Buku III-12

212-00

Laman: 1 2

Telah Terbit on 20 April 2009 at 16:18  Comments (133)  

The URI to TrackBack this entry is: https://adbmcadangan.wordpress.com/buku-iii-12/trackback/

RSS feed for comments on this post.

133 KomentarTinggalkan komentar

  1. gambare samak KARTINI JAMAN MATARAM, nyekel gegaman pedang sepasang…..

  2. Makasih ya Kang mbokayu Ati…..

  3. hadir, isi daftar presensi.. – setelah berapa hari ya..

    nyi seno, sebenarnya dengan tampilan balas membalas ini asyik juga. but, kalo aku baca di-hp, hasilnya jadi kecepit semua. gak enak blas buat dibaca. masak satu huruf lurus kebawah..hehehehe.. jadi stress..
    jadilah ini aku coba koneksikan dari laptop ke hp, tapi duh lambatnya audubillah..

    but its ok-lah, yang penting adbm tetap jaya, para cantrik makin suka, akupun makin cinta…hehehehehe..

    SELAMAT HARI KARTINI… 🙂

  4. selamet berhari ratu kartini…nyai
    matur suwun jeng kartini…
    ko rodo2 aras2ensaiki
    goro2 AS jarang methu…
    pegel ngulatno polahe Rangga

  5. maaaa………aciiiiiihhhhh

  6. Ternyata nyai Seno termasuk orang yang sensitif terhadap ke-Kartini-an,

    Begitu ada yang mengucapkan selamat hari Kartini,
    terus perasaane sajak piye…. terus kitab diwedhar…

  7. Matur suwun R.A. Senopati….

  8. Terima kasih Nyi Seno untuk bonus kitab 112 di hari kartini, kitab 113 dst yang akan datang kami tunggu.

    • walah lupa yg benar kitab 212, terima kasih.

  9. Haturnuhun kitab 212 parantos ditampi….

  10. Waduh kepancal terus….maaf Nyi Seno kelupaan mengucapkan selamat hari Kartini…

    Matur nuwun kitabnya

  11. “IA bersama dengan Raden Rangga pada waktu itu, putera Panembahan Senapati.“ jawab Ki Ajar. “Tetapi keduanya masih sangat muda.“ berkata muridnya, “karena itu, aku klra setidak tidaknya kemampuan Agung Sedayu setingkat atau bahkan lebih tinggi dari saudara sepupunya yang masih muda itu.“ Ki Ajar mengangguk-angguk. Katanya, “Memang mungkin sekali. Tetapi bagaimanapun juga kemampuan mereka adalah kemampuan anak-anak. Mereka masih aku anggap pada tataran muridku. Apakah kau gentar seandainya tiba-tiba saja kau berhadapan dengan Agung Sedayu, saudara sepupu dari anak muda yang pernah membunuh saudara seperguruanmu?“ “Tentu tidak guru.“ jawab orang itu, “saudaraku yang terbunuh itu adaiah terhitung saudara muda bagiku .Aku yakin, bahwa seandainya pada waktu itu, bukan dua orang saudara mudaku yang masih belurn banyak berpengalaman itu yang hadir dipadukuhari itu, maka kedua orang anak ingusan itu tentu sudah binasa.“ “Nah, bukankah dengan demikian dugaanmu dan dugaanku tidak berbeda bahwa Agung Sedayu itu bukan orang yang harus ditakuti. Demikian pula dengan isterinya dan anak perempuan Ki Gede itu. Bahkan mungkin Ki Gede sendiri.“ berkata Ki Ajar. Muridnya itu mengangguk-angguk. Tetapi ia sependapat dengan gurunya. Malam itu, Ki Ajar dan seorang muridnya telah melihat-lihat rumah Agung Sedayu. Mereka memang masih belum akan berbuat sesuatu. Mereka hanya sekedar ingin melihat dan sedikit mengamati sikap para pengawal dan anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh. Apakah mereka siap untuk melakukan langkah yang cepat atau tidak. Tetapi Ki Ajar Laksana tidak banyak memperhitungkan para pengawal. Ia ingin menyelesaikan persoalannya diluar keikut sertaan para pengawal. “Kecuali jika ternyata Agung Sedayu itu pengecut.“ berkata Ki Ajar. Demikianlah, malam itu Ki Ajar telah melihat-lihat rumah Agung Sedayu tanpa melihat isinya. Dirumah itu tinggal Agung Sedayu, isterinya Sekar Mirah, Ki Jagaraga dan seorang tamu, Kiai Gringsing. Namun Ki Ajar itu terkejut ketika ia melihat sesosok tubuh memasuki regol halaman. Dengan serta merta bersama muridnya ia berlindung pada sebatang pohon perdu yang menjadi salah satu bagian tanaman hias di halaman rumah Agung Sedayu. Serumpun pohon ceplok piring yang rimbun. Ternyata yang memasuki halaman adalah anak yang masih remaja. Dipundaknya disandang cangkul dan dijin-jingnya kepis berisi ikan. Ki Ajar menarik nafas dalam-dalam. Agaknya anak itu baru saja turun ke silngai untuk mencari ikan, Meskipun demikian, Ki Ajar dan muridnya terpaksa menunggu anak itu masuk lewat pintu belakang. Sejenak kemudian rumah itu menjadi sepi kembali. Agaknya para penghuni yang lain tidak terbangun oleh suara derik pintu yang dibuka oleh anak itu. Demikianlah maka Ki Ajar itupun telah meninggalkan rumah Agung Sedayu dan kembali ketempat persembunyian mereka, Kepada murid-muridnya Ki Ajar memberitahukan, bahwa ia sudah melihat rumah Agung Sedayu. Mudah-mudahan yang dilihatnya itu benar. Bukan sasaran yang salah. “Lalu apakah yang akan kita lakukan?“ bertanya se¬orang muridnya. “Besok aku akan menemuinya dan menanyakan kepadanya apakah Glagah Putih ada dirumah.“ berkata Ki Ajar. “Jika belum?“ bertanya muridnya yang lain. “Jika belum atau ada kesengajaan untuk menyembunyikan, maka kita dapat mengambil langkah-langkah yang kita anggap perlu. Jika perlu kita ambil Agung Se¬dayu. Sebelum anak yang bersama Glagah Putih itu menyerahkan dirinya kepada kita, maka Agung Sedayu tidak akan kita lepaskan.“ “Dan kita akan memelihara Agung Sedayu itu sampai kapan? Jika benar ia berilmu tinggi, maka untuk menjaganya diperlukan orang-orang tertentu agar orang itu tidak melarikan diri.“ berkata seorang muridnya. “Tentu dengan batas waktu tertentu.“ berkata Ki Ajar, “jika dalam batas waktu tertentu anak yang bersama Glagah Putih itu tidak datang, maka kita akan benar-benar membunuh Agung Sedayu sebagai ganti kematian seorang keluarga kita. Bahkan kita masih akan tetap memburu anak yang bersama Glagah Putih, bahkan jika ada kesempatan, anak Panembahan Senapati itupun akan kita selesaikan pula.“ Murid-muridnya mengangguk-angguk. Mereka terlalu yakin akan kemampuan gurunya, sehingga dengan demi¬kian maka mereka sama sekali tidak menjadi ragu-ragu un¬tuk bertindak. Mereka merasa sekelompok murid dan bahkan bersama gurunya, dari sebuah perguruan yang be¬sar dan berpengaruh, sehingga mereka benar-benar merasa terhina bahwa seorang diantara mereka telah terbunuh. Dihari berikutnya, setelah berbenah diri, maka Ki Ajar bersama seorang muridnya telah dengan tanpa ragu-ragu pula pergi kerumah Agung Sedayu. Sebagai seorang guru dari sebuah perguruan yang besar maka ia tidak ingin merunduk seperti seekor kucing yang ingin menangkap tikus, Ki Ajar akan datang dengan mengetuk pintu dan masuk ke rumah Agung Sedayu dengan dada tengadah. Demikianlah, ketika matahari baru saja naik, selagi Agung Sedayu berkemas untuk pergi ke rumah Ki Gede Menoreh untuk merencanakan perbaikan ujung sebuah jalan padukuhan, dua orang telah memasuki regol halaman rumahnya. Agung Sedayu yang merasa belum mengenal orang itu, telah menyongsongnya sambil mempersilahkannya masuk. “Kami ingin bertemu dengan Agung Sedayu.” ber¬kata. Ki Ajar Laksana. Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun iapun menjawab, “Akulah Agung Sedayu. Marilah, silahkan naik ke pendapa.“ Orang itu mengerutkan keningnya. Agung Sedayu memang masih muda. Tetapi ia tidak nampak garang. Bahkan sikapnya wajar dan tidak lebih dari sikap orang-orang Tanah Perdikan yang lain. Tetapi setiap orang di Tanah Perdikan itu, orang-orang di pasar dan waning-warung terlalu mengaguminya karena ilmunya yang tinggi, sikapnya yang ramah dan kemampuannya bekerja yang sangat besar bagi Tanah Perdikan itu, tanpa pamrih pribadi. Karena ternyata hidupnyapun sederhana, la tidak menjadi kaya karenanya dan tidak memiliki sesuatu yang berlebihan. Sejenak kemudian, maka kedua orang itu telah duduk di pendapa rumah Agung Sedayu yang tidak besar. Dengan ragu-ragu Agung Sedayu bertanya, “Siapakah Ki Sanak sebenarnya. Dan apakah barangkali ada persoalan yang penting sehingga Ki Sanak telah mencari aku di padukuhan ini?“ “Agung Sedayu.“ berkata. Ki Ajar, “aku adalah seorang yang tinggal di sebuah padepokan. Aku memimpin sebuah perguruan yang besar yang dapat aku kerahkan setiap saat jika aku kehendaki. Bahkan pengikutku bukan saja mund-muridku dari perguranku, tetapi beberapa orang Kademangan di sekitar padepokanku ternyata mempunyai sikap dan pendirian yang sama dengan aku, atau katakan mereka telah menjadi pengikutku.“ Agung Sedayu mengerutkan keningnya. la merasa bahwa sesuatu agaknya telah terjadi. Orang itu mulai membicarakannya dengan pengantar yang mendebarkan jantung. Namun Agung Sedayu tidak memotongnya dibiarkan nya orang itu berkata selanjutnya, “Nah, setelah kau mendapat sedikit gambaran tentang aku, dan latar belakang kehidupanku, maka aku akan berbicara tentang keperluanku datang kemari.“ orang itu berhenti sejenak, lalu, “Agung Sedayu, benarkah bahwa Glagah Putih itu saudara sepupumu?” Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Katanya, “Ada apa dengan Glagah Putih Ki Sanak. Anak itu memang saudara sepupuku.“ “Bagus.“ berkata Ki Ajar, “sebenarnya aku berkepentingan dengan Glagah Putih, tidak dengan kau. Tetapi karena. yang kami ketahui tentang Glagah Putih ter¬lalu sedikit, yaitu bahwa Glagah Putih adalah saudara sepupu Agung Sedayu, maka aku datang untuk menemuimu.“ Agung Sedyu mengangguk-angguk. Namun ia sudah merasa bahwa telah terjadi persoalan yang gawat antara Glagah Putih dengan orang-orang dari perguruan yang telah datang kepadanya itu. “Ki Sanak.“ berkata Agung Sedayu kemudian, “persoalan apakah yang telah timbul antara kalian dengan Glagah Putih?“ “Baiklah aku langsung pada persoalannya. Glagah Putih telah membunuh salah seorang diantara murid-muridku. Memang bukan muridku yang cukup baik. Muridku yang baru mulai meningkatkan ilmunya pada tataran yang lebih tinggi. Karena itu, kami datang untuk membuat perhitungan dengan Glagah Putih.“ Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa Glagah Putih telah menempuh perjalanan bersama Raden Rangga, sehingga kemungklnan-kemungkinan yang bermacam-macam dapat mereka lakukan. Bahkan agaknya Glagah Putih dan sudah barang tentu bersama-sama Raden Rangga telah terlibat kedalam satu pertengkaran sehingga mereka telah membunuh lagi. “Agung Sedayu.“ berkata orang itu karena Agung Sedayu tidak segera menjawab, “Kau jangan menyembunyikan anak itu agar kau tidak kami libatkan kedalam kesalahannya. Panggil Glagah Putih dan biarlah kami mem¬buat perhitungan dengan anak itu.“ “Ki Sanak.“ berkata Agung Sedayu, “Glagah Putih sekarang tidak ada di rumah. Sebagaimana kau katakan, peristiwa itu terjadi di satu tempat, dan barangkali Ki Sanak nanti dapat memberitahukan kepadaku, dimana. Sampai sekarang anak itu masih belum kembali.” “Jangan berbohong.“ berkata Ki Ajar, “aku yang menyusulnya sudah sampai di sini. Padahal aku berangkat lewat beberapa hari setelah peristiwa itu terjadi. Apalagi aku menempuh perjalanan dengan tidak tergesa-gesa. Nah, jangan mencoba melindungi anak itu. Anak itu tentu sudah kembali dan menceriterakan apa yang dilakukan. Kemudian anak itu bersembunyi. Agung Sedayu, ceriterakan kepada kami dimana anak itu bersembunyi atau kau sendirilah yang memanggilnya dan menyerahkannya kepadaku.“ “Ki Sanak. Anak itu belum kembali. Akupun belum mendengar peristiwa sebagaimana kau ceriterakan itu. Karena itu, bagaimana mungkin aku melindunginya. Jika benar sepupuku itu bersalah, maka aku tentu akan membiarkannya menerima hukuman yang pantas baginya.“ jawab Agung Sedayu. Tetapi orang itu agaknya tidak memepercayainya. Dipandanginya Agung Sedayu dengan tajamnya. Kemu¬dian dengan suara yang dalam orang itu berkata, “Aku me¬mang sudah mengira Agung Sedayu. Kau tentu akan melin¬dungi saudara sepupumu. Tetapi ketahuilah, bahwa kami menuntut hutang sepupumu itu terbayar. Karena sepu¬pumu tidak ada maka kaulah yang wajib membayarnya. Atau kau dapat menunjukkan siapa ayah Glagah Putih dan dimana rumahnya. Jika kau ingin melepaskan tanggung jawabmu dan melemparkannya kepada ayahnya, maka aku akan datang kepada ayahnya. Mengambil anak itu atau ayahnya jika ia melindungi anaknya, sebagaimana sikapku kepadamu. Atau kau mungkin akan membebankan tang¬gung jawab kepada siapapun juga, jika kau sendiri tidak berani menanggungkannya.“ Agung Sedayu menarik nafas. Katanya, “Jangan begitu Ki Sanak. Sebaiknya kita berbicara dengan baik. Kita ingin memecahkan suatu persoalan. Karena itu, kita harus menelusuri persoalan itu dengan cermat.“ Ki Ajar tersenyum. Katanya, “Agung Sedayu. Aku tidak terbiasa bersikap dengan lemah lembut dan dengan berbagai macam basa basi, Aku adalah seorang yang lebih senang berbicara langsung kepada persoalannya. Karena itu, sebaiknya katakan dimana Glagah Putih. Di rumah ayahnya, di rumah pamannya atau bersembunyi di goa-goa di lereng perbukitan atau bersembunyi di Mataram, ber¬sama Raden Rangga.“ Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya. “Baiklah Jika kau ingin langsung pada persoalannya. Sekali lagi aku beritahukan, bahwa sejak anak itu pergi, Glagah Putih belum pernah kembali Akupun tidak tahu seandainya ia memang berada di Mataram bersama Raden Rangga. Nah, barangkali jawabanku cukup jelas.“ “Bagus.“ Ki Ajar itu mengangguk-angguk, “jika demikian maka aku akan menempuh cara yang kedua. Mengambil kau sebagai gantinya untuk waktu tertentu. Jika dalam dua pekan Glagah Putih belum menyerahkan dirinya kepadaku, maka kau akan mengalami nasib yang buruk. Kau akan menjadi pengganti seorang diantara keluarga kami yang terbunuh itu. Karena kami telah berjanji di dalam diri kami, bahwa darah yang menitik harus ditebus dengan darah pula.“ “Kau terlalu cepat mengambil kesimpulan Ki Sanak.“ berkata Agung Sedayu, “kau belum menyelidiki siapa yang bersalah dalam hal ini. Bagaimanakah jika sepupuku itu hanya sekedar mempertahankan dirinya? Apakah dalam hal ini kau juga berpegang pada janji didalam dirimu, bahwa darah yang menitik harus ditebus dengan darah.“ “Seberapa kesalahan seseorang, tetapi apakah sepupumu berhak mengadilinya dan membunuh muridku?” bertanya Ki Ajar. “Bukan mengadili. Tetapi sekedar membela diri, karena muridmulah yang menimbulkan pertengkaran dan kemudian perkelahian diantara mereka.“ berkata Agung Sedayu. “Aku tidak peduli pada sebabnya. Tetapi aku melihat pada kenyataan yang terjadi. Glagah Putih sudah mem¬bunuh muridku. Kami, seperguruan akan menuntut balas.” “Ki Sanak.“ berkata Agung Sedayu kemudian, “jika muridmu itu terbunuh, apakah itu bukan salah muridmu sendiri. Itu berarti bahwa muridmu kalah dari sepupuku itu. Jika ia memiliki kemampuan untuk mempertahankan hidupnya, maka muridmu itu tentu tidak akan mati. Karena itu, untuk apa sebenarnya Ki Sanak membela kematian murid Ki Sanak itu. Seharusnya Ki Sanak berterima kasih kepada sepupuku, karena sepupuku sudah ikut menyaring murid-murid Ki Sanak.“ “Hem.“ orang itu menggeram, “ternyata kata-katamu membuat telingaku merah. Tetapi aku dapat mengambil kesimpulan, bahwa ternyata kau tidak gentar melihat kehadiran kami.“ “Aku tidak merasa perlu untuk saling menakuti.“ berkata Agung Sedayu. “Sebenarnya aku masih mengharap bahwa persoalannya akan dapat diselesaikan dengan baik.“ “Baiklah Agung Sedayu.“ berkata Ki Ajar, “aku memberimu waktu dalam sepekan. Aku akan kembali lagi kemari dan minta anak itu kau serahkan kepadaku. Jika tidak, maka kau akan aku bawa. Sementara itu siapapun diantara keluargamu harus memberitahukan hal itu kepada sepupumu. Aku hanya akan memberi waktu kepadanya un¬tuk dua pekan. Jika dalam dua pekan anak itu tidak datang, maka kau akan bernasib buruk. Kau akan mati tanpa arti apapun di padepokanku kelak.“ Agung Sedyu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Aku tidak dapat mengatakannya, apakah dalam waktu sepekan ini anak itu kembali atau tidak.“ “Semuanya tergantung kepadanya.“ jawab Ki Ajar, “aku sudah mengatakan apa yang mungkin terjadi atasmu.“ Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun sebelum ia menjawab Ki Ajar itu berkata, “Aku minta diri. Aku akan datang lagi sepekan lagi. Selama ini aku akan berkeliaran di sekitar Tanah Perdikan ini. Namun ingat. Kau tidak perlu mencoba mengerahkan anak-anak muda dan para pengawal untuk melindungimu. Cara itu tidak akan menolongmu. Bahkan mungkin hanya akan menambah korban saja. Seandainya para pengawal untuk melindungimu, sampai kapan hal itu akan dilakukan dan apakah setiap kau bergeser dari rumahmu, sepasukan pengawal akan selalu mengikutimu, meskipun sebenarnya sepasukan pengawal itupun tidak berarti apa-apa bagi kami.“ Agung Sedayu memandang orang itu dengan tajamnya. Namun kemudian ia menjawab, “Pintuku selalu terbuka Ki Sanak. Sepekan lagi atau bahkan besok pagi. Regol itu tidak pernah diselarak siang dan malam.“ “Ternyata kau adalah seorang yang sangat sombong. Mungkin karena kau belum mengenali aku. Aku adalah Ki Ajar Laksana dari perguruan Watu Gulung.“ geram orang itu, “Jika kau mengenal seorang saja dari orang-orang berilmu tinggi yang sudah berusia lewat pertengahan, kau akan mendengar daripadanya, siapakah Ki Ajar Laksana itu.“ Agung Sedayu tidak menjawab. Dipandanginya saja kedua orang tamunya yang turun dari pendapa dan melintasi halaman. Namun Agung Sedayupun kemudian turun pula dari pendapa ketika ia melihat seorang yang memasuki regol dan berpapasan dengan kedua orang yang meninggalkan halaman itu. Sejenak mereka saling berpandangan. Namun kemu¬dian kedua orang itu melangkah terus dan keluar dari ha¬laman. Orang yang baru masuk itu mendekati Agung Sedayu sambil bertanya, “Siapakah mereka?“ Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian jawabnya, “Orang itu mengaku bernama Ki Ajar Laksana dari perguruan Watu Gulung.“ Ki Jayaraga yang baru datang itu mengerutkan kening¬nya. Dengan nada ragu ia berkata, “Ki Ajar Laksana? Apa¬kah benar orang itu Ki Ajar Laksana?“ “Menurut pengakuannya, orang itu memang Ki Ajar Laksana.“ sahut Agung Sedayu. Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Dengan kerut dikening dipandanginya pintu regol yang terbuka itu. Tetapi kedua orang yang meninggalkan halaman itu sudah tidak nampak lagi. “Aku pernah mendengar namanya.“ berkata Ki Jaya¬raga, “tetapi baru kali ini aku melihat orangnya. Ternyata bayanganku tentang Ki Ajar Laksana agak berbeda dengan ujudnya jika benar orang itu Ki Ajar Laksana.“ “Ia memang mengaku Ki Ajar Laksana dari per¬guruan Watu Gulung.“ jawab Agung Sedayu. “Kenapa orang itu datang kemari?“ bertanya Ki Jayaraga. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun berpaling ketika ia mendengar pintu pringgitan ter¬buka. Ia melihat Sekar Mirah dan Kiai Gringsing keluar dan langsung mendekatinya. “Kami mendengar pembicarakan kalian.“ berkata Sekar Mirah. “O“ Agung Sedayu tersenyum. Katanya kemudian, “apakah itu satu kebiasaan baru untuk mendengarkan orang berbincang?“ “Ah, kau.“ desis Sekar Mirah, “Aku bersungguh-sungguh. Aku mula-mula tidak sengaja mendengarkan. Ka¬rena ada tamu di pendapa maka aku ingin melihat, apakah aku sudah mengenalnya atau belum. Mungkin aku harus menyediakan minuman atau tidak. Dari sela-sela pintu yang tidak tertutup rapat, aku memang melihat dua orang yang belum aku kenal sama sekali. Namun rasa-rasanya pembicaraan yang tidak begitu ramah telah terjadi. Karena itu, aku justru telah mendengarkannya. Bahkan aku telah mengajak Kiai Gringsing untuk ikut mendengarkan pula.“ “Apakah Kiai pernah mengenal perguruan Watu Gulung?“ bertanya Ki Jayaraga. “Aku pernah mendengarnya.“ jawab Kiai Gringsing, “tetapi aku belum pernah secara langsung berhubungan. Menurut penilaianku, perguruan Watu Gulung termasuk perguruan yang menyusul kemudian. Bukan satu perguruan yang termasuk perguruan yang tua.“ Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, “Aku sependapat. Tentu seorang yang pernah berguru pada perguruan yang lebih tua dan kemudian mendirikan pergu¬ruan sendiri.“ “Menurut pendengaranku, perguruan Watu Gulung adalah perguruan yang besar menurut pengakuan Ki Ajar Laksana.“ berkata Sekar Mirah. Ki Jayaraga mengangguk-angguk Namun kemudian iapun bertanya, “Tetapi apakah keperluannya datang kemari? Tentu bukannya sekedar menengok yang bernama Agung Sedayu.“ Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Marilah, kita berbicara di dalam.“ Keempat orang itu kemudian masuk keruang dalam. Agung Sedayupun kemudian menceriterakan semua pembicaraannya dengan tamunya yang mengaku bernama Ki Ajar Laksana. Ki Jayaraga yang mendengarkan dengan sungguh-sungguh mengangguk-angguk. Dengan nada dalam ia ber¬kata, “jadi masalahnya adalah seorang guru yang merasa kehilangan muridnya.“ “Ya.“ berkata Agung Sedayu. Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, “Sebe¬narnya aneh jika Ki Ajar Laksana sendiri yang menangani persoalannya.“ “Tetapi ia adalah gurunya. Guru dari orang yang telah terbunuh oleh Glagah Putih dan Raden Rangga.“ berkata Agung Sedayu. “Baiklah.“ berkata Ki Jayaraga, “jika anak-anak berkelahi dan orang tuanya ikut campur, maka biarlah yang tua menghadapi yang tua, Jika Ki Ajar Laksana merasa dirinya guru orang yang terbunuh itu, maka akupun merasa bahwa Glagah Putih adalah muridku meskipun barangkali hubungan antara guru dan murid di perguruan Watu Gulung berbeda dengan hubungan guru dan murid diperguruan yang tidak punya nama lagi. Atau aku harus membuat nama dalam saat yang tiba-tiba ini.“ “Ki Jayaraga.“ berkata Agung Sedayu, “yang dicari disini bukan guru Glagah Putih, tetapi aku, sepupunya dan bernama Agung Sedayu. Aku mempunyai waktu sepekan untuk menemukan Glagah Putih. Jika tidak, maka aku akan diambilnya dan menjadi semacam taruhan. Jika dua pekan kemudian Glagah Putih tidak menyerah, maka aku akan dibunuhnya.“ Ki Jayaraga tersenyum. Katanya, “Seperti membunuh seekor jengkerik saja. Agaknya orang yang bernama Ki Ajar Laksana itu belum mengenali nama-nama yang sudah banyak didengar di Mataram. Agaknya orang itu tidak per¬nah memperhatikan pergolakan yang timbul sejak berdirinya Pajang sampai saat Mataram bangkit. Sehingga orang itu tidak mengenali nama-nama yang banyak disebut orang seperti Kiai Gringsing misalnya.“ “Ah“ sahut Kiai Gringsing, “nama yang tidak punya arti apa-apa bagi Mataram. Apa yang sudah aku lakukan?“ Ki Jagaraga tertawa. Yang lainpun tertawa juga. Bahkan Kiai Gringsingpun tersenyum pula sambil berkata selanjutnya, “Agaknya namaku hanya dikenal di Jati Anom, karena para cantrikku memelihara itik cukup banyak.“ “Apa hubungannya nama Kiai dengan itik?“ ber¬tanya Ki Jagaraga heran. “Orang mengenalku sebagai Kiai Gringsing telur itik.“ jawab Kiai Gringsing tertawa. Yang lain tertawa semakin keras, sehingga pembantu dirumah Agung Sedayu itu menjengukkan kepalanya ke¬dalam bilik itu. Katanya, “Tidak usah Ki Gede. Persoalannya akan aku batasi, antara aku dan orang-orang itu. Jika hal ini melibatkanpara pengawal maka korbannya tentu akanjadi terlalu hanyak.” Namun dalam pada itu, ketika suara tertawa itu mereda, Sekar Mirahlah yang berkata, “Tetapi agaknya per¬soalan yang kita hadapi bukan sekedar persoalan telur itik. Orang-orang itu bersungguh-sungguh untuk mengambil kakang Agung Sedayu jika sepekan ini Glagah Putih tidak datang.“ “Mudah-mudahan anak itu tidak datang dalam waktu dekat.“ desis Agung Sedayu, “mungkin orang-orang itu telah berusaha untuk menjebaknya dijalan masuk Tanah Perdikan ini.“ “Ya. Bagaimanapun juga Glagah Putih masih terlalu muda. Apalagi orang-orang dari perguruan Watu Gulung itu tentu tidak hanya berdua.“ berkata Ki Jagaraga. “Tetapi kehadiran orang itu harus dilaporkan kepada Ki Gede.“ berkata Agung Sedayu kemudian, “bagaimana¬pun juga Ki Gede adalah Kepala Tanah Perdikan ini.“ Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Ki Gede memang harus tahu, bahwa di Tanah Perdikan ini telah berkeliaran beberapa orang dari perguruan Watu Gulung untuk mencari Glagah Putih.“ Demikianlah Agung Sedayupun segera bersiap-siap untuk pergi ke rumah Ki Gede. Bahkan kemudian ia tidak akan pergi sendiri, ia akan pergi bersama Sekar Mirah, ka¬rena dirumah Ki Gede ada Pandan Wangi. Agaknya banyak hal yang akan dapat mereka percakapkan setelah untuk waktu yang agak lama mereka tidak bertemu. Sejenak kemudian Agung Sedayu dan Sekar Mirah telah berkuda menuju kerumah Ki Gede. Meskipun jaraknya terlalu dekat untuk naik kuda, tetapi mereka berdua kemudian berniat untuk mengelilingi Tanah Perdikan. memberikan pesan-pesan kepada anak-anak muda, khususnya para pemimpin pengawal. Ketika mereka memasuki rumah Ki Gede, maka Sekar Mirahpun dengan tergesa-gesa telah turun dari kudanya, menambatkannya dan berlari menghambur ke ruang dalam lewat butulan untuk langsung menemui Pandan Wangi. Di pendapa Agung Sedayu telah berbicara dengan Ki Gede. Agung Sedayu langsung melaporkan kehadiran orang-orang dari perguruan Watu Gulung yang mencari Glagah Putih di Tanah Perdikan karena dalam perjalanannya ke Timur, Glagah Putih telah dituduh membunuh seorang murid dari perguruan Watu Gulung. “Jadi apakah sebaiknya kita mengerahkan para pengawal untuk mencari orang-orang itu diseluruh Tanah Perdikan?“ Tetapi Agung Sedayu menggeleng. Katanya, “Tidak usah Ki Gede. Persoalannya akan aku batasi, antara aku dan orang-orang itu. Jika hal ini melibatkan para pengawal, maka korbannya tentu akan menjadi terlalu banyak. Orang-orang yang mendendam itu tentu tidak akan ragu-ragu untuk membunuh.“ “Lalu, bagaimana menurut angger Agung Sedayu?“ bertanya Ki Gede. “Biarlah orang-orang itu menemui aku dalam waktu yang sudah ditentukan.“ jawab Agung Sedayu, “jika kemudian aku akan menemui para pemimpin pengawal, aku justru hanya minta agar mereka mengawasi keadaan. Mere¬ka tidak perlu bertindak langsung, karena orang-orang yang datang itu berilmu tinggi. Meskipun dengan jumlah penga¬wal yang banyak sekali mereka mungkin akan dapat ditundukkan, tetapi korbannyapun menjadi tidak terhitung jumlahnya. Setiap mereka melihat sesuatu yang mencurigakan, maka biarlah mereka dengan segera menghubungi aku atau jika keadaan mendesak, mereka dapat memanggil aku dengan isyarat.“ Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, “Tanah Per¬dikan ini sudah mulai nampak berkembang. Namun agak¬nya masih harus ada persoalan yang menghambat. Besar atau kecil. Kali ini persoalan yang terjadi jauh dari Tanah Perdikan ini telah memasuki Tanah Perdikan ini pula.“ “Mudah-mudahan tidak terlalu rumit Ki Gede.“ ber¬kata Agung Sedayu, “namun kita tidak boleh lengah. Nam¬paknya orang-orang Watu Gulung itu memang meyakinkan.“ “Baiklah aku serahkan semuanya kepadamu. Namun jika kau memerlukan sesuatu, katakan saja agar kita bersama-sama dapat mengatasinya.“ berkata Ki Gede. Dengan demikian maka persoalan orang-orang Watu Gulung itu telah diserahkan sepenuhnya kepada Agung Sedayu. Agaknya Agung Sedayu memang tidak ingin menyeret orang lain kedalam persoalan yang menyangkut saudara sepupunya yang juga muridnya itu. Tetapi agak¬nya Ki Jagaraga tidak akan melepaskan dirinya dari sikap seorang guru. Apalagi ia tahu, bahwa persoalan yang sebe¬narnya terjadi antara Glagah Putih dengan murid orang yang menyebut dirinya Ki Ajar Laksana itu. Dengan demi¬kian, jika gurunya ikut melibatkan diri, iapun merasa berhak pula untuk ikut campur. Dalam pada itu, Sekar Mirah dan Pandan Wangipun telah keluar pula kependapa. Untuk beberapa saat mereka masih berbicara hilir mudik. Namun kemudian Agung Se¬dayu dan Sekar Mirahpun telah minta diri. “Berhati-hatilah.“ desi Pandan Wangi. Sekar Mirah tersenyum. Sementara itu Agung Sedayu bertanya, “Apakah kau juga menceriterakannya kepada Pandan Wangi?“ Sekar Mirah mengangguk. Katanya, “tetapi aku minta agar ia tidak usah memikirkannya. Ia sekarang tamu disini.“ Pandan Wangi tersenyum. Tetapi tidak menjawab. Sementara itu Agung Sedayu dan Sekar Mirahpun se¬kali lagi minta diri. Mereka kemudian turun dari pendapa diiringi oleh Ki Gede dan Pandan Wangi. Sejenak kemudian Sekar Mirah dan Agung Sedayupun telah menuntun kuda mereka keluar dari regol. Baru diluar regol kudanya me loncat naik. “Kau menjadi semakin tangkas.“ berkata Pandan Wangi. “Ah, kau.“ desis Sekar Mirah. Namun tiba-tiba saja nampak seleret kegelisahan diwajah Pandan Wangi. Meskipun ia berusaha untuk segera menghapus dari wajahnya, namun Sekar Mirah sempat melihatnya pula. Bahkan hampir berbisik ia bertanya ketika Pandan Wangi justru mendekat, “Ada apa?“ “Apakah kita masih akan selalu seperti ini?“ desis Pandan Wangi. “Kenapa?“ bertanya Sekar Mirah. “Bukankah kodrat kita untuk menjadi seorang ibu?“ suara Pandan Wangi melemah. Sekar Mirahpun ternyata tersentuh juga. Namun ia tidak menjawab. Ditepuknya bahu Pandan Wangi tanpa kata sepatahpun. Ketika ia berpaling, Agung Sedayu telah siap pula meskipun ia masih berbicara dengan Ki Gede. Namun kemudian keduanya telah mengangguk dalam-dalam, sementara tangan mereka mulai menggerakkan kendali. Sejenak kemudian, maka merekapun mulai berlari. Sekar Mirah masih melambaikan tangannya kepada Pan¬dan Wangi, sehingga akhirnya mereka menjadi semakin jauh. Demikianlah, Sekar Mirah dan Agung Sedayu tidak se¬gera kembali kerumah mereka. Tetapi mereka memang akan menyusuri jalan-jalan padukuhan di Tanah Perdikan Menoreh. Mereka ingin melihat, apakah dengan hadirnya orang-orang Watu Gulung telah terjadi pengaruh atas orang-orang Tanah Perdikan dan cara kehidupannya. Namun ternyata tidak terjadi perubahan apapun juga. Orang-orang yang bekerja dibawah masih juga bekerja. Anak-anak mudanya nampak dengan tekun mengerjakan sawah mereka masing-masing. Sementara itu air mengalir di parit-parit yang menusuk sampai kebagian dalam bulak-bulak yang luas. Bahkan ketika mereka melewati sebuah pasar, meski¬pun sudah lengang, namun masih nampak bahwa pasar itu tidak mengalami perubahan pula. Orang-orang yang masih menunggui dagangannya yang tersisa duduk dengan tenang, bahkan sambil mengantuk. “Kita belum melihat perubahan apapun juga.“ ber¬kata Sekar Mirah, “agaknya orang-orang itu memang tidak ingin menimbulkan keributan.“ “Mudah-mudahan merekapun membatasi diri, se¬hingga persoalannya benar-benar persoalan antara mereka dengan kita.“ berkata Agung Sedayu. Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Bagaimanapun juga Agung Sedayu yang menjadi sasaran itu adalah suaminya. Sehingga dengan demikian, maka tusukan ujung duri dikulit Agung Sedayu akan terasa juga dikulitnya. Ternyata bahwa Agung Sedayu dan Sekar Mirah telah mengelilingi Tanah Perdikan itu dari ujung sampai ke ujung. Perjalanan keliling yang jarang mereka lakukan. Biasanya mereka melihat-lihat sebagian saja dari Tanah Perdikan itu. Pada kesempatan lain mereka melihat bagian yang lain pula. Namun dalam pada itu, Agung Sedayu dan Sekar Mirah memang menjadi ragu-ragu. Apakah yang harus me¬reka lakukan untuk memberikan pesan kepada Glagah Putih jika ia kembali. Apakah ia harus berpesan kepada semua pengawal atau kepada orang-orang tertentu saja. Ternyata keduanya kemudian, memutuskan, bahwa me¬reka akan memanggil para pemimpin pengawal dari padukuhan-padukuhan yang tersebar diseluruh Tanah Perdikan. Tetapi tidak bersama-sama. Mereka diharap menemui Agung Sedayu pada saat yang berbeda ditempat yang berbeda pula. Dengan demikian maka pertemuan Agung Sedayu de¬ngan para pemimpin pengawal itu tidak menarik perhatian orang-orang dari perguruan Watu Gulung yang berkeliaran di Tanah Perdikan Menoreh. Dengan demikian maka orang-orang itu tidak tertarik untuk melakukan tindakan-tindakan yang aneh-aneh. Ketika Sekar Mirah dan Agung Sedayu kemudian kem¬bali kerumah maka mereka telah menceriterakan keadaan Tanah Perdikan kepada Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga. Mereka tidak melihat sesuatu yang pantas dicemaskan, karena agaknya orang-orang itu memang tidak akan membuat persoalan dengan Tanah Perdikan Menoreh. “Baiklah.“ berkata Ki Jayaraga, “jika demikian maka persoalannya akan terbatas antara guru dan orang yang terbunuh itu dengan guru Glagah Putih.“ “Tetapi seperti yang aku katakan, akulah yang dicari oleh orang itu.“ jawab Agung Sedayu. Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Jika orang itu sudah menyebut sebuah nama, maka agaknya ia tidak akan dapat berbuat banyak. Namun agaknya Ki Jayaraga itu menduga bahwa orang yang datang ke Tanah Perdikan ini tentu bukan hanya dua orang. “Jika mereka datang dengan beberapa orang, maka kau tentu tidak akan sendiri pula Agung Sedayu.“ berkata Ki Jayaraga. Agung Sedayu mengangguk-angguak. Ia memang tidak boleh sendiri. Ia tidak tahu, apa orang-orang Watu Gulung itu benar-benar jujur. Demikianlah, sejak hari itu, Agung Sedayu telah menerima pemimpin kelompok pengaawal dari padukuhan-padukuhan. Namun mereka datang sendiri-sendiri dan menemui Agung Sedayu ditempat yang berbeda. Ada yang dirumahnya, ada yang dirumah Ki Gede dan bahkan ada yang ditemui oleh Agung Sedayu di banjar padukuhan masing-masing. Dengan hati-hati Agung Sedayu menyampaikan pesan kepada para pemimpin pengawal, agar mereka mengamati keadaan dengan cermat. Jika mereka melihat Glagah Putih, kapan dan dimanapun supaya memberitahukan, agar anak itu segera menemui Agung Sedayu. Agar para pemimpin kelompok itu tidak mereka-reka persoalan yang mereka hadapi, maka Agung Sedayu ber¬kata, “Ada orang yang mengancamnya. Tetapi kalian tidak perlu memberitahukan kepada orang lain. Persoalannya tidak terlalu gawat, sehingga kalian jangan justru membuat Tanah Perdikan ini gelisah.“ Para pemimpin pengawal itu mengangguk-angguk. Me¬reka mengerti maksud Agung Sedayu. Itulah sebabnya maka Agung Sedayu tidak memanggil mereka bersama-sama. Tetapi ditemuinya para pemimpin pengawal darr padukuhan-padukuhan itu secara terpisah. Namun ternyata dihari-hari berikutnya, tidak seorang-pun yang melihat Glagah Putih memasuki Tanah Perdikan. Hari demi hari, sehingga mendekati waktu yang ditentukan oleh orang-orang Watu Gulung itu. Sepekan. Bagaimanapun juga Sekar Mirah tidak dapat menghindarkan diri dari ketegangan. Ia mengerti, bahwa suaminya memiliki kemampuan yang tinggi. Namun bagaimana¬pun juga kemampuan seseorang itu tentu terbatas. Tetapi agaknya Agung Sedayu sendiri tidak begitu menghiraukannya. Ia justru telah memanfaatkan kehadiran gurunya di Tanah Perdikan Menoreh. Disetiap malam Agung Sedayu dan Kiai Gringsing, bahkan kadang-kadang juga Ki Jagaraga dan Sekar Mirah, berada di sanggar. Kiai Gringsing yang sudah agak lama tidak bertemu dengan muridnya memang merasa kagum melihat perkembangan ilmu Agung Sedayu. Agung Sedayu sudah mulai menambah pada ilmu yang dipelajari dari kitab yang pernah dibacanya, dengan penguasaan ilmu untuk mempercepat getaran udara serta menghisap dan seakan-akan memampatkan endapan kekuatan diudara, sehingga terbentuklah ujud yang mirip dengan kabut tipis. Semakin kuat ilmu itu ditrapkan, maka kabut itupun menjadi semakin tebal. Sesuai dengan kepentingan mengetrapkan ilmu itu, maka kabut itu dapat melingkar atau menutupi suatu lingkungan sehingga menjadi gelap atau berhembus lewat dengan membawa kekuatan yang dipancarkan dengan ilmu yang sejalan sehingga kabut itu dapat mengundung ke¬kuatan. Bahkan dapat membakar, namun daput pula membekukan sasaran. Kiai Gringsing memang merasa heran. Tanpa tuntutan langsung, Agung Sedayu mampu menguasai ilmu itu. Bahkan dengan bekal kemampuan yang ada padanya, maka kabut itu akan dapat menggulung bukan saja hanya sebuah sasaran. Bahkan Agung Sedayupun telah mempelajari beberapa jenis ilmu yang lain. Ia sengaja melampaui tuntunan ilmu yang mirip dengan ilmu yang telah dikuasainya. Ia tidak berminat untuk menguasai kemampuan ilmu Tameng Waja, meskipun ia akan dapat melakukannya, karena ilmu itu memiliki kekuatan mirip dengan ilmu kebal yang telah dikuasainya. Agung Sedayu juga tidak mempelajari ilmu Rogrog Asem yang memiliki lontaran pukulan susul-menyusul hentak-menghentak dengan kekuatan yang sangat besar, karena Agung Sedayu telah memiliki kemam¬puan yang meskipun ujudnya agak berbeda, namun tidak kalah dari ilmu itu. Dengan telapak tangannya Agung Se¬dayu mampu menghancurkan sasaran yang betapapun kokohnya. Sementara itu dengan sorot matanya Agung Sedayu merupakan seorang yang disegani oleh lawan-lawannya yang pernah menghadapinya. Bahkan sebagian besar dari mereka yang tidak mau mengakui kenyataan itu, harus menebus dengan nyawanya. Disamping sebuah senjatanya yang jarang ada bandingnya. Dialiri getaran kekuatan ilmunya, maka cambuk ditangan Agung Sedayu benar-benar merupakan senjata yang mengerikan. Disamping senjatanya itu, Agung Sedayu adalah seorang yang kebal bisa. Bukan karena benda-benda yang memiliki kekuatan untuk menghisap iatau menawarkan bisa, tetapi kemampuannya melawan bisa itu ada didalam dirinya. Pada saat-saat ia masih lebih muda, ia bergaul dengan Panembahan Senapati yang masih disehut Mas NgabehiLo¬ring Pasar atau Raden Sutawijaya. Iapun banyak mendapat tuntunan dari Pangeran Benawa yang memiliki ilmu tak terhitung. Sementara itu, Agung Sedayu pernah mempelajari dan mengingat isi Kitab yang dimiliki Ki Waskita dan gurunya sendiri, Kiai Gringsing, sehingga karena itu, maka Agung Sedayu bagi Kiai Gringsing telah memiliki ilmu lebih lengkap dari yang diduganya. Sementara itu, ilmunya ternyata masih berkembang terus sampai pada saat terakahir, Agung Sedayu telah mempelajari ilmu sebagaimana pernah ditrapkan oleh Kiai Gringsing sendiri, seakan-akan dapat menguasai kabut. Selain ilmu yang berhubungan dengan kemampuan untuk membela diri, maka Agung Sedayu telah memiliki pula kemampuan pengamatan yang sangat tajam, pendengaran, penciuman dan penggraita dengan ilmu Sapta Pandulu, Sapta Pangrungu, Sapta Pangganda dan Sapta Pangrasa. Bahkan Aji Pameling. Dalam waktu yang pendek Kiai Gringsing sempat mengenali serba sedikit ilmu-ilmu yang dimiliki Agung Sedayu. Ia memang ingin melihat kembali, seolah-olah ia ingin mengenang satu masa yang pernah ditinggalkannya. Selagi ia masih muda semuda Agung Sedayu itu. Tetapi Kiai Gringsing telah menjadi semakin tua. Betapa tinggi ilmunya, namun ia tidak akan dapat mempertahankan wadagnya dalam keadaan yang tetap sebagai¬mana masa mudanya. Karena itu, dengan melihat kemampuan Agung Se¬dayu, Kiai Gringsing seakan-akan telah mengenang dirinya kembali. Banyak hal yang dapat menyentuh kenangannya yang ada pada Agung Sedayu, tetapi tidak dilihatnya pada Swandaru yang lebih mengkhususnya diri pada pilihannya tanpa melihat kemungkinan lain yang dapat dikembangkannya. Namun bagaimanapun juga, Kiai Gringsing selalu mengingatkan kepada Agung Sedayu, bahwa tidak ada ilmu yang tidak ada tandingnya. Yang nampak lemah bagi sesuatu jenis ilmu, ternyata tidak terkalahkan oleh ilmu yang lain, sementara ilmu itu lebih kuat dari ilmu yang pertama. Putaran kekuatan seperti itulah yang memungkinkan, bahwa kadang-kadang yang tidak nalar telah ter¬jadi. Yang seharusnya menang telah dikalahkan dan me¬nurut perhitungan seseorang harus kalah, ternyata justru menang. Dengan pengertian itu, maka seseorang tidak akan menjadi tekebur karenanya. Bahkan akan selalu ingat kepa¬da Kuasa dari Yang Maha Agung. Dengan demikian, penilaian Kiai Gringsing atas kemampuan muridnya sekilas telah memberikan kebanggaan dihatinya. Ia memang berharap bahwa Agung Sedayu akan dapat melanjutkan bahkan justru mengembangkan ilmu yang dimilikinya, sehingga tidak lenyap bersama tubuhnya didalam kuburnya. Namun ada satu hal yang kemudian dikatakannya ke¬pada Agung Sedayu, “Agung Sedayu. Kau adalah muridku. Adalah tidak lengkap jika kau tidak mengenal ilmu obat-obatan dengan baik. Karena itu, besok aku akan mengajarimu membuat dan meramu obat-obatan. Kemudian menelusuri urat-urat nadi, simpul-simpul syaraf dan otot serta jalur-jalur jalan darah. Meskipun demikian terserah kepadamu, apakah kau bersedia untuk melakukannya atau tidak.“ “Tentu guru.“ jawab Agung Sedayu, “menarik sekali. Sebab dengan demikian aku akan mampu menolong sesama. Sementara waktuku memang tinggal besok sehari.“ “Kenapa?“ bertanya Kiai Gringsing. “Besok adalah hari kelima. Orang Watu Gulung itu hanya memberi waktu kepadaku selama sepekan Ternyata dalam sepekan ini Glagah Putih belum pulang. Karena itu, maka aku harus menghadapi orang Watu Gulung itu.“ ber¬kata Agung Sedayu. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Baiklah. Tetapi kau harus berhati-hati. Nampaknya orang Watu Gulung itu memang berilmu tinggi. Ia yakin akan dirinya dan karena itu kau tidak boleh lengah menghadapinya.“ “Aku akan berhati-hati, guru.“ jawab Agung Sedayu. “Kau sudah mempunyai berjenis ilmu yang dapat kau pergunakan. Bahkan kau mampu memberikan kesan kepa¬da lawanmu jika kau terlibat dalam perkelahian, bahwa kau tidak hanya satu.“ berkata Kiai Gringsing kemudian, “meskipun demikian, tidak ada ilmu yang sempurna. Karena itu, aku mempunyai pertimbangan, kau jangan pergi sen¬diri.“ Agung Sedayu mengangguk. Katanya, “Agaknya Ki Jayaraga akan ikut bersamaku menemui orang-orang itu. Ia merasa guru Glagah Putih, sehingga karena itu, maka Ki Ajar dari Watu Gulung itu seharusnya mencarinya, guru Glagah Putih.” “Tetapi kaupun gurunya. Karena itu, kau dan Ki Jaya¬raga akan dapat menemui orang-orang itu. Bahkan jika kau tidak berkeberatan, akupun akan ikut pula.“ “Ah, guru adalah tamuku disini. Guru agaknya ingin beristirahat di Tanah Perdikan ini. Karena itu, maka sebaiknya guru tidak usah ikut bersama kami.“ jawab Agung Se¬dayu. “Tetapi ingat. Aku adalah gurumu.“ berkata Kiai Gringsing, “aku ingin melihat kau dalam benturan ilmu yang sebenarnya. Bukan maksudku menganggap persoalan yang kau hadapi itu sekedar sebagai tontonan. Tetapi apa salahnya aku menunggui muridku yang mungkin akan dijebak oleh seseorang.“ Agung Sedayu tidak dapat mencegahnya. Namun kemudian katanya, “Sebaikanya segala sesuatunya akan kita lihat perkembangannya.“ Kiai Gringsing tersenyum. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Kita akan mulai dengan ilmu obat-obatan. Wak¬tunya tinggal sedikit. Kelak jika aku pulang, akupun akan mengajari Swandaru. Namun nampaknya ia tidak tertarik. Aku pernah menyinggungnya. Tetapi tanggapannya kurang serta merta.“ Dengan demikian, maka Kiai Gringsingpun telah mulai dengan ilmunya yang khusus. Waktu yang tinggal bagi Agung Sedayu hanya sisa hari itu dan esok hari. Dihari berikutnya, mungkin orang Watu Galung itu akan datang lagi kepadanya, bahkan untuk mengambilnya. Ternyata bahwa Agung Sedayu memang seorang yang trampil. Kecuali ia memang sudah sering memperhatikan cara-cara gurunya mengobati, didorong oleh minat yang sangat besar, maka ia dengan cepat dapat menangkap petunjuk gurunya. Dengan demikian maka Agung Sedayupun kemudian memiliki kemampuan untuk mengobati jika terjadi ketidak wajaran pada urat-urat nadi, syaraf dan jalur-jalur jalan darah. Sedang dihari berikutnya, Agung Sedayu telah mempelajari berbagai jenis dedaunan. Baik yang dapat diragakan karena jenis daun itu didapatkan di Tanah Perdikan Meno¬reh, maupun yang tidak, yang hanya dapat dikenali ciri-cirinya. Hari terakhir yang diberikan oleh orang-orang Watu Gulung telah dipergunakan oleh Agung Sedayu sebaik-baiknya. Selain tentang reramuan, juga meningkatkan pengenalannya atas susunan syaraf seseorang beserta simpul-simpulnya. Namun dalam pada itu, ketika malam dihari terakhir itu turun, Sekar Mirah tidak dapat menyembunyikan kegelisahannya lagi. Pada saat makan malam, Sekar Mirah telah menyatakan kegelisahannya itu kepada suaminya. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Besok aku akan menemuinya. Apakah sebenarnya yang dikehendakinya dari aku. Apakah benar seperti yang dikatakannya, nyawaku? Atau sebenarnya ia mempunyai tuntutan lain yang belum disebutnya. Tebusan misalnya. Jika persoalannya murwat dan wajar, maka aku tidak akan berkeberatan untuk memenuhinya.“ Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Kegelisah¬annya tidak bersumber dari perasaan gentar. Tetapi seke¬dar kecemasan jika orang-orang itu ternyata sangat licik dan tidak berpegang pada harga diri. Karena itu, maka katanya, “Kakang, aku agaknya juga menduga, bahwa orang itu tentu tidak sendiri berada di Tanah Perdikan ini.” “Akupun menduga demikian. Selain dua orang yang datang itu, agaknya ia masih mempunyai beberapa orang kawan lagi. Tetapi kita masih harus menunggu sampai esok. Apakah yang sebenarnya dikehendaki.“ berkata Agung Sedayu. “Kakang.“ berkata Sekar Mirah, “jika besok kakang pergi, maka akupun juga akan pergi menemuinya.“ Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “biarlah aku menyelesaikan persoalan ini bersama Ki Jaya¬raga.“ “Memang ada baiknya kakang mengajak Ki Jayaraga. Tetapi akupun harus ikut pula.“ minta Sekar Mirah. Agung Sedayu termangu-mangua sejenak. Agaknya ia memang tidak dapat menolak permintaan Sekar Mirah, se¬bagaimana ia tidak dapat menolak permintaan Ki Jayaraga dan Kiai Gringsing. Namun Agung Sedayupun menjawab, “Baiklah kita akan memperhatikan keadaan Sekar Mirah.“ Dalam pada itu, Ki Jayaraga dan Kiai Gringsingpun telah berketetapan untuk ikut pula. Mereka akan melihat, apa yang akan terjadi seandainya Agung Sedayu dibawa oleh orang-orang dari perguruan Watu Gulung itu. Malam itu, rasa-rasanya terlalu lama bagi seisi rumah Agung Sedayu. Mereka mereka-reka, apa saja yang akan dilakukan oleh orang-orang Watu Gulung itu. Apakah me¬reka akan dengan paksa membawa Agung Sedayu dari rumah itu, atau sekedar mengancam serta memeras, atau cara-cara lain yang akan ditempuh. Namun ketika malam menjadi semakin malam, maka merekapun akhirnya sempat tidur juga untuk beberapa lama. Pagi-pagi benar, seperti biasa, isi rumah itu telah bangun. Pembantu rumah Agung Sedayu itu sudah membersihkan ikan hasil tangkapannya di plataran sumur. Sementara itu Sekar Mirah yang melihatnya ketika ia mengambil air untuk mencuci beras bertanya, “Apakah kau masih belum jemu makan ikan air seperti itu. Wader yang kecil-kecil, sejemput udang, seekor dua ekor lele dan kutuk dan sekali dua kali kau dapatkan beberapa ekor bader.“ “Bukankah bukan hanya aku saja yang makan? Jika ada Glagah Putih, maka Glagah Putihlah yang gemar sekali ikan lele. Tetapi jika Glagah Putih tidak ada, ikan ini bermanfaat pula untuk memberi makan kucing.“ jawab anak itu. “O, jadi kau samakan Glagah Putih dengan kucing?” bertanya Sekar Mirah. “Tidak. Bukan maksudku. Tetapi karena ikan itu ter¬lalu banyak bagi aku sendiri, maka aku sering memberikannya untuk makan kucing.“ berkata anak itu. Sekar Mirah tidak bertanya lagi. Iapun kemudian sibuk menyiapkan makan pagi lebih awal dari biasanya. “Siapa tahu, semuanya akan terjadi di pagi-pagi sekali.“ berkata Sekar Mirah. Seperti yang diminta Sekar Mirah, maka merekapun kemudian telah bersiap-siap untuk makan pagi. Demikian matahari terbit, maka segalanya sudah tersedia diruang dalam. Agaknya yang lainpun telah menyesuaikan diri pula. Mereka telah mandi pagi-pagi dan ketika Sekar Mirah siap dengan makan paginya, merekpun telah siap membenahi diri. Namun dalam pada itu, mereka terkejut ketika mereka mendengar derap kaki kuda memasuki halaman. Ketika Sekar Mirah melihat dari celah-celah daun pintu yang dibukanya sedikit, maka iapun justru dengan tergesa-gesa menyongsongnya. “Siapa.“ desis Agung Sedayu. “Entahlah.” sahut Ki Jayaraga. Agung Sedayupun dengan tergesa-gesa keluar pula. Ternyata yang datang berkuda adalah seorang perempuan dengan pedang rangkap di lambungnya. “Pandan Wangi.“ Agung Sedayu berdesis. “Bukankah hari ini hari yang dijanjikan.“ desis Pan¬dan Wangi. “Hari yang dijanjikan apa?“ bertanya Agung Sedayu. “Orang-orang Watu Gulung itu.“ jawab Pandan Wangi. “O.“ Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. “Biarkan aku berada di sini untuk melihat perkembangan dari peristiwa itu. Aku sudah minta diri kepada ayah. Ayah tidak berkeberatan.“ berkata Pandan Wangi. “Tetapi kau tamu sekarang di Tanah Perdikan ini.“ berkata Sekar Mirah. “Namun bagaimanapun juga aku adalah anak Ki Gede.“ jawab Pandan Wangi, “tekanannya tidak pada hakku sebagai anak Ki Gede, tetapi justru pada kewajibanku sebagai anak Ki Gede.“ Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Jika demi¬kian, maka tidak ada yang dapat mencegah. Namun Agung Sedayu masih juga bertanya, “Apa kata Swandaru jika kulitmu tergores senjata lawan.“ “Ayah bertanggung jawab.“ sahut Pandan Wangi. Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Agung Sedayupun kemudian mempersilahkan masuk keruang dalam. Bahkan untuk ikut makan pagi pula bersama mereka. “Aku sudah makan.“ berkata Pandan Wangi. “Makan saja seadanya, atau barangkali sekedar mengotori mangkuk.“ sahut Sekar Mirah. Pandan Wangi tidak menolak, iapun kemudian ikut pula makan bersama Ki Jayaraga dan Kia Gringsing serta Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Bagaimanapun juga masih nampak kegelisahan Sekar Mirah. Ia makan dengan agak tergesa-gesa. Meskipun ia berusaha untuk nampak tetap tenang, tetapi orang-orang yang ada disekitarnya menangkap getar kegelisahan itu. Namun mereka dapat mengerti, kenapa justru Sekar Mirah lebih gelisah dari Agung Sedayu sendiri. Demikian mereka selesai makan, maka mereka telah benar-benar berbenah diri, lahir dan batin, karena menurut Agung Sedayu, agaknya orang Watu Gulung itu tidak bermain-main. “Tetapi kita tidak perlu terlalu gelisah.“ berkata Agung Sedayu setelah Sekar Mirah selesai membenahi mangkuk-mangkuk kotor dibantu oleh Pandan Wangi dan membawanya ke dapur. “Aku ingin seperti itu.“ sahut Sekar Mirah, “tetapi ternyata tidak dapat.” “Sudahlah.“ berkata Pandan Wangi, “kita tidak sen¬diri. Jika perlu, seisi Tanah Perdikan ini dapat digerakkan.” Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Memang kata-kata itu agak menyejukkan hatinya. Tetapi apakah orang-orang Watu Gulung itu tidak licik. Ternyata perhitungan Agung Sedayu benar. Orang Watu Gulung itu datang pada hari yang disebutnya. Sete¬lah sepekan. Dan orang itupun datang ketika matahari baru saja mulai memanjat langit. Bagaimanapun juga Agung Sedayupun menjadi berdebar-debar menerima dua orang tamunya. Dan orang sebagaimana pernah datang kerumah itu sebelumnya. Dengan sikap wajar Agung Sedayu menerima kedua tamunya itu dipendapa. “Agung Sedayu.“ berkata Ki Ajar Laksana setelah duduk berhadapan dengan Agung Sedayu diatas sehelai tikar pandan, “bagaimana dengan saudara sepupumu itu he?” “Maksudmu?“ bertanya Agung Sedayu. “Jangan berpura-pura.“ desis orang itu, “bukanlah persoalannya sudah pernah aku katakan sebelumnya?“ Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Agaknya orang-orang Watu Gulung adalah orang yang lebih suka langsung berbicara pada persoalannya. Karena itu, maka Agung Sedayupun kemudian menjawab, “Ki Sanak. Sampai hari ini Glagah Putih ternyata masib belum kembali.“ Wajah orang itu menjadi tegang. Katanya, “Kau me¬mang benar-benar tidak tahu diri. Seharusnya kau menghormati orang-orang Watu Gulung.“ “Ki Sanak. Apa yang dapat aku lakukan jika anak itu memang benar-benar belum kembali, selain mengatakan bahwa anak itu belum datang?“ sahut Agung Sedayu, “karena itu, terserah kepadamu, apa yang akan kau lakukan.” “Baik.“ jawab Ki Ajar Laksana, “kau memang ter-masuk orang yang berani. Tetapi apakah kau pernah bertanya-tanya tentang perguruan Watu Gulung kepada orang-orang yang lebih tua?“ “Sudah“ jawab Agung Sedayu. “Siapa?“ bertanya Ki Ajar Laksana. “Orang tua. Kau tidak perlu mengetahuinya.“ jawab Agung Sedayu pula. “Apa katanya tentang Perguruan Watu Gulung?“ bertanya Ki Ajar itu kemudian. “Menurut orang tua itu. Watu Gulung termasuk perguruan yang masih muda. Yang lahir jauh setelah masa perguruannya sendiri surut.“ jawab Agung Sedayu, “karena itu, maka perguruan Watu Gulung belum memiliki ciri yang banyak dikenal orang.“ “Gila.“ geram Ki Ajar Laksana, “siapakah yang mengatakannya? Orang it tentu orang dungu yang tidak mengenal dunia olah kanuragan.“ “Entahlah.“ berkata Agung Sedayu, “tetapi demikianlah katanya. Dan karena aku memang belum mengenal sama sekali tentang perguruan Watu Gulung, maka aku tidak dapat mengatakan apa-apa.“ Orang itu menggeram. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Aku tidak akan mempersoalkan kedunguan seseorang. Tetapi sekarang aku menuntut tanggung jawabmu atas saudara sepupunya yang bernama Glagah Putih itu. Jika ia tidak aku ketemukan, maka aku menuntut gantinya. Kau akan aku bawa serta. Kau mendapat kesempatan menunggu sepekan lagi. Jika kau bernasib buruk karena anak itu tidak datang menyerahkan diri, maka kau jangan menyesal.“ “Kau akan membawa aku dari Tanah Perdikan ini?“ bertanya Agung Sedayu. “Ya. Aku akan membawamu sekarang.“ geram orang itu, “aku tidak mau kehilangan waktu barang seharipun. Jika sepekan lewat, maka pada hari yang keenam kau sudah akan mati.“ “Ki Sanak.“ berkata Agung Sedayu, “sebaiknya kita berbicara sebagaimana dua orang yang memiliki kedudukan yang sama. Kau tidak boleh bersikap seperti seorang budak yang sama sekali tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat apapun juga.“ “Kedudukan kita memang tidak sama.“ berkata Ki Ajar Laksana, “kau yang berhutang dan akulah tempat kau berhutang itu. Aku akan berhak menentukan sikap apapun juga atasmu, jika pada saatnya kau tidak dapat membayar hutang itu. Merampas tanggungan dari hutang itu, atau cara-cara yang lain.“ “Baiklah aku katakan terus-terang kepadamu Ki Sanak, aku tidak mau kau perlakukan seperti itu.“ “Setan.“ geram Ki Ajar, “jadi kau berniat untuk melawan.“ “Sudah tentu aku akan membela diri.“ berkata Agung Sedayu. “Sudah kau pertimbangkan, jika kau menggerakkan pengawal, korban akan tidak terhitung jumlahnya.“ ber¬kata Ki Ajar. “Aku tidak akan membawa siapa-siapa dalam per¬soalan kita. Persoalan ini adalah persoalan antara kau dan aku. Kau merasa kehilangan muridmu dan Glagah Putih adalah sepupuku.“ jawab Agung Sedayu. Wajah Ki Ajar menjadi tegang. Namun iapun telah menduga, bahwa Agung Sedayu tidak akan menyerahkan lehernya begitu saja. Bahkan Ki Ajarpun telah menduga, bahwa Agung Sedayu dengan sengaja telah menyembunyikan Glagah Putih. Karena itu, maka Ki Ajar itupun berkata, “Baiklah Agung Sedayu. Aku hargai kejantananmu. Tetapi aku ma¬sih harus membutikan, apakah kau sekedar berbicara seper¬ti seorang laki-laki atau kau memang akan bersikap sebagai¬mana seorang laki-laki.“ “Jadi apa maksudmu?“ bertanya Agung Sedayu. “Dengan kuasa ilmuku, aku dapat membawamu sekarang. Kau tidak akan mempunyai kemampuan untuk melawan dan apalagi menghindar.“ berkata orang itu, “tetapi aku memang ingin tahu tingkat kejantananmu. Karena itu, aku tidak akan membawamu sekarang. Tetapi jika kau memang seorang laki-laki datanglah ketempat kami menunggu.” Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun mudian iapun bertanya, “Dimana kau menunggu?“ “Diujung Selatan dari Tanah Perdikan ini. Di hutan pandan di tepi rawa-rawa pantai.“ jawab Ki Ajar, “untuk menjaga martabatku, maka aku memberitahukan kepadamu, bahwa aku tidak hanya berdua. Tetapi aku berlima. Jika kau benar-benar ingin bersikap sebagai laki-laki, kau tentu akan datang. Kita dapat membuat perhitungan tanpa orang lain, atau kau mempunyai empat orang kawan lainnya, atau sepasukan pengawal yang menurut perhitunganmu akan dapat menangkap kami. Tetapi jangan salahkan kami jika mayat para pengawal itu akan segera terapung dirawa-rawa di antara akar pohon pandan.“ “Baik Ki Ajar.“ berkata Agung Sedayu, “aku juga akan datang. Jika kau berlima, maka akupun akan datang berlima.“ “Kau tidak perlu berpegang pada jumlah yang sama. Kau dapat membawa orang jauh lebih banyak dari lima.“ jawab Ki Ajar. “Baiklah. Aku akan mempertimbangkannya.“ berkata Agung Sedayu. Ki Ajar itupun kemudian minta diri dan meninggalkan rumah Agung Sedayu dengan kepala tengadah. Di halaman ia masih berkata, “Datanglah hari ini. Ada dua kemungkinan dapat kau tempuh. Jika kau menyerah, kau masih mempunyai kesempatan hidup untuk sepekan. Bahkan mungkin kau akan tetap hidup jika Glagah Putih datang menyerahkan diri. Tetapi jika kau berusaha melawan, maka kau akan mati hari ini. Namun bagiku lebih cepat memang lebih baik.“ Agung Sedayu tidak menjawab. Dipandanginya orang itu dengan tajamnya. Agung Sedayu memang tidak mempergunakan ilmunya lewat sorot matanya untuk mengganggu Ki Ajar. Tetapi melihat pandangan Agung Sedayu, sesuatu terasa tergetar dihatinya. Ia melihat mata itu tidak sebagaimana mata ke-banyakan orang. Tetapi Ki Ajar tidak dapat mengatakan, apakah sebahnya, maka mata itu telah menggetarkan hatinya. Karena itu, ketika Ki Ajar telah keluar dari regol rumah Agung Sedayu, iapun telah berkata kepada muridnya yang menyertainya itu, “Agaknya orang yang bernama Agung Sedayu itu memang seorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Menilik bahwa saudara sepupunya yang masih sangat muda itu telah mampu membunuh seorang diantara saudara seperguruanmu.“ Murid Ki Ajar itu mengangguk-angguk. Tetapi katanya, “Tetapi saudaraku yang terbunuh itu adalah orang yang dapat kita anggap baru diantara kita. Jika guru mengijinkan, maka biarlah aku membuat perhitungan dengan Agung Sedayu itu.“ Ki Ajar menarik nafas dalam-dalam. Tetapi katanya, “Orang itu berbahaya bagimu. Aku sendiri akan membunuhnya.“ Muridnya tidak menyahut. Jika gurunya berkata demikian, maka gurunya itu tentu sudah memperhitungkan beberapa hal yang dapat ditangkapnya pada Agung Se¬dayu. Sementara itu, dirumahnya Agung Agung Sedayu telah berkata dengan Kiai Gringsing, Sekar Mirah, Ki Jayaraga dan Pandan Wangi. Diluar sadarnya, Pandan Wangi telah berkata, “Kita juga berlima sekarang.“ Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sementara Sekar Mirah berkata pula, “Kami akan ikut hersamamu apapun yang akan terjadi. Jika orang-orang yang ada di hutan pan¬dan itu lebih dari lima orang, maka kita akan menilainya, apakah kita memerluan para pengawal atau tidak.“ “Jika lebih dari lima orang, maka persoalannya akan menjadi lain.“ berkata Ki Jayaraga, “kita akan mempunyai banyak peluang. Apalagi jika mereka sebenarnya terdiri dari sekelompok orang dalam jumlah yang cukup banyak. Maka kita akan dapat memberi isyarat kepada para pengawal.“ “Kita akan melihatnya.“ berkata Agung Sedayu, “tetapi menilik sikapnya yang sombong, maka mereka tentu benar-benar hanya lima orang. Kecuali jika aku terkelabuhi oleh sikapnya itu.“ Dengan demikian, maka Agung Sedayu tidak dapat mencegah Kiai Gringsing dan Pandan Wangi yang ingin ikut bersama mereka. Bahkan dengan nada mendesak Pan¬dan Wangi berkata, “Bukankah mereka minta kita datang berlima? Adalah kebetulan bahwa kita berlima disini, Jika masih ada tempat, maka aku akan mengajak ayah pula.“ “Jangan.“ sahut Agung Sedayu dengan serta merta, “Jangan lihatkan Ki Gede secara langsung. Apalagi kehe¬tulan kita memang sudah berlima.“ Pandan Wangi mengangguk kecil. Namun kemudian katanya, “Kapan kita akan berangkat.“ “Kita akan segera berangkat. Tetapi karena kita akan berkuda, maka kita akan menunggu orang-orang itu sampai di hutan pandan.“ jawab Agung Sedayu. “Jika demikian, aku mempunyai kesempatan untuk minta diri kepada ayah.“ berkata Pandan Wangi. Agung Sedayu dan Sekar Mirah tidak berkeberatan. Karena itu maka Pandan Wangipun telah pergi beberapa saat. Jarak antara rumah Agung Sedayu dan rumah Ki Gede memang tidak terlalu jauh. Namun dalam pada itu, agaknya Ki Gede merasa cemas juga melepaskan anak perempuannya begitu saja. Karena itu, maka iapun telah memerintahkan seorang pemimpin pengawal untuk mengikuti Pandan Wangi bertemu dengan Agung Sedayu. “Mungkin ada pesan atau perintah Agung Sedayu.“ berkata Ki Gede. Pemimpin pengawal itupun kemudian mengikuti Pan¬dan Wangi dan bertemu dengan Agung Sedayu. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya ia tidak ingin melibatkan para pengawal. Tetapi karena Ki Gede sudah memerintahkannya, maka iapun kemudian te¬lah memberikan beberapa pesan. “Kau tidak usah membuat orang lain gelisah.“ ber¬kata Agung Sedayu, “siapkan saja mereka yang bertugas. Jika aku memberikan isyarat dengan panah sendaren, maka sekelompok pengawal berkuda harus pergi ke Alas Pandan dipinggir rawa-rawa pantai.“ “Panah itu tidak akan sampai ke padukuhan induk ini betapa kuatnya busur yang melontarkannya.“ berkata pemimpin pengawal itu. “Siapkan satu dua orang pengawal di padukuhan Gumolong. Panah sendaran akan mencapai padukuhan itu. Kemudian dari padukuhan itu akan dilanjutkan isyarat ke padukuhan induk. Mungkin harus disambung lagi di padu¬kuhan Patran.“ berkata Agung Sedayu. Namun berkali-kali Agung Sedayu berpesan, agar hal ini tidak membuat Tanah Perdikan menjadi gelisah. “Aku ingin membatasi persoalannya.“ berkata Agung Sedayu. “Baiklah.“ berkata pengawal itu, “aku akan dengan hati-hati memberitahukan hal ini kepada beberapa orang pengawal. Terutama yang bertugas saja.“ “Terima kasih.“ berkata Agung Sedayu, “aku berharap bahwa orang yang mempunyai kepentingan dengan kami adalah seorang yang bertanggung jawab dan tidak licik, sehingga aku tidak perlu membuat orang lain terlibat kedalamnya.“ “Tetapi seandainya demikian, bukankah itu sudah menjadi kewajiban seorang pengawal?“ desis pengawal itu. “Terima kasih. Mudah-mudahan kami dapat mengatasi sendiri.“ berkata Agung Sedayu kemudian. Demikianlah, maka pengawal itupun telah minta diri. Namun sementara itu Agung Sedayupun berkata, “Kami juga sudah siap untuk berangkat.“ Demikianlah, ketika pengawal itu meninggalkan rumah Agung Sedayu dan keempat orang yang lainpun telah bersiap. Sejenak kemudian merekapun telah berada dipunggung kuda. “Mungkin aku agak lama.“ berkata Agung Sedayu kepada pembantunya. Pembantunya tidak menjawab. Namun di wajahnya nampak kecemasan hatinya. Anak itu melihat orang-orang berkuda itu membawa senjata. Sekar Mirah membawa tongkat baja putihnya, sementara Pandan Wangi mem¬bawa sepasang pedang dilambungnya sebelah menyebelah. Meskipun ia tidak melihat, tetapi anak itu yakin bahwa dibawah baju Agung Sedayu tersembunyi cambuknya. Bah¬kan busur dan panah sendaren dibelakang pelana kuda. Namun Agung Sedayu yang dapat membaca kecemasannya itu berkata, “Jangan cemas. Kami akan kembali.“ Anak itu mengangguk kecil. Sejenak kemudian, maka lima ekor kuda telah berderap menyusuri jalan padukuhan. Orang-orang yang berpapasan memang menjadi heran melihat kelima orang itu berkuda bersama-sama. Namun setiap kali Sekar Mirah menjawab setiap pertanyaan, “Pandan Wangi ingin melihat perubahan-perubahan yang terjadi di Tanah Perdikannya.” Orang-orang yang mendapat jawaban itu mengangguk-angguk, karena jawaban itu masuk diakalnya. Demikianlah, maka kelima orang itu langsung menuju ke bagian Selatan Tanah Perdikan. Mereka meninggalkan padukuhan terakhir, melintasi pategalan dan kemudian memasuki hutan perdu. Sejenak kemudian mereka telah berada di hutan pandan yang terletak ditepi rawa-rawa pantai yang pepat oleh tumbuh-tumbuhan air, pandan yang berduri tajam, semak-semak dan batang ilalang. “Kita akan menunggu disini.“ berkata Agung Sedayu, “kita tidak akan memasuki daerah yang berawa-rawa itu.” Pandan Wangi mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia berkata, “Jarang sekali aku sampai kedaerah ini meskipun sejak kecil aku hidup di Tanah Perdikan Menoreh.“ Sekar Mirahpun memandang berkeliling. Ia sudah per¬nah melihat daerah itu. Tetapi rasa-rasanya berdebar-debar juga menghadapi hamparan hutan Pandan yang luas. Kelima orang itupun kemudian telah meloncat turun dari kuda mereka. Didaerah yang cukup lapang, mereka te¬lah mengikat kuda-kuda mereka pada batang pohon perdu. Sejenak mereka menunggu. Namun Agung Sedayupun menjadi ragu. Hutan Pandan itu memang luas, sehingga mungkin orang-orang itu tidak tahu, bahwa lima orang telah datang untuk menemui mereka. Karena itu, maka Agung Sedayupun telah membuat api dengan batu titikan. Dikumpulkannya rerumputan kering dan kemudian dinyalakannya sehingga gumpal-gumpal asap telah naik keudara. “Mudah-mudahan mereka melihatnya.” berkata Agung Sedayu kepada Ki Jayaraga. “Atau barangkali mereka justru sudah meninggalkan hutan ini.“ sahut Ki Jayaraga. “Aku kira belum. Nampaknya mereka bersungguh-sungguh. Orang yang menyebut dirinya Ki Ajar Laksana itu begitu yakin akan kemampuan dirinya, sehingga apa yang dikatakannya rasa-rasanya memang harus berlaku.“ desis Agung Sedayu. Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Sebenarnyalah bahwa ia memang ingin bertemu dengan orang yang bernama Ki Ajar Laksana itu. Ia ingin membuat perhitungan sebagaimana dikehendaki oleh Ki Ajar. Namun agaknya Agung Sedayu merasa bahwa dirinyalah yang sedang dicari oleh orang-orang itu, karena orang-orang itu langsung telah menyebut namanya. Untuk beberapa saat mereka memperhatikan api yang semakin redup. Namun Agung Sedayu justru telah menimbuninya dengan rerumputan kering dan basah, se¬hingga dengan demikian, maka asappun menjadi semakin nampak membubung meskipun tidak terlalu tebal, karena api itu memang tidak begitu besar. Agung Sedayupun sadar, bahwa meskipun disekitarnya hanyalah terdapat hutan pandan dan bahkan rawa-rawa, tetapi ia harus memadamkan apinya nanti agar tidak terja¬di kebakaran hutan. Namun ternyata yang diharapkan oleh Agung Sedayu itupun terjadi. Tidak begitu jauh dari api yang melontarkan asap itu, Ki Ajar memang sedang menunggu. Ia belum terlalu lama sampai ditempat persembunyiannya itu ketika ia mulai melihat asap. “Asap apa itu?“ bertanya Ki Ajar kepada murid-muridnya. “Entahlah.“ jawab salah seorang muridnya, “apakah aku harus melihatnya?“ “Lihatlah. Tetapi berhati-hatilah.“ berkata Ki Ajar. Dua diantara muridnyapun segera menyusup diantara pohon-pohon pandan menuju ketempat asap itu. Dengan sa¬ngat berhati-hati mereka berusaha untuk mendekat. Dari balik daun pandan yang rimbun mereka melihat lima orang berjalan hilir mudik ditempat yang agak lapang. Sementara itu lima ekor kuda tertambat di batang pohon perdu. “Gila.“ geram salah seorang diantara murid Ki Ajar, “mereka benar-benar datang dalam jumlah yang ditentukan.“ “Alangkah sombongnya mereka.“ desis yang lain. Namun kedua orang itu terkejut bukan kepalang ketika tiba-tiba saja mereka mendengar salah seorang diantara kelima orang itu berkata sambil menghadap kearah keduanya bersembunyi, “Selamat datang Ki Sanak. Jika kau termasuk dua orang murid Ki Ajar, maka sampaikan salamku kepadanya, bahwa aku adalah Agung Sedayu yang ditunggunya. Sayang aku tidak dapat menemukan tempat Ki Ajar itu dengan tepat. Tetapi aku ingin mempersilahkan Ki Ajar itu datang ditempat yang agak lapang ini.“ “Setan.“ geram seorang diantara kedua orang murid Ki ajar itu, “bagaimana mungkin Agung Sedayu itu me¬lihat kedatangan kita. Sungguh satu kemampuan yang tidak masuk akal.“ “Apalagi ia tahu dimana kita bersembunyi.“ desis yang lain berbisik. Ke
    • dilanjutkan lagi …….

      Kedua orang itu sama sekali tidak menjawab. Keduanyapun segera bergeser surut, menghilang diantara pohon-pohon pandan yang tumbuh menjadi besar.
      Dengan tergesa-gesa kedua orang itu melaporkan kepada guru mereka, bahwa yang membuat asap itu ternyata adalah Agung Sedayu.
      — Bagaimana kau tahu? — bertanya Ki Ajar.
      — Seorang diantara mereka ternyata melihat kehadiran kami. Padahal menurut perhitungan kami, hal itu tidak akan mungkin. Dengan lantang orang itu berpesan agar aku sampaikan kepada Ki Ajar salamnya dan memberitahukan bahwa mereka berlima telah menunggu. Orang itu telah menyebut namanya, Agung Sedayu. —
      — Persetan — geram Ki Ajar. Namun ternyata bahwa Agung Sedayu telah berhasil menusukkan pengaruh kesombongannya kepada muridnya.
      Karena itu, maka Ki Ajar itupun berkata — Dan kau mulai menjadi gentar melihat permainan itu? —
      Namun dengan serta merta, muridnya itu menjawab — Tidak guru. Aku sama sekali tidak menjadi gentar melihat kehadiran mereka berlima. —
      — Bagaimana jika kau aku tunjuk untuk melawan orang yang bernama Agung Sedayu.
      Orang yang melihat kelima orang ditempat yang agak lapang itu menjadi ragu-ragu. Bukan karena kekecilan hatinya, tetapi ia membuat perhitungan berdasarkan pada nalarnya.
      Namun yang tertua diantara keempat muridnya itu berkata — Guru. Aku adalah yang tertua diantara saudara-saudara seperguruanku. Mungkin aku memiliki masa penempaan yang paling lama. Karena itu, jika guru berkenan, beri kesempatan aku menyelesaikan Agung Sedayu. Bukankah menurut guru, aku sudah mewarisi semua ilmu dari perguruan kita. Meskipun mungkin aku belum dapat mengembangkannya, tetapi aku sudah mempunyai bekal yang cukup untuk melakukannya. —
      Gurunya mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun berkata sambil tersenyum — Kita belum mengetahui, siapakah orang terbaik diantara kelima orang itu. Tetapi agar aku yakin, bahwa dendam kita dapat kita lepaskan, maka aku berharap bahwa aku akan dapat membunuh Agung Sedayu. Tetapi jika ada orang lain yang lebih besar kemampuannya dari Agung Sedayu, maka biarlah kau melawan Agung Sedayu itu. Aku yakin bahwa kaupun akan dapat membinasakannya. Agaknya disini tidak ada orang lain yang perlu diperhitungkan lagi. Jika ada dua orang saja diantara isi Tanah Perdikan ini, maka Tanah Perdikan ini benar-benar Tanah Perdikan yang sangat besar. —
      Muridnya mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Ajar-pun segera memerintahkan murid-muridnya untuk bersiap. Namun kemudian katanya — Tetapi jangan terlalu yakin, bahwa yang datang itu hanya lima orang. Siapa tahu, bahwa sekelompok pengawal telah bersiap. Pada saatnya mereka akan datang menyergap kita. —
      — Kita akan menaburkan kematian — berkata muridnya yang tertua — tetapi bukan salah kita. —
      — Ya. Sudah tentu bukan salah kita — jawab Ki Ajar — aku sudah memperingatkan Agung Sedayu akan kemungkinan itu. —
      Para murid Ki Ajar itu mengangguk-angguk. Mereka memang terlalu yakin akan kemampuan mereka dan terutama guru mereka.
      Namun demikian ternyata Ki Ajar itu masih memberikan peringatan kepada murid-muridnya — Namun bagaimanapun juga, kalian harus menyadari, bahwa pada satu saat, kita akan sampai pada satu batas yang tidak teratasi. Jika jumlah para pengawal itu terlalu banyak tanpa menghiraukan kematian yang terjadi, maka mungkin kita harus mengalah, menyingkir dari arena. Nah, hutan pandan ini memberikan banyak kesempatan. —
      — Kita tidak akan menyingkir dari medan — berkata salah seorang murid Ki Ajar — seperti tadi guru katakan, kematian mereka bukan salah kita. —
      Ki Ajar mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian tidak menjawab lagi. Bahkan iapun berkata — Kita pergi sekarang. —
      Demikianlah maka kelima orang itupun segera pergi menuju kearah asap yang mengepul. Bagaimanapun juga, maka Ki Ajar harus menilai, betapa Agung Sedayu tanpa mengenal gentar telah menyatakan kehadirannya. Justru dengan membuat api untuk melontarkan asap ke udara.
      Jarak diantara mereka memang tidak jauh. Karena itu, maka pada waktu dekat, Ki Ajar Laksana bersama murid-muridnya telah mendekati daerah yang cukup lapang diantara hutan pandan itu.
      Kelima orang yang menunggu itupun segera melihat kehadiran mereka. Karena itu, maka merekapun segera bergeser menghadap kearah kelima orang yang baru datang itu.
      Namun demikian Ki Ajar Laksana muncul di tempat yang cukup lapang itu, ia mengerutkan keningnya. Ia melihat Pandan Wangi dan orang tua yang berkuda bersamanya beberapa hari yang lalu.
      Karena itu hampir diluar sadarnya Ki Ajar itu berdesis — Kita bertemu lagi Ki Sanak. —
      Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Katanya Siapakah yang kau maksud? Tentu bukan aku, karena kau baru saja datang kerumahku. —
      — Memang bukan — jawab Ki Ajar — tetapi perempuan itu serta orang tua yang menyertainya. —
      Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Dengan ragu ia bertanya — Dimana kita pernah bertemu? —
      — Kita bersama-sama menyeberangi Kali Praga beberapa hari yang lalu — berkata Ki Ajar Laksana.
      Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Katanya — Maaf Ki Sanak. Aku tidak melihat, atau barangkali tidak memperhatikan bahwa kita menyeberang bersama-sama. —
      — Ternyata kita bertemu disini dalam keadaan yang tidak menguntungkan. Kenapa kita harus berhadapan sebagai lawan? — bertanya Ki Ajar.
      — Aku tidak tahu maksudmu. Aku tidak tahu pula, kenapa kau merasa berkeberatan. Aku adalah penghuni Tanah Perdikan ini. Karena itu wajar jika aku berusaha untuk ikut campur dalam persoalan-persoalan yang tumbuh di Tanah Perdikan ini. —
      Ki Ajar mengangguk-angguk. Katanya — Beruntunglah Agung Sedayu karena kedatanganmu. Jika kau tidak datang ke Tanah Perdikan ini, maka Agung Sedayu tidak akan mempunyai kawan genap lima untuk menghadapi persoalannya dengan aku. —
      — Tentu tidak — jawab Pandan Wangi — kau justru harus menyadari bahwa dalam hal ini belum terlibat Ki Gede. Jika Ki Gede Menoreh turun sendiri, maka akibatnya akan semakin pahit buat kalian. —
      Ki Ajar mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian bertanya — Seberapa kemampuan Ki Gede dalam ilmu kanuragan. Ia memang seorang pemimpin disini. Tetapi aku tidak yakin bahwa ia memiliki kemampuan yang dapat dise-jajarkan dengan murid-muridku. —
      Namun Ki Ajar itu menjadi tegang sejenak, ketika Pandan Wangi mengatakan — Ki Gede adalah guruku. Kau akan dapat menilai kemampuannya dengan menilai kemampuanku. —
      Ki Ajar menarik nafas dalam-dalam. Katanya — Ternyata Tanah Perdikan ini benar-benar satu lingkungan yang besar diluar dugaanku. — Ia berhenti sejenak, namun kemudian tiba-tiba ia bertanya — Kenapa Ki Gede itu sendiri tidak datang kemari? Ia berhak melindungi orang-orangnya yang terancam bahaya. —
      — Aku mewakilinya. Aku adalah anak Ki Gede, — jawab Pandan Wangi — jika aku tidak kebetulan datang ke Tanah Perdikan ini, nasib kalian akan bertambah buruk, Karena Ki Gede sendiri akan turun ke medan. —
      — Persetan — geram Ki Ajar — ternyata Tanah Perdikan ini penuh dengan orang-orang sombong yang tidak tahu diri. Baiklah anak manis. Jika kulitmu tergores ujung senjata, apalagi di wajahmu, maka bukannya salahku. — Ki Ajar itu berhenti pula. Ia pun beralih memandang Sekar Mirah. Katanya — Tetapi aku melihat disini ada dua orang perempuan. Siapakah yang seorang? —
      — Isteriku — jawab Agung Sedayu.
      — Adik suamiku — desis Pandan Wangi pula.
      Wajah Ki Ajar benar-benar menjadi tegang. Ia pernah mendengar ceritera dari seorang pedagang yang bersama-sama menyeberang Kali Praga beberapa hari yang lalu, bersamaan pula dengan Pandan Wangi dan Kiai Gringsing. Pedagang yang menjadi pucat mendengar tentang perempuan yang bernama Pandan Wangi itu dan apalagi tentang suaminya, kakak dari perempuan yang seorang lagi.
      Namun yang lebih mengejutkan lagi ketika Ki Ajar tiba-tiba saja tanpa di sengaja melihat tongkat baja putih _ yang berada di tangan Sekar Mirah itu.
      — Siapakah namamu dan darimana kau mendapat tongkat itu? bertanya Ki Ajar Laksana kepada Sekar Mirah.
      — Namaku Sekar Mirah — jawabnya — tongkat ini pemberian guruku. —
      — Siapakah nama gurumu? — bertanya Ki Ajar.

      Sekar Mirah mendapat kesan sesuatu pada wajah Ki Ajar Laksana tentang tongkatnya. Karena itu, maka Sekar Mirahpun kemudian berkata — Guruku adalah Ki Sumang-kar. —
      — Tetapi ciri tongkatmu adalah ciri Macan Kepatihan Jipang — berkata Ki Ajar Laksana.
      Sekar Mirah memandangnya dengan tajamnya. Lalu katanya — Jalur perguruanku sama dengan jalur perguruan Macan Kepatihan. Tetapi jalur perjuanganku berbeda. Sikap gurukupun berbeda dengan sikap Macan Kepatihan.
      Ki Ajar Laksana mengerutkan keningnya. Dengan nada datar iapun berkata — Memang luar biasa. Disini berkumpul orang-orang yang mempunyai jalur perguruan yang dapat dibanggakan. Aku kagum pada murid-murid yang mempunyai jalur perguruan yang sama dengan Macan Kepatihan. Tongkat itu adalah ciri kebesarannya. Tetapi tidak semua murid dari satu perguruan memiliki perkembangan ilmu yang sama. —
      Sekar Mirah menggeretakkan giginya. Hampir diluar sadarnya ia berkata — Baiklah. Kita akan menguji, apakah tongkat ini mampu bergerak secepat tongkat seperti ini ditangan Macan Kepatihan yang terbunuh di Sangkal Putung itu. —
      Ki Ajar Laksana menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudin katanya — Baiklah. Aku sudah menangkap maksud kedatangan Agung Sedayu. Pada pokoknya Agung Sedayu menolak menyerahkan Glagah Putih sehingga ia datang bersama ampat orang sebagaimana yang aku isyaratkan. Jika demikian, maka kita benar-benar akan menguji, siapakah yang memang berhak untuk keluar dari tempat ini. Karena kau datang berlima Agung Sedayu dan kita juga berlima, maka kita tidak akan memilih lawan. Yang ada disini akan bertempur dalam kelompok masing-masing.

      Masing-masing lima orang. —
      Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya — Apakah hal itu tidak dapat dirubah lagi? Sebenarnya aku ingin menawarkan satu penyelesaian yang khusus. Kita menunggu sampai Glagah Putih pulang. Baru kita akan tahu, siapakah yang sebenarnya bersalah diantara muridmu dan Glagah Putih. Jika saudara sepupuku memang salah, aku rela ia mendapat hukuman yang setimpal. Tetapi jika kesalahan terletak pada muridmu, maka persoalannya dapat dianggap selesai. —
      — Kau tidak perlu menunggu — Potong murid Ki Ajar yang pernah tertawan — aku sendiri menjadi saksi, bahwa Glagah Putih telah membunuh saudara seperguruanku. Dengan licik bersama dengan anak muda yang disebut bernama Raden Rangga, mereka telah menjebak dan kemudian membunuh saudaraku itu. —
      — Jika kau menjadi saksi, kenapa kau tidak berbuat sesuatu pada Waktu itu? — bertanya Agung Sedayu.
      — Persetan — geram murid Ki Ajar itu — yang penting sekarang serahkan Glagah Putih itu. —
      Agung Sedayu menggelengkan kepalanya. Katanya — Sudah beberapa kali aku katakan, Glagah Putih tidak ada di Tanah Perdikan ini. Glagah Putih memang belum kembali. Mungkin ia masih diperjalanan atau justru meneruskan perantauannya untuk mendapatkan pengalaman hidup menjelang masa-masa dewasanya. —
      — Tetapi pengalaman yang dihayatinya adalah pengalaman yang buruk — sahut Ki Ajar.
      — Aku tidak yakin — jawab Agung Sedyu.
      — Sudahlah — berkata Ki Ajar — jika kau tetap pada pendirianmu, maka kita akan mulai. Lima orang akan melawan lima orang. Itu sudah adil. Namun apakah kalian akan mengikut sertakan orang tua itu. Sebenarnya aku menjadi kasihan melihat wajahnya yang muram dan memelas. —
      Kiai Gringsing tersenyum. Namun kemudian katanya
      — Ada juga gunanya wajah yang memelas. Setidak-tidaknya kalian tidak akan melakukan kekerasan terhadap aku. orang tua yang barangkali harus dibelas kasihani. —
      Tetapi Ki Ajar Laksana menjawab — Sayang, bahwa jika kau sudah berada di arena, maka kau akan tahu apakah yang mungkin terjadi. Wajahmu yang tua dan memelas tidak akan menolongmu. —
      — Apaboleh buat — gumam Kiai Gringsing seolah-olah kepada dirinya sendiri.
      Dalam pada itu, maka Ki Ajar Laksanapun telah memberikan isyarat kepada murid-muridnya. Dengan nada datar ia berkata — Kita sudah cukup lama berbincang. Kita sudah mengambil kesimpulan bahwa Agung Sedayu tidak mau mendengarkan perintahku. Ia memilih melawan dengan jumlah orang yang sama. Maka segala akibat yang terjadi adalah tanggung jawabnya. Kematian yang timbul, adalah akibat dari kesombongannya. Bahkan mungkin kelicikan Agung Sedayu yang tidak berani mempertanggung jawabkan tingkah laku sepupunya. Namun ia telah berpura-pura menjadi pahlawan dengan tidak mau menyerahkan anak itu kepada kami. Karena itulah maka ia telah menyeret orang-orang yang seharusnya tidak bersangkut paut dengan peristiwa ini kedalam maut. —
      — Ceritamu sudah cukup panjang — desis Sekar Mirah
      — sekarang kalian mau apa? —
      Ki Ajar mengerutkan keningnya. Katanya — Baiklah. Kita akan segera mulai. Tetapi masih seorang diantara kalian yang belum menyatakan sikapnya. Apa katamu tentang Agung Sedayu? —
      Ki Jayaraga mengerutan keningnya. Ia sadar, bahwa orang itu agaknya telah bertanya kepadanya. Karena itu, maka katanya — Aku tidak ingin berbicara apapun. Aku ingin berkelahi. Itu saja. —
      Wajah Ki Ajar menjadi tegang. Namun kalimat yang pendek yang diucapkan dengan kata-kata yang utuh dan
      jelas itu, menunjukkan bahwa orang itupun memiliki sesuatu yang tidak mudah dijajagi.
      Karena itu, maka Ki Ajar itupun segera bergeser sambil berkata — Marilah. Kita akan segera mulai. —
      Agung Sedayu segera mempersiapkan diri. Demikian pula Sekar Mirah dan Pandan wangi. Sementara itu Kiai Gringsing menggamit Ki Jayaraga sambil berdesis — Apakah kau akan bersungguh-sungguh? —
      — Kita lihat keadaan — berkata Ki Jayaraga — aku belum tahu, dengan siapa aku akan berhadapan. —
      Kiai Gringsing tersenyum. Namun iapun berdesis — Aku termasuk orang yang dibelas kasihani. —
      Ki Jayaraga mengerutkan keningnya. Katanya — Kau pandai berpura-pura, sehingga orang-orang itu merasa belas kasihan melihat wajahmu yang sudah berkeriput itu. —
      Tetapi Kiai Gringsing tidak sempat tertawa. Tiba-tiba saja kelima orang lawannya sudah mundur. Agaknya mereka benar-benar ingin bertempur dalam kelompok, sehingga mereka tidak akan menentukan lawan mereka seorang-seorang.
      Karena kelima orang lawan mereka seakan-akan telah mengepung mereka, maka Agung Sedayu dan empat orang lainnya telah bersiap beradu punggung.
      Namun tiba-tiba saja Agung Sedayu berkata — Tunggu. —
      — Untuk apa — desis Ki Ajar Laksana.
      Jantung Ki Ajar tiba-tiba saja bagaikan semakin cepat berdenyut. Ternyata Agung Sedayu telah mendekati perapian dan memadamkannya. Dengan kakinya Agung Sedayu menginjak api yang memang sudah hampir padam itu.
      — Jika kita semuanya mati, maka ada kemungkinan api akan menjalar lagi membakar rerumputan kering. Jika kemudian hutan pandan ini terbakar, maka tentu akan menimbulkan keributan. Daun pandan kering itu akan mudah dijilat api — jawab Agung Sedayu.
      — Setan kau — geram Ki Ajar — kau telah menghina kami. Semua orang akan menjadi gemetar dalam kepungan kami. Kenapa kau masih sempat berkelakar seperti itu. —
      — Aku tidak berkelakar — jawab Agung Sedayu — tetapi aku benar-benar mencemaskan api itu. Nah, sekarang aku sudah selesai. Jika kau akan mulai, mulailah. Apapun yang akan kau lakukan, kami akan melayaninya. —
      Ki Ajar menggeram. Ia benar-benar sudah siap menghadapi Agurg Sedayu dan keempat yang lain.
      Namun, bagaimanapun juga, Agung Sedayu masih juga mempergunakan perhitungan. Karena itulah, maka ialah yang langsung berada dihadapan Ki Ajar Laksana. Kemudian disebelah kirinya adalah Kiai Gringsing. Sedang disebelah kanannya adalah Sekar Mirah. Baru kemudian Ki Jayaraga dan Pandan Wangi yang berada disisi sebelah kiri Kiai Gringsing.
      Dalam keadaan yang gawat dihadapan khususnya Ki Ajar Laksana, maka Kiai Gringsing akan dapat melindungi Pandan Wangi, sementara Agung Sedayu akan dapat melindungi Sekar Mirah.
      Demikianlah, maka sejenak kemudian Ki Ajar Laksana itu mulai bergerak. Lingkaran itu ternyata berputar kekiri. Untuk beberapa saat putaran itu hanya perlahan-lahan saja. Namun agaknya mereka sedang mencoba memusatkan segenap kemampuan mereka untuk menghancurkan kelima orang yang berada didalam lingkaran.
      — Satu cara yang menarik — desis Agung Sedayu.
      — Ternyata inilah perguruan Watu Gulung itu geram Ki Jayaraga yang membelakangi Agung Sedayu.
      — Ya — Kiai Gringsing yang menjawab — meskipun mungkin perkembangannya masih belum pernah kita lihat.
      Ki Jayaraga tidak menjawab. Ternyata kelima orang yang mengepung mereka itu telah menarik senjata mereka masing-masing. Semua dari kelima orang itu ternyata
      bersenjata sepasang potongan baja sepanjang satu jengkal lebih sedikit yang satu sama lain dihubungkan dengan rantai hampir sedepa panjangnya.
      Dengan demikian, maka Agung Sedayupun telah mengurai senjatanya pula, sebuah cambuk yang membelit di lambungnya. Sekar Mirah dan Pandan Wangipun dengan cepat telah menggenggam senjata mereka masing-masing. Sekar Mirah telah memegang tongkat baja putihnya pada ujung dan hampir dipangkalnya. Sementara itu Pandan Wangi dikedua belah tangannya telah menggenggam pedang yang bersilang didadanya.
      — Kami membawa apa? — bertanya Ki Jayaraga — apakah Kiai juga akan mempergunakan cambuk? —
      — Aku ragu-ragu — berkata Kiai Gringsing.
      — Jadi? — desis Ki Jayaraga.
      — Entahlah nanti — sahut Kiai Gringsing. Lalu — He, bukankah kau mempunyai pedang lengkung itu? —
      — Aku tidak membawanya — jawab Ki Jayaraga.
      — Pegang apa saja untuk membatasi agar kau tidak menjadi buas disini — berkata Kiai Gringsing.
      Ki Jayaraga termangu-mangu. Namun kemudian iapun telah membuka ikat kepalanya.
      — Kau telah mempermainkan ikat kepalamu sebagaimana dilakukan oleh Ki Waskita. Tetapi pasangannya adalah ikat pinggangnya. — berkata Kiai Gringsing sambil memperhatikan lawannya yang masih saja berputar perlahan-lahan. Agaknya, mereka belum mulai menyerang. Namun mereka mulai mempermainkan senjata mereka.
      — Glagah Putih juga bersenjata ikat pinggang yang diterimanya di Mataram — berkata Ki Jayaraga.
      Kiai Gringsing termangu-mangu. Namun ia belum membawa senjata apapun.
      Dalam pada itu, terdengar Ki Ajar Laksana berkata — Kami simpan pedang kami. Hanya untuk melawan orang-orang berarti sajalah kami pergunakan pedang kami.
      — O — Agung Sedayu sempat menjawab — jangan sembunyikan kecemasan dihatimu melihat senjata-senjata kami. —
      Orang-orang yang berputaran itu mengumpat. Bagi mereka, Agung Sedayu adalah orang yang sangat sombong.
      Namun sejenak kemudian, mereka telah mempercepat putaran mereka. Senjata merekapun telah berputar dita-ngan mereka.
      — Kakek tua — berkata Ki Ajar — kenapa kau tidak bersenjata? Jika kau memang tidak siap ikut dalam permainan ini, keluarlah dari lingkaran. Kau akan dimaafkan, justru karena kulitmu sudah berkerut. —
      Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Namun kemudian jawabnya — Terima kasih Ki Sanak. Karena aku adalah bagian dari anak cucuku ini, maka biarlah aku berada disini. —
      — Apakah kau memerlukan senjata? — bertanya Ki Ajar Laksana yang sudah berputar sampai diarah lain. Namun suaranya bagaikan bergema dari segala arah.
      Kiai Gringsing termangu-mangu. Memang kurang wajar jika ia tidak bersenjata. Karena itu, maka iapun telah mengurai senjatanya pula, seperti senjata Agung Sedayu, sebuah cambuk yang berjuntai panjang.
      Ki Ajar Laksana tergetar melihat senjata Kiai Gringsing. Hampir diluar sadarnya ia berdesis — Apakah kau. yang disebut orang bercambuk itu? —
      — Entahlah — jawab Kiai Gringsing — tetapi inilah senjataku —
      — Kenapa senjatamu sama dengan senjata Agung Sedayu? — bertanya Ki Ajar Laksana.
      — Apa salahnya. Jika aku bersenjata pedang, kenapa senjataku sama dengan senjatamu selain tongkat baja berantai itu? — jawab Kiai Gringsing.
      — -Gila. Apakah kau guru Agung Sedayu? — suara Ki Ajar meninggi.
      Agung Sedayulah yang menjawab — Ya. Orang tua yang kau anggap memelas dan kau minta keluar dari lingkaran jamuran ini adalah guruku. —
      — Anak setan — geram Ki Ajar Laksana.
      — Nah, segalanya belum terlanjur. Apakah kita dapat mengurungkan permainan jamuran ini? — bertanya Agung Sedayu — mungkin kita mempunyai cara lain yang bukan kekerasan untuk menyelesaikan persoalan ini? —
      — Persetan geram Ki Ajar Laksana — jangan memperkecil arti perguruan kami. Pada saatnya nanti kalian akan menyesal meskipun terlambat. Kesombongan kalian harus kalian tebus dengan cara kematian yang pahit. —
      — Jadi, kita akan meneruskan permainan ini? Kami sudah memberitahukan siapa kami. Seharusnya kalian dapat menilai, seberapa tinggi kemampuan kalian dibandingkan dengan kami — berkata Agung Sedayu.
      Ki Ajar Laksana menggeram. Putaran iupun menjadi semakin cepat. Tongkat-tongkat baja pendek yang ada dita-ngan mereka itupun berputar semakin cepat.
      Agung Sedayu tidak berbicara lagi. Menilik sikap lawannya, mereka sudah siap untuk menyerang dengan cara mereka.
      Sebenarnyalah, maka satu dua diantara kelima orang itu mulai mengayunkan tongkat-tongkat baja mereka. Mereka memutar salah satu dari potongan baja itu diatas kepala. Kemudian putaran itu berkisar pada bidang yang berubah. Dengan cepat potongan baja itu mematuk lawan.
      Tetapi kelima orang yang ditengah-tengah putaran itu sudah bersiap. Sasaran serangan mereka yang pertama adalah Agung Sedayu.
      Namun Agung Sedayu hanya menggeliat saja, sehingga potongan baja itu tidak mengenainya.
      Ternyata murid Ki Ajar yang lain telah mengayunkan senjatanya pula. Justru mematuk dengan derasnya mengarah Sekar Mirah.
      Berbeda dengan Agung Sedayu, maka Sekar Mirah yang memiliki kecepatan gerak itu, tiba-tiba saja telah memukul tongkat baja pendek yang terikat pada ujung rantai itu. Pukulan Sekar Mirah yang dilandasi dengan kekuatan cadangannya itu benar-benar mengejutkan lawannya. Tongkat baja pendek yang terikat dengan rantai dikedua ujung itu telah terpental dengan keras. Benar-benar mengejutkan. Bahkan terasa tangan murid Ki Ajar yang telah mencoba menyerang Sekar Mirah itu menjadi sakit.
      — Anak iblis — geram orang itu. Ia telah mengalami satu hal yang tidak diduganya sebelumnya, bahwa Sekar Mirah itu memiliki kekuatan yang demikian besar.
      Apalagi ketika orang itu menyadari, bahwa agaknya Sekar Mirah masih belum mempergunakan segenap kekuatannya, apalagi ilmu yang dimilikinya.
      Dengan demikian maka orang itu memang harus berhati-hati. Agaknya kelima orang itu memang memiliki lan-dasan ilmu yang sangat tinggi.
      Dalam pada itu, sambil berputar semakin cepat, maka seorang diantara murid Ki Ajar itu telah menyerang pula. Dengan sengaja ia telah menyerang Ki Jayaraga yang hanya bersenjata ikat kepala. Ia ingin melihat, bagaimana Ki Jayaraga itu mempergunakan ikat kepalanya untuk menangkis serangannya.
      Dengan cepat dan kekuatan yang besar, tongkat baja pendek diujung rantai itu tidak berputar dan terayun kearahnya.
      Tetapi seperti yang telah menyerang Sekar Mirah, maka orang itupun terkejut. Ki Jayaraga telah merentangkan ikat kepalanya, sehingga ayunan tongkat pendek itu telah memukul rentangan ikat kepala itu. Namun yang terjadi benar-benar diluar dugaan. Demikian tongkat itu mengenai ikat kepala itu, maka Ki Jayaraga telah mengen-dorkannya. Namun sejenak kemudian kedua ujung ikat kepala itu telah dihentakkannya dengan kekuatan yang tinggi.
      Potongan baja yang tergantung pada ujung rantai itu bagaikan dilemparkannya. Demikian kerasnya, sehingga orang yang memeganginya telah tergeser hampir selangkah, sehingga untuk sesaat, lingkaran itu berguncang.
      — Gila — geram orang itu. Namun sesaat kemudian lingkaran itupun telah segera pulih kembali.
      Namun demikian orang-orang yang berputaran itu semakin yakin bahwa orang-orang yang ada di dalam lingkaran itu adalah orang-orang yang memang memiliki ilmu yang tinggi.
      Karena itu, maka Ki Ajar Laksana sendirilah yang kemudian ingin menyerang salah seorang dari kelima orang itu. Persoalan yang utama adalah persoalannya dengan A-gung Sedayu. Karena itu, maka ia ingin menjajagi kemampuan Agung Sedayu.
      Ketika ambil berputar Ki Ajar selalu memandangi Agung Sedayu, maka Agung Sedayupun menyadari, bahwa Ki Ajar akan langsung menyerangnya, meskipun ia tidak menjadi lengah, bahwa mungkin orang lain yang akan melakukannya.
      Beberapa saat kemudian, maka putaran itupun menjadi semakin cepat. Serangan demi seranganpun meluncur dari tangan orang-orang yang berlari berputaran itu. Semakin sering. Namun sasarannya bukannya Agung Sedayu, tetapi terutama kedua orang perempuan yang ada didalam lingkaran itu.
      Sekar Mirah dan Pandan Wangi justru menjadi marah. Mereka menyadari, bahwa orang-orang dalam lingkaran itu menganggap bahwa mereka berdua adalah orang yang paling lemah diantara ke lima orang itu.
      Namun keduanya memang menyadari, bahwa dibandingkan dengan Agung Sedayu, Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga, mereka memang orang-orang yang paling lemah. Tetapi itu bukan berarti bahwa mereka berada dibawah tingkat kemampuan orang yang berlari-lari itu.
      Tetapi untuk beberapa saat keduanya tidak berbuat sesuatu kecuali menangkis serangan-serangan. Sementara
      itu, kelima orang yang berlari-lari berkeliling itu masih saja berputaran. Semakin lama justru semakin cepat.
      Ternyata bahwa putaran itu memang mempengaruhi lawannya. Rasa-rasanya kepala mereka memang menjadi pening. Apalagi mereka masih harus menangkis setiap serangan yang datang kepada mereka.
      Ternyata Sekar Mirahlah yang tidak telaten. Ketika ia sempat memandang sekilas Ki Jayaraga dan Agung Sedayu yang ada di sebelah menyebelahnya, nampaknya mereka tidak akan berbuat sesuatu.
      Sebenarnyalah Kiai Gringsing, Agung Sedayu dan Ki Jayaraga telah memperhitungkan, jika mereka mampu bertahan, maka tenaga orang-orang itulah yang lebih dahulu akan susut. Tetapi mereka yang ada di tengah itu harus bertahan untuk tidak menjadi pening dan kehilangan pengamatan, karena semakin cepat orang-orang itu berputar, maka gelombang serangan merekapun akan menjadi semakin cepat pula.
      Tetapi Kiai Gringsing, Agung Sedayu dan Ki Jayaraga yakin, bahwa mereka, termasuk Sekar Mirah dan Pandan Wangi akan mampu menangkis setiap serangan sehingga akhirnya kelima orang itu akan berhenti dengan sendirinya, atau mereka akan menjadi kelelahan sebelum pertempuran yang sebenarnya terjadi.
      Namun agaknya Sekar Mirah tidak sedang diperlakukan demikian, sebagaimana Pandan Wangi. Karena itu, maka mereka mempunyai rencana untuk berbuat sesuatu.
      Ketika- putaran menjadi semakin cepat, maka tiba-tiba saja sebuah serangan yang cepat terjulur kearah Sekar Mirah. Sebuah diantara tongkat baja itu mematuk langsung kedadanya. Namun Sekar Mirah yang melihat serangan itu tiba-tiba saja telah mengelak. Ia tidak menangkis dengan tongkat baja putihnya.
      Tetapi karena orang yang mengayun tongkat pendek pada ujung rantai itu berputar, maka tongkat pendek itu-pun menyambarnya dalam putaran itu.
      Tetapi Sekar Mirah telah memperhitungkannya. Dengan cepat ia merendah, sehingga tongkat itu terbang diatas kepalanya. Namun pada saat yang demikian ia telah meloncat sambil berjongkok, demikian cepatnya. Tongkatnya telah terjulur lurus mengarah ke lambung orang yang sedang berputar itu.
      Orang itu terkejut. Ia meloncat mundur, sehingga sekali lagi putaran itu berguncang. Namun ujung tongkat Sekar Mirah tidak mengenainya.
      Tetapi pada saat yang demikian, orang yang berputar di belakang sasaran Sekar Mirah itulah yang menjadi berbahaya baginya. Orang itulah yang kemudian memutar tongkat pendeknya pada rantainya dan terayun mengarah ke kepala Sekar Mirah.
      Sekar Mirah menyadari serangan itu. Dengan cepat ia justru berguling surut, sehingga tongkat itu tidak mengenainya. Tetapi orang berikutnyalah yang siap untuk menyerangnya.
      Tetapi orang itu tidak sempat melakukannya. Pandan Wangi yang melihat Sekar Mirah mulai bertindak, iapun telah meloncat menyerang orang yang siap untuk meluncurkan tongkat pendeknya. Kedua pedangnya berputar cepat seperti baling-baling justru melibat orang yang siap menyerang Sekar Mirah.
      Orang itu memang terkejut. Dengan cepat ia bergeser sambil memutar tongkat bajanya diatas kepalanya untuk melindungi dirinya.
      Ketika orang berikutnya siap menyerang Pandan Wangi, Sekar Mirah sudah berhasil memperbaiki dirinya dan meloncat menempati kedudukan Pandan Wangi yang ditinggalkannya.
      Orang-orang yang melingkar itu memang benar-benar terguncang. Lingkaran itu tiba-tiba telah melebar, cukup jauh dari kelima orang yang ada di tengah-tengah lingkaran itu.
      — Jangan tergesa-gesa — terdengar suara Agung Sedayu.
      — Aku tidak telaten. Jika kalian ikut serta, maka lingkaran itu tentu Sudah pecah, — geram Sekar Mirah.
      Agung Sedayu menarik nafas panjang. Ia mengenal watak Sekar Mirah. Memang ada sedikit singgungan dengan watak kakaknya Swandaru yang keras. Namun bukan saja Sekar Mirah. Pandan Wangi yang biasanya lebih lu-ruhpun ternyata tidak tahan lagi menahan ketegangan dihatinya. Putaran itu memang membuat jantung merasa berdesir lebih cepat. Semakin cepat mereka berputar, maka rasa-rasanya jantungpun menjadi semakin tegang.
      Kiai Gringsing dan Ki Jayaragapun menjadi berdebar-debar. Tetapi mereka telah siap, seandainya Sekar Mirah dan Pandan Wangi mengalami kesulitan.
      Dalam pada itu, orang-orang yang berlari berputaran itu memang terkejut mengalami serangan Sekar Mirah dan Pandan Wangi yang saling mengisi. Baru dua orang dian-tara kelima orang lawannya yang bergerak. Justru dua orang perempuan. Namun lingkaran itu benar-benar telah terguncang dan bahkan hampir pecah. Hanya karena mereka cepat bergeser sehingga lingkaran itu menjadi mekar beberapa langkah sajalah, maka lingkaran itu masih tetap mengisi kelima orang yang ada di dalam, meskipun jaraknya menjadi semakin jauh.
      Namun putaran itu kembali menyempit. Semakin lama semakin sempit dan semakin cepat.
      — Kakang — berkata Sekar Mirah tingkah laku mereka sangat menjemukan. Aku menjadi pening karena putaran itu. Jika terlalu lama kita membiarkan mereka berputaran, maka mungkin aku akan muntah-muntah karenanya. —
      — Itu adalah salah satu senjata yang mereka trapkan — berkata Agung Sedayu — mereka memang menghendaki kita menjadi pening. Tetapi kita mempunyai daya tahan yang cukup untuk mengatasinya. Apalagi hanya oleh sekelompok orang yang berlari-larian itu.
      Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Sementara Pandan Wangi yang telah kembali ke tempatnya berkata —
      Apa salahnya jika kita menghentikan permainan yang memuakkan itu. —
      — Tidak ada kesulitan apa-apa jika kita memang menghendaki — jawab Agung Sedayu — tetapi kita ingin membuktikan bahwa yang mereka lakukan itu tidak berarti apa-apa bagi kita. Yang mereka kehendaki adalah agar kita menjadi pening dan kehilangan kemampuan untuk bertempur selanjutnya. Sementara itu, kita tidak akan mampu keluar dari lingkaran karena serangan-serangan mereka yang datang beruntun bagi salah seorang diantara kita yang akan menerobos keluar. —
      Ternyata Sekar Mirah dan Pandan Wangi dapat mengerti. Karena itu maka Sekar Mirahpun berkata — Mudah-mudahan aku dapat mengatasi rasa muakku, sehingga aku tidak menjadi pingsan. —
      Yang tertawa adalah Ki Jayaraga. Katanya — Begitu mudahnya kita menjadi pingsan.
      Sekar Mirah tidak menyahut. Sementara itu putaran kelima orang itupun telah menyempit kembali. Sepanjang jangkauan senjata mereka.
      Namun dalam pada itu, Agung Sedayu berdesis — Kita mencoba untuk bertahan. Kecuali jika kalian pada satu saat benar-benar tidak tahan lagi. —
      Sekar Mirah dan Pandan Wangi tidak menjawab. Tetapi mereka memang ingin mencoba bertahan.
      Demikianlah, permainan jamuran itupun telah berulang kembali. Kelima orang itu telah berlari berkeliling. Sekali-sekali mereka melontarkan serangan dengan senjata mereka. Namun serangan itu sama sekali tidak berarti apa-apa.
      Sekar Mirah dan Pandan Wangi yang sengaja membiarkan putaran itu berlangsung, telah meningkatkan daya tahan mereka. Sebenarnya ketika mereka sengaja mengatur ketahanan diri, maka apa yang terjadi itu tidak terlalu banyak berpengaruh atas diri mereka. Mereka tidak lagi merasa pening, meskipun masih ada ketegangan di jantung
      mereka. Tetapi bukan karena kecemasan, tetapi sebaliknya karena mereka harus menahan diri untuk tidak berbuat sesuatu.
      Kelima orang itu berlari semakin cepat. Serangan merekapun menjadi semakin cepat pula. Namun serangan-serangan mereka sama sekali tidak mengusik kelima orang yang ada di dalam putaran itu.
      Bahkan setiap serangan itu mengarah kepada Sekar Mirah dan Pandan Wangi, keduanya telah membentur serangan itu dengan kekuatan yang sangat besar, sehingga justru jari-jari mereka yang melontarkan serangan itulah yang menjadi sakit.
      Demikianlah permainan itu berlangsung beberapa lama. Tetapi kelima orang yang berputar itu tidak berhasil mengenai lawannya sama sekali. Mereka selalu menangkis setiap serangan atau menghindarinya. Sasaran serangan itu terutama memang ditujukan kepada Sekar Mirah dan Pandan Wangi, karena mereka menganggap bahwa kedua orang perempuan itulah yang paling lemah diantara mereka. Meskipun demikian serangan-serangan mereka itupun tidak menyentuh sasaran sama sekali. Bahkan yang terjadi adalah sebaliknya. Serangan itu justru telah memperlemah kedudukan mereka sendiri.
      Ki Ajar yang memimpin serangan itu menjadi marah. Usahanya untuk membuat lawan-lawannya kehilangan keseimbangan sama sekali tidak berhasil. Karena itu, maka iapun telah berniat untuk meningkatkan serangannya. Sasaran utamanya adalah Sekar Mirah dan Pandan Wangi. Jika semula ia selalu memperhatikan Agung Sedayu, maka iapun merasa bahwa serangannya atas Agung Sedayu akan memerlukan pemusatan nalar budi yang mapan, sehingga karena itu, maka agaknya ia akan lebih dahulu menyerang orang-orang yang justru dianggapnya paling lemah.
      Karena itu, maka Ki Ajar sendirilah yang, telah memutar tongkat baja pendeknya yang terkait pada ujung rantai itu. Demikian cepatnya, sehingga putaran itu menimbulkan suara berdesing.
      Sekar Mirah dan Pandan Wangi yang mendengar desing putaran senjata Ki Ajar itu menjadi perdebar-debar.
      Justru karena mereka merasa ilmunya berada pada tataran yang paling rendah, maka mereka telah bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.
      Sebenarnyalah, beberapa putaran kemudian, tongkat baja pendek Ki Ajar itu telah meluncur mematuk dada Sekar Mirah. Demikian derasnya.
      Namun Sekar Mirah yang sudah bersiaga melihat serangan itu. Karena itu, maka iapun telah bergeser kesam-ping. sementara itu dengan tongkat bajanya ia telah memukul tongkat pendek Ki Ajar yang tidak mengenai sasaran.
      Ternyata benturan yang terjadi merupakan benturan yang mengejutkan keduabelah pihak. Hampir saja tongkat baja putih Sekar Mirah terlepas. Sementara itu, tangan Ki Ajarpun tergetar. Tenaga Sekar Mirah jauh melampaui kekuatan yang diperhitungkannya.
      Ki Ajar itu mengumpat. Teryata Sekar Mirah mampu mempertahankan tongkat baja putihnya. Bahkan kekuatan benturannya telah menggetarkan tangannya.
      Agung Sedayupun merasakan kedahsyatan benturan itu. Iapun melihat kesulitan pada tangan Sekar Mirah yang menjadi sakit dan pedih pada telapak tangannya, sehingga karena itu, maka beberapa kali ia menggosok-gosokkan tangannya bergantian pada bajunya.
      Agung Sedayulah yang kemudian berbisik ditelinganya — Kekuatan orang itu luar biasa. Jika ia menghentakkan ilmunya, jangan terkejut bila aku mencampurinya.
      Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Namun Agung Sedayu cepat berkata — Jangan merasa tersinggung dalam keadaan seperti ini. Jika kau mempunyai kesempatan, maka murid-muridnya itu tidak akan terlalu sulit bagimu untuk menundukkannya. Tetapi bukan Ki Ajar itu sendiri. —
      Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti maksud Agung Sedayu. Sementara itu iapun merasa betapa besar kekuatan Ki Ajar itu.
      Agung Sedayupun ternyata telah menggamit Kiai Gringsing pula. Agaknya Kiai Gringsingpun segera tanggap ketika Agung Sedayu berkata — Guru, Pandan Wangi perlu perlindungan jika serangan itu datang langsung dari Ki Ajar itu sendiri. —
      Kiai Gringsing mengangguk kecil. Sementara itu, putaran itu masih berlangsung terus. Semakin cepat pula. Sementara serangan-serangan datang beruntun. Tetapi bukan dari Ki Ajar sendiri.
      Karena itu, maka baik Sekar Mirah maupun Pandan Wangi sama sekali tidak mengalami kesulitan. Apalagi Ki Jayaraga, Agung Sedayu dan Kiai Gringsing.
      Dalam pada itu, Kiai Jayaraga yang melihat benturan antara tongkat pendek Ki Ajar dengan tongkat baja Sekar Mirah, maka iapun mengerti, betapa besar tenaga Ki Ajar. Itupun tentu belum dengan kekuatan puncaknya.
      Karena itu, maka iapun telah mempersiapkan dirinya. Dengan senjata yang kurang memadai untuk melawan tongkat pendek Ki Ajar, maka ia tidak boleh melawan kekerasan dengan kekerasan. Ia harus lebih banyak menghindar atau menyerap kekerasan serangan lawannya dengan perlawanan yang lunak.
      Dalam pada itu, Ki Ajar yang menjadi marah kepada Sekar Mirah tetap bersiap-siap untuk mengulangi serangannya. Ia berniat untuk merampas senjata itu dari tangan perempuan itu. Jika ia berhasil membelit tongkat baja putih itu dalam putarannya, maka ia yakin, bahwa tongkat itu akan terlepas dari tangan perempuan itu dan jatuh ke-tangannya.
      Karena itu, maka iapun telah memberikan isyarat untuk mempersempit lingkaran. Dengan ancang-ancang yang cukup, maka Ki Ajarpun telah memutar tongkat baja pendeknya. Sementara itu ia telah menjulurkan rantai tong-
      katnya itu, sehingga tangannya berpegangan pada tongkat pendek diujung yang lain.
      Ki Ajar berharap untuk dapat membelit tongkat baja putih Sekar Mirah. Ia harus bergeser dari putaran selangkah untuk dapat menggapai tongkat Sekar Mirah dengan rantai yang berkait pada tongkat-tongkat pendeknya.
      Namun ketajaman penglihatan Agung Sedayu telah mengisyaratkannya kepadanya rencana Ki Ajar itu. Karena itu, maka Agung Sedayupun telah bersiap siap pula. Bahkan bukan saja Agung Sedayu, Kiai Gringsing dan Ki Jayaragapun telah menunggu pula, apa yang akan dilakukan oleh Ki Ajar.
      Sebenarnyalah, dalam putaran berikutnya, tongkat Ki Ajar yang berputar diatas kepalanya itu tiba-tiba berubah arah. Dengan cepat tongkat itu telah menggeser bidang putarannya sehingga tiba-tiba saja tongkat itu telah menyambar Sekar Mirah.
      Sekar Mirah memang berusaha menangkis serangan itu, karena ia tidak menyadari rencana lawannya. Ia hanya meningkatkan kekuatan cadangannya agar dalam benturan yang terjadi, tongkatnya tidak terlepas dari tangannya.
      Namun ketika benturan itu terjadi, Sekar Mirah terkejut. Rantai yang terikat pada tongkat baja pendek Ki Ajar itu tiba-tiba telah membelit tongkatnya. Demikian cepat dan kuatnya sehingga tongkat itu tiba-tiba saja telah terlepas dari tangannya.
      Sekar Mirah memekik kecil. Jantungnya bagaikan meledak karenanya. Tongkat itu adalah tongkat pemberian gurunya.
      Namun yang terjadi kemudian telah mengejutkan pula. Tiba-tiba terdengar ledakan yang menggetarkan jantung. Belum lagi Ki Ajar menyadari apa yang terjadi, tiba-tiba saja tongkat dibelitan rantainya itu lolos bagaikan terhisap oleh kekuatan yang sangat besar. Tongkat itu bagaikan terbang. Namun kemudian tongkat itu telah tertangkap oleh tangan Agung Sedayu.
      Ki Ajar yang kemudian menyadari apa yang terjadi mengumpat habis-habisan. Sementara itu, putaran itu justru telah terganggu karenanya.
      Ki Ajar sendiri hampir terhenti sama sekali. Namun kemudian putaran itupun telah bergerak kembali. Tetapi tidak terlalu cepat.
      Sementara itu Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Agung Sedayu yang berdiri disampingnya telah memberikan tongkat itu sambil berkata — Bukan salahmu. Kekuatan orang itu memang luar biasa. Hati-hatilah. Mungkin ia akan melakukannya lagi. Usahakan untuk mengelakkan saja serangannya. Tetapi agaknya aku sependapat untuk menghentikan saja permainan ini. —
      — Memang menjemukan kakang. Sementara itu mereka akan dapat memilih sasaran yang mereka anggap paling lemah. — berkata Sekar Mirah lirih.
      Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya kepada Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga — Kita hentikan mereka. —
      Ki Jayaraga tertawa pendek. Katanya — kau juga sudah jemu? Sebenarnya aku sudah jemu sejak tadi. Tetapi aku tahu maksudmu. Kau berharap agar mereka menjadi letih dengan sendirinya. Namun agaknya untuk itu diperlukan waktu yang lama, sementara mereka mendapat kesempatan lebih banyak untuk menyerang. Sedangkan putaran itu memang dapat membuat kita semakin lama semakin pening. Mereka sendiri tidak menjadi pening, karena mereka melakukan latihan bertahun-tahun untuk itu. —
      Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sementara itu Kiai Gringsing berkata — Kita akan menyerang khusus orang terkuat diantara mereka. Guru dan sekaligus orang yang paling mendendam karena kematian muridnya itu. —
      Dengan demikian, maka ketiga orang yang berada ditengah-tengah lingkaran itupun segera bersiap. Apalagi ketika mereka melihat Ki Ajar nampaknya telah mulai
      meningkatkan kekuatannya pula. Agaknya ia akan berusaha lagi untuk merebut tongkat Sekar Mirah yang telah kembali kepada perempuan itu.
      Agung Sedayulah yang kemudian memberikan isyarat kepada Ki Jayaraga dan Kiai Gringsing. Mereka bertigalah yang kemudian bergeser selangkah maju. Sementara itu Kiai Gringsing berbisik kepada Pandan Wangi — beradalah didalam bersama Sekar Mirah. —
      Pandan Wangi berpaling kearah Sekar Mirah. Agaknya Agung Sedayupun telah minta agar Sekar Mirah berada didalam. Maksudnya didalam lingkaran yang dibuat oleh Agung Sedayu, Ki Jayaraga dan Kiai Gringsing.
      Ki Ajar mengerutkan keningnya melihat perubahan tatanan dari kelima orang yang menjadi sasaran mereka itu. Dengan geram ia berkata — Ternyata perempuan yang hadir dimedan ini tidak lebih dari perempuan kebanyakan. Ternyata mereka hanya berani menyombongkan diri di-bawah perlindungan orang lain. Aku kira mereka benar-benar seorang yang berilmu tinggi. —
      Hati Sekar Mirah dan Pandan Wangi memang terbakar. Namun Agung Sedayulah yang telah menjawab — Satu pernyataan yang menarik sekali dari seorang guru sebuah perguruan yang besar. —
      Ki Ajar menggeram. Namun tiba-tiba saja demikian ia meluncur dihadapan Agung Sedayu, tongkat pendeknya yang terkait pada ujung rantai itu meluncur dengan cepatnya mengarah ke dahi Agung Sedayu.
      Namun Agung Sedayu sama sekali tidak terkejut karenanya. Dengan gerak yang tidak kalah cepatnya ia merendah, sehingga tongkat itu meluncur diatas ubun-ubunnya.
      Namun seperti yang sudah disepakati bersama Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga, maka mereka benar-benar ingin memecah putaran yang ternyata memang menjemukan itu.
      Karena itu, maka sejenak kemudian, cambuk Agung Sedayupun telah meledak menyambar salah seorang diantara murid Ki Ajar yang berlari berputaran disekitarnya.
      Tetapi Agung Sedayu belum bersungguh-sungguh. Itulah sebabnya, maka demikian orang itu bergeser keluar dari lingkaran selangkah, maka serangan itu tidak mengenainya. Namun pada saat itu, orang yang berlari dibela-kangnya telah mengayunkan tongkat pendek diujung rantainya menyerang lambung Agung Sedayu.
      Agung Sedayu bergeser surut. Tetapi sekali lagi cambuknya bergetar. Orang itupun berusaha menghindar pula seperti yang telah dilakukan oleh kawannya, Kemudian meloncat kembali kedalam lingkaran dan berputar dengan kecepatan yang semakin tinggi.
      Namun ternyata orang dibelakangnya tidak dapat menyerang Agung Sedayu sebagaimana dilakukan oleh saudaranya yang berada, didepannya. Tiba-tiba saja Ki Jayaraga telah menggerakkan ikat kepalanya pula. Ia memutar ikat kepalanya dan kemudian menghentakkannya dengan satu sudut dari ikat kepalanya itu .
      Memang luar biasa. Hentakan ikat kepala itu telah menimbulkan bunyi yang menggebu. Meskipun tidak mengenai orang yang sedang bergerak didepannya, namun rasa-rasanya angin yang kencang telah bertiup, menampar wajahnya, sehingga untuk sejenak orang itu harus memejamkan matanya.
      Dalam pada itu, orang yang dibelakangnya tidak sempat menyerang pula, karena cambuk Kiai Gringsingpun telah bergetar pula. Bahkan satu serangan mendatar tidak terlalu keras telah dilakukan, sehingga dua orang yang ber lari didepannya harus merunduk merendah.
      Ternyata, orang-orang yang berputaran melingkar itu tidak lagi mendapat banyak kesempatan untuk menyerang. Sementara itu, Ki Ajar berusaha untuk menekan ketiga orang lawannya. Ia sendiri ingin menjajagi kemampuan ikat kepala Ki Jayaraga. Sehingga karena itu, maka dengan kekuatannya yang sangat besar, Ki. Ajar telah mengayunkan tongkatnya menghantam kearah leher Ki Jayaraga.
      Namun Ki Jayaraga tidak membenturnya dengan kekerasan. Seperti yang telah dilakukan, namun dengan lam-baran kekuatan yang berlipat, ia merentangkan ikat kepalanya. Ketika sentuhan terjadi, ia mengendorkan ikat kepalanya. Seperti yang telah dilakukan pula ia menghen-takkannya namun dengan kemampuan yang jauh lebih tinggi.
      Sekali lagi Ki Ajar terkejut. Ternyata orang yang bersenjata ikat kepala itupun orang yang berilmu tinggi.
      Dengan demikian maka Ki Ajar itupun berkesimpulan bahwa kelima orang yang ada didalam putaran itu memang orang-orang yang pantas disegani. Itulah sebabnya, maka Ki Ajar itu telah merubah niatnya untuk bertempur dalam kelompok.
      Sementara itu, Agung Sedayu, Ki Jayaraga dan Kiai Gringsing yang sudah jemu atas putaran yang membuat mereka pening itupun tiba-tiba saja telah bergerak hampir bersamaan. Cambuk Kiai Gringsing meledak keras sekali, disusul suara ledakan cambuk Agung Sedayu.
      Namun dalam pada itu, Ki Jayaraga berdesis — Kita bersungguh-sungguh atau tidak? —
      — Kenapa? — bertnya Agung Sedayu.
      — Jika suara cambuk kalian memekakkan telinga, maka bagiku kalian hanya sekedar main-main seperti penunggang kuda kepang saja. — desis Ki Jayaraga.
      Agung Sedayu tersenyum. Namun iapun berdesis — Bagi murid-murid orang yang menyebut dirinya Ki Ajar itu, agaknya sudah cukup. Pada saatnya kita akan berbuat lebih baik jika perlu. —
      Ki Jayaraga tidak menjawab. Sementara itu, ia melihat putaran itu mekar selangkah, namun Agung Sedayu telah meloncat maju sambil memutar cambuknya.
      Serentak orang-orang yang berputar itu bersiap menyambutnya. Tetapi bukan hanya Agung Sedayu saja yang bergerak. Kiai Gringsingpun telah meledakkan cam-
      buknya sekali lagi. Lebih keras sehingga orang-orang yang berlari melingkar itu terkejut. Dengan demikian perhatian mereka telah terpecah. Mereka tidak saja memperhatikan cambuk Agung Sedayu, tetapi juga cambuk Kiai Gringsing.
      Namun dalam pada itu, Ki Jayaraga bergumam — Telingaku tidak tahan mendengarnya. Selaput telingaku dapat pecah karenanya. —
      Kiai Gringsing hanya tertawa saja. Sementara itu, Ki Jayaraga telah memutar ikat kepalanya dan menyerang pula orang-orang yang berlari-lari itu.
      Orang-orang yang berlari-lari itupun telah bersiap pula untuk menyerang. Semua orang diantara mereka telah memutar senjata mereka. Tiba-tiba saja mereka telah berloncatan sambil mengayunkan tongkat-tongkat pendek mereka yang terkait diujung rantai.
      Tetapi mereka sama sekali tidak menyentuh sasaran. Bahkan tiba-tiba saja salah seorang diantara mereka mengeluh tertahan. Ujung cambuk Kiai Gringsing ternyata telah menyentuh kaki salah seorang diantara mereka.
      Sentuhan itu tidak terlalu keras, tetapi orang itu seperti terkait kakinya justru pada saat ia berlari kencang. Karena itu, maka orang itupun tidak mampu lagi mempertahankan keseimbangannya, sehingga ia jatuh terguling ditanah. Untunglah bahwa ia tidak terlempar kearah pohon-pohon pandan yang berduri tajam.
      Namun dengan sigap ia telah meloncat bangkit dan kembali memasuki putaran yang kencang itu. Tetapi ternyata untuk kedua kalinya ia telah terlempar dari putaran. Bukan ujung cambuk Kiai Gringsing yang telah mengait kakinya, tetapi ujung cambuk Agung Sedayu.
      Beberapa orang yang berikut tidak mampu membangun serangan beruntun, karena justru orang-orang yang ada didalam putaran itu telah menyerang mereka dengan cepat.
      Ki Ajar sendiri menjadi sangat marah. Tiba-tiba saja rasa-rasanya putaran itu bukan saja putaran kelima orang
      yang nampak itu menjadi semakin kencang. Tetapi pada putaran itu terasa angin mulai berhembus. Semakin lama semakin keras, sehingga akhirnya telah menjadi angin pusaran yang kuat.
      Inilah yang sebenarnya ditunggu. Jika lingkaran itu tidak mau pecah tentu sesuatu akan dilepaskan oleh Ki Ajar untuk melindungi putarannya. Agaknya semula Ki Ajar memang menjajagi kemampuan olah kanuragan orang-orang yang ada didalam putaran itu. Namun kemudian Ki Ajar ternyata merasa perlu untuk mulai dengan ilmunya. Ia ingin mempercepat usahanya untuk menekan kelima orang yang ternyata memiliki kemampuan kanuragan yang tinggi-
      Ternyata bahwa angin pusaran itu telah memutar dan mengamburkan pula rerumputan dan daun-daun pandan kering yang berserakan di tanah. Begitu cepatnya angin pusaran itu, sehingga terasa menampar wajah orang-orang yang ada didalam lingkaran itu-. Bahkan ketika angin pusaran berhembus semakin keras, rasa-rasanya mereka berada didalam arus angin yang membuat mereka sulit untuk bernafas. Apalagi debupun telah ikut berhamburan pula sehingga lingkungan didalam putaran itu terasa menjadi, bgaikan berkabut oleh debu dan sampah lainnya.
      Dalam saat-saat seperti itu maka serangan tongkat pendek dari orang-orang yang berlari-lari itupun menjadi semakin cepat pula. Datang beruntun susul menyusul.
      Tetapi serangan itu tidak pernah menyentuh sasaran. Apalagi menggapai Sekar Mirah dan Pandan Wangi yang ada di bagian yang lebih dalam dari Agung Sedayu, Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga.
      Untuk beberapa saat, Sekar Mirah dan Pandan Wangi memang mengalami kesulitan untuk bernafas. Namun ternyata Agung Sedayu, Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga tidak membiarkan hal itu terjadi lebih lama. Wajah-wajah mereka dan pakaian mereka tidak ingin dikotori dengan debu dan sampah kering lebih banyak lagi.
      Karena itu, maka sejenak kemudian, Agung Sedayu, Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga hampir bersamaan telah menghentakkan senjata mereka masing-masing. Tidak terdengar ledakan yang memekakkan telinga. Cambuk Agung Sedayu dan Kiai Gringsing hanya melontarkan bunyi yang tidak terlalu keras, bahkan terdengar agak lunak. Demikian pula ikat kepala Ki Jayaraga.
      Hentakkan ilmu yang dilontarkan lewat getaran ujung cambuk dan ikat pinggang itu ternyata akibatnya dahsyat sekali. Angin pusaran yang berputar semakin keras oleh kekuatan ilmu Ki Ajar dibantu oleh murid-muridnya yang telah mengangkat debu dan sampah kering dan membuat nafas menjadi sesak itu, diikuti oleh serangan beruntun tanpa henti-hentinya, tiba-tiba bagaikan dihembus oleh angin prahara yang dahsyat sekali. Hentakkan angin prahara yang tiba-tiba itu, telah menyapu angin pusaran yang berputaran disekitar kelima orang yang dikitari oleh Ki Ajar dan murid-muridnya.
      Beberapa saat mereka masih menyaksikan putaran angin pusaran itu hanyut oleh angin prahara sampai beberapa puluh tonggak. Namun kemudian angin pusaran itu telah pecah berserakkan. Debu dan dedaunan kering yang diangkatnya, telah berhamburan dan hanyut pula dibawa oleh prahara yang kencang.
      Ki Ajar memang terkejut sekali. Bersama murid-muridnya ia menyadari, bahwa ketiga orang yang ada didalam lingkaran putarannya memang orang-orang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi.
      Karena itu, maka kemudian Ki Ajar itu merasa bahwa putaran yang dilakukan itu tidak akan ada gunanya sama sekali, selain menguras tenaga mereka tanpa arti.
      Dengan demikian maka Ki Ajar itupun telah memberikan isyarat agar putaran itu dihentikan saja.
      Murid-muridnyapun sependapat. Kemampuan ilmu yang mereka lontarkan dalam putaran itu tidak memberikan arti apapun juga.
      Sejenak kemudian, maka kelima orang yang telah menghentikan putaran mereka itu, berdiri tegak masih dalam lingkaran, seakan-akan mengepung kelima orang yang ada didalam lingkaran itu
      — Bukan main — geram Ki Ajar.
      Agung Sedayulah yang bergeser setapak menghadap kearah Ki Ajar itu. Jawabnya — Satu permainan yang mengasikkan. Kalian telah mengotori pakaian kami. Baru pagi tadi aku berganti baju. Sekarang kau kotori bajuku ini.
      — Persetan — geram Ki Ajar — jangan mengigau seperti orang gila. Nyawamu sedang terancam. Cobalah bersikap sungguh-sungguh. —
      Agung Sedayu justru tertawa. Katanya — Jangan membuat diri sendiri menjadi begitu tegang. Kita sudah menjajagi kemampuan kita masing-masing. Nah, apa katamu sekarang? —
      – Kau sombong sekali. Dengan sedikit ilmu yang kau miliki, kau sudah berani menantang Ki Ajar Laksana. — geram Ki Ajar — baiklah. Jangan menyesal jika kau mengalami kesulitan. —
      — Aku sudah siap, apapun yang ingin kau lakukan. — sahut Agung Sedayu.
      Ki Ajar menjadi semakin marah. Dengan suara lantang ia berkata — aku tantang kau berperang tanding Agung Sedayu, Kemudian biarlah murid-muridku menyelesaikan kawan-kawanmu dan kedua perempuan itu. —
      Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia memang menyadari, bahwa kemungkinan itu akan terjadi, dan bahkan kemudian memang sudah terjadi. Ki Ajar menantangnya berperang tanding.
      Namun bagaimanapun juga Sekar Mirah memang menjadi berdebar-debar. Dengan suara lirih ia berpesan — Hati-hatilah kakang. —
      Agung Sedayu tersenyum. Betapapun gelisahnya Sekar Mirah, namun ia tidak akan mungkin dapat mencegahnya, jika ia tidak ingin mengorbankan harga diri suaminya sebagai,seorang laki-laki yang berilmu tinggi.
      Karena Agung Sedayu tidak segera menjawab, maka Ki Ajar itu mendesaknya — Jika kau takut Agung Sedayu, siapakah diantara kalian yang akan mewakilinya? Gurunya atau siapa? —
      — Jangan salah sangka — sahut Agung Sedayu dengan serta merta ketika Ki Jayaraga bergeser dari tempatnya. — Bukankah aku segan melayanimu dengan alasan apapun juga. Tetapi aku memang sedang berpikir, apakah murid-muridmu akan kau korbankan begitu saja? Atau barangkali ada sesuatu yang luar biasa mungkin akan dapat terjadi? —
      — Persetan — geram Ki Ajar — muridku bukan kanak-kanak lagi di dunia olah kanuragan. Bahkan ilmunya adalah seluruh ilmuku. —
      — Jika demikian, celakalah kalian — desis Agung Sedayu — Glagah Putih adalah anak-anak disini. Ternyata yang anak-anak itu telah mampu membunuh muridmu. —
      — Gila — Ki Ajar hampir berteriak — anak itu membunuh muridku dengan curang dan licik bersama anak-anak yang lain yang bernama Raden Rangga. Tetapi aku kira, kelicikannya itu adalah keturunan dari kakek nenekmu, dan itu tentu akan menurun kepadamu pula, karena kau adalah sepupunya. —
      ***

      Lanjut kitab 213

    • senangya….masih berlanjut..matur suwun

  12. 127

  13. Kitab 212

    Monggo Para Kadang

    https://adbmcadangan.wordpress.com/files/2009/04/adbm-jilid-212.docx

  14. sudah dilanjutkan Ki Kuncung

  15. Selanjutnya, silahkan dinikmati retype persembahan dari Ki Kuncung.
    Tidak perlu kuatir lagi, retype sudah tersedia cukup banyak.
    Reype dari Ki Mahesa yang dilengkapi oleh Ki Kucung, Ki Raharga, dan retype sepenuhnya oleh Ki Kuncung.
    Saya tidak hafal, paling tidak sampai jilid 300 sudah lengkap.
    Jilid 300 ke atas, saya masih belum cek. Paling tidak 301-320 sudah ada versi pdf yang tersedia di forum diskusi.

  16. Lega rasanya Ki, mendengar banyak stok retype yg telah tersedia.
    Sungguh terima kasih Kepada semua kadang disini yg telah menyediakan hidangan retype.
    Semoga kesehatan & keselamatan menyertai para kadang disini…
    Amin……


Tinggalkan Balasan ke pandanalas Batalkan balasan