Buku III-09

209-00

Laman: 1 2

Telah Terbit on 18 April 2009 at 18:10  Comments (174)  

The URI to TrackBack this entry is: https://adbmcadangan.wordpress.com/buku-iii-09/trackback/

RSS feed for comments on this post.

174 KomentarTinggalkan komentar

  1. selamat mlm,,sugeng ndalu…,
    absen…,,

  2. terasa lamaaaa
    menunggu kata MAESTRO
    di garis bawahi,
    sampai jam berapa ya
    menunggu

  3. Masih belum..???…nunggu “MAESTRO” bikin sakaw….sabarrrrr…

  4. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia maestro adalah orang yang ahli dibidang seni, terutama bidang musik, seperti komponis, konduktor, empu.

    Selanjutnya apa arti kata SENI itu sendiri ?
    SENI adalah kesanggupan akal manusia untuk menciptakan sesuatu karya yang bermutu dan bernilai tinggi.
    atau
    SENI adalah : Sebuah keindahan yang dapat mengungkap rasa sampai jauh kedalam jiwa seseorang. Jadi apabila pernah merasakan sebuah getaran keindahan yang begitu dalam dan membuat kita tidak dapat lagi melupakannya maka artinya kita sudah dapat menangkap arti kata seni dalam arti yang sebenarnya.
    Bagaimana ungkapan rasa jiwa setelah membaca karya cipta Ki SHM, terutama serial cerita silat Api di Bukit Menoreh ?
    Apa yang membuat Ki Sanak menyebut SH Mintardja sebagai seorang Maestro ?
    Jika ditelusuri lebih jauh, Ki SHM masuk pada kriteria yang mana ?
    Beliau adalah seorang seniman sastra, seni penulis cerita silat, kreator (pencipta cerita untuk pagelaran ketoprak) yang bisa menyihir , ikut larut dalam keindahan, kesedihan, keharuan, kegembiraan, kegundahan, kejengkelan dan kesakawan, para pembaca karya ciptanya.
    Lalu berapa buku/judul cerita yang sudah ditelorkan (suwargi) Ki SHM ? Sepanjang hayatnya beliau telah menulis berbagai buku cerita silat, bahkan dimuat secara rutin pada Harian Kedaulatan Rakyat hingga kini, seperti :

    Api di Bukit Menoreh (396 jilid),
    Tanah Warisan (8 jilid),
    Matahari Rsok Pagi (15 jilid),
    Meraba Matahari (9 jilid),
    Suramnya Bayang-bayang (34 jilid),
    Sayap-sayap yang Terkembang (67 jilid),
    Istana yang Suram (14 jilid),
    Nagasasra Sabukinten (16 jilid),
    Bunga di Batu Karang (14 jilid),
    Yang Terasing (14 jilid),
    Mata Air di Bayangan Bukit (23 jilid),
    Kembang Kecubung (6 jilid),
    Jejak di Balik Bukit (40 jilid),
    Tembang tantangan (24 jilid), dan
    Beberapa naskah untuk pagelaran ketoprak.

    Buka sesuatu yang tidak mungkin, seandainya ada penghargaan/macam-macam award yang ada sekarang ini, entah apapun namanya khusus untuk kategori penulis cerita silat mungkin Ki SHM salah satu nominasinya.

    Terlepas dari semua itu, walaupun telah tiada Ki SHM dengan beberapa judul cerita yang dihasilkannya, adalah salah satu sosok pelipur lara dan pengobat kegelisahan hidup di tengah hiruk pikuk dunia ekonomi, politik yang semakin semrawut.

    Selamat Jalan Sang Maestro.

  5. Lho..durung toh…?

    Wah hujan – hujan begini jam segini kalau bisa sambil baca kitab alangkah indahnya…

  6. terima kasih Nyi Seno Kitabnya

  7. ayo para cantrik monggo diunduh kitabnya…..

  8. Akhirnya diwedar juga……haturnuhun….

  9. maaf, saya ambil duluan juga kitabnya ya….trims nyai…

  10. Kalau kitab diwedar jam segini, saya selalu ingat Ki Widura.

    Apa beliau sudah bangun ya.

  11. makaciiih …

  12. Rembug sudah pada urunan, Sekarang tinggal rembugan kitab urunan Nyimas Senopati. Matur nuwun…

  13. lapor…,sampun di donlot,,siap pindah kmr sebelah..

  14. Ngunduh kitab sambil kriyap=kriyip matane. Begadang semalaman karena harus BAKU BALAS sama Ki Anggara, Nyi Mala dan Lain-2.

    Ki Arema, mbok kirim panah sanderan kalau Kitabnya sudah muncul.

    Terima Kasih Nyi Seno.

    Patih Lowo Ijo adalah pengunduh pertama …… apa masih available Ki? Nanti saya kenalin ama …?

  15. eh bukan maestro
    tapi malah diuruni rembug
    trimakasih

  16. Hatur nuwun nyai Seno…..

  17. makasiiih

  18. maaa…..aciiiiihhhh

  19. terima kasih juga nyai, urun kitabnya… 🙂

  20. Terimakasih Nyi Seno…

  21. Matur suwun…
    Dinda Seno…Ki GeDe….
    Sudah lama tidak sowan ke Padepokan….maaf….

  22. sakti mandraguna,kebal,kekuatan mata iso nembus….tapi dijajah londo,nippon.inggris,portugis…pirang-pirang tahun…yg terdokumen spt sultan agung,diponegoro,pati unus,hasannudin,teuku umar,pattimura….yg berani nglawan londo2 beneran.ayo ojo muluk-muluk…tiru yang sudah jelas,ikuti yg benar.maturnuwun.

  23. NAMUN bagaimanapun juga Swanaru harus memperhatikah kemungkinan yang dapat dilakukan oleh kedua anak itu. Meskipun demikian katanya didalam hati, “Mungkin mereka memiliki permainan untuk membuat pangeram-eram. Tetapi kemampuan Glagah Putih tidak akan lebih dari kemampuan Agung Sedayu yang menuntunnya dalam oleh kanuragan. Sementara itu Agung Sedayu masih harus banyak belajar untuk mencapai tataran yang memadai. Sifatnya yang malas dan cepat puas itulah yang menghambat perkembangan ilmunya. Kitab yang oleh guru diperkenankan untuk dipergunakan bergantian itupun kadang-kadang tidak diambilnya pada saat-saat yang sudah menjadi haknya. Jika kakang Agung Sedayu tidak mau merubah cara-cara yang dipergukan untuk mengembangkan ilmunya, maka ia akan ketinggalan dari anak-anak yang tumbuh kemudian.“ Untuk beberapa saat Swandaru masih memperhatikan bekas sentuhan tongkat Raden Rangga itu. Tetapi baik Swandaru, maupun Pandan Wangi, apalagi anak-anak muda Sangkal Putung, tidak dapat menebak apa yang telah terjadi. Namun bahwa duapuluh batang pohon lebih telah menjadi kering dan mati merupakan satu kenyataan yang mendebarkan. “Marilah.“ berkata Swandaru kemudian kepada Pandan Wangi, “kita kembali ke Kademangan. Kita akan mencari jawab atas teka-teki ini. Jika periu kita akan berbicara dengan Guru tentang peristiwa ini.“ Pandan Wangi mengangguk-angguk. Namun iapun ke¬mudian bertanya, “Apakah kakang akan menemui Kiai Gringsing dan minta petunjuk tentang batang-batang turi ini?“ “Tidak. Aku tidak akan mencari petunjuk kepada siapapun tentang batang-batang turi itu. Kita akan membicahkan sendiri.“ jawab Swandaru. “Lalu apakah yang akan kita bicarakan dengan Kiai Gringsing?“ bertanya Pandan Wangi. “Aku akan berbicara tentang Glagah Putih.“ berkata Swandaru, “apakah yang sebaiknya kita lakukan atas anak itu. Apakah kita akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh dan berbicara dengan kakang Agung Sedayu, atau kita malahan akan menghadap Panembahan Senapati dan memberitahukan tingkah laku puteranya di Kademangan Sangkal Putung.“ Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi baginya, lebih baik Swandaru berbicara dengan Kiai Gringsing daripada ia langsung bertindak. Pandan Wangi yakin, bahwa Kiai Gringsing akan dapat mengendalikan suaminya untuk memilih, langkah manakah yang paling baik dilakukan. Sejenak kemudian maka keduanyapun telah meninggalkan tempat itu tanpa dapat memecahkan teka-teki tentang pohon-pohon turi itu. Mereka tidak dapat membayangkan, apakah yang sudah dilakukan oleh anak-anak muda itu, sehingga batang-batang turi itu menjadi bagaikan terbakar. Sepeninggal Swandaru dan Pandan Wangi, masih banyak anak-anak muda yang berkerumun. Mereka sebenarnya menunggu penjelasan Swandaru, apakah yang sebenarnya telah terjadi. Tetapi agaknya Swandaru sendiri belum dapat memecahkan teka-teki itu. Di Kademangan, Swandaru telah mengulangi keinginannya untuk berbicara dengan Kiai Gringsing. Dan agaknya Swandaru bersungguh-sungguh dengan rencananya itu. “Kita pegi ke Jati Anom sebentar.“ berkata Swanda¬ru. Pandan Wangipun menyadari, bahwa Jati Anom bukanlah jarak yang panjang. Karena itu maka mereka akan dapat menyisihkan waktu beberapa saat dan berpacu. ke Jati Anom. “Untuk apa sebenarnya kalian pergi ke Jati Anom?“ bertanya Ki Demang ketika mereka minta diri. “Tidak apa-apa ayah.“ jawa Swandaru, “kami hanya ingin mendapat petunjuk apa yang sebaiknya harus kami lakukan atas tingkah laku Glagah Putih dan Raden Rangga yang telah meninggalkan bekas dengan sangat tidak mapan. Apalagi bagi Glagah Putih, karena aku adalah saudara seperguruan kakak sepupunya.“ Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak mencegah anaknya. Seperti Pandan Wangi ia berpikir, lebih baik Swandaru berbicara dengan Kiai Gringsing daripada ia dengan tergesa-gesa telah mengambil tindakan sendiri.“ Namun sebelum berangkat Swandaru telah memberikan beberapa pesan kepada para pemimpin pengawal Kademangan agar mereka berhati-hati. Peristiwa yang terjadi semalam mungkin masih akan mempunyai ekor. “Tetapi aku tidak lama. Aku akan segera kembali setelah aku berbicara dengan guru di Jati Anom.“ berkata Swandaru kepada para pemimpin pengawal. Kemudian kepada Ki Demang ia berkata, “Jika semua persiapan sudah selesai, biarlah mayat orang-orang yang terbunuh itu dikuburkan tanpa menunggu aku, tetapi seperti yang aku katakan, Kademangan ini harus berjaga-jaga. Mungkin kawan-kawannya akan menuntut balas.“ “Kenapa kau justru pergi?“ bertanya Ki Demang. “Hanya sebentar.“ jawab Swandaru. “Begitu aku datang di Jati Anom, aku langsung kembali. Sebelum matahari turun, aku sudah berada di Kademangan ini kembali.“ “Baiklah. Kau harus benar-benar cepat kembali.“ berkata Ki Demang. “Tetapi menurut perhitunganku, kawan-kawannya tidak akan berani memasuki Kademangan ini lagi.“ berkata Swandaru. “Mudah-mudahan.“ sahut Ki Demang. Demikianlah, Swandaru dan Pandan Wangi dengan diam-diam tanpa pengawal telah meninggalkan Sangkai Putung. Namun dalam keadaan yang gawat, keduanya telah bersiap dengan kelengkapan yang memadai. Pedang rangkap Pandan Wangi berada dilambungnya sebelah menyebelah, sementara Swandaru telah membelitkan cambuknya dilambung. Dua ekor kuda telah berpacu menuju ke Jati Anom. Rasa-rasanya mereka tidak lebih lambat dari angin yang bertiup menggerakkan batang-batang padi di sawah yang basah digenangi air sampai kebibir pematang. Ternyata mereka memang tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama. Beberapa saat kemudian mereka telah menyusuri tepi hutan buruan yang tidak terlalu lebat. Ke¬mudian berbelok dan melintasi daerah yang subur lagi, memasuki daerah Macanan. Dalam waktu yang pendek mereka telah melintasi Dukuh Pakuwon dan beberapa saat kemudian mereka telah memasuki Kademangan Jati anom. Tetapi mereka tidak menuju ke padukuhan induk. Mereka menuju kesebuah padepokan kecil yang agak terpencil. Padepokan Kiai Gringsing. Ketika mereka sampai ke regol padepokan, keduanyapun telah meloncat turun. Keduanyapun telah menuntun kuda mereka memasuki halaman padepokan yang bersih terawat. Seorang cantrik yang melihat kedatangan mereka, dengan tergesa-gesa telah menyongsongnya. Cantrik itu telah minta kuda-kuda mereka untuk diikat dipatok yang tersedia dan mempersilahkan keduanya naik kependapa. “Silahkah naik.“ berkata cantrik itu, “aku akan menyampaikannya kepada Kiai Gringsing.“ “Terima kasih.“ jawa Pandan Wangi. Kedua orang suami isteri dari Sangkai Putung itupun kemudian naik kependapa. Baru saja mereka duduk, maka Kiai Gringsingpun telah keluar dari ruang dalam. Sambil tersenyum ia menyapa, ”Selamat datang di padepokan kecil ini.“ Swandaru dan Pandan Wangi mengangguk dalam-dalam. Dengan nada datar Swandaru berkata, “Kami berdua telah datang untuk menghadap guru. Mohon maaf, jika kami telah mengganggu.“ Kiai Gringsing tertawa. Katanya, “Aku tidak pernah merasa terganggu dengan kedatangan kalian. Justru aku merasa bahwa padepokan ini menjadi lebih hidup dan segar.” Kiai Gringsing yang kemudian duduk pula bersama Swandaru dan Pandan Wangi telah menanyakan juga keselamatan keluarga di Sangkai Putung. Baru kemudian Kiai Gringsing bertanya, “Apakah kalian berdua datang untuk sekedar menengok keselamatanku dan para cantrik dipadepokan ini atau kalian memang mempunyai keperluan yang khusus?“ Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Guru. Kami datang untuk menengok guru dan padepokan ini, yang sudah agak lama tidak aku lihat. Tetapi kecuali itu, kami juga mempunyai kepentingan yang lain yang akan kami sampaikan kepada guru.“ “Baiklah.“ berkata Kiai Gringsing, “jika kalian tidak tergesa-gesa biarlah nanti saja kalian menyampaikan Kepentingan kalian. Kalian dapat beristirahat dan melihat-lihat padepokan yang sudah lama tidak kau lihat ini.“ “Maaf guru.“ berkata Swandaru, “aku tidak akan lama disini. Di Sangkai Putung semalam telah terjadi satu keributan sehingga aku tidak boleh terlalu lama meninggalkannya.“ “O.“ Kiai Gringsing mengangguk-angguk, “jika demikian, baiklah. Tetapi biarlah kalian menunggu minuman panas yang sudah dibuat oleh para cantrik.“ Swandaru tidak menolak, Mereka berdua tidak dapat segera menyampaikan persoalan mereka. Bahkan Kiai Gringsing telah berbicara tentang sawah yang ada disekitar padepokan, yang digarap para cantrik dan menghasilkan padi yang baik. Sementara pategalanpun memberikan beberapa jenis palawija dan buah-buahan. Namun ketika mereka sudah minum minuman panas dan sekedar makan makanan yang dihidangkan para can¬trik, Swandaru itupun berkata, “Guru. Kami mohon untuk diijinkan menyampaikan persoalan yang kami bawa kemari. Persoalan yang kami anggap penting sehingga karena itu, maka kami telah meninggalkan Kademangan yang justru sedang dalam kesibukan.“ Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian mengangguk-angguk sambil berkata, “Baik¬lah Swandaru. Katakanlah.“ Swandaru pun kemudian menceriterakan apa yang telah terjadi di Kademangan Sangkal Putung. Empat orang terbunuh meskipun tidak ada kesengajaan untuk membunuh. Namun karena mereka memiliki ilmu yang tinggi, maka Swandaru dan Pandan Wangi tidak mempunyai pilihan lain atas mereka itu. Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berkata, “Membunuh seharusnya di lakukan jika memang tidak ada pilihan lain. Selama masih ada, pilihan lain, maka membunuh bukannya cara yang terbaik untuk memecahkan persoalan.“ “Kami mengerti guru.“ jawab Swandaru, “yang kami hadapi memang sulit untuk menghindari pembunuhan itu, jika kami sendiri justru tidak mau terbunuh.“ Kiai Gringsing berdesis, “Ya Swandaru. Itu termasuk tidak ada pilihan lain bagimu.“ “Ya guru.“ jawab Swandaru, “kami melakukannya setelah usaha kami menundukkan mereka tidak berhasil.“ Kiai Gringsing mengangguk-angguk pula, sementara itu Swandaru telah menceriterakan pula kehadiran Glagah Putih dan Raden Rangga di Kademangan Sangkal Putung. “O“ Kiai Gringsing mengangguk-angguk, “jadi anak-anak itu singgah di Sangkal Putung?“ “Ya guru.“ jawab Swandaru, “itulah yang paling penting yang ingin kami tanyakan kepada guru.“ “Tentang kedua orang anak itu?“ bertanya Kiai Gringsing. “Ya, guru. Kami ingin bertanya pendapat guru ten¬tang anak-anak itu. Apakah yang sebaiknya aku lakukan. Raden Rangga adalah putera Panembahan Senopati, sedangkan Glagah Putih adalah sepupu saudara seperguruanku, Agung Sedayu.“ sahut Swandaru. “Jadi bagaimana dengan mereka?“ bertanya Kiai Gringsing pula. “Guru.“ berkata Swandaru, “aku tidak senang bahwa mereka berdua telah melakukan tindakan yang menyinggung perasaan kami, para pengawal Sangkal Putung. Mereka menunjukkan satu perbuatan yang sangat sombong. Seakan-akan tidak ada orang lain yang mampu berbuat sebagaimana mereka lakukan.“ “Ah.“ Kiai Gringsing berdesah, “bukankah mereka hanya anak-anak saja? Anak-anak yang memang masih belum mempunyai pertimbangan yang baik atas tingkah laku mereka?“ “Justru mereka masih anak-anak.“ jawab Swandaru, “mereka harus mendapat peringatan. Nah, yang ingin kami tanyakan kepada guru, bagaimana aku memberikan peringatan kepada mereka. Apakah kami harus pergi ke Tanah Perdikan Menoreh, melaporkan kepada kakang Agung Sedayu bahwa sepupunya telah melakukan tindakan yang tidak terpuji? Demikian pula menghadap Panembahan Senopati, atau kami harus bertindak sendiri atas anak-anak itu.“ Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Namun ke¬mudian katanya, “Mereka adalah anak-anak Swandaru. Agaknya persoalannya jangan menjadi besar sehingga menyangkut sanak kadangnya.“ “Jika demikian, guru cenderung agar aku langsung sedikit memberi pelajaran kepada anak-anak itu.“ berkata Swandaru. Kiai Gringsing menyahut dengan hati-hati, “Jangan tergesa-gesa Swandaru. Tetapi apakah sebenarnya yang telah dilakukan oleh anak-anak itu?“ Swandaru termangu-mangu. Namun iapun kemudian melaporkan apa yang telah dilakukan oleh Glagah Putih dan Raden Rangga. Kiai Gringsing mendengarkan keterangan yang dikatakan oleh Swandaru tentang lebih dari dua puluh batang pohon turi yang pangkalnya telah terbakar. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Tentu Raden Rangga yang melakukan. Bukan Glagah Putih. Glagah Putih masih belum memiliki ilmu sampai setinggi itu.“ “Tetapi mereka berdua.“ jawab Swandaru, “siapapun yang melakukannya, namun Glagah Putih aku anggap terlibat dalam permainan ini.“ Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Swandaru. Raden Rangga memang seorang anak yang sangat dipengaruhi oleh lonjakan-lonjakan perasaannya. Tetapi ia menyesali perbuatannya Swandaru.” “Bagaimana Kiai tahu, bahwa anak itu menyesali per¬buatannya?“ bertanya Swandaru. Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Namun ke¬mudian katanya, “Baiklah aku berterus terang. Anak-anak itu ada disini sekarang.“ “Ada disini?“ bertanya Swandaru. “Ya. Mereka ada disini. Sebenarnya mereka tidak ingin singgah di padepokan ini, karena mereka sedang dalam perjalanan ke Timur. Beberapa saat yang lalu, mereka pernah juga datang untuk minta beberapa petunjuk tentang perjalanan mereka. Dan merekapun telah minta diri serta mengatakan bahwa mereka tidak akan singgah. Tetapi ka¬rena peristiwa yang dilakukan oleh Raden Rangga di Sangkai Putung itu, maka mereka ternyata singgah pula ke padepokan ini. Sebenarnya mereka telah merasa bersalah.” Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Namun dengan nada rendah ia berkata, “Hanya mengaku bersalah saja?“ Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Sementara Pandan Wangi menyela, “Itu sudah cukup kakang. Jika mereka sudah merasa bersalah, maka itu berarti bahwa mereka tidak akan melakukannya lagi di Sangkai Putung.” “Bagiku, orang yang bersalah, meskipun ia sudah merasa bersalah harus dihukum.“ berkata Swandaru. “Aku kira itu tidak perlu kakang.“ berkata Pandan Wangi, “karena yang mereka lakukan bukan kejahatan. Tetapi sekedar kenakalan anak-anak.“ “Tetapi akibat dari perbuatannya, seluruh Kademang¬an menjadi gelisah.“ berkata Swandaru. “Baiklah Swandaru.“ berkata Kiai Gringsing, “biarlah anak anak itu menemuimu dan minta maaf kepadamu.” Swandaru termangu-mangu sejenak. Namun Pandan Wangi lah yang menjawab, “Baiklah Kiai. Jika anak-anak itu bersedia minta maaf kepada kakang Swandaru, maka aku kira persoalannya telah selesai.“ Swandaru yang tidak sempat menjawab hanya berdesis saja. Tetapi ia tidak menyangkal pernyataan Pandan Wangi. “Aku akan memanggil mereka.“ berkata Kiai Gring¬sing kemudian sambil beringsut dari tempat duduknya. Sejenak kemudian, maka Kiai Gringsing telah kembali bersama Raden Rangga dan Glagah Putih. Kedua anak muda yang berjalan di belakang Kiai Gringsing dari ruang dalam itu, menundukkan kepala mereka, sementara Swandaru memandang mereka dengan tajamnya. Dipunggung Raden Rangga nampak mencuat tongkat pring gadingnya yang diselipkan pada ikat pinggangnya diarah punggung. Kedua anak muda itupun kemudian duduk disebelah Kiai Gringsing. Keduanya masih menundukkan kepalanya. Mereka nampaknya benar-benar telah merasa bersalah. Pandan Wangi yang memandangi kedua anak muda itu justru tersenyum. Keduanya masih terlalu muda. Lebih-lebih Raden Rangga. Sehingga kenakalan mereka bukannya sesuatu yang berlebihan. Namun bahwa mereka telah melakukan satu hal yang sulit ditebak, itulah yang sangat mena¬rik perhatian. Kiai Gringsinglah yang kemudian berkata, “Nah, inilah anak-anak itu. Mereka terpaksa singgah lagi ke pade¬pokan ini karena perasaan bersalah yang menekan jantung mereka. Seandainya kalian tidak datang ke padepokan pagi ini, kedua anak ini sudah berpesan kepadaku untuk menyampaikan permintaan maafnya kepada kalian berdua.” Lalu Kiai Gringsingpun berkata kepada Raden Rangga, “Raden, adalah kebetulan bahwa Swandaru suami isteri datang ke padepokan ini. Karena itu, sebaiknya Raden sendirilah yang mengatakan kepada keduanya permintaan maaf itu.” Raden Rangga menjadi gelisah. Namun kemudian kata¬nya dengan suara sendat, “Kakang Swandaru.“ Glagah Putihjah yang dengan serta merta berpaling kepadanya. Raden Rangga jarang sekali mempergunakan sebutan untuk memanggil nama seseorang, kecuali orang-orang tua atau orang-orang yang sangat dihormatinya. Ka¬rena itu, Glagah Putihpun merasa tenang bahwa agaknya dengan demikian Raden Rangga benar-benar akan minta maaf. Dalam pada itu Raden Ranggapun meneruskannya, “Aku minta maaf kepadamu. Agaknya permainanku tidak berkenan dihatimu. Aku berjanji untuk tidak akan berbuat lagi di Kademangan Sangkai Putung.“ Wajah Swandaru menegang. Tetapi ia berkata dengan nada berat, “Bagaimana dengan kau Glagah Putih?“ Glagah Putih beringsut setapak. Meskipun ia tidak ber¬buat apa-apa, namun iapun berkata, “Aku juga minta maaf kakang. Akupun tidak akan mengganggu lagi ketenangan Kademangan Sangkai Putung.“ Swandaru mengangguk-angguk. Tetapi suaranya masih dalam nada berat, “Sebenarnyalah kesalahan kalian tidak cukup hanya dengan sekedar permintaan maaf saja. Ke¬salahan harus dihukum. Tetapi mengingat bahwa Raden Rangga adalah putera Panembahan Senapati dan Glagah Putih adalah sepupu saudara seperguruanku, maka aku dapat memberikan maaf kepada kalian, tetapi kalian harus menjelaskan kepda orang-orang Sangkai Putung, apa yang telah kalian lakukan itu, sehingga orang-orang Sangkai Putung tidak selalu merasa gelisah karena perbuatan kalian itu.“ Raden Rangga mengerutkan keningnya. Ia tidak mengerti apa yang harus dilakukan untuk menjelaskan apa yang sudah terjadi. Karena itu maka diluar sadarnya Raden Rangga berpaling kearah Kiai Gringsing yang menarik nafas dalam-dalam. Namun Kiai Gringsing tanggap akan maksud Raden Rangga. Ia memerlukan bantuan untuk menjawab. Karena itu, maka Kiai Gringsingpun kemudian berkata, “Swan¬daru. Permintaanmu agak sulit dilakukan oleh Raden Rang¬ga. Bagaimana ia dapat menjelaskan apa yang sudah dilakukan. Mungkin Raden Rangga dapat mengatakan bahwa ia telah melakukannya tanpa maksud apa-apa. Teta¬pi sudah tentu tidak untuk melakukannya dihadapan orang-orang Sangkai Putung sekedar untuk menentramkan hati mereka. Jika untuk menenangkan hati orang-orang Sangkal Putung Raden Rangga harus melakukannya lagi untuk membuktikan bahwa hal itu tidak perlu menggelisahkan mereka, maka Raden Rangga justru harus menyombongkan dirinya dihadapan banyak orang.“ “Tetapi Guru.“ berkata Swandaru, “dengan melihat langsung, maka orang-orang Sangkal Putung tidak akan selalu terheran-heran, bahkan ketakutan bahwa hal yang ti¬dak wajar telah terjadi.“ Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Aku tidak sependapat dengan kau Swandaru. Kau sajalah yang mengatakan kepada orang-orang Sangkal Putung, bahwa Raden Rangga telah mela¬kukannya tanpa maksud apa-apa dan bahwa Raden Rangga dan Glagah Putih sudah minta maaf kepadamu. Kaupun ti¬dak perlu menemui Agung Sedayu untuk melaporkan ting¬kah laku saudara sepupunya. Apalagi untuk menghadap Panembahan Senapati menyampaikan kenakalan puteranya yang sudah mengakui kesalahan dan minta maaf kepada¬mu.“ Glagah Putih menjadi tegang pula. Jika Swandaru memaksa Raden Rangga untuk datang lagi ke Sangkal Pu¬tung, maka yang dilakukannya mungkin akan berbeda. Sikap Raden Ranggapun mungkin akan berubah pula. Namun ternyata bahwa bukan saja Glagah Putih yang menjadi berdebar-debar, tetapi juga Pandan Wangi. Ia kenal kekerasan hati suaminya, sehingga mungkin memang akan dapat timbul salah paham. Seandainya tidak dengan Panembahan Senapati mungkin dengan Agung Sedayu. Tetapi ternyata bahwa pengaruh Kiai Gringsing atas muridnya cukup besar, sehingga ternyata bahwa Swandaru tidak memaksakan niatnya untuk membawa Raden Rangga ke Sangkal Putung. Bagaimanapun juga Kiai Gringsing adalah gurunya. “Baiklah Guru.“ berkata Swandaru kemudian, “jika Guru memang menghendaki demikian, maka akupun tidak akan berkeberatan. Aku akan menyampaikannya kepada orang-orang Sangkal Putung, bahwa kedua anak-anak itu sudah minta maaf. Sementara yang dilakukannya itu bukan sejenis ilmu sihir atau ilmu hitam yang lain meskipun aku tidak tahu, apa yang dapat aku katakan tentang bekas-bekas yang terdapat di batang pohon turi itu.“ Kiai Gringsing termangu-mangu. Swandarupun tentu menemui kesulitan untuk dapat mengatakan apa yang telah terjadi dengan pohon-pohon turi itu. Tetapi memang lebih baik bahwa Raden Rangga tidak perlu datang, menjelaskan dan menunjukkan bahwa yang terjadi itu bukan apa-apa. Sementara itu, Swandarupun berkata, “Nah, jika demi¬kian aku akan segera kembali ke Sangkal Putung. Meski¬pun aku ingin berbuat lebih banyak dari yang Guru maksudkan, tetapi karena Guru tidak menyetujuinya, maka akupun akan mengurungkannya. Namun demikian kedua anak muda itu benar-benar harus menjadi jera. Mereka ti¬dak boleh berbuat sekehendak hatinya dimanapun, bukan hanya di Sangkal Putung. Aku yakin bahwa Panembahan Senapatipun tidak senang mendengar laporan tentang ting¬kah laku Raden Rangga, karena hal itu akan dapat menggoncangkan wibawa Panembahan Senapati. Juga tingkah laku Glagah Putihpun tidak akan menyenangkan kakang Agung Sedayu. Jika aku menyampaikan persoalan ini kepa¬da kakang Agung Sedayu, dan kakang Agung Sedayu menjadi salah paham, maka kakang Agung Sedayu tentu sudah keblingar.“ “Aku mengerti Swandaru.“ potong Kiai Gringsing, “kau benar. Akulah yang akan memberitahukannya bukan saja kepada Agung Sedayu yang mengasuhnya, tetapi juga kepada Ki Widura. Glagah Putih memang harus mendapat peringatan. Demikian pula Raden Rangga. Meskipun barangkali aku tidak akan berani menyampaikannya kepa¬da Panembahan Senapati, namun aku akan dapat menyampaikannya kepada Ki Juru Martani yang bergelar Ki Patih Mandaraka.“ Swandaru mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia berkata, “Baiklah Guru. Segala sesuatunya kami serahkan kepada Guru. “ “Tentang kedua orang anak itu?” bertanya Kiai Gringsing. “Ya guru. Kami ingin bertanya pendapat guru tentang anak-anak itu. Apakah yang sebaiknya aku lakukan. Raden Rangga adalah putera Panembahan Senapati”. Pandan Wangi yang tegang menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa terlepas dari beban perasaan yang berat karena sikap suaminya. Namun ketika Swandaru tidak lagi bersikap keras, maka rasa-rasanya ketegangan itupun mulai menjadi lunak. Namun dalam pada itu, selagi keadaan mereda, tiba-tiba saja wajah Swandarulah yang menjadi tegang. Bahkan kemudian dengan nada keras ia berkata, “Raden. Aku su¬dah terlalu banyak mengalah. Sekarang agaknya Raden memang ingin menunjukkan bahwa Raden memiliki ilmu yang tidak terlawan. Namun jika memang demikian, Raden seharusnya mendapat sedikit pelajaran langsung di lapangan. Tidak hanya sekedar dilaporkan kepada Ki Patih Mandaraka atau Panembahan Senapati sekalipun.“ Raden Rangga terkejut. Bahkan semua orang menjadi terkejut karenanya. Sehingga hampir diluar sadarnya Raden Rangga bertanya, “Aku kenapa?“ Semua orang memandang Raden Rangga. Tetapi anak muda itupun terheran-heran melihat sikap Swandaru yang memandanginya dengan sorot mata yang menyala. “Sebaiknya Raden mengatakan terus terang, apakah Raden memang mencoba Swandaru Geni?“ bertanya Swandaru. Ketegangan yang sudah mereda itu tiba-tiba telah memanjat naik. Bahkan suasana benar-benar menjadi panas ketika Swandaru beringsut maju sambil menuding Raden Rangga, “Raden jangan mencoba menakut-nakuti aku. Jika aku surut dari tuntutanku bukan karena aku takut kepada Raden. Tetapi karena aku menghormati giiruku.“ Raden Rangga masih nampak kebingungan. Demikian pula Glagah Putih dan bahkan juga Kiai Gringsing. Sementara itu Pandan Wangi yang terkejut dengan serta merta bergeser pula mendekati suaminya. Memegang lambungnya sambil berkata lembut, “Kakang. Tenanglah sedikit. Apa yang terjadi?“ “Lihat.“ geram Swandaru sambil menunjuk ompak disebelah tempat duduk Raden Rangga. Semua orang memandang kearah jari telunjuk Swanda¬ru. Kiai Gringsingpun menjadi berdebar-debar karenanya. Namun melihat wajah Raden Rangga, Kiai Gringsing yakin, bahwa ia telah melakukannya dengan tidak sengaja. Glagah Putihpun kemudian melihatnya pula. Semula ia sama sekali tidak memperhatikan apa yang telah dilakukan Raden Rangga, sehingga iapun berdesis, “Raden telah melakukannya.“ Raden Rangga sendiri ternyata terkejut melihat akibat permainannya. Namun dengan gagap ia berkata “Tetapi, tetapi aku tidak sengaja. Aku tidak bermaksud apa-apa. Aku hanya sekedar ingin mengendorkan ketegangan didalam dadaku.“ “Tetapi dengan cara itu, Raden nampaknya ingin mengatakan bahwa Raden memang memiliki kemampuan tidak terlawan, sehingga apa yang Raden lakukan di Sangkal Putung itu telah Raden lengkapi dengan permainan Raden itu.“ “Sudahlah.“ berkata Kiai Gringsing, “nampaknya Raden Rangga benar-benar tidak sengaja. Ia memang sedang berusaha untuk mengatasi gejolak didalam dirinya, sehingga tanpa disengaja ia telah melakukannya.“ Glagah Putih yang berdebar-debar itupun melihat bebe¬rapa lubang sebesar jari Raden Rangga sedalam kerat jari-jari telunjuknya. Agaknya untuk mengatasi ketegangan didalam dirinya Raden Rangga telah menusuk ompak pendapa Padepokan Kiai Gringsing dengan jari-jarinya beberapa kali, sehingga sedalam satu kerat jari telunjuknya itu. Namun yang mendebarkan adalah, karena ompak yang menjadi alas tiang pendapa padepokan itu dibuat dari batu yang dibentuk secara khusus. Agaknya pada saat-saat Raden Rangga tepekur disebe¬lah tiang pendapa itu, tangannya telah bermain-main sekedar untuk mengimbangi perasaannya yang tertahan, tanpa maksud tertentu. Ia sama sekali tidak menduga, bahwa yang dilakukannya itu akan dapat mengundang per¬soalan baru. Wajah Swandaru masih menegang. Dengan suara ter¬tahan ia berkata, “Aku belum pernah merasa ditantang dengan cara seperti ini. Aku merasa bahwa seharusnya aku melayaninya dan menunjukkan kepada Raden Rangga, bahwa permainannya itu dapat menjebaknya. Untunglah jika ia berhadapan dengan orang-orang yang ha¬nya sekedar ingin memberinya sedikit pelajaran agar ia menjadi jera, tetapi mungkin ia akan bertemu dengan orang-orang yang benar-benar merasa tersinggung dan merasa direndahkan.“ Wajah Raden Rangga menjadi semburat merah. Gla¬gah Putih yang kemudian mendahuluinya berkata, “Kakang Swandaru Aku yakin, bahwa Raden Rangga tidak bermaksud apa-apa. Seperti yang dikatakan oleh Raden Rangga sendiri serta Kiai Gringsing, bahwa Raden Rangga sekedar ingin mengurangi ketegangan didalam dirinya.“ “Sudahlah kakang.“ berkata Pandan Wangi, “jangan terlalu cepat dibakar oleh perasaanmu yang melonjak-lonjak itu. Mereka adalah anak-anak yang belum mampu membuat pertimbangan-pertimbangan yang jauh. Mereka adalah anak-anak yang masih dipengaruhi oleh ge¬jolak perasaan mereka sesaat. Dan sebaiknya kita tidak menjadikan diri kita anak-anak pula.“ “Aku ingin memberi mereka peringatan. Justru sikap seorang dewasa terhadap anak-anak.“ sahut Swandaru. “Kita serahkan saja semuanya kepada Kiai Gringsing.“ berkata Pandan Wangi, “biarlah Kiai Gringsing memperlakukan mereka sebagaimana baiknya.“ Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Namun ke¬mudian katanya, “Baiklah jika aku harus mengalah lagi. Aku masih dapat berpikir bening justru karena aku berada dihadapan guruku. Akupun masih menghargai sangat tinggi orang-orang yang akan tersentuh karena peristiwa ini. Karena itu, selagi aku sempat menahan diri, biarlah aku mohon diri Guru.“ “Baiklah Swandaru.“ berkata Kiai Gringsing, “baik-baiklah dijalan. Untuk selanjutnya berusahalah untuk menjelaskan persoalannya kepada orang-orang Sangkal Putung. Mereka tidak perlu gelisah, karena sebenarnyalah tidak terjadi apa-apa.“ Pandan Wangipun rasa-rasanya menjadi tergesa-gesa. Karena itu maka iapun telah mohon diri pula, “Kami mohon doa restu, Kiai.“ “Kita akan bersama-sama berdoa.“ berkata Kiai Gringsing, “semoga hati kita selalu jernih karenanya.“ Demikianlah, maka sejenak kemudian Swandaru dan Pandan Wangi telah turun kehalaman. Glagah Putihpun telah ikut menuruni tangga pula bersama Raden Rangga. Namun Glagah Putih yang berdebar-debar itu mendengar nafas Raden Rangga yang tertahan-tahan oleh gejolak perasaannya. Sementara itu Kiai Gringsing telah mengikuti Swanda¬ru dan Pandan Wangi melintasi halaman. Ternyata Pandan Wangi sempat melambaikan tangannya kepada Glagah Putih dan Raden Rangga sambil berkata, “Marilah, lain kali singgah barang sejenak.“ “Terima kasih mbokayu.“ jawab Glagah Putih sambil mengangguk. Meskipun agak dipaksakan, Raden Ranggapun telah mengangguk pula dengan hormatnya. Sejenak kemudian Swandaru dan Pandan Wangi itupun telah meloncat kepunggung kudanya. Setelah sekali lagi mereka mohon diri sambil mengangguk hormat, maka ke¬dua ekor kuda itupun telah berderap meninggalkan regol halaman padepokan kecil. Namun demikian derap kuda itu menjauh, maka tiba-tiba saja Raden Rangga telah meloncat ke halaman samping. Kedua tangannyapun tiba-tiba telah terayun kearah segerumbul pohon perdu dalam tatanan hiasan halaman pa¬depokan itu. Glagah Putih terkejut. Tetapi itu sudah terjadi. Gerumbul perdu itu bagaikan meledak dan sekejap kemudian tinggal asap tipis mengepul ditiup angin dan debu kasar yang berhamburan. “Raden.“ Glagah Putih hampir berteriak, “apa yang Raden lakukan?“ Kiai Gringsing yang masih berada diregolpun terkejut. Ketika ia berpaling, ia melihat apa yang terjadi. Namun kemudian dengan nada rendah ia menyahut kata-kata Gla¬gah Putih, “Biarlah Glagah Putih. Aku dapat mengerti. Ketegangan di dada Raden Rangga telah demikian menyesakkannya, sehingga ia memang perlu berbuat sesuatu. Ternyata pertimbangan nalar Raden Rangga masih tetap jernih, sehingga ia telah memilih sasaran yang tidak berbahaya.” Raden Rangga berdiri tegak sambil menundukkan kepalanya. Terdengar suaranya rendah, “Maaf Kiai.“ “Tidak apa-apa Raden. Aku mengerti. Gerumbul per¬du itu akan dapat diganti dengan tanaman baru. Dalam waktu dekat, segalanya akan pulih kembali.“ sahut Kiai Gringsing. “Aku tidak dapat menahan perasaan yang bergejolak didalam dadaku Kiai. Jika tidak ada Kiai disini, mungkin aku tidak dapat mengekang diri lagi. Kiai adalah orang yang aku hormati sebagaimana aku menghormati eyang Mandaraka, karena dari eyang Mandaraka aku banyak mendengar tentang Kiai. Bahkan ayahandapun menaruh hormat yang tinggi terhadap Kiai.“ desis Raden Rangga. “Sudahlah. Marilah kita duduk kembali. Kita dapat berbicara dengan tenang dan tidak mencari kesalahan. Memang kita tidak boleh ingkar, bahwa benturan sifat dan watak dalam pergaulan itu akan dapat terjadi. Yang tidak menarik perhatian bagi seseorang mungkin merupukun persoalan yang dianggap penting bagi orang lain. Yang wajar terjadi dianggap telah menyinggung perasaan. Itulah sebabnya kita harus mengembangkan tenggang rasa diantara sesama, sehingga akan dapat mengurangi kemungkinan-kemungkinan sesama, buruk yang dapat terjadi dalam sentuhan sifat dan watak seseorang.“ ber¬kata Kiai Gringsing kemudian. Raden Rangga tidak menyahut. Namun kemudian merekapun telah dibawa naik kependapa dan kembali duduk bersama-sama. “Masih ada minuman dan makanan.“ berkata Kiai Gringsing. Sementara itu Glagah Putih masih sempat memperhatikan ompak batu yang menjadi alas tiang dipendapa itu yang berlubang lubang sedalam kerat jari. “Bukan main.“ berkata Glagah Putih didalam hatinya. Sementara itu, Swandaru dan Pandan Wangi telah berpacu meninggalkan padepokan Kiai Gringsing di Jati Anom. Meskipun mereka tidak dalam kecepatan sepenuhnya, namun kuda mereka berlari cepat melintasi jalan-jalan bulak. Namun jika mereka memasuki padukuhan-padukuhan, maka mereka terpaksa mengurangi kecepatan laju kuda mereka. Dalam pada itu, Swandaru sempat juga berkata, “Anak itu ternyata memang sombong sekali. Jika tidak ada Guru, maka aku benar-benar ingin menghajarnya agar ia menjadi jera. Aku yakin, bahwa Panembahan Senapati tidak akan marah atau jika ia marah, maka ia bukan seorang pemimpin yang baik, yang membiarkan anaknya berbuat sesuka hatinya, hanya karena ia anak seorang pe¬mimpin.“ “Aku kira Panembahan Senapati memang tidak menghendaki anaknya berbuat seperti itu kakang.“ berkata Pandan Wangi. “Tetapi jika tidak ada orang yang berani mencegahnya, ia akan terus menerus melakukannya.“ berkata Swandaru. “Namun lepas dari usaha untuk mencegahnya, anak itu memang memiliki sesuatu yang sulit dimengerti.“ berkata Pandan Wangi, “kita memang akan menemui kesulitan, bagaimana kita akan menjelaskan, bahwa sekitar duapuluh batang pohon turi telah terbakar tanpa mempergunakan api.“ “Mungkin itu memang satu pengeram-eram. Tetapi belum tentu dalam benturan ilmu yang sebenarnya ia akan mampu bertahan sepenginang.“ jawab Swandaru. “Memang mungkin.“ jawab Pandan Wangi, “tetapi bagi orang kebanyakan memang sulit dimengerti, bagaimana ia dapat melubangi batu ompak itu dengan jari-jarinya.“ Swandaru mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menjawab, “Itulah yang dapat dilakukannya. Mungkin ia sudah merambah kedalam lingkungan ilmu sihir atau bahkan ilmu hitam yang sekedar mampu membuat pengeram-eram. Namun jika benar-benar dihadapi dengan sikap dan pribadi yang utuh, maka ilmu seperti itu tidak akan berarti apa-apa. Dihadapan orang yang berkepribadian kuat, ilmu sihir tidak akan dapat berlangsung dalam pengetrapannya.“ Pandan Wangi tidak menjawab lagi. Namun sebenarnyalah ia memang mengagumi kemampuan Raden Rangga. Yang dilakukan adalah sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain. Meskipun Pandan Wangi sendiri memiliki kelebihan dalam olah kanuragan. Pandan Wangi memiliki dasar ilmu yang mampu membingungkan lawannya dengan kemampuannya melepaskan kekuatan kewadagan mendahului ujud kewadagannya itu sendiri. Namun Pandan Wangipun memiliki kemampuan dasar untuk menyentuh sasaran dari jarak tertentu. Bahkan dalam perkembangannya. Pandan Wangi mampu menyerang lawannya pada jarak tertentu meskipun masih harus dikembangkannya lebih lanjut. Namun demikian ia tetap tidak dapat memecahkan teka-teki tentang pohon-pohon turi itu. Ia hanya dapat menduga, bahwa Raden Rangga mampu menghancurkan sasar¬an sebagaimana dapat dilakukan oleh orang-orang tua yang mereka kagumi. Tetapi dengan demikian, maka sebenarnyalah bahwa Swandarupun harus menilai kemampuan anak yang masih terlalu muda itu, meskipun agaknya Swandaru condong menganggap bahwa yang dilakukan oleh Raden Rangga itu sekedar pengeram-eram, namun yang tidak memiliki kekuatan dalam beruntun ilmu yang sebenarnya. Memang agak berbeda dengan penilaian Pandan Wangi. Pandan Wangi yang sudah merambah ke dalam kekuatan yang bukan saja berlandasan kepada kemampuan wadag serta tenaga cadangan betapapun besarnya di dalam diri, namun sudah mulai berhubungan dengan getaran yang ada dilingkungan geraknya, maka ia lebih dapat mendekati kenyataan kekuatan yang dipergunakan oleh Raden Rangga. Tetapi Pandan Wangi tidak ingin berbantah dengan suaminya, sehingga karena itu, maka iapun kemudian hanya berdiam diri saja. Namun dalam pada itu, kuda mereka masih berpacu terus. Mereka melintasi bulak-bulak panjang dan pendek, menerobos padukuhan-padukuhan dan menyusuri tepi-tepi hutan rindang. Ketika kemudian mereka memasuki Kademangan Sangkal Putung, maka suasana di Kademangan itu agak¬nya telah hampir pulih kembali, meskipun masih nampak agak sepi. Ketika mereka melewati sebuah pasar di sebuah padukuhan, maka nampak pasar itu memang agak lengang. Sementara itu, Swandaru dan Pandan Wangi sengaja melewati jalan yang dipinggirnya terdapat batang pohon turi yang terbakar pada pangkalnya itu. Ternyata disekitar pohon-pohon turi itu masih terdapat beberapa orang yang memperhatikannya. Bahkan ketika mereka melihat Swandaru lewat, mereka seakan-akan ber¬tanya, apakah yang telah terjadi. Swandaru yang jantungnya sudah berdetak wajar, tiba-tiba telah menjadi semakin cepat lagi. Kepada Pandan Wa¬ngi ia berdesis, “Anak itu harus dibawa kemari. Ialah yang harus menjelaskan apa yang telah terjadi. Permainan sihirnya itupun harus dikatakannya kepada orang-orang itu.“ Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun berkata, “Kakang, sebaiknya orang-orang itu diminta untuk meninggalkan pohon turi yang menjadi layu dan kering itu. Tidak ada apa-apa yang terjadi. Me¬mang mungkin satu hal yang ganjil. Tetapi tidak untuk direnungi dan dipikirkan.“ Swandaru menggeretakkan giginya. Namun iapun kemudian mendekat sambil bicara kepada orang-orang yang berkerumun itu, “Aku sudah berhasil menyusul orang yang melakukan permainan sihir ini. Orang itu sudah minta maaf kepadaku. Ia sudah berjanji untuk tidak mengulangi lagi permainan yang kotor ini. Orang itu memang mengira bahwa tidak ada orang yang berani menghalangi tingkah-lakunya. Namun ternyata bahwa orang itu tidak lebih dari seorang pembual yang hanya sekedar berbekal kemampuan sihir itu saja tanpa kemampuan untuk menyambung ilmu kanuragan.“ Orang-orang Sangkal Putung itu mengangguk-angguk. Mereka memang tidak bertanya sesuatu. Mereka memang percaya bahwa Swandaru telah berhasil menemukan orang itu dan memaksanya untuk minta maaf, karena orang-orang Sangkal Putung yakin akan kemampuan Swandaru. Namun demikian mereka tetap merasa heran tentang apa yang telah terjadi atas batang pohon-pohon turi yang jumlahnya lebih dari duapuluh batang pohon itu. Dalam pada itu, selagi orang-orang Sangkai Putung itu masih termangu-mangu, maka Swandarupun berkata, “Sudahlah. Tinggalkan tempat ini. Tidak ada yang perlu mendapat perhatian berlebih-lebihan. Besok pohon-pohon turi yang layu dan kering itu akan ditebang dan diganti dengan pohon yang baru.” Dengan demikian maka orang-orang Sangkai Putung itupun kemudian telah meninggalkan tempat itu. Swandaru dan Pandan Wangi masih berada di tempat itu beberapa saat lamanya. Baru kemudian merekapun telah meninggalkan tempat itu pula, langsung menuju ke pedukuhan induk. Dirumahnya Swandaru telah menerima dua orang pemimpin pengawal Kademangan yang memberikan laporan tentang penguburan orang-orang yang semalam terbunuh di Kademangan itu. “Semuanya berjalan lancar. Tidak ada gangguan apapun juga.” berkata salah seorang diantara kedua pemimpin pengawal itu. “Syukurlah.“ berkata Swandaru yang kemudian juga menceriterakan bahwa ia telah berhasil menemui orang yang melakukan permainan ugal-ugalan pada batang pohon turi itu dan memaksanya untuk minta maaf. “Sampaikan kepada para pengawal.“ berkata Swan¬daru, “mereka tidak usah gelisah. Demikian pula orang-orang lain. Yang melakukan itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan keempat orang yang terbunuh itu. Bahkan seandainya ada, maka orang itupun agaknya tidak akan mampu melakukan apapun lagi sekarang sebagaimana yang ampat orang itu.“ Para pengawal itu mengangguk-angguk. Sebagaimana orang lain, maka merekapun percaya sepenuhnya kepada Swandaru yang memang merupakan orang terbaik di Sang¬kai Putung, terutama dalam olah kanuragan serta kemampuannya mengatur pemerintahan. Bahkan Ki Demang yang mempunyai pengalaman yang jauh lebih banyak dari Swan¬daru dalam pemerintahan di Sangkai Putung, nampaknya harus lebih banyak menyerahkan pimpinan kepada Swan¬daru. Karena itu, maka bagi para pengawal, Swandaru meru¬pakan orang yang menjadi puncak pimpinan mereka. Se¬hingga apa yang dikatakan oleh Swandaru, bagi para penga¬wal merupakan kepastian dan kebenaran yang mereka per¬caya sepenuhnya. Demikianlah, maka Swandarupun telah memerintahkan agar kedua pengawal itu segera menyampaikan kepada para pemimpin yang lain, sebagaimana dikatakannya. Dalam pada itu, Raden Rangga dan Glagah Putih masih tetap berada di padepokan Kiai Gringsing di Jati Anom. Dalam kesempatan itu Kiai Gringsing telah membe¬rikan pesan-pesan lebih banyak kepada kedua anak muda itu, justru karena telah timbul persoalan dengan Swandaru. “Raden harus mampu melihat tugas Raden yang besar dan berat itu berkata Kiai Gringsing, sehingga karena itu, jangan timbul persoalan-persoalan yang dapat menghambat tugas Raden yang sebenarnya dapat dihindari. Karena jika Raden gagal menjalankan tugas sebelum Raden mulai dengan tugas itu yang sebenarnya, maka kegagalan Raden itu adalah kegagalan yang sia-sia. Berbeda dengan kegagalan yang terjadi justru dalam tugas itu sen¬diri. Meskipun gagal, namun Raden dan Glagah Putih ada¬lah seorang utusan seorang Raja yang setia. Bahkan seorang pahlawan.“ Raden Rangga dan Glagah Putih mengangguk-angguk. Dengan nada datar Raden Rangga berkata, “Aku mengerti Kiai. Aku akan mencoba untuk menghindari persoalan-per¬soalan yang tidak penting disepanjang jalan.“ “Sebaiknya memang demikian Raden.“ berkata Kiai Gringsing, “apalagi jalan ke Timur itu memerlukan kesiapan jiwani yang tinggi. Banyak padepokan-padepokan dengan para penghuninya yang berilmu tinggi, numun tidak jelas sikap dan pendirian mereka. Bukan saja dalam menilai hidup sehari-hari, tetapi juga tentang sikap mereka terhadap Mataram. Mataram sebagai pusat pemerintahan yang masih baru memang harus mengatasi persoalan-persoalan yang timbul. Meskipun sebuah padepokan itu merupakan titik-titik kecil bagi pemerintahan Mataram, tetapi jika yang kecil-kecil itu banyak jumlahnya, maka hal ini tentu harus mendapat perhatian yang cukup besar.“ Raden Rangga mengangguk-angguk pula. Sambil berpaling kearah Glagah Putih ia berkata, “Glagah Putih akan sering mengekang tingkah lakuku yang kadang-kadang meledak-ledak. Glagah Putih banyak mengetahui tentang diriku dan bahkan yang tidak aku ketahui sendiri telah diketahuinya.“ Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Dengan nada datar ia bertanya, “Apa maksud Raden?“ Raden Rangga termangu-mangu sejenak. Namun kemu¬dian katanya, “Glagah Putih nampaknya berhasil mengenali diriku sedalam-dalamnya sebagaimana sering dikatakannya kepadaku.“ Kiai Gringsing memandang Glagah Putih sejenak. Na¬mun iapun kemudian berdesis, “Syukurlah jika masih ada yang dapat Raden percaya untuk sedikit mengekang tingkah laku Raden. Namun Radenpun setiap saat harus selalu ingat, bahwa orang itu memang mampu melakukan¬nya.“ Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam, sementara itu Kiai Gringsing masih sempat memberikan beberapa pesan yang lain. Namun dalam pada itu, pembicaraan mereka yang bergeser, tiba-tiba telah .menyinggung peristiwa yang terja¬di di Kali Opak pada perjalanan Raden Rangga dan Glagah Putih menuju ke Timur. “Kiai berkata Glagah Putih, hal ini sebenarnya ingin kami tanyakan kelak jika kami telah kembali dari tugas kami. Tetapi karena kami sekarang akhirnya singgah juga di padepokan ini, maka sebelum kami berangkat, kami ingin menyampaikannya kepada Kiai.“ “Tentang apa?“ bertanya Kiai Gringsing. Glagah Putihlah yang kemudian menceriterakan apa yang pernah terjadi di Kali Opak, bahwa Glagah Putih justru telah terlibat di dalam peristiwa yang hanya terjadi didalam mimpi Raden Rangga. Kiai Gringsing mendengarkan ceritera Raden Rangga itu dengan seksama. Semakin lama ia menjadi semakin tertarik pada ceritera itu. Dengan mengangguk-angguk kecil , Kiai Gringsing kemudian berkata setelah Glagah Putih selesai mencerite¬rakan peristiwa itu. “Memang aneh Glagah Putih. Pe¬ristiwa itu terjadi didalam mimpi Raden Rangga. Tetapi sebagian dari mimpi itu justru merasa kau alami. Biasanya mimpi itu adalah persoalan pribadi yang tidak ada sangkut pautnya dengan peristiwa yang terjadi atas orang lain pada mimpi itu. Yang pernah terjadi adalah, mimpi yang menjadi isyarat dari peristiwa yang akan terjadi. Itupun merupakan teka-teki yang tidak selalu dapat ditebak. Karena sebenar¬nyalah tidak semua mimpi dapat dicari maknanya.“ Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu katanya pula, “namun yang terjadi atas kalian ternyata terlalu asing. Mimpi itu dialami oleh Raden Rangga dalam tidurnya, sehingga tidak terjadi sesuatu diluar diri Raden Rangga. Namun Glagah Putih itu justru merasa mengalami sesuatu sebagaimana peristiwa yang terjadi didalam mimpi Raden Rangga meski¬pun tidak lengkap.“ “Ya Kiai.“ sahut Glagah Putih, “itulah yang telah terjadi.“ Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Namun ke¬mudian katanya, “Tentu tidak seorangpun yang tahu dengan pasti Glagah Putih. Bahkan Ki Waskitapun akan ragu-ragu mengurainya. Ki Waskita yang memiliki pengetahuan menangkap isyarat bagi masa depan dan kemudian mencari arti itupun tidak selalu dapat dilakukan dengan tepat. Demikian juga agaknya tentang peristiwa ini seandainya kalian dapat bertemu dengan Ki Waskita.“ Namun demikian derap kuda itu menjauh, maka tiba-tiba saja Raden Rangga telah meloncat kehalaman samping. Kedua tangannya terayun kearah gerumbul pohon perdu dalam tatanan hiasan halaman padepokan itu. Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun katanya, “Mungkin pada suatu saat, kami ingin bertemu dengan Ki Waskita. Namun sementara ini barangkali Kiai dapat memberikan setidak-tidaknya pendapat Kiai tentang hal ini.“ Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Satu pendapat belum tentu mengandung kebenaran. Karena itu, pendapatkupun belum tentu mengandung kebenaran. Karena itu, pendapatkupun belum tentu mengandung kebenaran itu. Meskipun demikian, barangkali aku dapat menduga apa yang telah terjadi dengan kalian berdua.“ Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam, sementara Glagah Putih telah beringsut mendekat. Mereka ingin mendengar pendapat Kiai Gringsing tentang mimpi Raden Rangga yang aneh, yang justru terasa dialami oleh Glagah Putih sebagai satu peristiwa, meskipun ternyata tidak ter¬jadi apa-apa. Untuk sesaat Kiai Gringsing masih berdiamdiri. Agak¬nya ia sedang merenungi peristiwa yang telah dialami Gla¬gah Putih itu. Baru kemudian katanya, “Glagah Putih. Aku tidak ingin mencari arti dari mimpi Raden Rangga itu sendiri. Mungkin Raden Rangga sudah menceriterakan persoalan yang berhubungan dengan mimpinya itu. Namun yang ingin aku katakan adalah dugaanku tentang hubunganmu dengan Raden Rangga. Justru karena kau merasa mengalami peristiwa yang terjadi hanya didalam mimpi Raden Rangga saja.“ Glagah Putih dan Raden Rangga menundukkan kepalanya. Sementara itu Kiai Gringsing berkata selanjutnya, “Anak-anak muda. Menurut rabaanku, maka ternyata setelah bergaul sekian lama, berlatih bersama, meresapi ilmu bersama dan bahkan mengalami pengalaman bersama, maka pribadi kalian telah berbaut. Tanpa kalian sadari, maka kalian seakan-akan telah menyatu. Apa yang terjadi dan dialami oleh yang satu, maka yang lainpun akan ikut merasa mengalaminya meskipun tidak wantah. Bahkan peristiwa dalam mimpipun telah terbagi. Getaran pribadi Raden Rangga yang telah menggetarkan pribadi Glagah Putih telah melukiskan peristiwa didalam mimpi itu. Mudahnya pribadi Glagah Putih dan Raden Rangga mirip dengan dua lempeng prunggu yang sama tebalnya, sama mampatnya, sehingga jika yang satu bergetar maka yang lainpun akan ikut bergetar pula dengan sendirinya, meskipun tidak menimbulkan bunyi yang sama kerasnya, tetapi sama nadanya.“ “Tetapi tidak semua peristiwa kita alami bersama Kiai. Kadang-kadang aku tidak mengerti, apa yang dikehendaki oleh Raden Rangga dan sebaliknya. Bahkan mimpi-mimpi yang lainpun tidak kita alami bersama.“ berkata Glagah Putih. “Sudah tentu Glagah Putih.“ jawab Kiai Gringsing, “dua lempeng prunggu itupun tidak selalu bergetar jika yang lain digetarkan. Hanya nada-nada yang tajam dan cukup keras sajalah yang mampu menggetarkan yang lain. Demi¬kian pula kalian. Hanya yang terpenting sajalah yang dapat kalian alami bersama. Hal itu juga terpengaruh karena kalian merambah kedalam perluasan ilmu yang sama meskipun kalian mempunyai landasan yang berbeda. Pengaruh getar itu akan semakin terasa apabila masing-masing melakukan dengan sengaja.“ Glagah Putih dan Raden Rangga mengangguk-angguk. Mereka tidak dapat mengerti seluruhnya apa yang dikatakan oleh Kiai Gringsing, tetapi mereka mampu mengerti apa yang dimaksudkan. Sehingga dengan demikian serba sedikit merekapun mengerti apa yang sebenarnya telah terjadi. “Kalau aku boleh berterusterang.” berkata Kiai Gring¬sing, “hal ini akan sangat menguntungkan Glagah Putih. Sekali lagi aku katakan, bahwa dugaanku tidak harus benar.” Kiai Gringsing itupun berhenti sejenak. Sementa¬ra itu Raden Rangga bertanya, “Kenapa menguntungkan Glagah Putih Kiai.“ “Apa yang bergetar pada pribadi Raden bergetar pula pada pribadi Glagah Putih. Yang tidak disengaja itupun telah terjadi. Yang disengajapun akan dapat terjadi pula. Semakin keras sumbernya bergetar maka yang lainpun akan bergetar semakin keras pula meskipun tidak akan dapat menyamai sumbernya.“ “Apa yang didapat oleh pribadi yang lain jika pribadi itu telah ikut pula bergetar?“ bertanya Glagah Putih. “Satu pengalaman.“ jawab Kiai Gringsing, “pengalaman adalah suatu yang mahal harganya.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Demikian pula de¬ngan Raden Rangga. Mereka mengerti, bahwa dengan de¬mikian mereka akan dapat membagi pengalaman jiwani mereka dalam keadaan tertentu. Namun seperti yang dikatakan oleh Kiai Gringsing, tentu tidak seluruhnya yang disebut itu tepat sebagaimana terjadi atas kedua pribadi anak-anak muda itu. Bahkan, dengan nada rendah Glagah Putih bertanya, “Kiai, apakah dengan demikian berarti bahwa pribadi yang satu adalah sekedar bayangan dari pribadi yang lain?“ “Tidak.“ jawab Kiai Gringsing, “masing-masing pribadi berdiri sendiri-sendiri. Namun ternyata bahwa pribadi yang berdiri sendiri-sendiri itu memiliki kemungkinan untuk saling mempengaruhi bila satu diantaranya bergetar. Yang manapun. Apalagi apabila dengan sengaja mempersiapkan diri untuk menerima pengaruh itu, maka getarnyapun akan menjadi lebih jelas dan lebih keras.“ Kedua anak muda itu mengangguk-angguk. Dengan nada dalam Raden Rangga berkata, “Aku dapat menangkapnya Kiai, meskipun ada berapa hal yang masih agak kabur.” “Baiklah Raden. Nanti pada saatnya, Raden dan Glagah Putih akan memahaminya.“ berkata Kiai Gringsing selanjutnya, “bahkan jika ada yang sisip dari kebenaran, kalian berdua akan dapat mencari bagaimana seharusnya.” Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Kiai, petunjuk Kiai akan menjadi bekal kami. Kami akan mencari makna dari peristiwa itu berlandaskan kepada keterangan Kiai. Jika ada yang sisip, kami akan berusaha untuk mencari sebagaimana Kiai katakan. Kami mohon doa restu Kiai agar kami pada saatnya dapat menemukannya.“ “Berdoalah anak-anak muda. Seharusnya kalian mohon petunjuk kepada Yang Maha Agung. Dari Sumber itulah kalian akan dapat melihat dengan hati yang terang dan bening.“ berkata Kiai Gringsing. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Kiai Gringsingpun berkata, “Dengan petunjuknya pula kalian akan memberikan arti dari kurnia yang telah kalian terima itu serta yang masih akan dilimpahkan kepada kalian.“ “Ya Kiai.“ berkata Raden Rangga dengan suara yang dalam, “kami memang harus selalu memandang kepada-Nya. Dan kamipun sadar, bahwa kami tidak akan mampu mengerti semua kehendak-Nya.“ “Nah, anak-anak muda. Yang bakal datang adalah tugas yang akan kalian masuki. Berhati-hatilah kalian da¬lam tugas yang berat itu.“ berkata Kiai Gringsing kemu¬dian. Namun demikian Kiai Gringsing telah minta kedua anak muda itu untuk bermalam lagi di padepokannya. Baru di hari berikutnya, pagi-pagi benar keduanya telah siap meninggalkan padepokan Kiai Gringsing, melanjutkan per¬jalanan mereka yang masih panjang. Diregol padepokan itu Raden Ranggapun telah berdesis, “Kiai. Aku telah memperhatikan semuanya yang ada dipadepokan ini. Semuanya memberikan arti. Baik kegunaannya, hasilnya yang dapat dipetik atau memberikan keasrian. Aku sekali lagi mohon maaf, bahwa aku telah merusakkan taman karena gejolak perasaanku yang tidak terkendali.“ “Dalam waktu singkat, semuanya akan pulih kembali.“ berkata Kiai Gringsing. “Namun aku tidak tahu, apakah aku masih sempat un¬tuk menyaksikan lagi.“ berkata Raden Rangga. “Ah, jangan berkata begitu Raden.“ potong Glagah Putih, “jika kita kembali nanti dari tugas kita, kita akan singgah dipadepokan ini.“ Raden Rangga memandang Glah Putih sambil tersenyum. Meskipun ia tidak mengatakan sesuatu, tetapi Gla¬gah Putih merasa bahwa Raden Rangga mengerti kecemasan yang sebenarnya juga ada didalam hati Glagah Putih, karena semua isyarat yang pernah diterima Raden Rangga pernah dikatakannya kepada Glagah Putih. Namun Glagah Putih masih berkata pula, “Kita akan melakukan perjalanan sambil berdoa.“ “Kita memang dapat berusaha Glagah Putih.“ berkata Raden Rangga, “tetapi segalanya tergantung kepada Yang Maha Agung itu pula.“ Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Tetapi terdengar ia bergumam, “Memang kehendak-Nyalah yang berlaku.” Kiai Gringsing mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Ternyata kalian benar-benar telah bersiap lahir dan batin. Berangkatlah. Apa yang terjadi memang akan terjadi. Hadapi semuanya dengan wajah tengadah, karena kalian memang sedang mengemban tugas.“ Raden Rangga memandang Kiai Gringsing dengan tatapan mata yang tajam, seolah-olah ingin melihat isi jantungnya. Sementara itu Kiai Gringsing berkata kepadanya, “Selamat jalan anak-anak muda.“ Kedua anak muda itu mengangguk hormat. Merekapun kemudian meninggalkan padepokan itu dengan darah yang terasa menjadi semakin hangat. Beberapa saat kemudian, ketika mereka melintasi sawah yang digarap oleh para cantrik padepokan, mereka sempat minta diri pula kepada beberapa orang cantrik yang sedang bekarja di sawah. Ternyata bahwa para cantrik itu telah bekerja keras un¬tuk memenuhi kebutuhan mereka. Namun kerja itu nampak pada hasil yang mereka peroleh. Sawah mereka nampak subur dan tanamannyapun tumbuh dengan segarnya. Bah¬kan di pategalan pohon buah-buahan memberikan buahnya yang lebat. Sementara tanaman palawijapun member hasil yang bahkan terlalu banyak. Demikianlah, maka akhirnya anak-anak muda itupun telah keluar dari Jati Anom. Tanpa singgah dirumah Untara dan di Banyu Asri lagi, anak-anak itu telah menuju ke Timur mengemban tugas dari Panembahan Senapati. Tugas yang akan membutuhkan waktu yang cukup lama. Tetapi Raden Rangga memang tidak tergesa-gesa. Sam¬bil berjalandibulak panjang, Raden Rangga itu berkata, “Kita mempunyai banyak kesempatan selama perjalanan.“ “Kesempatan apa Raden?“ bertanya Glagah Putih. “Bertukar pengalaman.“ sahut Raden Rangga, “benar atau tidak benar yang dikatakan oleh Kiai Gringsing, maka aku memang merasa bahwa apa yang aku miliki akan dapat menjadi satu pengalaman bagimu. Aku pada saatnya tidak akan memerlukannya lagi.“ “Raden.“ potong Glagah Putih, “Raden masih akan memerlukannya.“ Raden Rangga mengerutkan keningnya. Katanya, “Ya. Aku masih akan memerlukannya. Tetapi jika yang aku miliki itu aku tuangkan kepadamu, maka hasilnya tidak seperti cairan didalam mangkuk yang akan menjadi kering. Berapapun banyaknya aku tuangkan, namun mangkuk itu sendiri tidak akan dapat menjadi kering.“ Glagah Putih mengangguk, sementara Raden Rangga berkata, “Mungkin itulah maksud Kiai Gringsing, bahwa pengalaman kita dapat berbagi. Sumber bunyi itu tidak akan berkurang nyaringnya, jika ada lempeng perunggu yang lain yang ikut tergetar karenanya.“ “Aku mengerti maksudnya.“ berkata Glagah Putih. Raden Rangga mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak langsung menanggapinya. Demikianlah mereka berjalan menyusuri jalan-jalan persawahan. Sekali-sekali Raden Rangga mempermainkan tongkatnya. Namun kemudian menyelipkannya dipunggungnya, apabila ia ingin berjalan sambil melenggang. Beberapa padukuhan telah mereka lewati, Sementara itu tidak ada hambatanapapun yang mereka jumpai. Namun demikian Raden Rangga itupun berkata, “Glagah Putih. Seperti dikatakan Kiai Gringsing kita akan melalui jalur jalan yang mungkin sangat berbahaya. Banyak padepokan yang tidak mengakui kuasa Mataram dan bahkan jalur ini agaknya merupakan jalur jalan kembali dari orang-orang yang telah gagal untuk menyingkirkan Panembahan Senapati dan mengacaukan Mataram dari pusat pemerintahannya.“ Glagah Putih mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia berkata, “Dengan demikian kita memang harus sangat berhati-hati. Kita akan berusaha sejauh mungkin menghindari persoalan-persoalan dengan mereka, agar perjalanan kita tidak justru terlalu lama terhambat. Apalagi jika kita justru mengalami kegagalan sebelum kita melakukan tugas pokok kita.“ Raden Rangga mengangguk-angguk, sementara Gla¬gah Putih berkata, “Seperti orang-orang yang menginginkan kudaku pemberian Raden itu. Ternyata mereka telah terjerat kedalam persoalan yang justru bukan tugas mereka dan bahkan merugikan tugas itu sendiri.“ Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya jalan yang terbentang dihadapannya. Jalan yang panjang sekali. Namun tiba-tiba saja ia berkata, “Glagah Putih. Kita memang tidak akan mencari persoalan. Tetapi jika persoalan itu datang dan mendesak kita pada suatu keadaan yang tidak mungkin dihindari, maka kita tidak mem¬punyai pilihan lain. Selain itu, tiba-tiba saja timbul satu keinginan padaku untuk menempuh laku disaat-saat terakhir ini dengan Tapa Ngrame.“ “Apa maksud Raden?“ bertanya Glagah Putih. “Kesempatanku tinggal sedikit Glagah Putih. Untuk memberikan warna terakhir dari kehadiranku yang tidak panjang ini, maka aku akan menempuh laku seperti yang aku katakan. Tapa Ngrame adalah salah satu jenis dari beberapa macam laku bertapayang paling baik bagiku. Jika kita bertapa ditempat terasing, maka yang terjadi itu ada¬lah persoalan kita yang sangat pribadi. Kita sendiri, tanpa melibatkan orang lain. Tetapi Tapa Ngrame, lain. Tapa Ngrame adalah satu laku untuk menyatakan cinta kita kepada sesama. Dalam laku itu, maka seseorang harus bersedia memberikan pertolongan apapun juga kepada orang lain yang memerlukannya. Dengan demikian laku yang kita tempuh tidak mengasingkan kita dari kehidupan. Tetapi justru memberikan bentuk pada hubungan kita dengan se¬sama. Karena sebenarnyalah ilmu yang kita miliki harus kita amalkan. Jika kita memilikinya tetapi hanya kita simpan saja didalam diri kita, maka ilmu itu tidak banyak berarti bagi sesama.“ Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun ke¬mudian katanya, “Aku tidak menolak Raden. Tetapi kita harus tetap dalam garis besar dari perjalanan kita. Yaitu mengemban tugas Panembahan Senapati.“ Raden Rangga seakan-akan tidak mendengar jawaban Glagah Putih. Bahkan ia berkata selanjutnya, “Jika kita tidak berbuat sesuatu, maka semisal sebatang pohon, maka kita adalah sebatang pohon yang tumbuh subur. Tetapi yang ada hanyalah daunnya saja yang rimbun. Tetapi pohon yang rimbun itu tidak berbuah sama sekali.“ Glagah Putih tidak menjawab. Ia dapat mengerti maksud Raden Rangga yang merasa dirinya sudah mendekati batas akhir dari hidupnya. Isyarat yang setiap kali datang itu seakan-akan meyakinkan anak yang masih sangat muda itu, bahwa umurnya memang tidak akan pan¬jang lagi. Dengan demikian maka untuk beberapa saat lamanya keduanya saling berdiam diri. Mereka berjalan menyusuri jalan-jalan yang menghubungkan antara padukuhan dengan padukuhan. Namun kadang-kadang merekapun telah melintas dipinggir hutan yang tidak terlalu lebat. Namun jalan itu bukannya jalan yang sepi. Beberapa orang melintas di jalan itu pula, karena hutan itu tidak lagi banyak dihuni oleh binatang buas. Hanya dibagian yang paling dalam dari hutan itu, masih merupakan hutan lebat yang pepat oleh tumbuh-tumbuhan liar dan binatang-binatang buas yang garang. Meskipun lambat, keduanya, melangkah terus kearah Timur. Disepanjang jalan mereka melihat kesibukan para petani disawah. Mereka melihat orang-orang yang bekerja keras dibawah sinar matahari yang semakin panas. Keringat mulai membasahi seluruh tubuh mereka, sehingga mereka yang sibuk mencangkul disawah, punggungnya menjadi berkilau seperti cermin. Raden Rangga yang tiba-tiba saja mengangguk-angguk berkata, “Mereka telah memeras keringat. Namun meski¬pun aku berniat untuk membantu orang-orang yang memerlukan bantuanku, namun aku tidak akan mampu membantu mereka, karena yang mereka lakukan adalah kerja sehari-hari yang seakan-akan tanpa batas, dan dilakukan hampir setiap orang di padukuhan itu.“ Glagah Putih mengangguk-angguk. Jika Raden Rang¬ga berniat membantunya, maka ia tidak akan pernah sem¬pat meninggalkan padukuhan itu dan melakukan tugas yang dibebankan kepada mereka berdua, karena pekerjaan itu akan berlanjut dan tidak akan terputus. Yang satu disambung dengan yang lain. Dari kotak sawah yang satu kekotak sawah yang lain pula. Demikianlah mereka keduanya berjalan terus. Namun kemudian Raden Rangga itu berkata, “Glagah Putih. Meskipun kita sudah bersepakat untuk tidak mengabaikan tugas kita, maka aku berniat untuk mengisi waktu diperjalanan kita dengan memanfaatkan kemungkinan seperti yang dikatakan oleh Kiai Gringsing.” “Maksud Raden?“ bertanya Glagah Putih. “Kita mempunyai banyak kesempatan Glagah Putih. Selama perjalanan, kita jangan tenggelam dalam tugas ini tanpa berbuat sesuatu bagi diri kita sendiri.“ berkata Raden Rangga, “kita dapat membagi pengalaman. Seperti yang aku katakan, aku akan menuangkan ilmu yang ada padaku. Cobalah menangkap pengalaman itu, dan kaupun akan memilikinya dan mudah-mudahan bermanfaat bagimu.“ Glagah Putih mengangguk kecil. Katanya, “Asal semuanya itu tidak akan mengganggu perjalanan kita, maka aku tidak berkeberatan Raden, meskipun yang Raden katakan itu akan banyak memberikan keuntungan kepadaku.“ “Tentu tidak. Hanya pada waktu beristirahat atau dimalam hari. Sementara itu, seperti juga aku katakan, yang aku tuangkan itu tidak akan dapat mengering karena sumbernya memang ada didalam diriku.“ Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia mengerti sepe¬nuhnya maksud Raden Rangga. Bukan hanya untuk menuangkan ilmunya kepadanya, tetapi sebenarnyalah bahwa dibalik niatnya itu tersembunyi sikap pasrahnya, bahwa ia memang akan segera pergi. Namun ia tidak ingin membawa semua miliknya itu sehingga ia ingin mewariskan kepadanya. Tetapi Glagah Putih tidak akan mengecewakannya. Ia akan menerima apapun yang akan diberikannya, meskipun Glagah Putih berharap bahwa isyarat yang selama ini diterima oleh Raden Rangga itu mempunyai makna lain daripada kepergiannya itu. Sebenarnyalah apa yang dikatakan oleh Raden Rangga itu. Jika malam turun dan keduanya telah menemukan tempat untuk beristirahat yang pada umumnya ditempat yang terpencil, maka Raden Rangga telah mengajak Glagah Putih untuk berlatih. Mereka telah bertempur seakan-akan bersungguh-sungguh Bahkan sekali-sekali Glagah Putih benar-benar kesakitan oleh sentuhan tangan Raden Rangga yang serasa membakar kulitnya. Namun Glagah Putihpun telah memiliki daya tahan yang sangat besar, sehingga kemampuannya itu telah mengatasi perasaan sakit ditubuhnya. Dengan latihan-latihan itu Glagah Putih telah meningkatkan kemampuan tata geraknya. Meningkatkan kecepatannya bergerak serta pengetrapan tenaga cadangannya yang tinggi. Dengan demikian maka Glagah Putih telah sampai kepada tingkat kekuatan yang jarang ada bandingnya. Tenaga cadangannya menjadi bagaikan berlipat, serta dukungan kekuatan. Wadagnyapun benar-benar mengagumkan. Namun jika dimalam hari Glagah Putih telah mela¬kukan latihan yang sangat berat, maka kadang-kadang dipagi harinya, ia agak terlambat siap, sehingga perjalanan merekapun mulai mereka lakukan ketika matahari sudah naik. Tetapi Raden Rangga tidak berkeberatan. Bahkan kadang-kadang ia tertawa melihat Glagah Putih berjalan dengan kaki yang agak terasa sangat berat sebelah karena latihan yang sangat berat dimalam harinya. Namun latihan-latihan itu bukannya sia-sia. Kemam¬puan Glagah Putih memang meningkat semakin tinggi. Kemampuannya menguasai dan mempergunakan tenaga cadangannya benar-benar telah mapan, sehingga Glagah Putihpun telah memiliki kekuatan yang sangat besar meski¬pun belum sebesar Raden Rangga. Tetapi apa yang dapat dilakukan oleh Glagah Putih sulit untuk dapat dilakukan orang lain. Bukan saja yang seumur sebayanya. Hanya orang-orang tertentu sajalah yang akan dapat mengimbanginya mempergunakan tenaga cadangan sebagaimana dapat dilakukan. Ketika tenaga cadangan Glagah Putih telah menjadi semakin mapan, Raden Rangga telah mempergunakan cara yang untuk menyalurkan kemampuannya. Dengart jujur Raden Rangga melakukannya, karena anak muda itu mempunyai kepercayaan yang utuh kepada Glagah Putih yang selama mereka berhubungan, telah banyak dikenalnya sifat dan sikap lahir batinnya. Dimalam hari, ditempat yang tersembunyi, Raden Rangga dan Glagah Putih telah duduk berhadapan. Kedua¬nya melekatkan telapak tangan masing-masing yang satu dengan yang lain. Dengan kemampuan yang ada didalam diri mereka, maka mereka telah berusaha untuk menya¬lurkan pengalaman Raden Rangga dalam penjelajahan ilmu kepada Glagah Putih. Getaran dalam diri Raden Rangga memang seolah-olah menjalar kedalam diri Glagah Putih, yang menurut pengertian Kiai Gringsing, getaran dalam diri Raden Rangga telah menyebabkan getaran pula dida¬lam diri Glagah Putih dengan nada yang sama. Jika Glagah Putih mampu menyadap getaran itu sebagai satu pengalaman didalam dirinya, maka ia akan mampu memanfaatkannya. Demikianlah, maka usaha yang hanya dapat
  24. Ya ampuuun…Kitab 309 lagi. Terima kasiiiiih Nyi Seno.

  25. Dsini retypenya juga putus….

    * nunggu lagi ahhh…. ;))

  26. Monggo Ki

    lanjutan 209

    Demikianlah, maka usaha yang hanya dapat dilakukan dengan sangat lamban itu sedikit demi sedikit berarti juga kepada Glagah Putih. Beberapa kali hal itu diulangi, sehingga keduanya menjadi sangat letih.

    Sementara itu, Glagah Putih pun telah mampu memilahkan kemampuannya yang mendasar di dalam dirinya serta kemampuan yang disadapnya dari Raden Rangga dengan cara berbeda sebagaimana dilakukannya di bawah bimbingan kedua orang gurunya.

    Namun dalam pada itu, Raden Rangga pun berkata “Glagah Putih. Yang kau dapatkan dari padaku memang berbeda dengan yang kau dapatkan dari kedua gurumu. Yang mampu menyusup dan menggetarkan pengalamanmu tidak lebih dari bahan mentah yang masih harus kau olah dan kau matangkan di dalam dirimu. Sementara yang kau terima dari kedua gurumu adalah ilmu yang sudah masak yang meskipun masih perlu kau kembangkan di dalam dirimu, namun kau sudah siap mempergunakannya pada tahap-tahap tertentu.”

    Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun ia sadar, bahwa ia harus berhati-hati mengetrapkan ilmu yang diterimanya dari Raden Rangga, sebagaimana pernah diperingatkan oleh kedua gurunya. Ia tidak boleh dengan serta merta mempergunakannya. Sehingga karena itu, maka Glagah Putih memerlukan waktu-waktu tertentu untuk mencoba dan menguji apakah ilmu yang diterimanya itu dapat luluh dengan ilmu yang sudah ada didalam dirinya.

    Ternyata Glagah Putih memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi. Ia mampu mengetrapkan cara yang pernah dipergunakan oleh kedua gurunya untuk menilai ilmu yang pernah diterimanya dari Raden Rangga pada waktu itu dalam hubungan dengan ilmu yang telah ada didalam dirinya. Juga cara kedua gurunya itu saling menyesuaikan ilmu yang mereka berikan kepada Glagah Putih.

    Dengan demikian maka di sepanjang jalan, ilmu Glagah Putih pun menjadi semakin meningkat, meskipun tidak melonjak. Namun betapapun tipisnya lembaran-lembaran yang disusun, akhirnya nampak juga tingkat-tingkat yang dicapai oleh Glagah Putih selama dalam perjalanan yang ditempuhnya.

    Ketika keduanya berada di tebing sebuah sungai yang curam, maka dengan sengaja keduanya menelusurinya sampai ketempat yang tersembunyi. Ketika malam turun, maka Glagah Putih telah mencoba mempergunakan ilmunya yang dapat dipancarkannya dengan menghentakkan kedua belah tangannya sambil membuka telapak tangannya kearah sasaran.

    Ternyata hasilnya mengagumkan. Meskipun tidak terlalu jauh melonjak, namun kekuatan yang terpancar dari dirinya itu benar-benar telah menunjukkan bahwa Glagah Putih adalah seorang anak luar biasa.

    Raden Rangga yang menyaksikan hasil dari jerih payah mereka berdua itu pun tersenyum. Kemajuan yang dicapai oleh Glagah Putih memberinya kepuasan. Dengan demikian maka kawannya memasuki daerah yang gawat adalah seorang yang berilmu tinggi.

    Namun kepuasan yang lain dari Raden Rangga adalah bahwa ilmunya tidak akan terbawa tanpa bekas jika saat itu benar-benar akan tiba. Seseorang akan tetap mengenangnya, karena di dalam diri orang itu tersimpan ilmu yang disadap daripadanya. Orang itu adalah Glagah Putih.

    Demikianlah, dalam perjalanan berikutnya, kemampuan dan ilmu Glagah Putih pun menjadi semakin bertambah tambah. Sementara itu Raden Rangga benar-benar telah melakukan apa yang dikatakannya. Ia telah berusaha menolong orang-orang yang memerlukan pertolongan. Bukan saja karena persoalan-persoalan yang besar, tetapi juga dalam persoalan-persoalan yang kecil.

    Raden Rangga telah berlari-lari mengejar seekor lembu yang terlepas ketika seorang petani yang sudah agak tua menuntunnya untuk dipekerjakan disawah. Orang tua itu dengan nafas terengah-engah berusaha untuk menangkap lembunya. Tetapi lembu itu justru semakin lama menjadi semakin jauh.

    Dengan kemampuannya yang melampaui orang kebanyakan Raden Rangga berhasil menangkap lembu itu dan menyerahkannya kepada petani tua itu.

    “Terima kasih anak muda” berkata petani tua itu.

    Raden Rangga tertawa sambil menyahut “Hati-hatilah kakek. Lembu jantan ini mampu berlari lebih cepat dari kemampuan berlari kakek, sehingga tanpa bantuan orang lain kakek akan mengalami kesulitan.”

    “Ya, ya ngger. Terima kasih” jawab kakek itu yang kemudian mempersilahkan Raden Rangga singgah.

    “Terima kasih kakek. Kami akan meneruskan perjalanan kami yang masih panjang.” jawab Raden Rangga.

    Orang tua itu memandang kedua anak muda itu dengan kagum. Namun keduanya tidak bersedia untuk singgah.

    Demikianlah, maka yang dilakukan oleh Raden Rangga bahkan kadang-kadang terasa aneh. Dengan tangkas ia membawa kelenting naik tebing yang agak curam ketika ia melihat seorang perempuan tua memanjat tebing itu sambil membawa kelenting di lambungnya.

    Namun Raden Rangga ternyata sempat juga menolong seorang anak muda yang justru sebaya dengan dirinya dari kegarangan seekor harimau yang disangkanya sesat dan keluar dari hutan.

    Ketika Raden Rangga berjalan bersama Glagah Putih menjelang senja, tiba-tiba saja ia mendengar seseorang berteriak minta tolong. Tanpa menunggu lagi maka keduanya telah meloncat kearah suara itu. Ternyata seorang anak muda berdiri dengan tubuh gemetar, sementara seekor harimau berjalan selangkah demi selangkah mendekatinya.

    Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Katanya kepada Glagah Putih, “Kau tenangkan anak itu. Aku akan menyelesaikan harimau itu.

    Glagah Putih pun kemudian melangkah mendekati anak muda yang ketakutan itu, sementara Raden Rangga selangkah demi selangkah mendekati harimau yang agaknya merasa heran melihat kedatangan dua orang lagi mendekatinya.

    “Jangan takut” berkata Glagah Putih “harimau itu akan segera diselesaikan.”

    Anak muda itu masih gemetar. Tetapi bagaimana mungkin anak muda sebayanya itu akan dapat menyelesaikan seekor harimau yang garang. Meskipun demikian kehadiran kedua orang itu membuat anak muda itu menjadi sedikit tenang. Apalagi melihat sikap Glagah Putih dan Raden Rangga yang nampaknya menganggap harimau itu tidak lebih dari seekor kambing.

    “Kenapa kau berada disini?” bertanya Glagah Putih kepada anak muda itu.

    Ketakutan yang sangat yang mencengkam jantungnya, membuat anak muda itu tidak segera dapat menjawab pertanyaan Glagah Putih.

    Namun Glagah Putih tidak, memaksanya berbicara. Dengan lembut ia berkata “Marilah, duduklah disini.”

    Anak muda itu tidak mengerti, apa yang harus dilakukannya. Sementara seekor harimau dengan garang mengancam seseorang, apakah mereka akan dapat duduk dengan tenang. Bahkan kadang kadang terbersit niatnya untuk melarikan diri. Namun masih juga timbul keragu-raguannya. Jika orang lain yang sebaya dengan dirinya datang untuk menolongnya, apakah ia akan melarikan diri begitu saja?

    Kecemasan nampak membayang diwajahnya ketika ia melihat harimau itu mulai mengalihkan perhatiannya kepada Raden Rangga. Bahkan kemudian harimau itu telah mengikutinya ketika Raden Rangga bergeser ke padang perdu.

    “Jangan cemaskan anak itu” berkata Glagah Putih “ia akan menyelesaikan harimau itu atau mengusirnya masuk ke dalam hutan.”

    Anak muda itu masih belum berkata sepatah kata pun.

    Mulutnya masih saja bagaikan tersumbat oleh ketakutan yang mencengkam jantungnya.

    Namun melihat sikap Glagah Putih yang seakan-akan tidak menghiraukan sekali kawannya yang berhadapan dengan harimau yang mulai menggeram itu, maka anak muda itu pun menjadi semakin tenang pula.

    “Ia akan berbuat sebaik-baiknya untuk melindungi dirinya sendiri” berkata Glagah Putih. Namun kemudian ia bertanya pula, “kenapa kau berada disini!”

    Anak muda itu menarik nafas dalam-dalam, seakan-akan ingin menghirup udara sebanyak-banyaknya untuk mengendapkan kegelisahannya. Namun ia masih belum menjawab.

    Sementara itu, Raden Rangga masih berhadapan dengan harimau yang mulai menggeram. Namun ia sama sekali tidak nampak gelisah apalagi gentar.

    Anak muda yang ketakutan itu ketika melihat harimau itu mulai merunduk tiba-tiba saja berdesah.

    Wajahnya nampak semakin tegang. Matanya bagaikan tak berkedip dan kemudian dengan gagap ia berkata “Harimau itu.”

    Tetapi Glagah Putih masih tetap tenang. Ditepuknya bahu anak muda itu sambil berkata “Jangan gelisah. Tenang sajalah. Harimau itu akan menjadi jinak seperti seekor kucing.”

    “Bagaimana mungkin” desis anak muda itu.

    Sementara itu ia melihat harimau itu sama sekali tidak menjadi jinak. Dalam keremangan senja ia melihat harimau itu merunduk sambil mengaum.

    Tetapi Glagah Putih justru berkata “Kita menonton satu permainan yang menarik.”

    Anak muda itu tidak tahu apa yang sebenarnya dilihat dan didengar dari mulut Glagah Putih. Satu penglihatan yang mengerikan namun didengarnya nada yang tenang dan sama sekali tidak mengandung kegelisahan, sehingga dengan demikian, apa yang ditangkap oleh matanya berlawanan dengan apa yang didengarnya oleh telinganya.

    Namun dalam pada itu, Raden Rangga telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Dengan serta merta ia telah menarik tongkat yang terselip di punggungnya.

    Demikian harimau itu meloncat menerkamnya, maka Raden Rangga telah melenting menghindar. Kemudian diayunkannya tongkatnya dan dipukulnya harimau itu pada punggungnya.

    Terdengar harimau itu mengaum keras sekali. Kemudian meloncat dan jatuh berguling-guling. Seolah-olah harimau itu menjadi kesakitan yang parah, Sejenak kemudian harimau itu berhasil bangkit. Namun nampaknya menjadi ragu-ragu. Perlahan-lahan harimau itu berjalan mengintari Raden Rangga. Tetapi harimau itu tidak lagi nampak terlalu garang.

    “Nah, kau lihat” berkata Glagah Putih “harimau itu mulai menjadi jinak.

    Sementara itu Raden Rangga lah yang melangkah mendekat. Tongkatnya terjulur lurus ke depan. Sementara itu harimau itu pun kemudian berhenti sambil menggeram. Tiba-tiba saja harimau itu meloncat pendek menerkam Raden Rangga yang semakin dekat.

    Sekali lagi Raden Rangga meloncat. Dan sekali lagi Raden Rangga mengayunkan tongkatnya mengenai tengkuk harimau itu.

    Anak muda yang berada di sisi Glagah Putih terkejut. Harimau itu melonjak sambil meraung kesakitan. Kemudian jatuh berguling-guling. Baru sesaat kemudian harimau itu pun berhasil bangkit meskipun terhuyung-huyung Namun dengan ketakutan harimau itu berlari masuk ke-dalam hutan.

    “Anak itu terkenal sebagai seorang pembunuh harimau” desis Glagah Putih “tetapi aku yakin, bahwa ia tidak lagi ingin membunuh

    Anak muda yang ketakutan itu masih gemetar. Tetapi ia melihat anak muda yang membawa tongkat itu kemudian melangkah mendekatinya.

    “Nah, kau percaya bahwa harimau itu akan menjadi jinak seperti kucing?” bertanya Glagah Putih.

    Anak muda itu tidak menjawab. Sementara itu Raden Rangga pun melangkah semakin dekat. Sambil tersenyum ia berkata kepada Glagah Putih “Aku berhasil menahan diri untuk tidak membunuhnya.”

    “Aku sudah mengira” berkata Glagah Putih “Raden sudah mampu berbuat demikian.”

    Raden Rangga tertawa. Namun kemudian ia pun bertanya kepada anak muda itu “Kenapa kau berada di sini menjelang senja.”

    Anak itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya “Bukan niatku sendiri.”

    “Lalu siapa yang membawamu kemari?” bertanya Raden Rangga.

    “Aku kemari bersama paman untuk mencari daun turi ungu” jawab anak itu.

    “Untuk apa?” bertanya Glagah Putih.

    “Untuk obat. Ayahku sedang sakit keras” jawab anak muda itu.

    “Siapa ayahmu?” bertanya Raden Rangga.

    “Demang Sempulur. Kelompok padukuhan di sebelah Timur dari hutan ini.” berkata anak muda itu.

    “Lalu dimana pamanmu sekarang?” Raden Rangga menjadi cemas “ternyata hutan ini masih dihuni binatang buas.”

    “Paman pergi bersama dua orang pengawal Kademangan.” jawab anak muda itu.

    “Kenapa kau tinggal sendiri disini?” bertanya Glagah Putih kemudian.

    “Paman minta aku tinggal di sini. Sangat berbahaya untuk memasuki hutan itu” jawab anak muda itu.

    “Tetapi ternyata di sini pun cukup berbahaya. Hampir saja kau diterkam harimau itu” berkata Glagah Putih

    “Ya. Dan aku pun mencemaskan nasib paman dan kedua pengawal itu. Aku sudah terlalu lama menunggu disini. Sejak matahari mulai turun sehingga menjelang senja. Bahkan kini langit menjadi semakin suram” berkata anak muda itu.

    “Apakah kita akan mencarinya?” bertanya Raden Rangga.

    “Kemana?” bertanya anak itu.

    “Ke dalam hutan” jawab Raden Rangga.

    Anak muda itu termangu-mangu. Ia sudah melihat bagaimana anak muda itu berhasil mengusir seekor harimau. Ia pun menduga bahwa yang seorang lagi akan mampu pula berbuat demikian. Tetapi ia kemudian menjawab “Aku takut. Hari sudah menjadi malam.”

    “Tidak apa-apa. Sebentar saja. Jika kita tidak menemukannya maka kita akan segera kembali.” Berkata Raden Rangga.

    Wajah anak muda itu menjadi pucat. Namun sambil mengayunkan tongkatnya Raden Rangga berkata “Tongkatku adalah tongkat penjinak binatang buas dan sekaligus binatang apa saja, termasuk binatang melata.”

    Anak muda itu masih saja ragu-ragu. Harimau baginya adalah seekor binatang yang menakutkan. Nyawanya memang sudah berada di ujung rambut. Namun anak-anak muda yang sebayanya itu nampaknya menganggap harimau dan binatang-binatang buas itu sebagai mainan saja. Mereka sama sekali tidak menjadi takut dan bahkan ketika malam sudah turun, anak-anak muda itu masih akan memasuki hutan tanpa rasa takut.

    Sebelum anak itu menjawab, Glagah Putih berkata, “Aku akan pergi bersamanya. Jika kau ingin berada di sini, silahkan.”

    “Tidak. Jangan tinggalkan aku” minta anak muda itu.

    “Lalu bagaimana?” bertanya Glagah Putih.

    “Aku ikut bersama kalian” berkata anak muda itu.

    Demikianlah, maka mereka bertiga pun kemudian memasuki hutan yang sebenarnya tidak terlalu lebat. Namun meskipun demikian mereka harus menyibak gerumbul-gerumbul liar dan bahkan kadang-kadang berduri.

    “Anak muda yang ketakutan itu tidak mau melepaskan pegangannya pada lengan Glagah Putih. Bahkan semakin lama terasa tangannya itu menjadi semakin gemetar.

    “Aku takut” desisnya.

    Glagah Putih tidak menyahut. Namun kemudian langkahnya justru tertegun ketika Raden Rangga memberinya isyarat untuk berhenti.

    Keduanya kemudian sempat mengamati gerumbul-gerumbul perdu di sekitarnya. Meskipun malam gelap, namun ketajaman penglihatan kedua anak muda itu sempat melihat sesuatu yang kurang wajar. Mereka menemukan ranting gerumbul-gerumbul perdu itu berpatahan. Seakan-akan baru saja ditembus oleh beberapa orang yang berjalan berjajar.

    “Memang agak aneh” berkata Raden Rangga.

    “Beberapa orang telah lewat melalui tempat ini” berkata Glagah Putih.

    Raden Rangga mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba ia bertanya kepada anak muda yang hampir saja diterkam harimau itu “Dengan siapa pamanmu memasuki hutan ini?”

    “Bertiga dengan pengawal Kademangan” berkata anak muda itu.

    Raden Rangga mengangguk-angguk. Namun menilik bekas yang mereka ketemukan, tentu tidak hanya tiga orang saja yang telah lewat tempat itu.

    Karena itu, maka Raden Rangga berkata “Apakah pamanmu mempunyai musuh atau orang-orang yang mendendamnya?”

    “Sepengetahuanku tidak” jawab anak muda itu. Namun bekas yang nampak tentu bukan bekas perkelahian antara ketiga orang itu melawan seekor harimau.

    Karena itu, maka mereka pun telah tertarik untuk memasuki hutan itu lebih dalam. Namun ternyata anak muda itu menjadi semakin ketakutan.

    “Kita kembali saja” ajaknya “di dalam hutan gelap sekali. Aku tidak melihat sesuatu.”

    Raden Rangga dan Glagah Putih akhirnya menjadi kasihan juga terhadap anak muda itu. Dengan penglihatan wajarnya, maka hutan itu tentu terasa sangat gelap. Apalagi untuk melihat bekas beberapa orang yang lewat pada ranting-ranting perdu yang patah. Sedangkan untuk melihat Glagah Putih yang dipeganginya saja rasa-rasanya anak muda itu tidak mampu lagi.

    Demikianlah maka mereka bertiga pun kemudian telah keluar lagi dari hutan yang dianggap terlalu pepat oleh anak muda itu. Demikian mereka menguak gerumbul terakhir dan keluar dari hutan itu, maka rasa-rasanya anak muda itu mampu bernafas lagi. Ketika ia menengadahkan wajahnya, maka nampak bintang berhamburan di langit yang tanpa batas.

    Namun dalam pada itu, maka mereka bertiga terkejut ketika mereka mendengar suara beberapa orang yang datang ke tempat itu. Dengan serta merta Glagah Putih telah menarik anak muda itu surut dan kembali memasuki gerumbul perdu di pinggir hutan itu.

    “Sst” desis Glagah Putih “diamlah. Aku mendengar suara beberapa orang datang.”

    Sebenarnyalah suara orang-orang itu pun menjadi semakin jelas. Beberapa orang muncul dari kegelapan malam mendekati hutan itu.

    Seorang di antara mereka pun kemudian memandang berkeliling sambil berkata “Anak itu tentu sudah diterkam harimau. Kita berhasil menggiring harimau itu sehingga harimau itu menemukan anak itu.

    Tidak seorang pun yang menjawab. Sementara orang itu berkata “Baiklah. Kita akan pulang. Kita akan melaporkan bahwa kita tidak menemukan anak itu lagi. Ingat, yang pergi bersamaku hanya dua di antara kalian semua. Besok kita akan mencari anak itu masuk kedalam hutan. Mudah-mudahan kita menemukan bangkainya dikoyak-koyak harimau liar itu, sehingga tidak menimbulkan kesan yang lain kecuali kecelakaan.”

    Wajah Raden Rangga dan Glagah Putih menjadi tegang. Sementara Glagah Putih berbisik “Siapakah orang-orang itu.”

    “Paman” desis anak itu.

    Tetapi suaranya agak terlalu keras diucapkan, sehingga ternyata yang disebutnya paman itu mendengarnya.

    “Aku mendengar suara seseorang” berkata orang itu.

    Glagah Putih dan Raden Rangga saling berpandangan. Terdengar Raden Rangga berdesis “Tajam juga telinga orang itu.”

    Glagah Putih tidak menjawab. Namun orang yang datang itulah yang berteriak “He, siapa kalian?”

    “Harimau” jawab Raden Rangga.

    Jawaban itu membuat jantung orang itu berdebar semakin cepat. Dengan serta merta ia melangkah mendekat sambil berteriak “Keluar kalian dari persembunyian itu.”

    Raden Rangga dan Glagah Putih tidak menunggu lebih lama. Mereka pun kemudian mengajak anak muda itu untuk keluar dari persembunyian mereka.

    Orang-orang itu menjadi tegang. Lebih-lebih orang yang disebut paman oleh anak muda itu. Anak Demang Sempulur.

    “Kau” desis pamannya.

    Anak muda itu menggeretakkan giginya. Dengan suara bergetar ia berkata “Jadi sengaja paman meninggalkan aku untuk dimakan harimau? Bahkan pamanlah yang telah menggiring harimau itu kemari?”

    Pamannya.termangu-mangu sejenak. Namun kemudian jawabnya, “Baiklah aku berterus terang. Kau tentu sudah mendengar pembicaraanku dengan orang-orangku.”orang itu berhenti sejenak, lalu, “aku memang sudah menyiapkan perangkap bagimu. Aku sudah menyiapkan seekor harimau yang akan menerkammu. Tetapi ternyata kau selamat, sehingga kau masih tetap hidup. Tetapi kami akan menyelesaikan kalian semuanya disini. Tiga orang sekaligus.”

    “Tetapi kenapa kau akan membinasakan kemanakanmu sendiri?” bertanya Raden Rangga.

    “Siapa kau?” bertanya orang itu.

    “Kami berdua adalah kawan-kawan kemanakanmu. Kebetulan kami menemukan kemanakanmu itu sendiri di sini menunggumu yang sedang mencari obat buat ayahnya, Ki Demang Sempulur,” jawab Raden Rangga.

    “Persetan” geram orang itu “kenapa harimau itu tidak menerkam kalian bertiga.”

    “Kau belum menjawab pertanyaanku” berkata Raden Rangga.

    Orang itu menggeram. Namun kemudian katanya “Baiklah. Aku akan berterus terang, agar kalian tidak mati dengan kecewa.” ia berhenti sejenak, lalu “sebagaimana kau ketahui, aku adalah saudara muda ayahmu. Sekarang ayahmu sakit keras. Tidak ada obat yang dapat menyembuhkannya lagi. Jika ayahmu mati, maka kau adalah satu-satunya ahli warisnya. Tetapi jika kau tidak ada, maka akulah waris satu-satunya ayahmu itu, karena aku adalah satu-satunya saudaranya.”

    “Gila” teriak anak muda itu “jadi paman ingin membunuh aku karena warisan itu?”

    “Ya. Jangan mengeluh atas nasibmu yang buruk. Kau akan mati dan kedua orang kawanmu itu pun akan mati, agar mereka tidak dapat membuka rahasia ini kepada siapa-pun juga.” berkata orang itu.

    Anak muda itu termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba ia mulai merengek “Jangan bunuh aku paman. Ambil apa saja yang paman kehendaki.”

    “Aku bukan orang dungu. Jika kau bertiga belum mati, maka setiap saat rahasiaku dapat terbongkar” berkata orang itu.

    Anak muda itu menjadi semakin ketakutan. Ia merasa terlepas dari mulut harimau, namun kini ia akan berhadapan dengan pamannya dan para pengikutnya yang siap untuk membunuhnya.

    Namun dalam pada itu, Raden Rangga telah menyela “Bagaimana kalau Ki Demang itu kemudian sembuh dan kembali memegang pimpinan?”

    “Kakang Demang tidak akan dapat sembuh. Ia akan mati sebagaimana kalian bertiga. Bedanya, kakang Demang akan mati di pembaringan, sedangkan kalian akan mati di sini, di pinggir hutan.”

    “Tetapi kami tidak diterkam harimau” jawab Raden Rangga.

    “Bukan soal yang sulit. Bangkai kalian akan kami lemparkan ke tengah hutan. Dua tiga hari lagi, maka yang akan kami ketemukan adalan bangkai yang telah disayat oleh binatang buas.”

    Tetapi adik Demang Sempulur itu terkejut. Anak muda yang mengaku kawan kemanakannya itu justru tertawa. Katanya, “Jangan main-main Ki Sanak. Nyawa kami tidak selunak nyawa cacing. Bahkan cacing pun menggeliat jika terinjak kaki. Apalagi kami.”

    “Persetan” geram adik Demang Sempulur itu “kaulah yang paling banyak berbicara. Kaulah yang akan mati lebih dahulu. Kemudian kawanmu itu dan yang terakhir adalah kemanakanku yang sangat aku kasihi. Namun ternyata aku tidak mempunyai pilihan lain.”

    “Jangan bunuh aku paman” minta anak itu. Tetapi yang menjawab adalah Glagah Putih “Bukan kau yang akan dibunuh?”

    “Ya. Paman mengatakan demikian” jawab anak muda itu.

    “Tidak ada yang akan dibunuh disini. Tidak ada yang akan mati malam ini” berkata Glagah Putih.

    Tetapi ternyata Raden Ranggalah yang menyahut, “Tergantung kepada keadaan.”

    “Ah, jangan begitu” desis Glagah Putih “bukankah kita tidak mempunyai persoalan dengan mereka. Dan bukankah yang kita lakukan ini sekedar laku ngrame?”

    Raden Rangga termangu-mangu sejenak. Namun adik Demang Sempulur itu membentak “Kalian mengigau seperti orang gila. Sekarang, kalian tidak mempunyai pilihan lain kecuali mati. Namun aku masih mempunyai belas kasihan kepada kalian, bahwa kami akan mempergunakan cara yang paling baik untuk melakukannya. Tusukan langsung ke jantung adalah cara yang paling terhormat yang dapat aku lakukan sekarang.”

    “Setuju” jawab Raden Rangga.

    “Apa maksudmu?” bertanya adik Demang Sempulur itu.

    “Aku akan menikam dadamu di arah jantung. Kau akan mati, dan semua persoalan,: akan selesai. Ki Demang itu pun akan sembuh karena kaulah yang memperberat sakitnya dengan sejenis racun yajng lunak” berkata Raden Rangga kemudian, “dengan demikian maka Ki Demang akan mati perlahan-lahan. Semeritara kau membunuh anaknya yang akan menggantikannya. He, bukankah itu laku biadab yang pantas dihukum mati.”

    “Ya” Glagah Putih menyahut “kalau semua itu sudah terjadi.”

    “Bagiku nilainya tidak berbeda. Tetapi di dalam hatinya telah tumbuh keinginan untuk melakukannya. Jika mereka mampu, maka mereka tentu akan melaksanakan rencana biadab itu.”

    “Setan” geram orang itu “kalian mengigau tentang apa he?”

    Raden Rangga memandang orang itu dengan tajamnya. Meskipun malam gelap, tetapi semuanya nampak jelas di mata anak muda itu.

    Adik Demang Sempulur itu kemudian memberikan isyarat kepada orang-orangnya untuk bersiap. Baginya, anak-anak muda itu memang harus dibinasakan. Jika seorang saja di antara mereka hidup, maka segala rahasianya akan terbuka.

    Anak muda, anak Demang Sempulur itu menjadi semakin ketakutan. Apalagi ketika pamannya membentak “Jangan banyak tingkah anak-anak. Jika kalian membuat kami marah, maka sikap kami akan menjadi semakin kasar.”

    “Paman” minta anak Ki Demang Sempulur “jangan bunuh kami paman. Kami tidak akan membuka rahasia paman apapun yang telah paman lakukan.”

    “Persetan” geram orang itu “semuanya sudah terlambat. Kenapa kau tidak melarikan diri saja sebelum aku datang.”

    “Aku tidak tahu apa yang akan paman lakukan” jawab anak Demang Sempulur itu.

    “Jangan merengek lagi. Berdoa sajalah agar kematianmu berlangsung dengan baik dan mendapat jalan terang.” berkata pamannya.

    Anak muda itu benar-benar ketakutan. Sementara Glagah Putih berkata kepada anak itu “Jangan seperti kerbau membiarkan hidungnya dilubangi, sementara tanduknya panjang dan kuat. Betapa lemahnya kita, tetapi kita mempunyai tenaga untuk menyelamatkan diri kita sendiri.

    “Tetapi aku takut” anak muda itu hampir menangis.

    “Baik. Berusahalah berlindung di belakang kami berdua” berkata Glagah Putih, “mudah-mudahan kau selamat.”

    Anak muda itu tidak menyahut, sementara pamannya berteriak, “Sekarang. Jangan menunggu lebih lama lagi. Tusuk dadanya di arah jantung. Kemudian kita seret mayatnya ke tengah hutan.”

    Raden Rangga dan Glagah Putih pun kemudian harus segera mempersiapkan diri. Beberapa orang yang ingin membunuh mereka itu pun telah berpencar dan mengepung ketiga anak muda itu dari segala penjuru. Bahkan mereka-pun telah menggenggam pedang di tangan masing-masing.

    Dalam keadaan yang tegang itu Raden Rangga masih sempat menghitung orang-orang yang mengepungnya itu.

    “Tujuh orang ditambah dengan seorang. Semuanya ada delapan” katanya.

    Sikap Raden Rangga dan Glagah Putih itu memang sangat mengherankan bagi ke delapan orang yang mengepung mereka. Nampaknya kedua orang anak muda itu sama sekali tidak, takut menghadapi delapan orang bersenjata pedang.

    Namun untuk melindungi anak Demang Sempulur itu Glagah Putih dan Raden Rangga tidak memencar dan menghadapi lawan masing-masing. Tetapi mereka telah berdiri dan menghadap ke arah yang berlawanan, sementara anak Demang Sempulur itu ada di antara mereka.

    “Sesuaikan dirimu jika lehermu tidak mau mereka putuskan” berkata Raden Rangga.

    Anak muda itu menjadi gemetar. Tetapi melihat sikap Glagah Putih dan Raden Rangga tiba-tiba saja ia telah terpengaruh. Kedua anak muda yang sebayanya itu sama sekali tidak gentar melihat ancaman maut. Mereka bahkan berusaha untuk melindungi diri mereka.

    Karena itu, maka betapapun lemahnya, namun pengaruh sikap kedua anak muda yang menolongnya itu membuat anak Demang Sempulur itu berusaha untuk menyelamatkan dirinya.

    Sejenak kemudian maka tujuh orang pengikut adik Demang Sempulur itu telah mulai bergerak. Perlahan-lahan kepungan itu menjadi semakin sempit. Delapan ujung pedang teracu ke arah ketiga orang anak muda yang ada di dalam kepungan.

    Raden Rangga yang berdiri saling membelakangi dengan Glagah Putih sebelah menyebelah anak Demang Sempulur itu pun kemudian berkata “Glagah Putih, berilah kesempatan mereka bermain-main. Biarlah mereka menunjukkan kemampuan mereka agar mereka menjadi sedikit berbangga dengan diri mereka.”

    “Aku setuju Raden” jawab Glagah Putih “kemudian mereka akan kita bawa menghadap Ki Demang itu sendiri. Hanya Ki Demang sajalah yang berhak mengadili mereka.”

    “Bukankah Ki Demang sedang sakit?” bertanya Raden Rangga.

    “Tetapi tentu ada bebahu yang lain yang dapat melakukan tugasnya” jawab Glagah Putih.

    Tiba-tiba Raden Rangga tertawa. Katanya “Kau takut aku membunuh lagi?”

    Glagah Putih tidak menjawab.

    Namun orang-orang yang mengepung semakin rapat itu benar-benar bingung mendengar percakapan itu. Agaknya kedua orang anak muda itu sama: sekali tidak menghiraukan ujung-ujung pedang yang teracu kepada mereka.

    Tetapi dalam pada itu Raden Rangga berkata “Kita bermain-main dengan senjata. Itu akan lebih aman bagi mereka. Tanpa senjata maka kita akan menjadi sangat berbahaya. Jika kita terdesak, maka kita akan dapat melakukan sesuatu yang dapat menyulitkan mereka. Bahkan mungkin di luar sadar, membunuh mereka.”

    “He, apakah kalian orang-orang gila” geram adik Demang Sempulur itu “tetapi siapa pun kalian, maka kalian akan mati.”

    Raden Rangga dan Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi mereka ternyata telah memegang senjata masing-masing. Raden Rangga telah menggenggam tongkatnya sementara Glagah Putih telah mengurai ikat pinggangnya.

    Dengan senjata mereka itulah, maka Raden Rangga dan Glagah Putih telah bertempur melawan delapan orang.

    Namun ternyata bahwa delapan orang itu tidak memiliki bekal cukup untuk bertempur melawan mereka yang memiliki kemampuan dalam dan kanuragan. Karena itu, maka mereka bukan orang-orang yang berbahaya bagi Raden Rangga dan Glagah Putih. Tetapi justru sebaliknya bagi anak Demang Sempulur yang ketakutan itu.

    Karena itulah maka Raden Rangga dan Glagah Putih harus berusaha untuk melindunginya. Apalagi anak muda itu sendiri agaknya tidak mampu berbuat sesuatu bagi dirinya sendiri. Ketika pertempuran menjadi semakin seru, anak itu menjadi gemetar dan bahkan seolah-olah telah kehilangan kemampuan untuk menguasai dirinya sendiri.

    “Berusahalah menyesuaikan dirinya” teriak Glagah Putih.

    Tetapi anak itu justru semakin menjadi bingung.

    Namun dalam pada itu, delapan orang yang berusaha untuk membunuh anak-anak muda itu menjadi heran. Apapun yang mereka lakukan, ternyata anak-anak muda yang mengaku kawan anak Ki Demang Sempulur itu mampu menangkisnya. Bukan hanya sepasang pedang, tetapi delapan ujung pedang.

    “Apakah kalian anak iblis yang menunggu hutan ini?” geram salah seorang di antara lawan-lawannya.

    Raden Rangga tertawa. Tongkatnya berputar-putar di sekitar dirinya, dan sekali-sekali menyambar pedang yang teracu ke arah anak Demang Sempulur yang ketakutan itu. Namun kadang-kadang ikat pinggang Glagah Putihlah yang menangkis pedang yang menebas ke arah leher anak Ki Demang itu.

    Kedelapan orang itu benar-benar tidak tahu, apa yang sebenarnya dihadapinya. Mereka tidak dapat mengerti, bagaimana dua orang anak muda mampu melawan mereka, delapan orang yang dianggap orang-orang terkuat di Kademangannya.

    Tetapi seperti yang dikatakan oleh. Raden Rangga, maka kedua anak muda itu memang ingin bermain-main. Mereka tidak ingin segera mengalahkan lawan-lawan mereka. Namun masalahnya adalah anak Ki Demang yang semakin lama menjadi semakin lemah karena ketakutan yang mencengkam dirinya.

    “Biarkan anak itu menjadi pingsan” berkata Raden Rangga “mudah-mudahan justru tidak mengganggu perlawanan kita.”

    Glagah Putih tidak menyahut. Tetapi ketakutan yang sangat telah membuat anak itu terduduk gemetar, meskipun tidak pingsan.

    Namun dengan demikian, maka anak muda itu tidak bergeser lagi kemana-mana yang justru dapat menyulitkan Raden Rangga dan Glagah Putih.

    “Nah, duduklah dengan tenang” berkata Glagah Putih yang berloncatan menangkis ujung pedang yang menyambarnya dan sekali-sekali berusaha menyambar anak Ki Demang itu.

    Demikianlah pertempuran semakin lama menjadi semakin cepat. Bagi kedelapan orang itu, maka pertempuran-pun terasa menjadi semakin sengit. Mereka berusaha untuk mempercepat tata gerak mereka. Berganti-ganti mereka menyerang dari segala penjuru. Namun serangan mereka tidak pernah mengenai sasaran yang manapun juga di-antara ketiga anak muda itu.

    Tetapi Raden Rangga dan Glagah Putih tidak mengambil langkah-langkah untuk segera mengalahkan mereka. Keduanya seakan-akan sekedar bertahan dan melindungi anak Demang Sempulur itu.

    Kemarahan adik Ki Demang itu pun semakin menjadi-jadi. Dikerahkannya segenap kemampuannya. Namun kedelapan orang itu sama sekali tidak dapat menembus perisai putaran senjata Raden Rangga dan Glagah Putih.

    “Anak setan” geram adik Ki Demang “darimana kalian mendapatkan ilmu sehingga kalian dapat bertahan sekian lama?”

    Raden Ranggalah yang menyahut “Kaulah anak setan yang sudah sampai hati berusaha membunuh kemenakan sendiri, kakak sendiri dan orang-orang lain yang dianggapnya akan membuka rahasiamu. Jika bukan orang berhati setan, maka kau tentu tidak akan membuat rencana yang begitu gila.”

    “Persetan” geram adik Ki Demang “mengigaulah. Sebentar lagi kau akan mati.”

    Raden Rangga tertawa. Katanya “Jangan main-main dengan nyawa. Urungkan niatmu membunuh, agar tidak mendorongku untuk membunuh pula.”

    “Anak iblis” adik- Ki Demang itu pun kemudian menyerang dengan garangnya. Namun serangan-serangannya kandas di tongkat pring gading Raden Rangga.

    Keheranan yang sangat memang mencengkam jantungnya. Ketika adik Ki Demang itu mengayunkan pedangnya sepenuh tenaga, maka pedangnya telah membentur pring gading di tangan anak yang justru masih sangat muda itu. Namun pedangnyalah yang mental seakan-akan telah menghantam sekeping baja pilihan.

    “Tongkat itu tentu tongkat tukang sihir” berkata adik Ki Demang itu di dalam hatinya.

    Namun ia melihat bahwa pedang seorang pengikutnya yang tajam berkilat-kilat ternyata tidak mampu menebas putus ikat pinggang anak muda yang lain yang tentu terbuat dari kulit, karena lentur. Bukan dari kepingan baja.

    Demikianlah pertempuran berjalan terus. Kedelapan orang itu sekali-sekali telah berputar untuk menyesuaikan diri dan berusaha untuk mencoba lawan yang lain. Namun usaha mereka tidak pernah berhasil.

    Dalam pada itu, ketika keringat semakin terperas dari tubuh mereka, maka mulailah tenaga kedelapan orang itu menjadi susut. Meskipun perlahan-lahan, tetapi mulai terasa. Sementara kedua orang anak muda yang mempergunakan senjata aneh itu masih tetap segar dan seolah-olah sama sekali tidak terpengaruh oleh seranganserangan kedelapan orang lawannya.

    Menyadari hal itu, maka adik Ki Demang pun berteriak nyaring “Cepat, binasakan mereka.”

    Tidak seorang pun yang membantah. Semuanya memang berniat demikian. Tetapi ternyata kemampuan mereka sangat terbatas dibandingkan dengan kedua orang anak muda yang mengaku kawan dari anak Ki Demang Sempulur itu.

    Dengan demikian, maka apapun yang mereka lakukan, maka orang-orang itu sama sekali tidak mampu menyentuh tubuh kedua anak muda yang bersenjata tongkat dan ikat pinggang itu. Bahkan mereka pun tidak berhasil melukai dan apalagi membunuh anak Demang Sempulur itu.

    Betapapun mereka berusaha, tetapi kedua anak muda itu mampu melawannya, bahkan seperti laku anak-anak muda yang sedang bermain-main.

    Seorang di antara mereka mengayunkan tongkatnya seperti mengayunkan lidi, namun setiap benturan membuat senjata lawannya hampir terpental. Sementara ikat pinggang yang seorang lagi berputaran seolah-olah menyelubungi dirinya dan anak Ki Demang yang ketakutan.

    Dalam pada itu, kedelapan orang itu semakin lama menjadi semakin letih. Mereka telah mengerahkan segenap tenaga dan kemampuan mereka. Namun lawan mereka seakan-akan bukan orang sewajarnya.

    Dalam pada itu, Raden Rangga pun berkata “Marilah. Kerahkan segenap kemampuanmu. Bukankah kalian akan membunuh kami agar rahasia kalian tidak terbongkar?”

    “Anak setan” geram adik Ki Demang.

    Dihentakkannya senjatanya. Namun ia tidak berdaya untuk melaksanakan rencananya.

    Dalam pada itu, tenaga mereka benar-benar telah terkuras habis. Karena tidak ada harapan lagi untuk memenangkan perkelahian itu, maka adik Ki Demang itu telah mengambil langkah yang dengan cepat dapat dilakukan.

    “Kami harus melarikan diri” berkata adik Ki Demang di dalam hatinya “entahlah langkah apa yang harus diambil kemudian, karena dengan kegagalan ini rahasia kami tentu akan terbongkar.”

    Sejenak adik Ki Demang itu mengamati keadaan. Tidak ada pilihan lain kecuali melarikan diri meskipun ia tidak tahu langkah apakah yang harus diambilnya selanjutnya karena rahasia itu tentu akan segera didengar oleh Ki Demang.

    Dengan memperhatikan keadaan, maka adik Ki Demang itu telah berusaha untuk bergeser. Ia justru membiarkan orangorangnya untuk bertempur terus, agar ia berhasil melarikan diri lebih dahulu. Baru kemudian orang-orang itulah yang tentu juga akan melarikan diri sehingga kedua orang anak muda itu tidak akan dapat mengejar dah menangkap mereka seluruhnya, terutama ia sendiri.

    Namun agaknya Raden Rangga dan bahkan Glagah Putih mengetahui niatnya untuk melarikan diri. Karena itu, maka keduanya justru telah mengawasinya dengan sungguh-sungguh karena orang itulah sumber dari peristiwa yang mendebarkan itu. Bahkan hampir merenggut nyawa anak Ki Demang Sempulur.

    Sebenarnyalah, adik Ki Demang yang putus asa itu pun tiba-tiba saja telah meloncat berlari meninggalkan arena. Tanpa menghiraukan apa pun juga dan tanpa berpaling, ia berlari menuju ke pinggir hutan dan selanjutnya ingin melenyapkan diri ke dalam hutan itu.

    Namun orang itu terkejut bukan kepalang. Tiba-tiba saja segerumbul pohon perdu di pinggir hutan itu bagaikan meledak, tepat dihadapannya sehingga orang itu terkejut bukan buatan. Bahkan terpental surut dan jatuh terlentang.

    Terdengar suara tertawa mengumandang. Bersamaan dengan itu beberapa orang pengikut adik Ki Demang itu pun terlempar jatuh. Mereka benar-benar sudah tidak berdaya lagi. Bahkan untuk melarikan diri sekalipun.

    Yang tersisa tidak mampu lagi untuk berbuat sesuatu, selain terduduk sambil terengah-engah. Tiba-tiba saja segala persendian mereka bagaikan telah terlepas yang satu dengan yang lain.

    “Awasi anak itu” berkata Raden Rangga “aku akan mengurusi orang itu.”

    “Tetapi” Glagah Putih termangu-mangu.

    Raden Rangga tertawa. Katanya “Jangan takut. Aku adalah pemburu harimau, bukan pemburu kelinci. Karena itu, maka aku tidak akan membunuh kelinci.”

    Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Raden Rangga pun telah berjalan mendekati adik Ki Demang yang dengan susah payah berusaha untuk bangun. Seperti mimpi ia melihat gerumbul yang menyala sejenak. Namun kemudian hanya asapnya sajalah yang nampak mengepul dan hilang ditiup angin, sementara gerumbul itu telah hangus menjadi abu.

    “Bagaimana?” bertanya Raden Rangga kepada orang itu.

    Orang itu benar-benar tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Ia tidak berhasil melarikan diri, sehingga dengan demikian maka ia tentu akan dibawa menghadap Ki Demang dengan segala rahasianya.

    Namun adik Ki Demang itu pun diliputi oleh seribu pertanyaan tentang dua orang anak muda yang mengaku kawan kemenakannya itu. Apalagi ketika tiba-tiba saja sebuah gerumbul perdu dipinggir hutan itu bagaikan meledak dan melemparkannya jatuh.

    “Marilah Ki Sanak” Raden Rangga telah berusaha menolong orang itu untuk bangkit “berdirilah.”

    Orang itu berdiri tertatih-tatih. Kemudian dibimbing oleh Raden Rangga, adik Ki Demang itu telah dibawa mendekati anak muda yang gemetar karena ketakutan itu.

    “Itulah kemanakanmu” berkata Raden Rangga.

    Glagah Putihlah yang kemudian menarik anak muda itu untuk bangkit. Katanya “Berdirilah seperti seorang lakilaki. Kau aman sekarang. Itulah pamanmu.”

    Anak muda itu pun berusaha untuk dapat berdiri tegak. Namun jantungnya terasa masih berdegup tidak teratur, sedangkan kakinya masih terasa gemetar.

    Raden Rangga dan Glagah Putih yang kemudian mengatur orang-orang yang tidak dapat mengelak itu. Delapan orang digiring oleh kedua anak muda yang mengaku kawan dari anak Ki Demang itu menuju ke Kademangan Sempulur. Untunglah bahwa mereka berjalan di malam hari, sehingga di padukuhan-padukuhan yang mereka lewati, tidak terlalu banyak orang yang melihatnya. Selain orang yang sedang meronda di gardu-gardu, hanya orang yang kebetulan keluar dari rumah mereka sajalah yang melihat iring-iringan kecil itu.

    Namun demikian, meskipun yang melihat langsung hanya beberapa orang, tetapi berita tentang adik Ki Demang dan tujuh orang pengikutnya telah digiring oleh dua orang pemuda bersama anak Ki Demang Sempulur menuju ke Kademangan itu, dengan cepat telah menjalar dari pintu kepintu rumah. Bahkan kadang-kadang seseorang telah mengetuk pintu rumah tetangganya untuk mengatakan tentang berita yang didengarnya itu. Apalagi mereka yang melihat langsung.

    “Apa yang telah terjadi?” bertanya seseorang.

    “Entahlah” jawab yang lain “ketika salah seorang peronda mencoba bertanya, adik Ki Demang itu sama sekali tidak menjawab. Sedang anak Ki Demang itu pun tidak memberikan keterangan apapun juga.”

    Dengan demikian maka orang-orang di Kademangan Sempulur itu mulai menjadi gelisah. Malam yang semula sepi itu pun menjadi bagaikan terbangun. Anak-anak muda telah berkumpul digardu-gardu untuk berbicara tentang adik Ki Demang.

    Demikianlah maka adik Ki Demang dan tujuh orang pengikutnya itu pun telah dibawa ke Kademangan. Iring-iringan itu memang sangat mengejutkan. Para peronda telah mendapat pesan dari Raden Rangga agar mereka memanggil Ki Jagabaya atau para bebahu lain, kepercayaan Ki Demang.

    “Apa yang telah terjadi?” bertanya para peronda itu.

    “Nanti sajalah” jawab Raden Rangga “setelah Ki Jagabaya datang, maka aku akan menceriterakan persoalannya.”

    Para peronda itu pun menjadi heran, sebagaimana orang-orang lain yang melihat peristiwa itu. Seolah-olah delapan orang yang bertubuh besar dan kekar telah dikuasai oleh anak-anak muda.

    “Mungkin karena seorang diantara mereka adalah anak Ki Demang, sehingga mereka menjadi takut melawan” berkata seorang diantara para peronda itu.

    “Tetapi sikapnya lain sekali” sahut yang lain “Nampaknya yang menguasai mereka justru bukan anak Ki Demang itu. Tetapi kedua anak muda yang lain,”

    Kademangan Sempulur benar-benar dicengkam oleh satu teki-teki yang mendebarkan.

    Sementara itu, Ki Jagabaya yang dibangunkan dirumahnya, dengan tergesa-gesa telah pergi ke Kademangan. Sementara beberapa orang bebahu yang lain pun telah berdatangan pula.

    Beberapa saat kemudian, di Kademangan telah menjadi ramai. Bukan saja para bebahu dan peronda yang sibuk, tetapi beberapa orang penghuni padukuhan induk Kademangan Sempulur yang terbangun telah pergi pula ke Kademangan. Mereka ingin tahu apa yang.telah terjadi, sementara Ki Demang sendiri sedang sakit keras.

    Ketika Ki Jagabaya dan beberapa orang bebahu telah duduk di pendapa, sementara orang-orang di padukuhan induk itu berkumpul di halaman, maka Raden Rangga pun segera menyampaikan persoalan yang baru saja terjadi kepada Ki Jagabaya.

    Ki Jagabaya dan para bebahu Kademangan itu terkejut bukan buatan, Selama ini mereka menganggap bahwa adik Ki Demang itu adalah seorang yang sangat baik. Yang bekerja keras untuk kesembuhan Ki Demang. Hampir siang dan malam adik Ki Demang itu menunggui kakaknya yang sedang sakit.

    Karena itu, maka dengan ragu-ragu Ki Jagabaya bertanya dengan ragu-ragu “Apakah yang dikatakannya benar?”

    Adik Ki Demang itu tidak dapat membantah lagi. Dua anak muda yang mempunyai ilmu diluar jangkauan nalarnya itu masih tetap menunggui mereka, sementara itu saksi utama, anak Ki Demang itu ada pula diantara mereka.

    Sambil menundukkan kepalanya adik Ki Demang itu pun mengangguk kecil.

    Ki Jagabaya menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada datar ia berkata, “Sungguh diluar dugaan. Aku tidak mengerti, bagaimana kita semuanya harus mengatasi persoalan ini. Selama ini kita menganggap bahwa adik Ki Demang itu adalah seorang yang baik hati, yang telah mengorbankan waktu, uang dan segala-galanya bagi kesembuhan kakaknya. Tetapi yang terjadi sebenarnya justru sebaliknya.”

    Orang-orang yang berada di pendapa itu menjadi gelisah. Bahkan orang-orang yang berkerumun di halaman-pun menjadi gelisah pula. Sebagian besar dari mereka menjadi sangat marah terhadap sikap adik Ki Demang itu.

    Bahkan anak-anak muda yang tidak dapat menahan diri telah berteriak “Berikan orang itu kepada kami.”

    “Ya” sahut yang lain “kami akan menghakimi mereka”

    Tetapi Ki Jagabaya kemudian berkata “Kita tidak dapat bertindak sendiri. Bagaimanapun juga kita harus menghubungi Ki Demang. Meskipun Ki Demang sedang sakit, namun keputusannya kita perlukan. Apalagi yang melakukan kesalahan adalah adiknya sendiri yang ditujukan kepada Ki Demang itu pula.”

    Meskipun anak-anak muda itu tidak puas, tetapi mereka memang tidak dapat memaksa Ki Jagabaya menyerahkan adik Ki Demang itu kepada mereka. Apalagi mereka yang berada di halaman masih belum pasti, apa yang sebenarnya terjadi dan siapakah kedua orang anak muda itu, yang bersama anak Ki Demang telah menggiring adik Ki Demang ke Kademangan.

    Karena itu, maka Ki Jagabaya pun telah minta kepada para bebahu yang lain untuk mengawasi adik Ki Demang itu serta orang-orang Kademangan yang marah. Ia sendiri akan berusaha untuk menemui Ki Demang yang sedang sakit.

    Namun ternyata Ki Jagabaya telah minta agar anak Ki Demang itu menyertainya untuk memberikan penjelasanpenjelasan tentang peristiwa yang menimpa dirinya.

    Anak Ki Demang itu memandang Raden Rangga dan Glagah Putih berganti-ganti, seakan-akan minta pertimbangannya, apakah ia akan ikut menemui ayahnya atau tidak.

    Hampir berbareng Raden Rangga dan Glagah Putih mengangguk kecil, sehingga anak muda itu pun kemudian bersama Ki Jagabaya menghadap ayahnya yang sedang sakit.

    Dalam pada itu, Ki Demang terbaring di dalam biliknya ditunggui oleh Nyi Demang dan beberapa orang lain. Meskipun ingatan Ki Demang masih utuh dan masih cukup cerah, namun tubuhnya nampaknya menjadi sangat lemah. Seakan-akan untuk bangkit dan duduk pun rasa-rasanya sudah tidak sanggup lagi. Hanya dalam keadaan yang terpaksa dan penting sekali sajalah Ki Demang bangkit dan duduk di bibir ambennya dijagai oleh Nyi Demang atau orang lain.

    Orang yang terbiasa menunggui Ki Demang selain Nyi Demang adalah adiknya. Adiknya itulah yang berbuat segala-segalanya. Tanpa mengenal lelah, adiknya telah berusaha untuk mencari kesembuhan dari Ki Demang. Siang malam, jika ia mendengar seorang yang memiliki kemampuan pengobatan, maka ia telah pergi menemuinya.

    Namun ternyata sesuatu telah terjadi dengan adik Ki Demang itu, Ki Jagabaya yang datang bersama anak Ki Demang ke bilik itu telah menarik perhatian dari orang-orang yang menungguinya. Namun dengan berat hati Ki Jagabaya minta agar orang-orang lain keluar dari bilik itu. Ia dan anak Ki Demang itu akan memberikan laporan khusus kepada Ki Demang tentang keadaannya.

    “Apakah aku tidak boleh mendengarkannya?” bertanya Nyi Demang.

    Ki Jagabaya termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya “Nanti saja Nyi Demang akan mendapat pemberitahuan yang khusus tentang hal ini.”

    Nyi Demang memang menjadi heran. Namun Ki Demang pun berkata. “Baiklah Nyi. Biarlah Ki Jagabaya meyampaikan persoalannya lebih dahulu.”

    Nyi Demang tidak membantah: Ia pun kemudian meninggalkan Ki Demang yang terbaring di biliknya.

    Sepeninggal orang-orang yang menungguinya, maka Ki Jagabaya pun telah mendekati Ki Demang sambil berkata “Ki Demang. Kami minta maaf, bahwa justru dalam keadaan seperti ini kami akan menyampaikan persoalan yang cukup berat. Tetapi kami berharap bahwa untuk selanjutnya persoalannya menjadi jelas bagi Ki Demang dapat mengambil langkah-langkah untuk mengatasinya.

    Ki Demang yang sakit itu mengerutkan keningnya. Dengan wajah yang berkerut ia mendengarkan keterangan Ki Jagabaya. Namun ketika ia akan bangkit dan duduk, Ki Jagabaya mencegahnya.

    “Silahkan berbaring saja Ki Demang. Kesehatan Ki Demang memang sedang terganggu.” berkata Ki Jagabaya.

    Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Apakah sebenarnya yang ingin kau katakan?”

    “Satu hal yang tidak terduga sama sekali telah terjadi pada putera Ki Demang. Putera Ki Demang ini sudah bukan anak-anak lagi. Ia akan dapat berceritera tentang dirinya dan tentang sesuatu yang bersangkut paut dengan kesehatan Ki Demang.”

    Ki Demang memandangi anak laki-lakinya. Kemudian dengan nada lemah ia berkata “Katakanlah, apa yang telah terjadi.”

    Anak Ki Demang itu memang menjadi ragu-ragu. Tetapi Ki Jagabaya berkata “Sebaiknya Ki Demang segera mengetahui segala-galanya. Memang mungkin mengejutkan. Namun kemudian segalanya tentu akan menjadi lebih baik.”

    “Kau membuat aku berdebar-debar Ki Jagabaya” berkata Ki Demang.

    “Mungkin memang mendebarkan Ki Demang. Tetapi aku minta Ki Demang dapat mempertimbangkan dengan sebaikbaiknya. Dan Ki Demang justru harus merasa beruntung, bahwa hal itu dapat segera diketahui sekarang. Jika terlambat sepekan saja, maka segalanya tentu akan lain jadinya. Dan kita semuanya hanya akan dapat menyesal. Atau tidak tahu sama sekali tentang apa yang sebenarnya terjadi.”

    “Baiklah Ki Jagabaya” berkata Ki Demang “aku menyadari, bahwa untuk mendengarkannya ceritera anakku, maka aku harus mempersiapkan batinku sebaik-baiknya.”

    Ki Jagabaya mengangguk kecil. Lalu katanya “Nah, ceriterakanlah tentang peristiwa yang kau alami. Jangan ada yang terlampui sehingga semuanya akan menjadi jelas.

    Anak Ki Demang itu termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian mulai berceritera tentang dirinya. Dari permulaan sampai dengan saat ia menghadap ayahnya itu. Tidak ada persoalan yang terlampui meskipun segalanya diceriterakannya dengan singkat.

    Ki Demang memang terkejut. Namun sebelumnya ia sudah menyiapkan diri untuk mendengar ceritera yang mengejutkan, sehingga karena itu, maka Ki Demang masih mampu mengatur perasaannya yang bergejolak.

    Sambil menarik nafas dalam-dalam ia bertanya kepada anaknya setelah ia selesai berceritera “Apakah kau sudah mengalami semua itu atau kau baru menduga akan terjadi peristiwa seperti itu?”

    “Aku sudah mengalaminya ayah. Dua orang anak muda yang menolongku itu sekarang ada di sini. Mereka memiliki kemampuan dan ilmu yang tidak dapat disebut dan digambarkan dengan kata-kata.”

    “Apakah aku dapat bertemu dengan mereka?” berkata Ki Demang.

    “Tentu ayah. Mereka berada di pendapa.” jawab anaknya.

    Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Namun kesehatannya memang terasa semakin menurun pada hari-hari terakhir. Ternyata bahwa obat yang selalu diminumnya, bukannya dapat menyembuhkannya, tetapi justru membuat sakitnya bertambah parah.

    Dalam pada itu maka anaknya pun berkata “Apakah kedua anak muda itu diperkenankan masuk kemari ayah. Anak-anak muda itu akan dapat memberikan beberapa keterangan yang barangkali ayah perlukan.”

    Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Ki Jagabaya sejenak. Kemudian ia pun bertanya dengan nada rendah “Apakah anak-anak itu baik jika mereka masuk ke dalam bilik ini?”

    Ki Jagabaya termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya “Aku kira ada juga baiknya anak-anak itu dapat langsung berbicara dengan Ki Demang.”

    “Baiklah” berkata Ki Demang “bawalah mereka kemari.”

    Sebelum Ki Jagabaya bangkit dan melangkah ,keluar, anak Ki Demang sudah lebih dahulu menghambur keluar untuk memanggil Raden Rangga dan Glagah Putih.

    Namun Ki Jagabaya pun kemudian menyusulnya. Ia harus mengawasi adik Ki Demang itu agar tidak berusaha untuk melarikan diri karena banyak persoalan yang harus diselesaikan dengannya.

    Sementara itu, maka anak Ki Demang telah mengajak Raden Rangga dan Glagah Putih untuk menemui ayahnya. Karena kedua anak muda itu ragu-ragu, maka Ki Jagabaya yang kemudian keluar dari bilik Ki Demang telah mengangguk sambil berkata “Masuklah. Ki Demang ingin berbicara dengan kalian.”

    Raden Rangga dan Glagah Putih pun kemudian mengikuti anak Ki Demang itu masuk kedalam biliknya. Kedua anak muda itu melihat bahwa Ki Demang memang nampak sangat lemah. Perlahan-lahan adiknya memang telah berusaha membunuhnya dengan obat-obat yang diberikannya, yang sama sekali bukan untuk menyembuhkannya.

    “Anak-anak muda” berkata Ki Demang dengan suara lemah “aku telah mendengar ceritera tentang anakku. Anakku juga telah berceritera siapakah sebenarnya yang telah membuat diriku menjadi sakit-sakitan seperti ini. Namun agaknya segalanya sudah terlambat. Aku sudah menjadi terlalu lemah dan barangkali aku benar-benar akan mati.”

    Raden Rangga menggeleng. Katanya “Tidak Ki Demang. Meskipun tidak dengan serta merta, namun aku berharap bahwa ada obat yang dapat menyembuhkan Ki Demang.”

    “Keadaanku sudah sangat lemah” berkata Ki Demang.

    “Tetapi menurut pendapatku, belum terlambat. Barangkali Ki Demang dapat mencoba menyembuhkan sakit Ki Demang melalui beberapa jenis obat. Namun yang utama, Ki Demang harus menawarkan racun yang sudah ada di dalam tubuh Ki Demang. Racun itu adalah racun yang lemah. Tetapi cukup berbahaya. Perlahan-lahan racun itu merusakkan jaringan tubuh Ki Demang, sehingga tubuh Ki Demang menjadi sangat parah seperti sekarang ini.” Berkata Raden Rangga.

    “Tetapi rasa-rasanya sulit bagiku untuk mendapatkan penyembuhan. Rasa-rasanya tidak ada lagi obat yang dapat menolongku” berkata Ki Demang.

    Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Menurut pendapatnya, jika racun di dalam tubuh Ki Demang itu sudah tawar, maka penyembuhan berikutnya tidak akan terlalu sulit. Sekedar untuk memulihkan kekuatannya dan memperbaiki jaringan tubuhnya yang rusak.

    Karena itu, maka Raden Rangga pun telah mengambil obat penawar racun yang dibawanya. Katanya “Ki Demang, aku mempunyai obat penawar racun. Mudah-mudahan akan dapat menolong Ki Demang menawarkan racun di dalam tubuh Ki Demang. Selanjutnya, akan dapat diusahakan pengobatan sewajarnya atas keadaan tubuh Ki Demang yang lemah itu.”

    “Ki Demang mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Aku sudah tidak berharap untuk dapat sembuh. Karena itu, maka apa pun yang sebaiknya aku lakukan akan aku lakukan. Jika benar-benar aku dapat sembuh, itu adalah karena satu keajaiban.”

    “Berdoalah kepada Yang Maha Tinggi” berkata Raden Rangga “jika hal itu dapat disebut keajaiban, maka keajaiban itu datangnya dari Yang Maha Agung pula.”

    Ki Demang mengangguk kecil.

    Kepada anak Ki Demang itu Raden Rangga minta disediakan air bersih semangkuk kecil untuk mencairkan obatnya yang berupa serbuk. Kemudian obat itu telah diberikan kepada Ki Demang untuk diminum.

    Tidak terasa akibat apapun juga pada tubuh Ki Demang. Namun Raden Rangga berkata “Mudah-mudahan racun di dalam tubuh Ki Demang menjadi tawar dan tidak lagi merusak perlahan-lahan.”

    Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Katanya “Kalian telah menolong anakku. Kemudian berusaha menolong aku. Demikian besar kebaikan hatimu bagi keluargaku.”

    Raden Rangga tersenyum. Katanya “Itu adalah kewajiban setiap orang untuk menolong sesama. Nah, tunggu sampai esok. Mudah-mudahan terjadi perubahan di dalam diri Ki Demang. Sementara itu, Ki Demang dapat minum obat yang lain untuk memulihkan kesehatan Ki Demang. Barangkali di Kademangan ini ada juga orang yang mampu; membantu Ki Demang dengan obat-obatan itu.”

    Sementara itu, Ki Jagabaya yang menganggap anak-anak muda itu terlalu lama berada di dalam bilik Ki Demang, telah menyusul pula dan menyerahkan pengawasan atas adik Ki Demang kepada bebahu yang lain.

    Namun, demikian ia memasuki bilik itu, Ki Demang sedang bertanya “Siapakah sebenarnya anak-anak muda ini?”

    Raden Rangga termangu-mangu sejenak. Tetapi kepada Ki Demang ia tidak ingin berbohong. Karena itu, maka ia pun berpesan kepada Ki Demang, Ki Jagabaya dan anak Ki Demang “Jangan sebarkan kepada orang lain, siapa aku, untuk kepentingan tugasku.” ia berhenti sejenak, lalu “Aku adalah Rangga dari Mataram.”

    HABIS
    bersambung ke jilid 210

  27. Sarapannya enak sekali, Ki Ajar…… :))
    Maturnuwun…

  28. he..he…lucu dan menyenangkan juga setelah akhirnya cantrik baru seperti saya sedikit mengerti cara berburu kitabp-kitab adbm dan tidak hanya berharap dari retype…
    huebat …. salut…. makasih

  29. matur nuwun poro kadang sutresno adbm …


Tinggalkan Balasan ke Butho Caqiel Batalkan balasan