Laman: 1 2
Buku II-95
The URI to TrackBack this entry is: https://adbmcadangan.wordpress.com/buku-ii-95/trackback/
The URI to TrackBack this entry is: https://adbmcadangan.wordpress.com/buku-ii-95/trackback/
Gambar Kulit :
Herry Wibowo
Ilustrasi :
Sudyono
Penerbit :
Kedaulatan Rakyat,
Yogyakarta
Blog di WordPress.com.RSS 2.0Comments RSS 2.0 | Tema: Quentin.
Makaciiiiih ….
PAS – TEPAT – SUWUN
makasih nyi
pas waktunya…………..hebat tenan ki pandanalas iki
sugeng enjang para cantrik sedaya
sugeng weekend
kagem bu senopati,namung saged ngaturaken : matur thank you
makasih..Bu
Suwun Nyi! Untuk laok dinner!
ma….acih,
thank…u..Nyi…
wah wah wah … pagi-pagi sudah pada gladi di padepokan. matur nuwun nyi senopati
melu ngunduh Nyi…….Suwun
rame tenan nyi….,
sampe lupa wedar kitab ye…. hehehehe
nderek ngunduh nyai…
suwun lagi rame2 ne iki jebule
Nggih matur suwun, sak sampunipun pating clomet, trus anteng…….
KArepku arep mbenakke sarung je malah wis metu….
Matur nuwun sanget Kang mbokayu Ati….
@ Ki Pandanalas,
“tak paringi bonus – 196″….
Maksude gandok-nya saja tho Ki Pandanalas….wah kecelek aku….
Nuwun Nyai Seno atas Ktab 195.
selamat siang semuaaa….
terima kasih nyai atas kitabnya…
matur nuwon ah
Mudah-mudahan ada yang ikut menyumbang retype gandok ini.
Mohon maaf, mungkin baru akhir minggu depan.
Maksud hati ingin memmbantu ki sanak semua, tetapi menjelang lebaran ini, banyak juga yang harus diurusin.
Plok…plok…plok… (tepuk tangan)
Kalau jari saya yang sepuluh jempol semua, saya acungkan jempol yang sepuluh itu Ki Ajar.
Dengan telaten Ki Ajar mendampingi cantrik baru atau cantrik yang ber HP, meski perjalananannya sendat dan tertinggal hampir 200 jilid.
Saya tahu, retype bukan pekerjaan yang mudah.
Convert dari djvu ke doc (saya tidak tahu Ki Ajar menggunakan apa apakah pakai ABBYY FineReader atau Omnipage, kalau Omnipage tentunya harus melalui convert dulu ke jpg)
Melihat kualitasnya, retype Ki Ajar sudah melalui pengecekan dengan buku asli (berarti harus membaca satu buku) dan proofing (perbaikan salah ketik dan menyesuaikan dengan EYD).
Semuanya memerlukan waktu dan ketelitian.
Meskipun di sana-sini masih terdapat kesalahan, itu wajar (manusiawi), apalagi kalau diburu oleh waktu karena hasilnya sudah ditunggu.
Saya kira sudah sangat bagus.
Monggo diteruskan Ki Ajar.
Saya hanya bisa membantu doa, semoga Ki Ajar diberi kesehatan sehingga bisa melanjutkan karyanya.
Ki Ajar,
Saya pribadi menyadari betapa besar waktu dan pengabdian njenengan untuk melayani kami yg baru mampu meminta & menyadap retype yg Ki Ajar berikan.Bukan kami malas belajar atau pelit untuk membeli gaman yg lebih ampuh agar tidak merepotkan para kadang disini, tetapi memang kemampuan kami baru bisa seperti ini.
Untuk itu kami ucapkan terima kasih & penghargaan yg sebesar-besarnya kepada Ki Ajar dan juga rekans semua yg telah meluangkan segalanya untuk memenuhi hasrat kami pada ADBM.
Saya dengan ikhlas lillahita’ala untuk selalu bersabar menunggu keikhlasan & sumbang sih dari sanak kadang disini yg kami yakin mampu berbuat seperti yang Ki Ajar Gurawa ( tentu juga rekan yg lain ) meretype ADBM ini.
Semoga semua diberi kesehatan dan keselamatan….
Amin….
Amiin…..
Karena keshatan itu, saya pada saat senggang masih sempat retype adbm
Monggo Ki sanak
ADBM 195
BEBERAPA saat lamanya Agung Sedayu masih sempat memandangi kesombongan orang itu. Bahkan iapun sempat berteriak-teriak, “He, orang Mataram, kerahkan kemampuanmu. Hujani aku dengan semua anak panah orang-orang Mataram. Tidak seujung pun akan dapat menyentuh tubuhku.”
Namun memang sebenarnyalah demikian. Beberapa orang prajurit Mataram telah membidik orang itu bersama-sama. Bahkan anak panah merekapun terlepas hampir bersamaan pula. Tetapi tidak sebuah pun yang dapat mengenainya. Dengan tangkasnya orang itu mengibaskan busurnya dan anak panah yang meluncur berurutan kearahnya itupun telah berjatuhan di sekitarnya.
-Nah, kau lihat- berkata orang Tanah Perdikan Menoreh itu kepada Agung Sedayu.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Orang itu memang luar biasa. Tetapi ia pun tidak akan dapat membalas dengan anak panahnya terhadap orang-orang Mataram.”
-Kenapa?” bertanya orang Tanah Perdikan itu. Namun kemudian, “lihat, ia sempat membidik dan melepaskan anak panah.”
-Tetapi jarang sekali. la lebih banyak mempergunakan busurnya untuk menangkis. Tidak untuk melepaskan anak panahnya- jawab Agung Sedayu.
-Tetapi kawan-kawannyalah yang melontarkan anak panah- berkata orang Tanah Perdikan itu.
Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Ia akan kehilangan bumbung anak panahnya.”
-Bagaimana mungkin- sahut orang itu.
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia pun telah memasang anak panah pada busurnya. Sementara itu orang yang sombong itu masih saja dengan tangkasnya menangkis setiap serangan.
Namun adalah di luar dugaannya, bahwa tiba-tiba saja sebatang anak panah meluncur dengan kecepatan yang sangat tinggi. Namun orang itu tidak kalah cepatnya. Ia menangkis serangan anak panah itu, sehingga telah terjadi benturan antara anak panah yang meluncur itu dengan busurnya.
Tetapi yang terjadi adalah di luar perhitungannya. Bukan anak panah itu yang berhasil dikibaskannya. Tetapi justru busurnyalah yang terlepas dari tangannya meskipun anak panah itu tidak mengenai tangannya.
-Gila- orang itu berteriak. Namun tangannya terasa sakit sekali. Apalagi sebelum ia menyadari keadaan sepenuhnya, sekali lagi seperti lidah api dilangit, sebuah anak panah menyambarnya. Tidak pada tubuhnya, tetapi pada tali bumbung anak panahnya yang tersangkut di lambung.
Tali bumbung itu pun terputus. Bumbung yang berisi anak panah itu telah terlepas dan jatuh terguling ditanah. Anak panah yang ada di dalam bumbung itu telah berserakan berhamburan.
-Siapa yang bermain dengan ilmu iblis ini?” orang itu mengumpat geram.
Tetapi ia pun harus dengan serta merta mencabut pedangnya ketika anak panah orang-orang Mataram telah menghujaninya. Bahkan ketika orang-orang Mataram melihat keadaannya, tiba-tiba saja terdengar mereka bersorak, “Pergi, atau kau mau mati?”
Tetapi orang itu tidak mau pergi. Dengan pedangnya ia menangkis serangan-serangan yang masih saja datang berurutan tidak henti-hentinya. Orang-orang Mataram yang melihat orang itu kehilangan busur dan bumbung tempat anak panahnya, menjadi semakin bernafsu untuk mengenainya atau setidak-tidaknya mengusirnya dari atas dinding dengan memamerkan kesombongannya itu.
Namun ternyata bahwa dengan pedangnya orang itu berhasil menangkis setiap serangan, sehingga sebagaimana ia mempergunakan busur, maka tidak sebatang anak panah pun yang dapat mengenainya.
Dalam pada itu, ternyata Agung Sedayu tidak tinggal diam. Sejenak kemudian, maka ia pun telah menarik lagi sebatang anak panah dan memasangnya pada busurnya.
Orang Tanah Perdikan Menoreh yang berdiri disampingnya itu pun bergumam, “Sekarang aku yakin. Bahwa Agung Sedayu memang memiliki apa saja yang tidak dapat dibayangkan oleh orang lain.”
-Ah, jangan begitu- jawab Agung Sedayu, “semua orang dapat melakukannya.”
-Sekarang apa yang akan kau lakukan? Kenapa kau tidak membidik saja dadanya? Bukankah itu jauh lebih mudah daripada membidik tali bumbung?” bertanya orang itu.
Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Aku ingin melemparkan pedangnya.”
-Bagus- orang itu menjadi gembira, “biarlah ia mengerti, bahwa ia bukan orang yang paling sakti didunia ini.”
-Tetapi apakah kau untuk seterusnya hanya akan menunggui aku saja sementara orang-orang lain berusaha untuk menyerang orang-orang Pajang?” bertanya Agung Sedayu.
“Sebentar lagi pertempuran akan diakhiri. Aku ingin melihat bagaimana kau menjatuhkan pedangnya.” jawab orang itu.
Agung Sedayu tersenyum. Namun ia menjawab, “Jangan kau anggap bahwa aku akan selalu berhasil. Tetapi aku akan mencobanya.”
Orang itu tidak menjawab. Ia ingin segera melihat, bagaimana pedang itu terlempar dari tangan oruna yang sombong di atas dinding itu.
Agung Sedayu pun kemudian menarik tali busurnya sambil membidik. Ternyata bahwa kemampuan membidik Agung Sedayu tidak susut. Kurnia yang diterima sejak muda itu, menjadi semakin masak.
Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu telah melepaskan tali busurnya. Anak panahnya terbang dengan kecepatan yang hampir tidak dapat diikuti oleh tatapan mata biasa. Namun anak panah itu tidak sekedar didorong oleh kekuatan wajarnya.
Orang yang sombong itu jantungnya sekali lagi bergetar. Tetapi ia masih berusaha untuk menangkis serangan anak panah yang mendebarkan itu.
Sebuah benturan lagi telah terjadi. Pedang orang itu telah menyentuh anak panah Agung Sedayu.
Terdengar orang itu mengaduh perlahan. Tangannya terasa menjadi nyeri dan hampir saja pedangnya itu terlepas. Namun dengan susah payah orang itu masih berhasil menguasai pedangnya yang hampir saja terlepas itu.
Tetapi dalam kesibukannya mempertahankan pedangnya, ia tidak sempat menghindari sebuah anak panah lagi yang meluncur. Cepat dan keras sekali. Tepat mengenai daun pedangnya.
Usahanya sama sekali tidak berhasil untuk mempertahankan pedang itu. Kulit telapak tangannya terasa bagaikan terkelupas ketika pedang itu terloncat dari genggamannya dan jatuh di tanah.
Orang itu masih mendengar kawannya yang berdiri di bawahnya mengumpat karena pedang itu hampir saja menghunjam di ubun-ubunnya.
Orang yang sombong, yang telah kehilangan busur dan pedangnya itu tidak dapat mempertahankan kesombongannya. Ketika beberapa anak panah meluncur lagi kearahnya, maka dengan tergesa-gesa orang itu pun segera bergeser dan bersembunyi di balik dinding. Ketika kemudian sambil menyeringai kesakitan ia perlahan-lahan turun, maka kawannya yang hampir saja terkena pedangnya menyambutnya dengan umpatan-umpatan, “Kau tidak berhati-hati. Pedangmu hampir saja membunuhku.”
“Aku tidak sengaja melepaskannya” jawab orang itu.
“Aku mengerti. Tidak ada seorang pun yang dengan sengaja melepaskan senjatanya. Tetapi itu adalah pertanda bahwa kau tidak berhati-hati.” geram kawannya.
“Kekuatan yang tidak terlawan telah merenggut pedangku setelah mula-mula busur dan bumbung anak panahku.” berkata orang yang kehilangan senjatanya itu.
“Bukankah kau pengawal khusus di Pajang ini? Bagaimana mungkin kau dapat kehilangan semua senjatamu seperti itu?” bertanya kawannya.
“Naiklah. Gantikan tempatku, baru kau akan tahu jawabnya” berkata orang yang kehilangan senjatanya itu.
Tetapi kawannya itu mengangkat wajahnya. Langit sudah menjadi semakin suram dan matahari sebentar lagi akan tenggelam di bawah cakrawala. Karena itu, maka kawannya itu pun menjawab, “Besok aku akan melakukannya sebagai seorang pengawal khusus di Pajang. Aku ingin membuktikan kepada orang Mataram, bahwa mereka tidak dapat mempermainkan para prajurit dari pasukan pengawal khusus.”
Sebenarnyalah maka pertempuran itu pun sebentar kemudian telah berakhir. Pasukan Mataram hari itu gagal memperoleh kemenangan dengan memasuki lingkungan halaman istana. Tidak sebuah pun dari ampat pintu gerbang diampat penjuru yang mampu dipecahkan oleh unsur-unsur pasukan Mataram.
Ketika terdengar isyarat, maka dengan kecewa Mataram telah menarik pasukannya. Hari itu Mataram hanya menyerahkan korban-korbannya saja. Namun Mataram tidak berhasil memasuki halaman istana Pajang.
Sementara itu, maka orang-orang Pajang dan Demak dengan bangga melaporkan kepada Kangjeng Adipati, bahwa orang-orang Mataram tidak banyak dapat berbuat menghadapi pasukan Pajang dan Demak terutama dari pasukan pengawal khusus.
“Terima kasih” berkata Kangjeng Adipati, “kalian harus dapat berbuat yang sama esok pagi.”
“Jangan cemas Kangjeng Adipati” berkata Ki Tumenggung Wiladipa, “betapapun tinggi ilmu orang-orang Mataram, bahkan seandainya Panembahan Senapati sendiri yang datang ke Pajang, namun mereka tidak akan dapat menembus pertahanan pasukan pengawal khusus. Betapa cerdiknya pula akal orang-orang Mataram, tetapi kemampuan dan ilmu para pengawal yang tinggi, akan dapat memecahkan kecerdikan mereka.”
Ki: Tumenggung pun sempat pula menceritakan satu gelar yang khusus. Bahkan aneh menurut pengertian orang-orang Pajang terutama orang Demak. Kecerdikan orang-orang Mataram mampu melahirkan sebuah gelar yang mampu melindungi setiap orang di dalam gelar itu dengan perisai.
“Tetapi gelar itu tentu merupakan gelar yang kecil saja” berkata Adipati Pajang.
“Tidak terlalu kecil” jawab Ki Tumenggung Wiladipa, “tetapi gelar itu sangat berbahaya. Namun kemampuan para perwira pada pasukan pengawal khusus mampu memecahkan gelar itu dengan ilmu yang seakan-akan dapat menyerap kekuatan api dan memanasi perisai yang dapat dikenai oleh anak panahnya. Sedangkan yang lain bagaikan tertimpa batu-batu hitam yang runtuh dari lereng perbukitan.”
Kangjeng Adipati mengangguk-angguk. Ia percaya kepada keterangan Ki Tumenggung Wiladipa, karena pada suatu saat Kangjeng Adipati memang pernah melihat kelebihan Ki Tumenggung dan para perwira pasukan pengawal.
Namun bagaimanapun juga, sebenarnyalah Kangjeng Adipati tidak dapat sepenuhnya melepaskan kegelisahannya. Meskipun ia percaya bahwa Ki Tumenggung Wiladipa memiliki kelebihan, demikian juga beberapa orang perwira yang lain dari pasukan pengawal khusus, namun Kangjeng Adipati pun tidak dapat mengingkari satu kenyataan bahwa Mataram pun memiliki beberapa orang Senapati yang berilmu tinggi, sehingga jika para Senapati itu kemudian bersama-sama mengerahkan kemampuan mereka, maka kekuatan itu agaknya tidak akan dapat diabaikan.
Tetapi Kangjeng Adipati tidak ingin mengecewakan Ki Tumenggung Wiladipa. Meskipun demikian, Ki Tumenggung pun sempat juga memperingatkan agar pasukan pengawal khusus itu selalu berhati-hati.
“Jangan menjadi lengah” berkata Kangjeng Adipati.
“Hamba Kangjeng Adipati” jawab Ki Tumenggung, “kami akan berjuang sejauh dapat kami lakukan untuk mempertahankan kemandirian Pajang.”
Kanjeng Adipati pun kemudian kembali keruang dalam diikuti oleh beberapa pengawal terpilih. Sementara Ki Tumenggung Wiladipa masih mengadakan beberapa pembicaraan penting dengan para Senapati.
Sementara itu, para pemimpin prajurit Mataram pun telah mengadakan pembicaraan. Mereka berusaha untuk menemukan jalan, apakah yang sebaiknya dilakukan untuk memecahkan perlawanan orang-orang Pajang dan Demak.
“Mereka adalah orang-orang yang berilmu tinggi” berkata Ki Lurah Branjangan, “mereka telah memecahkan gelar kebanggaan pasukan khusus Mataram”
“Tetapi itu belum menjadi ukuran kita sama sekali tidak akan dapat mematahkan perlawanan orang-orang Pajang” Jawab Untara.
“Tentu kita semua berpendapat demikian. Tetapi bagaimana kita dapat melakukannya” sahut Ki Lurah.
“Kita tentu memiliki beberapa orang yang berilmu” berkata Untara, “kita yakin bahwa mereka akan dapat membantu memecahkan persoalannya. Orang-orang Pajang dan Demak telah mempergunakan para perwira yang berilmu tinggi untuk memecahkan gelar yang mengejutkan, yang sebenarnya merupakan gelar yang sangat baik untuk dipergunakan. Tetapi para perwira yang berilmu tinggi itu mampu memecahkannya.”
Kita memang mempunyai beberapa orang yang berilmu tinggi” berkata Ki Lurah, “tetapi mereka dapat menunjukkan kelebihannya jika mereka telah berhadapan dengan lawan dan bertempur beradu dada.”
Namun dalam pada itu, tiba-tiba seorang Senapati berkata, “Agung Sedayu mempunyai kemampuan bidik yang luar biasa.”
Ki Lurah mengerutkan keningnya. Sementara itu, Ki Gede Menoreh pun membenarkan, “Ya. Agung Sedayu memang memiliki kemampuan bidik yang sangat tinggi. Tetapi apa artinya seorang di antara kita.”
“Tentu tidak hanya seorang” jawab Ki Lurah, “kita akan mengumpulkan orang-orang yang memiliki ilmu bidik yang tinggi. Kita akan menempatkan mereka di depan pintu gerbang utama. Mereka harus melindungi orang-orang yang besok akan memecahkan pintu gerbang”
“Tetapi yang diperlukan bukan sekedar orang-orang yang mempunyai kemampuan bidik yang tinggi dan pemanah yang tepat, karena Pajang mempunyai orang-orang yang memiliki kemampuan menangkis serangan-serangan anak panah dengan busurnya” berkata seorang Senapati.
“Itu tentu tidak banyak jumlahnya” berkata Ki Lurah, “meskipun demikian, orang-orang seperti itu dapat diserahkan kepada orang khusus.”
“Kepada Agung Sedayu” berkata Senapati itu., “Ya. Mungkin Agung Sedayu” jawab Ki Lurah.
Namun sementara itu Swandaru berguman di telinga seorang pemimpin pengawal Sangkal Putung, “Kakang Agung Sedayu adalah seorang pembidik yang luar biasa. Ia dapat mengenai sasaran yang bergerak. Tetapi aku tidak tahu, apakah ia dapat mengatasi orang-orang berilmu seperti yang dikatakan itu.”
“Tetapi menurut pendengaranku, Agung Sedayu memiliki ilmu yang sangat tinggi” jawab pemimpin pengawal itu.
“Aku pun pernah mendengar, tetapi aku belum pernah membuktikan kelebihannya itu” berkata Swandaru, “ia adalah saudara seperguruanku. Seharusnya aku tahu lebih banyak tentang dirinya daripada orang lain.”
“Tetapi mungkin akan dapat juga dicoba” berkata pemimpin pengawal itu.
“Besok, jika keadaan memungkinkan, aku akan melihat, apa yang dapat dilakukan oleh kakang Agung Sedayu” berkata Swandaru, “tetapi aku berharap justru pasukan pengawal Sangkal Putunglah yang pertama-tama dapat memecahkan pintu gerbang itu.”
Mudah-mudahan” jawab pemimpin pengawal itu, “tetapi sudah tentu bahwa kita tidak akan mengorbankan orang terlalu banyak.”
Dalam pada itu, beberapa orang pemimpin Mataram telah mengemukakan banyak pendapat. Ada yang berpendapat, sebaiknya dipergunakan saja pedati. Pada pedati itu dibuat dinding yang cukup lebar dan tinggi. Pedati itulah yang akan didorong dan dibenturkan pada pintu gerbang.
Sedangkan Senapati yang lain menambahkan, “Kita tempatkan sebatang balok kayu yang besar dan panjang, yang hari ini gagal kita angkat dan kita benturkan pada pintu gerbang.”
Beberapa orang sependapat untuk mempergunakan pedati dengan perisai raksasa. Perisai yang dibuat dari anyaman bambu utuh yang rapat. Atau dengan kayu.
“Tetapi bagaimana dengan lembu penarik pedati itu?” bertanya salah seorang di antara para Senapati.
“Tidak dipergunakan lembu” jawab Senapati yang mengusulkan penggunaan pedati itu, “pedati itu akan berjalan mundur didorong oleh para prajurit yang dilindungi oleh perisai raksasa itu.
“Kalau begitu, kita memerlukan waktu” berkata Senapati yang lain.
“Ya. Sehari besok kita siapkan perisai raksasa itu.” jawab Senapati yang mempunyai gagasan tentang pedati dan perisai raksasa yang disetujui oleh banyak di antara kawan-kawannya.
Namun sementara itu, para Senapati itu sudah tentu akan berusaha mengguncang dan menghancurkan perisai yang akan dibuat dari bambu utuh itu dengan kekuatan ilmunya. Karena itu, beberapa orang pemimpin Mataram dimohon untuk melindunginya dengan cara yang sama.
“Ilmu itu harus dilawan dengan ilmu yang seimbang” berkata Senapati itu.
Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk. Ia akan minta beberapa orang untuk berada di gerbang utama itu. Tetapi pada umumnya, kelebihan para pemimpin pasukan Mataram adalah pada benturan langsung.
Karena rencana mereka dengan perisai-perisai itu, maka Mataram memutuskan bahwa sehari besok mereka tidak akan bersungguh-sungguh untuk bertempur. Karena kegagalan dihari pertama, maka mereka merasa lebih baik menunggu rencana mereka untuk mempergunakan perisai raksasa itu, yang ternyata para Senapati itu ingin membuat tidak hanya sebuah.
Tetapi dalam pada itu, Untara berkata, “Baiklah. Batasan waktu yang kita berikan adalah besok lusa. Tetapi bukan berarti bahwa besok kita akan mengendorkan pertempuran. Kita harus memaksakan ketegangan kepada orang-orang Pajang dan Demak. Jadi bukan kita saja yang menjadi tegang dan gelisah.”
Ki Lurah Branjangan menyetujui. Namun dengan pesan, “jangan mengorbankan orang-orang kita dengan sia-sia. Jika pertempuran itu kita perkirakan akan menjadi pertempuran berjarak dengan panah dan lembing, maka pasukan yang berperisailah yang harus berada di paling depan, di antara pasukan panah dan lembing itu sendiri.”
Para Senapati mengangguk-angguk. Namun nampaknya Mataram sendiri tidak begitu bergairah untuk bertempur dikeesokan harinya justru setelah mereka melahirkan gagasan untuk membuat perisai-perisai raksasa sehingga akan memungkinkan mereka mendekati gerbang dan dinding istana.
Tetapi ketika pertempuran’ itu berakhir dan para Senapati itu akan kembali ke kesatuan masing-masing, maka sekali lagi Untara masih minta kepada Ki Lurah, agar semua pasukan tetap diperintahkan untuk berada dalam kesiagaan tertinggi.
“Ada dua kemungkinan” berkata Untara, “anak-anak kita akan kehilangan gairah pertempurannya untuk selanjutnya, atau dalam keadaan yang kurang bersiaga itu justru pasukan Pajang dan Demaklah yang ke luar dari pintu gerbang untuk menghancurkan kita.”
“Peringatan itu wajib mendapat perhatian” berkata Ki Lurah Branjangan. Namun sebenarnyalah Ki Lurah percaya akan kemungkinan itu. Jika yang memimpin pasukan di dalam dinding istana itu Untara dan melihat kelengahan pada pasukan lawannya, maka dengan pasukan yang kuat dan pilihan ia akan menerobos ke luar dan menghancurkan pasukan lawan sebelum dalam waktu dekat, kembali menghilang kedalam regol.
Meskipun demikian, tetapi gejolak perjuangan para prajurit Mataram memang berbeda. Ketika mereka mengetahui bahwa besok mereka tidak mempunyai rencana untuk memecahkan dinding, karena para Senapati ingin mempesiapkan alat yang lebih baik dari sebuah gelar kura-kura yang aneh itu.
Dengan demikian, maka kecuali yang bertugas, para prajurit itu pun kemudian telah berbaring berserakan. Mereka tidak banyak menghiraukan apa yang harus mereka lakukan besok.
Ketika fajar mulai membayang di langit, maka para prajurit itu pun telah bersiap. Beberapa orang Senapati memperingatkan, bahwa mereka tidak boleh lengah. Seandainya mereka hari itu tidak berhasil merebut pintu-pintu gerbang, mereka tidak usah menyesal. Tetapi jika pasukan Pajang dan Demak yang ke luar dari pintu-pintu gerbang untuk menghancurkan mereka, maka mereka memang harus menyesal sekali.
“Karena itu daripada kalian harus menyesal maka lebih baik jika kalian tetap bersiaga sepenuhnya. Bertempur dalam kemampuan tertinggi” berkata para Senapati.
Para prajurit itu tidak menjawab. Tetapi mereka pada umumnya berkata di dalam hati, “Jika pertempuran itu tetap pada jarak jangkau panah dan lembing, lalu apa yang dapat kami lakukan selain menguap.”
Tetapi para prajurit Mataram memang telah menyiapkan segalanya. Senjata mereka pun telah mereka teliti dengan saksama. Yang mereka pikirkan adalah, bagaimana jika justru pasukan Demak dan Pajang itulah yang menyerang mereka.
Setelah semua persiapan selesai, serta matahari telah sampai keatas cakrawala, maka isyarat pun segera berbunyi. Pasukan Mataram yang mengepung istana itu pun mulai bergerak. Namun ternyata bahwa sebagian kecil dari mereka telah ditinggalkan di barak-barak mereka. Sekelompok kecil itu adalah orang-orang yang harus membuat perisai-perisai raksasa di atas pedati dengan bambu yang tidak di belah.
Namun Sangkal Putung sama sekali tidak terpengaruh sama sekali oleh rencana pembuatan perisai-perisai raksasa itu. Swandaru masih tetap berusaha untuk dapat memecahkan pintu gerbang pada hari itu meskipun ia mengakui kesulitan-kesulitan yang dihadapinya.
Ternyata bahwa Swandaru telah memperbanyak para pemanah di dalam pasukannya. Semua busur yang ada telah dibawa ke medan.
“Jika ada beberapa orang pembidik tepat itu sudah cukup. Sementara yang lain saja ikut melemparkan anak panah kearah mereka.” berkata Swandaru. Namun ia sudah mengatur dengan sungguh-sungguh para pengawal yang memiliki kemampuan membidik melampaui kawan-kawannya.
“Kalian jangan asal saja melepaskan anak panah sebagaimana kawan-kawanmu yang lain” berkata Swandaru, “tetapi kalian harus benar-benar membidik. Ketepatan bidik kalian akan berpengaruh atas para prajurit Pajang dan Demak yang ada di atas dinding, karena mereka merasa bahwa mereka tidak leluasa lagi untuk melakukan serangan-serangan.
Sementara itu pasukan Tanah Perdikan Menoreh juga berusaha untuk tidak mengurangi gelora perjuangan di dalam dada para pengawal. Namun bagaimanapun juga, memang agak terasa lain, bahwa mereka sudah berbekal satu sikap, hari itu mereka tidak bermaksud memecahkan dinding.
Dalam pada itu, maka sejenak kemudian, pertempuran antara kedua kekuatan yang dipisahkan oleh dinding istana itu pun mulai berkobar lagi. Mataram mulai mengatur dan menempatkan para pembidik tepatnya ditempat-tempat yang lebih terpilih.
Sementara itu, para prajurit Pajang dan Demak berjaga-jaga dengan kesiagaan penuh sebagaimana sehari sebelumnya. Namun mereka pun menjadi kecewa karena mereka tidak melihat orang-orang Mataram membawa peralatan yang akan mereka pergunakan untuk memecahkan regol dan memasuki dinding istana.
Meskipun demikian, maka para prajurit dari pasukan pengawal khusus yang merasa bahwa pasukannya tidak akan dapat ditembus telah berusaha lagi untuk menunjukkan kelebihan mereka. Mereka adalah pembidik-pembidik yang memiliki kemampuan yang tinggi. Selebihnya mereka mampu menangkis serangan anak panah dengan busur mereka.
Namun ternyata pasukan Mataram sudah menjadi lebih teratur. Apalagi pada hari itu mereka memang menempatkan diri dalam pertempuran berjarak.
Karena itu, maka Mataram pun telah menempatkan para prajuritnya yang mampu membidik dengan tepat.
Untuk beberapa saat pertempuran berlangsung dengan tidak menarik sama sekali. Di depan pintu gerbang yang lain, Swandaru masih juga berusaha untuk memecahkan regol itu. Satu-satunya regol yang mendapat serangan paling garang untuk hari itu. Tetapi Swandaru tidak juga dapat mengorbankan orang-orangnya tanpa perhitungan. Karena itu, maka beberapa kali ia harus menarik mundur orang-orangnya. Tetapi Swandaru sendiri telah berusaha menunjukkan kepada orang-orang Pajang dan Demak, juga dari pasukan pengawal yang khusus yang berada di gerbang itu, bahwa ia pun mampu melawan hujan anak panah dengan ujung cambuknya.
Anak-panah yang berterbangan kearahnya telah dikibaskan dengan juntai cambuknya. Bahkan sekali-sekali Swandaru telah melecut anak panah yang meluncur sehingga berpatahan.
Namun ia tidak dapat bertahan terlalu lama, karena dengan demikian seakan-akan ia telah mengerahkan tenaga tanpa arti.
Sementara itu Agung Sedayu masih saja memperhatikan pertempuran itu dengan saksama dalam usahanya memecahkan persoalan. Tiba-tiba saja ia melihat Sabungsari beringsut di medan. Karena itu, maka ia pun segera memanggilnya.
“Kita dapat bekerja bersama” berkata Agung Sedayu.
“Maksudmu?” bertanya Sabungsari.
“Kita pecahkan pintu gerbang. Aku yang memecahkan pintu gerbang, kau melindungiku dari serangan-serangan para perwira Pajang dan Demak, atau sebaliknya.” berkata Agung Sedayu.
Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kau mempunyai ilmu kebal.”
“Tetapi para perwira dari Pajang dan Demak adalah orang-orang yang memiliki kelebihan. Mungkin ada satu dua orang di antara mereka yang mampu menembus ilmu kebalku jika mereka dibiarkan tanpa perlawanan.” jawab Agung Sedayu. Lalu, “karena itu, kau awasi orang-orang yang ada di atas dinding. Untuk memecahkan dinding itu aku harus mendekat, karena kekuatan ilmuku terpengaruh pula oleh j arak.”
“Baiklah” berkata Sabungsari, “kita akan mencobanya. Mudah-mudahan dapat berhasil.”
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Tetapi kita harus melaporkan dahulu kepada Ki Lurah Branjangan, sementara itu pasukan harus benar-benar bersiap. Jika tidak, maka akibatnya akan memukul kita sendiri.”
Sabungsari kemudian berkata, “Baiklah. Marilah. Aku akan minta ijin dahulu kepada Ki Untara.”
“Aku ikut bersamamu” berkata Agung Sedayu.
Keduanya pun kemudian menemui Untara. Mereka menyatakan keinginan mereka untuk mencoba memecahkan gerbang. Mereka sadar, bahwa pintu gerbang itu adalah pintu gerbang yang kuat sekali. Tetapi mudah-mudahan ilmu dan kemampuan Agung Sedayu dapat memecahkannya.”
“Agung Sedayu mampu memecahkan batu hitam” berkata Sabungsari, “mudah-mudahan kekuatan gerbang itu tidak melampaui kepekatan batu hitam itu.”
Untara mengangguk-angguk. Ia pun sependapat agar Agung Sedayu dan Sabungsari melaporkan lebih dahulu kepada Ki Lurah Branjangan. Setidak-tidaknya pasukan di depan pintu gerbang ini harus bersiaga sepenuhnya. Jika pintu itu benar-benar dapat pecah, maka mereka akan membenturkan kekuatan mereka langsung berhadapan dengan pasukan pengawal khusus Pajang dan Demak yang menurut kepercayaan mereka tidak akan terkalahkan.
“Biarlah Sekar Mirah dan Glagah Putih dipanggil kemari” berkata Untara pula, “mereka harus memperkuat unsur dari regol ini. Mudah-mudahan Ki Gede tidak berkeberatan.”
“Bagaimana dengan Swandaru dan Pandan Wangi” bertanya Sabungsari.
“Biarlah mereka di tempatnya” Agung Sedayu lah yang menyahut, “pasukan pengawal Kademangan memerlukannya. Sedangkan bagi Tanah Perdikan, masih ada Ki Gede yang memimpinnya.”
Sabungsari mengangguk-angguk. Sementara itu, Untara berkata, “Pergilah menghadap Ki Lurah. Aku akan menghubungi Ki Pranawangsa. Ia harus mempersiapkan pasukannya. Semua unsur dari pasukan khusus harus ada di sini. Juga pasukan berkuda, karena yang akan dihadapi adalah pasukan pengawal khusus. Pasukan yang memiliki kemampuan yang sangat tinggi.”
Agung Sedayu dan Sabungsari pun kemudian telah pergi menghadap Ki Lurah. Ternyata tanggapan Ki Lurah tidak berbeda dengan sikap Untara. Semua kekuatan serta semua orang yang memiliki kemampuan melampaui prajurit kebanyakan, harus berada disatu sisi, untuk menghadapi kemungkinan jika pintu gerbang itu benar-benar pecah.
Semua pihak pun kemudian mulai bergerak. Sementara itu, maka Ki Lurah pun telah memerintahkan memberitahukan kepada pimpinan pengawal Tanah Perdikan Menoreh dan Kademangan Sangkal Putung untuk bersiap-siap. Pertempuran mungkin akan meningkat.
“Siapa yang akan memecahkan pintu gerbang?” bertanya Swandaru, “bukankah alat-alatnya baru dipersiapkan?”
Penghubung yang datang kepada Swandaru itu ragu-ragu sejenak. Namun kemudian jawabnya, “Pasukan Mataram dipintu gerbang induk. Aku tidak tahu jelas. Perintah Ki Lurah sebagaimana aku sampaikan.”
“Baiklah” jawab Swandaru, “kami selalu dalam kesiagaan tertinggi. Kami tidak pernah mengendorkan pertempuran.”
Penghubung itu pun kemudian meninggalkan pasukan Sangkal Putung yang memang tengah bertempur dengan gigihnya. Beberapa pemanah yang memiliki kemampuan bidik yang tinggi ternyata telah membuat orang-orang Pajang dan Demak tidak dapat berbuat sekehendak hati. Meskipun mereka memiliki kemampuan menghibaskan dan menangkis anak panah lawan, tetapi karena anak panah itu datang susul-menyusul demikian banyaknya, maka akhirnya orang-orang Pajang dan Demak itu berusaha untuk menyembunyikan sebagian tubuhnya dibalik dinding.
Dibagian lain dari pertempuran itu, seorang penghubung telah datang pada Ki Gede. Selain memperingatkan agar pasukannya bersiaga sepenuhnya, karena pasukan didepan pintu gerbang induk akan berusaha memecahkan gerbang hari ini, maka penghubung itu juga membawa pesan, apabila Ki Gede tidak berkeberatan, maka biarlah Sekar Mirah dan Glagah Putih bertempur bersama Agung Sedayu hari ini.
Ki Gede yang tidak melihat perubahan dalam pertempuran didalam pasukannya tidak berkeberatan. Dilepaskannya Sekar Mirah dan Glagah Putih untuk pergi ke gerbang induk.
Sejenak para pemimpin dan orang-orang yang memiliki kelebihan telah berkumpul. Para perwira dari pasukan berkuda di bawah pimpinan Ki Pranawangsa, kemudian Ki Lurah Branjangan dan beberapa perwira yang memiliki ilmu tertinggi di antara pasukan khusus Mataram, Agung Sedayu sendiri dan Sabungsari disamping Untara.
“Aku akan mencoba kakang. Aku mohon dilindungi. Terutama Sabungsari. Mungkin ada di antara orang-orang Pajang dan Demak yang memiliki kemampuan untuk menembus ilmu kebalku” berkata Agung Sedayu kepada Untara.
“Mulailah” berkata Untara, “kami akan melindungimu.”
Dengan demikian maka Agung Sedayu pun telah bergerak. Ketika ia berada dilapisan terdepan, maka Sabungsari pun mengikutinya.
“Kau berhenti di sini” berkata Agung Sedayu, “awasi orang-orang yang berada di atas dinding. Apakah ilmumu mampu menjangkau jarak sejauh ini?”
“Kita maju beberapa langkah” jawab Sabungsari, “Aku akan membawa perisai.”
Sabungsari itu pun kemudian telah membawa sebuah perisai yang cukup besar. Sementara itu, Sekar Mirah, Glagah Putih dan beberapa orang perwira dari pasukan berkuda Pajang dan pasukan khusus Tanah Perdikan telah ikut serta melepaskan anak panah kearah orang-orang yang berada di atas pintu gerbang.
Sebenarnyalah beberapa orang yang berdiri di atas pintu gerbang itu pun menjadi heran. Mereka melihat seseorang dengan tanpa perlindungan apapun bergerak mendekati pintu gerbang.
Namun mereka tidak terlalu lama merasa keheranan. Ketika seorang yang lain bergerak pula maju dengan perisai di tangan, maka orang-orang Pajang itu sudah mengira, bahwa akan terjadi sesuatu yang gawat.
Tetapi Agung Sedayu dan Sabungsari belum berbuat apa-apa, maka orang-orang Pajang dan Demak di atas dinding itu pun tidak memberitahukan hal itu kepada Ki Tumenggung Wiladipa. Mereka masih mencoba berusaha untuk mengatasinya sendiri.
Karena itu, maka sejenak kemudian, Agung Sedayu itu telah dihujani dengan lontaran anak panah dan lembing yang tidak terhitung jumlahnya. Namun tidak sebuah pun di antara anak panah dan lembing itu melukainya.
“Kebal” geram seorang perwira, “kita tidak boleh berdiam diri. Laporkan kepada Ki Tumenggung Wiladipa. Biarlah aku mencoba untuk menahannya.”
Perwira itu adalah orang yang telah mampu bersama Ki Tumenggung Wiladipa memecahkan gelar kura-kura Mataram. Karena itu, maka ia pun telah bergeser ke tengah, dengan isyarat ia memerintahkan agar orang-orang lain menghentikan serangannya.
“Tidak ada gunanya” berkata orang itu, “aku akan membunuhnya.”
Sementara itu, Agung Sedayu telah berdiri tegak, beberapa langkah lagi dari pintu gerbang utama. Sabungsari berdiri beberapa langkah di belakangnya. Ia merasa heran, bahwa serangan anak panah dan lembing pun menjadi seolah-olah berhenti.
Namun dalam pada itu, ternyata Sabungsari terlambat melihat seorang yang memiliki kemampuan tinggi melepaskan anak panahnya. Anak panah yang didorong oleh kekuatan ilmu yang tinggi, yang telah mampu memecahkan gelar kura-kura karena sentuhan anak panah itu bagaikan rerun tuhan bongkah-bongkah batu dari lereng pegunungan.
Anak panah itu meluncur dengan derasnya. Bidikannya yang tepah telah mengarahkan anak panah itu ke dada Agung Sedayu, tepat di atas tangannya yang menyilang.
Kekuatan orang itu memang luar biasa. Namun ternyata bahwa kekuatan itu membentur ilmu kebal yang sangat tinggi, sehingga anak panah itu tidak mampu menembus kulit Agung Sedayu.
Meskipun demikian, terasa kekuatan yang besar telah mengguncang Agung Sedayu, sehingga ia bergeser setapak surut.
“Gila” geram orang itu, “tetapi aku mampu menggungcangnya. Aku harus mengulangi serangan itu sampai orang gila itu meninggalkan tempatnya.
Tetapi ketika ia mulai memasang anak panahnya, Sabungsari telah melihatnya. Ia pun melihat Agung Sedayu terguncang. Karena itu ia menyadari, bahwa orang itu tentu berilmu tinggi.
Karena itu, maka Sabungsari pun telah membangunkan ilmunya pula. Sambil melindungi sebagian besar tubuhnya dengan perisai, ia memancarkan serangan dari sorot matanya langsung kearah orang yang menyerang Agung Sedayu.
Agung Sedayu sendiri berdiri tegang dengan tangan bersilang di dada. Setelah ia berhasil menguasai keseimbangannya kembali, maka ia pun benar-benar telah bersiap. Kekuatan lawannya yang luar biasa itu memang mampu mengguncang keseimbangannya. Tetapi sama sekali tidak berhasil melukainya.
Ketika perwira itu menarik tali busurnya diarahkan sekali lagi kepada Agung Sedayu, maka tiba-tiba dadanya bagaikan disengat oleh hentakkan yang sangat kuat. Rasa-rasanya jantungnya bagaikan diremas, sehingga terdengar di luar sadarnya ia mengaduh.
“Kenapa?” bertanya seorang prajurit.
Perwira itu tidak menjawab. Tetapi ia berusaha untuk berlindung dibalik dinding.
Sabungsari pun melepaskannya. Tetapi ia tetap mengawasi para prajurit dari pasukan pengawal khusus yang memiliki kelebihan dari para prajurit yang lain, terutama para perwira.
Sementara itu, Agung Sedayu sama sekali tidak mendapat serangan dari lawan-lawannya, sehingga dengan demikian, maka seolah-olah ia memang diberi kesempatan untuk melakukan rencananya.
Namun sebelum Agung Sedayu berbuat sesuatu, maka perwira yang kesakitan itu pun telah memerintahkan para prajuritnya untuk menyerang, sekedar mengaburkan pemusatan ilmu orang yang masih belum diketahui dengan jelas, apa yang akan dilakukan.
Tetapi sebagaimana sebelumnya, anak-panah dan lembing itu sama sekali tidak berpengaruh terhadap Agung Sedayu. Meskipun demikian, Sabungsari yang tidak mempunyai ilmu kebal itu pun kemudian justru duduk bersila sambil meletakkan perisainya di depan badannya. Dengan demikian, maka yang nampak oleh lawan-lawannya tidak lebih hanyalah kepalanya saja. Namun dari sanalah serangan-serangan Sabungsari itu dilontarkan lewat kedua sorot matanya.
Agung Sedayu dan Sabungsari ternyata telah menggemparkan para prajurit Pajang dan Demak-Untuk beberapa saat orang-orang Pajang dan Demak kebingungan untuk mengatasi kedua orang yang aneh itu.
“Apakah kita akan membuka pintu gerbang dan menyerang mereka? bertanya seorang perwira.
“Gila” geram perwira yang lain, “itulah yang mereka kehendaki. Membuka pintu gerbang.”
“Lalu, apa yang akan kita lakukan?” bertanya perwira yang pertama.
“Biarkan saja. Jika ia betah duduk di sana sampai matahari terbenam, sementara yang seorang yang ingin memamerkan ilmu kebalnya, berdiri dengan tangan bersilang sehari penuh. Bukankah kita tidak usah berbuat apa-apa?” jawab perwira yang lain.
Namun dalam pada itu, sebenarnyalah Agung Sedayu telah memusatkan segenap nalar budi, mengangkat ilmunya sampai kepuncak, sehingga dengan sorot matanya, maka Agung Sedayu telah berusaha untuk memecahkan pintu gerbang.
Namun pintu gerbang itu memang terlalu kuat. Bukan saja bahannya adalah keping-keping kayu yang tebal dengan lempeng-lempengan besi sebagai penyekat dan penguat, namun lebih dari itu, ternyata pintu gerbang yang dibuat oleh seorang Empu yang memiliki ilmu yang tinggi itu seakan-akan telah dilapisi oleh semacam kekuatan yang tidak kasat mata.
Itulah sebabnya, maka Agung Sedayu harus berjuang untuk menembus kekuatan yang menjadi perisai dari pintu gerbang itu. Kekuatan yang tidak berujud, namun sebagaimana ilmu Agung Sedayu yang bukan unsur dari kewadagan, maka lapisan kekuatan itu mampu menghambat ilmu Agung Sedayu.
Karena itu, maka Agung Sedayu tidak dapat melakukannya dengan serta merta. Dengan mengerahkan kemampuannya, maka ia mencoba untuk menembus kekuatan itu. Ia pun kemudian melandasi perjuangan itu dengan satu keyakinan, jika Yang Maha Agung membenarkan usahanya, maka ia tentu akan berhasil.
Untuk beberapa lama Agung Sedayu berjuang dengan sepenuh kemampuan dan ilmunya.
Sementara itu, seorang penghubung telah menemukan Ki Wiladipa. Dengan gamblang ia telah melaporkan apa yang terjadi dimuka pintu gerbang.
“Dan kalian tidak dapat mengusir orang gila itu?” bertanya Ki Wiladipa.
“Jika demikian, biarkan saja ia berdiri mematung untuk memamerkan ilmu kebalnya. Ia hanya ingin menakut-nakuti. Namun ia dengan ilmu kebalnya itu nekad memanjat dinding, maka bukankah kalian akan dapat mengusirnya.”
“Anak panah seorang perwira telah mampu mengguncangnya. Tetapi ia tidak pergi.” jawab penghubung itu.
“Jika demikian, biarlah orang itu melakukan terus-menerus.” berkata Ki Tumenggung Wiladipa.
Penghubung itu tidak menjawab lagi. Namun sambil mengangguk-angguk ia pun telah mohon diri.
Tetapi sebelum ia pergi, maka penghubung berikutnya telah menemui Ki Wiladipa pula. Katanya, “Orang aneh itu berusaha untuk memecahkan pintu gerbang.”
“Dengan apa?” bertanya Ki Wiladipa.
“Tentu ada kekuatan yang mampu dipancarkannya dari jarak tertentu. Orang itu berdiri saja sambil menyilangkan tangannya di dada. Namun sementara itu terdengar pintu gerbang berguncang.” jawab penghubung itu.
Wajah Ki Tumenggung Wiladipa menjadi tegang, Nampaknya keadaan benar-benar menjadi gawat. Namun kemudian katanya, “Ada sesuatu yang tidak dapat kita lihat pada ke empat pintu gerbang halaman istana ini ketika seorang Empu yang sakti membuatnya.”
“Apakah kita akan mempercayakannya kepada kekuatan gaib itu” bertanya penghubungnya.
“Baiklah. Aku akan cepat pergi kepintu gerbang induk itu.” berkata Ki Tumenggung kemudian.
Penghubung itu termangu-mangu. Dengan nada datar ia bertanya, “Ki Tumenggung tidak pergi sekarang? Keadaan telah benar-benar gawat.”
“Suruhlah kawanmu yang mampu mengguncang itu melakukannya berulang kali sehingga pemusatan pikiran dan ilmunya pecah. Aku akan segera datang setelah aku menghadap Kangjeng Adipati.”
“Aku mendapat pesan, Ki Tumenggung supaya datang sekarang” berkata penghubung itu.
Ki Tumenggung menyadari, betapa gawatnya keadaan. Karena itu, maka niatnya untuk menghadap Kangjeng Adipati diurungkan. Ia hanya sekedar pesan kepada seorang pengawal dalam, “Aku mohon, Kangjeng Adipati bersiap-siap menghadapi keadaan yang betapapun gawatnya. Tetapi di lingkungan istana ini terdapat pengawal khusus yang tidak terhitung jumlahnya.”
Sejenak kemudian maka Ki Tumenggung Wiladipa pun segera pergi kepintu gerbang utama dari halaman istana Kadipaten Pajang.
Sementara itu, Agung Sedayu memang berhasil mulai menggetarkan pintu gerbang. Tetapi ilmunya masih belum menambah kepada kemungkinan untuk menghancurkan pintu gerbang itu.
Agaknya Sabungsari melihat kesulitan yang dialami oleh Agung Sedayu. Namun ia tidak dapat melepaskan tugasnya untuk melindunginya dari kemungkinan-kemungkinan yang paling buruk. Karena itu, maka ia pun mengawasi orang-orang yang berada di atas dinding. Orang-orang yang agaknya memiliki kelebihan telah disapunya dengan ilmunya, sementara para pengawal khusus yang lain harus memperhitungkan dengan saksama, anak panah yang dilontarkan oleh orang-orang berilmu dari Mataram.
Sementara itu, ternyata sedikit demi sedikit usaha Agung Sedayu mulai berhasil. Ia benar-benar telah mampu menembus perisai yang dibangunkan tanpa kasat mata oleh empu yang sakti yang telah membuat pintu gerbang itu.
Karena itulah, maka pintu gerbang itu benar-benar mulai terguncang. Semakin lama semakin keras.
Ketika orang-orang yang berada di pintu gerbang itu menjadi semakin cemas dan gelisah, maka Ki Tumenggung pun dengan tergesa-gesa telah tiba. Ia langsung menuju ke pintu gerbang dan melihat apa yang telah terjadi.
“Gila” geram Ki Tumenggung, “aku harus berbuat sesuatu.”
Dengan serta merta maka Ki Tumenggung itu pun segera memanjat dinding istana. Ketika ia berada di atas dinding, maka dilihatnya seseorang berdiri tegak dengan tangan bersilang di dada.
“Tentu orang itu” katanya di dalam hati.
Sejenak ia mengamati Agung Sedayu. Ia mencoba un¬tuk menilai, apakah lawannya itu benar-benar orang yang memiliki kemampuan luar biasa dan tidak terlawan.
Namun dalam pada itu, selagi ia termangu-mangu, maka Sabungsari telah melihatnya. Karena itu, maka ia pun menjadi berdebar-debar. Ia sadar, bahwa Ki Tumenggung Wiladipa tentu orang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Karena itu, maka ia pun telah bersiaga untuk menghadapinya. Jika orang itu akan menyerang Agung Sedayu, maka ia harus berusaha untuk menghalanginya.
“Orang itu berilmu iblis” berkata Ki Wiladipa. Lalu katanya, “Beri aku anak panah dan busur.”
Seseorang pun kemudian telah menyerahkan anak panah dan busur. Dengan wajah yang tegang, maka Ki Tumenggung Wiladipa itu pun telah melepaskan anak panahnya pada busurnya.
Namun Ki Tumenggung Wiladipa tidak sempat membidik. Selagi ia mulai mengangkat busurnya, maka Ki Tumenggung itu tiba-tiba telah menyeringai menahan sakit di dadanya. rasa-rasanya isi dadanya telah diremas oleh satu kekuatan yang luar biasa besarnya.
Ki Tumenggung Wiladipa mengumpat. Sementara itu, ia tidak melihat Agung Sedayu merubah sikap dan pandangannya. Karena itu maka Ki Wiladipa pun telah mengambil kesimpulan, tentu ada orang lain yang telah melindungi orang yang berdiri tegak dengan menyilangkan tangannya di dadanya.
Dengan cepat Ki Tumenggung melihat Sabungsari yang duduk dibelakang perisai. Karena itu, maka ia pun kemudian bertekad untuk lebih dahulu menyerang Sabungsari.
Tetapi Ki Tumenggung sabar, bahwa Sabungsari pun ternyata mampu menyerangnya dari jarak jauh, sehingga ia harus menjadi sangat berhati-hati.
“Tetapi orang itu tidak kebal. Bidiklah kepalanya. Aku akan mempersiapkan sebuah serangan” berkata Ki Tumenggung Wiladipa. Dua orang perwira telah berusaha membidik kepala Sabungsari. Namun mereka tidak dapat melakukannya tanpa perlawanan. Ternyata bahwa Glagah Putih dan Sekar Mirah pun berada di antara mereka yang telah mempergunakan anak panah dan busur untuk menyerang orang-orang yang berada di atas dinding. Lontaran anak panah Sekar Mirah memang agak lain dari lontaran anak panah para prajurit kebanyakan. Bagaimanapun juga dorongan ilmunya berpengaruh pula atas kekuatan anak panah yang diluncurkannya.
Dengan demikian, baik yang menyerang dari atas dinding, maupun yang dari luar dinding harus berhati-hati menghadapi lawan yang semakin mapan. Pasukan Mataram pun telah menempatkan pemanah-pemanah terbaiknya disamping orang-orang yang memiliki kelebihan.
Namun akhirnya Ki Wiladipa memang mendapat kesempatan. Ketika ia bergeser dari tempatnya ditempat yang terlindung, ia dapat mengelabui Sabungsari. Dengan cepat ia muncul dengan busur yang telah merentang. la sempat membidik sekilas. Ketika Sabungsari melihatnya maka Ki Tumenggung Wiladipa telah sempat melepaskan anak panahnya.
Anak panah itu meluncur dengan derasnya. Namun Ki Tumenggung Wiladipa tidak sempat membidik kepala Sabungsari. Karena itu, maka anak panahnya telah meluncur mengenai perisainya.
Akibatnya memang mengejutkan. Rasa-rasanya perisai ditangan Sabungsari itu bagaikan terbakar dan menjadi panas.
Sabungsari menggeretakkan giginya. Ia berusaha untuk mengatasi perasaan sakitnya, sementara orang yang menyerangnya telah hilang di balik dinding.
Sabungsari sadar, bahwa orang itu tentu akan muncul lagi di tempat lain dan akan menyerangnya dengan tiba-tiba. Sebelum Sabungsari sempat melihatnya, maka orang itu tentu sudah melepaskan anak panahnya dan menghilang lagi dibalik dinding.
“Licik” geram Sabungsari. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa.
Karena itu, maka Sabungsari pun tiba-tiba telah menentukan satu langkah lain. la tidak menghiraukan lagi orang yang akan menyerangnya. Jika sekali lagi orang itu mengenainya dan perisainya menjadi semakin panas, maka ia akan membiarkan tangannya mengalami luka bakar.
Tetapi ia sudah mengambil satu keputusan.
Sabungsari tiba-tiba tidak memperhatikan lagi orang-orang yang sedang, berdiri di atas dinding dan gerbang. Ia pun telah memusatkan pandangan matanya kepintu gerbang.
“Aku harus membantu Agung Sedayu mempercepat usahanya memecahkan pintu gerbang itu” berkata Sabungsari didalam hatinya.
Sejenak kemudian, maka Sabungsari pun telah bersama-sama dengan Agung Sedayu berusaha memecahkan pintu gerbang dengan cara yang hampir sama. Sementara itu, ilmu Sabungsari sudah tidak dihalangi lagi oleh perisai yang tidak kasat mata yang melindungi pintu gerbang itu, karena telah dikoyakkan oleh Agung Sedayu.
Ternyata dua kekuatan yang dahsyat telah mengguncang pintu gerbang. Meskipun ilmu Sabungsari masih belum setingkat dengan ilmu Agung Sedayu, namun yang dilakukan ternyata benar-benar telah mempercepat usaha Agung Sedayu untuk memecahkan pintu gerbang itu.
Ketika sebuah anak panah mengenai perisai Sabungsari dan panas perisainya semakin meningkat, Sabungsari tidak menghiraukannya. Ia justru merenggangkan perisai itu dari tubuhnya. Namun lengannya yang menjadi tumpuan perisai itu benar-benar bagaikan terkelupas oleh panasnya perisainya yang bagaikan membara.
Dalam pada itu, dua kekuatan telah bergabung. Agung Sedayu sendiri telah mampu mengguncang pintu gerbang itu. Ketika ia meningkatkan ilmunya, maka Sabungsari pun telah ikut pula bersamanya. Karena itulah maka pintu gerbang itu pun kemudian bagaikan didera oleh kekuatan yang tidak tertahankan. Jauh di atas kemungkinan sekelompok orang yang, berusaha memecahkan pintu gerbang itu dengan balok kayu yang panjang. Apalagi di bawah hujan anak panah dan lembing.
Perlahan-lahan maka orang-orang yang berada di dalam pintu gerbang itu menyaksikan, bahwa selarak pintu gerbang itu mulai retak.
“Selarak itu retak” teriak seseorang.
“Tahan. Jangan sampai terbuka” teriak yang lain.
Beberapa orang telah berusaha untuk menahan agar pintu itu tidak terbuka.
Tetapi mereka tidak menyadari, bahwa kekuatan yang terpancar dari mata Agung Sedayu dan Sabungsari bukanlah terutama kekuatan mendorong pintu gerbang itu. Tetapi kekuatan itu bagaikan menyusup di sela-sela setiap lubang yang betapapun lembutnya dari papan dan keping-keping besi pada pintu gerbang itu. Kemudian meremasnya dam melumatkannya.
Karena itu, maka sejenak kemudian, yang terjadi pada pintu gerbang itu benar-benar mengejutkan. Perlahan-lahan tetapi pasti, maka telah terjadi keretakan dan kemudian selapis-demi selapis keping kayu yang tebal itu pun mulai geripis bagaikan dimakan rengat. Semakin lama semakin dalam, sementara goncangan-goncangan telah terjadi pula, karena kekuatan kayu itu sendiri sehingga terjadi benturan yang keras antara kekuatan kayu itu serta lapisan pelindungnya yang tidak kasat mata dengan kekuatan sorot mata Agung Sedayu dan yang kemudian dibantu oleh Sabungsari. Goncangan-goncangan itulah yang telah meretakkan selarak pintu gerbang itu.
Sabungsari yang kemudian mengetahui tepat sasaran ilmu Agung Sedayu pun telah menerapkan ilmunya pada sasaran yang sama, sehingga kedua kekuatan ilmu itu telah saling mendorong, sehingga keausan terjadi semakin cepat.
Seperti yang diperhitungkan, maka ketika keping-keping papan yang tebal dan kuat itu telah berlubang, maka dibalik pintu itu nampak selarak yang menyilang.
Tidak terlalu lama bagi Agung Sedayu dan Sabungsari bersama-sama untuk mematahkan selarak yang sudah retak karena goncangan-goncangan yang dahyat itu.
Sementara di dalam pintu gerbang telah terjadi keributan. Para perwira telah melaporkan hal itu kepada Ki Tumenggung Wiladipa. Ternyata Ki Tumenggung Wiladipa tidak mampu mengusir Agung Sedayu. Ketika Ki Wiladipa menyerang Agung Sedayu maka kekuatan ilmunya memang dapat menembus ilmu kebal Agung Sedayu. Tetapi sudah menjadi demikian lemahnya sehingga sama sekali tidak melukainya. Meskipun demikian, Agung Sedayu sebenarnya juga merasa sakit sengatan rasa panas. Namun tidak berhasil menyakitinya. Perwira yang memiliki kekuatan yang luar biasa itu, tidak mampu lagi mengguncang ketika Agung Sedayu benar-benar sudah sampai kepuncak ilmunya.
Karena itu, maka tidak ada apapun lagi yang dihiraukan oleh Agung Sedayu dan Sabungsari, karena semua pemusatan nalar budinya tertuju pada pintu gerbang itu.
Sementara itu, para prajurit Mataram pun telah melihat apa yang terjadi. Ki Lurah Branjangan yang menjadi yakin, bahwa pintu itu memang akan pecah, segera mempersiapkan pasukannya. Pasukan khusus dan pasukan berkudanya berada dipaling depan. Kemudian pasukan Mataram yang lain mengiringinya. Beberapa orang yang memiliki ilmu yang tinggi harus berada di antara mereka, karena mereka akan bertemu dengan para prajurit dan pasukan pengawal khusus Pajang yang dianggap tidak terkalahkan disegala medan.
Bahkan, ternyata Ki Lurah Branjangan juga telah memerintahkan untuk memanggil sekelompok pasukan Mataram yang mendapat tugas untuk menyiapkan pedati dengan perisai-perisai raksasa.
“Pedati-pedati itu tidak kita perlukan lagi” berkata Ki Lurah Branjangan, “gerbang telah dipecahkan.”
Para penghubung telah menyampaikan perintah itu pula. Seorang prajurit Mataram sempat bertanya, “Bagaimana kita mampu memecahkan pintu gerbang.”
“Agung Sedayu dan Sabungsari” jawab penghubung itu.
Para prajurit itu pun mengangguk-angguk. Mereka segera meninggalkan pekerjaan mereka dan dengan kesiagaan seorang prajurit mereka telah menuju ke medan.
Dalam pada itu, pintu gerbang yang terbuat dari keping-keping papan yang kuat dan tebal, serta diperkuat oleh batang-batang besi telah dipecahkan. Sebuah lubang telah terjadi. Semakin lama semakin besar. Bahkan ternyata bahwa kekuatan Agung Sedayu dan Sabungsari telah menembus dan mengenai pula orang-orang yang berada di belakang pintu gerbang yang berlubang itu.
Dengan demikian, maka di belakang pintu gerbang itu benar-benar telah menjadi kegelisahan. Beberapa orang telah mendesak mundur dan menghindarkan diri dari lubang yang telah menganga itu.
Sementara itu, maka Ki Lurah Branjangan telah bersiap pula. Selapis pasukan Mataram telah membalas setiap serangan dengan anak panah dan lembing untuk melindungi pasukannya yang akan segera membuka pintu gerbang.
Demikianlah, ketika Agung Sedayu sudah meyakini bahwa pintu gerbang itu sudah terbuka, maka ia pun telah mengakhiri serangannya. Perlahan-lahan ia bergeser surut, sementara Sabungsari pun telah selesai pula.
Tetapi ternyata bahwa Sabungsari harus melepas peristiwa yang ternyata telah membakar tangannya dan membuat bekas luka bakar yang parah.
Dengan cepat seseorang telah merawat tangan Sabungsari yang terluka bakar. Namun setelah dioleskan obat pada luka itu, Sabungsari berkata, “Aku tidak apa-apa. Yang penting tanganku kanan masih mampu menggenggam pedang.”
Namun dalam pada itu, Agung Sedayu yang merasakan bantuan Sabungsari pada serangannya menepuk pundaknya sambil berkata, “Terima kasih. Sekarang terserah kepada Ki Lurah Branjangan.”
Dalam pada itu, maka pasukan berperisai telah bersiap. Ketika Ki Lurah memberikan isyarat, maka pasukan itu pun dengan serta merta telah menyerbu menuju kepintu gerbang yang telah berhasil ditembus oleh Agung Sedayu dan Sabungsari, dibawah perlindungan anak panah dan lembing yang mengimbangi serangan-serangan dari atas dinding.
Namun pasukan yang ada di dalam halaman istana, tidak lagi berusaha menahan laju pasukan Mataram. Tetapi dengan kebanggaan pasukan pengawal khusus yang tidak terkalahkan, mereka siap menunggu pasukan Mataram didalam pintu gerbang, bersama prajurit Pajang dan Demak yang lain.
Tetapi prajurit Mataram telah memperhitungkannya. Karena itu, maka yang harus berada di paling depan adalah pasukan khusus Mataram yang ditempa di Tanah Perdikan Menoreh bersama pasukan berkuda dari Pajang sendiri yang dipimpin oleh Ki Pranawangsa Sementara itu pasukan Mataram yang ada di Jati Anom, yang dipinpin oleh Untara sebagian telah berada di depan pintu gerbang itu pula. Sekelompok dari pasukan itu, yang diserahkan kepada Sabungsari memiliki kemampuan pasukan khusus yang berpengalaman. Sedangkan Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih telah memperkuat pasukan yang memasuki halaman lewat pintu gerbang utama itu pula.
Berita tentang pecahnya pintu gerbang utama itu telah sampai kesemua pasukan yang mengepung istana Pajang. Bahkan para penghubung khusus telah pergi ke Mataram untuk menyampaikan berita tentang pecahnya pintu gerbang itu, sebagaimana pernah dipesankan oleh Panembahan Senapati. Bahwa jika pintu gerbang istana itu dapat dibuka, maka persoalannya dengan Pajang akan diselesaikannya sendiri dengan Adipati Pajang yang sebenarnya adalah ke luarga sendiri.
Benturan antara kedua pasukan itu benar-benar merupakan benturan yang dahsyat. Kedua belah pihak memiliki kebanggaan atas kesatuan masing-masing, sehingga dengan demikian maka kedua belah pihak mereka tidak akan terkalahkan Pasukan berkuda yang dalam benturan itu sama sekali tidak mempergunakan kuda mereka, merupakan satu pasukan yang pernah mengalami latihan-latihan yang sangat berat badani dan jiwani, sebagaimana pasukan khusus Mataram di Tanah Perdikan Menoreh. Namun sekelompok prajurit Mataram yang berada di Jati Anom yang berada dibawah pimpinan Sabungsari merupakan sekelompok pasukan yang memiliki pengalaman khusus pula.
Pertempuran yang terjadi memang merupakan pertempuran yang sangat dahsyat. Pasukan yang memiliki kelebihan dari pasukan-pasukan yang lain telah saling bertemu dan bertempur desak mendesak. sorak yang gemuruh seakan-akan memecahkan dinding-dinding istana yang membeku.
Didalam istana Kangjeng Adipati yang dikawani oleh tiga pengawal terpilihnya duduk di atas singgasana Kadipaten dengan tombak siap ditangan. Sementara permaisurinya diperintahkannya berada di dalam biliknya.
“Aku akan mati di atas singgasana ini” berkata Kangjeng Adipati, “tidak seorang pun akan dapat mengusir aku dari tempat ini.”
Para pengawalnya tidak menjawab. Namun meskipun telah bersiap untuk mati sebagaimana Kangjeng Adipati.
Namun tiba-tiba saja Kangjeng Adipati bertanya, “Dimana Wiladipa?”
“Hamba kurang tahu Kangjeng” jawab seorang pengawalnya.
“Ya. Kau tentu tidak mengetahui. Tetapi menurut laporan yang aku terima, Tumenggung Wiladipa sedang mengatur para prajurit yang berada di luar” desis Kangjeng Adipati.
Para pengawal tidak menjawab. Namun mereka benar-benar dicengkam oleh suasana yang tegang. Sementara sorak yang gemuruh terdengar di halaman istana.
Pertempuran antara dua kekuatan yang memiliki kelebihan dari prajurit kebanyakan itu benar-benar telah mengguncangkan medan. Prajurit dari pasukan khusus Mataram, pasukan berkuda Pajang yang berpihak kepada Mataram, serta sekelompok prajurit pilihan dari Jati Anom yang dipimpin oleh Sabungsari ternyata merupakan pasukan mengejutkan pasukan pengawal khusus dari Pajang dan Demak. Mereka merasa bahwa mereka tidak akan terkalahkan disegala medan. Namun ketika senjata mereka berb,enturan dengan pasukan terpilih dari Mataram, maka mereka merasa bahwa ternyata ada juga sepasukan prajurit yang memiliki tataran sebagaimana mereka sendiri.
Karena itu, maka para prajurit dari pasukan pengawal khusus Pajang dan . Demak itu harus mengerahkan kemampuan mereka untuk menahan pasukan Mataram yang menyusup.
Namun arus pasukan Mataram benar-benar sulit untuk dibendung. Ketika pasukan khusus sudah berhasil mendorong pertahanan pasukan pengawal khusus Pajang dan Demak, maka para prajurit dari segala unsur yang ada di luar pun telah mendesak masuk pula. Meskipun mereka tidak memiliki kemampuan pasukan khusus, tetapi prajurit-prajurit Mataram adalah prajurit yang berpengalaman. Mereka telah berada dibanyak medan yang keras dan bahkan kasar. Karena itu, maka mereka sama sekali tidak gentar melihat benturan pasukan khusus yang saling memiliki kelebihan itu.
Beberapa kelompok pasukan Mataram berusaha untuk dapat mencapai pintu gerbang disebelah menyebelah yang di hadapi oleh pasukan dari Tanah Perdikan Menoreh dan yang lain pasukan pengawal Kademangan Sangkal Putung, sementara di pintu gerbang belakang pasukan Mataram yang ditarik dari beberapa daerah pengamanan telah siap pula untuk menggempurnya.
Ketika berita bahwa pintu gerbang utama telah dipecahkan, maka semua pasukan pun segera bersiap. Mereka menyerang dengan sengitnya dari luar dinding, dengan harapan bahwa akan datangpasukanMataram yang akan membantu mereka dari dalam dinding dan membuka selarak pintu gerbang.
Namun pasukan pengawal khusus yang memencar itu telah mempertahankan pintu gerbang dari dalam. Karena itu, maka pasukan Mataram yang mengalir kepintu gerbang samping tidak segera dapat membantu membuka selaraknya dari dalam.
Tetapi kehadiran pasukan Mataram dipintu gerbang itu telah membuat pertahanan pasukan Pajang dan Demak menjadi kisruh. Para prajurit Mataram itu telah mempergunakan anak panah pula untuk menyerang para prajurit Pajang dan Demak yang berada di atas dinding sehingga dengan demikian, maka perhatian pasukan Pajang dan Demak benar-benar telah terbagi.
Dalam pada itu, pasukan dari Kademangan Sangkal Putung yang memang tidak mengendorkan serangannya, masih juga menyediakan peralatan mereka. Ketika mereka menyadari, bahwa pasukan Mataram yang memasuki pintu gerbang utama telah mengalir sampai ke balik dinding dihadapan mereka, maka Swandaru memutuskan untuk mempergunakan alat-alat itu kembali.
bersambung
Maturnuwun….