Kisanak semuanya ..
Panjenengan pernah retype rontal ADBM ?
Silahkan sampaikan kesan dan cerita seputar retype ADBM di halaman ini.
Perlu diketahui, bahwa retype merupakan salah satu bentuk dukungan kita terhadap padepokan ini dan khususnya pada karya besar SH Mintardja. Retype bukan hanya ketik ulang. Tapi juga mengedit, terutama di jilid-jilid awal dimana masih memakai ejaan lama. Membaca kembali, karena terkadang banyak kesalahan cetak atau pun perulangan alinea. Sehingga setelah pekerjaan retype dilakukan, Ki GD masih menyempatkan diri untuk mengecek kadar kesalahan yang ada. Ini lah yang membuat keluarnya ADBM ketikan agak lama dari pada yang dalam bentuk DJVU.
Namun, apakah lamanya retype dan proofiing boleh membuat Kisanak mencaci maki padepokan dan menggunakan kata-kata kotor ?
Jangan-jangan itu juga yang membuat mas Rizal menutup padepokannya.
Apakah kebaikan cantrik-cantrik yang sudah nyeken, ngetik ulang, ngedit, unggah, dan sharing info tentang ADBM menjadikannya itu HAK kita untuk menuntut cepat ?
Boleh saja mengulik-ulik supaya kitab segera dikeluarkan.. itu wajar. Tapi jika kata-kata kotor dan kurang ber-etika yang disemburkan.. menurut Senopati, itu sudah kelewatan.
Mohon maaf. Bukan bermaksud berkeluh kesah atau apa pun namanya. Kitab tetap diusahakan terbit tiap hari. Namun retype tidak bisa secepat itu. Sekali lagi ini semata-mata perlu waktu yang lebih lama untuk proofing.
Bagi Kisanak yang pernah retype sejak jaman Ki Rizal atau jaman adbm2 .. Senopati kangen saat-saat itu.
Selamat membaca Kisanak. Tetap tersenyum 🙂 dan jangan lupa mesu diri.
Monggo
ttd
Senopati
Nb : komen kotor tidak akan Kisanak baca karena sudah Senopati hapus. dan “beliau” juga baru sekali komen.
ki TAA … njamah opo njamas ? sing jelas
baiknya kita istirahat aja..paling menunggu saat fajar.
Alexandra Ansgar
masarya
Yen biasa donlut telat, rasah kawatir, sesuk isih isa donlut.
Makasih untuk asistennya Ki GD
Akhirnya kitab muncul juga, terimasih nyi Seno
Barangkali saya termasuk yang belakangan antri, tapi dapat kiriman di awal.
Terima kasih.
Matur nuwun mbokde Seno, sampun dipun bethot GAJAHipun Ki Yayan.
Pulang dari jalan-jalan ke Mataram, langsung buka kompie ternyata blm wedar juga kitabnya..
Sabar-sabar-sabar Always smile 😆 😆 😆
Rupanya, kembali Ki GD mau bikin para orang tua dari padhepokan puyeng.
Ki Joko Brondong dan rekan cantrik..
Kitabnya sudah dibawa oleh Gajahnya Ki Yayan… Agak susah ngambilnya takut ke injak…
Maturnuwun Nyi..
On 8 Maret 2009 at 19:26 Yayan Said:
Makasih yaaaa
Ditinggal mbaca komen dan nulis komen, ternyata sdh wedhar
Terima kasih Nyi Seno 😆 😆 😆
Matur nuwun klu nya Ki Martana, sip di sedoot.
Matur nuwun Nyi Seno ugi Ki GD
bener ki yayan..gara2 ada gajahnya proses upload jadi lama…proses sedot juga terasa berat
semakin hari sikap swandaru semakin meremehkan agung
sedayu.
kadang 2 aku agak jengkel sama swandaru harusnya sekali2x dia yang kena sorot mata AS biar ampun…!!
dan beri lawan yg tangguh dong jgn lawan murid doang!!
untuk kakang panji yg terhormat jgn jadi banci jangan tusuk dari belakang …sakit minta ampun!!!
sepertinya mas karebet yg bikin kabut tebal atau ada yg lebih sakti lagi..soalnya di cerita ini karebet yg paling sakti..ya nggak??
dan kitab 168 apakah kau datang bareng kabut pagi???
kucoba pakai nalar dan hati jernih…………kalo keluar beri tanda dunkz!!!!!
Update :
Seperti biasa Ki Truno Glathik memecahkan masalah kita.
#####
terima kasih nyai….
Pindah gandok
To: putut karang tunggal
Kitabnya terlalu tebal, berat diangkat, terpaksa harus diangkat pake gajahnya Raden Tumenggung Yayan.
@dadung dawuk {tengkyu}
walah tertutup gajah toh ?
pantes nggak kelihatan kitabya!!
akhirnya ketemu juga dengan gajah oling hehehhee… matur nuwun nyi senopati dan ki lurah yayan.
nyaiiiiiiiiiiiiiiiiiiii………….
tengkiuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu
wah bener2 gajahe gedhe..
gprs-e telkomsel ndak kuat ngankut..
kepekso.. spidi digawe..
suwun bulik seno
Akhirnya…. mbukak langsung dikon mbeleh gajah….
Matur nuwun sanget Kang mbokayu Ati….
gajah-gajah, tak kandani,…
eh kliru menthok ya…sinten njih engkang taksih kagungan syair tembang dolanan,
jah… gajah… bali yok…
terimakasih ..
Matur nuwun sampun dipun unduh kanthi lego ….
Nyimas, Ki GD para rencang sedaya, pamit mundur ….
Matur nuwun ugi kalih Ki Truno Glathik, The Truno’s clan are really resourcefull and helpfull….
suwun nyi…
Suwun Nyi …
Dadi angon gajah .. dipakani opo ki …
wuaaah, baru pulang dari kadilangu, langsung akses adbmcadangan, dapat rontal 168
trims nyai dan ki gd
@ki truno
bener koq ki, itu banyumasan…
sengaja pakai riko karena memang kalau kowe atau panjenengan atau sampeyan, itu tidak terlalu menggambarkan banyumasannya (padahal bukan orang banyumas :))
Mas Ki Gede, gajah kagungane sinten?
seger’e nda….
uenak tenan….
matur nuwun dumateng ingkang sampun kerso paring kitab
jah gajah kowe tak kandani jah.
mata kaya laron siung loro kuping gedhe.
kathik nganggo tlale.
buntut cilik jah tansah kopat kapit.
sikil kaya bumbung awak kaya lesung.
mung lakumu glinak glinuk.
iku nyanyainku mbiyen sek cilik, sing ngajari bapakku.
he he he…
para sedulur cantrik yang baik yang sudah dapat kitab 161 & 162, tolong dong akun cantrik “nyusul” dikasih kitab 161 & 162
matur nuwun
absen
https://adbmcadangan.wordpress.com/files/2009/03/adbm-jilid-168.ppt
167 belum ada retype-nya.
I68 dah ada retype-nya.
Baca sekarang atau nunggu 167 dulu ?
Tak pikire sik wae…
Hati-hati
Retype 168 terpenggal di tengah, tidak dapat di “post” seluruhnya.
Rupanya Ki Mahesa tidak menyadari kalau hanya separuh retype yang bisa masuk ke box komen ini.
Monggo K4ng TTM
melengkapi karya Ki Mahesa
Tetapi Senapati itu tidak menyerah kepada keadaan. Ia sudah mendengar rencana yang curang dari orang yang menyebut dirinya kakang Panji. Dan ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu.
Selama masa Ki Tumenggung memegang kekuasaan atas pasukan khusus, maka ia lebih banyak melaksanakan tugas yang kadang-kadang kurang dimengerti maksudnya. Bahkan kadang-kadang bertentangan dengan penalarannya. Namun sebagai seorang prajurit dari pasukan khusus maka ketaatan merupakan nilai utama di samping kemampuannya. Tetapi kini tiba-tiba ia tidak sekedar melakukan perintah. Tetapi ia mendengar satu rahasia yang akan dilaksanakan dengan perintah yang harus diberikan kepada para prajurit dari pasukan khusus.
Dengan demikian maka Senapati itu bertekad untuk menyampaikan rahasia itu kepada Pangeran Benawa. Terserah apa yang akan dilakukan oleh Pangeran Benawa. Namun Senapati itu tahu pasti sikap Pangeran Benawa terhadap Mataram. Dan bahkan sikap Kangjeng Sultan sendiri terhadap Mataram. Bahkan dengan yakin Senapati itu berpegang pada sikap Kangjeng Sultan yang pernah dikatakan oleh Pangeran Benawa, bahwa Mataram akan sanggup meneruskan cita-cita Kangjeng Sultan Hadiwijaya yang belum dapat di capainya bagi kepentingan Pajang, tanpa menghiraukan apakah pencapaian cita-cita itu akan dikendalikan dari Pajang atau dari Mataram. Namun yang penting, rakyat Pajang harus merasakan, betapa negerinya adalah negeri yang gemah ripah lohjinawi, dalam kehidupan yang sejahtera lahir dan batin.
Karena itulah, maka malam itu Senapati itu sama sekali tidak bermaksud untuk beristirahat. Bahkan ia-pun kemudian membawa dua orang pengawalnya yang paling dipercaya untuk meronda.
Untuk beberapa saat. Senapati itu sekedar hilir mudik saja disekitar pasanggrahan pasukan khususnya. Namun kemudian Senapati itu mulai mengamati daerah yang lebih luas. Bahkan kemudian ia berjalan mendekati tebing Kali Opak.
Namun langkahnya terhenti, ketika ia melihat dua orang yang sedang mengawasi medan. Bukan dari pasukan khusus yang sedang bertugas, tetapi mereka adalah orang-orang yang terlibat kedalam benturan kekuatan itu atas permintaan beberapa orang pemimpin Pajang yang ternyata telah terpengaruh oleh Ki Tumenggung Prabadaru atas nama kakang Panji, dengan mendapatkan beberapa janji dan kesanggupan.
Senapati itu menarik nafas dalam-dalam. Ia tahu bahwa dalam barisan Pajang terdapat pasukan yang bukan prajurit Pajang yang jumlahnya cukup besar. Beberapa orang pemimpin pasukan Pajang menyatakan bahwa mereka adalah rakyat Pajang yang dengan suka rela mengabdikan diri untuk menumpas pemberontakan di Mataram. Namun sebenarnya mereka adalah unsur kekuatan kakang Panji.
“Tetapi hal ini sudah diketahui oleh Pangeran Benawa,“ berkata Senapati itu di dalam hatinya. Lalu, “Bahkan tidak mustahil jika Kangjeng Sultan sendiri sudah mengetahuinya. Bukan mustahil pula, bahwa keadaan Kangjeng Sultan yang gawat itu merupakan ujud dari keprihatinan yang sangat, meratapi keadaan yang sedang berlaku.”
Namun akhirnya Senapati itu berkata, “Aku harus bertemu dengan Pangeran Benawa. Jika Pangeran Benawa memerintahkan aku tetap memegang rahasia itu agar tidak didengar orang Mataram, aku akan menggenggamnya dengan taruhan nyawaku. Tetapi jika Pangeran Benawa bersikap lain dan memerintahkan aku menyampaikan rahasia ini kepada orang Mataram, maka aku akan menyampaikannya, apa-pun yang dapat terjadi.”
Tetapi Senapati itu tidak dengan serta meria melangkah kembali untuk menghindarkan kecurigaan. Tetapi ia justru mendekati dua orang itu dan bertanya, “He, apakah tugas kalian disim ?”
Dua orang kepercayaan kakang Panji itu mengenal Senapati itu. Senapati yang termasuk orang-orang yang mendapat kepercayaan pula dari kakang Panji yang jumlahnya tidak terlalu banyak.
Karena itu, maka ia-pun menjawab, “Aku mengamati tebing Kali Opak. Tidak seorang-pun boleh menyeberang.”
“Aku tahu,” jawab Senapati itu, “tetapi orang yang ingin menyeberang dapat memilih jalan lain yang berada diluar pengawasanmu.”
“Bukan hanya kami berdua yang mengawasi tebing.” jawab orang itu.
Senapati itu mengangguk-angguk. Bahkan katanya kemudian, “Kalian adalah orang-orang yang mengemban tugas yang sangat menentukan. Jika kalian gagal melakukan tugas kalian, maka gagal pulalah semua impian dan harapan yang pernah kita bangun di dalam angan-angan kita. Bukan saja yang tumbuh dalam satu dua hari ini. Tetapi merupakan harapan bagiseluruh rakyat Pajang yang terpahat di dalam nurani mereka, karena selama ini mereka memang merindukan satu masa sebagaimana pernah hadir diatas bumi kita ini.”
Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian salah seorang menjawab dengan sungguh-sungguh, “Karena itulah, maka aku telah mempertaruhkan apa saja yang ada padaku. Termasuk jiwa dan ragaku.”
Senapati itu menepuk bahu orang itu sambil berkata, “Lakukan tugasmu sebaik-baiknya. Mataram hanya sempat bernafas di sisa malam ini. Besok, pagi-pagi benar, kita akan mengkoyak-koyak mereka menjadi sayatan-sayatan sampah yang tidak berarti.”
Kedua orang itu tidak menjawab. Mereka melihat Senapati itu kemudian melangkah meninggalkan mereka.
“Orang-orang sedungu kerbau itu justru merupakan orang-orang yang berbahaya,” gumam Senapati itu.
Kedua orang pengawal terpercayanya tidak menyahut. Tetapi mereka-pun sependapat dengan Senapatinya.
Dalam pada itu, maka Senapati itu-pun telah menyusuri tebing Kali Opak. Tetapi ia sama sekali tidak ingin menyeberang. Hanya akan melaporkan kepada Pangeran Benawa. Keputusan terakhir, apakah rahasia itu akan disampaikan kepada orang-orang Mataram atau tidak, tergantung sekah kepada Pangeran Benawa sendiri.
Dengan demikian, maka langkah Senapati itu-pun kemudian menuju ke Pasanggrahan di induk pasukan. Ketika ia merasa tidak lagi diawasi oleh kepercayaan kakang Panji, maka ia-pun telah menyelinap dan hilang di gerumbul-gerumbul yang pekat.
“Perhatian orang-orang itu tertuju kepada jalur Kali Opak,“ berkata Senapati itu, “karena itu, maka kita tentu tidak terlalu banyak mendapat perhatian mereka. Dan memang tidak akan menyeberang.”
Para pengawalnya-pun sependapat pula. Dan mereka-pun dengan hati-hati mengikuti Senapatinya mendekati pasanggrahan Kangjeng Sultan Hadiwijaya dan Pangeran Benawa.
Namun ternyata pasanggrahan itu telah dijaga dengan rapatnya. Senapati itu-pun akan menemui kesulitan untuk memasuki pasanggrahan tanpa dilihat oleh para pengawal.
“Tidak ada jalan,“ berkata salah seorang kepercayaannya yang dari kejauhan menyadari adanya penjagaan yang rapat. Dibawah obor-obor yang terang disekitar pasanggrahan itu, nampak para petugas yang sedang berjaga-jaga dan yang sedang nganglang mengelilingi pasanggrahan itu.
“Sulit menurut pertimbanganmu ?“ bertanya Senapati itu kepada pengawalnya.
“Sulit untuk ditembus tanpa mereka ketahui,“ jawab salah seorang diantara mereka.
Sementara yang lain berkata, “Bagaimana jika kita berterus terang kepada para pengawal, bahwa kita akan pergi menghadap Pangeran Benawa ? “
“Mungkin kita akan berhasil,“ jawab Senapati itu, “kita akan dapat bertemu dengan Pangeran Benawa. Tetapi apakah kau yakin bahwa diantara para pengawal tidak terdapat orang-orang kakang Panji ? Orang-orang yang akan dapat melaporkan tentang usaha kita menyampaikan hal ini kepada Pangeran Benawa ?”
Kedua pengawalnya mengangguk-angguk. Hal itu bukan hal yang mustahil. Jika salah seorang diantara para pengawal pasanggrahan itu berpihak kepada kakang Panji dan melaporkan kehadiran mereka, mungkin kakang Panji akan cepat bertindak. Bukan saja hal itu akan dapat membahayakan jiwa Senapati itu, tetapi juga rencananya mungkin akan berubah sehingga sulit untuk diketahui.”
Karena itu, maka Senapati itu termangu-mangu sejenak. Apa yang sebaiknya dilakukan, agar usahanya untuk menyampaikan rahasia itu tidak diketahui oleh siapa-pun juga.
Dalam pada itu. Senapati dan kedua pengawalnya itu masih saja berusaha agar kehadirannya tidak diketahui oleh siapa-pun juga. Mereka masih berada di gerumbul-gerumbul liar, sementara mereka sibuk untuk mencari jalan keluar. Apakah yang sebaiknya dikerjakan.
Namun akhirnya salah seorang kepercayaannya itu-pun berkata, “Biarlah aku saja yang menghadap. Silahkan kembali kepasukan. Aku tidak akan kembali kepasukan khusus. Seandainya ada orang yang melihat aku dan melaporkannya kepada kakang Panji, biarlah aku yang menjadi sasaran kemarahannya sehingga tidak mengganggu rencana keberangkatan pasukan khusus dalam keseluruhan.”
Senapati itu berpikir sejenak. Namun kemudian katanya, “Apakah kau sudah tahu, apa yang akan aku sampaikan ?”
“Sudah. Rencana pasukan Pajang menyerang pasukan Mataram mendahului isyarat yang akan diberikan,“ jawab pengawal itu, “bukankah Senapati tadi mengatakan hal itu ? “
“Ya. Aku percaya sepenuhnya kepadamu. Tetapi apakah Pangeran Benawa mempercayaimu,“ gumam Senapati itu.
“Biarlah aku mencoba meyakinkannya,“ jawab pengawalnya itu, “memang mungkin akhirnya Pangeran Benawa tidak percaya. Tetapi kita sudah berusaha. Mungkin sekali rencana Kakang Panji itu jika terlaksana benar-benar membahayakan pasukan Mataram, sementara kita tahu sikap Pangeran Benawa dan mungkin Kangjeng Sultan sendiri.”
Senapati itu mengangguk-angguk. Pengawal itu memang benar-benar seorang yang dapat dipercayanya. Sehingga karena itu, maka Senapati itu-pun berkata, “Baiklah. Pergilah ke barak itu. Kau dapat berterus terang kepada para pengawal, bahwa kau akan menghadap Pangeran Benawa untuk menyampaikan sesuatu yang sangat penting, yang hanya boleh diketahui oleh Pangeran Benawa sendiri. Sementara itu, kau sendiri adalah prajurit Pajang, sehingga kau akan mendapat kesempatan yang cukup.”
“Baiklah,“ jawab pengawal itu, “silahkan kembali ke pasianggrahan agar jika setiap saat kakang Panji itu menghubungi pasukan kita, Senapati sudah ada ditempat.”
Senapati itu mengangguk. Namun ketika ia melihat bintang dilangit yang sudah bergeser semakin jauh, serta memperhatikan lintang Gubug Penceng di ujung Selatan, maka ia-pun menjadi berdebar-debar. Waktunya semakin mendesak, sehingga dalam waktu yang terhitung singkat, pasukan Mataram akan segera tergilas oleh pasukan Pajang yang datang mendahului saat- saat yang diperhitungkan oleh pasukan Mataram.
“Berhati-hatilah,“ berkata Senapati itu, “tugasmu sangat berat. Kau akan dapat mempengaruhi peristiwa yang bakal datang sesaat lagi. Namun segalanya tergantung kepada Pangeran Benawa,“ berkata Senapatinya, “aku akan kembali kepasukanku agar tidak timbul kecurigaan apa-pun terhadap seluruh pasukan khusus itu.”
“Silahkan,“ jawab pengawal itu sambil memendangi obor-obor disekitar pasanggrahan itu, “aku akan berusaha untuk dapat bertemu dengan cara apa-pun juga dengan Pangeran Benawa.”
Namun dalam pada itu, selagi pengawal itu mempersiapkan diri, terdengar desir lembut dibelakang mereka. Bahkan kemudian terdengar suara orang mendeham perlahan.
Senapati dan para pengawalnya terkejut. Tiba-tiba saja mereka berloncatan dan siap menghadapi segala kemungkinan.
Sesaat mereka tercenung. Mereka melihat sesosok dalam bayangan dedaunan gerumbul yang rimbun berdiri tegak dengan kaki renggang.
“Siapa kau ?“ bertanya Senapati itu.
Bayangan itu tidak segera menjawab. Namun Senapati itu mendengar orang itu tertawa pendek.
Senapati itu-pun bergeser maju setapak mendekati bayangan itu diikuti oleh kedua pengawalnya. Dengan nada dalam Senapati itu mengulangi pertanyaannya, “Siapa kau he ?”
Suara tertawa itu-pun lenyap. Namun jawaban orang itu telah mengejutkan Senapati itu sekali lagi, “Apakah kau tidak mengenal aku ?”
Senapati itu termangu-mangu. Namun bayangan itulah yang kemudian mendekat.
Senapati itu menarik nafas dalam dalam. Katanya, “Pangeran sangat mengejutkan aku.”
Pangeran Benawa tertawa. Sambil mendekat ia menyahut, “Aku melihat kehadiranmu. Dan aku mendengar semua percakapanmu.”
“Jadi Pangeran sudah tahu apa yang ingin kami sampaikan kepada Pangeran ?” bertanya Senapati itu.
“Seperti yang kau tanyakan kepada pengawalmu yang akan memasuki pasanggrahan. Dan pengawalmu itu menjawab bahwa pasukan Pajang besok akan menyerang Mataram mendahului isyarat.” jawab Pangeran Benawa.
“Demikianlah Pangeran,“ berkata Senapati itu, “nampaknya kakang Panji telah bersiap menghadapi kemungkinan yang paling buruk yang akan terjadi. Setelah Mataram, maka mereka tentu akan menghancurkan prajurit Pajang.”
“Bagaimana dengan pasukan khusus,” bertanya Pangeran Benawa.
“Pasukan itu benar-benar telah dikuasai oleh Ki Tumenggung Prabadaru berpihak kepada kakang Panji. Sekarang, semua orang di dalam pasukan itu masih tetap melakukan semua perintah kakang Panji,“ jawab Senapati.
“Itu tergantung kepada para Senapatinya. Bahkan Senapati tertentu, karena mungkin yang lain tidak tahu arti dari gerakan mereka. Mereka hanya menjalankan perintah yang mereka terima dari atasannya, seperti yang kau lakukan pada saat Ki Tumenggung masih memegang pimpinan. Tetapi kau tidak tahu, apa yang sebenarnya bergejolak di balik semua perintah-perintahnya itu,” berkata Pangeran Benawa.
“Ya Pangeran. Tetapi pada umumnya para Senapatinya telah terpengaruh. Dan aku tidak berani menentang arus tanpa mengetahui dengan pasti, siapa saja kawan-kawanku di dalam lingkungan pasukan khusus itu.”
“Baiklah. Kau memang harus sangat berhati-hati, agar kau sendiri tidak ditelan oleh pasukan khusus itu.” berkata Pangeran Benawa kemudian. Lalu, “Tetapi pokok laporanmu telah aku dengar dari percakapan kalian. Lalu apakah yang penting akan kau laporkan lagi ?”
“Satu-satunya laporanku kali ini Pangeran,“ jawab Senapati itu, “sebab yang satu itu akan menentukan segala-galanya. Aku tidak tahu, apakah Pangeran akan memberitahukannya kepada orang-orang Mataram atau justru akan mempergunakan saat itu pula untuk menghancurkan Mataram dan sekaligus pasukan Kakang Panji ? “
Pangeran Benawa menarik nafas dalam dalam. Sejenak ia termangu-mangu. Namun kemudian ia-pun berkata, “Apakah kau tahu, sikap sebenarnya dari ayahanda Sultan terhadap kakangmas Sutawijaya ?”
Senapati itu termangu-mangu. Tetapi kemudian jawabnya, “Belum Pangeran. Tetapi ada satu keheranan yang selama ini menggelitik jantung. Kenapa Kangjeng Sultan tidak segera turun ke medan. Semula kami menganggap bahwa hal itu disebabkan karena kesehatan Kangjeng Sultan. Namun pertanyaan Pangeran tentang sikap Kangjeng Sultan telah menumbuhkan satu dugaan lain.”
“Baiklah,“ berkata Pangeran Benawa kemudian, “kau sudah menunjukkan kesetiaanmu. Karena itu. tidak ada salahnya jika aku mengatakannya kepadamu.”
Senapati itu mengerutkan keningnya. Sementara Pangeran Benawa berkata selanjutnya, “Ketahuilah, bahwa ayahanda sudah tidak berpengharapan lagi atas Pajang, Harapannya satu-satunya bagi kelanjutan cita-citanya adalah justru Mataram.”
Senapati itu termangu-mangu. Kemudian katanya, “Keterangan Pangeran sudah jelas. Agaknya Pangeran condong untuk menyampaikan berita kepada Mataram. Tetapi segalanya terserah kepada Pangeran.”
“Ya. Aku akan menyampaikan berita ini kepada kakangmas Sutawijaya.” jawab Pangeran Benawa.
“Tetapi Pangeran, sepanjang Kali Opak, malam ini telah dijaga dan diawasi oleh kepercayaan orang yang menyebut dirinya kakang Panji, orang yang telah membayangi kekuasaan Kangjeng Sultan. Orang yang mempunyai kuasa lebih besar dari Ki Tumenggung Prabadaru.”
“Bahkan yang telah menggerakkan Ki Tumenggung,“ sahut Pangeran Benawa.
“Ya,“ jawab Senapati itu, “aku telah mendapat kesempatan diluar dugaanku untuk berbicara dengan orang itu bersama-sama dengan beberapa orang. Hanya beberapa orang-orang kepercayaannya menganggap bahwa aku adalah orang yang paling setia kepada Ki Tumenggung Prabadaru.”
“Bagus,“ jawab Pangeran Benawa, “ternyata kau tidak hanya membawa kabar penting tentang serangan yang mendahului isyarat itu. Tetapi kau juga membawa keterangan tentang seorang yang selama ini tersembunyi. Namun tentu kau belum tahu, siapa orang itu sebenarnya.”
“Ampun Pangeran,“ jawab Senapati itu, “aku belum dapat mengenalnya lebih dalam.”
“Baiklah. Sekali lagi aku berterima kasih kepadamu. Kau telah membawa berita yang sangat berarti,“ jawab Pangeran Benawa.
“Tetapi Pangeran, waktunya terlalu sempit. Sementara itu, sulit bagi kita untuk menyampaikan berita ke pasukan Mataram, seperti yang sudah aku katakan. Kali Opak diawasi dari ujung sampai keujung sayap oleh orang orang kakang Panji itu,“ berkata Senapati itu.
Pangeran Benawa tersenyum. Katanya, “Memang sulit untuk menembus pengawasan itu. Seandainya kita dapat mengalahkan kepercayaan kakang Panji yang akan menghalangi kita, namun dengan demikian, mungkin sekali mereka akan mengambil langkah lain.”
Senapati yang masih tetap setia kepada Pangeran Benawa itu termangu-mangu sejenak. Sementara itu Pangeran Benawa menjelaskan, “Jika seorang saja diantara kepercayaan kakang Panji itu terdapat terbunuh, maka kakang Panji tentu menyadari, bahwa rencananya tentu sudah sampai ketelinga orang-orang Mataram, sehingga ia akan mengambil kebijaksanaan lain. Mungkin ia akan mengurungkan serangannya atau bahkan menarik seluruh kekuatannya. Jika demikian, maka persoalannya akan menjadi berkepanjangan, sementara itu mereka ternyata memang mempunyai kekuatan yang akan dapat mempengaruhi keadaan.”
“Jadi, apa yang terbaik menurut Pangeran ?” bertanya Senapati itu. Lalu, “Apakah Pangeran akan menugaskan satu dua orang berusaha menembus pengawasan orang-orang Kakang Panji dengan diam-diam ? Atau membiarkan orang-orang Mataram dan para pengikut kakang Panji itu hancur bersama-sama.”
“Sudah aku katakan,” jawab Pangeran Benawa, “sebenarnyalah bahwa ayahanda mengharap Mataram akan dapat melanjutkan cita-cita Pajang yang belum dapal diujudkannya sampai saat ayahanda tidak lagi mampu mengendalikan rakyat Pajang.”
“Jika demikian, lalu bagaimana sikap Pangeran ? Menembus pengawasan itu ?“ desak Senapatinya yang menjadi bingung.
“Menurut pendapatmu, apakah mungkin ?” Pangeran Benawa justru bertanya.
“Sulit Pangeran. Pengawasan itu terlalu ketat. Dan kini, waktu menjadi semakin sempit,“ berkata Senapati itu, “sebentar lagi, aku tentu sudah mendapat perintah untuk bersiap dan kami akan menyebrang dengan diam-diam sebelum matahari terbit langsung menyeberang orang-orang Mataram yang mungkin baru bersiap-siap, sementara yang lain masih berbaring dipembaringannya sambil terkantuk-kantuk.”
“Baiklah,“ berkata Pangeran Benawa, “segeralah kembali ke pasukanmu. Setiap saat kau akan menjalankan perintah itu. Jika kau terlambat dan apalagi diketahui menemui aku di sini, maka kau akan dicurigai. Dan kau akan tahu akibat dari kecurigaan itu.”
“Lalu, bagaimana Pangeran akan menyampaikan berita ini ke seberang Kali Opak ? “ Senapati itu masih bertanya.
“Aku akan memikirkannya,“ jawab Pangeran Benawa.
“Pangeran masih akan memikirkannya ?“ bertanya Senapati itu, “sementara malam semakin tipis ?”
“Tentu aku tidak dapat bertindak dengan tergesa-gesa,“ jawab Pangeran Benawa, “sudahlah. Serahkan kepadaku. Aku berusaha sejauh dapat aku lakukan. Namun sudah pasti, aku tidak akan berdiam diri.”
Senapati itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia bergumam, “Kapan Pangeran akan bertindak. Tetapi baiklah Pangeran. Aku akan kembali ke pasukanku. Segalanya terserah kepada Pangeran.”
“Aku akan berusaha. Entah, apa yang dapat aku lakukan. Tetapi hal ini memang harus didengar oleh orang-orang Mataram.“ jawab Pangeran Benawa.
Senapati itu tidak mempersoalkannya lagi. Ia-pun segera minta diri dan kembali ke pasukannya. Pasukan khusus yang sejak dibentuknya dipimpin oleh Ki Tumenggung Prabadaru.
Sepeninggal Senapati itu. Pangeran Benawa duduk termangu-mangu. Ia sependapat, bahwa hal itu sangat penting bagi pasukan Mataram dapat disergap dengan cara yang licik itu, maka pasukan Mataram tentu akan benar-benar hancur. Bahkan mungkin bukan saja pasukan yang ada di kedua sayapnya, tetapi juga yang berada diinduk pasukan. Sementara Agung Sedayu masih terbaring karena lukanya, Ki Gede Menoreh dan Swandaru yang juga terluka tidak akan dapat berbuat banyak. Jika orang-orang terpenting dari Mataram dapat disergapnya pula, maka kekuatan Mataram benar-benar akan runtuh. Betapapun juga orang-orang yang memihki ilmu yang tinggi berjuang bagi Mataram, mereka tidak akan dapat melawan orang-orang Pajang dalam jumlah yang besar, setelah mereka membantai seluruh pasukan.
Dalam kecemasan Pangeran Benawa mengendap-endap kembali ke pesanggrahannya. Baru setelah ia berada beberapa langkah dari para penjaga, ia berjalan dengan tenang ke regol halaman.
Beberapa orang penjaga merundukkan tombak mereka. Tetapi ketika mereka melihat Pangeran Benawa, maka mereka-pun justru telah menyibak.
Selagi Pangeran Benawa mencari jalan untuk memberitahukan bencana serangan yang licik itu kepada orang-orang Mataram, maka kakang Panji-pun telah memberikan isyarat agar orang-orangnya bersiap-siap. Mereka harus mulai membangunkan setiap pemimpin kelompok dan memerintahkannya untuk menyiapkan pasukan. Tidak ada keterangan yang perlu mereka berikan kepada para pemimpin kelompok, apalagi para prajurit. Pada saatnya mereka harus berangkat menyerang orang-orang Mataram. Penjelasan yang perlu diberikan adalah bahwa orang-orang Mataram harus dihancurkan. Itu saja.
Namun dalam pada itu, orang-orang terpenting dari Pajang dan para pengikut kakang panji yang lain telah mengetahui dengan pasti apa yang akan terjadi.
Karena itu, sebelum waktu yang wajar untuk bersiap, pasukan yang kuat telah bersiap. Para pemimpin kelompok dan orang-orangnya sama sekali tidak mengerti, apa yang akan terjadi. Namun mereka telah mendapat makan pagi mereka lebih pagi dan kemudian mendapat perintah untuk berangkat ke medan tanpa menunggu isyarat sebagaimana biasa.
Tidak banyak orang yang mengerti. Tetapi mereka berangkat pula dengan hati yang bertanya-tanya. Namun kemudian para pemimpin kelompok-pun mendengar juga alasan yang disampaikan kepada mereka, “Untuk mencegah perbuatan licik orang-orang Mataram yang selalu mempengaruhi pertempuran dengan suara bende Kiai Bicak. Karena itu maka tugas mereka yang pertama, sepasukan kecil yang khusus akan menyerang langsung dan merebut Kiai Bicak, sementara yang lain harus dengan cepat, memasuki setiap pasanggrahan dan membinasakan semua isinya. Siap atau tidak siap.”
Dalam pada itu, ketegangan telah memuncak. Orang-orang Pajang memperhitungkan bahwa Mataram benar-benar belum siap untuk melawan serangan yang datang dengan tiba-tiba. Karena itu, sesuai dengan perintah yang mereka terima, maka mereka harus bergerak cepat. Mereka harus dengan segera melintasi Kali Opak dan mendaki tebing. Selanjutnya, berlari cepat menuju kepesanggrahan orang-orang Mataram, langsung memasuki setiap rumah dan membunuh orang-orang yang ada di dalamnya. Namun mereka tidak boleh lepas dari keterikatan. Jika terdengar isyarat-isyarat tertentu, maka mereka harus berusaha menempatkan diri dalam satu kesatuan gelar. Namun menurut perhitungan, maka lawan mereka sudah tidak akan mampu lagi untuk mencegah pasukan Pajang itu menghancurkan mereka.
“Kali ini tidak boleh gagal,“ geram kakang Panji yang ada diantara pasukan itu, “bantai setiap orang yang kalian temukan di dalam pesanggrahan diregol atau dimana saja.”
Pasukan yang menyerang itu memang menganggap bahwa perlawanan orang-orang Mataram tidak akan berarti apa-apa, karena mereka tidak siap.
Sebenarnyalah, ketika pasukan Pajang itu mendekati pasanggrahan orang-orang Mataram, sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa orang-orang Mataram telah mempersiapkan diri untuk melawan mereka. Pasanggrahan mereka nampak sepi. Tidak ada isyarat bunyi dan tidak ada pasukan yang datang menyongsong.
Dalam pada itu, gerakan pasukan Pajang dibawah pengaruh kakang Panji itu telah didengar pula oleh Kangjeng Sultan. Ternyata bahwa seorang pengawalnya yang mengamati keadaan melihat keberangkatan orang-orang Pajang terutama dari kedua belah sayap pasukannya.
Kangjeng Sultan yang menjadi semakin lemah itu telah memanggil Pangeran Benawa. Dengan tanpa didengar orang lain, Kangjeng Sultan telah berbincang dengan Pangeran Benawa tentang berita yang didengarnya.
“Sebenarnyalah yang ayahanda dengar itu telah terjadi,” jawab Pangeran Benawa.
“Jika demikian,“ nafas Kangjeng Sultan terasa sesak, “pasukan Mataram akan dihancurkan pagi ini.”
Pangeran Benawa merenung sejenak. Namun katanya kemudian, “Mudah-mudahan kakangmas Sutawijaya dapat berbuat sesuatu untuk menyelamatkan pasukannya.”
“Apakah kakangmasmu mengetahui ?“ bertanya Kangjeng Sultan.
“Hamba telah berusaha menghubunginya,” Jawab Pangeran Benawa.
“Kau menyeberang ?“ bertanya Kangjeng Sultan pula.
“Tidak ayahanda,“ jawab Pangeran Benawa.
“Orang lain ?“ desak ayahandanya.
“Juga tidak,” jawab Pangeran Benawa pula.
Kangjeng Sultan menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia-pun tidak bertanya lagi. Namun ia bergumam, “Mudah-mudahan Mataram akan dapat menolong dirinya sendiri, bangkit dan menjadi tumpuan harapan bagi masa datang.”
Pada saat yang demikian, ketika Pangeran Benawa sedang menghadap ayahandanya Kangjeng Sultan Hadiwijaya, maka pasukan Pajang dibawah pengaruh kakang Panji itu benar-benar telah mencapai pasanggrahan tanpa mendapat perlawanan. Dengan serta merta mereka-pun telah memasuki setiap regol rumah yang dipergunakan sebagai pasanggrahan oleh orang-orang Mataram.
Dengan pedang terhunus, tombak merunduk dan senjata-senjata lain yang siap terayun memenggal leher orang-orang Mataram yang masih tertidur dipembaringan, maka mereka telah memecahkan pintu dan menghambur keruang dalam.
Namun tidak seorang-pun diantara mereka yang memperhatikan, bahwa diregol-regol padukuhan yang dipergunakan sebagai pasanggrahan pasukan Mataram itu. tidak ada seorang-pun pengawal yang berjaga-jaga.
Demikian pula, ketika pasukan Pajang itu memasuki setiap pintu dan menghambur kedalam, maka mereka-pun telah terkejut melihat satu kenyataan bahwa tidak ada seorang-pun yang mereka jumpai.
Yang terdengar kemudian adalah umpatan-umpatan kasar. Dengan kemarahan yang menghentak-hentak dada mereka telah memecahkan semua pintu. Mencari seseorang disegala sudut, bahkan sampai kekolong amben di sentong-sentong.
“Gila,“ geram seseorang, “apakah orang-orang Mataram terdiri dari hantu-hantu ?”
Ternyata pertanyaan itu telah berkembang dihati orang-orang Pajang. Seseorang yang semula sama sekali tidak berpikir tentang hantu, tiba-tiba saja bergumam bagi dirinya sendiri, “Ya. Ternyata pasukan Mataram terdiri dari hantu-hantu Alas Mentaok yang bergabung dengan hantu-hantu dari Lautan Kidul.”
Sementara yang lain-pun berkata kepada diri sendiri, “Apakah orang-orang Mataram dapat merubah dirinya menjadi asap, atau terhisap ke dalam tanah, atau mereka mempunyai kemampuan melenyapkan diri dengan ilmu Panglimunan, atau mereka keluarga lelembut dari Alas Mentaok.”
Para prajurit dan orang-orang Pajang menjadi sangat tegang. Berbagai dugaan telah berputar-putar dibenak mereka, sehingga seorang yang bagaikan kehilangan akal telah duduk bersandar tiang sambil memukul-mukul kepalanya, “Apakah aku sudah gila ?”
Seorang yang agak tenang telah melihat sebuah mangkuk diatas geledeg. Namun jantungnya-pun berdebaran ketika ia diluar sadarnya telah meraba mangkuk itu. Terpekik ia berkata, “Mangkuk ini masih hangat.”
“Gila,“ teriak seorang Senapati muda, “kau lihat beberapa potong pondoh beras itu ? Masih ada beberapa potong yang belum sempat termakan.”
Kegelisahan benar-benar telah mencengkam hati orang-orang Pajang itu. Mereka membuat penafsiran sendiri-sendiri tentang kenyataan yang mereka hadapi. Semua rumah yang dipergunakan oleh orang-orang Mataram telah kosong.
Beberapa orang Senapati Pajang dengan tergesa-gesa telah berusaha untuk bertemu dan membicarakan persoalan yang mereka hadapi. Kakang Panji dengan marah telah menghentak-hentak sambil menghancurkan perabot rumah yang dimasukinya.
“Orang-orang Mataram lenyap seperti asap,“ geram kakang Panji, “tetapi itu terjadi baru beberapa saat sebelum kita sampai di sini. Mereka telah dengan tergesa-gesa meninggalkan tempat ini.”
“Tetapi tidak seorang-pun yang tertinggal,“ berkata seorang Senapati, “mereka yang sakit dan bahkan yang hampir mati sekalipun.”
Kakang Panji yang marah itu-pun kemudian berteriak memberikan aba-aba agar para pemimpin segera berkumpul. Hanya orang-orang tertentu. Namun mereka memegang perintah atas pasukan dikedua sayap pasukan Pajang.
“Menurut pengamatan, orang-orang Mataram telah sempat meninggalkan pasanggrahan ini,“ berkata kakang Panji, “kita jangan kehilangan kesempatan. Meskipun kita tidak dapat menghancurkan mereka selagi mereka masih dipembaringan, namun kita akan mengejar mereka, dan menghancurkan mereka, saat-saat mereka melarikan diri,“ berkata kakang Panji.
Para pemimpin yang lain-pun sependapat, bahwa orang-orang Mataram sempat melarikan diri hanya pada saat-saat terakhir. Betapapun mereka mengumpat-umpat, namun orang-orang Pajang itu harus mengakui kecepatan gerak orang-orang Mataram. Meskipun di dapur masih banyak terdapat makanan dan minuman panas yang belum sempat termakan, namun orang-orang Mataram itu sempat membebaskan diri dari pembantaian di pembaringan mereka.
Kakang Panji-pun dengan cepat telah mengatur pasukan yang telah kehilangan sasaran itu. Kemarahan yang menghentak-hentak didadanya dan di dada para Senapati itu agaknya telah membuat mereka kurang cermat menilai keadaan. Mereka menganggap bahwa orang-orang Mataram telah berlari bercerai berai sehingga seandainya mereka berusaha menghimpun diri, maka kedudukan mereka tidak akan lagi sekuat saat-saat mereka siap di tebing Kali Opak.
Karena itu, maka perintah yang kemudian dijatuhkan oleh kakang Panji kepada orang-orang tertentu itu adalah, kejar orang-orang Mataram dalam gelar yang utuh.
Demikianlah, maka orang-orang Pajang itu-pun telah berhimpun dalam gelar. Mereka telah mempersiapkan diri untuk bertempur dan menghancurkan pasukan Mataram yang sedang berlari dengan tergesa-gesa meninggalkan pasanggrahan mereka.
Demikianlah, pasukan itu-pun dengan segera bergerak. Mereka tidak mau terlambat. Selagi matahari masih belum terbit, maka mereka akan dapat mempergunakan hari itu sebaik-baiknya dan tidak memberi kesempatan orang-orang Mataram menghimpun diri.
Perintah itu diterima dengan hati yang bergejolak. Para Senapati dan pemimpin-pemimpin kelompok dari pasukan Pajang telah mendapat perintah. Tetapi kebanyakan dari mereka tidak tahu dengan pasti, siapakah sebenarnya yang memegang perintah itu, karena Kangjeng Sultan tentu tidak ada di dalam pasukan itu. Bahkan mereka juga tidak melihat Pangeran Benawa bersama mereka.
Namun karena Senapati langsung diatas mereka telah menjatuhkan perintah, maka mereka tidak sempat dan segan untuk memikirkannya lebih lama lagi. Yang mereka hadapi kemudian adalah satu tugas untuk mengejar dan menghancurkan pasukan Mataram.
Namun demikian, ternyata ada juga bekas keraguan dihati beberapa golongan dari pasukan Pajang itu. Sadar atau tidak sadar, mereka masih juga berbicara tentang lelembut dan hantu dari Alas Mentaok.
Tetapi bagaimanapun juga, pasukan Pajang itu telah maju terus. Dengan cepat mereka berusaha untuk mengejar pasukan Mataram yang menurut perhitungan beberapa orang pemimpin Pajang, telah menarik diri dengan tergesa-gesa.
Dalam gelar yang lengkap, pasukan Pajang itu maju terus. Mereka tidak menghiraukan sawah dan pategalan. Mereka tidak menghiraukan batang-batang padi yang tumbuh dengan suburnya. Mereka juga tidak menghiraukan lumpur dan parit yang melintas gelar mereka. Pagar dan lanjaran tanaman merambat telah mereka terjang dan mereka robohkan.
Menjelang beberapa padukuhan dihadapan mereka, maka para pemimpin Pajang telah memperingatkan, mungkin ada sisa-sisa orang-orang Mataram di padukuhan itu, karena orang-orang yang sakit dan terluka tentu tidak akan dapat mereka bawa sampai jarak yang lebih jauh dengan cepat sebagaimana mereka melarikan diri.
Dalam pada itu, maka langit-pun menjadi semakin terang. Pedut pagi yang keputihan telah mulai menipis. Sawah dan ladang nampak semakin jelas dan padukuhan-padukuhan dihadapan mereka, diseberang bulak-pun nampak semakin terang menunggu dihadapan mereka.
Tetapi rasa-rasanya padukuhan-padukuhan itu masih tidur. Mungkin padukuhan-padukuhan di deret pertama dari sebuah medan yang besar itu memang tidak dihuni orang lagi. Mereka telah mengungsi ke padukuhan-padukuhan yang lebih jauh.
Meskipun demikian, orang-orang Pajang itu tidak boleh meninggalkan kewaspadaan. Karena itu, maka setiap Senapati-pun kemudian telah menjatuhkan aba-aba, agar setiap orang di dalam gelar bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Atas perintah kakang Panji, maka gelar yang utuh itu-pun telah bergeser. Mereka menyesuaikan diri dengan beberapa pedukuhan yang ada dilintasan gelar mereka. Kelompok demi kelompok telah menempatkan diri dalam satu kesatuan memasuki padukuhan-padukuhan yang ada dihadapan mereka, sementara yang tidak melintasi padukuhan harus mengatur diri. sewaktu-waktu mereka akan dapat terhisap dalam pertempuran melawan orang-orang Mataram seandainya mereka berada di dalam padukuhan-padukuhan itu.
Semakin dekat dengan beberapa padukuhan-padukuhan yang seakan-akan sengaja diatur menghadapi kedatangan pasukan Pajang itu maka pasukan itu-pun menjadi semakin bersiaga. Pertempuran itu dapat terjadi setiap saat. Orang-orang Mataram mungkin bersembunyi di balik dinding padukuhan-padukuhan itu.
Dengan demikian maka orang-orang Pajang itu telah mengurangi laju pasukan mereka. Kelompok-kelompok yang disiapkan untuk memasuki padukuhan-padukuhan-pun telah mulai menuju kesasaran.
Dengan hati-hati pasukan itu bagaikan merunduk. Yang dipaling depan dari pasukan yang terbagi itu, terdiri dari mereka yang membawa perisai. Mereka memperhitungkan, bahwa jika benar orang-orang Mataram itu berada di balik dinding-dinding padukuhan, maka mereka tentu akan menyongsong pasukan Pajang itu dengan lontaran-lontaran anak panah, sebagaimana mereka lakukan di tebing Kali Opak.
Tetapi ternyata orang-orang Pajang itu telah menjadi kecewa lagi. Ternyata padukuhan-padukuhan itu-pun kosong sama sekali. Mereka tidak menjumpai seorang-pun. Apakah orang itu termasuk dalam pasukan Mataram, atau penghuni padukuhan itu sendiri.
Kemarahan orang-orang Pajang itu tidak tertahankan lagi. Kakang Panji yang tidak dapat mengekang gejolak perasaannya, tiba-tiba saja bagaikan minyak yang tersentuh api ketika ia mendengar salah seorang kepercayaannya berkata, “Kita hancurkan padukuhan ini.“
“Maksudmu ?” bertanya kakang Panji.
“Kita bakar rumah-rumah yang kosong itu. Biarlah orang-orang Mataram melihat asap yang mengepul dari dalam padukuhan-padukuhan yang mereka tinggalkan,“ berkata kepercayaannya itu.
Wajah kakang Panji menegang. Namun tiba-tiba saja ia menggeram, “Bakar seisi padukuhan ini. Orang-orang yang memasuki padukuhan yang lain tentu akan melakukannya juga.”
Para pengikut kakang Panji itu bagaikan mendapatkan permainan. Sejenak kemudian, maka rumah yang pertama telah mengepul. Lidah api mulai menjilat dinding dan atap. Kemudian api yang menyala itu-pun bagaikan menggapai langit.
Api yang membakar rumah yang pertama itu disusul dengan kobaran api yang menyala membakar rumah yang kedua, ketiga dan rumah-rumah lain di padukuhan itu. Sementara para pengikut kakang Panji di padukuhan-padukuhan lain yang mereka temui-pun telah melakukan hal yang sama.
Namun dalam pada itu. Senapati yang memimpin pasukan khusus itu-pun menjadi tegang. Denggin lantang ia berkata, “Jangan lakukan kebiadaban itu. Penghuni padukuhan ini tidak tahu menahu tentang perang yang terjadi antara Pajang dan Mataram.”
“Tetapi mereka telah melindungi orang-orang Mataram,“ jawab salah seorang pengikut kakang Panji.
“Tetapi mungkin justru orang-orang Mataram telah mengancam mereka ketika pasukan Mataram menduduki tempat ini,“ jawab Senapati itu.
Karena itu, maka para prajurit dari pasukan khusus tidak melakukan hal yang serupa. Meskipun ada diantara mereka yang tangannya menjadi gatal, tetapi mereka harus menahan diri.
Dalam pada itu, beberapa padukuhan telah menjadi lautan api. Meskipun hari menjadi semakin terang, namun api itu masih nampak memerah diatas onggokan hijaunya pepohonan di padukuhan yang kemudian menjadi layu oleh panasnya api.
Padukuhan-padukuhan yang terbakar itu telah melontarkan asap menjulang menyentuh langit.
Asap itu benar-benar telah mengejutkan. Orang-orang yang menyaksikan asap itu tidak menduga sama sekali, bahwa hal itu akan terjadi. Karena itu, maka mereka yang menelan beberapa pedukuhan itu benar-benar telah mengguncangkan hati beberapa pihak.
Ternyata api itu telah terlihat pula oleh orang-orang Pajang yang masih berada di pasanggrahan. Beberapa orang telah dengan cemas menyaksikan asap yang naik keudara. Sementara itu. Pangeran Benawa sendiri memperhatikan kebakaran itu dengan jantung yang bergejolak.
Ternyata kebakaran itu telah sampai pula kepada Kangjeng Sultan yang dengan tergesa-gesa memanggil Pangeran Benawa.
“Apa yang terjadi ?“ bertanya Kangjeng Sultan.
Pangeran Benawa tidak dapat lagi mengingkari penglihatannya yang agaknya telah dilaporkannya pula kepada Kangjeng Sultan.
Kemarahan bagaikan meledakkan dada Kangjeng Sultan yang sedang dalam keadaan sakit itu. Kejutan yang sangat bagaikan telah mencekiknya. Nafasnya menjadi sesak, dan pandangannya berkunang-kunang.
“Ini perbuatan gila yang tidak dapat di maafkan,“ geram Kangjeng Sultan diantara desah nafasnya yang sesak.
Orang-orang yang menungguinya menjadi semakin gelisah. Tabib yang merawatnya menjadi sibuk. Apalagi ketika tiba-tiba saja Kangjeng Sultan itu menjadi pingsan oleh gejolak yang tidak terkendali.
Namun sesaat kemudian Kangjeng Sultan itu-pun telah sadarkan diri. Dengan suara lirih Kangjeng Sultan berkata, ”benawa aku kembali ke Pajang. Aku tidak akan menunggui perbuatan-perbuatan gila yang tidak lagi mengenal perikemanusiaan. Betapa garangnya perang, namun masih juga ada batas-batas yang tetap harus di junjung tinggi.”
Pangeran Benawa menjadi gelisah. Jika ia harus meninggalkan medan sebelum mengetahui apa yang terjadi atas orang-orang Mataram, rasa-rasanya masih ada sesuatu yang terasa membebaninya.
Namun perintah Kangjeng Sultan itu tidak dapat ditunda. Para Adipati dan Senapatinya segera menjadi sibuk. Mereka tidak mengerti apa yang harus mereka lakukan selain mentaati perintah Kangjeng Sultan. Sebagian besar dari mereka-pun telah menjadi kecewa terhadap sikap beberapa pihak yang ada di medan. Mereka menyadari bahwa ada kekuatan lain yang mengambil keuntungan dari pertentangan antara Mataram dan Pajang, sehingga karena itu, maka mereka-pun mulai mengerti sikap Kangjeng Sultan yang selama itu mereka anggap terlalu lamban.
Dengan demikian maka para Adipati dan Senapati-pun telah sepakat untuk meninggalkan Prambanan. Namun dalam pada itu. Pangeran Benawa ternyata telah memberanikan diri untuk minta ijin kepada ayahandanya, “Hamba akan tinggal ayahanda, untuk beberapa saat, sampai hamba mendapat laporan, apakah yang terjadi dengan orang-orang Mataram.”
Kangjeng Sultan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia-pun bertanya, “Apakah kau sudah memperhitungkan segala kemungkinan ?”
“Ya ayahanda,“ jawab Pangeran Benawa, ”hamba juga sudah memperhitungkan kemungkinan seandainya pasukan Pajang itu kembali lagi ke pasanggrahan ini ?”
Kangjeng Sultan tidak segera menjawab. Dengan wajah yang pucat dan jantung yang berdegupan oleh gejolak perasaannya, serta nafas yang menyesak, Kangjeng Sultan mencoba menilai keadaan. Sementara itu, maka ia-pun kemudian bertanya, “Apakah kau memerlukan sepasukan pengawal untuk tinggal bersamamu ?”
“Tidak ayahanda,“ jawab Pangeran Benawa, “hamba akan tinggal’ sendiri. Dengan demikian, maka hamba akan lebih mudah untuk berusaha menghubungi kakangmas Raden Sutawijaya tanpa dicurigainya, karena hamba hanya seorang diri.”
Kangjeng Sultan mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Terserah kepadamu. Tetapi jika keperluanmu telah selesai, kau harus segera menyusul kami kembali ke Pajang. Pekerjaan kami masih banyak, apalagi rasa-rasanya keadaanku justru menjadi semakin memburuk.”
“Para tabib akan selalu berusaha,“ desis Pangeran Benawa.
Tetapi Kangjeng Sultan itu tersenyum sambil berkata, “para tabib tidak akan mampu melawan kehendak-Nya.”
Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Namun dengan demikian ia melihat bahwa ayahandanya justru telah pasrah. Kangjeng Sultan sama sekali tidak merasa gelisah seandainya saat itu memang hendak menjemputnya. Namun demikian ternyata ia masih juga berpesan, “Beri aku laporan, apa yang terjadi dengan orang-orang Mataram itu.”
“Harnba ayahanda,“ jawab Pangeran Benawa.
Demikianlah, maka pasukan Pajang itu-pun segera bersiap-siap. Dengan sebuah tandu, Kangjeng Sultan telah diusung kembali ke Pajang. Sementara itu keadaannya menjadi semakin lemah. Nafasnya rasa-rasanya menjadi semakin sendat.
Dalam pada itu ceritera tentang lelembut-pun menjadi semakin keras menyentuh telinga orang-orang Pajang. Pada saat Kangjeng Sultan terkejut mendengar laporan tentang api yang memusnahkan beberapa padukuhan sehingga pingsan karena kelemahan tubuhnya, ada juga orang yang berbisik, “Raden Sutawijaya telah sampai hati menyerang ayahandanya dengan tangan para lelembut. Nampaknya para lelembut langsung melakukan pembalasan terhadap Kangjeng Sultan, sehingga menjadi pingsan.”
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Seorang diantaranya berdesis, “Ya. Tanpa kekuatan halus, tidak seorang-pun yang akan dapat melawan Kangjeng Sultan. Apalagi membuatnya pingsan tanpa menyentuhnya dengan wadagnya sendiri.”
Dalam pada itu, sejenak kemudian maka iring-iringan pasukan Pajang yang ada di induk pasukan itu telah meninggalkan Prambanan. Sedangkan Pangeran Benawa atas ijin Kangjeng Sultan tetap tinggal untuk mencari keterangan tentang orang-orang Mataram.
Pada saat iring-iringan pasukan Pajang diinduk pasukan itu bergerak kembali ke Pajang, kakang Panji dan para pengikutnya telah menghancurkan padukuhan-padukuhan yang mereka lewati dalam usaha mereka mencari sisa-sisa pasukan Mataram yang mereka anggap melarikan diri.
Kemarahan yang menghentak-hentak jantung mereka, terlontar dalam ujud yang sangat tercela. Padukuhan yang tidak bersalah, telah menjadi neraka yang panasnya menggapai langit.
Api yang menelan beberapa padukuhan itu ternyata sempat dilihat pula oleh Raden Sutawijaya. Dengan wajah yang tegang Raden Sutawijaya itu tidak begitu percaya kepada penglihatannya. Tetapi yang dihadapinya adalah satu kenyataan. Orang-orang Pajang yang berusaha memburunya telah menjadi gila dan membakar beberapa Padukuhan.
Karena itu, maka kemarahan telah meledak didadanya. Sebenarnyalah bahwa pasukan Mataram sama sekali tidak pecah dan lari bercerai berai. Dengan ketangkasan prajurit, maka pasukan Mataram memang menarik diri. Mereka tidak sempat menyusun perlawanan menghadap orang-orang Pajang yang dengan licik merunduk mereka.
Sejenak Raden Sutawijaya mengenang apa yang telah terjadi. Pada saat yang tepat. Pangeran Benawa, selain keduanya telah dipersaudarakan, karena Raden Sutawijaya telah diangkat menjadi putera Kangjeng Sultan Hadiwijaya, keduanya adalah saudara seperguruan, serta keduanya adalah murid Kangjeng Sultan itu sendiri selain keduanya telah berhasil mengembangkan ilmu mereka dengan cara yang aneh, ternyata telah berbuat sesuatu yang telah menyelamatkan pasukan Mataram.
Dengan semacam aji Pameling, maka Pangeran Benawa telah berhubungan dengan Raden Sutawijaya dalam jarak yang cukup jauh. Seorang diseberang Timur Kali Opak yang lain diseberang Barat Kali Opak. Dengan aji Pameling itu. Pangeran Benawa telah memberitahukan bahwa telah terjadi kecurangan sehingga dengan licik sebagian dari pasukan Pajang yang kuat akan menyerang pasukan Mataram.
Karena itu, maka dengan tergesa-gesa, namun dengan ketrampilan tinggi, pasukan Mataram memperhitungkan untuk lebih baik menghindar sambil mempersiapkan diri. Namun orang orang Mataram tidak menarik diri surut. Tetapi mereka telah menebar sebelah menyebelah, kecuali induk pasukan.
Dengan demikian, ketika Raden Sutawijaya melihat akibat kebengisan para pengikut orang yang telah membayangi kuasa Kangjeng Sultan itu, maka ia tidak dapat mengekang diri lagi.
Sejenak kemudian, maka beberapa batang anak panah sendaren telah meraung di udara. Anak panah yang memberikan isyarat kepada pasukan Mataram untuk segera bertindak. Sementara itu beberapa ekor kuda telah melintas melintang, dari Selatan ke Utara. Demikian kuda itu sampai dibekas pesanggrahan orang-orang Mataram, maka penunggangnya telah melontar panah sendaren pula kearah utara.
Demikianlah pasukan Mataram yang bagaikan menyibak saat pasukan Pajang lewat, telah mendapat perintah untuk bertindak.
Dalam pada itu, ternyata pasukan Mataram yang tidak menyongsong pasukan Pajang disaat mereka menyerang, telah berhasil menyusun diri sebaik-baiknya. Sambil bergeser dari pesanggrahan, pasukan Mataram telah menyusun diri. Mereka yang terluka dan cacat telah disingkirkan sejauh-jauhnya. Sementara yang lain dengan cepat telah menempatkan diri kedalam kelompok masing-masing yang siap untuk melakukan perintah.
Ketika panah sendaren terdengar meraung di udara, maka para pemimpin dan Senapati-pun telah memberikan aba-aba. Para pemimpin kelompok-pun telah melanjutkan aba-aba itu kepada pasukan masing-masing.
Dengan demikian pasukan Mataram itu tidak menunggu lagi. Pasukan yang menyibak itu telah bergerak bagaikan pintu gerbang raksasa yang terbuka, perlahan-lahan telah menutup kembali.
Anak panah sendaren yang meraung diudara itu ternyata telah didengar pula oleh orang-orang Pajang meskipun lamat-lamat. Telinga mereka-pun segera dapat menterjemahkan arti raungan anak panah sendaren itu. Mereka-pun segera menebak, bahwa sesuatu akan terjadi. Pasukan Mataram yang mereka kira lenyap bagaikan terhisap bumi itu tentu akan mulai bergerak.
Karena itu, maka para Senapati dari Pasukan Pajang-pun segera memberikan aba-aba kepada pasukannya. Mereka yang masih sibuk dengan permainan api mereka, berlari-lari kembali kedalam kelompok masing-masing.
“Sisa pasukan Mataram itu nampaknya akan membunuh diri,“ berkata kakang Panji.
“Ya,“ sahut kepercayaannya, “ternyata api itu telah memancing mereka. Jika semula mereka merasa lebih baik tetap bersembunyi, ternyata mereka masih saja merasa diri mereka pahlawan yang wajib melindungi rakyatnya.”
Kakang Panji tertawa. Katanya, “Biarlah mereka melihat, apa yang sebenarnya telah terjadi atas mereka. Pasukan yang bercerai berai itu tentu tidak akan mampu mengumpulkan separo dari kekuatannya. Sayang, mereka merasa diri mereka kesatria Mataram yang perkasa, sehingga mereka terpaksa keluar dari persembunyian mereka. Namun kali ini tentu sekedar untuk membunuh diri.”
Namun dalam pada itu, pasukan Mataram yang telah bertaut itu dengan gemuruh telah bergerak kearah orang-orang Pajang yang berada justru dibelakang garis perang. Pasukan Mataram yang bertaut itu justru telah menghadap ke arah Barat, kearah padukuhan-padukuhan yang menjadi lautan api.”
Sementara itu, matahari telah mulai memanjat langit. Merahnya api menjadi suram oleh cahaya matahari yang cerah. Namun asap yang hitam kelabu mengepul semakin tinggi di udara.
Pasukan Mataram yang bergerak itu ternyata tidak sempat membawa tanda-tanda kebesaran pasukan masing-masing. Mereka tidak membawa panji-panji, umbul-umbul dan rontek serta kelebet. Yang ada di tangan mereka tidak lebih dari senjata masing-masing.
Karena itu, maka pasukan Mataram itu tidak segera terlihat oleh orang-orang Pajang yang tidak tahu pasti arah kedatangan orang-orang Mataram yang mendapat isyarat dengan anak panah sendaren yang dilontarkan ke udara. Karena itu, maka para Senapati Pajang-pun segera memerintahkan para pengamat untuk mengawasi arah. Pasukan Mataram yang mundur itu akan dapat datang dari segala arah.
Kakang Panji mengerutkan keningnya, ketika justru para pengawas yang mengawasi arah Kali Opaklah yang melihat kehadiran sebuah pasukan. Pasukan tanpa perlanda apa-pun juga, sehingga pasukan Mataram itu tidak nampak sebagai satu pasukan yang cukup besar untuk menghadapi pasukan Pajang.
Sebenarnyalah pasukan Mataram memang tidak ingin memperlihatkan kebesaran mereka. Tidak ingin diketahui bahwa pasukan Mataram itu masih tetap utuh dan dengan tanpa cacat sama sekali, hadir di medan sebagaimana hari-hari sebelumnya.
Dengan demikian, maka kakang Panji yang kemudian memperhatikan kehadiran pasukan itu-pun menganggap bahwa pasukan Mataram memang sudah terpecah, sehingga dengan susah payah, para Senapatinya mampu menghimpun sisa-sisa pasukan mereka. Dengan sombong sisa-sisa pasukan yang merasa dirinya kesatria itu telah maju ke medan untuk membela rakyat yang rumahnya menjadi karang abang.
“Untunglah, bahwa kita telah memancing mereka keluar dari persembunyian mereka dengan cara yang paling baik,” berkata kakang Panji.
“Tidak dengan sengaja,“ jawab kepercayaannya, “yang kita lakukan tidak lebih dari luapan kemarahan. Namun akhirnya kita berhasil menjawab teka-teki tentang lenyapnya pasukan Mataram. Ternyata mereka memang berlari cerai-berai meninggalkan pasanggrahan mereka.”
“Tetapi kita wajib mengagumi kecepatan gerak mereka,“ berkata kakang Panji, “demikian pengawas mereka melihat kedatangan kita, maka dalam waktu yang sekejap, mereka telah lenyap tanpa meninggalkan seorang-pun diantara mereka yang sakit dan terluka.”
“Permainan kanak-kanak,” jawab kepercayaannya, “setiap orang dapat lari dengan cepat meninggalkan tempat. Siapa-pun dapat.”
“Tidak,“ jawab kakang Panji, “jika bukan prajurit pilihan tentu banyak diantara mereka yang terluka parah akan tertinggal.”
Kepercayaannya tidak menjawab. Sementara itu, mereka melihat pasukan Mataram itu menjadi semakin dekat. Ujung-ujung senjata nampak mencuat diantara tanaman yang hijau disawah dan pategalan.
Namun pasukan Mataram bergerak dalam lapisan yang tebal, sehingga tebaran pasukan itu nampaknya tidak terlalu lebar. Dengan demikian, orang-orang Mataram memang dengan sengaja ingin memberikan kesan, behwa pasukan mereka tidak sebesar pasukan Mataram seutuhnya.
Dalam pada itu, kakang Panji-pun tersenyum sambil berkata, “Kita sambut kedatangan mereka. Dengan demikian kita akan berbalik. Berikan perintah. Kita akan keluar dari neraka ini, dan bertempur ditempat terbuka.”
Seperti yang dikehendaki oleh kakang Panji, maka perintah telah menjalar dari kelompok ke kelompok. Para Senapati di dalam pasukan Pajang itu-pun lelah mendengar perintah, bahwa mereka akan menyongsong pasukan Mataram yang datang justru dari arah Timur itu.
Dalam pada itu Matahari telah menjadi semakin tinggi. Orang-orang Pajanglah yang kemudian menjadi silau karena mereka harus menghadap ke arah Timur. Meskipun hal itu tidak diperhitungkan sejak semula oleh orang-orang Mataram, namun ternyata bahwa silaunya cahaya matahari itu dapat membantu menyelubungi ujud keseluruhan pasukan Mataram, sehingga sampai saat terakhir, orang-orang Pajang tetap menganggap bahwa pasukan Mataram bukan pasukan yang utuh sebagaimana mereka hadapi di tebing Kali Opak.
Dengan dada tengadah pasukan Pajang itu-pun kemudian meninggalkan padukuhan-padukuhan yang telah mereka jadikan karang abang. Padukuhan yang telah menjadi abu dan berserakkan dihembus angin pagi.
Dalam pada itu, kedua pasukan-pun menjadi semakin dekat. Pasukan Mataram yang datang dari arah Timur, sempat melihat dengan jelas lawan yang menyongsong mereka, sementara pasukan Pajang masih saja di bayangi oleh cahaya yang menyilaukan, yang memantul pada sisa embun di pagi hari yang menyangkut didedaunan.
Namun yang kemudian mengejutkan dan membuat orang-orang Pajang bagaikan tertusuk duri pada pusat jantungnya ketika tiba-tiba saja, diantara derap suara pasukan yang menjadi semakin dekat, tiba-tiba saja telah terdengar suara mengaum bende Kiai Bicak.
“Gila,“ teriak kakang Panji, “suara itu sangat menjemukan. Susun satu pasukan pilihan. Cari tempat bende itu disembunyikan. Hancurkan sama sekali bende itu, sehingga tidak lagi sempat menyakiti telinga.”
Sebenarnyalah, seorang Senapati terpilih telah menyusun satu pasukan kecil yang terdiri dari prajurit-prajurit terpilih yang terpercaya yang bertugas untuk mencari bende Kiai Bicak yang bunyinya terasa sangat mengganggu itu.
Kakang Panji sadar sepenuhnya bahwa bagaimanapun juga suara bende itu memang sangat berpengaruh. Semacam kepercayaan telah mencengkam hati para prajurit, bahwa pihak yang memiliki bende itu, dan jika bende itu dapat ditabuh dan melontarkan bunyi yang nyaring, maka pihak itu akan menang.
Karena itu, kakang Panji telah bertekad untuk membungkam bende itu sebagaimana direncanakan sejak semula saat mereka ingin menghancurkan pasukan Mataram dikubunya. Namun yang ternyata pasukan Mataram itu sempat meloloskan diri, tanpa setahu kakang Panji bahwa Pangeran Benawa telah berhubungan dengan Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga dengan ilmu yang jarang dimiliki oleh orang lain. Aji Pameling.
Namun dalam pada itu, sadar akan nilai bende yang memberikan pengaruh yang kuat bagi para prajurit Mataram untuk bertempur dan bertekad untuk menang itu. Raden Sutawijaya-pun telah memerintahkan sekelompok prajurit pilihan untuk mengawalnya.
Demikianlah, sejenak kemudian kedua pasukan yang besar itu telah saling berhadapan. Keduanya dalam keadaan yang sama. Keduanya bergerak maju untuk menyongsong lawan.
Sikap prajurit Mataram agak berbeda dengan sikap mereka, saat-saat mereka menunggu di tebing Kali Opak. Saat pasukan Pajang menyeberang dan menyerang mereka dalam kedudukan yang mantap.
Ketika jarak menjadi semakin dekat, maka terdengar sangkakala yang tiba-tiba saja meraung memecah ketegangan. Orang-orang Mataram sempat membuat orang-orang Pajang terkejut. Mereka tidak menyangka bahwa perintah untuk menyerang masih juga dilontarkan lewat bunyi sangkakala.
Namun seakan-akan suara sangkakala itu berlaku bagi kedua pasukan yang telah berhadapan itu. Bukan saja pasukan Mataram yang kemudian dengan senjata merunduk menyergap lawan. Tetapi pasukan Pajang-pun telah dengan sigap menyerang pula. Bahkan mereka yang tidak terikat dalam kesatuan pasukan prajurit Pajang, telah menyerang menurut selera mereka masing-masing, seolah-olah tanpa ada keterikatan, meskipun mereka tetap berada dalam kelompok-kelompok yang sudah ditentukan, dibawah pimpinan mereka masing-masing. Diantara mereka terdapat para pemimpin padepokan yang telah dihubungi oleh Ki Tumenggung Prabadaru dan kakang Panji.
SELESAI