari dua orang untuk melihat-lihat keadaan padepokan. Dengan ancar-ancar sebagaimana pernah dide-
ngar oleh Pangeran Singasari dari Panembahan Senapati yang telah mendapat laporan sebelumnya, maka kedua orang itu melakukan tugas mereka.
Sebenarnyalah bahwa Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga menjadi berdebar-debar. Tetapi mereka tidak dapat mengatakannya bahwa sasaran yang akan didatangi oleh kedua kelompok pasukan sandi itu sangat berbahaya. Apalagi mereka seakan-akan dapat mengerti isyarat yang diberikan oleh ular naga yang mereka sebut bernama Kiai Nagaraga itu.
Karena itulah maka kedua orang itu telah berusaha mengambil cara yang lain.
Keduanya telah dengan diam-diam mendahului kedua kelompok itu dan berusaha menemuinya di jalur jalan yang akan mereka lalui.
Kedua kelompok yang berangkat setelah malam menjadi semakin dalam itupun terkejut, ketika disisi lereng bukit, tiba-tia saja muncul bayangan dua orang dalam kegelapan. Karena itu, maka keempat orang itupun dengan sigapnya telah mempersiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan.
Namun keempat orang itupun kemudian menarik nafas dalam-dalam ketika mereka mengetahui bahwa kedua orang itu adalah Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga.
— Kenapa Kiai berdua ada disini? — bertanya salah seorang diantara petugas sandi itu.
Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga saling berpandangan, sejenak. Namun kemudian Kiai Gringsingpun berkata — Ki Sanak. Kami berdua berniat meringankan tugas Ki Sanak. Terserah kepada Ki Sanak. Apakah Ki Sanak menerima dengan senang hati atau justru sebaliknya. —
— Setiap pertolongan atas tugas-tugas kami, sepanjang tidak bertentangan dengan perintah Pangeran Singasari akan sangat menguntungkan kami. Untuk itu kami meng-
ucapkan terima kasih — sahut salah seorang diantara mereka.
— Tetapi aku sudah melanggar perintah Pangeran Singasari — berkata Kiai gringsing.
Keempat orang itu menjadi tegang. Orang yang menjawab pernyataan Kiai Gringsing itu berkata pula — Kenapa Kiai melanggar perintah Pangeran Singasari yang diangkat oleh Panembahan Senapati menjadi panglima dari kelompok kecil ini. —
— Maksudku baik — berkata Kiai Gringsing — dengarlah. –
Keempat orang itu memandang Kiai Gringsing dengan tatapan mata yang tajam. Sementara itu Kiai Gringsing menceriterakan apa yang sudah dilakukan.
— Sebenarnya aku dapat berdiam diri. Tidak seorang-pun tahu apa yang sudah aku lakukan itu — berkata Kiai Gringsing — tetapi aku ternyata merasa perlu memberitahukan kepada kalian berempat. Semua itu aku lakukan demi keselamatan kalian dan seluruh pasukan. Jika kalian tidak menyadari, bahwa orang-orang Nagaraga dalam ke-siagaan justru karena ular yang berada didalam goa itu dianggap memberi isyarat, maka hal itu akan sangat berbahaya bagi kalian. Meskipun menurut dugaanku, ular yang ada didalam goa itu sekedar lapar. Jika menjadi kebiasaan, bahwa jika ular itu berteriak maka seekor kambing akan dikorbankan, maka ular itu akan terbiasa. Jika ia lapar, maka ia akan memanggil korbannya. —
Keempat orang itu termangu-mangu. Ternyata keterangan Kiai Gringsing selanjutnya sangat mempermudah tugas-tugas mereka yang berat. Sedikit keterangan tentang padepokan itu sendiri telah membuat mereka mempunyai gambaran, apa yang sebaiknya dilakukan.
Dalam pada itu Kiai Gringsingpun berkata — Nah, terserah kepada Ki Sanak. Apakah kami dianggap telah melakukan pelanggaran yang harus dihukum atau tidak.
Keempat orang itu termangu-mangu, sementara Ki
Jayaraga berkata — Kalian dapat membuktikan, apakah yang dikatakan oleh Kiai Gringsing sekedar membual atau berguna bagi kalian. Demikianlah kalian kembali dari tugas, kalian dapat mengambil satu sikap tentang kami. —
— Baiklah Kiai. Kami akan melanjutkan perjalanan. Terima kasih atas petunjuk Kiai. Sementara itu, jika keterangan Kiai memang menguntungkan kami seperti yang dikatakan oleh Ki Jayaraga, sudah barang tentu kami tidak akan menyulitkan kedudukan Kiai disini. Apalagi kami tahu, siapakah Kiai berdua. Terutama Kiai Gringsing — berkata salah seorang dari mereka — sebenarnyalah bahwa kami percaya kepada semua keterangan Kiai. Apakah Kiai akan pergi lagi ke padepokan itu sekarang?
Kiai Gringsing tersenyum. Katanya — Tidak. Kami tidak akan pergi malam ini. Kami akan menenangkan Raden Rangga yang sudah gatal-gatal untuk pergi ke padepokan itu.—
Keempat orang itupun sekali lagi mengucapkan terima kasih. Kemudian merekapun telah melanjutkan perjalanan menuju ke padepokan. Namun mereka telah banyak mendapat bahan dan bekal dari kedua orang tua itu.
Sebenarnyalah, ketika mereka mendekati padepokan itu, maka terasa oleh keempat orang yang berpisah menjadi dua kelompok itu, bahwa tentu terjadi peningkatan ke-siagaan di padepokan itu.
Mereka akhirnya merasa, bahwa petunjuk Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga itu sangat berarti bagi tugas mereka. Bahkan mereka mengakui, tanpa petunjuk dari kedua orang tua, tugas mereka akan terasa sangat berat, dan barangkali mereka telah terperosok kedalam daerah pengawasan orang-orang Nagaraga.
Berbeda dengan Kiai Gringsing, maka keempat orang itu tidak sempat memasuki padepokan. Meskipun mereka sudah mendapat bekal dan petunjuk-petunjuk dari kedua orang tua itu. Namun ketika mereka berhasil menjenguk ke-
dalam dengan meloncat keatas dinding yang gelap dan agak jauh dari pengamatan para petugas di padepokan itu, mereka melihat kesiagaan yang sangat tinggi.
Meskipun demikian keempat orang itu telah mendapat gambaran, apakah yang akan dilaporkan kepada Pangeran Singasari dan sekaligus pendapat mereka, apa yang sebaiknya dilakukan oleh pasukan Mataram saat pasukan itu menyerang padepokan.
Pada waktu yang sudah ditentukan maka keempat orang itu telah berkumpul kembali. Merekapun dengan tergesa-gesa meninggalkan lingkungan padepokan Nagaraga dan kembali ke perkemahan orang-orang Mataram.
Dengan jelas mereka dapat melaporkan, apa yang mereka lihat. Bahkan mereka kadang-kadang lupa, apakah yang dikatakan itu benar-benar hasil pengamatan mereka atau keterangan yang mereka dengar dari Kiai Gringsing. Namun dengan demikian keterangan keempat orang itu dianggap terlalu lengkap sehingga Pangeran Singasari berkata — Kalian pantas mendapat anugerah karena kalian berhasil melakukan tugas kalian dengan sangat baik, asal saja kalian tidak membual. Hal ini akan kita lihat kelak jika kita sudah memasuki padepokan itu.
Demikianlah, maka keempat itupun merasa berbangga atas pujian dari Pangeran Singasari, meskipun didalam hati mereka mengakui, seandainya mereka tidak bertemu dengan Kiai Gringsing, mungkin mereka justru telah terperosok kedalam penjagaan lawan yang sangat ketat.
Namun sebenarnyalah bahwa yang mereka laporkan adalah apa yang sebenarnya memang terdapat di padepokan Nagaraga. Karena baik yang mereka lihat dan mereka amati sendiri, maupun yang mereka dengar dari Kiai Gringsing benar-benar memang terdapat di padepokan itu, sehingga dengan demikian maka mereka tidak merasa cemas, bahwa akhirnya Pangeran Singasari akan membuktikan kebenaran laporan mereka.
Dihari berikutnya Pangeran Singasari ingin membicarakan dengan beberapa Senapati hasil pengamatan petugas sandinya dan merencanakan sergapan dimalam berikutnya. Karena itu, maka iapun telah memerintahkan memanggil tidak lebih dari lima orang. Namun ternyata bahwa Pangeran Singasari teringat juga kepada Kiai gringsing dan Ki Jayaraga. Karena itu, maka dalam pembicaraan itu, Pangeran Singasari telah memanggil pula Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga.
Raden Rangga yang tidak ikut dipanggil oleh pamanda-nya berkata kepada Kiai Gringsing — Jika pamanda memang tidak menghendaki aku berada disini, sebaiknya aku dan Glagah Putih meninggalkan pasukan ini dan melanjutkan tugas yang telah kami lakukan. Kami memang mengemban tugas yang berbeda dengan pamanda Pangeran Singasari. —
— Jangan Raden — berkata Kiai Gringsing yang menyadari bahwa Raden Rangga memang menjadi kesal — marilah kita bersama-sama melakukan rencana ayahanda Panembahan Senapati dengan sebaik-baiknya. Jika Raden melakukan tugas secara terpisah, mungkin akan terjadi benturan-benturan yang dapat merugikan kita semuanya. Dan berarti bahwa ayahanda Raden telah gagal apapun alasannya.
— Raden — berkata Ki Jayaraga kemudian — setuju atau tidak setuju dengan sikap Pangeran Singasari, kita semua memang wajib berusaha mencapai hasil yang sebesar-besarnya. Karena itu, maka kami berdua, maksudku aku dan Kiai Gringsing berusaha untuk membantu sejauh-jauhnya tugas yang diemban oleh Pangeran Singasari sekarang, meskipun sikap Pangeran Singasari kepada kami berdua kadang-kadang kurang menyenangkan hati kami. Tetapi kami tidak boleh mementingkan diri kami sendiri dalam keseluruhan tugas ini. —
Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Namun akhirnya ia mengangguk-angguk. Katanya — Aku mengerti Kiai. Sebenarnyalah bahwa aku hanya memandang keber-
hasilan rencana ayahanda Panembahan Senapati. Aku akan berusaha untuk mengekang diri. —
— Bagus Raden — sahut Kiai Gringsing — agaknya Raden telah dapat memisahkan tanggapan Raden atas sikap pamanda Raden itu dengan keseluruhan tugas yang dibebankan kepada kita semuanya. —
— Bukanlah itu yang Kiai kehendaki? — sahut Raden Rangga — untunglah kami berdua bertemu dengan Kiai. Jika tidak, memang mungkin kami melakukan sesuatu yang tidak sejalan dengan rencana pamanda Pangeran Singasari. —
— Terima kasih Raden — berkata Kiai Gringsing — sekarang, kami berdua akan menghadap Pangeran Singasari. –
Raden Rangga tidak menjawab. Sepeninggal Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga maka iapun kemudian duduk dengan lesu disebuah batu yang terdapat didekat sebuah gerumbul. Dengan kesal tiba-tiba tangannya telah mempermainkan tongkatnya, disentuhnya gerumbul perdu didekatnya dengan ujung tongkatnya. Nampaknya kekesalan hatinya telah tersalur lewat tongkat pring gadingnya, sehingga gerumbul itu tiba-tiba telah menjadi bagaikan dipanggang api. Daun-daunnya menjadi layu dan kering.
Untunglah ketika asap mulai mengepul, Glagah Putih memperingatkannya — Raden. Kita berada dilingkungan pengawasan orang-orang Nagaraga. Jika asap mengepul dari gerumbul yang terbakar oleh kekecewaan hati Raden, maka orang-orang Nagaraga akan tertarik karenanya. —
Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Iapun kemudian menyelipkan tongkatnya dipunggungnya sambil berkata — Salah gerumbul itu sendiri. —
Namun asap tidak jadi mengepul lebih banyak dan gerumbul itupun belum sempat terbakar.
Sabungsari yang menyaksikan hal itu menarik nafas dalam-dalam. Ia memang sudah mendengar kelebihan anak muda itu. Ternyata bahwa yang didengarnya itu tidak ber-
lebih-lebihan. Raden Rangga memang seorang yang memiliki kemampuan diluar perhitungan.
Sementara itu Pangeran Singasari telah membicarakan rencana yang akan dilakukannya malam mendatang. Ia telah mengatur pasukannya dan memberikan perintah-perintah kepada para Senapati. Berdasarkan atas laporan para petugas sandi, maka Pangeran Singasari telah menentukan apa yang akan dilakukan oleh pasukan itu.
— Padepokan itu adalah padepokan yang besar — berkata Pangeran Singasari — padepokan itu dibagi-bagi dalam beberapa bagian yang agaknya memang terpisah, meskipun dalam keseluruhan padepokan itu satu. Dengan demikian, maka kita harus menyesuaikan diri. Orang dalam pasukan kita hanya sedikit. Tetapi sebagian besar dari kita adalah para perwira. Karena itu, dengan jumlah orang yang sedikit, kita harus mampu menghancurkan padepokan yang besar itu. Meskipun demikian, agaknya disetiap bagian didalam padepokan itu terisi oleh hanya beberapa orang guru dan murid, dalam lingkungan perguruan besar Nagaraga. Yang paling banyak tentu hanyalah para cantrik atau pemula yang belum memiliki pegangan yang kuat. Namun dipadepokan itu tentu ada seorang pemimpin tertinggi atau katakanlah guru besar dari perguruan Nagaraga. —
Pangeran Singasaripun kemudian mencoba untuk mengurai laporan yang diberikan oleh keempat orang yang bertugas mengamati padepokan itu. Sebagian memang hasil penglihatan mereka sendiri, namun sebagian yang lain adalah justru yang mereka dengar dari Kiai Gringsing.
Tetapi Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga tidak akan mengurangi penghargaan Pangeran Singasari kepada para petugas sandinya. Karena itu, keduanya sama sekali tidak menyahut.
Ternyata bahwa Pangeran Singasari telah membagi pasukannya sebanyak bagian yang diperhitungkan ada di padepokan itu. Mereka tidak akan menyerang dari pintu gerbang dalam pasukan yang utuh serta mendesak dari
segala arah. Tetapi menurut perhitungan Pangeran Singasari akan lebih cepat berhasil jika prajurit Mataram itu terbagi dan langsung memasuki bagian-bagian yang membagi padepokan itu. Mereka bertugas dan bertanggung jawab untuk menghancurkan sasaran, sehingga diharapkan pada waktu yang hampir bersamaan tugas mereka akan selesai. Jika ada kesulitan maka perwira yang bertanggung jawab dilingkaran itu harus segera memberikan laporan.
— Hari ini kita harus sudah membagi diri — berkata Pangeran Singasari — aku akan memberikan petunjuk-petunjuk khusus bagi setiap orang yang bertanggung jawab pada kelompok-kelompok itu. Menurut laporan para petugas sandi, di padepokan itu ada enam bagian yang dibatasi dengan dinding kayu meskipun tidak begitu tinggi. Nanti aku akan berbicara langsung dengan enam orang yang akan memimpin kelompok-kelompok yang khusus, yang akan memasuki pintu gerbang. Aku akan memimpin sendiri pasukan yang khusus itu untuk bertemu langsung dengan pimpinan tertinggi padepokan itu. —
Berdasarkan pembicaraannya dengan para Senapati terdekat, maka Pangeran Singasaripun telah menyusun kelompok-kelompok yang jumlahnya menjadi tujuh itu. Setiap kelompok dipimpin oleh seorang Senapati yang ter-percaya. Diantara mereka adalah orang-orang yang sedang berbicara dengan Pangeran Singasari itu.
Namun dalam pada itu, Pangeran Singasari sama sekali tidak menyebut-nyebut Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga. Apalagi Sabungsari, Glagah Putih dan Raden Rangga.
Karena itu, maka Kiai Gringsing pun telah, mencoba untuk menyela — Pangeran, apakah yang Pangeran perintahkan kepada kami? —
— Siapa saja? — bertanya Pangeran Singasari.
— Kami berlima — jawan Kiai Gringsing. Pangeran Singasari mengerutkan keningnya. Lalu katanya — Bukankah kalian bukan prajurit? —
— Seorang diantara kami adalah prajurit Mataram -jawab Kiai Gringsing.
— Tetapi bukan dari kesatuan yang ditentukan — jawab Pangeran Singasari — bukankah Sabungsari seorang perwira muda dari pasukan Mataram yang berada di Jati Anom di bawah pimpinan Untara? —
— Ya Pangeran — jawab Kiai Gringsing — tetapi perintah bagi Sabungsari datang dari Panembahan Senapati. —
— Jika demikian, lakukan perintah itu? — jawab Pangeran Singasari.
— Perintah itu mengatakan, bahwa Sabungsari akan bergabung dengan pasukan itu sebagaimana aku dan Ki Jayaraga. Selanjutnya Raden Rangga dan Glagah Putih yang kami jumpai di daerah ini juga dalam tugas yang diperintahkan Panembahan Senapati. — berkata Kiai Gringsing.
Pangeran Singasari mengangguk-angguk. Lalu katanya — Jika demikian, Kiai berdua dan anak-anak itu akan berada bersama kami. Tetapi dengan syarat, bahwa kalian hanya akan melakukan sesuatu atas perintah kami. -—
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Namun sambil mengangguk-angguk ia berkata — Baiklah Pangeran. Kami akan berada dalam kelompok khusus yang akan memasuki padepokan bersama Pangeran. Kami akan melakukan semua perintah Pangeran sebatas kemampuan kami. —
— Baiklah, — berkata Pangeran Singasari — karena itu dalam pertemuan antara para pemimpin kelompok sebagaimana telah kita bicarakan, Kiai tidak perlu hadir. Karena akulah pemimpin kelompok ketujuh itu, sehingga cukup aku sajalah yang akan mewakili seluruh kelompok. —
— Segala perintah akan kami lakukan — jawab Kiai Gringsing.
— Perintah selanjutnya akan diberikan saat pasukan ini berangkat, — berkata Pangeran Singasari selanjutnya.
Namun pertemuan itu sempat menentukan, kapan mereka harus berangkat menuju sasaran.
— Kita harus memperhitungkan bahwa saat fajar naik kelangit, kita sudah berada di sekitar padepokan. Sebelum matahari terbit, kita akan meloncat masuk dan menuju ke sasaran masing-masing. Gambaran tentang dinding didalam padepokan, akan aku berikan nanti dalam pertemuan diantara para pemimpin kelompok. Kita akan berbicara dengan terperinci, — berkata Pangeran Singasari.
Dengan demikian maka pertemuan itupun telah selesai. Mereka yang ikut dalam pembicaraan itupun telah meninggalkan tempat mereka masing-masing.
Kiai Gringsing dan Ki Jayaragapun telah kembali pula ke tempat mereka. Sabungsari, Glagah Putih dan terutama Raden Rangga rasa-rasanya sudah tidak sabar lagi. Karena itu, demikian Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga duduk di antara mereka, Raden Ranggapun bertanya — Begitu lama Kiai? –
— Ah, bukankah hanya sesaat saja? — sahut Kiai Gring sing.
Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun berkata — Mungkin waktu ditempat Kiai berbincang dengan pamanda Pangeran Singasari berbeda dengan waktu disini.
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian tersenyum. Katanya — Raden sekali-sekali masih juga merajuk. —
Raden Rangga memandang wajah Kiai Gringsing sekilas. Namun kemudian katanya — Sekali-sekali menyenangkan juga — Raden Rangga berhenti sejenak, namun kemudian katanya — Apa yang dibicarakan? —
Kiai Gringsing, Ki Jayaraga, Sabungsari, Glagah Putih dan Raden Ranggapun kemudian duduk melingkar. Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga telah menceriterakan hasil pembicaraan mereka dengan Pangeran Singasari. Namun kedua orang tua itu cukup berhati-hati sehingga tidak menyinggung perasaan Raden Rangga. Tidak semua yang
mereka dengar mereka katakan kepada anak-anak muda itu.
Akhirnya Kiai Gringsingpun berkata — Nanti kita berangkat —
— Nanti atau besok? — bertanya Raden Rangga — Bukankah kita akan berangkat menjelang pagi. —
— Raden benar. Kita akan berangkat lewat tengah malam. — jawab Kiai Gringsing.
Anak-anak muda yang mendengarkan keterangan Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga itu mengangguk-angguk. Mereka dapat membayangkan tugas-tugas yang harus mereka lakukan besok. Namun anak-anak muda itu merasa kecewa bahwa mereka akan selalu berada bersama dengan Pangeran Singasari itu sendiri. Dengan demikian maka gerak mereka akan sangat terbatas. Bahkan sebagaimana dikatakan oleh Pangeran Singasari, bahwa mereka tidak boleh berbuat apa-apa tanpa perintah.
Tetapi mereka memang tidak dapat memilih sebagaimana dikatakan oleh Kiai Gringsing.
Namun bagaimanapun juga Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga berhati-hati sekali menyampaikan hasil pembicaraan mereka dengan Pangeran Singasari, namun kekecewaan masih nampak jelas membayang diwajah Raden Rangga. Tetapi agaknya Raden Rangga masih berusaha untuk menahan diri.
***
Sumber djvu : Koleksi Arema
Lanjut ke kitab 218 (Seri III – 018)
Ki Sanak Arema, kitab 217 ada di mana ya, kok saya nyari gak ketemu2?
Maaf Ki Hendro, baru dibaca.
Ha ha ha …
Ada di cover Ki. Klik kanan lalu di save.
Wah Retypenya Ki Mahesa banyak tapi nggak ada yang tamat. Pripun niki?
Plok..plok..plok.. lagi (menyemangati Ki Kuncung
Lanjut…..
Membungkukkan badan sedalam-dalamnya ( hormat & terimakasih pada Ki Arema )