Buku IV-12

312-00

Telah Terbit on 29 Juli 2009 at 08:51  Comments (151)  

The URI to TrackBack this entry is: https://adbmcadangan.wordpress.com/buku-iv-12/trackback/

RSS feed for comments on this post.

151 KomentarTinggalkan komentar

  1. Makasih Ki …..

  2. Sobakhul sururr……..
    Syukron….nyi

  3. Matur nuwun kagem panjenengan nipun sesepuh padepokkan, esuk-esuk sarapan kitab 312

    Ki Gandudemung

  4. tenkyu…kerja maning…

  5. Sarapan tahu karo dadar
    Tapi aku kok tetep luwe
    Tak kiro durung diwedar
    Tibak-e aku keri dewe

    suwuuuuuun

  6. Ngunduh Kitab no.1 dari belakang
    Matur Nuwun………Terima Kasih

  7. loh kok sepi

  8. Api di Bukit Menoreh
    Jilid IV – 12
    Bagian 1 dari 3

    NAMUN di antara pertempuran yang sengit itu, Sekar Mirah masih sempat bertanya, “Bagaimana Nyi Dwani, apakah kau setuju? Jika kau setuju, maka kita membuat persetujuan tersendiri.”

    “Tetapi apakah kau berkata sebenarnya bahwa Ki Saba Lintang telah mengambil Rara Wulan?”

    “Jika tidak, kami tidak akan menempuh perjalanan yang demikian jauhnya.”

    Nyi Dwani tidak menjawab. Tetapi diulurkannya pedangnya ke arah dada Sekar Mirah. Dengan tangkasnya Sekar Mirah menangkis serangan itu sambil bergeser ke samping.

    “Aku akan berbicara dengan Ayah,” desis Nyi Dwani kemudian.

    “Ayahmu mengulangi pertempurannya melawan Ki Jayaraga. Ki Jayaraga tahu, bahwa ketika Empu Wisanata bertempur di Tanah Perdikan Menoreh, ia belum sampai puncak tertinggi ilmunya. Agaknya masih ada yang tersisa. Nah, mungkin Ayahmu akan melepaskannya dalam pertempuran ini. Jika demikian, maka akan terjadi pertempuran habis-habisan antara Empu Wisanata melawan Ki Jayaraga.”

    “Apakah Ki Jayaraga masih mampu meningkatkan ilmunya lagi?” bertanya Nyi Dwani.

    “Ya Ki Jayaraga adalah seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi.”

    Nyi Dwani meloncat surut. Pedangnya masih teracu. Tetapi ia bertanya, “Apakah ilmu itu sangat berbahaya?”

    “Tetapi Ki Jayaraga bukan seorang yang tidak mampu mengendalikan perasaannya. Ia seorang tua yang jiwanya sudah mengendap, sehingga ia tidak akan bertindak tanpa kendali.”

    Nyi Dwani memutar pedangnya. Sekali-sekali pedang itu menebas mendatar. Sekali-sekali mematuk ke arah jantung. Tetapi pedang itu tidak pernah menyentuh kulit Sekar Mirah.

    Dalam pada itu, Nyi Dwani pun kemudian berkata, “Sebenarnya Ayah tidak begitu sependapat dengan cara yang ditempuh oleh Empu Tunggul Pawaka ini. Ayah pun tidak sependapat bahwa aku harus dilibatkan langsung. Aku harus mengawasi Ki Ajar Trikaya sehari-hari. Aku tidak boleh berbicara terutama di hadapan para cantrik, sehingga aku disebutnya cacat.”

    “Nah, pertimbangkan baik-baik, Nyi,” berkata Sekar Mirah. Nyi Dwani tidak segera menjawab. Tetapi keduanya masih bertempur terus, ke-duanya berloncatan semakin cepat. Senjata mereka pun berputaran di sekitar tubuh mereka. Benturan sering pula terjadi. Namun tongkat baja putih Sekar Mirah juga masih belum menyentuh tubuh Nyi Dwani.

    “Nyi,” bertanya Sekar Mirah kemudian, “seandainya tadi Nyi Dwani lepas, sebenarnya Nyi Dwani akan pergi ke mana?”

    “Aku akan mencari Saba Lintang, cerita Ki Lurah Agung Sedayu dan ceritamu membuat hatiku panas. Aku tidak mau mendengar Ayah mencegahku. Sehingga ketika aku pergi, Ayah menyusulku bersama seorang pembantu Empu Tunggul Pawaka. Aku tidak mengira bahwa di luar padepokan ini masih ada orang lain.”

    “Nyi Dwani memang harus bertemu dengan Ki Saba Lintang.”

    Nyi Dwani terdiam. Sementara itu terdengar seorang bertempur sambil berteriak-teriak kasar.

    “Siapa yang berteriak-teriak itu?”

    “Seorang yang berilmu tinggi. Namanya Ki Sela Antep.”

    “Apakah ia juga murid perguruan Kedung Jati?”

    “Bukankah kau dapat mengenali ilmunya?”

    “Aku sedang bertempur.”

    Nyi Dwani menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku tahu. Kau harus tetap hati-hati karena aku memegang pedang yang benar-benar tajam sehingga akan mampu mengoyak kulitmu.”

    Sekar Mirah tersenyum. Katanya, “Kau tersinggung, Nyi Dwani?”

    “Tidak. Aku tidak tersinggung. Aku hanya mengatakan bahwa aku mengerti sikapmu itu.”

    “Terima kasih, Nyi Dwani. Segala sesuatunya, memang tergantung kepada sikap kita masing-masing. Jika kita benar-benar berniat bekerja bersama, tentu kita kemudian harus berusaha saling mempercayai.”

    Nyi Dwani tidak menjawab. Tetapi pedangnya berputar semakin cepat

    Di Lingkaran pertempuran yang lain, Ki Ajar Trikaya bertempur dengan tangkasnya. Jika sebelumnya ia tidak melawan, pertimbangannya justru karena nasib para cantriknya. Ki Ajar sendiri tidak menjadi gentar menghadapi apapun juga. Tetapi ia tidak akan sampai hati membiarkan cantrik-cantriknya menjadi korban.

    Ketika ia melihat kesempatan terbuka, maka Ki Ajar pun berusaha untuk memanfaatkannya meskipun ada juga sedikit kecemasan tebersit di dadanya. Jika orang-orang yang datang ke padepokannya itu tidak mau melibatkan diri, maka ia akan mengalami kesulitan. Tetapi ia tidak melihat kesempatan yang lebih baik dari kunjungan Ki Wijil itu, karena Ki Ajar Trikaya sudah mengenal Ki Wijil sebelumnya. Juga karena Ki Ajar mengetahui, bahwa Ki Wijil dan anak laki-lakinya itu memiliki kemampuan yang tinggi.

    Sebenarnyalah bahwa orang-orang yang berusaha menguasai padepokan itu mulai merasa mengalami kesulitan. Empu Wisanata sejak semula menyadari, bahwa ilmunya masih selapis di bawah tataran ilmu Ki Jayaraga.

    Namun Empu Wisanata mengetahui apa yang dilakukan oleh anak perempuannya, sehingga karena itu, maka ia pun tidak segera meningkatkan ilmu sampai ke puncak.

    “Ki Lurah dan Nyi Lurah berhasil membakar jantung anakku,” berkata Empu Wisanata.

    Ki Jayaraga tidak segera menyahut. Ia tidak mendengar pembicaraan Agung Sedayu. Sekar Mirah dan Nyi Dwani sejak semula. Jika ia mengatakan sesuatu, jangan-jangan tidak sama sebagaimana dikatakan oleh Agung Sedayu dan Sekar Mirah.

    Namun Ki Jayaraga pun melihat, bahwa Sekar Mirah memang tidak ingin segera mengakhiri pertempurannya melawan Nyi Dwani.

    Karena itu, maka Ki Jayaraga itu pun berkata, “Nyi Lurah masih mengekang diri.”

    “Aku tahu itu. Nampaknya mereka sedang membicarakan sesuatu.,” sahut Empu Wisanata.

    Ki Jayaraga tidak berbicara lebih banyak. Ia takut jika ia justru salah ucap, sehingga dapat menimbulkan persoalan baru.

    Tetapi Ki Jayaraga itu pun semakin menekan Empu Wisanata sehingga beberapa kali Empu Wisanata meloncat surut. Meskipun demikian Empu Wisanata memang tidak ingin melepaskan ilmu puncaknya. Jika ia melakukannya, maka Ki Jayaraga pun akan melakukannya pula. Empu Wisanata sadar, bahwa dalam benturan puncak ilmu yang demikian, akibatnya justru akan dapat menjadi gawat baginya, karena Empu Wisanata harus mengakui bahwa Ki Jayaraga adalah seorang yang ilmunya sangat tinggi.

    Di sisi lain, pertempuran menjadi semakin sengit. Ternyata para pengikut Empu Tunggul Pawaka adalah orang-orang berilmu tinggi yang tidak lagi mengekang dirinya. Mereka meningkatkan ilmunya dengan cepat. Bahkan mereka sudah benar-benar berniat untuk membunuh lawan-lawan mereka sebagaimana diperintahkan oleh Empu Tunggul Pawaka

    Glagah Putih yang bertempur dengan orang yang bertubuh tinggi, merasa bahwa lawannya memang ingin benar-benar mengakhirinya dengan cepat. Tetapi ketika orang itu membentur kemampuan Glagah Putih, maka orang itu mulai mengumpat-umpat.

    Di sebelah lain, Sabungsari mulai menjadi pening mendengar lawannya berteriak-teriak sambil mengumpat-umpat kasar. Ketika jantungnya serasa hampir meledak, maka Sabungsari itu pun berteriak tidak kalah kerasnya, “Apakah kau tidak dapat menutup mulutmu?”

    Orang itu terkejut. Beberapa langkah ia meloncat surut. Sementara Sabungsari berkata, “Kita akan menyelesaikan pertempuran itu dengan ilmu kanuragan. Tidak dengan mulut.”

    “Anak setan! Anak Demit! Apa pedulimu?” jawab orang itu. Namun ia pun berkata, “Siapa namamu, he? Agaknya kau memang mempunyai bekal cukup untuk melawan aku. Tetapi jangan menyesal jika sesaat lagi aku akan membantaimu.”

    “Namaku Sabungsari. Siapa namamu?”

    “Sela Antep.”

    Sabungsari tertawa. Di sela-sela suara tertawanya ia bertanya, “Apanya yang antep? Mulutmu?”

    “Anak iblis!” teriak orang itu, “kau berani menghina aku?”

    “Kau tidak pantas memakai nama itu. Kesan yang timbul ari namamu adalah orang yang tenang, berwibawa, namun memiliki ilmu dan kemampuan yang tinggi.”

    “Kau kira aku tidak seperti itu?”

    “Sebaiknya kau berganti nama. Watu Kambang.”

    “Iblis gila! Demit anak Banaspati! Sebut nama ayah dan ibumu. Sebentar lagi kau akan mati.”

    “Mengumpatlah selagi kau masih sempat, Sela Kambang,” geram Sabungsari yang mulai kehilangan kesabaran.

    Sela Antep masih saja berteriak-teriak dan mengumpat-umpat Namun ilmunya semakin lama menjadi semakin meningkat.

    Sabungsari pun telah meningkatkan ilmunya pula. Teriakan-teriakan itu menyakitkan telinganya

    Dengan demikian, maka pertempuran antara Sabungsari dan Sela Antep itu menjadi semakin sengit. Sela Antep berloncatan semakin cepat mengitari Sabungsari yang berdiri dengan mantap. Sekali-sekali Sabungsari yang berdiri dengan mantap. Sekali-sekali Sabungsari bergeser. Namun jika ia melihat satu kesempatan, serangannya telah datang membadai, melanda Sela Antep yang seakan-akan tidak berjejak di atas tanah itu.

    Namun semakin sengit mereka bertempur, mulut Sela Antep itu pun menjadi semakin terkatup, sehingga rasa-rasanya telinga Sabungsari mulai menjadi dingin. Karena itu, maka Sabungsari semakin mendesaknya, agar mulut itu benar-benar terdiam.

    Namun Sela Antep itu berteriak mengumpat keras-keras ketika kaki Sabungsari berhasil menerobos pertahanan Sela Antep. Justru pada saat Sela Antep itu menyerang, Sabungsari sempat bergeser dengan cepat sambil memutar tubuhnya. Ternyata kakinya yang juga berputar mendatar, sempat menyambar pundaknya.

    Keseimbangan Sela Antep memang menjadi goyang. Namun Sela Antep sempat meloncat jauh-jauh surut untuk mengambil jarak.

    Sabungsari memang tidak memburunya. Seakan-akan ia memberi kesempatan kepada Sela Antep untuk mempersiapkan diri menghadapi serangan-serangan berikutnya.

    Keringat telah membasahi segenap tubuh Sela Antep. Kemarahannya telah membakar jantungnya pula. Serangan Sabungsari yang mengenai pundaknya itu telah menyakitinya

    Mulut Sela Antep itu mulai mengumpat-umpat lagi. Dengan garangnya ia meloncat menyerang sementara mulutnya masih saja berteriak-teriak dengan kasarnya.

    Tidak jauh dari sudut halaman Glagah Putih pun bertempur dengan garangnya pula. Orang yang bertubuh tinggi, mengerahkan segenap kemampuannya. Ia ingin segera menyelesaikan anak muda yang dianggapnya sangat sombong itu.

    Namun Glagah Putih dengan sengaja memancing kemarahan lawannya yang memang darahnya cepat mendidih. Dengan demikian, maka penalaran orang itu rasa-rasanya cepat pula menjadi kabur.

    Dengan demikian, maka orang itu pun telah mengerahkan segenap kemampuannya pula. Serangan-serangan menjadi semakin garang.

    Namun Glagah Putih pun telah mengimbanginya pula. Dengan demikian, maka pertempuran di antara mereka pun menjadi semakin sengit.

    Benturan-benturan terjadi semakin keras. Orang yang bertubuh tinggi itu benar-benar berusaha untuk menghentikan perlawanan Glagah Putih dengan membunuhnya.

    Tetapi ternyata tidak mudah menundukkan Glagah Putih. Bahkan semakin lama perlawanan Glagah Putih pun menjadi semakin keras pula.

    Serangan-serangan Glagah Putih pun menjadi semakin berbahaya. Apalagi kemudian sekali-sekali Glagah Putih telah berhasil menggapai tubuhnya.

    Namun orang bertubuh tinggi itu pun mampu membalas dengan serangan-serangan yang berbahaya pula. Seperti Glagah Putih, maka serangan-serangannya telah mampu mengenai tubuh lawannya

    Dalam pada itu, Sayoga pun telah bertempur dengan sengitnya. Lawannya yang gemuk memiliki tenaga yang sangat besar. Beberapa kali serangan Sayoga mengenai tubuh lawannya. Tetapi orang itu seakan-akan tidak merasakannya. Serangan-serangan Sayoga tidak dapat menggoyahkan keseimbangannya Bahkan orang itu masih saja melangkah maju tanpa menghiraukan serangan-serangan lawannya.

    Namun akhirnya Sayoga menyadari, bahwa ia tidak dapat menyerang membabi buta. Ia harus mempergunakan perhitungan nalarnya. Ia harus mengerahkan serangannya ke sasaran yang berbahaya.

    Pengenalan Sayoga atas bagian-bagian tubuh yang lemah, telah menuntun serangan-serangannya kemudian. Namun agaknya orang bertubuh gemuk itu pun berusaha untuk melindungi bagian-bagian tubuhnya yang lemah. Meskipun demikian Sayoga tidak menjadi gentar menghadapi lawannya yang gemuk itu. Semakin lama serangan-serangannya menjadi semakin keras.

    Betapapun tinggi daya tahan orang bertubuh gemuk itu, ia mulai merasa, betapa sakit dan nyeri telah menyengatnya. Usaha Sayoga mulai berhasil ketika serangan-serangannya mampu menyusup pertahanan lawannya yang gemuk itu, menyentuh bagian-bagian tubuhnya yang paling lemah.

    Kemarahan telah membakar orang bertubuh gemuk itu. Tetapi ia memang tidak dapat bergerak lebih cepat lagi. Namun ternyata bahwa melawan anak muda berilmu tinggi itu, ia tidak dapat mengandalkan daya tahan tubuhnya saja.

    Yang kemudian berhadapan dengan Ki Wijil adalah orang yang hampir saja meninggalkan padepokan itu bersama Empu Wisanata dan Nyi Dwani. Bahkan orang itu tidak sendiri. Ki Wijil yang dianggap sebagai sumber keonaran, harus dapat diselesaikan dengan cepat agar yang lain ke-hilangan gairah perlawanan mereka.

    Seorang yang berwajah kasar telah bertempur melawan Ki Wijil pula.

    Dalam pada itu, Ki Ajar Trikaya pun akhirnya harus bertempur melawan dua orang. Dua orang yang wajahnya mirip yang satu dengan yang lain.

    Tetapi keduanya jelas bukan dua orang yang kembar menilik umurnya. Yang seorang kumisnya sudah mulai bercampur putih, yang seorang belum.

    Bahkan yang seorang masih nampak muda. Seandainya ia tidak berkumis, maka ia akan nampak lebih muda lagi.

    Sambil tersenyum Ki Ajar itu pun berdesis, “Kau bawa anakmu ke neraka ini, Wanda?”

    “Ia harus mulai mengenali arti hidup ini, Ki Ajar.”

    “Oh,” Ki Ajar meloncat surut ketika orang yang disebut Wanda itu meloncat menyerangnya Ketika anaknya memotong gerak Ki Ajar, maka sambil menggeliat Ki Ajar mengayunkan tangannya

    Anak orang yang disebut Wanda itu terkejut. Dengan serta-merta ia menangkis ayunan tangan Ki Ajar.

    Ketika benturan terjadi, orang itu terdorong selangkah surut sambil mengaduh kesakitan.

    Sementara itu Ki Ajar justru bertanya, “Arti hidup yang manakah yang kau maksud, Wanda?”

    “Hidup tidak hanya makan dan tidur, Ki Ajar. Bukankah begitu? Tetapi seseorang harus berjuang untuk menegakkan keyakinan yang dipegangnya.”

    “Kau ajari anakmu memperjuangkan keyakinannya?”

    “Ya.”

    “Jika demikian anakmu saat ini bertempur dengan keyakinan yang utuh.”

    “Ya.”

    “Keyakinan apa?” bertanya Ki Ajar.

    Wanda itu menggeram. Dengan lantang ia berkata, “Menyerahlah! Lanjutkan sakitmu agar kau selamat.”

    Ki Ajar tertawa. Katanya, “Aku senang pada kelakar-kelakarmu. Seharusnya bukan kau dan anakmu yang bertempur melawan aku.”

    “Pemberontakan yang Ki Ajar lakukan ini sudah keterlaluan. Jika Ki Ajar tidak mau menyerah dan tidak mau sakit lagi, mungkin Ki Ajar justru akan mengalami keadaan lebih buruk dari sakit itu.”

    “Aku tahu. Kau akan membunuhku jika kau gagal menangkap aku hidup-hidup.

    “Apa boleh buat.”

    Ki Ajar tidak sempat menyahut. Serangan orang itu pun kemudian datang membadai. Sementara itu, anaknya pun menjadi .semakin berhati-hati.

    Namun beberapa kali anak orang yang bernama Wanda itu terdorong sambil mengaduh kesakitan. Sentuhan-sentuhan tangan Ki Ajar benar-benar menyakitinya

    Tetapi ketika Wanda itu sendiri meningkatkan ilmunya semakin tinggi, maka Ki Ajar pun harus melakukannya pula. Ki Ajar sadar, bahwa Wanda adalah seorang yang berilmu tinggi. Namun sebenarnya orang itu menurut pendapat Ki Ajar tidak segarang kawan-kawannya yang berada di padepokan itu.

    Meskipun demikian, dalam keadaan yang menentukan itu, Wanda tentu akan mengerahkan kemampuannya pula. Ia tidak mempunyai pilihan lain kecuali menghentikan seluruh kegiatan Ki Ajar Trikaya

    Sementara itu. Empu Tunggul Pawaka bertempur dengan sengitnya melawan Agung Sedayu. Tetapi Empu itu demikian yakin akan kemampuannya yang sangat tinggi. Menurut pendapatnya, betapapun tinggi ilmu orang yang bernama Agung Sedayu itu, namun ia tidak akan dapat mengimbangi kemampuannya.

    Karena itu, sambil bertempur Empu Tunggul Pawaka itu masih sempat memperhatikan pertempuran yang terjadi di sekitarnya. Ketika ia melihat sekilas Sekar Mirah yang bertempur melawan Nyi Dwani, maka dahinya nampak berkerut.

    “Perempuan ini benar-benar murid dari perguruan Kedung Jati. Tongkat itulah yang harus dimiliki oleh Nyi Dwani,” berkata Empu Tunggul Pawaka, “syukurlah bahwa tongkat itu dibawanya. Setelah aku menyelesaikan suaminya, maka perempuan itu pun harus diselesaikan pula. Agaknya Nyi Dwani memang tidak dapat menyelesaikannya sendiri.”

    Namun dalam pada itu Sekar Mirah pun sempat melihat sekilas, bahwa tidak ada di antara mereka yang berada di padepokan itu, benar-benar murid perguruan Kedung Jati yang murni. Orang yang berteriak-teriak dan menyebut dirinya bernama Sela Antep itu juga bukan murid perguruan Kedung Jati.

    Dengan demikian Sekar Mirah dapat mengetahui, bahwa sebuah permainan yang kasar telah terjadi.

    “Tetapi mereka tentu memerlukan waktu yang panjang untuk mengikuti jejak perguruan Kedung Jati,” berkata Sekar Mirah di dalam hatinya.

    Sementara itu, para cantrik pun telah hampir menyelesaikan pertempuran. Dua tiga orang datang membantu mereka yang untuk beberapa lama menguasai padepokan. Tetapi mereka pun tidak berdaya melawan para cantrik yang marah. Karena itu, maka orang-orang yang terdesak itu berusaha untuk menghindar dari tangan-tangan para cantrik. Dengan kelebihan mereka secara pribadi, ada di antara mereka sempat melepaskan diri dari padepokan itu.

    Namun para cantrik itu selalu memburunya. Ke mana pun mereka berlari.

    Meskipun demikian, kelebihan mereka seorang-seorang sempat juga membingungkan para cantrik.

    Tetapi dua orang dari mereka yang untuk beberapa lama menguasai dan memperlakukan para cantrik itu seperti budak-budak belian, tidak dapat lepas dari kemarahan para cantrik, sehingga jiwa mereka tidak dapat diselamatkan lagi.

    Di sudut halaman Glagah Putih bertempur semakin sengit. Lawannya yang bertubuh tinggi telah mengerahkan segenap kemampuannya. Sepasang pedang pendek berada di genggaman kedua belah tangannya.

    Glagah Putih tidak mau menjadi korban ilmu pedang orang itu. Ilmu pedang yang tinggi. Putaran sepasang pedang itu bagaikan kabut yang menyelimuti tubuhnya sehingga merupakan perisai yang sangat rapat. Namun kadang-kadang kabut itu menjilat ke arah tubuh Glagah Putih yang berloncatan dengan tangkasnya.

    Sementara itu Glagah Putih pun telah mengurangi senjatanya pula. Ikat pinggangnya pun mulai berputar.

    Benturan-benturan pun tidak dapat dihindarkan lagi. Namun, setiap kali orang bertubuh tinggi itu mengumpat marah. Ikat pinggang kulit anak muda itu ternyata mampu menggetarkan pedang-pedang pendek di kedua belah tangannya.

    Kemarahan yang menyala di dada orang itu telah menghentaknya sehingga serangan-serangannya menjadi semakin garang. Tetapi ternyata sulit baginya untuk dapat menembus putaran ikat pinggang di tangan Glagah Putih.

    Bahkan orang bertubuh tinggi itu terkejut ketika ujung ikat pinggang anak muda itu mulai menyengat tubuhnya.

    Seleret luka telah menggores pundak orang bertubuh tinggi itu. Darah yang hangat mulai mengalir dari lukanya.

    Darah itu membuat kendali orang bertubuh tinggi itu patah. Ia tidak mau menerima kenyataan itu, bahwa seorang anak yang masih terlalu muda mampu melukainya.

    Karena itu, maka kemampuan orang itu pun telah memanjat sampai ke puncak.

    Glagah Putih tertegun ketika ia melihat loncatan-loncatan bunga api dari pedang yang satu ke pedang yang lain sehingga terbentang sebuah bidang yang dipenuhi dengan loncatan-loncatan bunga api yang panas.

    Ke manapun sepasang senjata itu bergerak, maka loncatan-loncatan bunga api itu terjadi. Bahkan ketika sepasang pedang itu ada di sebelah menyebelah tubuh orang itu.

    Glagah Putih meloncat surut untuk mengambil jarak. Dengan kerut di dahi, ia mencoba memahami ilmu lawannya.

    Namun orang bertubuh tinggi itu tidak memberinya waktu. Dengan garangnya orang itu pun telah meloncat menyerangnya.

    Glagah Putih pun dengan tangkasnya menghindar. Namun serangan itu sangat menyulitkannya. Sepasang senjata itu telah menyebarkan udara panas dengan menaburkan bunga-bunga api. Jika Glagah Putih terjebak di antara sepasang pedang itu, maka rasa-rasanya tubuhnya bagaikan dipanggang di atas bara. Bahkan bunga-bunga api yang berloncatan itu telah menimbulkan bintik-bintik luka bakar di kulitnya.

    Glagah Putih pun segera mengalami kesulitan. Ia seakan-akan tidak lagi mampu mendekati lawannya. Jika ia memaksakan diri menggapai lawannya, maka terasa udara panas itu membakarnya. Sengatan-sengatan bunga api di kulitnya semakin menyakitinya.

    Dengan demikian, maka Glagah Putih menjadi semakin terdesak. Serangan-serangan lawannya datang beruntun, seperti datangnya badai api yang mendera tubuhnya.

    “Jangan menyesal anak muda,” geram orang bertubuh tinggi, “kau telah masuk ke dalam neraka yang akan membakarmu menjadi abu.”

    Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia tidak ingkar, bahwa ia menjadi semakin terdesak.

    Dalam keadaan yang gawat itu, Glagah Putih tidak mempunyai pilihan lain. Ketika ia terdesak ke sudut halaman, sehingga seakan-akan tidak- lagi ada jalan keluar, maka Glagah Putih pun harus menyelamatkan diri dengan kemampuan puncaknya.

    Sementara itu, orang bertubuh tinggi itu berdiri tegak dengan sepasang pedang di tangannya. Dengan sorot mata yang menyala orang itu berkata, “Ternyata umurmu terlalu pendek anak muda. Kau mati saat kau sedang mulai mekar. Saat ilmumu berkembang dengan suburnya.”

    Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia pun mulai memusatkan nalar budinya untuk mempersiapkan ilmu pamungkasnya.

    Ketika lawannya maju setapak, maka Glagah Putih pun telah melingkarkan ikat pinggangnya di lehernya.

    Lawannya terkejut melihat sikap Glagah Putih. Dengan wajah yang tegang ia pun bertanya, “Apa yang akan kau lakukan?”

    Glagah Putih masih tetap berdiam diri.

    Namun lawannya pun mengerti, bahwa anak muda itu pun sedang mengerahkan segenap ilmu dan kemampuannya.

    Karena itu, maka ia tidak memberinya kesempatan. Sepasang pedangnya pun segera bergetar.

    Tetapi pada saat orang bertubuh tinggi itu meloncat, Glagah Putih yang berdiri tegak itu sedikit merendahkan tubuhnya pada lututnya. Kedua tangannya pun bergerak menghentak dengan telapak tangannya menghadap ke arah lawannya itu.

    Akibatnya memang dahsyat sekali. Orang yang sedang meloncat itu telah disambar oleh sepercik cahaya yang meloncat dan meluncur dari telapak tangan Glagah Putih.

    Orang bertubuh tinggi itu terlempar beberapa langkah surut. Tubuhnya pun kemudian terbanting di tanah. Sepasang pedangnya terlepas dari genggamannya.

    Orang bertubuh tinggi itu masih sempat berteriak nyaring. Kemarahan bagaikan meledak di dadanya. Namun kemudian suaranya itu pun terputus.

    Peristiwa itu benar-benar mengejutkan. Para pengikut Empu Tunggul Pawaka itu terhentak melihat kenyataan yang tidak pernah mereka duga kecuali Empu Wisanata dan Nyi Dwani yang sudah mengetahui tataran kemampuan anak muda itu.

    Tidak seorang pun yang sempat mendekati tubuh orang yang terkapar tidak jauh dari sudut halaman bangunan utama padepokan itu. Untuk beberapa saat Glagah Putih berdiri mempertahankan hidupnya sendiri. Jika hal itu tidak dilakukannya, maka Glagah Putih sendirilah yang akan menjadi abu.

    Meskipun demikian, detak jantungnya terasa menjadi semakin cepat. Dipandanginya tubuh yang terbaring diam itu.

    “Aku tidak mempunyai pilihan lain.”

    Sementara itu, pertempuran di halaman itu masih berlangsung dengan sengitnya. Empu Tunggul Pawaka yang melihat salah seorang kawannya yang dibanggakan itu terbunuh, hatinya terguncang juga. Kecuali ia kehilangan seorang andalannya, maka keseimbangan pertempuran itu akan segera berubah. Anak muda yang telah kehilangan lawannya itu, akan segera menempatkan dirinya untuk menghadapi lawannya yang baru.

    Untuk beberapa saat Glagah Putih masih berdiri di tempatnya. Ditebarkannya pandangan matanya berkeliling. Semua orang yang berada di halaman itu sudah terlibat dalam pertempuran yang sengit. Glagah Putih pun melihat Sekar Mirah yang sedang bertempur melawan Nyi Dwani. Kedua-duanya bergerak dengan cepat. Nyi Dwani ternyata menggenggam sehelai pedang tipis, sementara Sekar Mirah mempergunakan tongkat baja putihnya.

    Sejak berangkat dari tanah perdikan, Glagah Putih mempunyai keyakinan, bahwa Sekar Mirah tidak akan banyak menemui kesulitan seandainya ia harus bertempur lagi melawan Nyi Dwani.

    Tetapi pertempuran itu sudah berlangsung terlalu lama. Namun masih belum menunjukkan tanda-tanda bahwa Sekar Mirah akan segera menguasai lawannya.

    Sejenak Glagah Putih termangu-mangu. Sekali lagi diamatinya orang yang terbaring beberapa langkah di hadapannya.

    Tetapi orang itu tidak bergerak sama sekali.

    “Apakah daya tahannya tidak mampu melindungi nyawanya?” bertanya Glagah Putih di dalam hatinya

    Dengan hati-hati Glagah Putih mendekatinya. Dipeganginya ikat pinggangnya dengan kedua tangannya pada ujung-ujungnya

    Namun orang itu benar-benar sudah tidak bernafas lagi.

    Glagah Putih pun kemudian telah beringsut lagi dari tempatnya. Hampir di luar sadarnya, Glagah Putih telah melangkah mendekati Sekar Mirah.

    Empu Tunggul Pawaka menjadi berdebar-debar. Ia berharap bahwa Nyi Dwani dapat menjadi pasangan yang mapan untuk memimpin sebuah perguruan yang bakal bangkit bersama Ki Saba Lintang. Jika anak muda itu ikut campur, maka Nyi Dwani memang akan dapat dihentikan sampai sekian. Nyi Dwani tidak akan mampu bertahan untuk menghadapi kedua-duanya. Sedangkan untuk menghadapi Sekar Mirah seorang diri Nyi Dwani sudah harus mengerahkan segenap kemampuannya. Jika orang bertubuh tinggi itu mampu mengalahkan lawannya dan datang membantunya, itu sudah satu keuntungan baginya. Namun ternyata yang datang justru salah seorang di antara sekelompok lawan yang datang ke padepokan itu.

    Ketika Glagah Putih berdiri di dekat arena pertempuran antara Sekar Mirah dan Nyi Dwani, ia menjadi heran. Dari sorot mata Sekar Mirah sama sekali tidak nampak kesungguhannya bertempur melawan Nyi Dwani.

    “Kami sudah mendapatkan kesepakatan,” berkata Sekar Mirah.

    “Tentang apa?” bertanya Glagah Putih.

    “Diamlah,” berkata Sekar Mirah kemudian, “nanti aku akan memberitahukanmu.”

    “Jadi?”

    “Dekatilah Ki Ajar Trikaya yang mulai terdesak.”

    “Apakah kalian akan membunuh semua orang yang mencoba menduduki padepokan ini?” bertanya Nyi Dwani.

    “Tidak. Setidak-tidaknya kau dan Empu Wisanata.”

    “Kau yakin, bahwa Ki Jayaraga tidak akan membunuh Ayah?”

    Sekar Mirah termangu-mangu sejenak. Ia masih berloncatan sambil memutar tongkatnya. Namun kemudian ia pun berkata, “Katakan kepada Ki Jayaraga, bahwa aku dan Nyi Dwani telah mencapai satu persetujuan.”

    “Persetujuan apa Mbakayu?”

    “Nanti kau akan tahu,” jawab Sekar Mirah.

    Glagah Putih tidak bertanya lagi. Ia pun kemudian telah bergeser mendekati Ki Jayaraga yang masih bertempur melawan Empu Wisanata.

    Ki Tunggul Pawaka menjadi semakin berdebar-debar. Agaknya Nyi Lurah Agung Sedayu itu tidak membutuhkan bantuannya, sehingga anak muda yang telah membunuh lawannya itu bergeser ke tempat yang lain.

    Glagah Putih melangkah dengan cepat melintas medan. Sekar Mirah sudah berpesan agar ia membantu Ki Ajar Trikaya. Tetapi ia harus menyampaikan pesan Sekar Mirah lebih dahulu kepada Ki Jayaraga.

    Beberapa saat kemudian Glagah Putih telah berdiri di dekat arena pertempuran antara Ki Jayaraga dan Empu Wisanata. Sebenarnyalah bahwa Empu Wisanata harus mengakui, bahwa sulit baginya untuk mengalahkan Ki Jayaraga. Bahkan nafas Empu Wisanata sudah mulai terengah-engah. Sementara itu, Empu Wisanata tidak berniat untuk melepaskan puncak ilmunya. Karena jika hal itu dilakukannya, maka hal itu berarti bahwa ia telah membunuh diri,. Ki Jayaraga tentu juga akan melepaskan ilmu pamungkasnya.

    Untuk beberapa saat Glagah Putih berdiri termangu-mangu. Sementara Empu Wisanata pun menjadi berdebar debar juga. Ia sadar bahwa anak muda itu pun memiliki ilmu yang tinggi. Jika anak muda itu memasuki arena, maka Empu Wisanata itu tidak akan mampu mempertahankan diri untuk sepenginang lagi.

    Tetapi Glagah Putih tidak segera berbuat sesuatu. Bahkan nampak keragu-raguan membayang di wajahnya.

    Namun akhirnya Glagah Putih itu pun berkata, “Ki Jayaraga. Mbakayu Sekar Mirah berpesan, bahwa Mbakayu dan Nyi Dwani telah mencapai satu persetujuan.”

    “Persetujuan apa?” bertanya Ki Jayaraga.

    “Mbakayu tidak mengatakannya,” jawab Glagah Putih.

    “Lalu?”

    “Terserah kepada kebijaksanaan Ki Jayaraga dan Empu Wisanata. Tetapi sebagai perbandingan bagi Empu dan Ki Jayaraga, Mbakayu Sekar Mirah dan Nyi Dwani anaknya tidak bertempur bersungguh-sungguh.”

    “Kau yakin?” bertanya Ki Jayaraga.

    “Aku yakin.”

    Empu Wisanata meloncat mengambil jarak. Dengan kerut di kening ia bertanya, “Apakah ini satu jebakan?”

    “Tidak Empu,” jawab Ki Jayaraga, “jika aku berniat memenangkan pertempuran ini, maka aku tidak memerlukan jebakan itu.”

    “Aku harus mengakuinya, Ki Jayaraga.”

    “Nah, sekarang aku harus mendekati Ki Ajar Trikaya yang harus bertempur melawan dua orang berilmu tinggi.”

    “Untuk apa?” bertanya Empu Wisanata.

    “Bukankah kita berada di sebuah medan pertempuran?” jawab Glagah Putih.

    Empu Wisanata tidak menjawab. Namun ia harus segera berloncatan menghindari serangan Ki Jayaraga. Tetapi Ki Jayaraga itu berdesis, “Kita akan mengakhiri pertempuran ini sampai orang yang terakhir.”

    Empu Wisanata tidak menjawab. Tetapi ia mengerti maksud Ki Jayaraga.

    Dalam pada itu, Ki Ajar masih bertempur melawan dua orang yang berilmu tinggi. Wanda dan anak laki-lakinya yang wajahnya mirip sekali dengan Wanda sendiri. Hanya karena umurnya yang terpaut panjang, maka rambut Wanda sudah berwarna dua, sedangkan rambut anaknya nampak hitam legam.

    Ki Ajar Trikaya yang bertempur melawan keduanya harus meningkatkan ilmu semakin tinggi. Jika semula anak Wanda itu tidak banyak dapat membantu ayahnya, namun semakin lama anak itu justru menjadi semakin segar. Jika Ki Ajar Trikaya yang mengerahkan kemampuannya itu mulai berkeringat, anak Wanda itu justru sebaliknya. Semakin lama ia menjadi semakin tangkas. Rasa-rasanya ilmunya menjadi semakin tinggi. Ki Ajar Trikaya tidak lagi dengan mudah dapat mengenainya. Bahkan jika anak Wanda itu menangkis serangannya, maka benturan yang terjadi justru menyakiti tubuh Ki Ajar Trikaya.

    “Kenapa dengan anak ini?” bertanya Ki Ajar di dalam hatinya.

    Yang ia lihat, setiap kali Wanda dan anaknya itu selalu mengatupkan telapak tangan kanan mereka.

    “Tentu ada artinya,” berkata Ki Ajar di dalam hatinya. Tetapi sangat sulit bagi Ki Ajar untuk mencegahnya. Setiap kali Ki Ajar terdesak beberapa langkah surut, maka keduanya mendapat kesempatan untuk mengatupkan telapak tangan kanan mereka.

    Semakin lama Ki Ajar memang semakin mengalami kesulitan. Serangan-serangan kedua orang itu menjadi semakin keras dan cepat Susul menyusul. Sekali-sekali serangan mereka mampu menembus pertahanan Ki Ajar, sehingga Ki Ajar itu pun setiap kali harus menahan sakit yang menyengat. Meskipun Ki Ajar sudah meningkatkan daya tahan tubuhnya, tetapi kekuatan kedua lawannya itu mampu menyakitinya.

    Glagah Putih yang telah menyampaikan pesan Sekar Mirah kepada Ki Jayaraga melangkah perlahan-lahan mendekati Ki Ajar Trikaya. Dengan seksama ia mencoba mengamati apa yang sedang terjadi. Semula Glagah Putih tidak menghiraukan, bahwa setiap kali Wanda dan anaknya itu selalu mengatupkan telapak tangan kanan mereka. Namun setiap kali hal itu terjadi, maka Ki Ajar pun menjadi semakin terdesak. Yang muda di antara kedua lawan Ki Ajar itu menjadi semakin segar dan bertenaga.

    Glagah Putih yang telah menyampaikan pesan Sekar Mirah kepada Ki Jayaraga melangkah perlahan-lahan mendekati Ki Ajar Trikaya. Dengan seksama ia mencoba mengamati apa yang sedang terjadi. Semula Glagah Putih tidak menghiraukan, bahwa setiap kali Wanda dan anaknya itu selalu mengatupkan telapak tangan kanan mereka. Namun setiap kali hal itu terjadi, maka Ki Ajar pun menjadi semakin terdesak. Yang muda di antara kedua lawan Ki Ajar itu menjadi semakin segar dan bertenaga.

    Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Ia pernah mengalami bertempur melawan orang-orang yang mempunyai ilmu yang aneh. Di antaranya, dua orang saudara seperguruan yang ilmu keduanya meningkat semakin tinggi, jika keduanya menjadi semakin dekat.. Glagah Putih pun pernah menyaksikan ilmu yang membuatnya agak gelisah. Sentuhan ke-wadagan lawannya yang mendahului ujud wadag itu sendiri. Baru saja ia pun telah menghadapi sejenis ilmu yang mendebarkannya. Bidang panas yang menghubungkan sepasang senjata di tangan orang bertubuh tinggi itu.

    Dengan seksama Glagah Putih memperhatikan ilmu kedua orang itu, sementara Ki Ajar Trikaya semakin lama terdesak. Meskipun Ki Ajar Trikaya juga seorang berilmu tinggi, namun sulit baginya untuk mengatasi kemampuan kedua orang lawannya yang bertempur berpasangan itu. Nampaknya Ki Ajar pun masih belum sempat melepaskan ilmu puncaknya, karena libatan serangan kedua orang lawannya yang tanpa berkeputusan itu.

    Namun kehadiran Glagah Putih, agaknya telah membuat kedua orang itu gelisah. Apalagi mereka mengetahui, bahwa Glagah Putih telah berhasil menyelesaikan lawannya, seorang yang berilmu tinggi. Salah seorang kepercayaan Empu Tunggul Pawaka.

    “Jika anak ini melibatkan diri, maka keseimbangan pun akan segera berubah,” berkata Wanda di dalam hatinya.

    Sementara itu Glagah Putih pun menjadi semakin memahami ilmu lawannya. Ki Ajar Trikaya agaknya memang belum sempat melepaskan ilmu puncaknya. Bahkan jika pertempuran itu berlangsung terus, agaknya Ki Ajar memang akan mengalami kesulitan untuk mengatasi kedua orang lawannya.

    Karena itu, maka Glagah Putih pun kemudian melangkah mendekat sambil berkata, “Maaf, Ki Ajar. Aku telah kehilangan lawan. Orang itu demikian cepat menjadi jemu dan menghentikan perlawanannya. Sementara itu, Ki Ajar mempunyai kelebihan lawan.”

    Ki Ajar Trikaya meloncat surut. Namun Ki Ajar itu justru bertanya, “Bagaimana dengan Ki Wijil? Bukankah ia harus bertempur melawan dua orang?”

    Glagah Putih melepaskan pandangan matanya ke arah Ki Wijil yang sedang bertempur melawan dua orang. Namun agaknya kedua orang itu tidak terlalu berbahaya bagi Ki Wijil meskipun keduanya juga berilmu tinggi.

    Bahkan sesaat Glagah Putih tertegun melihat betapa Ki Wijil mengatasi kedua orang lawannya.

    “Jika Ki Wijil itu salah seorang yang dikenal baik dan mengenal baik Ki Patih Mandaraka, pantaslah bahwa ilmunya sangat tinggi.”

    Glagah Putih tersadar ketika Ki Ajar harus meloncat mengambil jarak dari kedua lawannya. Namun sebelum kedua lawannya itu memburunya, Glagah Putih itu pun melangkah mendekat sambil berkata, “Biarlah aku terlibat di sini saja lebih dahulu Ki Ajar. Aku berharap bahwa seseorang yang lain akan mengambil alih salah seorang lawan Ki Wijil itu.”

    “Tetapi berhati-hatilah Ngger,” pesan Ki Ajar.

    Dalam pada itu Wanda yang menjadi berdebar-debar itu berteriak, “Marilah anak muda, jika kau ingin dengan cepat mengakhiri hidupmu.”

    “Jangan mengelabui diri sendiri,” desis Glagah Putih, “kalian berdua tentu menyadari, bahwa kedudukan kalian akan menjadi semakin sulit. Tanpa aku pun kalian tidak akan mungkin dapat mengalahkan Ki Ajar Trikaya. Apalagi jika aku campur dalam pertempuran ini.”

    “Persetan dengan kesombonganmu anak muda. Marilah, kau akan lebih cepat mati.”

    “Kematianku tidak berada di tanganmu. Lihat kawanmu yang bertubuh tinggi itu. Meskipun aku, sama sekali tidak berniat membunuhnya tetapi ia telah mati.”

    “Cukup!” teriak Wanda yang dengan garangnya menyerang Glagah Putih.

    Tetapi Glagah Putih telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Karena itu, maka dengan tangkasnya ia mengelak.

    Ternyata Wanda itu tidak memburunya. Dengan cepat orang itu meloncat kembali mendekati anaknya yang sedang mengelakkan serangan Ki Ajar.

    Keduanya setiap kali masih mengatupkan telapak tangan mereka. Namun kemudian mereka pun bersiap menghadapi kedua orang lawan yang berdiri di sisi yang berbeda.

    Glagah Putih mulai memahami ilmu lawannya. Karena itu, maka ia harus berusaha menjauhkan kedua orang ayah dan anaknya itu.

    Dalam pada itu, Ki Ajar pun telah menyerang lawannya yang muda, sedangkan Glagah Putih menyerang ayahnya. Betapapun serangan itu datang beruntun, namun keduanya tetap bertahan. Mereka bertempur beradu punggung, berkisar sedikit mengikuti gerak lawan yang bergeser. Tetapi keduanya tidak saling menjauhi.

    “Sentuhan telapak tangan keduanya agaknya sangat berpengaruh atas ilmu mereka,” berkata Glagah Putih di dalam hatinya.

    Ketika pertempuran itu menjadi semakin sengit, maka Glagah Putih pun menjadi semakin yakin. Setiap kali salah seorang dari mereka berdua tersentuh serangan lawan, daya tahan mereka rasa-rasanya menjadi semakin meningkat sehingga mengatasi sengatan rasa sakit apabila mereka mengatupkan telapak tangan mereka. Jika salah seorang mengalami kesulitan, maka sentuhan telapak tangan mereka itu dengan cepat telah menghentakkan mereka mengatasi kesulitannya.

    Karena itu, maka Glagah Putih pun kemudian bergeser mendekati Ki Ajar sambil berdesis, “Kita akan menyerang bersama-sama.”

    Ki Ajar termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun tanggap. Dengan demikian, keduanya ayah dan anak itu tidak akan mendapat kesempatan lagi untuk mengatupkan telapak tangan mereka.

    Karena itu, maka ketika Glagah Putih kembali bergeser menjauh, Ki Ajar pun segera mempersiapkan dirinya. Kesempatan memang telah terbuka baginya, sejak Glagah Putih hadir di arena itu, Kedua lawannya tidak lagi mendapat kesempatan untuk menyerangnya beruntun seperti angin prahara.

    Dalam para itu, kedua orang ayah dan anaknya itu pun telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Pada saat yang gawat, maka sekali lagi mereka mengatupkan telapak tangan kanan mereka.

    Glagah Putih dan Ki Ajar Trikaya menjadi berdebar-debar ketika mereka melihat pada saat kedua telapak tangan itu dikatupkan, asap putih yang mengepul dari antara kedua telapak tangan itu.

    Dengan demikian, maka Glagah Putih dan Ki Ajar Trikaya yakin, bahwa Wanda dan anaknya itu telah sampai ke puncak ilmunya pula.

    Glagah Putih yang tidak mempergunakan senjatanya, telah memusatkan nalar budinya. Untuk menghadapi lawannya yang sudah berada di puncak ilmunya, maka Glagah Putih pun telah melakukannya pula. Namun ia tidak lagi ingin menyerang lawannya dengan lontaran ilmunya dari telapak tangannya. Tetapi Glagah Putih telah siap untuk menghadapi lawannya dengan ilmunya Sigar Bumi yang diwarisinya dari Ki Jayaraga.

    Demikianlah, maka pada saat yang hampir bersamaan, Ki Ajar pun telah bersiap pula untuk menyerang.

    Namun ternyata bahwa Wanda dan anaknya tidak sekedar menunggu. Mereka tidak ingin mendapat serangan Glagah Putih dari jarak beberapa langkah. Karena itu, maka Wandalah yang kemudian meloncat sambil mengayunkan tangannya ke arah ubun-ubun Glagah Putih. Namun Glagah Putih tidak membiarkan kepalanya dibelah oleh ilmu lawannya. Pada saat yang bersamaan ia pun telah meloncat sambil mengayunkan tangannya pula untuk melepaskan ilmunya, Sigar Bumi.

    Wanda tidak mengira bahwa anak muda itu akan membentur serangannya. Ia mengira bahwa Glagah Putih akan menyongsong ilmunya dengan lontaran ilmu dari telapak tangannya.

    Jika itu yang terjadi, Wanda telah bersiap untuk menggeliat menghindar sambil berputar sekaligus mengayunkan tangannya ke tubuh lawannya.

    Tetapi ternyata tidak. Glagah Putih tidak menyerangnya dari jarak beberapa langkah. Tetapi Glagah Putih justru telah meloncat menyerangnya.

    Dengan demikian maka Wanda tidak dapat sekedar menggeliat menghindari serangan anak muda itu. Jika ia menggeliat, maka anak muda itu akan dapat mengubah arah serangannya, sehingga justru akan menjadi sangat berbahaya baginya.

    Karena itu, maka Wanda itu tidak dapat berbuat lain. Ia harus membenturkan ilmunya. Ia memperhitungkan bahwa lawannya yang masih muda itu tentu belum sempat mematangkan ilmunya, sehingga ia masih berharap bahwa ilmunya akan selapis lebih tinggi dari lawannya yang masih muda itu.

    Sebenarnyalah, sejenak kemudian telah terjadi benturan ilmu yang dahsyat. Dua jenis ilmu yang jarang ada duanya.

    Glagah Putih ternyata telah terlempar beberapa langkah dan jatuh berguling. Dadanya serasa tertindih oleh batu yang sangat berat, sehingga nafasnya pun menjadi sesak. Pandangan matanya menjadi kabur ke kuning-kuningan.

    Namun dalam pada itu, lawannya pun terpelanting dengan kerasnya. Tubuhnya pun kemudian terbanting di atas tanah yang keras. Benturan ilmu itu membuat jantungnya seakan-akan menjadi pecah.

    Mata Wanda pun menjadi berkunang-kunang. Langit pun rasa-rasanya telah berputar. Bahkan rasa-rasanya langit itu menjadi retak dan runtuh menimpanya.

    Semuanya kemudian menjadi gelap.

    Sementara itu, anak Wanda itu pun tidak mempunyai banyak kesempatan. Karena ia meloncat menyerang Ki Ajar Trikaya, maka telah terjadi pula benturan ilmu yang keras. Anak yang wajahnya mirip sekali dengan ayahnya itu pun terlempar pula beberapa langkah. Dadanya bagaikan pecahan isinya seakan-akan telah menjadi rontok karenanya

    Anak Wanda itu pun tidak mampu mempertahankan hidupnya. Ki Ajar Trikaya ternyata tidak mampu diimbanginya. Ilmu Ki Ajar terlalu tinggi baginya

    Sejenak Ki Ajar Trikaya dan Glagah Putih itu berdiri termangu-mangu. Jika Wanda itu juga mati, maka Glagah Putih telah membunuh dua orang di halaman padepokan itu.

    Namun dalam pada itu, tubuh Glagah Putih sendiri menjadi gemetar. Kakinya seakan-akan tidak kuat menyangga tubuhnya, sehingga karena itu, maka Glagah Putih itu pun telah melangkah dengan gontai ke tangga pendapa. Tanpa menghiraukan pertempuran itu lagi, Glagah Putih telah duduk di tangga pendapa untuk mengatur pernafasannya.

    Ki Ajar Trikaya itu pun melangkah mendekatinya. Dengan cemas ia bertanya, “Kenapa Ngger? Apakah benturan ilmu itu membuat guncangan di dalam dadamu?”

    “Ya. Ki Ajar,” desis Glagah Putih.

    “Kau harus minum obat untuk membantu daya tahan tubuhmu, Ngger.”

    “Aku sudah membawa, Ki Ajar. Kakang Agung Sedayu selalu membekalinya.”

    “Baiklah. Minumlah. Kau akan segera menjadi baik kembali.”

    Glagah Putih pun mengambil sebuah bumbu kecil dari kantong bajunya, dari dalamnya diambilnya sebutir obat yang kemudian ditelannya. Obat yang terdiri dari reramuan dedaunan yang dibuat oleh Agung Sedayu yang ternyata juga mewarisi sebagian dari kemampuan Kiai Gringsing tentang obat-obatan.

    Glagah Putih pun kemudian duduk di pendapa dengan menyilangkan kaki dan tangannya. Sambil mengatur pernafasannya, Glagah Putih merasakan aliran darah di urat-urat nadinya. Semakin lama menjadi semakin teratur.

    Dalam pada itu, Ki Ajar masih berdiri di tangga pendapa mengamati keadaan Glagah Putih. Namun beberapa saat kemudian, ia melihat perubahan telah terjadi. Wajah anak muda itu tidak lagi menjadi pucat. Karena itu, maka Ki Ajar pun menjadi yakin, bahwa anak muda itu akan segera menjadi baik.

    Karena itu, maka Ki Ajar pun segera melayangkan pandangan matanya ke halaman. Pertempuran masih terjadi. Dilihatnya Ki Wijil masih bertempur melawan dua orang yang sekali-sekali berhasil mendesaknya. Namun kemudian Ki Wijillah yang telah mengejutkan mereka, sehingga kedua lawannya itu berloncatan surut.

    Meskipun Ki Wijil masih tetap bertahan, namun agaknya sulit bagi Ki Wijil untuk dapat mengalahkan kedua orang lawannya. Bahkan semakin lama, Ki Wijil yang harus mengerahkan segenap tenaga dan kemampuannya itu, akan menjadi letih.

    Ki Ajar menarik nafas panjang. Ki Wijil terjebak dalam pertempuran saat ia datang menengoknya. Karena itu, maka Ki Wijil tidak seharusnya mengalami kesulitan, apalagi cidera, sementara ia sendiri selamat dan terlepas dari lawan lawannya.

    Karena itu, maka Ki Ajar pun kemudian berkata kepada Glagah Putih yang keadaannya sudah menjadi semakin baik, “Hati-hatilah, anak muda. Aku akan melibatkan diri dalam pertempuran itu lagi. Aku ingin membantu Ki Wijil yang bertempur melawan dua orang lawan.”

  9. Api di Bukit Menoreh
    Jilid IV – 12
    Bagian 2 dari 3

    Glagah Putih yang memang sudah merasa lebih baik itu pun berkata, “Silakan, Ki Ajar.”

    Ki Ajar pun kemudian bergeser, meninggalkan Glagah Putih yang masih duduk di pendapa Dihindarinya lingkaran-lingkaran pertempuran yang masih terjadi di halaman, karena Ki Ajar ingin langsung bergabung dengan Ki Wijil yang masih harus bertempur melawan dua orang. Keduanya berilmu tinggi. Namun tataran kemampuannya yang seorang tidak setinggi seorang yang lain.

    Namun langkah Ki Ajar tertegun ketika ia melihat seorang yang menyebut dirinya Sela Antep itu bagaikan harimau yang terluka mengamuk dengan sebatang tongkat besi di tangannya. Sambil mengayun-ayunkan tongkat besinya yang berat, ia mendesak lawannya yang setiap kali berloncatan surut.

    Sabungsari yang bertempur melawan Sela Antep itu memang agak terdesak surut. Sela Antep yang bertempur sambil berteriak-teriak dan mengumpat-umpat dengan kasar itu memiliki kekuatan yang luar biasa. Semakin lama kekuatannya seakan-akan tumbuh semakin besar. Sabungsari yang bersenjata pedang, mengalami kesulitan menghadapi lawannya itu. Tenaganya semakin lama tidak menjadi semakin surut. Tetapi dalam benturan-benturan yang terjadi terasa bahwa kekuatan ilmu Sela Antep itu memang menjadi semakin besar.

    Sabungsari menyadari bahwa hal itu terjadi karena ilmu Sela Antep yang tinggi. Ia pun mengerti bahwa peningkatan tenaga dan kekuatan itu pun akan sampai pada satu batas tertentu, sehingga kekuatan itu tidak akan bertambah lagi. Bahkan kemudian sejalan dengan tenaga dari kekuatan yang dikerahkan, maka tenaga dan kekuatan itu akan menyusut lagi.

    Tetapi Sabungsari itu tahu, sampai sebatas mana tenaga dan kekuatan itu akan bertambah-tambah lagi. Sampai sebatas mana Sela Antep mampu bertahan pada puncak ilmunya.

    Sabungsari tidak yakin, bahwa ia akan mampu mengimbangi ke-mampuan lawannya pada saat lawannya mencapai puncak kemampuannya. Karena itu, maka Sabungsari pun tidak mempunyai pilihan kecuali berusaha menghentikan pertempuran itu secepatnya.

    Ketika ayunan batang besi di tangan Sela Antep itu semakin mendesak Sabungsari, maka rasa-rasanya Sabungsari benar-benar kehilangan kesempatan. Satu benturan yang keras telah terjadi, justru pada saat Sela Antep berada pada puncak kemampuannya

    Sabungsari terkejut Tangannya yang menggenggam hulu pedangnya itu bagaikan menggenggam bara. Demikian kerasnya benturan itu terjadi, pedih yang menyengat telapak tangan serta benturan yang demikian tiba-tiba, membuat Sabungsari kehilangan kesempatan untuk mempertahankan senjatanya.

    Pedang Sabungsari itu telah terlepas dari tangannya, terlempar beberapa langkah dari kakinya.

    Ketika berniat memungut pedangnya, Sela Antep telah berdiri selangkah dari senjatanya itu sambil menggenggam tongkat batang besi sambil tertawa. Di sela-sela derai tertawanya Sela Antep itu pun berkata, “Nah, sekarang siapakah yang berhak tertawa di paling akhir? Apakah kau masih akan menertawakan namaku dan berkata, bahwa aku tidak pantas mempergunakan nama itu? Apakah kau masih berpendapat bahwa namaku lebih baik diganti dengan Watu Kambang?”

    Sabungsari berdiri termangu-mangu. Selangkah ia bergeser surut. Ia tidak mungkin lagi menggapai pedangnya. Jika ia mencobanya juga, maka tongkat besi di tangan Sela Antep itu akan terayun ke ubun-ubunnya dan memecahkan kepalanya.

    “Sekarang menyerah sajalah,” berkata Sela Antep, “apapun yang kau lakukan, kau akan mati. Karena itu, sebaiknya kau memilih saja jalan terbaik untuk mati.”

    Sabungsari berdiri mematung. Sekali-kali dipandanginya pedangnya yang kemudian justru telah diinjak oleh Sela Antep dengan kaki kirinya.

    Sambil mengayun-ayunkan tongkat besinya Sela Antep berkata pula, “Cepat katakan. Kau ingin mati dengan cepat atau lambat?”

    Sabungsari berdiri tegak sambil memandang Sela Antep dengan tajamnya. Mata Sela Antep itu di mata Sabungsari bagaikan mata seekor harimau yang melihat seekor kijang yang sudah tidak mampu lagi mengayunkan kakinya untuk lari. Karena itu, maka Sela Antep itu pun telah mempersiapkan diri untuk melihat sambil mengayunkan tongkatnya ke kepala Sabungsari.

    Namun Sela Antep itu masih berkata, “Jangan menyesali nasibmu yang buruk. Kesombonganmu telah menjeratmu ke dalam kematian.”

    Sabungsari tidak menjawab. Tetapi ketika ia melihat Sela Antep siap untuk meloncat, maka Sabungsari pun telah bersiap pula.

    Demikianlah sejenak kemudian, maka Sela Antep pun telah mengambil ancang-ancang. Tongkatnya mulai berputar.

    Dengan lantang Sela Antep itu pun telah berteriak pula, “Terimalah nasibmu, anak iblis! Kepalamu akan pecah oleh tongkatku ini.”

    Demikianlah mulutnya terkatup, maka Sela Antep itu pun telah meloncat sambil mengayunkan tongkat besinya.

    Tetapi pada saat itu pula. Sabungsari pun telah melepaskan ilmunya. Ia tidak saja memandang Sela Antep dengan tajamnya. Tetapi tiba-tiba saja dari sorot matanya telah memancar cahaya yang dilontarkan oleh ilmunya yang jarang ada duanya.

    Sela Antep terkejut. Tetapi tubuhnya sudah melayang. Tongkatnya telah terangkat tinggi-tinggi.

    Namun ilmu Sabungsari itu telah membenturnya. Tongkat Sela Antep tidak pernah sempat terayun dan apalagi menyentuh tubuh Sabungsari. Tetapi tubuh Sela. Antep itulah yang kemudian terlempar dan terbanting jatuh.

    Sebuah teriakan nyaring terdengar melengking tinggi. Umpat kasar masih terdengar dari mulurnya. Namun kemudian suaranya itu pun menjadi semakin perlahan.

    Untuk beberapa saat Sela Antep masih sempat mengumpat-umpat. Namun kemudian suaranya pun semakin menghilang. Daya tahan tubuhnya yang tinggi ternyata tidak mampu melindungi dirinya dari tusukan cahaya yang memancar dari kedua mata Sabungsari yang langsung menghunjam ke jantungnya. Suara Sela Antep itu hilang bersama nafasnya yang terhenti.

    Sabungsari pun kemudian melangkah perlahan-lahan. Di pungutnya pedangnya dan disarungkannya ke dalam wrangkanya. Ternyata bahwa Sela Antep itu memiliki kekuatan yang sangat besar dan daya tahan yang sangat tinggi. Namun Sela Antep tidak mampu mengatasi ilmu Sabungsari.

    Ki Ajar Trikaya tertegun. Seorang lagi dari para pengikut Empu Tunggul Pawaka terbunuh di dalam pertempuran itu.

    Sementara itu, Ki Wijil memang mulai terdesak oleh kedua lawannya. Sayoga justru sebaliknya. Tetapi Sayoga masih juga belum berhasil mengalahkan lawannya.

    Di tengah-tengah halaman itu, Agung Sedayu masih bertempur melawan Empu Tunggul Pawaka yang menjadi semakin gelisah. Ia melihat Ki Ajar Trikaya sudah terbebas dari lawan-lawannya. Ia pun melihat beberapa orang telah berhasil menyingkirkan lawan-lawan mereka.

    Sabungsari yang telah kehilangan lawannya itu pun kemudian memperhatikan pertempuran di halaman itu dengan seksama. Ia pun kemudian mulai memperhatikan Ki Wijil yang mengalami kesulitan dengan kedua orang lawannya. Namun Ki Ajar Trikaya mendekatinya sambil berkata, “Bayangi Empu Tunggul Pawaka. Ia seorang yang berilmu sangat tinggi.”

    “Bagaimana dengan Ki Wijil?”

    “Aku akan mendekatinya,” jawab Ki Ajar.

    Sabungsari mengangguk-angguk, sementara Ki Ajar pun kemudian melangkah mendekati Ki Wijil yang bertempur melawan dua orang yang berilmu tinggi, meskipun tataran ilmu mereka tidak sama.

    Di pendapa, Glagah Putih telah berhasil mengatasi sesak nafasnya serta perasaan nyeri di tubuhnya. Darahnya telah mengalir sewajarnya. Meskipun kekuatannya masih belum pulih seutuhnya, namun Glagah Putih telah siap untuk menghadapi segala kemungkinan.

    Karena itu, maka ia pun segera bangkit berdiri. Obat yang ditelannya telah membantu mempercepat perkembangan keadaannya.

    Glagah Putih itu pun kemudian berdiri di sebelah Sabungsari, tidak terlalu jauh dari arena pertempuran antara Agung Sedayu dengan Empu Tunggul Pawaka, sementara Ki Ajar Trikaya berdiri tegak memperhatikan pertempuran antara Ki Wijil dengan kedua orang lawannya.

    “Maaf Ki Wijil,” berkata Ki Ajar, “anak muda itu telah membantuku, mengambil seorang lawanku. Sekarang aku telah bebas. Mungkin Ki Wijil tidak berkeberatan jika aku bergabung bersama Ki Wijil. Biarlah salah seorang dari kedua lawan Ki Wijil itu aku ambil alih.”

    Ki Wijil tertawa. Katanya, “Baiklah, jika Ki Ajar menghendaki. Ambillah. Pilihlah, yang mana yang Ki Ajar kehendaki.”

    Kedua lawan Ki Wijil itu mengumpat. Seorang di antara mereka berteriak, “Jangan banyak bicara Ki Ajar. Kau tidak sekedar sakit. Tetapi sebentar lagi kau akan mati.”

    Tetapi Ki Ajar justru tertawa. Katanya, “Selama ini Empu Tunggul Pawaka dapat menguasai padepokan ini dan memaksaku berpura-pura sakit. Aku tidak dapat melawan. Aku lebih banyak memikirkan keselamatan para cantrik. Apalagi jumlah kalian terlalu banyak untuk dilawan seorang diri. Namun kini datang orang-orang yang ternyata bersedia membantuku. Karena itu, maka aku pun bangkit. Para cantrik pun bangkit pula. Aku yakin bahwa para cantrik akan dapat menguasai orang-orang yang selama ini memperlakukan mereka dengan cara yang buruk sekali.”

    Sebenarnyalah, sekelompok cantrik telah turun ke halaman. Mereka telah melemparkan orang-orang yang terbunuh serta membawa orang-orang yang menyerah dan tertangkap hidup-hidup dengan tangan yang terikat.

    “Itulah mereka,” berkata Ki Ajar Trikaya, “kalian tidak akan dapat berbuat banyak.”

    “Persetan! Empu Tunggul Pawaka akan menyapu kalian sampai orang yang terakhir.”

    Ia mendapat lawan yang akan mampu mengimbangi kemampuannya.”

    “Omong kosong. Orang itu akan menjadi debu. Ia tidak akan dapat bertahan lebih lama lagi.”

    “Kau jangan menipu diri sendiri. Kau lihat saja pertempuran itu.”

    Orang itu tidak menjawab lagi. Namun ia telah memisahkan diri dari kawannya yang bertempur melawan Ki Wijil. Sementara orang itu berniat menghadapi Ki Ajar Trikaya.

    Ki Ajar Trikaya memang bergeser beberapa langkah untuk mengambil jarak dari arena pertempuran antara Ki Wijil dan seorang lawannya.

    Dengan demikian, maka Ki Wijil tidak lagi harus bertempur melawan dua orang. Sehingga keseimbangan pertempuran itu pun segera berubah. Dengan ilmunya yang tinggi, maka Ki Wijil pun segera mendesak lawannya.

    Empu Tunggul Pawaka memang menjadi berdebar-debar melihat pertempuran itu dalam keseluruhan. Jika ia tidak segera mengalahkan lawannya dan mengatasi kesulitan yang dialami oleh orang-orangnya, maka akhirnya ia dan semua orang-orangnya akan mengalami kesulitan.

    Karena itu, maka Empu Tunggul Pawaka pun berniat untuk dengan cepat menghabisi lawannya yang masih terhitung muda itu.

    Namun ketika ia meningkatkan ilmunya, maka lawannya itu pun telah meningkatkan ilmunya pula, sehingga pada tataran yang sangat tinggi.

    “Jadi apa yang dikatakan orang itu benar,” berkata Empu Tunggul Pawaka di dalam hatinya. Ia memang sudah mendengar bahwa Ki Lurah Agung Sedayu adalah orang yang berilmu sangat tinggi. Seorang yang jarang ada tandingnya.

    Namun Empu Tunggul Pawaka terlalu yakin akan dirinya. Ketika Agung Sedayu masih mampu mengimbangi ilmunya yang hampir sampai ke puncak, maka Empu Tunggul Pawaka itu berkata di dalam hatinya, “Betapapun tinggi ilmumu, namun kau harus mengakui bahwa kematangan ilmuku masih jauh lebih tinggi lagi.”

    Dengan demikian, maka Empu Tunggul Pawaka itu pun kemudian telah menyerang Agung Sedayu bagaikan angin prahara yang mengguncang pucuk-pucuk pepohonan. Bahkan pepohonan raksasa sekali pun.

    Agung Sedayu merasakan deru serangan-serangan yang datang itu. Karena itu, maka Agung Sedayu pun harus meningkatkan ilmunya, sehingga pertahanannya pun menjadi seteguh batu karang. Serangan-serangan Empu Tunggul Pawaka setiap kali kandas oleh ketahanan ilmu Agung Sedayu yang sangat tinggi. Dalam benturan-benturan yang terjadi, maka Empu Tunggul Pawaka sama sekali tidak mampu menggoyangkan pertahanan lawannya yang dianggapnya masih terhitung muda itu, apalagi menembusnya.

    Meskipun demikian, serangan-serangan yang datang beruntun itu sempat juga mendesak Agung Sedayu untuk melangkah surut. Namun sama sekali tidak menunjukkan, bahwa Agung Sedayu mengalami kesulitan. Bahkan pada kesempatan yang terbuka, serangan-serangan Agung Sedayu pun datang membadai.

    Pertempuran antara keduanya pun menjadi semakin menegangkan. Keduanya saling menyerang, saling mendesak dan saling menghindar dan menangkis serangan-serangan lawan, sehingga benturan pun semakin sering terjadi.

    Namun Empu Tunggul Pawaka masih belum mampu mengatasi kemampuan Agung Sedayu.

    Karena itu, maka Empu Tunggul Pawaka pun kemudian telah merambah kepada ilmu-ilmu puncaknya.

    Benturan-benturan yang terjadi pun menjadi semakin sering pula. Sekali-sekali Empu Tunggul Pawaka yang terdesak. Namun pada kesempatan lain, Agung Sedayulah yang harus meloncat surut.

    Namun Empu Tunggul Pawaka yang tidak segera mampu mendesak Agung Sedayu itu pun telah mempergunakan senjatanya yang semula terselip pada wrangkanya yang menempel di punggungnya. Empu Tunggul Pawaka itu telah menarik sebilah keris yang besar dan panjang. Keris yang berwarna kehitam-hitaman dengan pamor yang berkeredupan memantulkan cahaya matahari.

    Agung Sedayu melangkah surut. Ia melihat keris yang besar itu bagaikan memancarkan cahaya yang kemerah-merahan.

    “Pertempuran ini akan segera berakhir, Agung Sedayu,” berkata Empu Tunggul Pawaka kemudian.

    Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia menjadi semakin berhati-hati. Bahkan ketika ia melihat keris yang bagaikan membara itu, Agung Sedayu pun telah menerapkan ilmu kebalnya. Seandainya keris itu memiliki kekuatan yang mampu menembus ilmu kebalnya, namun ilmu kebalnya tentu sudah menahan sebagian besar dari kelebihan kekuatan keris itu.

    Demikian, sejenak kemudian, maka keris itu pun telah berputaran Di seputar Empu Tunggul Pawaka itu seakan-akan mengembun kabut yang berwarna merah ke putih-putihan.

    Agung Sedayu menyadari, bahwa sentuhan kabut itu akan sama artinya dengan sentuhan ujung keris Empu Tunggul Pawaka. Karena itu, maka Agung Sedayu harus menghindari libatan kabul berwarna bara yang keputih-putihan itu.

    Namun semakin lama putaran keris Empu Tunggul Pawaka itu semakin cepat, sehingga Agung Sedayu mengalami kesulitan untuk menghindar. Bahkan kemudian terasa ujung keris itu mulai menyentuh kulit Agung Sedayu.

    Tetapi justru Empu Tunggul Pawakalah yang telah meloncat surut. Dengan wajah yang tegang Empu Tunggul Pawaka itu pun berkata, “Ternyata kau memiliki ilmu kebal Agung Sedayu.”

    Agung Sedayu tidak memburunya. Sambil berdiri tegak beberapa langkah di hadapan Empu Tunggul Pawaka, Agung Sedayu pun berkata, “Empu, sebaiknya kita cari cara lain untuk menyelesaikan persoalan ini.”

    “Kau mulai bimbang, bahwa kau akan mampu melawan aku?”

    “Tidak, Justru kaulah yang terkejut ketika ujung kerismu meraba ilmu kebalku.”

    “Aku memang terkejut. Tetapi bukan berarti bahwa aku mencemaskan kemampuanku. Sejak semula aku sudah mengagumimu. Ternyata kau benar-benar seorang yang berilmu tinggi.”

    “Pujian Empu agak berlebihan.”

    “Tidak Agung Sedayu. Tetapi kau jangan merasa dirimu terlalu besar. Ilmu kebal itu memang agak mempersulit aku. Namun tidak akan banyak berarti. Jika aku memujimu, karena jarang orang seumurmu memiliki ilmu kebal itu.”

    Agung Sedayu tidak menjawab. Namun dibalik pujian yang diucapkan Empu Tunggul Pawaka itu tersirat kesombongannya, sehingga Empu Tunggul Pawaka itu telah merendahkannya.

    Agung Sedayu pun seera mempersiapkan dirinya. Ia tidak mau mengalami kesulitan dan terlambat mengambil sikap menghadapi senjata lawannya. Karena itu, maka sejenak kemudian, Agung Sedayu pun telah mengurai cambuknya pula.

    Empu Tunggul Pawaka itu mengerutkan dahinya. Katanya, “Aku juga sudah mendengar tentang ilmu cambuk yang pernah menggetarkan lereng Gunung Merapi dan sekitarnya. Dan sekarang, aku akan mendapat kehormatan untuk melayani ilmu cambuk yang kondang itu.”

    Agung Sedayu masih saja berdiam diri. Namun ujung cambuknya mulai bergetar ketika Empu Tunggul Pawaka mulai bergetar.

    Sesaat kemudian, terdengar cambuk Agung Sedayu meledak dengan kerasnya, sehingga rasa-rasanya Gunung Kukusan itu akan runtuh.

    Empu Tunggul Pawaka itu meloncat selangkah surut. Dipandanginya Agung Sedayu dengan tajamnya. Katanya, “Kau masih juga bermain-main, Agung Sedayu. Aku tahu, bahwa ledakan yang memekakkan telinga itu bukan batas kemampuanmu. Ledakkan yang demikian itu adalah ledakkan cambuk anak-anak gembala yang menggiring lembunya pulang ke kandang menjelang senja hari.”

    Agung Sedayu bergeser selangkah maju. Sementara Empu Tunggul Pawaka itu berkata, “Nah, tunjukkan kemampuanmu yang sebenarnya, agar aku dapat menjajaki di tataran mana aku harus meningkatkan ilmuku.”

    Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku tidak mengira bahwa seseorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi serta sudah mengendap seperti Empu, masih juga sempat menyombongkan diri Empu, kesombongan hanya pantas disandang oleh orang-orang seumurku serta yang ilmunya masih belum menjadi matang.”

    Wajah Empu Tunggal Pawaka menjadi merah. Kata-kata Agung Sedayu itu menusuk langsung ke pusat jantungnya. Karena itu, maka tanpa mengucapkan sepatah kata pun lagi, Empu Tunggul Pawaka itu telah meloncat menyerang Agung Sedayu. Kerisnya berputaran semakin cepat. Bukan saja kabut yang kemerah-merahan yang nampak di seputar tubuh Empu Tunggul Pawaka, tetapi udara di seputarnya pun menjadi panas pula.

    Tetapi Agung Sedayu telah berlindung dibalik ilmu kebalnya. Karena itu, panasnya udara tidak begitu terasa menyengat kulit.

    Dalam pada itu, ketika serangan-serangan Empu Tunggul Pawaka datang membadai, maka Agung Sedayu pun telah menghentakkan cambuknya pula. Suaranya tidak lagi menggelegar seperti ledakkan guruh di langit. Tetapi getar suara terasa menerpa dada Empu Tunggul Pawaka.

    Tetapi Empu Tunggul Pawaka tidak lagi memuji kelebihan Agung Sedayu. Bahkan jantungnyalah yang bergetar. Kemampuan Agung Sedayu tidak sekedar pantas dipuji, tetapi Empu Tunggul Pawaka harus menjadi sangat berhati-hati.

    “Orang ini ternyata sangat berbahaya,” berkata Empu Tunggul Pawaka di dalam hatinya.

    Pertempuran di antara kedua orang berilmu sangat tinggi itu men-jadi semakin sengit. Keris Empu Tunggul Pawaka berputaran semakin cepat. Kabut yang merah keputih-putihan itu pun menebar semakin lebar.

    Namun setiap kali, Empu Tunggul Pawaka harus berloncatan menghindari ujung cambuk Agung Sedayu yang menggeliat. Bahkan kadang-kadang ujungnya seakan-akan memburu tubuh Empu Tunggul Pawaka yang bergerak dengan cepat.

    Namun Agung Sedayulah yang kemudian terkejut ketika cambuknya menyentuh kulit Empu Tunggul Pawaka. Rasa-rasanya ujung cambuk itu telah menyentuh kulit sebatang kayu yang kokoh. Kulit Empu Tunggul Pawaka tidak terluka meskipun dorongan serangan cambuk Agung Sedayu itu telah mengguncang keseimbangannya.

    Empu Tunggul Pawaka memang tergeser selangkah mundur. Tetapi ujung cambuk Agung Sedayu yang dihentakkan dengan kemampuannya yang sangat tinggi itu tidak melukai lawannya.

    Ternyata Empu Tunggul Pawaka juga memiliki perisai ilmu kebal yang matang. Mungkin Aji Tameng Waja. Mungkin ilmu kebal yang lain. Namun ternyata lecutan cambuk Agung Sedayu tidak melukainya, meskipun Agung Sedayu yakin, bahwa serangannya itu telah menyakiti lawannya. Bahkan lawannya itu telah terdorong surut, meskipun Empu Tunggul Pawaka masih tetap mampu mempertahankan keseimbangannya, sehingga Empu Tunggul Pawaka tidak jatuh telentang.

    Namun sorot mata Empu Tunggul Pawaka itu memancarkan ke-marahannya yang membakar isi dadanya. Orang yang masih terhitung muda itu mampu mengguncang keseimbangannya.

    Dengan demikian Empu Tunggul Pawaka pun menjadi semakin garang. Serangan-serangannya menjadi semakin cepat dan keras. Kerisnya berputaran dan menggapai-gapai, menyusup disela-sela putaran cambuk lawannya. Udara panas pun menjadi semakin memanasi arena. Namun Agung Sedayu masih mampu bertahan karena perisai ilmu kebalnya.

    Empu Tunggul Pawaka yang marah itu harus menyadari kenyataan yang dihadapinya. Ia menyadari bahwa dengan demikian pertempuran itu tidak akan segera berakhir.

    Karena itu, maka Empu Tunggul Pawaka harus mempergunakan ilmunya yang lain. Ia tidak ingin pertempuran itu menjadi semakin berkepanjangan, sementara orang-orangnya menjadi semakin menyusut.

    Karena itu, maka Empu Tunggul Pawaka itu pun telah menghentakkan ilmunya yang lain. Tiba-tiba saja Empu Tunggul Pawaka mampu bergerak semakin cepat. Demikian cepatnya, sehingga mampu melampaui kecepatan gerak ujung cambuk Agung Sedayu.

    Agung Sedayu terkejut ketika ujung keris Empu Tunggul Pawaka itu menggores kulitnya. Hanya goresan tipis. Jika saja Agung Sedayu tidak mengenakan ilmu kebalnya, maka keris itu tentu sudah membenam di tubuhnya, mengoyak dagingnya yang memeras darahnya.

    Ternyata kemampuan dan kekuatan ilmu Empu Tunggul Pawaka itu benar-benar sangat berbahaya.

    Ketika Agung Sedayu bersiap untuk bergeser maju, maka terdengar Ki Tunggul Pawaka itu tertawa. Katanya, “Ilmu kebalmu benar-benar kokoh seperti selapis baja, sehingga ujung kerisku yang aku banggakan ini hanya mampu melukai kulitmu segores kecil saja. Tetapi segores kecil itu cukup bagiku, Agung Sedayu. Tidak ada orang yang akan dapat membebaskan diri dari kematian dengan luka seujung duri sekali pun.”

    Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Luka yang segores tipis itu terasa menjadi panas.

    “Tetapi namamu akan tetap dikenang orang, Agung Sedayu. Jika kau mati, aku tetap mengagumimu.”

    Agung Sedayu masih berdiri mematung. Ada semacam keragu-raguan di dalam hatinya.

    Dengan nada berat Agung Sedayu itu berdesis, “Kau telah mempergunakan racun yang sangat kuat.”

    “Ya. Nasibmu memang buruk, Agung Sedayu. Kedatanganmu ke padepokan ini adalah kunjunganmu yang pertama dan yang terakhir kali.”

    Agung Sedayu pun terdiam. Ia menjadi semakin ragu akan ke-mampuannya menawarkan racun yang menyusup ke dalam tubuhnya. Luka yang segores itu menjadi semakin panas. Tubuhnya rasa-rasanya menjadi gemetar.

    Namun ketika tubuhnya yang gemetar itu hampir saja terjatuh dengan lemahnya, maka hatinya pun segera menghentak. Ia tidak boleh ragu-ragu. Ia telah menerima karunia dari Yang Maha Agung kemampuan untuk menolak segala macam racun yang menyusup ke dalam darahnya. Semakin ia ragu, maka kemampuan itu seakan-akan menjadi semakin kabur. Namun ketika keyakinannya itu kembali menyala di dalam hatinya, kepercayaannya yang utuh, bahwa ia memang telah menerima karunia itu, maka kakinya yang hampir saja kehilangan kekuatannya untuk tegak sebagai tumpuan tubuhnya, telah menjadi kuat kembali. Agung Sedayu pun kemudian menjadi sadar sepenuhnya, bahwa ia tidak boleh ragu-ragu. Ia harus menggenggam kepercayaan itu sepenuhnya.

    Ketetapan hatinya itu serasa telah menghentakkan tubuhnya pula. Terasa kekuatan yang sangat besar telah menjalar dari pusat jantungnya, melalui arus darahnya mengalir ke seluruh tubuhnya.

    Empu Tunggul Pawaka termangu-mangu sejenak. Wajah Agung Sedayu yang menjadi pucat itu telah menjadi merah kembali.

    Tubuhnya yang lemah dan gemetar telah menjadi kuat dan tegar menghadapi segala kemungkinan.

    Beberapa saat Empu Tunggul Pawaka menunggu. Tetapi Agung Sedayu masih tetap berdiri tegak. Tubuhnya tidak bergetar dan jatuh berguling di tanah. Ia tidak menjadi kejang-kejang sambil berteriak-teriak ketakutan oleh pengaruh racun yang telah menyentuh darahnya yang mengembun di lukanya yang segores itu.

    Kegelisahan nampak memancar disorot mata Empu Tunggul Pawaka. Bahkan kemudian ia pun berdesis, “Iblis manakah yang telah menyelamatkanmu dari racunku, Agung Sedayu?”

    Agung Sedayu yang benar-benar sudah mampu menguasai dirinya itu tersenyum. Katanya, “Empu. Hidup mati kita tidak tergantung kepada siapa pun juga. Tidak pula kepada racunmu. Seharusnya hatimu mulai terbuka, bahwa racunmu tidak mampu membunuhku, karena yang Maha Agung masih melindungi aku.”

    Tubuh Empu Tunggul Pawakalah yang menjadi bergetar karena kemarahan yang tidak tertahankan lagi. Dengan garangnya Empu Tunggul Pawaka itu menyerang Agung Sedayu. Kerisnya berputaran, terayun-ayun dan tiba-tiba saja menukik mematuk tubuh Agung Sedayu.

    Agung Sedayu dengan tangkasnya berloncatan menghindar. Pada goresan luka tipis di kulitnya telah mengalir darah. Semula darah itu berwarna kebiru-biruan. Namun kemudian menjadi merah menyala.

    Empu Tunggul Pawaka menggeram. Darah Agung Sedayu sudah menjadi bersih dari racunnya.

    Bahkan kemudian Empu Tunggul Pawaka itu menjadi semakin geram, bahwa Agung Sedayu sama sekali tidak terpengaruh oleh luka tipisnya itu. Ketika Agung Sedayu menghentakkan cambuknya, maka terasa jantung Empu Tunggul Pawaka tergetar meskipun hentakkan cambuk itu seolah-olah tidak berbunyi sama sekali.

    “Kau benar-benar orang yang mumpuni, Agung Sedayu,” berkata Empu Tunggul Pawaka kemudian, “ternyata kau memiliki kemampuan menawarkan racun yang menyusup ke dalam darahmu.”

    Agung Sedayu tidak menjawab. Namun sekali lagi ia menghentakkan cambuknya sendal pancing.

    Empu Tunggul Pawaka yang marah itu pun kemudian telah mengerahkan kemampuannya, ia menjadi semakin cepat bergerak. Tubuhnya menjadi bagaikan bayangan yang beterbangan di sekitar Agung Sedayu. Semakin lama menjadi semakin cepat.

    Untuk melindungi dirinya dari sentuhan ujung keris Empu Tunggul Pawaka, Agung Sedayu telah memutar cambuk di seputar tubuhnya. Meskipun Agung Sedayu telah memutar cambuk di seputar tubuhnya. Meskipun Agung Sedayu kemudian meyakini bahwa dirinya mampu menawarkan racun karena goresan senjata lawannya, tetapi ia harus berusaha menghindari goresan-goresan berikutnya. Semakin banyak racun bertimbun di dalam dirinya, maka akan menjadi semakin berbahaya baginya.

    Namun semakin lama terasa semakin sulit bagi Agung Sedayu untuk mengikuti kecepatan gerak Empu Tunggul Pawaka. Karena itu, maka Agung Sedayu pun telah menerapkan ilmunya memperingan tubuhnya, sehingga tubuhnya menjadi seakan-akan tidak berbobot.

    Dengan demikian, maka Agung Sedayu akan dapat mengimbangi kecepatan gerak lawannya, yang agaknya juga memiliki ilmu yang sama.

    Sekali lagi Empu Tunggul Pawaka terkejut. Agung Sedayu itu ternyata mampu bergerak demikian cepatnya sehingga mampu mengimbangi kecepatan geraknya.

    Namun Empu Tunggul Pawaka tidak hanya mampu bergerak cepat. Namun sekali-sekali Agung Sedayu merasa kehilangan jejak. Empu Tunggul Pawaka yang berloncatan itu seakan-akan telah hilang dari pengamatannya. Namun tiba-tiba saja ia mendengar hentakkan gerak lawannya di sisinya, sehingga Agung Sedayu itu dengan tergesa-gesa harus bergerak menghindari atau mengambil jarak.

    Namun semakin lama keadaan Agung Sedayu menjadi semakin sulit meskipun ia telah mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya. Bahkan keris lawannya itu telah menggores lagi di tubuhnya. Segores tipis.

    Tetapi Agung Sedayu tidak mau terpengaruh lagi oleh keragu-raguannya, karena ia sadar, bahwa keragu-raguan itu akan merupakan bencana baginya.

    Dengan penuh keyakinan, Agung Sedayu bertempur dengan tegarnya, meskipun sekali-sekali ia mengalami kesulitan.

    Glagah Putih dan Sabungsari memperhatikan pertempuran itu dengan jantung yang berdebaran. Namun keduanya tidak dapat memasuki lingkaran pertempuran. Mereka tidak tahu, apakah Agung Sedayu sependapat atau tidak, jika mereka ikut melibatkan diri.

    Dalam pada itu, Ki Wijil pun telah menyelesaikan lawannya pula. Ki Wijil tidak dapat menghindari kematian, karena lawannya menjadi seperti orang yang kehilangan akal.

    Bahkan Ki Ajar Trikaya yang sudah berusaha menghindari ke-mungkinan yang buruk itu, akhirnya harus melihat kenyataan, lawannya terkapar membeku.

    Pertempuran di halaman itu pun menjadi semakin mereda. Sayoga telah menyelesaikan lawannya pula. Sementara Sekar Mirah dan Nyi Dwani telah menghentikan pertempuran. Demikian pula Empu Wisanata dan Ki Jayaraga. Dari tempatnya berdiri mereka menyaksikan, pertempuran antara Agung Sedayu dan Empu Tunggul Pawaka.

    Sebenarnyalah mereka yang menyaksikan pertempuran itu menjadi berdebar-debar. Apalagi Empu Wisanata dan Nyi Dwani. Mereka tahu benar betapa tingginya ilmu Empu Tunggul Pawaka itu. Meskipun mereka pun mengetahui bahwa Agung Sedayu juga berilmu tinggi, tetapi menurut pengertian mereka, sulit untuk dapat mengimbangi ilmu Empu Tunggal Pawaka.

    Empu Tunggul Pawaka seakan-akan tinggal seorang diri. Namun Empu Tunggul Pawaka tidak merasa gentar, ia masih yakin, bahwa ia akan dapat membinasakan semua lawan-lawannya. Empu Tunggul Pawaka juga melihat bahwa Empu Wisanata dan Nyi Dwani tidak terlibat dalam pertempuran lagi. Empu Tunggul Pawaka tidak tahu apa sebabnya. Ia mengira bahwa kedua-duanya telah menyerah karena kawan-kawan mereka telah habis dibinasakan. Sementara itu cantrik pun telah menguasai orang-orang yang semula mengawasi dan mengatur sikap dan tingkah laku mereka.

    Beberapa orang dengan tangan terikat telah digiring ke halaman padepokan itu.

    Namun Empu Tunggul Pawaka justru menganggap bahwa Empu Wisanata dan Nyi Dwani dapat menempatkan diri. Jika mereka telah terbunuh seperti kawan-kawannya, maka Empu Tunggul Pawaka akan benar-benar sendiri. Tetapi keberadaan mereka berdua akan dapat membantu di saat-saat terakhir dari pertempuran itu. Setelah ia mampu membinasakan orang yang bernama Agung Sedayu itu, maka yang lain tidak akan begitu sulit lagi.

    Tetapi ternyata bahwa tidak terlalu mudah untuk membunuh Agung Sedayu yang memiliki ilmu kebal. Yang mampu memperingankan tubuhnya dan yang mempunyai ilmu cambuk yang mendebarkan jantungnya.

    Namun pada saat-saat terakhir, meskipun Agung Sedayu sudah menerapkan ilmunya memperingankan tubuh, namun kadang-kadang ia masih juga terlambat mengikuti gerak lawannya.

    Karena itu, maka sekali lagi, ujung keris Empu Wisanata itu menggapai tubuh Agung Sedayu.

    Agung Sedayu meloncat surut untuk mengambil jarak. Namun ia tidak dapat mengingkari kenyataan yang dihadapinya. Ilmu memperingan ilmu Empu Tunggul Pawaka itu. Karena itu, maka ia pun telah menerapkan ilmunya Sapta Panggraita.

    Ternyata kemampuannya menangkap gerak lawannya yang sangat cepat dengan ilmunya Sapta Panggraita itu menjadi semakin meningkat. Agung Sedayu dengan ketajaman panggraitannya seakan-akan dapat mengetahui lebih dahulu ke mana lawannya akan bergerak sehingga beberapa kali Agung Sedayu bukan saja mampu mengikuti gerak lawannya, tetapi bahkan dapat memotongnya dengan serangan-serangan cambuknya yang berbahaya.

    Empu Tunggul Pawakalah yang kemudian melenting beberapa langkah surut. Ujung cambuk Agung Sedayu telah menembus pertahanan lawannya dan bahkan mengguncang ilmu kebalnya.

    Ternyata serangan Agung Sedayu yang menghentikan segenap ke-mampuannya itu mampu melukai kulit Empu Tunggul Pawaka.

    Agung Sedayu sengaja tidak memburunya. Dengan nada rendah ia pun berkata, “Empu. Apakah kita benar-benar harus bertempur habis-habisan?”

    Empu Tunggul Pawaka itu mengerutkan dahinya. Katanya, “Kita sudah melangkah sejauh ini. Sementara itu kau masih bertanya?”

    “Maksudku, apakah kita tidak dapat memilih jalan lain.”

    “Jika kau akan menyerah, menyerahlah. Jika tidak, maka kau akan mati. Hanya itu pilihanmu Agung Sedayu.”

    “Tidak, Empu. Aku masih mempunyai pilihan lain.”

    “Apa? Minta bantuan kepada kawan-kawanmu yang telah berhasil membunuh lawan-lawannya?”

    “Ya, Empu. Tetapi masih ada lagi pilihan yang lain tanpa melibatkan mereka. Aku sendiri akan membunuhmu.”

    Jantung Empu Tunggul Pawaka bagaikan ditusuk dengan duri kemarung. Seseorang telah mengancam akan membunuhnya, sementara ia merasa sebagai seorang yang berilmu sangat tinggi dan tidak terkalahkan.

    Karena itu, maka Empu Tunggul Pawaka itu pun berkata, “Agung Sedayu. Apakah matahari sudah akan terbit di selatan, sehingga seseorang mampu membunuhku?”

    “Kesombonganmu itu adalah satu sebab kehancuranmu, Empu. Kau bukan seorang yang demikian berharga sehingga matahari akan menangisi kematianmu.”

    Kemarahan Empu Tunggul Pawaka benar-benar telah membakar otaknya. Tanpa mengucapkan kata-kata lagi, ia pun segera meloncat menyerang Agung Sedayu. Kemampuannya bergerak cepat, melebihi ke-mampuan Agung Sedayu meskipun Agung Sedayu sudah menerapkan ilmu meringankan tubuh. Namun ilmu Sapta Panggraita Agung Sedayu itu dapat membantunya.

    Meskipun demikian, serangan-serangan yang datang begitu cepat masih juga sempat mendesak Agung Sedayu. Seperti bayangan yang terbang mengelilinginya, Empu Tunggul Pawaka memaksa Agung Sedayu untuk mengerahkan kemampuannya.

    Tetapi ilmu yang telah dikerahkan itu masih belum yang terakhir bagi Agung Sedayu. Ketika kecepatan gerak Empu Tunggul Pawaka yang semakin meningkat itu masih juga mampu mengejutkan lawannya dengan memotong serangannya, namun Agung Sedayu merasa perlu menerapkan ilmunya yang lain.

    Dalam pertempuran yang semakin cepat itulah, maka Empu Tunggul Pawaka terkejut. Ketika kecepatan geraknya semakin meningkat, maka tiba-tiba sasaran serangannya menjadi kabur. Tiba-tiba saja Empu Tunggul Pawaka itu melihat tiga orang Agung Sedayu yang berloncatan dengan cambuk di tangan.

    “Gila!” Empu Tunggul Pawaka berteriak, “Kakang kawah adi ari-ari.”

    Tiga sosok ujud Agung Sedayu itu pun bergerak bersama-sama mendekati Empu Tunggul Pawaka yang menjadi tegang sejenak. Namun Empu Tunggul Pawaka itu pun tersenyum sambil berkata, “Baiklah Agung Sedayu, agaknya kau ingin menunjukkan permainanmu yang terbaik. Tetapi marilah. Aku akan melayaninya.”

    Ketiga sosok ujud Agung Sedayu itu tidak menjawab. Namun mereka telah bersama-sama menyerang.

    Empu Tunggul Pawaka pun segera berloncatan mengelakkan serangan-serangan itu. Ia tahu, bahwa hanya ada satu Agung Sedayu. Dan itu berarti bahwa hanya ada satu ujud cambuk yang berbahaya baginya. Namun Empu Tunggul Pawaka memerlukan waktu untuk mengetahui, yang manakah Agung Sedayu yang sebenarnya dari ketiga ujud itu.

    Dalam pertempuran yang sengit, maka terasa lecutan ujung cambuk Agung Sedayu telah menembus ilmu kebalnya sehingga tubuhnya telah tergetar. Bahkan segores luka telah menandai betapa kuatnya lecutan Cambuk Agung Sedayu yang telah berhasil menembus ilmu kebal Empu Tunggul Pawaka.

    Namun ketajaman penglihatan batin Empu Tunggul Pawaka telah berhasil mengetahui, sosok Agung Sedayu yang sebenarnya. Karena itu, maka serangan-serangan Empu Tunggul Pawaka telah dipusatkan kepada sosok itu. Bahkan kemudian dari putaran keris Empu tunggul Pawaka itu seakan-akan telah memancar percikan-percikan cahaya api yang meluncur ke arah sosok. Agung Sedayu.

    Beberapa kali Agung Sedayu harus berloncatan menghindar. Ia pun segera menyadari bahwa lawannya mampu memecahkan ilmunya yang mampu mengaburkan keberadaannya itu. Karena itu, maka beberapa saat kemudian, Agung Sedayu telah menarik kembali ilmunya itu, sehingga yang nampak hanyalah sesosok Agung Sedayu saja.

    Meskipun demikian, Empu Tunggul Pawaka yang telah melepaskan ilmunya yang menggetarkan jantung itu sama sekali tidak mengendurkan serangan-serangannya. Percikan-percikan api dari putaran keris Empu Tunggul Pawaka itu masih saja menyerang Agung Sedayu.

    Dengan demikian Agung Sedayu masih saja harus berloncatan menghindar. Ujung cambuknya setiap kali dihentakkannya, menghantam percikan-percikan api yang semakin lama menjadi semakin deras mengalir dari putaran kerisnya.

    Semakin lama Agung Sedayu semakin merasa terdesak. Percikkan api yang luput dari hentakan ujung cambuknya dan tidak berhasil dihindarinya, terasa betapa panasnya menyengat kulitnya. Apalagi seandainya Agung Sedayu itu tidak melapisi pertahanannya dengan ilmu kebalnya, maka kulitnya tentu sudah dikoyak-koyak oleh percikkan api yang panasnya melampaui bara itu.

    Dengan demikian, maka Agung Sedayu itu pun semakin lama menjadi semakin terdesak. Sekali-sekali Agung Sedayu sempat meloncat menyerang, tetapi semakin dekat ia dengan Empu Tunggul Pawaka, maka terasa percikan-percikan api itu pun menjadi semakin panas.

    Dengan demikian, keadaan Agung Sedayu menjadi semakin sulit. Empu Tunggul Pawakalah yang kemudian berusaha untuk bertempur pada jarak yang dekat. Meskipun ujung cambuk Agung Sedayu sekali-sekali masih sempat menembus ilmu kebalnya, namun Empu Tunggul Pawaka memperhitungkan kemungkinan yang terburuk akan terjadi pada Agung Sedayu.

    Orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu menjadi semakin tegang. Kesempatan bagi Agung Sedayu menjadi semakin kecil. Beberapa kali Agung Sedayu harus berloncatan mengambil jarak, sehingga dengan demikian, maka ujung cambuknya tidak lagi dapat menggapai tubuh lawannya.

    Glagah Putih dan Sabungsari setiap kali ikut bergeser. Tetapi mereka masih tetap menahan diri untuk, tidak mencampuri pertempuran itu.

    Ki Wijil, anak laki-lakinya, Ki Jayaraga dan apalagi Sekar Mirah menjadi semakin berdebar-debar. Bahkan Empu Wisanata dan Nyi Dwani pun justru mencemaskan keadaan Agung Sedayu. Apalagi keduanya berkeyakinan bahwa Empu Tunggul Pawaka adalah orang yang tidak terkalahkan.

    Sebenarnyalah Agung Sedayu berada dalam kesulitan yang mendesak. Ia seakan-akan sudah tidak melihat kemungkinan untuk melepaskan dari diri tekanan Empu Tunggul Pawaka.

    Namun Agung Sedayu masih belum tuntas. Karena itu, dalam keadaan yang paling gawat, maka Agung Sedayu telah sampai pada puncak kemampuannya.

    Ketika serangan Empu Tunggul Pawaka datang membadai, maka Agung Sedayu pun telah meloncat mengambil jarak. Ia sadar, bahwa. Empu Tunggul Pawaka akan memburunya. Tetapi Agung Sedayu telah mempergunakan waktu yang sesaat itu untuk sampai pada tataran tertinggi dari kemampuan yang dikuasainya.

    Agung Sedayu melihat Empu Tunggul Pawaka itu memutar kerisnya untuk melontarkan percikan-percikan api ke arahnya. Namun Agung Sedayu sudah sampai pada tataran tertinggi dari kemampuannya. Dengan tangkasnya Agung Sedayu meloncat mengelakkan serangan itu. Sekali ia berguling. Namun kemudian ia melenting bangkit. Demikian Empu Tunggul Pawaka itu memburunya, maka Agung Sedayu pun telah melepaskan ilmu pamungkasnya. Dari sepasang mata Agung Sedayu itu seakan-akan telah memancar sinar yang tajam, langsung mematuk ke arah dada Empu Tunggul Pawaka.

    Empu Tunggul Pawaka terkejut sekali melihat serangan Agung Sedayu itu. Ia tidak mengira sama sekali, bahwa di dalam diri Agung Sedayu itu tersimpan berbagai macam ilmu yang dapat mengacaukannya. Bahkan yang kemudian dihadapinya adalah ilmu yang sangat berbahaya.

    Empu Tunggul Pawaka terlambat untuk mengelakkan serangan itu. Karena itu, maka Empu Tunggul Pawaka telah membentur ilmu yang dipancarkan dari sepasang mata Agung Sedayu itu. Dengan memutar kerisnya, maka Empu Tunggul Pawaka itu mengerahkan segenap kemampuannya, melawan ilmu yang dilontarkan oleh Agung Sedayu.

    Satu benturan yang dahsyat telah terjadi. Dua orang yang berilmu sangat tinggi telah membenturkan ilmu puncak mereka masing-masing, sementara itu, keduanya telah melapisi diri mereka dengan ilmu kebal.

    Benturan dua ilmu yang dahsyat itu telah menggetarkan udara. Dua kekuatan raksasa yang saling menghantam telah menimbulkan pantulan yang dahsyat. Sementara itu dorongan ilmu lawannya telah menghentak demikian kuatnya.

    Berbareng Agung. Sedayu dan Empu Tunggul Pawaka terlempar beberapa langkah surut. Keduanya telah terbanting di tanah.

    Namun dengan serta-merta keduanya masih mampu bangkit berdiri. Dorongan kemarahan yang menyala di dada mereka telah membuat keduanya tidak menghentikan pertempuran.

    Dengan sisa tenaganya, Empu Tunggul Pawaka masih juga meloncat menyerang Agung Sedayu, sementara Agung Sedayu pun telah bersiap pula menghentakkan kemampuannya yang tersisa.

    Namun Agung Sedayu tidak mengulangi serangan dengan sorot matanya. Tetapi segala kemampuan dan kekuatannya telah dihimpunnya lewat tangannya dan kemudian menjalar pada cambuknya. Agung Sedayu itu telah sampai pada puncak tertinggi ilmu cambuknya, yang menurut Kiai Gringsing jangan dipergunakan jika tidak terdesak dalam keadaan yang sangat gawat.

    Demikian Empu Tunggul Pawaka memutar kerisnya, maka Agung Sedayu pun telah meloncat menghentakkan cambuknya dilambari dengan puncak tertinggi ilmu yang pernah diwarisinya dari gurunya, Kiai Gringsing.

    Hentakkan cambuk Agung Sedayu itu ternyata mempunyai akibat yang menentukan. Benturan yang telah menguras sebagian tenaga dan ke-kuatan Empu Tunggul Pawaka, telah melemahkan daya tahan ilmu kebalnya. Karena itu, maka hentakkan cambuk Agung Sedayu itu benar-benar telah memecahkan pertahanannya. Bahkan putaran kerisnya tidak mampu menghentikan sergapan ujung cambuk Agung Sedayu yang dahsyat itu.

    Empu Tunggul Pawaka menggeliat ketika ujung cambuk Agung Sedayu itu seakan-akan telah memeluk tubuhnya. Ketika ujung cambuk itu ditarik dengan kekuatan yang sangat besar, tubuh Empu Tunggul Pawaka bagaikan terputar setengah lingkaran. Namun sebelum Empu Tunggul Pawaka itu sempat berbuat sesuatu, satu kali lagi, Agung Sedayu melecut Empu Tunggul Pawaka dengan dahsyatnya.

    Luka pun telah menggores di tubuh Empu Tunggul Pawaka. Segores melingkari tubuhnya, mengoyak kedua lengan sebelah menyebelah, dada dan bahkan punggungnya, sedang yang segores lagi telah melukai lambungnya.

    Empu Tunggul Pawaka terdorong beberapa langkah. Orang yang berilmu sangat tinggi itu tidak mampu mempertahankan keseimbangannya lagi. Karena itu, maka ia pun kemudian terhuyung-huyung dan jatuh terguling di tanah.

    Agung Sedayu sempat memandanginya sejenak. Namun tubuhnya pun kemudian menjadi sangat lemah. Ia telah menghentakkan segenap sisa tenaganya, sehingga seakan-akan ia tidak lagi mempunyai tenaga untuk dapat mempertahankan keseimbangannya.

    Agung Sedayu itu pun kemudian jatuh berlutut di sisi Empu Tunggul Pawaka.

    Namun ketika ia melihat Empu Tunggul Pawaka itu membuka matanya, maka Agung Sedayu berusaha bertahan untuk tidak terbaring di sisi Empu Tunggul Pawaka itu.

    Bahkan kemudian terdengar Empu Tunggul Pawaka itu berdesis lemah, “Kau memang luar biasa Agung Sedayu. Sejak semula sudah aku katakan, aku mengagumimu.”

    Nafas Agung Sedayu menjadi terengah-engah. Ia berusaha untuk bergeser mendekat. Tetapi hampir saja jatuh terjerembab.

    Sabungsari dan Glagah Putih pun dengan cepat mendekati. Namun perhatian Agung Sedayu tertuju sepenuhnya kepada Empu Tunggul Pawaka.

    “Kau masih terhitung muda, Agung Sedayu. Pada saatnya kau akan dapat menggulung tanah ini. Kemampuanmu akan tidak tertandingi.”

    Agung Sedayu tidak menjawab. Namun ia masih melihat Empu Tunggul Pawaka itu tersenyum. Suaranya menjadi semakin lemah, “Ilmu kebalku adalah ilmu kebal yang jarang ada duanya. Tetapi kemampuan ilmumu mampu memecahkannya.”

    Agung Sedayu masih berdiam diri. Suara Empu Tunggul Pawaka itu menjadi kian melemah., “Kau menang Agung Sedayu.”

    “Empu,” desis Agung Sedayu.

    Empu Tunggul Pawaka itu tersenyum. Namun kemudian matanya pun segera terpejam.

    Ki Wijil dan Ki Ajar Trikaya telah berjongkok di sebelah tubuh Empu Tunggul Pawaka itu pula. Namun Empu Tunggul Pawaka itu telah menghembuskan nafasnya yang terakhir.

    Sekar Mirahlah yang kemudian berjongkok di belakang Agung Sedayu. Dengan suara tertahan Sekar Mirah itu pun berdesis, “Kakang?”

    Agung Sedayu yang mendengar suara itu, cepat berpaling. Dilihatnya Sekar Mirah memandanginya dengan sorot mata yang penuh dengan kecemasan.

    Namun Agung Sedayu itu pun tersenyum sambil berdesis, “Aku tidak apa-apa Sekar Mirah.”

    Sekar Mirah termangu-mangu sejenak. Namun ketika Agung Sedayu mencoba bangkit berdiri, maka keseimbangannya pun masih goyah.

    Glagah Putih, Sabungsari dan Sekar Mirah dengan cepat berusaha membantunya. Tetapi Agung Sedayu itu berkata, “Terima kasih. Biarlah aku berdiri sendiri.”

    Sabungsari dan Glagah Putih pun melepaskannya. Namun Sekar Mirah masih memegangi lengannya.

    “Marilah, Kakang. Duduklah dahulu.”

    Sekar Mirah pun kemudian membimbing Agung Sedayu ke tangga pendapa.

    Ketika kemudian Agung Sedayu duduk, maka Glagah Putih dan Sabungsari pun berdiri pula di hadapannya. Dengan nada dalam Glagah Putih berkata, “Kakang harus minum obat yang dapat membantu ketahanan tubuh Kakang.”

    Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Baiklah. Tolong, ambilkan sebutir di kantong bajuku.”

    Glagah Putihlah yang kemudian telah memungut sebutir obat reramuan yang kemudian ditelan oleh Agung Sedayu.

    “Bagaimana dengan kau sendiri, Glagah Putih?” bertanya Agung Sedayu.

    “Aku sudah baik, Kakang.”

  10. Api di Bukit Menoreh
    Jilid IV – 12
    Bagian 3 dari 3

    Agung Sedayu sempat memandang Empu Wisanata dan Nyi Dwani yang berdiri termangu-mangu. Namun mereka menyadari keadaan mereka, sehingga mereka tidak dapat berbuat sesuatu.

    “Glagah Putih dan Sabungsari,” desis Agung Sedayu, “Mendekatlah!”

    Keduanya menjadi tegang. Sementara Agung Sedayu berkata, “Aku tidak apa-apa. Aku hanya ingin memberitahukan kepada kalian, apa yang telah kami katakan kepada Nyi Dwani untuk memancingnya agar ia bersedia membawa kami kepada Ki Saba Lintang.”

    Glagah Putih dan Sabungsari pun telah mendengarkan uraian singkat Agung Sedayu dan sekali-sekali digenapi oleh Sekar Mirah. Bagaimana mereka berhasil membakar kecemburuan Nyi Dwani, sehingga persoalannya telah berkembang menjadi sebagaimana yang terjadi

    “Kita harus memelihara perasaan Nyi Dwani itu. Dengan demikian maka akan membawa kita kepada Ki Saba Lintang dan tempat yang mereka pergunakan untuk menyembunyikan Rara Wulan.”

    Glagah Putih dan -Sabungsari mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Glagah Putih berdesis, “Aku mengerti, Kakang.”

    “Aku minta semuanya menyesuaikan diri dengan sikap ini. Setiap pembicaraan dengan Nyi Dwani jangan menyimpang, agar Nyi Dwani tidak menjadi curiga dan membatalkan niatnya membawa kita kepada Ki Saba Lintang. Nyi Dwani tentu ingin membebaskan Rara Wulan, karena ia tidak ingin kehilangan Ki Saba Lintang itu.”

    Orang-orang yang berada di halaman itu berdiri termangu-mangu. Mereka tidak tahu apa yang dibicarakan oleh Agung Sedayu dan Sekar Mirah dengan Glagah Putih dan Sabungsari.

    Namun mereka melihat Agung Sedayu itu menelan obat yang diambil oleh Glagah Putih dari sebuah bumbung kecil yang disimpan di kantong bajunya.

    Dengan demikian, maka mereka mengira bahwa pembicaraan mereka berkisar pada keadaan Agung Sedayu itu sendiri.

    Demikianlah, beberapa saat kemudian, maka Agung Sedayu telah minta Glagah Putih dan Sabungsari minta Ki Wijil, Ki Ajar Trikaya, Ki Jayaraga dan Sayoga untuk berkumpul. Sementara itu, mereka diminta pula untuk serba sedikit memberi tahukan, persoalan mereka dengan Nyi Dwani dan Empu Wisanata.

    “Terakhir, kalian panggil Empu Wisanata dan Nyi Dwani untuk naik ke pendapa pula.”

    Demikian, sejenak kemudian, mereka pun telah duduk di pendapa. Ki Ajar Trikaya pun segera mengemukakan, bahwa ia harus membersihkan padepokannya. Di halaman itu, beberapa sosok tubuh terkapar membeku.

    “Silakan Ki Ajar. Tetapi bukanlah Ki Ajar tidak akan melakukan sendiri?”

    Tidak. Aku akan berbicara dengan para cantrik.”

    “Kami mohon maaf Ki Ajar. Kami tidak dapat membantu sekarang. Ada sesuatu yang ingin kami bicarakan.”

    “Silakan. Silakan.”

    Namun Ki Wijillah yang kemudian berkata, “Biarlah aku membantu Ki Ajar Trikaya. Silakan kalian membicarakan persoalan kalian.”

    Agung Sedayu ternyata tidak berkeberatan, sehingga dengan demikian, maka Ki Ajar Trikaya, Ki Wijil dan Sayoga telah turun dari pendapa dan menemui para cantrik. Mereka harus mengumpulkan sosok-sosok tubuh yang terbaring di halaman. Juga mereka yang terluka yang tangannya sudah terikat.

    Di pendapa, Agung Sedayu yang masih lemah itu berkata, “Aku minta waktu beberapa saat untuk memperbaiki keadaanku sebelum kita meninggalkan padepokan ini dan menemui Ki Saba Lintang.”

    “Silakan, Ki Lurah,” sahut Empu Wisanata, “Kami tahu, keadaan Ki Lurah yang agak mengalami kesulitan. Juga Angger Glagah Putih.”

    Agung Sedayu memang memerlukan waktu beberapa saat untuk menata kembali keadaan tubuhnya. Urat-urat nadinya, syarafnya dan degup jantungnya. Dengan mengatur pernafasannya, Agung Sedayu berupaya untuk segera menemukan keseimbangan kembali segala unsur yang ada di dalam dirinya.

    Namun ternyata Agung Sedayu memang memerlukan waktu.

    Ketika Ki Ajar Trikaya sudah memberikan beberapa petunjuk kepada para cantriknya, agar Agung Sedayu mendapat kesempatan untuk mengatur dirinya dengan tenang, ditunggui oleh Sekar Mirah.

    Dalam pada itu, beberapa orang cantrik masih sempat mempersiapkan minuman bagi mereka yang kemudian duduk di pendapa. Empu Wisanata dan Nyi Dwani yang juga berada di pendapa itu, duduk dengan gelisah. Mereka merasa berada di antara orang-orang yang asing.

    Namun untuk menjaga agar tidak terjadi salah paham atau justru menimbulkan kecurigaan di hati Nyi Dwani dan Empu Wisanata, mereka yang berada di pendapa itu sama sekali tidak berbicara tentang Rara Wulan dan Ki Saba Lintang. Agung Sedayu dan Sekar Mirah sudah berhasil memancing kecemburuan Nyi Dwani. Karena itu, perasaan itu harus tetap dijaga agar Nyi Dwani bersedia membawa mereka kepada Ki Saba Lintang dan Rara Wulan.

    Ternyata Agung Sedayu memerlukan waktu yang cukup lama. Ketika kemudian langit menjadi buram. Agung Sedayu baru merasa ke-adaan tubuhnya menjadi berangsur baik. Kekuatannya mulai, tumbuh dan berkembang kembali meskipun tidak terlalu cepat. Obat yang telah ditelannya, agaknya sangat membantunya

    Di halaman, para cantrik sibuk mempersiapkan penguburan orang-orang yang telah terbunuh. Para cantrik itu telah mempersiapkan beberapa lubang kubur di sebuah kuburan tua, tidak terlalu jauh dari padepokan itu, sedikit agak terpisah dari kuburan yang sudah ada sebelumnya

    “Kuburan itu dihormati oleh orang-orang padukuhan sebelah,” berkata Ki Ajar Trikaya kepada Ki Jayaraga yang ikut turun ke halaman.

    “Siapakah sosok yang paling dihormati di kuburan itu?”

    “Tokoh cikal-bakal padukuhan kecil itu. Ki Semanu. Ialah yang mula-mula membuka hutan untuk satu lingkungan pemukiman. Menurut cerita orang padukuhan itu, Ki Semanulah yang mampu menaklukkan jin penunggu hutan yang dibuka itu. Jin bertanduk dan bermata bara. Ternyata padukuhan itu semakin lama menjadi semakin ramai juga. Setelah beberapa keturunan, maka penghuni padukuhan itu menjadi semakin banyak.”

    Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, “Apakah penguburan itu akan dilakukan sekarang? Atau menunggu besok?”

    “Semuanya sudah siap,” sahut Ki Ajar Trikaya.

    “Tetapi senja sudah turun.”

    “Ada beberapa obor telah disiapkan. Semakin cepat selesai semakin baik.”

    Ki Jayaraga mengangguk-angguk pula.

    Seperti dikatakan oleh Ki Ajar, maka sejenak kemudian, sebuah iring-iringan telah meninggalkan padepokan menuju ke kuburan tua. Dua orang cantrik yang menemui Ki Bekel di padukuhan sebelah telah kembali dan menyatakan bahwa Ki Bekel tidak berkeberatan untuk memberikan tempat untuk sosok mayat beberapa orang yang dianggap berniat buruk itu.

    “Tetapi kuburan bagi mereka itu harus dipisahkan. Kuburan itu tidak boleh terletak di atas gumuk kecil itu. Harus dikubur di paling bawah, di dekat tanggul sungai kecil yang mengalir di dekat gumuk kecil itu.”

    Ki Jayaraga melihat nyala api obor yang mendahului iring-iringan itu seperti beberapa ekor burung kemamang yang terbang di kegelapan. Burung yang berbulu api, yang dipelihara oleh hantu dan setan.

    Dalam pada itu, keadaan Agung Sedayu pun telah menjadi lebih baik. Sementara itu waktu mereka menjadi semakin mendesak. Mereka tidak akan dapat menunggu sampai esok. Malam itu mereka harus berangkat mencari Ki Saba Lintang berdasarkan petunjuk yang akan diberikan oleh Empu Wisanata dan Nyi Dwani.

    Setelah para cantrik menyuguhkan nasi yang hangat, maka Agung Sedayu telah mohon diri untuk melanjutkan perjalanan. Ki Ajar memang berusaha untuk menahan mereka agar berangkat esok pagi. Tetapi Agung Sedayu pun menyahut, “Kami mohon maaf, Ki Ajar, bahwa kami telah merepotkan Ki Ajar. Terima kasih atas kesediaan Ki Ajar menyambut kedatangan kami.”

    “Sebagaimana kau ketahui, bahwa kalian telah membebaskan padepokan ini dari tangan Empu Tunggul Pawaka. Tentu tidak ada ke-kuatan yang kami miliki untuk dapat mengusirnya. Tanpa kedatangan Ki Lurah, maka kami tidak akan mampu membebaskan diri kami.”

    “Kita mempunyai kepentingan yang sejalan, Ki Ajar. Selanjutnya kami mohon agar Empu Wisanata dan Nyi Dwani dapat kami bawa bersama kami.”

    “Silakan, Ki Lurah. Segala sesuatunya terserah kepada Ki Lurah.”

    Empu Wisanatalah yang kemudian menyahut, “Aku secara pribadi dan anakku mohon maaf atas segala peristiwa yang telah terjadi di sini, Ki Ajar.”

    Ki Ajar Trikaya tersenyum. Katanya, “Empu tidak melakukannya secara pribadi. Demikian pula yang dilakukan oleh Nyi Dwani yang di padepokan ini dikenal dengan Jaka Dwara. Yang kalian lakukan adalah bagian saja dari kelakuan sekelompok orang yang berbuat secara bersama-sama. Karena itu, mungkin secara pribadi, apa yang kalian lakukan itu justru bertentangan dengan niat yang tersirat di hati kalian sendiri.”

    “Tetapi sudah sewajarnya, bahwa kami harus mengakui kesalahan itu, Ki Ajar. Apalagi aku yang setiap saat selalu mengawasi Ki Ajar.*

    “Tetapi bukankah itu tugas yang dibebankan kepadamu oleh sekelompok orang itu? Atau katakanlah oleh pemimpinmu yang disebut Empu Tunggul Pawaka itu?”

    Nyi Dwani mengangguk. Sementara Ki Ajar berkata, “Kau tidak mempunyai pilihan lain, Nyi Dwani. Jika kau sudah menyatukan diri ke dalam satu kelompok, maka yang kau lakukan adalah kelakuan dari kelompok itu. Hanya kadang-kadang saja seseorang yang pribadinya kuat- mampu melepaskan diri dari cengkaman kelakuan itu dan tetap berpegang pada sikap pribadinya.”

    Nyi Dwani menundukkan kepalanya. Tetapi perempuan itu berdesis, “Terima kasih atas pengertian Ki Ajar Trikaya.”

    Ki Ajar itu tertawa. Katanya, “Aku sudah tua, Ngger. Sudah kenyang makan pahit dan manisnya kehidupan.”

    Nyi Dwani tidak menyahut lagi. Kepalanya justru tertunduk lesu.

    Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu dan mereka yang datang bersamanya telah siap untuk meninggalkan padepokan itu. Empu Wisanata dan Nyi Dwani ikut bersama mereka pula.

    Dalam pada itu, Ki Ajar itu pun berkata, “Jadi Ki Wijil juga akan meninggalkan padepokan ini bersama Ki Lurah Agung Sedayu?”

    “Mereka menitipkan kuda mereka di rumahku, Ki Ajar. Tetapi setelah aku mengantarkan tamu-tamuku, aku akan segera mengunjungi padepokan ini lagi.”

    “Terima kasih, Ki Wijil. Lain kali aku juga ingin mempersilakan Ki Lurah berdua dan kadang yang lain untuk mengunjungi padepokan kecil yang terpencil ini.”

    “Kami tidak akan pernah melupakan padepokan ini, Ki Ajar,” sahut Agung Sedayu, “pada suatu saat, kami akan memerlukan berkunjung ke tempat ini.”

    Para cantrik padepokan itu pun ikut melepas para tamu itu di halaman. Mereka menganggap bahwa para tamu yang datang itu adalah api yang menyulut keberanian mereka untuk berbuat sesuatu bagi kebebasan mereka.

    Kepada para cantrik Agung Sedayu dan mereka yang datang bersamanya itu melambaikan tangannya. Sementara itu Agung Sedayu sempat berbisik kepada Ki Ajar, “Maaf Ki Ajar. Aku mohon orang-orang yang ditahan di sini, jangan sampai ada yang dapat melepaskan diri dalam waktu dekat ini. Jika seorang saja dari antara mereka terlepas, maka tugas kami akan dapat menjadi gagal.”

    Ki Ajar Trikaya mengangguk sambil menjawab lirih, “Baik, Ki Lurah. Aku akan berusaha bersama para cantrik. Sementara orang-orang yang paling berbahaya sudah tidak ada lagi. Ki Lurah sudah menghabisi Empu Tunggul Pawaka.”

    Demikianlah, maka sejenak kemudian maka sebuah iring-iringan kecil telah, meninggalkan padepokan itu. Empu Wisanata dan Nyi Dwani menuntun kuda mereka, sementara yang lain berjalan kaki, karena kuda-kuda mereka, mereka titipkan di rumah Ki Wijil.

    Malam yang gelap pun telah menyelubungi Gunung Kukusan. Namun iring-iringan itu berjalan terus. Mereka adalah orang-orang yang terlatih, sehingga penglihatan mereka pun cukup tajam untuk mengamati jalan yang rumpil. Lorong sempit berbatu-batu padas. Kadang-kadang menurun, kadang-kadang sedikit menanjak.

    Meskipun sebenarnya kekuatan dan tenaga Agung Sedayu belum pulih seutuhnya, tetapi keadaannya sudah menjadi semakin baik. Agung Sedayu berharap, bahwa jika saatnya mereka sampai di tempat Ki Saba Lintang, keadaannya sudah benar-benar pulih.

    Agung Sedayu menduga, bahwa di tempat tinggal Ki Saba Lintang, yang barangkali justru pusat pengendalian dari gerakan orang-orang yang berniat untuk membangkitkan kembali perguruan Kedung Jati itu, terdapat juga orang-orang berilmu tinggi sebagaimana Empu Tunggul Pawaka.

    Iring-iringan kecil itu bergerak terus menembus gelapnya malam. Bukan saja karena malam yang semakin dalam, tetapi kabut pun telah menyelimuti kaki Gunung Kukusan itu.

    Ketika kemudian mereka sampai di rumah Ki Wijil, mereka hanya sempat beristirahat sejenak. Nyi Wijil masih sempat menghidangkan minuman dan makanan. Namun sekelompok orang itu tidak dapat menghabiskan malam itu di rumah Ki Wijil. Mereka harus melanjutkan perjalanan.

    “Kita masih mempunyai waktu sehari untuk menempuh perjalanan esok,” berkata Ki Jayaraga.

    “Ya. Sebaiknya kita sampai tujuan menjelang malam. Ada beberapa keuntungan yang kita dapatkan dengan kegelapan yang kemudian turun,” berkata Empu Wisanata.

    K Agung Sedayu mengangguk sambil berdesis, “Kita memang tidak terlalu tergesa-gesa. Kita dapat beristirahat lebih lama. Tetapi kita akan segera berangkat lagi. Kita harus mempergunakan waktu sebaik-baiknya.”

    Ki Wijillah yang kemudian berdesis, “Biarlah aku ikut bersama Ki Lurah.”

    Agung Sedayu memandang Ki Wijil dengan kerut di kening. Dengan nada dalam ia pun berkata, “Kami telah terlalu banyak menyibukkan Ki Wijil. Pertolongan Ki Wijil sudah cukup besar sampai saat ini.”

    “Tiba-tiba saja aku ingin melepaskan kejenuhanku. Sudah terlalu lama aku tinggal di rumah saja. Setiap pagi pergi ke sawah. Kemudian saat matahari turun, pulang dengan tubuh yang basah oleh keringat. Demikian juga anakku dan yang tidak lebih sibuknya adalah Nyi Wijil. Kesibukan yang itu-itu saja. Masak dan kemudian membawa ke sawah. Mencuci pakaian dan mengisi jambangan. Agaknya Nyi Wijil pun sekali-sekali ingin melihat apa yang terjadi di luar rumahnya. Ingin menghindari panasnya perapian saat-saat ia membuat gula kelapa.”

    “Maksud Ki Wijil?”

    Ki Wijil pun kemudian berpaling kepada istrinya yang telah menghidangkan minuman dan makanan. Katanya kepada istrinya, “Bagaimana menurut pendapatmu? Aku melihat keinginan itu disorot matamu.”

    Nyi Wijil tertawa. Katanya, “Aku sudah semakin tua.”

    “Aku juga,” jawab Ki Wijil, “tetapi bukankah orang-orang tua sekali-sekali juga membuat hatinya menjadi lebih segar dengan kesibukan yang berbeda dari kesibukan sehari-hari.”

    Nyi Wijil tertawa. Katanya, “Kakang masih saja seperti remaja yang sedang jatuh cinta.”

    Ki Wijil pun tertawa pula. Bahkan orang-orang yang mendengarnya ikut tersenyum pula.

    Tetapi Ki Wijil justru berpaling kepada Nyi Dwani. Katanya, “Beginikah tingkah laku orang-orang yang sedang jatuh cinta?”

    “Ah,” Nyi Dwani tidak menjawab.

    Namun Nyi Wijil itu pun kemudian berkata, “Baiklah. Aku ikut bersama Ki Lurah dan Nyi Lurah. Kehadiran Nyi Lurah memang membuat jantungku berdebar lebih cepat. Darahku rasa-rasanya telah dipanasi oleh sikapnya.”

    Agung Sedayu dan orang-orang yang hadir di rumah Ki Wijil itu segera menyadari, bahwa Nyi Wijil pun bukan orang kebanyakan. Ia tentu juga seorang berilmu tinggi sebagaimana Ki Wijil sendiri.

    Bahkan Ki Wijil itu pun kemudian berkata, “Jika sempat, kami ingin singgah di Kepatihan Mataram.”

    “Kami akan mengantarkan Ki Wijil dan Nyi Wijil jika Ki Wijil dan Nyi Wijil ingin singgah di Kepatihan Mataram.”

    “Sudah lama sekali kami tidak bertemu,” berkata Ki Wijil selanjutnya.

    Untuk beberapa saat, mereka yang berada di rumah Ki Wijil itu sempat beristirahat. Minuman hangat, makanan, dan Glagah Putih itu pun menjadi heran. Selagi orang-orang lain sibuk berbincang, Sayoga itu dapat tidur mendengkur. Apalagi nampaknya ia pun merasa letih setelah berjalan dan bahkan berkelahi di padepokan Ki Ajar Trikaya.

    Nyi Wijil yang melihat anaknya tidur di amben yang besar di ruang dalam itu pun tersenyum. Katanya, “Anak itu memang pemalas. Demikian ia duduk dan apalagi berbaring, maka ia tentu akan mendengkur.”

    Sementara Ki Wijil pun kemudian berkata, “Siapa yang akan tidur, silakan. Ki Lurah tentu akan segera membangunkannya jika kita akan berangkat.”

    Tetapi Glagah Putihlah yang menjawab, “Jika aku juga berbaring dan tertidur, mungkin baru besok siang .aku dapat dibangunkan.”

    Sabungsari yang duduk bersandar dinding dengan mata yang hampir terpejam, tersenyum sambil menjawab, “Matakulah yang hampir terpejam. Tetapi aku juga tidak berani berbaring.”

    “Kita memang dikejar oleh waktu,” berkata Agung Sedayu kemudian.

    Namun Agung Sedayu memang memberi waktu untuk beristirahat, sambil menunggu Nyi Wijil mempersiapkan diri, sementara itu, seorang pembantu Ki Wijil tengah sibuk menyiapkan kuda-kuda mereka yang akan melanjutkan perjalanan itu.

    Ketika Glagah Putih dan Sabungsari mendengar ringkik seekor kuda, maka mereka pun mengerti, bahwa seseorang tengah mempersiapkan kuda-kuda mereka, sehingga mereka pun telah keluar pula dari ruang dalam dan pergi ke belakang untuk membantu menyiapkan kuda-kuda yang akan menempuh perjalanan panjang.

    Beberapa saat kemudian, Nyi Wijil pun sudah siap. Demikian keluar dari ruang dalam, Ki Jayaraga pun memandanginya sambil mengerutkan dahinya Hampir di luar sadarnya ia berdesis, “Apakah aku berhadapan dengan Srigunting Kuning?”

    Nyi Wijil itu terkejut. Dengan nada tinggi ia bertanya, “Ki Jayaraga mengenal Srigunting Kuning?”

    “Ya Aku pernah hidup di pesisir utara. Beberapa puluh tahun yang lalu. Masa-masa buruk yang pernah aku jalani.”

    Nyi Wijil itu tersenyum. Katanya, “Apakah menurut pendapat Ki Jayaraga, umur Srigunting Kuning itu sekarang seumurku?”

    Ki Jayaraga termangu-mangu sejenak. Katanya, “Aku belum pernah langsung berhubungan dengan Srigunting Kuning. Tetapi ciri-ciri yang aku lihat pada Nyi Wijil sama dengan ciri-ciri yang pernah aku dengar, dikenakan oleh Srigunting Kuning.”

    Ki Wijil pun tertawa pula. Katanya, “Ki Jayaraga hampir benar.”

    Ki Jayaraga menarik nafas panjang. Dengan nada berat ia pun berkata, “Hampir benar? Jadi aku tidak berhadapan dengan Srigunting Kuning itu sendiri?”

    “Srigunting Kuning adalah kakak seperguruanku,” berkata Nyi Wijil kemudian, “Ia sudah terlalu tua. Tetapi sebelum Srigunting Kuning hilang dari dunia olah kanuragan, ia sudah berubah.”

    Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Sedangkan Ki Wijil pun berkata, “Aku sudah memperingatkan Nyi Wijil untuk tidak mengenakan ciri-ciri perguruannya, justru ada kesan yang suram pada salah seorang saudara seperguruannya. Tetapi Nyi Wijil justru ingin memperbaiki citra perguruannya. Dengan ciri-ciri perguruannya, ia melakukan tugas-tugas ke-manusiaan. Agaknya yang tertangkap oleh Ki Jayaraga adalah justru warna-warna buram dari Srigunting Kuning.”

    “Aku kemudian meninggalkan pesisir utara, mengembara ke mana-mana. Aku selalu dikejar oleh perasaan kecewa. Tidak seorang pun muridku yang akhirnya menjadi seorang yang baik. Semuanya menjadi penjahat yang tidak tanggung-tanggung. Baru kemudian aku menemukan seorang murid yang dapat memberikan kebanggaan kepadaku. Namun bukan akulah yang membentuk pribadinya. Aku menemukan seseorang yang ke-pribadiannya sudah terbentuk.”

    “Srigunting Kuning yang kemudian itu pun tidak terlalu lama berada di pesisir utara. Ketika segalanya bergeser ke selatan maka Srigunting Kuning itu pun hilang dari pesisir utara dan berada di sisi selatan.”

    Nyi Wijil tersenyum. Katanya, “Aku beruntung menjadi istri Ki Wijil. Aku tanggalkan segala-galanya. Namun sekali-sekali saja dalam ke-adaan yang sangat penting, aku mengenakan kelengkapan dan ciri-ciri yang dapat dikenali sebagai Srigunting Kuning. Tetapi Ki Patih Mandaraka tidak berkeberatan aku mengenakan ciri-ciri ini.”

    Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Ia memang belum pernah berhadapan langsung dengan seorang perempuan yang* disebut Srigunting Kuning. Seorang perempuan yang mengenakan pakaian serba hitam. Kemudian garis-garis kuning terdapat di bagian leher, pergelangan tangan dan ujung celana hitamnya. Perempuan itu juga mengenakan ikat pinggang kuning dan selempang kuning di dadanya, sementara di pinggangnya tergantung sepasang pedang di sebelah menyebelah.

    Sekar Mirah yang melihat sepasang pedang itu pun segera teringat kepada Pandan Wangi, istri kakaknya, Swandaru. Pandan Wangi juga menyandang sepasang pedang jika ia mengenakan pakaian khususnya. Tetapi tidak dengan ciri-ciri yang lain.

    Sejenak kemudian, maka segala sesuatunya sudah siap. Minuman dan makanan pun telah hampir habis pula. Karena itu, maka mereka pun segera bersiap-siap untuk berangkat.

    Kuda-kuda pun sudah diikat di halaman. Sementara itu Agung Sedayu dan Glagah Putih masih memerlukan untuk makan sebutir obat untuk memacu agar kekuatan tubuh mereka segera pulih kembali seutuhnya.

    Nyi Wijillah yang kemudian membangunkan Sayoga yang masih tidur mendengkur.

    Demikian Sayoga bangun, ia pun terkejut melihat ibunya telah bersiap dengan pakaian khususnya yang sudah jarang sekali dikenakannya.

    “Apa yang akan ibu lakukan?”

    “Ayah dan ibu akan pergi bersama Ki Lurah Agung Sedayu. Bagaimana dengan kau? Apakah kau akan ikut atau tidak?”

    “Aku tidak mau di rumah sendiri.”

    “Bukankah ada beberapa orang pembantu yang menemanimu?”

    “Aku ikut bersama Ayah dan Ibu.”

    “Jika demikian bersiaplah. Kita tidak akan pergi bertamasya,” berkata Nyi Wijil.

    “Tetapi kenapa ibu harus mengenakan pakaian itu? Jika ibu melepas selempang dan ikat pinggang itu dan kemudian mengenakan yang lain, kesannya sudah akan berbeda.”

    “Kali ini aku terdorong satu keinginan” untuk mengenakannya, Sayoga. Ayah pun juga tidak berkeberatan. Yang lain pun tidak.”

    “Tetapi ibu sudah tidak muda lagi. Rambut ibu sudah ubanan.”

    “Apa salahnya. Ibumu sudah menyembunyikan ubannya di bawah ikat kepalanya.,” sahut Ki Wijil.

    “Ah, agaknya Ayahlah yang merindukan masa-masa lalu itu.”

    Yang mendengarkan pun tertawa pula. Bahkan Nyi Dwani yang tegang sempat juga tersenyum.

    Namun yang kemudian terlintas di kepala Nyi Dwani adalah sebuah kekuatan yang besar, yang akan dapat menghancurkan kekuatan Ki Saba Lintang. Karena itu, maka ia masih sempat berbisik di telinga Sekar Mirah, “Nyi Lurah. Bukankah Ki Lurah hanya sekedar ingin membebaskan Rara Wulan?”

    “Ya. Ia akan sangat menderita jika ia harus melayani kemauan Ki Saba Lintang.”

    “Tetapi tidak lebih dari itu?”

    “Tentu.”

    “Tetapi kelompok ini akan menjadi kelompok yang sangat kuat. Aku tidak ingin Ki Lurah menghancurkan kekuatan Ki Saba Lintang.”

    “Tentu tidak.”

    “Tetapi Ki Lurah sudah menghancurkan kekuatan Empu Tunggul Pawaka.”

    “Itu terjadi begitu tiba-tiba. Justru saat kami belum siap menghadapi kenyataan yang ada di padepokan itu.”

    Nyi Dwani termangu-mangu sejenak. Tiba-tiba ia menjadi ragu-ragu. Jika terjadi sesuatu dengan Ki Saba Lintang, maka perasaannya pun akan tertusuk pula.

    Tetapi Nyi Dwani tidak mau membayangkan, bahwa ada seorang gadis di sarang Ki Saba Lintang. Jika benar Rara Wulan diambil oleh Ki Saba Lintang, maka ia tidak akan membiarkannya.

    Karena itu, maka dorongan untuk menemui Ki Saba Lintang itu ternyata lebih besar dari kekhawatiran Nyi Dwani bahwa Agung Sedayu akan melumpuhkan kekuatan Ki Saba Lintang. Apalagi Nyi Dwani pun yakin, bahwa di dalam sarang Ki Saba Lintang tentu terdapat orang-orang yang berilmu tinggi yang akan dapat melindungi Ki Saba Lintang.

    Demikianlah, sebelum fajar, sebuah iring-iringan kecil telah mulai bergerak. Untuk tidak menarik perhatian orang di perjalanan, maka mereka tidak bersama-sama. Iring-iringan itu telah dipecah menjadi beberapa kelompok kecil yang berjarak beberapa puluh langkah.

    Meskipun demikian, orang-orang itu pun sadar, bahwa pakaian yang mereka kenakan, terutama pakaian beberapa orang perempuan yang ada di antara mereka, agak berbeda dengan pakaian orang kebanyakan.

    Namun sekilas, Sekar Mirah, Nyi Dwani dan Nyi Wijil, nampak sebagaimana orang laki-laki yang menempuh perjalanan bersama mereka.

    Bahkan mereka meniru pakaian yang dikenakan oleh Nyi Dwani pada saat ia menyebut dirinya Jaka Dwara. Sekar Mirah dan Nyi Wijil pun juga mengenakan ikat kepala.

    Nyi Dwani dan Empu Wisanatalah yang menuntun perjalanan itu. Mereka berpacu dengan waktu. Meskipun demikian, ketika kemudian matahari terbit, mereka tidak dapat berpacu dengan waktu. Meskipun demikian, ketika kemudian matahari terbit, mereka tidak dapat berpacu tanpa menghiraukan jalan yang mereka lewati.

    Ternyata jalan yang mereka lewati cukup panjang. Beberapa kali mereka harus berhenti dan memberi kesempatan kuda-kuda mereka beristirahat. Mereka pun berhenti ketika haus dan lapar terasa menggelitik perut dan kerongkongan.

    Tetapi mereka tidak berhenti di satu kedai. Ketika mereka berhenti di depan sebuah pasar, mereka telah membagi diri ke dalam empat buah kedai. Nyi Dwani dan Empu Wisanata masuk ke dalam sebuah kedai bersama Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Sementara itu yang lain pun memilih kedai yang berlainan.

    Agung Sedayu dan orang-orang yang sudah terbiasa mengembara segera mengetahui ke mana mereka pergi.

    Semula Agung Sedayu memang agak cemas, ketika jalan yang ditempuhnya serasa menuju ke Sangkal Putung. Namun demikian mereka melewati Cawas, maka mereka pun berbelok mengikuti alur Kali Dengkek, tetapi ke arah udik.

    “Apakah kita akan pergi ke Prambanan?” bertanya Agung Sedayu kepada Empu Wisanata.

    “Salah satu tempat untuk bertemu adalah Prambanan,” berkata Empu Wisanata dengan berterus terang,

    Agung Sedayu mengangguk-angguk.

    Ketika mereka mendekati Taji, maka mereka pun mengambil jalan sempit menuju ke Prambanan, meninggalkan alur Kali Dengkeng mendekati Kali Opak.

    “Kami akan pergi ke hutan di sebelah utara Prambanan. Ada sebuah padukuhan kecil yang kemudian dipergunakan seutuhnya sebagai satu padepokan. Padepokan itu salah satu padepokan yang dipergunakan oleh Ki Saba Lintang. Ada beberapa orang pendukung, Ki Saba Lintang yang ada di padepokan itu,” berkata Nyi Dwani.

    “Jadi bagaimana dengan kami?” bertanya Agung Sedayu.

    “Jika kalian percaya kepada kami, maka biarlah kami memasuki padepokan itu untuk menemui Ki Saba Lintang. Jika Ki Saba Lintang ada di padepokan itu, maka Rara Wulan tentu juga berada di padepokan itu.”

    Agung Sedayu pun termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Aku percaya kepadamu, Nyi Dwani. Tetapi kau pun harus menghormati kepercayaan yang aku berikan kepadamu. Aku juga tidak ingin menahan Empu Wisanata, karena jika Nyi Dwani datang seorang diri, akan dapat menimbulkan kecurigaan.”

    Sekar Mirah mengerutkan dahinya. Ia merasa ragu, apakah Nyi Dwani tidak berubah pikiran, atau justru mencari kebenaran berita bahwa Ki Saba Lintang telah menginginkan Rara Wulan dan bahkan menculiknya.

    Tetapi nampaknya sorot mata Nyi Dwani memancarkan gejolak perasaannya sebagai seorang perempuan. apapun yang dikatakan oleh Saba Lintang, tentu tidak akan mudah dipercayainya. Apalagi jika Nyi Dwani melihat, bahwa Rara Wulan memang ada di sarang Ki Saba Lintang.

    Demikianlah, maka Agung Sedayu pun telah memberitahukan kepada orang-orang yang datang bersamanya, bahwa mereka akan melepaskan Nyi Dwani dan Empu Wisanata untuk pergi ke sebuah padepokan kecil. Salah satu dari beberapa sarang Ki Saba Lintang.

    Empu Wisanatalah yang kemudian menjelaskan, “Aku sudah berhutang budi terhadap kalian. Jika saja kalian mau, sudah dua kali aku terbunuh. Di Tanah Perdikan Menoreh dan di padepokan Ki Ajar Trikaya. Tetapi ternyata aku masih hidup. Betapapun hitamnya warna jantungku, namun aku masih juga mempunyai perasaan. Apalagi aku hanyut ke dalam arus usaha Ki Saba Lintang, semata-mata karena aku ingin melindungi anak perempuanku.”

    Beberapa orang memang menjadi ragu-ragu. Banyak hal yang dapat terjadi. Jika Nyi Dwani ingkar, maka persoalannya akan menjadi lain. Bahkan mungkin jiwa Rara Wulan pun terancam.

    Namun dalam keragu-raguan itu, Ki Jayaraga pun berkata, “Aku sependapat dengan Ki Lurah. Biarlah Nyi Dwani dan Empu Wisanata pergi ke padepokan itu. Aku percaya bahwa keduanya akan berpegang pada janji mereka.”

    “Nah. Jika demikian, aku persilakan Empu Wisanata dan Nyi Dwani pergi ke padepokan itu.”

    Justru Nyi Dwanilah yang kemudian termangu-mangu. Namun kemudian berdua bersama Empu Wisanata, Nyi Dwani itu pun melarikan kudanya menuju ke padukuhan kecil yang telah dijadikan sebuah padepokan, dekat hutan di sebelah utara Prambanan.

    Agung Sedayu dan yang lain pun telah mencari tempat untuk menunggu. Mereka telah menjauhi jalur jalan dan berada di sebuah padang perdu. Empu Wisanata dan Nyi Dwani akan menemui mereka di tempat ini. Jika tidak mungkin kedua-duanya, maka salah seorang dari mereka akan datang dan mengabarkan apa yang terjadi di padukuhan yang telah menjadi padepokan itu.

    Dalam pada itu, gelap malam telah menyelimuti bumi. Langit yang baru ditaburi beribu bintang yang berkeredupan. Lembaran-lembaran awan tipis melintas didorong angin ke utara.

    Dingin malam mulai menyentuh kulit. Semilir angin lembut menggoyang daun perdu yang tumbuh di sekitar mereka.

    Dalam pada itu Empu Wisanata dan Nyi Dwani menjadi semakin dekat dengan padepokan di sebelah hutan itu. Bagaimanapun juga jantung mereka menjadi berdebar-debar.

    “Ayah,” bertanya Nyi Dwani kemudian, “apakah Kakang Saba Lintang akan menjadi sangat marah jika aku melepaskan Rara Wulan tanpa mendapat persetujuannya?”

    “Saba Lintang tentu akan marah. Tetapi kemarahannya tidak akan berbahaya bagimu, Dwani.”

    “Jadi menurut Ayah, langkah yang aku ambil sudah benar?”

    “Aku tahu perasaanmu Dwani. Kau tentu tidak mau ada seorang perempuan lain yang mengotori perasaan Saba Lintang. Karena itu, maka kau memang tidak mempunyai pilihan lain.”

    “Aku harus melemparkan Rara Wulan dari tangan Kakang Saba Lintang.”

    “Tetapi bukan salah Rara Wulan. Gadis itu tentu sudah menjadi ketakutan.”

    Nyi Dwani mengangguk sambil menjawab, “Ya. Memang bukan salah Rara Wulan.”

    Empu Wisanata tidak menyahut lagi. Di depan mereka adalah gerbang padukuhan yang telah dijadikan padepokan.

    Ketika kuda mereka berderap memasuki gerbang, maka beberapa orang bersenjata berlari-lari mendekat. Dengan tombak yang merunduk seorang yang bertubuh tinggi, tegap bertanya, “Siapa kalian dan untuk apa kalian kemari?”

    Nyi Dwani yang masih duduk di punggung kuda telah menendang tombak itu sehingga terlepas dari genggaman. Karena itu, maka dua orang yang lain telah meloncat sambil menjulurkan senjata mereka.

    “Buka matamu, siapa aku?”

    Orang-orang itu tertegun. Baru kemudian mereka melihat di keremangan malam Nyi Dwani dan Empu Wisanata.

    “Ampun, Nyi. Kami tidak tahu, bahwa Nyi Dwani dan Empu Wisanatalah yang telah datang ke padepokan ini.”

    Nyi Dwani dan Empu Wisanata pun kemudian meloncat dari punggung kudanya. Dilepaskannya saja kuda mereka di halaman. Dua orang di antara mereka yang mengerumuninya itu dengan serta-merta telah menangkap kendali kuda-kuda itu dan membawanya menepi, mengikat di patok-patok yang telah disediakan di sebelah pendapa bangunan induk padepokan yang semula agaknya banjar padukuhan itu yang terletak dekat dengan pintu gerbang.

    Nyi Dwanilah yang kemudian dengan tergesa-gesa naik ke pendapa.

    Seorang yang berada di pringgitan dengan tergesa-gesa menyongsong dan mempersilakannya duduk, “Di mana Kakang Saba Lintang?”

    “Ki Saba Lintang tidak sedang berada di padepokan ini, Nyi,” jawab orang itu.

    “Ke mana?”

    Orang itu menjadi ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia menjawab, “Ki Saba Lintang berada di Menoreh, Nyi.”

    “Di Menoreh? Di Klajor maksudmu?”

    “Ya, Nyi.”

    “Sejak kapan?”

    “Sepekan yang lalu.”

    “Sepekan yang lalu?”

    “Ya, Nyi.”

    “Kenapa Kakang Saba Lintang tidak memberi tahu aku?”

    “Hari ini dua orang menuju ke Gunung Kukusan.”

    “Kenapa baru hari ini?”

    “Ki Saba Lintang memang berpesan, agar hari ini, maksudnya sepekan setelah Ki Saba Lintang berangkat, Nyi Dwani di persilakan menyusul ke Klajor.”

    Jantung Nyi Dwani berdebar semakin cepat. Berbagai macam bayangan melintas di kepalanya.

    Namun kemudian Nyi Dwani itu pun bertanya, “Siapa yang diserahi pimpinan di sini sekarang?”

    “Ki Carang Parung.”

    “Ki Carang Parung?”

    Orang itu mengangguk.

    “Panggil Ki Carang Parung itu kemari!”

    Orang itu pun kemudian meninggalkan pringgitan, sementara Nyi Dwani dan Empu Wisanata masih tetap berdiri sambil melangkah mengitari pringgitan itu.

    Sejenak kemudian, orang yang disebut Ki Carang Parung itu pun muncul dari pintu pringgitan. Demikian ia melihat Empu Wisanata dan Nyi Dwani, maka ia pun mengangguk-angguk.

    “Selamat datang Empu Wisanata dan Nyi Dwani.”

    “Kapan Kakang Saba Lintang pergi ke Klajor?”

    “Sepekan yang lalu, Nyi. Tadi siang, dua orang justru sedang menuju ke ujung Kali Geduwang untuk menyusul Nyi Dwani.”

    “Kenapa baru hari ini? Jika Kakang Saba Lintang berpesan agar setelah sepekan aku menyusul, dan hari ini baru ada orang menyusul aku, berarti aku kehilangan waktu dua hari.”

    “Pesannya memang demikian, Nyi. Sepekan setelah keberangkatannya, maka Nyi Dwani supaya disusul dan diberi tahu, untuk pergi ke Klajor.”

    “Kalian tentu tidak mendengarkan pesan Kakang Saba Lintang dengan baik.”

    “Benar, Nyi. Kami tidak salah.”

    “Kenapa tiba-tiba saja Kakang Saba Lintang pergi ke tanah perdikan?”

    “Kami tidak diberi tahu Nyi. Tetapi agaknya ada sesuatu yang penting.”

    “Kenapa Kakang Saba Lintang tidak memanggil aku lebih dahulu dan bersama-sama pergi ke Klajor di Menoreh.”

    “Aku tidak tahu, Nyi.”

    “Agaknya kau menyembunyikan sesuatu.”

    “Benar, Nyi. Aku tidak tahu.”

    Nyi Dwani memandang orang itu dengan tajamnya. Namun kemudian ia pun berkata, “Aku akan pergi ke Klajor sekarang.”

    “Sekarang? Malam ini?”

    “Ya.”

    “Kenapa tidak esok pagi saja, Nyi. Bukankah masih ada waktu sampai esok?”

    “Tidak. Aku akan pergi sekarang. Mari Ayah!”

    “Nyi Dwani dapat beristirahat di sini malam ini.”

    Nyi Dwani tidak menjawab. Tetapi ia pun segera turun ke halaman diikuti oleh Empu Wisanata.

    Sejenak kemudian, kedua ekor kuda itu sudah berlari meninggalkan padepokan itu.

    Demikian mereka keluar dari regol padepokan, Nyi Dwani itu pun berkata, “Agaknya yang dikatakan oleh Ki Lurah itu, benar ayah. Kakang Saba Lintang sengaja meninggalkan aku untuk mendapat kesempatan, mengambil gadis itu.”

    “Memang mungkin, Dwani. Tetapi gadis itu tidak bersalah.”

    “Aku mengerti. Rara Wulan tentu tidak akan memilih seorang duda yang dahinya sudah mulai berkerut. Tetapi seharusnya Rara Wulan itu sempat melawan.”

    “Rara Wulan tidak mempunyai tenaga dan kemampuan yang cukup untuk melawan Ki Saba Lintang.”

    “Kenapa ia tidak berteriak atau berbuat sesuatu untuk menyelamatkan dirinya.”

    “Jika saja ia sempat, maka ia tentu akan melakukannya.”

    Nyi Dwani tidak bertanya lagi. Namun kudanya pun berlari lebih kencang lagi meskipun malam menjadi semakin gelap.

    Beberapa saat kemudian, Nyi Dwani dan Empu Wisanata telah bertemu dengan Agung Sedayu, Sekar Mirah dan orang-orang yang menunggu bersama mereka. Dengan singkat Nyi Dwani menceritakan, bahwa Ki Saba Lintang berada di Klajor.

    “Klajor di Tanah Perdikan Menoreh?”

    “Ya,” jawab Nyi Dwani.

    Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Jadi semua gerakan Ki Saba Lintang di Tanah Perdikan itu digerakkan dari Klajor?”

    Nyi Dwani termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun mengangguk.

    “Jadi, kita harus pergi ke Klajor?” bertanya Agung Sedayu kemudian.

    “Ya,” jawab Nyi Dwani, “jika kedua orang ku sempat sampai di padepokan Ki Ajar Trikaya dan lepas dari tangan para cantrik, maka keduanya akan dapat segera menghubungi Kakang Saba Lintang. Karena itu, maka kita harus lebih dahulu sampai di Tanah Perdikan Menoreh.”

    Agung Sedayu pun mengangguk-angguk. Ia pun menjadi cemas. Jika kedua orang yang pergi ke ujung Kali Geduwang itu sempat lebih dahulu menghubungi Ki Saba Lintang, maka semua rencana itu akan gagal.

    Karena itu, maka iring-iringan itu pun telah bergerak lagi. Mereka langsung menuju ke Tanah Perdikan Menoreh. Jarak yang masih terhitung panjang.

    “Kita menghindari Mataram,” berkata Agung Sedayu.

    Agung Sedayu tidak perlu lagi petunjuk dari Nyi Dwani, jalan manakah yang harus mereka tempuh. Sejenak kemudian, maka Agung Sedayulah yang kemudian berada di depan bersamaan dengan Sekar Mirah. Sementara itu, Glagah Putih dan Sabungsari berkuda di belakang Empu Wisanata dan Nyi Dwani, sedangkan yang lain sengaja membuat jarak.

    Malam itu mereka harus sampai ke Klajor. Meskipun kedua orang dari Prambanan itu baru berangkat hari itu, namun mungkin sekali orang itu akan berusaha secepatnya sampai di Klajor setelah mereka mengetahui, bahwa rahasia padepokan Ki Ajar Trikaya telah pecah.

    “Jika mereka sampai di padepokan Ki Ajar, mudah-mudahan Ki Ajar dan para cantrik tanggap sehingga mereka tidak akan dapat keluar lagi dari padepokan.”

    Tetapi jika yang terjadi tidak sebagaimana yang mereka harapkan, maka persoalannya akan menjadi lain.

    Demikianlah, maka iring-iringan itu berjalan terus meskipun malam menjadi semakin pekat. Namun bintang-bintang di langit sedikit memberikan cahaya yang cukup bagi mereka yang penglihatannya cukup terlatih.

    Namun bagaimanapun juga mereka tidak dapat memaksa kuda-kuda mereka berlari tanpa henti. Karena itu, maka mereka harus memberikan kesempatan kuda-kuda mereka berhenti beristirahat. Minum air dari parit yang jernih serta sedikit makan rumput yang tumbuh di tanggul-tanggul di pinggir jalan.

    Di dini hari mereka sampai di tepian Kali Praga. Agung Sedayu terpaksa membangunkan tukang satang yang tertidur di sebuah gubuk kecil di tepian, beralaskan tikar pandan yang kasar.

    “Ada kawannya Ki Sanak?” bertanya Agung Sedaya.

    Seorang tukang satang terbangun. Sambil menggeliat ia pun menjawab, “Ada. Apakah kalian akan menyeberang?”

    “Ya.”

    “Tetapi upahnya rangkap di malam hari. Nanti aku harus menyeberang kembali tanpa penumpang.”

    “Kenapa tidak menunggu saja di seberang?”

    “Bagianku sebelah timur malam ini.”

    ‘”Baik. Aku akan mengupah lipat dari biasanya.”

    Ketika dua orang tukang satang keluar dari gubuknya, ia pun berkata, “Tentu tidak dapat sekali menyeberang, karena kalian masing-masing membawa seekor kuda.”

    “Pakai dua rakit sekaligus,” jawab Agung Sedayu.

    Orang itu mengangguk. Ia pun kemudian membangunkan kawannya yang tidur di gubuk kecil yang lain.

    Sejenak kemudian, maka dua buah rakit telah menyeberang. Sambil duduk di atas rakit, Agung Sedayu pun bertanya, “Apakah malam ini ada dua orang berkuda yang menyeberang?”

    Tukang satang itu menggeleng. Katanya, “Aku tidak membawanya. Tetapi agaknya aku juga tidak melihat rakit yang bergerak.”

    Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lagi.

    Beberapa saat kemudian, maka dua buah rakit itu telah menepi di sisi barat Kali Praga. Setelah membayar upahnya, maka mereka pun segera meneruskan perjalanan. Mereka berharap untuk sampai di Klajor selagi malam masih gelap.

    Iring-iringan itu masih harus menyusuri jalan-jalan di tanah perdikan untuk beberapa lama. Agung Sedayu memang berharap agar mereka tidak bertemu dengan peronda. Sementara itu, iring-iringan itu pun telah menghindari padukuhan-padukuhan yang akan dapat menghambat tugas-tugas yang sedang mereka lakukan. Para peronda di padukuhan-padukuhan itu akan dapat mengajukan berbagai macam pertanyaan. Bahkan mungkin akan ada yang mengambil langkah-langkah sendiri yang tidak saling mendukung.

    Beberapa saat kemudian, maka iring-iringan itu pun telah sampai di jalan yang mulai menanjak di daerah perbukitan. Namun kemudian Agung Sedayu pun berhenti di antara gumuk-gumuk kecil.

    “Kita sudah sampai di pategalan di luar padukuhan Klajor.”

    “Ya,” sahut Nyi Dwani, “biarlah aku dan ayah pergi ke sarang Kakang Saba Lintang. Rumah yang dipergunakan itu, memang tidak berada di padukuhan Klajor itu sendiri. Tetapi sedikit di atasnya, dibalik sebuah gumuk kecil.”

    “Gumuk kecil yang ditumbuhi beberapa batang pohon randu alas dan cangkring.”

    “Ya.”

    “Yang ada mata airnya?”

    “Ya.”

    Agung Sedayu menarik nafas. Tempat itu memang agak tersembunyi. Tetapi bahwa Ki Saba Lintang membuat sarangnya di tempat itu, adalah pilihan tempat yang sangat tepat.

    Seperti di Prambanan, maka Agung Sedayu telah melepas Nyi Dwani dan Empu Wisanata untuk pergi ke sarang Ki Saba Lintang.

    Di kegelapan sisa malam, maka Nyi Dwani dan Empu Wisanata pun telah menempuh ujung perjalanannya. Jalan memang agak sulit. Batu-batu padas yang runcing dan tanah yang miring. Namun Nyi Dwani sudah beberapa kali pergi ke tempat itu bersama Ki Saba Lintang dan Empu Wisanata.

    Perjalanan mereka terhenti, ketika dua orang pengawas dengan tiba-tiba telah meloncat menghentikan mereka. Namun Nyi Dwani pun telah membentak mereka, “Apakah kalian sudah menjadi buta?”

    “Oh, Nyi Dwani,” desis salah seorang dari mereka.

    Nyi Dwani tidak menyahut. Tetapi kudanya pun berjalan terus.

    Demikianlah, beberapa saat kemudian, mereka mendekati sebuah lingkungan yang dipagari rapat dengan bambu utuh yang berjajar rapat Lingkungan yang tidak terlalu luas.

    Sejenak kemudian, maka kuda Nyi Dwani dan Empu Wisanata pun telah bergerak memasuki regol yang dijaga oleh beberapa orang bersenjata. Namun ketika orang-orang yang bertugas itu melihat Nyi Dwani dan Empu Wisanata, maka mereka pun segera mempersilakan keduanya masuk.

    Sambil menyeberang halaman, Nyi Dwani dan ayahnya pun telah mematangkan sikap yang akan mereka ambil menghadapi Ki Saba Lintang.

    Keduanya pun kemudian meloncat turun ke halaman. Menyerahkan kuda mereka kepada seorang petugas yang sengaja datang menyongsong mereka.

    “Di mana Ki Saba Lintang?,” berkata Nyi Dwani kepada seorang yang dengan tergesa-gesa turun dari tangga pendapa.

    “Ada di dalam, Nyi,” jawab orang itu, “Apakah aku harus memberitahukan kepada Ki Saba Lintang? Atau Nyi Dwani langsung saja masuk ke ruang dalam?”

    “Siapa yang ada di ruang dalam?”

    “Ada beberapa orang.”

    “Laki-laki atau perempuan?”

    Orang itu menjadi heran. Dengan kerut di dahi ia pun menjawab, “Tentu laki-laki Nyi. Bukankah di sini, di tempat yang bersifat sementara ini tidak ada perempuan?”

    “Aku sudah mengerti, dungu! Tetapi bukankah di sini sekarang ada seorang perempuan,” Nyi Dwani mencoba memancing.

    Jawab orang itu membuat jantung Nyi Dwani bagaikan membara. Katanya, “Oh, maksud Nyi Dwani gadis cantik dari Menoreh?”

    Tetapi Nyi Dwani berusaha menahan gejolak di dadanya. Bahkan ia pun tersenyum sambil bertanya, “Jadi gadis itu cantik?”

    “Cantik sekali, Nyi.”

    *****

  11. wah,tasih enggal niki, matur sembah nuwun, hi hi hi

  12. Maaf Ki, gandoknya belum sempat dibersihkan keburu Ki Sunda rawuh…

    Tengkyu….tengkyu…. :))


Tinggalkan komentar