Laman: 1 2
Buku III-12
The URI to TrackBack this entry is: https://adbmcadangan.wordpress.com/buku-iii-12/trackback/
The URI to TrackBack this entry is: https://adbmcadangan.wordpress.com/buku-iii-12/trackback/
Gambar Kulit :
Herry Wibowo
Ilustrasi :
Sudyono
Penerbit :
Kedaulatan Rakyat,
Yogyakarta
gambare samak KARTINI JAMAN MATARAM, nyekel gegaman pedang sepasang…..
Makasih ya Kang mbokayu Ati…..
hadir, isi daftar presensi.. – setelah berapa hari ya..
nyi seno, sebenarnya dengan tampilan balas membalas ini asyik juga. but, kalo aku baca di-hp, hasilnya jadi kecepit semua. gak enak blas buat dibaca. masak satu huruf lurus kebawah..hehehehe.. jadi stress..
jadilah ini aku coba koneksikan dari laptop ke hp, tapi duh lambatnya audubillah..
but its ok-lah, yang penting adbm tetap jaya, para cantrik makin suka, akupun makin cinta…hehehehehe..
SELAMAT HARI KARTINI… π
selamet berhari ratu kartini…nyai
matur suwun jeng kartini…
ko rodo2 aras2ensaiki
goro2 AS jarang methu…
pegel ngulatno polahe Rangga
maaaa………aciiiiiihhhhh
Ternyata nyai Seno termasuk orang yang sensitif terhadap ke-Kartini-an,
Begitu ada yang mengucapkan selamat hari Kartini,
terus perasaane sajak piye…. terus kitab diwedhar…
Matur suwun R.A. Senopati….
Terima kasih Nyi Seno untuk bonus kitab 112 di hari kartini, kitab 113 dst yang akan datang kami tunggu.
walah lupa yg benar kitab 212, terima kasih.
Haturnuhun kitab 212 parantos ditampi….
Waduh kepancal terus….maaf Nyi Seno kelupaan mengucapkan selamat hari Kartini…
Matur nuwun kitabnya
dilanjutkan lagi …….
Kedua orang itu sama sekali tidak menjawab. Keduanyapun segera bergeser surut, menghilang diantara pohon-pohon pandan yang tumbuh menjadi besar.
Dengan tergesa-gesa kedua orang itu melaporkan kepada guru mereka, bahwa yang membuat asap itu ternyata adalah Agung Sedayu.
β Bagaimana kau tahu? β bertanya Ki Ajar.
β Seorang diantara mereka ternyata melihat kehadiran kami. Padahal menurut perhitungan kami, hal itu tidak akan mungkin. Dengan lantang orang itu berpesan agar aku sampaikan kepada Ki Ajar salamnya dan memberitahukan bahwa mereka berlima telah menunggu. Orang itu telah menyebut namanya, Agung Sedayu. β
β Persetan β geram Ki Ajar. Namun ternyata bahwa Agung Sedayu telah berhasil menusukkan pengaruh kesombongannya kepada muridnya.
Karena itu, maka Ki Ajar itupun berkata β Dan kau mulai menjadi gentar melihat permainan itu? β
Namun dengan serta merta, muridnya itu menjawab β Tidak guru. Aku sama sekali tidak menjadi gentar melihat kehadiran mereka berlima. β
β Bagaimana jika kau aku tunjuk untuk melawan orang yang bernama Agung Sedayu.
Orang yang melihat kelima orang ditempat yang agak lapang itu menjadi ragu-ragu. Bukan karena kekecilan hatinya, tetapi ia membuat perhitungan berdasarkan pada nalarnya.
Namun yang tertua diantara keempat muridnya itu berkata β Guru. Aku adalah yang tertua diantara saudara-saudara seperguruanku. Mungkin aku memiliki masa penempaan yang paling lama. Karena itu, jika guru berkenan, beri kesempatan aku menyelesaikan Agung Sedayu. Bukankah menurut guru, aku sudah mewarisi semua ilmu dari perguruan kita. Meskipun mungkin aku belum dapat mengembangkannya, tetapi aku sudah mempunyai bekal yang cukup untuk melakukannya. β
Gurunya mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun berkata sambil tersenyum β Kita belum mengetahui, siapakah orang terbaik diantara kelima orang itu. Tetapi agar aku yakin, bahwa dendam kita dapat kita lepaskan, maka aku berharap bahwa aku akan dapat membunuh Agung Sedayu. Tetapi jika ada orang lain yang lebih besar kemampuannya dari Agung Sedayu, maka biarlah kau melawan Agung Sedayu itu. Aku yakin bahwa kaupun akan dapat membinasakannya. Agaknya disini tidak ada orang lain yang perlu diperhitungkan lagi. Jika ada dua orang saja diantara isi Tanah Perdikan ini, maka Tanah Perdikan ini benar-benar Tanah Perdikan yang sangat besar. β
Muridnya mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Ajar-pun segera memerintahkan murid-muridnya untuk bersiap. Namun kemudian katanya β Tetapi jangan terlalu yakin, bahwa yang datang itu hanya lima orang. Siapa tahu, bahwa sekelompok pengawal telah bersiap. Pada saatnya mereka akan datang menyergap kita. β
β Kita akan menaburkan kematian β berkata muridnya yang tertua β tetapi bukan salah kita. β
β Ya. Sudah tentu bukan salah kita β jawab Ki Ajar β aku sudah memperingatkan Agung Sedayu akan kemungkinan itu. β
Para murid Ki Ajar itu mengangguk-angguk. Mereka memang terlalu yakin akan kemampuan mereka dan terutama guru mereka.
Namun demikian ternyata Ki Ajar itu masih memberikan peringatan kepada murid-muridnya β Namun bagaimanapun juga, kalian harus menyadari, bahwa pada satu saat, kita akan sampai pada satu batas yang tidak teratasi. Jika jumlah para pengawal itu terlalu banyak tanpa menghiraukan kematian yang terjadi, maka mungkin kita harus mengalah, menyingkir dari arena. Nah, hutan pandan ini memberikan banyak kesempatan. β
β Kita tidak akan menyingkir dari medan β berkata salah seorang murid Ki Ajar β seperti tadi guru katakan, kematian mereka bukan salah kita. β
Ki Ajar mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian tidak menjawab lagi. Bahkan iapun berkata β Kita pergi sekarang. β
Demikianlah maka kelima orang itupun segera pergi menuju kearah asap yang mengepul. Bagaimanapun juga, maka Ki Ajar harus menilai, betapa Agung Sedayu tanpa mengenal gentar telah menyatakan kehadirannya. Justru dengan membuat api untuk melontarkan asap ke udara.
Jarak diantara mereka memang tidak jauh. Karena itu, maka pada waktu dekat, Ki Ajar Laksana bersama murid-muridnya telah mendekati daerah yang cukup lapang diantara hutan pandan itu.
Kelima orang yang menunggu itupun segera melihat kehadiran mereka. Karena itu, maka merekapun segera bergeser menghadap kearah kelima orang yang baru datang itu.
Namun demikian Ki Ajar Laksana muncul di tempat yang cukup lapang itu, ia mengerutkan keningnya. Ia melihat Pandan Wangi dan orang tua yang berkuda bersamanya beberapa hari yang lalu.
Karena itu hampir diluar sadarnya Ki Ajar itu berdesis β Kita bertemu lagi Ki Sanak. β
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Katanya Siapakah yang kau maksud? Tentu bukan aku, karena kau baru saja datang kerumahku. β
β Memang bukan β jawab Ki Ajar β tetapi perempuan itu serta orang tua yang menyertainya. β
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Dengan ragu ia bertanya β Dimana kita pernah bertemu? β
β Kita bersama-sama menyeberangi Kali Praga beberapa hari yang lalu β berkata Ki Ajar Laksana.
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Katanya β Maaf Ki Sanak. Aku tidak melihat, atau barangkali tidak memperhatikan bahwa kita menyeberang bersama-sama. β
β Ternyata kita bertemu disini dalam keadaan yang tidak menguntungkan. Kenapa kita harus berhadapan sebagai lawan? β bertanya Ki Ajar.
β Aku tidak tahu maksudmu. Aku tidak tahu pula, kenapa kau merasa berkeberatan. Aku adalah penghuni Tanah Perdikan ini. Karena itu wajar jika aku berusaha untuk ikut campur dalam persoalan-persoalan yang tumbuh di Tanah Perdikan ini. β
Ki Ajar mengangguk-angguk. Katanya β Beruntunglah Agung Sedayu karena kedatanganmu. Jika kau tidak datang ke Tanah Perdikan ini, maka Agung Sedayu tidak akan mempunyai kawan genap lima untuk menghadapi persoalannya dengan aku. β
β Tentu tidak β jawab Pandan Wangi β kau justru harus menyadari bahwa dalam hal ini belum terlibat Ki Gede. Jika Ki Gede Menoreh turun sendiri, maka akibatnya akan semakin pahit buat kalian. β
Ki Ajar mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian bertanya β Seberapa kemampuan Ki Gede dalam ilmu kanuragan. Ia memang seorang pemimpin disini. Tetapi aku tidak yakin bahwa ia memiliki kemampuan yang dapat dise-jajarkan dengan murid-muridku. β
Namun Ki Ajar itu menjadi tegang sejenak, ketika Pandan Wangi mengatakan β Ki Gede adalah guruku. Kau akan dapat menilai kemampuannya dengan menilai kemampuanku. β
Ki Ajar menarik nafas dalam-dalam. Katanya β Ternyata Tanah Perdikan ini benar-benar satu lingkungan yang besar diluar dugaanku. β Ia berhenti sejenak, namun kemudian tiba-tiba ia bertanya β Kenapa Ki Gede itu sendiri tidak datang kemari? Ia berhak melindungi orang-orangnya yang terancam bahaya. β
β Aku mewakilinya. Aku adalah anak Ki Gede, β jawab Pandan Wangi β jika aku tidak kebetulan datang ke Tanah Perdikan ini, nasib kalian akan bertambah buruk, Karena Ki Gede sendiri akan turun ke medan. β
β Persetan β geram Ki Ajar β ternyata Tanah Perdikan ini penuh dengan orang-orang sombong yang tidak tahu diri. Baiklah anak manis. Jika kulitmu tergores ujung senjata, apalagi di wajahmu, maka bukannya salahku. β Ki Ajar itu berhenti pula. Ia pun beralih memandang Sekar Mirah. Katanya β Tetapi aku melihat disini ada dua orang perempuan. Siapakah yang seorang? β
β Isteriku β jawab Agung Sedayu.
β Adik suamiku β desis Pandan Wangi pula.
Wajah Ki Ajar benar-benar menjadi tegang. Ia pernah mendengar ceritera dari seorang pedagang yang bersama-sama menyeberang Kali Praga beberapa hari yang lalu, bersamaan pula dengan Pandan Wangi dan Kiai Gringsing. Pedagang yang menjadi pucat mendengar tentang perempuan yang bernama Pandan Wangi itu dan apalagi tentang suaminya, kakak dari perempuan yang seorang lagi.
Namun yang lebih mengejutkan lagi ketika Ki Ajar tiba-tiba saja tanpa di sengaja melihat tongkat baja putih _ yang berada di tangan Sekar Mirah itu.
β Siapakah namamu dan darimana kau mendapat tongkat itu? bertanya Ki Ajar Laksana kepada Sekar Mirah.
β Namaku Sekar Mirah β jawabnya β tongkat ini pemberian guruku. β
β Siapakah nama gurumu? β bertanya Ki Ajar.
Sekar Mirah mendapat kesan sesuatu pada wajah Ki Ajar Laksana tentang tongkatnya. Karena itu, maka Sekar Mirahpun kemudian berkata β Guruku adalah Ki Sumang-kar. β
β Tetapi ciri tongkatmu adalah ciri Macan Kepatihan Jipang β berkata Ki Ajar Laksana.
Sekar Mirah memandangnya dengan tajamnya. Lalu katanya β Jalur perguruanku sama dengan jalur perguruan Macan Kepatihan. Tetapi jalur perjuanganku berbeda. Sikap gurukupun berbeda dengan sikap Macan Kepatihan.
Ki Ajar Laksana mengerutkan keningnya. Dengan nada datar iapun berkata β Memang luar biasa. Disini berkumpul orang-orang yang mempunyai jalur perguruan yang dapat dibanggakan. Aku kagum pada murid-murid yang mempunyai jalur perguruan yang sama dengan Macan Kepatihan. Tongkat itu adalah ciri kebesarannya. Tetapi tidak semua murid dari satu perguruan memiliki perkembangan ilmu yang sama. β
Sekar Mirah menggeretakkan giginya. Hampir diluar sadarnya ia berkata β Baiklah. Kita akan menguji, apakah tongkat ini mampu bergerak secepat tongkat seperti ini ditangan Macan Kepatihan yang terbunuh di Sangkal Putung itu. β
Ki Ajar Laksana menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudin katanya β Baiklah. Aku sudah menangkap maksud kedatangan Agung Sedayu. Pada pokoknya Agung Sedayu menolak menyerahkan Glagah Putih sehingga ia datang bersama ampat orang sebagaimana yang aku isyaratkan. Jika demikian, maka kita benar-benar akan menguji, siapakah yang memang berhak untuk keluar dari tempat ini. Karena kau datang berlima Agung Sedayu dan kita juga berlima, maka kita tidak akan memilih lawan. Yang ada disini akan bertempur dalam kelompok masing-masing.
Masing-masing lima orang. β
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya β Apakah hal itu tidak dapat dirubah lagi? Sebenarnya aku ingin menawarkan satu penyelesaian yang khusus. Kita menunggu sampai Glagah Putih pulang. Baru kita akan tahu, siapakah yang sebenarnya bersalah diantara muridmu dan Glagah Putih. Jika saudara sepupuku memang salah, aku rela ia mendapat hukuman yang setimpal. Tetapi jika kesalahan terletak pada muridmu, maka persoalannya dapat dianggap selesai. β
β Kau tidak perlu menunggu β Potong murid Ki Ajar yang pernah tertawan β aku sendiri menjadi saksi, bahwa Glagah Putih telah membunuh saudara seperguruanku. Dengan licik bersama dengan anak muda yang disebut bernama Raden Rangga, mereka telah menjebak dan kemudian membunuh saudaraku itu. β
β Jika kau menjadi saksi, kenapa kau tidak berbuat sesuatu pada Waktu itu? β bertanya Agung Sedayu.
β Persetan β geram murid Ki Ajar itu β yang penting sekarang serahkan Glagah Putih itu. β
Agung Sedayu menggelengkan kepalanya. Katanya β Sudah beberapa kali aku katakan, Glagah Putih tidak ada di Tanah Perdikan ini. Glagah Putih memang belum kembali. Mungkin ia masih diperjalanan atau justru meneruskan perantauannya untuk mendapatkan pengalaman hidup menjelang masa-masa dewasanya. β
β Tetapi pengalaman yang dihayatinya adalah pengalaman yang buruk β sahut Ki Ajar.
β Aku tidak yakin β jawab Agung Sedyu.
β Sudahlah β berkata Ki Ajar β jika kau tetap pada pendirianmu, maka kita akan mulai. Lima orang akan melawan lima orang. Itu sudah adil. Namun apakah kalian akan mengikut sertakan orang tua itu. Sebenarnya aku menjadi kasihan melihat wajahnya yang muram dan memelas. β
Kiai Gringsing tersenyum. Namun kemudian katanya
β Ada juga gunanya wajah yang memelas. Setidak-tidaknya kalian tidak akan melakukan kekerasan terhadap aku. orang tua yang barangkali harus dibelas kasihani. β
Tetapi Ki Ajar Laksana menjawab β Sayang, bahwa jika kau sudah berada di arena, maka kau akan tahu apakah yang mungkin terjadi. Wajahmu yang tua dan memelas tidak akan menolongmu. β
β Apaboleh buat β gumam Kiai Gringsing seolah-olah kepada dirinya sendiri.
Dalam pada itu, maka Ki Ajar Laksanapun telah memberikan isyarat kepada murid-muridnya. Dengan nada datar ia berkata β Kita sudah cukup lama berbincang. Kita sudah mengambil kesimpulan bahwa Agung Sedayu tidak mau mendengarkan perintahku. Ia memilih melawan dengan jumlah orang yang sama. Maka segala akibat yang terjadi adalah tanggung jawabnya. Kematian yang timbul, adalah akibat dari kesombongannya. Bahkan mungkin kelicikan Agung Sedayu yang tidak berani mempertanggung jawabkan tingkah laku sepupunya. Namun ia telah berpura-pura menjadi pahlawan dengan tidak mau menyerahkan anak itu kepada kami. Karena itulah maka ia telah menyeret orang-orang yang seharusnya tidak bersangkut paut dengan peristiwa ini kedalam maut. β
β Ceritamu sudah cukup panjang β desis Sekar Mirah
β sekarang kalian mau apa? β
Ki Ajar mengerutkan keningnya. Katanya β Baiklah. Kita akan segera mulai. Tetapi masih seorang diantara kalian yang belum menyatakan sikapnya. Apa katamu tentang Agung Sedayu? β
Ki Jayaraga mengerutan keningnya. Ia sadar, bahwa orang itu agaknya telah bertanya kepadanya. Karena itu, maka katanya β Aku tidak ingin berbicara apapun. Aku ingin berkelahi. Itu saja. β
Wajah Ki Ajar menjadi tegang. Namun kalimat yang pendek yang diucapkan dengan kata-kata yang utuh dan
jelas itu, menunjukkan bahwa orang itupun memiliki sesuatu yang tidak mudah dijajagi.
Karena itu, maka Ki Ajar itupun segera bergeser sambil berkata β Marilah. Kita akan segera mulai. β
Agung Sedayu segera mempersiapkan diri. Demikian pula Sekar Mirah dan Pandan wangi. Sementara itu Kiai Gringsing menggamit Ki Jayaraga sambil berdesis β Apakah kau akan bersungguh-sungguh? β
β Kita lihat keadaan β berkata Ki Jayaraga β aku belum tahu, dengan siapa aku akan berhadapan. β
Kiai Gringsing tersenyum. Namun iapun berdesis β Aku termasuk orang yang dibelas kasihani. β
Ki Jayaraga mengerutkan keningnya. Katanya β Kau pandai berpura-pura, sehingga orang-orang itu merasa belas kasihan melihat wajahmu yang sudah berkeriput itu. β
Tetapi Kiai Gringsing tidak sempat tertawa. Tiba-tiba saja kelima orang lawannya sudah mundur. Agaknya mereka benar-benar ingin bertempur dalam kelompok, sehingga mereka tidak akan menentukan lawan mereka seorang-seorang.
Karena kelima orang lawan mereka seakan-akan telah mengepung mereka, maka Agung Sedayu dan empat orang lainnya telah bersiap beradu punggung.
Namun tiba-tiba saja Agung Sedayu berkata β Tunggu. β
β Untuk apa β desis Ki Ajar Laksana.
Jantung Ki Ajar tiba-tiba saja bagaikan semakin cepat berdenyut. Ternyata Agung Sedayu telah mendekati perapian dan memadamkannya. Dengan kakinya Agung Sedayu menginjak api yang memang sudah hampir padam itu.
β Jika kita semuanya mati, maka ada kemungkinan api akan menjalar lagi membakar rerumputan kering. Jika kemudian hutan pandan ini terbakar, maka tentu akan menimbulkan keributan. Daun pandan kering itu akan mudah dijilat api β jawab Agung Sedayu.
β Setan kau β geram Ki Ajar β kau telah menghina kami. Semua orang akan menjadi gemetar dalam kepungan kami. Kenapa kau masih sempat berkelakar seperti itu. β
β Aku tidak berkelakar β jawab Agung Sedayu β tetapi aku benar-benar mencemaskan api itu. Nah, sekarang aku sudah selesai. Jika kau akan mulai, mulailah. Apapun yang akan kau lakukan, kami akan melayaninya. β
Ki Ajar menggeram. Ia benar-benar sudah siap menghadapi Agurg Sedayu dan keempat yang lain.
Namun, bagaimanapun juga, Agung Sedayu masih juga mempergunakan perhitungan. Karena itulah, maka ialah yang langsung berada dihadapan Ki Ajar Laksana. Kemudian disebelah kirinya adalah Kiai Gringsing. Sedang disebelah kanannya adalah Sekar Mirah. Baru kemudian Ki Jayaraga dan Pandan Wangi yang berada disisi sebelah kiri Kiai Gringsing.
Dalam keadaan yang gawat dihadapan khususnya Ki Ajar Laksana, maka Kiai Gringsing akan dapat melindungi Pandan Wangi, sementara Agung Sedayu akan dapat melindungi Sekar Mirah.
Demikianlah, maka sejenak kemudian Ki Ajar Laksana itu mulai bergerak. Lingkaran itu ternyata berputar kekiri. Untuk beberapa saat putaran itu hanya perlahan-lahan saja. Namun agaknya mereka sedang mencoba memusatkan segenap kemampuan mereka untuk menghancurkan kelima orang yang berada didalam lingkaran.
β Satu cara yang menarik β desis Agung Sedayu.
β Ternyata inilah perguruan Watu Gulung itu geram Ki Jayaraga yang membelakangi Agung Sedayu.
β Ya β Kiai Gringsing yang menjawab β meskipun mungkin perkembangannya masih belum pernah kita lihat.
Ki Jayaraga tidak menjawab. Ternyata kelima orang yang mengepung mereka itu telah menarik senjata mereka masing-masing. Semua dari kelima orang itu ternyata
bersenjata sepasang potongan baja sepanjang satu jengkal lebih sedikit yang satu sama lain dihubungkan dengan rantai hampir sedepa panjangnya.
Dengan demikian, maka Agung Sedayupun telah mengurai senjatanya pula, sebuah cambuk yang membelit di lambungnya. Sekar Mirah dan Pandan Wangipun dengan cepat telah menggenggam senjata mereka masing-masing. Sekar Mirah telah memegang tongkat baja putihnya pada ujung dan hampir dipangkalnya. Sementara itu Pandan Wangi dikedua belah tangannya telah menggenggam pedang yang bersilang didadanya.
β Kami membawa apa? β bertanya Ki Jayaraga β apakah Kiai juga akan mempergunakan cambuk? β
β Aku ragu-ragu β berkata Kiai Gringsing.
β Jadi? β desis Ki Jayaraga.
β Entahlah nanti β sahut Kiai Gringsing. Lalu β He, bukankah kau mempunyai pedang lengkung itu? β
β Aku tidak membawanya β jawab Ki Jayaraga.
β Pegang apa saja untuk membatasi agar kau tidak menjadi buas disini β berkata Kiai Gringsing.
Ki Jayaraga termangu-mangu. Namun kemudian iapun telah membuka ikat kepalanya.
β Kau telah mempermainkan ikat kepalamu sebagaimana dilakukan oleh Ki Waskita. Tetapi pasangannya adalah ikat pinggangnya. β berkata Kiai Gringsing sambil memperhatikan lawannya yang masih saja berputar perlahan-lahan. Agaknya, mereka belum mulai menyerang. Namun mereka mulai mempermainkan senjata mereka.
β Glagah Putih juga bersenjata ikat pinggang yang diterimanya di Mataram β berkata Ki Jayaraga.
Kiai Gringsing termangu-mangu. Namun ia belum membawa senjata apapun.
Dalam pada itu, terdengar Ki Ajar Laksana berkata β Kami simpan pedang kami. Hanya untuk melawan orang-orang berarti sajalah kami pergunakan pedang kami.
β O β Agung Sedayu sempat menjawab β jangan sembunyikan kecemasan dihatimu melihat senjata-senjata kami. β
Orang-orang yang berputaran itu mengumpat. Bagi mereka, Agung Sedayu adalah orang yang sangat sombong.
Namun sejenak kemudian, mereka telah mempercepat putaran mereka. Senjata merekapun telah berputar dita-ngan mereka.
β Kakek tua β berkata Ki Ajar β kenapa kau tidak bersenjata? Jika kau memang tidak siap ikut dalam permainan ini, keluarlah dari lingkaran. Kau akan dimaafkan, justru karena kulitmu sudah berkerut. β
Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Namun kemudian jawabnya β Terima kasih Ki Sanak. Karena aku adalah bagian dari anak cucuku ini, maka biarlah aku berada disini. β
β Apakah kau memerlukan senjata? β bertanya Ki Ajar Laksana yang sudah berputar sampai diarah lain. Namun suaranya bagaikan bergema dari segala arah.
Kiai Gringsing termangu-mangu. Memang kurang wajar jika ia tidak bersenjata. Karena itu, maka iapun telah mengurai senjatanya pula, seperti senjata Agung Sedayu, sebuah cambuk yang berjuntai panjang.
Ki Ajar Laksana tergetar melihat senjata Kiai Gringsing. Hampir diluar sadarnya ia berdesis β Apakah kau. yang disebut orang bercambuk itu? β
β Entahlah β jawab Kiai Gringsing β tetapi inilah senjataku β
β Kenapa senjatamu sama dengan senjata Agung Sedayu? β bertanya Ki Ajar Laksana.
β Apa salahnya. Jika aku bersenjata pedang, kenapa senjataku sama dengan senjatamu selain tongkat baja berantai itu? β jawab Kiai Gringsing.
β -Gila. Apakah kau guru Agung Sedayu? β suara Ki Ajar meninggi.
Agung Sedayulah yang menjawab β Ya. Orang tua yang kau anggap memelas dan kau minta keluar dari lingkaran jamuran ini adalah guruku. β
β Anak setan β geram Ki Ajar Laksana.
β Nah, segalanya belum terlanjur. Apakah kita dapat mengurungkan permainan jamuran ini? β bertanya Agung Sedayu β mungkin kita mempunyai cara lain yang bukan kekerasan untuk menyelesaikan persoalan ini? β
β Persetan geram Ki Ajar Laksana β jangan memperkecil arti perguruan kami. Pada saatnya nanti kalian akan menyesal meskipun terlambat. Kesombongan kalian harus kalian tebus dengan cara kematian yang pahit. β
β Jadi, kita akan meneruskan permainan ini? Kami sudah memberitahukan siapa kami. Seharusnya kalian dapat menilai, seberapa tinggi kemampuan kalian dibandingkan dengan kami β berkata Agung Sedayu.
Ki Ajar Laksana menggeram. Putaran iupun menjadi semakin cepat. Tongkat-tongkat baja pendek yang ada dita-ngan mereka itupun berputar semakin cepat.
Agung Sedayu tidak berbicara lagi. Menilik sikap lawannya, mereka sudah siap untuk menyerang dengan cara mereka.
Sebenarnyalah, maka satu dua diantara kelima orang itu mulai mengayunkan tongkat-tongkat baja mereka. Mereka memutar salah satu dari potongan baja itu diatas kepala. Kemudian putaran itu berkisar pada bidang yang berubah. Dengan cepat potongan baja itu mematuk lawan.
Tetapi kelima orang yang ditengah-tengah putaran itu sudah bersiap. Sasaran serangan mereka yang pertama adalah Agung Sedayu.
Namun Agung Sedayu hanya menggeliat saja, sehingga potongan baja itu tidak mengenainya.
Ternyata murid Ki Ajar yang lain telah mengayunkan senjatanya pula. Justru mematuk dengan derasnya mengarah Sekar Mirah.
Berbeda dengan Agung Sedayu, maka Sekar Mirah yang memiliki kecepatan gerak itu, tiba-tiba saja telah memukul tongkat baja pendek yang terikat pada ujung rantai itu. Pukulan Sekar Mirah yang dilandasi dengan kekuatan cadangannya itu benar-benar mengejutkan lawannya. Tongkat baja pendek yang terikat dengan rantai dikedua ujung itu telah terpental dengan keras. Benar-benar mengejutkan. Bahkan terasa tangan murid Ki Ajar yang telah mencoba menyerang Sekar Mirah itu menjadi sakit.
β Anak iblis β geram orang itu. Ia telah mengalami satu hal yang tidak diduganya sebelumnya, bahwa Sekar Mirah itu memiliki kekuatan yang demikian besar.
Apalagi ketika orang itu menyadari, bahwa agaknya Sekar Mirah masih belum mempergunakan segenap kekuatannya, apalagi ilmu yang dimilikinya.
Dengan demikian maka orang itu memang harus berhati-hati. Agaknya kelima orang itu memang memiliki lan-dasan ilmu yang sangat tinggi.
Dalam pada itu, sambil berputar semakin cepat, maka seorang diantara murid Ki Ajar itu telah menyerang pula. Dengan sengaja ia telah menyerang Ki Jayaraga yang hanya bersenjata ikat kepala. Ia ingin melihat, bagaimana Ki Jayaraga itu mempergunakan ikat kepalanya untuk menangkis serangannya.
Dengan cepat dan kekuatan yang besar, tongkat baja pendek diujung rantai itu tidak berputar dan terayun kearahnya.
Tetapi seperti yang telah menyerang Sekar Mirah, maka orang itupun terkejut. Ki Jayaraga telah merentangkan ikat kepalanya, sehingga ayunan tongkat pendek itu telah memukul rentangan ikat kepala itu. Namun yang terjadi benar-benar diluar dugaan. Demikian tongkat itu mengenai ikat kepala itu, maka Ki Jayaraga telah mengen-dorkannya. Namun sejenak kemudian kedua ujung ikat kepala itu telah dihentakkannya dengan kekuatan yang tinggi.
Potongan baja yang tergantung pada ujung rantai itu bagaikan dilemparkannya. Demikian kerasnya, sehingga orang yang memeganginya telah tergeser hampir selangkah, sehingga untuk sesaat, lingkaran itu berguncang.
β Gila β geram orang itu. Namun sesaat kemudian lingkaran itupun telah segera pulih kembali.
Namun demikian orang-orang yang berputaran itu semakin yakin bahwa orang-orang yang ada di dalam lingkaran itu adalah orang-orang yang memang memiliki ilmu yang tinggi.
Karena itu, maka Ki Ajar Laksana sendirilah yang kemudian ingin menyerang salah seorang dari kelima orang itu. Persoalan yang utama adalah persoalannya dengan A-gung Sedayu. Karena itu, maka ia ingin menjajagi kemampuan Agung Sedayu.
Ketika ambil berputar Ki Ajar selalu memandangi Agung Sedayu, maka Agung Sedayupun menyadari, bahwa Ki Ajar akan langsung menyerangnya, meskipun ia tidak menjadi lengah, bahwa mungkin orang lain yang akan melakukannya.
Beberapa saat kemudian, maka putaran itupun menjadi semakin cepat. Serangan demi seranganpun meluncur dari tangan orang-orang yang berlari berputaran itu. Semakin sering. Namun sasarannya bukannya Agung Sedayu, tetapi terutama kedua orang perempuan yang ada didalam lingkaran itu.
Sekar Mirah dan Pandan Wangi justru menjadi marah. Mereka menyadari, bahwa orang-orang dalam lingkaran itu menganggap bahwa mereka berdua adalah orang yang paling lemah diantara ke lima orang itu.
Namun keduanya memang menyadari, bahwa dibandingkan dengan Agung Sedayu, Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga, mereka memang orang-orang yang paling lemah. Tetapi itu bukan berarti bahwa mereka berada dibawah tingkat kemampuan orang yang berlari-lari itu.
Tetapi untuk beberapa saat keduanya tidak berbuat sesuatu kecuali menangkis serangan-serangan. Sementara
itu, kelima orang yang berlari-lari berkeliling itu masih saja berputaran. Semakin lama justru semakin cepat.
Ternyata bahwa putaran itu memang mempengaruhi lawannya. Rasa-rasanya kepala mereka memang menjadi pening. Apalagi mereka masih harus menangkis setiap serangan yang datang kepada mereka.
Ternyata Sekar Mirahlah yang tidak telaten. Ketika ia sempat memandang sekilas Ki Jayaraga dan Agung Sedayu yang ada di sebelah menyebelahnya, nampaknya mereka tidak akan berbuat sesuatu.
Sebenarnyalah Kiai Gringsing, Agung Sedayu dan Ki Jayaraga telah memperhitungkan, jika mereka mampu bertahan, maka tenaga orang-orang itulah yang lebih dahulu akan susut. Tetapi mereka yang ada di tengah itu harus bertahan untuk tidak menjadi pening dan kehilangan pengamatan, karena semakin cepat orang-orang itu berputar, maka gelombang serangan merekapun akan menjadi semakin cepat pula.
Tetapi Kiai Gringsing, Agung Sedayu dan Ki Jayaraga yakin, bahwa mereka, termasuk Sekar Mirah dan Pandan Wangi akan mampu menangkis setiap serangan sehingga akhirnya kelima orang itu akan berhenti dengan sendirinya, atau mereka akan menjadi kelelahan sebelum pertempuran yang sebenarnya terjadi.
Namun agaknya Sekar Mirah tidak sedang diperlakukan demikian, sebagaimana Pandan Wangi. Karena itu, maka mereka mempunyai rencana untuk berbuat sesuatu.
Ketika- putaran menjadi semakin cepat, maka tiba-tiba saja sebuah serangan yang cepat terjulur kearah Sekar Mirah. Sebuah diantara tongkat baja itu mematuk langsung kedadanya. Namun Sekar Mirah yang melihat serangan itu tiba-tiba saja telah mengelak. Ia tidak menangkis dengan tongkat baja putihnya.
Tetapi karena orang yang mengayun tongkat pendek pada ujung rantai itu berputar, maka tongkat pendek itu-pun menyambarnya dalam putaran itu.
Tetapi Sekar Mirah telah memperhitungkannya. Dengan cepat ia merendah, sehingga tongkat itu terbang diatas kepalanya. Namun pada saat yang demikian ia telah meloncat sambil berjongkok, demikian cepatnya. Tongkatnya telah terjulur lurus mengarah ke lambung orang yang sedang berputar itu.
Orang itu terkejut. Ia meloncat mundur, sehingga sekali lagi putaran itu berguncang. Namun ujung tongkat Sekar Mirah tidak mengenainya.
Tetapi pada saat yang demikian, orang yang berputar di belakang sasaran Sekar Mirah itulah yang menjadi berbahaya baginya. Orang itulah yang kemudian memutar tongkat pendeknya pada rantainya dan terayun mengarah ke kepala Sekar Mirah.
Sekar Mirah menyadari serangan itu. Dengan cepat ia justru berguling surut, sehingga tongkat itu tidak mengenainya. Tetapi orang berikutnyalah yang siap untuk menyerangnya.
Tetapi orang itu tidak sempat melakukannya. Pandan Wangi yang melihat Sekar Mirah mulai bertindak, iapun telah meloncat menyerang orang yang siap untuk meluncurkan tongkat pendeknya. Kedua pedangnya berputar cepat seperti baling-baling justru melibat orang yang siap menyerang Sekar Mirah.
Orang itu memang terkejut. Dengan cepat ia bergeser sambil memutar tongkat bajanya diatas kepalanya untuk melindungi dirinya.
Ketika orang berikutnya siap menyerang Pandan Wangi, Sekar Mirah sudah berhasil memperbaiki dirinya dan meloncat menempati kedudukan Pandan Wangi yang ditinggalkannya.
Orang-orang yang melingkar itu memang benar-benar terguncang. Lingkaran itu tiba-tiba telah melebar, cukup jauh dari kelima orang yang ada di tengah-tengah lingkaran itu.
β Jangan tergesa-gesa β terdengar suara Agung Sedayu.
β Aku tidak telaten. Jika kalian ikut serta, maka lingkaran itu tentu Sudah pecah, β geram Sekar Mirah.
Agung Sedayu menarik nafas panjang. Ia mengenal watak Sekar Mirah. Memang ada sedikit singgungan dengan watak kakaknya Swandaru yang keras. Namun bukan saja Sekar Mirah. Pandan Wangi yang biasanya lebih lu-ruhpun ternyata tidak tahan lagi menahan ketegangan dihatinya. Putaran itu memang membuat jantung merasa berdesir lebih cepat. Semakin cepat mereka berputar, maka rasa-rasanya jantungpun menjadi semakin tegang.
Kiai Gringsing dan Ki Jayaragapun menjadi berdebar-debar. Tetapi mereka telah siap, seandainya Sekar Mirah dan Pandan Wangi mengalami kesulitan.
Dalam pada itu, orang-orang yang berlari berputaran itu memang terkejut mengalami serangan Sekar Mirah dan Pandan Wangi yang saling mengisi. Baru dua orang dian-tara kelima orang lawannya yang bergerak. Justru dua orang perempuan. Namun lingkaran itu benar-benar telah terguncang dan bahkan hampir pecah. Hanya karena mereka cepat bergeser sehingga lingkaran itu menjadi mekar beberapa langkah sajalah, maka lingkaran itu masih tetap mengisi kelima orang yang ada di dalam, meskipun jaraknya menjadi semakin jauh.
Namun putaran itu kembali menyempit. Semakin lama semakin sempit dan semakin cepat.
β Kakang β berkata Sekar Mirah tingkah laku mereka sangat menjemukan. Aku menjadi pening karena putaran itu. Jika terlalu lama kita membiarkan mereka berputaran, maka mungkin aku akan muntah-muntah karenanya. β
β Itu adalah salah satu senjata yang mereka trapkan β berkata Agung Sedayu β mereka memang menghendaki kita menjadi pening. Tetapi kita mempunyai daya tahan yang cukup untuk mengatasinya. Apalagi hanya oleh sekelompok orang yang berlari-larian itu.
Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Sementara Pandan Wangi yang telah kembali ke tempatnya berkata β
Apa salahnya jika kita menghentikan permainan yang memuakkan itu. β
β Tidak ada kesulitan apa-apa jika kita memang menghendaki β jawab Agung Sedayu β tetapi kita ingin membuktikan bahwa yang mereka lakukan itu tidak berarti apa-apa bagi kita. Yang mereka kehendaki adalah agar kita menjadi pening dan kehilangan kemampuan untuk bertempur selanjutnya. Sementara itu, kita tidak akan mampu keluar dari lingkaran karena serangan-serangan mereka yang datang beruntun bagi salah seorang diantara kita yang akan menerobos keluar. β
Ternyata Sekar Mirah dan Pandan Wangi dapat mengerti. Karena itu maka Sekar Mirahpun berkata β Mudah-mudahan aku dapat mengatasi rasa muakku, sehingga aku tidak menjadi pingsan. β
Yang tertawa adalah Ki Jayaraga. Katanya β Begitu mudahnya kita menjadi pingsan.
Sekar Mirah tidak menyahut. Sementara itu putaran kelima orang itupun telah menyempit kembali. Sepanjang jangkauan senjata mereka.
Namun dalam pada itu, Agung Sedayu berdesis β Kita mencoba untuk bertahan. Kecuali jika kalian pada satu saat benar-benar tidak tahan lagi. β
Sekar Mirah dan Pandan Wangi tidak menjawab. Tetapi mereka memang ingin mencoba bertahan.
Demikianlah, permainan jamuran itupun telah berulang kembali. Kelima orang itu telah berlari berkeliling. Sekali-sekali mereka melontarkan serangan dengan senjata mereka. Namun serangan itu sama sekali tidak berarti apa-apa.
Sekar Mirah dan Pandan Wangi yang sengaja membiarkan putaran itu berlangsung, telah meningkatkan daya tahan mereka. Sebenarnya ketika mereka sengaja mengatur ketahanan diri, maka apa yang terjadi itu tidak terlalu banyak berpengaruh atas diri mereka. Mereka tidak lagi merasa pening, meskipun masih ada ketegangan di jantung
mereka. Tetapi bukan karena kecemasan, tetapi sebaliknya karena mereka harus menahan diri untuk tidak berbuat sesuatu.
Kelima orang itu berlari semakin cepat. Serangan merekapun menjadi semakin cepat pula. Namun serangan-serangan mereka sama sekali tidak mengusik kelima orang yang ada di dalam putaran itu.
Bahkan setiap serangan itu mengarah kepada Sekar Mirah dan Pandan Wangi, keduanya telah membentur serangan itu dengan kekuatan yang sangat besar, sehingga justru jari-jari mereka yang melontarkan serangan itulah yang menjadi sakit.
Demikianlah permainan itu berlangsung beberapa lama. Tetapi kelima orang yang berputar itu tidak berhasil mengenai lawannya sama sekali. Mereka selalu menangkis setiap serangan atau menghindarinya. Sasaran serangan itu terutama memang ditujukan kepada Sekar Mirah dan Pandan Wangi, karena mereka menganggap bahwa kedua orang perempuan itulah yang paling lemah diantara mereka. Meskipun demikian serangan-serangan mereka itupun tidak menyentuh sasaran sama sekali. Bahkan yang terjadi adalah sebaliknya. Serangan itu justru telah memperlemah kedudukan mereka sendiri.
Ki Ajar yang memimpin serangan itu menjadi marah. Usahanya untuk membuat lawan-lawannya kehilangan keseimbangan sama sekali tidak berhasil. Karena itu, maka iapun telah berniat untuk meningkatkan serangannya. Sasaran utamanya adalah Sekar Mirah dan Pandan Wangi. Jika semula ia selalu memperhatikan Agung Sedayu, maka iapun merasa bahwa serangannya atas Agung Sedayu akan memerlukan pemusatan nalar budi yang mapan, sehingga karena itu, maka agaknya ia akan lebih dahulu menyerang orang-orang yang justru dianggapnya paling lemah.
Karena itu, maka Ki Ajar sendirilah yang, telah memutar tongkat baja pendeknya yang terkait pada ujung rantai itu. Demikian cepatnya, sehingga putaran itu menimbulkan suara berdesing.
Sekar Mirah dan Pandan Wangi yang mendengar desing putaran senjata Ki Ajar itu menjadi perdebar-debar.
Justru karena mereka merasa ilmunya berada pada tataran yang paling rendah, maka mereka telah bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.
Sebenarnyalah, beberapa putaran kemudian, tongkat baja pendek Ki Ajar itu telah meluncur mematuk dada Sekar Mirah. Demikian derasnya.
Namun Sekar Mirah yang sudah bersiaga melihat serangan itu. Karena itu, maka iapun telah bergeser kesam-ping. sementara itu dengan tongkat bajanya ia telah memukul tongkat pendek Ki Ajar yang tidak mengenai sasaran.
Ternyata benturan yang terjadi merupakan benturan yang mengejutkan keduabelah pihak. Hampir saja tongkat baja putih Sekar Mirah terlepas. Sementara itu, tangan Ki Ajarpun tergetar. Tenaga Sekar Mirah jauh melampaui kekuatan yang diperhitungkannya.
Ki Ajar itu mengumpat. Teryata Sekar Mirah mampu mempertahankan tongkat baja putihnya. Bahkan kekuatan benturannya telah menggetarkan tangannya.
Agung Sedayupun merasakan kedahsyatan benturan itu. Iapun melihat kesulitan pada tangan Sekar Mirah yang menjadi sakit dan pedih pada telapak tangannya, sehingga karena itu, maka beberapa kali ia menggosok-gosokkan tangannya bergantian pada bajunya.
Agung Sedayulah yang kemudian berbisik ditelinganya β Kekuatan orang itu luar biasa. Jika ia menghentakkan ilmunya, jangan terkejut bila aku mencampurinya.
Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Namun Agung Sedayu cepat berkata β Jangan merasa tersinggung dalam keadaan seperti ini. Jika kau mempunyai kesempatan, maka murid-muridnya itu tidak akan terlalu sulit bagimu untuk menundukkannya. Tetapi bukan Ki Ajar itu sendiri. β
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti maksud Agung Sedayu. Sementara itu iapun merasa betapa besar kekuatan Ki Ajar itu.
Agung Sedayupun ternyata telah menggamit Kiai Gringsing pula. Agaknya Kiai Gringsingpun segera tanggap ketika Agung Sedayu berkata β Guru, Pandan Wangi perlu perlindungan jika serangan itu datang langsung dari Ki Ajar itu sendiri. β
Kiai Gringsing mengangguk kecil. Sementara itu, putaran itu masih berlangsung terus. Semakin cepat pula. Sementara serangan-serangan datang beruntun. Tetapi bukan dari Ki Ajar sendiri.
Karena itu, maka baik Sekar Mirah maupun Pandan Wangi sama sekali tidak mengalami kesulitan. Apalagi Ki Jayaraga, Agung Sedayu dan Kiai Gringsing.
Dalam pada itu, Kiai Jayaraga yang melihat benturan antara tongkat pendek Ki Ajar dengan tongkat baja Sekar Mirah, maka iapun mengerti, betapa besar tenaga Ki Ajar. Itupun tentu belum dengan kekuatan puncaknya.
Karena itu, maka iapun telah mempersiapkan dirinya. Dengan senjata yang kurang memadai untuk melawan tongkat pendek Ki Ajar, maka ia tidak boleh melawan kekerasan dengan kekerasan. Ia harus lebih banyak menghindar atau menyerap kekerasan serangan lawannya dengan perlawanan yang lunak.
Dalam pada itu, Ki Ajar yang menjadi marah kepada Sekar Mirah tetap bersiap-siap untuk mengulangi serangannya. Ia berniat untuk merampas senjata itu dari tangan perempuan itu. Jika ia berhasil membelit tongkat baja putih itu dalam putarannya, maka ia yakin, bahwa tongkat itu akan terlepas dari tangan perempuan itu dan jatuh ke-tangannya.
Karena itu, maka iapun telah memberikan isyarat untuk mempersempit lingkaran. Dengan ancang-ancang yang cukup, maka Ki Ajarpun telah memutar tongkat baja pendeknya. Sementara itu ia telah menjulurkan rantai tong-
katnya itu, sehingga tangannya berpegangan pada tongkat pendek diujung yang lain.
Ki Ajar berharap untuk dapat membelit tongkat baja putih Sekar Mirah. Ia harus bergeser dari putaran selangkah untuk dapat menggapai tongkat Sekar Mirah dengan rantai yang berkait pada tongkat-tongkat pendeknya.
Namun ketajaman penglihatan Agung Sedayu telah mengisyaratkannya kepadanya rencana Ki Ajar itu. Karena itu, maka Agung Sedayupun telah bersiap siap pula. Bahkan bukan saja Agung Sedayu, Kiai Gringsing dan Ki Jayaragapun telah menunggu pula, apa yang akan dilakukan oleh Ki Ajar.
Sebenarnyalah, dalam putaran berikutnya, tongkat Ki Ajar yang berputar diatas kepalanya itu tiba-tiba berubah arah. Dengan cepat tongkat itu telah menggeser bidang putarannya sehingga tiba-tiba saja tongkat itu telah menyambar Sekar Mirah.
Sekar Mirah memang berusaha menangkis serangan itu, karena ia tidak menyadari rencana lawannya. Ia hanya meningkatkan kekuatan cadangannya agar dalam benturan yang terjadi, tongkatnya tidak terlepas dari tangannya.
Namun ketika benturan itu terjadi, Sekar Mirah terkejut. Rantai yang terikat pada tongkat baja pendek Ki Ajar itu tiba-tiba telah membelit tongkatnya. Demikian cepat dan kuatnya sehingga tongkat itu tiba-tiba saja telah terlepas dari tangannya.
Sekar Mirah memekik kecil. Jantungnya bagaikan meledak karenanya. Tongkat itu adalah tongkat pemberian gurunya.
Namun yang terjadi kemudian telah mengejutkan pula. Tiba-tiba terdengar ledakan yang menggetarkan jantung. Belum lagi Ki Ajar menyadari apa yang terjadi, tiba-tiba saja tongkat dibelitan rantainya itu lolos bagaikan terhisap oleh kekuatan yang sangat besar. Tongkat itu bagaikan terbang. Namun kemudian tongkat itu telah tertangkap oleh tangan Agung Sedayu.
Ki Ajar yang kemudian menyadari apa yang terjadi mengumpat habis-habisan. Sementara itu, putaran itu justru telah terganggu karenanya.
Ki Ajar sendiri hampir terhenti sama sekali. Namun kemudian putaran itupun telah bergerak kembali. Tetapi tidak terlalu cepat.
Sementara itu Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Agung Sedayu yang berdiri disampingnya telah memberikan tongkat itu sambil berkata β Bukan salahmu. Kekuatan orang itu memang luar biasa. Hati-hatilah. Mungkin ia akan melakukannya lagi. Usahakan untuk mengelakkan saja serangannya. Tetapi agaknya aku sependapat untuk menghentikan saja permainan ini. β
β Memang menjemukan kakang. Sementara itu mereka akan dapat memilih sasaran yang mereka anggap paling lemah. β berkata Sekar Mirah lirih.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya kepada Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga β Kita hentikan mereka. β
Ki Jayaraga tertawa pendek. Katanya β kau juga sudah jemu? Sebenarnya aku sudah jemu sejak tadi. Tetapi aku tahu maksudmu. Kau berharap agar mereka menjadi letih dengan sendirinya. Namun agaknya untuk itu diperlukan waktu yang lama, sementara mereka mendapat kesempatan lebih banyak untuk menyerang. Sedangkan putaran itu memang dapat membuat kita semakin lama semakin pening. Mereka sendiri tidak menjadi pening, karena mereka melakukan latihan bertahun-tahun untuk itu. β
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sementara itu Kiai Gringsing berkata β Kita akan menyerang khusus orang terkuat diantara mereka. Guru dan sekaligus orang yang paling mendendam karena kematian muridnya itu. β
Dengan demikian, maka ketiga orang yang berada ditengah-tengah lingkaran itupun segera bersiap. Apalagi ketika mereka melihat Ki Ajar nampaknya telah mulai
meningkatkan kekuatannya pula. Agaknya ia akan berusaha lagi untuk merebut tongkat Sekar Mirah yang telah kembali kepada perempuan itu.
Agung Sedayulah yang kemudian memberikan isyarat kepada Ki Jayaraga dan Kiai Gringsing. Mereka bertigalah yang kemudian bergeser selangkah maju. Sementara itu Kiai Gringsing berbisik kepada Pandan Wangi β beradalah didalam bersama Sekar Mirah. β
Pandan Wangi berpaling kearah Sekar Mirah. Agaknya Agung Sedayupun telah minta agar Sekar Mirah berada didalam. Maksudnya didalam lingkaran yang dibuat oleh Agung Sedayu, Ki Jayaraga dan Kiai Gringsing.
Ki Ajar mengerutkan keningnya melihat perubahan tatanan dari kelima orang yang menjadi sasaran mereka itu. Dengan geram ia berkata β Ternyata perempuan yang hadir dimedan ini tidak lebih dari perempuan kebanyakan. Ternyata mereka hanya berani menyombongkan diri di-bawah perlindungan orang lain. Aku kira mereka benar-benar seorang yang berilmu tinggi. β
Hati Sekar Mirah dan Pandan Wangi memang terbakar. Namun Agung Sedayulah yang telah menjawab β Satu pernyataan yang menarik sekali dari seorang guru sebuah perguruan yang besar. β
Ki Ajar menggeram. Namun tiba-tiba saja demikian ia meluncur dihadapan Agung Sedayu, tongkat pendeknya yang terkait pada ujung rantai itu meluncur dengan cepatnya mengarah ke dahi Agung Sedayu.
Namun Agung Sedayu sama sekali tidak terkejut karenanya. Dengan gerak yang tidak kalah cepatnya ia merendah, sehingga tongkat itu meluncur diatas ubun-ubunnya.
Namun seperti yang sudah disepakati bersama Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga, maka mereka benar-benar ingin memecah putaran yang ternyata memang menjemukan itu.
Karena itu, maka sejenak kemudian, cambuk Agung Sedayupun telah meledak menyambar salah seorang diantara murid Ki Ajar yang berlari berputaran disekitarnya.
Tetapi Agung Sedayu belum bersungguh-sungguh. Itulah sebabnya, maka demikian orang itu bergeser keluar dari lingkaran selangkah, maka serangan itu tidak mengenainya. Namun pada saat itu, orang yang berlari dibela-kangnya telah mengayunkan tongkat pendek diujung rantainya menyerang lambung Agung Sedayu.
Agung Sedayu bergeser surut. Tetapi sekali lagi cambuknya bergetar. Orang itupun berusaha menghindar pula seperti yang telah dilakukan oleh kawannya, Kemudian meloncat kembali kedalam lingkaran dan berputar dengan kecepatan yang semakin tinggi.
Namun ternyata orang dibelakangnya tidak dapat menyerang Agung Sedayu sebagaimana dilakukan oleh saudaranya yang berada, didepannya. Tiba-tiba saja Ki Jayaraga telah menggerakkan ikat kepalanya pula. Ia memutar ikat kepalanya dan kemudian menghentakkannya dengan satu sudut dari ikat kepalanya itu .
Memang luar biasa. Hentakan ikat kepala itu telah menimbulkan bunyi yang menggebu. Meskipun tidak mengenai orang yang sedang bergerak didepannya, namun rasa-rasanya angin yang kencang telah bertiup, menampar wajahnya, sehingga untuk sejenak orang itu harus memejamkan matanya.
Dalam pada itu, orang yang dibelakangnya tidak sempat menyerang pula, karena cambuk Kiai Gringsingpun telah bergetar pula. Bahkan satu serangan mendatar tidak terlalu keras telah dilakukan, sehingga dua orang yang ber lari didepannya harus merunduk merendah.
Ternyata, orang-orang yang berputaran melingkar itu tidak lagi mendapat banyak kesempatan untuk menyerang. Sementara itu, Ki Ajar berusaha untuk menekan ketiga orang lawannya. Ia sendiri ingin menjajagi kemampuan ikat kepala Ki Jayaraga. Sehingga karena itu, maka dengan kekuatannya yang sangat besar, Ki. Ajar telah mengayunkan tongkatnya menghantam kearah leher Ki Jayaraga.
Namun Ki Jayaraga tidak membenturnya dengan kekerasan. Seperti yang telah dilakukan, namun dengan lam-baran kekuatan yang berlipat, ia merentangkan ikat kepalanya. Ketika sentuhan terjadi, ia mengendorkan ikat kepalanya. Seperti yang telah dilakukan pula ia menghen-takkannya namun dengan kemampuan yang jauh lebih tinggi.
Sekali lagi Ki Ajar terkejut. Ternyata orang yang bersenjata ikat kepala itupun orang yang berilmu tinggi.
Dengan demikian maka Ki Ajar itupun berkesimpulan bahwa kelima orang yang ada didalam putaran itu memang orang-orang yang pantas disegani. Itulah sebabnya, maka Ki Ajar itu telah merubah niatnya untuk bertempur dalam kelompok.
Sementara itu, Agung Sedayu, Ki Jayaraga dan Kiai Gringsing yang sudah jemu atas putaran yang membuat mereka pening itupun tiba-tiba saja telah bergerak hampir bersamaan. Cambuk Kiai Gringsing meledak keras sekali, disusul suara ledakan cambuk Agung Sedayu.
Namun dalam pada itu, Ki Jayaraga berdesis β Kita bersungguh-sungguh atau tidak? β
β Kenapa? β bertnya Agung Sedayu.
β Jika suara cambuk kalian memekakkan telinga, maka bagiku kalian hanya sekedar main-main seperti penunggang kuda kepang saja. β desis Ki Jayaraga.
Agung Sedayu tersenyum. Namun iapun berdesis β Bagi murid-murid orang yang menyebut dirinya Ki Ajar itu, agaknya sudah cukup. Pada saatnya kita akan berbuat lebih baik jika perlu. β
Ki Jayaraga tidak menjawab. Sementara itu, ia melihat putaran itu mekar selangkah, namun Agung Sedayu telah meloncat maju sambil memutar cambuknya.
Serentak orang-orang yang berputar itu bersiap menyambutnya. Tetapi bukan hanya Agung Sedayu saja yang bergerak. Kiai Gringsingpun telah meledakkan cam-
buknya sekali lagi. Lebih keras sehingga orang-orang yang berlari melingkar itu terkejut. Dengan demikian perhatian mereka telah terpecah. Mereka tidak saja memperhatikan cambuk Agung Sedayu, tetapi juga cambuk Kiai Gringsing.
Namun dalam pada itu, Ki Jayaraga bergumam β Telingaku tidak tahan mendengarnya. Selaput telingaku dapat pecah karenanya. β
Kiai Gringsing hanya tertawa saja. Sementara itu, Ki Jayaraga telah memutar ikat kepalanya dan menyerang pula orang-orang yang berlari-lari itu.
Orang-orang yang berlari-lari itupun telah bersiap pula untuk menyerang. Semua orang diantara mereka telah memutar senjata mereka. Tiba-tiba saja mereka telah berloncatan sambil mengayunkan tongkat-tongkat pendek mereka yang terkait diujung rantai.
Tetapi mereka sama sekali tidak menyentuh sasaran. Bahkan tiba-tiba saja salah seorang diantara mereka mengeluh tertahan. Ujung cambuk Kiai Gringsing ternyata telah menyentuh kaki salah seorang diantara mereka.
Sentuhan itu tidak terlalu keras, tetapi orang itu seperti terkait kakinya justru pada saat ia berlari kencang. Karena itu, maka orang itupun tidak mampu lagi mempertahankan keseimbangannya, sehingga ia jatuh terguling ditanah. Untunglah bahwa ia tidak terlempar kearah pohon-pohon pandan yang berduri tajam.
Namun dengan sigap ia telah meloncat bangkit dan kembali memasuki putaran yang kencang itu. Tetapi ternyata untuk kedua kalinya ia telah terlempar dari putaran. Bukan ujung cambuk Kiai Gringsing yang telah mengait kakinya, tetapi ujung cambuk Agung Sedayu.
Beberapa orang yang berikut tidak mampu membangun serangan beruntun, karena justru orang-orang yang ada didalam putaran itu telah menyerang mereka dengan cepat.
Ki Ajar sendiri menjadi sangat marah. Tiba-tiba saja rasa-rasanya putaran itu bukan saja putaran kelima orang
yang nampak itu menjadi semakin kencang. Tetapi pada putaran itu terasa angin mulai berhembus. Semakin lama semakin keras, sehingga akhirnya telah menjadi angin pusaran yang kuat.
Inilah yang sebenarnya ditunggu. Jika lingkaran itu tidak mau pecah tentu sesuatu akan dilepaskan oleh Ki Ajar untuk melindungi putarannya. Agaknya semula Ki Ajar memang menjajagi kemampuan olah kanuragan orang-orang yang ada didalam putaran itu. Namun kemudian Ki Ajar ternyata merasa perlu untuk mulai dengan ilmunya. Ia ingin mempercepat usahanya untuk menekan kelima orang yang ternyata memiliki kemampuan kanuragan yang tinggi-
Ternyata bahwa angin pusaran itu telah memutar dan mengamburkan pula rerumputan dan daun-daun pandan kering yang berserakan di tanah. Begitu cepatnya angin pusaran itu, sehingga terasa menampar wajah orang-orang yang ada didalam lingkaran itu-. Bahkan ketika angin pusaran berhembus semakin keras, rasa-rasanya mereka berada didalam arus angin yang membuat mereka sulit untuk bernafas. Apalagi debupun telah ikut berhamburan pula sehingga lingkungan didalam putaran itu terasa menjadi, bgaikan berkabut oleh debu dan sampah lainnya.
Dalam saat-saat seperti itu maka serangan tongkat pendek dari orang-orang yang berlari-lari itupun menjadi semakin cepat pula. Datang beruntun susul menyusul.
Tetapi serangan itu tidak pernah menyentuh sasaran. Apalagi menggapai Sekar Mirah dan Pandan Wangi yang ada di bagian yang lebih dalam dari Agung Sedayu, Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga.
Untuk beberapa saat, Sekar Mirah dan Pandan Wangi memang mengalami kesulitan untuk bernafas. Namun ternyata Agung Sedayu, Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga tidak membiarkan hal itu terjadi lebih lama. Wajah-wajah mereka dan pakaian mereka tidak ingin dikotori dengan debu dan sampah kering lebih banyak lagi.
Karena itu, maka sejenak kemudian, Agung Sedayu, Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga hampir bersamaan telah menghentakkan senjata mereka masing-masing. Tidak terdengar ledakan yang memekakkan telinga. Cambuk Agung Sedayu dan Kiai Gringsing hanya melontarkan bunyi yang tidak terlalu keras, bahkan terdengar agak lunak. Demikian pula ikat kepala Ki Jayaraga.
Hentakkan ilmu yang dilontarkan lewat getaran ujung cambuk dan ikat pinggang itu ternyata akibatnya dahsyat sekali. Angin pusaran yang berputar semakin keras oleh kekuatan ilmu Ki Ajar dibantu oleh murid-muridnya yang telah mengangkat debu dan sampah kering dan membuat nafas menjadi sesak itu, diikuti oleh serangan beruntun tanpa henti-hentinya, tiba-tiba bagaikan dihembus oleh angin prahara yang dahsyat sekali. Hentakkan angin prahara yang tiba-tiba itu, telah menyapu angin pusaran yang berputaran disekitar kelima orang yang dikitari oleh Ki Ajar dan murid-muridnya.
Beberapa saat mereka masih menyaksikan putaran angin pusaran itu hanyut oleh angin prahara sampai beberapa puluh tonggak. Namun kemudian angin pusaran itu telah pecah berserakkan. Debu dan dedaunan kering yang diangkatnya, telah berhamburan dan hanyut pula dibawa oleh prahara yang kencang.
Ki Ajar memang terkejut sekali. Bersama murid-muridnya ia menyadari, bahwa ketiga orang yang ada didalam lingkaran putarannya memang orang-orang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Karena itu, maka kemudian Ki Ajar itu merasa bahwa putaran yang dilakukan itu tidak akan ada gunanya sama sekali, selain menguras tenaga mereka tanpa arti.
Dengan demikian maka Ki Ajar itupun telah memberikan isyarat agar putaran itu dihentikan saja.
Murid-muridnyapun sependapat. Kemampuan ilmu yang mereka lontarkan dalam putaran itu tidak memberikan arti apapun juga.
Sejenak kemudian, maka kelima orang yang telah menghentikan putaran mereka itu, berdiri tegak masih dalam lingkaran, seakan-akan mengepung kelima orang yang ada didalam lingkaran itu
β Bukan main β geram Ki Ajar.
Agung Sedayulah yang bergeser setapak menghadap kearah Ki Ajar itu. Jawabnya β Satu permainan yang mengasikkan. Kalian telah mengotori pakaian kami. Baru pagi tadi aku berganti baju. Sekarang kau kotori bajuku ini.
β Persetan β geram Ki Ajar β jangan mengigau seperti orang gila. Nyawamu sedang terancam. Cobalah bersikap sungguh-sungguh. β
Agung Sedayu justru tertawa. Katanya β Jangan membuat diri sendiri menjadi begitu tegang. Kita sudah menjajagi kemampuan kita masing-masing. Nah, apa katamu sekarang? β
– Kau sombong sekali. Dengan sedikit ilmu yang kau miliki, kau sudah berani menantang Ki Ajar Laksana. β geram Ki Ajar β baiklah. Jangan menyesal jika kau mengalami kesulitan. β
β Aku sudah siap, apapun yang ingin kau lakukan. β sahut Agung Sedayu.
Ki Ajar menjadi semakin marah. Dengan suara lantang ia berkata β aku tantang kau berperang tanding Agung Sedayu, Kemudian biarlah murid-muridku menyelesaikan kawan-kawanmu dan kedua perempuan itu. β
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia memang menyadari, bahwa kemungkinan itu akan terjadi, dan bahkan kemudian memang sudah terjadi. Ki Ajar menantangnya berperang tanding.
Namun bagaimanapun juga Sekar Mirah memang menjadi berdebar-debar. Dengan suara lirih ia berpesan β Hati-hatilah kakang. β
Agung Sedayu tersenyum. Betapapun gelisahnya Sekar Mirah, namun ia tidak akan mungkin dapat mencegahnya, jika ia tidak ingin mengorbankan harga diri suaminya sebagai,seorang laki-laki yang berilmu tinggi.
Karena Agung Sedayu tidak segera menjawab, maka Ki Ajar itu mendesaknya β Jika kau takut Agung Sedayu, siapakah diantara kalian yang akan mewakilinya? Gurunya atau siapa? β
β Jangan salah sangka β sahut Agung Sedayu dengan serta merta ketika Ki Jayaraga bergeser dari tempatnya. β Bukankah aku segan melayanimu dengan alasan apapun juga. Tetapi aku memang sedang berpikir, apakah murid-muridmu akan kau korbankan begitu saja? Atau barangkali ada sesuatu yang luar biasa mungkin akan dapat terjadi? β
β Persetan β geram Ki Ajar β muridku bukan kanak-kanak lagi di dunia olah kanuragan. Bahkan ilmunya adalah seluruh ilmuku. β
β Jika demikian, celakalah kalian β desis Agung Sedayu β Glagah Putih adalah anak-anak disini. Ternyata yang anak-anak itu telah mampu membunuh muridmu. β
β Gila β Ki Ajar hampir berteriak β anak itu membunuh muridku dengan curang dan licik bersama anak-anak yang lain yang bernama Raden Rangga. Tetapi aku kira, kelicikannya itu adalah keturunan dari kakek nenekmu, dan itu tentu akan menurun kepadamu pula, karena kau adalah sepupunya. β
***
Lanjut kitab 213
senangya….masih berlanjut..matur suwun
127
Kitab 212
Monggo Para Kadang
https://adbmcadangan.wordpress.com/files/2009/04/adbm-jilid-212.docx
sudah dilanjutkan Ki Kuncung
Selanjutnya, silahkan dinikmati retype persembahan dari Ki Kuncung.
Tidak perlu kuatir lagi, retype sudah tersedia cukup banyak.
Reype dari Ki Mahesa yang dilengkapi oleh Ki Kucung, Ki Raharga, dan retype sepenuhnya oleh Ki Kuncung.
Saya tidak hafal, paling tidak sampai jilid 300 sudah lengkap.
Jilid 300 ke atas, saya masih belum cek. Paling tidak 301-320 sudah ada versi pdf yang tersedia di forum diskusi.
Lega rasanya Ki, mendengar banyak stok retype yg telah tersedia.
Sungguh terima kasih Kepada semua kadang disini yg telah menyediakan hidangan retype.
Semoga kesehatan & keselamatan menyertai para kadang disini…
Amin……