Laman: 1 2
Buku II-90
The URI to TrackBack this entry is: https://adbmcadangan.wordpress.com/buku-ii-90/trackback/
The URI to TrackBack this entry is: https://adbmcadangan.wordpress.com/buku-ii-90/trackback/
Gambar Kulit :
Herry Wibowo
Ilustrasi :
Sudyono
Penerbit :
Kedaulatan Rakyat,
Yogyakarta
Blog di WordPress.com.RSS 2.0Comments RSS 2.0 | Tema: Quentin.
Ronda dulu ahh….
Absen dan antrinya besok aja….
absent
sudah diwedar belum ya ?
hadir…
sinambi dolenan cublek2 suweng
Komen ke2-ku tuk hari ini.
@ki ismoyo, artine keren ki, tp memang dadi ngelu.. Tp lmyn buat bhn pikiran sambil nunggu kereta menuju malang..
Tanda tangan daftar hadir nyi..
Kemana ya ki pls, ki taa, ki banu sama ki truno podang ya?
he he… tumben diajeng nyebut jenengku….
sugeng enjang diajeng….
ono gawe opo kok isuk2 arep truthukan neng malang..??
Trims Nyi 189 nya tunggu 190 nya….
Semoga Arwah saudara2 kita yg menjadi korban di Situ Gintung diterima di tempat terbaik di sisi Nya dan korban yg lain diberikan Nya ketabahan. amien….
Nampaknya tokoh sentra sudah kian menyebar. Mulai dari Untara, AS, K Grgsg, Sw, SM, PW, KGM, K WK…dengan sentara AS. Sekarang sudah mulai bergeser ke GP.
Mungkin SHM sudah kesulitan cari tokoh sakti di Pajang dan Mataram untuk layak diadu vs AS. Juga mungkin masih kesulitan cari jenis ilmu-ilmu lain yang nggegirisi.
Kalau gitu cari tokoh kelas menengah aja biar cukup dilawan SM, GP, SW atau PW.
Kitab 189 paling datar ceritanya rasanya. Sptnya GP dicoba oleh SHM untuk jadi starting point lagi seperti jaman AS baru menapak ilmunya, tapi koq ya tetap GP tidak ‘segreget’ kisah AS dulu. Coba SHM cari musuh perang tanding untuk AS yang sama-sama punya ilmu kebal. Rasanya belum ya ?
We lah .. ngimpi opo aku mau bengi..Jeng Nunik tumben nakok-ke aku… opo sawahe durung ono sing nggarap po?
garing banget ceritanya bbrp jilid terakhir…, bolak balik dengan modus yang sama sekedar buat bertempur tanpa landasan yang kuat kalo mnrt ki shm sendiri sih..,
cm sekedar berlama lama – dan sekedar kejar tayang juga di koran KR…, ga ada yang greget nih…
bersabar sekedar pengen tahu swandaru dihajar as
tapi maklum saat itu sikon emang spt itu…, dari mulai cetak timah sampe cetak modern adbm ngalamin.., cuma memori nya ilang kali.
………zzzzzz…zzzzz…zzzzzzz….
Cublak-cublak suwenge mbah Ismoyo sangat menarik. Ketika kecil saya sering memainkan, tapi sungguh, tidak tahu kalau maknanya bisa sedalam itu. Sebagai anak-anak, kita main ya main saja. Ketika itu, nggak ada juga orang tua yang menafsirkan lagu itu sedemikian.
Tambahan saja, gudél itu bukankah anak kebo? Sedangkan anak sapi, seingat saya istilahnya pedhét.
Ngantri lagi, bulik Seno, Ki GD … Siapa tahu bentar lagi ada dewa nganglang. 🙂
dewo nganglang nggowo bokong kencono …
ngenteni 1.650.000 klix …… nembe diwedar
Kenapa kasus mata2 ini tidak dilaporkan ke Ki Lurah Branjangan? Rasanya kurang pas …
nah betul khan, beberapa jilid ini kurang menarik, kurang menggairahkan, kurang greget tapi tetap bikin grembreget, tetap bikin berharap-harap
ada apa gerangan, sampai jam gini kok belum muncul
jan..jan.. wareg tenan
nembe rapelan ngunduh kitab 166-189
trus nek sasi ngarep rapelan kenaikan gaji.. (PNS mode on)
wah jan mak nyus tenan..
🙂
nyaeee….. threemaa kaseeee….
Matur nuwun Nyi
S.Yah, blusukan itu ‘kan biasa bagi orang yang ngramban (browsing) …
Matur nuwun bulik lan ki GD.
masih garing juga nih…, tapi ma kasih nyai…
trima kasih ….. 190 sudah selesai di download
senkyu nyimas, sugeng sonten.
opo nek retaip isih kudu buking to?
@nunu
lha yang di donlod apane
Waduh mbokDe,, rapelan nya di bagi karo aku tho,,,
Enak tenan,,
sumangga para cantrik ki puput lan ki arief, dipun gatosaken sasmitane senapati : “Halaman retype” , wahyune tumurun wonten sisih mriku.
pancen nyi senapati senengane ndelikno kitab
digawe muter2 sampek puyeng aku
aneh… aku muter2 kok ngak ketemu, ono sing iso paring pepadang?
sampun kepangih, matur nuwun, halaman retype wonten snthong no 2
@sidanti
seperti yg di bilang ” muriadjati”
coba klik halaman lain (gambar peta) lalu cari
“Halaman retype” nah di no kedua tuh
kalo nggak ketemu kamu tanya gurumu si tambak wedi hah hahh hahh ahhhah haha
Matur nuwun Nyimas Senopati, Ki GD sudah
bludusaneh blusukan ke tempat yang dimaksud dan sampun dipun punduti…terima kasih kitabnya nyai seno…
urutan komentare kuwalik… 😀
kitab 190 pundi njih
Klik Halaman Lain -> Klik Halaman Retype (new) -> Klik Halaman 2 -> Nah … ketingal tho?
matur nuwun..
setelah blusukan ke halaman lain terutama halaman retype (new). ketemu dech….
bahasa jowo emang sedep di pelajari lan di maknani
inyong esih bingung gyehhhhhh
gulih nggeseri tikus sampekan alus urung ketemu
jajal dulur di tuduhaken nang sisih ngendi nggone?
Monggo Di unduh Kitab 190
https://adbmcadangan.files.wordpress.com/2009/03/adbm-jilid-190.pptx
https://adbmcadangan.files.wordpress.com/2009/03/adbm-jilid-190.pptx
Enak tenan dadi Agung Sedayu
https://adbmcadangan.files.wordpress.com/2009/03/adbm-jilid-190.pptx
tumut ngantri nggeh, sembari leyeh-leyeh,..
Nunggu rapelan akhir pekan dari Ki Ajar.
Atau yang lain ada yg bantu Ki Ajar ? ;))
Monggo Ki sanak
JILID 190
“YA guru. Karena itu, kita harus bekerja dengan cermat” berkata Agung Sedayu.
Ternyata bahwa orang-orang tua yang berada di rumah Agung Sedayu serta Ki Gede sendiri telah bersedia untuk ikut menangani orang-orang Pajang yang sedang mencari keterangan d: Tanah Perdikan itu. Dengan demikian, maka Agung Sedayu berharap bahwa usahanya akan dapat berhasil. la tidak boleh menganggap orang-orang itu terlalu lemah dan tidak berdaya. Mungkin mereka memiliki kemampuan yang masih tersimpan atau mungkin mereka memang mempunyai kemampuan untuk melepaskan diri dari kemungkinan untuk ditangkap.
Demikianlah, segala sesuatunya telah diatur sebaik-baiknya oleh Agung Sedayu. Tidak banyak orang yang mengetahui rencananya, kecuali orang-orang serumah dan orang yang akan didatangi oleh orang Pajang itu sendiri. Dengan demikian maka Agung Sedayu berharap bahwa orang-orang itu benar-benar akan datang.
Ketika saat itu akhirnya datang juga, Agung Sedayu telah menemui orang yang harus berada di sawahnya ditengah malam itu.
Kepadanya Agung Sedayu berpesan, “Lakukanlah. sebagaimana harus kau lakukan. Jangan memberikan kesan, bahwa kau sudah dibayangi oleh orang-orang Tanah Perdikan Menoreh. Aku akan berusaha menyergap mereka sctelah mereka akan meninggalkanmu. Kau dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka dengan ceritera yang dapat kau khayalkan. Tetapi sebaiknya kau memakai pedoman, sehingga ceriteramu bukan ceritera ngayawara dan bahkan akan dapat menumbuhkan kecurigaan.”
Orang itu mengangguk-angguk. Sementara itu Agung Sedayu telah memberikan beberapa petunjuk untuk menyusun ceritera tentang kekuatan pasukan khusus itu.
“Kau dapat menceriterakan kekuatan yang lebih besar dari kenyataan yang ada di dalam barak itu. Dengan demikian, maka orang-orang itu akan menyampaikan pertimbangan-pertimbangan tertentu apabila terpaksa ada yang lolos dari tangan kita. Sementara Pajang harus berpikir dua tiga kali untuk berani melawan Mataram jika mereka membayangkan bahwa kekuatan Mataram tidak akan terlawan olehnya. Mudah-mudahan di tempat-tempat lain, mereka pun mendapat gambaran yang salah, sehingga mereka tidak akan berani berbuat apa-apa. Dengan demikian akan terhindarlah pertumpahan darah antara Pajang dan Mataram, apabila dengan demikian Pajang tidak akan menolak menyerahkan benda-benda keraton yang seharus¬nya memang berada di Mataram.” berkata Agung Sedayu.
Orang itu mengangguk-angguk. Memang satu tugas yang berat. Tetapi Agung Sedayu telah memberikan petunjuk, apa yang harus dikatakannya kepada orang-orang Pajang itu. Juga tentang kekuatan Tanah Perdikan Menoreh.
Meskipun demikian, ketika matahari semakin turun di sisi Barat orang itu menjadi berdebar-debar. Semakin lama jantungnya serasa semakin cepat berdentang. Apalagi ketika senja mulai turun, rasa-rasanya gejolak di dalam dadanya bagaikan meretakkan tulang-tulangnya.
Sementara itu, Agung Sedayu lah yang telah mulai bergerak bersama Glagah Putih. Ia tidak boleh kehilangan kesempatan. Demikian gelap menyelubungi Tanah Perdikan, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih telah berada dekat dengan tempat yang ditunjukkan oleh orang Tanah Perdikan yang akan didatangi oleh orang-orang Pajang itu.
“Kita akan menunggu di sini sampai tengah malam?” bertanya Glagah Putih.
“Ya.” jawab Agung Sedayu.
“Nyamuknya banyak sekali.” berkata Glagah Putih pula.
“Tidak apa-apa. Kita bersembunyi di sela-sela pohon jarak di silang pematang itu. Orang itu tidak akan melalui silang itu, karena mereka akan menyusuri pematang yang lebih luas itu. Tetapi ingat, yang kita hadapi mungkin orang-orang yang berilmu tinggi, sehingga kita harus sangat berhati-hati.” pesan Agung Sedayu.
“Lalu, Kiai Gringsing, guru dan ayah apakah akan terlibat juga dalam persoalan ini sebagaimana Ki Gede?” bertanya Glagah Putih.
Agung Sedayu mengangguk. Kemudian jawabnya, “Meskipun mereka sudah menyatakan untuk melibatkan diri, tetapi kedudukan mereka berbeda dengan Ki Gede yang memang mengemban kewajiban.”
Glagah Putih mengangguk-angguk pula. Sementara itu, Agung Sedayu pun berkata, “Bahkan mbokayumu Sekar Mirah ingin pula ikut, meskipun sebenarnya ia lebih condong untuk sekedar ingin melihat satu tontonan yang bagus, karena ia tidak sempat ikut, nonton wayang beber di Mataram.”
Glagah Putih tersenyum. Tetapi tidak seorang pun yang akan mencemaskan Sekar Mirah jika ia berada di medan.
“Kapan mereka akan hadir ditempat ini?” bertanya Glagah Putih pula.
“Mereka akan mengambil waktu menjelang tengah malam. Namun agaknya Ki Gede akan mengambil ketentuan lain. Ia akan mengawasi beberapa orang anak muda yang sudah aku tunjuk secara khusus menjelang kita kemari. Anak-anak muda itu akan mengawasi daerah yang cukup luas, agar tidak seorang pun yang akan dapat lolos,” berkata Agung Sedayu.
“Apakah anak-anak muda itu akan mampu mencegah jika ada di antara mereka yang melarikan diri? Bertanya Glagah Putih.
“Mereka akan menahannya barang sejenak, sambil membunyikan isyarat. Nah, kemudian adalah kewajiban kita atau orang-orang tua yang membantu kita untuk mencegah mereka seterusnya” berkata Agung Sedayu.
Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia dapat membayangkan jaring-jaring yang akan dipasang dan akan diawasi langsung oleh Ki Gede karena Agung Sedayu. berada ditempat yang sudah ditentukan untuk bertemu antara orang-orang Pajang dan orang Tanah Perdikan Menoreh yang pernah didatanginya sebclumn,ya itu
Ketika malam merayap semakin dalam, maka jaring-jaring yang dipasang itu pun mulai bergerak. Mereka mulai berada di gardu-gardu di ujung lorong di padukuhan-padukuhan yang menghadap ke arah yang ditentukan. Jika tengah malam tiba, maka mereka harus melakukan tugas mereka sebaik-baiknya. Mereka harus memasuki bulak tanpa diketahui oleh siapa pun juga yang dengan sangat hati-hati, agar mereka tidak justru bertemu dengan orang-orang yang sedang mereka intai.
Namun jika terjadi demikian, maka mereka harus menyatakan diri mereka sebagai petani-petani yang sedang mengatur air bagi sawah-sawah mereka
Hanya jika terpaksa saja, maka akan dapat terjadi benturan kekerasan. Dalam keadaan darurat yang demikian, maka harus dikerahkan semua pengawal untuk mengepung tempat tersebut.
Agung Sedayu yang memberikan keterangan tentang hal itu kepada Glagah Putih itu pun kemudian berkata, “Nah, dalam kemungkinan yang terakhir itu, para pengawal harus mampu mengambil sikap dengan cepat.”
Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi ia yakin,.bahwa di bawah pengawasan langsung Ki Gede, semuanya akan dapat berjalan dengan baik. Prastawa tentu akan membantu Ki Gede dalam pelaksanaan tugas yang berat itu.
Sementara itu, malam pun semakin lama menjadi semakin malam. Glagah Putih mulai menjadi gelisah. Dengan rendah ia berdesis, “nyamuknya bukan main.”
“Bukankah kau tidak akan terluka oleh gigitan nyamuk?” bertanya Agung Sedayu.
“Tetapi gatalnya bukan main. Kau tinggal mengetrapkan ilmu kebalmu, maka gigitan nyamuk itu tidak akan terasa olehmu” berkata Glagah Putih pula.
Agung Sedayu tersenyum. Jawabnya, “Kau ini ada-ada saja Glagah Putih. Tetapi jangan mengira, bahwa tidak ada nyamuk yang mampu menembus pertahanan ilmu kebal.”
Glagah Putih pun tertawa pula. Namun Agung Sedayu segera berdesis, “Jangan ribut. Bukankah kita sedang menunggu?”
Glagah Putih segera terdiam. Namun tangannya masih saja sibuk mengusir nyamuk yang berterbangan disekitarnya.
Tetapi ternyata bahwa Glagah Putih masih harus menunggu. Bahkan kemudian ia sudah mulai dijalari oleh perasaan jemu. Namun ia sadar, bahwa ia harus menunggu sampai tengah malam.
Dalam pada itu, degup jantung Glagah Putih menjadi semakin cepat ketika ia mendengar seseorang mendehem. Kemudian dalam keremangan malam ia melihat seseorang berj alan menyusuri pematang.
Glagah Putih menggamit Agung Sedayu. Namun Agung Sedayu berdesis, “Bukankah orang itu orang Tanah Perdikan ini.”
“O, Ya” Glagah Putih pun kemudia mengangguk-angguk. Orang itu adalah orang Tanah Perdikan yang akan didatangi oleh kedua orang Pajang itu.
Namun mereka pun tidak berbicara lagi. Mereka berusaha menempatkan diri mereka sebaik-baiknya. Sebentar lagi, tengah malam akan tiba, sehingga orang-orang Pajang itu pun tentu akan segera datang.
Dengan jantung yang berdebar-debar, Glagah Putih pun menunggu dengan tegang. Saat-saat yang ditunggu itu rasa-rasanya mendekat dengan sangat lambannya.
Namun sejenak kemudian, maka Agung Sedayu mulai beringsut. Glagah Putih memnperhatikannya dengan tegang: Sementara Agung Sedayu nampaknya berusaha untuk memandang kekejauhan.
“Apa yang kau lihat?” bertanya Glagah Putih yang hanya melihat keremangan malam dimana-mana.
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia tengah mengerahkan kemampuannya untuk melihat pada jarak yang lebih jauh dari penglihatan mata wadag. Dengan kemampuan aji Sapta Pandulu ternyata Agung Sedayu melihat sekelompok kecil orang yang berjalan mendekati tempatnya, menyusuri jalan pematang. Tidak hanya dua orang, tetapi lima orang.
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Justru karena ia melihat lima orang yang berjalan mendekati tempat yang ditentukan, maka ia menjadi curiga. Apakah tidak ada orang lain kecuali lima orang itu.
Dengan mengerahkan kemampuan aji Sapta Pandulu, maka Agung Sedayu melihat berkeliling. Ternyata ia masih melihat dua orang lagi yang berdiri temangu-mangu di simpang empat dan tidak ikut bersama kelima orang kawannya.
Agung Sedayu kemudian menyadari, bahwa kedua orang yang pernah datang dan bertemu dengan Glagah Putih itu tentu menjadi curiga. Ia memperhitungkan kemungkinan hadirnya Glagah Putih lagi dan bahkan mungkin para pengawal yang lain. Karena itu, maka orang itu pun telah membawa sejumlah kawannya yang akan dapat membantunya.
Dengan cermat Agung Sedayu kemudian memperhatikan kelima orang yang masih melangkah terus. Ternyata mereka pun telah memisahkan diri. Dua orang di antara mereka berjalan terus, sementara yang lain meloncati parit dan mulai menyusuri pematang menuju ke tempat yang ditentukan.
Agung Sedayu mulai menjadi berdebar-debar. Ia pun kemudian memberi isyarat Glagah Putih yang agaknya telah melihat ketiga orang itu pula.
Orang Tanah Perdikan Menoreh yang menyatakan kesediaannya untuk memberikan keterangan itu pun menyambut mereka.
“Ternyata kalian datang tepat pada waktunya” berkata orang Tanah Perdikan itu.
“Kami tidak pernah ingkar kepada janji yang sudah kami buat” jawab salah seorang di antara mereka yang kemudian berhenti dan berdiri di sebelah orang Tanah Perdikan itu. Namun dua orang yang lain ternyata telah meloncat dan melangkah terus menyusuri pematang.
“Mereka mau ke mana?” bertanya orang Tanah Perdikan itu.
Yang ditanya itu pun tertawa. Katanya, “Aku pernah bertemu dengan seorang pengawal Tanah Perdikan ini yang memiliki ilmu yang cukup seperti yang bernah aku katakan lebih baik kawan-kawanku mengamati keadaan daripada kami kali ini terjebak di Tanah Perdikan ini.
Orang Tanah Perdikan itu menarik nafas dalam-dalam.
Hampir di luar sadarnya ia memandang berkeliling sambil bergumam Tidak ada orang yang tahu kehadiranmu kecuali jika kau memasuki Tanah Perdikan ini melewati jalan-jalan padukuhan dan berjalan di depan gardu-gardu peronda.
“Tidak seorang pun Yang melihat kami lewat. Para petani di sawah mereka pun, jika ada, tentu tidak melihat kami.” berkata orang itu.
“Mudah-mudahan”berkata orang Tanah Perdikan itu, “jika ada orang yang memelihatnya, maka akulah yang besok akan digantung di halaman banjar padukuhan induk dan diperlihatkan kepada orang-orang Tanah. Perdikan ini.”
“Sebagian juga tergantung kepadamu sendiri jawab orang Pajang itu jika kau teguh memegang rahasia, maka kau tidak akan mengalami kesulitan sehingga kau akan dapat menikmati hasil jerih payahmu. Nah, kita duduk sekarang. Aku ingin mendengar keteranganmu.
Orang Tanah Perdikan itu termangu-mangu. Dua orang yang semula berjalan bersama orang yang kemudian duduk bersamanya itu sudah tidak terlihat lagi olehnya. Demikian juga orang-orang yang lain lagi.
Hanya Agung Sedayu sajalah yang dapat melihat mereka. Orang-orang yang memencar itu telah berdiri di simpang simpang jalan untuk mengawasi keadaan.
Namun Agung Sedayu yang bersembunyi tidak terlalu jauh dari tempat pertemuan itu, harus sangat berhati-hati. Ia sadar, bahwa orang yang datang itu adalah orang yang pernah disebut oleh Glagah Putih, sehingga mereka memiliki ilmu yang harus diperhitungkan.
“Paling sedikit mereka datang bertujuh”berkata Agung Sedayu didalam hatinya, “bahkan mungkin lebih banyak lagi. Agaknya keterangan tentang pasukan khusus Mataram dan Tanah Perdikan ini merupakan keterangan yang dianggap sangat penting oleh Pajang.”
Sementara itu, orang Tanah Perdikan Menoreh dan orang Kepandak yang bekerja untuk Pajang itu telah duduk di pematang.
Dengan nada yang bersungguh-sungguh orang yang bekerja untuk Pajang itu pun bertanya, “Kau sudah mendapatkan keterangan yang pasti?”
“Hampir pasti” jawab orang Tanah Perdikan itu.
“Kenapa hampir?” bertanya orang yang datang kepadanya.
“Tentu jawabku tidak tepat benar. Mungkin ada selisihnya serba sedikit. Tetapi mudah-mudahan keterangan yang aku dapatkan dari kawan-kawanku yang ikut memimpin pasukan khusus itu, yang sebagian besar sama dengan keterangan para penjual bahan makanan bagi barak itu dan yang juga aku sesuaikan dengan hasil pengamatanku sendiri, tidak jauh dari kenyataan. “Nah, sekarang katakan” berkata orang yang bekerja bagi Pajang itu.
Orang Tanah Perdikan itu menarik nafas dalam-dalam.
Namun ia pun kemudian mulai menguraikan tentang keadaan barak pasukan khusus Mataram yang berada di Tanah Perdikan itu.
Dengan petunjuk dari Agung Sedayu, maka keterangan orang itu seakan-akan benar-benar sesuai dengan apa yang ada di barak itu. Orang itu menyebut hampir terperinci darimana saja anak-anak muda yang berada di barak itu. Jumlahnya dalam dugaan yang telah besar dari kebenaran. Para perwira dan seorang Senapati yang menentukan. Ki Lurah Branjangan.
Orang yang bekerja untuk Pajang itu mengangguk-angguk. Keterangan itu masuk di akalnya, sehingga seakan-akan ia benar-benar melihat kekuatan pasukan itu yang sebenarnya.
“Tetapi Agung Sedayu dan Sekar Mirah, bukan tenaga yang sekarang masih ikut menentukan” berkata orang itu kemudian.
Orang yang bekerja untuk Pajang itu masih saja mengangguk-angguk. Namun kemudian ia pun berkata, “Tetapi meskipun Agung Sedayu dan isterinya tidak lagi bekerja untuk Mataram di pasukan khusus itu, bukankah ia masih berada di Tanah Perdikan ini?”.Jika Tanah Perdikan ini kemudian mengerahkan pasukan pangawalnya untuk membantu Mataram, maka ia pun akan hadir juga di medan. Tetapi jika benar dugaanmu, bahwa yang sepuluh hari yang lalu bertemu dengan aku adalah Agung Sedayu, maka ternyata kebesaran namanya adalah terlalu berlebih-lebihan.
“Mungkin memang demikian. Tetapi bagi Tanah Perdikan ini, kemampuan Agung Sedayu tidak ada duanya” jawab orang Tanah Perdikan itu.
“Bagaimana dengan Ki Gede sendiri?” bertanya orang yang bekerja untuk Pajang itu.
“Tentu saja masih lebih besar nama Agung Sedayu bagi orang Mataram” jawab orang Tanah Perdikan itu, “tetapi kemampuan sebenarnya aku mempunyai dugaan, bahwa Ki Gede tidak kalah garangnya dari Agung Sedayu.”
Orang yang datang itu pun kemudian bertanya, “Bagaimana dengan Tanah Perdikan ini sendiri?”
Orang Tanah Perdikan itu pun kemudian menguraikan pula kekuatan yang ada di Tanah Perdikan. Sebagaimana dipesankan oleh Agung Sedayu, ia pun menceriterakan kekuatan Tanah Perdikan melampaui yang sebenarnya. Jika ia memperkecil arti Agung Sedayu, karena ia sudah terlanjur menyebut orang muda yang ditemuinya mungkin adalah Agung Sedayu, maka ia telah memperbesar arti Ki Gede sendiri.
Orang yang bekerja untuk Pajang itu mengangguk-angguk. Keterangan orang itu tentang Tanah Perdikannya masuk pula diakal orang yang datang itu.
Namun dengan demikian, hampir di luar dugaan ia berkata, “ternyata kekuatan di barak pasukan khusus dan Tanah Perdikan ini jauh melampaui dugaanku.”
“Kau melihat Tanah Perdikan ini terlalu kecil” berkata orang Tanah Perdikan itu.
Namun dengan demikian orang itu merasa, bahwa keterangannya telah mampu mempengaruhi tanggapan orang Kependak itu atas kekuatan yang ada di Tanah Perdikan itu. Dengan demikian, jika orang itu lolos, maka keterangannya akan dapat menyesatkan perhitungan orang-orang Pajang, sehingga untuk melawan Mataram, mereka harus membuat perhitungan dua tiga kali lagi.
Tetapi meskipun demikian, ia masih berharap, bahwa tidak seorang pun yang akan dapat lolos. Karena jika demikian, maka keluarga isterinya di Kepandak sanak kadang isterinya di Kepandak itu masih juga mempunyai hubungan darah dengan orang itu sendiri.
Untuk sesaat orang Kepandak yang bekerja untuk Pajang itu termangu-mangu. Seolah-olah ia sedang mencerna apa yang telah didengarnya dari orang Tanah Pcrdikan itu.
Dalam pada itu, maka orang Tanah Pcrdikan itu pun kemudian berkata, “Nah, bukankah aku sudah memenuhi janjiku. Sejauh dapat aku lakukan, aku sudah melakukannya. Memang mungkin tidak tepat benar seperti seseorang yang menghitung kelungsu dalam permainan dakon. Tetapi aku kira, apa yang aku katakan itu mendekati kebenaran.”
Orang Kepandak itu mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Kau sudah mengatakannya. Terima kasih. Dengan demikian kau sudah bekerja dengan baik untuk Pajang sebagaimana aku lakukan, meskipun aku orang Kepandak yang berada jauh lebih dekat dengan Mataram daripada dengan Pajang. Tetapi orang-orang Kepandak nampaknya tidak begitu tertarik untuk berkiblat kepada Mataram.”
Orang Tanah Perdikan Menoreh itu termangu-mangu. Tetapi ia tidak membantah apa pun yang dikatakan oleh orang Kepandak yang bekerja untuk Pajang itu, meskipun ia yakin, bahwa yang dikatakan bahwa seolah-olah orang-orang Kepandak lebih dekat dengan Pajang itu tidak benar. Di barak pasukan khusus itu terdapat beberapa orang anak muda dari Kepandak dan dari Mangir. Mereka adalah anak-anak muda yang terpilih. Baik memampuannya maupun keteguhan hatinya.
Namun yang dikatakan oleh orang Tanah Perdikan Menoreh itu kemudian adalah, “Nah, jika aku sudah memenuhi janjiku, bukankah menjadi kewajibanmu untuk memenuhi janjimu?”
“Janjiku apa?” bertanya orang yang datang itu.
“Upah bagi jerih payahku.” jawab, orang Tanah Perdikan itu.
“Upah?” bertanya orang Kepandak yang bekerja untuk Pajang itu dengan nada tinggi.
“Ya. Bukankah kau menjanjikan upah untuk aku dan isteriku? Bukankah kau pernah mengatakannya, bahwa tidak ada hubungan apa pun juga, sudah sewajarnya kau memberi sesuatu buat isteriku, karena dalam hubungan darah, kau adalah orang yang lebih tua dari isteriku?” jawab orang Tanah Perdikan itu.
Tetapi, orang Pajang itu tertawa. Katanya, “Aku salah hitung. Kau merupakan orang yang berbahaya bagiku. Kau akan dapat menyebut namaku bagi Mataram sehingga Mataram akan dapat bertindak atas keluargaku di Kepandak.”
“Aku tidak gila” sahut orang Tanah Perdikan, itu, “apakah aku akan menjerat leherku sendiri?Jika rahasia ini diketahui oleh Tanah Perdikan Menoreh, maka aku tentu akan digantung.”
“Untuk mendapatkan upah, kau sudah bersedia mengkhianati Tanah kelahiran yang menjadi alas hidupmu. Apalagi berkhianat terhadapku. Aku memang mempunyai hubungan darah dengan isterimu, tetapi sudah terlalu jauh untuk dianggap sebagai orang-orang terdekat di dalam hidupmu. Karena itu, maka pada suatu saat, kau tentu akan berkhianat pula kepadaku. Seandainya Tanah Perdikan ini mengumumkan hadiah sejumlah uang bagi mereka yang dapat menunjukkan orang yang telah melakukan tugas sandi di Tanah Perdikan ini”
Wajah orang Tanah Perdikan itu menjadi pucat. Ia sadar, apa yang dapat terjadi atasnya. Namun ia masih berusaha untuk mengelak. Katanya, “Bagaimana mungkin Tanah Perdikan ini akan mengumumkan hadiah itu. Tidak seorang pun yang mengetahui apa yang telah terjadi. Tidak seorang pun yang tahu, bahwa rahasia kekuatan barak pasukan khusus dan Tanah Perdikan ini telah sampai ke Pajang.”
Tetapi orang itu tertawa. Katanya, “Mungkin hari ini tidak ada yang mengetahuinya. Tetapi siapa tahu bahwa sumber pengkhianatan itu ada di Pajang sendiri. Bahwa ada orang yang telah berhasil mengetahui rahasia kekuatan barak pasukan khusus itu dan Tanah Perdikan ini, sehingga mereka akan sampai pada suatu kesimpulan, tentu ada petugas sandi yang pernah berada di Tanah Perdikan ini.”
“Angan-anganmu terlalu berbelit-belit. Kau dapat saja menduga-duga menurut keinginanmu. Tetapi itu tidak masuk akal” jawab orang Tanah Perdikan itu. Namun kemudian katanya, “Tetapi baiklah kita kembali kepada perjanjian kita. Seharusnya perhitungan seperti itu sebaiknya kau kemukakan sebelum kita membuat perjanjian. Karena perjanjian di antara kita sudah terjadi, maka kita masing-masing terikat untuk memenuhi perjanjian itu, sebagaimana aku lakukan. Aku telah memberikan keterangan sebagaimana kau kehendaki.”
“Apa artinya perjanjian itu bagiku?” tiba-tiba saja orang itu bertanya sambil tertawa.
Orang Tanah Perdikan itu rnenjadi tegang Katanya, “Kita harus memenuhi perjanjian itu.”
Orang itu tertawa semakin keras. Katanya, “Kawan-kawanku berada di sekitar tempat ini. Jika; kau berkhianat atau ada orang lain yang melihat pertemuan ini, maka kawan-kawanku akan membereskannya. Karena itu, kau tidak mempunyai kesempatan apa pun juga. Juga kau tidak akan mempunyai kesempatan untuk menuntut hakmu atas dasar perjanjian kita.” orang itu berhenti sejenak. Lalu ditepuknya pundak orang Tanah Perdikan itu, “aku memang menjual keterangan ini kepada orang-orang Pajang dengan harga yang mahal. Tetapi aku akan memliki uang itu sendiri. Buat apa aku harus membagi uang itu dengan kau?”
“Gila” geram orang Tanah Perdikan itu, “kau telah menipu aku. Kau kira aku akan membiarkan diriku tertipu? Jika kau tidak mau menepati perjanjian yang telah kita buat, maka aku akui benar-benar membuat laporan tentang kau. Dan kau akan tahu artinya bagi. Keluargamu di Kepandak.”
Orang Kepandak yang berhubungan dengan Pajang itu masih saja tertawa. Katanya, “Kau membuat dirimu sendiri semakin sulit. He, dengar, memang sudah menjadi rencanaku untuk membungkammu. Tidak hanya untuk sesaat, tetapi untuk selama-lamanya.”
“Apa maksudmu?” bertanya orang Tanah Perdikan itu.
“Aku akan membunuhmu. Kemudian aku akan membawa isterimu kembali ke Kepandak. Aku ingin mengawinkannya dengan adikku. He, kau ingat, bahwa adikku ingin mengambilnya sebagai isterinya, tetapi kau berhasil mendahuluinya.”
“Gila. Itu perbuatan gila. Kau sudah mengingkari janji, kemudian kau ingin membunuhku. Kau kira kau akan dapat berbuat sewenang-wenang. Selagi cacing tanah pun akan menggeliat jika terpijak kaki. Apalagi aku.” orang Tanah Perdikan itu segera bergeser menjauh.
Orang Kepandak yang bekerja untuk Pajang itu tertawa. Katanya kemudian, “Kaulah yang sudah gila. Kau kira, kau akan dapat melepaskan dirimu dari tanganku.”
“Aku akan berteriak” ancam orang Tanah Perdikan itu.
“Berteriaklah. Tidak akan ada orang yang mendengar, Seandainya ada juga orang yang ada di sawah dan mendengar suaramu, maka kau hanya akan menambah kematian saja. Sebaiknya kau menyadari keadaannya. Karena itu, kau jangan mengundang orang lain untuk ikut mati bersamamu. Karena dengan demikian, kau hanya akan menambah dosamu saja, karena kematian orang itu adalah tanggungjawabmu.” jawab orang Kepandak itu sambil tertawa.
“Aku dapat melawanmu tanpa bantuan orang lain” jawab orang Tanah Perdikan itu.
“O” orang itu tertawa semakin keras, “kau dengar suara tertawaku? Tidak seorang pun yang mendengarnya. Dan kau tahu bahwa kau rangkap sepuluh tidak akan dapat membebaskan dirimu dari tanganku. Nah, karena itu, maka lebih baik kau pasrah saja akan nasibmu yang buruk. Kau akan mati dengan tenang. Dan itu lebih baik daripada kau mati dalam keadaan yang paling buruk.”
Sebenarnyalah orang Tanah Perdikan itu menjadi gemetar. Bagaimanapun juga ia berusaha untuk tabah, namun ia merasa bahwa ia bukan seorang yang memiliki kemampuan olah kanuragan. Karena itu, maka harapannya satu-satunya adalah kesanggupan Agung Sedayu untuk melindunginya.
Tetapi orang itu tidak melihat seorang pun yang membayanginya, sehingga jika orang Kepandak itu benar-benar membunuhnya, maka ia akan mati di pematang, sehingga Agung Sedayu hanya akan dapat menemukan mayatnya.
“Apakah orang-orang Tanah Perdikan ini memang merelakan aku dibunuh karena pengkhianatanku, sehingga dengan demikian maka hukuman yang paling pantas atasku justru telah dilakukan oleh orang lain?” berkata orang itu di dalam hatinya.
Justru karena orang itu termangu-mangu, rnaka orang Kepandak itu pun kemudian berkata, “Berjongkoklah. Aku akan memenggal kepalamu. Satu cara yang paling baik untuk mati tanpa merasa sakit sedikit pun”
Kulit orang Tanah Perdikan itu meremang. Sangat mengerikan. Namun demikian, ia berusaha untuk memperpanjang waktu, dengan satu harapan, orang-orang yang akan membayanginya akan datang menolongnya. Karena itu, maka katanya, “Kau jangan meremehkan kemampuanku.”
Tetapi orang Kepandak itu sama sekali tidak terpengaruh. Bahkan ia berkata, “Kau kira aku mengenalmu he? Sekarang, jangan banyak cakap lagi. Bersedialah untuk mati. Jika kau memang ingin melawan, lakukanlah. Kau tidak akan mampu bertahan sepenginang,”
Orang Kepandak itu pun kemudian telah bersiap. Ia benar-benar ingin membunuh. Selain untuk menghilangkan jejak, maka ia memang tidak ingin membagi uang yang diterima dari Pajang. Apalagi karena ia sudah membawa beberapa orang kawannya, yang tentu akan mengurangi upah yang diterimanya juga.
Orang Tanah Perdikan Menoreh itu benar-benar telah menjadi ketakutan bagaimanapun juga ia berusaha menyembunyikannya. Sementara itu ia masih belum melihat seorang pun yang mungkin akan dapat menolongnya.
Namun ia tidak ingin berjongkok sambil menundukkan kepalanya dan membiarkan orang Kepandak itu menebas lehernya sampai putus. Dalam keputusasaan ia telah bertekad untuk mati dengan sikap seorang laki-laki.
Karena itu, maka ia pun telah menggenggam sabitnya. karena ia memang tidak membawa apa pun juga kecuali sabit itu.
Glagah Putih yang menyaksikan semua itu dari tempat persembunyiannya menjadi tidak sabar. Tetapi ketika ia beringsut, maka Agung Sedayu telah menggamitnya sambil berdesis, “biarlah orang itu melawannya.”
“Ia akan dengan segera mati” sahut Glagah Putih.
“Tenanglah. Marilah kita bermain-main. Terhadap orang yang demikian, kita tidak perlu bersikap sungguh-sungguh.” berkata Agung Sedayu kemudian.
“Apa maksudmu kakang?” Glagah Putih mendesak. Tetapi Agung Sedayu tidak menjawab. Dalam keremangan malam Glagah Putih melihat kakak sepupunya itu tersenyum.
Sementara itu, orang Kepandak yang ingin membunuh setelah ia mendapat keterangan yang diperlukan, benar-benar menjadi marah. Orang Tanah Perdikan itu akan melawannya meskipun hanya memegang sebuah sabit pemotong rumput. Karena itu, maka katanya, “Kau akan menyesali tingkah lakumu pada saat-saat kematianmu datang. Justru dalam keadaan yang sangat pahit.”
Tetapi orang Tanah Perdikan itu sudah benar-benar bertekad untuk mati sebagai seorang laki-laki, justru karena ia sudah menjadi putus asa.
Karena itu, maka orang Tanah Perdikan itu pun menggeram, “Persetan dengan kau.”
“Aku akan mencincangmu, memotong-motong tubuhmu sebelum kau mati. Kau harus merasakan, bagaimana sakitnya orang yang tidak bertelinga, kemudian tidak bertangan dan tidak berkaki: Jika kau ingin menjadi pahlawan, maka lakukanlah sebagaimana pernah dilakukan oleh Kumbakarna dalam dunia pewayangan, yang tubuhnya terpotong-potong dimedan sebelum ia mati.”
Jantung orang Tanah Perdikan itu menjadi semakin cepat berdentang. Sebelum orang Kepandak itu berbuat sesuatu, rasa-rasanya tulang-tulangnya telah berpatahan.
Orang Kepandak itu agaknya tidak mau membuang-buang waktu lagi. Ia ingin cepat menyelesaikan tugasnya, kemudian meninggalkan Tanah Perdikan itu sebelum seorang pun melihatnya.
Dengan demikian, maka dengan suara berdesing, orang Kepandak itu telah mencabut pedangnya. Pedang yang besar dan panjang. Tajamnya nampak berkilat-kilat memantulkan cahaya bintang-bintang yang bergayutan dilangit.
Sambil mengacukan pedangnya ia melangkah maju. Kemudian memutar pedangnya kearah telinga orang Tanah Perdikan itu sambil berkata, “Jika kau berusaha mengelak, maka mungkin matamu lah yang akan tertusuk ujung pedangku. Karena itu, diam sajalah, biar aku dapat tepat mengenai telingamu dan memutuskan tangkainya.”
Orang Tanah Perdikan yang putus asa itu telah mengacukan sabitnya pula. Ia tidak tahu bagaimana melawan pedang panjang dan besar dengan sebuah sabit. Tetapi ia pun tidak mau membiarkan telinganya di potong oleh orang Kepandak itu.
Dengan wajah yang bengis orang Kepandak itu siap untuk mengulurkan pedangnya. Ia tidak menghiraukan sabit ditangan orang Tanah Perdikan itu,karena sabit itu tidak akan mampu dipergunakan untuk mencegah juluran ujung pedangnya.
Namun dalam pada itu, ketika ia berusaha untuk menjulurkan pedangnya, tiba-tiba saja terasa tubuhnya bagaikan terguncang. Perasaan sakit telah menyengat lengannya yang terjulur itu sehingga tangannya tidak mampu lagi mengangkat pedangnya.
Karena itu, maka ujung pedang itu perlahan-lahan telah menunduk.
Pada saat yang demikian, orang Tanah Perdikan itu menjadi termangu-mangu. Ia benar-benar telah berputus asa dan seakan-akan ia hanya dapat menunggu saat kematiannya yang mengerikan, betapa pun ia, akan tetap berusaha memberontak.
Namun ia menjadi heran melihat sikap orang Kepandak. Orang itu nampaknya menjadi bingung.
Dalam keadaan yang demikian, justru dalam keputus-asaannya orang Tanah Perdikan itu telah memukul pedang yang mulai menunduk itu dengan sabitnya.
Yang terjadi benar-benar mengherankan. Orang Tanah Perdikan itu sendiri tidak percaya apa yang dilihatnya. Ujung Pedang itu bagaikan terayun tanpa dapat ditahan lagi. Demikian kerasnya, sehingga pedang itu justru terlepas dari tangan orang Kepandak itu.
“Gila” geram orang Kepandak yang kebingungan. Namun dengan tangkasnya ia meloncat dan memungut pedangnya dengan tangan kirinya.
“Iblis manakah yang telah membantu dengan ilmu gila itu?” geram orang Kepandak itu.
Orang Tanah Perdikan itu sendiri menjadi bingung. Sementara itu kemarahan orang Kepandak itu telah membakar jantungnya. Apalagi ketika terasa tangan kanannya yang kesakitan itu telah berangsur sembuh.
“Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan tanganku” berkata orang Kepandak itu, “tetapi sekarang, tanganku sudah baik dan aku akan uapat mencincangmu sampai lumat.”
Orang Tanah Perdikan itu merasa tidak mempunyai harapan lagi. Ternyata yang dijanjikan oleh Ki Gede dan Agung Sedayu untuk membayanginya dan menangkap orang Kepandak itu tidak dilakukan. Bahkan mungkin dengan sengaja mereka membiarkannya terbunuh, baru mereka akan menangkap orang Kepandak itu.
Namun dalam pada itu, ketika orang Kepandak itu melangkah maju dengan pedang teracu, maka yang kemudian terasa sakit bukan hanya sekedar tangannya. Tetapi isi dadanya serasa bagaikan diremas, sehingga karena itu, maka orang itu pun telah melangkah surut. Sambil menyeringai menahan sakit ia berusaha melindungi dadanya. Namun perasaan sakit itu masih tetap menusuk-nusuk dengan tajamnya, sehingga orang Kepandak itu terbungkuk-bungkuk kesakitan.
“O, anak iblis” orang itu berteriak.
Orang Tanah Perdikan yang menyaksikan orang Kepandak itu kesakitan menjadi heran. Ia tidak mengerti apa yang telah terjadi .
Namun sementara itu, Glagah Putih yang mengetahui keadaan orang Kepandak itu berdesis, “Kakang masih saja bermain-main. Kakang, serahkan saja orang itu kepadaku. Aku akan menyelesaikannya. Sementara itu, akan datang kawannya, Nah, terserahlah kepada kakang.”
“Kita sebaiknya datang bersama-sama” berkata Agung Sedavu.
Glagah Putih tidak menunggu lagi. Dengan tangkasnya ia telah bangkit dan meloncat keluar dari persembunyiannya. Namun sementara itu Agung Sedayu masih berdesis, “Kita akan menangkapnya hidup-hidup.”
Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia menyadari, bahwa ia memang harus menangkap orang itu hidup-hidup.
Munculnya dua orang dari balik gerumbul itu telah mengejutkan orang Kepandak yang kesakitan. Namun orang Kepandak itu menjadi heran, bahwa perasaan sakitnya tiba-tiba telah lenyap. Daya tahannya yang cukup kuat telah metepaskannya dari sisa-sisa perasaan sakitnya.
Dalam pada itu, orang Tanah Perdikan yang sudah menjadi putus-asa itu pun terkejut. Ia melihat dua orang dengan cepat melangkah mendekatinya. Namun dalam keremangan malam, ia tidak segera dapat mengenali siapakah kedua orang itu.
Namun dalam pada itu, orang Kepandak yang merasa terganggu oleh kehadiran kedua orang itu telah berpikir dengan cepat. Ia masih mempunyai kesempatan untuk menjangkau orang Tanah Perdikan itu dengan pedangnya. Dengar, demikian, maka ia akan membunuh orang Tanah Perdikan itu dan untuk seterusnya, orang itu tidak akan dapat berbicara tentang dirinya.
Karena itu, maka ia pun berusaha untuk bergerak dengan cepat. Dengan sigapnya ia telah bersiap untuk meloncat dengan pedang terjulur lurus mengarah jantung.
Tetapi ternyata Agung Sedayu telah memperhitungkan kemungkinan itu. Karena itu, demikian orang Kepandak itu bersiap untuk meloncat, maka kedua kakinya terasa bagaikan menjadi lumpuh. Perasaan sakit yang tiada taranya telah mencengkam tulang-tulang kakinya itu, sehingga hampir saja ia justru terjatuh karena kehilangan keseimbangannya.
Namun perasaan sakit itu hanya terasa sekilas. Sebelum ia terjatuh, maka perasaan sakit itu telah lenyap.
Tetapi kesempatan untuk melakukan niatnya, membunuh orang Tanah Perdikan itu telah lenyap, karena Glagah Putih tiba-tiba saja telah meloncat mendekatinya dengan pedang ditangan pula.
Justru karena itu, maka sadarlah orang Kepandak itu, bahwa ada pihak lain yang telah mengganggunya sehingga ia tidak segera berhasil membunuh orang Tanah Perdikan yang dicemaskannya akan dapat banyak berbicara tentang dirinya dan sudah barang tentu tentang keluarganya di Kepandak.
“Anak iblis” geram orang Kepandak itu, “jadi kalianlah yang telah mengganggu aku sejak tadi?”
Glagah Putih yang meniawab, “Aku akan menghadapimu.”
“Kalian licik. Kalian hanya berani menyerangku sambil bersembunyi” geram orang itu.
“Maaf Ki Sanak” jawab Agung Sedayu, “aku tidak ingin berbuat licik sebagaimana kau tuduhkan. Tetapi aku sekedar mencegahmu untuk berbuat sewenang-wenang. He, kau tahu bahwa saudaramu dari Tanah Perdikan ini adalah seorang petani lugu yang barangkali tidak pernah bermimpi untuk berkelahi? Tetapi kau telah memaksanya untuk melakukannya, sehingga dengan demikian maka yang terjadi tentu bukan sebuah perkelahian, tetapi pembunuhan yang semena-mena.”
“Persetan” orang Kepandak itu justru membentak, “kenapa kau turut campur?” Persoalan kami adalah persoalan keluarga. Adalah hak kami untuk menyelesaikan persoalan kami tanpa campur tangan orang lain.”
“Jangan memperbodoh kami” jawab Glagah Putih yang tidak sabar, “kau kira kami tidak tahu apa yang telah kau lakukan di sini sejak kita bertemu beberapa saat yang lalu? Apalagi setelah kami mengetahui bahwa kau telah ingkar janji. Setelah kau menyadap keterangan yang kau perlukan, maka kau justru berusaha untuk membunuh seseorang yang telah membuat satu perjanjian denganmu, bahwa seharusnya ia menerima sebagian dari upah yang kau terima dari Pajang. Tetapi agaknya kau juga mempunyai tujuan lain. Dengan demikian kau akan menghapuskan jejak perbuatanmu. Perbuatan yang terkutuk itu. Kau harus menyadari, bahwa yang kau lakukan itu adalah pengkhianatan ganda. Kau telah berkhianat terhadap Mataram dan kemudian kau telah berkhianat pula kepada seseorang yang masih mempunyai sangkut paut dan hubungan darah.”
Orang Kepandak itu menjadi gemetar menahan kemarahan yang memuncak. Kata-kata Glagah Putih itu bagaikan bara yang telah menyentuh telinganya. Karena itu, maka ia pun menggeram, “Ternyata kaulah yang lebih pantas untuk dibunuh lebih dahulu daripada orang cengeng ini. He, apakah benar kau bernama Agung Sedayu?”
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Dengan nada tinggi ia justru bertanya, “Kenapa kau menyangka bahwa aku bernama: Agung Sedayu? Bukan. Aku bukan Agung Sedayu. Sebelum kau tertangkap kau boleh mengetahui namaku. Aku adalah Glagah Putih. Orang yang berdiri di belakangku itulah Agung Sedayu. Kakak sepupuku.”
Jantung orang itu menjadi berdebar-debar. Ternyata anak muda yang memiliki kemampuan yang tinggi itu bukan Agung Sedayu. Bahkan di tempat itu telah hadir pula Agung Sedayu yang sebenarnya.
Dalam waktu yang pendek itu, ia sempat membuat pertimbangan. Jika Glagah Putih yang lebih muda dari Agung Sedayu mampu mengalahkannya dalam perkelahian seorang lawan seorang, maka Agung Sedayu tentu akan dapat berbuat lebih baik daripadanya. Karena itu, maka orang itu pun yakin, yang telah mempermainkannya dengan ilmu iblis itu Agung Sedayu yang sebenarnya.
Dengan demikian maka orang itu pun segera menyadari, hahwa ia tidak akan dapat berbuat apa-apa menghadapi kedua orang saudara sepupu itu. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia telah meletakkan tangannya di mulutnya.
Sejenak kemudian telah terdengar suitan nyaring. Orang Kepandak itu telah memberikan isyarat kepada kawan-kawannya, bahwa bahaya yang sebenarnya telah mengintai mereka.
“Kau panggil kawan-kawanmu?” bertanya Agung Sedayu., “Apa pedulimu?” bentak orang itu.
“Sepenglihatanku, kau datang bertujuh. Bahkan mungkin masih ada lagi kawanmu yang lain yang tidak aku lihat” berkata Agung Sedayu.
Orang Kepandak itu termangu-mangu. Bagaimana mungkin Agung Sedayu dapat melihat ketujuh orang yang datang bersamanya.
“Mungkin ia melihat sejak kami datang” berkata orang itu didalam hatinya, “baru kemudian ia menyelinap kepersembunyiannya itu.”
Tetapi itu tidak penting. Sejenak kemudian terdengar suitan yang lain sebagai jawaban, bahwa kawan-kawannya telah bersedia menghadapi segala kemungkinan.
“Jangan menyesal” berkata orang Kepandak itu, “kalian semua akan mati. Para pengawal Tanah Perdikan ini yang turut campur dalam persoalan ini pun akan mati. Kawan-kawanku yang datang bersamaku adalah orang-orang yang berilmu tinggi, yang sudah menyediakan diri untuk berpihak kepada Pajang dan akan bertindak dengan tegas sampai tugas ini selesai dengan tuntas.”
“Persetan” Glagah Putihlah yang menyahut, “bersiaplah. Kita akan bertempur. Kita lanjutkan perkelahian kita yang tidak selesai pada waktu itu. Kita akan bertempur seorang melawan seorang. Kakakku tidak akan berbuat curang seperti kawanmu pada saat itu. Pada saat kau hampir mati, kawanmu telah mencampuri pertempuran di antara kita, sehingga aku harus melawan kau berdua. Sekarang kau tidak akan mendapat kesempatan seperti itu lagi.”
Orang Kepandak itu termangu-mangu. Namun ternyata bahwa keadaan telah berbalik. Yang kemudian menunggu kawannya dengan jantung yang berdebar-debar adalah orang Kepandak itu.
Tetapi ternyata kawan-kawannya tidak kunjung datang, sehingga pada saat Glagah Putih telah bersiap untuk bertempur, orang itu harus melawannya seorang diri.
Ketika keduanya telah bersiap, maka ternyata keduanya bersenjata pedang. Orang Kepandak itu juga membawa pedang yang mempergunakan pelindung pada tangkainya.
Sebenarnyalah Agung Sedayu tidak ikut campur ketika, kemudian perkelahian di antara kedua orang itu telah menjadi semakin seru. Ia justru bergeser surut sambil memberi isyarat kepada orang Tanah Perdikan Menoreh itu untuk menjauh.
Sementara itu, kawan-kawan orang Kepandak itu juga mendengar isyarat yang diberikan oleh kawannya dengan suitan. Mereka pun telah menyahut dan bersiap untuk datang membantunya. Tetapi ternyata bahwa isyarat itu tidak saja memberitahukan kepada kawan-kawan orang Kepandak untuk membantunya, tetapi isyarat itu juga diterima oleh orang-orang Tanah Perdikan. Mereka yang mendengar isyarat balasan segera mengetahui dimanakah orang-orang yang memasuki Tanah Perdikan itu berada dan jumlah merekapun segera dapat diperhitungkan.
Karena itulah, maka Ki Gede pun segera mengatur para pengawal dan memerintahkan mereka untuk mendekati arah isyarat balasan.
“Berhati-hatilah” berkata Ki Gede, “kau tahu, mereka tentu orang-orang pilihan. Hubungi kawan-kawanmu yang berada dekat dengan mereka.
“Kami akan berhati-hati Ki Gede” jawab salah seorang di antara para pengawal. “Kawan-kawan kami telah tersebar. Meski pun tidak begitu banyak seperti yang Ki Gede maksudkan, tetapi mereka adalah pengawal pilihan. Kami akan menyampaikan perintah dan pesan Ki Gede beranting.”
Demikianlah, dengan cepat pengawal itu menghubungi tempat-tempat yang sudah ditentukan. Ternyata ada di antara mereka yang sudah melihat ketika orang-orang yang bekerja untuk Pajang itu datang. Namun mereka masih menunggu isyarat untuk bergerak. Jika perintah beranting itu tidak mungkin dilakukan karena keadaan mendesak, akan ada isyarat panah sendaren. Namun dengan sendaren mungkin sasaran mereka kurang jelas. Dengan perintah lesan yang beranting itu, akan dapat diberikan petunjuk khusus sasaran dari setiap pengawal yang telah dipersiapkan.
Tetapi dengan pesan lesan beranting telah memerlukan waktu, sehingga orang-orang Pajang itu sempat bergeser dari tempat mereka. Namun mereka tidak mempunyai kesempatan untuk mencapai kawannya yang telah bertempur melawan Glagah Putih ditunggui oleh Agung Sedayu.
Ketika orang-orang Pajang itu memberikan isyarat balasan, maka mereka memang sudah memperhitungkan kemungkinan akan datangnya para pengawal atau orang-orang lain yang mendengar isyarat mereka. Namun orang-orang Pajang itu sama sekali tidak merasa gentar. Bahkan seandainya yang datang itu sepasukan pengawal sekalipun.
Namun demikian, ternyata orang-orang yang bekerja untuk Pajang itu sempat saling mendekatkan diri kearah isyarat pertama yang mereka dengar. Ternyata mereka tidak hanya tujuh orang, tetapi delapan orang. Seorang di antara mereka telah luput dari penglihatan Agung Sedayu.
Ketika para pengawal Tanah Perdikan bergerak, orang-orang yang bekerja untuk Pajang itu telah siap menyambut mereka. Pada bentangan yang agak jauh, orang-orang itu seakan-akan telah menyusun satu lapis pertahanan, sementara mereka memberi kesempatan kepada kawannya yang langsung menghubungi orang Tanah Perdikan itu untuk menyelesaikan tugasnya. Hanya seorang di antara mereka yang mendekati kawannya itu untuk mengamati apa yang terjadi, sehingga kawannya itu telah memberikan isyarat.
Yang dilihat ternyata adalah satu perkelahian yang sengit. Orang Kepandak itu telah terlibat dalam pertempuran melawan Glagah Putih. Dengan senjata masing-masing keduanya berusaha untuk dapat segera menyelesaikan lawan-lawannya. Tetapi justru karena kedua belah pihak telah mengerahkan kemampuannya, maka pertempuran itu pun menjadi semakin sengit.
Kawannya yang menyaksikan pertempuran itu menjadi berdebar-debar. Ia adalah orang yang beberapa waktu yang lalu datang ke Tanah Perdikan Menoreh bersama orang yang bertempur melawan Glagah Putih itu. Karena itu, maka ia pun segera dapat mengenalinya, bahwa lawan orang Kepandak itu adalah lawan mereka beberapa hari yang lalu.
Dengan demikian maka orang itu pun sudah dapat memperhitungkan, jika kawannya itu dibiarkannya bertempur sendiri, maka ia tidak akan dapat memenangkan pertempuran itu sebagaimana pernah terjadi.
Selangkah demi selangkah ia beringsut maju. Ia pun melihat seseorang yang berdiri beberapa langkah dari arena pertempuran itu.
Tetapi orang itu mempunyai perhitungan tersendiri. Ia ingin turun ke arena. Jika orang yang berdiri mengamati pertempuran itu juga akan membantu lawan orang Kepandak itu, maka ia akan membinasakannya lebih dahulu. Sedangkan orang Tanah Perdikan itu sendiri sama sekali tidak diperhitungkannya. Jika ia ikut campur, maka umurnya akan cepat berakhir.
Perlahan-lahan ia mendekati arena pertempuran. Glagah Putih dan orang Kepandak itu telah bertempur tidak saja di pematang, tetapi kaki-kaki mereka telah menginjak tanah persawahan yang basah dan berlumpur.
Seperti yang sudah diduganya maka orang yang berdiri mengamati pertempuran itu telah menyapanya, “Apa yang akan kau lakukan, Ki Sanak?”
Orang itu terhenti sejenak. Lalu jawabnya, “Marilah, cobalah menahan aku, biar aku cepat membunuhmu, sebelum aku akan membunuh kawanmu itu bersama dengan lawannya yang sekarang.
“Jangan bertempur berpasangan” berkata Agung Sedayu, lalu, “biarlah mereka bertempur sebagaimana dua orang laki-laki.”
“Persetan” geram orang itu.
Sementara itu, Glagah Putih pun telah berkata lantang, “Ka¬kang, orang itulah yang bertempur berpasangan melawan aku beberapa hari yang lalu, dan aku gagal menangkapnya.”
“Biarlah kita menangkapnya sekarang” berkata Agung Sedayu.
Namun dalam pada itu orang yang mendekati arena itu menggeram, “Jangan terlalu besar kepala. Kalian berdua akan mati di pertempuran ini.”
Tetapi orang Kepandak yang sedang bertempur melawan Glagah Putih itu segera memperingatkan agar kawannya tidak salah menilai orang yang berdiri mengamati pertempuran itu, katanya, “Orang yang berdiri dihadapanmu itulah yang bernama Agung Sedayu.”
Wajah orang yang mendekati arena itu menjadi tegang. Nama Agung Sedayu memang sudah dikenalnya. Namun ia masih belum pernah melihat sikap dan tandangnya di Medan.
Tetapi ia tidak mau dirinya menjadi kecil di hadapan Agung Sedayu. Karena itu, maka ia pun tertawa sambil berkata, “Jadi kaulah yang disebut Agung Sedayu, yang namanya tersebar dari ujung sampai keujung negeri ini.”
“Jangan memuji. Aku tidak lebih dari orang-orang kebanyakan di Tanah Perdikan ini.” jawab Agung Sedayu.
“Kau ingin merendahkan dirimu atau justru kau rnemang terlalu sombong?” bertanya orang itu.
“Terserahlah, apa yang ingin kau katakan tentang aku” jawab Agung Sedayu. Lalu, “Tetapi sekarang aku memang mengemban tugas untuk menangkap orang-orang yang telah memasuki Tanah Perdikan Menoreh dengan maksud buruk. Termasuk kau.”
“Nah, bukankah dengan demikian, kau adalah orang yang sangat sombong?” “Kau kira kau akan dapat menangkap aku?” geram orang itu.
Agung Sedayu tidak menjawab. Ia pun telah beringsut maju. Sementara itu bakal lawannya itu pun telah bersiaga sepenuhnya.
Sementara itu Agung Sedayu merasa bahwa ia tidak perlu cemas tentang Glagah Putih. Menilik pertempuran yang sedang berlangsung itu, maka Glagah Putih tidak dalam keadaan terdesak. Bahkan lambat laun terjadilah seperti yang pernah terjadi beberapa hari yang lalu. Glagah Putih justru mulai mendesak lawannya.
Dalam pada itu, lawan Agung Sedayu yang tidak mau berada di bawah pengaruh wibawa lawannya, tiba-tiba justru telah mendahului meloncat menyerang Agung Sedayu dengan garangnya. Namun serangan itu dapat dengan mudah dielakkan oleh Agung Sedayu. Meskipun demikian, Agung Sedayu masih belum membalas serangannya.
Demikianlah dua orang yang pada beberapa malam sebelumnya telah bertempur melawan Glagah Putih, maka mereka telah mendapat lawan seorang-seorang. Bahkan seorang di antara lawan mereka adalah Agung Sedayu. Karena itu,., maka keduanya seakan-akan benar-benar telah terperangkap kedalam jebakan.
Namun dalam pada itu, kawan-kawan kedua orang itu pun telah bersiaga pula menghadapi segala kemungkinan. Enam orang yang berdiri berpencaran.
Sejenak kemudian, beberapa orang pengawal terpilih dan Tanah Perdikan Menoreh telah mendekati mereka. Dengan senjata di tangan dan sangat berhati-hati para pengawal itu maju selangkah demi selangkah.
Seorang di antara keenam orang yang berpihak kepada Pajang itu pun kemudian menggeram. Katanya, “Marilah, siapakah yang ingin mati pertama?”
Dua orang pengawal mendekatinya. Seorang di antara mereka berkata, “Menyerahlah. Kau tidak mempunyai kesempatan. Jika kami berdua tidak mampu menangkapmu, maka dalam sekejab akan datang sepuluh orang yang siap untuk menghancurkanmu.”
“Jangankan hanya sepuluh orang pengawal”jawab orang itu”seratus orang pengawal aku persilahkan untuk datang. Aku akan membunuh mereka seorang demi seorang dengan memenggal lehernya hingga orang yang keseratus.”
Pengawal itu menarik nafas dalam-dalam. Sekilas ia berusaha untuk melihat kawan-kawannya yang berdiri berhadapan dengan lawan yang lain. Namun dalam keremangan malam yang dapat dilihatnya hanyalah orang yang berdiri terdekat saja. Itu pun jaraknya berapa langkah di seberang kotak-kotak sawah.
Namun pengawal itu yakin, bahwa tidak seorang pun di antara mereka yang memasuki Tanah Perdikan itu luput dari perhatian, karena di tempat itu ternyata hadir pula orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Diantara mereka adalah Ki Gede sendiri.
Karena itu, maka perhatian pengawal itu sepenuhnya ditujukan kepada orang yang dihadapinya.
Sesaat kemudian, maka justru orang Pajang itulah yang berkata, “Pergi sajalah. Aku kasihan melihat wajahmu yang gelisah. Apakah kau sedang mencari atau menunggu kawan-kawanmu yang kau katakan sepuluh orang itu.”
Pengawal itu menggeram. Tanpa menjawab apa pun juga, maka kedua orang pengawal itu pun bergeser menjauh. Sementara senjata mereka telah teracu. Dan ujung tombak pendek.
Tetapi orang Pajang itu benar-benar tidak gentar. Dengan pedangnya yang besar, ia pun telah bersiap menyongsong serangan kedua orang pengawal itu. Bahkan kemudian pedangnyalah yang bergerak menyentuh satu di antara kedua ujung tombak itu.
Sejenak kemudian, maka pertempuran telah mulai berkobar. Kedua orang pengawal terpilih itu dengan cepat berusaha untuk menguasai lawannya, seorang yang dianggap bekerja untuk pihak yang memusuhi Mataram, yang karena itu juga memusuhi Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan orang itu merupakan satu di antara mereka yang mencari keterangan tentang kekuatan Mataram di Menoreh dan kekuatan Menoreh sendiri.
Namun kedua orang itu terkejut ketika ternyata mereka benar-benar telah membentur batu. Ternyata orang itu tidak hanya sekedar mengancam, bahwa kedua orang itu tidak akan berarti apa-apa baginya.
Dengan kemampuan yang sangat tinggi, maka orang itu dengan cepat telah mendesak ke dua orang pengawal Tanah Perdikan itu.
Yang terjadi ditempat-tempat lain ternyata tidak jauh berbeda. Para pengawal Tanah Perdikan menjadi terkejut ketika mereka kemudian membentur lawan-lawan mereka.
Yang terdengar kemudian adalah orang Pajang itu tertawa. Ia melihat kedua orang lawannya menjadi bingung. Bahkan berloncatan mundur.
“Nah” berkata orang Pajang itu, “dengan cara itukah kalian akan menangkap kami? Karena itu sebaiknya kalian berpikir untuk kedua dan ketika kalinya. Adalah sia-sia saja meskipun kalian akan mengajak sepuluh atau duapuluh orang bertempur bersama kalian. Justru dengan demikian hanya akan menambah kematian saja. Dan kematian itu akan membenahimu di akerat nanti. Karena kaulah yang menyeret mereka keambang kematiannya.”
Kedua pengawal yang bertempur melawannya tidak menjawab. Tetapi keduanya telah mengerahkan kemampuan mereka untuk mengimbangi kemampuan lawannya.
Tetapi usaha itu sia-sia. Tidak ada kesempatan yang dapat dilakukan oleh kedua orang pengawal itu. Bahkan sejenak kemudian, seorang di antara kedua pengawal itu terkejut ketika tombaknya yang berusaha mematuk dada telah disentuh oleh kekuatan yang tidak terlawan, sehingga tombaknya itu telah terloncat dari tangannya. Sementara itu, orang Pajang itu pun sudah siap untuk meloncat dan menikam pengawal itu di dadanya.
Namun pengawal Tanah Perdikan yang lain tidak membiarkan kawannya terbunuh. Karena itu, maka dengan serta merta ia pun telah meloncat pula dan menjulurkan tombaknya ke arah dada orang Pajang itu pula.
Tetapi orang Pajang itu mampu bergerak sangat cepat melampaui kecepatan gerak orang Tanah Perdikan itu. Karena itu, demikian orang itu meloncat maju, maka justru orang Pajang itu telah bergeser sambil merendah. Namun dalam pada itu pedangnya lah yang terjulur, sehingga justru bukan ujung tombak pengawal itu yang menusuk dada lawannya, namun ujung pedang itulah yang telah mengoyak pundaknya.
Pengawal itu menggeram. Perasaan sakit yang sangat telah menyengat pundaknya yang terluka sehingga tangannya justru bagaikan menjadi lumpuh.
Yang terdengar kemudian adalah orang Pajang itu tertawa .
Sejenak orang yang bekerja untuk Pajang itu berdiri bertolak pinggang pada sebelah tangannya sedangkan tangannya yang lain mengacukan tombaknya sambil berkata disela-sela suara tertawanya, “Nah, kalian berdua akan segera mati. Cepat, sebelum kalian mati, panggil kawan-kawanmu. Berteriaklah atau lontarkan isyarat apa pun juga untuk kepentingan itu.”
Kedua orang pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu termangu-mangu. Seorang yang terluka dipundaknya itu berdesah, sementara kawannya yang kehilangan tombaknya itu berdiri termangu-mangu
“Kalian sudah tidak mempunyai kesempatan untuk hidup” berkata orang yang bekerja untuk Pajang itu “seandainya kalian tidak memulainya dan melarikan diri sebelum mengacukan senjata kalian, maka kalian akan aku biarkan. Sekarang kalian sudah terperangkap oleh kesombongan kalian. Karena itu, kalian berdua harus mati.”
Kedua pengawal itu termangu-mangu. Sementara itu, orang yang terluka dan mengeluarkan banyak darah itu merasa tubuhnya menjadi semakin lemah, sementara kawannya sudah tidak bersenjata lagi.
“Jangan menyesal. Bersiaplah untuk mati. Jika kalian ingin berdoa, inilah kesempatanmu yang terakhir” bentak orang yang bekerja untuk Pajang itu.
Kedua orang pengawal itu menjadi semakin tegang. Namun dengan gerak naluriah, maka ujung tombak orang yang terluka itu pun tiba-tiba saja telah teracu siap menyongsong serangan lawannya.
Orang Pajang itu tertawa. Katanya, “He, kau masih akan melawan aku? Jangan gila dan jangan membuat saat matimu sangat pahit.”
Tetapi tombak pendek itu tetap teracu kearah orang Pajang itu.
Dalam padaitu, sebenarnyalah orang yang bekerja untuk Pajang itu sudah siap untuk benar-benar membunuh kedua orang pengawal yang termangu-mangu. Yang akan menjadi sasaran pertamanya adalah orang yang sudah tidak bersenjata tetapi belum terluka itu, karena menurut perhitungannya, orang yang terluka itu tidak akan lagi dapat berlari cepat, karena darahnya sudah terlalu banyak mengalir.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja orang itu menjadi tegang. Selagi ia sudah siap untuk meloncat menikam pengawal yang sudah tidak bersenjata lagi itu, ia telah mendengar desir langkah kaki mendekati.
Dalam keremangan malam, ketika ia berpaling, maka dilihatnya sesosok tubuh kekar dari balik batang-batang padi yang subur di kotak sawah sebelah.
“Setan. Seorang lagi yang agaknya ingin mati.” geram orang yang bekerja untuk Pajang itu.
Tetapi jawabnya sangat mengejutkan. Suara itu adalah suara seorang perempuan, “Tidak. Aku tidak ingin mati. Aku hanya ingin melihat kau yang mati atau berlutut di bawah kaki para pengawal Tanah Perdikan ini.”
“Gila. Apa maksudmu. Kedua pengawal ini sekejap lagi akan mati Atau kau ingin sekedar menarik perhatianku agar kedua orang ini sempat lari?” bertanya orang yang sudah siap untuk membunuh itu. Lalu, “Dan kau menganggap bahwa karena kau seorang perempuan maka aku akan membunuhmu?”
“Bukan. Bukan begitu. Kedua orang pengawal itu tidak akan lari. Mereka akan menunggu kau berlutut atau kau mati terkapar disawah ini. Darahmu akan menjadi pupuk sehingga sawah yang sekarang kau rusakkan tanamannya itu kelak akan menjadi subur.” Terdengar suara perempuan itu lagi.
“Persetan. Siapa kau?” bertanya orang yang bekerja untuk Pajang itu.
Bersambung ke bagian 2
Maturnuwun Ki…. :))