Buku II-70
The URI to TrackBack this entry is: https://adbmcadangan.wordpress.com/buku-ii-70/trackback/
The URI to TrackBack this entry is: https://adbmcadangan.wordpress.com/buku-ii-70/trackback/
Gambar Kulit :
Herry Wibowo
Ilustrasi :
Sudyono
Penerbit :
Kedaulatan Rakyat,
Yogyakarta
kyai…………cerita selanjutnya piye.aku nggak ketemu.
ohhh kyai tolong lah tunjukan pedepokan selanjutnya ?
Re-typenya kepotong ya Ki ?
Terusannya dimana ?
Matur nuwun….
Monggo K4ng TTM
meneruskan karya Ki Mahesa
“Kiai. Aku tidak dapat berpaling dari perjuanganku yang sudah aku persiapkan sejak lama. Saat ini adalah langkahku yang terakhir. Aku akan segera menikmati perjuanganku. Aku akan membinasakan Mataram. Selanjutnya aku akan membinasakan Pajang sama sekali.” jawab orang yang menyebut dirinya Kakang Panji itu.
“Baiklah,” berkata Kiai Gringsing, “jika aku sudah tidak lagi bermimpi untuk mempergunakan ilmu perguru¬an Windujati pada puncak kemampuannya, karena aku ti¬dak mengira, bahwa masih ada juga sisa-sisa orang yang memiliki ilmu dari sumber yang sama, justru untuk kepentingan yang berlawanan dengan maksud perguruannya. Agaknya karena itu, maka aku harus mengingat kembali, bahwa sebenarnya aku adalah murid sepenuhnya dari perguruan Windujati, meskipun Windujati bukan satu-satunya perguruan tempat aku belajar.”
“Apapun yang kau katakan,” jawab orang itu, “kau tetap aku akui sebagai saudara tuaku. Tetapi aku bukan kanak-kanak lagi. Sebagaimana aku katakan, yang muda mungkin jauh lebih baik dari yang tua pada masa seka¬rang ini.”
“Mungkin juga sebaliknya,” jawab Kiai Gringsing, “tetapi baiklah kita akan melihat, apakah aku masih mampu menempatkan diriku sebagai saudara tuamu.”
“Kita akan memperbandingkan ilmu perguruan Sari Pati dengan perguruan Windujati. Jika kau kalah, bukan salah perguruan Windujati bahwa pada keturunan kedua mendapatkan seorang murid yang lebih bodoh dari murid Sari Pati.”
Kiai Gringsing tidak menjawab lagi. Ia sudah yakin, bahwa yang akan terjadi adalah benturan kekuatan. Ia ti¬dak akan dapat merubah sikap murid dari perguruan Sari Pati itu.
Karena itu, yang dapat dilakukan oleh Kiai Gringsing kemudian adalah mempersiapkan diri untuk menghadapi ilmu yang tinggi. Ilmu dari keluarga perguruan Sari Pati. Meskipun perguruan itu adalah perguruan yang bersih, ternyata segala sesuatunya tergantung juga kepada manusia yang menguasainya. Dan yang berdiri di hadapan Kiai Gringsing itu ternyata mempunyai sikap tersendiri yang menyimpang dari sikap perguruan Sari Pati.
Ketika orang yang menyebut dirinya bernama Kakang Panji itu mempersiapkan diri, maka Kiai Gringsing telah meraba pergelangan tangannya. Seolah-olah ia masih ingin meyakinkan dirinya sendiri, bahwa ia adalah keturunan yang mewarisi ilmu dari perguruan Windujati di samping perguruan yang lain.
Sejenak kemudian, maka orang yang menyebut diri¬nya bernama Kakang Panji itupun telah bersiap pula. Keduanya langsung berada dalam tataran tertinggi dari ilmu mereka masing-masing.
Dalam pada itu, orang-orang Mataram dan orang-orang Pajang seolah-olah sudah tidak lagi mampu melanjutkan pertempuran di antara mereka. Aji Gelap Ngampar yang dilontarkan oleh kedua orang yang ber¬sumber ilmu perguruan yang sama itu telah membuat jan¬tung orang-orang Mataram dan orang-orang Pajang bagaikan pecah. Sementara itu merekapun telah-diceng¬kam oleh perang tanding yang berlangsung antara kedua orang yang memiliki ilmu yang jarang ada bandingnya itu.
Namun dalam pada itu, pertempuran di sisi Timur masih berlangsung terus. Pasukan Mataram semakin lama mendesak pasukan Pajang semakin jauh ke Barat, sehingga sebentar lagi, pertempuran itu tentu akan segera menyatu dengan arena pertempuran di bagian Barat yang seakan-akan telah terhenti sama sekali itu.
Sementara itu, Kiai Gringsing dan Kakang Panji telah berhadapan dalam puncak ilmu mereka masing-masing. Agaknya Kakang Panji tidak ingin bertempur pada jarak yang dekat. Ia tahu bahwa Kiai Gringsing memiliki sen¬jata yang dahsyat, meskipun hanya berujud sebuah cam¬buk. Namun dalam puncak ilmunya, cambuk itu akan dapat mengoyak kulit dan dagingnya silang melintang.
Namun agaknya Kiai Gringsing tidak tergesa-gesa mempergunakan cambuknya. Ia masih ingin bertempur sebagaimana dilakukan oleh lawannya. Tanpa senjata.
Sejenak kemudian, ternyata Kakang Panji itu pun telah memulainya. Sebagaimana dilakukan atas Ki Juru Martani, maka Kakang Panji itupun telah mengayunkan tangannya. Seleret sambaran api telah menyerang Kiai Gringsing yang masih berdiri tegak.
Namun ketika terjadi ledakan, Kiai Gringsing telah beringsut dari tempatnya meskipun tidak seorang pun yang melihat, tubuh Kiai Gringsing itu bergerak. Bahkan tiba-tiba saja orang-orang yang masih tetap sadar atas medan yang dihadapi, melihat Kiai Gringsing pun telah mengayunkan tangannya pula.
Ternyata Kiai Gringsing pun telah melontarkan serangan yang serupa.
Serangan itu mengejutkan Kakang Panji. Meskipun iapun yakin kalau Kiai Gringsing mampu melakukannya. Tetapi ternyata serangan Kiai Gringsing itu tidak kalah dahsyatnya dari serangan yang telah dilontarkannya.
Dengan loncatan panjang, Kakang Panji menghindari serangan Kiai Gringsing. Bahkan sambil mengumpat. Ternyata Kiai Gringsing mempunyai cara yang lebih baik untuk menghindari serangannya daripada yang dilakukannya. Kiai Gringsing tidak meloncat atau melon¬tarkan diri dari tempatnya berdiri. Tetapi seakan-akan Kiai Gringsing itu tiba-tiba saja sudah berpindah tempat tanpa dapat dilihat oleh mata wadag. Bahkan dalam sekejap Kiai Gringsing itupun telah mampu membalas serangannya dengan cara yang sama.
Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Mereka memang menganggap bahwa Kiai Gringsing adalah orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi ketika mereka melihat Kiai Gringsing pada tataran yang sebenarnya, maka merekapun menjadi semakin kagum karenanya.
Sebelumnya mereka tidak pernah melihat Kiai Gringsing bertempur dengan wajah yang demikian tegang, penuh dengan kemarahan yang menghentak-hen¬tak. Sikap orang yang memiliki ilmu dari sumber yang sama dengan dirinya sendiri itu telah membuat Kiai Gringsing sulit untuk mengekang dirinya.
“Orang itu harus mendapat hukuman,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya, “Ia tidak saja menodai perguruan Sari Pati, tetapi sekaligus ia telah menghan¬curkan Pajang dari dalam dengan cara sangat licik.”
Dalam pada itu, maka Kakang Panji itupun tidak segera merasa dirinya kecil dihadapan Kiai Gringsing. Sekali lagi ia melontarkan serangan petirnya menyambar lawannya.
Tetapi yang terjadi adalah seperti yang pernah terjadi Kiai Gringsing yang nampaknya tetap berdiri tegak itu sudah tidak ada di tempatnya. Tetapi ia sudah berdiri dua langkah dari tempatnya, sehingga yang kemudian meledak adalah tanah tempatnya semula berpijak.
“Permainan yang menjemukan,” desis Kiai Gring¬sing, “apakah kau tidak mempunyai permainan yang lain, yang lebih menarik? Seharusnya kau tahu, bahwa cara ini tidak akan menyelesaikan persoalan di antara kita. Akupun mengerti bahwa serangan-seranganku dengan cara seperti ini tidak akan berhasil. Karena itu, aku akan menggunakan cara yang lain.”
Kakang Panji itu menjadi tegang. Serangan-serang¬annya itulah yang telah mengguncangkan pertahanan Ki Juru, meskipun Ki Juru mampu membuatnya ragu-ragu untuk menyerang, karena ujudnya yang kemudian menjadi rangkap.
Namun, tiba-tiba saja Kakang Panji itu telah melontarkan serangannya yang lain. Tiba-tiba arena pertempuran itu telah dipenuhi dengan bau yang sangat harum. Dan bau itu telah menusuk indera penciuman Kiai Gring¬sing langsung menghentak-hentak isi dadanya dan mempengaruhi keseimbangan nalarnya.
Namun, Kiai Gringsing menyadari apa yang terjadi. Iapun mengerti bahwa bau yang sangat harum itu adalah salah satu jenis ilmu yang dilontarkan oleh orang yang menyebut dirinya Kakang Panji. Ilmu yang dikembangkan untuk satu tujuan yang baik, karena dengan ilmu itu seseorang dapat mengakhiri perlawanan lawannya tanpa menyakitinya. Sehingga lawannya akan dapat ditundukkan dalam keadaan yang utuh.
Tetapi cara itu sudah bergeser. Ilmu itu dapat dipergunakan untuk melemahkan pertahanan lawannya, sehingga dengan demikian, maka lawannya itu akan dengan mudah dapat dibunuhnya.
Demikian juga agaknya yang dilakukan oleh Kakang Panji. Ia ingin melumpuhkan perlawanan Kiai Gringsing sebagaimana ia berhasil menembus benteng pertahanan Ki Juru Martani.
Namun dalam pada itu, menyadari bahwa serangan itu sangat berbahaya, maka Kiai Gringsing pun segera menutup indera penciumannya. Karena Kiai Gringsing mengerti, bahwa ilmu itu berhasil menembus sekar indera penciuman Ki Juru, maka Kiai Gringsing pun telah mempergunakan segenap kemampuan ilmunya menutup indera penciumannya.
Sejenak Kiai Gringsing masih terasa terganggu oleh bau yang sangat harum itu. Namun kemudian perlahan-lahan ia berhasil mengatasinya, sehingga bau itu sama sekali tidak menumbuhkan akibat apapun atas dirinya.
Tetapi Kiai Gringsing tidak segera menunjukkan keberhasilannya. Ia masih menunjukkan kegelisahan yang sangat sehingga akhirnya Kakang Panji itupun terta¬wa menggelegar mengguncang udara di atas medan karena aji Gelap Ngamparnya.
Dalam pada itu Kiai Gringsing menarik nafas da¬lam-dalam. Katanya di dalam hati, “Orang ini luar biasa. Ia dapat menyerang sekaligus indera pendengaran dan penciuman, meskipun yang mampu dibatasi sasarannya baru serangan atas indera penciuman. Karena itu, aku memang tidak boleh lepas tangan. Aku tentu tidak akan dianggap bersalah, bahwa aku telah menurunkan ilmu dari perguruan Windujati yang sudah aku simpan untuk waktu yang lama, melampaui peristiwa-peristiwa yang mendebarkan dan dapat mengancam jiwaku.”
Suara tertawa Kakang Panji menjadi semakin keras. Di sela-sela suara tertawanya terdengar ia berkata, “Nah Kiai. Ternyata bahwa Kiai harus memperhitungkan sega¬la kemungkinan yang dapat terjadi atas Kiai, jika Kiai mencoba menghadapkan diri kepada murid perguruan Sa¬ri Pati.”
“Panji,” berkata Kiai Gringsing dengan nada bergetar, “jika bukan aku, tentu tidak ada orang lain yang akan mampu menahan gejolak angkara murkamu. Aku yang merasa saudara tuamu, wajib berbuat sesuatu untuk menyelamatkan nyawamu.”
“Gila,” geram Kakang Panji, “apa yang dapat kau lakukan atasku sehingga kau akan menyelamatkan aku dari maut.”
“Bukan keselamatan nyawa dalam pengertian kewadagan. Tetapi keselamatanmu secara rohaniah. Kau mengerti maksudku?” berkata Kiai Gringsing.
“Kau terlalu sombong. Kau akan mengangkat aku dari kematian langsung?” Kakang Panji itu ganti berta¬nya.
Kiai Gringsing termangu-mangu. Sementara itu Kakang Panji berkata seterusnya, “Aku minta maaf Kiai, bahwa aku terpaksa bertindak dengan keras. Kau akan kehilangan keseimbanganmu karena gangguan indera penciumanmu. Dan akan jatuh berlutut di hadapanku. Tetapi maaf sekali lagi Kiai. Kau sudah terlambat untuk memohon ampun kepadaku, karena aku sudah terlanjur memutuskan untuk membunuh semua lawan-lawanku. Akan datang gilirannya, aku membunuh Ki Waskita, Untara, anak Ki Gede Pasantenan yang bagaikan gila itu, dan yang terakhir adalah Raden Sutawijaya sendiri.”
“Panji,” sahut Kiai Gringsing, “apakah kau benar-benar akan berbuat demikian?”
“Ya. Aku akan berbuat demikian.” jawab Kakang Panji.
Wajah Kiai Gringsing menegang. Sebenarnya masih ada sepercik harapan bahwa orang yang menyebut dirinya Kakang Panji itu akan dapat melihat satu kenyataan tentang persoalan yang dihadapinya. Tetapi agaknya hadapan itu akan sia-sia saja.
Ketika Kakang Panji meningkatkan serangannya atas indera penciumannya, maka Kiai Gringsing benar-benar merasa bahwa ia tidak dapat berbuat lain. Karena itu, maka katanya, “Baiklah Panji. Kita akan bersungguh-sungguh. Kau tahu, bahwa aku akan dapat mengurung diriku dengan kabut, sehingga serangan indera pen¬ciuman yang kau lontarkan itu akan kehilangan sasaran ?
“Aku dapat menghalau kabutmu dengan arus prahara. Jangan terlalu percaya kepada kabutmu itu.” jawab Kakang Panji.
Kiai Gringsing tidak menjawab lagi. Tetapi iapun kemudian menempatkan dirinya pada pusat putaran ilmunya. Perlahan-lahan ilmu itupun berkembang, sehingga di sekitar Kiai Gringsing itu seolah-olah telah tumbuh tirai yang keputih-putihan. Perlahan-lahan, namun semakin la¬ma semakin jelas ujudnya sebagai kabut yang memutari dirinya.
“Gila.” geram Kakang Panji. Karena itu, maka ia¬pun cepat bertindak sebelum kabut itu menjadi semakin tebal.
Dengan ilmunya Kakang Panji telah menghentakkan tangannya. Sambaran yang dahsyat telah menyerang Kiai Gringsing yang masih nampak jelas di balik kabut yang menebal.
Ternyata serangan Kakang Panji itu mampu menembus kabut yang berputar itu. Tanah tempat Kiai Gringsing itupun meledak. Namun seperti yang telah terjadi, Kiai, Gringsing sudah tidak berada di tempatnya lagi.
Namun dalam pada itu, Kakang Panji telah berhasil memecahkan pemusatan pikiran, sehingga lontaran ilmu Kiai Gringsing menjadi agak terganggu. Kabut itu tidak cepat menjadi rapat, tetapi perkembangannya menjadi semakin lamban ketika Kakang Panji mengulangi serangannya itu dua tiga kali.
Tetapi yang tidak diduga-duga oleh Kakang Panji, bahwa perlahan-lahan pula telah tercium pula bau yang sangat wangi menusuk hidungnya. Sementara itu ia merasa mampu menggagalkan usaha Kiai Gringsing untuk melingkari dirinya dengan kabut, maka serangan bau yang sangat harum itu telah mendebarkan jantungnya.
Ternyata bahwa dugaan Kakang Panji sekali lagi keliru. Jika kabut yang melingkari Kiai Gringsing tidak menjadi semakin tebal, bukan karena Kiai Gringsing te¬lah kehilangan kesempatan. Tetapi agaknya orang tua itu telah berusaha untuk menunjukkan kepada lawannya, bahwa iapun mampu menyamai ilmunya, serangan atas indera penciuman.
Kakang Panji menjadi semakin gelisah. Orang yang menyebut dirinya Kiai Gringsing itu bukan saja memiliki kemampuan untuk menutup inderanya, tetapi ia juga mampu menyerang lawannya dengan ilmu yang sama.
Kegelisahan itu menjadi semakin menghentak di dadanya, ketika ia mendengar Kiai Gringsing berkata, “Ki Sanak. Apa yang dapat kau lakukan tentu dapat aku lakukan. Apa yang dikuasai oleh perguruan Sari Pati, ten¬tu dikuasai oleh perguruan Windujati. Tetapi tidak sebaliknya. Ada yang dimiliki oleh perguruan Windujati, tetapi tidak dimiliki oleh saudara mudanya, perguruan Sa¬ri Pati.”
“Omong kosong,” geram Kakang Panji, “aku masih memiliki sejumlah ilmu yang tidak kau kenal. Bukan saja dari perguruan Sari Pati, tetapi dari perguruan-perguru¬an lain. Aku berguru kepada lebih dari sepuluh perguruan yang setingkat dengan perguruan Sari Pati. Selebihnya aku telah mampu mengembangkan ilmu dari sepuluh perguruan itu menjadi ilmu yang tidak ada bandingnya.”
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Tetapi katanya, “Kita sudah berhadapan di medan. Sebaiknya kita tidak berceritera terlalu banyak tentang diri kita sendiri. Jika kau memang memiliki dan mampu menghancurkan aku, lakukanlah.”
Kakang Panji menggeram. Sementara itu, bau yang wangi itu menjadi semakin tajam menusuk kedalam kesadaran keseimbangan nalarnya.
Namun Kakang Panji pun orang yang luar biasa. Iapun kemudian telah menutup indera penciumannya sebagaimana dilakukan oleh Kiai Gringsing, sehingga sesaat kemudian iapun telah terbebas dari gangguan indera penciumannya itu.
Tetapi agaknya Kiai Gringsing pun menyadari pula. Karena itu, maka ia melepaskan serangannya pada indera penciuman lawannya. Bahkan tiba-tiba saja ia telah meloncat jauh mendekati lawannya sambil menggeram, “Kita tidak akan membuang waktu untuk permainan kita yang jelek. Marilah, kita akan membenturkan ilmu kanuragan kita.”
“Gila” geram Kakang Panji.
Tetapi ia tidak dapat berbuat banyak. Kiai Gringsing berdiri semakin dekat dan siap untuk menyerangnya de¬ngan sentuhan wadagnya yang sebenarnya.
Namun Kakang Panji pun menyadari, jika sentuhan tangan orang-orang dari perguruan Windujati itu mengenainya, maka itu akan berarti segumpal dagingnya menjadi hangus.
Tetapi, Kakang Panji memang sulit untuk menghindarkan diri dari benturan ilmu kanuragan dengan wadagnya. Ketika ia berusaha untuk menyerang lawannya dengan ilmu petirnya, maka serangannya itu bagaikan menghantam tempat yang kosong. Kiai Gringsing selalu tidak lagi berada di tempat meskipun kemampuan mata wadag ti¬dak dapat menangkap geraknya ketika ia meloncat menghindar.
Tetapi Kakang Panji tidak menjadi gentar. Diulanginya serangannya itu beruntun. Tetapi seperti serangan¬nya yang terdahulu, semuanya tidak berarti apa-apa. Bahkan tiba-tiba saja iapun melihat Kiai Gringsing menggerakkan tangannya, sehingga iapun harus melon¬cat menghindar.
Namun Kakang Panji itu terkejut, ketika tiba-tiba saja, demikian ia berjejak diatas tanah setelah menghindari serangan Kiai Gringsing yang terlontar dari tangan¬nya sebagaimana dilakukan oleh Kakang Panji itu sendiri, serangan Kiai Gringsing telah memburunya dan menyambarnya. Dengan wadagnya.
Dengan tergesa-gesa Kakang Panji bergeser pula menghindar sehingga tangan Kiai Gringsing yang terayun itu tidak menyentuhnya.
Namun seperti yang diduganya, maka serangan yang berikutnya pun telah datang beruntun. Demikian cepat¬nya.
Kakang Panji harus mengerahkan kemampuannya untuk menghindari serangan yang mengalir itu. Susul menyusul. Sehingga akhirnya Kakang Panji itu harus meloncat jauh ke belakang sambil melontarkan serangan petirnya.
Kiai Gringsing memang terhalang oleh serangan itu. Ia harus menghindarinya, sehingga karena itu, Kakang Panji mendapat kesempatan untuk memperbaiki kea¬daannya.
Namun dalam pada itu, Kakang Panji memang harus mempersiapkan diri bagi pertempuran yang akan menja¬di sangat berat.
Sementara itu, pertempuran antara pasukan Pajang dan Mataram di sisi Timur telah bergeser semakin dekat ke Barat. Pasukan Pajang perlahan-lahan tetapi pasti, mengalami penyusutan. Mereka tidak dapat bertahan terhadap jumlah orang-orang Mataram yang lebih ba¬nyak.
Bergesernya medan itu, menggelisahkan beberapa orang Pajang di sisi sebelah Barat. Satu dua Senapati Pa¬jang yang mampu bertahan atas serangan aji Gelap Ngampar, memperhatikan debu yang mengepul semakin dekat dengan jantung yang berdegupan. Mereka sadar bahwa pasukan Mataram tentu lebih kuat dari pasu¬kan Pajang, sehingga pasukan Pajang itu harus bergeser ke Barat.
Tetapi Senapati itupun berharap, jika pertempuran antara kedua orang berilmu sangat tinggi itu masih berlanjut, dan sekali-sekali aji Gelap Ngampar itu masih terlontar juga, maka betapapun selisih kekuatan antara Mataram, dan Pajang, namun agaknya tidak akan banyak berarti, karena baik orang-orang Pajang maupun orang-orang Mataram seolah-olah akan menjadi kehilangan kemampuannya, karena dada mereka terguncang oleh kekuatan yang tidak terlawan.
Namun dalam pada itu, kegelisahan yang lain telah mencengkam pula. Agaknya Kakang Panji itu tidak de¬ngan segera menguasai lawannya.
“Ternyata Kakang Panji bukan iblis yang tidak ada duanya,” desis seseorang, “di medan ini ia menemukan kekuatan yang seimbang dengan kekuatannya. Bahkan saudara seperguruan. Meskipun mereka menyebut nama perguruan yang berbeda, tetapi ternyata bahwa keduanya bersumber dari ilmu yang sama.”
Satu hal yang tidak diduga sebelumnya oleh Kakang Panji.” sahut yang lain.
Sebenarnyalah, apa yang dihadapi oleh Kakang Panji itu sama sekali tidak diduganya. Meskipun Kakang Panji pernah mendengar nama Kiai Gringsing, tetapi ia sama sekali tidak membayangkan, bahwa Kiai Gringsing memiliki kemampuan yang dapat mengimbanginya, bah¬kan agaknya sulit untuk dapat dikalahkan.
Tetapi Kakang Panji adalah orang yang memiliki pengalaman yang luas sebagaimana Kiai Gringsing. Karena itu, maka iapun memiliki ketabahan yang luar biasa, menghadapi kesulitan yang betapapun besarnya.
Itulah sebabnya, menghadapi Kiai Gringsing Kakang Panji tidak menjadi gentar. Betapapun tinggi ilmu Kiai Gringsing, namun Kakang Panji pun merasa dirinya mem¬punyai bekal yang cukup untuk melawannya.
“Pada suatu saat, aku akan mendapatkan kelemahannya dan aku akan dapat menghancurkannya.” berkata Kakang Panji di dalam hatinya.
Demikianlah keduanya bertempur semakin dahsyat. Kiai Gringsing berusaha untuk membenturkan kemampuan kanuragannya dengan wadagnya. Tetapi Kakang Panji selalu berusaha mengambil jarak untuk dapat melontarkan serangan-serangannya dari jarak tertentu.
Dalam pada itu, sorak yang menggelegar bagaikan memecahkan selaput telinga telah terdengar. Orang-orang Mataram yang berhasil mendesak orang-orang Pajang telah bersorak-sorak dengan gemu¬ruh. Sementara itu, medan pun bergeser semakin ke Barat, semakin mendekati arena pertempuran di sisi Barat yang seolah-olah telah membeku oleh kekuatan Aji Gelap Ngampar.
Betapapun Kakang Panji mengalami kesulitan, namun ia sempat juga melihat debu yang mengepul. Namun ia justru berharap bahwa medan itu akan menjadi semakin dekat, sehingga kekuatan Aji Gelap Ngamparnya akan berhasil mencengkam jantung orang-orang Mataram, agar dengan demikian pertempuran akan dapat terhenti.
Ternyata sebagaimana diharapkan, akhirnya medan itupun menjadi semakin dekat. Dalam pada itu, selagi Kakang Panji sempat meloncat melepaskan diri dari libatan serangan Kiai Gringsing, maka terdengar rang itu berteriak nyaring dalam lambaran aji Gelap Ngampar, “Marilah orang-orang Mataram, mendekatlah.”
Suara itu bergulung-gulung di atas medan pertempu¬ran yang semakin mendekati medan di sisi Barat. Bahkan kemudian suara tertawa Kakang Panji itupun telah mele¬dak menghentak-hentak isi dada orang-orang Pajang.
Namun sementara itu, Kiai Gringsing yang mengetahui maksud Kakang Panji itupun telah menjawab, “Baiklah Kakang Panji. Tetapi jangan diharapkan bahwa orang-orang Pajang akan mampu berbuat sesuatu atas orang-orang Mataram.”
Pembicaraan kedua orang itu benar-benar telah mengguncang-guncang jantung. Baik orang-orang Mataram, maupun orang-orang Pajang seakan-akan telah kehilangan kemampuan mereka oleh guncangan-guncangan di dalam dadanya.
Sementara itu, beberapa orang Senapati Pajang mampu bertahan dari hentakkan-hentakkan di jantung mereka. Namun mereka tidak segera bertindak, karena beberapa orang Mataram pun mampu mengelakkan diri dari serangan aji yang sama. Sehingga dengan demikian, maka orang-orang Pajang itu harus menghitung kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi.
Tetapi ternyata sesuatu menarik perhatian mereka. Mereka melihat keadaan orang-orang Mataram dan Pajang yang terdahulu berada di medan itu. Mereka pun telah kehilangan kemampuan mereka untuk bertempur, sementara itu, di bagian lain mereka melihat dua orang yang bertempur dengan ilmu yang luar biasa.
“Kakang Panji.” desis seorang Senapati Pajang yang masih mampu melepaskan diri dari pengaruh Aji Gelap Ngampar.
Namun agaknya perhatian orang-orang Pajang, maupun orang-orang Mataram telah tertuju kepada pertempuran antara Kiai Gringsing dan Kakang Panji. Pertempuran yang semakin lama menjadi semakin dahsyat. Mereka sadar sepenuhnya bahwa sumber Aji Gelap Ngampar adalah kedua orang yang sedang bertempur de¬ngan sengitnya itu. Namun Aji Gelap Ngampar yang mampu mengguncang jantung itu, sama sekali tidak menimbulkan akibat apapun pada kedua orang yang se¬dang bertempur itu.
Demikianlah, maka pertempuran antara Kiai Gring¬sing dan Kakang Panji itu berlangsung terus. Bahkan akhirnya keduanya terlibat dalam pusaran benturan ilmu yang nggegirisi.
Beberapa orang yang menyadari bahaya yang dapat timbul di arena itu atas orang-orang yang ada di sekitarnya, telah berusaha untuk menghindar. Mereka yang dadanya bagaikan retak dan tidak mampu berbuat apa-apa lagi, masih juga berusaha untuk bergeser dari tempatnya, menjauhi arena pertempuran antara Kiai Gringsing dan Kakang Panji yang setiap kali telah terjadi benturan dan lontaran ilmu yang kadang-kadang lepas dari sasaran dan menghantam tempat di sekitar arena itu.
Dalam pada itu, Kiai Gringsing dan Kakang Panji benar-benar telah terlibat dalam satu pertempuran yang sulit dimengerti. Mereka telah mempergunakan berbagai macam ilmu yang ada di dalam diri mereka masing-ma¬sing, yang sebagian besar bersumber dari perguruan yang sama.
Lontaran-lontaran ilmu yang dahsyat telah memecah¬kan batu-batu padas dan meledakkan tanggul dan pematang di arena itu. Pepohonan yang disambar oleh serangan petir yang terlontar dari tangan mereka, telah berpatahan. Sementara itu, keduanya bagaikan terlibat dalam satu pusaran yang sulit diurai menurut penglihatan mata wadag. Namun setiap kali salah seorang dari keduanya te¬lah terlontar beberapa langkah. Kadang-kadang mereka jatuh di atas kedua kaki mereka Tetapi sekali-sekali mere¬ka terpelanting dan jatuh berguling di atas tanah.
Serangan-serangan yang dahsyat, akhirnya telah menyentuh tubuh-tubuh mereka. Semakin cepat mereka bertempur, maka kesempatan untuk mengelak dan menghindar pun menjadi semakin sempit.
Dalam benturan-benturan ilmu yang kemudian men¬jadi semakin dahsyat itu, telah memaksa keduanya melin¬dungi diri mereka dengan ilmu yang sebelumnya tidak pernah nampak dipergunakan oleh Kiai Gringsing. Ilmu yang dikenal pada masa-masa sebelumnya, yang mem¬punyai kekuatan mirip dengan ilmu kebal. Yaitu ilmu Tameng Waja, sebagaimana yang dimiliki oleh Sultan Demak terakhir dan Sultan Hadiwijaya. Namun karena ilmu keduanya yang tinggi, maka kadang-kadang ilmu Tameng Waja itupun dapat tertembus oleh serangan lawan dan terasa serangan itu menusuk sampai ke dalam isi dada.
Namun demikian, kedua orang yang memiliki ilmu dari sumber yang sama itu sama sekali tidak lagi mengekang diri. Mereka telah mengerahkan segenap kemampu¬an yang ada di dalam diri mereka. Puncak segala macam ilmu dan kemampuan kanuragan. Bahkan segala macam aji yang mereka miliki telah mereka tumpahkan dalam benturan yang dahsyat itu.
Dalam keadaan yang demikian, maka pasukan dari kedua belah pihak seakan-akan telah kehilangan perhati¬an mereka terhadap pertempuran antara kedua pasukan itu sendiri. Tetapi mereka telah tercengkam oleh benturan ilmu dari kedua orang yang memiliki ilmu yang tidak ada bandingnya itu.
Dalam pada itu, baik Kakang Panji maupun Kiai Gringsing tidak lagi sempat melontarkan aji Gelap Ngam¬par. Sehingga perlahan-lahan pasukan Mataram dan Pa¬jang itu telah bebas dari cengkaman ilmu yang bagaikan meremas dada mereka itu.
Meskipun demikian, seolah-olah mereka tidak lagi ingat tentang diri mereka. Tentang pasukan mereka dan tentang permusuhan di antara orang-orang Mataram dan Pajang. Yang menjadi pusat perhatian mereka kemudian adalah pertempuran antara Kiai Gringsing dan Kakang Panji yang kadang-kadang berada di luar jangkauan nalar mereka.
Sementara itu pertempuran itupun telah berlangsung semakin dahsyat. Seolah-olah udara di sekitar arena itu te¬lah bergejolak. Bahkan semakin lama menjadi semakin panas. Aji Gelap Ngampar dan serangan terhadap indera penciuman masing-masing sama sekali tidak berarti lagi bagi keduanya, sehingga mereka tidak mempergunakan¬nya lagi. Namun kedua belah pihak seolah-olah dilapisi oleh dinding baja yang sulit ditembus oleh ilmu yang betapapun tajamnya.
Tetapi ternyata bahwa lapisan ilmu Tameng Waja itu sekali-sekali dapat tertembus juga. Bahkan kadang-ka¬dang salah seorang di antara mereka telah terlempar keluar dari lingkaran pertempuran dan terbanting jatuh. Na¬mun dalam sekejap merekapun telah melenting berdiri dan bahkan meluncur seperti anak panah memasuki putaran pertempuran berikutnya.
Demikian dahsyatnya pertempuran itu, sehingga rasa-rasanya bumi telah berguncang. Dahan pepohonan berpatahan dan batu-batu padas pun pecah berserakan.
Namun yang terjadi kemudian telah mencengkam ha¬ti setiap orang yang ada di seputar arena itu. Orang-orang Mataram dan orang-orang Pajang pun seakan-akan telah membeku. Bahkan Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa berdiri mematung di tempatnya.
Kedua orang itu akhirnya tidak lagi berloncatan saling menyerang. Tetapi gerak mereka justru menjadi semakin lamban. Bukan karena mereka telah kehabisan tenaga dan tidak lagi mampu bergerak. Tetapi demikian¬lah akhirnya keduanya berdiri tegak dengan tangan bersilang di dada masing-masing.
Dengan tajamnya keduanya saling memandang. Keduanya tidak memancarkan serangan dari matanya seperti yang dilakukan oleh Agung Sedayu dan Sabungsari. Tetapi keduanya tetap saling memandang langsung ke hitam mata masing-masing.
Tidak seorang pun yang tahu, apa yang sedang mereka lakukan dengan sikap itu. Namun terasa oleh orang-orang yang berdiri di sekitar arena pertempuran yang dahsyat itu, bahwa keduanya sedang membenturkan ilmu mereka masing-masing. Ilmu yang tidak dapat dimengerti oleh orang-orang yang menyaksikan pertem¬puran itu dengan hati yang berdebar-debar.
Namun dalam pada itu, baik Kiai Gringsing maupun Kakang Panji memang sedang bertempur dengan ilmu mereka yang luar biasa. Ilmu yang sudah tidak banyak dikenal lagi apalagi oleh anak-anak muda. Bahkan Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya pun memperhatikan pertempuran itu dengan hati yang berdebar-debar.
“Apa yang sedang mereka lakukan?” desis Pange¬ran Benawa.
“Satu pertempuran yang aneh.” sahut Raden Sutawijaya.
“Nampaknya keduanya memang memiliki ilmu yang tidak ada bandingnya. Pertempuran yang dahsyat itu terlalu sulit untuk dimengerti.” desis Pangeran Benawa selanjutnya.
“Itulah sebabnya, maka orang yang menyebut dirinya Kakang Panji itu telah berusaha untuk mencapai satu kedudukan yang tertinggi dalam satu pemerintahan yang setiap kali disebutnya sebagai kelanjutan dari kerajaan Majapahit.” berkata Raden Sutawijaya selanjutnya, “ternyata bahwa ia bukan sekedar bermimpi. Ia me¬mang memiliki ilmu melampaui kita semuanya.”
“Sayang bagi orang itu,” sahut Pangeran Benawa, “ternyata pula bahwa masih ada juga sisa kekuatan yang seimbang dari masa lampau yang besar itu.”
“Tetapi Adimas,” berkata Raden Sutawijaya kemudian, “aku yakin, bahwa Kakang Panji itu selain memiliki ilmu yang sangat tinggi, tentu merasa dirinya pewaris dari kerajaan Agung itu. Meskipun langkahnya itu hanya dapat dianggap benar bagi dirinya sendiri, na¬mun rasa-rasanya ia memang keturunan dari tahta Majapahit itu sendiri.”
“Aku juga menduga demikian Kakangmas,” sahut Pangeran Benawa, “sebagaimana juga Kiai Gringsing sendiri. Bedanya, bahwa Kiai Gringsing dapat menerima perkembangan apa yang ada sekarang. Sedangkan orang yang menyebut dirinya Kakang Panji itu masih dihinggapi oleh pamrih dan bahkan sifat-sifat tamak dan mementingkan diri sendiri.”
“Keduanya adalah kekuatan masa yang sedang berlalu. Kekuatan yang justru ada bandingnya. Namun keduanya harus berhadapan dan saling membenturkan il¬mu mereka yang sangat dahsyat itu.”
Pangeran Benawa tidak menyahut. Kedua orang itu masih saja melihat Kiai Gringsing dan orang yang menyebut dirinya Kakang Panji itu berdiri tegak sambil menyilangkan tangannya di dada.
Sementara itu, orang-orang lain dari kedua belah pihak pun telah dicengkam oleh pertempuran yang terasa menjadi semakin dahsyat itu. Ki Waskita sekali-sekali nampak tersenyum. Namun kemudian alisnya telah berkerut. Ketegangan terasa mencengkam jantung.
Glagah Putih yang terbebas dari pertempuran karena keadaan yang mengguncang seluruh medan itu, berdiri mematung menyaksikan apa yang sedang terjadi.
Sebenarnyalah Kiai Gringsing dan Kakang Panji benar-benar telah sampai ke puncak ilmu mereka. Dalam keadaan yang demikian, mereka tidak memerlukan lagi Aji Gelap Ngampar, ilmu yang dapat menyerang indera penciuman, dan ilmu-ilmu yang lain. Tetapi mereka sedang mengadu kekuatan ilmu yang terpancar lewat benturan batin mereka yang tidak dapat dilihat oleh siapapun juga.
Dalam pada itu, bukan hanya Glagah Putih sajalah yang tertegun heran. Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya, Ki Waskita, Putera Pasantenan, Sabungsari dan para Senapati yang lain. Ki Lurah Branjangan pun berdiri mematung seolah-olah ia bukan lagi seorang Senapati, yang telah memimpin satu pasukan khusus dipersiapkan untuk satu benturan kekuatan yang dahsyat. Dalam kebingungan ia tidak lebih dari seorang anak-anak yang sedang menyaksikan satu tontonan yang tidak dapat dimengertinya.
Demikianlah benturan ilmu itu benar-benar telah mencengkam semua orang yang menyaksikan. Para prajurit Pajang dan para pengawal Mataram, merasa diri mereka terlalu dungu menghadapi pertempuran antara dua raksasa yang menggetarkan itu.
Dengan wajah yang semakin tegang, orang-orang yang ada di sekitar arena itu menyaksikan, seolah-olah tubuh kedua orang itu telah berasap. Semakin lama semakin nyata. Tidak saja dari ubun-ubun mereka. Tetapi kemudi¬an dari dahi, tengkuk dan dada mereka pun telah menge¬pul asap keputih-putihan.
Sementara itu wajah kedua orang itu pun menjadi se¬makin tegang. Bahkan kemudian wajah-wajah itu telah menjadi merah seperti bara.
Kakang Panji yang tidak menyangka bahwa ia akan menghadapi seorang lawan yang memiliki ilmu dari sum¬ber yang sama, mengumpat di dalam hati. Bahkan semakin lama terasa, bahwa ilmu lawannya itu telah mendesaknya semakin dalam.
Ketegangan benar-benar telah mencengkam arena pertempuran itu. Udara yang panas menjadi semakin pa¬nas. Dedaunan pun menjadi layu dan orang-orang pun telah menyibak semakin jauh dari kedua orang yang masih berdiri tegak mematung itu.
Namun dalam pada itu, ketika asap menjadi semakin tebal mengepul dari tubuh kedua orang itu, maka wajah Kakang Panji pun mulai berubah. Wajah yang merah membara itu menjadi pudar. Bahkan semakin lama nam¬pak menjadi semakin pucat.
Orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu dari kejauhan tidak dapat melihat perubahan itu. Tetapi orang-orang berilmu yang ada di sekitar tempat itu, yang masih mampu berdiri tidak terlalu jauh dan memiliki pan¬dangan yang tajam, melihat perubahan yang terjadi perlahan-lahan tetapi pasti itu.
Akhirnya, dalam keadaan yang tidak tertahankan la¬gi, orang-orang yang berdiri di seputar arena itu, meski¬pun agak jauh, melihat cairan yang meleleh dari bibir Kakang Panji. Cairan yang berwarna merah kehitam-hitaman. Darah.
Terasa jantung orang-orang Pajang itu pun berguncang. Kakang Panji adalah orang yang mempunyai nama yang sangat besar bagi mereka. Seolah-olah Kakang Panji adalah seorang tokoh dalam satu ceritera kepahlawanan yang sangat dikagumi. Meskipun ada di antara mereka yang semula belum pernah melihat orang yang bernama Kakang Panji itu, namun namanya telah pernah hinggap di dalam hati mereka sebagai seorang seakan-akan mem¬punyai kedudukan yang lebih tinggi dari orang kebanya¬kan.
Namun kini mereka menyaksikan satu kenyataan, bahwa orang yang bernama Kakang Panji sebagaimana diucapkannya sendiri itu, mengalami kesulitan melawan orang yang menyebut dirinya Kiai Gringsing. Seorang yang memang dianggap orang berilmu tinggi, namun sebelumnya orang-orang Pajang tidak membayangkan, bahwa Kiai Gringsing itu mampu melawan Kakang Panji, yang sudah berhasil membayangi kekuasaan Kangjeng Sultan Hadiwijaya di Pajang, dan yang mempersiapkan diri untuk memimpin satu pemerintahan yang besar sebagaimana masa kejayaan Majapahit.
Sementara itu kedua orang yang sedang bertempur itu masih tetap berdiri di tempatnya. Keduanya masih tegak sambil menyilangkan tangannya di dadanya. Namun da¬lam pada itu, Kakang Panji semakin lama telah menjadi semakin lemah. Darah yang meleleh dari bibirnya sema¬kin lama menjadi semakin banyak.
Kiai Gringsing masih tetap berdiri tegak. Tetapi wajahnya yang membara pun telah berubah pula, seperti yang telah terjadi pada Kakang Panji sebelumnya.
Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya menjadi sa¬ngat cemas. Jika Kakang Panji mampu bertahan untuk beberapa saat dan sempat melontarkan kekuatan ilmunya yang terakhir dan menghentak, mungkin Kiai Gringsing akan mengalami kesulitan.
Untuk beberapa saat keduanya masih tetap dalam keadaannya. Darah masih meleleh dari bibir Kakang Panji. Namun wajah Kiai Gringsing pun semakin lama menjadi semakin pucat.
Dalam pada itu, Ki Waskita berdiri tegak dengan jantung yang bagaikan berdentang semakin cepat. Ia melihat apa yang terjadi, sebagaimana yang dilihat oleh Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa. Tetapi seperti juga Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa, maka Ki Waskita pun tidak dapat berbuat sesuatu. Ia tidak dapat dengan curang membantu Kiai Gringsing dengan ilmunya yang mana pun juga, karena Kiai-Gringsing dan Kakang Panji nampaknya telah sepakat untuk bertempur seorang melawan seorang. Demikian juga Sabungsari. Sebenarnya ia dapat dengan diam-diam menyerang Kakang Panji dengan lontaran ilmunya lewat matanya. Dalam keadaan yang sudah melemah itu, maka ilmunya tentu akan dapat mengakhiri perlawanan Kakang Panji. Namun Sabungsari tidak dapat melakukannya sebagaimana Raden Sutawija¬ya, Pangeran Benawa dan Ki Waskita. Karena itu, yang dapat dilakukannya hanyalah sekedar menggeram dan menggeretakkan giginya.
Namun dalam pada itu, wajah Kiai Gringsing memang menjadi semakin pucat sebagaimana telah terja¬di pada lawannya sejak kekuatannya menjadi jauh menyusut.
Dengan demikian, maka orang-orang yang menyaksikan keadaan Kiai Gringsing itupun menjadi semakin berdebar-debar pula.
Namun keadaan itupun segera diakhiri ketika orang, yang menyebut Kakang Panji itu sudah tidak mampu bertahan lebih lama lagi. Ketika darah mengalir semakin ba¬nyak dari sela-sela bibirnya, maka kepalanya pun semakin lama menjadi semakin menunduk. Matanya tidak lagi mampu memandang hitam mata Kiai Gringsing, semen¬tara asap yang mengepul dari tubuhnya telah berubah menjadi kemerah-merahan.
Perlahan-lahan Kakang Panji itu terguncang. Tubuhnya menjadi semakin lemah, sehingga akhirnya orang itu pun terhuyung-huyung. Betapa pun orang itu bertahan dengan sisa tenaganya, namun akhirnya Kakang Panji itu pun jatuh pada lututnya. Dengan kedua tangannya ia berusaha untuk menahan tubuhnya yang menjadi sema¬kin lemah.
Namun akhirnya, Kakang Panji itu pun tidak dapat la¬gi menahan dirinya dan jatuh berguling di tanah.
Masih terdengar orang itu mengumpat lirih. Tetapi kemudian nafasnya menjadi terengah-engah, sementara matanya pun mulai terpejam.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Tetapi iapun ternyata sudah menjadi terlalu lemah. Ketika ia mencoba untuk melangkah, maka ia harus menjadi sa¬ngat berhati-hati untuk menahan keseimbangan tubuhnya.
Namun dalam pada itu, demikian Kakang Panji itu rebah, maka Glagah Putih pun segera berlari-lari mendekati Kiai Gringsing dan mencoba menahannya agar orang tua itu tidak terjatuh karenanya.
“Terima kasih Glagah Putih,” desis Kiai Gringsing. Lalu katanya, “Bawa aku mendekati orang yang terbaring itu.”
Glagah Putih menjadi ragu-ragu. Namun akhirnya ia pun membawa Kiai Gringsing mendekati orang yang terbaring diam dengan nafas yang terengah-engah.
Asap yang mengepul dari tubuh kedua orang itu pun telah lenyap dengan sendirinya. Namun demikian asap yang kemerah-merahan itu lenyap, maka keringat yang membasahi di seluruh tubuh Kakang Panji itulah yang menjadi kemerah-merahan, seolah-olah telah bercampur dengan darah.
Perlahan-lahan Kiai Gringsing mendekatinya. Kemudian orang tua itu pun telah berlutut di sisi tubuh Kakang Panji. Dengan ragu-ragu Kiai Gringsing menyentuh tubuh orang itu.
“Ki Sanak.” desis Kiai Gringsing dengan suara pa¬rau.
Orang itu tidak segera menjawab. Namun perlahan-lahan ia telah membuka matanya.
Sementara itu, pertempuran benar-benar telah terhenti. Semua orang dicengkam oleh ketegangan. Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya pun telah men¬dekati Kiai Gringsing yang berlutut di sisi tubuh Kakang Panji. Bahkan kemudian beberapa orang yang lain pun telah mendekatinya pula.
“Ki Sanak,” sekali lagi Kiai Gringsing berdesis, “dalam keadaan parah ini, cobalah kau mengatakan, siapa¬kah kau sebenarnya jika kau memang murid dari perguruan Sari Pati.”
Wajah orang itu menjadi semakin putih. Tetapi dicobanya juga berbicara, “Kau memang luar biasa Ki Sanak. Akupun yakin, bahwa kau memang murid Win¬dujati.”
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Tetapi ia memang menginginkan orang itu mengatakan sesuatu tentang dirinya. Karena itu, maka Kiai Gringsing pun kemudian berkata, “Ki Sanak. Bukan maksudku untuk mengaku-aku atau apalagi menyombongkan diri, tetapi baiklah, kita saling berterus terang. Jika kau percaya Ki Sanak, aku adalah murid perguruan Windujati, meskipun bukan satu-satunya tempat aku berguru. Namun sebenar¬nyalah aku cucu Empu Windujati.”
Wajah orang itu menegang. Dengan suara gemetar ia mengulangi, “Jadi kau cucu Empu Windujati?”
“Begitulah Ki Sanak. Jika aku mengatakannya, aku sekedar bermaksud agar kau pun menyatakan, siapakah kau sebenarnya.” desak Kiai Gringsing.
Orang itu menelan ludahnya. Keadaannya menjadi semakin parah. Kiai Gringsing yang lemah itupun melihat, bahwa orang itu sudah tidak mungkin lagi diharapkan untuk dapat disembuhkan, kecuali jika terjadi satu keajaiban.
Ketika orang itu kemudian menarik nafas dalam-dalam, maka ia pun kemudian berkata, “Pantas, kau memiliki kemampuan yang tidak, ada bandingnya. Kau memang seharusnya memenangkan pertempuran ini. Sejauh aku ketahui, aku belum pernah melihat orang yang memiliki tingkat ilmu seperti yang kau miliki, kecuali gu¬ru.”
“Jangan memuji,” desis Kiai Gringsing, “tetapi siapakah kau sebenarnya.”
Orang itu nampaknya masih juga ragu-ragu. Tetapi akhirnya ia berdesis, “Aku adalah putera Raden Rangga Surapada.”
“Raden Rangga Surapada.” Kiai Gringsing mengulang. Tetapi ia belum mengenal nama itu. Karena itu, ma¬ka ia pun bertanya, “Apakah Raden Rangga Surapada mempunyai gelar atau sebutan yang lain.”
“Tidak. Ayah memang tidak banyak dikenal. Tetapi ayah adalah putera Raden Dipasura, dan Raden Dipasura adalah putera, Pangeran Handayapati.”¬
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia berdesis, “Jadi kau adalah cicit Pangeran Handayapati. Pangeran yang tidak ada duanya pada masanya. Aku pernah mendengar nama Pangeran Handayapati dan juga nama Raden Dipasura yang bergelar Raden Lembu Gandang yang dikenal dengan seorang kesatria bersenjata canggah bermata lengkung.”
“Kau mengenal kakekku?” desis orang yang menyebut dirinya Kakang Panji.
“Ya. Memang salah seorang pemimpin dari perguru¬an Sari Pati.” jawab Kiai Gringsing, “tetapi apakah sejak kakekmu yang bergelar Raden Lembu Gandang dan dikenal sebagai kesatria bersenjata canggah bermata lengkung itu sudah terbersit satu keinginan untuk mengungkat kekuasaan Majapahit lama itu ?”
Kakang Panji yang sudah menjadi semakin parah itu menarik nafas dalam-dalam. Namun terasa bahwa nafasnya seakan-akan sudah tidak lagi dapat mengalir de¬ngan lancar lewat lubang hidungnya.
“Ki Sanak,” berkata Kiai Gringsing, “aku mempu¬nyai sejenis obat yang barangkali dapat memperingan penderitaanmu.”
“Aku tidak menderita apa-apa,” ternyata Kakang Panji itu masih tersinggung. Lalu katanya, “jangan mengasihani aku. Aku memang tidak memerlukan belas kasihan. Apa yang terjadi bukannya sesuatu yang mustahil. Seorang prajurit akan mengalami keadaan seperti ini sebagai satu kemungkinan yang sangat wajar.”
“Tetapi, bukankah setiap orang yang terluka sudah wajar pula untuk diobati ?”bertanya Kiai Gringsing.
“Tidak ada gunanya. Umurku sudah tidak akan da¬pat disambung lagi dengan cara apapun.” jawab Kakang Panji. Lalu katanya, “Tetapi aku masih ingin menjawab pertanyaanmu. Kakek sama sekali tidak pernah menyebut tentang kekuasaan Majapahit lama. He, kapan kau bertemu dengan kakek?”
“Aku hanya mengenal namanya,” jawab Kiai Gringsing, “jika umurmu dan umurku tidak terpaut banyak, maka pengenalanku atas kakekmu adalah pengenalan anak-anak terhadap seorang yang sudah kawentar.”
Kakang Panji termangu-mangu sejenak. Matanya masih berkedip meskipun kadang-kadang terpejam.
“Ki Sanak,” berkata Kakang Panji kemudian, “pada saat seperti ini, sebaiknya aku tidak lagi berbohong kepadamu. Yang mula-mula berniat untuk mengungkit warisan kekuasaan Majapahit adalah ayahku. Rangga Surapada sejak kekuasaan Demak terakhir. Tetapi ayah tidak sempat berbuat sesuatu sampai akhir hayatnya. Na¬mun demikian cita-cita itu telah terpahat di hatiku, sehing¬ga aku mulai merintis sejak aku merasa memiliki bekal yang cukup. Tetapi ternyata bahwa di sini aku bertemu dengan cucu Empu Windujati.”
“Sudahlah Ki Sanak,” berkata Kiai Gringsing, “bagaimana pun juga usaha wajib dilakukan. Aku akan berusaha mengobatimu. Aku akan meramu beberapa jenis obat yang barangkali akan dapat menolongmu.”
Tetapi Kakang Panji yang sudah terlalu lemah itu menggelengkan kepalanya sambil berkata, “Tidak Ki Sanak. Itu tidak perlu. Aku tahu bahwa kau adalah seo¬rang ahli dalam ilmu obat-obatan. Tetapi kemampuan seseorang tentu terbatas. Dan nampaknya aku sudah berada di luar batas kemampuanmu.”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Namun menurut pengamatannya keadaan orang yang menyebut dirinya Kakang Panji itu memang sudah terlalu parah.
“Ki Sanak,” berkata Kiai Gringsing, “kau belum menyebut namamu.”
Orang itu memandang wajah Kiai Gringsing sekilas. Namun kemudian ia pun bergumam, “Namaku adalah Panji.”
“Jangan bersembunyi juga Ki Sanak. Mungkin pengenalanku atas namamu akan bermanfaat bagiku atau juga bagimu.”¬
Tetapi orang itu masih berusaha tersenyum. Katanya, “Namaku memang Panji. Panji Surapati.”
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Sebagai seorang Senapati yang tidak banyak dikenal namanya me¬mang Surapati. Tetapi dilingkungan tertentu, orang mengenalnya dengan nama Kakang Panji.
Namun dalam pada itu, keadaan Kakang Panji me¬mang sudah terlalu parah.. Nafasnya menjadi semakin se¬sak. Meskipun demikian ia masih juga tersenyum sambil berkata, “Ki Sanak. Sebagai cucu Empu Windujati, kau adalah keturunan langsung dari Prabu Brawijaya. Apa¬kah kau tidak mempunyai niat, walau hanya setitik, untuk menyalakan kembali kuasa Majapahit atas tanah ini?”
Kiai Gringsing memandang wajah Kakang Panji yang menjadi semakin pucat. Dengan suara lemah ia berkata, “Sudahlah Kiai. Biarlah aku pergi. Aku tidak mampu melaksanakan sebagaimana juga ayahku tidak dapat melihat kenyataan dari satu mimpi yang indah, karena aku telah membentur kuasa perguruan Windujati yang bersumber dari mata air yang sama dengan perguruan Sari Pati.”
“Aku minta maaf Ki Sanak. Tetapi aku tidak dapat berbuat lain.” jawab Kiai Gringsing.
Sekali lagi bibir Kakang Panji bergerak Betapa lemahnya, namun masih membayang sebuah senyuman di bibirnya itu. Hampir tidak terdengar ia berkata, “Aku harus melihat kenyataan ini. Biarlah Raden Sutawijaya mencoba untuk melakukannya. Memulihkan kembali kekuasaan Majapahit di atas tanah Mataram.”
Kiai Gringsing mengangguk kecil. Tetapi ia pun kemudian berpaling kepada Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa yang sudah berjongkok pula di sebelahnya.
“Apakah Raden mendengarnya ?”bertanya Kiai Gringsing.
“Ya. Aku mendengarnya.” jawab Raden Sutawija¬ya.
Dalam pada itu, dengan mata yang redup masih ter¬dengar suara Kakang Panji lambat sekali. “Aku mengucapkan selamat kepadamu Raden. Nampaknya kau akan berhasil. Sepeninggalku tidak akan ada artinya lagi hambatan yang dapat merintangi tumbuhnya kekuasaan Pajang di Mataram. Bahkan kekuasaan Majapahit itu.”
Kiai Gringsing masih mengangguk-angguk. Namun sebagai seorang yang ahli di dalam ilmu pengobatan, ma¬ka iapun melihat bahwa sesuatu telah terjadi di dalam tubuh Kakang Panji. Nafasnya menjadi semakin sendat dan matanya bertambah redup. Bahkan akhirnya mata itu pun telah terpejam dan sebuah tarikan nafas yang panjang, telah mengakhiri hidup Kakang Panji yang gagal itu.
Kiai Gringsing menundukkan wajahnya. Bagaimana¬pun juga, ia masih mempunyai sambungan bukan saja arus ilmu yang tumurun dari sumber yang sama, tetapi keduanya adalah trah Majapahit yang terdampar kedalam satu lingkungan dengan alas berpijak yang berbeda.
Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa pun masih berjongkok di samping Kiai Gringsing. Namun dalam pa¬da itu, Untara lah yang masih tetap bersiaga, karena di arena itu, masih bertebaran prajurit Pajang dan para pengikut Kakang Panji yang di tangannya tergenggam senjata.
Namun ternyata kematian Kakang Panji telah membawa pengaruh yang sangat besar. Beberapa orang pengikut Kakang Panji dan kepercayaannya yang memegang pimpinan pada kelompok-kelompok pasukan atau para kepercayaannya yang menjadi penghubung antara satu kesatuan dengan kesatuan yang lain, seakan-akan telah kehilangan pegangan, sehingga mereka tidak bernafsu lagi untuk melanjutkan pertempuran. Tanpa Kakang Panji, maka mereka tidak akan berarti apa-apa dihadapan orang yang telah membunuh Kakang Panji itu, apalagi di antara orang-orang Mataram masih terdapat beberapa orang lain yang memiliki ilmu yang tinggi.
Karena itu, maka para pemimpin dari sisa-sisa pasukan Pajang dan para pengikut Kakang Panji itu pun tanpa berunding lebih dahulu, telah meletakkan senjata mereka. Mereka menganggap bahwa perlawanan berikutnya akan tidak berarti sama sekali, kecuali untuk membunuh diri.
Demikianlah, maka para Senapati Mataram pun sege¬ra mendapat perintah untuk menawan sisa-sisa pasukan Pajang. Untara dan Ki Lurah Branjangan pun menjadi sibuk. Sementara beberapa orang yang lain telah merawat kawan-kawan mereka yang terluka, sedang sebagian dari lawan mereka yang telah menyerah itu pun telah mendapat tugas untuk merawat kawan-kawan mereka pula.
Dengan demikian, maka pertempuran besar antara pasukan Mataram dengan pasukan Pajang yang berada di bawah pengaruh orang yang menyebut dirinya Kakang Panji itu pun telah berakhir. Untuk mempersiapkan segala-galanya, maka pasukan Mataram, telah mengambil kebijaksanaan untuk tetap berada di pasanggrahan untuk satu dua hari sambil membenahi seluruh pasukan mereka.
Dalam pada itu, maka Raden Sutawijaya telah berusaha untuk menemui semua pemimpin pasukan yang telah berdiri dipihaknya. Yang sama sekali tidak cidera, maupun yang terluka. Termasuk Ki Juru Martani, yang ternyata telah mengalami kesulitan pada bagian dalam tubuhnya, meskipun tidak berbahaya.
“Orang yang menyebut dirinya Kakang Panji itu me¬mang-orang yang luar biasa.” desis Ki Juru Martani keti¬ka Raden Sutawijaya menemuinya.
“Ia murid perguruan Sari Pati,” sahut Raden Sutawijaya, “untunglah di antara kita terdapat murid Windujati.”
“Cucu Windujati.” Ki Juru menyahut.
“Ya. Cucu Windujati.” desis Raden Sutawijaya kemudian.
Namun sementara itu, Kiai Gringsing tidak ada di antara mereka, karena Kiai Gringsing berada di antara kedua muridnya yang terluka dalam pertempuran itu. Namun keduanya telah menjadi semakin baik. Apalagi Swandaru. Seakan-akan lukanya sudah tidak mempengaruhinya lagi.
Ki Gedepun telah menjadi semakin baik pula. Namun nampaknya cacat pada kakinya menjadi semakin berat. Keringkihan tubuhnya pada saat ia terluka, nampaknya mempunyai pengaruh yang tidak langsung atas Ki Gede. Tetapi agaknya Ki Gede sama sekali tidak menyesali keadaannya. Apapun yang terjadi, Ki Gede tidak akan menolaknya sebagai satu kenyataan.
“Satu akibat yang wajar dari tugas-tugas yang harus aku lakukan.” berkata Ki Gede.
Sementara itu, Ki Juru dan Raden Sutawijaya secara khusus telah mengucapkan terima kasih kepada Kiai Gringsing yang telah berhasil membatasi tingkah laku orang yang menyebut dirinya Kakang Panji. Tanpa Kiai Gringsing, maka persoalan Kakang Panji itu akan berkepanjangan. Mungkin akan dapat menghancurkan samasekali perkembangan Mataram dan bahkan Pajang sekaligus, sehingga akhirnya akan berdiri satu kekuasaan bayangan dari sebuah mimpi yang akan dapat menum¬buhkan kesulitan bagi rakyat, karena pengetrapan yang tidak wajar.
Agung Sedayu dan Swandaru yang kemudian dengar juga keadaan seluruhnya dari medan itu pun telah menjadi berbangga hati. Pandan Wangi dan Sekar Mirah pun ikut berbangga pula. Bahwa Kiai Gringsing, guru dari Agung Sedayu dan Swandaru itu adalah orang yang memiliki ilmu yang mumpuni, melampaui dugaan mereka semua¬nya.
Ketika kemudian malam turun, di dalam sebuah bilik di pasanggrahan orang-orang Mataram di Prambanan, Kiai Gringsing duduk di antara kedua muridnya bersama isteri-isteri mereka. Dengan terperinci Kiai Gringsing menjelaskan apa yang terjadi.
“Sebaiknya kau mendengar langsung dari aku sendi¬ri. Ceritera orang lain mungkin sudah bergeser dari kenyataan yang sebenarnya. Mungkin ditambah mungkin pula dikurangi.” berkata Kiai Gringsing.
“Yang kami dengar tidak jauh berbeda dengan yang guru katakan,” sahut Swandaru, “ternyata bahwa yang kami lihat sebelumnya, adalah tataran yang paling rendah dari kemampuan guru yang sebenarnya.”
Tetapi Kiai Gringsing menggeleng. Katanya, “Tidak Swandaru. Kalian berdua telah melengkapi dasar-dasar ilmu yang aku miliki. Memang mungkin ada beberapa hal yang masih belum terjangkau dengan bekal ilmu yang sekarang. Tetapi dengan mematangkan diri, maka kalian akan sampai kepada satu kesempatan untuk memanjat le¬bih tinggi.”
“Apakah hal itu dapat terjadi tanpa tuntunan guru?” bertanya Swandaru.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya kemudian, “Anak-anakku. Rasa-rasanya aku su¬dah menjadi semakin tua. Aku tidak tahu, apakah memang demikian yang digariskan atasku. Namun rasa-rasanya dengan lenyapnya orang yang bernama Kakang Panji itu tugasku serasa sudah selesai.”
“Tentu belum guru,” jawab Swandaru, “mungkin masih ada orang yang memiliki ilmu setingkat dengan orang yang menyebut dirinya Kakang Panji itu.”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Katanya, “Aku menjadi semakin tua. Sudah sepantasnya aku menjadi semakin dekat dengan Yang Maha Pencipta. Kesempatanku tentu sudah menjadi semakin tipis, karena semakin tua umur seseorang, maka masanya menjadi semakin dekat baginya untuk menghadap kepada Yang Maha Pencipta itu.”
Agung Sedayu, dan Swandaru suami isteri menun¬dukkan kepalanya. Mereka menyadari, bahwa pada suatu saat Kiai Gringsing itu benar-benar akan menyendiri dalam arti, membelakangi keduniawian sejauh mungkin, meskipun bukan berarti bahwa ia tidak akan lagi berhubungan dengan orang lain.
Namun kedua muridnya memang merasa masih terlalu kecil dibandingkan dengan kemampuan gurunya yang tidak diduganya sebelumnya. Bahkan keduanya ma¬sih merasa kecil dibandingkan dengan Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa. Meskipun apa yang tumbuh di dalam diri Agung Sedayu berbeda dengan apa yang berkem¬bang di dalam diri Swandaru. Bukan saja arahnya, tetapi juga bobotnya. Dan agaknya hal itu kurang disadari oleh Swandaru meskipun dari beberapa pihak ia telah mendengar kelebihan Agung Sedayu dari orang kebanyakan.
Dalam pada itu, maka Kiai Gringsing pun kemudian berkata selanjutnya, “Anak-anakku. Sudah tentu aku tidak akan dengan serta merta memisahkan diri dari kali¬an. Aku masih tetap akan membantu semua kesulitan yang bakal kalian alami sejauh dapat aku lakukan. Dan barangkali aku masih dapat membantu memperkembangkan bekal yang telah kalian miliki selama ini.”
“Apa yang dapat guru lakukan?” bertanya Swandaru, “dalam keadaan yang gawat ini, maka segalanya memang harus berlangsung dengan cepat. Jika kita terlambat selangkah, maka kita akan ketinggalan untuk selanjutnya.”
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Memang tidak ada salahnya kita bertindak cepat. Tetapi kita tidak boleh kehilangan pertimbangan yang mapan.
SELESAI
Wuih, Kyai Gringsing pancen ciamik tenan… Nanging luwih ciamik Ki Ajar Gurawa lan ADBMers sing ikhlas nge-retype ADBM.
See You in the next rontal… :))
Matur nuwun.
jan seru tenan…matursuwun sanget!
PORO KISANAK …. TERIMA KASIH.. AKU SERASA TERBAWA ARUS IMAGINER KE MASA LAMPAU… SANGAT MENARIK SEKALI.. BAGI YANG INGIN TAHU DIMANA KEBERADAAN PERISTIRAHATAN KANJENG KYAI GRINSING INSYA ALLAH AKU BISA BANTU INFORMASIKAN LOKASINYA..