Buku II-70

170-00 

Laman: 1 2 3

Telah Terbit on 7 Maret 2009 at 07:11  Comments (109)  

The URI to TrackBack this entry is: https://adbmcadangan.wordpress.com/buku-ii-70/trackback/

RSS feed for comments on this post.

109 KomentarTinggalkan komentar

  1. TETAPI Ki Juru menyadari sepenuhnya, bahwa jika ia dapat mengatasi perasaannya, maka bau itu sendiri tidak akan mampu berbuat apa-apa atas dirinya. Demikianlah maka pertempuran antara kedua orang berilmu tinggi itu semakin lama menjadi semakin dahsyat. Dalam keadaan yang paling sulit sekalipun, Ki Juru kadang-kadang masih juga berhasil menyusup melalui lapisan-lapisan pertahanan lawannya. Namun lawannyapun memiliki kecepatan bergerak yang mengagumkan. Serangan tangan Ki Juru yang panasnya melampaui api, selalu dapat dielakkannya. Namun yang terjadi kemudian sangat mendebarkan hati Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa. Ternyata lawan Ki Juru itu semakin lama menjadi semakin berhasil menguasai medan. Serangan-serangannya menjadi sema¬kin cepat dan sangat berbahaya. Serangan pada indera penciumannya itupun menjadi semakin tajam menusuk hidung Ki Juru Martani. Sebagaimana yang terjadi dengan Agung Sedayu, maka bau yang sangat tajam itu lambat laun telah membuat Ki Juru menjadi pening. Usahanya untuk menutup indera penciumannya, ternyata masih saja mampu tertembus. Bahkan pertahanannya terhadap bau yang sa¬ngat tajam itu terasa semakin lama menjadi semakin lemah. Keletihan dan pening yang mencengkam, membuatperlawanan Ki Juru menjadi semakin lemah. Justru karena itu, maka iapun menjadi semakin terdesak oleh sambaran-sambaran serangan lawannya yang harus dihindarinya. Dengan demikian maka ujud rangkap Ki Juru itupun menjadi semakin sering nampak untuk memberinya kesempatan mempersiapkan diri selama lawannya masih harus memilih sasaran, atau kedua-duanya. Pada saat-saat yang demikian, Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa menjadi semakin gelisah. Mereka tidak dapat langsung terjun ke arena, membantu Ki Juru Martani. Sifat kesatria dan kejantanan mereka telah mencegahnya, meskipun mereka menyadari, bahwa mereka tidak sedang menyelenggarakan perang tanding. Tetapi yang terjadi itu adalah pertempuran dalam satu medan yang besar. Sementara Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa menjadi berdebar-debar, ternyata pasukan Mataram semakin mendesak lawannya. Orang-orang Pajang men¬jadi kehilangan kesempatan untuk memberikan serangan-serangan yang berarti. Dalam kesulitan itu, mereka hanya mampu bertahan. Tetapi bertahan itupun sudah cukup memberikan harapan bagi kakang Panji yang berkata di dalam hati “ Asal aku dapat mengalahkan lawanku lebih cepat lagi.” Bau yang tajam itu masih menebar di medan. Tetapi yang tidak langsung menjadi sasaran yang dapat dijangkau oleh penglihatan mata kakang Panji tidak mengalami kesulitan seperti sasarannya. Mereka memang mencium bau yang sangat wangi, tetapi bau itu tidak langsung menusuk ke pusat kesadaran mereka. Meskipun demikian, kakang Panji itupun masih saja mengumpat. Ternyata serangannya pada indera penciuman itu tidak mencekik sasarannya sebagaimana diharapkan. Ki Juru itu masih mampu bertahan untuk waktu yang berlipat ganda dari yang diperkirakan. “Orang ini mempunyai aji yang mampu menutup indera penciumannya” berkata kakang Panji di dalam hatinya, namun demikian ia yakin bahwa serangannya itu tentu berhasil menembus pagar indra penciumannya itu, karena semakin lama Ki Juru itupun menjadi semakin lemah. Meskipun demikian, Ki Juru itu benar-benar jengkelkan, sementara pasukan Pajang menjadi semakin terdesak dan kehilangan kemampuannya menyerang sama sekali. Dengan mengerahkan sisa kemampuan yang ada, orang-orang Pajang itu berusaha untuk bertahan. Namun tekanan yang sangat berat dari orang-orang Mataram yang berjumlah lebih banyak itupun terasa semakin lama semakin tidak tertahankan. Sementara itu, kakang Panji ternyata masih belum mampu mengalahkan Ki Juru yang meskipun menjadi semakin lemah, namun masih mampu melawan, dan bahkan kadang-kadang masih membuat kakang Panji itu terkejut dan berdebar-debar. Sementara itu, Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawapun menjadi semakin gelisah pula. Mereka yang berada di luar arena itu, mampu melihat lebih jelas, bahwa Ki Juru memang mengalami kesulitan yang pada suatu saat tidak akan teratasi lagi. Dalam kegelisahannya itu, Pangeran Benawapun berdesis, “Kakangmas. Apakah kita akan membiarkan saja Ki Juru mengalami kesulitan ? Menurut penilaianku, yang dihadapi oleh paman Juru adalah seorang Senapati dipeperangan. Seandainya kita tidak akan mengorbankan harga diri kita, maka kita akan dapat menggantikan kedudukan Ki Juru tanpa bertempur berpasangan. Mungkin aku, mungkin kakangmas Sutawijaya. Sebab Ki Juru tidak sedang melakukan perang tanding.” “Aku mengerti adimas.” berkata Raden Sutawija¬ya. Lalu, “Orang itu adalah orang yang luar biasa. Paman Juru Martani adalah orang yang sudah menguasai segala macam ilmu. Namun ia masih juga mengalami kesulitan. Orang itu memiliki kemampuan lebih tinggi dari Tumenggung Prabadaru.” “Kakangmas benar. Orang itu memiliki ilmu lebih tinggi dari Ki Tumenggung Prabadaru. Orang itu memili¬ki ilmu yang sudah jarang dikenal oleh mereka yang menekuni olah kanuragan sekarang.” desis Pangeran Benawa. “Tetapi bukan berarti bahwa aku harus ingkar dari tanggung jawab. Aku adalah orang yang bertanggung jawab atas segalanya yang terjadi di Prambanan ini. Kare¬na itu, akulah yang seharusnya menghadapi orang itu, apapun yang akan terjadi.” jawab Raden Sutawijaya. “Seandainya ayahanda Sultan masih sempat bertemu dengan orang itu di medan dalam keadaan yang baik.” desis Pangeran Benawa. “Ayahandapun memiliki ilmu yang sudah jarang dikenal sekarang ini.” desis Raden Sutawijaya, “ilmu yang masih tetap tersimpan dan tidak temurun.” “Itulah kelemahan kita semuanya.” jawab Pange¬ran Benawa, “seorang guru pada umumnya masih menyimpan satu jenis ilmu yang tidak diberikan kepada murid-muridnya.” “Aku dapat mengerti,” jawab Senapati Ing Ngalaga, “dengan kelebihannya itu, seorang guru masih akan te¬tap dapat mengatasi murid-muridnya yang kemudian memberontak terhadap perguruannya. Mungkin seorang murid tidak lagi mentaati perintah dan petunjuk-petunjuknya atau justru mencemarkan nama baik perguruannya.” “Ya. Tetapi dengan demikian, tingkat ilmu itu sendiri semakin lama akan menjadi semakin susut. Sebagaimana kita lihat sekarang, ilmu orang itu dalam beberapa segi kurang kita kenal. Bahkan Ki Juru yang sebaya dengan orang itupun mengalami kesulitan, justru karena watak il¬mu orang itu terasa asing.” berkata Pangeran Benawa. Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Aku tidak boleh membiarkan mereka terlalu lama bertempur. Paman Juru Martani sudah mulai diganggu oleh tenaganya yang susut. Meskipun mungkin paman Juru masih akan mampu bertahan beberapa lama, tetapi akhirnya ia akan kehabisan tenaga dan pertahanannya itupun akan runtuh.” ”Maksud kakangmas ?” bertanya Pangeran Benawa. “Aku akan menghadapinya.” jawab Raden Sutawijaya. “Apakah kakangmas sudah melihat kemungkinan untuk mengimbangi ilmunya ?” bertanya Pangeran Benawa. Raden Sutawijaya termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Apapun yang akan terjadi, aku tidak akan ingkar. Aku adalah orang yang memang harus menghadapinya.” Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Ra¬den Sutawijaya tidak akan dapat membuat pertimbangan lain. Ia memang harus bertanggung jawab. Namun dalam pada itu, ada semacam kecemasan di hati Pangeran Benawa. Meskipun ia mengerti, bahwa Raden Sutawijaya adalah orang yang memiliki ilmu yang sulit dijajagi, namun Pangeran Benawa. masih melihat kekurangan Raden Sutawijaya dibandingkan dengan ayahandanya Sultan Hadiwijaya, sebagaimana dirinya sendiri yang masih merasa belum mewarisi segenap kemampuan ayahandanya. Tetapi Pangeran Benawa tidak akan dapat mencegahnya. Dan Pangeran Benawapun tahu, bahwa bagi Raden Sutawijaya maupun dirinya sendiri tidak akan bersedia bertempur berpasangan melawan orang itu. Sementara itu, pertahanan Ki Juru memang menjadi semakin lemah. Sementara itu lawannyapun telah berusaha untuk secepatnya mengakhiri perlawanan Ki Juru agar ia dapat berbuat sesuatu atas pasukannya. “Mudah mudahan aku mendapat waktu sebelum aku akan menghancurkan Sutawijaya pula.” berkata orang itu didalam hatinya. Menurul perhitungn orang itu, Ra¬den Sutawijaya tentu berada diseberang sebelah Timur dari medan itu. Namun sebenarnyalah bahwa Raden Sutawijaya sudah siap menghadapi orang yang menyebut dirinya kakang Panji itu. Sementara itu, orang-orang Mataram benar-benar telah menguasai sebagian besar dari medan. Pasukan Mataram yang berada di sisi Timur yang jumlahnya lebih besar dari pasukan yang berada disisi Barat, memang dengan sengaja tidak mendesak lawannya. Atas perintah Untara mereka harus berusaha untuk tetap berada dalam satu garis pertempuran. Bahkan pasukan Mataram itu justru mulai menebar dan mencapai sisi dari gelar pasu¬kan lawan. Pasukan Mataram itu justru menekan lawan mereka dari kedua sisi, agar pasukan lawan itu tidak jus¬tru bergeser ke Barat. Dengan demikian, maka untuk sementara ajang per¬tempuran itu tidak bergerak kearah manapun juga. Dalam pada itu, kakang Panjipun telah bertempur semakin-sengit. Ditumpahkannya segenap kemampuannya untuk segera dapat mengalahkan Ki Juru Martani. Dalam pada itu, kakang Panji itupun yakin, bahwa ia akan dapat melakukannya. Bahkan iapun yakin akan da¬pat mengalahkan juga Raden Sutawijaya sebagaimana orang tua yang liat itu. Tetapi sementara itu terkilas di dalam benaknya, orang yang telah melindungi Agung Sedayu dengan kabut. Orang itu jelas bukan Ki Juru yang tidak memberikan tanda-tanda memiliki jenis-jenis ilmu dari perguruan yang pernah dikenalnya itu. “Tentu juga bukan Raden Sutawijaya.” desis kakang Panji. Namun disamping keyakinnya untuk dapat mengalahkan Ki Juru dan Raden Sutawijaya. maka kakang Panji itupun mulai digoda oleh satu dugaan, bah¬wa pada satu saat, orang itu tentu akan muncul dan harus dihadapinya. “Persetan dengan orang itu.” tiba-tiba saja kakang Panji menggeram. Ia tidak mau diganggu oleh sekedar dugaan tentang orang yang memiliki ilmu yang akan da¬pat mengimbanginya. “Aku akan menghancurkannya menjadi debu.” katanya di dalam hati. Sementara itu, Ki Juru benar-benar berada dalam kesulitan. Serangan kakang Panji menjadi semakin cepat. Sementara bau yang dihamburkan kesekitarnya, menusuk hidungnya semakin tajam menembus dinding yang te¬lah menutup indera penciumannya. “Gila.” geram Ki Juru, “ternyata ilmuku tidak mampu menutup indera penciumannku. Nampaknya ilmu iblis itu mampu menembus pertahananku.” Dengan demikian maka Ki Juru itupun menjadi sema¬kin pening. Apalagi setiap kali ia harus mengelabui lawan¬nya dengan ujud rangkapnya, sekedar mendapat kesem¬patan untuk mengelakkan serangan berikutnya. Namun kemampuannyapun menjadi semakin lama semakin kabur. Sehingga Ki Juru tidak lagi mampu melakukannya dengan sebaik-baiknya. Sehingga dengan demikian, maka kedudukannyapun menjadi semakin sulit. Yang dapat dilakukan hanyalah tinggal menghindar dan menghindar saja. Namun ia tidak lagi mendapatkan kesempatan untuk menyerang. Apalagi menyentuh lawan¬nya dengan telapak tangannya yang menjadi sepanas api. Pada saat yang demikian, Raden Sutawijaya tidak da¬pat membiarkannya lebih lama lagi. Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga itu sendiri kurang ya¬kin, apakah ia akan dapat mengatasi ilmu orang itu. Teta¬pi ia tidak akan mengelak dari tanggung jawab. Jika ia ha¬rus membentur kekuatan puncak dari lawannya, itu sudah sewajarnya. Bukan orang lain. “Sudahlah adimas, aku akan maju kemedan.” gu¬mam Raden Sutawijaya, “aku pesan, agar adimas sudi menghubungi Untara. Ia telah aku serahi mengatur seluruh pasukan dari Mataram. Meskipun menurut gelar lahiriah adimas adalah orang Pajang dan barangkali salah seorang Senapati pengapit dari ayahanda, tetapi aku mengerti apa yang sebenarnya tersirat didalam hati adi¬mas. Pesan adimas lewat aji pameling telah menyelamatkan kami dari tindakan licik orang-orang Pajang yang aku sekarang hampir pasti, telah dipengaruhi oleh bayangan kekuasaan orang yang bertempur melawan paman Juru itu.” Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Tetapi iapun mencemaskan nasib Raden Sutawijaya. Karena itu, maka katanya kemudian, “Baiklah kakangmas. Aku akan menghubungi Untara. Tetapi perkenankanlah aku menyaksikan apa yang akan terjadi jika kakangmas turun kemedan.” Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Na¬mun katanya kemudian, “Terserahlah kepada adimas. Tetapi aku adalah Senapati Ing Ngalaga. Pemimpin tertinggi dan Senapati Agung dari Mataram. Apapun yang terjadi, aku akan mempertanggung jawabkannya.” Pangeran Benawa tidak menjawab lagi. Sementara itu, Raden Sutawijaya telah mempersiapkan diri lahir dan batin. Segala macam ilmu yang ada padanya telah ditrapkannya. Ia memiliki ilmu yang lebih mapan dari Ki Juru Martani meskipun Ki Juru juga termasuk orang yang luar biasa. Namun kemudaan Raden Sutawijaya dan pengembaraannya telah mematangkan ilmunya dengan hampir sempurna. Sementara itu sumber ilmu Raden Sutawijaya yang utama memang lebih kaya dari ilmu yang ada pada Ki Juru, yaitu Mas Karebet yang kemudian bergelar Sul¬tan Hadiwijaya. Yakin akan kelebihannya dari Ki Juru Martani, maka Raden Sutawijaya berharap akan dapat mengimbangi kemampuan orang yang bertempur melawan Ki Juru meskipun ada juga pengakuan di dalam hatinya, bahwa ilmu orang itu memang ngedab-edabi. Demikianlah, maka setelah Raden Sutawijaya mengetrapkan segala macam ilmunya, maka iapun telah bersiap untuk melangkah menuju kemedan. Namun da¬lam pada itu, tiba-tiba saja, telinga batinnya telah disentuh pula oleh aji Pameling. Sudah tentu bukan dari Pange¬ran Benawa, karena Pangeran Benawa ada disisinya. “Aku mendapat pesan lewat aji Pameling.” desis Raden Sutawijaya. Pangeran Benawa mengerutkan keningnya. Dengan bimbang ia bertanya, “Tentu hanya ditujukan kepada kakangmas. Aku tidak mendapat isyarat itu.” Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Sementara itu pesan itupun telah berbicara kepadanya, “Jangan tergesa-gesa memasuki medan Raden.” Raden Sutawijayapun menjadi bimbang. Ia tidak da¬pat menjawab, karena ia tidak tahu dari siapa yang mendapatkan pesan itu, sehingga ia tidak dapat memusatkan arah aji yang sama dengan tajam kepada seseorang. Sementara orang yang menyampaikan pesan itu tidak menyebut tentang dirinya. “Setan.” geram Raden Sutawijaya, “kau telah men¬dapat gangguan batin. Aku tidak peduli.” Namun sejenak kemudian, pesan itu menyentuh lagi telinga batinnya, “Dengar aku Raden. Jangan memasuki arena. Meskipun aku tahu, kemampuan Raden melampaui kemampuan Ki Juru Martani, tetapi orang itu bukan lawanmu. Orang itu adalah salah satu murid dari perguru¬an yang tidak atau hampir tidak dikenal lagi sekarang ini.” Wajah Raden Sutawijaya menjadi tegang. Sekilas dipandanginya arena pertempuran yang semakin kalut. Tetapi dalam pada itu, Ki Juru Martani menjadi semakin terdesak oleh lawannya. Bahkan keadaannya telah menja¬di semakin berbahaya. Sementara itu, Aji Pameling itu terdengar lagi, “Aku berkata sebenarnya Raden. Aku tidak ingin mengacaukan ketahanan batin Raden Sutawijaya karena aku tahu itu ti¬dak akan ada gunanya. Tetapi sebaliknya aku juga berkewajiban untuk menyelesaikan persoalan yang tidak akan dapat Raden atasi sekarang ini.” Ketegangan di hati Raden Sutawijayapun menjadi semakin memuncak, sementara ia tetap tidak dapat menjawab pesan itu, karena ia tidak tahu, siapakah yang telah memberikan isyarat itu kepadanya. “Adimas Pangeran.” berkata Raden Sutawijaya itu kemudian, “suara itu benar-benar telah mengganggu. Tetapi aku tidak peduli.” “Apa yang dikatakannya ?” bertanya Pangeran Benawa. “Pesan itu mengatakan, bahwa orang itu bukan lawanku karena ia adalah seorang murid dari sebuah perguruan yang tidak ada lagi sekarang ini yang memiliki ilmu yang tidak ada taranya.” jawab Raden Sutawijaya. “Salah satu diantaranya adalah ilmu yang dapat menyerang indera penciuman itu.” sahut Pangeran Bena¬wa. “Aku dapat menutup indera penciuman itu.” desis Raden Sutawijaya. “Apakah paman Juru tidak dapat melakukannya ?” bertanya Pangeran Benawa. “Ya. Paman Juru juga dapat melakukannya. Tetapi agaknya pertahanan itu dapat tertembus. Juga pertahanan paman Juru yang lain. Untunglah paman Juru mampu membuat dirinya rangkap.” desis Raden Sutawijaya pula. “Karena itu sebaiknya kakangmas mempertimbangkan pesan itu.” berkata Pangeran Benawa. Raden Sutawijaya masih saja termangu-mangu Na¬mun tiba-tiba saja ia teringat sesuatu. Dengan suara yang bergetar ia berkata, “Adimas. Ada sesuatu yang aneh di medan.” “Apa yang aneh itu ?” bertanya Pangeran Benawa. “Kiai Gringsing tidak ada di medan.” jawab Raden Sutawijaya. “Apakah kakangmas menduga, bahwa yang memberikan pesan lewat Aji Pameling itu Kiai Gringsing ?” bertanya Pangeran Benawa pula. “Aku tidak pasti. Tetapi aku akan mencoba menjawabnya. Jika orang itu menangkap jawabanku, maka aku yakin, ia adalah Kiai Gringsing.” jawab Raden Sutawijaya. “Jika bukan Kiai Gringsing dan Kiai Gringsing memiliki daya tangkap atas Aji Pameling ?” bertanya Pangeran Benawa. “Ia akan mendengar pesanku, tetapi ia tidak akan tanggap, karena ternyata ada orang lain.” berkata Raden Sutawijaya. Pangeran Benawa tidak menjawab lagi. Tetapi ia membiarkan Raden Sutawijaya untuk mencoba berhubungan dengan orang yang memberikan pesan lewat Aji Pameling itu. Namun akhirnya Raden Sutawijaya menggelengkan kepalanya. Katanya, “Tidak ada hubungan. Nampaknya orang itu bukan Kiai Gringsing. Pesanku tidak mendapat tanggapan. Seandainya orang itu Kiai Gringsing ia tentu memberikan tanggapan yang serta merta atas pesanku.” Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Tetapi iapun nampaknya ikut berpikir, siapakah orang yang paling mungkin memberikan pesan itu. Namun akhirnya, Raden Sutawijaya berkata, “Aku tidak mau terombang-ambing oleh pesan yang tidak menentu. Mungkin orang itu sengaja mempengaruhi agar aku tidak maju kemedan perang, sehingga nasib yang buruk itu akan menimpa paman Juru Martani.” Pangeran Benawa tidak menjawab. Namun tiba-tiba terdengar lagi pesan itu, “Jangan cemas Raden. Aku ti¬dak akan menjebakmu.” Raden Sutawijaya menghentakkan kakinya. Geramnya, “Sekali lagi orang itu berpesan, agar aku mempercayainya. Persetan. Aku akan turun kemedan sekarang.” Namun dalam pada itu Pangeran Benawa berkata, “Kakangmas. Ada seorang yang tidak kita kenal berada di medan ini.” “Siapa ?” bertanya Raden Sutawijaya. “Orang yang telah melingkari Agung Sedayu dengan kabut sehingga Agung Sedayu terbebas dari serangan pada indera penciumannya.” jawab Pangeran Benawa. Wajah Raden Sutawijaya menjadi tegang. Namun kemudian iapun mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Mungkin orang itu telah memberikan pesan lewat Aji Pameling. Nampaknya orang itu juga memiliki ilmu dari perguruan yang sekarang tidak lagi dikenal atau sudah jarang sekali dikenal.” “Ya. Orang itu mampu menciptakan kabut untuk melindungi arena sehingga Agung Sedayu dan Ki Tumenggung Prabadaru telah bertempur seorang melawan seorang tanpa terganggu oleh siapapun juga.” sahut Pange ran Benawa. Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Na¬mun dalam pada itu, ia masih melihat Ki Juru dalam kesulitan. Beberapa kali Ki Juru sudah terdesak surut. Dalam ujud rangkapnya Ki Juru selalu berusaha untuk menjauhkan dari lawannya, yang justru telah memberi¬kan kesempatan kepada kakang Panji itu untuk menyerangnya dengan sambaran petir dari tangannya. Untunglah bahwa setiap kali ujud rangkap Kt Juru mampu menyelamatkannya, karena saat-saat tertentu kakang Panji masih juga menjadi ragu-ragu menghadapi kedua ujud itu. Tetapi keadaan Ki Juru sudah-menjadi semakin buruk. Meskipun Ki Juru adalah seorang laki-laki yang, tidak gentar oleh keadaan yang bagaimanapun juga, namuh ia masih juga berusaha untuk tidak mati disambar kekuatan yang terlontar dari tangan kakang Panji. Dalam keadaan yang mendesak itu, Raden Sutawija¬ya tidak dapat menunggu lagi. Dengan jantung yang berdebaran oleh pesan yang menyentuh hatinya itu iapun te¬lah bersiap untuk meloncat turun kemedan yang garang jtu. Tetapi tiba-tiba saja langkahnya terhenti. Ia melihat sesuatu yang mendebarkan jantungnya. Bahkan Pangeran Benawa telah terkejut pula melihat keadaan medan itu. Sejenak kedua orang yang berilmu mumpuni itu menjadi tegang. Dalam keadaan yang paling sulit dari Ki Juru Martani yang sudah terdesak dan terpaksa berloncatan menjauh dalam ujud rangkapnya, maka lawannya su¬dah siap untuk menyerang. Kakang Panji sudah siap un¬tuk menghancurkan lawannya. Jika ia salah memilih sasaran karena ia tidak mengenal lawannya yang sebenarnya, maka iapun sudah siap untuk menghantam yang lain dengan serangan petir yang seakan-akan memancar dari telapak tangannya. Namun ketika ilmu yang nggegirisi di sela-sela sera¬ngan pada indera penciuman itu hampir dilontarkan, ma¬ka tiba-tiba telah bertiup angin yang sangat kencang memotong medan. Debu yang berhamburan mengangkat dedaunan yang berserakan di tanah. Bagaikan angin pusaran yang mengamuk menghamburkan segala macam sampah yang berserakan di medan membuat batas yang pepat gelap antara kakang Panji dan Ki Juru Martani. Angin pusaran yang terhambur itu terjadi tidak terlalu lama. Sejenak kemudian, angin itupun susut dan sam¬pah yang berhamburan itupun telah berjatuhan kembali ditanah. Namun dalam pada itu, orang yang menyebut dirinya kakang Panji itu mengumpat dengan kasarnya. Sasaran yang hampir pasti dapat dihancurkan itu sudah tidak ada ditempat. “Licik, pengecut, betina tidak tahu diri.” kakang Panji itu berteriak. Tidak seorangpun yang menjawab. Namun Ki Juru benar-benar telah hilang. Seolah-olah ikut terhambur dibawa oleh angin pusaran yang melintas medan itu. “Tentu bukan angin pusaran yang sewajarnya.” de¬sis Raden Sutawijaya. “Paman Juru Martani sudah tidak ada ditempat.” desis Pangeran Benawa. “Ya. Tetapi itu akan dapat membahayakan setiap orang di dalam pasukan Mataram. Orang itu akan menga¬muk karena ia telah kehilangan sasaran. Ia dapat menye¬rang siapa saja dengan kemampuannya yang nggegirisi itu.” berkata Raden Sutawijaya. Pangeran Benawa tidak menjawab. Tetapi iapun menjadi cemas terhadap orang yang kehilangan lawannya. Sebenarnyalah kakang Panji yang kehilangan lawan¬nya itupun kemudian dengan sangat marah memperhatikan medan. Dengan wajah yang tegang ia melihat orang-orangnya yang terdesak dan mengalami kesulitan. Meskipun orang-orang Mataram tidak menekan dan mendorong orang-orang Pajang sehingga menggeser medan, namun dua kekuatan dari sisi-sisi gelar justru telah menghimpit orang-orang Pajang itu sehingga mereka akan menjadi hancur di dalamnya. “Gila.” geram kakang Panji, “orang-orang Mata¬ram memang terlalu licik. Aku harus mengancurkannya tanpa ampun.” Dengan kemarahan yang tidak tertahankan, maka kakang Panji itupun kemudian mengarahkan pandangannya kepada para pengawal Mataram yang sedang bertem¬pur melawan orang-orang Pajang. Raden Sutawijaya yang tidak ingin membiarkan para pengawal Mataram menjadi sasaran kemarahan orang yang kehilangan lawannya itupun kemudian telah bersiap untuk meloncat kemedan. Apapun yang terjadi dan apapun yang akan dilakukan oleh orang yang tidak dikenalnya, yang telah menyelamatkan Ki Juru itu, Raden Sutawijaya masih tetap merasa bertanggung jawab atas pasukan Mataram. Namun dalam pada itu, ternyata bahwa kakang Panji itu seolah-olah telah tertahan oleh satu hambatan yang ti¬dak dapat diketahui oleh Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa, sehingga rencananya untuk menumpahkan kemarahannya kepada para pengawal dari Mataram itu¬pun tertahan pula. Dengan tegang kakang Panji itupun mengedarkan pandangannya segenap penjuru medan. Bahkan kemudian dengan lantang ia berkata, “Jangan bersembunyi pengecut. Aku tahu, bahwa kau memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi seharusnya kau menampakkan diri. Dengan licik kau telah membantu Ki Juru sehingga ia terlepas dari maut. Sekarang, kau dengan sembunyi-sembunyi mengintip aku dan berusaha dengan tiba-tiba menyerangku da¬lam keadaan yang lengah.” Suara kakang Panji itu mengumandangkan di seluruh medan. Seolah-olah suara itu telah dilontarkan kembali oleh setiap helai daun di sawah yang menjadi berserakan dan oleh setiap batang cabang dan ranting pepohonan sehingga seluruh medan itupun tergetar karenanya. Ternyata suara kakang Panji itu mampu membuat setiap hati menjadi berdebar-debar. Orang-orang Mata-ram yang sudah berhasil menguasai medan itu menjadi termangu-mangu pula. Seolah-olah kekuatan seorang yang menyebut dirinya kakang Panji itu akan mampu mengatasi seluruh kekuatan pasukan Mataram. Namun dalam pada itu, kakang Panji itupun telah digelitik oleh satu kekuatan yang tidak segera dapat dilihatnya. Kekuatan yang sebenarnya dapat dikenalnya. Kakang Panji itupun mengerti, bahwa orang yang telah membuat angin pusaran dan menyelamatkan Ki Juru itu tentu orang yang telah menyelamatkan Agung Sedayu itu pula, yang telah melindungi anak muda itu dengan kabut dan bahkan kemudian menjadi arena pertempuran antara Agung Sedayu dan Ki Tumenggung Prabadaru. “Cepat,” tiba-tiba saja kakang Panji itu berteriak ti¬dak dengan suara wajarnya. Tetapi suara itu bergelora bergulung-gulung menggetarkan arena, “jika kau tidak segera keluar dari persembunyianmu, maka aku akan membinasakan semua orang Mataram. Aku akan merabakar mereka dengan ilmu petirku dan aku akan melumatkan mereka sampai hancur menjadi debu.” Untuk beberapa saat masih belum terdengar jawaban. Namun kekuatan ilmu yang melontarkan suara kakang Panji itu telah mencengkam seluruh medan. Sua¬ra itu seolah-olah mengandung kekuatan yang mampu menghentakkan setiap dada. Bukan saja orang-orang Mataram yang rasa-rasanya dadanya menjadi sesak, tetapi juga orang-orang Pajang sendiri telah terpengaruh karenanya. Karena itu, maka terasa betapa ketegangan telah mencengkam medan pertempuran antara orang-orang Pajang dan orang-orang Mataram. Meskipun orang-orang Mataram sudah hampir menguasai seluruh arena, namun suara orang yang menyebut dirinya kakang Panji itu benar-benar mempengaruhi hati mereka. Suara yang bergulung-gulung bagaikan merontokkan jantung. Sebenarnyalah orang yang menyebut dirinya kakang Panji itu mempunyai kekuatan yang luar biasa. Kemarahannya telah membangkitkan niatnya untuk tidak mengekang diri sama sekali. Ilmu yang dapat dilontarkan dan menyerang indera penciuman lawannya ternyata dibarengi oleh ilmu yang dapat dilontarkan lewat suaranya menyerang indera pendengaran. Suaranya yang gemuruh memekakkan telinga itu seolah-olah langsung menusuk sampai kepusat jantung. Dengan kemampuan yang jarang ada bandingnya, maka kakang Panji itu kemudian telah berteriak dengan suara yang gemuruh, bahkan yang sudah sempat disaringnya, sehingga suara itu seakan-akan hanya menu¬suk indera pendengaran lawan saja, meskipun berpengaruh juga atas orang-orang Pajang sendiri, namun tidak separah lawan mereka. “He, orang yang licik. Sekali lagi aku memanggilmu. Jika kau tidak segera datang, maka sebentar lagi, medan ini akan dipenuhi dengan mayat orang-orang Mataram. Aku tidak peduli siapa mereka. Namun semua orang Mataram adalah musuh-musuhku.” Orang-orang Mataram yang berada di medan itu merasa seakan-akan petir meledak di sisi telinganya. Bahkan kemudian dada merekapun terasa sesak, sehingga pernafasan merekapun menjadi terengah-engah. Beberapa orang telah berusaha menutup telinga mereka, sehing¬ga senjata orang-orang itu telah disarungkan kedalam rangkanya atau justru telah diletakkannya. Orang-orang Pajang juga terganggu oleh suara itu. Tetapi ketika kakang Panji semakin ketat mengetrapkan ilmunya yang mampu menyaring sasarannya, maka sua¬ra itu tidak terlalu menyakiti telinganya. Dengan demikian, maka keadaan orang Mataram itu telah menimbulkan satu harapan baru bagi orang-orang Pajang. Diluar sadarnya orang-orang Mataram telah menundukkan senjata mereka dan mereka lebih banyak memperhatikan telinga mereka masing-masing. “Kenapa kita tidak mempergunakan kesempatan ini.” desis seorang prajurit Pajang. Kawannya yang berada disampingnyapun mengerutkan keningnya. Mereka melihat orang-orang Mataram yang bagaikan menjadi gila. Sementara masih juga terdengar suara gemuruh, “Aku sudah mulai dengan seranganku atas orang-orang Mataram, meskipun aku belum mempergunakan ilmu petirku. Ternyata suaraku telah mampu mempengaruhi medan sebelum aku membunuh mereka dengan sambaran kekuatan tanganku yang akan dapat membakar mereka menjadi abu.” Ternyata masih belum ada jawaban. Karena itu, ma¬ka kakang Panji tidak lagi berusaha menahan diri. Kare¬na itu, maka iapun mulai memperhatikan orang-orang Mataram yang sedang kehilangan keseimbangan oleh suaranya yang gemuruh. “Mereka adalah sasaran yang menyenangkan. Aku dapat meledakkan orang-orang Mataram itu seperti bumbung beruas di kedua ujungnya, tanpa menyakiti orang-orang Pajang.” berkata kakang Panji didalam hatinya. Namun melihat akibat pada orang-orang Mataram oleh kekuatan ilmunya yang menyerang indera pendengaran orang-orang Mataram, maka niatnya menjadi berubah. Ia tidak ingin melakukan pembunuhan itu sendiri. “Kenapa aku harus mengotori ilmuku dengan nyawa tikus-tikus kecil itu ? Jika mereka kehilangan kemampuan untuk melawan, maka biarlah orang-orang Pajang mengakhiri perlawanan mereka,” berkata kakang Panji itu kepada diri sendiri. Karena itu, maka tiba-tiba saja terdengar suaranya tertawa. Menggelegar, semakin lama semakin keras. Mengguncang-guncang udara di seluruh medan dan menyusup kesetiap telinga, menusuk langsung kepusat jantung lawan. “Orang-orang Pajang yang berani.” berkata kakang Panji lewat getaran ilmunya, “kenapa kalian justru termenung ? Bukankah lawan-lawan kalian sudah menun¬dukkan kepalanya. Kenapa kalian tidak mengangkat pedang dan menebas kepala orang-orang Mataram yang membeku bagaikan patung ? Mereka lebih menghargai telinga mereka daripada jiwa mereka.” Kata-kata yang mengumandang itu benar-benar telah membangunkan orang-orang Pajang. Beberapa orang yang telah bersiap oleh kesadaran mereka sendiri terhadap keadaan lawan mereka, rasa-rasanya menjadi sema¬kin mantap. Lawan-lawan mereka memang sudah menun¬dukkan kepala mereka sambil menutup telinga mereka dengan kedua belah tangan, sementara suara itu masih belum sampai pada tingkat menggetarkan dada orang-orang Pajang sendiri meskipun suara itu menyakiti telinga mereka pula. Raden Sutawijayapun terguncang pula oleh suara itu. Tetapi dengan cepat ia berhasil mengatasinya. Bahkan Raden Sutawijaya sadar, bahwa jalan satu-satunya untuk menghentikan serangan itu adalah dengan menyerang sumbernya, sehingga orang itu tidak sempat melontarkan ilmunya yang nggegirisi itu, yang justru lebih berbahaya bagi seluruh pasukan Mataram daripada sekedar lontaran serangan lewat indera penciuman yang hanya mengenal satu sasaran utama. Di antara orang-orang Mataram yang ada di daerah medan sebelah Timur, mendengar pula suara yang menggelegar lewat lontaran ilmu yang dahsyat itu. Tetapi suara itu tidak banyak berpengaruh atas orang-orang Mataram. Bahkan para pengawal di dalam pasukan Mata¬ram itupun tidak mengalami banyak gangguan karena jarak yang sudah melampaui kemampuan jangkauan ilmu kakang Panji. Namun demikian, terasa juga sesuatu telah menggetarkan jantung mereka. Orang-orang terpenting di dalam lingkungan pasukan Mataram itupun merasa, bahwa sesuatu telah terjadi. Mereka mulai mengenali bahwa satu macam ilmu yang dahsyat telah mulai menyentuh mereka. “Jika ilmu ini masih mampu ditingkatkan, maka akibatnya akan menjadi sangat gawat bagi orang-orang didalam pasukan Mataram.” berkata Ki Waskita di dalam hati. Sementara itu, ternyata bahwa Untarapun telah memikirkan untuk mengambil sikap tertentu untuk mengatasi keadaan yang gawat itu. Dengan kelebihan yang ada Untara harus menekan lawannya sehingga mereka benar-benar tidak akan mam¬pu berbuat sesuatu lagi meskipun pengaruh suara yang mulai terasa itu benar-benar akan menyentuh telinga hati orang-orang Mataram yang bertempur disisi Timur. Karena itu, maka Untarapun segera memerintahkan pasukannya untuk bertempur semakin cepat. Bahkan ia¬pun telah menyampaikan pesan kepada Ki Waskita, Ki Lurah Branjangan, Putera Ki Gede Pasantenan dan para pemimpin yang lain agar mereka berbuat lebih banyak la¬gi justru nampaknya ada kekuatan yang melampaui kemampuan mereka untuk melawan. Namun dalam pada itu, para pengawal Mataram yang bertempur disekitar arena yang luas di sisi barat menjadi semakin lemah oleh pengaruh suara kakang Panji yang tertawa berkepanjangan. Dengan sengaja ia telah menghancurkan ketahanan orang-orang Mataram lewat indera pendengarannya. Semakin lama semakin parah. Sementara orang-orang Pajang telah terbangun dari kecemasan yang membayangi mereka, karena mereka melihat sebagaimana dikatakan oleh kakang Panji, bah¬wa orang-orang Mataram telah menundukkan kepala mereka. Tetapi sementara orang-orang Pajang sedang bersi-ap-siap, sedangkan Raden Sutawijaya yang kecemasan itu sudah akan meloncat pula untuk menyerang orang yang menyebut dirinya kakang Panji untuk menghentikan kekuatan orang itu yang telah mencengkam para pengawal dari Mataram dengan langsung menghentikan pancaran ilmu itu dari sumbernya, ternyata telah terjadi sesuatu yang mengejutkan pula. Tiba-tiba saja telah terdengar pula suara yang nyaring. Seolah-olah telah menja¬wab kata-kata orang yang menyebut dirinya kakang Pan¬ji. “He, orang-orang Mataram. Jangan biarkan diri kalian menjadi kambing yang dengan mudah dibantai oleh orang-orang Pajang. Kalian adalah pengawal yang bercita-cita. Kalian adalah pengawal dari Mataram yang sedang berjuang dengan satu keyakinan.” Suara itu tidak banyak berpengaruh atas orang-orang Mataram. Tetapi justru terhadap orang-orang Pajang. Berbeda dengan suara orang yang menyebut dirinya bernama kakang Panji itu, yang seolah-olah telah menusuk telinga orang-orang Mataram, maka suara yang nyaring itu terdengar bagaikan ledakan-ledakan yang memecahkan selaput telinga orang-orang Pajang. Dengan demikian, maka orang-orang Pajang yang su¬dah siap untuk mengayunkan senjatanya, menebas leher orang-orang Mataram atau menusuk menembus jantung, telah tertahan oleh ledakan-ledakan di telinga mereka. Demikian sakitnya suara yangmenusuk-nusuk itu, sehing¬ga beberapa orang diantara mereka tidak tahan lagi, sehingga mereka terpaksa menutup telinga mereka de¬ngan kedua tangannya. Seperti orang-orang Mataram, mereka telah menyarungkan pedangnya, ada yang melemparkannya saja di tanah atau mengepitnya dengan lengannya. Dengan demikian maka suasana di meden itu menjadi aneh. Kedua belah mengalami kesulitan yang sama. Kedua belah pihak telah diganggu oleh kekuatan yang da¬pat mengganggu indera pendengaran mereka. Menyengat telinga dan langsung menusuk kepusat dada. Dalam beberapa saat suasana menjadi tegang. Raden Sutawijaya justru tertegun ketika ia melihat akibat dari suara nyaring yang menggelepar meliputi medan, menindih suara tertawa orang yang menyebut dirinya kakang Panji itu. Sementara itu, ketika suara itu terhenti, maka terdengar lagi oleh telinga batinnya pesan lewat Aji Pameling. “Jangan turun ke medan Raden. Aku mohon. Orang itu adalah orang yang memiliki ilmu tidak ada taranya. Ia memiliki ilmu dari perguruan yang pernah mengguncangkan Majapahit pada masa kejayaannya, yang mengalir le¬wat beberapa tataran sehingga akhirnya bersarang dida¬lam dirinya.” Dada Raden Sutawijaya menjadi berdebar-debar. Hampir diluar sadarnya ia berkata, “Adimas, aku mendengar pesan itu lagi. Orang yang telah mengguncang medan itu memiliki jalur ilmu dari sebuah perguruan di masa kejayaan Majapahit. Aku mulai percaya kepada orang itu. Ia telah menahan pengaruh suara yang mencekik orang-orang Mataram. Hampir saja orang Mataram akan dibantai tanpa mengadakan perlawanan. Namun dengan pengaruh yang sama, orang itu telah membuat orang-orang Pajang juga kehilangan kemampuan untuk menguasai dirinya. Telinga mereka bagaikan tertusuk sengat kumbang yang paling garang sehingga mereka telah kehilangan nalar mereka.” “Akupun mempercayainya kakangmas,” jawab Pangeran Benawa, “meskipun aku tidak mendengar pesan-pesannya, tetapi mendengarnya lewat kakangmas, rasa-rasanya orang itu memang bersungguh-sungguh.” Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya medan yang dicengkam oleh suasana yang asing. Kedua belah pihak bagaikan tidak mempunyai kesempatan untuk berbuat sesuatu. “Pertempuran yang aneh telah terjadi.” desis Ra¬den Sutawijaya. “Ya. Yang akan terjadi adalah pertempuran antara beberapa orang Senapati yang mampu melepaskan diri dari cengkaman serangan indera pendengarannya.” berkata Sutawijaya kemudian. Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Namun yang terdengar kemudian adalah suara yang menggelegar, “Pengecut. Keluarlah. Kita akan bertempur beradu dada.” Sejenak suara itu bergetar diatas medan yang diceng¬kam oleh suasana yang asing itu. Sementara di sisi Timur dari medan itu, Untara telah meningkatkan usahanya un¬tuk dengan segera menyelesaikan pertempuran. Suara-suara yang menggetarkan jantung itu memberikan isyarat bahwa telah terjadi benturan ilmu yang dahsyat yang tidak akan dapat diatasi oleh para pengawal kebanyakan. Namun dengan demikian Untara tidak dapat mencegah pasukannya yang mendesak lawannya bergeser merapat, sehingga medan itu di sisi Timur bergser ke Barat. Sementara itu, orang yang menyebut dirinya kakang Panji itu masih saja memanggil, “Marilah. Aku tahu kau orang yang memiliki ilmu yang jarang ada bandingnya. Tetapi sayang, bahwa kau adalah pengecut besar.” “Jangan terlalu sombong Ki Sanak.” terdengar jawaban nyaring, “aku tidak bersembunyi. Tetapi aku ingin melihat, apa yang akan kau lakukan terhadap para pengawal yang tidak akan dapat menghindarkan diri dari cengkaman ilmumu yang nggegirisi itu.” Wajah orang itu menjadi tegang. Dipandanginya seluruh medan dari ujung sampai ke ujung. Di sisi Barat itu, pertempuran seolah-olah memang sudah berhenti. Kedua belah pihak telah terkena serangan yang sama pada indera pendengaran. Dengan demikian, maka yang terjadi di sisi Barat dari medan itu adalah satu benturan ilmu yang dahsyat yang telah menguasai seluruh arena pertempuran. Hanya beberapa orang Senapati di kedua belah pihak sajalah yang masih dapat menyadari dengan samar-samar apa yang telah terjadi atasnya. Sementara itu Raden Sutawijaya berdesis, “Satu pertempuran yang aneh telah terjadi adimas Pangeran. Dua orang yang memiliki ilmu raksasa sedang bertempur, sementara pasukan dari kedua belah pihak telah dicengkam oleh sentuhan ilmu itu pula sehingga mereka tidak berdaya.” “Menarik sekali kakangmas. Aku merasa beruntung berkesempatan melihat benturan dua ilmu yang jarang diketemukan sekarang ini,” berkata Pangeran Benawa. Raden Sutawijaya mengangguk. Pertempuran itu akan dapat menjadi pertempuran yang sangat dahsyat. Tetapi jika keduanya tidak dapat mengekang diri, maka bentu¬ran ilmu itu justru akan menjadi sangat gawat bagi orang-orang yang berada di arena itu. Mereka tentu tidak akan dapat bertahan atas sentuhan-sentuhan ilmu pada diri mereka. Dalam keadaan yang demikian itu, terdengar suara yang berada di antara pasukan Pajang itu, “Aku berada di peperangan. Aku akan membunuh setiap orang yang aku anggap musuh.” “Itukah yang akan dilakukan oleh seorang kesatria yang mengaku trah Majapahit dan yang ingin berusaha membangun kembali kejayaan masa silam itu dengan cara yang sangat mengerikan? Memang tidak mustahil jika kau akan dapat dengan melakukan pembunuhan yang paling keji atas orang-orang Mataram dengan melumpuhkan kemampuan perlawanan mereka dan mem¬biarkan orang-orang Pajang yang menjadi pengikutmu itu untuk membantainya. Tetapi itu bukan cara seorang ke¬satria.” terdengar jawaban yang menggetarkan udara di atas medan. “Satu sikap yang sangat cengeng dari seorang pengecut. Aku tidak peduli. Aku akan membunuh semua orang-orang Mataram dengan cara apapun juga. Aku ada¬lah orang yang memiliki ilmu tidak terlawan. Kaupun tidak akan dapat melawan aku.” geram orang yang menyebut dirinya kakang Panji itu. Suaranya masih tetap dilambari dengan ilmunya yang dahsyat yang bagaikan menusuk langsung kedalam setiap dada orang-orang. “Kau telah mempergunakan aji Gelap Ngampar yang sangat berbahaya itu,” berkata suara yang lain, “tetapi jika aku tidak mengimbangi dengan ilmu yang sama, maka orang-orang Mataram tidak akan dapat ber¬tahan sepenginang. Pedang orang-orang Pajang itu akan segera membantai mereka, sehingga mayat mereka ber¬serakan.” “Lalu apa yang kau kehendaki pengecut?” ber¬tanya orang yang menyebut dirinya kakang Panji. “Tidak ada cara yang lebih baik dari perang tanding.” jawab suara yang lain. “Bagus.” teriak orang yang menyebut dirinya kakang Panji suaranya menggelegar bagaikan meruntuhkan langit, “kau memang sombong dan dungu. Kau belum tahu siapa aku, sehingga kau berani menantang perang tanding. Kau kira aku setingkat saja dengan Tumenggung Prabadaru yang telah dibunuh oleh anak ingusan itu?” “Kau benar Ki Sanak, aku memang belum mengenalmu. Tetapi perang tanding adalah satu-satunya cara yang paling baik untuk menghindarkan pengaruh ilmu terhadap pasukan Mataram yang sudah hampir mencapai kemenangan.” “Ternyata kau memang sangat licik. Tetapi aku tidak berkeberatan. Jika aku tetap mempergunakan aji Gelap Ngampar, maka pasukan Mataram tidak akan dapat berbuat apa-apa meskipun karena kau juga mempergunakan ilmu yang sama sehingga orang-orang Pajang juga tidak akan dapat berbuat sesuatu. Namun dengan demikian aku sudah menghentikan satu gerak menuju kehancuran pasukan Pajang.” jawab orang yang menyebut dirinya kakang Panji. Sementara itu ia melanjutkan. “Sementara itu, baiklah kau mengenalku sebagai kakang Panji. Jika kau hadir di arena ini, mungkin kau akan dapat menyebutku dengan nama lain. Tetapi coba katakan, siapakah namamu?” “Kita memiliki kesamaan dalam hal ini. Aku dapat menyebut namaku dengan siapa saja. Kau tak akan dapat mengenali namaku yang dalam sehari dapat berganti sampai tujuh kali. Tetapi kita sebaiknya memang harus berhadapan. Mungkin kita sudah pernah saling mengenal sebelumnya, tetapi mungkin pula belum.” jawab suara yang lain. “Jangan hanya berteriak-teriak saja untuk memamerkan aji Gelap Ngamparmu yang jelek. Aku sudah ber-ada di medan. Jika kau memang ingin berperang tanding, maka kaulah yang harus datang kemari. Kita akan bertemu di medan sekarang ini.” tantang kakang Panji. “Bagus,” jawab orang yang masih belum diketahui itu, “aku akan segera datang.” Suasana medan itu menjadi semakin tegang. Dua orang berilmu raksasa akan bertemu dan bertempur di medan itu pula. Masing-masing akan melontarkan ilmu mereka dan akibatnya memang akan dapat menjadi gawat bagi kedua belah. Dalam pada itu, selagi Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya termangu-mangu, maka sekali lagi Raden Sutawijaya mendengar pesan lewat kemampuan aji Pameling. “Raden. Hati-hatilah. Terserah kepada kebijaksanaan Raden atas pasukan Mataram yang berada di medan. Jika benar akan terjadi perang tanding, maka biar Raden menjaga, agar orang-orang Mataram tidak mengalami kesulitan.” Raden Sutawijaya hanya dapat menarik nafas. Tetapi ia tidak dapat menjawab, karena ia tidak tahu siapakah yang telah berbicara dengan mempergunakan pesan lewat aji Pameling itu. Namun dalam pada itu iapun bergumam, “Adimas. Akan terjadi perang tanding yang dahsyat. Mungkin tidak ada benturan dalam ujud wadag, tetapi yang terjadi adalah benturan ilmu yang nggegirisi itu.” Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Ia adalah orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Bahkan hampir mumpuni. Sebagaimana Raden sutawijaya. Pangeran Benawa memiliki sumber ilmu dari Sultan Hadiwijaya yang telah dapat dikembangkannya sendiri sehingga ilmunya merupakan ilmu yang sulit untuk dicari imbangannya. Sebagaimana sebuah kedung, maka Pangeran Benawa menampung arus ilmu dari aliran yang bermacma-macam, namun kemudian luluh didalam diri¬nya. Meksipun demikian, ia menjadi berdebar-debar seperti juga Raden Sutawijaya. Di medan itu telah hadir dua orang yang memiliki kemampuan yang seolah-olah tidak dapat dijangkau dengan nalarnya. Dalam pada itu, kedua orang yang berilmu tinggi itu menunggu dengan dada yang berdebar-debar. Apakah yang akan terjadi kemudian di medan itu apabila kedua orang berilmu tinggi itu sudah saling berhadapan. Sementara itu, kedua belah pihak pasukan yang saling berhadapan itu seolah-olah telah kehilangan kemampuan untuk dapat berbuat sesuatu. Dada mereka bagaikan telah dirontokkan oleh ilmu Gelap Ngampar yang tersaring dengan sasaran yang berlawanan. Dengan demikian, maka kedua belah telah terpukau oleh hentakan-hentakan di dalam jantung mereka, sehingga mereka tidak lagi mampu berbuat sesuatu. Beberapa orang Senapati yang memiliki daya tahan melampaui pasukannya, berusaha untuk tetap menyadari apa yang telah terjadi pada mereka. Tetapi mereka harus berjuang sekuat-kuat tenaga untuk tidak kehilangan pengamatan diri karena kekuatan aji yang menghentak-hentak dada. Meskipun demikian, ternyata merekapun tidak lagi mampu bertahan lebih lama lagi. Ketika percakapan dua orang yang memiliki ilmu yang nggegirisi itu menjadi semakin panjang, maka dada merekapun menjadi sema¬kin terguncang-guncang. Dalam pada itu, maka dengan tegang kakang Panji menunggu orang yang telah dapat mengimbangi ilmunya dengan ilmu yang sama. Gelap Ngampar. Bahkan karena orang itu tidak sabar lagi menunggu, terdengar suaranya bergema di seluruh medan, “Cepatlah pengecut, sebelum aku memusnakan orang-orang Mataram dengan api yang dapat aku lontarkan dari telapak tanganku.” Tidak ada jawaban. Tetapi sejenak kemudian terde¬ngar suara angin yang berputaran dengan dahsyatnya. Beberapa langkah saja disisi Pangeran Benawa dan Ra¬den Sutawijaya yang masih tetap berusaha untuk tidak menampakkan dirinya, karena mereka berada di belakang semak-semak. Angin pusaran itu bagaikan telah mengisap debu dan dedaunan kering, melontarkannya ke udara. Semakin la¬ma semakin keras. Namun angin pusaran itu sama sekali tidak bergeser dari tempatnya. Angin pusaran itu telah menarik perhatian setiap orang. Kakang Panjipun memandanginya dengan tegang. Namun kemudian ia berkata, “Pengecut. Kau tidak yakin akan dirimu sendiri, sehingga menganggap perlu untuk membuat pengeram-eram.” Tidak terdengar jawaban. Namun angin pusaran itu semakin lama menjadi semakin lambat, sehingga akhir¬nya perlahan-lahan segala macam yang dilontarkan ke udara itupun mulai terhambur berjatuhan. Debupun menjadi semakin tipis, sehingga akhirnya, perlahan-lahan angin pusaran itu hilang tanpa bergeser setapakpun dari tempatnya. Namun dalam pada itu, semua mata terpukau melihat ketempat angin pusaran yang kemudian lenyap. Ditempat itu berdiri seseorang menghadap kearah kakang Panji berdiri. Seorang yang setua kakang Panji. Bahkan agak lebih tua meskipun tidak terlalu banyak. “Kiai Gr ingsing.” desis Raden Sutawijaya. Pangeran Benawapun memandanginya dengan tanpa berkedip. Menurut penglihatannya, orang itu memang Kiai Gringsing. “Aku sudah mencoba menghubunginya dengan Aji Pameling,” desis Raden Sutawijaya , “tetapi tidak ada sentuhan apa-apa.” “Mungkin ia menerima pesan kakangmas. Tetapi ia sengaja tidak menjawabnya agar kakangmas tetap tidak mengetahui, siapakah yang telah memberikan pesan kepada kakangmas.” jawab Pangeran Benawa. Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Dalam pada itu, kakang Panji memandang orang yang muncul dari balik angin pusaran itu dengan hati yang berdebar-debar. Ia sudah pernah melihat orang itu di arena. Ia tahu bahwa orang itulah yang disebut Kiai Gringsing. Seorang yang dianggapmemiliki ilmu yang tinggi sebagaimana Ki Gede Menoreh yang telah terluka itu. Sebagaimana Ki Waskita dan satu dua orang yang tidak terlalu banyak untuk dapat disebut. Namun kakang Panji itu tidak mengira, bahwa orang yang bernama Kiai Gringsing yang bersenjata cambuk itu mampu melontarkan ilmu yang dapat mengimbangi ilmu Gelap Ngamparnya. Tetapi kakang Panji tidak menjadi gentar. Ia merasa bahwa di dalam dirinya masih tersimpan ilmu yang nggegirisi. Dari tangannya dapat memancar api, sehing¬ga Ki J uru Martanipun tidak berhasil melawan kekuatan ilmu dari telapak tangannya itu meskipun Ki Juru mampu membuat dirinya menjadi rangkap dan sempat membuatnya menjadi bingung. Karena itu, maka dengan suaranya yang lantang masih dalam lambaran ilmu Gelap Ngampar ia berkata, “Jadi kaulah orangnya yang merasa iri mampu melawan a ku? Jadi kau jugakah yang telah mengganggu perang tan¬ding antara Ki Tumenggung Prabadaru dan Agung Sedayu?” “Aku tidak bermaksud mengganggunya.” jawab Kiai Gringsing yang mengimbangi getar ilmu Gelap Ngampar lawannya, “Aku justru berusaha agar perang tanding itu tidak terganggu. Bukankah kau telah berbuat curang dengan melontarkan serangan tersembunyi kepa¬da Agung Sedayu lewat indera penciumannya ?” “Persetan.” jawab kakang Panji, “yang kini berhadapan adalah kita berdua. Marilah. Mungkin kau su¬dah berhasil membunuh beberapa orang kepercayaanku, orang-orang yang aku anggap dapat membantuku. Tetapi mereka bukan aku.” “Aku mengerti. Dan aku ingin mencegah tingkah lakumu. Bukan saja dipeperangan ini.” Wajah kakang Panji menjadi tegang. Dipandanginya orang yang menyebut dirinya Kiai Gringsing itu melangkah mendekati arena. Namun dalam kediamannya, Kiai Gringsing masih sempat berkata kepada Raden Suta¬wijaya dengan aji Pameling, “Maaf Raden. Bukannya aku merasa diriku mumpuni dan mempunyai kelebihan dari Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa. Jika kali ini aku maju menghadapi orang yang menyebut dirinya kakang Panji itu karena aku merasa mempunyai kewajiban untuk melakukannya.” Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Kini ia pasti bahwa yang berbicara kepadanya memang Kiai Gringsing. Karena itu maka iapun sempat menjawab, “Ketika aku mencoba menghubungi Kiai, nampaknya Kiai tidak berminat untuk menjawab.” “Aku masih bersembunyi saat itu. Kini aku sudah ada disini.” jawab Kiai Gringsing dengan aji Pameling. Raden Sutawijaya tidak menjawab lagi. Dipandanginya saja Kiai Gringsing yang kemudian melangkah maju mendekati orang yang menyebut dirinya kakang Panji. “Luar biasa.” berkata kakang Panji, “jadi kau berani menghadapi aku ? Kau kira aku setingkat dengan orang-orang yang telah kau bunuh dipeperangan ini ?” “Tidak kakang Panji.” berkata Kiai Gringsing, “aku tahu bahwa kau memiliki kemampuan dan ilmu yang tidak ada bandingnya.” “Jika demikian, kenapa kau memasuki arena justru perang tanding ? Apakah kau memang sengaja ingin membunuh diri ?” bertanya kakang Panji. “Tidak. Aku masih ingin untuk tetap hidup meskipun aku sudah tua. Meskipun demikian, tentang hidup dan mati itu bukannya persoalan manusia. Kita tinggal menjalani saja.” jawab Kiai Gringsing. “Lalu apa maumu ?” bertanya kakang Panji. “Kita akan bertempur. Kita akan menentukan siapa yang akan tetap hidup.” jawab Kiai Gringsing. Kakang Panji tertawa. Katanya, “Kau menyangka bahwa kau memiliki kemampuan seperti aku ?” bertanya kakang Panji. Suara tertawanya menggelegar. Jantung orang-orang Mataram menjadi semakin sakit. Namun sementara itu, Kiai Gringsingpun menjawab tidak kalah lantangnya, “Aku tahu bahwa kau memiliki bermacam ilmu yang ngedab-edabi kakang Panji. Kau memiliki ilmu Gelap Ngampar. Kau mampu menyerang indera pendengaran dengan ilmu Gelap Ngampar ini. Tetapi kau juga mampu menye¬rang indera penciuman lawan-lawanmu. Kaupun mampu melontarkan petir dari tanganmu. Nah, apa lagi. Bahkan mungkin kau masih memiliki bermacam ilmu yang lain yang akan dapat kau banggakan di medan ini.” “Nah, ternyata kau mengetahui sebagian dari ilmuku. Jika demikian, kenapa kau berani menghadapi aku apalagi dalam perang tanding ? Karena sebenarnya kau masih memiliki kesempatan jika kau tidak menempatkan dirimu dalam perang tanding melawan kakang Panji.” jawab kakang Panji. Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Namun katanya, “Ki Sanak yang perkasa. Betapapun tinggi ilmu seseorang, tetapi ia tentu mempunyai kelemahan. Aku tahu, bahwa kelemahanmu terletak pada sikap dan pandangan hidupmu. Usahamu menguasai Pajang adalah cermin da¬ri ketamakanmu. Karena itu, bagaimanapun juga, maka ilmu dan kemampuanmu tidak akan dapat mendukung niatmu yang buram itu.” “Omong kosong,” teriak kakang Panji, “itu adalah kepercayaan yang cengeng. Kau sangka bahwa kepercayaan semacam itu akan dapat menolongmu ? Menolong Sutawijaya dan Ki Juru Martani ? Baik atau buruk, putih atau hitam gegayuhan seseorang, jika hal itu didukung oleh kemampuan dan kekuatan yang memadai, maka usaha itu tentu akan berhasil. Aku tidak percaya bahwa ha¬nya berbekal dengan satu anggapan yang belum tentu kebenarannya, bahwa dengan berpihak kepada kebaikan, maka ia akan dapat mengalahkan kejahatan, maka kau benar-benar ingin menang.” “Jadi menurut pendapatmu ?” bertanya Kiai Gringsing. “Siapa yang kuat, ialah yang akan menang. Kelema¬han terletak pada ketiadaan ilmu dan kebodohan. Tidak pada gegayuhan dan cita-cita. Dengan penuh keperca¬yaan, aku akan mencapai gegayuhanku. Mendirikan satu negara sebagaimana yang pernah kita kenal dengan Majapahit pada jamannya.” jawab kakang Panji. “Kau berkiblat kepada kekuatan duniawi saja,” jawab Kiai Gringsing, “kau melupakan kekuatan yang ti¬dak terjangkau oleh nalar manusia.” Kakang Panji tertawa berkepanjangan. Katanya, “Hanya orang yang tidak memiliki kepercayaan kepada diri sendiri sajalah yang lari kepada satu kepercayaan yang tidak menentu ujung pangkalnya.” “Baiklah kakang Panji,” berkata Kiai Gringsing, “nampaknya kau memang sudah berdiri pada satu keyakinan. Tetapi akupun berpijak pada satu keyakinan, bahwa kelaliman, kerakusan dan kejahatan tentu akan dapat di hancurkan. Karena itu, maka aku berani menempatkan diri menghadapimu.” “Omong kosong,” jawab kakang Panji, “kau berani melawan aku karena kau merasa memiliki sejenis ilmu yang sama dengan ilmuku. Ilmu gelap ngampar. Tetapi kau tidak mempunyai kekuatan untuk melawan ilmuku yang lain.” “Sebut jajaran ilmu yang kau miliki,” berkata Kiai Gringsing, “aku tidak akan gentar, karena aku yakin bah-wa kau berada di atas daerah kelemahanmu dengan kesalahan-kesalahan yang kau lakukan.” “Omong kosong. Kau merasa mampu melindungi de¬ngan kabut, dengan angin pusaran atau ujud-ujud yang la¬in yang dapat mengganggu tatapan mataku. Kau sangsi bahwa hanya dengan tatapan mataku saja ilmuku dapat mengenai sasaran.” geram kakang Panji. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Tetapi kau sudah melakukan satu kesalahan besar. Apakah kekudangan gurumu atau jalur ilmumu, memang seperti yang kau lakukan sekarang ini ?” “O, kau ingin menggores kecengenganku,” bentak kakang Panji, “kau ingin aku mengenang guruku. Meratap dan kemudian menangisi tingkah lakuku.” Kiai Gringsing memandang wajah orang yang menyebut dirinya kakang Panji itu dengan dada yang berdebaran. Nampaknya ia memang berhadapan dengan seseorang yang telah dengan pertimbangan yang masak melakukan rencananya. Bahkan dengan satu keyakinan yang pasti. Karena itu, maka agaknya tidak ada pilihan lain bagi Kiai Gringsing selain menghadapi orang itu dengan bentu¬ran ilmu. Dengan demikian, maka Kiai Gringsing itupun telah mempersiapkan dirinya sebaik-baiknya. Setiap saat orang yang menyebut dirinya kakang Panji itu akan mam¬pu melontarkan ilmunya yang nggegirisi. Ilmu yang ja¬rang ada bandingnya. Sementara itu, nampaknya kakang Panjipun menjadi heran melihat sikap orang yang menamakan dirinya Kiai Gringsing itu. Ternyata orang itu bukan saja berilmu ting¬gi. Tetapi ia memiliki beberapa unsur ilmu sebagaimana dimilikinya. Bahkan orang itu mengetahui beberapa hal tentang kekuatan-kekuatan yang tersembunyi di dalam dirinya. Apalagi orang yang menamakan dirinya Kiai Gringsing itu sudah menyebut guru dan perguruannya. Dalam pada itu, maka Kiai Gringsingpun menjadi semakin dekat ketika ia melangkah semakin maju. Dengan lantang Kiai Gringsingpun kemudian berkata, “Ki Sanak. Aku sama sekali tidak ingin berusaha untuk membuatmu meratapi tingkah lakumu. Meskipun tingkah lakumu itu sesat menurut pandangan guru dan ilmumu, tetapi jika itu memang sudah menjadi tujuan hidupmu, maka aku kira tidak ada orang lain yang akan dapat memaksamu. Mungkin secara lahiriah, orang akan dapat menghalangi niatmu secara batin. Kau dapat berbuat apa saja didalam batinmu, meskipun tubuhmu terbelenggu. Karena yang dapat menghentikan angan-anganmu adalah kau sendiri atau satu-satunya jalan lain adalah kematian.” “Tepat Kiai,” jawab kakang Panji, “karena itu segala usaha akan sia-sia. Sementara itu tidak seorangpun akan dapat membunuhku, karena tidak ada orang lain yang akan dapat mengimbangi ilmuku. Aku dapatmelawan seluruh pasukan Mataram dengan ilmu Gelap Ngampar¬ku. Sementara itu aku akan dapat membunuhmu dengan ilmuku yang lain, yang memenuhi perbendaharaan batinku.” “Kau terlalu cepat mengambil kesimpulan,” jawab Kiai Gringsing, “ilmu Gelap Ngamparmu tidak akan berarti apa-apa bagi orang-orang berilmu tinggi. Misalnya Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa atau Ki Waski¬ta dan beberapa orang lagi. Mereka akan dapat mengatasinya dan merekapun akan dapat berbuat seperti apa yang kau lakukan untuk melawan orang-orang Pa¬jang.” “Persetan,” jawab kakang Panji, “aku tidak akan banyak berbicara lagi. Sekarang datang saatnya untuk membunuhmu. Tetapi katakan, persamaan diantara kita, kau dapatkan dari jalur yang mana ?” “Mungkin kita tidak saling mengenal secara pribadi. Tetapi ternyata kau mengenal aku dan akupun mengenalmu. Baiklah. Aku ingin menunjukkan ciriku. Tetapi kaupun harus menunjukkan cirimu, dari cabang yg manakah yang telah mengalirkan ilmu kedalam lubuk yang keruh.” “Tutup mulutmu,” bentak kakang Panji, “kau selalu menyebut aku sebagai pihak yang bersalah dalam hal ini. Tetapi itu justru karena kau tidak mendalami makna dari tindakanku menyelamatkan Pajang sekarang ini dari kehancuran. Bahkan berusaha membangkitkan kemegahan Majapahit yang Agung.” “Seandainya tujuanmu bersih, tetapi cara yang kau pergunakan adalah cara yang paling kotor. Kau menganut sikap yang membenarkan cara apapun untuk mencapai tujuan. Dan itu bertentangan dengan sikap perguruan yang mengalirkan sumber ilmu kedalam dirimu.” jawab Kiai Gringsing. “Sejak semula aku tidak peduli anggapan seperti itu,” jawab kakang Panji, ”aku tidak akan menyesali segala perbuatanku. Aku sudah meyakini kebenarannya. Dan aku akan melakukannya terus. Sekarang, sebut cirimu sebelum kau mati.” Kiai Gringsing termangu-mangu. Namun akhirnya ia berkata, “Aku tidak bermimpi untuk mempergunakan il¬mu ini. Aku pernah bertempur dan terluka parah. Tetapi aku tidak mempergunakan ilmu yang hadir dalam rangkuman ciri-ciri di pergelanganku ini. Tetapi ketika aku bertemu dengan seseorang yang memiliki sumber il¬mu yang sama dan tanpa mengekang diri telah mempergunakannya, maka aku tidak mempunyai pilihan lain kecuali mempergunakan ilmu yang bersumber dari jalur yang sama untuk melestarikan peradaban Pajang.” “Setan alas,” bentak kakang Panji. Lalu, “Cepat, sebut cirimu. Ini ciriku. Aku akan menunjukkannya.” Kakang Panji itupun kemudian menengadahkan dadanya. Sambil membuka bajunya ia berkata, “Aku adalah murid dari perguruan Sari Pati.” Wajah Kiai Gringsing menegang. Perguruan itu adalah perguruan yang dekat sekali dengan jalur perguruannya. Meskipun bukan tempatnya berguru untuk pertama kali. Tetapi justru perguruan kakeknya sendiri. Dengan demikian maka Kiai Gringsingpun sadar, bahwa ia memang berhadapan dengan orang yang mem-iliki ilmu yang sulit dicari tandingannya. Karena itu, ia ti¬dak mau melihat kakang Panji itu merasa dirinya terlalu besar. Sehingga karena itupun maka Kiai Gringsingpun telah mengangkat tangannya sambil menyingsingkan lengan bajunya. “He, murid Sari Pati. Murid dari satu perguruan yang bersih dan putih. Kau ternyata telah mengotori nama perguruanmu. Namun kau masih berani mengangkat dadamu sambil menunjukkan ciri dari perguruan Sari Pa¬ti. Kau masih berani menganggap bahwa tanda kuncup bunga menur itu sebagai ciri perguruanmu.” geramKiai Gringsing. “Tutup mulutmu. Sekarang tunjukkan cirimu. Kau mengaku mempunyai sumber yang sama dengan penguruanku, atau karena kau pada suatu saat berhasil mencuri sebagian kecil ilmu perguruanku.” sahut kakang Panji. “Buka matamu. Aku tahu, kau memiliki pandangan yang sangat tajam, sehingga kau mampu melihat pergelangan tanganku yang aku angkat tinggi-tinggi ini.” jawab Kiai Gringsing. Orang itu tertegun sejenak. Kemudian dengan ketajaman indera penglihatannya ia mulai mengamati pergelangan tangan Kiai Gringsing. Ia mulai memperhatikan lukisan cakra di pergelangan tangan itu. Terasa degup jantung orang yang menyebut dirinya kakang Panji itu menjadi semakin cepat. Ia melihat luki¬san di pergelangan tangan Kiai Gringsing itu. Lukisan, yg dikenalnya dengan baik sebagai ia mengenal ciri perguruannya sendiri. Dengan suara sendat ia berdesis, “Perguruan Windiujati.” “Ya. Aku adalah salah seorang dari keluarga perguruan Windujati.” jawab Kiai Gringsing. Wajah orang itu menjadi tegang. Dengan nada dalam ia berkata, “Siapa sebenarnya kau orang bercambuk,” bertanya orang yang menyebut dirinya kakang Panji, “aku ingin mengenalmu lebih dekat jika kau memang salah seorang dari lingkungan keluarga Windujati.” “Sebagaimana kau lihat pada ciri ini,” jawab Kiai Gringsing, “tetapi kau tidak perlu mengenal lebih banyak tentang diriku. Dengan saling mengenal ciri-ciri perguru¬an kita masing-masing, maka kita sudah dapat mengerti, bahwa kita adalah keluarga. Tetapi agaknya jalan yang kita pilih agak berlainan.” “Kau belum memahami perjuangan kami,” berkata kakang Panji, “jika kau mengenal lebih dalam lagi, maka kau tentu tidak akan memusuhi aku. Apalagi ternyata kita adalah keluarga.” “Seandainya aku sependapat dengan cita-cita yang ingin kau capai dengan perjuanganmu, maka cara untuk mencapainya bertentangan dengan ajaran perguruan kita. Maksudku perguruan Sari Pati dan perguruan Windujati yang merupakan aliran dari sumber yang sama.” berkata Kiai Gringsing. “Justru karena aku mengenali ilmumu yang nggegirisi, maka aku merasa terpanggil untuk bangkit dan berdiri berseberangan denganmu, meskipun aku tahu, bahwa kita tentu mempunyai sumber yang sama.” “Kiai Gringsing,” berkata kakang Panji, “marilah. Cobalah memahami perjuangan kami. Kau tentu mempu-nyai waktu untuk melakukannya. Kau tentu merasa wajib untuk melakukannya, justru karena kau merasa dirimu keluarga Windujati.” “Aku berpendirian sebaliknya,” berkata Kiai Gring¬sing, “justru aku keluarga perguruan Windujati maka aku ingin memberimu peringatan. Hentikan segala tingkah lakumu yang dapat menumbuhkan akibat yang sa¬ngat luas ini.” “Kau tentu ingin mendengar alasanku.” berkata kakang Panji. “Aku tidak berkeberatan. Tetapi tarik orang-orangmu dari Prambanan. Kau harus meletakkan dasar kekuasaan Demak sebagaimana sediakala. Kangjeng Sultan Hadiwijaya adalah lambang dari pemerintahan Demak yang harus ditaati. Namun justru kau telah melakukan sa¬tu langkah yang bertentangan dengan itu.” berkata Kiai Gringsing. “Langkah itulah yang akan aku jelaskan. Bukan un¬tuk ditarik kembali.” jawab kakang Panji. “Aku mensyaratkannya, jika kau ingin berbicara de¬ngan aku.” jawab Kiai Gringsing, “dengan demikian kita akan berbicara sebagai keluarga. Kita telah kembali kedalam jalur ajaran perguruan kita lebih dahulu.” “Syaratmu terlalu berat Kiai,” jawab kakang Panji, “agaknya aku tidak akan dapat melakukannya.” “Aku menasehatkan kepadamu,” berkata Kiai Gringsing, “agaknya kau belum terlambat mengambil satu sikap yang bijakana.” “Kiai,” berkata kakang Panji, “perguruan Windujati darahnya memang lebih tua dari perguruan Sari Pati. Tetapi itu bukan berarti bahwa apa yang kau katakan itu harus aku ikuti. Dalam kehidupan ini tidak jarang terjadi, bahwa yang muda itu memiliki kelebihan dari yang tua. Apalagi dalam putaran jaman yang berubah. Maka datang saatnya bahwa yang tua itu harus ditinggalkan.” Wajah Kiai Gringsing menjadi semakin tegang. Agaknya orang yang menamakan dirinya kakang Panji itu su¬dah sulit untuk diajak berbicara. Agaknya ia memang su¬dah bertekad bulat untuk melakukan rencananya. “Sejak tataran yang manakah perguruan Sari Pati sudah kehilangan arahnya. Apakah pada orang ini atau se¬jak gurunya yang sudah kehilangan kiblat.” berkata Kiai Gringsing didalam hatinya. Namun dalam pada itu, maka Kiai Gringsingpun kemudian berkata, “Panji, bagaimanapun juga aku akan bertindak sebagai saudara tua. Aku ingin memberimu peringatan dan mengajakmu kembali kejalan yang benar. Tetapi jika kau tetap pada pendirianmu, maka aku adalah orang yang pertama-tama merasa berkewajiban untuk mencegahmu, justru karena aku adalah saudara tuamu.” “Kiai. Aku tidak dapat berpaling dari perjuanganku yang sudah aku persiapkan sejak lama. Saat ini adalah langkahku yang terakhir. Aku akan s
    • kyai…………cerita selanjutnya piye.aku nggak ketemu.

  2. ohhh kyai tolong lah tunjukan pedepokan selanjutnya ?

  3. Re-typenya kepotong ya Ki ?
    Terusannya dimana ?
    Matur nuwun….

  4. Monggo K4ng TTM

    meneruskan karya Ki Mahesa

    “Kiai. Aku tidak dapat berpaling dari perjuanganku yang sudah aku persiapkan sejak lama. Saat ini adalah langkahku yang terakhir. Aku akan segera menikmati perjuanganku. Aku akan membinasakan Mataram. Selanjutnya aku akan membinasakan Pajang sama sekali.” jawab orang yang menyebut dirinya Kakang Panji itu.

    “Baiklah,” berkata Kiai Gringsing, “jika aku sudah tidak lagi bermimpi untuk mempergunakan ilmu perguru¬an Windujati pada puncak kemampuannya, karena aku ti¬dak mengira, bahwa masih ada juga sisa-sisa orang yang memiliki ilmu dari sumber yang sama, justru untuk kepentingan yang berlawanan dengan maksud perguruannya. Agaknya karena itu, maka aku harus mengingat kembali, bahwa sebenarnya aku adalah murid sepenuhnya dari perguruan Windujati, meskipun Windujati bukan satu-satunya perguruan tempat aku belajar.”

    “Apapun yang kau katakan,” jawab orang itu, “kau tetap aku akui sebagai saudara tuaku. Tetapi aku bukan kanak-kanak lagi. Sebagaimana aku katakan, yang muda mungkin jauh lebih baik dari yang tua pada masa seka¬rang ini.”

    “Mungkin juga sebaliknya,” jawab Kiai Gringsing, “tetapi baiklah kita akan melihat, apakah aku masih mampu menempatkan diriku sebagai saudara tuamu.”

    “Kita akan memperbandingkan ilmu perguruan Sari Pati dengan perguruan Windujati. Jika kau kalah, bukan salah perguruan Windujati bahwa pada keturunan kedua mendapatkan seorang murid yang lebih bodoh dari murid Sari Pati.”

    Kiai Gringsing tidak menjawab lagi. Ia sudah yakin, bahwa yang akan terjadi adalah benturan kekuatan. Ia ti¬dak akan dapat merubah sikap murid dari perguruan Sari Pati itu.

    Karena itu, yang dapat dilakukan oleh Kiai Gringsing kemudian adalah mempersiapkan diri untuk menghadapi ilmu yang tinggi. Ilmu dari keluarga perguruan Sari Pati. Meskipun perguruan itu adalah perguruan yang bersih, ternyata segala sesuatunya tergantung juga kepada manusia yang menguasainya. Dan yang berdiri di hadapan Kiai Gringsing itu ternyata mempunyai sikap tersendiri yang menyimpang dari sikap perguruan Sari Pati.

    Ketika orang yang menyebut dirinya bernama Kakang Panji itu mempersiapkan diri, maka Kiai Gringsing telah meraba pergelangan tangannya. Seolah-olah ia masih ingin meyakinkan dirinya sendiri, bahwa ia adalah keturunan yang mewarisi ilmu dari perguruan Windujati di samping perguruan yang lain.

    Sejenak kemudian, maka orang yang menyebut diri¬nya bernama Kakang Panji itupun telah bersiap pula. Keduanya langsung berada dalam tataran tertinggi dari ilmu mereka masing-masing.

    Dalam pada itu, orang-orang Mataram dan orang-orang Pajang seolah-olah sudah tidak lagi mampu melanjutkan pertempuran di antara mereka. Aji Gelap Ngampar yang dilontarkan oleh kedua orang yang ber¬sumber ilmu perguruan yang sama itu telah membuat jan¬tung orang-orang Mataram dan orang-orang Pajang bagaikan pecah. Sementara itu merekapun telah-diceng¬kam oleh perang tanding yang berlangsung antara kedua orang yang memiliki ilmu yang jarang ada bandingnya itu.

    Namun dalam pada itu, pertempuran di sisi Timur masih berlangsung terus. Pasukan Mataram semakin lama mendesak pasukan Pajang semakin jauh ke Barat, sehingga sebentar lagi, pertempuran itu tentu akan segera menyatu dengan arena pertempuran di bagian Barat yang seakan-akan telah terhenti sama sekali itu.

    Sementara itu, Kiai Gringsing dan Kakang Panji telah berhadapan dalam puncak ilmu mereka masing-masing. Agaknya Kakang Panji tidak ingin bertempur pada jarak yang dekat. Ia tahu bahwa Kiai Gringsing memiliki sen¬jata yang dahsyat, meskipun hanya berujud sebuah cam¬buk. Namun dalam puncak ilmunya, cambuk itu akan dapat mengoyak kulit dan dagingnya silang melintang.

    Namun agaknya Kiai Gringsing tidak tergesa-gesa mempergunakan cambuknya. Ia masih ingin bertempur sebagaimana dilakukan oleh lawannya. Tanpa senjata.

    Sejenak kemudian, ternyata Kakang Panji itu pun telah memulainya. Sebagaimana dilakukan atas Ki Juru Martani, maka Kakang Panji itupun telah mengayunkan tangannya. Seleret sambaran api telah menyerang Kiai Gringsing yang masih berdiri tegak.

    Namun ketika terjadi ledakan, Kiai Gringsing telah beringsut dari tempatnya meskipun tidak seorang pun yang melihat, tubuh Kiai Gringsing itu bergerak. Bahkan tiba-tiba saja orang-orang yang masih tetap sadar atas medan yang dihadapi, melihat Kiai Gringsing pun telah mengayunkan tangannya pula.

    Ternyata Kiai Gringsing pun telah melontarkan serangan yang serupa.

    Serangan itu mengejutkan Kakang Panji. Meskipun iapun yakin kalau Kiai Gringsing mampu melakukannya. Tetapi ternyata serangan Kiai Gringsing itu tidak kalah dahsyatnya dari serangan yang telah dilontarkannya.

    Dengan loncatan panjang, Kakang Panji menghindari serangan Kiai Gringsing. Bahkan sambil mengumpat. Ternyata Kiai Gringsing mempunyai cara yang lebih baik untuk menghindari serangannya daripada yang dilakukannya. Kiai Gringsing tidak meloncat atau melon¬tarkan diri dari tempatnya berdiri. Tetapi seakan-akan Kiai Gringsing itu tiba-tiba saja sudah berpindah tempat tanpa dapat dilihat oleh mata wadag. Bahkan dalam sekejap Kiai Gringsing itupun telah mampu membalas serangannya dengan cara yang sama.

    Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Mereka memang menganggap bahwa Kiai Gringsing adalah orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi ketika mereka melihat Kiai Gringsing pada tataran yang sebenarnya, maka merekapun menjadi semakin kagum karenanya.

    Sebelumnya mereka tidak pernah melihat Kiai Gringsing bertempur dengan wajah yang demikian tegang, penuh dengan kemarahan yang menghentak-hen¬tak. Sikap orang yang memiliki ilmu dari sumber yang sama dengan dirinya sendiri itu telah membuat Kiai Gringsing sulit untuk mengekang dirinya.

    “Orang itu harus mendapat hukuman,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya, “Ia tidak saja menodai perguruan Sari Pati, tetapi sekaligus ia telah menghan¬curkan Pajang dari dalam dengan cara sangat licik.”

    Dalam pada itu, maka Kakang Panji itupun tidak segera merasa dirinya kecil dihadapan Kiai Gringsing. Sekali lagi ia melontarkan serangan petirnya menyambar lawannya.

    Tetapi yang terjadi adalah seperti yang pernah terjadi Kiai Gringsing yang nampaknya tetap berdiri tegak itu sudah tidak ada di tempatnya. Tetapi ia sudah berdiri dua langkah dari tempatnya, sehingga yang kemudian meledak adalah tanah tempatnya semula berpijak.

    “Permainan yang menjemukan,” desis Kiai Gring¬sing, “apakah kau tidak mempunyai permainan yang lain, yang lebih menarik? Seharusnya kau tahu, bahwa cara ini tidak akan menyelesaikan persoalan di antara kita. Akupun mengerti bahwa serangan-seranganku dengan cara seperti ini tidak akan berhasil. Karena itu, aku akan menggunakan cara yang lain.”

    Kakang Panji itu menjadi tegang. Serangan-serang¬annya itulah yang telah mengguncangkan pertahanan Ki Juru, meskipun Ki Juru mampu membuatnya ragu-ragu untuk menyerang, karena ujudnya yang kemudian menjadi rangkap.

    Namun, tiba-tiba saja Kakang Panji itu telah melontarkan serangannya yang lain. Tiba-tiba arena pertempuran itu telah dipenuhi dengan bau yang sangat harum. Dan bau itu telah menusuk indera penciuman Kiai Gring¬sing langsung menghentak-hentak isi dadanya dan mempengaruhi keseimbangan nalarnya.

    Namun, Kiai Gringsing menyadari apa yang terjadi. Iapun mengerti bahwa bau yang sangat harum itu adalah salah satu jenis ilmu yang dilontarkan oleh orang yang menyebut dirinya Kakang Panji. Ilmu yang dikembangkan untuk satu tujuan yang baik, karena dengan ilmu itu seseorang dapat mengakhiri perlawanan lawannya tanpa menyakitinya. Sehingga lawannya akan dapat ditundukkan dalam keadaan yang utuh.

    Tetapi cara itu sudah bergeser. Ilmu itu dapat dipergunakan untuk melemahkan pertahanan lawannya, sehingga dengan demikian, maka lawannya itu akan dengan mudah dapat dibunuhnya.

    Demikian juga agaknya yang dilakukan oleh Kakang Panji. Ia ingin melumpuhkan perlawanan Kiai Gringsing sebagaimana ia berhasil menembus benteng pertahanan Ki Juru Martani.

    Namun dalam pada itu, menyadari bahwa serangan itu sangat berbahaya, maka Kiai Gringsing pun segera menutup indera penciumannya. Karena Kiai Gringsing mengerti, bahwa ilmu itu berhasil menembus sekar indera penciuman Ki Juru, maka Kiai Gringsing pun telah mempergunakan segenap kemampuan ilmunya menutup indera penciumannya.

    Sejenak Kiai Gringsing masih terasa terganggu oleh bau yang sangat harum itu. Namun kemudian perlahan-lahan ia berhasil mengatasinya, sehingga bau itu sama sekali tidak menumbuhkan akibat apapun atas dirinya.

    Tetapi Kiai Gringsing tidak segera menunjukkan keberhasilannya. Ia masih menunjukkan kegelisahan yang sangat sehingga akhirnya Kakang Panji itupun terta¬wa menggelegar mengguncang udara di atas medan karena aji Gelap Ngamparnya.

    Dalam pada itu Kiai Gringsing menarik nafas da¬lam-dalam. Katanya di dalam hati, “Orang ini luar biasa. Ia dapat menyerang sekaligus indera pendengaran dan penciuman, meskipun yang mampu dibatasi sasarannya baru serangan atas indera penciuman. Karena itu, aku memang tidak boleh lepas tangan. Aku tentu tidak akan dianggap bersalah, bahwa aku telah menurunkan ilmu dari perguruan Windujati yang sudah aku simpan untuk waktu yang lama, melampaui peristiwa-peristiwa yang mendebarkan dan dapat mengancam jiwaku.”

    Suara tertawa Kakang Panji menjadi semakin keras. Di sela-sela suara tertawanya terdengar ia berkata, “Nah Kiai. Ternyata bahwa Kiai harus memperhitungkan sega¬la kemungkinan yang dapat terjadi atas Kiai, jika Kiai mencoba menghadapkan diri kepada murid perguruan Sa¬ri Pati.”

    “Panji,” berkata Kiai Gringsing dengan nada bergetar, “jika bukan aku, tentu tidak ada orang lain yang akan mampu menahan gejolak angkara murkamu. Aku yang merasa saudara tuamu, wajib berbuat sesuatu untuk menyelamatkan nyawamu.”

    “Gila,” geram Kakang Panji, “apa yang dapat kau lakukan atasku sehingga kau akan menyelamatkan aku dari maut.”

    “Bukan keselamatan nyawa dalam pengertian kewadagan. Tetapi keselamatanmu secara rohaniah. Kau mengerti maksudku?” berkata Kiai Gringsing.

    “Kau terlalu sombong. Kau akan mengangkat aku dari kematian langsung?” Kakang Panji itu ganti berta¬nya.

    Kiai Gringsing termangu-mangu. Sementara itu Kakang Panji berkata seterusnya, “Aku minta maaf Kiai, bahwa aku terpaksa bertindak dengan keras. Kau akan kehilangan keseimbanganmu karena gangguan indera penciumanmu. Dan akan jatuh berlutut di hadapanku. Tetapi maaf sekali lagi Kiai. Kau sudah terlambat untuk memohon ampun kepadaku, karena aku sudah terlanjur memutuskan untuk membunuh semua lawan-lawanku. Akan datang gilirannya, aku membunuh Ki Waskita, Untara, anak Ki Gede Pasantenan yang bagaikan gila itu, dan yang terakhir adalah Raden Sutawijaya sendiri.”

    “Panji,” sahut Kiai Gringsing, “apakah kau benar-benar akan berbuat demikian?”

    “Ya. Aku akan berbuat demikian.” jawab Kakang Panji.

    Wajah Kiai Gringsing menegang. Sebenarnya masih ada sepercik harapan bahwa orang yang menyebut dirinya Kakang Panji itu akan dapat melihat satu kenyataan tentang persoalan yang dihadapinya. Tetapi agaknya hadapan itu akan sia-sia saja.

    Ketika Kakang Panji meningkatkan serangannya atas indera penciumannya, maka Kiai Gringsing benar-benar merasa bahwa ia tidak dapat berbuat lain. Karena itu, maka katanya, “Baiklah Panji. Kita akan bersungguh-sungguh. Kau tahu, bahwa aku akan dapat mengurung diriku dengan kabut, sehingga serangan indera pen¬ciuman yang kau lontarkan itu akan kehilangan sasaran ?

    “Aku dapat menghalau kabutmu dengan arus prahara. Jangan terlalu percaya kepada kabutmu itu.” jawab Kakang Panji.

    Kiai Gringsing tidak menjawab lagi. Tetapi iapun kemudian menempatkan dirinya pada pusat putaran ilmunya. Perlahan-lahan ilmu itupun berkembang, sehingga di sekitar Kiai Gringsing itu seolah-olah telah tumbuh tirai yang keputih-putihan. Perlahan-lahan, namun semakin la¬ma semakin jelas ujudnya sebagai kabut yang memutari dirinya.

    “Gila.” geram Kakang Panji. Karena itu, maka ia¬pun cepat bertindak sebelum kabut itu menjadi semakin tebal.

    Dengan ilmunya Kakang Panji telah menghentakkan tangannya. Sambaran yang dahsyat telah menyerang Kiai Gringsing yang masih nampak jelas di balik kabut yang menebal.

    Ternyata serangan Kakang Panji itu mampu menembus kabut yang berputar itu. Tanah tempat Kiai Gringsing itupun meledak. Namun seperti yang telah terjadi, Kiai, Gringsing sudah tidak berada di tempatnya lagi.

    Namun dalam pada itu, Kakang Panji telah berhasil memecahkan pemusatan pikiran, sehingga lontaran ilmu Kiai Gringsing menjadi agak terganggu. Kabut itu tidak cepat menjadi rapat, tetapi perkembangannya menjadi semakin lamban ketika Kakang Panji mengulangi serangannya itu dua tiga kali.

    Tetapi yang tidak diduga-duga oleh Kakang Panji, bahwa perlahan-lahan pula telah tercium pula bau yang sangat wangi menusuk hidungnya. Sementara itu ia merasa mampu menggagalkan usaha Kiai Gringsing untuk melingkari dirinya dengan kabut, maka serangan bau yang sangat harum itu telah mendebarkan jantungnya.

    Ternyata bahwa dugaan Kakang Panji sekali lagi keliru. Jika kabut yang melingkari Kiai Gringsing tidak menjadi semakin tebal, bukan karena Kiai Gringsing te¬lah kehilangan kesempatan. Tetapi agaknya orang tua itu telah berusaha untuk menunjukkan kepada lawannya, bahwa iapun mampu menyamai ilmunya, serangan atas indera penciuman.

    Kakang Panji menjadi semakin gelisah. Orang yang menyebut dirinya Kiai Gringsing itu bukan saja memiliki kemampuan untuk menutup inderanya, tetapi ia juga mampu menyerang lawannya dengan ilmu yang sama.

    Kegelisahan itu menjadi semakin menghentak di dadanya, ketika ia mendengar Kiai Gringsing berkata, “Ki Sanak. Apa yang dapat kau lakukan tentu dapat aku lakukan. Apa yang dikuasai oleh perguruan Sari Pati, ten¬tu dikuasai oleh perguruan Windujati. Tetapi tidak sebaliknya. Ada yang dimiliki oleh perguruan Windujati, tetapi tidak dimiliki oleh saudara mudanya, perguruan Sa¬ri Pati.”

    “Omong kosong,” geram Kakang Panji, “aku masih memiliki sejumlah ilmu yang tidak kau kenal. Bukan saja dari perguruan Sari Pati, tetapi dari perguruan-perguru¬an lain. Aku berguru kepada lebih dari sepuluh perguruan yang setingkat dengan perguruan Sari Pati. Selebihnya aku telah mampu mengembangkan ilmu dari sepuluh perguruan itu menjadi ilmu yang tidak ada bandingnya.”

    Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Tetapi katanya, “Kita sudah berhadapan di medan. Sebaiknya kita tidak berceritera terlalu banyak tentang diri kita sendiri. Jika kau memang memiliki dan mampu menghancurkan aku, lakukanlah.”

    Kakang Panji menggeram. Sementara itu, bau yang wangi itu menjadi semakin tajam menusuk kedalam kesadaran keseimbangan nalarnya.

    Namun Kakang Panji pun orang yang luar biasa. Iapun kemudian telah menutup indera penciumannya sebagaimana dilakukan oleh Kiai Gringsing, sehingga sesaat kemudian iapun telah terbebas dari gangguan indera penciumannya itu.

    Tetapi agaknya Kiai Gringsing pun menyadari pula. Karena itu, maka ia melepaskan serangannya pada indera penciuman lawannya. Bahkan tiba-tiba saja ia telah meloncat jauh mendekati lawannya sambil menggeram, “Kita tidak akan membuang waktu untuk permainan kita yang jelek. Marilah, kita akan membenturkan ilmu kanuragan kita.”

    “Gila” geram Kakang Panji.

    Tetapi ia tidak dapat berbuat banyak. Kiai Gringsing berdiri semakin dekat dan siap untuk menyerangnya de¬ngan sentuhan wadagnya yang sebenarnya.

    Namun Kakang Panji pun menyadari, jika sentuhan tangan orang-orang dari perguruan Windujati itu mengenainya, maka itu akan berarti segumpal dagingnya menjadi hangus.

    Tetapi, Kakang Panji memang sulit untuk menghindarkan diri dari benturan ilmu kanuragan dengan wadagnya. Ketika ia berusaha untuk menyerang lawannya dengan ilmu petirnya, maka serangannya itu bagaikan menghantam tempat yang kosong. Kiai Gringsing selalu tidak lagi berada di tempat meskipun kemampuan mata wadag ti¬dak dapat menangkap geraknya ketika ia meloncat menghindar.

    Tetapi Kakang Panji tidak menjadi gentar. Diulanginya serangannya itu beruntun. Tetapi seperti serangan¬nya yang terdahulu, semuanya tidak berarti apa-apa. Bahkan tiba-tiba saja iapun melihat Kiai Gringsing menggerakkan tangannya, sehingga iapun harus melon¬cat menghindar.

    Namun Kakang Panji itu terkejut, ketika tiba-tiba saja, demikian ia berjejak diatas tanah setelah menghindari serangan Kiai Gringsing yang terlontar dari tangan¬nya sebagaimana dilakukan oleh Kakang Panji itu sendiri, serangan Kiai Gringsing telah memburunya dan menyambarnya. Dengan wadagnya.

    Dengan tergesa-gesa Kakang Panji bergeser pula menghindar sehingga tangan Kiai Gringsing yang terayun itu tidak menyentuhnya.

    Namun seperti yang diduganya, maka serangan yang berikutnya pun telah datang beruntun. Demikian cepat¬nya.

    Kakang Panji harus mengerahkan kemampuannya untuk menghindari serangan yang mengalir itu. Susul menyusul. Sehingga akhirnya Kakang Panji itu harus meloncat jauh ke belakang sambil melontarkan serangan petirnya.

    Kiai Gringsing memang terhalang oleh serangan itu. Ia harus menghindarinya, sehingga karena itu, Kakang Panji mendapat kesempatan untuk memperbaiki kea¬daannya.
    Namun dalam pada itu, Kakang Panji memang harus mempersiapkan diri bagi pertempuran yang akan menja¬di sangat berat.

    Sementara itu, pertempuran antara pasukan Pajang dan Mataram di sisi Timur telah bergeser semakin dekat ke Barat. Pasukan Pajang perlahan-lahan tetapi pasti, mengalami penyusutan. Mereka tidak dapat bertahan terhadap jumlah orang-orang Mataram yang lebih ba¬nyak.

    Bergesernya medan itu, menggelisahkan beberapa orang Pajang di sisi sebelah Barat. Satu dua Senapati Pa¬jang yang mampu bertahan atas serangan aji Gelap Ngampar, memperhatikan debu yang mengepul semakin dekat dengan jantung yang berdegupan. Mereka sadar bahwa pasukan Mataram tentu lebih kuat dari pasu¬kan Pajang, sehingga pasukan Pajang itu harus bergeser ke Barat.

    Tetapi Senapati itupun berharap, jika pertempuran antara kedua orang berilmu sangat tinggi itu masih berlanjut, dan sekali-sekali aji Gelap Ngampar itu masih terlontar juga, maka betapapun selisih kekuatan antara Mataram, dan Pajang, namun agaknya tidak akan banyak berarti, karena baik orang-orang Pajang maupun orang-orang Mataram seolah-olah akan menjadi kehilangan kemampuannya, karena dada mereka terguncang oleh kekuatan yang tidak terlawan.

    Namun dalam pada itu, kegelisahan yang lain telah mencengkam pula. Agaknya Kakang Panji itu tidak de¬ngan segera menguasai lawannya.

    “Ternyata Kakang Panji bukan iblis yang tidak ada duanya,” desis seseorang, “di medan ini ia menemukan kekuatan yang seimbang dengan kekuatannya. Bahkan saudara seperguruan. Meskipun mereka menyebut nama perguruan yang berbeda, tetapi ternyata bahwa keduanya bersumber dari ilmu yang sama.”

    Satu hal yang tidak diduga sebelumnya oleh Kakang Panji.” sahut yang lain.

    Sebenarnyalah, apa yang dihadapi oleh Kakang Panji itu sama sekali tidak diduganya. Meskipun Kakang Panji pernah mendengar nama Kiai Gringsing, tetapi ia sama sekali tidak membayangkan, bahwa Kiai Gringsing memiliki kemampuan yang dapat mengimbanginya, bah¬kan agaknya sulit untuk dapat dikalahkan.

    Tetapi Kakang Panji adalah orang yang memiliki pengalaman yang luas sebagaimana Kiai Gringsing. Karena itu, maka iapun memiliki ketabahan yang luar biasa, menghadapi kesulitan yang betapapun besarnya.

    Itulah sebabnya, menghadapi Kiai Gringsing Kakang Panji tidak menjadi gentar. Betapapun tinggi ilmu Kiai Gringsing, namun Kakang Panji pun merasa dirinya mem¬punyai bekal yang cukup untuk melawannya.

    “Pada suatu saat, aku akan mendapatkan kelemahannya dan aku akan dapat menghancurkannya.” berkata Kakang Panji di dalam hatinya.

    Demikianlah keduanya bertempur semakin dahsyat. Kiai Gringsing berusaha untuk membenturkan kemampuan kanuragannya dengan wadagnya. Tetapi Kakang Panji selalu berusaha mengambil jarak untuk dapat melontarkan serangan-serangannya dari jarak tertentu.

    Dalam pada itu, sorak yang menggelegar bagaikan memecahkan selaput telinga telah terdengar. Orang-orang Mataram yang berhasil mendesak orang-orang Pajang telah bersorak-sorak dengan gemu¬ruh. Sementara itu, medan pun bergeser semakin ke Barat, semakin mendekati arena pertempuran di sisi Barat yang seolah-olah telah membeku oleh kekuatan Aji Gelap Ngampar.

    Betapapun Kakang Panji mengalami kesulitan, namun ia sempat juga melihat debu yang mengepul. Namun ia justru berharap bahwa medan itu akan menjadi semakin dekat, sehingga kekuatan Aji Gelap Ngamparnya akan berhasil mencengkam jantung orang-orang Mataram, agar dengan demikian pertempuran akan dapat terhenti.

    Ternyata sebagaimana diharapkan, akhirnya medan itupun menjadi semakin dekat. Dalam pada itu, selagi Kakang Panji sempat meloncat melepaskan diri dari libatan serangan Kiai Gringsing, maka terdengar rang itu berteriak nyaring dalam lambaran aji Gelap Ngampar, “Marilah orang-orang Mataram, mendekatlah.”

    Suara itu bergulung-gulung di atas medan pertempu¬ran yang semakin mendekati medan di sisi Barat. Bahkan kemudian suara tertawa Kakang Panji itupun telah mele¬dak menghentak-hentak isi dada orang-orang Pajang.

    Namun sementara itu, Kiai Gringsing yang mengetahui maksud Kakang Panji itupun telah menjawab, “Baiklah Kakang Panji. Tetapi jangan diharapkan bahwa orang-orang Pajang akan mampu berbuat sesuatu atas orang-orang Mataram.”

    Pembicaraan kedua orang itu benar-benar telah mengguncang-guncang jantung. Baik orang-orang Mataram, maupun orang-orang Pajang seakan-akan telah kehilangan kemampuan mereka oleh guncangan-guncangan di dalam dadanya.

    Sementara itu, beberapa orang Senapati Pajang mampu bertahan dari hentakkan-hentakkan di jantung mereka. Namun mereka tidak segera bertindak, karena beberapa orang Mataram pun mampu mengelakkan diri dari serangan aji yang sama. Sehingga dengan demikian, maka orang-orang Pajang itu harus menghitung kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi.

    Tetapi ternyata sesuatu menarik perhatian mereka. Mereka melihat keadaan orang-orang Mataram dan Pajang yang terdahulu berada di medan itu. Mereka pun telah kehilangan kemampuan mereka untuk bertempur, sementara itu, di bagian lain mereka melihat dua orang yang bertempur dengan ilmu yang luar biasa.

    “Kakang Panji.” desis seorang Senapati Pajang yang masih mampu melepaskan diri dari pengaruh Aji Gelap Ngampar.

    Namun agaknya perhatian orang-orang Pajang, maupun orang-orang Mataram telah tertuju kepada pertempuran antara Kiai Gringsing dan Kakang Panji. Pertempuran yang semakin lama menjadi semakin dahsyat. Mereka sadar sepenuhnya bahwa sumber Aji Gelap Ngampar adalah kedua orang yang sedang bertempur de¬ngan sengitnya itu. Namun Aji Gelap Ngampar yang mampu mengguncang jantung itu, sama sekali tidak menimbulkan akibat apapun pada kedua orang yang se¬dang bertempur itu.

    Demikianlah, maka pertempuran antara Kiai Gring¬sing dan Kakang Panji itu berlangsung terus. Bahkan akhirnya keduanya terlibat dalam pusaran benturan ilmu yang nggegirisi.

    Beberapa orang yang menyadari bahaya yang dapat timbul di arena itu atas orang-orang yang ada di sekitarnya, telah berusaha untuk menghindar. Mereka yang dadanya bagaikan retak dan tidak mampu berbuat apa-apa lagi, masih juga berusaha untuk bergeser dari tempatnya, menjauhi arena pertempuran antara Kiai Gringsing dan Kakang Panji yang setiap kali telah terjadi benturan dan lontaran ilmu yang kadang-kadang lepas dari sasaran dan menghantam tempat di sekitar arena itu.

    Dalam pada itu, Kiai Gringsing dan Kakang Panji benar-benar telah terlibat dalam satu pertempuran yang sulit dimengerti. Mereka telah mempergunakan berbagai macam ilmu yang ada di dalam diri mereka masing-ma¬sing, yang sebagian besar bersumber dari perguruan yang sama.

    Lontaran-lontaran ilmu yang dahsyat telah memecah¬kan batu-batu padas dan meledakkan tanggul dan pematang di arena itu. Pepohonan yang disambar oleh serangan petir yang terlontar dari tangan mereka, telah berpatahan. Sementara itu, keduanya bagaikan terlibat dalam satu pusaran yang sulit diurai menurut penglihatan mata wadag. Namun setiap kali salah seorang dari keduanya te¬lah terlontar beberapa langkah. Kadang-kadang mereka jatuh di atas kedua kaki mereka Tetapi sekali-sekali mere¬ka terpelanting dan jatuh berguling di atas tanah.

    Serangan-serangan yang dahsyat, akhirnya telah menyentuh tubuh-tubuh mereka. Semakin cepat mereka bertempur, maka kesempatan untuk mengelak dan menghindar pun menjadi semakin sempit.

    Dalam benturan-benturan ilmu yang kemudian men¬jadi semakin dahsyat itu, telah memaksa keduanya melin¬dungi diri mereka dengan ilmu yang sebelumnya tidak pernah nampak dipergunakan oleh Kiai Gringsing. Ilmu yang dikenal pada masa-masa sebelumnya, yang mem¬punyai kekuatan mirip dengan ilmu kebal. Yaitu ilmu Tameng Waja, sebagaimana yang dimiliki oleh Sultan Demak terakhir dan Sultan Hadiwijaya. Namun karena ilmu keduanya yang tinggi, maka kadang-kadang ilmu Tameng Waja itupun dapat tertembus oleh serangan lawan dan terasa serangan itu menusuk sampai ke dalam isi dada.

    Namun demikian, kedua orang yang memiliki ilmu dari sumber yang sama itu sama sekali tidak lagi mengekang diri. Mereka telah mengerahkan segenap kemampu¬an yang ada di dalam diri mereka. Puncak segala macam ilmu dan kemampuan kanuragan. Bahkan segala macam aji yang mereka miliki telah mereka tumpahkan dalam benturan yang dahsyat itu.

    Dalam keadaan yang demikian, maka pasukan dari kedua belah pihak seakan-akan telah kehilangan perhati¬an mereka terhadap pertempuran antara kedua pasukan itu sendiri. Tetapi mereka telah tercengkam oleh benturan ilmu dari kedua orang yang memiliki ilmu yang tidak ada bandingnya itu.

    Dalam pada itu, baik Kakang Panji maupun Kiai Gringsing tidak lagi sempat melontarkan aji Gelap Ngam¬par. Sehingga perlahan-lahan pasukan Mataram dan Pa¬jang itu telah bebas dari cengkaman ilmu yang bagaikan meremas dada mereka itu.

    Meskipun demikian, seolah-olah mereka tidak lagi ingat tentang diri mereka. Tentang pasukan mereka dan tentang permusuhan di antara orang-orang Mataram dan Pajang. Yang menjadi pusat perhatian mereka kemudian adalah pertempuran antara Kiai Gringsing dan Kakang Panji yang kadang-kadang berada di luar jangkauan nalar mereka.

    Sementara itu pertempuran itupun telah berlangsung semakin dahsyat. Seolah-olah udara di sekitar arena itu te¬lah bergejolak. Bahkan semakin lama menjadi semakin panas. Aji Gelap Ngampar dan serangan terhadap indera penciuman masing-masing sama sekali tidak berarti lagi bagi keduanya, sehingga mereka tidak mempergunakan¬nya lagi. Namun kedua belah pihak seolah-olah dilapisi oleh dinding baja yang sulit ditembus oleh ilmu yang betapapun tajamnya.

    Tetapi ternyata bahwa lapisan ilmu Tameng Waja itu sekali-sekali dapat tertembus juga. Bahkan kadang-ka¬dang salah seorang di antara mereka telah terlempar keluar dari lingkaran pertempuran dan terbanting jatuh. Na¬mun dalam sekejap merekapun telah melenting berdiri dan bahkan meluncur seperti anak panah memasuki putaran pertempuran berikutnya.

    Demikian dahsyatnya pertempuran itu, sehingga rasa-rasanya bumi telah berguncang. Dahan pepohonan berpatahan dan batu-batu padas pun pecah berserakan.

    Namun yang terjadi kemudian telah mencengkam ha¬ti setiap orang yang ada di seputar arena itu. Orang-orang Mataram dan orang-orang Pajang pun seakan-akan telah membeku. Bahkan Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa berdiri mematung di tempatnya.

    Kedua orang itu akhirnya tidak lagi berloncatan saling menyerang. Tetapi gerak mereka justru menjadi semakin lamban. Bukan karena mereka telah kehabisan tenaga dan tidak lagi mampu bergerak. Tetapi demikian¬lah akhirnya keduanya berdiri tegak dengan tangan bersilang di dada masing-masing.

    Dengan tajamnya keduanya saling memandang. Keduanya tidak memancarkan serangan dari matanya seperti yang dilakukan oleh Agung Sedayu dan Sabungsari. Tetapi keduanya tetap saling memandang langsung ke hitam mata masing-masing.

    Tidak seorang pun yang tahu, apa yang sedang mereka lakukan dengan sikap itu. Namun terasa oleh orang-orang yang berdiri di sekitar arena pertempuran yang dahsyat itu, bahwa keduanya sedang membenturkan ilmu mereka masing-masing. Ilmu yang tidak dapat dimengerti oleh orang-orang yang menyaksikan pertem¬puran itu dengan hati yang berdebar-debar.

    Namun dalam pada itu, baik Kiai Gringsing maupun Kakang Panji memang sedang bertempur dengan ilmu mereka yang luar biasa. Ilmu yang sudah tidak banyak dikenal lagi apalagi oleh anak-anak muda. Bahkan Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya pun memperhatikan pertempuran itu dengan hati yang berdebar-debar.

  5. “Apa yang sedang mereka lakukan?” desis Pange¬ran Benawa.

    “Satu pertempuran yang aneh.” sahut Raden Sutawijaya.

    “Nampaknya keduanya memang memiliki ilmu yang tidak ada bandingnya. Pertempuran yang dahsyat itu terlalu sulit untuk dimengerti.” desis Pangeran Benawa selanjutnya.

    “Itulah sebabnya, maka orang yang menyebut dirinya Kakang Panji itu telah berusaha untuk mencapai satu kedudukan yang tertinggi dalam satu pemerintahan yang setiap kali disebutnya sebagai kelanjutan dari kerajaan Majapahit.” berkata Raden Sutawijaya selanjutnya, “ternyata bahwa ia bukan sekedar bermimpi. Ia me¬mang memiliki ilmu melampaui kita semuanya.”

    “Sayang bagi orang itu,” sahut Pangeran Benawa, “ternyata pula bahwa masih ada juga sisa kekuatan yang seimbang dari masa lampau yang besar itu.”

    “Tetapi Adimas,” berkata Raden Sutawijaya kemudian, “aku yakin, bahwa Kakang Panji itu selain memiliki ilmu yang sangat tinggi, tentu merasa dirinya pewaris dari kerajaan Agung itu. Meskipun langkahnya itu hanya dapat dianggap benar bagi dirinya sendiri, na¬mun rasa-rasanya ia memang keturunan dari tahta Majapahit itu sendiri.”

    “Aku juga menduga demikian Kakangmas,” sahut Pangeran Benawa, “sebagaimana juga Kiai Gringsing sendiri. Bedanya, bahwa Kiai Gringsing dapat menerima perkembangan apa yang ada sekarang. Sedangkan orang yang menyebut dirinya Kakang Panji itu masih dihinggapi oleh pamrih dan bahkan sifat-sifat tamak dan mementingkan diri sendiri.”

    “Keduanya adalah kekuatan masa yang sedang berlalu. Kekuatan yang justru ada bandingnya. Namun keduanya harus berhadapan dan saling membenturkan il¬mu mereka yang sangat dahsyat itu.”

    Pangeran Benawa tidak menyahut. Kedua orang itu masih saja melihat Kiai Gringsing dan orang yang menyebut dirinya Kakang Panji itu berdiri tegak sambil menyilangkan tangannya di dada.

    Sementara itu, orang-orang lain dari kedua belah pihak pun telah dicengkam oleh pertempuran yang terasa menjadi semakin dahsyat itu. Ki Waskita sekali-sekali nampak tersenyum. Namun kemudian alisnya telah berkerut. Ketegangan terasa mencengkam jantung.

    Glagah Putih yang terbebas dari pertempuran karena keadaan yang mengguncang seluruh medan itu, berdiri mematung menyaksikan apa yang sedang terjadi.

    Sebenarnyalah Kiai Gringsing dan Kakang Panji benar-benar telah sampai ke puncak ilmu mereka. Dalam keadaan yang demikian, mereka tidak memerlukan lagi Aji Gelap Ngampar, ilmu yang dapat menyerang indera penciuman, dan ilmu-ilmu yang lain. Tetapi mereka sedang mengadu kekuatan ilmu yang terpancar lewat benturan batin mereka yang tidak dapat dilihat oleh siapapun juga.

    Dalam pada itu, bukan hanya Glagah Putih sajalah yang tertegun heran. Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya, Ki Waskita, Putera Pasantenan, Sabungsari dan para Senapati yang lain. Ki Lurah Branjangan pun berdiri mematung seolah-olah ia bukan lagi seorang Senapati, yang telah memimpin satu pasukan khusus dipersiapkan untuk satu benturan kekuatan yang dahsyat. Dalam kebingungan ia tidak lebih dari seorang anak-anak yang sedang menyaksikan satu tontonan yang tidak dapat dimengertinya.

    Demikianlah benturan ilmu itu benar-benar telah mencengkam semua orang yang menyaksikan. Para prajurit Pajang dan para pengawal Mataram, merasa diri mereka terlalu dungu menghadapi pertempuran antara dua raksasa yang menggetarkan itu.

    Dengan wajah yang semakin tegang, orang-orang yang ada di sekitar arena itu menyaksikan, seolah-olah tubuh kedua orang itu telah berasap. Semakin lama semakin nyata. Tidak saja dari ubun-ubun mereka. Tetapi kemudi¬an dari dahi, tengkuk dan dada mereka pun telah menge¬pul asap keputih-putihan.

    Sementara itu wajah kedua orang itu pun menjadi se¬makin tegang. Bahkan kemudian wajah-wajah itu telah menjadi merah seperti bara.

    Kakang Panji yang tidak menyangka bahwa ia akan menghadapi seorang lawan yang memiliki ilmu dari sum¬ber yang sama, mengumpat di dalam hati. Bahkan semakin lama terasa, bahwa ilmu lawannya itu telah mendesaknya semakin dalam.

    Ketegangan benar-benar telah mencengkam arena pertempuran itu. Udara yang panas menjadi semakin pa¬nas. Dedaunan pun menjadi layu dan orang-orang pun telah menyibak semakin jauh dari kedua orang yang masih berdiri tegak mematung itu.

    Namun dalam pada itu, ketika asap menjadi semakin tebal mengepul dari tubuh kedua orang itu, maka wajah Kakang Panji pun mulai berubah. Wajah yang merah membara itu menjadi pudar. Bahkan semakin lama nam¬pak menjadi semakin pucat.

    Orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu dari kejauhan tidak dapat melihat perubahan itu. Tetapi orang-orang berilmu yang ada di sekitar tempat itu, yang masih mampu berdiri tidak terlalu jauh dan memiliki pan¬dangan yang tajam, melihat perubahan yang terjadi perlahan-lahan tetapi pasti itu.

    Akhirnya, dalam keadaan yang tidak tertahankan la¬gi, orang-orang yang berdiri di seputar arena itu, meski¬pun agak jauh, melihat cairan yang meleleh dari bibir Kakang Panji. Cairan yang berwarna merah kehitam-hitaman. Darah.

    Terasa jantung orang-orang Pajang itu pun berguncang. Kakang Panji adalah orang yang mempunyai nama yang sangat besar bagi mereka. Seolah-olah Kakang Panji adalah seorang tokoh dalam satu ceritera kepahlawanan yang sangat dikagumi. Meskipun ada di antara mereka yang semula belum pernah melihat orang yang bernama Kakang Panji itu, namun namanya telah pernah hinggap di dalam hati mereka sebagai seorang seakan-akan mem¬punyai kedudukan yang lebih tinggi dari orang kebanya¬kan.

    Namun kini mereka menyaksikan satu kenyataan, bahwa orang yang bernama Kakang Panji sebagaimana diucapkannya sendiri itu, mengalami kesulitan melawan orang yang menyebut dirinya Kiai Gringsing. Seorang yang memang dianggap orang berilmu tinggi, namun sebelumnya orang-orang Pajang tidak membayangkan, bahwa Kiai Gringsing itu mampu melawan Kakang Panji, yang sudah berhasil membayangi kekuasaan Kangjeng Sultan Hadiwijaya di Pajang, dan yang mempersiapkan diri untuk memimpin satu pemerintahan yang besar sebagaimana masa kejayaan Majapahit.

    Sementara itu kedua orang yang sedang bertempur itu masih tetap berdiri di tempatnya. Keduanya masih tegak sambil menyilangkan tangannya di dadanya. Namun da¬lam pada itu, Kakang Panji semakin lama telah menjadi semakin lemah. Darah yang meleleh dari bibirnya sema¬kin lama menjadi semakin banyak.

    Kiai Gringsing masih tetap berdiri tegak. Tetapi wajahnya yang membara pun telah berubah pula, seperti yang telah terjadi pada Kakang Panji sebelumnya.

    Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya menjadi sa¬ngat cemas. Jika Kakang Panji mampu bertahan untuk beberapa saat dan sempat melontarkan kekuatan ilmunya yang terakhir dan menghentak, mungkin Kiai Gringsing akan mengalami kesulitan.

    Untuk beberapa saat keduanya masih tetap dalam keadaannya. Darah masih meleleh dari bibir Kakang Panji. Namun wajah Kiai Gringsing pun semakin lama menjadi semakin pucat.

    Dalam pada itu, Ki Waskita berdiri tegak dengan jantung yang bagaikan berdentang semakin cepat. Ia melihat apa yang terjadi, sebagaimana yang dilihat oleh Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa. Tetapi seperti juga Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa, maka Ki Waskita pun tidak dapat berbuat sesuatu. Ia tidak dapat dengan curang membantu Kiai Gringsing dengan ilmunya yang mana pun juga, karena Kiai-Gringsing dan Kakang Panji nampaknya telah sepakat untuk bertempur seorang melawan seorang. Demikian juga Sabungsari. Sebenarnya ia dapat dengan diam-diam menyerang Kakang Panji dengan lontaran ilmunya lewat matanya. Dalam keadaan yang sudah melemah itu, maka ilmunya tentu akan dapat mengakhiri perlawanan Kakang Panji. Namun Sabungsari tidak dapat melakukannya sebagaimana Raden Sutawija¬ya, Pangeran Benawa dan Ki Waskita. Karena itu, yang dapat dilakukannya hanyalah sekedar menggeram dan menggeretakkan giginya.

    Namun dalam pada itu, wajah Kiai Gringsing memang menjadi semakin pucat sebagaimana telah terja¬di pada lawannya sejak kekuatannya menjadi jauh menyusut.

    Dengan demikian, maka orang-orang yang menyaksikan keadaan Kiai Gringsing itupun menjadi semakin berdebar-debar pula.

    Namun keadaan itupun segera diakhiri ketika orang, yang menyebut Kakang Panji itu sudah tidak mampu bertahan lebih lama lagi. Ketika darah mengalir semakin ba¬nyak dari sela-sela bibirnya, maka kepalanya pun semakin lama menjadi semakin menunduk. Matanya tidak lagi mampu memandang hitam mata Kiai Gringsing, semen¬tara asap yang mengepul dari tubuhnya telah berubah menjadi kemerah-merahan.

    Perlahan-lahan Kakang Panji itu terguncang. Tubuhnya menjadi semakin lemah, sehingga akhirnya orang itu pun terhuyung-huyung. Betapa pun orang itu bertahan dengan sisa tenaganya, namun akhirnya Kakang Panji itu pun jatuh pada lututnya. Dengan kedua tangannya ia berusaha untuk menahan tubuhnya yang menjadi sema¬kin lemah.

    Namun akhirnya, Kakang Panji itu pun tidak dapat la¬gi menahan dirinya dan jatuh berguling di tanah.

    Masih terdengar orang itu mengumpat lirih. Tetapi kemudian nafasnya menjadi terengah-engah, sementara matanya pun mulai terpejam.

    Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Tetapi iapun ternyata sudah menjadi terlalu lemah. Ketika ia mencoba untuk melangkah, maka ia harus menjadi sa¬ngat berhati-hati untuk menahan keseimbangan tubuhnya.

    Namun dalam pada itu, demikian Kakang Panji itu rebah, maka Glagah Putih pun segera berlari-lari mendekati Kiai Gringsing dan mencoba menahannya agar orang tua itu tidak terjatuh karenanya.

    “Terima kasih Glagah Putih,” desis Kiai Gringsing. Lalu katanya, “Bawa aku mendekati orang yang terbaring itu.”

    Glagah Putih menjadi ragu-ragu. Namun akhirnya ia pun membawa Kiai Gringsing mendekati orang yang terbaring diam dengan nafas yang terengah-engah.

    Asap yang mengepul dari tubuh kedua orang itu pun telah lenyap dengan sendirinya. Namun demikian asap yang kemerah-merahan itu lenyap, maka keringat yang membasahi di seluruh tubuh Kakang Panji itulah yang menjadi kemerah-merahan, seolah-olah telah bercampur dengan darah.

    Perlahan-lahan Kiai Gringsing mendekatinya. Kemudian orang tua itu pun telah berlutut di sisi tubuh Kakang Panji. Dengan ragu-ragu Kiai Gringsing menyentuh tubuh orang itu.

    “Ki Sanak.” desis Kiai Gringsing dengan suara pa¬rau.

    Orang itu tidak segera menjawab. Namun perlahan-lahan ia telah membuka matanya.

    Sementara itu, pertempuran benar-benar telah terhenti. Semua orang dicengkam oleh ketegangan. Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya pun telah men¬dekati Kiai Gringsing yang berlutut di sisi tubuh Kakang Panji. Bahkan kemudian beberapa orang yang lain pun telah mendekatinya pula.

    “Ki Sanak,” sekali lagi Kiai Gringsing berdesis, “dalam keadaan parah ini, cobalah kau mengatakan, siapa¬kah kau sebenarnya jika kau memang murid dari perguruan Sari Pati.”

    Wajah orang itu menjadi semakin putih. Tetapi dicobanya juga berbicara, “Kau memang luar biasa Ki Sanak. Akupun yakin, bahwa kau memang murid Win¬dujati.”

    Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Tetapi ia memang menginginkan orang itu mengatakan sesuatu tentang dirinya. Karena itu, maka Kiai Gringsing pun kemudian berkata, “Ki Sanak. Bukan maksudku untuk mengaku-aku atau apalagi menyombongkan diri, tetapi baiklah, kita saling berterus terang. Jika kau percaya Ki Sanak, aku adalah murid perguruan Windujati, meskipun bukan satu-satunya tempat aku berguru. Namun sebenar¬nyalah aku cucu Empu Windujati.”

    Wajah orang itu menegang. Dengan suara gemetar ia mengulangi, “Jadi kau cucu Empu Windujati?”

    “Begitulah Ki Sanak. Jika aku mengatakannya, aku sekedar bermaksud agar kau pun menyatakan, siapakah kau sebenarnya.” desak Kiai Gringsing.

    Orang itu menelan ludahnya. Keadaannya menjadi semakin parah. Kiai Gringsing yang lemah itupun melihat, bahwa orang itu sudah tidak mungkin lagi diharapkan untuk dapat disembuhkan, kecuali jika terjadi satu keajaiban.

    Ketika orang itu kemudian menarik nafas dalam-dalam, maka ia pun kemudian berkata, “Pantas, kau memiliki kemampuan yang tidak, ada bandingnya. Kau memang seharusnya memenangkan pertempuran ini. Sejauh aku ketahui, aku belum pernah melihat orang yang memiliki tingkat ilmu seperti yang kau miliki, kecuali gu¬ru.”

    “Jangan memuji,” desis Kiai Gringsing, “tetapi siapakah kau sebenarnya.”

    Orang itu nampaknya masih juga ragu-ragu. Tetapi akhirnya ia berdesis, “Aku adalah putera Raden Rangga Surapada.”

    “Raden Rangga Surapada.” Kiai Gringsing mengulang. Tetapi ia belum mengenal nama itu. Karena itu, ma¬ka ia pun bertanya, “Apakah Raden Rangga Surapada mempunyai gelar atau sebutan yang lain.”

    “Tidak. Ayah memang tidak banyak dikenal. Tetapi ayah adalah putera Raden Dipasura, dan Raden Dipasura adalah putera, Pangeran Handayapati.”¬

    Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia berdesis, “Jadi kau adalah cicit Pangeran Handayapati. Pangeran yang tidak ada duanya pada masanya. Aku pernah mendengar nama Pangeran Handayapati dan juga nama Raden Dipasura yang bergelar Raden Lembu Gandang yang dikenal dengan seorang kesatria bersenjata canggah bermata lengkung.”

    “Kau mengenal kakekku?” desis orang yang menyebut dirinya Kakang Panji.

    “Ya. Memang salah seorang pemimpin dari perguru¬an Sari Pati.” jawab Kiai Gringsing, “tetapi apakah sejak kakekmu yang bergelar Raden Lembu Gandang dan dikenal sebagai kesatria bersenjata canggah bermata lengkung itu sudah terbersit satu keinginan untuk mengungkat kekuasaan Majapahit lama itu ?”

    Kakang Panji yang sudah menjadi semakin parah itu menarik nafas dalam-dalam. Namun terasa bahwa nafasnya seakan-akan sudah tidak lagi dapat mengalir de¬ngan lancar lewat lubang hidungnya.

    “Ki Sanak,” berkata Kiai Gringsing, “aku mempu¬nyai sejenis obat yang barangkali dapat memperingan penderitaanmu.”

    “Aku tidak menderita apa-apa,” ternyata Kakang Panji itu masih tersinggung. Lalu katanya, “jangan mengasihani aku. Aku memang tidak memerlukan belas kasihan. Apa yang terjadi bukannya sesuatu yang mustahil. Seorang prajurit akan mengalami keadaan seperti ini sebagai satu kemungkinan yang sangat wajar.”

    “Tetapi, bukankah setiap orang yang terluka sudah wajar pula untuk diobati ?”bertanya Kiai Gringsing.

    “Tidak ada gunanya. Umurku sudah tidak akan da¬pat disambung lagi dengan cara apapun.” jawab Kakang Panji. Lalu katanya, “Tetapi aku masih ingin menjawab pertanyaanmu. Kakek sama sekali tidak pernah menyebut tentang kekuasaan Majapahit lama. He, kapan kau bertemu dengan kakek?”

    “Aku hanya mengenal namanya,” jawab Kiai Gringsing, “jika umurmu dan umurku tidak terpaut banyak, maka pengenalanku atas kakekmu adalah pengenalan anak-anak terhadap seorang yang sudah kawentar.”

    Kakang Panji termangu-mangu sejenak. Matanya masih berkedip meskipun kadang-kadang terpejam.

    “Ki Sanak,” berkata Kakang Panji kemudian, “pada saat seperti ini, sebaiknya aku tidak lagi berbohong kepadamu. Yang mula-mula berniat untuk mengungkit warisan kekuasaan Majapahit adalah ayahku. Rangga Surapada sejak kekuasaan Demak terakhir. Tetapi ayah tidak sempat berbuat sesuatu sampai akhir hayatnya. Na¬mun demikian cita-cita itu telah terpahat di hatiku, sehing¬ga aku mulai merintis sejak aku merasa memiliki bekal yang cukup. Tetapi ternyata bahwa di sini aku bertemu dengan cucu Empu Windujati.”

    “Sudahlah Ki Sanak,” berkata Kiai Gringsing, “bagaimana pun juga usaha wajib dilakukan. Aku akan berusaha mengobatimu. Aku akan meramu beberapa jenis obat yang barangkali akan dapat menolongmu.”

    Tetapi Kakang Panji yang sudah terlalu lemah itu menggelengkan kepalanya sambil berkata, “Tidak Ki Sanak. Itu tidak perlu. Aku tahu bahwa kau adalah seo¬rang ahli dalam ilmu obat-obatan. Tetapi kemampuan seseorang tentu terbatas. Dan nampaknya aku sudah berada di luar batas kemampuanmu.”

    Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Namun menurut pengamatannya keadaan orang yang menyebut dirinya Kakang Panji itu memang sudah terlalu parah.

    “Ki Sanak,” berkata Kiai Gringsing, “kau belum menyebut namamu.”

    Orang itu memandang wajah Kiai Gringsing sekilas. Namun kemudian ia pun bergumam, “Namaku adalah Panji.”

    “Jangan bersembunyi juga Ki Sanak. Mungkin pengenalanku atas namamu akan bermanfaat bagiku atau juga bagimu.”¬

    Tetapi orang itu masih berusaha tersenyum. Katanya, “Namaku memang Panji. Panji Surapati.”

    Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Sebagai seorang Senapati yang tidak banyak dikenal namanya me¬mang Surapati. Tetapi dilingkungan tertentu, orang mengenalnya dengan nama Kakang Panji.

    Namun dalam pada itu, keadaan Kakang Panji me¬mang sudah terlalu parah.. Nafasnya menjadi semakin se¬sak. Meskipun demikian ia masih juga tersenyum sambil berkata, “Ki Sanak. Sebagai cucu Empu Windujati, kau adalah keturunan langsung dari Prabu Brawijaya. Apa¬kah kau tidak mempunyai niat, walau hanya setitik, untuk menyalakan kembali kuasa Majapahit atas tanah ini?”

    Kiai Gringsing memandang wajah Kakang Panji yang menjadi semakin pucat. Dengan suara lemah ia berkata, “Sudahlah Kiai. Biarlah aku pergi. Aku tidak mampu melaksanakan sebagaimana juga ayahku tidak dapat melihat kenyataan dari satu mimpi yang indah, karena aku telah membentur kuasa perguruan Windujati yang bersumber dari mata air yang sama dengan perguruan Sari Pati.”

    “Aku minta maaf Ki Sanak. Tetapi aku tidak dapat berbuat lain.” jawab Kiai Gringsing.

    Sekali lagi bibir Kakang Panji bergerak Betapa lemahnya, namun masih membayang sebuah senyuman di bibirnya itu. Hampir tidak terdengar ia berkata, “Aku harus melihat kenyataan ini. Biarlah Raden Sutawijaya mencoba untuk melakukannya. Memulihkan kembali kekuasaan Majapahit di atas tanah Mataram.”

    Kiai Gringsing mengangguk kecil. Tetapi ia pun kemudian berpaling kepada Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa yang sudah berjongkok pula di sebelahnya.

    “Apakah Raden mendengarnya ?”bertanya Kiai Gringsing.

    “Ya. Aku mendengarnya.” jawab Raden Sutawija¬ya.

    Dalam pada itu, dengan mata yang redup masih ter¬dengar suara Kakang Panji lambat sekali. “Aku mengucapkan selamat kepadamu Raden. Nampaknya kau akan berhasil. Sepeninggalku tidak akan ada artinya lagi hambatan yang dapat merintangi tumbuhnya kekuasaan Pajang di Mataram. Bahkan kekuasaan Majapahit itu.”

    Kiai Gringsing masih mengangguk-angguk. Namun sebagai seorang yang ahli di dalam ilmu pengobatan, ma¬ka iapun melihat bahwa sesuatu telah terjadi di dalam tubuh Kakang Panji. Nafasnya menjadi semakin sendat dan matanya bertambah redup. Bahkan akhirnya mata itu pun telah terpejam dan sebuah tarikan nafas yang panjang, telah mengakhiri hidup Kakang Panji yang gagal itu.

    Kiai Gringsing menundukkan wajahnya. Bagaimana¬pun juga, ia masih mempunyai sambungan bukan saja arus ilmu yang tumurun dari sumber yang sama, tetapi keduanya adalah trah Majapahit yang terdampar kedalam satu lingkungan dengan alas berpijak yang berbeda.

    Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa pun masih berjongkok di samping Kiai Gringsing. Namun dalam pa¬da itu, Untara lah yang masih tetap bersiaga, karena di arena itu, masih bertebaran prajurit Pajang dan para pengikut Kakang Panji yang di tangannya tergenggam senjata.

    Namun ternyata kematian Kakang Panji telah membawa pengaruh yang sangat besar. Beberapa orang pengikut Kakang Panji dan kepercayaannya yang memegang pimpinan pada kelompok-kelompok pasukan atau para kepercayaannya yang menjadi penghubung antara satu kesatuan dengan kesatuan yang lain, seakan-akan telah kehilangan pegangan, sehingga mereka tidak bernafsu lagi untuk melanjutkan pertempuran. Tanpa Kakang Panji, maka mereka tidak akan berarti apa-apa dihadapan orang yang telah membunuh Kakang Panji itu, apalagi di antara orang-orang Mataram masih terdapat beberapa orang lain yang memiliki ilmu yang tinggi.

    Karena itu, maka para pemimpin dari sisa-sisa pasukan Pajang dan para pengikut Kakang Panji itu pun tanpa berunding lebih dahulu, telah meletakkan senjata mereka. Mereka menganggap bahwa perlawanan berikutnya akan tidak berarti sama sekali, kecuali untuk membunuh diri.

    Demikianlah, maka para Senapati Mataram pun sege¬ra mendapat perintah untuk menawan sisa-sisa pasukan Pajang. Untara dan Ki Lurah Branjangan pun menjadi sibuk. Sementara beberapa orang yang lain telah merawat kawan-kawan mereka yang terluka, sedang sebagian dari lawan mereka yang telah menyerah itu pun telah mendapat tugas untuk merawat kawan-kawan mereka pula.

    Dengan demikian, maka pertempuran besar antara pasukan Mataram dengan pasukan Pajang yang berada di bawah pengaruh orang yang menyebut dirinya Kakang Panji itu pun telah berakhir. Untuk mempersiapkan segala-galanya, maka pasukan Mataram, telah mengambil kebijaksanaan untuk tetap berada di pasanggrahan untuk satu dua hari sambil membenahi seluruh pasukan mereka.

    Dalam pada itu, maka Raden Sutawijaya telah berusaha untuk menemui semua pemimpin pasukan yang telah berdiri dipihaknya. Yang sama sekali tidak cidera, maupun yang terluka. Termasuk Ki Juru Martani, yang ternyata telah mengalami kesulitan pada bagian dalam tubuhnya, meskipun tidak berbahaya.

    “Orang yang menyebut dirinya Kakang Panji itu me¬mang-orang yang luar biasa.” desis Ki Juru Martani keti¬ka Raden Sutawijaya menemuinya.

    “Ia murid perguruan Sari Pati,” sahut Raden Sutawijaya, “untunglah di antara kita terdapat murid Windujati.”

    “Cucu Windujati.” Ki Juru menyahut.

    “Ya. Cucu Windujati.” desis Raden Sutawijaya kemudian.

    Namun sementara itu, Kiai Gringsing tidak ada di antara mereka, karena Kiai Gringsing berada di antara kedua muridnya yang terluka dalam pertempuran itu. Namun keduanya telah menjadi semakin baik. Apalagi Swandaru. Seakan-akan lukanya sudah tidak mempengaruhinya lagi.

    Ki Gedepun telah menjadi semakin baik pula. Namun nampaknya cacat pada kakinya menjadi semakin berat. Keringkihan tubuhnya pada saat ia terluka, nampaknya mempunyai pengaruh yang tidak langsung atas Ki Gede. Tetapi agaknya Ki Gede sama sekali tidak menyesali keadaannya. Apapun yang terjadi, Ki Gede tidak akan menolaknya sebagai satu kenyataan.

    “Satu akibat yang wajar dari tugas-tugas yang harus aku lakukan.” berkata Ki Gede.

    Sementara itu, Ki Juru dan Raden Sutawijaya secara khusus telah mengucapkan terima kasih kepada Kiai Gringsing yang telah berhasil membatasi tingkah laku orang yang menyebut dirinya Kakang Panji. Tanpa Kiai Gringsing, maka persoalan Kakang Panji itu akan berkepanjangan. Mungkin akan dapat menghancurkan samasekali perkembangan Mataram dan bahkan Pajang sekaligus, sehingga akhirnya akan berdiri satu kekuasaan bayangan dari sebuah mimpi yang akan dapat menum¬buhkan kesulitan bagi rakyat, karena pengetrapan yang tidak wajar.

    Agung Sedayu dan Swandaru yang kemudian dengar juga keadaan seluruhnya dari medan itu pun telah menjadi berbangga hati. Pandan Wangi dan Sekar Mirah pun ikut berbangga pula. Bahwa Kiai Gringsing, guru dari Agung Sedayu dan Swandaru itu adalah orang yang memiliki ilmu yang mumpuni, melampaui dugaan mereka semua¬nya.

    Ketika kemudian malam turun, di dalam sebuah bilik di pasanggrahan orang-orang Mataram di Prambanan, Kiai Gringsing duduk di antara kedua muridnya bersama isteri-isteri mereka. Dengan terperinci Kiai Gringsing menjelaskan apa yang terjadi.

    “Sebaiknya kau mendengar langsung dari aku sendi¬ri. Ceritera orang lain mungkin sudah bergeser dari kenyataan yang sebenarnya. Mungkin ditambah mungkin pula dikurangi.” berkata Kiai Gringsing.

    “Yang kami dengar tidak jauh berbeda dengan yang guru katakan,” sahut Swandaru, “ternyata bahwa yang kami lihat sebelumnya, adalah tataran yang paling rendah dari kemampuan guru yang sebenarnya.”

    Tetapi Kiai Gringsing menggeleng. Katanya, “Tidak Swandaru. Kalian berdua telah melengkapi dasar-dasar ilmu yang aku miliki. Memang mungkin ada beberapa hal yang masih belum terjangkau dengan bekal ilmu yang sekarang. Tetapi dengan mematangkan diri, maka kalian akan sampai kepada satu kesempatan untuk memanjat le¬bih tinggi.”

    “Apakah hal itu dapat terjadi tanpa tuntunan guru?” bertanya Swandaru.

    Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya kemudian, “Anak-anakku. Rasa-rasanya aku su¬dah menjadi semakin tua. Aku tidak tahu, apakah memang demikian yang digariskan atasku. Namun rasa-rasanya dengan lenyapnya orang yang bernama Kakang Panji itu tugasku serasa sudah selesai.”

    “Tentu belum guru,” jawab Swandaru, “mungkin masih ada orang yang memiliki ilmu setingkat dengan orang yang menyebut dirinya Kakang Panji itu.”

    Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Katanya, “Aku menjadi semakin tua. Sudah sepantasnya aku menjadi semakin dekat dengan Yang Maha Pencipta. Kesempatanku tentu sudah menjadi semakin tipis, karena semakin tua umur seseorang, maka masanya menjadi semakin dekat baginya untuk menghadap kepada Yang Maha Pencipta itu.”

    Agung Sedayu, dan Swandaru suami isteri menun¬dukkan kepalanya. Mereka menyadari, bahwa pada suatu saat Kiai Gringsing itu benar-benar akan menyendiri dalam arti, membelakangi keduniawian sejauh mungkin, meskipun bukan berarti bahwa ia tidak akan lagi berhubungan dengan orang lain.

    Namun kedua muridnya memang merasa masih terlalu kecil dibandingkan dengan kemampuan gurunya yang tidak diduganya sebelumnya. Bahkan keduanya ma¬sih merasa kecil dibandingkan dengan Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa. Meskipun apa yang tumbuh di dalam diri Agung Sedayu berbeda dengan apa yang berkem¬bang di dalam diri Swandaru. Bukan saja arahnya, tetapi juga bobotnya. Dan agaknya hal itu kurang disadari oleh Swandaru meskipun dari beberapa pihak ia telah mendengar kelebihan Agung Sedayu dari orang kebanyakan.

    Dalam pada itu, maka Kiai Gringsing pun kemudian berkata selanjutnya, “Anak-anakku. Sudah tentu aku tidak akan dengan serta merta memisahkan diri dari kali¬an. Aku masih tetap akan membantu semua kesulitan yang bakal kalian alami sejauh dapat aku lakukan. Dan barangkali aku masih dapat membantu memperkembangkan bekal yang telah kalian miliki selama ini.”

    “Apa yang dapat guru lakukan?” bertanya Swandaru, “dalam keadaan yang gawat ini, maka segalanya memang harus berlangsung dengan cepat. Jika kita terlambat selangkah, maka kita akan ketinggalan untuk selanjutnya.”

    Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Memang tidak ada salahnya kita bertindak cepat. Tetapi kita tidak boleh kehilangan pertimbangan yang mapan.

    SELESAI

  6. Wuih, Kyai Gringsing pancen ciamik tenan… Nanging luwih ciamik Ki Ajar Gurawa lan ADBMers sing ikhlas nge-retype ADBM.
    See You in the next rontal… :))
    Matur nuwun.

  7. jan seru tenan…matursuwun sanget!

  8. PORO KISANAK …. TERIMA KASIH.. AKU SERASA TERBAWA ARUS IMAGINER KE MASA LAMPAU… SANGAT MENARIK SEKALI.. BAGI YANG INGIN TAHU DIMANA KEBERADAAN PERISTIRAHATAN KANJENG KYAI GRINSING INSYA ALLAH AKU BISA BANTU INFORMASIKAN LOKASINYA..

    S mohon lain kali jangan menggunakan Caps Lock Ki.. selamat bergabung


Tinggalkan Balasan ke Widura Batalkan balasan