Laman: 1 2
Buku III-09
The URI to TrackBack this entry is: https://adbmcadangan.wordpress.com/buku-iii-09/trackback/
The URI to TrackBack this entry is: https://adbmcadangan.wordpress.com/buku-iii-09/trackback/
Gambar Kulit :
Herry Wibowo
Ilustrasi :
Sudyono
Penerbit :
Kedaulatan Rakyat,
Yogyakarta
selamat mlm,,sugeng ndalu…,
absen…,,
terasa lamaaaa
menunggu kata MAESTRO
di garis bawahi,
sampai jam berapa ya
menunggu
Masih belum..???…nunggu “MAESTRO” bikin sakaw….sabarrrrr…
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia maestro adalah orang yang ahli dibidang seni, terutama bidang musik, seperti komponis, konduktor, empu.
Selanjutnya apa arti kata SENI itu sendiri ?
SENI adalah kesanggupan akal manusia untuk menciptakan sesuatu karya yang bermutu dan bernilai tinggi.
atau
SENI adalah : Sebuah keindahan yang dapat mengungkap rasa sampai jauh kedalam jiwa seseorang. Jadi apabila pernah merasakan sebuah getaran keindahan yang begitu dalam dan membuat kita tidak dapat lagi melupakannya maka artinya kita sudah dapat menangkap arti kata seni dalam arti yang sebenarnya.
Bagaimana ungkapan rasa jiwa setelah membaca karya cipta Ki SHM, terutama serial cerita silat Api di Bukit Menoreh ?
Apa yang membuat Ki Sanak menyebut SH Mintardja sebagai seorang Maestro ?
Jika ditelusuri lebih jauh, Ki SHM masuk pada kriteria yang mana ?
Beliau adalah seorang seniman sastra, seni penulis cerita silat, kreator (pencipta cerita untuk pagelaran ketoprak) yang bisa menyihir , ikut larut dalam keindahan, kesedihan, keharuan, kegembiraan, kegundahan, kejengkelan dan kesakawan, para pembaca karya ciptanya.
Lalu berapa buku/judul cerita yang sudah ditelorkan (suwargi) Ki SHM ? Sepanjang hayatnya beliau telah menulis berbagai buku cerita silat, bahkan dimuat secara rutin pada Harian Kedaulatan Rakyat hingga kini, seperti :
Api di Bukit Menoreh (396 jilid),
Tanah Warisan (8 jilid),
Matahari Rsok Pagi (15 jilid),
Meraba Matahari (9 jilid),
Suramnya Bayang-bayang (34 jilid),
Sayap-sayap yang Terkembang (67 jilid),
Istana yang Suram (14 jilid),
Nagasasra Sabukinten (16 jilid),
Bunga di Batu Karang (14 jilid),
Yang Terasing (14 jilid),
Mata Air di Bayangan Bukit (23 jilid),
Kembang Kecubung (6 jilid),
Jejak di Balik Bukit (40 jilid),
Tembang tantangan (24 jilid), dan
Beberapa naskah untuk pagelaran ketoprak.
Buka sesuatu yang tidak mungkin, seandainya ada penghargaan/macam-macam award yang ada sekarang ini, entah apapun namanya khusus untuk kategori penulis cerita silat mungkin Ki SHM salah satu nominasinya.
Terlepas dari semua itu, walaupun telah tiada Ki SHM dengan beberapa judul cerita yang dihasilkannya, adalah salah satu sosok pelipur lara dan pengobat kegelisahan hidup di tengah hiruk pikuk dunia ekonomi, politik yang semakin semrawut.
Selamat Jalan Sang Maestro.
Lho..durung toh…?
Wah hujan – hujan begini jam segini kalau bisa sambil baca kitab alangkah indahnya…
terima kasih Nyi Seno Kitabnya
ayo para cantrik monggo diunduh kitabnya…..
Akhirnya diwedar juga……haturnuhun….
maaf, saya ambil duluan juga kitabnya ya….trims nyai…
Kalau kitab diwedar jam segini, saya selalu ingat Ki Widura.
Apa beliau sudah bangun ya.
makaciiih …
Rembug sudah pada urunan, Sekarang tinggal rembugan kitab urunan Nyimas Senopati. Matur nuwun…
lapor…,sampun di donlot,,siap pindah kmr sebelah..
Ngunduh kitab sambil kriyap=kriyip matane. Begadang semalaman karena harus BAKU BALAS sama Ki Anggara, Nyi Mala dan Lain-2.
Ki Arema, mbok kirim panah sanderan kalau Kitabnya sudah muncul.
Terima Kasih Nyi Seno.
Patih Lowo Ijo adalah pengunduh pertama …… apa masih available Ki? Nanti saya kenalin ama …?
eh bukan maestro
tapi malah diuruni rembug
trimakasih
Hatur nuwun nyai Seno…..
makasiiih
maaa…..aciiiiihhhh
terima kasih juga nyai, urun kitabnya… 🙂
Terimakasih Nyi Seno…
Matur suwun…
Dinda Seno…Ki GeDe….
Sudah lama tidak sowan ke Padepokan….maaf….
sakti mandraguna,kebal,kekuatan mata iso nembus….tapi dijajah londo,nippon.inggris,portugis…pirang-pirang tahun…yg terdokumen spt sultan agung,diponegoro,pati unus,hasannudin,teuku umar,pattimura….yg berani nglawan londo2 beneran.ayo ojo muluk-muluk…tiru yang sudah jelas,ikuti yg benar.maturnuwun.
Ya ampuuun…Kitab 309 lagi. Terima kasiiiiih Nyi Seno.
Dsini retypenya juga putus….
* nunggu lagi ahhh…. ;))
Monggo Ki
lanjutan 209
Demikianlah, maka usaha yang hanya dapat dilakukan dengan sangat lamban itu sedikit demi sedikit berarti juga kepada Glagah Putih. Beberapa kali hal itu diulangi, sehingga keduanya menjadi sangat letih.
Sementara itu, Glagah Putih pun telah mampu memilahkan kemampuannya yang mendasar di dalam dirinya serta kemampuan yang disadapnya dari Raden Rangga dengan cara berbeda sebagaimana dilakukannya di bawah bimbingan kedua orang gurunya.
Namun dalam pada itu, Raden Rangga pun berkata “Glagah Putih. Yang kau dapatkan dari padaku memang berbeda dengan yang kau dapatkan dari kedua gurumu. Yang mampu menyusup dan menggetarkan pengalamanmu tidak lebih dari bahan mentah yang masih harus kau olah dan kau matangkan di dalam dirimu. Sementara yang kau terima dari kedua gurumu adalah ilmu yang sudah masak yang meskipun masih perlu kau kembangkan di dalam dirimu, namun kau sudah siap mempergunakannya pada tahap-tahap tertentu.”
Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun ia sadar, bahwa ia harus berhati-hati mengetrapkan ilmu yang diterimanya dari Raden Rangga, sebagaimana pernah diperingatkan oleh kedua gurunya. Ia tidak boleh dengan serta merta mempergunakannya. Sehingga karena itu, maka Glagah Putih memerlukan waktu-waktu tertentu untuk mencoba dan menguji apakah ilmu yang diterimanya itu dapat luluh dengan ilmu yang sudah ada didalam dirinya.
Ternyata Glagah Putih memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi. Ia mampu mengetrapkan cara yang pernah dipergunakan oleh kedua gurunya untuk menilai ilmu yang pernah diterimanya dari Raden Rangga pada waktu itu dalam hubungan dengan ilmu yang telah ada didalam dirinya. Juga cara kedua gurunya itu saling menyesuaikan ilmu yang mereka berikan kepada Glagah Putih.
Dengan demikian maka di sepanjang jalan, ilmu Glagah Putih pun menjadi semakin meningkat, meskipun tidak melonjak. Namun betapapun tipisnya lembaran-lembaran yang disusun, akhirnya nampak juga tingkat-tingkat yang dicapai oleh Glagah Putih selama dalam perjalanan yang ditempuhnya.
Ketika keduanya berada di tebing sebuah sungai yang curam, maka dengan sengaja keduanya menelusurinya sampai ketempat yang tersembunyi. Ketika malam turun, maka Glagah Putih telah mencoba mempergunakan ilmunya yang dapat dipancarkannya dengan menghentakkan kedua belah tangannya sambil membuka telapak tangannya kearah sasaran.
Ternyata hasilnya mengagumkan. Meskipun tidak terlalu jauh melonjak, namun kekuatan yang terpancar dari dirinya itu benar-benar telah menunjukkan bahwa Glagah Putih adalah seorang anak luar biasa.
Raden Rangga yang menyaksikan hasil dari jerih payah mereka berdua itu pun tersenyum. Kemajuan yang dicapai oleh Glagah Putih memberinya kepuasan. Dengan demikian maka kawannya memasuki daerah yang gawat adalah seorang yang berilmu tinggi.
Namun kepuasan yang lain dari Raden Rangga adalah bahwa ilmunya tidak akan terbawa tanpa bekas jika saat itu benar-benar akan tiba. Seseorang akan tetap mengenangnya, karena di dalam diri orang itu tersimpan ilmu yang disadap daripadanya. Orang itu adalah Glagah Putih.
Demikianlah, dalam perjalanan berikutnya, kemampuan dan ilmu Glagah Putih pun menjadi semakin bertambah tambah. Sementara itu Raden Rangga benar-benar telah melakukan apa yang dikatakannya. Ia telah berusaha menolong orang-orang yang memerlukan pertolongan. Bukan saja karena persoalan-persoalan yang besar, tetapi juga dalam persoalan-persoalan yang kecil.
Raden Rangga telah berlari-lari mengejar seekor lembu yang terlepas ketika seorang petani yang sudah agak tua menuntunnya untuk dipekerjakan disawah. Orang tua itu dengan nafas terengah-engah berusaha untuk menangkap lembunya. Tetapi lembu itu justru semakin lama menjadi semakin jauh.
Dengan kemampuannya yang melampaui orang kebanyakan Raden Rangga berhasil menangkap lembu itu dan menyerahkannya kepada petani tua itu.
“Terima kasih anak muda” berkata petani tua itu.
Raden Rangga tertawa sambil menyahut “Hati-hatilah kakek. Lembu jantan ini mampu berlari lebih cepat dari kemampuan berlari kakek, sehingga tanpa bantuan orang lain kakek akan mengalami kesulitan.”
“Ya, ya ngger. Terima kasih” jawab kakek itu yang kemudian mempersilahkan Raden Rangga singgah.
“Terima kasih kakek. Kami akan meneruskan perjalanan kami yang masih panjang.” jawab Raden Rangga.
Orang tua itu memandang kedua anak muda itu dengan kagum. Namun keduanya tidak bersedia untuk singgah.
Demikianlah, maka yang dilakukan oleh Raden Rangga bahkan kadang-kadang terasa aneh. Dengan tangkas ia membawa kelenting naik tebing yang agak curam ketika ia melihat seorang perempuan tua memanjat tebing itu sambil membawa kelenting di lambungnya.
Namun Raden Rangga ternyata sempat juga menolong seorang anak muda yang justru sebaya dengan dirinya dari kegarangan seekor harimau yang disangkanya sesat dan keluar dari hutan.
Ketika Raden Rangga berjalan bersama Glagah Putih menjelang senja, tiba-tiba saja ia mendengar seseorang berteriak minta tolong. Tanpa menunggu lagi maka keduanya telah meloncat kearah suara itu. Ternyata seorang anak muda berdiri dengan tubuh gemetar, sementara seekor harimau berjalan selangkah demi selangkah mendekatinya.
Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Katanya kepada Glagah Putih, “Kau tenangkan anak itu. Aku akan menyelesaikan harimau itu.
Glagah Putih pun kemudian melangkah mendekati anak muda yang ketakutan itu, sementara Raden Rangga selangkah demi selangkah mendekati harimau yang agaknya merasa heran melihat kedatangan dua orang lagi mendekatinya.
“Jangan takut” berkata Glagah Putih “harimau itu akan segera diselesaikan.”
Anak muda itu masih gemetar. Tetapi bagaimana mungkin anak muda sebayanya itu akan dapat menyelesaikan seekor harimau yang garang. Meskipun demikian kehadiran kedua orang itu membuat anak muda itu menjadi sedikit tenang. Apalagi melihat sikap Glagah Putih dan Raden Rangga yang nampaknya menganggap harimau itu tidak lebih dari seekor kambing.
“Kenapa kau berada disini?” bertanya Glagah Putih kepada anak muda itu.
Ketakutan yang sangat yang mencengkam jantungnya, membuat anak muda itu tidak segera dapat menjawab pertanyaan Glagah Putih.
Namun Glagah Putih tidak, memaksanya berbicara. Dengan lembut ia berkata “Marilah, duduklah disini.”
Anak muda itu tidak mengerti, apa yang harus dilakukannya. Sementara seekor harimau dengan garang mengancam seseorang, apakah mereka akan dapat duduk dengan tenang. Bahkan kadang kadang terbersit niatnya untuk melarikan diri. Namun masih juga timbul keragu-raguannya. Jika orang lain yang sebaya dengan dirinya datang untuk menolongnya, apakah ia akan melarikan diri begitu saja?
Kecemasan nampak membayang diwajahnya ketika ia melihat harimau itu mulai mengalihkan perhatiannya kepada Raden Rangga. Bahkan kemudian harimau itu telah mengikutinya ketika Raden Rangga bergeser ke padang perdu.
“Jangan cemaskan anak itu” berkata Glagah Putih “ia akan menyelesaikan harimau itu atau mengusirnya masuk ke dalam hutan.”
Anak muda itu masih belum berkata sepatah kata pun.
Mulutnya masih saja bagaikan tersumbat oleh ketakutan yang mencengkam jantungnya.
Namun melihat sikap Glagah Putih yang seakan-akan tidak menghiraukan sekali kawannya yang berhadapan dengan harimau yang mulai menggeram itu, maka anak muda itu pun menjadi semakin tenang pula.
“Ia akan berbuat sebaik-baiknya untuk melindungi dirinya sendiri” berkata Glagah Putih. Namun kemudian ia bertanya pula, “kenapa kau berada disini!”
Anak muda itu menarik nafas dalam-dalam, seakan-akan ingin menghirup udara sebanyak-banyaknya untuk mengendapkan kegelisahannya. Namun ia masih belum menjawab.
Sementara itu, Raden Rangga masih berhadapan dengan harimau yang mulai menggeram. Namun ia sama sekali tidak nampak gelisah apalagi gentar.
Anak muda yang ketakutan itu ketika melihat harimau itu mulai merunduk tiba-tiba saja berdesah.
Wajahnya nampak semakin tegang. Matanya bagaikan tak berkedip dan kemudian dengan gagap ia berkata “Harimau itu.”
Tetapi Glagah Putih masih tetap tenang. Ditepuknya bahu anak muda itu sambil berkata “Jangan gelisah. Tenang sajalah. Harimau itu akan menjadi jinak seperti seekor kucing.”
“Bagaimana mungkin” desis anak muda itu.
Sementara itu ia melihat harimau itu sama sekali tidak menjadi jinak. Dalam keremangan senja ia melihat harimau itu merunduk sambil mengaum.
Tetapi Glagah Putih justru berkata “Kita menonton satu permainan yang menarik.”
Anak muda itu tidak tahu apa yang sebenarnya dilihat dan didengar dari mulut Glagah Putih. Satu penglihatan yang mengerikan namun didengarnya nada yang tenang dan sama sekali tidak mengandung kegelisahan, sehingga dengan demikian, apa yang ditangkap oleh matanya berlawanan dengan apa yang didengarnya oleh telinganya.
Namun dalam pada itu, Raden Rangga telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Dengan serta merta ia telah menarik tongkat yang terselip di punggungnya.
Demikian harimau itu meloncat menerkamnya, maka Raden Rangga telah melenting menghindar. Kemudian diayunkannya tongkatnya dan dipukulnya harimau itu pada punggungnya.
Terdengar harimau itu mengaum keras sekali. Kemudian meloncat dan jatuh berguling-guling. Seolah-olah harimau itu menjadi kesakitan yang parah, Sejenak kemudian harimau itu berhasil bangkit. Namun nampaknya menjadi ragu-ragu. Perlahan-lahan harimau itu berjalan mengintari Raden Rangga. Tetapi harimau itu tidak lagi nampak terlalu garang.
“Nah, kau lihat” berkata Glagah Putih “harimau itu mulai menjadi jinak.
Sementara itu Raden Rangga lah yang melangkah mendekat. Tongkatnya terjulur lurus ke depan. Sementara itu harimau itu pun kemudian berhenti sambil menggeram. Tiba-tiba saja harimau itu meloncat pendek menerkam Raden Rangga yang semakin dekat.
Sekali lagi Raden Rangga meloncat. Dan sekali lagi Raden Rangga mengayunkan tongkatnya mengenai tengkuk harimau itu.
Anak muda yang berada di sisi Glagah Putih terkejut. Harimau itu melonjak sambil meraung kesakitan. Kemudian jatuh berguling-guling. Baru sesaat kemudian harimau itu pun berhasil bangkit meskipun terhuyung-huyung Namun dengan ketakutan harimau itu berlari masuk ke-dalam hutan.
“Anak itu terkenal sebagai seorang pembunuh harimau” desis Glagah Putih “tetapi aku yakin, bahwa ia tidak lagi ingin membunuh
Anak muda yang ketakutan itu masih gemetar. Tetapi ia melihat anak muda yang membawa tongkat itu kemudian melangkah mendekatinya.
“Nah, kau percaya bahwa harimau itu akan menjadi jinak seperti kucing?” bertanya Glagah Putih.
Anak muda itu tidak menjawab. Sementara itu Raden Rangga pun melangkah semakin dekat. Sambil tersenyum ia berkata kepada Glagah Putih “Aku berhasil menahan diri untuk tidak membunuhnya.”
“Aku sudah mengira” berkata Glagah Putih “Raden sudah mampu berbuat demikian.”
Raden Rangga tertawa. Namun kemudian ia pun bertanya kepada anak muda itu “Kenapa kau berada di sini menjelang senja.”
Anak itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya “Bukan niatku sendiri.”
“Lalu siapa yang membawamu kemari?” bertanya Raden Rangga.
“Aku kemari bersama paman untuk mencari daun turi ungu” jawab anak itu.
“Untuk apa?” bertanya Glagah Putih.
“Untuk obat. Ayahku sedang sakit keras” jawab anak muda itu.
“Siapa ayahmu?” bertanya Raden Rangga.
“Demang Sempulur. Kelompok padukuhan di sebelah Timur dari hutan ini.” berkata anak muda itu.
“Lalu dimana pamanmu sekarang?” Raden Rangga menjadi cemas “ternyata hutan ini masih dihuni binatang buas.”
“Paman pergi bersama dua orang pengawal Kademangan.” jawab anak muda itu.
“Kenapa kau tinggal sendiri disini?” bertanya Glagah Putih kemudian.
“Paman minta aku tinggal di sini. Sangat berbahaya untuk memasuki hutan itu” jawab anak muda itu.
“Tetapi ternyata di sini pun cukup berbahaya. Hampir saja kau diterkam harimau itu” berkata Glagah Putih
“Ya. Dan aku pun mencemaskan nasib paman dan kedua pengawal itu. Aku sudah terlalu lama menunggu disini. Sejak matahari mulai turun sehingga menjelang senja. Bahkan kini langit menjadi semakin suram” berkata anak muda itu.
“Apakah kita akan mencarinya?” bertanya Raden Rangga.
“Kemana?” bertanya anak itu.
“Ke dalam hutan” jawab Raden Rangga.
Anak muda itu termangu-mangu. Ia sudah melihat bagaimana anak muda itu berhasil mengusir seekor harimau. Ia pun menduga bahwa yang seorang lagi akan mampu pula berbuat demikian. Tetapi ia kemudian menjawab “Aku takut. Hari sudah menjadi malam.”
“Tidak apa-apa. Sebentar saja. Jika kita tidak menemukannya maka kita akan segera kembali.” Berkata Raden Rangga.
Wajah anak muda itu menjadi pucat. Namun sambil mengayunkan tongkatnya Raden Rangga berkata “Tongkatku adalah tongkat penjinak binatang buas dan sekaligus binatang apa saja, termasuk binatang melata.”
Anak muda itu masih saja ragu-ragu. Harimau baginya adalah seekor binatang yang menakutkan. Nyawanya memang sudah berada di ujung rambut. Namun anak-anak muda yang sebayanya itu nampaknya menganggap harimau dan binatang-binatang buas itu sebagai mainan saja. Mereka sama sekali tidak menjadi takut dan bahkan ketika malam sudah turun, anak-anak muda itu masih akan memasuki hutan tanpa rasa takut.
Sebelum anak itu menjawab, Glagah Putih berkata, “Aku akan pergi bersamanya. Jika kau ingin berada di sini, silahkan.”
“Tidak. Jangan tinggalkan aku” minta anak muda itu.
“Lalu bagaimana?” bertanya Glagah Putih.
“Aku ikut bersama kalian” berkata anak muda itu.
Demikianlah, maka mereka bertiga pun kemudian memasuki hutan yang sebenarnya tidak terlalu lebat. Namun meskipun demikian mereka harus menyibak gerumbul-gerumbul liar dan bahkan kadang-kadang berduri.
“Anak muda yang ketakutan itu tidak mau melepaskan pegangannya pada lengan Glagah Putih. Bahkan semakin lama terasa tangannya itu menjadi semakin gemetar.
“Aku takut” desisnya.
Glagah Putih tidak menyahut. Namun kemudian langkahnya justru tertegun ketika Raden Rangga memberinya isyarat untuk berhenti.
Keduanya kemudian sempat mengamati gerumbul-gerumbul perdu di sekitarnya. Meskipun malam gelap, namun ketajaman penglihatan kedua anak muda itu sempat melihat sesuatu yang kurang wajar. Mereka menemukan ranting gerumbul-gerumbul perdu itu berpatahan. Seakan-akan baru saja ditembus oleh beberapa orang yang berjalan berjajar.
“Memang agak aneh” berkata Raden Rangga.
“Beberapa orang telah lewat melalui tempat ini” berkata Glagah Putih.
Raden Rangga mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba ia bertanya kepada anak muda yang hampir saja diterkam harimau itu “Dengan siapa pamanmu memasuki hutan ini?”
“Bertiga dengan pengawal Kademangan” berkata anak muda itu.
Raden Rangga mengangguk-angguk. Namun menilik bekas yang mereka ketemukan, tentu tidak hanya tiga orang saja yang telah lewat tempat itu.
Karena itu, maka Raden Rangga berkata “Apakah pamanmu mempunyai musuh atau orang-orang yang mendendamnya?”
“Sepengetahuanku tidak” jawab anak muda itu. Namun bekas yang nampak tentu bukan bekas perkelahian antara ketiga orang itu melawan seekor harimau.
Karena itu, maka mereka pun telah tertarik untuk memasuki hutan itu lebih dalam. Namun ternyata anak muda itu menjadi semakin ketakutan.
“Kita kembali saja” ajaknya “di dalam hutan gelap sekali. Aku tidak melihat sesuatu.”
Raden Rangga dan Glagah Putih akhirnya menjadi kasihan juga terhadap anak muda itu. Dengan penglihatan wajarnya, maka hutan itu tentu terasa sangat gelap. Apalagi untuk melihat bekas beberapa orang yang lewat pada ranting-ranting perdu yang patah. Sedangkan untuk melihat Glagah Putih yang dipeganginya saja rasa-rasanya anak muda itu tidak mampu lagi.
Demikianlah maka mereka bertiga pun kemudian telah keluar lagi dari hutan yang dianggap terlalu pepat oleh anak muda itu. Demikian mereka menguak gerumbul terakhir dan keluar dari hutan itu, maka rasa-rasanya anak muda itu mampu bernafas lagi. Ketika ia menengadahkan wajahnya, maka nampak bintang berhamburan di langit yang tanpa batas.
Namun dalam pada itu, maka mereka bertiga terkejut ketika mereka mendengar suara beberapa orang yang datang ke tempat itu. Dengan serta merta Glagah Putih telah menarik anak muda itu surut dan kembali memasuki gerumbul perdu di pinggir hutan itu.
“Sst” desis Glagah Putih “diamlah. Aku mendengar suara beberapa orang datang.”
Sebenarnyalah suara orang-orang itu pun menjadi semakin jelas. Beberapa orang muncul dari kegelapan malam mendekati hutan itu.
Seorang di antara mereka pun kemudian memandang berkeliling sambil berkata “Anak itu tentu sudah diterkam harimau. Kita berhasil menggiring harimau itu sehingga harimau itu menemukan anak itu.
Tidak seorang pun yang menjawab. Sementara orang itu berkata “Baiklah. Kita akan pulang. Kita akan melaporkan bahwa kita tidak menemukan anak itu lagi. Ingat, yang pergi bersamaku hanya dua di antara kalian semua. Besok kita akan mencari anak itu masuk kedalam hutan. Mudah-mudahan kita menemukan bangkainya dikoyak-koyak harimau liar itu, sehingga tidak menimbulkan kesan yang lain kecuali kecelakaan.”
Wajah Raden Rangga dan Glagah Putih menjadi tegang. Sementara Glagah Putih berbisik “Siapakah orang-orang itu.”
“Paman” desis anak itu.
Tetapi suaranya agak terlalu keras diucapkan, sehingga ternyata yang disebutnya paman itu mendengarnya.
“Aku mendengar suara seseorang” berkata orang itu.
Glagah Putih dan Raden Rangga saling berpandangan. Terdengar Raden Rangga berdesis “Tajam juga telinga orang itu.”
Glagah Putih tidak menjawab. Namun orang yang datang itulah yang berteriak “He, siapa kalian?”
“Harimau” jawab Raden Rangga.
Jawaban itu membuat jantung orang itu berdebar semakin cepat. Dengan serta merta ia melangkah mendekat sambil berteriak “Keluar kalian dari persembunyian itu.”
Raden Rangga dan Glagah Putih tidak menunggu lebih lama. Mereka pun kemudian mengajak anak muda itu untuk keluar dari persembunyian mereka.
Orang-orang itu menjadi tegang. Lebih-lebih orang yang disebut paman oleh anak muda itu. Anak Demang Sempulur.
“Kau” desis pamannya.
Anak muda itu menggeretakkan giginya. Dengan suara bergetar ia berkata “Jadi sengaja paman meninggalkan aku untuk dimakan harimau? Bahkan pamanlah yang telah menggiring harimau itu kemari?”
Pamannya.termangu-mangu sejenak. Namun kemudian jawabnya, “Baiklah aku berterus terang. Kau tentu sudah mendengar pembicaraanku dengan orang-orangku.”orang itu berhenti sejenak, lalu, “aku memang sudah menyiapkan perangkap bagimu. Aku sudah menyiapkan seekor harimau yang akan menerkammu. Tetapi ternyata kau selamat, sehingga kau masih tetap hidup. Tetapi kami akan menyelesaikan kalian semuanya disini. Tiga orang sekaligus.”
“Tetapi kenapa kau akan membinasakan kemanakanmu sendiri?” bertanya Raden Rangga.
“Siapa kau?” bertanya orang itu.
“Kami berdua adalah kawan-kawan kemanakanmu. Kebetulan kami menemukan kemanakanmu itu sendiri di sini menunggumu yang sedang mencari obat buat ayahnya, Ki Demang Sempulur,” jawab Raden Rangga.
“Persetan” geram orang itu “kenapa harimau itu tidak menerkam kalian bertiga.”
“Kau belum menjawab pertanyaanku” berkata Raden Rangga.
Orang itu menggeram. Namun kemudian katanya “Baiklah. Aku akan berterus terang, agar kalian tidak mati dengan kecewa.” ia berhenti sejenak, lalu “sebagaimana kau ketahui, aku adalah saudara muda ayahmu. Sekarang ayahmu sakit keras. Tidak ada obat yang dapat menyembuhkannya lagi. Jika ayahmu mati, maka kau adalah satu-satunya ahli warisnya. Tetapi jika kau tidak ada, maka akulah waris satu-satunya ayahmu itu, karena aku adalah satu-satunya saudaranya.”
“Gila” teriak anak muda itu “jadi paman ingin membunuh aku karena warisan itu?”
“Ya. Jangan mengeluh atas nasibmu yang buruk. Kau akan mati dan kedua orang kawanmu itu pun akan mati, agar mereka tidak dapat membuka rahasia ini kepada siapa-pun juga.” berkata orang itu.
Anak muda itu termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba ia mulai merengek “Jangan bunuh aku paman. Ambil apa saja yang paman kehendaki.”
“Aku bukan orang dungu. Jika kau bertiga belum mati, maka setiap saat rahasiaku dapat terbongkar” berkata orang itu.
Anak muda itu menjadi semakin ketakutan. Ia merasa terlepas dari mulut harimau, namun kini ia akan berhadapan dengan pamannya dan para pengikutnya yang siap untuk membunuhnya.
Namun dalam pada itu, Raden Rangga telah menyela “Bagaimana kalau Ki Demang itu kemudian sembuh dan kembali memegang pimpinan?”
“Kakang Demang tidak akan dapat sembuh. Ia akan mati sebagaimana kalian bertiga. Bedanya, kakang Demang akan mati di pembaringan, sedangkan kalian akan mati di sini, di pinggir hutan.”
“Tetapi kami tidak diterkam harimau” jawab Raden Rangga.
“Bukan soal yang sulit. Bangkai kalian akan kami lemparkan ke tengah hutan. Dua tiga hari lagi, maka yang akan kami ketemukan adalan bangkai yang telah disayat oleh binatang buas.”
Tetapi adik Demang Sempulur itu terkejut. Anak muda yang mengaku kawan kemanakannya itu justru tertawa. Katanya, “Jangan main-main Ki Sanak. Nyawa kami tidak selunak nyawa cacing. Bahkan cacing pun menggeliat jika terinjak kaki. Apalagi kami.”
“Persetan” geram adik Demang Sempulur itu “kaulah yang paling banyak berbicara. Kaulah yang akan mati lebih dahulu. Kemudian kawanmu itu dan yang terakhir adalah kemanakanku yang sangat aku kasihi. Namun ternyata aku tidak mempunyai pilihan lain.”
“Jangan bunuh aku paman” minta anak itu. Tetapi yang menjawab adalah Glagah Putih “Bukan kau yang akan dibunuh?”
“Ya. Paman mengatakan demikian” jawab anak muda itu.
“Tidak ada yang akan dibunuh disini. Tidak ada yang akan mati malam ini” berkata Glagah Putih.
Tetapi ternyata Raden Ranggalah yang menyahut, “Tergantung kepada keadaan.”
“Ah, jangan begitu” desis Glagah Putih “bukankah kita tidak mempunyai persoalan dengan mereka. Dan bukankah yang kita lakukan ini sekedar laku ngrame?”
Raden Rangga termangu-mangu sejenak. Namun adik Demang Sempulur itu membentak “Kalian mengigau seperti orang gila. Sekarang, kalian tidak mempunyai pilihan lain kecuali mati. Namun aku masih mempunyai belas kasihan kepada kalian, bahwa kami akan mempergunakan cara yang paling baik untuk melakukannya. Tusukan langsung ke jantung adalah cara yang paling terhormat yang dapat aku lakukan sekarang.”
“Setuju” jawab Raden Rangga.
“Apa maksudmu?” bertanya adik Demang Sempulur itu.
“Aku akan menikam dadamu di arah jantung. Kau akan mati, dan semua persoalan,: akan selesai. Ki Demang itu pun akan sembuh karena kaulah yang memperberat sakitnya dengan sejenis racun yajng lunak” berkata Raden Rangga kemudian, “dengan demikian maka Ki Demang akan mati perlahan-lahan. Semeritara kau membunuh anaknya yang akan menggantikannya. He, bukankah itu laku biadab yang pantas dihukum mati.”
“Ya” Glagah Putih menyahut “kalau semua itu sudah terjadi.”
“Bagiku nilainya tidak berbeda. Tetapi di dalam hatinya telah tumbuh keinginan untuk melakukannya. Jika mereka mampu, maka mereka tentu akan melaksanakan rencana biadab itu.”
“Setan” geram orang itu “kalian mengigau tentang apa he?”
Raden Rangga memandang orang itu dengan tajamnya. Meskipun malam gelap, tetapi semuanya nampak jelas di mata anak muda itu.
Adik Demang Sempulur itu kemudian memberikan isyarat kepada orang-orangnya untuk bersiap. Baginya, anak-anak muda itu memang harus dibinasakan. Jika seorang saja di antara mereka hidup, maka segala rahasianya akan terbuka.
Anak muda, anak Demang Sempulur itu menjadi semakin ketakutan. Apalagi ketika pamannya membentak “Jangan banyak tingkah anak-anak. Jika kalian membuat kami marah, maka sikap kami akan menjadi semakin kasar.”
“Paman” minta anak Ki Demang Sempulur “jangan bunuh kami paman. Kami tidak akan membuka rahasia paman apapun yang telah paman lakukan.”
“Persetan” geram orang itu “semuanya sudah terlambat. Kenapa kau tidak melarikan diri saja sebelum aku datang.”
“Aku tidak tahu apa yang akan paman lakukan” jawab anak Demang Sempulur itu.
“Jangan merengek lagi. Berdoa sajalah agar kematianmu berlangsung dengan baik dan mendapat jalan terang.” berkata pamannya.
Anak muda itu benar-benar ketakutan. Sementara Glagah Putih berkata kepada anak itu “Jangan seperti kerbau membiarkan hidungnya dilubangi, sementara tanduknya panjang dan kuat. Betapa lemahnya kita, tetapi kita mempunyai tenaga untuk menyelamatkan diri kita sendiri.
“Tetapi aku takut” anak muda itu hampir menangis.
“Baik. Berusahalah berlindung di belakang kami berdua” berkata Glagah Putih, “mudah-mudahan kau selamat.”
Anak muda itu tidak menyahut, sementara pamannya berteriak, “Sekarang. Jangan menunggu lebih lama lagi. Tusuk dadanya di arah jantung. Kemudian kita seret mayatnya ke tengah hutan.”
Raden Rangga dan Glagah Putih pun kemudian harus segera mempersiapkan diri. Beberapa orang yang ingin membunuh mereka itu pun telah berpencar dan mengepung ketiga anak muda itu dari segala penjuru. Bahkan mereka-pun telah menggenggam pedang di tangan masing-masing.
Dalam keadaan yang tegang itu Raden Rangga masih sempat menghitung orang-orang yang mengepungnya itu.
“Tujuh orang ditambah dengan seorang. Semuanya ada delapan” katanya.
Sikap Raden Rangga dan Glagah Putih itu memang sangat mengherankan bagi ke delapan orang yang mengepung mereka. Nampaknya kedua orang anak muda itu sama sekali tidak, takut menghadapi delapan orang bersenjata pedang.
Namun untuk melindungi anak Demang Sempulur itu Glagah Putih dan Raden Rangga tidak memencar dan menghadapi lawan masing-masing. Tetapi mereka telah berdiri dan menghadap ke arah yang berlawanan, sementara anak Demang Sempulur itu ada di antara mereka.
“Sesuaikan dirimu jika lehermu tidak mau mereka putuskan” berkata Raden Rangga.
Anak muda itu menjadi gemetar. Tetapi melihat sikap Glagah Putih dan Raden Rangga tiba-tiba saja ia telah terpengaruh. Kedua anak muda yang sebayanya itu sama sekali tidak gentar melihat ancaman maut. Mereka bahkan berusaha untuk melindungi diri mereka.
Karena itu, maka betapapun lemahnya, namun pengaruh sikap kedua anak muda yang menolongnya itu membuat anak Demang Sempulur itu berusaha untuk menyelamatkan dirinya.
Sejenak kemudian maka tujuh orang pengikut adik Demang Sempulur itu telah mulai bergerak. Perlahan-lahan kepungan itu menjadi semakin sempit. Delapan ujung pedang teracu ke arah ketiga orang anak muda yang ada di dalam kepungan.
Raden Rangga yang berdiri saling membelakangi dengan Glagah Putih sebelah menyebelah anak Demang Sempulur itu pun kemudian berkata “Glagah Putih, berilah kesempatan mereka bermain-main. Biarlah mereka menunjukkan kemampuan mereka agar mereka menjadi sedikit berbangga dengan diri mereka.”
“Aku setuju Raden” jawab Glagah Putih “kemudian mereka akan kita bawa menghadap Ki Demang itu sendiri. Hanya Ki Demang sajalah yang berhak mengadili mereka.”
“Bukankah Ki Demang sedang sakit?” bertanya Raden Rangga.
“Tetapi tentu ada bebahu yang lain yang dapat melakukan tugasnya” jawab Glagah Putih.
Tiba-tiba Raden Rangga tertawa. Katanya “Kau takut aku membunuh lagi?”
Glagah Putih tidak menjawab.
Namun orang-orang yang mengepung semakin rapat itu benar-benar bingung mendengar percakapan itu. Agaknya kedua orang anak muda itu sama: sekali tidak menghiraukan ujung-ujung pedang yang teracu kepada mereka.
Tetapi dalam pada itu Raden Rangga berkata “Kita bermain-main dengan senjata. Itu akan lebih aman bagi mereka. Tanpa senjata maka kita akan menjadi sangat berbahaya. Jika kita terdesak, maka kita akan dapat melakukan sesuatu yang dapat menyulitkan mereka. Bahkan mungkin di luar sadar, membunuh mereka.”
“He, apakah kalian orang-orang gila” geram adik Demang Sempulur itu “tetapi siapa pun kalian, maka kalian akan mati.”
Raden Rangga dan Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi mereka ternyata telah memegang senjata masing-masing. Raden Rangga telah menggenggam tongkatnya sementara Glagah Putih telah mengurai ikat pinggangnya.
Dengan senjata mereka itulah, maka Raden Rangga dan Glagah Putih telah bertempur melawan delapan orang.
Namun ternyata bahwa delapan orang itu tidak memiliki bekal cukup untuk bertempur melawan mereka yang memiliki kemampuan dalam dan kanuragan. Karena itu, maka mereka bukan orang-orang yang berbahaya bagi Raden Rangga dan Glagah Putih. Tetapi justru sebaliknya bagi anak Demang Sempulur yang ketakutan itu.
Karena itulah maka Raden Rangga dan Glagah Putih harus berusaha untuk melindunginya. Apalagi anak muda itu sendiri agaknya tidak mampu berbuat sesuatu bagi dirinya sendiri. Ketika pertempuran menjadi semakin seru, anak itu menjadi gemetar dan bahkan seolah-olah telah kehilangan kemampuan untuk menguasai dirinya sendiri.
“Berusahalah menyesuaikan dirinya” teriak Glagah Putih.
Tetapi anak itu justru semakin menjadi bingung.
Namun dalam pada itu, delapan orang yang berusaha untuk membunuh anak-anak muda itu menjadi heran. Apapun yang mereka lakukan, ternyata anak-anak muda yang mengaku kawan anak Ki Demang Sempulur itu mampu menangkisnya. Bukan hanya sepasang pedang, tetapi delapan ujung pedang.
“Apakah kalian anak iblis yang menunggu hutan ini?” geram salah seorang di antara lawan-lawannya.
Raden Rangga tertawa. Tongkatnya berputar-putar di sekitar dirinya, dan sekali-sekali menyambar pedang yang teracu ke arah anak Demang Sempulur yang ketakutan itu. Namun kadang-kadang ikat pinggang Glagah Putihlah yang menangkis pedang yang menebas ke arah leher anak Ki Demang itu.
Kedelapan orang itu benar-benar tidak tahu, apa yang sebenarnya dihadapinya. Mereka tidak dapat mengerti, bagaimana dua orang anak muda mampu melawan mereka, delapan orang yang dianggap orang-orang terkuat di Kademangannya.
Tetapi seperti yang dikatakan oleh. Raden Rangga, maka kedua anak muda itu memang ingin bermain-main. Mereka tidak ingin segera mengalahkan lawan-lawan mereka. Namun masalahnya adalah anak Ki Demang yang semakin lama menjadi semakin lemah karena ketakutan yang mencengkam dirinya.
“Biarkan anak itu menjadi pingsan” berkata Raden Rangga “mudah-mudahan justru tidak mengganggu perlawanan kita.”
Glagah Putih tidak menyahut. Tetapi ketakutan yang sangat telah membuat anak itu terduduk gemetar, meskipun tidak pingsan.
Namun dengan demikian, maka anak muda itu tidak bergeser lagi kemana-mana yang justru dapat menyulitkan Raden Rangga dan Glagah Putih.
“Nah, duduklah dengan tenang” berkata Glagah Putih yang berloncatan menangkis ujung pedang yang menyambarnya dan sekali-sekali berusaha menyambar anak Ki Demang itu.
Demikianlah pertempuran semakin lama menjadi semakin cepat. Bagi kedelapan orang itu, maka pertempuran-pun terasa menjadi semakin sengit. Mereka berusaha untuk mempercepat tata gerak mereka. Berganti-ganti mereka menyerang dari segala penjuru. Namun serangan mereka tidak pernah mengenai sasaran yang manapun juga di-antara ketiga anak muda itu.
Tetapi Raden Rangga dan Glagah Putih tidak mengambil langkah-langkah untuk segera mengalahkan mereka. Keduanya seakan-akan sekedar bertahan dan melindungi anak Demang Sempulur itu.
Kemarahan adik Ki Demang itu pun semakin menjadi-jadi. Dikerahkannya segenap kemampuannya. Namun kedelapan orang itu sama sekali tidak dapat menembus perisai putaran senjata Raden Rangga dan Glagah Putih.
“Anak setan” geram adik Ki Demang “darimana kalian mendapatkan ilmu sehingga kalian dapat bertahan sekian lama?”
Raden Ranggalah yang menyahut “Kaulah anak setan yang sudah sampai hati berusaha membunuh kemenakan sendiri, kakak sendiri dan orang-orang lain yang dianggapnya akan membuka rahasiamu. Jika bukan orang berhati setan, maka kau tentu tidak akan membuat rencana yang begitu gila.”
“Persetan” geram adik Ki Demang “mengigaulah. Sebentar lagi kau akan mati.”
Raden Rangga tertawa. Katanya “Jangan main-main dengan nyawa. Urungkan niatmu membunuh, agar tidak mendorongku untuk membunuh pula.”
“Anak iblis” adik- Ki Demang itu pun kemudian menyerang dengan garangnya. Namun serangan-serangannya kandas di tongkat pring gading Raden Rangga.
Keheranan yang sangat memang mencengkam jantungnya. Ketika adik Ki Demang itu mengayunkan pedangnya sepenuh tenaga, maka pedangnya telah membentur pring gading di tangan anak yang justru masih sangat muda itu. Namun pedangnyalah yang mental seakan-akan telah menghantam sekeping baja pilihan.
“Tongkat itu tentu tongkat tukang sihir” berkata adik Ki Demang itu di dalam hatinya.
Namun ia melihat bahwa pedang seorang pengikutnya yang tajam berkilat-kilat ternyata tidak mampu menebas putus ikat pinggang anak muda yang lain yang tentu terbuat dari kulit, karena lentur. Bukan dari kepingan baja.
Demikianlah pertempuran berjalan terus. Kedelapan orang itu sekali-sekali telah berputar untuk menyesuaikan diri dan berusaha untuk mencoba lawan yang lain. Namun usaha mereka tidak pernah berhasil.
Dalam pada itu, ketika keringat semakin terperas dari tubuh mereka, maka mulailah tenaga kedelapan orang itu menjadi susut. Meskipun perlahan-lahan, tetapi mulai terasa. Sementara kedua orang anak muda yang mempergunakan senjata aneh itu masih tetap segar dan seolah-olah sama sekali tidak terpengaruh oleh seranganserangan kedelapan orang lawannya.
Menyadari hal itu, maka adik Ki Demang pun berteriak nyaring “Cepat, binasakan mereka.”
Tidak seorang pun yang membantah. Semuanya memang berniat demikian. Tetapi ternyata kemampuan mereka sangat terbatas dibandingkan dengan kedua orang anak muda yang mengaku kawan dari anak Ki Demang Sempulur itu.
Dengan demikian, maka apapun yang mereka lakukan, maka orang-orang itu sama sekali tidak mampu menyentuh tubuh kedua anak muda yang bersenjata tongkat dan ikat pinggang itu. Bahkan mereka pun tidak berhasil melukai dan apalagi membunuh anak Demang Sempulur itu.
Betapapun mereka berusaha, tetapi kedua anak muda itu mampu melawannya, bahkan seperti laku anak-anak muda yang sedang bermain-main.
Seorang di antara mereka mengayunkan tongkatnya seperti mengayunkan lidi, namun setiap benturan membuat senjata lawannya hampir terpental. Sementara ikat pinggang yang seorang lagi berputaran seolah-olah menyelubungi dirinya dan anak Ki Demang yang ketakutan.
Dalam pada itu, kedelapan orang itu semakin lama menjadi semakin letih. Mereka telah mengerahkan segenap tenaga dan kemampuan mereka. Namun lawan mereka seakan-akan bukan orang sewajarnya.
Dalam pada itu, Raden Rangga pun berkata “Marilah. Kerahkan segenap kemampuanmu. Bukankah kalian akan membunuh kami agar rahasia kalian tidak terbongkar?”
“Anak setan” geram adik Ki Demang.
Dihentakkannya senjatanya. Namun ia tidak berdaya untuk melaksanakan rencananya.
Dalam pada itu, tenaga mereka benar-benar telah terkuras habis. Karena tidak ada harapan lagi untuk memenangkan perkelahian itu, maka adik Ki Demang itu telah mengambil langkah yang dengan cepat dapat dilakukan.
“Kami harus melarikan diri” berkata adik Ki Demang di dalam hatinya “entahlah langkah apa yang harus diambil kemudian, karena dengan kegagalan ini rahasia kami tentu akan terbongkar.”
Sejenak adik Ki Demang itu mengamati keadaan. Tidak ada pilihan lain kecuali melarikan diri meskipun ia tidak tahu langkah apakah yang harus diambilnya selanjutnya karena rahasia itu tentu akan segera didengar oleh Ki Demang.
Dengan memperhatikan keadaan, maka adik Ki Demang itu telah berusaha untuk bergeser. Ia justru membiarkan orangorangnya untuk bertempur terus, agar ia berhasil melarikan diri lebih dahulu. Baru kemudian orang-orang itulah yang tentu juga akan melarikan diri sehingga kedua orang anak muda itu tidak akan dapat mengejar dah menangkap mereka seluruhnya, terutama ia sendiri.
Namun agaknya Raden Rangga dan bahkan Glagah Putih mengetahui niatnya untuk melarikan diri. Karena itu, maka keduanya justru telah mengawasinya dengan sungguh-sungguh karena orang itulah sumber dari peristiwa yang mendebarkan itu. Bahkan hampir merenggut nyawa anak Ki Demang Sempulur.
Sebenarnyalah, adik Ki Demang yang putus asa itu pun tiba-tiba saja telah meloncat berlari meninggalkan arena. Tanpa menghiraukan apa pun juga dan tanpa berpaling, ia berlari menuju ke pinggir hutan dan selanjutnya ingin melenyapkan diri ke dalam hutan itu.
Namun orang itu terkejut bukan kepalang. Tiba-tiba saja segerumbul pohon perdu di pinggir hutan itu bagaikan meledak, tepat dihadapannya sehingga orang itu terkejut bukan buatan. Bahkan terpental surut dan jatuh terlentang.
Terdengar suara tertawa mengumandang. Bersamaan dengan itu beberapa orang pengikut adik Ki Demang itu pun terlempar jatuh. Mereka benar-benar sudah tidak berdaya lagi. Bahkan untuk melarikan diri sekalipun.
Yang tersisa tidak mampu lagi untuk berbuat sesuatu, selain terduduk sambil terengah-engah. Tiba-tiba saja segala persendian mereka bagaikan telah terlepas yang satu dengan yang lain.
“Awasi anak itu” berkata Raden Rangga “aku akan mengurusi orang itu.”
“Tetapi” Glagah Putih termangu-mangu.
Raden Rangga tertawa. Katanya “Jangan takut. Aku adalah pemburu harimau, bukan pemburu kelinci. Karena itu, maka aku tidak akan membunuh kelinci.”
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Raden Rangga pun telah berjalan mendekati adik Ki Demang yang dengan susah payah berusaha untuk bangun. Seperti mimpi ia melihat gerumbul yang menyala sejenak. Namun kemudian hanya asapnya sajalah yang nampak mengepul dan hilang ditiup angin, sementara gerumbul itu telah hangus menjadi abu.
“Bagaimana?” bertanya Raden Rangga kepada orang itu.
Orang itu benar-benar tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Ia tidak berhasil melarikan diri, sehingga dengan demikian maka ia tentu akan dibawa menghadap Ki Demang dengan segala rahasianya.
Namun adik Ki Demang itu pun diliputi oleh seribu pertanyaan tentang dua orang anak muda yang mengaku kawan kemenakannya itu. Apalagi ketika tiba-tiba saja sebuah gerumbul perdu dipinggir hutan itu bagaikan meledak dan melemparkannya jatuh.
“Marilah Ki Sanak” Raden Rangga telah berusaha menolong orang itu untuk bangkit “berdirilah.”
Orang itu berdiri tertatih-tatih. Kemudian dibimbing oleh Raden Rangga, adik Ki Demang itu telah dibawa mendekati anak muda yang gemetar karena ketakutan itu.
“Itulah kemanakanmu” berkata Raden Rangga.
Glagah Putihlah yang kemudian menarik anak muda itu untuk bangkit. Katanya “Berdirilah seperti seorang lakilaki. Kau aman sekarang. Itulah pamanmu.”
Anak muda itu pun berusaha untuk dapat berdiri tegak. Namun jantungnya terasa masih berdegup tidak teratur, sedangkan kakinya masih terasa gemetar.
Raden Rangga dan Glagah Putih yang kemudian mengatur orang-orang yang tidak dapat mengelak itu. Delapan orang digiring oleh kedua anak muda yang mengaku kawan dari anak Ki Demang itu menuju ke Kademangan Sempulur. Untunglah bahwa mereka berjalan di malam hari, sehingga di padukuhan-padukuhan yang mereka lewati, tidak terlalu banyak orang yang melihatnya. Selain orang yang sedang meronda di gardu-gardu, hanya orang yang kebetulan keluar dari rumah mereka sajalah yang melihat iring-iringan kecil itu.
Namun demikian, meskipun yang melihat langsung hanya beberapa orang, tetapi berita tentang adik Ki Demang dan tujuh orang pengikutnya telah digiring oleh dua orang pemuda bersama anak Ki Demang Sempulur menuju ke Kademangan itu, dengan cepat telah menjalar dari pintu kepintu rumah. Bahkan kadang-kadang seseorang telah mengetuk pintu rumah tetangganya untuk mengatakan tentang berita yang didengarnya itu. Apalagi mereka yang melihat langsung.
“Apa yang telah terjadi?” bertanya seseorang.
“Entahlah” jawab yang lain “ketika salah seorang peronda mencoba bertanya, adik Ki Demang itu sama sekali tidak menjawab. Sedang anak Ki Demang itu pun tidak memberikan keterangan apapun juga.”
Dengan demikian maka orang-orang di Kademangan Sempulur itu mulai menjadi gelisah. Malam yang semula sepi itu pun menjadi bagaikan terbangun. Anak-anak muda telah berkumpul digardu-gardu untuk berbicara tentang adik Ki Demang.
Demikianlah maka adik Ki Demang dan tujuh orang pengikutnya itu pun telah dibawa ke Kademangan. Iring-iringan itu memang sangat mengejutkan. Para peronda telah mendapat pesan dari Raden Rangga agar mereka memanggil Ki Jagabaya atau para bebahu lain, kepercayaan Ki Demang.
“Apa yang telah terjadi?” bertanya para peronda itu.
“Nanti sajalah” jawab Raden Rangga “setelah Ki Jagabaya datang, maka aku akan menceriterakan persoalannya.”
Para peronda itu pun menjadi heran, sebagaimana orang-orang lain yang melihat peristiwa itu. Seolah-olah delapan orang yang bertubuh besar dan kekar telah dikuasai oleh anak-anak muda.
“Mungkin karena seorang diantara mereka adalah anak Ki Demang, sehingga mereka menjadi takut melawan” berkata seorang diantara para peronda itu.
“Tetapi sikapnya lain sekali” sahut yang lain “Nampaknya yang menguasai mereka justru bukan anak Ki Demang itu. Tetapi kedua anak muda yang lain,”
Kademangan Sempulur benar-benar dicengkam oleh satu teki-teki yang mendebarkan.
Sementara itu, Ki Jagabaya yang dibangunkan dirumahnya, dengan tergesa-gesa telah pergi ke Kademangan. Sementara beberapa orang bebahu yang lain pun telah berdatangan pula.
Beberapa saat kemudian, di Kademangan telah menjadi ramai. Bukan saja para bebahu dan peronda yang sibuk, tetapi beberapa orang penghuni padukuhan induk Kademangan Sempulur yang terbangun telah pergi pula ke Kademangan. Mereka ingin tahu apa yang.telah terjadi, sementara Ki Demang sendiri sedang sakit keras.
Ketika Ki Jagabaya dan beberapa orang bebahu telah duduk di pendapa, sementara orang-orang di padukuhan induk itu berkumpul di halaman, maka Raden Rangga pun segera menyampaikan persoalan yang baru saja terjadi kepada Ki Jagabaya.
Ki Jagabaya dan para bebahu Kademangan itu terkejut bukan buatan, Selama ini mereka menganggap bahwa adik Ki Demang itu adalah seorang yang sangat baik. Yang bekerja keras untuk kesembuhan Ki Demang. Hampir siang dan malam adik Ki Demang itu menunggui kakaknya yang sedang sakit.
Karena itu, maka dengan ragu-ragu Ki Jagabaya bertanya dengan ragu-ragu “Apakah yang dikatakannya benar?”
Adik Ki Demang itu tidak dapat membantah lagi. Dua anak muda yang mempunyai ilmu diluar jangkauan nalarnya itu masih tetap menunggui mereka, sementara itu saksi utama, anak Ki Demang itu ada pula diantara mereka.
Sambil menundukkan kepalanya adik Ki Demang itu pun mengangguk kecil.
Ki Jagabaya menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada datar ia berkata, “Sungguh diluar dugaan. Aku tidak mengerti, bagaimana kita semuanya harus mengatasi persoalan ini. Selama ini kita menganggap bahwa adik Ki Demang itu adalah seorang yang baik hati, yang telah mengorbankan waktu, uang dan segala-galanya bagi kesembuhan kakaknya. Tetapi yang terjadi sebenarnya justru sebaliknya.”
Orang-orang yang berada di pendapa itu menjadi gelisah. Bahkan orang-orang yang berkerumun di halaman-pun menjadi gelisah pula. Sebagian besar dari mereka menjadi sangat marah terhadap sikap adik Ki Demang itu.
Bahkan anak-anak muda yang tidak dapat menahan diri telah berteriak “Berikan orang itu kepada kami.”
“Ya” sahut yang lain “kami akan menghakimi mereka”
Tetapi Ki Jagabaya kemudian berkata “Kita tidak dapat bertindak sendiri. Bagaimanapun juga kita harus menghubungi Ki Demang. Meskipun Ki Demang sedang sakit, namun keputusannya kita perlukan. Apalagi yang melakukan kesalahan adalah adiknya sendiri yang ditujukan kepada Ki Demang itu pula.”
Meskipun anak-anak muda itu tidak puas, tetapi mereka memang tidak dapat memaksa Ki Jagabaya menyerahkan adik Ki Demang itu kepada mereka. Apalagi mereka yang berada di halaman masih belum pasti, apa yang sebenarnya terjadi dan siapakah kedua orang anak muda itu, yang bersama anak Ki Demang telah menggiring adik Ki Demang ke Kademangan.
Karena itu, maka Ki Jagabaya pun telah minta kepada para bebahu yang lain untuk mengawasi adik Ki Demang itu serta orang-orang Kademangan yang marah. Ia sendiri akan berusaha untuk menemui Ki Demang yang sedang sakit.
Namun ternyata Ki Jagabaya telah minta agar anak Ki Demang itu menyertainya untuk memberikan penjelasanpenjelasan tentang peristiwa yang menimpa dirinya.
Anak Ki Demang itu memandang Raden Rangga dan Glagah Putih berganti-ganti, seakan-akan minta pertimbangannya, apakah ia akan ikut menemui ayahnya atau tidak.
Hampir berbareng Raden Rangga dan Glagah Putih mengangguk kecil, sehingga anak muda itu pun kemudian bersama Ki Jagabaya menghadap ayahnya yang sedang sakit.
Dalam pada itu, Ki Demang terbaring di dalam biliknya ditunggui oleh Nyi Demang dan beberapa orang lain. Meskipun ingatan Ki Demang masih utuh dan masih cukup cerah, namun tubuhnya nampaknya menjadi sangat lemah. Seakan-akan untuk bangkit dan duduk pun rasa-rasanya sudah tidak sanggup lagi. Hanya dalam keadaan yang terpaksa dan penting sekali sajalah Ki Demang bangkit dan duduk di bibir ambennya dijagai oleh Nyi Demang atau orang lain.
Orang yang terbiasa menunggui Ki Demang selain Nyi Demang adalah adiknya. Adiknya itulah yang berbuat segala-segalanya. Tanpa mengenal lelah, adiknya telah berusaha untuk mencari kesembuhan dari Ki Demang. Siang malam, jika ia mendengar seorang yang memiliki kemampuan pengobatan, maka ia telah pergi menemuinya.
Namun ternyata sesuatu telah terjadi dengan adik Ki Demang itu, Ki Jagabaya yang datang bersama anak Ki Demang ke bilik itu telah menarik perhatian dari orang-orang yang menungguinya. Namun dengan berat hati Ki Jagabaya minta agar orang-orang lain keluar dari bilik itu. Ia dan anak Ki Demang itu akan memberikan laporan khusus kepada Ki Demang tentang keadaannya.
“Apakah aku tidak boleh mendengarkannya?” bertanya Nyi Demang.
Ki Jagabaya termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya “Nanti saja Nyi Demang akan mendapat pemberitahuan yang khusus tentang hal ini.”
Nyi Demang memang menjadi heran. Namun Ki Demang pun berkata. “Baiklah Nyi. Biarlah Ki Jagabaya meyampaikan persoalannya lebih dahulu.”
Nyi Demang tidak membantah: Ia pun kemudian meninggalkan Ki Demang yang terbaring di biliknya.
Sepeninggal orang-orang yang menungguinya, maka Ki Jagabaya pun telah mendekati Ki Demang sambil berkata “Ki Demang. Kami minta maaf, bahwa justru dalam keadaan seperti ini kami akan menyampaikan persoalan yang cukup berat. Tetapi kami berharap bahwa untuk selanjutnya persoalannya menjadi jelas bagi Ki Demang dapat mengambil langkah-langkah untuk mengatasinya.
Ki Demang yang sakit itu mengerutkan keningnya. Dengan wajah yang berkerut ia mendengarkan keterangan Ki Jagabaya. Namun ketika ia akan bangkit dan duduk, Ki Jagabaya mencegahnya.
“Silahkan berbaring saja Ki Demang. Kesehatan Ki Demang memang sedang terganggu.” berkata Ki Jagabaya.
Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Apakah sebenarnya yang ingin kau katakan?”
“Satu hal yang tidak terduga sama sekali telah terjadi pada putera Ki Demang. Putera Ki Demang ini sudah bukan anak-anak lagi. Ia akan dapat berceritera tentang dirinya dan tentang sesuatu yang bersangkut paut dengan kesehatan Ki Demang.”
Ki Demang memandangi anak laki-lakinya. Kemudian dengan nada lemah ia berkata “Katakanlah, apa yang telah terjadi.”
Anak Ki Demang itu memang menjadi ragu-ragu. Tetapi Ki Jagabaya berkata “Sebaiknya Ki Demang segera mengetahui segala-galanya. Memang mungkin mengejutkan. Namun kemudian segalanya tentu akan menjadi lebih baik.”
“Kau membuat aku berdebar-debar Ki Jagabaya” berkata Ki Demang.
“Mungkin memang mendebarkan Ki Demang. Tetapi aku minta Ki Demang dapat mempertimbangkan dengan sebaikbaiknya. Dan Ki Demang justru harus merasa beruntung, bahwa hal itu dapat segera diketahui sekarang. Jika terlambat sepekan saja, maka segalanya tentu akan lain jadinya. Dan kita semuanya hanya akan dapat menyesal. Atau tidak tahu sama sekali tentang apa yang sebenarnya terjadi.”
“Baiklah Ki Jagabaya” berkata Ki Demang “aku menyadari, bahwa untuk mendengarkannya ceritera anakku, maka aku harus mempersiapkan batinku sebaik-baiknya.”
Ki Jagabaya mengangguk kecil. Lalu katanya “Nah, ceriterakanlah tentang peristiwa yang kau alami. Jangan ada yang terlampui sehingga semuanya akan menjadi jelas.
Anak Ki Demang itu termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian mulai berceritera tentang dirinya. Dari permulaan sampai dengan saat ia menghadap ayahnya itu. Tidak ada persoalan yang terlampui meskipun segalanya diceriterakannya dengan singkat.
Ki Demang memang terkejut. Namun sebelumnya ia sudah menyiapkan diri untuk mendengar ceritera yang mengejutkan, sehingga karena itu, maka Ki Demang masih mampu mengatur perasaannya yang bergejolak.
Sambil menarik nafas dalam-dalam ia bertanya kepada anaknya setelah ia selesai berceritera “Apakah kau sudah mengalami semua itu atau kau baru menduga akan terjadi peristiwa seperti itu?”
“Aku sudah mengalaminya ayah. Dua orang anak muda yang menolongku itu sekarang ada di sini. Mereka memiliki kemampuan dan ilmu yang tidak dapat disebut dan digambarkan dengan kata-kata.”
“Apakah aku dapat bertemu dengan mereka?” berkata Ki Demang.
“Tentu ayah. Mereka berada di pendapa.” jawab anaknya.
Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Namun kesehatannya memang terasa semakin menurun pada hari-hari terakhir. Ternyata bahwa obat yang selalu diminumnya, bukannya dapat menyembuhkannya, tetapi justru membuat sakitnya bertambah parah.
Dalam pada itu maka anaknya pun berkata “Apakah kedua anak muda itu diperkenankan masuk kemari ayah. Anak-anak muda itu akan dapat memberikan beberapa keterangan yang barangkali ayah perlukan.”
Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Ki Jagabaya sejenak. Kemudian ia pun bertanya dengan nada rendah “Apakah anak-anak itu baik jika mereka masuk ke dalam bilik ini?”
Ki Jagabaya termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya “Aku kira ada juga baiknya anak-anak itu dapat langsung berbicara dengan Ki Demang.”
“Baiklah” berkata Ki Demang “bawalah mereka kemari.”
Sebelum Ki Jagabaya bangkit dan melangkah ,keluar, anak Ki Demang sudah lebih dahulu menghambur keluar untuk memanggil Raden Rangga dan Glagah Putih.
Namun Ki Jagabaya pun kemudian menyusulnya. Ia harus mengawasi adik Ki Demang itu agar tidak berusaha untuk melarikan diri karena banyak persoalan yang harus diselesaikan dengannya.
Sementara itu, maka anak Ki Demang telah mengajak Raden Rangga dan Glagah Putih untuk menemui ayahnya. Karena kedua anak muda itu ragu-ragu, maka Ki Jagabaya yang kemudian keluar dari bilik Ki Demang telah mengangguk sambil berkata “Masuklah. Ki Demang ingin berbicara dengan kalian.”
Raden Rangga dan Glagah Putih pun kemudian mengikuti anak Ki Demang itu masuk kedalam biliknya. Kedua anak muda itu melihat bahwa Ki Demang memang nampak sangat lemah. Perlahan-lahan adiknya memang telah berusaha membunuhnya dengan obat-obat yang diberikannya, yang sama sekali bukan untuk menyembuhkannya.
“Anak-anak muda” berkata Ki Demang dengan suara lemah “aku telah mendengar ceritera tentang anakku. Anakku juga telah berceritera siapakah sebenarnya yang telah membuat diriku menjadi sakit-sakitan seperti ini. Namun agaknya segalanya sudah terlambat. Aku sudah menjadi terlalu lemah dan barangkali aku benar-benar akan mati.”
Raden Rangga menggeleng. Katanya “Tidak Ki Demang. Meskipun tidak dengan serta merta, namun aku berharap bahwa ada obat yang dapat menyembuhkan Ki Demang.”
“Keadaanku sudah sangat lemah” berkata Ki Demang.
“Tetapi menurut pendapatku, belum terlambat. Barangkali Ki Demang dapat mencoba menyembuhkan sakit Ki Demang melalui beberapa jenis obat. Namun yang utama, Ki Demang harus menawarkan racun yang sudah ada di dalam tubuh Ki Demang. Racun itu adalah racun yang lemah. Tetapi cukup berbahaya. Perlahan-lahan racun itu merusakkan jaringan tubuh Ki Demang, sehingga tubuh Ki Demang menjadi sangat parah seperti sekarang ini.” Berkata Raden Rangga.
“Tetapi rasa-rasanya sulit bagiku untuk mendapatkan penyembuhan. Rasa-rasanya tidak ada lagi obat yang dapat menolongku” berkata Ki Demang.
Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Menurut pendapatnya, jika racun di dalam tubuh Ki Demang itu sudah tawar, maka penyembuhan berikutnya tidak akan terlalu sulit. Sekedar untuk memulihkan kekuatannya dan memperbaiki jaringan tubuhnya yang rusak.
Karena itu, maka Raden Rangga pun telah mengambil obat penawar racun yang dibawanya. Katanya “Ki Demang, aku mempunyai obat penawar racun. Mudah-mudahan akan dapat menolong Ki Demang menawarkan racun di dalam tubuh Ki Demang. Selanjutnya, akan dapat diusahakan pengobatan sewajarnya atas keadaan tubuh Ki Demang yang lemah itu.”
“Ki Demang mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Aku sudah tidak berharap untuk dapat sembuh. Karena itu, maka apa pun yang sebaiknya aku lakukan akan aku lakukan. Jika benar-benar aku dapat sembuh, itu adalah karena satu keajaiban.”
“Berdoalah kepada Yang Maha Tinggi” berkata Raden Rangga “jika hal itu dapat disebut keajaiban, maka keajaiban itu datangnya dari Yang Maha Agung pula.”
Ki Demang mengangguk kecil.
Kepada anak Ki Demang itu Raden Rangga minta disediakan air bersih semangkuk kecil untuk mencairkan obatnya yang berupa serbuk. Kemudian obat itu telah diberikan kepada Ki Demang untuk diminum.
Tidak terasa akibat apapun juga pada tubuh Ki Demang. Namun Raden Rangga berkata “Mudah-mudahan racun di dalam tubuh Ki Demang menjadi tawar dan tidak lagi merusak perlahan-lahan.”
Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Katanya “Kalian telah menolong anakku. Kemudian berusaha menolong aku. Demikian besar kebaikan hatimu bagi keluargaku.”
Raden Rangga tersenyum. Katanya “Itu adalah kewajiban setiap orang untuk menolong sesama. Nah, tunggu sampai esok. Mudah-mudahan terjadi perubahan di dalam diri Ki Demang. Sementara itu, Ki Demang dapat minum obat yang lain untuk memulihkan kesehatan Ki Demang. Barangkali di Kademangan ini ada juga orang yang mampu; membantu Ki Demang dengan obat-obatan itu.”
Sementara itu, Ki Jagabaya yang menganggap anak-anak muda itu terlalu lama berada di dalam bilik Ki Demang, telah menyusul pula dan menyerahkan pengawasan atas adik Ki Demang kepada bebahu yang lain.
Namun, demikian ia memasuki bilik itu, Ki Demang sedang bertanya “Siapakah sebenarnya anak-anak muda ini?”
Raden Rangga termangu-mangu sejenak. Tetapi kepada Ki Demang ia tidak ingin berbohong. Karena itu, maka ia pun berpesan kepada Ki Demang, Ki Jagabaya dan anak Ki Demang “Jangan sebarkan kepada orang lain, siapa aku, untuk kepentingan tugasku.” ia berhenti sejenak, lalu “Aku adalah Rangga dari Mataram.”
HABIS
bersambung ke jilid 210
Sarapannya enak sekali, Ki Ajar…… :))
Maturnuwun…
he..he…lucu dan menyenangkan juga setelah akhirnya cantrik baru seperti saya sedikit mengerti cara berburu kitabp-kitab adbm dan tidak hanya berharap dari retype…
huebat …. salut…. makasih
matur nuwun poro kadang sutresno adbm …