Buku II-59
The URI to TrackBack this entry is: https://adbmcadangan.wordpress.com/buku-ii-59/trackback/
The URI to TrackBack this entry is: https://adbmcadangan.wordpress.com/buku-ii-59/trackback/
Gambar Kulit :
Herry Wibowo
Ilustrasi :
Sudyono
Penerbit :
Kedaulatan Rakyat,
Yogyakarta
Blog di WordPress.com.RSS 2.0Comments RSS 2.0 | Tema: Quentin.
Matur nuwun Kang mbokayu Ati….
Mat berlibur jangan lupa oleh2nya ya….
wah.. baru sore bisa berkunjung ke kamar 159, ternyata udah 452 ketukan yg tertulis. kalo ndak segera di keluarlkan bisa ada cantrik yg setress.
trim’s den seno..
Wak ternyata ga cukup utk 1 jilid
sambungannya………
———————————————
Kemudian merekapun dipersilahkan untuk naik kependapa, setelah mengikat kuda mereka pada patok-patok yang sudah disediakan.
Sejenak kemudian, Ki Demang Sangkal Putung dan Pandan Wangi telah menemui mereka pula di pendapa Kademangan. Namun Agung Sedayu yang melihat kegelisahan di wajah-wajah mereka, segera berkata — Kami tidak mempunyai kepentingan khusus. Kami hanya sekedar singgah untuk melihat keselamatan Kademangan Sangkal Putung. —
— Sokurlah — sahut Ki Demang — tetapi apakah kalian mempunyai keperluan dengan kakangmu Untara ? —
— Juga tidak — jawab Agung Sedayu — kepentinganku satu-satunya adalah menjemput Glagah Putih. Ia akan aku ajak pergi ke Tanah Perdikan Menoreh dan tinggal bersamaku jika ia kerasan. —
— O — Ki Demang mengangguk-angguk. Katanya — Barangkali ada juga baiknya bagi angger Glagah Putih. Dengan demikian ia akan menjadi lebih berprihatin. —
— Ya. Ia memang harus lebih berprihatin. Dengan demikian, ia akan dapat lebih banyak melihat kedalam dirinya sendiri — sahut Agung Sedayu. »
Dalam pada itu, sejenak kemudian maka Kiai Gringsingpun telah hadir pula di pendapa. Dengan demikian, maka Agung Sedayupun telah menceriterakan pula kepentingannya datang ke padepokan.
— Aku memerlukannya — berkata Agung Sedayu kemudian — Glagah Putih akan dapat menunggui rumah jika aku dan Sekar Mirah sedang pergi. —
— Jadi aku hanya sekedar akan menjadi penjaga rumah ? — potong Glagah Putih.
Yang mendengar pertanyaan itu tersenyum. Sementara itu Kiai Gringsingpun berkata — Semua kerja yang besar sebaiknya dimulai dari yang kecil. Pengalaman-pengalaman dari kerja yang kecil itu akan bermanfaat bagi kerja yang besar. —
Glagah Putihpun tersenyum pula. Sambil menunduk ia berdesis, —Ya Kiai. Aku akan mulai dari kerja yang kecil itu. —
Ki Waskitapun tertawa pula. Katanya — Nampaknya kau tidak menerimanya dengan ikhlas. —
Glagah Putih mengangkat wajahnya. Namun jawabnya — Aku bersungguh-sungguh Ki Waskita. —
— Bagus — Ki Waskita tertawa — jika demikian maka kau tentu akan berhasil. —
Glagah Putih tidak menjawab lagi. Tetapi kepalanya-pun telah menunduk lagi.
Sementara itu, Swandaru mulai berbicara tentang anak-anak muda Sangkal Putung yang berada di Tanah Perdikan Menoreh. Anak-anak muda yang berada didalam lingkungan pasukan khusus yang disusun oleh Mataram disamping para pengawal Mataram sendiri.
— Mereka dalam keadaan baik — jawab Agung Sedayu — nampaknya mereka kerasan. Selama mereka berada di Tanah Perdikan, maka ilmu merekapun telah meningkat pula. Sejak terjadi peristiwa di tepian Kali Praga itu, maka para pemimpin di barak pasukan khusus itu bekerja lebih keras, karena mereka menyadari, bahwa tingkat kemampuan pasukan khusus itu masih belum setataran dengan pasukan khusus yang di bentuk oleh Ki Tumenggung Prabadaru. —
— Dan nampaknya usaha itu akan berhasil ? — berta nya Swandaru.
— Ya. Para pemimpin di barak itu berharap, usaha mereka tidak akan sia-sia. — jawab Agung Sedayu.
Swandaru mengangguk-angguk. Katanya — Sokurlah jika demikian. Apabila anak-anak itu tidak terbentuk menjadi anak-anak yang memiliki kemampuan pasukan khusus, lebih baik ia kembali saja ke Sangkal Putung. —
— Mereka tidak mengecewakan — sahut Agung Sedayu.
Ternyata Swandaru tetap memperhatiakn keadaan anak-anak muda Sangkal Putung dimanapun mereka berada. Anak-anak muda yang berada di Tanah Perdikan itupun tetap mendapat perhatiannya.
Dalam kesempatan itu, Agung Sedayu telah memberitahukan pula serba sedikit tentang Sekar Mirah, yang telah mendapat kesempatan untuk membantunya menempa anak-anak muda yang berada di barak pasukan khusus itu.
— Bukan main — desis Swandaru — tentu ia menjadi gembira sekali. —
— Ya. Karena itu, maka ia menganggap tugasnya itu sebagai satu kesenangan. Namun ia tetap bertanggung jawab atas tugas itu — jawab Agung Sedayu.
— Sokurlah — berkata Kiai Gringsing kemudian — dengan demikian ia telah mempunyai satu kesibukan yang sesuai dengan gejolak didalam jiwanya. Karena itu, maka kalian memerlukan sekali Glagah Putih. —
Agung Sedayu tersenyum. Katanya — Di siang hari, rumah kami selalu kosong. —
Ketika Glagah Putih mengangkat wajahnya, orang-orang yang berada disekitarnya telah tertawa sebe lum anak itu mengatakan sesuatu. Dengan demikian justru Glagah Putih tidak mengucapkan sepatah katapun.
Agung Sedayu, Ki Waskita dan Glagah Putih tidak berada di Sangkal Putung terlalu lama. Mereka harus kembali ke Tanah Perdikan Menoreh pada hari itu juga.
Ketika mereka minta diri, maka Kiai Gringsing masih sempat memberikan beberapa pesan. Kepada Ki Waskita ia berkata — Kami, yang berada di Sangkal Putung dan Jati Anom, menitipkan Agung Sedayu dan isterinya serta Glagah Putih kepada Ki Waskita dan Ki Gede Menoreh.
Ki Waskita tersenyum. Katanya — Kami yang tua-tua ini hanya dapat mengikuti tingkah laku anak-anak muda dengan penuh kebanggaan. Ternyata anak-anak muda sekarang jauh lebih cepat berkembang dari masa muda kita dahulu. —
— Tetapi mereka masih tetap memerlukan pengarahan. Bagaimanapun juga yang tua tentu lebih banyak umurnya dari yang muda — sahut Kiai Gringsing sambil tersenyum pula.
— Itulah satu-satunya kemenanganku dari angger Agung Sedayu. Umurku lebih banyak dari umurnya — jawab Ki Waskita.
Ki Demangpun tertawa. Katanya — Tetapi setidak-tidaknya kita dapat berceritera tentang pengalaman kita kepada anak-anak muda. Biarlah mereka mempertimbangkan dan memperbandingkan. Kesimpulannya terserah kepada mereka. —
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya — Kami masih selalu memerlukan bimbingan. Mungkin gejolak jiwa kami masih belum mapan sebagaimana orang tua-tua. —
— Gejolak jiwa dan pengalaman yang mapan. Memang keduanya harus berpadu untuk menemukan keseimbangan — berkata Kiai Gringsing sambil mengangguk-angguk.
Demikianlah, maka Agung Sedayu, Ki Waskita dan Glagah Putihpun kemudian telah minta diri untuk melanjutkan perjalanan mereka ke Tanah Perdikan Menoreh. Ketika mereka melangkah ke regol, Kiai Gringsing masih sempat berbisik — Pandan Wangi menemukan arah ilmunya lebih kekedalamannya. Ia sedang mengembangkan kemampuannya untuk menyentuh sasaran dengan serangan berjarak. —
— Luar biasa — desis Agung Sedayu — juga dengan tatapan matanya ? —
— Tidak — jawab Kiai Gringsing — dengan pukulan yang melontarkan kekuatan ilmu yang sedang dikembangkannya itu. —
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Kemudian iapun berdesis — Bagaimana dengan Swandaru atas perkembangan ilmu isterinya. —
— Pandan Wangi ingin segera memperkenalkannya kepada suaminya jawab Kiai Gringsing — tetapi ia masih menekuninya. —
Agung Sedayu tidak sempat bertanya lebih banyak lagi. Merekapun kemudian telah berada di regol. Ketika mereka siap meloncat kepunggung kudanya, Pandan Wangi yang kemudian ikut pula ke regol mengusap kedua pundak Glagah Putih dengan kedua tangannya sambil berkata — Kau akan menemukan sesuatu yang berharga di Tanah Perdikan Menoreh. —
Glagah Putih memandanginya sambil menyahut — Terima kasih. Mudah-mudahan aku dapat mengembang-kannya didalam diriku. —
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat sesuatu pada anak itu. Sorot matanya membayangkan keteguhan hatinya dan bergelora. Sementara itu, nampak-nya anak muda itu mempunyai kecerdasan penalaran yang sangat tinggi.
Demikianlah, maka sejenak kemudian ketiga -tiganyapun telah meninggalkan regol halaman rumah Ki Demang Sangkal Putung. Sekali-sekali mereka masih berpaling. Namun sejenak kemudian, maka kuda mereka-pun berjalan semakin cepat.
Perjalanan ke Tanah Perdikan Menoreh memang bukan perjalanan yang terlalu berat. Jalan-jalan yang akan mereka lalui cukup baik dan banyak dilalui orang dan pedati yang mengangkut barang-barang dan hasil bumi dari satu tempat ketempat yang lain. Meskipun ja rak yang akan mereka tempuh cukup panjang, namun mereka tidak akan merasakan terlalu lelah.
Kadang-kadang mereka berpapasan dengan sebuah pedati yang memuat beberapa keranjang gula kelapa. Beberapa orang yang berada didalam pedati terdengar berdendang dengan suara yang lembut. Seorang diantara mereka terkantuk-kantuk sambil memegang cambuk di belakang sepasang sapi yang menarik pedati itu.
Sementara itu, beberapa anak muda nampak bekerja di sawah dengan gembira. Kadang-kadang mereka sempat juga berkelakar diantara kotak-kotak sawah mereka. Dengan setengah berteriak mereka bergurau sambil tertawa berkepanjangan.
Namun mereka segera menyentuh suasana yang lain ketika mereka melihat kesiagaan para prajurit. Terasa bahwa mendung menjadi semakin tebal menyelubungi Pajang dan Mataram.
Namun dalam pada itu, perjalanan mereka sama sekali tidak mengalami hambatan. Sebagaimana diperhitungkan sebelumnya, perjalanan mereka tidak banyak diketahui orang sehingga pihak-pihak tertentu tidak sempat membuat rencana-rencana yang barangkali akan dapat mengganggu perjalanan ketiga orang itu.
Sebagaimana ketika, mereka berangkat, maka ketika mereka kembali ke Tanah Perdikan Menoreh, merekapun tidak ingin singgah ke Mataram. Tidak ada persoalan yang akan mereka sampaikan. Bahkan mungkin jika mereka singgah, maka perjalanan mereka akan tertunda, karena tidak mustahil bahwa Raden Sutawijaya akan meminta mereka bermalam di Mataram.
Dengan demikian, maka sebagaimana mereka rencanakan, pada hari itu mereka benar-benar telah kembali ke Tanah Perdikan Menoreh.
— Kami akan singgah lebih dahulu dirumah Ki Gede — berkata Agung Sedayu — baru kemudian aku dan Glagah Putih akan kembali kerumah. —
— Kau akan mengantarkan aku dahulu ? — bertanya Ki Waskita.
Agung Sedayu tersenyum. Katanya — Ya Ki Waskita. Aku akan menyerahkan Ki Waskita kembali kepada Ki Gede. Dalam keadaan utuh sebagaimana saat kita berangkat. —
Ki Waskita tertawa. Tetapi ia tidak menjawab.
Demikianlah setelah duduk sejenak dan minum minuman hangat, maka Agung Sedayupun minta diri kembali kerumahnya bersama Glagah Putih.
— Kau mendapat seorang kawan yang baik — berkata Ki Gede.
— Mudah-mudahan — jawab Agung Sedayu — anak ini kadang-kadang masih merajuk. —
Ki Gede dan Ki Waskita tertawa. Tetapi Glagah Putih menundukkan kepalanya.
Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih telah turun kehalaman. Ketika mereka menuntun kuda melintas keregol, maka mereka tertegun karena mereka mendengar kuda berderap. Ternyata Prastawa memasuki regol masih diatas punggung kudanya. Namun demikian ia melihat beberapa orang dihalaman termasuk Ki Gede, iapun segera menarik kekang kudanya dan meloncat turun.
— Kau baru datang dari Jati Anom Agung Sedayu ? — bertanya Prastawa.
— Ya. — jawab Agung Sedayu — aku bermalam sema lam. —
—Bersama anak ini ? — bertanya Prastawa pula.
Glagah Putih memandang Prastawa dengan tajam-nya. Terasa sesuatu tergetar didalam dadanya. Namun ia tidak berbuat sesuatu.
Yang menjawab adalah Agung Sedayu — Aku memerlukan seorang kawan dirumah. —
Prastawa mengangguk-angguk. Tiba-tiba saja terber sit perasaan tidak senang terhadap kehadiran Glagah Putih. Dalam keadaan tertentu Sekar Mirah tidak akan sendiri. Tetapi ada anak bengal itu dirumahnya.
Namun Prastawa tidak bertanya lebih banyak lagi. Agung Sedayu dan Glagah Putihpun kemudian menuju ke regol diikuti oleh Ki Waskita dan Ki Gede, sementara Prastawa telah mengikat kudanya disamping pendapa.
Dalam pada itu, seorang kawannya yang telah menunggunya mendekatinya sambil berbisik — Bagaima na ? —
— Aku masih harus berjuang. Tetapi sudah ada jalan yang dapat ditempuh — jawab Prastawa perlahan-lahan.
Ketika kawannya masih ingin bertanya lagi, Prasta wa memberi isyarat. Iapun kemudian pergi pula keregol dan melepaskan Agung Sedayu dan Glagah Putih meninggalkan regol itu sebagaimana dilakukan oleh Ki Gede dan Ki Waskita.
Sejenak kemudian, Agung Sedayu dan Glagah Putih telah mendekati regol halaman rumahnya, karena jarak-nya memang tidak jauh.
Ketika mereka memasuki halaman rumahnya, ternyata Sekar Mirahpun telah berada dirumah pula. Bah kan lampu-lampu telah dinyalakan. Sementara itu, seorang anak yang membantu dirumah itupun sedang sibuk mengisi pakiwan.
Sementara itu, selagi Sekar Mirah sibuk menyediakan minuman panas dan makanan bagi suaminya yang baru datang dan Glagah Putih yang kemudian sedang mandi, di halaman rumah Ki Gede, Prastawa sibuk berbincang de ngan dua orang kawannya.
— Aku menjadi sangat tersinggung — berkata Prasta wa — perempuan itu semasa gadisnya dekat sekali de ngan aku. Bahkan rasa-rasanya lebih dekat dari Agung Sedayu. Sekarang ia telah menghinaku. Ia tidak mau menerima aku dirumahnya selagi suaminya tidak ada. Bukankah itu satu kesombongan yang sangat menying gung perasaan. —
— Mungkin bukan karena ia memang tidak mau — jawab kawannya — tetapi sebagai seorang isteri ia terikat kepada paugeran-paugeran. Ia merasa segan terhadap tetangga, jika mereka mengetahui bahwa ia telah meneri ma seorang laki-laki dirumahnya selagi suaminya tidak ada. Apalagi di malamhari. —
— Apa peduli dengan tetangga — geram Prastawa.
— Itu bagimu. Tetapi tentu tidak bagi Sekar Mirah — desis kawannya.
— Lalu, bagaimana menurut pertimbanganmu. Apa kah pendapat mBah Kanthil itu baik ? — bertanya Prasta wa.
— Itulah yang kau maksud dengan jalan yang dapat ditempuh ? — bertanya kawannya.
Prastawa mengangguk.
— Mungkin memang dapat ditempuh — desis kawan nya — tetapi kau harus yakin, bahwa orang itu benar-be nar memiliki kemampuan yang tidak sekedar bualan saja.
— Menurut mBah Kanthil, orang itu memiliki ilmu yang tidak ada duanya. Ia akan dapat mengguncang hati dan kemudian, semacam ilmu gendam, maka seorang perempuan yang telah terkena ilmunya akan menjadi seperti gila. Nah, baru Sekar Mirah akan merasakan beta pa sakitnya hatiku saat ini. —geram Prastawa.
— Jika dukun itu memang benar benar sakti, maka apa salahnya. Perempuan itu akan mengejarmu sampai kelubang semut. Jika suaminya marah, maka kemampu an olah kanuragan perempuan itu mungkin akan dapat mengimbangi kemampuan suaminya. — sahut kawannya.
— Bukan hanya itu — berkata Prastawa — dukun itu mampu menyerang dari jarak jauh. Dengan jambe yang dibelah, diletakkan diatas sebuah jambangan, diantar de ngan mantra maka jambe yang terbelah itu akan dapat menyerang langsung menyusup kedalam jantung, sehing ga orang yang diserang itu tidak akan bertahan satu atau dua hari —
— Kau sudah mengambil keputusan untuk berbuat demikian — kawannya yang lain bertanya.
— Aku sudah berkeputusan untuk melakukannya se jak ia datang. Ketika aku meminjam tangan seseorang, maka aku memang sudah berniat untuk menyingkirkan nya, meskipun tidak harus membunuhnya. Tetapi persoa lannya sekarang menjadi semakin berkembang. Aku inginkan perempuan itu berlutut di bawah kakiku dan menyingkirkan suaminya bukan saja dari Tanah Perdi kan Menoreh. Tetapi dari atas bumini. Namun demikian, aku masih berbaik hati, aku ingin minta kepada dukun sakti itu agar tidak membunuhnya, tetapi membuatnya lumpuh dan kehilangan segala kesaktiannya yang membuatnya mampu membunuh Ajar Tal Pitu dan Ki Mahoni di tepian. – Prastawa bersungguh-sungguh.
— Tetapi dengan demikian, maka Mataram akan Kehilangan seorang yang mungkin akan dapat membantu mengimbangi para Senapati Pajang, apabila terjadi satu benturan kekuatan — bertanya kawannya yang lain.
— Aku tidak peduli. Tetapi aku tidak mau dihinakan dan disakiti hatiku. Perempuan itu terlalu cantik buat Agung Sedayu — berkata Prastawa. Lalu — Ikuti aku kerumah mBah Kanthil. Aku minta ia menunjukkan rumah dukun sakti itu. Aku menjadi tidak sabar lagi. Semakin lama Sekar Mirah itu menjadi semakin cantik. — Kawan kawannya menarik nafas dalam-dalam. Agaknya Prastawa benar-benar tidak dapat menyingkir dari cengkaman perasaannya terhadap isteri Agung Seda yu. Sebagaimana ia setiap kali tertarik kepada gadis-ga dis dan perempuan-perempuan cantik, maka nampaknya terhadap Sekar Mirah ia bukan saja telah tertarik, tetapi ia benar-benar telah kehilangan nalar.
Demikianlah, maka Prastawa diikuti oleh dua orang kawannya telah meninggalkan padukuhan induk, pergi kesebuah padukuhan kecil di pinggir sebelah Utara Tanah Perdikan Menoreh. Rumah seorang perempuan tua yang hidup seolah-olah terasing. Tidak banyak orang yang berhubungan dengan orang tua itu. Bukan saja karena orang tua itu berwatak keras, pemarah dan sulit bergaul, tetapi ia juga terkenal sebagai seorang dukun.
Berbeda dengan tetangga-tetangganya yang seolah-olah dibatasi oleh jarak yang tebal, maka justru orang-orang dari padukuhan lain telah datang kepadanya untuk berbagai macam keperluan. Ada diantara mereka yang ingin mendapat jodoh, ingin memikat hati perempu an atau sebaliknya memikat hati laki-laki. Bahkan ada yang ingin memisahkan perkawinan seseorang atau lebih mendebarkan lagi, membuat seseorang menjadi sakit dan bahkan jika mungkin lebih parah lagi.
Dalam kegelapan, Prastawa dan dua orang kawannya telah mengetuk pintu rumah perempuan tua itu. Sementa ra itu terdengar perempuan itu membentak kasar — He, anak iblis. Siapa membuat gaduh diluar. —
Tetapi jawabannya juga sebuah bentakan — Jangan gila perempuan cengeng. Buka pintumu, atau aku akan membakar rumahmu. —
— O — perempuan itu tersuruk-suruk pergi kepintu. Sambil membuka selarak pintu rumahnya ia berkata — Maaf, ngger. Aku tidak tahu bahwa anggerlah yang da tang malam-malam begini. —
— Aku lebih suka datang ke kandangmu ini malam hari — jawab suara diluar.
Sejenak kemudian, pintu rumah itu telah berderit. Perempuan tua itu menyandarkan selarak pintunya, kemudian dengan terbungkuk-bungkuk ia mempersilah kan — Marilah anakmas. Silahkan. —
Prastawa dan dua orang kawannya melangkah masuk. Demikian mereka melangkahi tlundak pintu, maka pintu itupun telah tertutup lagi.
— Silahkan duduk — perempuan tua itu mempersilah kan pula.
Prastawa dan dua orang kawannya duduk disebuah amben yang cukup besar, sementara perempuan tua itu pun duduk pula dihadapan mereka.
— Seseorang sudah memberitahukan kepadaku, bah wa anakmas akan datang kemari — berkata perempuan tua itu.
— Ya. Aku memang sudah merencanakan untuk menemui mBah Kanthil malam ini. — jawab Prastawa.
— Nampaknya ada keperluan yang mendesak sekali — desis mBah Kanthil itu.
— Jangan berpura-pura dungu — jawab Prastawa — kau tentu sudah tahu. Kawanku yang aku suruh menemu imu itu tentu sudah mengatakan. Nah, sekarang tunjuk kan kepadaku, siapakah yang akan dapat menolong aku.
— Aku akan mencobanya anakmas. Mudah-mudahan niat anakmas itu akan terkabul. Demi danyang-danyang disegala sudut Tanah Perdikan Menoreh. — jawab perempuan tua itu.
— Kau jangan mengigau perempuan tua — berkata Prastawa — kau mengatakan, bahwa gurumu akan dapat melakukannya dengan baik dan pasti. Aku masih meragu kan kemampuanmu, karena sasarannya adalah bukan orang kebanyakan. Mungkin kau dapat memberikan jodoh kepada penjual gangsiran kulit melinjo, atau mungkin kau dapat menjadi lantaran gadis anak penarik keseran di de kat pande besi itu terpikat oleh seorang laki-laki, atau membuat tukang blandong itu mabuk dan sakit-sakitan. Tetapi sasaran kali ini adalah seseorang yang memiliki kelebihan dari orang kebanyakan. Dan kau sendiri sudah mengatakan bahwa ada orang lain yang jauh lebih baik dari kau sendiri, sehingga segalanya akan dapat dilaku kan dengan pasti. —
Perempuan tua itu mengangguk-angguk. Katanya — Aku memang sudah mengatakan. Aku memang masih mempunyai seorang guru dalam ilmu hitam. —
— Aku tidak peduli, apakah ilmu itu hitam, kuning atau jingga. Aku hanya ingin maksudku dapat terjadi — potong Prastawa.
— Baiklah. Jika anakmas tidak berkeberatan, aku bersedia mengantar anakmas pergi ketempat orang itu. Ia adalah guruku. Ilmunya bagaikan sundul langit. Tidak ada seorang dukun pun yang memiliki kesaktian seperti guruku itu. — berkata mBah Kanthil.
— Dimana rumahnya ? — bertanya Prastawa.
— Di Gunung Somawana. Dekat Rawa Pening disebe lah daerah Banyubiru. — jawab mBah Kanthil.
Prastawa menarik nafas dalam-dalam. Katanya — Cukup jauh. Aku belum pernah pergi ke tempat itu. —
— Tempat itu terletak di sebelah Utara Gunung Merbabu. Jika anakmas berkeras hati untuk mencapai maksud anakmas, maka baiklah aku akan mengantarkan nya. Tetapi jika anakmas ingin mencoba kemampuanku, aku akan mengusahakan. Baru jika aku tidak berhasil, maka aku akan pergi ke guruku. — berkata mBah Kanthil.
— mBah Kanthil — jawab Prastawa — aku akan memberikan upah yang tinggi jika kau mau memanggil saja gurumu itu untuk datang di Tanah Perdikan ini. Ia dapat tinggal dirumahmu. Aku akan datang kemari, dan gurumu akan melakukan tugas itu disini. —
mBah Kanthil mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya — Aku tidak tahu, apakah ia bersedia. Dahulu ia tidak pernah berkeberatan bermalam di rumah ini, waktu aku masih belum terlalu tua. Tetapi sekarang, keadaannya sudah lain. Meskipun demikian aku akan mencobanya. —
— Katakan, berapa ia minta upah. Asal masih dalam takaran wajar, maka aku akan memenuhinya. Kau sudah tahu persoalannya, dan kau akan dapat mengatakannya dan memberikan gambaran tentang sasaran yang harus dituju. — berkata Prastawa.
— Ya, ya ngger. Aku akan mencobanya. Aku akan per gi ke Gunung Somawana. Gunung yang terkenal, karena dibawah Gunung itulah Prabu Dasamuka yang terkenal itu terkubur. — jawab mBah Kanthil.
Prastawa dan kedua kawannya tidak terla lu lama berada di rumah mBah Kanthil. Mereka tidak ingin diketahui oleh orang lain, karena dengan demikian akan dapat menumbuhkan kecurigaan.
Sejenak kemudian, Prastawa itupun minta diri. Keti ka ia melangkah kepintu itupun berkata — Jangan menco ba mempermainkan aku. Kau harus melakukan segala-nya dengan sebaik-baiknya. Jika kau berkhianat, maka kau akan mengalami nasib seburuk orang-orang yang kau tenung. Dan kaupun tidak akan dapat melakukannya terhadap aku. karena aku adalah kemanakan Ki Gede. Ji ka terjadi sesuatu atasku, maka paman akan dapat menjatuhkan perintah kepada rakyat Tanah Perdikan Menoreh. Mereka akan datang kerumah ini, membakar rumah dan kau sekaligus sehingga menjadi abu. Atau bah kan mereka akan menangkapmu, menyeretmu ke banjar dan mengadilimu bersama-sama tanpa ampun. —
— Ah — desah mBah Kanthil — jangan menyebut-nye but hal-hal yang mengerikan itu. Tentu aku tidak ingin mengalaminya. —
— Karena itu, lakukan permintaanku sebaik-baiknya. Ingat, jangan berkhianat — ancam Prastawa.
— Tentu, tentu anakmas. Aku tidak akan berani berkhianat. Selebihnya, aku masih memerlukan uang un tuk kesenanganku di hari tua ini — jawab mBah Kanthil.
— Tiga hari lagi, aku akan menyuruh seorang kawan ku kemari untuk menanyakan, apakah orang yang kau maksud itu sudah datang — berkata Prastawa kemudian.
— Jangan tiga hari. Perjalanan ke Gunung Somawana memerlukan waktu. Apalagi aku sudah setua ini. Aku tidak dapat berjalan lebih cepat dari merangkak seperti siput. —jawab perempuan itu.
— Jadi berapa hari ? — bertanya Prastawa.
— Sepekan. Aku akan kembali dalam sepekan — jawab perempuan tua itu.
Prastawa merenung sejenak. Namun kemudian iapun mengangguk-angguk sambil berkata — Baiklah. Aku akan bersabar sampai sepekan. Tetapi aku tidak mau lebih dari itu. —
Demikianlah, maka Prastawapun kemudian meninggalkan rumah perempuan tua itu. Ketika mereka memasuki bulak panjang, maka iapun berkata — Kalian-pun harus dapat menjaga rahasia ini. Jika rahasia ini da pat diketahui oleh Agung Sedayu, ia akan mengambil satu sikap. Ia telah melupakan rencanaku untuk menyingkir kannya dengan meminjam tangan orang yang justru da pat dikalahkannya. Jika hal seperti itu diketahuinya teru lang kembali, maka aku tidak yakin, bahwa ia akan memaafkannya lagi. —
— Tentu — jawab kawannya — kami mengetahui aki bat yang paling buruk akan terjadi, jika rahasia ini sam pai ke telinga anak iblis itu. —
Prastawa mengangguk-angguk. Namun ia masih berkata — Aku akan mengancam kalian seperti aku mengancam perempuan tua itu.
Kedua kawannya justru tertawa. Salah seorang dari mereka berkata — Apakah kepercayaanmu kepadaku mu lai goyah. —
Prastawa termangu-mangu sejenak. Namun kemudi an ia menggeleng sambil berkata — Tidak. Aku masih te tap percaya kepada kalian. —
— Demikianlah, maka Prastawa telah muiai meram bah satu jalan yang kelam untuk mencapai maksudnya. Ia telah menghubungi seseorang yang menyadap ilmu hi tam, karena ia tidak mampu mengekang gejolak hatinya yang meronta-ronta tanpa terkendali.
Sepekan itu terasa demikian lamanya bagi Prastawa yang sedang menunggu. Namun rasa-rasanya sepekan itu berlalu begitu cepatnya bagi Agung Sedayu dan Sekar Mirah yang sedang sibuk. Disamping kegiatannya di barak pasukan khusus dan di sanggar bersama Glagah Putih, Agung Sedayu mulai menuruni gelapnya malam di Tanah Perdikan Menoreh sebagaimana pernah dilakukan sebelum ia kawin. Kadang-kadang bahkan Glagah Putih ikut pula bersamanya berjalan dari gardu ke gardu.
Bahkan kadang-kadang Agung Sedayu telah mengam bil waktu disiang dan pagi hari untuk melihat-lihat perkembangan Tanah Perdikan Menoreh, sementara Sekar Mirah dapat melakukan tugasnya di barak pasukan khusus.
Dengan demikian, maka Tanah Perdikan Menoreh itupun tetap mendapat perhatian dari Agung Sedayu.
Anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh yang tidak ikut memasuki barak itupun merasa mendapat kekuatan baru didalam diri mereka. Selama itu, mereka merasa mulai dilupakan oleh Agung Sedayu. Namun ternyata bah wa Agung Sedayu telah kembali lagi ketengah-tengah mereka, sehingga merekapun bekerja semakin keras bagi Tanah Perdikan mereka. Juga dalam latihan-latihan olah kanuragan. Merekapun menjadi semakin bergairah lagi. Apalagi disamping Agung Sedayu terdapat seorang anak muda yang mempunyai adat dan kebiasaan yang lebih terbuka dari Agung Sedayu. Sehingga dalam waktu sing kat, Glagah Putih telah merasa dirinya berada di kam pung halaman sendiri. Apalagi sebelumnya Glagah Putih memang sudah dikenal di Tanah Perdikan Menoreh.
Namun diluar pengetahuan Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih, bahwa diluar pengetahuan anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh selain orang-orang yang khusus, maka mBah Kanthil telah kembali dari Gunung Somawana bersama seorang laki-la ki tua yang sebaya dengan ketuaan mBah Kanthil sendiri. Namun meskipun umur mereka sebaya, tetapi orang itu adalah guru mBah Kanthil dalam ilmu hitam.
Tepat pada hari kelima, Prastawa telah menyuruh seorang kawannya menghubungi mBah Kanthil untuk menanyakan, apakah orang yang dimaksudkan sudah da tang.
— Katakan kepada anakmas Prastawa — berkata mBah Kanthil — guruku telah berada didalam gubugku. Khusus bagi angger Prastawa guruku ternyata bersedia datang, meskipun ia sudah tua dan harus menempuh jalan yang panjang. Tetapi ilmunya telah mempengaruhinya sehingga seolah-olah jarak yang kami tempuh tidak lebih dari ujung padukuhan ke ujung padukuhan yang lain. —
Kawan Prastawa itupun kemudian menyampaikan nya hal itu kepadanya, sehingga dengan demikian, maka Prastawapun segera mengatur diri untuk menemui guru mBah Kanthil yang tua itu.
Untuk menghindari agar tidak ada orang yang melihat ia datang ke rumah mBah Kanthil, maka Prasta wa pergi kerumah itu di malam hari seperti yang pernah dilakukannya. Bersama dua orang kawannya, maka dengan diam-diam ia memasuki regol halaman rumah mBah Kanthil.
Ketika ia mendekati pintu rumah itu, maka terasa jantungnya berdentang semakin keras. Seolah-olah sebu ah kegelisahan yang tajam telah menahannya.
Namun Prastawa itupun kemudian menghentakkan dirinya. Kegelapan telah menguasai hatinya, sehingga ia-pun kemudian berkata kepada diri sendiri — Aku harus mendapatkannya. Ia terlalu cantik. Tetapi iapun telah menyakiti hatiku. Karena itu, aku harus membalasnya sehingga perempuan itu harus merangkak dibawah kaki-ku, sementara suaminya tidak akan berdaya untuk mencegahnya. —
Karena itu, maka bersama dua orang kawannya, Prastawapun telah mengetuk pintu rumah mBah Kanthil yang jarang mendapat kunjungan tetangga itu. Tetapi jus tru orang-orang dari tempat yang jauhlah yang sering da tang kepadanya.
Ketika pintu rumah itu diketuk perlahan-lahan, maka terdengar mBah Kanthil bertanya ramah — Siapa diluar ?
— Aku — jawab Prastawa singkat.
— Anakmas Prastawa ? — terdengar suara mBah Kanthil pula.
— Ya. — sahut Prastawa pula.
Dengan tergesa-gesa mBah Kanthil telah membuka pintu rumahnya. Kemudian mempersilahkan Prastawa dengan dua orang kawannya untuk masuk keruang dalam.
Prastawa tertegun ketika ia melangkah ke amben bambu yang besar, yang terdapat diruang itu. Dilihatnya seorang laki-laki setua mBah Kanthil duduk dengan tenang memandanginya. Rambutnya yang putih panjang terurai di punggungnya. Sebuah ikat kepala berwarna hi tam tersangkut dilehernya. Sedangkan kedua tangannya bersilang didadanya.
Orang itu tersenyum ketika ia melihat Prastawa dan kedua orang kawannya termangu-mangu. Dengan suara yang berat dan serak ia berkata — Marilah anakmas, silahkan duduk. —
Prastawa melangkah maju. Kemudian dengan hati yang berdebar-debar ia duduk di bibir amben itu bersama dengan dua orang kawannya yang juga menjadi gelisah.
— Aku sudah tahu, siapakah anakmas bertiga. Dan aku sudah tahu kepentingan anakmas memanggil aku, dari Kanthil. — berkata orang itu. Lalu — Nah, perkenan kan aku memperkenalkan diriku. Orang yang sudi memanggil aku, namaku adalah Tali Jiwa. Kiai Tali Jiwa.
Prastawa mengangguk hormat. Jawabnya — Aku mengucapkan terima kasih atas kesediaan Kiai untuk da tang memenuhi undanganku. —
Kiai Tali Jiwa itu tertawa. Katanya — Itu sudah menjadi kewajibanku anakmas. Aku memang wajib menolong sesama yang memang memerlukan pertolonganku. Aku akan merasa bahagia jika usahaku untuk menolong mereka yang memerlukan pertolonganku itu berhasil dengan baik. —
Prastawa mengangguk-angguk. Terasa betapa besar pengaruh wibawa orang yang menyebut dirinya Kiai Tali Jiwa itu. Jauh berbeda dengan wibawa mBah Kanthil yang dikenalnya sebagai seorang dukun tukang meramal nasib dan kadang kadang membantu seseorang yang mempunyai keinginan tertentu.
— Anakmas — berkata Kiai Tali Jiwa — meskipun Kanthil sudah mengatakan kepadaku tentang kepentingan anakmas, namun aku masih berharap anakmas menyampaikannya keinginan itu kepadaku, agar aku yakin bahwa aku tidak salah langkah, karena mungkin ada hal yang kurang atau lebih dari keterangan Kanthil kepadaku.—
Prastawa beringsut setapak. Kemudian katanya — Baiklah Kiai. Aku memang sangat mengharap pertolo ngan Kiai. —
— Ya, ya. Katakan. Jangan ragu-ragu — sahut Kiai Tali Jiwa.
Prastawa masih saja merasa gelisah. Tetapi ia berka ta juga — Kiai, aku merasa hatiku disakiti oleh seorang perempuan —
— Disakiti ? — Kiai Tali Jiwa mengerutkan keningnya — nah, yang aku dengar justru sebaliknya. Anakmas telah tertarik kepada seorang perempuan. —
— O — keringat dingin membasahi punggung Prasta wa. — Maksudku, perempuan yang telah menyakiti hatiku itu memang telah menarik hatiku pula. —
Kiai Tali Jiwa tertawa. Sambil mengangguk-angguk ia berkata — Baiklah. Katakan. Katakan semuanya sam pai tuntas, agar aku tidak salah tangkap. —
Prastawapun kemudian menceriterakan segala sesuatu tentang Sekar Mirah dan tentang Agung Sedayu dalam hubungannya dengan dirinya. Bukan saja karena tertarik kepada Sekar Mirah yang telah terlanjur kawin dengan Agung Sedayu dan yang kemudian telah membuat hatinya menjadi sakit, tetapi juga dalam kedudukannya sebagai kemanakan Ki Argapati yang berkuasa di Tanah Perdikan Menoreh, yang kedudukannya telah terdesak oleh Agung Sedayu.
Kiai Tali Jiwa mengangguk-angguk. Katanya kemudi an — Baiklah anakmas. Aku mengerti. Aku dapat merasa betapa hatimu merasa tertekan oleh keadaan itu. Dan adalah wajar sekali jika kau ingin berbuat sesuatu untuk memecahkan himpitan itu. Karena itu, aku tidak akan menyalahkanmu jika kau ingin berbuat sesuatu. —
— Aku ingin pertolongan Kiai — berkata Prastawa kemudian.
— Membalas sakit hati sekaligus mendapatkan perempuan-itu — desis Kiai Tali Jiwa.
— Ya Kiai — jawab Prastawa.
— Dengan satu jaminan, bahwa suami perempuan itu tidak akan berbuat sesuatu – Kiai Tali Jiwa meneruskan.
— Ya Kiai — Prastawa menundukkan kepalanya.
Kiai Tali Jiwa tertawa. Katanya — Aku senang kepa da orang yang jujur seperti anakmas ini. Karena itu. anakmas memang harus mendapatkan pertolongan. Dan menolong sesama itu adalah kewajibanku. —
— Terima kasih atas kesediaan Kiai — desis Prasta wa.
— Tetapi aku tidak dapat melakukannya dengan serta merta sekarang juga anakmas. Aku memerlukan waktu sedikit untuk mempersiapkan diri. —
Prastawa mengerutkan keningnya. Nampak seper cik kekecewaan diwajahnya.
Namun dalam pada itu, Kiai Tali Jiwa berkata — Sebaiknya anakmas memang tidak tergesa-gesa. Tetapi segalanya akan berlangsung dengan pasti. —
Prastawa mengangguk-angguk.
— Nah, sekarang katakan kepadaku anakmas — ber kata Kiai Tali Jiwa — apa yang harus aku lakukan ter hadap perempuan itu ? Apakah aku harus membuatnya menyesali perbuatannya ? Atau aku harus membuatnya tergila-gila kepada anakmas ? Sementara itu, apa pula yang harus aku lakukan terhadap suaminya ? Membunuh nya atau dengan cara lain ? —
Prastawa tertegun sejenak. Ada sesuatu yang mem berati perencanaannya untuk mengatakan maksudnya. Tetapi ia sudah berada dihadapan Kiai Tali Jiwa.
Karena itu, maka bagaimanapun juga, ia harus ber bicara.
— Kiai — berkata Prastawa — aku memang menginginkan perempuan itu. Apapun yang Kiai lakukan, tetapi yang pada akhirnya, aku berhasil memilikinya. Sementara itu, Kiai dapat berbuat apa saja terhadap suaminya. Kiai tidak usah membunuhnya, tetapi dengan satu kepastian bahwa ia tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi terhadap isterinya dan terhadapku. —
Kiai Tali Jiwa tertawa. Katanya — Baiklah anakmas, baiklah. Aku mengerti, anakmas adalah seorang yang baik hati. —
— Selebihnya Kiai — berkata Prastawa — aku mohon agar paman tidak berpaling kepada Agung Sedayu sehingga aku kehilangan kesempatan memerintah di Tanah Perdikan Menoreh. —
Kiai Tali Jiwa mengangguk-angguk. Katanya — Aku sudah mengerti sepenuhnya. Dan aku akan melakukan-nya. Pekerjaan ini tidak terlalu sulit aku lakukan. Tetapi sekali lagi, aku mohon waktu. Aku harus berpuasa ampat puluh hari ampat puluh malam. Aku minta Kanthil mem bantuku agar segalanya dapat berlangsung tanpa kemungkinan untuk gagal. —
Prastawa mengangguk angguk. Katanya — Terserah lah kepada Kiai. Aku akan menunggu. —
— Besok aku akan mulai dengan mandi keramas. Aku harus mulai dengan sesaji. Ada beberapa macam kebutuhan untuk kepentingan sesaji itu ngger. Biarlah nanti Kanthil mengatakannya. Ia tahu apa yang aku butuhkan. — berkata Kiai Tali Jiwa.
Prastawa mengangguk-angguk pula. Kemudian iapun berpaling kepada mBah Kanthil yang duduk tidak begitu jauh di sebelahnya.
— Anakmas — berkata Kiai Kanthil — kami mem butuhkan ayam putih mulus. Sepotong mori putih. Kebutuhan-kebutuhan kecil yang tidak berarti lainnya dan yang penting, kami memerlukan jarum dari emas murni tiga batang. Emas itu harus dilontarkan langsung menyerang bagian dalam sasaran. —
— Kenapa harus emas murni ? — di luar sadarnya Prastawa bertanya.
— Bukankah anakmas tidak ingin membunuhnya ? Kami dapat melakukannya dengan benda-benda lain. Dengan potongan besi biasa, atau dengan duri ikan air atau dengan cara-cara yang lain. Tetapi benda-benda itu akan dapat merusak sasaran dan mungkin akan mem bunuhnya. Emas murni tidak akan berkarat dan melukai sasaran lebih dari yang dikehendaki — jawab Kiai Tali Jiwa.
Prastawa mengangguk-angguk. Katanya — Baiklah, aku akan memenuhi segala kebutuhan. Besok seorang kawanku akan datang kemari. Ia akan membawa uang untuk memenuhinya.
— Baiklah anakmas — berkata Kiai Tali Jiwa — yang kita lakukan ini bukan sekedar bermain-main. Tetapi kita sudah melakukan satu kerja besar dan bersung guh-sungguh. Karena itu, maka kita harus benar-benar mempersiapkan diri. Lahir dan batin. —
— Ya Kiai — jawab Prastawa singkat.
— Baiklah. Malam ini aku akan menyiapkan segala nya. Besok aku akan mulai dengan puasaku ampat puluh hari ampat puluh malam. Aku akan melangkah dengan sa tu keyakinan, karena pekerjaan seperti ini sudah sering aku lakukan. — berkata Kiai Tali Jiwa.
Dalam pada itu, Prastawa yang merasa sudah cukup, segera mohon diri. Ia tidak betah terlalu lama berada ditempat itu. Rasa-rasanya nafasnya menjadi sesak dan darahnya tersendat-sendat dijantungnya, selama ia duduk berhadapan dengan Kiai Tali Jiwa dan sekaligus mBah Kanthil yang tua itu,
Dengan hati-hati ketiga anak muda itupun kemudian meninggalkan rumah mBah Kanthil. Mereka tidak mau dilihat oleh seorangpun yang akan dapat menyebarkan ka bar yang sangat menarik perhatian orang-orang Tanah Perdikan Menoreh. Apalagi jika kemudian ternyata usaha Kiai Tali Jiwa berhasil dan nampak mencengkam sasaran nya.
— Kau tidak akan menunggu terlalu lama — berkata seorang kawannya — perempuan itu tentu akan selalu mencarimu, sementara suaminya akan terbaring dirumahnya karena sakit yang tidak diketahui sebab-sebabnya. —
Prastawa tidak menjawab. Tetapi wajahnya justru menjadi tegang.
Kawan-kawannyapun kemudian tidak bertanya lagi. Mereka berjalan tergesa-gesa melintasi jalan yang gelap, langsung menuju ke padukuhan induk.
Dalam pada itu, dirumah Agung Sedayu, Glagah Putin masih berada didalam sanggar. Ia sudah menguasai ilmunya sampai tuntas. Dari Agung Sedayu ia sudah men dapat pengarahan untuk memahami puncak ilmu yang dipelajarinya di dalam goa pada bagian yang hilang dan rusak, yang tanpa sengaja telah terhapus oleh Agung Sedayu.
Justru karena itu, maka Agung Sedayu mulai mem perkenalkan beberapa bagian ilmu dari jalur perguruan yang lain dari perguruan Ki Sadewa.
— Glagah Putin — berkata Agung Sedayu — jika aku memperkenalkan beberapa bagian ilmu kanuragan dari jalur perguruan yang lain, maka hal itu akan dapat kau pergunakan sebagai bahan perbandingan dan sekaligus sebagai bahan untuk melengkapi ilmu yang telah kau kua sai. Tentu saja yang mempunyai dasar dan watak yang bersamaan. —
Glagah Putih dengan tekun mengikuti segala petunjuk Agung Sedayu. Dengan penuh minat ia berusaha mengenal beberapa unsur dari ilmu olah kanuragan dari jalur yang berbeda. Namun yang dengan ketajaman nalar dan pengamatan, maka unsur-unsur itu akan dapat berar ti bagi ilmu yang telah dikuasainya. Justru melengkapi nya.
Karena itu, maka ilmu Glagah Putih itupun menjadi semakin padat. Yang terasa lemah pada sendi-sendi hubu ngan antara unsur yang satu dengan yang lain dapat dimantapkan dengan unsur-unsur yang dikenalnya dari jalur perguruan yang lain, yang dengan seksama diselaraskan dengan watak ilmu yang telah ada padanya. Bahkan kemudian unsur-unsur gerak itu terasa luluh dida lam ilmunya.
—- Dalam perkembangannya nanti, maka kau tentu akan semakin banyak menyadap unsur-unsur yang kau kenal lewat pengalamanmu dan dengan daya ungkap yang tajam, kau akan memanfaatkannya untuk mengisi kelemahan-kelemahan dari jalur perguruan yang kau anut sekarang ini. Karena itu, kau tidak perlu berpegang teguh pada kemurnian unsur dari ilmumu, karena jika un sur-unsur yang kau kenal kemudian ia dapat melengkapi dan tidak bertentangan dengan watak ilmu yang kau mili ki, maka .unsur-unsur itu akan,sangat bermanfaat bagi ilmumu — berkata Agung Sedayu meyakinkan.
Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia mengerti sepenuhnya maksud Agung Sedayu. Dan iapun tidak akan mengelak dari tuntunan itu. Ia memang tidak berdiri te gak diatas jalur ilmu yang dianutnya tanpa menghiraukan kemungkinan-kemungkinan lain. Seolah-olah menolak segala macam sentuhan yang dapat dianggap menodai kemurnian ilmu yang dianutnya.
Dengan demikian, maka Glagah Putihpun menyadari, bahwa ia harus berpandangan luas tanpa memagari diri dalam kekerdilan pandangan atas pegangannya yang diungkapkannya tanpa menghiraukan keadaan di seputar-nya.
Bahkan Glagah Putih merasa beruntung, karena Agung Sedayu masih tetap membimbingnya dan mem berikan arah perkembangan ilmunya. Selesai menghen dapkan pengalaman yang seharusnya di sadapnya untuk waktu yang bertahun-tahun.
Demikianlah, kehadiran Glagah Putih di Tanah Perdi kan Menoreh tidaklah sia-sia. Tidak sia-sia bagi Glagah Putih dan tidak sia-sia bagi Agung Sedayu dan Sekar Mirah, karena dengan kehadiran Glagah Putih, terasa rumah Agung Sedayu itu terasa semakin hidup. Meskipun kadang-kadang Glagah Putih justru masih ikut bersama pembantu dirumah Agung Sedayu pergi kesungai dite ngah malam untuk menutup pliridan dan menangkap ikan, setelah Glagah Putih keluar dari sanggar atau di waktu-waktu senggang apabila Agung Sedayu berada di gardu-gardu diantara anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi di saat-saat lain, Glagah Putih telah ikut pula bersama Agung Sedayu dalam latihan latihan bersa ma anak-anak muda di Tanah Perdikan Menoreh yang ti dak ikut dikirim ke barak pasukan khusus yang dibentuk oleh Mataram.
Dalam pada itu, maka keluarga kecil yang terdiri dari tiga orang dan seorang pembantu yang masih sangat mu da itu, menjadi semakin mapan. Mereka telah berhasil menyusun acara kesibukan mereka. Agung Sedayu yang sudah mendapat bantuan Sekar Mirah dalam tugasnya di barak, telah mendapatkan waktu untuk melakukan kegia tan di Tanah Perdikan Menoreh. Glagah Putih ternyata tidak tinggal diam. Bahkan dalam usianya ia justru lebih banyak berbuat dari Agung Sedayu sendiri.
Sementara itu Prastawa sama sekali tidak menggang gu mereka. Menurut pengamatan Glagah Putih, anak muda itu justru telah berubah. Ia tidak lagi bersikap kasar dan kadang kadang tidak dapat dimengerti oleh Glagah Putih. Tetapi ia cenderung untuk tidak mengacuhkan kehadiran Glagah Putih di Tanah Perdikan.
Namun sementara itu, dirumah mBah Kanthil, Kiai Tali Jiwa telah melakukan puasa ampat puluh hari ampat puluh malam. Hanya disaat matahari terbenam dan terbit sajalah ia minum beberapa teguk dan makan beberapa suap nasi putih tanpa lauk sama sekali.
Dengan laku itu, ia telah memusatkan segenap kemampuannya untuk melakukan satu tugas yang berat bagi kepentingan Prastawa. Ia harus memasang guna-gu na pada seorang perempuan yang bernama Sekar Mirah, sekaligus membuat suami perempuan itu tidak berdaya. — Masalahnya bukan saja perempuan itu — berkata Kiai Tali Jiwa kepada mBah Kanthil — tetapi tentu Tanah Perdikan ini. Angger Prastawa tentu berharap menjadi satu-satunya orang yang akan diserahi kepemimpinan Tanah Perdikan ini, karena Pandan Wangi sebagaimana kau katakan, berada di Sangkal Putung. —
— Persoalannya memang tumpang tindih — jawab mBah Kanthil — tetapi aku tidak tahu, yang manakah yang lebih penting bagi anakmas Prastawa. —
Dalam pada itu, jika malam turun, maka Kiai Tali Ji wa hampir tidak pemah memejamkan matanya. Tetapi ia duduk tepekur diamben bambu. Kedua tangannya disilangkannya didadanya.
Meskipun ia belum sampai pada laku puncak, yang akan dilakukan pada hari-hari terakhir, namun setiap saat ia sudah mulai dengan pengetrapan ilmunya. Sema kin hari semakin tajam, sehingga pada hari terakhir, maka dalam satu hari satu malam, ia akan melepaskan segenap ilmunya dengan melontarkan ilmu gendam nya kepada Sekar Mirah dan sekaligus melukai bagian da lam tubuh Agung Sedayu, sehingga ia kehilangan kemam puannya untuk berbuat sesuatu.
Dalam pada itu, mBah Kanthil telah menyiapkan segala galanya. Sebuah jambangan di senthong tengah. Meskipun masih belum di asapi dengan kemenyan, tetapi jambangan itu telan berisi air yang ditaburi beberapa jenis bunga. Disamping bunga kanthil, kenanga dan mawar, maka didalam air itu terdapat pula daun awar-awar dan duri beberapa jenis ikan dalam tabung bersama tiga ba tang jarum emas murni. Sepotong kayu wregu kembang dan akar waringin sungsang, direndam pula didalam air itu, bersama sepasang jambe yang sudah dibelah. Semen tara lampu minyak berkeredipan tanpa pernah padam selama ampat puluh hari ampat puluh malam.
Demikianlah, dari hari ke hari, Kiai Tali Jiwa bekerja semakin keras. Waktunya untuk tepekur semakin panjang. Bukan saja di malam hari, tetapi disiang haripun Kiai Tali Jiwa lebih banyak menekuni kewajibannya de ngan sepenuh hati. Bahkan setelah hari yang ketigapuluh, Kiai Tali Jiwa mulai memasuki bilik khusus. Di senthong tengah itu Kiai Tali Jiwa mulai menyalakan api berbau kemenyan.
Dalam pada itu, Agung Sedayu dan Sekar Mirah yang sama sekali tidak menduga bahwa mereka sedang dibaya ngi oleh rencana yang gawat, melakukan tugas mereka sehari-hari sebagaimana mereka lakukan. Agung Sedayu masih juga menyisihkan waktu untuk membawa Glagah Putih kedalam sanggar.
Namun demikian, pada keduanya mulai terasa sesua tu yang asing. Sekar Mirah yang setiap hari pergi juga ke barak sebagaimana juga Agung Sedayu, merasakan satu pengaruh yang tidak dikenalnya. Di saat-saat ia berjalan pulang bersama Agung Sedayu, ia merasa Tanah Perdi kan itu begitu sepi. Apalagi ketika mereka sudah berada dirumah. Dibawah nyala lampu minyak yang berkeredi pan. Disaat-saat mereka makan ditemani oleh Glagah Putih.
Bagi Sekar Mirah, Agung Sedayu seakan-akan mengalami perubahan sikap. Seolah-olah Agung Sedayu itu tidak banyak lagi menghiraukannya. Ia lebih banyak berbuat sesuatu bagi Glagah Putih. Selebihnya hampir seluruh waktunya dipergunakannya bagi Tanah Perdikan Menoreh.
Ketika Sekar Mirah berada di halaman rumahnya disore hari, setelah ia pulang dari barak bersama Agung Sedayu, hatinya menjadi berdebar-debar ketika ia meli hat Prastawa berkuda lewat didepan rumahnya.
Tetapi Prastawa itu tidak berhenti. Bahkan berpaling pun tidak.
— Anak muda itu sombong sekali — berkata Sekar Mirah didalam hatinya. — untuk apa ia lewat didepan rumah ini tanpa berhenti sama sekali. —
Selagi Sekar Mirah termenung, tiba-tiba saja ia terke jut karena terdengar suara Agung Sedayu dibelakangnya — Aku akan pergi kepadukuhan sebelah Mirah. —
— 0 — desis Sekar Mirah.
— Aku ingin melihat tanggul susukan yang katanya pecah itu — berkata Agung Sedayu pula.
— Silahkan kakang — jawab Sekar Mirah.
— Glagah Putih akan pergi bersamaku — berkata Agung Sedayu kemudian.
Sekar Mirah mengangguk, sementara Glagah Putih telah berlari-lari turun tangga pendapa.
Sejenak kemudian keduanya telah pergi. Sekar Mirah yang sendiri dirumahnya merasa menjadi semakin sepi. Kehadiran Glagah Putih tidak banyak memberikan arti lagi kepadanya. Bahkan bersama Glagah Putih Agung Sedayu semakin sering keluar rumah.
— Apa artinya semuanya ini ? — pertanyaan itu mulai bergejolak didalam hati Sekar Mirah.
Namun dalam pada itu, Agung Sedayupun merasakan sesuatu yang tidak dimengertinya pada tubuhnya. Pada saat-saat tertentu terasa sendi-sendinya terasa letih. Sea kan-akan kekuatan yang ada didalam tubuhnya mulai su sut dari hari kehari.
Tetapi pada saat-saat tertentu, jika kegelisahan itu merayapi jantungnya tanpa dapat dikendalikan, maka Agung Sedayu telah pergi ke tempat yang terasing. Ia ti dak membiarkan perasaan itu bermain didalam dirinya. Karena itu, maka ia ingin membuktikan, apakah benar kekuatannya telah susut.
Pada saat yang demikian, maka ia telah mengambil sasaran dilereng pegunungan Menoreh. Bukan saja untuk menilai kemampuan tenaga wadagnya dan landasan tena ga cadangannya. Tetapi Agung Sedayu menilai pula kemampuan ilmunya lewat sorot matanya. Bahkan kemampuannya melenting dan bergerak dalam landasan ilmu meringankan tubuhnya.
Ternyata semuanya masih tidak berubah. Semuanya masih tetap pada tingkat dan tataran yang seharusnya.
Agung Sedayu bukan orang yang cepat menerima pengaruh pada dirinya, Demikian pula agaknya dengan Sekar Mirah. Karena itu, maka yang terjadi didalam diri mereka itupun, tidak luput dari perhatian mereka dengan sungguh-sungguh. Meskipun masing-masing telah berusa ha untuk menilai apa yang sebenarnya sedang mereka hadapi.
Sebenarnyalah mereka memang bukan orang kebanyakan. Karena itu, maka mereka tidak menerima segala yang terjadi atas diri mereka itu begitu saja. Bah kan Sekar Mirahpun menjadi heran kepada diri sendiri, bahwa perhatiannya kepada Prastawa menjadi semakin besar.
— Ada yang asing pada diriku — berkata Sekar Mirah kepada diri sendiri — mungkin pengaruh kesepianku yang terasa semakin mencengkam, karena kakang Agung Sedayu terlalu sering meninggalkan aku dirumah. —
Tetapi Sekar Mirah bukan orang yang tertutup sebagaimana Agung Sedayu. Ia lebih terbuka seperti Swandaru. Karena itu, maka ia tidak lebih senang menyimpan perasaan asing itu didalam dirinya.
Karena itu, maka ternyata Sekar Mirahlah yang lebih dahulu menyatakan perasaan itu kepada Agung Sedayu daripada Agung Sedayu sendiri.
Ketika keduanya duduk diamben bambu setelah makan malam dikawani oleh Glagah Putih, maka Sekar Mirah itupun berkata — Kakang, apakah aku boleh mengatakan sesuatu. —
AgUng Sedayu mengerutkan keningnya. Namun ia ti dak dapat menolaknya, betapapun ia tidak dapat mengatakan perasaan tentang dirinya itu lebih dahulu.
— Apakah ada sesuatu yang penting Mirah ? — berta nya Agung Sedayu kemudian.
— Menurut pendapatku, ada sesuatu yang wajib aku katakan kepadamu kakang. Untuk kepentingan kita berdua. — jawab Sekar Mirah.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya — Jika hal itu kau anggap penting, dan berguna bagi kita berdua, maka sebaiknya, katakanlah. —
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Sekilas ia memandang Glagah Putih yang gelisah.
— Kakang — berkata Glagah Putih kemudian dengan tersendat-sendat — Jika kakang ingin berbicara dengan mbokayu, sebaiknya aku keluar sebentar. Mungkin ada sesuatu yang tidak seharusnya aku dengar. —
— Tidak Glagah Putih — Sekar Mirahlah yang menyahut — kau duduk saja disitu. Kau sudah cukup dewasa sekarang. Karena itu, kau boleh mendengar per soalan yang akan aku bicarakan dengan kakang Agung Sedayu.—
Glagah Putih masih tetap termangu-mangu. Namun Agung Sedayu kemudian berkata — Duduk sajalah disitu Glagah Putih. —
Glagah Putih tidak jadi beringsut. Tetapi kepalanya-pun kemudian menunduk dalam-dalam. Ia menjadi ce mas, bahwa persoalan yang akan dibicarakan oleh Sekar Mirah dan Agung Sedayu itu berkisar kepada dirinya.
———
Selsai (hal.80)
absen rumiyin
TOLONG>>>>>>>>>>>>>…………..
saya mengalami kesulitan dalam mencari kitab 159….
mohon petunjuknya…………
kepada Ki Gede,,,,
kpda Nyi Senopati……
kpda cantrik2 sekalian….
mhn petunjuknya………dmn kitab 159 berada….
trmakasih….
Berada di kata-kata selamat berlibur. Cantrik bisa down loud tapi tdak bisa dibuka dengan Microsoft Office 2007. mohon petunjuk ki Gede……..
Absen maning