Laman: 1 2
Buku II-91
The URI to TrackBack this entry is: https://adbmcadangan.wordpress.com/buku-ii-91/trackback/
The URI to TrackBack this entry is: https://adbmcadangan.wordpress.com/buku-ii-91/trackback/
Gambar Kulit :
Herry Wibowo
Ilustrasi :
Sudyono
Penerbit :
Kedaulatan Rakyat,
Yogyakarta
nyi senopati di teks atas halaman dua panjenengan menyebutkan I don’t like Monday. dengan mencoret teks don’t berarti maksudnya kita menyukai hari senin ini kan. Tetapi hari ini kelihatannya kitab tidak diwedar ternyata nyi seno berarti memberi contoh kebohongan karena tentu saja jika tidak diwedar maka kita idak suka hari senin ini, maaf nyi, ini menurut rabaan perasaan saya lho. Sedang Kita kan akan membawa nafas ADBM di tingkah laku kita sehari-hari untuk membangkitkan negara yang sedang sakit ini. Moga2 rabaan / pengamatan saya tidak tepat karena akhirnya jilid 191 diwedar hari ini. Maksih sebelumnya Nyi Seno.
jika kitab tidak di wedar ya I don’t like monday too,
I like monday 🙂 (tetap senyum)
Selamat pagi Nyi Seno …
Suka nggak suka ” Monday ” mudah 2 an hari
” Tuesday ” lebih cerah … ( kalo kihab 191 dan 192 ) di wedar hari ini ….
Selamat malam Ki sanak.
Malam ini tampaknya banyak yang ronda. Sambil nunggu diwedarnya kitab 191.
Siapa yang punya ketela, jagung atau apa saja untuk dibakar sambil ronda. Wedang ronde, angle, jahe, STMJ atau apa saja untuk menghangatkan badan pada saat malam semakin dingin.
Saya menemani tetapi tidak terlalu larut seperti kemarin.
Monggo.
mudah2an ini detik-detik kitab diwedar…
Petanda 9
0,09…. belum diwedar…, berarti besok…
hari senen sudah lewat kitab belum di keluarken apa artinya petunjuk di halaman 2 yach?
Istirahat saja dulu Ki Dewo1234
Tampaknya Nyi Senapati sudah Tidur
Besok pagi keknya rapelan 2 kitab sekaliguz…
Really,
I
Don’t Likehate Mondaybelum toch
Ini sudah selasaaaaaaa…….
lho di sini masih senin lho, hehehehe
huaaaaaaheeemmmmm
Wach sama Ki Manahan disini jg masih senin 2 jam lagi masuk hari selasa hehehe…
Nyi Senopati said: I like Monday
Monday, bagi Nyi Senopati ….
1. Hari istirahat …. tidak perlu mewedar kitab 191.
2. Hari yang membuat hati mekar, sebab semua cantrik .. akan menyapa dengan extra ramah …..
3. Hari yang bisa membuat semua cantrik “kebakaran jenggot …” karena menunggu jatah kelamaan.
4. Hari yang bisa membuat Raden Mas Lateung …. muncul dari kayangan dengan ontran-2 yang usang …
“tahan dulu … selama mungkin. Satu minggu satu kitab ….”
5. Hari makan sate daging harimau …. sajian Tumenggung Mataram.
6. Apa lagi ya ….
Selamat ronda ki Manahan dan siapa lagi … yang lagi mbakar singkong itu ..
Yang benar Waktu Indonesia….apa Waktu Mesir nich….
ho oh
lho ??????????????????????????????????
hmm … tak rewangi mruput neng warnet sing durung wayahe bukak…jebul durung ono tenan…
sibuk kampanye koyone,….mandhegani partai opo nyimas?
Suwun Nyi ….
don’tworry ternyatama.. acih sekaliiiiiiiiii
Matur nuwun Nyi
S. 🙂thank u..Nyi……
nyii…. tengkiuuuuu
selasa indah,makasih
Hatur nuhun nyi Seno…..
buku 191 sudah diambil
ki sanak,
hari-hari tertentu pasti memiliki kesannya sendiri-sendiri bagi ki sanak. ada yang begitu mengagungkan hari sabtu sebagai akhir dari satu minggu setelah 5 hari lamanya mencangkuli sawah, ada yang menganggap hari jumat tanggal 13 sebagai hari yang keramat, namun ada juga yang menyikapi hari-harinya sebagaimana biasa hari-hari lain berlaku kepadanya.
bagi saya, hari ini adalah hari yang cukup spesial, karena kitab 191 sudah diedarken oleh nyai seno.. 🙂
trima kasih nyai…
matur suwun nyi seno…
kitab 191 sampun kulo pendet…
Trims…
don’t forget kitab sudah keluar
terimakasih kitabnya Nyi Seno …
Wah ternyata memang harus nunggu ganti hari dulu baru diwedhar, jangan2 kemarin Nyi Seno sibuk ikutan kampanye di senayan
Matur nuwun
he3x…
klo api dibukit menoreh yank dulu pernah digembar-gemborin ma indosiar gimane yee nasibnye…
don’t forget, to remember me, my love….
Matur thankyou para bebahu padepokan
hatur nuhun nyai seno,
ternyata memang kitab diedar monday.
disini masih monday kok, 9 jam yg lalu 🙂
Matur nuwun Ki GD, Nyai Seno n para bebahu padepokan….
haturnuhunn ki GD nyi SENO
kitap sudah di unduh 😀
sabar berbuah maniss
Siap menanti rontal berikutnya…:))
Ngapunten Ki sanak.
Piranti kangge retype kula (Kiai Omnipage) nembe ngadat, dereng saged nerusaken lakonipun AS lan GP.
Sabar nggih….
ngantri lagi sembari leyeh-leyeh lagiiiiiiiiiii
Salute to Ki Ajar …. plok plok plok plok.
plok plok plok plok…… juga
😆 😆 😆
Bagian 2
Sementara itu, waktu yang tersedia bagi Ki Gede ternyata tidak dapat diperpanjang lagi. Ia pun kemudian minta diri untuk kembali ke Tanah Perdikan Menoreh bersama Kiai Gringsing dan Agung Sedayu. Pada saatnya mereka harus menghadap Panembahan Senapati untuk memberikan laporan tentang usaha Pajang untuk mengetahui kekuatan Mataram sebagai¬mana pernah dilakukan oleh para petugas sandi pada masa Pa¬jang dibayangi oleh kekuasaan Kakang Panji.
Dengan diantar sampai ke gerbang, maka ketiga orang yang akan menuju ke Tanah Perdikan Menoreh itu pun kemudian meninggalkan rumah Ki Demang. Sejenak kemudian maka kuda-kuda mereka pun mulai berlari lari kecil menyusuri jalan di padukuhan induk, sehingga demikian kuda-kuda itu lepas dari mulut lorong padukuhan induk, maka kuda-kuda itu pun berlari semakin kencang.
“Kita akan sampai di Tanah Perdikan malam hari” berkata Ki Gede.
-Bukankah tidak ada keberatannya” berkata Kiai Gringsing-mudah-mudahan tidak ada gangguan apapun juga dalam perjalanan ini.”
-Mudah-mudahan tidak.” desis Ki Gede.
Demikianlah, maka ketiga orang itu pun berpacu semakir cepat agar mereka sampai ke tujuan tidak terlalu lambat.
Matahari yang semakin rendah itu pun membuat ketiga orang yang menuju Ke Barat itu menjadi silau. Tetapi sejenak kemudian langit pun menjadi semakin suram, sehingga bayang-bayang senja menjadi bertambah temaram.
Rumah-rumah di sebelah menyebelah jalan telah mulai memasang lampu minyak. Sinarnya yang terlempar lewat pintu. pintu yang masih sedikit terbuka, mewarnai senja dengan cahaya cahaya yang kekuning-kuningan.
Semakin jauh mereka ke Barat, maka hari pun menjadi semakin gelap. Regol-regol halaman pun kemudian sebagian diterangi dengan obor-obor yang terang yang membantu orang-orang yang menempuh perjalanan tidak terlalu kegelapan.
Ki Gede, Kiai Gringsing dan Agung Sedayu pun mempercepat derap kudanya, untuk mempercepat perjalanan mereka.
Ternyata bahwa perjalanan mereka tidak mendapat gangguan apapun juga. Mereka dengan selamat memasuki padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh dan langsung menuju ke rumah Ki Gede.
Di depan regol, para peronda masih duduk-duduk di dalam gardu sambil berselimut kain panjang. Sementara itu dua orang yang bertugas nganglang telah melihat kedatangan Ki Gede, sehingga mereka pun dengan tergesa-gesa kembali ke gardu.
-Khabar apakah yang dibawa oleh Ki Gede?”bertanya salah seorang peronda yang nganglang itu.
-Ki Gede tidak memberitahukan apa-apa. Ia hanya berhenti sebentar, tersenyum dan menyapa, “Selamat malam, lalu Ki Gede pun masuk kedalam regol.” jawab kawannya.
Peronda yang baru saja nganglang itu pun mengerutkan keningnya. Namun ia pun tidak bertanya lagi.
Dalam pada itu, pengawalan di dalam halaman rumah Ki Gede itu masih tetap kuat. Beberapa orang pengawal berjaga-jaga di sekitar gandok. tempat orang-orang yang tertangkap itu di tawan. Sedangkan di pendapa, Kiai Jayaraga duduk bersama dua orang pengawal, sibuk bermain macanan.
Demikian Ki Gede memasuki halaman, maka Kiai Jayaraga pun berdesis, “Kita akhiri dahulu. Nanti kita bermain lagi.” “Nanti kita teruskan Kiai” jawab pengawal itu, “enam kali bermain enam kali aku kalah. Tetapi sebenarnya aku akan menang pada permainan yang ketujuh ini, yang justru harus dihentikan.”
Kiai Jayaraga tertawa. Sementara itu pengawal yang seorang lagi bergumam, “Otakmu memang otak kerbau. Bagaimana kau akan dapat menang.”
Kawannya mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Kau berani bertaruh bahwa aku akan menang kali ini?”
-Mana mungkin aku bertaruh. Permainan ini harus dihentikan. Ki Gede sudah datang.” sahut yang lain.
Kiai Jayaraga tidak menyahut. Tetapi ia masih saja tertawa sambil bangkit berdiri dan kemudian menyongsong kedatangan mereka yang baru saja memasuki halaman.
Setelah menyerahkan kuda-kuda mereka serta mencuci kaki disebelah pendapa, maka me,reka pun telah naik dan duduk bersama Kiai Jayaraga.
Pembicaraan mereka pun dengan cepatnya menjadi ramai setelah mereka.saling menanyakan keselamatan masing-masing.
-Satu kesimpulan yang aku bawa” berkata Ki Gede, “¬aku harus menghadap Panembahan Senapati sambil membawa setidak-tidaknya seorang diantara orang-orang yang kita tangkap itu.”
Kitai Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, “Agaknya jalan itu adalah jalan yang paling tepat yang dapat kita tempuh.
“Sementara itu, kami akan berusaha agar Panembahan Senapati memerintahkan Untara untuk pergi ke Pajang bagi keperluan apapun juga” berkata Ki Gede.
Kiai Jayaraga mengangguk-angguk. Ia mengerti, bahwa Untara juga bertugas untuk mengetahui serba sedikit tentang Ki Tumenggung Wiladipa yang telah menugaskan beberapa orang untuk mengetahui kekuatan Mataram.
“Ki Gede memang harus bekerja cepat” berkata Kiai Jayaraga.
“Ya. Aku menyadari. Karena itu, maka besok aku akan mempersiapkan diri, dan lusa aku akan menghadapi Panembahan Senapati” jawab Ki Gede.
Kiai Jayaraga mengangguk-angguk. Memang tidak akan dapat labih cepat dari waktu yang dikatakan oleh Ki Gede itu.
Namun dalam pada itu, Kiai Jayaraga pun bertanya, “Ki Gede apakah akan membawa keempatnya sekaligus, atau seorang saja diantara mereka?”
“Aku akan membawa seorang saja.” jawab Ki Gede, “mudah-mudahan sudah cukup dapat memberikan keterangan, meskipun aku juga akan menyerahkan tiga orang yang lain. Tetapi tentu tidak tergesa-gesa sehingga segala sesuatunya dapat dipersiapkan labih masak.”
Kiai Jayaraga mengangguk-angguk. Namun dalam pada itu Agung Sedayu pun berkata, “Tetapi ada satu hat yang juga harus kita pikirkan. Mungkin Ki Gede harus juga melaporkan apa yang telah dilakukan oleh Raden Rangga.”
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Jika perlu. Tetapi bagaimanakah pendapatmu, seandainya Panembahan Senapati tidak menanyakan persoalan itu?”
Agung Sedayu memandang Kiai Gringsing sejenak. Kemudian katanya, “Jika Panembahan Senopati tidak menanyakannya, kita memang tidak perlu melaporkannya. Tetapi orang yang kita bawa itu mungkin akan mengatakannya tentang raden Rangga. Atau setidak-tidaknya ia akan mengatakan bahwa ia membawa tujuh orang kawan.”
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Jika demikian, apaboleh buat. Mungkin aku memang harus berceritera tentang sikap Raden Rangga terhadap orang-orang itu.
Kiai Gringsing berdesah. Katanya, “Tidak ada pilihan lain Ki Gede. Seandainya dengan demikian Raden Rangga akan mendapat hukuman lagi, karena itu memang kesalahannya. Panembahan Senapati sudah menegurnya dengan seribu macam cara agar ia tidak menjadi terlalu nakal. Tetapi ternyata bahwa setiap kali ia masih lakukan kenakalan yang yang mendebarkan. Bahkan menimbulkan kematian.
Ki Gede mengangguk-angguk. Sementara Kiai Jayaraga berkata, “Aku sependapat, justru Panembahan Senapati sebaiknya mengetahui bahwa Raden Rangga masih saja nakal, sehingga dengan demikian Panembahan Senapati dapat memikirkan langkah-langkah yang akan berarti bagi masa depan Raden Rangga. Karena jika ia dibiarkannya dengan tingkah lakunya, maka ia akan menjadi anak yang sangat berbahaya. Baik bagi Mataram maupun bagi lingkungan yang lebih luas lagi.”
Ki Gede mengangguk-angguk. Ia pun menyadari, bahwa Sulit agaknya untuk menghindari pembicaraan tentang Raden Rangga yang menyangkut dengan orang-orang yang tertangkap dan terbunuh di Tanah Perdikan Menoreh itu.
Demikianlah, maka akhirnya pembicaraan itu pun telah mengambil kesimpulan, bahwa sebagaimana dikatakan oleh Ki Gede, esok Ki Gede akan bersiap-siap dan dihari berikutnya, ia akan pergi ke Mataram. Ki Gede sama sekali tidak akan menyembunyikan persoalan yang menyangkut Raden Rangga dan tingkah lakunya selama ia berada di Tanah Perdikan.
Malam itu, Agung Sedayu dan Kiai Gringsing sempat kembali kerumah Agung Sedayu untuk beristirahat. Di pagi harinya keduanya bangun pagi-pagi benar. Setelah membersihkan halaman, maka Agung Sedayu pun bersiap-siap untuk pergi ke rumah Ki Gede.
“Apakah kakang Agung Sedayu esok juga akan pergi ke Mataram?” bertanya Sekar Mirah.
“Aku kurang tahu Mirah. Tetapi agaknya Ki Gede akan minta aku dan Kiai Gringsing menyertainya.” jawab Agung Sedayu.
“Aku kira kakang perlu menyertainya. Mungkin ada sesuatu yang berkembang. Justru tentang Raden Rangga di samping sudah barang tentu tentang orang-orang yang tertangkap itu” berkata Sekar Mirah. Lalu, “Glagah Putih banyak mengenal Raden Rangga. Pada saat kakang berada di Jati Anom, Glagah Putih berbicara dan bahkan berlatih pula bersama Raden Rangga itu.”
“Ia berceritera kepadamu?” bertanya Agung Sedayu.
“Ya. Nanti kakang dapat bertanya langsung kepadanya.” jawab Sekar Mirah.
“Agung Sedayu mengangguk. Jawabnya, “Baiklah. Nanti aku akan bertanya kepada anak itu.”
Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu dan Kiai Gringsing telah berada di rumah Ki Gede. Mereka menentukan seorang di antara empat orang tawanan yang akan dibawa ke Mataram. Namun ternyata tidak ada orang lain yang lebih banyak mengetahui tentang tuga-tugas yang harus mereka lakukan kecuali orang Kepandak itu. Karena itu, maka Ki Gede dan Kiai Gringsing memutuskan untuk membawa orang Kepandak itu saja ke Mataram.
Namun, sebagaimana sudah diduga, Ki Gede selain minta Kiai Gringsing, ia pun minta Agung Sedayu menyertainya ke Mataram. Menurut pengamatan Ki Gede, Agung Sedayu mempunyai hubungan yang agak akrab dengan Panembahan Senapati.
“Tetapi itu dulu Ki Gede” berkata Agung Sedayu, “setelah Raden Sutawijaya itu menjadi Senapati Ing Ngalaga dan kemudian ditetapkan menjadi Panembahan Senapati, maka hubunganku dengan Panembahan sudah lain. Bukan karena Panembahan Senapati menjadi sombong dan merasa dirinya terlalu besar, tetapi adat dan nilai-nilai pergaulan menuntut hal yang demikian.”
Ki Gede mengangguk-angguk. Tetapi kemudian katanya, “Aku mengerti. Tetapi itu adalah hubungan lahiriahnya. Tetapi aku yakin bahwa hubungan jiwani di antara kau dan Panembahan itu masih tetap akrab, sehingga ia masih akan tetap mempercayaimu. Bagaimanapun juga Panembahan Senopati harus mengakui, apa saja yang pernah kau lakukan bagi Mataram.”
“Mudah-mudahan” jawab Agung Sedayu, “aku akan berusaha untuk berbuat sebaik-baiknya. Berusaha untuk meyakinkan Panembahan Senapati agar Panembahan mengutus Kakang Untara ke Pajang. Karena Panembahan Senopati tidak akan dapat berpangku tangan menghadapi sikap” Pajang.”
“Baiklah” jawab Ki Gede, “besok kita akan berangkat pagi-pagi benar, agar kita dapat segera kembali.”
Agung Sedayu pun kemudian minta diri. La masih ingin berbicara dengan Glagah Putih sementara Kiai Gringsing masih berada di rumah Ki Gede sebagaimana Kiai Jayaraga yang masih juga tetap beradu di ruang itu pula.
Tetapi Kiai Jayaraga itu kemudian berkata, “Nanti kita kembali ke rumah Agung Sedayu bersama-sama. Ki Gede sudah ada dirumah, sehingga para tawanan itu sudah akan dapat dijaga dengan baik.”
“Tetapi jangan tergesa-gesa” berkata Ki Gede, “mungkin masih ada persoalan yang dapat kita bicarakan menjelang kepergianku besok ke Mataram.”
Dengan demikian maka hanya Agung Sedayu sajalah yang kemudian meninggalkan rumah Ki Gede. Ia masih ingin bertemu dengan Glagah Putih untuk berbicara serba sedikit tentang Raden,Rangga.
Ketika Agung Sedayu sampai ke rumah, maka dilihatnya Glagah Putih pun baru saja pulang. Pakaiannya basah. Ditangannya dijinjingnya sebuah kepis yang penuh dengan ikan.
“Kau mencari ikan?” bertanya Agung Sedayu.
“Ada tiga rumpon yang ditutup hari ini” jawab Glagah Pulih., “Lihat, aku mendapat ikan sekepis penuh.”
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi sebenarnyalah bahwa Glagah Putih mendapat ikan sekepis penuh.
“Baiklah” berkata Agung Sedayu, “setelah kau bersihkan, serahkan kepada mbokayumu agar ikan itu dapat dimasak. Aku ingin berbicara sedikit.”
“Tentang apa?” bertanya Glagah Putih.
“Tidak tentang ikan. Aku tidak akan bertanya, bahwa hari ini kau mencari ikan di siang hari” jawab Agung Sedayu.
“Tadi pagi-pagi benar, bukankah aku sudah membuka pliritan. Aku membawa juga ikan meskipun tidak sebanyak ini pada saat kakang sedang menyapu halaman samping.” berkata Glagah Putih pula.
“Mandilah” desis Agung Sedayu.
Glagah Putih dengan pakaiannya yang basah itu pun segera pergi ke pakiwan sambil membawa ganti pakaian. Setelah mencuci pakaiannya yang basah dan kemudian mandi dan berganti pakaian, Glagah Putih pergi menemui Agung Sedayu di pendapa rumahnya.
“Kakang ingin berbicara tentang apa? Glagah Putih menjadi tidak sabar.
“Tentang Raden Rangga” jawab Agung Sedayu.
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia pun kemudian bertanya, “Kenapa dengan Raden Rangga?”
“Bukankah selama ini kau telah bertemu lagi dengan anak itu?” bertanya Agung Sedayu.
Glagah Putih mengerutkan keningnya, Dipandanginya Agung Sedayu dengan tajamnya. Namun kemudian ia pun telah mengangguk, “Ya kakang. Aku telah bertemu lagi.”
“Apakah ia mengatakan sesuatu tentang orang-orang yang dibunuhnya baru-baru ini?” bertanya Agung Sedayu.
“Ya” jawab Glagah Putih, “menurut Raden Rangga, orang-orang itu memang dapat dibunuh karena sikapnya. Raden Rangga sama sekali tidak salah, menurut pendapatnya. Kecuali jika orang-orang itu menyerah, maka ia memang tidak dibenarkan untuk dibunuh. Tetapi orang yang melawan para pengawal dan petugas yang lain, dengan mengabaikan peringatan, maka jika kemudian mereka mati, itu adalah salah mereka sendiri.”
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Jadi menurut Raden Rangga, orang orang yang dibunuhnya itu karena mereka tidak mau menyerah?”
“Ya” jawab Glagah Putih.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia dapat mengerti jalan pikiran Raden Rangga, tetapi katanya kemudian, “Meskipun orang itu melawan, tetapi jika mungkin untuk dapat ditangkap hidup-hidup, bukankah itu lebih baik? Kematian sebaiknya dihindari sejauh jauhnya.”
“Menurut Raden Rangga” berkata Glagah Putih, “orang-orang seperti itu, sulit untuk dapat kembali ke jalan yang benar kapanpun juga. Karena itu, seandainya mereka harus menjalani hukuman maka setelah hukuman mereka lewat, maka mereka akan kembali kedalam keadaan yang sesat itu.”
“Kita memang dapat memperhitungkannya Glagah Putih. Tetapi betapapun redupnya, namun di dalam hati seseorang tentu ada cahaya kebaikan dan harga diri.” jawab Agung Sedayu, “karena itu sebaiknya kita tidak mengambil keputusan yang terlalu jauh seperti yang dilakukan oleh Raden Rangga. Karena sebenarnyalah bahwa kadang-kadang kita juga memerlukan keterangan-keterangan dari orang-orang seperti itu. Bahkan kita akan dapat merasa kehilangan sumber keterangan yang sangat berharga jika kita dengan tergesa-gesa mengambil keputusan untuk membunuh.”
Glagah Putih tidak menyahut. Ia mengangguk-angguk kecil karena ia memang sependapat dengan Agung Sedayu.
Demikianlah Agung Sedayu telah mendapatkan bahan yang akan dapat mereka bawa ke Mataram. Sikap Raden Rangga itu akan dapat dikemukakannya kepada Panembahan Senapati jika Panembahan Senapati mempersoalkannya.
Di keesokan harinya, maka orang-orang yang akan pergi ke Mataram pun telah bersiap. Kiai Gringsing, Agung Sedayu dan Ki Gede akan pergi ke Mataram dengan membawa seorang di antara orang-orang yang telah mereka tangkap karena orang itu sedang mengamati Tanah Perdikan Menoreh dalam tugas sandinya bagi kepentingan Pajang. Sementara itu, seperti ketika Ki Gede pergi ke Jati Anom, maka Kiai Jayaraga diminta untuk mengawasi para tawanan yang lain.
“Mudah-mudahan kita dapat langsung menghadap sehingga kita akan segera kembali” berkata Ki Gede.
“Memang agak lain menghadap Panembahan Senapati sekarang dengan sebelumnya” berkata Kiai Gringsing, “tetapi jika kita dapat meyakinkan hahwa persoalan yang kita bawa termasuk persoalan yang pcnting, maka aku kira Panembahan Senapati akan dapat menerima kita seawal mungkin.”
Ki Gede hanya mengangguk-angguk saja. Meskipun demikian, ia memang berharap bahwa mereka tidak perlu bermalam di Mataram.
Ketika matahari mulai naik, ketiga orang itu pun telah berangkat tanpa di iringi oleh pengawal seorang pun meskipun
Mereka membawa seorang tawanan. Bahkan tawanan yang mereka bawa sama sekali tidak menunjukkan bahwa orang Kepandak itu adalah seorang tawanan. Ia diberi kesempatan berkuda sebagaimana, yang lain. Namun ia langsung berada di bawah pengawasan Agung Sedayu. Dan orang Kepandak itu menyadari, bahwa ia tidak akan dapat bermain-main dengan Agung Sedayu.
Keempat orang itu berkuda dalam satu iring-iringan. Tidak ada hambatan di perjalanan. Tidak ada orang yang menduga bahwa yang seorang dari keempat orang itu adalah tawanan, kecuali para pengawal Tanah Perdikan yang kebetulan meronda dan bertemu dengan Ki Gede di jalan. Namun para pengawal itu pun mengetahui, bahwa orang itu akan dibawa menghadap ke Mataram.
Ketika keempat orang itu telah menyeberangi Kali Praga. Maka orang Kepandak itu benar-benar tidak lagi dapat diang¬gap sebagai seorang tawanan menurut penglihatan orang lain. Orang-orang yang berpapasan dengan mereka hanya mengang¬gap bahwa keempat orang itu bersama-sama dalam perjalanar menuju ke Mataram.
Demikian pula ketika mereka memasuki dinding kota. Tidak seorang pun yang menaruh perhatian kepada keempat orang berkuda itu, karena ada berpuluh-puluh orang berkuda keluar masuk gerbang kota.
. Keempat orang itu ternyata telah menuju langsung ke istana Panembahan Senapati. Mereka berharap bahwa mereka akan mendapat kesempatan hari itu juga menghadap, karena persoalan yang mereka bawa adalah persoalan yang cukup penting, sementara orang yang membawa persoalan itu pun adalah orang-orang yang dikenal baik oleh Panembahan Senapati.
Keempat orang itu terhenti di regol samping halaman istana. Namun untunglah bahwa salah seorang perwira yang bertugas saat itu mengenal Agung Sedayu, sehingga karena itu, maka mereka pun langsung dibawa memasuki halaman.
“Kami mohon untuk dapat menghadap” berkata Agung Sedayu ketika ia berada di gardu para penjaga di dalam halaman istana.
“Kami akan menyampaikannya kepada para petugas dalam” jawab perwira yang memimpin penjagaan itu, “para pengawal dan petugas di dalam akan menyampaikannya kepada Panembahan Senapati.”
“Terima kasih” jawab Ki Gede, “mudah-mudahan kami dapat segera diperkenankan menghadap.”
“Jika tidak sedang ada persoalan yang penting yang dibicarakan biasanya Panembahan Senapati berusaha untuk mempercepat penyelesaian setiap persoalan, agar persoalan-persoalan itu tidak tertunda-tunda lagi” berkata perwira itu.
Demikian menurut saluran yang seharusnya, maka permohonan Ki Gede untuk menghadap bersama Kiai Gringsing dan Agung Sedayu telah disampaikan kepada Panembahan Senapati. Bagaimanapun juga hubungan yang pernah ada di antara mereka tidak akan dapat terhapus, sehingga karena itu, maka Ki Gede tidak perlu menunggu.
Ketika laporan itu disampaikan kepada Panembahan Senapati, maka dengan serta merta Panembahan berkata, “Baiklah. Bawa mereka menghadap?”
“Sekarang Panembahan?” bertanya pelayan dalam yang menyampaikan permohonan itu.
“Ya. Sekarang. Kapan lagi?” jawab Panembahan Senapati.
Pelayan dalam itu pun kemudian menyampaikan pesan Panembahan Senapati itu.
“Panembahan dapat menerima kalian sekarang” berkata perwira yang bertugas di penjagaan.
Dengan demikian maka Ki Gede, Kiai Gringsing dan Agung Sedayu pun kemudian telah diantar untuk menghadap bersama orang Kepandak yang berhasil ditangkap di Tanah Perdikan Menoreh.
Ternyata bahwa Panembahan Senapati masih tetap bersikap sangat akrab kepada tamu-tamunya, sehingga karena itu, maka orang Kepandak yang ikut menghadap itu menjadi heran. Seolah-olah tidak ada jarak antara Panembahan Senapati yang telah menggantikan kedudukan Kangjeng Sultan Hadiwijaya itu dengan orang-orang dari Tanah Perdikan Menoreh.
Dengan akrab pula Panembahan Senapati telah menanyakan keselamatan tamu: tamunya dan serba sedikit keadaan Tanah Perdikan Menoreh. Baru kemudian Panembahan Senapati itu bertanya, “Apakah ada sesuatu yang penting Ki Gede. Menurut laporan, Ki Gede membawa satu masalah yang barangkali merupakan masalah Mataram dalam keseluruhannya. Bukan sekedar masalah Tanah Perdikan Menoreh.” Panembahan Senapati terdiam sejenak. Kemudian katanya sambil memandang orang yang dibawa Agung Sedayu, “Aku belum pernah mengenalnya.”
“Hamba Panembahan” jawab Ki Gede, “tentang orang inilah maka kami bertiga menghadap.”
Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Gede pun berkata, “Orang ini adalah orang Kepandak. Panembahan. Ia telah melakukan satu tugas sandi atas perintah para pemimpin di Pajang.”
Panembahan Senapati mengerutkan keningnya. Kemudian ia pun bertanya, “Maksudmu, orang ini mencari keterangan tentang kekuatan Mataram yang ada di Tanah Perdikan Menoreh?”
Ki Gede, Kiai Gringsing dan Agung Sedayu merasa heran, bahwa Panembahan Senapati langsung dapat menebak persoalan yang akan mereka sampaikan. Bahkan orang Kepandak itu pun terkejut pula.
Panembahan Senapati melihat kerut di dahi tamu-tamunya. Karena itu maka katanya, “Jangan heran. Sebenarnyalah bahwa aku juga sudah mendapat laporan tentang hal itu. Bahkan di Mataram telah ditangkap dua. Orang yang sedang mengamati keadaan dinding kota Mataram. Dari kedua orang itu, Mataram mendapat keterangan tentang tugas-tugas sandi yang sudah diperintahkan oleh Pajang untuk melihat keadaan dan kekuatan Mataram.”
Ki Gede menarik nafas. Hampir diluar sadarnya ia berpaling kepada Kiai Gringsing. Sementara itu Kiai Gringsing pun bertanya, “Jadi Panembahan telah mendapat laporan tentang usaha untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan Mataram?”
“Ya. Karena itu, ketika Ki Gede menyebut tugas sandi dari Pajang, maka aku langsung dapat menebak.” jawab Panembahan Senapati.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Sokurlah jika Panembahan telah mengetahuinya. Bukankah dengan demikian berarti bahwa Mataram sudah siapmenghadapi para petugas sandi itu?”
“Kami memang sudah menyiapkan satu kesatuan untuk mengatasi para petugas sandi itu. Namun kami memang belum menghubungi para pemimpin dari daerah-daerah yang selama ini mendukung Mataram. Apalagi para Adipati di Pesisir. Satu-satunya Adipati yang sudah aku hubungi adalah adimas Pangeran Benawa,” berkata Panembahan Senapati.
Ki Gede pun mengangguk-angguk pula. Sambil berpaling kepada orang Kepandak, maka ia pun berkata, “Ternyata ja ringan tugasmu terlalu luas.”
Orang Kepandak itu hanya menunduk saja.
Dalam pada itu. Panembahan Senapati pun berkata, “Tetapi bagaimana pun juga, aku tentu ingin mendengar laporan tentang Tanah Perdikan Menoreh.”
Kiai Gringsing memandang Ki Gede sejenak. Lalu katanya, “Silahkan Ki Gede.”
Ki Gede pun kemudian memberikan laporan tentang orang-orang yang telah datang ke Tanah Perdikan Menoreh. Mula-mula hanya dua orang, namun pada saat terakhir, ternyata yang datang adalah berlipat empat.
“Kalian dapat menangkap semuanya?” bertanya Panembahan Senapati.
Sebelum Ki Gede menjawab, maka orang Kepandak yang ingin menjerumuskan orang-orang Tanah Perdikan itu kedalam satu kesalahan telah menyahut, “Tidak semuanya ditangkap Panembahan. Sebagian dari kawan-kawanku telah dibunuh beramai-ramai.”
Panembahan Senapati mengerutkan keningnya, sementara Ki Gede mengatupkan giginya rapat-rapat, seakan-akan ingin menahan kemarahan yang bergejolak di dalam jantungnya.
“Jadi sebagian dari mereka telah terbunuh?” bertanya Panembahan.
Orang Kepandak itu menjawab lagi, “Ya Panembahan.”
Namun dalam pada itu, Agung Sedayu lah yang menyambung pembicaraan itu, “Memang beberapa orang di antara mereka telah terbunuh Panembahan. Tetapi mereka terbunuh dalam keadaan melawan.”
Wajah Panembahan Senapati menjadi tegang sejenak. Namun kemudian ia pun tersenyum. Katanya, “Aku akan menghubungkan peristiwa ini dengan ceritera Rangga.”
Wajah Agung Sedayu menegang. Namun ia tidak mengatakan sesuatu.
Dalam pada itu, Panembahan Senapati merenung sejenak, seakan-akan sedang mengingat-ingat apa yang pernah didengarnya dari Raden Rangga. Baru sejenak kemudian ia berkata, “Agung Sedayu. Aku mendengar dari Rangga, bahwa ia memang baru saja membunuh beberapa orang di Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi menurut Rangga, yang dibunuhnya adalah beberapa orang perampok yang dengan berani melawan para pengawal. Bahkan beberapa orang pengawal mengalami kesulitan melawan perampok-perampok itu, sehingga Rangga harus turun tangan. Seorang dari perampok-perampok itu telah bertempur melawan beberapa orang pengawal, namun pengawal-pengawal itu tidak dapat mengatasinya. Karena itu, maka Rangga harus berbuat sesuatu untuk membantu mereka. Dengan demikian, menurut Rangga, perampok-perampok itu memang sepantasnya dibunuh, karena mereka melawan dan tidak bersedia untuk menyerah. Jika mereka tidak dibunuh, maka para pengawallah yang terbunuh.”
Wajah orang Kepandak itu menegang. Namun ia tidak dapat berkata apa pun lagi. Karena jika ia masih juga mempersoalkannya, maka mungkin sekali Panembahan Senapati itu pun, akan sampai pada satu sikap, bahwa pengkhianatan memang lebih buruk dari seorang perampok.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia lah yang kemudian berkata, “Jika demikian, maka terjadi salah paham. Sadar atau tidak sadar, Raden Rangga telah membunuh kawan-kawan dari orang Kepandak ini.”
Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Bagi Panembahan Senapati yang mengenal anaknya dengan baik menganggap bahwa Raden Rangga telah melakukan perbuatannya itu dengan sengaja. Tetapi Panembahan Senapati tidak mengatakannya.
Sementara itu Agung Sedayu, Ki Gede dan Kiai Gringsing merasa seakan-akan satu diantara beban mereka telah diletakkan. Apalagi agaknya Panembahan Senapati tidak mengambil langkah khusus bagi Raden Rangga. Meskipun mereka tidak tahu, bahwa tindakan itu akan dilakukan sepeninggal mereka.
Ternyata untuk selanjutnya, Panembahan Senapati tidak banyak berbicara tentang Raden Rangga. Yang kemudian ditanyakan adalah tentang orang itu sendiri. Dengan nada berat Panembahan Senapati bertanya kepada orang Kepandak itu, “Ki Sanak. Sebelum kau tertangkap di Tanah Perdikan Menoreh, daerah mana sajakah yang pernah kau datangi dan kau amati kekuatannya yang mungkin dapat mendukung kekuatan Mataram?”
“Tanah Perdikan Menoreh adalah satu-satunya daerah yang pernah aku amati” jawab orang Kepandak itu.
Panembahan Senapati memandanginya dengan tajamnya. Tiba-tiba saja ia berkata, “Biarlah orang ini tinggal disini.”
Wajah oiang Kepandak itu menjadi tegang. Perintah itu berarti bahwa ia harus menjawab lagi berbagai macam pertanyaan yang akan diajukan oleh orang-orang Mataram yang mungkin mempunyai cara yang labih keras dari cara orang Tanah Perdikan Menoreh memeriksanya. Namun ia tidak dapat mengelak. Karena setiap usaha untuk melawan justru berarti kesulitannya akan menjadi semakin bertambah.
Karena itu, maka ketika Panembahan Senapati memberikan isyarat maka dua orang Pelayan Dalam telah menghadap.
“Bahwa orang ini keluar dan masukkan kedalam tahanan” perintah Panembahan Senapati.
Kedua orang Pelayan Dalam itu pun kemudian membawa orang Kepandak itu keluar. Namun terdengar pesan Panembahan Senapati, “Berhati-hatilah. Orang ini adalah orang yang memiliki ilmu yang baik.”
Demikianiah, maka sepeninggal orang itu, Panembahan Senapati berkata, “Apakah kalian sudah berusaha untuk mendapat keterangan, siapakah orangnya di Pajang yang telah memerintahkan orang Kepandak itu?”
“Hamba Panembahan” jawab Ki Gede, “perintah itu datang dari seorang pemimpin di Pajang yang bernama Ki Tumenggung Wiladipa.”¬
“Ki Tumenggung Wiladipa” Panembahan Senapati mengulangi, “orang itu bukan orang Pajang. Aku tahu bahwa Wiladipa adalah salah seorang pemimpin dari Demak yang sekarang berpengaruh di Pajang.”
“Ya Panembahan” Agung Sedayu lah yang menyahut, “agaknya perlu diketahui, siapakah orang itu sebenarnya.”
“Aku tahu pasti” jawab Panembahan Senapati.
“Kedudukannya di Pajang?” bertanya Agung Sedayu.
“Itulah yang aku kurang jelas” jawab Panembahan Senapati, “tetapi dapat dicari jalan untuk mengetahuinya. Para petugas sandi dari Mataram akan dapat mencari keterangan tentang orang itu.”
Agung Sedayu mengangguk, Namun ia pun kemudian mengemukakan kesediaan Untara untuk pergi ke Pajang, asalkan ia mendapatkan perintah untuk melakukan tugas apapun juga di Pajang.
Panembahan Senapati termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Tugas apakah yang dapat aku berikan kepada Untara?”
“Apapun Panembahan, asal ia mendapat alasan untuk berada di Pajang” jawab Agung Sedayu.
Panembahan Senapati mengerutkan keningnya. Sambil mengagguk-angguk ia berkata, “Aku dapat memerintahkannya menghadap adimas Adipati di Pajang untuk menanyakan, kapan aku dapat mengambil pusaka-pusaka Pajang yang seharusnya dibawa ke Mataram.”
“Jika demikian Panembahan, apakah Kakang Untara harus dipanggil menghadap?” bertanya Agung Sedayu.
“Aku akan memerintahkan para penghubung untuk memanggilnya.” jawab Panembahan Senapati, “bukan kau.
Agung Sedayu menarik nafas dalam dalam. Tetapi ia tidak menjawab. Sementara itu Panembahan Senapati pun berkata, “Kalian tunggu saja disini. Biarlah penghubung itu segera berangkat. Jika Untara karena tugasnya tidak dapat datang hari ini, kalian harus menunggu sampai besok.”
Ki Gede, Agung Sedayu dan Kiai Gringsing tidak dapat menolak. Mereka pun ingin persoalan itu cepat selesai, sehingga karena itu maka meraka pun harus bersedia melakukannya.
Hari.itu juga Panembahan Senapati telah memerintahkan dua orang penghubung untuk pergi ke Jati Anom. Mereka mendapat tugas untuk menyampaikan perintah Panembahan Senapati memanggil Untara untuk menghadap.
Ternyata Untara tidak sedang bertugas atau melakukan sesuatu yang tidak dapat ditinggalkan. Karena itu, demikian ia mendapat perintah, maka ia pun segera bersiap untuk berangkat. Apalagi Untara mendapat keterangan dari kedua penghubung itu bahwa Ki Gede Menoreh, Kiai Gringsing dan Agung Sedayu juga berada di Mataram.
“Tentu tugas ke Pajang” berkata Untara di dalam hatinya.
Dengan tidak menunda, “sampai esok, maka Untara pun telah berangkat ke Mataram, bersama-sama dengan kedua penghubung yang menyampaikan perintah Panembahan Senapati.
Tidak ada hambatan yang ditemuinya diperjalanan. Karena itu, maka sebelum malam Untara sudah berada di Mataram. Malam itu juga Panembahan Senapati telah memanggil Ki Gede Menoreh, Kiai Gringsing dan Agung Sedayu menghadap demikian ia menerima kehadiran Untara.
Dengan singkat Panembahan Senapati menyampaikan laporan Agung sedayu tentang keadaan Tanah Perdikan dan kesediaan Untara untuk pergi ke Pajang. Baru kemudian ia bertanya, “Apakah benar begitu Untara?”
“Hamba Panembahan. Hamba memang menyatakan kesediaan hamba untuk mencoba berhubungan dengan orang yang bernama Wiladipa” jawab Untara.
“Baiklah. Tetapi kau harus berhati-hati. Tumenggung Wiladipa adalah seseorang yang memiliki kelebihan. Bukan saja dalam olah karturagan. Tetapi otaknya memang tajam dan yang berbahaya adalah, bahwa ia adalah seorang yang licik dan mempunyai banyak akal.” pesan Panembahan Senapati.
“Hamba Panembahan” jawab Untara, “yang penting bagi hamba adalah berusaha untuk mengenalinya. Dengan demikian maka Mataram akan dapat mempertimbangkan langkah-langkah yang perlu diambil.”
“Ya. Karena itu pergilah ke Pajang. Atas namaku sampaikan pertanyaan kepada adimas Adipati Pajang, kapan Mataram dapat mengambil pusaka-pusaka yang tersimpan di Pajang” berkata Panembahan Senapati.
“Hamba Panembahan. Hamba akan melakukannya dengan sebaik-baiknya. Mudah-mudahan hamba mendapat kesempatan untuk berhubungan dengan ki Tumenggung Wiladipa dan mengetahui serba sedikit tentang dirinya.
Hamba mempunyai banyak kawan di Pajang yang akan dapat membantu hamba,” jawab Untara.
“Lakukanlah” berkata Panembahan Senapati selanjutnya, “terserah kepadamu, kapan kau akan pergi ke Pajang. Namun kau tahu, bahwa kita memerlukan keterangan itu secepatnya.”
“Besok pagi-pagi sekali hamba akan berangkat ke Pajang, meskipun hamba akan singgah sebentar di Jati Anom. Sebelum fajar hamba akan meninggalkan Mataram,” jawab Untara.
Dengan demikian, maka Panembahan Senapati pun menganggap bahwa persoalannya sudah selesai. Kiai Gringsing dan Ki Gede memang memberikan beberapa pesan bagi Untara, sementara itu maka persoalan-persoalan yang perlu diketahui oleh Untara pun telah dikemukakan pula oleh Kiai Gringsing.
Karena itulah maka Panembahan Senapati pun kemudian mempersilahkan tamu-tamunya untuk beristirahat. Terutama Untara yang begitu datang, berbincang dan esok sebelum fajar akan meninggalkan Mataram.
Sebenarnyalah, pada saat gelap sisa malam masih rnenyelubungi Mataram, seekor kuda telah meluncur dengan cepatnya, seperti anak panah yang dilontarkan dari busurnya.
Seperti yang direncanakan. Untara meninggalkan Mataram sebelum fajar. Ia sempat minta diri kepada Kiai Gringsing, Ki Gede dan Agung Sedayu yang telah terbangun pula. Tetapi Untara munganggap tidakperlu lagi minta diri kepada Panembahan Senapati.
Sementara itu, pagi itu Ki Gede Menoreh, Kiai Gringsing dan Agung Sedayu pun akan minta diri pula. Mereka tidak lagi mempunyai persoalan di Mataram, sementara itu tenaganya tentu sangat diperlukan di tanah Perdikan Menoreh. Apalagi jika kawan-kawan orang Kepandak itu mencarinya. Baik atas kehendaknya sendiri, maupun atas perintah Ki Wiladipa.
Panembahan Senapati pun tidak mencegah mereka, karena ia pun tahu bahwa mereka mempunyai tugas mereka masing-masing di Tanah Perdikan Menoreh.
Sementara itu, Untara berpacu menuju ke Jati Anom. Ia ingin singgah untuk minta diri kepada istrinya, bahwa ia akan menjalani satu tugas yang penting ke Pajang.
Sebagai isteri seorang senapati, maka isteri Untara pun tidak mempersoalkan tugas itu, ketika kemudian suaminya sampai di rumah dan menyatakan tugasnya kepada isterinya.
“Silahkan kakang beristirahat dan makan lebih dahulu” berkata isterinya.
Untara mengangguk-angguk. Ia memang harus beristirahat. Terutama kudanya. Sementara itu isterinya telah menyiapkan makan baginya.
Sambil makan Untara sempat bergurau sejenak dengan anaknya. Anak yang sudah tumbuh menjadi semakin besar dengan kelucuan-kelucuannya. Namun seakan-akan anak itu memang mewarisi ketrampilan ayahnya. Sejak bayi anak itu senang bermain-main dengan pedang-pedangan.
Setelah makan dan beristirahat sejenak, maka Untara pun telah bersiap meneruskan perjalanannya menuju ke Pajang, untuk menunaikan tugas yang dibebankan dipundaknya, meskipun sebenarnya hal itu atas pernyataan kesediaannya sendiri.
Setelah memberikan pesan kepada perwira-perwiranya, maka Untara pun segera berangkat, dikawani oleh seorang prajurit pilihan. Prajurit muda yang dengan cepat meloncati tataran demi tataran karena kelebihanya. Sabungsari.
Perjalanan ke Pajang dari Jati Anom bukannya perjalanan yang terlalu panjang. Lebih pendek sedikit dari perjalanan ke Mataram.
Di Pajang Untara bukannya orang asing. Tetapi Untara tidak langsung menuju ke istana. Bagaimanapun juga susunan kepemimpinan di Pajang sudah berubah, sehingga orang-orangnya pun telah banyak yang berubah pula. Sebagian dari mereka yang terpengaruh oleh kakang Panji dan kemudian orang-orang yang menentang hadirnya Mataram dengan tajam telah tidak ada di Pajang. Namun dalam pada itu beberapa orang baru telah berada di Pajang. Mereka adalah orang-orang yang semula berasal dari Demak. Di antara mereka adalah orang-orang yang bukan saja menentang kehadiran Mataram, tetapi di antara mereka terdapat orang-orang yang menentang akhirnya Pajang pada masa pemerintahan Sultan Hadiwijaya. Orang-orang tua itu sama sekali tidak ikhlas melihat Pajang tegak dan kemudian justru memimpin pemerintahan di bawah kuasa Sultan Hadiwijaya. Tetapi mereka tidak mempunyai kekuatan untuk menentang.
Karena itu sejak jatuhnya Pajang dan kekuasaan berpindah ke Mataram, mereka berusaha untuk mendapat jalan untuk melepaskan kekecewaannya. Meskipun mereka tidak lagi dituntun oleh satu tujuan tertentu yang diyakini, namun ada gejala bahwa orang-orang itu sekedar melepaskan kekecewaannya dengan menimbulkan kericuhan dan kekacauan. Bukan saja dalam ujud kewadagan, tetapi juga kekisruhan jiwani dan kekisruhan batin.
Sementara itu, .Untara dan Sabungsari telah memasuki Pajang.
Namun mereka menuju ke sebuah rumah di pinggir kota Raja, rumah yang dikenal baik oleh Untara.
Kedatangan Untara memang mengejutkan orang itu. Dengan tergesa-gesa ia mempersilahkan Untara dan Sabungsari naik ke pendapa.
“Pantas, burung prenjak berkicau sepanjang hari” berkata orang itu, “ternyata aku akan mendapat tamu sahabat yang sudah lama tidak bertemu.”
Untara tertawa. Di perkenalkannya Sabungsari, salah seorang kawannya dari Jati Anom.
“Apakah Ki Sanak ini memang anak muda Jati Anom?” bertanya sahabatnya.
“Ya” jawab Untara ragu-ragu. Namun akhirnya ia mengambil ketetapan bahwa ia tidak akan berbohong. Sambil beringsut sejengkal ia berkata, “Anak muda ini adalah salah seorang perwira dari prajurit Mataram. Ia adalah perwira bawahanku. Kami berdua mendapat tugas untuk menghadap Adipati Pajang. Bukankah kau sampai saat ini masih seorang prajurit Pajang?”
“Ternyata aku termasuk orang-orang yang lolos dari sela-sela jari-jari suri yang rapat. Aku memang masih seorang prajurit sampai saat ini.” berkata orang itu.
Untara mengangguk-angguk. Katanya, “Sokurlah. Aku memerlukan bantuanmu. Kau sudah membantu aku pada waktu itu, sehingga aku berhasil menghadap Kangjeng Sultan meskipun kau sendiri juga harus mengalami mabuk kecubung” berkata Untara.
Kawannya,itu tersenyum. Namun katanya, “Tetapi kedudukanku se karang menjadi semakin rendah. Jika aku dahulu mengabdi kepada seorang Raja, maka sekarang aku berada di bawah perintah panglima keprajuritan dalam tataran Kadipaten.”
“Bukan apa-apa” jawab Untara, “bukankah yang penting kau dapat mengabdikan dirimu bagi Tanah Kelahiran ini dan dapat mencukupi kebutuhan hidup anak dan isterimu?”
“Ya. Memang satu tujuan yang sederhana dari hidupku memang demikian. Meskipun kadang-kadang juga bergejolak perasaan yang agak asing di dalam hati ini” berkata kawannya itu.
Untara mengangguk-angguk. Namun kemudian ia berkata, “Sebenarnya aku memang akan menghadap Kangjeng Adipati. Aku mendapat perintah langsung dari Panembahan Senapati di Mataram untuk menyampaikan satu pesan kepada Kangjeng Adipati.”
“Pesan apa?” bertanya kawannya.
“Pesan itu untuk Kangjeng Adipati. Bukan untukmu” jawab Untara.
Kawannya tertawa. Namun kemudian jawabnya, “Baiklah. Nanti aku akan menyampaikan permohonan itu. Mudah-mudahan segera mendapat tanggapan. Tetapi dimana kau akan bermalam nanti?”
“Bukan masalah” jawab Untara.
“Bermalam sajalah di rumahku . Meskipun aku harus tidur di amben besar di gandok yang kosong itu.” berkata kawannya.
“Terima kasih. Aku dapat tidur dimana saja” jawab Untara.
“Beristirahatlah. Aku akan pergi ke istana berkata kawannya.
“Nanti dulu” cegah Untara, “aku masih mempunyai beberapa pertanyaan lagi kepadamu.”
“Tentang apa?” bertanya kawannya.
“Apakah di Pajang sekarang ada seorang tumenggung yang bernama Wiladipa?” bertanya Untara.
“Tumenggung Wiladipa maksudmu?” ulang kawan Untara.
“Ya, Tumenggung Wiladipa yang menurut pendengaranku datang dari Demak” jawab Untara.
Kawannya mengangguk-angguk. Katanya, “Benar Untara. Seorang Tumenggung yang telah berusia menjelang tua berada di Pajang sekarang. Ia adalah seorang Tumenggung yang meskipun sudah menjelang hari-hari tuanya, namun masih mempunyai kemampuan kerja melampaui anak-anak muda. Karena itu, ia termasuk satu di antara beberapa orang yang mendapat kepercayaan dari Kangjeng Adipati di Pajang.”
Untara mengangguk-angguk. Tetapi ia masih harus mengenal ciri-ciri orang itu. Karena itu, maka ia ingin dapat bertemu langsung dengan orang yang di sebutnya itu.
Meskipun demikian Untara tidak langsung mengatakannya. Ia akan menyimpan persoalan itu sampai datang kesempatan yang cukup baik untuk berbicara lebih panjang.
Karena itu, maka yang dibicarakannya kemudian adalah sekedar mengenai lingkungan masing-masing. Untara telah mendengar ceritera tentang perkembangan Pajang pada masa-masa terakhir, sebelum kawannya pergi ke Istana,
Beberapa saat kemudian, kawan Untara itu telah berada di istana. Ia tidak segera menyampaikan pesan Untara. Tetapi karena ia tahu persoalan yang dihadapi oleh Untara, karena hubungan antara Pajang dan Mataram yang nampaknya sedang diliputi oleh kemelut yang suram, maka kawan Untara itu pun berusaha untuk mencari kesempatan yang sebaik-baiknya untuk dapat langsung menyampaikan kepada Adipati Pajang, bahwa Untara atas perintah Panembahan Senapati mohon menghadap.
Ternyata bahwa perwira itu berhasil. Dengan berbagai macam alasan ia menyusup masuk keruang dalam. Kepada Pelayan Dalam ia minta agar disampaikan satu permohonan untuk menghadap.
Adipati Pajang ternyata tidak sedang sibuk sekali, sehingga karena itu, maka pewrwira itu telah dipanggil di ruang penghadapan yang khusus. Di Paseban dalam.
“Kepentingan apa yang ingin kau sampaikan?” bertanya Adipati Pajang.
“Ampun Kangjeng Adipati” jawab perwira itu, “telah datang di Pajang utusan Panembahan Senapati untuk menghadap Kangjeng Adipati.”
“O” Adipati Pajang itu mengangguk-angguk, “untuk apa ia menghadap?”
“Senapati Mataram itu membawa pesan yang hanya akan disampaikan kepada Kangjeng Adipati saja” jawab perwira itu.
“Dimana orang itu sekarang?” bertanya Adipati Pajang., “Dirumah hamba Kangjeng Adipati” jawab perwira itu.
Adipati Pajang itu mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Kenapa dirumahmu? Apakah ia tidak datang ke istana ini?”
“Hamba akan memanggilnya,” jawab kawan Untara itu., “Kenapa ia tidak menghadap dalam urutan paugeran yang biasa? Nampaknya kau telah berusaha dengan cara yang khusus agar orang itu dapat langsung menghadap aku” berkata Adipati Pajang.
“Hamba Kangjeng Adipati” jawab perwira itu, “jika ia harus melalui jalur yang sewajarnya, maka mungkin baru dalam dua hari ia dapat menghadap, karena alasan-alasan yang tidak dapat hamba katakan. Namun jika Senapati dari Mataram itu tidak bersedia menunggu dan kembali ke Mataram, maka persoalannya akan menjadi rumit” berkata perwira itu.
“O. Jadi seharusnya aku takut menghadapi sikap yang demikian?” berkata Adipati Pajang.
“Bukan takut Kangjeng Adipati-jawab perwira itu, “ tetapi hamba adalah seorang prajurit yang sudah cukup lama berada di Pajang. Tentu Kangjeng Adipati menyadari, bahwa hubungan antara Pajang dan Mataram sekarang ini seakan-akan dibatasi oleh helai-helai kabut yang hitam. Yang akan dapat semakin gelap jika itu tidak bersedia menunggu sampai dua hari.”
“Aku tidak takut” jawab Adipati Pajang.
“Bukan soal takut dan tidak takut Kangjeng Adipati” berkata perwira itu, meskipun tubuhnya mulai gemetar karena ternyata ia sudah terlalu banyak berbicara, “tetapi hamba pernah melihat pertentangan antara Pajang dan Mataram yang memuncak, yang kemudian justru telah terjadi benturan kekerasan di seberang-menyeberang Kali Opak. Hamba serasa menjadi jera untuk melihat pertentangan seperti itu lagi diantara sanak kadang. Tetapi seandainya hamba harus maju berperang melawan pemberontakan yang manapun dan betapapun kuatnya, hamba tidak akan gentar, karena hamba memang seorang prajurit.”
Adipati Pajang itu menarik nafas dalam-dalam. Namun tiba-tiba saja ia bertanya, “Tetapi kenapa kau menduga, bahwa jika Untara berusaha menghadap aku dengan laku yang sewajarnya, maka ia akan mengalami kesulitan?”
“Hamba tidak dapat menyebutkannya Kangjeng Adipati” jawab perwira itu.
“Kau tentu menduga bahwa ada orang-orang yang telah dengan sengaja mengeruhkan suasana. Mengeruhkan hubungan antara Pajang dan Mataram” berkata Adipati Pajang. Namun suaranya menjadi keras, “He, kau sudah menghina aku. Kau kira aku tidak mempunyai sikap sendiri, sehingga ada sekelompok orang yang mempengaruhi sikapku dalam hubunganku dengan Mataram.”
“Hamba tidak mengatakannya demikian Kangjeng Adipati” jawab perwira yang menjadi semakin berdebar-debar itu, “tetapi seperti yang sudah hamba katakan. Hamba adalah seorang prajurit yang sudah tua. Yang tidak banyak dapat berbuat lagi. Namun demikian pengalaman hamba yang panjang membuat hamba kadang-kadang cemas menghadapi keadaan sekarang ini. Kehadiran perwira-perwira dari Demak telah menentukan satu keadaan yang berbeda dari yang seharusnya terjadi.”
“Kau merasa iri he?” geram Adipati Pajang, “beberapa orang perwira dari Demak telah mendapat kesempatan untuk ikut memimpin Kadipaten ini karena mereka mempunyai otak yang cerdas, yang tajam dan memiliki pengetahuan yang luas. Sedang kau adalah perwira yang memanjat kejenjang pangkatmu sekarang hanya karena umur pengabdianmu. Itu pun pengabdianmu kepada Sultan Pajang. Bukan kepadaku.”
Perwira itu menundukkan kepalanya. Namun kemudian dengan nada rendah ia berkata, “Hamba akan memanggil Senapati Mataram itu.”
Adipati Pajang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Panggil orang itu kemari. Aku justru ingin berbicara dengan orang itu. Bukan karena aku menjadi ketakutan dan tidak berani menolaknya untuk menghadap.”
Perwira itu tidak menjawab lagi. Ia tidak mau merusak kesediaan Adipati Pajang untuk menerima Untara, apapun alasannya.
Bahkan ia pun telah mohon diri untuk memanggil Untara.
Ketika ia keluar dari Paseban Dalam dan turun kelongkangan, maka dua orang prajurit telah menunggunya. Kemudian ia pun dibawa kepada seorang perwira yang sedang bertugas.
“Kau menghadap dengan cara yang tidak wajar berkata perwira itu.
Perwira kawan Untara itu memandang kawannya yang bertugas dengan pandangan yang tajam. Dengan suara berat ia bertanya, “Apakah yang tidak wajar?”
“Kau ternyata telah menempuh jalan yang tidak biasa harus dilakukan bila seseorang ingin menghadap Kangjeng Adipati.” berkata perwira yang sedang bertugas itu.
“Bagaimana jalan yang biasa? Bukankah aku juga sudah melaporkan bahwa aku ingin menghadap?”bertanya kawan Untara.
“Ya, Kau baru memberitahukan. Tetapi kau belum dipersilahkan. Kau langsung berhubungan dengan Pelayan Dalam dan menyampaikan permohonan kepada Kangjeng Adipati. Seharusnya bukan kau yang berhubungan dengan Pelayan Dalam. Tetapi para petugas.” jawab perwira yang bertugas.
“0, bukankah dengan demikian aku sudah memperingan kewajibanmu. Dengan demikian kau tidak perlu datang kepada Pelayan Dalam yang bertugas untuk menyampaikan setiap permohonan menghadap” berkata kawan Untara itu dengan tersenyum.
“Kau kira dengan cara itu aku dapat memanfaatkan langkahmu?” bertanya petugas itu, “dengan tersenyum-senyum dan tertawa-tawa kau kira kami akan melupakan tegaknya paugeran yang berlaku?”
Wajah kawan Untara itu menegang. Dengan nada berat ia berkata -Jangan terlalu kasar Ki Sanak.”
“Kami, para pengawal khusus yang bertanggung jawab atas keselamatan Kangjeng Adipati tidak dapat dipermainkan. Kami dapat mengambil langkah-langkah khusus bagi siapa pun.” berkata petugas itu.
“Apa yang dapat kau lakukan?”bertanya kawan Untara, “aku sudah terlanjur menghadap. Aku sudah menerima perintah-perintah dari Kangjeng Adipati, sehingga aku harus mempertanggungjawabkan perintah itu.”
“Kau jangan mencoba mempermainkan kami. Kami adalah prajurit dari pasukan pengawal khusus” berkata perwira yang sedang bertugas itu.
“Kau kira aku apa?” kawan Untara itu kehilangan kesabaran, “aku adalah seorang perwira dari pasukan tempur berkuda. He, kau dengar? Kau jangan mencoba menakut-nakuti aku dengan gelar keprajuritanmu itu. Kita sama-sama prajurit meskipun aku sudah lebih tua dan barangkali nafasku tidak sepanjang nafasmu lagi.”
Wajah perwira yang bertugas itu menjadi merah. Katanya, “Kau berada diantara para pengawal.”
Apa peduliku. Jika kalian mencoba mengganggu aku sekarang, maka kalian akan dihancurkan oleh pasukanku. Apalagi aku membawa perintah Kangjeng Adipati. Setiap usaha kalian menghambat tugasku, maka kalian telah memberontak terhadap Kangjeng Adipati Pajang yang sah sekarang ini. Ingat, kau berada di Pajang. Kau tidak berada di Demak sekarang ini.”
Wajah perwira pengawal itu bagaikan membara. Tetapi sekali lagi kawan Untara itu menjelaskan, “Aku membawa perintah Kangjeng Adipati. Kau dengar?”
Jantung perwira yang sedang bertugas itu serasa berdentang semakin keras. Namun mereka harus berpikir dua kali sebelum mengambil tindakan. Perwira tua itu sudah berhasil menghadap dan menerima perintah-perintah.
Bahkan kawan Untara itu berkata, “Jika dalam waktu singkat, aku belum menghadap bersama orang yang dikehendaki oleh Kangjeng Adipati maka semua tanggung jawab akan aku bebankan kepadamu.”
Perwira yang sedang bertugas itu tidak menjawab. Ia harus menahan kemarahannya di dalam dadanya. Sementara perwira yang telah menghadap Kangjeng Adipati itu pun meninggalkannya dengan langkah yang cepat.
Beberapa saat kemudian, perwira itu telah kembali ke rumahnya dan menemui Untara yang menantinya dengan berdebar-debar. Tanpa menyembunyikan sesuatu, maka kawan Untara itu telah menyampaikan hasil kepergiannya menghadap Kangjeng Adipati.
“Aku tidak dapat menyembunyikan kenyataan, bahwa sekelompok prajurit dari Demak telah melingkari kuasa Kangjeng Adipati.” berkata kawan Untara itu.
Untara mengagguk-angguk. Dengan nada datar ia bertanya, “Jadi, apakah aku dapat menghadap?”
“Ya. Kita pergi bersama-sama” jawab kawannya. Dengan pakaian kebesaran seorang Senapati Mataram. Untara dan Sabungsari telah pergi ke istana bersama seorang perwira Pajang. Kehadiran mereka memang banyak yang menarik perhatian. Para petugas berusaha untuk menahan mereka.
Tetapi kawan Untara berkata, “Ingat. Kangjeng Adipati sekarang masih duduk di Paseban Dalam menunggu kehadiran tamunya dari Pajang yang datang atasnama Panembahan Senapati. Setiap usaha untuk menahannya, maka berarti paksaan bagi Kangjeng Adipati untuk berada di Paseban Dalam menunggu dengan gelisah.”
“Kau selalu mencoba mempergunakan nama Kangjeng Adipati untuk memaksakan kehendakmu” berkata perwira yang bertugas.
“Cobalah datang ke Paseban Dalam. Bertanyalah langsung kepada Kangjeng Adipati” geram perwira itu.
Para petugas tidak dapat menahan mereka lagi. Karena itu, maka dibiarkannya perwira Pajang dari kesatuan tempur berkuda itu membawa Untara dan Sabungsari untuk memasuki ruang penghadapan khusus.
Ternyata Kangjeng Adipati sudah tidak ada di tempat itu. Seandainya perwira yang sedang bertugas itu benar-benar melihat ruang Paseban Dalam, maka ia mungkin akan mengambil langkah-langkah yang lain.
Seorang Pelayan Dalam telah menyampaikan kehadiran Untara dan Sabungsari atas nama Panembahan Senopati kepada Kangjeng Adipati di Pajang, sehingga karena itu, maka Kangjeng Adipati pun telah keluar pula untuk menerimanya, karena sebenarnyalah bahwa Kangjeng Adipati memang sudah menyatakan kesediaannya untuk menerima tamunya itu.
Perwira dari pasukan berkuda Pajang bersama Untara dan Sabungsari benar-benar diterima oleh Kangjeng Adipati Wirabumi di Pajang. Dengan wajah yang nampak bersungguh-sungguh Adipati Pajang bertanya, “Apakah kalian utusan dari Panembahan Senapati di Mataram?”
“Hamba Kangjeng Adipati” jawab Untara, “hamba adalah utusan dari Panembahan Senapati di Mataram.”
“Aku sudah tahu apa yang akan kau katakan, sebagaimana pernah disebut oleh seorang utusan yang datang lebih dahulu dari kalian beberapa saat yang lalu” berkata Adipati Pajang.
Untara mengangkat wajahnya sejenak. Namun wajah itu telah tunduk kembali. Dengan nada dalam Untara berkata, “Ampun Kangjeng Adipati. Hamba adalah sekedar utusan.”
“Ya. Aku tahu. Karena itu, aku perlakukan kau dengan khusus. Aku tahu bahwa kau datang menghadap tidak lewat ketentuan sebagaimana paugeran yang berlaku. Tetapi aku tidak berkeberatan” berkata Adipati Pajang, “bukankah kau mendapat tugas dari Kakangmas Panembahan Senapati untuk Menanyakan pusaka-pusaka yang masih ada di Pajang?” Untara termangu-mangu sejenak. Namun kemudian jawabnya, “Hamba Kangjeng Adipati.”
“Bukankah aku sudah memberikan jawaban kepada Kakangmas Panembahan Senapati beberapa saat yang lalu?” berkata Adipati Pajang itu.
“Panembahan Senapati tidak menyebutkan nya Kangjeng Adipati” jawab Untara.
Kangjeng Adipati itu mengangguk-angguk. Katanya, “Beberapa saat yang lalu aku memang menjawab, agar Kakangmas Panembahan agak bersabar. Baru kemudian aku akan menentukan sikap. Mungkin Panembahan Senapati sekarang sudah menganggap waktunya untuk mempertanyakan lagi tentang pusaka-pusaka itu.”
Untara mengangguk kecil. Katanya, “Mungkin Kangjeng Adipati. Segala sesuatunya terserah kepada Kangjeng Adipati.”
Kangjeng Adipati Wirabumi itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku minta kau bersedia bermalam barang semalam di Pajang. Aku akan membicarakannya dengan para pemimpin dan orang-orang tua yang aku anggap akan dapat memberikan pendapatnya.”
Kawan Untara itu di luar sadarnya telah beringsut sambil menengadahkan kepalanya. Namun kemudian ia pun telah menunduk lagi.
Sementara itu, Kangjeng Adipati telah berkata, “Kau dapat bermalam semalam. Besok aku akan memberikan jawaban.”
Adalah kebetulan sekali bagi Untara, bahwa ia mendapat kesempatan untuk menjawab. Karena dengan demikian ia akan mendapat kesempatan untuk mengenal Ki Tumenggung Wiladipa. Jika ia sendiri tidak sempat bertemu dan berbicara serba sedikit, maka beberapa orang kawan-kawannya tentu akan dapat membantunya. Sebagainya kawannya yang masih tetap berada dilingkungan pasukan berkuda itu.
Karena itu maka katanya, “Ampun Kangjeng Adipati. Hamba akan menunggu sebagaimana titah Kangjeng Adipati.” “Baiklah” berkata Adipati Pajang, “aku perkenankan kau meninggalkan ruang ini. Besok kau dapat menghadap lagi.”
“Terima kasih atas kemurahan hati Kangjeng Adipati yang telah bersedia menerima kedatangan hamba” berkata Untara kemudian.
“Kau adalah utusan Panembahan Senapati” berkata Adipati Pajang, “karena itu aku harus menerimamu sebagai satu penghormatan kepada Panembahan Senapati sendiri.”
Untara mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Hamba mohon diri Kangjeng Adipati. Besok hamba akan menghadap lagi.”
Namun dalam pada itu kawan Untara itu pun berkata, “Ampun Kangjeng Adipati. Betapapun juga, hamba wajib melaporkan, bahwa untuk menghadap Kangjeng Adipati, kami akan mendapat hambatan-hambatan dari para petugas, karena sebenarnyalah kami menghadapi tidak dengan cara yang sewajarnya.”
“Aku akan memerintahkan para pengawal untuk memberikan kesempatan kepada kalian untuk menghadap, kapan saja kalian datang besok.” berkata Kangjeng Adipati, “aku akan menempatkan seorang prajurit Pelayan Dalam untuk berada di parondan.”
“Hamba Kangjeng Adipati. Hamba mengucapkan terima kasih” berkata kawan Untara.
Merekapun kemudian minta diri untuk meninggalkan Paseban Dalam untuk menghadap kembali dikeesokan harinya.
Sebagaimana yang telah mereka duga, ketika mereka berada di longkangan, maka dua orang prajurit telah menunggu mereka dan minta agar mereka singgah di gardu para petugas.
Seorang perwira telah menunggunya bersama perwira yang pada kesempatan menghadap yang pertama bagi kawan Untara, telah memanggilnya.
Dengan wajah yang keras perwira itu bertanya, “Siapakah diantara kalian yang bertanggung jawab atas usaha kalian menghadap Kangjeng Adipati dengan tidak wajar?”
“Seharusnya kau tidak bertanya seperti itu” perwira kawan Untara itulah yang menjawab, “kau tentu sudah tahu dari laporan yang diberikan kepadamu, bahwa akulah yang telah membawa kedua utusan ini menghadap, kenapa kau masih juga bertanya?”
Wajah perwira itu menegang. Namun kawan Untara itu berkata, “Sesuai dengan perintah Kangjeng Adipati, kami tidak boleh menjawab pertanyaan apapun juga.”
“Omong kosong” geram perwira itu.
“Aku akan pergi.” jawab kawan Untara., “Tunggu” minta perwira yang bertugas.
“Tidak” kawan Untara itu pun kemudian menggamit Untara yang termangu-mangu. Katanya, “Kita harus melakukan apa yang diperintahkan oleh Kangjeng Adipati. Jika mereka tidak percaya, biarlah mereka berhubungan dengan Kangjeng Adipati.”
Wajah perwira itu. Menjadi tegang. Namun kawan Untara tidak menghiraukannya. Ia pun melangkah pergi diikuti oleh Untara dan Sabungsari.
Ternyata perwira itu tidak dapat berbuat apa-apa. Setiap langkah mereka dibayangi oleh keterangan kawan Untara, bahwa yang mereka lakukan adalah perintah dari Kangjeng Adipati.
“Jangan sampai terulang lagi” geram perwira itu, “setiap orang yang akan menghadap Kangjeng Adipati harus kita ketahui dengan pasti, apakah maksudnya dan kitalah yang harus mengatur, kapan orang-orang itu dapat menghadap. Jika agaknya orang-orang itu akan membawa persolan yang gawat, maka pertemuannya dengan Kangjeng Adipati harus ditunda sampai Kangjeng Adipati mendapat bahan untuk mengatasi persoalannya.
Para prajurit yang bertugas tidak ada yang menjawab. Mereka hanya menundukkan kepalanya saja. Mereka menyadari, bahwa mereka telah bersepakat untuk sejauh mungkin membatasi hubungan Kangjeng Adipati dengan orang-orang yang tidak mereka kenal dengan pasti sikap dan pandangannya
Terhadap arah perkembangan Pajang sebagaimana mereka kehendaki. Karena itu, maka mereka harus dengan ketat mengamati orang-orang yang atas kehendak mereka sendiri berusaha untuk menghadap apapun keperluannya.
Sementara itu, Untara dan Sabungsari telah berada kembali di rumah Sahabatnya, seorang prajurit dari pasukan berkuda. Namun yang dalam beberapa hal tidak banyak lagi memegang peranan, setelah beberapa kelompok prajurit dari Demak berada di Pajang, sedangkan para pemimpinnya berhasil mengitari Kangjeng Adipati Pajang untuk memberikan batasan-batasan yang tidak disadari oleh Kangjeng Adipati sendiri.
Dalam pada itu, orang-orang Demak yang berada di Pajang itu masih juga dibayangi oleh kekecewaan mereka terhadap kekuasaan Adipati Hadiwijaya yang kemudian diangkat menjadi Sultan di Pajang. Dan yang kemudian dendam itu telah tertuju kepada pemegang Kekuasaan yang menggantikannya, Panembahan Senapati di Mataram. Beberapa orang tua di Demak dengan cerdik telah menurunkan dendam itu kepada angkatan yang lebih muda, sehingga dengan demikian, maka mereka mempunyai dukungan kekuatan untuk berbuat sesuai dengan keinginan mereka. Bahkan mereka telah berhasil mempengaruhi beberapa pihak di Pajang yang juga kecewa terhadap perpindahan kekuasaan dari pajang ke Mataram.
Diantara para pemimpin yang kemudian berada di Pajang adalah Ki Tumenggung Wiladipa.
Untara dan Sabungsari yang mendapat kesempatan untuk berada di Pajang sampai hari berikutnya, ternyata tidak mempunyai kesempatan untuk banyak bergerak. Belum lagi ia sempat beristirahat, maka seorang perwira dan dua orang pengawalnya telah datang kerumah kawan Untara itu.
“Kami ingin bertemu dengan Untara” berkata perwira Itu.
“Untuk apa” bertanya kawan Untara, “ia adalah tamuku. Karena itu, maka kehadirannya di sini adalah dalam tanggung jawabku.”
“Kami tidak akan berbuat apa-apa. Kami hanya ingin berbicara serba sedikit” berkata perwira itu.
Kawan Untara itu pun kemudian memanggil Untara yang berada di gandok bersama Sabungsari, “Berhati-hatilah. Tetapi aku mohon kau mengekang diri sedikit. Bagaimanapun juga, kau berada di antara mereka.”
Untara mengangguk-angguk. Katanya, “Aku akan berusaha. Tetapi aku adalah utusan Panembahan senapati.
“Sebaiknya kau berpijak kepada keberhasilan perjalananmu ini. Bukan sekedar harga diri” berkata kawan Untara.
Untara tidak menjawab. Tetapi ia mengangguk kecil.
Sejenak kemudian, maka Untara dan Sabungsari pun telah duduk di pendapa bersama kawan Untara menghadapi perwira dan orang mengawalnya yang datang ke rumah itu.
Dengan suara yang berat perwira itu berkata, “Untara, kedatanganmu telah menimbulkan berbagai pertanyaan di kalangan para prajurit. Terutama para prajurit Pajang sendiri. Beberapa orang perwira telah datang kepadaku untuk mempertanyakan kehadiranmu.”
“Apa yang mereka pertanyakan?” bertanya Untara.
“Kau datang atas nama siapa?” jawab perwira itu, “hal ini mereka tanyakan, karena kau bagi mereka, sekali lagi aku ulangi kau bagi mereka adalah seorang pengkhianat.”
HABIS
matursuun pak de… kekekek
terimakasih atas kesempatan bisa membaca kembali cerita yang pernab saya baca pada th1983 .waktu saya tinggal di surabaya