Buku II-91

191-00

Laman: 1 2

Telah Terbit on 29 Maret 2009 at 10:33  Comments (198)  

The URI to TrackBack this entry is: https://adbmcadangan.wordpress.com/buku-ii-91/trackback/

RSS feed for comments on this post.

198 KomentarTinggalkan komentar

  1. nyi senopati di teks atas halaman dua panjenengan menyebutkan I don’t like Monday. dengan mencoret teks don’t berarti maksudnya kita menyukai hari senin ini kan. Tetapi hari ini kelihatannya kitab tidak diwedar ternyata nyi seno berarti memberi contoh kebohongan karena tentu saja jika tidak diwedar maka kita idak suka hari senin ini, maaf nyi, ini menurut rabaan perasaan saya lho. Sedang Kita kan akan membawa nafas ADBM di tingkah laku kita sehari-hari untuk membangkitkan negara yang sedang sakit ini. Moga2 rabaan / pengamatan saya tidak tepat karena akhirnya jilid 191 diwedar hari ini. Maksih sebelumnya Nyi Seno.

  2. jika kitab tidak di wedar ya I don’t like monday too,

  3. I like monday 🙂 (tetap senyum)

  4. Selamat pagi Nyi Seno …

    Suka nggak suka ” Monday ” mudah 2 an hari
    ” Tuesday ” lebih cerah … ( kalo kihab 191 dan 192 ) di wedar hari ini ….

  5. Selamat malam Ki sanak.

    Malam ini tampaknya banyak yang ronda. Sambil nunggu diwedarnya kitab 191.

    Siapa yang punya ketela, jagung atau apa saja untuk dibakar sambil ronda. Wedang ronde, angle, jahe, STMJ atau apa saja untuk menghangatkan badan pada saat malam semakin dingin.

    Saya menemani tetapi tidak terlalu larut seperti kemarin.

    Monggo.

  6. mudah2an ini detik-detik kitab diwedar…

  7. Petanda 9
    0,09…. belum diwedar…, berarti besok…

  8. hari senen sudah lewat kitab belum di keluarken apa artinya petunjuk di halaman 2 yach?

  9. Istirahat saja dulu Ki Dewo1234

    Tampaknya Nyi Senapati sudah Tidur

  10. Besok pagi keknya rapelan 2 kitab sekaliguz…

  11. Really,
    I Don’t Like hate Monday

  12. belum toch

  13. Ini sudah selasaaaaaaa…….

  14. lho di sini masih senin lho, hehehehe

  15. huaaaaaaheeemmmmm

  16. Wach sama Ki Manahan disini jg masih senin 2 jam lagi masuk hari selasa hehehe…

  17. Nyi Senopati said: I like Monday

    Monday, bagi Nyi Senopati ….

    1. Hari istirahat …. tidak perlu mewedar kitab 191.
    2. Hari yang membuat hati mekar, sebab semua cantrik .. akan menyapa dengan extra ramah …..
    3. Hari yang bisa membuat semua cantrik “kebakaran jenggot …” karena menunggu jatah kelamaan.
    4. Hari yang bisa membuat Raden Mas Lateung …. muncul dari kayangan dengan ontran-2 yang usang …
    “tahan dulu … selama mungkin. Satu minggu satu kitab ….”
    5. Hari makan sate daging harimau …. sajian Tumenggung Mataram.
    6. Apa lagi ya ….

    Selamat ronda ki Manahan dan siapa lagi … yang lagi mbakar singkong itu ..

  18. Yang benar Waktu Indonesia….apa Waktu Mesir nich….

  19. ho oh

  20. lho ??????????????????????????????????

  21. hmm … tak rewangi mruput neng warnet sing durung wayahe bukak…jebul durung ono tenan…

    sibuk kampanye koyone,….mandhegani partai opo nyimas?

  22. Suwun Nyi ….don’t worry ternyata

  23. ma.. acih sekaliiiiiiiiii

  24. Matur nuwun Nyi S. 🙂

  25. thank u..Nyi……

  26. nyii…. tengkiuuuuu

  27. selasa indah,makasih

  28. Hatur nuhun nyi Seno…..

    buku 191 sudah diambil

  29. ki sanak,

    hari-hari tertentu pasti memiliki kesannya sendiri-sendiri bagi ki sanak. ada yang begitu mengagungkan hari sabtu sebagai akhir dari satu minggu setelah 5 hari lamanya mencangkuli sawah, ada yang menganggap hari jumat tanggal 13 sebagai hari yang keramat, namun ada juga yang menyikapi hari-harinya sebagaimana biasa hari-hari lain berlaku kepadanya.

    bagi saya, hari ini adalah hari yang cukup spesial, karena kitab 191 sudah diedarken oleh nyai seno.. 🙂

    trima kasih nyai…

  30. matur suwun nyi seno…
    kitab 191 sampun kulo pendet…

  31. Trims…

  32. don’t forget kitab sudah keluar

  33. terimakasih kitabnya Nyi Seno …

  34. Wah ternyata memang harus nunggu ganti hari dulu baru diwedhar, jangan2 kemarin Nyi Seno sibuk ikutan kampanye di senayan

    Matur nuwun

  35. he3x…
    klo api dibukit menoreh yank dulu pernah digembar-gemborin ma indosiar gimane yee nasibnye…

  36. don’t forget, to remember me, my love….
    Matur thankyou para bebahu padepokan

  37. hatur nuhun nyai seno,
    ternyata memang kitab diedar monday.
    disini masih monday kok, 9 jam yg lalu 🙂

  38. Matur nuwun Ki GD, Nyai Seno n para bebahu padepokan….

  39. haturnuhunn ki GD nyi SENO
    kitap sudah di unduh 😀
    sabar berbuah maniss

  40. Siap menanti rontal berikutnya…:))

    • Ngapunten Ki sanak.

      Piranti kangge retype kula (Kiai Omnipage) nembe ngadat, dereng saged nerusaken lakonipun AS lan GP.

      Sabar nggih….

  41. ngantri lagi sembari leyeh-leyeh lagiiiiiiiiiii

  42. Nyicil sebagian dulu Ki sanak JILID 191 Bagian 1, halaman 6-43 KETIKA kemudian matahari menjadi semakin tinggi, maka Ki Gede pun minta kepada Agung Sedayu untuk menjemput Kiai Gringsing, Kiai Jayaraga dan yang terpenting adalah Ki Widura Seseorang yang pernah menjadi seorang Senapati Pajang pada masa kajayaan Kangjeng Sultan Hadiwijaya. Apakah Ki Widura pernah mengenal seorang perwira Pajang yang bernama Wiladipa. Karena rumah Agung Sedayu tidak jauh dari rumah Ki Gede, maka sejenak kemudian, orang-orang yang dijemputnya itu pun telah berada pula dipendapa. Sementara itu Ki Gede pun telah menyatakan pertanyaannya tentang orang orang bernama Wiladipa itu kepada Ki Widura. “Wiladipa bukan seorang Senapati Pajang pada masa pemerintahan Kangjeng Sultan Hadiwijaya” jawab Ki Widura, “aku memang mengenal seseorang yang bernama Wiladipa. Juga seorang prajurit. Tetapi ia berkedudukan di Demak.” “Pengenalanku atas orang yang bernama Wiladipa itu seperti juga Ki Widura” berkata Ki Gede, “aku mengenal seseorang yang bersama Ki Wiladipa sebagai seorang Senapati Demak. Tetapi memang ada satu kemungkinan bahwa Ki Wiladipa itu kini berada di Pajang.” “Mungkin sekali” jawab Ki Widura, “tetapi apakah ada hubungannya dengan kehadiran orang-orang Pajang, itu di Tanah Perdikan ini?” “Ki Tumenggung Wiladipa lah yang mengatur mereka” jawab Ki Gede. Ki Widura mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Tetapi aku sudah terlalu lama meninggalkan lapangan keprajuritan. Mungkin Ki Gede dapat berhubungan dengan Ki Lurah Branjangan, atau mungkin lebih jelas lagi Ki Widura dapat berbicara dengan Untara. Meskipun Untara labih banyak tidak berada di Kota Raja pada waktu itu, karena ia bertugas di luar Kota Raja dan berkuasa di daerah Selatan, tetapi aku kira ia banyak juga mengenal perwira-perwira Pajang.” Ki Gede mengangguk-angguk. Namun ia pun kemudian berkata, “Tetapi, jika yang aku kenal itu adalah Ki Wiladipa yang benar-benar berada di Pajang sekarang ini, maka orang itu harus mendapat perhatian khusus.” “Kenapa?” bertanya Kiai Gringsing. “Ia adalah orang yang memiliki keinginan dan jangkauan yang tidak terbatas. Perasaannya bergejolak seperti air yang mendidih. Ia lebih banyak berbangga tentang dirinya sendiri dan yang labih buruk lagi, ia terlalu mementingkan dirinya sendiri pula. Jika ia dari Demak berada di Pajang, tentu bukannya tanpa maksud.” berkata Ki Gede. Kiai Gringsing• mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Apakah Ki Gede menghubungkan kehadiran orang itu di Pajang dengan kemelut yang terasa semakin panas sekarang ini?” Ki Gede mengangguk. jawabnya, “Agaknya memang demikian. Jika semula, Mataram dapat berharap Pajang menjadi perisai utama jika Madiaun bergolak, maka keadaan justru jauh berbeda. Justru Pajang sendiri yang bergolak sekarang ini. Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Memang ada baiknya Ki Gede berhubungan secepatnya dengan Ki Lurah Branjangan dan apalagi Untara. Dengan demikian, maka Ki Gede akan dapat menyusun laporan yang akan berguna bagi Mataram menghadapi Pajang. Sebenarnya Panembahan Senapati sangat menghargai putera menantu Kangjeng Sultan Hadiwijaya yang diberinya kesempatan untuk berada di Pajang atas pendapat beberapa orang yang berpengaruh di Demak. Namun agaknya kehadirannya di Pajang tidak membawa ketenangan dalam, hubungannya dengan Mataram. Mungkin Adipati Pajang itu sendiri tidak terlalu bernafsu untuk menentang Mataram.” “Namun kehadiran orang-orang Demak di Pajang itu mungkin berpengaruh atas sikapnya.” Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Yang paling cepat dapat aku hubungi adalah Ki Lurah Branjangan. Namun aku benar-benar ingin mendapat keterangan tentang Wiladipa itu, karena Wiladipa yang aku kenal di Demak itu bukannya orang yang dapat dianggap menguntungkan bagi lingkungannya.” Demikianlah untuk beberapa saat mereka masih harus berbincang. Namun kemudian Kiai Gringsing berkata, “Jika Ki Gede akan pergi ke barak, marilah. Aku ingin ikut serta.” “Baiklah Kiai” jawab Ki Gede, “aku akan berkemas sejenak.” Dengan mengajak Agung Sedayu, maka Ki Gede dan Kiai Gringsing pun telah pergi ke barak pasukan khusus yang berada di Tanah Perdikan, sementara Kiai Jayaraga dan Ki Widura untuk sementara telah diserahi ikut mengawasi orang-orang yang ditawan di gandok. Kedatangan Ki Gede di barak itu memang telah mengejutkan Ki Lurah Branjangan. Dengan segera Ki Gede pun dipersilahkan untuk masuk ke dalam sebuah ruang yang khusus bagi Ki Lurah untuk menerima tamu-tamunya yang khusus pula. Ketika mereka sudah duduk di sebuah amben bambu yang dialasi dengan tikar pandan yang putih, maka Ki Gede pun telah memberitahukan apa yang terjadi di Tanah Perdikan semalam. “Aku juga sudah mendapat laporanKi Gede” berkata Ki Lurah, “tetapi belum jelas. Kami hanya tahu, bahwa semalam tentu telah terjadi sesuatu. Ada beberapa sosok mayat yang dikuburkan pagi ini. Jika Ki Gede tidak datang kemari maka mungkin aku atau pembantuku akan datang kerumah Ki Gede untuk mendapatkan keterangan tentang peristiwa.yang telah terjadi semalam.” “Yang kemudian menarik perhatianku, salah seorang di antara mereka yang datang itu telah menyebut nama Ki Tumenggung Wiladipa yang telah memerintahkan mereka datang ke Tanah Perdikan ini, bahkan ke daerah-daerah yang dianggap mendukung Mataram, untuk mengetahui kekuatan yang ada di daerah itu.” berkata Ki Gede. Ki Lurah pun mengangguk-angguk. Sementara Ki Gede pun telah memberitahukan pula bahwa ampat orang yang terbunuh itu adalah karena tingkat Raden Rangga. Ki Gede yang tertarik kepada nama Wiladipa itu pun kemudian bertanya, “Apakah Ki Lurah mengenalnya?” Ki Lurah Branjangan mendengarkan semua keterangan Ki Gede dengan saksama. Ia pun tertarik pula kepada nama Ki Tumenggung Wiladipa. Bukan karena ia sudah mengenalnya, tetapi justru karena nama itu belum pernah didengarnya selama ia berada di Pajang. Karena itu maka ia pun kemudian menjawab, “Aku belum pernah mengenalnya sebelumnya Ki Gede. Mungkin Wiladipa adalah orang baru di Pajang, sehingga orang-orang yang sudah lama meninggalkan Pajang seperti aku, belum pernah mengenalnya.” Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, “Mungkin orang itu benar orang yang pernah aku kenal. Tetapi tidak di Pajang. Aku mengenal seseorang yang bernama Wiladipa sebagai seorang prajurit Demak. Sebagaimana juga Ki Widura pernah mengenainya.” “Memang mungkin” jawab Ki Lurah, “beberapa orang Demak memang berada di Pajang menurut pendangaranku. Agaknya di antara mereka terdapat seseorang yang bernama Wiladipa itu.” Ki Gede berpaling kearah Kiai Gringsing sambil berkata, “Jadi, apakah sebaiknya kita mencoba menghubungi Untara untuk memperlengkap laporan kita?” “Agaknya memang lebih baik” jawab Kiai Gringsing, “Untara adalah seorang Senapati yang berada dalam lingkungan keprajuritan Pajang sampai saat terakhir.” “Tetapi mungkin Untara pun tidak mengenalnya” berkata Ki Lurah. “Jika demikian, maka akan menjadi lehih jelas hagi karni, bahwa di Pajang memang terdapat beberapa orang pemimpin prajurit dari Demak, sehingga mereka mempunyai pengaruh yang kuat atas Adipati Pajang.”berkata Kiai Gringsing. Ki Gede dan Ki Lurah mengangguk-angguk. Dengan nada datar Ki Lurah berkata, “Agaknya masih ada juga orang-orang Demak yang tidak ikhlas melihat perkembangan pernerintahan sejak dari Demak ke Pajang dan kemudian ke Mataram sekarang ini. Orang itu tentu orang-orang tua, setua Sultan Hadiwijaya itu sendiri.” “Ya. Jika Wiladipa itu benar Wiladipa yang aku kenal, ia sudah setua aku. Sudah setua Sultan Hadiwijaya” berkata Ki Gede, “Tetapi pengaruhnya tentu akan menyentuh anak-anak muda dan prajurit-prajurit muda yang ada di Demak dan Pajang. Bahkan Adipati Demak. Sehingga mereka telah mengambil langkah-langkah yang dapat membakar hubungan antara Pajang dan Mataram.” “Memang sebaiknya Ki Gede segera menyampaikan laporan itu kepada Mataram, agar Mataram tidak terlambat mengambil langkah-langkah yang diperlukan. Persoalannya bukan persoalan yang sederhana. Yang akan menjadi taruhan adalah kelangsungan hidup Mataram itu sendiri. Mungkin Pajang mengharap untuk dapat menyaingi Mataram dengan dukungar beberapa orang Adipati. Apalagi beberapa buah pusaka dar benda-benda berharga masih berada di Pajang, sehingga dengar demikian maka Adipati Pajang menganggap bahwa wahyu keraton tentu masih berada di Pajang.” berkata Ki Lurah Branjangan. “Setidak-tidaknya pendapat itu karena pengaruh orang-orang Demak yang ada di Pajang.” desis Kiai Gringsing. Ki Lurah mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Memang demikian agaknya. Karena itu, maka aku harus menyiapkan pasukan ini lagi untuk menghadapi segala kemungkinan setelah pasukan khusus ini sempat beristirahat beberapa lamanya.” “Agaknya persiapan itu memang diperlukan” berkata Ki Gede mendahului perintah dari Panembahan Senapati. Tetapi jika perhitungan ini benar, maka yang akan terjadi tentu akan menyangkut pasukan ini pula.” Ki Lurah mengangguk-angguk pula sambil berdesis, “Ya. Tetapi tentu bukan hanya pasukan khusus ini saja. Tetapi tentu juga kekuatan yang mendukung berdirinya Mataram akan menjadi landasan kekuatan Mataram. Meskipun jika Pajang berhasil menghimpun beberapa Kadipaten untuk bersatu menentang Mataram, Mataram harus benar-benar berjuang dengan mengerahkan segenap kekuatan yang ada, karena sebenarnyalah jumlah kekuatan Mataram masih belum terlalu besar.” “Tetapi Mataram berdiri dengan melalui perjuangan yang berat. Karena itu, Mataram akan mampu mempertahankan kehadirannya sebagai pemimpin atas Tanah ini.” berkata Kiai Gringsing. Dengan demikian, maka Ki Gede pun merasa cukup mendapatkan tambahan keterangan tentang orang yang bernama Wiladipa itu dan keterangan Ki Gede justru telah menggerakkan Ki Lurah untuk bersiap-siap mendahului perintah Panembahan Senapati. Agaknya orang yang bernama Wiladipa itu benar-benar orang yang pernah dikenalnya sebagai seorang perwira di Demak. Dengan segala macam gejolak keinginannya yang melambung tinggi, maka memang tidak mustahil bahwa orang itu telah berusaha mempengaruhi Adipati Pajang. Jika Pajang mampu mengangkat kedudukannya menjadi pimpinan tertinggi pemerintahan di Tanah ini mendesak Mataram, maka ia tentu akan mendapat kedudukan yang jauh lebih baik dari kedudukannya yang telah diperolehnya di Demak dan kemudian di Pajang. Sejenak kemudian, maka Ki Gede dan Kiai Gringsing pun telah meninggalkan barak pasukan khusus itu. Sambil berkuda kembali, Ki Gede bertanya, “Apakah kita masih mungkin mendapat keterangan dari orang lain?” “Selain Untara maksud Ki Gede?” bertanya Kiai Gringsing pula. “Ya. Selain Untara” jawab Ki Gede. “Aku tidak melihatnya” berkata Kiai Gringsing. Lalu, “Sementara Untara pun aku kira hanya akan dapat memberikan keterangan sebagaimana diberikan oleh Ki Lurah. Meskipun demikian kita dapat mencobanya. Mungkin sebagai seorang perwira Pajang, Untara juga pernah berhubungan dengan Ki Tumenggung Wiladipa selagi Ki Tumenggung itu masih bertugas di Demak.” “Jika demikian, kita akan pergi ke Jati Anom” berkata Ki Gede pula. “Kita akan menemui Untara.” “Ya. Sebaiknya aku mempunyai kawan untuk kembali ke padepokan kecilku.” Ki Gede mengangguk-angguk. Namun kemudian ia pun bertanya, “Tetapi apakah keperluan Kiai di Tanah Perdikan ini telah selesai?” “Aku tidak mempunyai satu kepentingan yang mengikat” berkata Kiai Gringsing, “aku telah berada di Tanah Perdikan ini untuk waktu yang cukup lama. Serta telah melihat kemampuan seorang anak yang masih sangat muda, namun benar-benar diluar batas kemampuan nalar untuk menilai ilmunya. “Raden Rangga?” bertanya Ki Gede. “Ya. Ia memang memiliki ciri-ciri ilmu dari satu masa yang sekarang sudah sangat jarang. Tidak ada seorang guru yang akan mampu menuntunnya sehingga pada umurnya ia memiliki kemampuan yang demikian tingginya. Pada suatu saat orang-orang menjadi heran akan kemampuan Agung Sedayu pada umurnya yang masih terhitung muda pada waktu itu. Mungkin juga orang menjadi heran melihat Glagah Putih sekarang memiliki ilmu yang sudah pantas untuk diketengahkan dalam dunia olah kanuragan. Namun ternyata anak yang masih terlalu muda dan bernama Raden Rangga itu memiliki kemampuan jauh lebih tinggi dari Agung Sedayu dan Glagah Putih pada umur yang sama.” berkata Kiai Gringsing. Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, “Menurut pendengaranku, ayahandanya pun merasa sulit untuk mengatasi tingkah lakunya. Mudah-mudahan ia tidak menimbulkan persoalan di Tanah Perdikan ini, karena sependengaranku, ia sering berada disini dan bermain-main dengan Glagah Putih.” “Ia kawan baik Glagah Putih” berkata Kiai Gringsing, “dan aku pun yakin, ia menghormati Agung Sedayu meskipun jika ia menginginkan, mungkin saja ia berbuat sesuatu yang aneh-aneh disini. Tetapi mudah mudahan tidak dilakukannya. Ki Gede mengangguk-angguk pula. Katanya, “Tetapi agaknya selama ini ia memang tidak berbuat apa-apa di sini selain mengadakan latihan bersama Glagah Putih.” Kiai Gringsing tidak menjawab lagi. Tetapi ia pun kemudian berbicara tentang rencana Ki Gede untuk pergi ke Jati Anom untuk bertemu dengan Untara. Ketika mereka memasuki rumah Ki Gede di padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh, maka mereka telah bersepakat untuk dalam waktu yang dekat pergi sesuai dengan rencana mereka. “Kita akan membawa Agung Sedayu” berkata Ki Gede, “dengan demikian aku akan mempunyai kawan kembali ke Tanah Perdikan ini.” “Lalu bagaimana dengan tawanan-tawanan itu?” bertanya Ki Gede. “Aku dapat menitipkannya di barak pasukan khusus atau menyerahkan mereka kepada Kiai Jayaraga dan Sekar Mirah.” jawab Ki Gede. “Yang lebih aman adalah menitipkan mereka di barak pasukan khusus. Namun dengan keterangan bahwa mereka masih belum kita serahkan. Mungkin kita masih memerlukan mereka.” berkata Kiai Gringsing kemudian. Demikianlah, maka ketika mereka telah berada di rumah Ki Gede serta duduk di antara para pemimpin Tanah Perdikan Menoreh, termasuk Kiai Jayaraga dan Ki Widura, Ki Gede pun telah menyatakan niatnya untuk pergi ke Jati Anom dan berbicara dengan Untara. “Jika Ki Gede tidak dapat meninggailkan Tanah Perdikan, biarlah aku saja yang pergi” berkata Agung Sedayu. Tetapi Ki Gede menggeleng. Katanya, “Aku akan pergi untuk beberapa hari saja. Aku percayakan Tanah Perdikan ini kepada para pemimpin yang akan dikawani oleh Kiai Jayaraga dan Sekar Mirah. Di samping mereka, maka aku akan minta agar Ki Lurah Branjangan ikut mengawasi keadaan Tanah Perdikan ini. Sementara itu:, maka para tawanan akan aku titipkan kepada Ki L.urah di barak pasukan khusus.” Para pemimpin Tanah Perdikan itu tidak berkeberatan. Di Tanah Perdikan itu ada Kiai Jayaraga dan Sekar Mirah. bahkan Glagah Putih pun telah memiliki kemampuan yang cukup tinggi. Apalagi jika pasukan khusus Mataram di tanah Perdikan itu bersedia membantu pula untuk mengamati ketenangan dan ketenteraman Tanah Perdikan itu. Untuk beberapa saat Ki Gede masih berbincang tentang rencana keberangkatannya. Sehingga akhirnya mereka bersepakat untuk berangkat selang sehari kemudian. Waktu yang sehari itu akan dipergunakan oleh Ki Gede untuk menghubungi dan bahkan sekaligus menyerahkan oleh Ki Gede untuk menghubungi dan bahkan sekaligus menyerahkan para tawanan kepada Ki Lurah Branjangan. “Kami menitipkan mereka” berkata Ki Gede. “Baiklah Ki Gede. Kami akan mengawasi orang-orang itu. Jika Ki Gede kembali dan memerlukan mereka setiap saat, mereka akan kami serahkan kembali.” jawab Ki Lurah Branjangan. “Jika laporan kami telah lengkap, maka mereka pun akan kami,serahkan kepada Mataram” berkata Ki Gede kemudian. Ki Lurah mengangguk-angguk. Jawabnya, “Mudah-mudahan perjalanan Ki Gede ke Jati Anom menghasilkan kesimpulan yang Ki Gede harapkan tentang orang-orang itu. Demikianlah, yang sehari itu sempat dipergunakan Ki Gede untuk mengatur segala sesuatunya. Sekar Mirahlah yang kemudian akan banyak dihubungi oleh para pemimpin Tanah Perdikan selama Ki Gede tidak ada, di bantu oleh Kiai Jayaraga, seorang yang dianggap memiliki kemampuan yang tinggi dan pengetahuan yang cukup. Ketika pada saat yang ditentukan, matahari terbit di Ti mur, Ki Gede telah bersiap untuk berangkat bersama Kiai Gringsing yang akan kembali ke padepokan kecilnya serta mencari kesempatan untuk mempelajari dan mengurai perkembangan ilmuRaden Rangga diikuti oleh Ki Widura dan Agung Sedayu. Kepada anak laki-lakinya, Widura memberikan beberapa pesan agar anaknya tidak memilih jalan yang salah. Demikian juga Agung sedayu telah memberikan beberapa petunjuk kepadanya. Bukan saja bagi dirinya sendiri, tetapi juga bagi anak-anak muda Tanah Perdikan. Juga kepada Sekar Mirah Agung Sedayu memberikan pesan-pesannya, agar Sekar Mirah dapat membantu dengan sebaik-baiknya para pemimpin dan tetua Tanah Perdikan Menoreh. Sejenak kemudian, setelah segalanya siap, maka iring-iringan kecil itu pun meninggalkan rumah Ki Gede di Tanah Perdikan Menoreh. Sekar Mirah, Glagah Putih dan Kiai Jayaraga telah melepas mereka di rumah Ki Gede pula. Perlahan-lahan iring-iringan itu menyusuri jalan padukuhan induk. Beberapa orang yang melihat mereka memberikan hormat. Mereka pada umumnya sudah mendengar, bahwa Ki Gede akan pergi ke Jati Anom. Tetapi tidak banyak orang yang tahu, apakah keperluan Ki Gede yang sebenarnya. Tetapi orang-orang di luar padukuhan induk, masih banyak yang bertanya-tanya ketika mereka melihat Ki Gede bersama beberapa orang meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh. Namun Ki Gede pun hanya sekedar menjawab, bahwa ia akan melepaskan lelah untuk dua tiga hari dengan sebuah perjalanan yang tidak terlalu panjang. “Aku ingin merupakan kesibukanku untuk dua tiga hari di padepokan Kiai Gringsing” jawab Ki Gede ketika seseorang bertanya kepadanya di perjalanan menjelang perbatasan. Orang-orang itu hanya mengangguk-angguk saja. Mereka tidak bertanya iebih jauh dari pengertian mereka atas jawaban Ki Gede. Sejenak kemudian, maka Ki Gede pun telah sampai di tepian Kali Praga dengan selamat. Tidak hanyak persoalan yang mereka jumpai di penyeberangan. Bahkan Ki Gede sempat melerai dua orang yang bertengkar karena rnasing-masing memang memiliki sedikit kesombongan di dalam diri. Ketika keduanya saling memandang selama mereka berada di atas rakit, maka tiba-tiba saja keduanya menjadi marah dan merasa pandangan mata itu sebagai penghinaan dan bahkan tantangan. “Memang aneh” berkata Ki Gede kepada keduanya “tidak ada sepatah kata pun yang terlontar dari mulut kalian sebelumnya. Namun kalian sudah merasa ditantang satu sama lain.” “Orang itu memandang aku seperti memandang seekor serigala” geram yang seorang. “Dia yang memandangku dengan tatapan mata burung hantu” teriak yang lain. “Lihat” berkata Ki Gede, “kalian tidak hanya berdua di atas rakit ini. Orang-orang lain, terutama perempuan-perempuan yang akan pergi atau pulang dari pasar itu menjadi ketakutan. Dan apakah keuntungan kalian jika kalian berkelahi karena sebab yang tidak jelas? Bukankah kalian hanya akan mendapat kesulitan saja dan barangkali justru kesakitan.” Kedua orang itu tidak menjawab. Masing-masing telah melemparkan pandangan mata nrereka ke arus Kali Praga yang berwarna kecoklatan. Tetapi yang seorang masih saja menggeram menahan marah. “Sebaiknya kita mencari teman di perjalanan” berkata Ki Gede kemudian. Memang tidak ada jawaban. Yang seorang agaknya tidak lagi mempersoalkan. Tetapi yang seorang justru menggeretakkan giginya. Agung Sedayu lah yang memperhatikan orang itu. Karena itu, ia masih juga mencemaskannya, bahwa jika mereka naik ketepian, orang yang marah itu akan mengambil sikap yang tidak dikehendaki. Sehingga pertengkaran masih akan dapat timbul. Ternyata yang dicemaskan Agung Sedayu itu benar-benar terjadi. Demikian orang-orang yang berada di atas rakit itu turun dan membayar beaya penyeberangan masing-masing, maka tiba-tiba saja orang yang masih marah itu telah dengan serta-merta mereka menyerang, sehingga beberapa orang telah menjerit karenanya. Orang yang tidak menyadari bahwa serangan itu akan datang demikian tiba-tiba justru ketika ia merasa bahwa persoalannya sudah selesai, benar-benar terkejut. Ia sama sekali tidak sempat untuk mengelak sehingga karena itu, maka ia pun telah terlempar beberapa langkah dan jatuh terguling. Namun sebenarnyalah Agung Sedayu melihat, bahwa yang menyebabkan orang itu terlempar, bukan saja karena ia tidak bersiap menghadapi kemungkinan itu, tetapi orang yang menyerang itu memang memiliki tenaga yang cukup besar. Beberapa orang yang turun dari rakit itu, termasuk Ki Gede, Ki Widura dan Agung Sedayu berusaha untuk mencegah perkelahian itu berkepanjangan, sementara itu orang yang terjatuh itu pun berusaha untuk dapat bangkit dan berdiri. Tetapi orang yang marah itu sama sekali tidak menghiraukannya. Seorang laki-laki yang berusaha memegangi lengannya telah dikibaskannya. Bahkan sekaligus ditendangnya sehingga orang itu berteriak kesakitan. Seorang anak muda yang lain, yang menyekapnya dari belakang, telah mengalami nasib yang buruk. Sambil membungkuk orang itu meraih kepala anak muda yang menyekapnya. Kemudian dengan satu hentakkan anak muda itu terlempar lewat diatas kepala orang yang marah itu. Untunglah, bahwa Agung Sedayu bertindak cepat. Dengan serta merta ia pun berusaha untuk menangkapnya, sehingga anak muda itu tidak terbanting jatuh di tanah dengan kerasnya, karena dengan demikian akan dapat mematahkan tulang punggungnya. Sementara itu, orang yang mula-mula diserang itu pun telah berdiri tegak. Tetapi menurut pengamatan Agung Sedayu, keduanya sama sekali tidak seimbang. Karena itulah, maka ketika beberapa orang sudah dikibaskannya, Agung Sedayulah yang berusaha mencegahnya. Sambil berdiri dihadapan orang itu Agung Sedayu berkata, “Sudahlalr Ki Sanak. Bukankah kalian tidak terlibat dalam satu persoalan yang berat? Bukankah kalian sekedar salah paham dan kemudian membuat kalian masing-masing tersinggung?” “Minggir” geram orang yang marah itu aku akan membunuhnya. “Apakah cukup alasan bagimu Ki Sanak, bahwa dengan demikian kalian akan membunuh?” bertanya Agung Sedayu. “Persetan” teriak orang itu, “jika kau tidak mau minggir juga, maka kau pun akan mati.” Agung Sedayu sernpat berpaling. Orang yang telah bangkit dan tertatih-tatih berdiri itu ternyata menjadi ketakutan melihat sikap orang yang mendendamnya. DENGAN demikian maka Agung Sedayu pun mengerti, jika terjadi juga perkelahian, maka perkelahian itu tentu bukan perkelahian yang seimbang Agaknva orang yang baru saja tegak dengan susah payah itu, memang bukan seorang yang mampu berkelahi meskipun ia harus membela diri ketika seseorang marah kepadanya karena salah paham itu. Karena itu, maka Agung Sedayu pun berkata, “Ki Sanak. Lihatlah. Orang itu agaknya sudah tidak lagi mempersoalkan apa yang baru saja terjadi. Sebaiknya kalian saling memaafkan dan dengan demikian persoalan kalian telah dihapuskan.” “Diam” orang itu justru membentak, “aku memang ingin menyelesaikan persoalan. Tetapi dengan caraku.” “Orang itu sudah menjadi ketakutan” berkata Agung Sedayu, “jika demikian baiklah, biarlah orang itu minta maaf kepadamu. Mungkin ia tidak berkeberatan. Dengan demikian maka sudah tidak akan ada lagi persoalan diantara kalian dimana pun kalian bertemu. minta maaf dan persoalan telah selesai” orang itu bergumam. Namun tiba-tiba ia berteriak, “Tidak. Aku harus membuktikan bahwa persoalan memang sudah selesai. Aku memang akan menyelesaikannya. Melawan atau tidak melawan. Setidak-tidaknya aku akan dapat meninggalkan bekas kemenanganku atas orang itu.” “Apa yang kau maksud?” bertanya Agung Sedayu. “Aku dapat mematahkan tangannya atau kakinya. Itu sudah cukup meskipun aku dapat mematahkan lehernya. Dengan cacatnva ia akan selalu merasa dirinya kecil dan seharusnya ia tidak berani menentang mataku.” jawab orang itu. Agung Sedayu menarik nafas sambil menggeleng. Katanya, “Jangan sewenang-wenang. Kau harus memaafkan orang yang mengaku bersalah kepadamu. Dengan demikian kau akan dapat menuniukkan kebesaran jiwamu. Bukan dengan penyelesaian sebagaimana kau maksudkan. Sebab hal itu justru akan mengundang persoalan yang lebih besar lagi.” “Persetan” geram orang itu, “minggir, atau kaulah yang akan aku patahkan tangan dan sekaligus kakimu, agar kau pun tidak menjadi sombong dan mengajari aku dengan sikap hidup seperti itu.” Agung Sedayu termangu-mangu. Beberapa orang yang bersama-sama naik diatas rakit masih berdiri dengan wajah yang tegang., melihat apa yang akan terjadi kemudian. Perempuan dan anak-anak menjadi ketakutan. Tetapi mereka masih belum beranjak pergi. Dalam pada itu, maka Agung Sedayu pun berkata, “Ki Sanak. Jika kau terlalu berpegang kepada harga diri yang berlebihan seperti itu, maka kau tentu akan banyak mendapat lawan. Sebaiknya kau menyadari, bahwa hubungan di antara sesama memang memerlukan keikhlasan untuk saling memberi dan menerima.” “Cukup” orang itu berteriak semakin keras. Lalu, “aku akan menghitung sampai tiga. Jika kau masih tetap berada disitu, maka kaulah yang pertama-tama akan mengalami nasib buruk. Bukan orang yang sombong yang telah berani menentang mataku itu.” “Maaf Ki Sanak. Aku tidak akan minggir. Aku ingin mencegah kalian berkelahi tanpa alasan yang kuat. Apalagi dengan niatmu untuk membunuh atau membuatnya cacat hanya karena kalian saling memandang di atas rakit itu.” jawab Agung Sedayu. Orang itu memandang Agung Sedayu dengan mata yang bagaikan menyala oleh kemarahan yang menghentak-hentak isi dadanya. Sambil menggeretakkan giginya ia beringsut maju. Dengan suara gagap oleh kemarahan ia berkata, “Jadi kaulah yang akan mengalami nasib yang sangat buruk itu?” Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia pun telah mempersiapkan diri. Ia tidak mengetahui, seberapa tinggi ilmu orang itu. Karena itu, maka ia harus menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi. Kiai Gringsing dan Ki Gede serta Ki Widura hanya dapat memandangi peristiwa yang bakal terjadi itu. Namun mereka yakin bahwa Agung Sedayu tidak akan terseret kedalam arus perasaannya seperti laki-laki yang dihadapinya itu. Agung Sedayu tentu akan dapat menimbang mana yang baik dilakukan dan mana yang tidak. Karena itu maka mereka pun tidak mencegah usaha Agung Sedayu untuk mengurungkan perkelahian itu. Dalam pada itu, laki-laki yang marah itu agaknya sudah tidak dapat mengekang dirinya lagi. Tiba-tiba saja ia pun telah meloncat menyerang sebagaimana dilakukan atas orang yang dianggapnya terlalu sombong karena berani memandangi matanya sebagaimana ia melakukannya. Tetapi Agung Sedayu sudah bersiap. Dengan demikian, maka serangan itu tidak banyak berarti bagi Agung Sedayu. Sambil bergeser selangkah, ia memiringkan tubuhnya, sehingga serangan itu sama sekali tidak mengenainya. Namun agaknya orang yang menyerangnya itu memang memiliki bekal olah kanuragan. Karena itu, demikian ia menyadari bahwa sasarannya telah bergeser, maka ia pun telah bergeser pula. Kakinya yang terjulur itu pun kemudian telah berubah arah. Sambil menggeliat maka kaki itu pun telah berputar mendatar setinggi lambung. Tumit orang itu sudah siap menghentak lambung Agung Sedayu. Tetapi Agung Sedayu mampu berbuat jauh lebih cepat dari orang itu. Karena itu, ketika kakinya berputar dan bertumpu pada kakinya yang lain, Agung Sedayu telah membalas serangan itu. Tidak terlalu bersungguh-sungguh. Tetapi dengan cepat ia menggamit kaki lawannya yang dipergunakan sebagai tumpuannya berputar. Orang itu terkejut. Tetapi ia tidak sempat berbuat banyak. Tiba-tiba saja kakinya yang berputar itu menjadi oleng, serta kakinya yang lain, yang menjadi tumpuan putarannya justru telah terangkat. Sejenak kemudian orang itu pun telah jatuh terbanting di tanah. Tubuh dan pakaiannya yang basah oleh keringat menjadi sangat kotor oleh pasir tepian bercampur debu. Orang itu mengumpat dengan kasarnya. Dengan serta merta ia bangkit berdiri sambil mengibaskan pakaiannya. Namun dari matanya telah memancar sorot kemarahan yang tidak terhingga. Orang orang yang menyaksikan perkelahian itu menjadi berdebar-debar. Mereka melihat gejolak perasaannya yang membara. “Aku memang akan membunuh” orang itu menggeram tetapi justru kaulah yang akan aku bunuh.” “Baiklah” berkata Agung Sedayu, “kita akan bertaruh sehelum kita berkelai.” “Bertaruh apa?” bertanya orang itu, “jangan memperpanjang waktu sambil menunggu orang lain datang membantumu. Siapa pun yang berani mencampuri persoalanku akan aku hancurkan sampai lumat.” “Aku tidak akan minta pertolongan orang lain” sahut Agung Sedayu, lalu, “bukankah kita masing-masing seorang laki-laki.” “Apa maksudmu? bertanya orang itu. “Kita akan bertaruh. Karena kita laki-laki jantan, maka kita akan menepati janji dalam pertaruhan itu” jawab Agung Sedayu. “Kita bertaruh apa?” orang itu bertanya pula. “Jika aku kalah, terserah kepadamu. Apa yang akan kau lakukan. Tetapi jika kau yang kalah, maka kau harus minta maaf kepada orang yang telah kau serang dengan tiba-tiba. Kalian berdua harus saling memaafkan dan persoalannya harus dianggap selesai. Kecuali jika kau pengecut dan bukan laki-laki sejati” jawab Agung Sedayu. “Tutup mulutmu” bentak orang itu. “Aku ingin mendengar, apakah kau menerima taruhan itu?” Agung Sedayulah yang bertanya. “Baik. Jika aku menang, aku dapat memperlakukan kau dan orang cengeng itu sekehendakku. Aku akan mematahkan tangan dan kaki kalian. Jika aku kalah, maka aku akan menganggap persoalannya telah selesai.” jawab orang itu. “Bagus” jawab Agung Sedayu, “perjanjian yang disepakati oleh laki-laki sejati tidak akan diingkari.” “Tetapi, apakah pertanda kekalahan?” orang itulah yang bertanya. “Salah seorang di antara kita mengaku kalah, atau salah seorang di antara kita tidak sanggup lagi untuk melawan” jawab Agung Sedayu, “nah, orang orang yang ada di sekitar tempat ini akan menjadi saksi.” Orang itu tidak menjawab. Tetapi ia pun segera bersiap. Ki Gede, Kiai Gringsing dan Ki Widura menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Agung Sedayu menemukan juga satu cara untuk mengatasi persoalan yang mungkin dapat berkepanjangan itu. Sejenak kemudian, orang itu telah meloncat menyerang. Tangannya terjulur kearah dada Agung Sedayu. Namun Agung sedayu sempat bergeser sehingga tangan itu tidak menyentuhnya. Tetapi orang itu melangkah maju. Tangannya tidak lagi terjulur, tetapi menebas kesamping dengan sisi telapak tangannya mengarah kening. Namun sekali lagi tangannya itu gagal mengenai sasaran. Agung Sedayu menghindari serangan itu dengan sedikit merendah, sehingga ayunan tangan lawannya lewat di atas kepalanya. Satu kesempatan memang telah terbuka. Jika Agung Sedayu menghendaki, maka pada saat tangan lawannya terayun di atas kepalanya, ia akan dapat membalas menyerang lambung lawannya yang terbuka. Tetapi Agung Sedayu tidak melakukannya, Ia justru meloncat mundur mengambil jarak. Lawannya yang marah itu menggeram. Tetapi sikap Agung Sedayu itu menimbulkan salah mengerti pada lawannya yang menyangka bahwa Agung Sedayu memang tidak melihat kesempatan untuk menyerang, bahkan meloncat surut. Karena itu, orang itu pun menjadi semakin garang. Dengan cepat ia. memburu. Bahkan sekali lagi ia meloncat menyerang dengan kakinya yang terjulur lurus. Sekali lagi Agung Sedayu meloncat menghindar. Demikian pula ketika lawannya menyusul dengan serangan-serangan berikutnya. Semakin lama semakin cepat. Namun semakin sering lawannya menyerang, maka ia pun merasa bahwa ia semakin sering mengalami kegagalan. Serangan-serangannya satu pun tak ada yang pernah mengenai sasarannya. Kemarahan orang itu pun menjadi semakin memuncak pula. Tetapi betapa ia mengerahkan kemampuannya, namun serangannya sama sekali tidak mengenainya. Bahkan ketika sekali Agung Sedayu tidak menghindar, tetapi menangkis serangannya, terasa tangannya yang mengenai tangan Agung Sedayu yang mepgibaskan serangan itu bagaikan menyentuh sepotong besi. “Gila” orangitu menggeram. Tetapi ia pun kemudian berusaha untuk tidak menunjukkan perasaan sakitnya dan apalagi keheranannya. Bahkan dengan demikian, orang itu pun telah berusaha untuk menyerang dengan serangan-serangan beruntun. Sentuhan tangan Agung Sedayu yang menangkis serangannya itu memang telah menumbuhkan kegelisahan dihati lawannya. Namun demikian serangan-serangannya datang semakin sengit. “Orang ini sama sekali tidak sempat melihat kenyataan tentang dirinya” berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri. Karena itu, maka ia pun kemudian berniat untuk semakin sering menyentuh tubuh orang itu. Apalagi setelah mereka berkelahi beberapa lama. “Nafas orang ini sangat baik, sehingga ia akan dapat berkelahi untuk waktu yang lama” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya pula, sehingga Agung Sedayu harus berbuat sesuatu untuk semakin mengurangi tenaga orang yang marah itu. Dengan demikian, maka dengan sengaja Agung Sedayu kadang-kadang membiarkan dirinya sendiri dikenai oleh serangan-serangan orang itu. Namun dengan selapis tipis ilmu kebalnya, maka serangan-serangan itu tidak menimbulkan akibat apa pun padanya. Tetapi dengan demikian ia telah memancing lawannya untuk bergerak semakin banyak. Sementara itu, Agung Sedayu semakin sering pula membentur serangan-serangan lawannya itu. Karena serangan orang itu sekali-sekali berhasil menyentuh tubuh Agung Sedayu, maka orang itu menjadi semakin banyak menyerang. Ia menganggap bahwa lawannya tidak mampu untuk menghindari atau menangkis serangan-serangannya, meskipun setiap kali ia membentur tangan Agung Sedayu yang menangkis serangannya serasa tangannya telah menyentuh besi baja. Sementara itu semakin lama ternyata Agung Sedayu berhasil memancing orang itu untuk bergerak lebih cepat dan lebih banyak. Betapapun besar daya tahannya dan panjang nafasnya, namun beberapa saat kemudian, ketika keringatnya telah membasahi seluruh tubuhnya dari ubun-ubun sampai ke jari-jari kakinya, tenaganya pun mulai susut. Beberapa kali ia gagal menyerang, bahkan dengan dorongan yang tidak terlalu keras, tubuhnya menjadi terhuyung-huyung dan sekali-sekali jatuh diatas pasir sehingga tubuh dan pakaiannya menjadi semakin kotor. Orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu pun akhirnya mampu menilai apa yang terjadi. Orang yang marah itu semakin lama semakin kehilangan tenaganya, sehingga akhirnya gerakan-gerakannya pun menjadi sangat sulit untuk dikendalikannya sendiri. Sementara itu, orang-orang yang menyaksikan itu pun menjadi heran ketika mereka melihat Agung Sedayu masih saja segar seperti tidak sedang berbuat apa-apa. Meskipun keringatnya juga mengalir, tetapi nafasnya masih juga berjalan teratur. Tenaganya nampaknya masih utuh dan kakinya masih mampu berdiri tegak. Sedangkan lawannya yang marah itu benar-benar menjadi lemah dan setiap kali telah kehilangan keseimbangannya. Dalam keadaan yang demikian Agung Sedayu bertanya, “Bagaimana Ki Sanak. Apakah taruhan kita sudah sampai pada satu keputusan siapa yang menang dan siapa yang kalah?” Wajah orang itu menjadi tegang. Namun tiba-tiba ia bertanya dengan lantang, “Apakah kau menyerah?” Orang-orang yang mendengar pertanyaan itu dan melihat keadaannya mengumpat di dalam hati. Sementara itu Agung Sedayu pun tersenyum sambil bertanya, “Jadi kau sama sekali tidak dapat melihat kenyataan tentang dirimu?” “Aku kenapa? Aku masih sanggup membunuhmu. Jika kau menyerah katakan bahwa kau menyerah. Aku akan mengampunimu. Tetapi orang yang sombong itu akan aku patahkan_kaki dan tangannya.” geram orang itu. Agung Sedayu justru tertawa karenanya. Katanya, “Sebaiknya kau bersikap jantan. Jika kau tidak melihat kenyataan ini, maka kau telah kehilangan sifat seorang laki-laki sejati. “Bagaimana dengan kenyataan yang kau maksud? Jika kau menyerah, katakanlah bahwa kau menyerah. Jangan banyak bicara” bentak orang itu. “Baiklah Ki Sanak” berkata Agung Sedayu, “agaknya aku harus meyakinkanmu apa yang telah terjadi.” Sementara itu, orang-orang yang menyaksikan perkelahian itu pun rasa-rasanya telah kehilangan kesabaran. Seandainya mereka mampu maka merekalah yang akan memaksa orang yang marah itu untuk mengakui kekalahannya. Namun mereka pun menjadi jengkel pula terhadap Agung Sedayu yang tidak dengan keras memaksa orang itu merasa bahwa ia tidak dapat lagi melawan. Namun Agung Sedayu pun kemudian merasa bahwa waktunya telah terlalu banyak disita oleh orang yang keras kepala itu. Karena itu maka ia pun kemudian ingin memaksa orang itu mengakui bahwa ia telah kalah dalam taruhan itu. “Aku harus segera melanjutkan perjalanan” berkata Agung Sedayu di dalam hati. “Ki Gede, guru dan Paman Widura sudah terlalu lama menunggu.” Dengan demikian maka Agung Sedayu pun kemudian berkata, “Ki Sanak. Sekali lagi aku bertanya, apakah kau masih belum menyadari kekalahanmu dalam taruhan ini?” “Persetan” geram orang itu, “jika kau menyerah, menyerahlah. Jika tidak, maka kau akan sangat menyesal karena kesombonganmu. Kau akan cacat seumur hidup, bahkan mungkin kau akan terbunuh.” “Jangan berkicau seperti burung kutilang” sahut Agung Sedayu, “tetapi jika kau memang tidak menyadari, maka baiklah, aku akan menolongmu untuk melihat satu kenyataan dan kemudian bersikap sebagai seorang laki-laki sejati.” Wajah orang itu menjadi tegang. Dengan susah payah ia berusaha untuk berdiri tegak dan bersiap menghadapi segala kemungkinan. Agung Sedayulah yang kemudian bergeser maju. Namun orang yang tidak tahu diri itulah yang masih saja didorong oleh gejolak kemarahannya menyerangnya lebih dahulu. Agung Sedayu menghindar. Tetapi ia sudah berniat untuk memaksa orang itu mengakui kekalahannya agar persoalannya cepat selesai . Karena itu, ketika tangan orang itu terjulur, maka dengan serta merta Agung Sedayu menangkap tangan itu. Menariknya dan kemudian memutarnya beberapa putaran. Dengan tiba-tiba Agung Sedayu pun telah melepaskan tangan orang itu, sehingga orang itu pun telah terlempar dan jatuh terkapar di atas pasir tepian. Sekali berguling sehingga tubuhnya bagaikan dibalut oleh debu dan pasir dari ujung kaki sampai ke ikat kepalanya. Bahkan wajahnya dan pasir itu telah masuk kedalam mulutnya pula. Orang yang tidak mengakui kekalahannya itu ingin segera bangkit berdiri. Tetapi demikian ia berusaha bangkit, maka ia pun telah terjatuh pula di atas lututnya. Kedua tangannya berusaha menahan tubuhnya sementara matanya menjadi pedih oleh debu dan pasir. “O” orang itu mengeluh. Sementara itu Agung Sedayu telah melangkah pula mendekatinya. Memegang tangannya dan menariknya untuk berdiri. “Bangkitlah” berkata Agung Sedayu, “kau harus berputar sepuluh kali lagi.” “Gila” geram orang itu. Ia berusaha untuk tidak bangkit berdiri. Ia tidak mau diputar sekali lagi dan dilemparkan sebagaimana telah terjadi.” Tetapi tenaganya sama sekali tidak dapat mencegah kekuatan Agung Sedayu. Orang itu pun dengan terpaksa telah berdiri. Dengan tanpa dapat berbuat apa-apa, maka orang itu telah ditarik dalam putaran mengelilingi Agung Sedayu. Seperti yang telah terjadi, maka Agung Sedayu pun melepaskannya pula sehingga orang itu telah terlempar pula dan jatuh berguling. Tubuhnya yang kotor menjadi semakin kotor. Tubuhnya telah dibalut dengan pasir dan debu sehingga terasa matanya menjadi semakin pedih dan mulutnya bagaikan tersumbat pasir. Orang itu masih berusaha untuk bangkit. Tetapi tenaganya bagaikan telah terkuras habis dari tubuhnya sehingga ia hanya mampu untuk duduk sambil bersandar kepada kedua tangannya. Agung Sedayu mendekatinya selangkah demi selangkah. Dengan suara garang ia berkata, “Sebelum kau mengaku kalah aku akan memutarmu dan melemparkanmu sesuka hatiku.” “Licik” geram orang itu, “bukan caranya berkelahi.”Jika kau mampu lawanlah cara ini dengan caramu” jawab Agung Sedayu. Wajah orang itu menjadi tegang. Namun ketika Agung Sedayu memegang tangannya sekali lagi ia berteriak, “Jangan. Aku dapat menjadi gila karenanya.” “Sekehendakku” jawab Agung Sedayu, “jika kau mampu melawan, lawanlah aku.” Wajah orang itu menjadi semakin tegang. Ketika Agung Sedayu kemudian menariknya sekali lagi, maka orang itu pun berkata, “Cukup.” “Apa yang cukup?” bertanya Agung Sedayu. “Aku mengaku kalah” berkata orang itu dengan suara tertahan-tahan. Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Baiklah. Jika kau mengaku kalah, maka perjanjian kita tetap berlaku. Kau mengerti?” Orang itu tidak menjawab. Sementara Agung Sedayu berkata lebih lanjut, “Kau telah mengucapkan satu janji taruhan, he, bukankah kau laki-laki sejati?” “Persetan” geram orang itu. “Baiklah. Jika kau ingkar akan janji, maka aku pun tidak terikat akan perjanjian kita. Aku dapat memperlakukan kau sekehendak hatiku. Aku ingin mengikatmu dan menceburkannya ke dalam arus Kali Praga. Sekali-sekali menarik tubuhmu menepi dan menuang air dari mulutmu. Kemudian memasukkan kau lagi kesungai sampai sehari penuh.” geram Agung Sedayu. Wajah orang itu menegang. Namun kemudian katanya, “Aku akan menepati janjiku.” “Jika demikian, maka kalian berdua harus saling memaafkan” berkata Agung Sedayu. Untuk beberapa saat kedua orang itu masih termangu-mangu. Namun Agung Sedayu pun memaksa kedua orang itu untuk bersalaman. “Dengan demikian maka tidak ada persoalan lagi diantara kita. Diantara kalian berdua.” berkata Agung Sedayu pula. Orang yang sudah tidak berdaya itu tidak menjawab. Sementara itu Agung Sedayu pun kemudian memandang berkeliling. Masih ada beberapa orang yang berdiri termangu¬mangu. Orang-orang yang bersama-sama menyeberangi sungai dan bahkan para tukang satang pun telah menonton perkelahian itu Kepada mereka Agung Sedayu berkata” Semuanya sudah selesai. Terima kasih atas kesaksian kalian. Kita sudah dapat meninggalkan tempat ini.” Orang-orang yang berada di sekitar arena itu pun bagaikan terbangun dari mimpi. Mereka menyadari, bahwa perjalanan mereka telah terhenti untuk beberapa lama. Karena itu, maka mereka pun segera melanjutkannya. Bahkan orang yang terlibat kedalam perselisihan tanpa ujung pangkal itu pun kemudian telah meninggalkan tepian itu pula. Tetapi orang itu masih duduk ditempatnya. Sekali-sekati ia menggeliat. Seluruh tubuhnya terasa sakit meskipun ia tahu bahwa hat itu tidak berbahaya bagi keselamatannya. Tetapi bagi Agung Sedayu, lebih baik orang itu beristirahat beberapa saat, sehingga orang yang berselisih dengan orang itu telah menjadi semakin jauh, karena jika mereka bertemu, mungkin masih akan tumbuh persoalan. Dalam pada itu, maka Agung Sedayu pun merasa tidak perlu menunggui orang itu terlalu lama. Karena itu, maka katanya kemudian, “Ki Sanak. Silahkan beristirahat. Kami akan meneruskan perjalanan, karena perjalanan kami masih cukup jauh:” Orang itu menggeram. Tetapi ia tidak dapat menahan orang-orang itu, termasuk orang-orang yang bersama-sama menyeberang dengannya untuk menemaninya. Bahkan tukang-tukang satang pun telah melangkah kembali ke rakitnya. Sejenak kemudian maka tepian itu pun menjadi semakin sepi. Orang yang telah mengalahkannya dengan cara yang aneh itu pun telah meloncat kedalamnya. Namun orang itu masih sempat bertanya, “He, siapakah kau sebenarnya?” Agung Sedayu termangu-mangu. Namun akhirnya dengan ragu-ragu ia menjawab juga, “Aku Agung Sedayu.” Jantung orang itu berdentang keras sekali. Ternyata orang yang dilawannya itu adalah Agung Sedayu. Seorang yang namanya telah banyak sekali didengarnya sebagai seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi di Tanah Perdikan Menoreh. Ketika kuda Agung Sedayu kemudian berderap meninggalkan tepian itu bersama dengan Ki Gede, Kiai Gringsing dan Ki Widura, orang yang kesakitan itu menarik nafas dalam-dalam. Gumamnya, “Gila. Aku sudah bertemu dengan Agung Sedayu. Untunglah leherku tidak dipatahkannya.” Dengan tatapan mata yang tidak berkedip orang itu memperhatikan kuda-kuda yang berderap menjauh dan sejenak kemudian hilang dibalik semak-semak dan gundukan pasir tepian. Tetapi orang itu tidak segera berdiri. Ia masih saja duduk ditempatnya sambil memijit-mijit lambungnya sendiri, tangannya dan kakinya yang kesakitan. Dalam pada itu, Agung Sedayu telah berpacu semakin jauh. Ia melihat orang yang berselisih dengan orang yang masih tinggal di tepian itu berjalan dengan tergesa-gesa. Agaknya ia memang takut terhadap orang yang marah terhadapnya itu. Di sebuah kelok jalan kecil orang itu berbelok. Dengan demikian ia berharap bahwa ia tidak akan dapat disusul oleh orang yang marah terhadapnya, karena orang itu tidak tahu pasti, bahwa orang yang marah kepadanya itu seakan-akan telah kehilangan kekuatannya dan tidak mampu lagi untuk dengan tergesa-gesa bangkit. Agung Sedayu yang berpacu langsung menuju ke Jati Anom berusaha untuk menghindari Kota Raja Mataram, agar ia tidak harus singgah jika ia bertemu dengan orang-orang dalam istana Mataram. Ki Gede tidak mempunyai waktu terlalu banyak untuk itu. Di perjalanan selanjutnya, Agung Sedayu beserta iring-iringan kecilnya memang tidak menjumpai hambatan apa pun juga. Mereka langsung menuju ke padepokan kecil Kiai Gringsing sebelum mereka mengunjungi Untara untuk berbincang tentang orang yang menyebut dirinya seorang Senapati Pajang dan bernama Wiladipa. Kedatangan Kiai Gringsing di padepokannya bersama Agung Sedayu membuat para cantrik menjadi sangat bergembira. Sudah beberapa lama mereka meninggalkan padepokan kecil itu. Apalagi Agung Sedayu yang menjadi sangat jarang berkunjung ke padepokan itu. “Kita mempunyai tamu” berkata Kiai Gringsing kepada para cantrik, “Ki Gede Menoreh dan Ki Widura.” “Aku bukan tamu” desis Ki Widura, “bukankah aku terhitung keluarga sendiri di sini?” “Aku juga bukan tamu” sahut Ki Gede Menoreh, “aku merasa seperti di rumahku sendiri.” Kiai Gringsing tersenyum. Namun kemudian ia pun mempersilahkan mereka naik ke pendapa setelah menyerahkan kuda-kuda mereka kepada para cantrik dan mencuci kaki dengan air yang disediakan di sebuah gentong di sudut tangga pendapa. Sejenak kemudian, setelah mereka duduk sambil berbicara tentang keadaan padepokan itu, maka para cantrik pun telah menghidangkan minuman kepada para tamu yang datang mengunjungi padepokan itu. Sementara itu Kiai Gringsing pun telah pergi ke belakang untuk mengatur para cantrik, apakah yang pantas di suguhkan bagi tamu-tamunya. “Ada beberapa buah sukun yang baru kemarin dipetik Kiai” berkata salah seorang cantrik. “Bagus. Rebuslah dengan santan” berkata Kiai Gringsing, “sedangkan yang lain menanak nasi dan mungkin perlu menangkap seekor ayam.” Para cantrik pun mengangguk-angguk. Mereka mengerti apa yang harus mereka lakukan untuk menjamu tamu mereka. Ki Widura yang ingin segera pulang ke Banyu Asri pun telah ditahan oleh Kiai Gringsing. Katanya, “Kita makan lebih dahulu. Nanti menjelang malam, Ki Widura pulang setelah kita pergi menemui Untara.” Ki Widura tidak dapat memaksa. Ia pun kemudian tetap berada di padepokan itu sampai saatnya Kiai Gringsing mengantar Ki Gede pergi menemui Untara. Ki Widura dan Agung Sedayu pun mengikuti mereka pula. Namun setelah dari tempat Untara, Ki Widura akan langsung pulang ke Banyu Asri. Kedatangan Ki Gede Menoreh memang agak mengejutkan Untara. Namun menilik sikap dan sorot matanya, maka kedatangannya tidak membawa persoalan yang gawat. Dengan akrab Untara telah mempersilahkan tamu-tamunya untuk naik ke pendapa. Bertanya kepada mereka tentang keselamatan masing-masing dan keadaan daerah yang mereka tinggalkan. “Tanah Perdikan Menoreh menjadi semakin baik” jawab Ki Gede, “kita berusaha agar kehidupan rakyatnya dapat meningkat.Ternyata dengan bekerja keras setapak demi setapak kami mendapatkan kemajuan.” “Sokurlah” jawab Untara, “Mataram akan berkembang sejalan dengan perkembangan daerah-daerah yang mendukungnya. Daerah ini pun berkembang meskipun tidak terlalu pesat. “Mudah-mudahan aku masih dapat melihat Tanah ini mencapai satu keadaan yang cukup baik. Meskipun belum sepenuhnya seperti yang kita harapkan, tetapi setidak-tidaknya tanda-tanda itu mulai nampak-berkata Ki Gede. “Kenapa tidak?” bertanya Untara “jika kita semuanya bekerja keras, maka keadaan yang kita inginkan itu akan segera dapat kita ujudkan. Bukankah hal itu juga tergantung kepada kita sendiri.” Ki Gede mengangguk-angguk. Tetapi Untara melihat sesuatu yang kurang mapan pada wajah Ki Gede. Namun demikian Untara tidak bertanya. Dibiarkan saja Ki Gede untuk mengutarakannya jika hal itu memang dirasa perlu. Tetapi agaknya Ki Gede pun tidak tergesa-gesa . Ia masih dapat mengembalikan pembicaraan pada persoalan-persoalan yang berkembang dari hari ke hari. Namun kemudian, setelah isteri Untara menghidangkan makanan dan minuman, maka pembicaraannya pun mulai menjadi bersungguh-sungguh. Meskipun demikian Agung Sedayu masih sempat bertanya kepada mbokayunya, “Dimana Putut Pratama?” “Sudah tidur” jawab isteri Untara, “anak itu nakal sekali. Agaknya ia terlalu.letih bermain.” “Bermain atau berlatih olah kanuragan? “Kiai Gringsing bertanya sambil tersenyum. Lalu, “Bermain bagi putera Untara mungkin berbeda dengan bermain bagi anak orang kebanyakan.” “Ah, Kiai ini ada-ada saja” desis Untara. Namun isteri Untara tidak terlalu lama berada dipendapa. Sejenak kemudian ia pun telah pergi ke belakang untuk menyiapkan hidangan makan bagi tamu-tamunya, sementara mereka yang duduk di pendapa itu mulai berbincang dengan sungguh-sungguh. Ki Gede agaknya ingin langsung membicarakan pokok persoalannya, sehingga karena itu maka katanya, “Angger Untara. Kedatangan kami ke Jati Anom meskipun tidak terlalu penting, tetapi juga membawa satu persoalan yang sedang kami amati. Bukan saja penting bagi Tanah Perdikan Menoreh, tetapi agaknya penting juga bagi Mataram.” Untara mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak memotong keterangan Ki Gede yang melanjutkannya, “Dalam hal ini hubungan antara Mataram dengan Pajang yang sekarang.” Untara menarik nafas dalam-dalam. Sementara Ki Gede pun kemudian menceriterakan apa yang telah terjadi di Tanah dikan Menoreh. Bahkan Ki Gede pun langsung bertanya, “Apakah angger Untara mengenal seseorang yang bersama Ki Tumenggung Wiladipa?” Untara mengangguk-angguk. “Ceritera Ki Gede memang sangat menarik baginya. Bahkan katanya, “Ki Gede. Agaknya hal semacam itu tidak hanya terjadi di Tanah Perdikan Menoreh. Mungkin terjadi juga di Jati Anom, di Sangkal Putung, di Mangir dan tempat-tempat lain, termasuk Jipang dan Demak.” “Ya Ngger” jawab Ki Gede, “Adipati Pajang, entah atas kehendak sendiri atau atas pengaruh orang lain, tentu ingin mengetahui kekuatan yang mungkin harus dihadapinya apabila Adipati Pajang itu berniat mempertahankan isi Gedung Perbendaharaan dan Gedung Pusaka di Pajang agar tidak dibawa ke Mataram, meskipun pusat pemerintahan berada di Mataram. Agaknya Adipati Pajang yakin, dengan dipertahankannya Pusata Pajang, wahyu keraton tidak akan berpindah.” Untara termangu-mangu sejenak. Dengan ragu ia pun kemudian berkata, “Mungkin aku pernah mendengar nama Tumenggung Wiladipa itu Ki Gede. Tetapi orang itu bukan perwira Pajang sejak masa Kangjeng Sultan masih memegang kendali pemerintahan. Banyak para Senopati yang oleh Panembahan Senopati masih mendapat kepercayaan meskipun mereka pernah berdiri sebagai lawan Mataram pada saat Mataram menghadapi Pajang waktu itu. Tetapi di antara para Senapati itu, kecuali yang dipengaruhi oleh orang yang disebut Kakang Panji secara langsung, sebenarnya bersikap sebagaimana sikap Kangjeng Sultan Hadiwijaya. Aku sendiri yang langsung menghadap Kangjeng Sultan meskipun dengan cara yang tidak wajar, mendapat kesan, bahwa aku memang harus mengambil langkah sebagaimana aku lakukan. Ki Gede mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Apakah angger Untara pernah mendengar bahwa Tumenggung Wiladipa pernah menjadi prajurit bahkan seorang Senapati di Demak?” Untara mengangguk-angguk. Katanya, “Mungkin. Agaknya memang seorang Senapati Demak. Tetapi jika demikian maka ia tentu sudah setua Ki Gede sekarang ini atau bahkan lebih.” “Angger belum mengenalnya secara pribadi?” bertanya Ki Gede pula. “Belum Ki Gede. Secara pribadi aku belum mengenal nya. Tetapi rasa-rasanya narna itu pernah aku dengar” berkata Untara. Ki Gede memandang Widura sekilas. Kemudian katanya, “Aku pernah mengenal scorang yang bernama Wiladipa di Demak. Aku mempunyai dugaan bahwa Wiladipa itulah yang kini berada di Pajang, karena agaknya ada beberapa orang Senapati dan prajurit Demak yang memang berada di Pajang, untuk memperkuat kedudukan Adipati Pajang yang sekarang. Karena itu, bagaimana pertimbangan angger jika aku berusaha untuk menemuinya dan berbicara dengan orang itu.” “Maksud Ki Gede untuk membicarakan tentang orang-orang yang mendapat perintah Wiladipa itu ke Tanah Perdikan?” bertanya Untara. “Tentu tidak rigger. Aku hanya ingin mengetahui apakah Wiladipa itu adalah Wiladipa yang pernah aku kenal” jawab Ki Gede. “Tetapi bagaimanapun juga tentu akan terjadi ketegangan. Wiladipa tentu menyadari, bahwa petugas-petugasnya di Tanah Perdikan Menoreh tidak kembali.-berkata Untara, “Memang mungkin hilangnya para petugas itu terjadi di luar Tanah Perdikan. Di Mataram misalnya. Tetapi dugaan terbesar, bahkan orang yang memerintahkan mereka akan menentukan bahwa mereka telah tertangkap di Tanah P,?!rdikan Menoreh. Jika Ki Gede menemuinya, maka orang itu akan menganggap bahwa Ki Gede sudah siap untuk menuntutnya.” Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Seandainya aku tidak langsung menemuinya, apakah Ki Tumenggung tidak juga merasa bahwa petugas-petugasnya hilang di Tanah Perdikan Menoreh.” “Tentu juga terasa” jawab Ki Untara, “tetapi ia tidak langsung merasa dituntut untuk melakukan langkah-langkah berikutnva. Meskipun aku yakin. bahwa hilangnya para petugas itu akan meendapat perhatiannya dan diperhitungkannya pula. Ki Gede mengangguk-angguk. Ia mengerti pendapat Untara, sehingga karena itu, maka katanya, “Aku harus mempergunakan cara lain untuk mengetahuinya.” “Aku akan membantu Ki Gede” berkata Untara, “tetapi aku kira persoalannya harus dibicarakan dengan Panembahan Senopati. Mungkin panembahan Senopati mengutus aku untuk pergi ke Pajang untuk keperluan apa pun juga, sehingga memungkinkan aku untuk bertemu dengan Ki Wiladipa. Ia tidak mengenal aku secara pribadi sebagaimana aku tidak mengenalnya. Dengan demikian mungkin aku akan dapat bicara tentang beberapa hal dengan Ki Tumenggung bila aku berkesempatan. Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Persoalannya memang tidak akan dapat dilepaskan dari persoalan Mataram dan Pajang. Persoalan antara Panembahan Senopati dengan Adipati Pajang. Di luar sadarnya Ki Gede pun telah berpaling kepada Kiai Gringsing. Seorang yang pada ujud lahiriahnya sama.sekali tidak bersentuhan dengan pemerintahan di manapun juga. Tetapi agaknya Ki Gede memerlukan pendapatnya. Ki Gede pun tidak segera memberikan tanggapannya. Ia sadar bahwa persoalannya adalah persoalan yang memang sulit, yang memerlukan pemikiran yang bersungguh-sungguh. Karena itu untuk beberapa saat keadaan justru menjadi hening, “Yang terdengar kemudian adalah dentang mangkuk yang saling beradu. Dan sejenak kemudian, maka isteri Untara pun telah menyuguhkan hidangan makan bagi tamu-tamunya. Dengan dernikian maka pembicaraan pun telah tertunda. Sementara sambil makan mereka dapat memikirkan persoalan yang menyangkut pembicaraan mereka sebelumnya. Ternyata bahwa makanan yang hangat telah menyegarkan mereka yang sedang berbincang. Karena itu, ketika kemudian mereka selesai makan dan minum beberapa teguk, pembicaraan mereka pun menjadi hangat pula kembali. Akhirnya mereka sampai pada satu kesimpulan, bahwa mereka akan menyampaikan laporan terperinci kepada Panembahan Senapati tentang peristiwa yang terjadi di Tanah Perdikan Menoreh, yang mungkin juga telah terjadi di daerah-daerah lain di lingkungan Mataram. Mungkin daerah yang dekat, tetapi juga mungkin daerah yang jauh. Mereka akan memohon kepada Panembahan Senapati, agar Untara mendapat tugas untuk. pergi ke Pajang, sehingga apabila mungkin dapat bertemu dengan orang yang bernarna Wiladipa. “Siapakah yang akan menghadap Panembahan Senapati?” bertanya Ki Gede. “Tentu Ki Gede” jawab Untara, “Ki Gede yang telah menemukan bukti tentang kegiatan itu. Karena itu, maka sebaiknya Ki Gede membawa orang-orang yang telah tertangkap di Tanah Perdikan. Mereka akan dapat membantu meyakinkan Panembahan Senapati, bahwa pengamatan tentang usaha tersebut perlu ditingkatkan.” Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan menghadap Panembahan Senapati. Namun aku mohon Kiai Gringsing bersedia menemani aku.” Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Sebenarnya aku ingin beristirahat di padepokan ini. Aku merasa bahwa aku sudah menunaikan tugas-tugas yang harus aku pikul.” “Apakah Kiai sampai hati untuk melihat suasana yang keruh sementara Kiai duduk tepekur di padepokan?” bertanya Ki Gede. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, “Jika Ki Gede bertanya dengan cara yang demikian, maka sudah tentu aku tidak akan dapat menolaknya.” “Terima kasih Kiai” desis Ki Gede, “aku memang berusaha untuk menyudutkan Kiai, agar Kiai dapat memenuhi permintaanku itu.” Untara hanya tersenyum saja. Namun kemudian katanya, “Aku akan menunggu. Jika Ki Gede dan Kiai Gringsing berhasil, maka tentu akan datang perintah dari Panembahan Senapati kepadaku.” Demikianlah, maka pembicaraan mereka pun sampai pada akhirnya. Ki Gede dan Kiai Gringsing pun mohon diri untuk kembali ke padepokan bersama Agung Sedayu, sementara Ki Widura akan langsung pulang ke Banyu Asri. Dengan kesimpulan dari pembicaraan itu, maka Ki Gede masih mempunyai tugas yang menentukan, karena ia harus menghadap Panembahan Senapati. Tetapi ia tidak dapat langsung dari Jati Anom singgah di Mataram, karena ia harus membawa para tawanan menghadap. Setidak-tidaknya seorang diantara mereka. Di Jati Anom, Ki Gede tinggal sehari sambil beristirahat. Dihari berikutnya merencanakan untuk singgah di Sangkal Putung. Sudah agak lama Ki Gede tidak bertemu dengan anak perempuannya. Kedatangan mereka di Sangkal Putung memang mengejutkan. Tetapi mereka melihat sorot mata ketiga orang tamu itu, maka mereka menjadi agak tenang, karena sama sekali tidak mencerminkan satu keadaan yang menggelisahkan. Pandan Wangi yang nampak menjadi sangat bergembira karena kedatangan ayahnya, yang sedikit dapat mengobati kerinduannya kepada Tanah Perdikan Menoreh yang sudah lama ditinggalkannya. Tetapi Ki Gede tidak dapat terlalu lama berada di Sangkal Putung, karena ia sedang mengemban tugas yang berat. Bahkan kedatangannya di Sangkal Putung itu pun selain menengok keselamatan keluarga Ki Demang juga ingin memberitahukan persiapan yang sedang dihadapinya kepada Ki Demang dan Swandaru. “Jadi ayah tidak dapat tinggal lebih lama lagi?” bertanya Pandan Wangi. “Lain kali Pandan Wangi” jawab ayahnya, “jika aku tidak mempunyai persoalan, maka aku akan tinggal di sini untuk sepekan.” “Tetapi bukankah ayah tidak dibatasi waktu untuk menghadap?” bertanya Pandan Wangi. Ayahnya tersenyum. Katanya, “Bukankah kau sudah belajar menghitung waktu bagi penyelesaian satu masalah? Mungkin untuk satu persoalan kita tidak tergesa-gesa. Tetapi untuk persoalan yang kita hadapi adalah persoalan yang termasuk gawat bagi Mataram.” Pandan Wangi mengangguk-angguk, sementara Ki Gede pun kemudian mulai mengatakan, apa yang telah terjadi di Tanah Perdikan, yang mungkin akan dapat terjadi pula di Sangkal Putung. Ki Demang mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Jika demikian kita memang harus berhati-hati. Tetapi untuk dapat mengetahui petugas-petugas sandi tentu akan sangat sulit.” “Memang Ki Demang” jawab Ki Gede, “bagi Tanah Perdikan, kami harus bekerja keras, sehingga kami dapat menangkap para petugas sandi itu. Namun sikap berhati-hati tentu akan labih baik bagi kita semuanya. Ki Demang mengangguk-angguk. Lalu katanya kepada Swandaru, “Kau sudah mendengar sendiri, Swandaru” “Ya” jawab Swandaru, “memang satu tantangan. Dan kita di-sini harus dapat mengatasinya.” “Nah” berkata Ki Gede, “kita akan berbuat sebaik-baiknya didaerah kita masing-masing, Setelah aku melaporkannya kepada Panembahan Senopati, maka Panembahan Senapati pun tentu akan memberintahkan semua pihak berhati-hati menghadapi Pajang. Karena itu, aku tidak boleh bertindak dengan lamban” Pandan Wangi mengangguk-angguk. Desisnya, “ Aku mengerti ayah.” Ki Gede pun tersenyum. Dengan demikian maka Pandan Wangi tidak akan menahannya lagi apalagi pada saatnya ia kembali ke Tanah Perdikan Menoreh. Demikianlah, maka Ki Gede. Kiai Gringsing dan Agung Sedayu memang tidak terlalu lama di Sangkal Putung. Namun Kiai Gringsing sempat memberikan beberapa petunjuk bagi Swandaru yang masih dengan penuh gairah berusaha untuk meningkatkan ilmunya. “Terima kasih guru” jawab Swandaru, “bagiku tidak akan ada batasnya untuk meningkatkan ilmu sepanjang hidup kita. Ternyata kitab guru telah memberikan cakrawala yang semakin luas bagiku, sehingga aku merasa semakin kecil. Karena itulah maka aku berusaha sejauh kemampuanku untuk semakin banyak memiliki bekal bagi perjalananku, maksudku aku sebagai seorang pemimpin di Kademangan Sangkal Putung, menghadapi perkembangan ilmu kanuragan.” “Kau benar sekali Swandaru” jawab gurunya, “tidak ada batas bagi siapapun untuk menuntut ilmu.” “Terima kasih guru. Akupun sebenarnya juga ingin menganjurkan kepada kakang Agung Sedayu, agar ia tidak tenggelam saja di dalam tugas-tugasnya sehingga lupa untuk mengembangkan ilmunya. Jika kitab guru kebetulan berada di tangannya, makaa kesempatan itu harus dipergunakan sebaik-baiknya. Memang mungkin tugas-tugas kakang sebagaimana seorang yang memimpin lingkungan anak-anak muda memerlukan waktu yang banyak sekali, namun sebaiknya kakang juga menyempatkan diri untuk meningkatkan ilmu. Karena pada suatu saat, kita akan menjadi sangat menyesal, bahwa kesempatan yang ada telah kita sia-siakan.” Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam, sementara itu Agung Sedayu pun telah mengangguk-angguk pula. “Terima kasih Swandaru” jawab Agung Sedayu, “aku memang sedang memikirkan untuk dapat membagi waktu sebaik-baiknya. Tugasku di Tanah Perdikan sebenarnya sudah tidak begitu berat lagi. Anak-anak muda dan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah banyak sekali membantu, apalagi sejak Glagah Putih ada disana. Bersama Sekar Mirah keduanya sangat meringankan tugas-tugasku, sehingga sebenarnya jika aku mau mempergunakan waktu sebaik-baiknya aku memang mempunyainya agak luang.” “Nah” berkata Swandaru, “bukankah setiap kali kakang mengalami kesulitan dengan lawan-lawan. kakang? Itu adalah pertanda bahwa kakang memang masih harus meningkatkan ilmu kakang sejauh-jauh dapat kakang lakukan.” Agung Sedayu pun mengangguk-angguk pula, sementara gurunya berkata, “Pada saat saat terakhir, Agung Sedayu sudah melakukannya meskipun mungkin waktunya tidak terlalu banyak yang dapat dipergunakan.” “Setiap waktu luang dapat kita pergunakan” sahut Swandaru, “kita jangan terikat kepada rencana waktu yang tersusun dengan kaku.” “Aku akan mencobanya Swandaru” jawab Agung Sedayu. Kiai Gringsing pun kemudian menengahi, “Kalian berdua agaknya memang mempunyai niat yang sama di dalam diri untuk meningkatkan ilmu kalian masing-masing. Yang mungkin berbeda adalah kesempatan dan cara serta laku yang dapat kalian tempuh untuk itu. Karena itu, selagi masih menyala niat di dalam diri untuk meningkat, itu merupakan bekal yang sangat berarti, karena kalian akan dapat menemukan kesempatan dan laku menurut keadaan kalian masing-masing.” Swandaru mengerutkan keningnya. Namnn kemudian ia mengangguk-angguk. Baginya, Kiai Gringsing tidak lebih dari menolong Agung Sedayu agar ia tidak tersudut ke dalam satu pengakuan, bahwa Agung Sedayu seakan-akan sudah kehilangan gairah untuk meningkatkan ilmunya dengan sungguh-sungguh. Ia hanya melakukannya sebagaimana melakukan satu kewajiban tanpa jiwa. Bagain 2, jilid 44-80 pada kesempatan lain
    • Salute to Ki Ajar …. plok plok plok plok.

      • plok plok plok plok…… juga

        😆 😆 😆

  43. Bagian 2

    Sementara itu, waktu yang tersedia bagi Ki Gede ternyata tidak dapat diperpanjang lagi. Ia pun kemudian minta diri untuk kembali ke Tanah Perdikan Menoreh bersama Kiai Gringsing dan Agung Sedayu. Pada saatnya mereka harus menghadap Panembahan Senapati untuk memberikan laporan tentang usaha Pajang untuk mengetahui kekuatan Mataram sebagai¬mana pernah dilakukan oleh para petugas sandi pada masa Pa¬jang dibayangi oleh kekuasaan Kakang Panji.

    Dengan diantar sampai ke gerbang, maka ketiga orang yang akan menuju ke Tanah Perdikan Menoreh itu pun kemudian meninggalkan rumah Ki Demang. Sejenak kemudian maka kuda-kuda mereka pun mulai berlari lari kecil menyusuri jalan di padukuhan induk, sehingga demikian kuda-kuda itu lepas dari mulut lorong padukuhan induk, maka kuda-kuda itu pun berlari semakin kencang.

    “Kita akan sampai di Tanah Perdikan malam hari” berkata Ki Gede.

    -Bukankah tidak ada keberatannya” berkata Kiai Gringsing-mudah-mudahan tidak ada gangguan apapun juga dalam perjalanan ini.”

    -Mudah-mudahan tidak.” desis Ki Gede.

    Demikianlah, maka ketiga orang itu pun berpacu semakir cepat agar mereka sampai ke tujuan tidak terlalu lambat.

    Matahari yang semakin rendah itu pun membuat ketiga orang yang menuju Ke Barat itu menjadi silau. Tetapi sejenak kemudian langit pun menjadi semakin suram, sehingga bayang-bayang senja menjadi bertambah temaram.

    Rumah-rumah di sebelah menyebelah jalan telah mulai memasang lampu minyak. Sinarnya yang terlempar lewat pintu. pintu yang masih sedikit terbuka, mewarnai senja dengan cahaya cahaya yang kekuning-kuningan.

    Semakin jauh mereka ke Barat, maka hari pun menjadi semakin gelap. Regol-regol halaman pun kemudian sebagian diterangi dengan obor-obor yang terang yang membantu orang-orang yang menempuh perjalanan tidak terlalu kegelapan.

    Ki Gede, Kiai Gringsing dan Agung Sedayu pun mempercepat derap kudanya, untuk mempercepat perjalanan mereka.

    Ternyata bahwa perjalanan mereka tidak mendapat gangguan apapun juga. Mereka dengan selamat memasuki padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh dan langsung menuju ke rumah Ki Gede.

    Di depan regol, para peronda masih duduk-duduk di dalam gardu sambil berselimut kain panjang. Sementara itu dua orang yang bertugas nganglang telah melihat kedatangan Ki Gede, sehingga mereka pun dengan tergesa-gesa kembali ke gardu.

    -Khabar apakah yang dibawa oleh Ki Gede?”bertanya salah seorang peronda yang nganglang itu.

    -Ki Gede tidak memberitahukan apa-apa. Ia hanya berhenti sebentar, tersenyum dan menyapa, “Selamat malam, lalu Ki Gede pun masuk kedalam regol.” jawab kawannya.

    Peronda yang baru saja nganglang itu pun mengerutkan keningnya. Namun ia pun tidak bertanya lagi.

    Dalam pada itu, pengawalan di dalam halaman rumah Ki Gede itu masih tetap kuat. Beberapa orang pengawal berjaga-jaga di sekitar gandok. tempat orang-orang yang tertangkap itu di tawan. Sedangkan di pendapa, Kiai Jayaraga duduk bersama dua orang pengawal, sibuk bermain macanan.

    Demikian Ki Gede memasuki halaman, maka Kiai Jayaraga pun berdesis, “Kita akhiri dahulu. Nanti kita bermain lagi.” “Nanti kita teruskan Kiai” jawab pengawal itu, “enam kali bermain enam kali aku kalah. Tetapi sebenarnya aku akan menang pada permainan yang ketujuh ini, yang justru harus dihentikan.”

    Kiai Jayaraga tertawa. Sementara itu pengawal yang seorang lagi bergumam, “Otakmu memang otak kerbau. Bagaimana kau akan dapat menang.”

    Kawannya mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Kau berani bertaruh bahwa aku akan menang kali ini?”
    -Mana mungkin aku bertaruh. Permainan ini harus dihentikan. Ki Gede sudah datang.” sahut yang lain.
    Kiai Jayaraga tidak menyahut. Tetapi ia masih saja tertawa sambil bangkit berdiri dan kemudian menyongsong kedatangan mereka yang baru saja memasuki halaman.
    Setelah menyerahkan kuda-kuda mereka serta mencuci kaki disebelah pendapa, maka me,reka pun telah naik dan duduk bersama Kiai Jayaraga.
    Pembicaraan mereka pun dengan cepatnya menjadi ramai setelah mereka.saling menanyakan keselamatan masing-masing.

    -Satu kesimpulan yang aku bawa” berkata Ki Gede, “¬aku harus menghadap Panembahan Senapati sambil membawa setidak-tidaknya seorang diantara orang-orang yang kita tangkap itu.”
    Kitai Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, “Agaknya jalan itu adalah jalan yang paling tepat yang dapat kita tempuh.

    “Sementara itu, kami akan berusaha agar Panembahan Senapati memerintahkan Untara untuk pergi ke Pajang bagi keperluan apapun juga” berkata Ki Gede.

    Kiai Jayaraga mengangguk-angguk. Ia mengerti, bahwa Untara juga bertugas untuk mengetahui serba sedikit tentang Ki Tumenggung Wiladipa yang telah menugaskan beberapa orang untuk mengetahui kekuatan Mataram.

    “Ki Gede memang harus bekerja cepat” berkata Kiai Jayaraga.

    “Ya. Aku menyadari. Karena itu, maka besok aku akan mempersiapkan diri, dan lusa aku akan menghadapi Panembahan Senapati” jawab Ki Gede.

    Kiai Jayaraga mengangguk-angguk. Memang tidak akan dapat labih cepat dari waktu yang dikatakan oleh Ki Gede itu.

    Namun dalam pada itu, Kiai Jayaraga pun bertanya, “Ki Gede apakah akan membawa keempatnya sekaligus, atau seorang saja diantara mereka?”

    “Aku akan membawa seorang saja.” jawab Ki Gede, “mudah-mudahan sudah cukup dapat memberikan keterangan, meskipun aku juga akan menyerahkan tiga orang yang lain. Tetapi tentu tidak tergesa-gesa sehingga segala sesuatunya dapat dipersiapkan labih masak.”

    Kiai Jayaraga mengangguk-angguk. Namun dalam pada itu Agung Sedayu pun berkata, “Tetapi ada satu hat yang juga harus kita pikirkan. Mungkin Ki Gede harus juga melaporkan apa yang telah dilakukan oleh Raden Rangga.”

    Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Jika perlu. Tetapi bagaimanakah pendapatmu, seandainya Panembahan Senapati tidak menanyakan persoalan itu?”

    Agung Sedayu memandang Kiai Gringsing sejenak. Kemudian katanya, “Jika Panembahan Senopati tidak menanyakannya, kita memang tidak perlu melaporkannya. Tetapi orang yang kita bawa itu mungkin akan mengatakannya tentang raden Rangga. Atau setidak-tidaknya ia akan mengatakan bahwa ia membawa tujuh orang kawan.”

    Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Jika demikian, apaboleh buat. Mungkin aku memang harus berceritera tentang sikap Raden Rangga terhadap orang-orang itu.

    Kiai Gringsing berdesah. Katanya, “Tidak ada pilihan lain Ki Gede. Seandainya dengan demikian Raden Rangga akan mendapat hukuman lagi, karena itu memang kesalahannya. Panembahan Senapati sudah menegurnya dengan seribu macam cara agar ia tidak menjadi terlalu nakal. Tetapi ternyata bahwa setiap kali ia masih lakukan kenakalan yang yang mendebarkan. Bahkan menimbulkan kematian.

    Ki Gede mengangguk-angguk. Sementara Kiai Jayaraga berkata, “Aku sependapat, justru Panembahan Senapati sebaiknya mengetahui bahwa Raden Rangga masih saja nakal, sehingga dengan demikian Panembahan Senapati dapat memikirkan langkah-langkah yang akan berarti bagi masa depan Raden Rangga. Karena jika ia dibiarkannya dengan tingkah lakunya, maka ia akan menjadi anak yang sangat berbahaya. Baik bagi Mataram maupun bagi lingkungan yang lebih luas lagi.”

    Ki Gede mengangguk-angguk. Ia pun menyadari, bahwa Sulit agaknya untuk menghindari pembicaraan tentang Raden Rangga yang menyangkut dengan orang-orang yang tertangkap dan terbunuh di Tanah Perdikan Menoreh itu.

    Demikianlah, maka akhirnya pembicaraan itu pun telah mengambil kesimpulan, bahwa sebagaimana dikatakan oleh Ki Gede, esok Ki Gede akan bersiap-siap dan dihari berikutnya, ia akan pergi ke Mataram. Ki Gede sama sekali tidak akan menyembunyikan persoalan yang menyangkut Raden Rangga dan tingkah lakunya selama ia berada di Tanah Perdikan.

    Malam itu, Agung Sedayu dan Kiai Gringsing sempat kembali kerumah Agung Sedayu untuk beristirahat. Di pagi harinya keduanya bangun pagi-pagi benar. Setelah membersihkan halaman, maka Agung Sedayu pun bersiap-siap untuk pergi ke rumah Ki Gede.

    “Apakah kakang Agung Sedayu esok juga akan pergi ke Mataram?” bertanya Sekar Mirah.

    “Aku kurang tahu Mirah. Tetapi agaknya Ki Gede akan minta aku dan Kiai Gringsing menyertainya.” jawab Agung Sedayu.

    “Aku kira kakang perlu menyertainya. Mungkin ada sesuatu yang berkembang. Justru tentang Raden Rangga di samping sudah barang tentu tentang orang-orang yang tertangkap itu” berkata Sekar Mirah. Lalu, “Glagah Putih banyak mengenal Raden Rangga. Pada saat kakang berada di Jati Anom, Glagah Putih berbicara dan bahkan berlatih pula bersama Raden Rangga itu.”

    “Ia berceritera kepadamu?” bertanya Agung Sedayu.

    “Ya. Nanti kakang dapat bertanya langsung kepadanya.” jawab Sekar Mirah.

    “Agung Sedayu mengangguk. Jawabnya, “Baiklah. Nanti aku akan bertanya kepada anak itu.”

    Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu dan Kiai Gringsing telah berada di rumah Ki Gede. Mereka menentukan seorang di antara empat orang tawanan yang akan dibawa ke Mataram. Namun ternyata tidak ada orang lain yang lebih banyak mengetahui tentang tuga-tugas yang harus mereka lakukan kecuali orang Kepandak itu. Karena itu, maka Ki Gede dan Kiai Gringsing memutuskan untuk membawa orang Kepandak itu saja ke Mataram.

    Namun, sebagaimana sudah diduga, Ki Gede selain minta Kiai Gringsing, ia pun minta Agung Sedayu menyertainya ke Mataram. Menurut pengamatan Ki Gede, Agung Sedayu mempunyai hubungan yang agak akrab dengan Panembahan Senapati.

    “Tetapi itu dulu Ki Gede” berkata Agung Sedayu, “setelah Raden Sutawijaya itu menjadi Senapati Ing Ngalaga dan kemudian ditetapkan menjadi Panembahan Senapati, maka hubunganku dengan Panembahan sudah lain. Bukan karena Panembahan Senapati menjadi sombong dan merasa dirinya terlalu besar, tetapi adat dan nilai-nilai pergaulan menuntut hal yang demikian.”

    Ki Gede mengangguk-angguk. Tetapi kemudian katanya, “Aku mengerti. Tetapi itu adalah hubungan lahiriahnya. Tetapi aku yakin bahwa hubungan jiwani di antara kau dan Panembahan itu masih tetap akrab, sehingga ia masih akan tetap mempercayaimu. Bagaimanapun juga Panembahan Senopati harus mengakui, apa saja yang pernah kau lakukan bagi Mataram.”

    “Mudah-mudahan” jawab Agung Sedayu, “aku akan berusaha untuk berbuat sebaik-baiknya. Berusaha untuk meyakinkan Panembahan Senapati agar Panembahan mengutus Kakang Untara ke Pajang. Karena Panembahan Senopati tidak akan dapat berpangku tangan menghadapi sikap” Pajang.”

    “Baiklah” jawab Ki Gede, “besok kita akan berangkat pagi-pagi benar, agar kita dapat segera kembali.”

    Agung Sedayu pun kemudian minta diri. La masih ingin berbicara dengan Glagah Putih sementara Kiai Gringsing masih berada di rumah Ki Gede sebagaimana Kiai Jayaraga yang masih juga tetap beradu di ruang itu pula.

    Tetapi Kiai Jayaraga itu kemudian berkata, “Nanti kita kembali ke rumah Agung Sedayu bersama-sama. Ki Gede sudah ada dirumah, sehingga para tawanan itu sudah akan dapat dijaga dengan baik.”

    “Tetapi jangan tergesa-gesa” berkata Ki Gede, “mungkin masih ada persoalan yang dapat kita bicarakan menjelang kepergianku besok ke Mataram.”

    Dengan demikian maka hanya Agung Sedayu sajalah yang kemudian meninggalkan rumah Ki Gede. Ia masih ingin bertemu dengan Glagah Putih untuk berbicara serba sedikit tentang Raden,Rangga.

    Ketika Agung Sedayu sampai ke rumah, maka dilihatnya Glagah Putih pun baru saja pulang. Pakaiannya basah. Ditangannya dijinjingnya sebuah kepis yang penuh dengan ikan.

    “Kau mencari ikan?” bertanya Agung Sedayu.

    “Ada tiga rumpon yang ditutup hari ini” jawab Glagah Pulih., “Lihat, aku mendapat ikan sekepis penuh.”

    Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi sebenarnyalah bahwa Glagah Putih mendapat ikan sekepis penuh.

    “Baiklah” berkata Agung Sedayu, “setelah kau bersihkan, serahkan kepada mbokayumu agar ikan itu dapat dimasak. Aku ingin berbicara sedikit.”

    “Tentang apa?” bertanya Glagah Putih.

    “Tidak tentang ikan. Aku tidak akan bertanya, bahwa hari ini kau mencari ikan di siang hari” jawab Agung Sedayu.

    “Tadi pagi-pagi benar, bukankah aku sudah membuka pliritan. Aku membawa juga ikan meskipun tidak sebanyak ini pada saat kakang sedang menyapu halaman samping.” berkata Glagah Putih pula.

    “Mandilah” desis Agung Sedayu.

    Glagah Putih dengan pakaiannya yang basah itu pun segera pergi ke pakiwan sambil membawa ganti pakaian. Setelah mencuci pakaiannya yang basah dan kemudian mandi dan berganti pakaian, Glagah Putih pergi menemui Agung Sedayu di pendapa rumahnya.

    “Kakang ingin berbicara tentang apa? Glagah Putih menjadi tidak sabar.

    “Tentang Raden Rangga” jawab Agung Sedayu.

    Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia pun kemudian bertanya, “Kenapa dengan Raden Rangga?”

    “Bukankah selama ini kau telah bertemu lagi dengan anak itu?” bertanya Agung Sedayu.

    Glagah Putih mengerutkan keningnya, Dipandanginya Agung Sedayu dengan tajamnya. Namun kemudian ia pun telah mengangguk, “Ya kakang. Aku telah bertemu lagi.”

    “Apakah ia mengatakan sesuatu tentang orang-orang yang dibunuhnya baru-baru ini?” bertanya Agung Sedayu.

    “Ya” jawab Glagah Putih, “menurut Raden Rangga, orang-orang itu memang dapat dibunuh karena sikapnya. Raden Rangga sama sekali tidak salah, menurut pendapatnya. Kecuali jika orang-orang itu menyerah, maka ia memang tidak dibenarkan untuk dibunuh. Tetapi orang yang melawan para pengawal dan petugas yang lain, dengan mengabaikan peringatan, maka jika kemudian mereka mati, itu adalah salah mereka sendiri.”

    Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Jadi menurut Raden Rangga, orang orang yang dibunuhnya itu karena mereka tidak mau menyerah?”

    “Ya” jawab Glagah Putih.

    Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia dapat mengerti jalan pikiran Raden Rangga, tetapi katanya kemudian, “Meskipun orang itu melawan, tetapi jika mungkin untuk dapat ditangkap hidup-hidup, bukankah itu lebih baik? Kematian sebaiknya dihindari sejauh jauhnya.”

    “Menurut Raden Rangga” berkata Glagah Putih, “orang-orang seperti itu, sulit untuk dapat kembali ke jalan yang benar kapanpun juga. Karena itu, seandainya mereka harus menjalani hukuman maka setelah hukuman mereka lewat, maka mereka akan kembali kedalam keadaan yang sesat itu.”

    “Kita memang dapat memperhitungkannya Glagah Putih. Tetapi betapapun redupnya, namun di dalam hati seseorang tentu ada cahaya kebaikan dan harga diri.” jawab Agung Sedayu, “karena itu sebaiknya kita tidak mengambil keputusan yang terlalu jauh seperti yang dilakukan oleh Raden Rangga. Karena sebenarnyalah bahwa kadang-kadang kita juga memerlukan keterangan-keterangan dari orang-orang seperti itu. Bahkan kita akan dapat merasa kehilangan sumber keterangan yang sangat berharga jika kita dengan tergesa-gesa mengambil keputusan untuk membunuh.”

    Glagah Putih tidak menyahut. Ia mengangguk-angguk kecil karena ia memang sependapat dengan Agung Sedayu.

    Demikianlah Agung Sedayu telah mendapatkan bahan yang akan dapat mereka bawa ke Mataram. Sikap Raden Rangga itu akan dapat dikemukakannya kepada Panembahan Senapati jika Panembahan Senapati mempersoalkannya.

    Di keesokan harinya, maka orang-orang yang akan pergi ke Mataram pun telah bersiap. Kiai Gringsing, Agung Sedayu dan Ki Gede akan pergi ke Mataram dengan membawa seorang di antara orang-orang yang telah mereka tangkap karena orang itu sedang mengamati Tanah Perdikan Menoreh dalam tugas sandinya bagi kepentingan Pajang. Sementara itu, seperti ketika Ki Gede pergi ke Jati Anom, maka Kiai Jayaraga diminta untuk mengawasi para tawanan yang lain.

    “Mudah-mudahan kita dapat langsung menghadap sehingga kita akan segera kembali” berkata Ki Gede.

    “Memang agak lain menghadap Panembahan Senapati sekarang dengan sebelumnya” berkata Kiai Gringsing, “tetapi jika kita dapat meyakinkan hahwa persoalan yang kita bawa termasuk persoalan yang pcnting, maka aku kira Panembahan Senapati akan dapat menerima kita seawal mungkin.”

    Ki Gede hanya mengangguk-angguk saja. Meskipun demikian, ia memang berharap bahwa mereka tidak perlu bermalam di Mataram.

    Ketika matahari mulai naik, ketiga orang itu pun telah berangkat tanpa di iringi oleh pengawal seorang pun meskipun

    Mereka membawa seorang tawanan. Bahkan tawanan yang mereka bawa sama sekali tidak menunjukkan bahwa orang Kepandak itu adalah seorang tawanan. Ia diberi kesempatan berkuda sebagaimana, yang lain. Namun ia langsung berada di bawah pengawasan Agung Sedayu. Dan orang Kepandak itu menyadari, bahwa ia tidak akan dapat bermain-main dengan Agung Sedayu.

    Keempat orang itu berkuda dalam satu iring-iringan. Tidak ada hambatan di perjalanan. Tidak ada orang yang menduga bahwa yang seorang dari keempat orang itu adalah tawanan, kecuali para pengawal Tanah Perdikan yang kebetulan meronda dan bertemu dengan Ki Gede di jalan. Namun para pengawal itu pun mengetahui, bahwa orang itu akan dibawa menghadap ke Mataram.

    Ketika keempat orang itu telah menyeberangi Kali Praga. Maka orang Kepandak itu benar-benar tidak lagi dapat diang¬gap sebagai seorang tawanan menurut penglihatan orang lain. Orang-orang yang berpapasan dengan mereka hanya mengang¬gap bahwa keempat orang itu bersama-sama dalam perjalanar menuju ke Mataram.
    Demikian pula ketika mereka memasuki dinding kota. Tidak seorang pun yang menaruh perhatian kepada keempat orang berkuda itu, karena ada berpuluh-puluh orang berkuda keluar masuk gerbang kota.

    . Keempat orang itu ternyata telah menuju langsung ke istana Panembahan Senapati. Mereka berharap bahwa mereka akan mendapat kesempatan hari itu juga menghadap, karena persoalan yang mereka bawa adalah persoalan yang cukup penting, sementara orang yang membawa persoalan itu pun adalah orang-orang yang dikenal baik oleh Panembahan Senapati.

    Keempat orang itu terhenti di regol samping halaman istana. Namun untunglah bahwa salah seorang perwira yang bertugas saat itu mengenal Agung Sedayu, sehingga karena itu, maka mereka pun langsung dibawa memasuki halaman.

    “Kami mohon untuk dapat menghadap” berkata Agung Sedayu ketika ia berada di gardu para penjaga di dalam halaman istana.

    “Kami akan menyampaikannya kepada para petugas dalam” jawab perwira yang memimpin penjagaan itu, “para pengawal dan petugas di dalam akan menyampaikannya kepada Panembahan Senapati.”

    “Terima kasih” jawab Ki Gede, “mudah-mudahan kami dapat segera diperkenankan menghadap.”

    “Jika tidak sedang ada persoalan yang penting yang dibicarakan biasanya Panembahan Senapati berusaha untuk mempercepat penyelesaian setiap persoalan, agar persoalan-persoalan itu tidak tertunda-tunda lagi” berkata perwira itu.

    Demikian menurut saluran yang seharusnya, maka permohonan Ki Gede untuk menghadap bersama Kiai Gringsing dan Agung Sedayu telah disampaikan kepada Panembahan Senapati. Bagaimanapun juga hubungan yang pernah ada di antara mereka tidak akan dapat terhapus, sehingga karena itu, maka Ki Gede tidak perlu menunggu.

    Ketika laporan itu disampaikan kepada Panembahan Senapati, maka dengan serta merta Panembahan berkata, “Baiklah. Bawa mereka menghadap?”

    “Sekarang Panembahan?” bertanya pelayan dalam yang menyampaikan permohonan itu.

    “Ya. Sekarang. Kapan lagi?” jawab Panembahan Senapati.

    Pelayan dalam itu pun kemudian menyampaikan pesan Panembahan Senapati itu.

    “Panembahan dapat menerima kalian sekarang” berkata perwira yang bertugas di penjagaan.

    Dengan demikian maka Ki Gede, Kiai Gringsing dan Agung Sedayu pun kemudian telah diantar untuk menghadap bersama orang Kepandak yang berhasil ditangkap di Tanah Perdikan Menoreh.

    Ternyata bahwa Panembahan Senapati masih tetap bersikap sangat akrab kepada tamu-tamunya, sehingga karena itu, maka orang Kepandak yang ikut menghadap itu menjadi heran. Seolah-olah tidak ada jarak antara Panembahan Senapati yang telah menggantikan kedudukan Kangjeng Sultan Hadiwijaya itu dengan orang-orang dari Tanah Perdikan Menoreh.

    Dengan akrab pula Panembahan Senapati telah menanyakan keselamatan tamu: tamunya dan serba sedikit keadaan Tanah Perdikan Menoreh. Baru kemudian Panembahan Senapati itu bertanya, “Apakah ada sesuatu yang penting Ki Gede. Menurut laporan, Ki Gede membawa satu masalah yang barangkali merupakan masalah Mataram dalam keseluruhannya. Bukan sekedar masalah Tanah Perdikan Menoreh.” Panembahan Senapati terdiam sejenak. Kemudian katanya sambil memandang orang yang dibawa Agung Sedayu, “Aku belum pernah mengenalnya.”

    “Hamba Panembahan” jawab Ki Gede, “tentang orang inilah maka kami bertiga menghadap.”

    Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Gede pun berkata, “Orang ini adalah orang Kepandak. Panembahan. Ia telah melakukan satu tugas sandi atas perintah para pemimpin di Pajang.”

    Panembahan Senapati mengerutkan keningnya. Kemudian ia pun bertanya, “Maksudmu, orang ini mencari keterangan tentang kekuatan Mataram yang ada di Tanah Perdikan Menoreh?”

    Ki Gede, Kiai Gringsing dan Agung Sedayu merasa heran, bahwa Panembahan Senapati langsung dapat menebak persoalan yang akan mereka sampaikan. Bahkan orang Kepandak itu pun terkejut pula.

    Panembahan Senapati melihat kerut di dahi tamu-tamunya. Karena itu maka katanya, “Jangan heran. Sebenarnyalah bahwa aku juga sudah mendapat laporan tentang hal itu. Bahkan di Mataram telah ditangkap dua. Orang yang sedang mengamati keadaan dinding kota Mataram. Dari kedua orang itu, Mataram mendapat keterangan tentang tugas-tugas sandi yang sudah diperintahkan oleh Pajang untuk melihat keadaan dan kekuatan Mataram.”

    Ki Gede menarik nafas. Hampir diluar sadarnya ia berpaling kepada Kiai Gringsing. Sementara itu Kiai Gringsing pun bertanya, “Jadi Panembahan telah mendapat laporan tentang usaha untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan Mataram?”

    “Ya. Karena itu, ketika Ki Gede menyebut tugas sandi dari Pajang, maka aku langsung dapat menebak.” jawab Panembahan Senapati.

    Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Sokurlah jika Panembahan telah mengetahuinya. Bukankah dengan demikian berarti bahwa Mataram sudah siapmenghadapi para petugas sandi itu?”

    “Kami memang sudah menyiapkan satu kesatuan untuk mengatasi para petugas sandi itu. Namun kami memang belum menghubungi para pemimpin dari daerah-daerah yang selama ini mendukung Mataram. Apalagi para Adipati di Pesisir. Satu-satunya Adipati yang sudah aku hubungi adalah adimas Pangeran Benawa,” berkata Panembahan Senapati.

    Ki Gede pun mengangguk-angguk pula. Sambil berpaling kepada orang Kepandak, maka ia pun berkata, “Ternyata ja ringan tugasmu terlalu luas.”

    Orang Kepandak itu hanya menunduk saja.

    Dalam pada itu. Panembahan Senapati pun berkata, “Tetapi bagaimana pun juga, aku tentu ingin mendengar laporan tentang Tanah Perdikan Menoreh.”

    Kiai Gringsing memandang Ki Gede sejenak. Lalu katanya, “Silahkan Ki Gede.”

    Ki Gede pun kemudian memberikan laporan tentang orang-orang yang telah datang ke Tanah Perdikan Menoreh. Mula-mula hanya dua orang, namun pada saat terakhir, ternyata yang datang adalah berlipat empat.

    “Kalian dapat menangkap semuanya?” bertanya Panembahan Senapati.

    Sebelum Ki Gede menjawab, maka orang Kepandak yang ingin menjerumuskan orang-orang Tanah Perdikan itu kedalam satu kesalahan telah menyahut, “Tidak semuanya ditangkap Panembahan. Sebagian dari kawan-kawanku telah dibunuh beramai-ramai.”

    Panembahan Senapati mengerutkan keningnya, sementara Ki Gede mengatupkan giginya rapat-rapat, seakan-akan ingin menahan kemarahan yang bergejolak di dalam jantungnya.

    “Jadi sebagian dari mereka telah terbunuh?” bertanya Panembahan.

    Orang Kepandak itu menjawab lagi, “Ya Panembahan.”

    Namun dalam pada itu, Agung Sedayu lah yang menyambung pembicaraan itu, “Memang beberapa orang di antara mereka telah terbunuh Panembahan. Tetapi mereka terbunuh dalam keadaan melawan.”

    Wajah Panembahan Senapati menjadi tegang sejenak. Namun kemudian ia pun tersenyum. Katanya, “Aku akan menghubungkan peristiwa ini dengan ceritera Rangga.”

    Wajah Agung Sedayu menegang. Namun ia tidak mengatakan sesuatu.

    Dalam pada itu, Panembahan Senapati merenung sejenak, seakan-akan sedang mengingat-ingat apa yang pernah didengarnya dari Raden Rangga. Baru sejenak kemudian ia berkata, “Agung Sedayu. Aku mendengar dari Rangga, bahwa ia memang baru saja membunuh beberapa orang di Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi menurut Rangga, yang dibunuhnya adalah beberapa orang perampok yang dengan berani melawan para pengawal. Bahkan beberapa orang pengawal mengalami kesulitan melawan perampok-perampok itu, sehingga Rangga harus turun tangan. Seorang dari perampok-perampok itu telah bertempur melawan beberapa orang pengawal, namun pengawal-pengawal itu tidak dapat mengatasinya. Karena itu, maka Rangga harus berbuat sesuatu untuk membantu mereka. Dengan demikian, menurut Rangga, perampok-perampok itu memang sepantasnya dibunuh, karena mereka melawan dan tidak bersedia untuk menyerah. Jika mereka tidak dibunuh, maka para pengawallah yang terbunuh.”

    Wajah orang Kepandak itu menegang. Namun ia tidak dapat berkata apa pun lagi. Karena jika ia masih juga mempersoalkannya, maka mungkin sekali Panembahan Senapati itu pun, akan sampai pada satu sikap, bahwa pengkhianatan memang lebih buruk dari seorang perampok.

    Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia lah yang kemudian berkata, “Jika demikian, maka terjadi salah paham. Sadar atau tidak sadar, Raden Rangga telah membunuh kawan-kawan dari orang Kepandak ini.”

    Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Bagi Panembahan Senapati yang mengenal anaknya dengan baik menganggap bahwa Raden Rangga telah melakukan perbuatannya itu dengan sengaja. Tetapi Panembahan Senapati tidak mengatakannya.

    Sementara itu Agung Sedayu, Ki Gede dan Kiai Gringsing merasa seakan-akan satu diantara beban mereka telah diletakkan. Apalagi agaknya Panembahan Senapati tidak mengambil langkah khusus bagi Raden Rangga. Meskipun mereka tidak tahu, bahwa tindakan itu akan dilakukan sepeninggal mereka.

    Ternyata untuk selanjutnya, Panembahan Senapati tidak banyak berbicara tentang Raden Rangga. Yang kemudian ditanyakan adalah tentang orang itu sendiri. Dengan nada berat Panembahan Senapati bertanya kepada orang Kepandak itu, “Ki Sanak. Sebelum kau tertangkap di Tanah Perdikan Menoreh, daerah mana sajakah yang pernah kau datangi dan kau amati kekuatannya yang mungkin dapat mendukung kekuatan Mataram?”

    “Tanah Perdikan Menoreh adalah satu-satunya daerah yang pernah aku amati” jawab orang Kepandak itu.

    Panembahan Senapati memandanginya dengan tajamnya. Tiba-tiba saja ia berkata, “Biarlah orang ini tinggal disini.”

    Wajah oiang Kepandak itu menjadi tegang. Perintah itu berarti bahwa ia harus menjawab lagi berbagai macam pertanyaan yang akan diajukan oleh orang-orang Mataram yang mungkin mempunyai cara yang labih keras dari cara orang Tanah Perdikan Menoreh memeriksanya. Namun ia tidak dapat mengelak. Karena setiap usaha untuk melawan justru berarti kesulitannya akan menjadi semakin bertambah.

    Karena itu, maka ketika Panembahan Senapati memberikan isyarat maka dua orang Pelayan Dalam telah menghadap.

    “Bahwa orang ini keluar dan masukkan kedalam tahanan” perintah Panembahan Senapati.

    Kedua orang Pelayan Dalam itu pun kemudian membawa orang Kepandak itu keluar. Namun terdengar pesan Panembahan Senapati, “Berhati-hatilah. Orang ini adalah orang yang memiliki ilmu yang baik.”

    Demikianiah, maka sepeninggal orang itu, Panembahan Senapati berkata, “Apakah kalian sudah berusaha untuk mendapat keterangan, siapakah orangnya di Pajang yang telah memerintahkan orang Kepandak itu?”

    “Hamba Panembahan” jawab Ki Gede, “perintah itu datang dari seorang pemimpin di Pajang yang bernama Ki Tumenggung Wiladipa.”¬

    “Ki Tumenggung Wiladipa” Panembahan Senapati mengulangi, “orang itu bukan orang Pajang. Aku tahu bahwa Wiladipa adalah salah seorang pemimpin dari Demak yang sekarang berpengaruh di Pajang.”

    “Ya Panembahan” Agung Sedayu lah yang menyahut, “agaknya perlu diketahui, siapakah orang itu sebenarnya.”

    “Aku tahu pasti” jawab Panembahan Senapati.

    “Kedudukannya di Pajang?” bertanya Agung Sedayu.

    “Itulah yang aku kurang jelas” jawab Panembahan Senapati, “tetapi dapat dicari jalan untuk mengetahuinya. Para petugas sandi dari Mataram akan dapat mencari keterangan tentang orang itu.”

    Agung Sedayu mengangguk, Namun ia pun kemudian mengemukakan kesediaan Untara untuk pergi ke Pajang, asalkan ia mendapatkan perintah untuk melakukan tugas apapun juga di Pajang.

    Panembahan Senapati termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Tugas apakah yang dapat aku berikan kepada Untara?”

    “Apapun Panembahan, asal ia mendapat alasan untuk berada di Pajang” jawab Agung Sedayu.

    Panembahan Senapati mengerutkan keningnya. Sambil mengagguk-angguk ia berkata, “Aku dapat memerintahkannya menghadap adimas Adipati di Pajang untuk menanyakan, kapan aku dapat mengambil pusaka-pusaka Pajang yang seharusnya dibawa ke Mataram.”

    “Jika demikian Panembahan, apakah Kakang Untara harus dipanggil menghadap?” bertanya Agung Sedayu.

    “Aku akan memerintahkan para penghubung untuk memanggilnya.” jawab Panembahan Senapati, “bukan kau.

    Agung Sedayu menarik nafas dalam dalam. Tetapi ia tidak menjawab. Sementara itu Panembahan Senapati pun berkata, “Kalian tunggu saja disini. Biarlah penghubung itu segera berangkat. Jika Untara karena tugasnya tidak dapat datang hari ini, kalian harus menunggu sampai besok.”

    Ki Gede, Agung Sedayu dan Kiai Gringsing tidak dapat menolak. Mereka pun ingin persoalan itu cepat selesai, sehingga karena itu maka meraka pun harus bersedia melakukannya.

    Hari.itu juga Panembahan Senapati telah memerintahkan dua orang penghubung untuk pergi ke Jati Anom. Mereka mendapat tugas untuk menyampaikan perintah Panembahan Senapati memanggil Untara untuk menghadap.

    Ternyata Untara tidak sedang bertugas atau melakukan sesuatu yang tidak dapat ditinggalkan. Karena itu, demikian ia mendapat perintah, maka ia pun segera bersiap untuk berangkat. Apalagi Untara mendapat keterangan dari kedua penghubung itu bahwa Ki Gede Menoreh, Kiai Gringsing dan Agung Sedayu juga berada di Mataram.

    “Tentu tugas ke Pajang” berkata Untara di dalam hatinya.

    Dengan tidak menunda, “sampai esok, maka Untara pun telah berangkat ke Mataram, bersama-sama dengan kedua penghubung yang menyampaikan perintah Panembahan Senapati.

    Tidak ada hambatan yang ditemuinya diperjalanan. Karena itu, maka sebelum malam Untara sudah berada di Mataram. Malam itu juga Panembahan Senapati telah memanggil Ki Gede Menoreh, Kiai Gringsing dan Agung Sedayu menghadap demikian ia menerima kehadiran Untara.

    Dengan singkat Panembahan Senapati menyampaikan laporan Agung sedayu tentang keadaan Tanah Perdikan dan kesediaan Untara untuk pergi ke Pajang. Baru kemudian ia bertanya, “Apakah benar begitu Untara?”

    “Hamba Panembahan. Hamba memang menyatakan kesediaan hamba untuk mencoba berhubungan dengan orang yang bernama Wiladipa” jawab Untara.

    “Baiklah. Tetapi kau harus berhati-hati. Tumenggung Wiladipa adalah seseorang yang memiliki kelebihan. Bukan saja dalam olah karturagan. Tetapi otaknya memang tajam dan yang berbahaya adalah, bahwa ia adalah seorang yang licik dan mempunyai banyak akal.” pesan Panembahan Senapati.

    “Hamba Panembahan” jawab Untara, “yang penting bagi hamba adalah berusaha untuk mengenalinya. Dengan demikian maka Mataram akan dapat mempertimbangkan langkah-langkah yang perlu diambil.”

    “Ya. Karena itu pergilah ke Pajang. Atas namaku sampaikan pertanyaan kepada adimas Adipati Pajang, kapan Mataram dapat mengambil pusaka-pusaka yang tersimpan di Pajang” berkata Panembahan Senapati.

    “Hamba Panembahan. Hamba akan melakukannya dengan sebaik-baiknya. Mudah-mudahan hamba mendapat kesempatan untuk berhubungan dengan ki Tumenggung Wiladipa dan mengetahui serba sedikit tentang dirinya.

    Hamba mempunyai banyak kawan di Pajang yang akan dapat membantu hamba,” jawab Untara.

    “Lakukanlah” berkata Panembahan Senapati selanjutnya, “terserah kepadamu, kapan kau akan pergi ke Pajang. Namun kau tahu, bahwa kita memerlukan keterangan itu secepatnya.”

    “Besok pagi-pagi sekali hamba akan berangkat ke Pajang, meskipun hamba akan singgah sebentar di Jati Anom. Sebelum fajar hamba akan meninggalkan Mataram,” jawab Untara.

    Dengan demikian, maka Panembahan Senapati pun menganggap bahwa persoalannya sudah selesai. Kiai Gringsing dan Ki Gede memang memberikan beberapa pesan bagi Untara, sementara itu maka persoalan-persoalan yang perlu diketahui oleh Untara pun telah dikemukakan pula oleh Kiai Gringsing.

    Karena itulah maka Panembahan Senapati pun kemudian mempersilahkan tamu-tamunya untuk beristirahat. Terutama Untara yang begitu datang, berbincang dan esok sebelum fajar akan meninggalkan Mataram.

    Sebenarnyalah, pada saat gelap sisa malam masih rnenyelubungi Mataram, seekor kuda telah meluncur dengan cepatnya, seperti anak panah yang dilontarkan dari busurnya.

    Seperti yang direncanakan. Untara meninggalkan Mataram sebelum fajar. Ia sempat minta diri kepada Kiai Gringsing, Ki Gede dan Agung Sedayu yang telah terbangun pula. Tetapi Untara munganggap tidakperlu lagi minta diri kepada Panembahan Senapati.

    Sementara itu, pagi itu Ki Gede Menoreh, Kiai Gringsing dan Agung Sedayu pun akan minta diri pula. Mereka tidak lagi mempunyai persoalan di Mataram, sementara itu tenaganya tentu sangat diperlukan di tanah Perdikan Menoreh. Apalagi jika kawan-kawan orang Kepandak itu mencarinya. Baik atas kehendaknya sendiri, maupun atas perintah Ki Wiladipa.

    Panembahan Senapati pun tidak mencegah mereka, karena ia pun tahu bahwa mereka mempunyai tugas mereka masing-masing di Tanah Perdikan Menoreh.

    Sementara itu, Untara berpacu menuju ke Jati Anom. Ia ingin singgah untuk minta diri kepada istrinya, bahwa ia akan menjalani satu tugas yang penting ke Pajang.

    Sebagai isteri seorang senapati, maka isteri Untara pun tidak mempersoalkan tugas itu, ketika kemudian suaminya sampai di rumah dan menyatakan tugasnya kepada isterinya.

    “Silahkan kakang beristirahat dan makan lebih dahulu” berkata isterinya.

    Untara mengangguk-angguk. Ia memang harus beristirahat. Terutama kudanya. Sementara itu isterinya telah menyiapkan makan baginya.

    Sambil makan Untara sempat bergurau sejenak dengan anaknya. Anak yang sudah tumbuh menjadi semakin besar dengan kelucuan-kelucuannya. Namun seakan-akan anak itu memang mewarisi ketrampilan ayahnya. Sejak bayi anak itu senang bermain-main dengan pedang-pedangan.

    Setelah makan dan beristirahat sejenak, maka Untara pun telah bersiap meneruskan perjalanannya menuju ke Pajang, untuk menunaikan tugas yang dibebankan dipundaknya, meskipun sebenarnya hal itu atas pernyataan kesediaannya sendiri.

    Setelah memberikan pesan kepada perwira-perwiranya, maka Untara pun segera berangkat, dikawani oleh seorang prajurit pilihan. Prajurit muda yang dengan cepat meloncati tataran demi tataran karena kelebihanya. Sabungsari.

    Perjalanan ke Pajang dari Jati Anom bukannya perjalanan yang terlalu panjang. Lebih pendek sedikit dari perjalanan ke Mataram.

    Di Pajang Untara bukannya orang asing. Tetapi Untara tidak langsung menuju ke istana. Bagaimanapun juga susunan kepemimpinan di Pajang sudah berubah, sehingga orang-orangnya pun telah banyak yang berubah pula. Sebagian dari mereka yang terpengaruh oleh kakang Panji dan kemudian orang-orang yang menentang hadirnya Mataram dengan tajam telah tidak ada di Pajang. Namun dalam pada itu beberapa orang baru telah berada di Pajang. Mereka adalah orang-orang yang semula berasal dari Demak. Di antara mereka adalah orang-orang yang bukan saja menentang kehadiran Mataram, tetapi di antara mereka terdapat orang-orang yang menentang akhirnya Pajang pada masa pemerintahan Sultan Hadiwijaya. Orang-orang tua itu sama sekali tidak ikhlas melihat Pajang tegak dan kemudian justru memimpin pemerintahan di bawah kuasa Sultan Hadiwijaya. Tetapi mereka tidak mempunyai kekuatan untuk menentang.

    Karena itu sejak jatuhnya Pajang dan kekuasaan berpindah ke Mataram, mereka berusaha untuk mendapat jalan untuk melepaskan kekecewaannya. Meskipun mereka tidak lagi dituntun oleh satu tujuan tertentu yang diyakini, namun ada gejala bahwa orang-orang itu sekedar melepaskan kekecewaannya dengan menimbulkan kericuhan dan kekacauan. Bukan saja dalam ujud kewadagan, tetapi juga kekisruhan jiwani dan kekisruhan batin.

    Sementara itu, .Untara dan Sabungsari telah memasuki Pajang.

    Namun mereka menuju ke sebuah rumah di pinggir kota Raja, rumah yang dikenal baik oleh Untara.

    Kedatangan Untara memang mengejutkan orang itu. Dengan tergesa-gesa ia mempersilahkan Untara dan Sabungsari naik ke pendapa.

    “Pantas, burung prenjak berkicau sepanjang hari” berkata orang itu, “ternyata aku akan mendapat tamu sahabat yang sudah lama tidak bertemu.”

    Untara tertawa. Di perkenalkannya Sabungsari, salah seorang kawannya dari Jati Anom.

    “Apakah Ki Sanak ini memang anak muda Jati Anom?” bertanya sahabatnya.

    “Ya” jawab Untara ragu-ragu. Namun akhirnya ia mengambil ketetapan bahwa ia tidak akan berbohong. Sambil beringsut sejengkal ia berkata, “Anak muda ini adalah salah seorang perwira dari prajurit Mataram. Ia adalah perwira bawahanku. Kami berdua mendapat tugas untuk menghadap Adipati Pajang. Bukankah kau sampai saat ini masih seorang prajurit Pajang?”

    “Ternyata aku termasuk orang-orang yang lolos dari sela-sela jari-jari suri yang rapat. Aku memang masih seorang prajurit sampai saat ini.” berkata orang itu.

    Untara mengangguk-angguk. Katanya, “Sokurlah. Aku memerlukan bantuanmu. Kau sudah membantu aku pada waktu itu, sehingga aku berhasil menghadap Kangjeng Sultan meskipun kau sendiri juga harus mengalami mabuk kecubung” berkata Untara.

    Kawannya,itu tersenyum. Namun katanya, “Tetapi kedudukanku se karang menjadi semakin rendah. Jika aku dahulu mengabdi kepada seorang Raja, maka sekarang aku berada di bawah perintah panglima keprajuritan dalam tataran Kadipaten.”

    “Bukan apa-apa” jawab Untara, “bukankah yang penting kau dapat mengabdikan dirimu bagi Tanah Kelahiran ini dan dapat mencukupi kebutuhan hidup anak dan isterimu?”

    “Ya. Memang satu tujuan yang sederhana dari hidupku memang demikian. Meskipun kadang-kadang juga bergejolak perasaan yang agak asing di dalam hati ini” berkata kawannya itu.

    Untara mengangguk-angguk. Namun kemudian ia berkata, “Sebenarnya aku memang akan menghadap Kangjeng Adipati. Aku mendapat perintah langsung dari Panembahan Senapati di Mataram untuk menyampaikan satu pesan kepada Kangjeng Adipati.”

    “Pesan apa?” bertanya kawannya.

    “Pesan itu untuk Kangjeng Adipati. Bukan untukmu” jawab Untara.

    Kawannya tertawa. Namun kemudian jawabnya, “Baiklah. Nanti aku akan menyampaikan permohonan itu. Mudah-mudahan segera mendapat tanggapan. Tetapi dimana kau akan bermalam nanti?”

    “Bukan masalah” jawab Untara.

    “Bermalam sajalah di rumahku . Meskipun aku harus tidur di amben besar di gandok yang kosong itu.” berkata kawannya.

    “Terima kasih. Aku dapat tidur dimana saja” jawab Untara.

    “Beristirahatlah. Aku akan pergi ke istana berkata kawannya.

    “Nanti dulu” cegah Untara, “aku masih mempunyai beberapa pertanyaan lagi kepadamu.”

    “Tentang apa?” bertanya kawannya.

    “Apakah di Pajang sekarang ada seorang tumenggung yang bernama Wiladipa?” bertanya Untara.

    “Tumenggung Wiladipa maksudmu?” ulang kawan Untara.

    “Ya, Tumenggung Wiladipa yang menurut pendengaranku datang dari Demak” jawab Untara.

    Kawannya mengangguk-angguk. Katanya, “Benar Untara. Seorang Tumenggung yang telah berusia menjelang tua berada di Pajang sekarang. Ia adalah seorang Tumenggung yang meskipun sudah menjelang hari-hari tuanya, namun masih mempunyai kemampuan kerja melampaui anak-anak muda. Karena itu, ia termasuk satu di antara beberapa orang yang mendapat kepercayaan dari Kangjeng Adipati di Pajang.”

    Untara mengangguk-angguk. Tetapi ia masih harus mengenal ciri-ciri orang itu. Karena itu, maka ia ingin dapat bertemu langsung dengan orang yang di sebutnya itu.

    Meskipun demikian Untara tidak langsung mengatakannya. Ia akan menyimpan persoalan itu sampai datang kesempatan yang cukup baik untuk berbicara lebih panjang.

    Karena itu, maka yang dibicarakannya kemudian adalah sekedar mengenai lingkungan masing-masing. Untara telah mendengar ceritera tentang perkembangan Pajang pada masa-masa terakhir, sebelum kawannya pergi ke Istana,

    Beberapa saat kemudian, kawan Untara itu telah berada di istana. Ia tidak segera menyampaikan pesan Untara. Tetapi karena ia tahu persoalan yang dihadapi oleh Untara, karena hubungan antara Pajang dan Mataram yang nampaknya sedang diliputi oleh kemelut yang suram, maka kawan Untara itu pun berusaha untuk mencari kesempatan yang sebaik-baiknya untuk dapat langsung menyampaikan kepada Adipati Pajang, bahwa Untara atas perintah Panembahan Senapati mohon menghadap.

    Ternyata bahwa perwira itu berhasil. Dengan berbagai macam alasan ia menyusup masuk keruang dalam. Kepada Pelayan Dalam ia minta agar disampaikan satu permohonan untuk menghadap.

    Adipati Pajang ternyata tidak sedang sibuk sekali, sehingga karena itu, maka pewrwira itu telah dipanggil di ruang penghadapan yang khusus. Di Paseban dalam.

    “Kepentingan apa yang ingin kau sampaikan?” bertanya Adipati Pajang.

    “Ampun Kangjeng Adipati” jawab perwira itu, “telah datang di Pajang utusan Panembahan Senapati untuk menghadap Kangjeng Adipati.”

    “O” Adipati Pajang itu mengangguk-angguk, “untuk apa ia menghadap?”

    “Senapati Mataram itu membawa pesan yang hanya akan disampaikan kepada Kangjeng Adipati saja” jawab perwira itu.

    “Dimana orang itu sekarang?” bertanya Adipati Pajang., “Dirumah hamba Kangjeng Adipati” jawab perwira itu.

    Adipati Pajang itu mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Kenapa dirumahmu? Apakah ia tidak datang ke istana ini?”

    “Hamba akan memanggilnya,” jawab kawan Untara itu., “Kenapa ia tidak menghadap dalam urutan paugeran yang biasa? Nampaknya kau telah berusaha dengan cara yang khusus agar orang itu dapat langsung menghadap aku” berkata Adipati Pajang.

    “Hamba Kangjeng Adipati” jawab perwira itu, “jika ia harus melalui jalur yang sewajarnya, maka mungkin baru dalam dua hari ia dapat menghadap, karena alasan-alasan yang tidak dapat hamba katakan. Namun jika Senapati dari Mataram itu tidak bersedia menunggu dan kembali ke Mataram, maka persoalannya akan menjadi rumit” berkata perwira itu.

    “O. Jadi seharusnya aku takut menghadapi sikap yang demikian?” berkata Adipati Pajang.

    “Bukan takut Kangjeng Adipati-jawab perwira itu, “ tetapi hamba adalah seorang prajurit yang sudah cukup lama berada di Pajang. Tentu Kangjeng Adipati menyadari, bahwa hubungan antara Pajang dan Mataram sekarang ini seakan-akan dibatasi oleh helai-helai kabut yang hitam. Yang akan dapat semakin gelap jika itu tidak bersedia menunggu sampai dua hari.”

    “Aku tidak takut” jawab Adipati Pajang.

    “Bukan soal takut dan tidak takut Kangjeng Adipati” berkata perwira itu, meskipun tubuhnya mulai gemetar karena ternyata ia sudah terlalu banyak berbicara, “tetapi hamba pernah melihat pertentangan antara Pajang dan Mataram yang memuncak, yang kemudian justru telah terjadi benturan kekerasan di seberang-menyeberang Kali Opak. Hamba serasa menjadi jera untuk melihat pertentangan seperti itu lagi diantara sanak kadang. Tetapi seandainya hamba harus maju berperang melawan pemberontakan yang manapun dan betapapun kuatnya, hamba tidak akan gentar, karena hamba memang seorang prajurit.”

    Adipati Pajang itu menarik nafas dalam-dalam. Namun tiba-tiba saja ia bertanya, “Tetapi kenapa kau menduga, bahwa jika Untara berusaha menghadap aku dengan laku yang sewajarnya, maka ia akan mengalami kesulitan?”

    “Hamba tidak dapat menyebutkannya Kangjeng Adipati” jawab perwira itu.

    “Kau tentu menduga bahwa ada orang-orang yang telah dengan sengaja mengeruhkan suasana. Mengeruhkan hubungan antara Pajang dan Mataram” berkata Adipati Pajang. Namun suaranya menjadi keras, “He, kau sudah menghina aku. Kau kira aku tidak mempunyai sikap sendiri, sehingga ada sekelompok orang yang mempengaruhi sikapku dalam hubunganku dengan Mataram.”

    “Hamba tidak mengatakannya demikian Kangjeng Adipati” jawab perwira yang menjadi semakin berdebar-debar itu, “tetapi seperti yang sudah hamba katakan. Hamba adalah seorang prajurit yang sudah tua. Yang tidak banyak dapat berbuat lagi. Namun demikian pengalaman hamba yang panjang membuat hamba kadang-kadang cemas menghadapi keadaan sekarang ini. Kehadiran perwira-perwira dari Demak telah menentukan satu keadaan yang berbeda dari yang seharusnya terjadi.”

    “Kau merasa iri he?” geram Adipati Pajang, “beberapa orang perwira dari Demak telah mendapat kesempatan untuk ikut memimpin Kadipaten ini karena mereka mempunyai otak yang cerdas, yang tajam dan memiliki pengetahuan yang luas. Sedang kau adalah perwira yang memanjat kejenjang pangkatmu sekarang hanya karena umur pengabdianmu. Itu pun pengabdianmu kepada Sultan Pajang. Bukan kepadaku.”

    Perwira itu menundukkan kepalanya. Namun kemudian dengan nada rendah ia berkata, “Hamba akan memanggil Senapati Mataram itu.”

    Adipati Pajang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Panggil orang itu kemari. Aku justru ingin berbicara dengan orang itu. Bukan karena aku menjadi ketakutan dan tidak berani menolaknya untuk menghadap.”

    Perwira itu tidak menjawab lagi. Ia tidak mau merusak kesediaan Adipati Pajang untuk menerima Untara, apapun alasannya.

    Bahkan ia pun telah mohon diri untuk memanggil Untara.

    Ketika ia keluar dari Paseban Dalam dan turun kelongkangan, maka dua orang prajurit telah menunggunya. Kemudian ia pun dibawa kepada seorang perwira yang sedang bertugas.

    “Kau menghadap dengan cara yang tidak wajar berkata perwira itu.

    Perwira kawan Untara itu memandang kawannya yang bertugas dengan pandangan yang tajam. Dengan suara berat ia bertanya, “Apakah yang tidak wajar?”

    “Kau ternyata telah menempuh jalan yang tidak biasa harus dilakukan bila seseorang ingin menghadap Kangjeng Adipati.” berkata perwira yang sedang bertugas itu.

    “Bagaimana jalan yang biasa? Bukankah aku juga sudah melaporkan bahwa aku ingin menghadap?”bertanya kawan Untara.

    “Ya, Kau baru memberitahukan. Tetapi kau belum dipersilahkan. Kau langsung berhubungan dengan Pelayan Dalam dan menyampaikan permohonan kepada Kangjeng Adipati. Seharusnya bukan kau yang berhubungan dengan Pelayan Dalam. Tetapi para petugas.” jawab perwira yang bertugas.

    “0, bukankah dengan demikian aku sudah memperingan kewajibanmu. Dengan demikian kau tidak perlu datang kepada Pelayan Dalam yang bertugas untuk menyampaikan setiap permohonan menghadap” berkata kawan Untara itu dengan tersenyum.

    “Kau kira dengan cara itu aku dapat memanfaatkan langkahmu?” bertanya petugas itu, “dengan tersenyum-senyum dan tertawa-tawa kau kira kami akan melupakan tegaknya paugeran yang berlaku?”

    Wajah kawan Untara itu menegang. Dengan nada berat ia berkata -Jangan terlalu kasar Ki Sanak.”

    “Kami, para pengawal khusus yang bertanggung jawab atas keselamatan Kangjeng Adipati tidak dapat dipermainkan. Kami dapat mengambil langkah-langkah khusus bagi siapa pun.” berkata petugas itu.

    “Apa yang dapat kau lakukan?”bertanya kawan Untara, “aku sudah terlanjur menghadap. Aku sudah menerima perintah-perintah dari Kangjeng Adipati, sehingga aku harus mempertanggungjawabkan perintah itu.”

    “Kau jangan mencoba mempermainkan kami. Kami adalah prajurit dari pasukan pengawal khusus” berkata perwira yang sedang bertugas itu.

    “Kau kira aku apa?” kawan Untara itu kehilangan kesabaran, “aku adalah seorang perwira dari pasukan tempur berkuda. He, kau dengar? Kau jangan mencoba menakut-nakuti aku dengan gelar keprajuritanmu itu. Kita sama-sama prajurit meskipun aku sudah lebih tua dan barangkali nafasku tidak sepanjang nafasmu lagi.”

    Wajah perwira yang bertugas itu menjadi merah. Katanya, “Kau berada diantara para pengawal.”

    Apa peduliku. Jika kalian mencoba mengganggu aku sekarang, maka kalian akan dihancurkan oleh pasukanku. Apalagi aku membawa perintah Kangjeng Adipati. Setiap usaha kalian menghambat tugasku, maka kalian telah memberontak terhadap Kangjeng Adipati Pajang yang sah sekarang ini. Ingat, kau berada di Pajang. Kau tidak berada di Demak sekarang ini.”

    Wajah perwira pengawal itu bagaikan membara. Tetapi sekali lagi kawan Untara itu menjelaskan, “Aku membawa perintah Kangjeng Adipati. Kau dengar?”

    Jantung perwira yang sedang bertugas itu serasa berdentang semakin keras. Namun mereka harus berpikir dua kali sebelum mengambil tindakan. Perwira tua itu sudah berhasil menghadap dan menerima perintah-perintah.

    Bahkan kawan Untara itu berkata, “Jika dalam waktu singkat, aku belum menghadap bersama orang yang dikehendaki oleh Kangjeng Adipati maka semua tanggung jawab akan aku bebankan kepadamu.”

    Perwira yang sedang bertugas itu tidak menjawab. Ia harus menahan kemarahannya di dalam dadanya. Sementara perwira yang telah menghadap Kangjeng Adipati itu pun meninggalkannya dengan langkah yang cepat.

    Beberapa saat kemudian, perwira itu telah kembali ke rumahnya dan menemui Untara yang menantinya dengan berdebar-debar. Tanpa menyembunyikan sesuatu, maka kawan Untara itu telah menyampaikan hasil kepergiannya menghadap Kangjeng Adipati.

    “Aku tidak dapat menyembunyikan kenyataan, bahwa sekelompok prajurit dari Demak telah melingkari kuasa Kangjeng Adipati.” berkata kawan Untara itu.

    Untara mengagguk-angguk. Dengan nada datar ia bertanya, “Jadi, apakah aku dapat menghadap?”

    “Ya. Kita pergi bersama-sama” jawab kawannya. Dengan pakaian kebesaran seorang Senapati Mataram. Untara dan Sabungsari telah pergi ke istana bersama seorang perwira Pajang. Kehadiran mereka memang banyak yang menarik perhatian. Para petugas berusaha untuk menahan mereka.

    Tetapi kawan Untara berkata, “Ingat. Kangjeng Adipati sekarang masih duduk di Paseban Dalam menunggu kehadiran tamunya dari Pajang yang datang atasnama Panembahan Senapati. Setiap usaha untuk menahannya, maka berarti paksaan bagi Kangjeng Adipati untuk berada di Paseban Dalam menunggu dengan gelisah.”

    “Kau selalu mencoba mempergunakan nama Kangjeng Adipati untuk memaksakan kehendakmu” berkata perwira yang bertugas.

    “Cobalah datang ke Paseban Dalam. Bertanyalah langsung kepada Kangjeng Adipati” geram perwira itu.

    Para petugas tidak dapat menahan mereka lagi. Karena itu, maka dibiarkannya perwira Pajang dari kesatuan tempur berkuda itu membawa Untara dan Sabungsari untuk memasuki ruang penghadapan khusus.

    Ternyata Kangjeng Adipati sudah tidak ada di tempat itu. Seandainya perwira yang sedang bertugas itu benar-benar melihat ruang Paseban Dalam, maka ia mungkin akan mengambil langkah-langkah yang lain.

    Seorang Pelayan Dalam telah menyampaikan kehadiran Untara dan Sabungsari atas nama Panembahan Senopati kepada Kangjeng Adipati di Pajang, sehingga karena itu, maka Kangjeng Adipati pun telah keluar pula untuk menerimanya, karena sebenarnyalah bahwa Kangjeng Adipati memang sudah menyatakan kesediaannya untuk menerima tamunya itu.

    Perwira dari pasukan berkuda Pajang bersama Untara dan Sabungsari benar-benar diterima oleh Kangjeng Adipati Wirabumi di Pajang. Dengan wajah yang nampak bersungguh-sungguh Adipati Pajang bertanya, “Apakah kalian utusan dari Panembahan Senapati di Mataram?”

    “Hamba Kangjeng Adipati” jawab Untara, “hamba adalah utusan dari Panembahan Senapati di Mataram.”

    “Aku sudah tahu apa yang akan kau katakan, sebagaimana pernah disebut oleh seorang utusan yang datang lebih dahulu dari kalian beberapa saat yang lalu” berkata Adipati Pajang.

    Untara mengangkat wajahnya sejenak. Namun wajah itu telah tunduk kembali. Dengan nada dalam Untara berkata, “Ampun Kangjeng Adipati. Hamba adalah sekedar utusan.”

    “Ya. Aku tahu. Karena itu, aku perlakukan kau dengan khusus. Aku tahu bahwa kau datang menghadap tidak lewat ketentuan sebagaimana paugeran yang berlaku. Tetapi aku tidak berkeberatan” berkata Adipati Pajang, “bukankah kau mendapat tugas dari Kakangmas Panembahan Senapati untuk Menanyakan pusaka-pusaka yang masih ada di Pajang?” Untara termangu-mangu sejenak. Namun kemudian jawabnya, “Hamba Kangjeng Adipati.”

    “Bukankah aku sudah memberikan jawaban kepada Kakangmas Panembahan Senapati beberapa saat yang lalu?” berkata Adipati Pajang itu.

    “Panembahan Senapati tidak menyebutkan nya Kangjeng Adipati” jawab Untara.

    Kangjeng Adipati itu mengangguk-angguk. Katanya, “Beberapa saat yang lalu aku memang menjawab, agar Kakangmas Panembahan agak bersabar. Baru kemudian aku akan menentukan sikap. Mungkin Panembahan Senapati sekarang sudah menganggap waktunya untuk mempertanyakan lagi tentang pusaka-pusaka itu.”

    Untara mengangguk kecil. Katanya, “Mungkin Kangjeng Adipati. Segala sesuatunya terserah kepada Kangjeng Adipati.”

    Kangjeng Adipati Wirabumi itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku minta kau bersedia bermalam barang semalam di Pajang. Aku akan membicarakannya dengan para pemimpin dan orang-orang tua yang aku anggap akan dapat memberikan pendapatnya.”

    Kawan Untara itu di luar sadarnya telah beringsut sambil menengadahkan kepalanya. Namun kemudian ia pun telah menunduk lagi.

    Sementara itu, Kangjeng Adipati telah berkata, “Kau dapat bermalam semalam. Besok aku akan memberikan jawaban.”

    Adalah kebetulan sekali bagi Untara, bahwa ia mendapat kesempatan untuk menjawab. Karena dengan demikian ia akan mendapat kesempatan untuk mengenal Ki Tumenggung Wiladipa. Jika ia sendiri tidak sempat bertemu dan berbicara serba sedikit, maka beberapa orang kawan-kawannya tentu akan dapat membantunya. Sebagainya kawannya yang masih tetap berada dilingkungan pasukan berkuda itu.

    Karena itu maka katanya, “Ampun Kangjeng Adipati. Hamba akan menunggu sebagaimana titah Kangjeng Adipati.” “Baiklah” berkata Adipati Pajang, “aku perkenankan kau meninggalkan ruang ini. Besok kau dapat menghadap lagi.”

    “Terima kasih atas kemurahan hati Kangjeng Adipati yang telah bersedia menerima kedatangan hamba” berkata Untara kemudian.

    “Kau adalah utusan Panembahan Senapati” berkata Adipati Pajang, “karena itu aku harus menerimamu sebagai satu penghormatan kepada Panembahan Senapati sendiri.”

    Untara mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Hamba mohon diri Kangjeng Adipati. Besok hamba akan menghadap lagi.”

    Namun dalam pada itu kawan Untara itu pun berkata, “Ampun Kangjeng Adipati. Betapapun juga, hamba wajib melaporkan, bahwa untuk menghadap Kangjeng Adipati, kami akan mendapat hambatan-hambatan dari para petugas, karena sebenarnyalah kami menghadapi tidak dengan cara yang sewajarnya.”

    “Aku akan memerintahkan para pengawal untuk memberikan kesempatan kepada kalian untuk menghadap, kapan saja kalian datang besok.” berkata Kangjeng Adipati, “aku akan menempatkan seorang prajurit Pelayan Dalam untuk berada di parondan.”

    “Hamba Kangjeng Adipati. Hamba mengucapkan terima kasih” berkata kawan Untara.

    Merekapun kemudian minta diri untuk meninggalkan Paseban Dalam untuk menghadap kembali dikeesokan harinya.

    Sebagaimana yang telah mereka duga, ketika mereka berada di longkangan, maka dua orang prajurit telah menunggu mereka dan minta agar mereka singgah di gardu para petugas.

    Seorang perwira telah menunggunya bersama perwira yang pada kesempatan menghadap yang pertama bagi kawan Untara, telah memanggilnya.

    Dengan wajah yang keras perwira itu bertanya, “Siapakah diantara kalian yang bertanggung jawab atas usaha kalian menghadap Kangjeng Adipati dengan tidak wajar?”

    “Seharusnya kau tidak bertanya seperti itu” perwira kawan Untara itulah yang menjawab, “kau tentu sudah tahu dari laporan yang diberikan kepadamu, bahwa akulah yang telah membawa kedua utusan ini menghadap, kenapa kau masih juga bertanya?”

    Wajah perwira itu menegang. Namun kawan Untara itu berkata, “Sesuai dengan perintah Kangjeng Adipati, kami tidak boleh menjawab pertanyaan apapun juga.”

    “Omong kosong” geram perwira itu.

    “Aku akan pergi.” jawab kawan Untara., “Tunggu” minta perwira yang bertugas.

    “Tidak” kawan Untara itu pun kemudian menggamit Untara yang termangu-mangu. Katanya, “Kita harus melakukan apa yang diperintahkan oleh Kangjeng Adipati. Jika mereka tidak percaya, biarlah mereka berhubungan dengan Kangjeng Adipati.”

    Wajah perwira itu. Menjadi tegang. Namun kawan Untara tidak menghiraukannya. Ia pun melangkah pergi diikuti oleh Untara dan Sabungsari.

    Ternyata perwira itu tidak dapat berbuat apa-apa. Setiap langkah mereka dibayangi oleh keterangan kawan Untara, bahwa yang mereka lakukan adalah perintah dari Kangjeng Adipati.

    “Jangan sampai terulang lagi” geram perwira itu, “setiap orang yang akan menghadap Kangjeng Adipati harus kita ketahui dengan pasti, apakah maksudnya dan kitalah yang harus mengatur, kapan orang-orang itu dapat menghadap. Jika agaknya orang-orang itu akan membawa persolan yang gawat, maka pertemuannya dengan Kangjeng Adipati harus ditunda sampai Kangjeng Adipati mendapat bahan untuk mengatasi persoalannya.

    Para prajurit yang bertugas tidak ada yang menjawab. Mereka hanya menundukkan kepalanya saja. Mereka menyadari, bahwa mereka telah bersepakat untuk sejauh mungkin membatasi hubungan Kangjeng Adipati dengan orang-orang yang tidak mereka kenal dengan pasti sikap dan pandangannya

    Terhadap arah perkembangan Pajang sebagaimana mereka kehendaki. Karena itu, maka mereka harus dengan ketat mengamati orang-orang yang atas kehendak mereka sendiri berusaha untuk menghadap apapun keperluannya.

    Sementara itu, Untara dan Sabungsari telah berada kembali di rumah Sahabatnya, seorang prajurit dari pasukan berkuda. Namun yang dalam beberapa hal tidak banyak lagi memegang peranan, setelah beberapa kelompok prajurit dari Demak berada di Pajang, sedangkan para pemimpinnya berhasil mengitari Kangjeng Adipati Pajang untuk memberikan batasan-batasan yang tidak disadari oleh Kangjeng Adipati sendiri.

    Dalam pada itu, orang-orang Demak yang berada di Pajang itu masih juga dibayangi oleh kekecewaan mereka terhadap kekuasaan Adipati Hadiwijaya yang kemudian diangkat menjadi Sultan di Pajang. Dan yang kemudian dendam itu telah tertuju kepada pemegang Kekuasaan yang menggantikannya, Panembahan Senapati di Mataram. Beberapa orang tua di Demak dengan cerdik telah menurunkan dendam itu kepada angkatan yang lebih muda, sehingga dengan demikian, maka mereka mempunyai dukungan kekuatan untuk berbuat sesuai dengan keinginan mereka. Bahkan mereka telah berhasil mempengaruhi beberapa pihak di Pajang yang juga kecewa terhadap perpindahan kekuasaan dari pajang ke Mataram.

    Diantara para pemimpin yang kemudian berada di Pajang adalah Ki Tumenggung Wiladipa.

    Untara dan Sabungsari yang mendapat kesempatan untuk berada di Pajang sampai hari berikutnya, ternyata tidak mempunyai kesempatan untuk banyak bergerak. Belum lagi ia sempat beristirahat, maka seorang perwira dan dua orang pengawalnya telah datang kerumah kawan Untara itu.

    “Kami ingin bertemu dengan Untara” berkata perwira Itu.

    “Untuk apa” bertanya kawan Untara, “ia adalah tamuku. Karena itu, maka kehadirannya di sini adalah dalam tanggung jawabku.”

    “Kami tidak akan berbuat apa-apa. Kami hanya ingin berbicara serba sedikit” berkata perwira itu.

    Kawan Untara itu pun kemudian memanggil Untara yang berada di gandok bersama Sabungsari, “Berhati-hatilah. Tetapi aku mohon kau mengekang diri sedikit. Bagaimanapun juga, kau berada di antara mereka.”

    Untara mengangguk-angguk. Katanya, “Aku akan berusaha. Tetapi aku adalah utusan Panembahan senapati.

    “Sebaiknya kau berpijak kepada keberhasilan perjalananmu ini. Bukan sekedar harga diri” berkata kawan Untara.

    Untara tidak menjawab. Tetapi ia mengangguk kecil.

    Sejenak kemudian, maka Untara dan Sabungsari pun telah duduk di pendapa bersama kawan Untara menghadapi perwira dan orang mengawalnya yang datang ke rumah itu.

    Dengan suara yang berat perwira itu berkata, “Untara, kedatanganmu telah menimbulkan berbagai pertanyaan di kalangan para prajurit. Terutama para prajurit Pajang sendiri. Beberapa orang perwira telah datang kepadaku untuk mempertanyakan kehadiranmu.”

    “Apa yang mereka pertanyakan?” bertanya Untara.

    “Kau datang atas nama siapa?” jawab perwira itu, “hal ini mereka tanyakan, karena kau bagi mereka, sekali lagi aku ulangi kau bagi mereka adalah seorang pengkhianat.”

    HABIS

  44. matursuun pak de… kekekek

  45. terimakasih atas kesempatan bisa membaca kembali cerita yang pernab saya baca pada th1983 .waktu saya tinggal di surabaya


Tinggalkan Balasan ke Arema Batalkan balasan